Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Hijab dan Udzur Kejahilan

$
0
0
Pertanyaan : "Sesungguhnya kebiasaan di negeri kami adalah para wanita pergi berbelanja memenuhi kebutuhan di pasar tanpa mengenakan hijab. Dan kami tahu bahwa perbuatan tersebut diharamkan. Akan tetapi kami tidak sanggup untuk mengupah pembantu untuk pergi berbelanja memenuhi kebutuhan dikarenakan kefakiran kami. Dan kami - para laki-laki - pun tidak mampu berbelanja untuk memenuhi kebutuhan. Kami khawatir terhadap para wanita kami apabila mereka keluar dengan hijab islamiy, orang-orang kafir akan mengganggu mereka dengan berbagai fitnah dan kedhaliman. Karena kami adalah kaum muslimin yang senantiasa sangat sedikit jumlahnya dan sangat lemah".

Jawab:
ليس ما ذكرته عذرا في خروج المرأة إلى الأسواق بدون حجاب، وعليها إذا دعت الحاجة للخروج ألا تخرج إلا متحجبة، وإذا أمكن عدم خروجها أو خروج محرمها معها فهو أولى.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
"Apa yang engkau sebut itu bukan udzur bolehnya wanita keluar ke pasar tanpa mengenakan hijab. (Tetap) wajib bagi mereka apabila memang ada kebutuhan untuk keluar (rumah), untuk mengenakan hijab. Apabila memungkinkan bagi wanita itu untuk tidak keluar rumah atau mereka (wanita) keluar bersama mahramnya, maka itu lebih utama.
Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu 'alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
[Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 17/276-277 - https://goo.gl/mPQwbr].
Atau dengan bahasa mudah sesuai dengan konteks yang ditanyakan, tidak ada udzur bagi si penanya untuk membiarkan wanita mereka keluar tanpa hijab meski dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tetap wajib mengenakan hijab, karena mereka telah mengetahui hukumnya.
Dan begitulah keumuman jawaban yang diberikan ulama Lajnah Daaimah seputar ruang membuka hijab/jilbab, tidak ada dispensasi bagi si penanya.
Senada dengannya adalah fatwa yang tertulis di situs islamweb ketika menanggapi (salah satu) pertanyaan apakah boleh melepaskan hijab dengan alasan si suami suka wanita cantik, sedangkan wanita yang mengenakan hijab (dianggap) tidak cantik.
Dijawab:
وأما خلعه من أجل الزواج فلا يجوز ولا يعد ذلك عذراً، فإن الحجاب ليس نافلة أو تطوعا يمكن تركه لأي سبب، بل هو واجب وفرض على المسلمة أن تحافظ عليه كمحافظتها على باقي فروض وواجبات دينها
"Adapun melepaskan hijab dengan sebab pernikahan, tidak terhitung sebagai udzur, karena hijab bukan perkara nafilah atau tathawwu' yang memungkinkan untuk meninggalkannya dengan sebab apapun. Bahkan itu merupakan kewajiban dan fardlu bagi seorang muslimah untuk menjaganya sebagaimana penjagaannya terhadap kewajiban-kewajiban agama yang lain......" [Islamweb].
Begitu pula ketika kita menasihati istri dan anak perempuan kita yang telah baligh agar mereka berhijab, maka kita boleh untuk mengatakan katakan : "Tidak ada udzur bagimu untuk tidak berhijab". Ini dalam rangka menekankan dengan sangat agar mereka melaksanakan perintah ini. Sama seperti nasihat Ustadz Yazid Jawwas hafidhahullah dalam jeda Rodja di bawah:

Konteks pembicaraan Ustadz Yazid di atas – ketika mengatakan ‘Setiap wanita tidak ada udzur untuk tidak memakai busana muslimah’ – adalah peringatan tidak boleh bagi wanita muslimah tidak berbusana muslimah. Haram hukumnya membuka aurat. Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mengenakan busana muslimah karena Allah lah – Rabb yang menciptakan kita – yang memerintahkannya.
Cukup mudah untuk dipahami.
Namun tiba-tiba datanglah orang-orang antah berantah yang menyambungkan perkataan Ustadz Yazid Jawas di atas dengan permasalahan udzur kejahilan. Apa lagi kalau bukan produk lawakan dari Ustadz Jafar Shalih, semoga Allah memberikan petunjuk bagi kita dan dirinya. Kawanan beliau ini membikin video dengan framing:
Meninggalkan Jilbab : Tidak ada udzur
Meninggalkan Tauhid (Kesyirikan) : Diberi Udzur
Hawken-yududet bro ? Apakah Anda kehabisan bahan banyolan untuk acara standup comedy pekanan Anda ?.
Jika tauhid yang dibicarakan dalam konteks pembicaraan seperti di atas, tentu kita akan katakan ‘tidak diberi udzur’. Maksudnya, wajib semua orang untuk bertauhid. Tidak boleh bagi seorang pun yang hidup di permukaan bumi ini untuk tidak bertauhid. Masak ada orang ngaji akan mengatakan 'boleh tidak bertauhid'. Ya harus bertauhid dong !!
Tapi lihatlah skenario drama Anda bro,… Setelah Anda bawakan masalah jilbab, Anda lalu cuplik video Ustadz Yazid ketika membacakan pertanyaan jama’ah : “Bagaimana tentang orang yang melakukan kesyirikan, apakah dia dikatakan kafir keluar dari iman ?” - berikut jawabannya.
Apakah pembandingan konteks pembicaraan ini apple to apple dengan sebelumnya ?. Hanya sebegitukah dirimu mengajarkan pemahaman pada anak buahmu bro ?. Ya Allah, betapa besar musibah yang menimpa murid-muridmu jika pemahamanmu parkir di level itu.[1]
Kemudian Ustadz Yazid hafidhahullah menjawab (saya cuplik sebagiannya saja) :
Ya dilihat… Orang yang melakukan kesyirikan ada yang memang karena kebodohan, kejahilan. Maka harus ada iqaamatul-hujjah. Tegakkan hujjah. Karena dijelaskan para ulama, bahwa syarat seseorang dikatakan kafir atau dia musyrik atau dia keluar dari Islam, itu ada syuruth (syarat-syarat)-nya, dan intifaaul-mawaani’. Ada syaratnya, dan ada penghalangnya. Bisa jadi dia melakukannya karena kebodohan. Bisa jadi dilakukan karena terpaksa. Atau karena ikut-ikutan. Atau yang lainnya. Maka yang seperti ini tidak langsung dikafirkan menurut para ulama…….”.
Kemudian beliau (Ustadz Yazid hafidhahullah) menyebutkan contoh dan dalilnya.
Setelah itu dibacakan pertanyaan kedua :
Ada juga pertanyaan yang hampir sama. Bagaimana kalau seseorang mengucapkan kalimat kekufuran atau kesyirikan karena kejahilan, karena tidak sadar. Ya masuk kepada tadi… Jadi tidak (langsung) dikafirkan. Jadi omongan kufur atau perbuatan kufur tidak langsung dikatakan orangnya kafir…….dst.”.
Drama Ustadz Ja’far Shalih dan rekan-rekannya – semoga Allah memberikan hidayah bagi kita dan mereka – dilanjutkan dengan skenario editan videonya  yang menampilkan caption:
Pertanyaan mengganjal :
Apakah posisi jilbab sudah lebih penting dari tauhid ?
sehingga pelanggaran dalam tidak memakai busana muslimah tidak diudzur ?.
sedangkan kesyirikan sebagai pelanggaran terbesar dalam Islam diudzur ?.
Lalu hadits shahabat yang sujud kepada Nabi tapi tidak dikafirkan bagaimana ?
Silakan minta ustadz-ustadz antum untuk membacakan kitab  : “Subulus-Salam Syarah Nawaqidhul-Islam” karya Syaikh Bin Baaz
Kemudian skenario editing video beralih kepada fatwa Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah yang terpilih untuk ditampilkan menguatkan konsensus yang dipegang jama’ah Ustadz Ja’far Shalih.
Sedikit tanggapan:
1.    Ustadz Ja’far Shalih bersama tim editing videonya kurang lihai dalam penyamaan dua kasus yang berbeda. Fallacy.
Saya kira terlalu jelas konteks masalah jilbab.[2]Seandainya konteks bahasan jilbab disesuaikan dengan alur skenario yang diinginkan Ustadz Ja’far dan krunya, pertanyaan yang mungkin muncul adalah : “Apakah berdosa orang yang tidak mengenakan jilbab karena ketidaktahuan/kejahilannya ?”. Insya Allah jawaban Ustadz Yazid hafidhahullah sama dengan Ustadz Ja’far, karena saya pikir Ustadz Yazid tidak lebih bodoh daripada Ustadz Ja’far dan krunya. Terlebih melihat kasus ini, saya menjadi semakin yakin.
2.    Apakah salah yang dikatakan Ustadz Yazid Jawas bahwa orang yang melakukan kesyirikan dikarenakan ketidaktahuan/kebodohan/kejahilannya harus iqaamatul-hujjah terlebih dahulu sebagaimana dijelaskan para ulama ?.
Bukankah Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata:
فإن نصوص الوعيد التى فى الكتاب والسنة ونصوص الأئمة بالتكفير والتفسيق ونحو ذلك لا يستلزم ثبوت موجبها فى حق المعين الا اذا وجدت الشروط وانتفت الموانع
“Sesungguhnya nash-nash ancaman yang terdapat dalam Al-Kitaab dan As-Sunnah, serta nash-nash para imam tentang pengkafiran, pemfasikan, dan yang lainnya, tidak melazimkan konsekuensinya pada individu tertentu kecuali setelah terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 10/372].
ذه المقالات هي كفر لكن ثبوت التكفير في حق الشخص المعين موقوف على قيام الحجة التي يكفر تاركها وإن أطلق القول بتكفير من يقول ذلك فهو مثل إطلاق القول بنصوص الوعيد مع أن ثبوت حكم الوعيد في حق الشخص المعين موقوف على ثبوت شروطه وانتفاء موانعه ولهذا أطلق الأئمة القول بالتكفير مع أنهم لم يحكموا في عين كل قائل بحكم الكفار
“Perkataan-perkataan ini adalah kufur, akan tetapi penetapan kekafiran pada orang tertentu tergantung pada tegaknya hujjah yang mengkafirkan orang yang meninggalkannya. Seandainya perkataan pengkafiran itu dimutlakkan terhadap orang yang mengatakannya, maka hal itu seperti pemutlakkan perkataan melalui nash-nash ancaman. Sementara penetapan hukum ancaman terhadap individu tertentu tergantung pada terpenuhinya syarat-syaratnya dan hilangnya penghalang-penghalangnya. Oleh karena itu, para imam memutlakkan perkataan pengkafiran tanpa menghukumi setiap individu yang mengatakkannya sebagai orang kafir” [Bughyatul-Murtaad fir-Radd ‘alal-Mutafalsifah wal-Qaraamithah wal-Baathiniyyah, hal. 353-354].
Ibnul-‘Arabiy rahimahullahberkata :
فالجاهل والمخطئ من هذه الأمة ولو عمل من الكفر والشرك ما يكون صاحبه مشركاً أو كافراً، فإنه يعذر بالجهل والخطأ حتى يتبين له الحجة التي يكفر تاركها بياناً واضحاً ما يلتبس على مثله، وينكر ما هو معلوم بالضرورة من دين الإسلام، مما أجمعوا عليه إجماعاً قطعياً، يعرفه من المسلمين من غير نظر وتأمل
“Orang yang jaahil dan keliru dari umat ini, meskipun ia melakukan kekufuran dan kesyirikan, maka pelakunya tidaklah menjadi kafir atau musyrik, karena ia diberikan ‘udzur atas kejahilan dan kekeliruannya tersebut. Hal ini berlaku hingga jelas baginya hujjah secara gamblang yang mengkafirkan orang yang meninggalkannya tanpa ada kesamaran bagi orang (lain) yang semisal dengan ia. Atau ia mengingkari sesuatu yang maklum lagi aksiomatik dalam agama Islam, telah disepakati  secara pasti (oleh para ulama), dan diketahui oleh kaum muslimin tanpa melalui proses penelitian dan perenungan” [Tafsiir Al-Qaasimiy, 5/1307-1308].
Apakah secara substansi yang dikatakan Ustadz Yazid hafidhahullah berbeda dengan yang dikatakan ulama di atas ?. Semoga saya tidak salah baca.
Bahkan, itulah madzhab Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana dhahir terpahami:
كذلك من دعا غير الله وحج إلى غير الله هو أيضا مشرك والذي فعله كفر لكن قد لا يكون عالما بأن هذا شرك محرم
كما أن كثيرا من الناس دخلوا في الاسلام من التتار وغيرهم وعندهم أصنام لهم صغار من لبد وغيره وهم يتقربون اليها ويعظمونها ولا يعلمون أن ذلك محرم في دين الاسلام ويتقربون إلى النار أيضا ولا يعلمون أن ذلك محرم فكثير من أنواع الشرك قد يخفى على بعض من دخل في الإسلام ولا يعلم أنه شرك فهذا ضال وعمله الذي أشرك فيه باطل لكن لا يستحق العقوبة حتى تقوم عليه الحجة قال تعالى : فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Begitu pula orang yang berdoa kepada selain Allah dan berhaji kepada selain Allah, maka ia juga termasuk orang musyrik. Orang yang melakukannya kafir. Namun demikian, kadang pelakunya tidak mengetahui bahwasannya perbuatan tersebut kesyirikanyang diharamkan.
Hal itu sebagaimana kebanyakan orang yang masuk Islam dari bangsa Tataar dan yang lainnya dimana di sisi mereka terdapat berhala kecil yang terbuat dari bulu dan yang lainnya yang mereka bertaqarrub kepadanya dan mengangunggkannya tanpa mengetahui hal tersebut diharamkan dalam agama Islam. Mereka juga bertaqarrub kepada api tanpa mengetahui hal tersebut diharamkan. Banyak macam kesyirikan tersembunyi bagi mereka yang (baru) masuk Islam tanpa mengetahuinya sebagai kesyirikan. Orang seperti ini sesat dan amalan kesyirikannya bathil. Akan tetapi ia tidak berhak mendapatkan hukuman hingga tegak padanya hujjah. Allan ta’ala berfirman : ‘karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui’ (QS. Al-Baqarah : 22)” [Ar-Radd ‘alal-Ikhnaaiy, hal. 206].
Setelah menjelaskan perbuatan kesyirikan dan bid’ah yang dilakukan orang-orang di kuburan, beliau rahimahullahberkata:
وهذا الشرك إذا قامت على الإنسان الحجة فيه ولم ينته وجب قتله كقتل أمثاله من المشركين ولم يدفن في مقابر المسلمين ولم يصلَّ عليه وأما إذا كان جاهلا لم يبلغه العلم ولم يعرف حقيقة الشرك الذي قاتل عليه النبي صلى الله عليه وسلم المشركين فإنه لا يحكم بكفره ولا سيما وقد كثر هذا الشرك في المنتسبين إلى الإسلام ومن اعتقد مثل هذا قربة وطاعة فإنه ضال باتفاق المسلمين وهو بعد قيام الحجة كافر
“Ini adalah kesyirikan. Apabila telah tegak hujjah pada seseorang padanya namun ia tidak berhenti (dari perbuatan syirik tersebut), maka wajib untuk membunuhnya seperti pembunuhan terhadap orang yang semisal dengannya dari kalangan orang-orang musyrik. Ia tidak dikuburkan di kuburan kaum muslimin dan tidak pula dishalati. Namun apabila ia seorang yang jaahil yang belum sampai kepadanya ilmu yang membuatnya mengetahui hakekat kesyirikan yang membuat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerangi orang-orang musyrik, maka ia tidak dihukumi kafir. Khususnya, banyak kesyirikan ini dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam. Barangsiapa yang berkeyakinan seperti ini dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah dan taat kepada-Nya, maka ia sesat berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Setelah adanya penegakan hujjah, maka ia dikafirkan” [Jaami’ Al-Masaail, 3/151].
Jangan karena Anda tidak suka dengan perkataan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah[3], Ustadz Yazid yang menjadi sasaran celaan Anda dan pengikut Anda…..
3.    Tentang penggunaan hujjah Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu yang disebutkan Ustadz Yazid hafidhahullah, apakah memang beliau sedang mengarang pendalilan ?. Bahkan hujjah itu disebutkan para ulama. Setelah menyebutkan hadits sujudnya Mu’aadz radliyallaahu ‘anhu, Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata:
وفي هذا الحديث دليل على أن من سجد جاهلا لغير الله لم يكفر
“Dalam hadits ini terkandung dalil bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kejahilannya, tidak dikafirkan” [Nailul-Authaar, 4/323].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika ditanya tentang orang yang (sujud) mencium bumi/tanah terus-menerus atau orang yang melakukannya dengan sebab untuk mendapatkan rizki (upah) sedangkan dirinya benci untuk melakukannya; maka beliau menjawab:
أما تقبيل الأرض ورفع الرأس ونحو ذلك مما فيه السجود مما يفعل قدام بعض الشيوخ وبعض الملوك فلا يجوز بل لا يجوز الإنحناء كالركوع أيضا كما قالوا للنبى صلى الله عليه و سلم الرجل منا يلقى أخاه أينحنى له قال لا ولما رجع معاذ من الشام سجد للنبى فقال ما هذا يا معاذ.....
“Adapun mencium bumi/tanah, mengangkat kepala, dan semisalnya yang ada padanya sujud (seperti) yang dilakukan di hadapan sebagian syuyuukh/tokoh dan raja adalah tidak diperbolehkan. Bahkan tidak diperbolehkan pula membungkuk seperti rukuk sebagaimana yang dikatakan sebagian shahabat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Seseorang diantara kami bertemu dengan saudaranya, apakah dirinya perlu membungkuk kepadanya?’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Tidak boleh’. Begitu juga ketika Mu’aadz kembali dari negeri Syaam, dirinya sujud kepada Nabi. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apa ini wahai Mu’aadz…..”.
Kemudian Syaikhul-Islaam rahimahullah menyebutkan hadits sebagaimana yang disebutkan Ustadz Yaziid hafidhahullah. Setelah itu, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما فعل ذلك تدينا وتقربا فهذا من أعظم المنكرات ومن اعتقد مثل هذا قربة وتدينا فهو ضال مفتر بل يبين له وأن هذا ليس بدين ولا قربة فإن أصر على ذلك استتيب فإن تاب وإلا قتل
“Adapun orang yang melakukannya dengan alasan agama dan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), maka perbuatan ini termasuk sebesar-besar kemunkaran. Barangsiapa yang berkeyakinan taqarrub dan faktor/alasan agama seperti ini, maka ia sesat lagi dusta. Bahkan, harus dijelaskan kepadanya bahwa perbuatan ini bukan termasuk bagian dari agama dan bukan pula perbuatan taqarrub. Apabila dirinya nekad terus melakukannya, ia diminta bertaubat. Apabila bertaubat, maka taubatnya diterima. Jika tidak, dibunuh” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 1/372].
Fatwa Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ini cukup terang menunjukkan bahwa orang yang sujud (kepada selain Allah) dengan alasan agama dan mendekatkan diri kepada Allah[4], maka harus ditegakkan hujjah terlebih dahulu. Jika ia terus melakukannya setelah ditegakkannya hujjah, maka ia kafir dan diminta untuk bertaubat. Jika tidak mau, baru ia dibunuh[5].
Saya juga mendengarkan penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Raajihiy hafidhahullahtentang hadits Mu’aadz ini, beliau mengatakan bahwa Mu’aadz tidak mengetahui (jahil) perbuatannya itu dlarang dan termasuk syirik. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, maka Mu’aadz berhenti dan tidak mengulanginya.

Sumber-sumber yang lain masih banyak, tapi saya cukupkan yang di atas saja.
Jika ikuti gaya retorika Ustadz Ja’far dan kru : Silakan minta ustadz-ustadz antum untuk membacakan kitab …..; sangat mudah. Hanya saja di bagian ini, saya lagi malas mencontek gaya bahasa mereka…..
NB : Saya tahu beberapa ulama mengkritik keshahihan hadits Mu’aadz ini. Namun yang saya tekankan di sini adalah istidlaal beberapa ulama Ahlus-Sunnah dengan hadits sujudnya Mu’aadz dalam penetapan udzur kejahilan. So, jangan kementhuslah dengan mengesankan istidlaal dengan hadits Mu’aadz itu tidak ada wujudnya di kalangan ulama Ahlus-Sunnah, selain Yaziid Jawas dan Rodja-eers.
4.    Tentang Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah….. Perhatikan juga video berikut ini:

Pertanyaan:
“Orang yang melakukan kesyirikan, seperti berdoa kepada selain Allah misalnya, untuk memberikan kesembuhan terhadap penyakit; apakah kita mengatakan : ‘Ia musyrik’, ataukah kita mengatakan ; ‘Perbuatannya syirik’ – dalam keadaan kita mengetahui ia mengucapkan Laa ilaha illallaah, mengerjakan puasa dan berhaji ?”.
Jawab:
“Apabila ia tidak memiliki ‘udzur dalam perbuatan syiriknya, maka ia seorang musyrik. Namun apabila ia jahil/bodoh, seorang muqallid, atau ia mempunyai ta’wiil yang ia anggap benar, maka perlu dijelaskan kepadanya. Apabila ia menolaknya, maka penghukuman kesyirikan ada padanya karena kejahilannya telah hilang”.
Juga video beliau hafidhahullah yang ini:

Beberapa point penting yang dapat diambil dari beliau di atas (video ke-2):
-  Beliau hafidhahullahmemberikan penjelasan bahwa istighatsah kepada orang yang telah meninggal dan orang yang tidak ada di tempat (ghaib) adalah kufur akbar.
-  Wajib memberikan penjelasan dan peringatan kepada pelaku syirik akbar akan perbuatan tersebut (termasuk dosa besar dan syirik akbar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam).
-  Apabila si pelaku tidak menerima penjelasan tersebut dan malah terus melakukan perbuatan syiriknya, maka dirinya tidak diberikan ‘udzur (lagi). Apabila ia meninggal dalam keadaan seperti itu, maka statusnya adalah musyrik yang kekal di dalam neraka karena menolak kebenaran setelah diberi tahu.
-  Adapun seseorang yang melakukan kesyirikan dan ia mengira perbuatannya itu benar, sementara itu tidak ada seorang pun yang memberitahu dan memperingatkannya; maka perkaranya ada di sisi Allah. Allah lah yang mengetahui keadaannya dirinya.
-  Terkait dengan point sebelumnya, Syaikh menekankan : “Akan tetapi jangan kita populerkan/sebarkan kepada manusia bahwa dirinya diberikan udzur kejahilan. Hal itu dikarenakan apabila perkataan itu disebarkan di tengah-tengah manusia, maka itu akan menghalangi mereka untuk menuntut ilmu dan (berusaha) mencari kebenaran”.[6]
-  Beliau juga berpesan agar tidak masuk pada masalah udzur kejahilan, karena di situ adalah tempatnya ijmaal dan keraguan. Jangan membuka pintu ‘udzur bagi manusia dan yang serupa dengannya. Tetap peringatkan mereka dari kesyirikan, kekufuran, dan bid’ah tanpa menyebarkan udzur kejahilan.
---
Terkait dengan fatwa syaikh di atas, ini selaras dengan penjelasan Ustadz Dzulqarnain yang katanya bertanya langsung kepada Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah terkait masalah ini. Intinya, ada memang perkataan beliau hafidhahullahyang menetapkan udzur kejahilan dan yang lain menafikkannya. Penafikan beliau hafidhahullah tersebut dibangun di atas kaedah saddudz-dzarii’ah dalam fatwa agar manusia tidak menggampangkan dan menghindari masalah kesyirikan. Bahkan di ditanyakan pula kepada Asy-Syaikh Al-Fauzaan hafidhahullah tentang adanya seorang pemain fesbuk domestik yang punya hobi membicarakan udzur kejahilan (tidak menutup kemungkinan yang dimaksud adalah Ustadz Jafar Shalih dan krunya), yang mudah berfatwa kafir. Silakan simak di sini videonya : https://youtu.be/n0xCToskxEo.
Saya tahu Ustadz Ja’far Shalih bersama para rekan dan pembantunya banting tulang berusaha keras menakwilkannya perkataan Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullahuntuk menghasilkan kesimpulan : Tidak ada udzur kejahilan.[7]Karena katanya dalam perkataan beliau yang lain begini dan begitu…..
Lah kalau demikian, kenapa pikiran Anda tidak nyangkut kepada Ustadz Yaziid ? Apakah memang beliau hafidhahullah meyakini sebagaimana konstruksi caption-captiondalam drama video yang Anda buat ?. Anda pintar bikin video, tapi tak pintar mengisi substansi, sama seperti sutradara sinetron.
Terakhir, saya kira, sudahilah aksi-aksi teatrikal Anda dalam memframming para asatidzah yang kebetulan beda pendapat dengan Anda dalam masalah udzur kejahilan.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – dps – 27-12018].




[1]   Bahkan anak ABG yang merepost tulisan anjuran berjilbab pun paham bagaimana menggunakan ‘tidak ada udzur’ dalam konteks yang sesuai sebagaimana contoh berikut:
"...........Ini bisa kita analogikan sebagai berikut: Ketika kita mengajak seseorang untuk sholat wajib lima waktu, kemudian orang itu menolak dengan alasan: “Aku belum mau sholat lima waktu karena belum siap.” Padahal kewajiban memakai hijab lebih mudah daripada sholat, yang kamu butuhkan hanya hijab yang cukup hingga menutup dada, rok panjang dan lebar, dan baju yang agak panjang dan tidak ketat. Kalau mau yang lebih efektif bisa memakai pakaian sejenis daster dimana baju dan roknya menyatu. Memakai hijab tidak seperti orang naik haji, atau membayar zakat, atau menyembelih kambing yang dibutuhkan kemampuan, sehingga alasan: “Aku belum siap” BUKANLAH UDZUR DAN TIDAK ADA KERINGANAN.
Kita tanyakan kepada wanita yang beralasan “Aku belum siap”: “Kapankah kamu siap? Bisa jadi kamu mati dalam keadaan belum siap berhijab.” Terkadang di antara mereka ada yang meyakini kalau mereka siap berhijab kalau sudah menikah. Apakah mereka yakin mereka akan hidup di saat itu?..........."
Perkataan di atas lebih jelas tanpa tambahan komentar. Dan saya yakin Anda pun memahaminya bro
[2]   Saya contohkan dalam kasus lain, yaitu sebagaimana pertanyaan yang diajukan kepada pengasuh islamweb tentang wanita yang sering shalat hingga keluar waktunya karena aktivitas pekerjaannya. Lalu dijawab, yang diantara jawabannya adalah perkataan:
الواجب عليها التوبة إلى الله تعالى من تأخير الصلاة عن وقتها ، وليس العمل عذراً شرعياً في تأخير الصلاة إلى خروج وقتها
“Wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah ta’ala atas perbuatannya mengakhirkan shalat dari waktu yang ditentukan. Pekerjaan bukanlah udzur syar’iy untuk mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya……” [islamweb].
Atau dengan kata lain, tidak ada udzur baginya untuk mengakhirkan waktu shalat hanya karena alasan pekerjaan. Kemudian, apakah tepat kiranya kita bikin skenario edit video ala Ustadz Ja’far dan krunya dengan caption:
Pertanyaan mengganjal :
Apakah posisi shalat sudah lebih penting dari tauhid ?
sehingga pelanggaran dalam tidak shalat pada waktunya tidak diudzur ?.
sedangkan kesyirikan sebagai pelanggaran terbesar dalam Islam diudzur ?.
Apakah nyambung skenario seperti ini ?
Atau dalam kasus fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-Munjid tentang keinginan seorang suami untuk merekam istrinya dalam keadaan telanjang untuk dapat diputar/dilihat ketika si suami safar di tempat yang jauh atau sedang tidak bersama istrinya. Diantara jawabannya adalah perkataan:
..............
ولا يُعذر الزوج بتصوير زوجته وهي عارية لكونه زوجاً ، فهذا لا يبيح له ذلك الفعل القبيح ، ولا يعد غيابه عن زوجته عُذراً له ؛ لحرمة تصوير النساء ابتداءً – وقد ذكرنا فتاوى العلماء في ذلك - ؛ ولما يمكن أن يترتب على ذلك من مفاسد
...............
"Dan tidak ada udzur bagi suami untuk mengambil gambar istrinya yang telanjang hanya dikarenakan dirinya adalah suaminya. Tidak diperbolehkan baginya untuk melakukan perbuatan menjijikkan tersebut. Dan ketiadaan dirinya dari istrinya tidak terhitung sebagai UDZUR baginya dikarenakan : pertama : keharaman memotret wanita - dan kami telah menyebutkan fatwa para ulama mengenai hal itu - , dan kedua : kerusakan yang mungkin diakibatkan oleh perbuatan tersebut...... [https://islamqa.info/ar/97495].
Tepatkah kiranya kita bikin skenario edit video ala Ustadz Ja’far dan krunya dengan caption:
Pertanyaan mengganjal :
Apakah posisi mengambil gambar (memotret/memvideokan) istri sendiri yang telanjang sudah lebih penting dari tauhid ?
sehingga pelanggaran dalam melakukan kemaksiatan mengambil gambar (memotret/memvideokan) istri sendiri yang telanjang tidak diudzur ?.
sedangkan kesyirikan sebagai pelanggaran terbesar dalam Islam diudzur ?.
Apakah nyambung skenario seperti ini ?
Tidak lain ini hanyalah kekonyolan yang nyata. Tak ada faedah didapat kecuali hanya unjuk kelemahan akal semata. Setiap tempat ada perkataan yang sesuai. Akal yang sempurna dapat menangkap apa yang diucapkan dan sekaligus apa yang dimaksudkan.
Sayangnya, Anda mengalami gagal paham kronis dalam memahami perkataan orang…
[3]   Tentang fatwa Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, saya telah menuliskannya pada artikel : Ibnu Taimiyyah dan ‘Udzur Kejahilan (1) dan Ibnu Taimiyyah dan ‘Udzur Kejahilan (2).
[4]   Dan ini adalah syirik akbar.
[5]   Tentang masalah sujud, saya telah menuliskan bahasannya di artikel Sujud kepada Manusia dalam Rangka Penghormatan.
[6]   Transkripnya adalah ini:
السؤال الأول: يقول السائل من استغاث بالأموات أو الغائبين هل يحكم عليه بالكفر عينًا وبالخلود في نار جهنم إن مات على ذلك، علماً أن هذا الرجل في بلاد المسلمين، وهنا سؤال مشابه له يقول: من استغاث بالأموات والغائبين وهو جاهل ولبّس عليه الصوفية أن هذا جائز ، فهل يحكم بكفره كذلك؟
[السائل أعاد السؤال الثاني لأن الشيخ لم يسمعه]
الشيخ: نعم نعم نعم، يكفي يا أخي، من استغاث بالأموات والغائبين هذا شرك أكبر لأن الاستغاثة من أعظم أنواع العبادة، فهذا شرك أكبر ، يجب عليك أن تنبهه وأن تحذره من ذلك، فإذا لم يقبل واستمر على ما هو عليه فليس بمعذور وإن مات عليه فهو مشرك ومخلد في النار، لأنه ترك الحق بعدما عرفه تقليداً للأباء والأجداد ورغبة عن الحق، أما الإنسان الذي ما عنده أحد يعلمه ونشأ في هذا الشيء ويظنه حقاً والناس عليه ولا بيّن له أحد، هذا أمره إلى الله، الله هو الذي يعلم حاله سبحانه وتعالى، لكن ما ننشر في الناس أن هؤلاء معذورون بالجهل وأنهم وأنهم..ما ننشر هذا في الناس من أجل أنهم .. إذا نشر فيهم هذا: ثبطهم ذلك عن طلب العلم وطلب الحق، ما ننشر هذا في الناس، هذا ما أحذر منه من الدخول في العذر بالجهل=لا تدخلون فيه، لأنه محل إجمال ومحل اشتباه، لا تفتحون للناس باب الأعذار وما أشبه ذلك ، حذروا حذروا من الشرك ومن الكفر ومن البدع، ولا تشيعوا العذر بالجهل، نعم.
[من الدورة العلمية الصيفية الثامنة عشرة بجامع الملك عبدالعزيز بمكة 9-8-1433هـ]
[7]   Lebih konyol lagi, Ustadz Jafar Shalih berhalusinasi bahwa madzhab yang dianutnya merupakan konsensus Ahlus-Sunnah, dan yang menyelisihinya adalah Murji’ah. Allaahummaa…..
Tidakkah mereka melihat fakta bahwa penetapan udzur kejahilan merupakan madzhab kelompok besar ulama Ahlus-Sunnah dulu dan sekarang, termasuk diantaranya Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahumallah?. Asy-Syaikh Shaalih As-Suhaimiy hafidhahullah menjelaskan permasalahan udzur kejahilan diperselisihkan para ulama sebagaimana penjelasan beliau berikut :

Syaikh Muqbil rahimahullah - guru ustadz Ja'far - memberikan pujian yang khusus terhadap buku Asy-Syaikh Ahmad bin Ibraahiim bin Abil-'Ainain yang berjudul I'laanun-Nakiir 'alaa Ghulaatit-Takfiir. Pujian beliau ada di halaman 3 - 4 [Maktabah Ibni 'Abbaas dan Daarul-Atsar, Cet. 1/1425]. Dalam kitab tersebut ada satu bab khusus yang membahas udzur kejahilan (hal. 70 - 108) dengan membantah pemikiran madzhab yang dianut Ustadz Ja'far Shaalih. Jadi, please deh, jangan bawa nama Syaikh untuk membenarkan madzhab Anda.

Silakan baca artikel:

Asy-Syaikh 'Abdullah, Ibnu Hajar Al-Haitamiy, dan Udzur Kejahilan

$
0
0
Memperhatikan pengamalan seorang ulama terhadap satu kaedah akan menggambarkan kejelasan kaedah tersebut. Lebih terbayang di benak penuntut ilmu bagaimana gambarannya dan mengikis kemungkinan beda paham dalam mengartikan kaedah yang dijelaskan ulama.
Dulu saya telah jelaskan bagaimana mauqif Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab rahimahullahterhadap ‘udzur kejahilan dalam permasalahan ushuuluddin [http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2014/12/asy-syaikh-muhammad-bin-abdil-wahhaab.html]. Kemudian saya pun jelaskan bagaimana praktek beliau rahimahullah dalam penyikapan terhadap Al-Buushiiriy, Ibnu ‘Arabiy, dan Ibnul-Faaridl, berikut keterangan Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah tentangnya [http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2017/05/pandangan-asy-syaikh-muhammad-bin-abdul.html].

Saya tuliskan juga bagaimana mauqif anak beliau, Asy-Syaikh 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab rahimahumullh dalam hal yang sama [http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2017/11/asy-syaikh-abdullah-bin-muhammad-bin.html]. Nah, kali ini saya akan bawakan bagaimana praktek beliau dalam memberikan ‘udzur kejahilan kepada sebagian tokoh yang terjatuh dalam kekeliruan masalah ushuuluddin.
Asy-Syaikh 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab rahimahumullah pernah berkata:
ونحن كذلك : لا نقول بكفر من صحت ديانته، وشهر صلاحه، وعلم ورعه وزهده، وحسنت سيرته، وبلغ من نصحه الأمة ، ببذل نفسه لتدريس العلوم النافعة والتأليف فيها، وإن كان مخطئاً في هذه المسألة أو غيرها، كابن حجر الهيتمي، فإنا نعرف كلامه في الدر المنظم، ولا ننكر سمة علمه، ولهذا نعتني بكتبه، كشرح الأربعين، والزواجر وغيرها ؛ ونعتمد على نقله إذا نقل لأنه من جملة علماء المسلمين.
"Dan kami pun demikian : Kami tidak mengatakan kekafiran orang yang benar agamanya, masyhur akan kebaikannya, diketahui sifat wara' dan zuhudnya, baik perjalanan hidupnya, serta menyampaikan nasihatnya kepada umat dengan kesungguhan dalam mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat dan menuliskannya. Meskipun orang tersebut keliru dalam permasalahan ini atau yang lainnya, seperti Ibnu Hajar Al-Haitamiy. Sesungguhnya kami mengetahui perkataannya dalam kitab Ad-Durrul-Munadhdham. Kami tidak mengingkari keluasan ilmunya. Oleh karena itu, kami tetap memperhatikan/mengambil manfaat dari kitab-kitabnya seperti Syarh Al-Arba'iin, Az-Zawaajir, dan yang lainnya; serta kami berpegang pada nukilannya apabila ia menukil, karena ia termasuk ulama kaum muslimin" [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/236].
Apa maksud perkataan Asy-Syaikh 'Abdullah rahimahullah bahwa beliau mengetahui perkataan Ibnu Hajar Al-Haitamiy dalam kitabnya yang berjudul Ad-Durrul-Munadhdham ?. Dalam kitab tersebut, Al-Haitamiy rahimahullahmembolehkan beristighatsah kepada Nabi [hal. 62 - melalui perantaraan Aaraau Ibni Hajar Al-Haitamiy Al-I'tiqadiyyah hal. 158]. Bahkan beliau memberikan contoh beberapa lafadh istighatsah/tawassul syirkiyyah seperti : 'Kami mendatangimu (Nabi) dengan hati-hati kami - yaitu menghadapkannya - untuk beristi'adzah (meminta perlindungan) dari semua hal yang dibenci....." [Al-Manhul-Makiyyah, 3/1334 - perantara idem, hal. 159]. Beliau pun adalah pensyarah qashidahnya Al-Buushiriy yang mengandung kesyirikan [idem, 3/1335 & 3/1427 – idem, hal. 159-160].
Asy-Syaikh 'Abdullah tidak mengkafirkan Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahumallah - meskipun terjatuh pada sebagian perkara kesyirikan - karena memberikan udzur. Yaitu udzur keliru dalam ta'wil, sedangkan keliru dalam ta'wilini termasuk bagian kejahilan (murakkab)[1]. Dengan jelas dikatakan : TERMASUK ULAMA KAUM MUSLIMIN. Ini adalah praktek yang jelas beliau dalam mengimplementasikan kaedah ‘udzur kejahilan.
Saya tahu, banyak yang berusaha menjawab dengan banyak jawaban ini dan itu di luar sana. Namun sejauh yang saya baca, jawaban-jawaban tersebut malah terkesan dipaksakan agar tetap sesuai dengan asumsi atau madzhab mereka.
Semoga Allah merahmati mereka semua.
Ahlus-Sunnah adalah kelompok yang paling berkasih sayang terhadap makhluk, paling hati-hati dalam masalah pengkafiran (terhadap kaum muslimin), dan paling pertengahan antara dua kelompok ekstrim.
NB : Ibnu Hajar Al-Haitamiy adalah orang yang sangat keras mengkritik Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah dalam permasalahan di atas. Artinya, ia membaca kitab-kitab Syaikhul-Islaam rahimahullah. Hanya saja ia memiliki syubhat yang sangat besar yang secara umum sama seperti syubhat yang diidap kaum Sswaja.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – dps – 28012018].



[1]   Silakan baca artikel : Jaahil dan Jaahiliyyah.



Wudlu karena Berkata Buruk/Kotor

$
0
0
Salah satu akhlaq terpuji dari kalangan salaf adalah penjagaan lisan mereka untuk tidak berkata-kata buruk/kotor yang mengandung maksiat. Mereka sangat perhitungan dan selektif atas apa yang akan keluar dari lisan-lisan mereka. Bahkan sebagian diantara mereka mengulangi wudlu’ dan memperingatkan orang lain melakukan hal serupa ketika mengucapkan perkataan buruk/kotor atau munkar. Diantara riwayatnya adalah:

1.    ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
لَأَنْ أَتَوَضَّأَ مِنْ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَتَوَضَّأَ مِنْ طَعَامٍ طَيِّبٍ
“Aku berwudlu karena mengucapkan kalimat yang buruk/kotor lebih aku sukai daripada aku berwudlu karena makan makanan yang baik”.
Shahih.[1]
2.    ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata:
يَتَوَضَّأُ أَحَدُكُمْ مِنَ الطَّعَامِ الطَّيِّبِ وَلَا يَتَوَضَّأُ مِنَ الْكَلِمَةِ الْخَبِيثَةِ يَقُولُهَا لِأَخِيهِ !
“Salah seorang diantara kalian berwudlu karena makan makanan yang baik, namun (anehnya) tidak berwudlu karena perkataan buruk/kotor yang diucapkannya kepada saudaranya !”.
Hasan.[2]
3.    ‘Ubaidah As-Salmaaniy rahimahullah
عَنْ مُحَمَّدٍ: قُلْتُ لِعَبِيدَةَ: مِمَّا يُعَادُ الْوُضُوءُ؟ قَالَ: "مِنَ الْحَدَثِ وَأَذَى الْمُسْلِمِ
Dari Muhammad (bin Siiriin), ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Ubaidah (As-Salmaaniy) : “Apa yang menyebabkan diulangi wudlu ?”. Ia menjawab : “Dari sebab hadats dan menyakiti seorang muslim (dengan lisannya)”.
Shahih.[3]
‘Ubaidah bin ‘Amru As-Salmaaniy termasuk imam dari kibaarut-taabi’iin. Wafat sebelum tahun 70 H.
4.    Muhammad bin Siiriin rahimahullah berkata:
نُبِّئْتُ أَنَّ شَيْخًا مِنَ الْأَنْصَارِ كَانَ يَمُرُّ بِمَجْلِسٍ لَهُمْ فَيَقُولُ: أَعِيدُوا الْوُضُوءَ فَإِنَّ بَعْضَ مَا تَقُولُونَ أَشَرُّ مِنَ الْحَدَثِ
“Aku diberi tahu bahwasannya ada seorang syaikh dari kalangan Anshaar pernah melewati majelis mereka dan berkata : “Ulangilah wudlu’ (kalian), sesungguhnya sebagian perkataan yang kalian ucapkan lebih jelek daripada hadats”.
Shahih hingga Ibnu Siiriin.[4]
Muhammad bin Siiriin Al-Anshaariy adalah seorang imam yang tinggi kedudukannya dari generasi taabi’iin yang wafat tahun 110 H.
5.    ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah rahimahullah
عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ قَالَ: سَأَلَ رَجُلَانِ عَطَاءً، فَقَالا: مَرَّ بِنَا رَجُلٌ فَقُلْنَا: الْمُخَنَّثُ.قَالَ: "قُلْتُمَا لَهُ قَبْلَ أَنْ تُصَلِّيَا أَوْ بَعْدَ مَا صَلَّيْتُمَا؟ "، فَقَالَا: قَبْلَ أَنْ نُصَلِّيَ. فَقَالَ: "تَوَضَّآ وَعُودَا لِصَلَاتِكُمَا فَإِنَّكُمَا لَمْ تَكُنْ لَكُمَا صَلَاةٌ "
Dari Muusaa bin Abil-Furaat (Al-Makkiy), ia berkata : Ada dua orang laki-laki bertanya kepada ‘Athaa’ : “Seorang laki-laki melewati kami, lalu kami berkata (terhadapnya) : ‘Mukhannats![5]”. Maka ‘Athaa’ berkata : “Kalian katakan itu kepadanya sebelum shalat ataukah setelah shalat ?”. Mereka berkata : “Sebelum shalat”. ‘Athaa’ berkata : “Berwudlulah dan ulangi shalat kalian, karena tidak ada shalat bagi kalian”.
Shahih.[6]
‘Athaa’ bin Abi Rabaah Al-Qurasyiy adalah seorang ulama besar lagi faqiih dari kalangan generasi taabi’iin. Wafat tahun 114 H.
6.    Thalhah bin Musharrif rahimahullah
عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ لِي طَلْحَةُ بْنُ مُصَرِّفٍ: "لَوْلا أَنِّي عَلَى وُضُوءٍ لأَخْبَرْتُكَ بِمَا تَقُولُ الرَّافِضَةُ "
Dari Al-Hasan bin ‘Amru, ia berkata : Thalhah bin Musharrif berkata kepadaku : “Seandainya aku tidak dalam keadaan wudlu (suci), niscaya akan aku khabarkan kepadamu apa yang dikatakan Raafidlah”.
Shahih.[7]
Atsar ini menunjukkan betapa jelek perkataan Raafidlah terhadap Islam dan kaum muslimin sehingga Thalhah tak mau menjadi sebab pembicaraan tentangnya sebagai ‘noda’ atas kesucian dirinya.
Thalhah bin Musharrif bin ‘Amru Al-Hamdaaniy adalah seorang yang tsiqah, ahli qira’at, dan mempunyai banyak keutamaan; termasuk thabaqah ke-5 yang wafat tahun 112 H.
7.    Ibraahiim An-Nakha’iy rahimahullah berkata:
إِنِّي أُصَلِّي الظُّهْرَ، وَالْعَصْرَ، وَالْمَغْرِبَ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ، إِلا أَنْ أُحْدِثَ، أَوْ أَقُولَ مُنْكَرً
“Sesungguhnya aku shalat Dhuhur, ‘Ashar, dan Maghrib dengan satu kali wudluu’, kecuali jika aku berhadats atau mengucapkan perkataan munkar”.
Shahih.[8]
Ia (Ibraahiim) juga berkata:
الْوُضُوءُ مِنَ الْحَدَثِ وَأَذَى الْمُسْلِمِ
“Berwudlu itu karena hadats dan menyakiti seorang muslim”.
Shahih.[9]
Ibraahiim bin Yaziid bin Qais An-Nakha’iy adalah seorang ulama faqiih dari kalangan shighaarut-taabi’iin. Wafat tahun 196 H.
8.    Dan lain-lain.
Meskipun perkataan buruk/kotor dan maksiat bukan termasuk perkara yang membatalkan wudlu’, akan tetapi mereka berwudlu’ sebagai upaya menjauhkan diri dari perkataan buruk/kotor/maksiat dan sekaligus bertaubat darinya, wallaahu a’lam.
Bahan bacaan : Tadzkiiru Ath-Thaaifah Al-Manshuurah bi-Ba’dlis-Sunan Al-Mahjuurah oleh Abu Mu’aadz Mahmuud bin Imaam bin Manshuur Aalu Muwaafiy, hal. 51; Daaru ‘Ibaadir-Rahmaan.
[abul-jauzaa – dps – 29012018].




[1]   Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf1/127 no. 469, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath 1/232 no. 135, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsar 1/68 no. 411, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 9/284-285 no. 9222-9223; dari beberapa jalan (Ma’mar, Ats-Tsauriy, dan Hajjaaj bin Arthaah) semuanya dari Al-A’masy, dari Ibraahiim At-Taimiy, dari ayahnya, dari Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
Jalan riwayat di atas diselesihi oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/133 (1/245) no. 1434, Hanaad bin As-Saariy dalam Az-Zuhd hal. 571 no. 1199, dan Ibnu Abi ‘Aashim dalam Az-Zuhd hal. 54 no. 114 yang meriwayatkan dari jalan Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim At-Taimiy, dari Al-Haarits bin Suwaid, dari Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
Jalan pertama lebih kuat daripada jalan yang kedua. Namun demikian, Sufyaan Ats-Tsauriy dan Abu Mu’aawiyyah adalah dua orang yang paling shahih/menguasai riwayat Al-A’masy, sehingga tidak menutup kemungkinan riwayat tersebut memang ada dua jalan, yaitu (1) dari Al-Haarits bin Suwaid dari Ibnu Mas’uud; dan (2) dari Yaziid bin Syariik At-Taimiy (ayah Ibraahiim) dari Ibnu Mas’uud. Seandainya pun dihukumi idlthiraab, kedua jalan tersebut shahih sehingga dlthiraab tersebut tidak memudlaratkannya. Adapun ‘an’anah Al-A’masy dari Ibraahiim At-Taimiy, maka menurut Adz-Dzahabiy dihukumi bersambung kecuali jika ada qarinahyang menunjukkan kebalikanya [Natslun-Nabaal oleh Abu Ishaaq Al-Huwainiy, hal. 1913].
[2]   Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf1/127 no. 470, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/133 (1/245) no. 1435, Al-Khaththaabiy dalam Ghariibul-Hadiits no. 1155, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan7/68 no. 4659, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath 1/232 no. 136, Ibnu Abid-Dunyaa dalam Ash-Shamt hal. 287 no. 658, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Az-Zuhd hal. 54 no. 115 & 124; semua dari jalan Sufyaan Ats-Tsauriy, dari ‘Aashim bin Abin-Nujuud, dari Abu Shaalih Dzakwaan, dari ‘Aaisyah.
Semua perawinya tsiqah, kecuali ‘Aashim bin Abin-Nujuud, ia seorang yang shaduuq, hasan haditsnya.
Sufyaan Ats-Tsauriy mempunyai mutaba’ah dari Syariik bin ‘Abdillah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syau’abul-Iimaan 9/89 no. 6297.
[3]   Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf1/133 (1/246) no. 1437, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Az-Zuhd hal. 55 no. 117, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 9/90 no. 6300, dan Ad-Diinawariy dalam Al-Mujaalasahno. 911; semuanya dari jalan Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin.
[4]   Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf1/133 (1/246) no. 1436, Ibnu Abi ‘Aashim hal. 55 no. 116, dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 9/90 no. 6299 dari jalan Ibnu ‘Ulayyah, dari Ayyuub, dari Muhammad bin Siiriin.
Semua perawinya tsiqah.
Ayyuub mempunyai mutaba’ah dari Hisyaam bin Hassaan sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 9/90 no. 6300.
[5]   Laki-laki yang bertingkah laku seperti wanita.
Silakan baca artikel : Bolehkah Banci Menjadi Imam ?.
[6]   Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf1/134 (1/246) no. 1439 dan Ibnu Abi ‘Aashim dalam Az-Zuhd hal. 55-56 no. 119; dari jalan Humaid bin ‘Abdirrahmaan, dari Muusaa bin Abil-Furaat.
Semua perawinya tsiqah.
[7]   Diriwayatkan oleh Ibnul-Muqri’ dalam Al-Mu’jam hal. 123 no. 651 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 5/15; semuanya dari jalan Ahmad bin Yuunus, dari Abu Syihaab (Al-Hannaath), dari Al-Hasan bin ‘Amru (Al-‘Aqiimiy).
Semua perawinya tsiqah.
[8]   Diriwayatkan oleh  ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf 1/127 no. 471 dari Ats-Tsauriy, dari Az-Zubair bin ‘Adiy, dari Ibraahiim.
[9]   Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam Ash-Shamt hal. 91 no. 106, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Az-Zuhd hal. 56 no. 123, dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 9/91 no. 6302 dari jalan dari Manshuur (bin Al-Mu’tamir), dari Ibraahiim.
Semua perawinya tsiqah.

Hadits Wanita Membawa Busur Panah

$
0
0
HADITS PERTAMA
Ath-Thabaraaniy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدٍ الرَّازِيُّ، قَالَ: نا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمُرَادِيُّ، قَالَ: نا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زِيَادٍ الرَّصَاصِيُّ، قَالَ: نا مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمٍ الطَّائِفِيُّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ امْرَأَةً مَرَّتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مُتَقَلِّدَةً قَوْسًا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "لَعَنَ اللَّهُ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ، وَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ".
لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ إِلا مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمٍ، وَلا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ إِلا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زِيَاد
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Sa’iid Ar-Raaziy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ar-Rabii' bin Sulaimaan Al-Muraadiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahmaan bin Ziyaad Ar-Rashshaashiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muslim Ath-Thaa'ifiy, dari 'Amru bin Diinaar, dari Ibnu 'Abbaas : Bahwasannya ada seorang wanita melintasi Rasulullah dengan memegang busur panah. Maka Nabi bersabda : “Allah melaknat wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita”.

(Ath-Thabaraaniy berkata) : “Hadits ini tidak diriwayatkan dari 'Amru bin Diinaar kecuali oleh Muhammad bin Muslim, dan tidak pula diriwayatkan dari Muhammad bin Muslim kecuali oleh 'Abdurrahmaan bin Ziyaad" [Al-Mu’jamul-Ausath, 4/212 no. 4003].
Diriwayatkan juga Abu Nu'aim dalam Akhbaar Ashbahaan hal. 155-156 dari jalan 'Abdurrahmaan bin Ziyaad.
Muhammad bin Muslim Ath-Thaaifiy telah diselesihi oleh Zakariyyaa bin Ishaaq sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath[1]2/117 no. 1435 dan dalam Al-Kabiir[2]11/252 no. 11647, dimana ia (Zakariyyaa) meriwayatkan dari 'Amru bin Diinaar, dari 'Ikrimah, dari Ibnu 'Abbaas secara marfuu'dengan lafadh:
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَعَنَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَلَعَنَ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
Bahwasannya Nabi melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki”.
Di sini TANPA disebutkan lafadh ‘bahwasannya ada seorang wanita melintasi Rasulullah dengan memegang busur panah'; dan subjek yang subjek yang melaknat adalah Nabi , bukan Allah ta’ala (sebagaimana hadits disebutkan di awal).
Zakariyya bin Ishaaq Al-Makkiy adalah seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziibhal. 338 no. 2031]. Ia lebih tsiqah/kuat daripada Muhammad bin Muslim Ath-Thaaifiy yang dikritik ulama apabila meriwayatkan dari hapalannya. Oleh karenanya, Ibnu Hajar menyimpulkan : “Shaduuq, namun sering keliru dalam hapalannya” [idem, hal. 896 no. 6333]. Begitu juga dengan Adz-Dzahabiy yang berkata : “Padanya ada kelemahan (layyin), meski ia ditsiqahkan (sebagian ulama)” [Al-Kaasyif, 2/219 no. 5151].
Sanad dan matan yang dibawakan 'Amru bin Diinaar (sebagaimana dibawakan Zakariyyaa bin Ishaaq)[3] mempunyai mutaba'ah dari Qataadah, Yahyaa bin Abi Katsiir, Ayyuub As-Sikhtiyaaniy, Hisyaam bin Hassaan, Yaziid bin Abi Ziyaad, Zaid Abu Usaamah, dan yang lainnya.
‘Ikrimah mempunyai mutaba’ah dari Mujaahid dan Miqsam bin Bujrah.
Walhasil hadits Ibnu ‘Abbaas yang memuat lafadh ' bahwasannya ada seorang wanita melintasi Rasulullah dengan memegang busur panah' adalah munkar.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menghukuminya munkar dalam Dla'iif At-Targhiib wat-Tarhiib 2/36 no. 1256.
Adapun yang shahih hanyalah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
Dari Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhumaa, ia berkata : "Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy, At-Tirmidziy, Abu Daawud, Ibnu Maajah, Ahmad, dan yang lainnya].
HADITS KEDUA
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ حَوْشَبٍ رَجُلٌ صَالِحٌ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ هُذَيْلٍ، قَالَ: رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، وَمَنْزِلُهُ فِي الْحِلِّ، وَمَسْجِدُهُ فِي الْحَرَمِ، قَالَ: فَبَيْنَا أَنَا عِنْدَهُ رَأَى أُمَّ سَعِيدٍ ابْنَةَ أَبِي جَهْلٍ مُتَقَلِّدَةً قَوْسًا، وَهِيَ تَمْشِي مِشْيَةَ الرَّجُلِ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ مَنْ هَذِهِ؟ قَالَ: الْهُذَلِيُّ فَقُلْتُ: هَذِهِ أُمُّ سَعِيدٍ بِنْتُ أَبِي جَهْلٍ، فَقَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ، وَلَا مَنْ تَشَبَّهَ بِالنِّسَاءِ مِنَ الرِّجَالِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Hausyab – seorang laki-laki shaalih - , dari ‘Amru bin Diinaar, dari ‘Athaa’, dari seorang laki-laki suku Hudzail, ia berkata : “Aku melihat ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash dimana rumahnya ada di tanah halal sedangkan masjidnya di tanah haram. Ketika aku sedang bersamanya, ia melihat Ummu Sa’iid - anak perempuan Abu Jahl – membawa busur panah dan berjalan seperti berjalannya laki-laki. ‘Abdullah (bin ‘Amru) berkata : “Siapakah wanita ini?”. Orang Hudzailiy itu menjawab : “Ini adalah Ummu Sa’iid bintu Abi Jahl”. ‘Abdullah berkata : “Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Bukanlah termasuk golongan kami laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [Al-Musnad, 2/199 (11/461-462) no. 6875].
Abu Nu’aim meriwayatkan dari jalan Ahmad dalam Hilyatul-Auliyaa’ 3/321 tanpacerita tentang Ummu Sa’iid, anak perempuan Abu Jahl. Ia (Abu Nu’aim) berkata : “Ghariibdari hadits ‘Amru (bin Diinaar) dari ‘Athaa’. Kami tidak menuliskan kecuali dari jalan ini”.
Ahmad bin Hanbal mempunyai mutaba’ah dari Yahyaa bin Muusaa Al-Hadaaniy sebagaimana diriwayatkan Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir 2/622-623; juga tanpa cerita tentang Ummu Sa’iid, anak perempuan Abu Jahl.
Hadits ini dla’iifdengan sebab jahalah'Umar bin Hausyab. Hanya ‘Abdurazzaaq seorang diri yang meriwayatkan hadits darinya. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat (8/439), dan ia sudah terkenal sangat longgar dalam mentautsiq perawi majhuul. Meskipun ‘Abdurrazzaaq mengatakan dirinya seorang yang shaalih, bukan berarti tautsiq ini mu’tamad untuk menerima haditsnya. Pemutlakan keshalihan ini hanyalah menunjukkan keshalihan dalam agama dan maksimal hanya mengangkat jahalatul-‘ain-nya saja[4]. Jika muhadditsiin memaksudkannya sebagai keshalihan dalam hadits, maka mereka akan mengatakan : ”Shaalihul-hadiits” [lihat : An-Nukat ‘alaa Kitaabi Ibni Shalaah oleh Ibnu Hajar, hal. 680]. Ibnu Hajar menghukumi ‘Umar bin Hausyab ini sebagai orang yang majhuul [Taqriibut-Tahdziib, hal. 736 no. 4919-. Begitu juga dengan Adz-Dzahabiy [Miizaanul-I’tidaal3/192 no. 6088].
Ditambah lagi, laki-laki Hudzail pemilik Ummu Sa’iid - anak perempuan Abu Jahl – mubham, tidak disebutkan namanya.
Maka dapat diketahui bahwa kisah Ummu Sa'iid anak perempuan Abu Jahl yang membawa busur panah dan dicela Nabi tidaklah shahih. Yang shahih hanyalah bagian lafadh marfuu’ karena ada penguat dari jalan yang lain, sebagaimana dikatakan Al-Arna’uth dkk. saat mentakhrij hadits ini.
Adapun mengenai hukum wanita belajar dan bermain panah, maka itu diperbolehkan apabila dirinya hanya berada di tempat tertutup tanpa ada laki-laki asing, di rumahnya bersama mahramnya, atau hanya bersama para wanita saja.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – rnn – 21022018].



[1]   Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ، قَالَ: نا مَالِكُ بْنُ سَعْدٍ الْقَيْسِيُّ، قَالَ: نا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، قَالَ: نا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَعَنَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَلَعَنَ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ "
لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عُمَرَ إِلا زَكَرِيَّا، تَفَرَّدَ بِهِ رَوْحٌ
[2]   Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْجَارُودِيِّ الأَصْبَهَانِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ صَالِحِ بْنِ الْوَلِيدِ النَّرْسِيُّ، قالا: ثنا مَالِكُ بْنُ سَعْدٍ الْقَيْسِيُّ، ثنا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، ثنا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "لَعَنَ اللَّهُالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَلَعَنَ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ "
Di sini lafadh sabda Nabi yang digunakan adalah ‘Allah telah melaknat’. Padahal, sanad Ath-Thabaraaniy rahimahullahdalam Al-Kabiir ini sama dengan yang ada di dalam Al-Ausath. Namun Ath-Thabariy dalam Al-Kabiir ini membawakan hadits dari dua orang gurunya, yaitu Ahmad bin Al-Jaarud (sama seperti Al-Ausath– seorang yang tsiqah lagi haafidh) dan Muhammad bin Shaalih An-Narsiy (majhuul). Kemungkinan ada kesalahan tulis, atau matan yang dibawakan berasal dari Muhammad bin Shaalih; sehingga matan yang benar adalah matan yang dibawakan Ahmad bin Al-Jaarud. Wallaahu a’lam.
[3]   Dengan menyebutkan (perantara) ‘Ikrimah dan tanpa lafadh ‘bahwasannya ada seorang wanita melintasi Rasulullah dengan memegang busur panah.
[4]   Identitas ‘Umar bin Hausyab ini pun dijelaskan oleh ‘Abdurrazzaaq, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-‘Ilal wa Ma’rifatir-Rijaal no. 6097 oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal:
سمعت أبي، يقول: حدثنا عبد الرزاق بن همام بن نافع أبو بكر الصنعاني، قال: حدثني عمرو بن حوشب صنعاني من الأبناء ابن عم مثنى بن الصباح
Aku mendengar ayahku berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Abu Bakr Ash-Shan’aaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Amr bin Hausyab penduduk Shan’aa, yaitu diantara anak-anak dari sepupu Mutsannaa bin Ash-Shabaah”.

Hati-Hati Menuduh Hizbiy karena Perkara Organisasi

$
0
0
Tidak setiap orang yang mendirikan atau bergabung pada organisasi, yayasan, atau perkumpulan tertentu boleh dicap seenaknya dengan hizbiy dan tahazzub.
"Menurut pengamatan saya, biasanya kan jadi tahazzub"
Hati-hati kisanak dengan perkataan Anda. Tidak semua orang seperti yang Anda pikirkan. Jika suatu organisasi, yayasan, atau perkumpulan didirikan dengan tujuan untuk berdakwah kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah serta tidak mengikatkan walaa'dan baraa'-nya kepadanya; maka justru ini merupakan kebaikan. Jangan asal bicara:

"Mendirikan atau bergabung pada organisasi/yayasan/perkumpulan adalah perbuatan tahazzub".
Kisanak....., jika Anda mengutip perkataan Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah, marilah kita simak cuplikan perkataan beliau yang lain yang menjelaskan rincian perkara ini:
أولا أي جمعية تقام على أساس من الإسلام الصحيح المستنبطة أحكامها من كتاب الله و من سنة رسول الله و من ما كان عليه سلفنا الصالح فأي جمعية تقوم على هذا الأساس فلا مجال لإنكارها و إتهامها بالحزبية لأن ذلك كله يدخل في عموم قوله تعالى (( و تعاونوا على البر و التقوي )) و التعاون أمر مقصود شرعا و قد تختلف وسائله من زمن إلى زمن و من مكان إلى مكان و من بلدة إلى آخرى فلذلك إتهام جمعية تقوم على هذا الأساس بالحزبية أو بالبدعية فهذا لا مجال إلى القول به لأنه يخالف ما هو مقرر عند العلماء من التفريق بين البدعة الموصوفة بعامة بضلالة وبين السنة الحسنة السنة الحسنة هي الطريقة تحدث و توجد لتوصل المسلمين إلى أمر مقصود و مشروع نصا فهذه الجمعيات في هذا الزمن لا تختلف من حيث وسائلها عن الوسائل التي جدت في هذا العصر لىتسهل للمسلمين الوصول إلى غايات مشروعة..... فإذا استعملت في تحقيق مقاصد شرعية فهي شرعية و إلا فلا
"Pertama, organisasi/perkumpulan (jum'iyyah) apapun yang berdiri di atas pondasi Islam yang benar serta aturan yang ada padanya diambilkan dari Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah , dan jalan yang ditempuh salaf kita yang shaalih; maka organisasi/perkumpulan (jum'iyyah) apapun yang berdiri di atas pondasi ini tidak boleh untuk mengingkarinya dan menuduhnya dengan hizbiyyah, karena hal itu masuk dalam keumuman firman Allah ta'ala: 'Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa' (QS. Al-Maaidah : 2). Tolong-menolong adalah perkara yang diinginkan secara syar'iyyang berbeda-beda sarananya dari zaman ke zaman, satu tempat dengan tempat lainnya, dan satu negeri dengan negeri lainnya. Oleh karena itu, tuduhan terhadap organisasi/perkumpulan yang berdiri di atas asas ini (Al-Qur'an dan As-Sunnah) dengan hizbiyyah atau bid'ah, maka tidak ada tempat untuk mengatakannya karena menyelisihi apa yang telah ditetapkan para ulama tentang pembedaan antara bid'ah yang disifati secara umum dengan kesesatan, dengan sunnah hasanah. Sunnah hasanah adalah jalan yang diadakan bagi kaum muslimin untuk mencapai perkara yang diinginkan dan yang disyari'atkan secara nash. Organisasi/perkumpulan di zaman ini tidak berbeda dari segi sarana-sarananya dari sarana yang ditemui di zaman sekarang untuk memudahkan kaum muslimin mencapai berbagai tujuan yang disyari'atkan....... Apabila sarana tersebut digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan syar'iy, maka itu disyari'atkan. Jika tidak, maka tidak disyari'atkan......" [selengkapnya : http://alalbany.me/play.php?catsmktba=15085].
Di sini dapat kita ambil faedah bahwa organisasi, yayasan, perkumpulan, lembaga, atau apapun namanya merupakan wasilah dakwah yang hukumnya sesuai dengan asas didirikan dan tujuan yang hendak dicapai. Organisasi, yayasan, atau perkumpulan tidak harus identik dengan stigma hizbiyyah dan bid'ah.
Jika kita perhatikan fatwa para ulama tentang larangan berkelompok/bertahazzub, maka kelompok-kelompok tersebut membawa ragam pemikiran keagamaan yang menyelisihi sunnah, meski semua berlabel 'Islam'. Membuat perpecahan kaum muslimin. Mentahdzir hizbiyyahnya Al-Ikhwaanul-Muslimin di negeri sendiri (Indonesia), bukan karena mereka punya Kartu Tanda Anggota (KTA) IM, tapi karena adopsi pemikiran serta ikatan walaa' dan baraa'-nya.
Mentahdzir hizbiyyah bukan karena sebab adanya struktur pimpinan, sekretaris, bendahara, anggota, dan cabang. Ini perkara keorganisasian belaka. Hizbiyyah adalah sikap dan cara pandang, sedangkan organisasi/yayasan/perkumpulan merupakan wadah/sarana. Anda bisa berpemikiran hizbiyyah tanpa harus mendirikan atau ikut bergabung dalam organisasi apapun. Ketika Anda ikat walaa' dan baraa' Anda pada seseorang yang Anda kagumi, maka di saat itulah racun hizbiyyah menjangkiti.
Berikut adalah video pertanyaan dan jawaban yang pernah ada di majelis Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad hafidhahullah:

Pertanyaan:
"Apakah boleh mendirikan organisasi/perkumpulan yang bertujuan untuk dakwah kepada Al-Qur;an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman as-salafush-shaalih ?. Organisasi/perkumpulan ini mempunyai ketua dan para anggota, sementara itu diketahui bahwa Ahlus-Sunnah banyak dilarang/dicegah (oleh oknum-oknum) untuk mengadakan berbagai pelajaran dan pertemuan/muhadlarah di masjid-masjid, kecuali bagi orang yang mencocoki hawa nafsu mereka.
Jawab :
"Apabila di suau negeri terdapat banyak organisasi/perkumpulan yang menyelisihi sunnah, dan kemudian Ahlus-Sunnah ingin ada sebuah organisasi/perkumpulan yang keberadaannya memberikan pengaruh kepada manusia dan mereka menegakkan dakwah kepada Allah 'azza wa jalla; maka yang seperti ini adalah sesuatu yang dibutuhkan, tidak mengapa. Ini adalah perkara yang baik. Yaitu, tidak memberikan kesempatan bagi orang-orang yang jauh dari sunnah melakukan perbuatan sekehendak mereka, dan kemudian Ahlus-Sunnah memperingatkan manusia terhadap (bahaya) mereka. Apabila mereka memiliki sebuah organisasi/perkumpulan - selama di negeri tersebut terdapat banyak perkumpulan/organisasi yang tidak selamat, yang di dalamnya ada orang yang dekat pada kebenaran dan ada pula yang jauh dari kebenaran - dan mereka ingin adanya satu organisasi/perkumpulan untuk berdakwah kepada Al-Qur'an, As-Sunnah, dan jalan yang ditempuh oleh salaful-ummah; maka ini adalah perkara yang dibutuhkan"
[23 Dzulqa'dah 1423]
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – 24022018].

Ta’wiil Al-Bukhaariy

$
0
0

Dalam kitab Shahiih-nya, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy rahimahumallahberkata:
 سُورَةُ الْقَصَصِ
((كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ)): إِلَّا مُلْكَهُ، وَيُقَالُ: إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، وَقَالَ مُجَاهِدٌ: فَعَمِيَتْ عَلَيْهِمُ الْأَنْبَاءُ: الْحُجَجُ.
“Surat Al-Qashash.
Firman Allah : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashsash : 88); maksudnya : ‘kecuali kekuasaan/keagungan-Nya (mulkahu)’. Dan dikatakan (juga maksudnya adalah) : ‘kecuali apa yang diinginkan dengannya wajah Allah’. Mujaahid berkata : ‘Maka gelaplah bagi mereka segala macam alasan (anbaa’)’ (QS. Al-Qashash : 66), maksudnya adalah : ‘alasan (hujaj)” [Shahiih Al-Bukhaariy, 3/273].

Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy menjelaskan perkataan Al-Bukhaariy rahimahumallah tersebut sebagai berikut:
قَوْله : ( إِلَّا وَجْهه : إِلَّا مُلْكه ) فِي رِوَايَة النَّسَفِيِّ ((وَقَالَ مَعْمَر)) فَذَكَرَهُ . وَمَعْمَر هَذَا هُوَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْمُثَنَّى ، وَهَذَا كَلَامه فِي كِتَابه "مَجَاز الْقُرْآن "لَكِنْ بِلَفْظِ "إِلَّا هُوَ "وَكَذَا نَقَلَهُ الطَّبَرِيُّ عَنْ بَعْض أَهْل الْعَرَبِيَّة ، وَكَذَا ذَكَرَهُ الْفَرَّاء . وَقَالَ اِبْن التِّين قَالَ أَبُو عُبَيْدَة : إِلَّا وَجْهه أَيْ جَلَاله ، وَقِيلَ : إِلَّا إِيَّاهُ ، تَقُول : أَكْرَمَ اللَّه وَجْهك أَيْ أَكْرَمَك اللَّه .
“Perkataannya (Al-Bukhaariy) : ‘Kecuali wajah-Nya’, maksudnya adalah : ‘kecuali kekuasaan/keagungan-Nya’; (yaitu) dalam riwayat An-Nasafiy : ‘dan telah berkata Ma’mar’, kemudian ia menyebutkannya. Ma’mar ini adalah Abu ‘Ubaidah bin Al-Mutsannaa. Dan ini adalah perkataannya yang terdapat dalam kitabnya berjudul Majaazul-Qur’an, akan tetapi dengan lafadh : ‘kecuali Dia (Allah)’. Dan demikianlah yang dinukil oleh Ath-Thabariy dari sebagian ahli bahasa Arab. Dan demikian juga yang dinukil oleh Al-Farraa’. Ibnut-Tiin berkata : “Telah berkata Abu ‘Ubaidah : ‘Kecuali wajah-Nya’, yaitu keagungan-Nya’. Dan dikatakan juga maksudnya : ‘Kecuali diri-Nya’. Ketika engkau katakan : ‘Semoga Allah memuliakan wajahmu’, maka maksudnya : ‘Semoga Allah memuliakanmu’…..” [Fathul-Baariy, 8/505].
Dari perkataan Al-Bukhaariy ditambah dengan penjelasan Al-Haafidh rahimahumallahdidapatkan beberapa faedah:
1.    Al-Bukhaariy menukil dua penafsiran ayat ‘kecuali wajah-Nya’, yaitu (1) kekuasaan/keagungan-Nya, dan (2) kecuali apa yang diinginkan dengannya wajah Allah. Yang nampak, beliau mengunggulkan penafsiran yang pertama.
2.    Penafsiran Al-Bukhaariy dengan ‘kekuasaan/keagungan-Nya’ sebagaimana dalam poin/nomot 1 di atas berasal dari periwayatan An-Nasafiy[1], dan Al-Bukhaariy menukilnya dari perkataan Ma’mar. Al-Haafidh rahimahullah mengisyaratkan keraguannya karena perkataan Ma’mar dalam kitab Majaazul-Qur’an berbeda dengan perkataan Al-Bukhaariy dari periwayatan An-Nasafiy tersebut.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy juga meragukan penisbatan itu kepada Al-Bukhaariy rahimahullahketika ditanya tentang permasalahan ini:
جزاك الله خيرا أنت سمعت مني الشك في أن يقول البخاري هذه الكلمة لأنه (( ويبقى وجه ربك ذي الجلال والإكرام )) أي ملكه يا أخي هذا ما يقوله مسلم ومؤمن وقلت أيضا إن كان هذا موجود فقد يكون في بعض النسخ فإذا الجواب قدم سلفا وأنت جزاك الله خيرا الآن بهذ الكلام الذي ذكرته أن ليس في البخاري مثل هذا التأويل الذي هو عين التعطيل تفضل
Jazaakallaahu khairan. Engkau telah mendengar dariku keraguan dalam permasalahan bahwa Al-Bukhaariy mengatakan kalimat ini. Karena ayat ‘Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahmaan : 27), yang dimaksud wajah adalah kekuasan-Nya, maka ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim yang beriman. Dan aku katakan juga, seandainya perkataan ini memang ada wujudnya (dari Al-Bukhaariy), maka itu hanya ada di sebagian naskah/manuskrip saja. Maka jawabannya adalah sebagaimana yang telah lalu. Dan engkau – jazaakallaahu khairan– sekarang dengan perkataan yang engkau sebutkan tadi memperjelas bahwa Al-Bukhaariy tidak memiliki ta’wiil itu yang merupakan bentuk ta’thiil (peniadaan terhadap sifat Allah)” [sumber : http://www.alalbany.me/play.php?catsmktba=16460].
Berbeda dengan yang disebutkan di point/nomor 1, Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah memandang Al-Bukhaariy rahimahumallah merajihkan pendapat yang kedua sebagaimana yang dikatakan dalam Tafsiir-nya:
وقال مجاهد والثوري في قوله: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا ما أريد به وجهه، وحكاه البخاري في صحيحه كالمقرر له.
“Mujaahid dan Ats-Tsauriy berkata tentang firman-Nya : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashsash : 88)’, yaitu : kecuali apa yang diinginkan dengannya wajah-Nya. Al-Bukhaariy menghikayatkan dalam kitab Shahiih-nya seperti yang menjadi pendapatnya dalam tafsir ayat tersebut” [Tafsiir Ibni Katsiir, 6/261-262].
Ada kemungkinan naskah Shahiih Al-Bukhaariy yang dimaksud oleh Ibnu Katsiir tidak mencantumkan nukilan perkataan Ma’mar yang diriwayatkan oleh An-Nasafiy rahimahumullah, wallaahu a’lam.
3.    Apakah Al-Bukhaariy mengingkari sifat wajah dengan penakwilan tersebut (seandainya valid berasal darinya rahimahullah) ?
Jawabannya : Tidak.
Al-Bukhaariy rahimahullah di bagian akhir kitab Shahiih-nya menulis Kitab At-Tauhiid yang terbagi dalam beberapa bab yang isinya menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala, diantaranya :
Bab firman Allah : “Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaaul-Husna (nama-nama yang terbaik)” (QS. Al-Israa’ : 110) [Shahiih Al-Bukhaariy, 4/379] – yaitu untuk menetapkan sifat kasih sayang terhadap makhluk-Nya.
Bab firman Allah : “Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisaa’ : 134)” [idem, 4/381] – yaitu untuk menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Allah.
Bab firman Allah ta’ala : “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya” (QS. Aali ‘Imraan : 28) dan firman-Nya : “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu” (QS. Al-Maaidah : 116)” [idem, 4/384] – yaitu untuk menetapkan sifat nafsbagi Allah.
Bab firman Allah ‘azza wa jalla : “Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya” (QS. Al-Qashsash : 88) [idem, 4/384] – untuk menetapkan sifat wajah bagi Allah.
Bab firman Allah ta’ala : “dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku”(QS. Thaha : 39) dan firman-Nya jalla dzikruhu : “Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami” (QS. Al-Qamar : 14) [idem] – untuk menetapkan sifat mata bagi Allah.
Bab firman Allah ta’ala : “kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75) [idem] – untuk menetapkan sifat tangan bagi Allah.
Al-Bukhaariy rahimahullah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala tersebut sebagaimana dhahirnya.
Khusus untuk sifat wajah dalam Bab Firman Allah 'Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya' (QS. Al-Qashash : 88) di atas – sebagaimana pembahasan kita di sini - , Al-Bukhaariy setelah itu membawakan satu hadits yang menjadi dalil, yaitu:
[7406] حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: "لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: أَعُوذُ بِوَجْهِكَ، فَقَالَ: أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: أَعُوذُ بِوَجْهِكَ، قَالَ: أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: هَذَا أَيْسَرُ "
[7406] Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari ‘Amru, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Ketika turun ayat ‘Katakanlah: Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu dari atas kamu’ (QS. Al-An’aam : 65), maka Nabi bersabda : “Aku berlindung dengan wajah-Mu”. ‘Atau dari bawah kakimu’ (QS. Al-An’aam : 65), maka Nabi bersabda : “Aku berlindung dengan wajah-Mu”. ‘Atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan)’ (QS. Al-An’aam : 65), maka Nabi bersabda : “Ini lebih ringan/mudah” [selesai].
Ibnu Baththaal menjelaskan hadits yang dibawakan Al-Bukhaariy rahimahumallahtersebut dengan perkataannya:
استدلاله من هذه الآية والحديث على أن لله تعالى وجهًا هو صفة ذاته
Istidlaal-nya (Al-Bukhaariy) dengan ayat dan hadits ini bahwa Allah ta’ala mempunyai wajah, merupakan sifat Dzaat-Nya” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy, 20/74].
Jika wajah dalam ayat dan hadits di atas tidak menunjukkan sifat wajah bagi Allah ta’ala sebagaimana dhahirnya, niscaya Al-Bukhaariy rahimahullah tidak menyebutkannya dalam Kitaabut-Tauhiid.
Begitu juga saat Al-Bukhaariy menyebutkan Bab Firman Allah :
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ اللَّهُ
Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?". Katakanlah : “Allah”(QS. Al-An’aam : 19),
kemudian ia berkata:
فَسَمَّى اللَّهُ تَعَالَى نَفْسَهُ شَيْئًا، وَسَمَّى النَّبِيُّ ﷺ الْقُرْآنَ شَيْئًا وَهُوَ صِفَةٌ مِنْ صِفَاتِ اللَّهِ، وَقَالَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
“Allah ta’ala menamakan diri-Nya dengan ‘sesuatu’ (syai’ / شيء), dan begitu pula Nabi menamakan Al-Qur’an dengan ‘sesuatu’. Itu adalah sifat diantara sifat-sifat Allah. Allah berfirman : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya” (QS. Al-Qashsash : 88)” [Shahih Al-Bukhaariy, 4/387].
Al-Bukhaariy rahimahullah menamakan syai’ untuk wajah Allah, dan wajah merupakan sifat dzaatiyyah Allah yang ia perlakukan sebagaimana dhahirnya.
4.    Jika dikatakan makna ‘wajah-Nya’ adalah sebagaimana dhahirnya, bukan berarti hanya wajah Allah yang dikecualikan dari kebinasaan sementara sifat dzaatiyyah yang lain tidak – sebagaimana dipahami sebagian orang jaahil. Oleh karena itu, Ma’mar menafsirkan wajah-Nya dengan Allah ta’ala sendiri. Itulah yang dikenal dalam bahasa Arab sebagaimana dinukil oleh Ath-Thabariy dan Al-Farraa’ rahimahumallah.
Ibnu Hajar rahimahullah telahmenukil:
أَكْرَمَ اللَّه وَجْهك أَيْ أَكْرَمَك اللَّه
“Semoga Allah memuliakan wajahmu, maksudnya : semoga Allah memuliakanmu”.
5.    Ta’wiil Al-Bukhaariy dengan illaa mulkahu (kecuali kekuasaan/keagungan-Nya) tidaklah bertentangan dengan riwayat ulama lain yang mena’wilkan/menafsirkannya dengan diri Allah ta’ala.
Ibnul-Mandhuur rahimahullah berkata:
ومُلْكُ الله تعالى ومَلَكُوته سلطانه وعظمته
Mulkullaahi ta’ala wa malakuutuhu maknanya : kekuasaan dan keagungan-Nya” [Lisaanul-‘Arab, 10/491].
Al-Fairuuz Abaadiy rahimahullah berkata:
والمَلَكوتُ: العِزُّ والسلطانُ
Al-malakuutmaknanya kemuliaan dan kekuasaan” [Al-Qaamuus Al-Muhiith, hal. 1232].
Az-Zajjaajiy rahimahulah berkata:
فأما الملك؛ فتأويله : ذو الملك يوم الدين، ويوم الدين هو يوم الجزاء والحساب، فوصف الله نفسه جل وعز بأنه الملك يوم لا ملك سواه.....
“Adapun Al-Malik (Raja)[2], maka ta’wilnya adalah Yang memiliki kekuasaan pada hari kiamat (yaumud-diin), dan hari kiamat adalah hari pembalasan dan penghisaban. Allah mensifati diri-Nya jalla wa ‘azza bahwasannya Ia adalah Raja pada hari yang tidak ada raja selain-Nya…..” [Isytiqaaq Asmaaillaah, hal. 43].
Sifat ini serupa dengan yang ada dalam firman Allah ta’ala:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan[3]” [QS. Ar-Rahmaan : 26-27].
Ath-Thabariy rahimahullah berkata:
القول في الإبانة عن فناء الزمان والليل والنهار وأن لا شيء يبقى غير الله تعالى ذكره الدلالة على صحة ذلك قول الله تعالى ذكره: كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ { 26 } وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ { 27 }، وقوله تعالى: لا إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ
“Perkataan terkait penjelasan tentang kefanaan zaman, malam, dan siang, serta bahwasannya tidak ada sesuatupun yang kekal selain Allah ta’ala. Dan petunjuk yang membenarkan pernyataan itu adalah firman Allah ta’ala : ‘Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahmaan : 26-27). Dan juga firman-Nya ta’ala: ‘Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashash : 88)” [Taariikh Ath-Thabariy, 1/17].
Ath-Thabariy rahimahullah memahami wajah-Nya yang mempunyai keagungan dan kemuliaan serta kekal tidak akan binasa dalam dua ayat tersebut adalah Allah ta’ala.
Nabi  ketika selesai shalat fardlu biasa mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ
Ya Allah, Engkaulah As-Salaam (Keselamatan) dan darimulah keselamatan, Maha Suci Engkau wahai Sang Pemilik Keagungan dan Kemuliaan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 591].
Yang memiliki keagungan dan kemuliaan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah Allah ta’ala, dan sifat tersebut sama dengan yang disandarkan pada wajah-Nya dalam QS. Ar-Rahmaan ayat 27.
Sebagaimana diketahui bahwa petunjuk nama dan sifat Allah bisa didapatkan melalui muthaabaqah, tadlammun, dan iltizaam. Ketika Al-Bukhaariy rahimahullah menyebutkan mulkahu, maka itu muthaabaqahmenunjukkan Allah ta’ala yang memiliki kekuasaan/keagungan.
Tersisa pertanyaan, mengapa Al-Bukhaariy rahimahullah mengkhususkan sifat kekuasaan/keagungan Allah bukan selainnya. Kemungkinan jawabannya adalah bahwa dalam QS. Al-Qashash sebagian besarnya menceritakan tentang kesombongan dan kekufuran dua sosok manusia yang disebabkan oleh kekuasaan/keagungannya, yaitu Fir’aun dan Qaaruun – sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Munjid hafidhahullah[https://islamqa.info/ar/226876].
6.    Penetapan sifat wajah bagi Allah ta’ala merupakan madzhab salaf dari kalangan shahabat, taabi’iin, dan atbaa’ut-taabi’iin.
حَدَّثَنِي أَبِي، ثنا وَكِيعٌ، ثنا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ الْبَجَلِيِّ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: "لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ، قَالَ: الزِّيَادَةُ النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ تَعَالَى
Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari ‘Aamir bin Sa’d Al-Bajaliy, dari Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu tentang firman Allah ta’alaBagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus : 26); ia berkata : “Tambahannya (az-ziyaadah) maknanya adalah melihat wajah Allah ta’ala” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 471].
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَلْمَانَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْمَعْمَرِيُّ، حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: قَرَأَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، أَوْ قُرِئَتْ عِنْدَهُ "لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ "قَالُوا: وَمَا الزِّيَادَةُ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ؟ قَالَ: "النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sulaimaan : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Ma’mariy : Telah menceritakan kepada kami Suraij : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Zakariyyaa, dari ayahnya, dari Abu Ishaaq, dari ‘Aamir bin Sa’d, ia berkata : Abu Bakr Ash-Shiddiiq membaca, atau aku membaca di sampingnya ayat : ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus : 26); orang-orang bertanya : “Apakah maksud tambahan (dalam ayat tersebut) wahai khalifah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Melihat wajah Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy dalam Ar-Ru’yah hal. 289 no. 192; shahih].
Tentu tidak bisa kita memalingkan perkataan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu dalam penafsirannya itu dengan melihat kekuasaan/keagungan-Nya.
Hudzaifah bin Al-Yamaan, ‘Abdullah bin Mas’uud, ‘Abdullah bin ‘Abbaas, dan Abu Muusaa Al-Asy’ariy mengatakan hal semisal Abu Bakr radliyallaahu ‘anhum dalam menafsirkan ayat tersebut.[4]
‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu pernah berdoa:
وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ
“Dan aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1305-1306, Ahmad 4/264, dan yang lainnya; shahih].
Fadlaalah bin ‘Ubaid radliyallaahu ‘anhu juga pernah berdoa hal serupa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاءِ، وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَلَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ مِنْ غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ، وَلا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu keridlaan setelah qadla-Mu, dinginnya kehidupan setelah kematian, kelezatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy dalam Ar-Ru’yah hal. 296 no. 207; shahih].
Tentang firman Allah ta’ala :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat” [QS. Al-Qiyaamah : 22-23]
maka Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaaq bin Mandah rahimahullah (w. 395 H) berkata:
أَجْمَعَ أَهْلُ التَّأْوِيلِ كَابْنِ عَبَّاسٍ وَغَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمِنَ التَّابِعِينَ مُحَمَّدُ بْنُ كَعْبٍ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَابِطٍ، وَالْحَسَنُ بْنُ أَبِي الْحَسَنِ، وَعِكْرِمَةُ، وأَبُو صَالِحٍ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَغَيْرُهُمْ أَنَّ مَعْنَاهُ إلَى وَجْهِ رَبِّهَا نَاظِرَهٌ
“Para ulama ahli ta’wiil seperti Ibnu ‘Abbaas dan lainnya dari kalangan shahabat, dari kalangan taabi’iin diantaranya Muhammad bin Ka’b, ‘Abdurrahmaan bin Saaqith, Al-Hasan bin Abil-Hasan, ‘Ikrimah, Abu Shaalih, Sa’iid bin Jubair, dan yang lainnya telah bersepakat (ijmaa’) bahwa maknanya adalah hanya kepada wajah Tuhannya lah mereka melihat” [Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, hal. 101-102].
Salaf bersepakat tentang ‘aqidah bahwa orang-orang mukmin kelak akan melihat wajah Allah kelak di akhirat. Kesepakatan ini mengkonsekuensikan kesepakatan dalam penetapan sifat wajah bagi Allah ta’ala.
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah (w.324 H) menghikayatkan pokok ‘aqidah ahli hadits dan Ahlus-Sunnah:
جملة ما عليه أهل الحديث والسنة والاقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وما جاء من عند الله وما رواه الثقات عن رسول الله ﷺ............ وأن له وجها
“Pokok ‘aqidah yang diyakini ahli hadits dan Ahlus-Sunnah adalah : pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Allah, serta apa saja yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah ; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu…… dan bahwasannya Allah mempunyai wajah” [Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 290].
Tidak mungkin bagi Al-Bukhaariy menyelisihi mereka semua rahimahumullah.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 03032018].



[1]   Sebagaimana diketahui, Shahiih Al-Bukhaariy ini dibawakan dalam beberapa riwayat. Para periwayat kitab Shahiih Al-Bukhaariy dari Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy diantaranya adalah:
a.    Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yuusuf bin Mathar bin Shaalih bin Basyar Al-Farabriy (w. 320 H).
Para ulama yang meriwayatkan Shahiih Al-Bukhaariy darinya antara lain : Abu Ishaaq Ibraahiim bin Ahmad bin Ibraahiim Al-Balkhiy Al-Mustamiliy (w. 376 H), Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Hammuuyah bin Yuusuf Al-Hammuuyiy, khathiib negeri Sarkhas (w. 381 H), Abul-Haitsam Muhammad bin Makkiy bin Muhammad bin Makkiy Al-Kasymiihaniy (w. 389 H), dan yang lainnya.
b.    Al-Qaadliy Abu Ishaaq Ibraahiim bin Ma’qil bin Al-Hajjaaj An-Nasafiy (w. 295 H).
c.     Abu Muhammad Hammaad bin Syaakir bin Sawiyyah An-Nasafiy (w. 311 H).
d.    Abu Thalhah Manshuur bin Muhammad bin ‘Aliy bin Qariinah bin Sawiyyah Al-Bazdiy/Al-Bazdawiy An-Nasafiy (w. 319 H).
e.    Al-Qaadliy Abu ‘Abdillah Al-Husain bin Ismaa’iil Al-Mahaamiliy (w. 330 H).
f.     Dan lain-lain.
[2]   Az-Zajjaajiy rahimahullah sedang menjelaskan QS. Al-Faatihah ayat 4 yang dibaca:
مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ
 Raja di hari pembalasan”.
[3]   Ad-Daarimiy rahimahullah berkata:
وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ: كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ نَفْسُهُ الَّذِي هُوَ أَحْسَنُ الْوُجُوهِ، وَأَجْمَلُ الْوُجُوهِ، وَأَنْوَرُ الْوُجُوهِ، الْمَوْصُوفُ بِذِي الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، الَّذِي لَا يَسْتَحِقُّ هَذِهِ الصِّفَةَ غَيْرُ وَجْهِهِ
“Begitu pula dengan firman-Nya : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashsash : 88), yaitu wajah-Nya yang merupakan wajah paling baik, paling indah, dan paling bercahaya. Yang disifati dengan memiliki keagungan dan kemuliaan, dimana tidak ada yang layak terhadap sifat ini kecuali Wajah-Nya” [Naqdu ‘Utsmaan bin Sa’iid ‘alal-Mariisiy, hal. 420].
Ibnu Khuzaimah rahimahullah juga mengatakan hal yang semisal. Ia bahkan membantah sebagian orang jahil dari kalangan Jahmiyyah yang mengatakan pensifatan dzul-jalaali wal-ikraam (yang mempunyai keagungan dan kemuliaan) adalah Allah, bukan wajah-Nya. Jika dua sifat ini kembali pada Rabb/Allah yang dalam ayat tersebut majruur, maka bacaannya juga akan mengikuti menjadi dzil-jalaali wal-ikraam (ذي الجلال والإكرام). Akan tetapi bacaan dalam QS. Ar-Rahmaan ayat 27 adalah dzul-jalaali wal-ikraam (ذُو الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ), sehingga itu kembali pada ‘wajah’ yang marfuu’ [At-Tauhiid, 1/51-52].

Ghouta - Damaskus

$
0
0

Dari Abud-Dardaa’ radliyallaahu ‘anhu:
أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِنَّ فُسْطَاطَ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ بِالْغُوطَةِ إِلَى جَانِبِ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ
Bahwasannya Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya tempat berkumpulnya kaum muslimin pada hari pertempuran besar ada di Ghuuthah, daerah yang berada di pinggir kota yang disebut Damaskus, salah satu diantara kota paling baik di negeri Syaam”.

Diriwayatkan oleh Abu Daawud[1]no. 4298, Ahmad[2]5/197 no. 21725, Al-Fasawiy[3]dalam Al-Ma’rifah 2/290, Al-Bazzaar[4]dalam Al-Bahruz-Zakhkhaar 10/63-64 no. 4127, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin[5]1/335 no. 589 dan dalam Al-Ausath[6]3/296 no. 3205, Ibnu ‘Asaakir[7]dalam Taariikh Dimasyaq 1/231-233; dari jalan Yahyaa bin Hamzah, dari ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Jaabir, dari Zaid bin Arthaah, dari Jubair bin Nufair, dari Abud-Dardaa’, dari Nabi .
Yahyaa bin Hamzah mempunyai mutaba’ah dari Shadaqah bin Khaalid: sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 1/233 dari dua jalan, yaitu :
a.    Diriwayatkan Ibnu ‘Asaakir[8]dalam Taariikh Dimasyq 1/233 dari jalan Abu Mus-hir ‘Abdul-A’laa bin Mus-hir, dari Shadaqah, dari ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir, dari Zaid bin Arthaah, dari Jubair bin Nufair, dari Abud-Dardaa’, dari Nabi (marfuu’).
b.    Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir[9]dalam Taariikh Dimasyq 1/233 dan Adz-Dzahabiy[10]dalam Mu’jamusy-Syuyuukh Al-Kabiir hal. 119 dari jalan Hisyaam bin ‘Ammaar, dari Shadaqah, dari ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir, dari Zaid bin Arthaah, dari Jubair bin Nufair, dari Nabi secara mursal.
Dari dua jalan ini, sanad yang marfuu’ lebih kuat karena Abu Mus-hir seorang yang tsiqah dan lebih kuat dari pada Hisyaam bin ‘Ammaar yang berubah hapalannya di akhir usianya.
‘Abdurrahmaan bin Yaziid mempunyai mutaba’ah dari Khaalid bin Dihqaan sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy[11]dalam Asy-Syaamiyyiin 2/266-267 no. 1313, Al-Haakim[12]dalam Al-Mustadrak 4/486, dan Ibnu ‘Asaakir[13]dalam Taariikh Dimasyq 1/230-231.
Sanad riwayat ini shahih.
Zaid bin Arthaah adalah seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (ahli ibadah), termasuk thabaqah ke-5 [Taqriibut-Tahdziib, hal. 350 no. 2127]. Jubair bin Nufair Al-Hadlramiy, Abu ‘Abdirrahmaan/Abu ‘Abdillah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yangtsiqahlagijaliil. Termasukthabaqah ke-2, meninggal tahun 80 H, atau dikatakan setelahnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 195 no. 912]. Adapun Abud-Dardaa’, namanya ‘Uwaimir bin Zaid bin Qais Al-Anshaariy, Abud-Dardaa’ Al-Khazrajiy; seorang shahabat yang mulia yang meninggal tahun 32 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 759 no. 5263].
Abud-Dardaa’ mempunyai syawaahid sebagai berikut:
1.    ‘Auf bin Maalik Al-Asyja’iy radliyallaahu ‘anhu
Diriwayatkan oleh Ahmad[14]6/25, Al-Bazzaar[15]dalam Al-Bahruz-Zakhkhaar 7/176-177 no. 2742, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin[16]2/69-70 no. 93 dan dalam Al-Kabiir[17]18/42 no. 72, Nu’aim bin Hammaad[18]dalam Al-Fitan no. 71, Ibnu Basyraan[19]dalam Al-Amaaliy 1/57 & 364, Ad-Daaniy[20]dalam As-Sunan Al-Waaridah fil-Fitan no. 428, dan Ibnu ‘Asaakir[21]dalam Taariikh Dimasyq 1/233-235; semuanya dari jalan Shafwaan bin ‘Amru, dari ‘Abdurrahmaan bin Jubair bin Nufair, dari ayahnya, dari Abu Maalik Al-Asyja’iy, dari Nabi , beliau bersabda :
....... هُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الْأَصْفَرِ فَيَسِيرُونَ إِلَيْكُمْ عَلَى ثَمَانِينَ غَايَةً "، قُلْتُ: وَمَا الْغَايَةُ؟ قَالَ: "الرَّايَةُ، تَحْتَ كُلِّ رَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا، فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ فِي أَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُفِي مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ
“…….dan perjanjian yang terjadi antara kalian dan Bani Ashfar. Mereka berjalan mendatangi kalian dalam delapan puluh ghayah”. Aku bertanya : “Apa itu ghayah?”. Beliau menjawab : “Bendera, di bawah setiap bendera ada dua belas ribu pasukan. Tempat berkumpulnya kaum Muslimin pada waktu itu berada daerah Ghuuthah yang berada di kota yang disebut Damaskus” [lafadh milik Ahmad].
Dhahir sanad ini shahih, namun ma’lul (sehingga lemah).
Jubair bin Nufair menyendiri dalam tambahan lafadh : ‘Tempat berkumpulnya kaum Muslimin pada waktu itu berada daerah Ghuuthah yang berada di kota yang disebut Damaskus’. Ia telah diselisihi oleh banyak perawi yang meriwayatkan dari Abu Maalik Al-Asyja’iy tanpa ada tambahan lafadh tersebut, diantaranya : Abu Idriis Al-Khaulaaniy (tsiqah), Hisyaam bin Yuusuf (tsiqah), ‘Abdul-Hamiid bin ‘Abdirrahmaan bin Zaid (tsiqah), Asy-Sya’biy (tsiqah), Ishaaq bin ‘Abdillah (tsiqah), Dlamrah bin Habiib (tsiqah), Syadaad bin ‘Abdillah Abu ‘Ammaar (tsiqah), Ya’laa bin ‘Athaa’ (tsiqah), Muhammad bin Abi Muhammad, dan ‘Abdullah Ad-Dailamiy.
Dikuatkan lagi bahwa Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin[22]1/456-457 no. 807 & Al-Kabiir[23]18/41-42 no. 71 dan Ibnu Mandah[24]dalam Al-Iimaan 2/893-894 meriwayatkan dari Mak-huul, dari Khaalid bin Ma’dan, dari Jubair bin Nufair, dari ‘Auf bin Maalik Al-Asyja’iy secara marfuu’4/349-350 no. 3527 tanpa ada tambahan lafadh tersebut.
Diriwayatkan juga tanpa tambahan lafadh oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin[25]4/349-350 no. 3527 dan dalam Al-Ausath[26]no. 58 dari jalan Mak-huul dari Jubair bin Nufair – tanpa menyebutkan Khaalid bin Ma’daan; dan telah dikenal Makhuul adalah perawi yang banyak melakukan irsaal. Diriwayatkan juga oleh Nu’aim bin Hammaad[27]dalam Al-Fitan no. 72 dari jalan Mak-huul dari ‘Auf bin Maalik tanpa menyebutkan Khaalid bin Ma’dan dan Jubair bin Nufair – dengan sanad lemah.
Oleh karena itu, kemungkinan kekeliruan ini berasal dari ‘Abdurrahmaan bin Jubair atau Shafwaan bin ‘Amru.
2.    Abu Umaamah Al-Baahiliy radliyallaahu ‘anhu
Diriwayatkan oleh Tamaam Ar-Raaziy[28]dalam Al-Fawaaid no. 989 dan Ibnu ‘Asaakir[29]dalam Taariikh Dimasyq 1/203 & 50/261 semuanya dari jalan Ismaa’iil bin Muhammad bin Ishaaq Al-‘Udzriy, dari Sulaimaan bin ‘Abdirrahmaan, dari Maslamah bin ‘Aliy, dari Abu Sa’iid Al-Asadiy, dari Sulaim bin ‘Aamir, dari Abu Umaamah, dari Nabi .
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir[30]dalam Taariikh Dimasyq 50/261 dari jalan Ismaa’iil seperti d atas, namun tanpa menyebutkan Abu Sa’iid Al-Asadiy.
Sanad riwayat ini sangat lemah karena Maslamah bin ‘Aliy bin Khalaf Al-Khusyaniy, Abu Sa’iid Ad-Dimasyqiy Al-Balaathiy; seorang perawi yang matruuk [Taqriibut-Tahdziib, hal. 943 no. 6706].
3.    Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir[31] dalam Taariikh Dimasyq 1/238-239 dari dua jalan, yaitu dari Mak-huul dan Abu Maalik Al-Asy’ariy, keduanya dari Mu’aadz bin Jabal, dari Nabi .
Jalan Mak-huul lemah karena mursal. Mak-huul tidak pernah bertemu Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu. Adapun jalan Abu Maalik Al-Asy’ariy sangat lemah dengan sebab ‘Amru bin Waaqid Al-Qurasyiy, Abu Hafsh Ad-Dimasyqiy; seorang yang matruuk [Taqriibut-Tahdziib, hal. 748 no. 5167].
4.    Sahabat Nabi (mubham)
Diriwayatkan oleh Ahmad[32]4/160 & 5/270, Nu’aim bin Hammaad[33] dalam Al-Fitan no. 728, dan Ibnu ‘Asaakir[34] dalam Taariikh Dimasyq 1/236 dari beberapa jalan, semuanya dari Abu Bakr bin Abi Maryam, dari ‘Abdurrahmaan bin Jubair bin Nufair, dari ayahnya, dari salah seorang shahabat Nabi atau para sahabat Nabi dari Nabi dengan lafadh:
سَتُفْتَحُ عَلَيْكُمْ الشَّامُ، فَإِذَا خُيِّرْتُمْ الْمَنَازِلَ فِيهَا، فَعَلَيْكُمْ بِمَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ، فَإِنَّهَا مَعْقِلُ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الْمَلَاحِمِ، وَفُسْطَاطُهَا مِنْهَا بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُ
Akan dibukakan/dimenangkan untuk kalian negeri Syaam. Apabila kalian diberikan kebebasan untuk memilih tempat tinggal, maka tinggallah di negeri yang disebut Damaskus. Karena itu adalah benteng kaum muslimin dari peperangan besar/dahsyat. Dan tempat berkumpulnya (kaum muslimin) ada di daerah yang disebut Ghuuthah” [lafadh milik Ahmad].
Diriwayatkan secara mursal oleh Al-Umawiy[35]dalam Al-Masyyakhah Al-Baghdaadiyyah hal. 245, Ibnu ‘Asaakir[36]dalam Taariikh Dimasyq 1/237; dari jalan Abu Bakr dari ‘Abdurrahmaan bin Jubair bin Nufair, dari ayahnya, dari Rasulullah .
Diriwayatkan secara mauquuf oleh Ibnus-Sam’aaniy[37] dalam Fadlaailusy-Syaam hal. 49-50,Ibnu ‘Asaakir[38]dalam Taariikh Dimasyq 1/236 dari jalan Abu Bakr bin Abi Maryam, dari ‘Abdurrahmaan bin Jubair bin Nufair, dari ayahnya, dari salah seorang shahabat Nabi (mubham).
Poros perselisihan sanad ini ada pada Abu Bakr bin Abi Maryam. Namanya adalah Abu Bakr bin ‘Abdillah bin Abi Maryam Al-Ghassaaniy Asy-Syaamiy – dikatakan namanya adalah Bukair/’Abdis-Salaam; seorang yang dla’iif, dimana dulu rumahnya pernah dicuri sehingga hapalannya tercampur [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1116 no. 8031].
5.    Mursal Mak-huul Asy-Syaamiy dari Nabi .
Diriwayatkan oleh Abu Daawud[39]no. 4640, Ad-Daaniy dalam  dan Ibnu ‘Asaakir[40]dalam Taariikh Dimasyq 1/238; dari jalan Burd Abul-‘Alaa’ dan Sa’iid bin ‘Abdil-‘Aziiz, keduanya dari Mak-huul, dari Rasulullah dengan lafadh:
مَوْضِعُ فُسْطَاطِ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمَلَاحِمِ: أَرْضٌ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ
Tempat berkumpulnya kaum muslimin di pertempuran besar nanti ada di bumi/negeri yang disebut Ghuuthah” [lafadh milik Abu Daawud].
Jalan Sa’iid sangat lemah karena Abu ‘Aliy Al-Hasan bin ‘Aliy bin Ibraahiim Al-Muqri’, seorang yang dituduh berdusta [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 18/13-18]. Adapun jalan Burd Abul-‘Alaa’, juga lemah karena faktor Hammaad bin Salamah, seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (ahli ibadah) namun berubah hapalannya di akhir usianya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 268-269 no. 1507]. Perawi yang meriwayatkan darinya di sini adalah adalah Muusaa bin Ismaa’iil, sementara tidak diketahui haditsnya ini ia peroleh dari Hammaad sebelum atau setelah masa ikhtilaath-nya.
6.    Mursal Jubair bin Nufair dari Nabi :
Diriwayatkan oleh Ahmad[41]dalam Fadlaailush-Shahaabah hal. 1138 no. 1712 dan Ibnu ‘Asaakir[42]dalam Taariikh Dimasyq 1/237; dari jalan Muhammad bin Raasyid, dari Mak-huul, dari Jubair bin Nufair, dari Nabi dengan lafadh:
فُسْطَاطُ الْمُؤْمِنِينَ فِي الْمَلْحَمَةِ، الْغُوطَةُ مَدِينَةٌ، يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ هِيَ خَيْرُ مَدَائِنِ الشَّامِ
Tempat berkumpulnya orang-orang beriman di pertempuran besar adalah Ghuuthah, kota yang disebut Damaskus yang merupakan sebaik-baik kota di negeri Syaam”.
Sanad riwayat ini mursal shahih.
Muhammad bin Raasyid Al-Mak-huuliy Al-Khuzaa’iy; seorang yang tsiqah, namun ia dikritik karena pandangan keagamaannya[Taqriibut-Tahdziib hal. 844 no. 5912, Al-Kaasyif 2/170 no. 4842, dan Tahriirut-Taqriib 3/240-241 no. 5875]. Mak-huul Asy-Syaamiy, Abu ‘Abdillah Ad-Dimasyqiy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah lagifaqiih, namun banyak melakukan irsaal [Taqriibut-Tahdziib, hal. 969 no. 6923].
7.    Mursal ‘Aliy Zainal‘Aabidin dari Nabi .
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir[43] dalam Taariikh Dimasyq 1/239.
8.    Mu’dlal Hassaan bin ‘Athiyyah dari Nabi .
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir[44] dalam Taariikh Dimasyq 1/240-241.
Kesimpulan:
Hadits tentang peperangan besar di negeri Syaam dan keutamaannya, terutama Damaskus dan Ghuuthah adalah shahih. Yahyaa bin Ma’iin ketika disebutkan di sisinya hadits tentang peperangan peperangan dahsyat di Ruum (Romawi), ia berkata : “Tidak ada yang lebih shahih hadits orang-orang Syaam daripada hadits Shadaqah bin Khaalid, dari Nabi Nabi : ‘Benteng kaum muslimin pada hari-hari peperangan dahsyat/besar adalah Damaskus” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq, 1/231].
Dishahihkan oleh Al-Haafidh Ibnu Mandah dan Al-Haakim rahimahumallah.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menshahihkannya di Takhriij Ahaadiitsi Fadlaailisy-Syaam wa Dimasyq hal. 38-39.
Wallaahu a’lam.
Semoga Allah memberikan pertolongan kepada kaum muslimin di negeri Syaam dan yang lainnya dari kedhaliman orang-orang kafir. Dan semoga Allah menyegerakan kehancuran dan kehinaan mereka (orang-orang kafir)….
[abul-jauzaa’ – rnn – 04032018].



[1]   Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ، حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ، حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْطَاةَ، قَالَ: سَمِعْتُ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "إِنَّ فُسْطَاطَ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ بِالْغُوطَةِ إِلَى جَانِبِ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ "
[2]   Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْطَاةَ، قَالَ: سَمِعْتُ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ الْغُوطَةُ، إِلَى جَانِبِ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ
[3]   Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ،قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْطَأَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ الْحَضْرَمِيَّ، يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ بِالْغَوْطَةِإِلَى جَانِبِ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقَ مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ "
[4]   Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ، قَالَ: نا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، قَالَ: نا يَحْيَى ابْنُ حَمْزَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْطَاةَ، قَالَ: سَمِعْتُ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ، ﷺ: فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ بِالْغُوطَةِالَّتِي جَانِبَ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ.
وَهَذَا الْحَدِيثُ قَدْ رُوِيَ نَحْوُ كَلامِهِ عَنِ النَّبِيِّ، ﷺ مِنْ غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ، فَذَكَرْنَا حَدِيثَ أَبِي الدَّرْدَاءِ ؛ لِحُسْنِ إِسْنَادِهِ، وَلَمْ نَعُدَّهُ عَنْ غَيْرِهِ، إِلا أَنْ يَزِيدَ كَلامِا فَيُكْتَبَ مِنْ أَجْلِ الزِّيَادَةِ
[5]   Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمُعَلَّى الدِّمَشْقِيُّ، ثنا هِشَامُ، ح
وَحَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ سَهْلٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالا: ثنا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْطَاةَ، قَالَ: سَمِعْتُ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ الْحَضْرَمِيَّ يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ، إِلَى جَانِبِ مَدِينَةٍ، يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ "
[6]   Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا بَكْرٌ، قَالَ: نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: نا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْطَاةَ، قَالَ: سَمِعْتُ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ إِلَى جَانِبِ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ، مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ "
لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْطَاةَ إِلا ابْنُ جَابِر
[7]   Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أخبرنا به أبو علي الحسن بن أحمد الحداد في كتابه وحدثني أبو سعد الاصبهاني عنه أنا أبو القاسم بن أبي بكر بن أبي علي أنا عبد الله بن محمد بن جعفر أنا حامد بن شعيب نا منصور بن أبي مزاحم نا يحيى بن حمزةعن عبد الرحمن بن يزيد بن جابر عن زيد بن أرطأة قال سمعت جبير بن نفير يحدث عن أبي الدرداء عن النبي ﷺ نحو حديث قبله يوم الملحمة الكبرى فسطاط المؤمنين بالغوطةمدينة يقال لها دمشق من خير مدائن الشام
وهكذا رواه محمد بن المبارك الصوري وعبد الله بن يوسف الدمشقي نزيل تنيس وهشام بن عمار وأما حديث محمد:
فَأَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ السَّمَرْقَنْدِيِّ، أَنْبَأَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَحْمَدَ الْكَتَّانِيُّ، أَنْبَأَنَا تَمَّامُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّازِيُّ، وَأَبُو مُحَمَّدِ ابْنُ أَبِي نَصْرٍ، وَأَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَطَّانُ، وَأَبُو نَصْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ هَارُونَ بْنِ الْجَنَدِيِّ، وَأَبُو الْقَاسِمِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي الْعَقَبِ.ح.
وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مَنْصُورٍ الْغَسَّانِيُّ، أنا أَبِي الْفَقِيهُ أَبُو الْعَبَّاسِ، أنا أَبُو مُحَمَّدِ ابْنُ أَبِي نَصْرٍ، قَالُوا: أنا أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ أَبِي الْعَقَبِ، أَنْبَأَنَا أَبُو زُرْعَةَ، أَنْبَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُبَارَكِ الصُّورِيُّ، أَنْبَأَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ،عَنِ ابْنِ جَابِرٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْطَأَةَ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ بِالْغُوطَةِإِلَى جَانِبِ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ "
وأما حديث عبد الله بن يوسف : فَأَخْبَرَنَاهُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ الْفُرَاوِيُّ، أنا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ الْبَيْهَقِيُّ.ح
وَأَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ السَّمَرْقَنْدِيِّ، أنا أَبُو بَكْرِ ابْنُ أَبِي الْقَاسِمِ، قالا: أنا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ الْفَضْلِ الْقَطَّانُ، بِبَغْدَادَ، أنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرِ بْنِ دَرَسْتُوَيْهِ، أَنْبَأَنَا يَعْقُوبُ بْنُ سُفْيَانَ، أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَنْبَأَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ،عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْطَأَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ الْحَضْرَمِيَّ يُحَدِّثُنَا، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ بِالْغُوطَةِإِلَى جَانِبِ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ "
وأما حديث هشام : فَأَخْبَرَنَاهُ أَبُو عَلِيٍّ الْحَدَّادُ فِي كِتَابِهِ، وَحَدَّثَنِي عَنْهُ أَبُو مَسْعُودٍ الأَصْبَهَانِيُّ، أَنْبَأَنَا أَبُو نُعَيْمٍ الْحَافِظُ، أَنْبَأَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ الطَّبَرَانِيُّ، أَنْبَأَنَا أَحْمَدْ بْنُ الْمُعَلَّى الدِّمَشْقِيُّ، أَنْبَأَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، ح.
قَالَ: وَنا بَكْرُ بْنُ سَهْلٍ، أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قالا: أَنْبَأَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْطَأَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ الْحَضْرَمِيَّ يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ إِلَى جَانِبِ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ ".
[8]   Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
فَأَخْبَرَنَاهُ أَبُو بَكْرٍ وَجِيهُ بْنُ طَاهِرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الشَّحَّامِيُّ، بِنَيْسَابُورَ، أنا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ، أنا الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ، أنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ حَمْدُونٍ، أَنْبَأَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ، أَنْبَأَنَا أَبُو مُسْهِرٍ، أَنْبَأَنَا صَدَقَةُ، أَنْبَأَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْطَأَةَ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ الْعُظْمَى فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ، فِيهَا مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، خَيْرُ مَنَازِلِ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ
[9]   Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
فَأَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ الْمُسْلِمِ الْفَقِيهُ بِدِمَشْقَ، وَأَبُو الْقَاسِمِ إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ السَّمَرْقَنْدِيِّ، بِبَغْدَادَ، قالا: أَنْبَأَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَحْمَدَ التَّمِيمِيُّ، أنا أَبُو مُحَمَّدِ ابْنُ أَبِي نَصْرٍ، أنا أَحْمَدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، أَنْبَأَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، أَنْبَأَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، أَنْبَأَنَا ابْنُ جَابِرٍ، حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْطَأَةَ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ الْحَضْرَمِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ الْكُبْرَى بِالْغُوطَةِعِنْدَ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، هِيَ خَيْرُ مَنَازِلِ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ ".
وَلَمْ يَقُلِ الْفَقِيهُ: هِيَ
[10]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَتْنَا أَمَةُ الرَّحِيمِ بِنْتُ مُحَمَّدٍ، وَابْنُ أَبِي الْفَتْحِ، وَعَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ حَاتِمٍ، قَالُوا: أنا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي الْحُسَيْنِ، أنا أَبُو طَاهِرٍ الْخُشُوعِيُّ، أنا عَلِيُّ بْنُ الْمُسْلِمِ الْفَقِيهُ، ثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَحْمَدَ التَّمِيمِيُّ، أنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُثْمَانَ، سَنَةَ أَرْبَعَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعِ مِائَةٍ، أنا أَحْمَدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْكِنْدِيُّ، ثنا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، نا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، نا ابْنُ جَابِرٍ، حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْطَأَةَ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ الْكُبْرَى بِالْغَوْطَةِعِنْدَ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، هِيَ خَيْرُ مَنَازِلِ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ ".
هَذَا حَدِيثٌ مُرْسَلٌ جَيِّد
[11]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو الدِّمَشْقِيُّ، ثَنَا أَبُو مُسْهِرٍ عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ مُسْهِرٍ. (ح)
وَحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمُعَلَّى الدِّمَشْقِيُّ، ثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، قَالا: ثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ دِهْقَانٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْطَاةَ، عَنْ جُبَيْرٍ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "يَوْمُ الْمَلْحَمَةِ الْكُبْرَى بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُ، فِيهَا مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ، فَهِيَ خَيْرُ مَسَاكِنِ النَّاسِ يَوْمَئِذٍ "
[12]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَنِي أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَمَةَ الْعَنَزِيُّ، ثَنَا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَهْبٍ الدِّمَشْقِيُّ، ثَنَا صَدَقَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ دِهْقَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ زَيْدَ بْنَ أَرْطَأَةَ الْفَزَارِيَّ، يَقُولُ: إِنَّهُ سَمِعَ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ الْحَضْرَمِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: إِنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: "يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ الْكُبْرَى فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ، بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُ، فِيهَا مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ، خَيْرُ مَنَازِلِ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ".
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ، وَلَمْ يُخْرِجَاهُ
[13]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ الْمُسْلِمِ السُّلَمِيُّ الْفَقِيهُ، أَنْبَأَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَحْمَدَ التَّمِيمِيُّ، أنا تَمَّامُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّازِيُّ، حَدَّثَنِي أَبُو زُرْعَةَ مُحَمَّدٌ، وَأَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ، أَنْبَأَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي دُجَانَةَ، قالا: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ دُحَيْمٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، ثنا صَدَقَةُ.ح
وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ بْنِ أَبِي الْحَدِيدِ، أنا جَدِّي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، أنا أَبُو الْمُعَمَّرِ الْمُسَدَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْحِمْصِيُّ.ح
وَأَنْبَأَنَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ الْحُسَيْنِ الْمَوَازِينِيُّ، وَأَبُو طَاهِرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحِمَّانِيِّ، قالا: أنا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ السَّلامِ الْمَعْرُوفُ بِابْنِ سَعْدَانَ، قالا: أنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ يُوسُفَ الرَّبَعِيُّ، أَنْبَأَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَامِرِ بْنِ الْمُعَمَّرِ الأَزْدِيُّ.ح
وَقَرَأْتُ عَلَى أَبِي الْقَاسِمِ زَاهِرِ بْنِ طَاهِرٍ الشَّحَّامِيِّ، عَنْ أَبِي سَعْدٍ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْجَنْزَرُودِيِّ، أنا الْحَاكِمُ أَبُو أَحْمَدَ الْحَافِظُ، أَنْبَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمَانَ، قالا: أَنْبَأَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، أَنْبَأَنَا صَدَقَةُ، زَادَ الرَّبَعِيُّ: ابْنُ خَالِدٍ، أَنْبَأَنَا خَالِدُ بْنُ دِهْقَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ يَزِيدَ بْنَ أَرْطَأَةَ، زَادَ زَاهِرٌ: الْفَزَارِيُّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ الْحَضْرَمِيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ الْكُبْرَى فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ، فِيهَا مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، خَيْرُ مَنَازِلِ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ ".
أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْمَغْرِبِيُّ فِي كِتَابِهِ، ثُمَّ حَدَّثَنِي أَبُو مَسْعُودٍ الْعَدْلُ، عَنْهُ، أنا أَبُو نُعَيْمٍ الْحَافِظُ، أَنْبَأَنَا أَبُو الْقَاسِمِ سليمان بْنُ أَحْمَدَ الطَّبَرَانِيُّ، أَنْبَأَنَا أَبُو زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ، أَنْبَأَنَا أَبُومُسْهِرٍ.ح.
قَالَ: وَنا سُلَيْمَانُ، قَالَ: وَنا أَحْمَدُ بْنُ الْمُعَلَّى، أَنْبَأَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، قالا: أَنْبَأَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ دِهْقَانَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْطَأَةَ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ الْكُبْرَى بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُ، فِيهَا مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، فَهِيَ خَيْرُ مَسَاكِنِ النَّاسِ يَوْمَئِذٍ "
[14]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، قَالَ: حَدَّثَنَا صَفْوَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: "عَوْفٌ؟ ": فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ: "ادْخُلْ "، قَالَ: قُلْتُ: كُلِّي أَوْ بَعْضِي؟ قَالَ: "بَلْ كُلُّكَ "، قَالَ: "اعْدُدْ يا عوف سِتًّا بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ: أَوَّلُهُنَّ مَوْتِي "، قَالَ: فَاسْتَبْكَيْتُ حَتَّى جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُسْكِتُنِي، قَالَ: قُلْتُ: إِحْدَى "وَالثَّانِيَةُ فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ "، قُلْتُ: اثْنَيْنِ "وَالثَّالِثَةُ مُوتَانٌ يَكُونُ فِي أُمَّتِي يَأْخُذُهُمْ مِثْلَ قُعَاصِ الْغَنَمِ، قُلْ: ثَلَاثًا "وَالرَّابِعَةُ فِتْنَةٌ تَكُونُ فِي أُمَّتِي وَعَظَّمَهَا، قُلْ: أَرْبَعًا، وَالْخَامِسَةُ يَفِيضُ الْمَالُ فِيكُمْ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيُعْطَى الْمِائَةَ دِينَارٍ فَيَتَسَخَّطُهَا، قُلْ: خَمْسًا، وَالسَّادِسَةُ هُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الْأَصْفَرِ فَيَسِيرُونَ إِلَيْكُمْ عَلَى ثَمَانِينَ غَايَةً "، قُلْتُ: وَمَا الْغَايَةُ؟ قَالَ: "الرَّايَةُ، تَحْتَ كُلِّ رَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا، فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ فِي أَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُفِي مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ
[15]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيٍّ، قَالَ: أَنْبَأَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ الْحَجَّاجِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: "عَوْفٌ؟، قُلْتُ: نَعَمْ، قُلْتُ: أَأَدْخُلُ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: كُلِّي أَوْ بَعْضِي؟، قَالَ: كُلُّكَ، ثُمَّ قَالَ: اعْدُدْ يَا عَوْفُ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ أَوَّلُهُنَّ مَوْتَى، قَالَ: فَبَكَيْتُ حَتَّى جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُسْكِتُنِي وَاحِدَةً، وَالثَّانِيَةُ: فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ اثْنَتَيْنِ، وَالثَّالِثَةُ مَوَتَانٌ يَكُونُ فِي أُمَّتِي يَأْخُذُهُمْ كَقُعَاصِ الْغَنَمِ ثَلاثًا، وَالرَّابِعَةُ: فِتْنَةٌ تَكُونُ فِي أُمَّتِي، أَرْبَعًا قُلْتُ: أَرْبَعًا، وَالْخَامِسَةُ: يَفِيضُ الْمَالُ وَيَكْثُرُ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيُعْطِي الْمِائَةَ فَيَتَسَخَّطُهَا خَمْسًا، وَالسَّادِسَةُ هُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ فَيَجْمَعُونَ لَكُمْ عَلَى ثَمَانِينَ غَايَةً، قُلْتُ: مَا الْغَايَةُ؟، قَالَ: الرَّايَةُ، تَحْتَ كُلِّ رَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا، فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ بِمَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُفِي مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ "
[16]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ بْنِ نَجْدَةَ، ثَنَا أَبِي.ح وَحَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ، قَالَ: ثَنَا أَبُو الْيَمَانِ الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، قَالا: ثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ،عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لِي: "يَا عَوْفُ "، قُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ لِي: "ادْخُلْ "، فَقُلْتُ: أَكُلِّي أَوْ بَعْضِي؟، قَالَ: "بَلْ كُلُّكَ "، فَقَالَ: "يَا عَوْفُ اعْدُدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ أَوَّلُهُنَّ مَوْتِي "، فَاسْتَبْكَيْتُ حَتَّى جَعَلَ يُسْكِتُنِي، ثُمَّ قَالَ لِي: "قُلْ إِحْدَى "، فَقُلْتُ: إِحْدَى، قَالَ: "وَالثَّانِيَةُ فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، قُلْ ثِنْتَانِ "، فَقُلْتُ: ثِنْتَانِ، فَقَالَ: "وَالثَّالِثَةُ مَوْتَانٌ تَكُونُ فِي أُمَّتِي تَأْخُذُهُمْ مِثْلَ قُعَاصِ الْغَنَمِ، قُلْ ثَلاثٌ "، فَقُلْتُ: ثَلاثٌ، فَقَالَ: "وَالرَّابِعَةُ فِتْنَةٌ تَكُونُ فِي أُمَّتِي "وَعَظَّمَهَا، ثُمَّ قَالَ: "قُلْ أَرْبَعٌ "، فَقُلْتُ: أَرْبَعٌ، قَالَ: "وَالْخَامِسَةُ يُفِيضُ فِيكُمُ الْمَالُ، حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيُعْطَى الْمِئَةَ دِينَارٍ فَيَسْخَطُهَا، قُلْ خَمْسٌ "، فَقُلْتُ: خَمْسٌ، قَالَ: "وَالسَّادِسَةُ هُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ، وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ فَيَسِيرُونَ إِلَيْكُمْ عَلَى ثَمَانِينَ غَايَةٍ تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا، فَفُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ فِي أَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُفِي مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ "
[17]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ بْنِ نَجْدَةَ الْحَوْطِيُّ، ثنا أَبُو الْيَمَانِ، ثنا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ،عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: "عَوْفُ بْنُ مَالِكٍ؟ "، فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ: "ادْخُلْ "، فَقُلْتُ: أَكُلِّي أَوْ بَعْضِي؟، فَقَالَ: "بَلْ كُلُّكَ "، فَقَالَ لِي: "يَا عَوْفُ اعْدُدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ: أَوَّلُهُنَّ مَوْتِي "، وَاسْتَبْكَيْتُ حَتَّى جَعَلَ يُسْكِتُنِي، ثُمَّ قَالَ لِي: "قُلْ إِحْدَى "، فَقَالَ: "وَالثَّانِيَةُ: فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، قُلْ: ثِنْتَانِ "، فَقُلْتُ: ثِنْتَانِ، فَقَالَ: "وَالثَّالِثَةُ: مُوتَانٌ يَكُونُ فِي أُمَّتِي يَأْخُذَهُمْ مِثْلَ عِقَاصِ الْغَنَمِ قُلْ: ثَلاثٌ "، فَقُلْتُ: ثَلاثٌ، فَقَالَ: "وَالرَّابِعَةُ: فِتْنَةٌ تَكُونُ فِي أُمَّتِي وَعَظَّمَهَا "، ثُمَّ قَالَ: "قُلْ: أَرْبَعٌ "، فَقُلْتُ: أَرْبَعٌ، فَقَالَ: "وَالْخَامِسَةُ: يَفِيضُ فِيكُمُ الْمَالُ حَتَّى أَنَّ الرَّجُلَ لَيُعْطَى الْمِائَةَ دِينَارٍ فَيَسْخَطَهَا قُلْ: خَمْسٌ "فَقُلْتُ: خَمْسٌ، فَقَالَ: "وَالسَّادِسَةُ: يَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ هُدْنَةٌ فَيَسِيرُونَ عَلَيْكُمْ عَلَى ثَمَانِينَ غَايَةً تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا، فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ فِي أَرْضٍ، يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُفِي مَدِينَةٍ، يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ
[18]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ، وَالْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، وَأَبُو الْمُغِيرَةِ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ الْحَضْرَمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "اعْدُدْ يَا عَوْفُ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، أَوَّلُهُنَّ مَوْتِي ".فَاسْتَبْكَيْتُ حَتَّى جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُسْكِتُنِي، ثُمَّ قَالَ: "قُلْ: إِحْدَى، وَالثَّانِيَةُ فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، قُلِ: اثْنَتَيْنِ، وَالثَّالِثَةُ مُوتَانٌ يَكُونُ فِي أُمَّتِي كَقُعَاصِ الْغَنَمِ، قُلْ: ثَلاثًا، وَالرَّابِعَةُ فِتْنَةٌ تَكُونُ فِي أُمَّتِي، قَالَ: وَعَظَّمَهَا، قُلْ: أَرْبَعًا، وَالْخَامِسَةُ يَفِيضُ الْمَالُ فِيكُمْ حَتَّى يُعْطَى الرَّجُلُ الْمِائَةَ الدِّينَارِ فَيَتَسَخَّطَهَا، قُلْ: خَمْسًا، وَالسَّادِسَةُ هُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ ثُمَّ يَسِيرُونَ إِلَيْكُمْ فَيُقَاتِلُونَكُمْ وَالْمُسْلِمُونَ يَوْمَئِذٍ فِي أَرْضٍ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ فِي مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ "
[19]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
1/57:
أَخْبَرَنَا أَبُو سَهْلٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ الْقَطَّانُ، ثنا عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ الْهَيْثَمِ، ثنا أَبُو الْيَمَانِ، ثنا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لِي: "أَعَوْفٌ؟ ".فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ لِي: "ادْخُلْ "، فَقُلْتُ: أَكُلِّي أَمْ بَعْضِي؟، قَالَ: "بَلْ كُلُّكَ ".فَقَالَ لِي: "يَا عَوْفُ ! اعْدُدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، أَوَّلُهُنَّ: مَوْتِي "، عَلَيْهِ السَّلامُ، فَاسْتَبْكَيْتُ حَتَّى جَعَلَ يُسْكِتُنِي، ثُمَّ، قَالَ لِي: "إِحْدَى "قُلْتُ: إِحْدَى.فَقَالَ: "وَالثَّانِيَةُ: فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ "، قَالَ: اثْنَتَانِ "فَقُلْتُ: اثْنَتَانِ، فَقَالَ: "وَالثَّالِثَةُ: مَوْتَانِ يَكُونُ فِي أُمَّتِي يَأْخُذُهُمْ مِثْلَ قُعَاصِ الْغَنَمِ ".قُلْ: "ثَلاثٌ "فَقُلْتُ: ثَلاثٌ، فَقَالَ: "وَالرَّابِعَةُ فِتْنَةٌ تَكُونُ فِي أُمَّتِي "، وَعَظَّمَهَا، فَقَالَ: "قُلْ: أَرْبَعٌ "، قَالَ: فَقُلْتُ: أَرْبَعٌ، "وَالْخَامِسَةُ يَفِيضُ فِيكُمُ الْمَالُ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيُعْطَى الْمِائَةَ دِينَارٍ فَيَتَسَخَّطُهَا، قُلْ خَمْسٌ "فَقُلْتُ: خَمْسٌ.فَقَالَ: "وَالسَّادِسَةُ: هُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ، فَيَسِيرُونَ إِلَيْكُمْ عَلَى ثَمَانِينَ غَايَةٍ، تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا، فَفُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ فِي أَرْضٍ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُفِي مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ "
1/364:
أَخْبَرَنَا أَبُو سَهْلٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ الْقَطَّانُ، ثنا عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ الْهَيْثَمِ الْعَاقُولِيُّ، ثنا أَبُو الْيَمَانِ، ثنا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لِي: "أَعَوْفٌ؟ "، فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ لِيَ: "ادْخُلْ "، فَقُلْتُ: أَكُلِّي أَمْ بَعْضِي؟ فَقَالَ: "بَلْ كُلُّكَ "، فَقَالَ لِي: "يَا عَوْفُ، اعْدُدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، أَوَّلُهُنَّ مَوْتِي "، فَاسْتَبْكَيْتُ حَتَّى جَعَلَ يُسْكِتُنِي، ثُمَّ، قَالَ لِي: "قُلْ: إِحْدَى "، فَقُلْتُ: إِحْدَى، فَقَالَ: "الثَّانِيَةُ: فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ "، قَالَ: "اثْنَتَانِ "فَقُلْتُ: اثْنَتَانِ، فَقَالَ: "وَالثَّالِثَةُ: مَوْتَانِ يَكُونُ فِي أُمَّتِي، يَأْخُذُهُمْ مِثْلَ قُعَاصِ الْغَنَمِ، قُلْ: ثَلاثٌ ".فَقُلْتُ: ثَلاثٌ، فَقَالَ: "وَالرَّابِعَةُ: فِتْنَةٌ تَكُونُ فِي أُمَّتِي وَعَظَّمَهَا "فَقَالَ: "قُلْ: أَرْبَعٌ "، قَالَ فَقُلْتُ: أَرْبَعٌ، "وَالْخَامِسَةُ: يَفِيضُ فِيكُمُ الْمَالُ، حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيُعْطَى الْمِائَةَ دِينَارٍ فَيَتَسَخَّطُهَا، قُلْ: خَمْسٌ "، فَقَالَ: قُلْتُ: خَمْسٌ، "وَالسَّادِسَةُ: هُدْنَةٌ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ، فَيَسِيرُونَ إِلَيْكُمْ عَلَى ثَمَانِينَ رَايَةً، تَحْتَ كُلِّ رَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا، فَفُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ فِي أَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُ، فِي مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ "
[20]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو الْمُكْتِبُ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَتَّابُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُمَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ مَرْوَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ،عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ لِي: "عَوْفٌ "؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ: "ادْخُلْ "، فَقُلْتُ: كُلِّي أَوْ بَعْضِي؟ قَالَ: "بَلْ كُلُّكَ "، فَقَالَ لِي: "يَا عَوْفُ، اعْدُدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ: أَوَّلُهُنَّ مَوْتَى "فَاسْتَبْكَيْتُ حَتَّى جَعَلَ يُسْكِتُنِي، ثُمَّ قَالَ: "قُلْ إِحْدَى "قُلْتُ: إِحْدَى، "وَالثَّانِيَةُ فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، قُلِ: اثْنَتَيْنِ "، قُلْتُ: اثْنَتَيْنِ، "وَالثَّالِثَةُ مَوْتٌ يَكُونُ فِي أُمَّتِي، يَأْخُذَهُمْ مِثْلَ قُعَاصِ الْغَنَمِ، قُلْ: ثَلاثًا "، قُلْتُ: ثَلاثًا، "وَالرَّابِعَةُ فِتْنَةٌ تَكُونُ فِي أُمَّتِي يُعَظِّمُهَا قُلْ: أَرْبَعًا "، قُلْتُ: أَرْبَعًا، "وَالْخَامِسَةُ: يُفِيضُ فِيكُمُ الْمَالُ فَيُعْطَى الرَّجُلُ الْمِائَةَ الدِّينَارِ فَيَسْخَطُهَا، قُلْ: خَمْسًا "، فَقُلْتُ: خَمْسًا، "وَالسَّادِسَةُ: هُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ يَسِيرُونَ إِلَيْكُمْ عَلَى ثَمَانِيَةِ غَايَةٍ، تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا، فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُفِي مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ "
[21]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مَنْصُورٍ الْغَسَّانِيُّ، وَعَلِيُّ بْنُ الْمُسْلِمِ السُّلَمِيُّ الْفَقِيهَانِ، قالا: أنا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي الرِّضَا الْقَاضِي، أنا أَبُو مُحَمَّدِ ابْنُ أَبِي نَصْرٍ، أَنْبَأَنَا أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ حَذْلَمٍ، أَنْبَأَنَا أَبِي، أَنْبَأَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنْبَأَنَا ابْنُ عَيَّاشٍ، حَدَّثَنِي صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ،عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: "أَعَوْفٌ؟ "قُلْتُ: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: "ادْخُلْ "، قَالَ: أَدْخُلُ كُلِّي أَمْ بَعْضِي؟ قَالَ: "بَلْ كُلُّكَ "، قَالَ: فَقَالَ: "عَدِّدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ أَوَّلُهُنَّ مَوْتِي "، قَالَ: فَاسْتَبْكَيْتُ حَتَّى جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُسْكِتُنِي، قَالَ: "قُلْ إِحْدَى، وَالثَّانِيَةُ: فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، قُلِ اثْنَيْنِ، وَالثَّالِثَةُ: يَكُونُ فِتْنَةٌ فِي أُمَّتِي وَعَظَّمَهَا قُلْ ثَلاثًا، وَالرَّابِعَةُ: مُوتَانٌ يَقَعُ فِي أُمَّتِي يَأْخُذُهُمْ كَقُعَاصِ الْغَنَمِ قُلْ أَرْبَعًا، وَالْخَامِسَةُ: يَفِيضُ الْمَالُ فِيكُمْ عَلَى أَنَّ الرَّجُلَ لَيُعْطَى الْمِائَةَ دِينَارٍ فَيَظَلُّ يَسْخَطُهَا قُلْ خَمْسًا، وَالسَّادِسَةُ: هُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ، يَسِيرُونَ إِلَيْكُمْ عَلَى ثَمَانِينَ غَايَةً، تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا، فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ فِي أَرْضٍ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ، فِيهَا مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ "
وَأَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْمَعَالِي صَالِحُ بْنُ شَافِعِ بْنِ صَالِحِ بْنِ حَاتِمٍ الْجِيلِيُّ الْحَنْبَلِيُّ، أنا أَبُو الْفَضْلِ مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الطَّيِّبِ الصَّبَّاغُ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ، أنا أَبُو الْقَاسِمِ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُشْرَانَ الْمُعَدَّلُ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ، أنا أَبُو سَهْلٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ الْقَطَّانُ، أَنْبَأَنَا عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ الْهَيْثَمِ الْعَاقُولِيُّ، أَنْبَأَنَا أَبُو الْيَمَانِ.ح
وَأَخْبَرَنَاهُ أَبُو عَلِيٍّ الْحَدَّادُ، فِي كِتَابِهِ، وَحَدَّثَنِي عَنْهُ أَبُو مَسْعُودٍ الأَصْبَهَانِيُّ، أنا أَبُو نُعَيْمٍ الْحَافِظُ، أَنْبَأَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، أَنْبَأَنَا أَبُو زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ، أَنْبَأَنَا أَبُو الْيَمَانِ الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ.قَالَ: وَنا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ بْنِ نَجْدَةَ، أَنْبَأَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، قالا: أَنْبَأَنَا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لِي: "عَوْفٌ "فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ لِي: "ادْخُلْ "، فَقُلْتُ: كُلِّي أَوْ بَعْضِي؟ قَالَ: "بَلْ كُلُّكَ "فَقَالَ لِي: "يَا عَوْفُ، اعْدُدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، أَوَّلُهُنَّ مَوْتِي "، فَاسْتَبْكَيْتُ حَتَّى جَعَلَ يُسْكِتُنِي، ثُمَّ قَالَ لِي: "قُلْ إِحْدَى "، قُلْتُ: إِحْدَى، قَالَ: "وَالثَّانِيَةُ: فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ قُلْ ثِنْتَانِ "، فَقُلْتُ: ثِنْتَانِ، قَالَ: "وَالثَّالِثَةُ: مُوتَانٌ يَكُونُ فِي أُمَّتِي يَأْخُذُهُمْ مِثْلَ قُعَاصِ الْغَنَمِ قُلْ ثَلاثًا "، فَقُلْتُ: ثَلاثًا، قَالَ: "وَالرَّابِعَةُ: فِتْنَةٌ تَكُونُ فِي أُمَّتِي وَعَظَّمَهَا "، ثُمَّ قَالَ: "قُلْ أَرْبَعًا "، فَقُلْتُ: أَرْبَعًا، قَالَ: "وَالْخَامِسَةُ: يُقْبَضُ فِيكُمُ الْمَالُ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيُعْطَى الْمِائَةَ الدِّينَارِ فَيَتَسَخَّطُهَا قُلْ خَمْسًا "، فَقُلْتُ: خَمْسًا، قَالَ: "وَالسَّادِسَةُ: هُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ يَسِيرُونَ إِلَيْكُمْ عَلَى ثَمَانِينَ غَايَةً، تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا، فَفُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ فِي أَرْضٍ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ،فِي مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ ".
وَلَفْظُ الْحَدِيثِ لِلطَّبَرَانِيِّ.
[22]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الْمَلِكِ الدِّمَشْقِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَلاءِ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ وَهُوَ فِي خِبَاءٍ لَهُ مِنْ أَدَمٍ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، ثُمَّ قُلْتُ: أَدْخُلُ؟ قَالَ: "ادْخُلْ "، فَأَدْخَلْتُ رَأْسِي، فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَوَضَّأُ وُضُوءً مَكِيثًا،  فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْخُلْ كُلِي، قَالَ: "كُلُّكَ "، فَلَمَّا جَلَسْتُ، قَالَ: "اعْدُدْ خِصَالا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، مَوْتُ نَبِيِّكُمْ ﷺ "، قَالَ عَوْفٌ: فَوَجَمْتُ لِذَلِكَ وَجْمَةً مَا وَجَمْتُ مِثْلَهَا قَطُّ، قَالَ: "قُلْ إِحْدَى "، قُلْتُ: إِحْدَى، قَالَ: "وَفَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَفِتْنَةٌ تَكُونُ فِيكُمْ، تَعُمُّ بُيُوتَاتِ الْعَرَبِ، وَيَأْخُذُكُمْ كَقُعَاصِ الْغَنَمِ، وَيَفْشُو الْمَالُ فِيكُمْ، حَتَّى يُعْطَى الرَّجُلُ مِائَةَ دِينَارٍ فَيَظَلُّ سَاخِطًا، وَهُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ، فَيَغْدِرُونَ فَيَأْتُونَكُمْ فِي ثَمَانِينَ غَايَةٍ، تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا "
[23]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الْمَلِكِ أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ الْقُرَشِيُّ ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْعَلاءِ بْنِ فَرْقَدٍ، حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَلاءِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ،عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ وَهُوَ فِي خِبَاءٍ لَهُ مِنْ أَدَمٍ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ قُلْتُ: أَدْخُلُ؟، قَالَ: "ادْخُلْ "، فَأَدْخَلْتُ رَأْسِي فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَوَضَّأُ وُضُوءًا مَكِينًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَدْخُلُ كُلِّي؟، قَالَ: "كُلُّكَ "، فَلَمَّا جَلَسْتُ، قَالَ لِي: "اعْدُدْ سِتَّ خِصَالٍ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، مَوْتُ نَبِيِّكُمْ "، قَالَ عَوْفٌ: فَوَجَمْتُ لِذَلِكَ وَجْمَةً مَا وَجَمْتُ مِثْلَهَا قَطُّ، قَالَ: "قُلْ إِحْدَى "، قُلْتُ: إِحْدَى، قَالَ: "وَفَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَفِتْنَةٌ تَكُونُ فِيهَا مَوْتَانُ الْعَرَبِ وَهُوَ دَاءٌ يَأْخُذْكُمْ كَعُقَاصِ الْغَنَمِ، وَيَفْشُو الْمَالُ فِيكُمْ حَتَّى يُعْطَى الرَّجُلُ مِائَةَ دِينَارٍ فَيَظَلَّ سَاخِطًا، وَهُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ فَيَغْدِرُونَ فَيَأْتُونَكُمْ ثَمَانِينَ غَايَةً تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا "
[24]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمَانَ الْعَطَّارُ بِمِصْرَ، ثَنَا أَبُو عَبْدِ الْمَلِكِ أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ بِشْرٍ الْقُرَشِيُّ، ثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَلاءِ بْنِ زَبْرٍ، ثَنَا أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلاءِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ،عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِيِّ، قَالَ:  أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ فِي خِبَاءٍ لَهُ مِنْ أَدَمٍ، فَسَلَّمْتُ، ثُمَّ قُلْتُ: أَدْخُلُ؟، قَالَ: ادْخُلْ، فَأَدْخَلْتُ رَأْسِي، فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَوَضَّأُ وُضُوءًا مَكِينًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَدْخُلُ كُلِّي؟ قَالَ: كُلُّكَ، فَلَمَّا جَلَسْتُ، قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: سِتُّ خِصَالٍ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ: مَوْتُ نَبِيِّكُمْ عَلَيْهِ السَّلامُ، فَوَجَمْتُ لِذَلِكَ وَجْمَةً مَا وَجَمْتُ مِثْلَهَا قَطُّ، قَالَ: قُلْ إِحْدَى، قُلْتُ: إِحْدَى، قَالَ: وَفَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَفِتْنَةٌ تَكُونُ فِيكُمْ تَعُمُّ بُيُوتَاتِ الْعَرَبِ، وَدَاءٌ يَأْخُذُكُمْ كَقُعَاصِ الْغَنَمِ، وَيَفْشُوا الْمَالُ فِيكُمْ حَتَّى يُعْطَى الرَّجُلُ مِائَةَ دِينَارٍ فَيَظَلُّ سَاخِطًا، وَهُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ فَيَغْدِرُونَ، فَيَأْتُونَكُمْ فِي ثَمَانِينَ غَايَةً تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثَنَا عَشَرَ أَلْفًا "
هَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ عَلَى رَسْمِ الْجَمَاعَةِ، رَوَاهُ الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، وَغَيْرُهُ، عَنِ ابْنِ زَبْرٍ، وَرَوَاهُ يَحْيَى بْنُ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيُّ، عَنْ مَكْحُولٍ، وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَلاءِ ثِقَةٌ حَدَّثَ مِنْ كِتَابِ أَبِيهِ، رَوَى عَنْهُ ابْنُ عَوْفٍ، وَأَبُو زُرْعَةَ، وَيَعْقُوبُ بْنُ سُفْيَانَ
[25]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الْمَلِكِ الْقُرَشِيُّ، ثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَلاءِ بْنِ زَبْرٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ،عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ وَهُوَ فِي خِبَاءٍ لَهُ مِنْ أَدَمٍ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، ثُمَّ قُلْتُ: أَدْخُلُ؟ قَالَ: "ادْخُلْ "، فَأَدْخَلْتُ رَأْسِي فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَوَضَّأُ وُضُوءًا مَكِيثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَدْخُلُ كُلِّي؟ قَالَ: "كُلُّكِ "، فَلَمَّا جَلَسْتُ قَالَ لِي: "اعْدُدْ سِتَّ خِصَالٍ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، مَوْتُ نَبِيِّكُمْ "، قَالَ عَوْفٌ: فَوَجَمْتُ لِذَلِكَ وَجْمَةً مَا وَجَمْتُ مِثْلَهَا قَطُّ، قَالَ: "قُلْ: إِحْدَى "، قُلْتُ: إِحْدَى، قَالَ: "وَفَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَفِتْنَةٌ تَكُونُ فِيكُمْ تَعُمُّ بُيُوتَاتِ الْعَرَبِ، وَدَاءٌ يَأْخُذُكُمْ كَقُعَاصِ الْغَنَمِ، وَيَفْشُو الْمَالَ فِيكُمْ، حَتَّى يُعْطِيَ الرَّجُلُ مِئَةَ دِينَارٍ فَيَظَلُّ سَاخِطًا، وَهُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ فَيَغْدِرُونَ فَيَأْتُونَكُمْ فِي ثَمَانِينَ غَايَةٍ، تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا
[26]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَبُو عَبْدِ الْمَلِكِ الْقُرَشِيُّ الدِّمَشْقِيُّ، قَالَ: نا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَلاءِ بْنِ زَبْرٍ، قَالَ: نا أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلاءِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ،عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ وَهُوَ فِي خِبَاءٍ لَهُ مِنْ أَدَمٍ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، ثُمَّ قُلْتُ: أَدْخُلُ؟ قَالَ: "ادْخُلْ "فَأَدْخَلْتُ رَأْسِي، فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَوَضَّأُ وُضُوءًا مَكِينًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَدْخُلُ كُلِّي؟ قَالَ: "كُلُّكَ "، فَلَمَّا دَخَلْتُ، قَالَ لِي: "اعْدُدْ سِتَّ خِصَالٍ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ: مَوْتُ نَبِيِّكُمْ "قَالَ عَوْفٌ: فَوَجَمْتُ لِذَلِكَ وَجْمَةً مَا وَجَمْتُ مِثْلَهَا قَالَ: "قُلْ: إِحْدَى "قُلْتُ: إِحْدَى، قَالَ: "وَفَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَفِتْنَةٌ تَكُونُ فِيكُمْ، تَعُمُّ بُيُوتَاتِ الْعَرَبِ، وداءٌ يَأْخُذْكُمْ كَعُقَاصِ الْغَنَمِ، وَيَفْشُو الْمَالُ فِيكُمْ، حَتَّى يُعْطَى الرَّجُلُ مِائَةَ دِينَارٍ، فَيَظَلُّ سَاخِطًا، وَهُدْنَةٌ تَكُونُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ، فَيَغْدِرُونَ، فَيَأْتُونَكُمْ فِي ثَمَانِينَ غَايَةٍ، تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا ".
لَمْ يَرْوِهِ عَنْ مَكْحُولٍ، إِلا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلاءِ بْنِ زَبْرٍ
[27]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شَابُورَ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ الْمُنْذِرِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "سِتٌّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، أَوَّلُهُنَّ مَوْتُ نَبِيِّكُمْ، قُلْ: إِحْدَى، وَالثَّانِيَةُ فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَالثَّالِثَةُ مَوْتٌ يَقَعُ فِيكُمْ كَقُعَاصِ الْغَنَمِ، وَالرَّابِعَةُ فِتْنَةٌ بَيْنَكُمْ لا يَبْقَى بَيْتٌ مِنَ الْعَرَبِ إِلا دَخَلَتْهُ، وَالْخَامِسَةُ هُدْنَةٌ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي الأَصْفَرِ، فَيَجْتَمِعُونَ لَكُمْ عَدَدَ حَمَلِ الْمَرْأَةِ تِسْعَةَ أَشْهُرٍ "
[28]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَرَجِ الْقُرَشِيُّ الْبَرَامِيُّ، وَأَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَهْلِ بْنِ يَحْيَى بْنِ صَالِحِ بْنِ حَيَّةَ الْبَزَّازُ، قَالا: ثنا أَبُو قُصَيٍّ إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ الْعُذْرِيُّ، ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، ثنا مَسْلَمَةُ بْنُ عُلَيٍّ، ثنا أَبُو سَعِيدٍ الأَسَدِيُّ، عَنْ سُلَيْمِ بْنِ عَامِرٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ تَلا هَذِهِ الآيَةَف وَآوَيْنَاهُمَا إِلَى رَبْوَةٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَمَعِينٍق قَالَ: "هَلْ تَدْرُونَ أَيْنَ هِيَ؟ "قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: "هِيَ بِالشَّامِ، بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ،مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ هِيَ خَيْرُ مَدَائِنِ الشَّامِ "
[29]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
1/203:
أَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ هِبَةُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَحْمَدَ الْوَاسِطِيُّ، أنا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَحْمَدَ الدِّمَشْقِيُّ.ح ثُمَّ أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ حَمْزَةَ السُّلَمِيُّ، أَنْبَأَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ، أنا تَمَّامٌ، أنا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُفَرَّجِ الْقُرَشِيُّ الْمَعْرُوفُ بِابْنِ الْبرامِيِّ، وَأَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَهْلِ بْنِ يَحْيَى بْنِ صَالِحِ بْنِ حَيَّةَ الْبَزَّارُ، قالا: أَنْبَأَنَا أَبُو نَصْرٍ إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ الْعُذْرِيُّ، أَنْبَأَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنْبَأَنَا مَسْلَمَةُ بْنُ عَلِيٍّ، أَنْبَأَنَا أَبُو سَعِيدٍ الأَسْدِيُّ، عَنْ سُلَيْمِ بْنِ عَامِرٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ تَلا هَذِهِ الْآيَةَ:ف وَآوَيْنَاهُمَا إِلَى رَبْوَةٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَمَعِينٍق، قَالَ: "هَلْ تَدْرُونَ أَيْنَ هِيَ؟ "قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: "هِيَ بِالشَّامِ بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ، مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، هِيَ خَيْرُ مَدَائِنِ الشَّامِ "
50/261:
حَدَّثَنِي ابْنُ الأَكْفَانِيِّ، شِفَاهًا، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ الْحَدَّادِ، أَنْبَأَنَا تَمَّامُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَنَقَلْتُهُ مِنْ خَطِّ تَمَّامٍ، أَنْبَأَنَا أَبُو هَاشِمٍ الْمُؤَدِّبُ، أَخْبَرَنِي كَنْجُورُ بْنُ عِيسَى أَبُو مُحَمَّدٍ الْفَرْغَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عَلِيٍّ إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ قِيرَاطٍ الْعُذْرِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مَسْلَمَةَ بْنِ عَلِيٍّ: أَنَّهُ حَدَّثَهُمْ عَنْ سُلَيْمِ بْنِ عَامِرٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: أَنَّهُ تَلا هَذِهِ الآيَةَ:ف وَآوَيْنَاهُمَا إِلَى رَبْوَةٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَمَعِينٍق، قَالَ: أَتَدْرُونَ أَيْنَ هِيَ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: "هِيَ بِالشَّامِ، بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغَوْطَةُ، مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ".
[30]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنِي ابْنُ الأَكْفَانِيِّ، شِفَاهًا، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ الْحَدَّادِ، أَنْبَأَنَا تَمَّامُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَنَقَلْتُهُ مِنْ خَطِّ تَمَّامٍ، أَنْبَأَنَا أَبُو هَاشِمٍ الْمُؤَدِّبُ، أَخْبَرَنِي كَنْجُورُ بْنُ عِيسَى أَبُو مُحَمَّدٍ الْفَرْغَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عَلِيٍّ إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ قِيرَاطٍ الْعُذْرِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مَسْلَمَةَ بْنِ عَلِيٍّ: أَنَّهُ حَدَّثَهُمْ عَنْ سُلَيْمِ بْنِ عَامِرٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: أَنَّهُ تَلا هَذِهِ الآيَةَ:ف وَآوَيْنَاهُمَا إِلَى رَبْوَةٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَمَعِينٍق، قَالَ: أَتَدْرُونَ أَيْنَ هِيَ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: "هِيَ بِالشَّامِ، بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغَوْطَةُ، مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ ".
[31]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا بِحَدِيثِهِ أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ الْمَزْرَفِيُّ، أنا أَبُو الْغَنَائِمِ عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْمَأْمُونِ، أنا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حُبَابَةَ، أَنْبَأَنَا أَبُو الْقَاسِمِ الْبَغَوِيُّ، أَنْبَأَنَا أَبُو نَصْرٍ التَّمَّارُ، أَنْبَأَنَا سَعِيدٌ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ،قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ الْكُبْرَى فُسْطَاطُ الْمُؤْمِنِينَ بِالْغُوطَةِ، بِمَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ ".
تَابَعَهُ الْحَسَنُ بْنُ عَلُّوَيْهِ الْقَطَّانُ، عَنْ أَبِي نَصْرٍ.
وَكَذَا رَوَاهُ الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، وَيَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ بِلالٍ، عَنْ سَعِيدٍ.
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الأَشْعَرِيِّ، عَنْ مُعَاذٍ
قَرَأْتُهُ عَلَى أَبِي الْقَاسِمِ زَاهِرِ بْنِ طَاهِرٍ الشَّحَّامِيِّ، عَنْ أَبِي سَعْدٍ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْجَنْزَرُودِيِّ، أنا الْحَاكِمُ أَبُو أَحْمَدَ الْحَافِظُ، أنا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْوَانَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عَمَّارٍ، أَنْبَأَنَا عَمْرُو بْنُ وَاقِدٍ، أَنْبَأَنَا عُرْوَةُ بْنُ رُوَيْمٍ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ الأَشْعَرِيِّ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ الْعُظْمَى فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ بِالْغُوطَةِ، مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ يَوْمَئِذٍ "
[32]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
4/160:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ يَعْنِي ابْنَ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَصْحَابِ مُحَمَّدٍﷺ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "سَتُفْتَحُ عَلَيْكُمْ الشَّامُ، فَإِذَا خُيِّرْتُمْ الْمَنَازِلَ فِيهَا، فَعَلَيْكُمْ بِمَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ، فَإِنَّهَا مَعْقِلُ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الْمَلَاحِمِ، وَفُسْطَاطُهَا مِنْهَا بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُ"
5/270:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُصْعَبٍ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ،عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "سَيُفْتَحُ عَلَيْكُمْ الشَّامُ، وَإِنَّ بِهَا مَكَانًا يُقَالُ لَهُ الْغُوطَةُ يَعْنِي دِمَشْقَ مِنْ خَيْرِ مَنَازِلِ الْمُسْلِمِينَ، يَعْنِي فِي الْمَلَاحِمِ "
[33]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ، وَعَبْدُ الْقُدُّوسِ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ،عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَصْحَابُ مُحَمَّدٍﷺ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "مَعْقِلُ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الْمَلاحِمِ مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، أَرْضٌ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ"
[34]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْقَاسِمِ هِبَةُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُصَيْنِ، أنا أَبُو عَلِيٍّ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْمُذْهِبِ، أنا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ، أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنِي أَبِي، أَنْبَأَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَنْبَأَنَا أَبُو بَكْرٍ يَعْنِي ابْنَ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ ﷺ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "سَيُفْتَحُ عَلَيْكُمُ الشَّامُ، فَإِذَا خُيِّرْتُمُ الْمَنَازِلَ مِنْهَا فَعَلَيْكُمْ بِمَدِينَةٍ يُقَالُ لها دِمَشْقُ، فَإِنَّهَا مَعْقَلُ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الْمَلاحِمِ، وَفُسْطَاطُهُمْ مِنْهَا بِأَرْضٍ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ".
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ الْحُصَيْنِ، أنا أَبُو عَلِيِّ بْنُ الْمُذْهِبِ، أنا أَبُو بَكْرِ بْنُ مَالِكٍ، أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنِي أَبِي، أَنْبَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُصْعَبٍ، أَنْبَأَنَا أَبُو بَكْرٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ ﷺ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "سَتُفْتَحُ عَلَيْكُمُ الشَّامُ، وَإِنَّ بِهَا مَكَانًا يُقَالُ لَهُ الْغُوطَةُ، يَعْنِي دِمَشْقَ، مِنْ خَيْرِ مَنَازِلِ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمَلاحِمِ ".
[35]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا الْقَاضِي رَوْحُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ صَالِحٍ أَبُو طَالِبٍ الْحَدِيثِيُّ ثُمَّ الْبَغْدَادِيُّ، فِي كِتَابِهِ إِلَيَّ مِنْ بَغْدَادَ، سَنَةَ تِسْعٍ وَخَمْسِينَ وَخَمْسِ مِائَةٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو حَامِدٍ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ الدِّينَوَرِيُّ، فِي رَجَبٍ، سَنَةَ إِحْدَى عَشْرَةَ وَخَمْسِ مِائَةٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْبُسْرِيِّ، أَخْبَرَنَا أَبُو الطَّاهِرِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُخَلِّصُ، حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ السُّكَّرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ يُوسُفَ التَّغْلِبِيُّ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ،عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "سَتُفْتَحُ عَلَيْكُمُ الشَّامُ، فَعَلَيْكُمْ بِمَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ، فَإِنَّهَا خَيْرُ مَدَائِنِ الشَّامِ، وَفُسْطَاطُ الْمُؤْمِنِينَ، أَرْضٌ مِنْهَا يُقَالُ لَهَا: الْغُوطَةُ، وَهِيَ مَعْقِلُهُمْ ".
كَذَا رَوَاهُ مُرْسَلا، وَقَدْ أَسْقَطَ مِنْهُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، وَقَدْ رَوَاهُ زَيْدُ بْنُ أَرْطَاةَ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ
[36]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ السَّمَرْقَنْدِيِّ، أنا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ النَّقُّورِ، وَأَبُو الْقَاسِمِ بْنُ الْبُسْرِيِّ.ح
وَأَخْبَرَنَاهُ الْقَاضِي أَبُو عَلِيٍّ الْحَسَنُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْمَأْمُونِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْمَأْمُونِ الْجَزَرِيُّ، بِالرَّحْبَةِ، أنا أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ الْبُسْرِيِّ، قالا: أنا أَبُو طَاهِرٍ الْمُخَلِّصُ، أَنْبَأَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى السُّكَّرِيُّ، أَنْبَأَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ أَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ بْنِ خَالِدٍ التَّغْلِبِيُّ، أَنْبَأَنَا صَفْوَانُ يَعْنِي ابْنَ صَالِحٍ، أَنْبَأَنَا الْوَلِيدُ، حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ،عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "أَلا إِنَّهَا سَتُفْتَحُ عَلَيْكُمُ بِالشَّامِ، فَعَلَيْكُمْ بِمَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، فَإِنَّهَا خَيْرُ مَدَائِنِ الشَّامِ، وَفُسْطَاطُ الْمُؤْمِنِينَ بِأَرْضٍ مِنْهَا يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ،وَهِيَ مَعْقِلُهُمْ".
[37]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أنبا أَبُو الْقَاسِمِ إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عُمَرَ الْحَافِظِ، بِبَغْدَادَ، أنبا أَبُو الْقَاسِمِ إِسْمَاعِيلُ بْنُ مَسْعَدَةَ، أنبا أَبُو الْقَاسِمِ حَمْزَةُ بْنُ يُوسُفَ السَّهْمِيُّ، أنبا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ الْقَطِيعِيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُصْعَبٍ، ثنا أَبُو بَكْرِعَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ ﷺ قَالَ: "سَتُفْتَحُ عَلَيْكُمُ الشَّامُ، وَإِنَّ بِهَا مَكَانًا يُقَالُ لَهُ: الْغُوطَةُيَعْنِي دِمَشْقَ، مِنْ خَيْرِ مَنَازِلِ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمَلاحِمِ
[38]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
أخبرناه أبو الفضل محمد بن إسماعيل الفضيلي أنا أبو القاسم أحمد بن محمد بن محمد بن أبي منصور الخليلي ببلخ أنا أبو القاسم علي بن محمد بن أحمد بن الحسن الخزاعي نا أبو سعيد الهيثم بن كليب بن سريج الشاشي ببخارى نا عيسى بن أحمد يعني البلخي نا بشر بن بكر حدثني أبو بكرعن عبد الرحمن بن جبير عن أبيه قال حدثني أصحاب محمد ﷺ قال إنه سيفتح عليكم الشام فإذا خيرتم المنازل منها فعليكم بمدينة يقال لها دمشق فإنها معقل المسلمين من الملاحم وفسطاطهم منها بأرض يقال لها الغوطة
[39]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيل، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، حَدَّثَنَا بُرْدٌ أَبُو الْعَلَاءِ، عَنْ مَكْحُولٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: مَوْضِعُ فُسْطَاطِ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمَلَاحِمِ: أَرْضٌ يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ
[40]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
فَأَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْقَاسِمِ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دَاوُدَ الْمَغْرِبِيُّ الْحَمْزِيُّ الْفَقِيهُ، وَأَبُو غَالِبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ الْمَاوَرْدِيُّ الْبَصْرِيُّ، بِبَغْدَادَ، قالا: أنا أَبُو عَلِيٍّ عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيٍّ التَّسْتُرِيُّ، بِالْبَصْرَةِ، أنا الْقَاضِي أَبُو عُمَرَ الْقَاسِمُ بْنُ جَعْفَرِ بْنِ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْهَاشِمِيُّ، أنا أَبُو عَلِيٍّ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَمْرٍو اللُّؤْلُؤيُّ، أَنْبَأَنَا أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ الأَشْعَثِ السِّجِسْتَانِيُّ، أَنْبَأَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، أَنْبَأَنَا حَمَّادٌ، أنا بُرْدٌ أَبُو الْعَلاءِ، عَنْ مَكْحُولٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: مَوْضِعُ فُسْطَاطِ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمَلاحِمِ أَرْضٌ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ الْغُوطَةُ
فَأْنَبَأَنَاهُ أَبُو طَاهِرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الْجِيلِيُّ، وَحَدَّثَنَا عَنْهُ أَبُو الْبَرَكَاتِ الْخَضِرُ بْنُ شِبْلِ بْنِ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْحَارِثِيُّ الْفَقِيهُ، أنا أَبُو عَلِيٍّ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الْمُقْرِئُ، أَنْبَأَنَا أَبُو نَصْرٍ عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ الْمُرِّيُّ، أنا أَبُو هَاشِمٍ عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ السُّلَمِيُّ، أنا أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ عُمَيْرِ بْنِ يُوسُفَ بْنِ جَوْصَا، أَنْبَأَنَا أَبُو عَامِرٍ مُوسَى بْنُ عَامِرِ بْنِ عُمَارَةَ بْنِ خُرَيْمٍ الْمُرِّيُّ، أَنْبَأَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، أَنَّ مَنْ أَدْرَكَ مِنْ عُلَمَائِنَا كَانُوا يَقُولُونَ: يُخْرِصُونَ أَهْلَ مِصْرَ مِنْ مِصْرِهِمْ إِلَى مَا يَلِي الْمَدِينَةَ، وَيُخْرِجُ أَهْلَ فَلَسْطِينَ وَالأُرْدُنِ إِلَى مَشَارِقِ الْبَلْقَاءِ وَإِلَى دِمَشْقَ، وَيُخْرِجُ أَهْلَ الْجَزِيرَةِ وَقِنِّسْرِينَ وَحِمْصَ إِلَى دِمَشْقَ، وَذَلِكَ لِمَا كَانَ حَدَّثَنَا بِهِ سَعِيدٌ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: "فُسْطَاطُ الْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ الْكُبْرَى بِالْغُوطَةِ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ ".
[41]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
قثنا أَبُو سَعِيدٍ، قثنا مُحَمَّدُ بْنُ رَاشِدٍ، نا مَكْحُولٌ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "فُسْطَاطُ الْمُؤْمِنِينَ فِي الْمَلْحَمَةِ، الْغُوطَةُمَدِينَةٌ، يُقَالُ لَهَا: دِمَشْقُ هِيَ خَيْرُ مَدَائِنِ الشَّامِ "
[42]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
قَرَأْنَاهُ عَلَى أَبِي عَبْدِ اللَّهِ يَحْيَى بْنِ الْحَسَنِ بْنِ الْبَنَّا، عَنْ أَبِي تَمَّامٍ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِي عُمَرَ بْنِ حَيَّوَيْهِ، أنا مُحَمَّدُ بْنُ الْقَاسِمِ الْكُوفِيُّ، أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ، أَنْبَأَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، أنا مُحَمَّدُ بْنُ رَاشِدٍ، قَالَ: حَدَّثَ مَكْحُولٌ، أَنَّ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ حَدَّثَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "فُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمَلْحَمَةِ الْغُوطَةُ، مَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، خَيْرُ مَدَائِنِ الشَّامِ ".
[43]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
قَرَأْتُهُ عَلَى أَبِي الْقَاسِمِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ السَّمَرْقَنْدِيِّ، عَنْ أَبِي طَاهِرٍ مُحَمَّدِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي الصَّقْرِ، أنا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ جُمَيْعٍ الصَّيْدَاوِيُّ، أنا أَبُو يَعْلَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَمْزَةَ بْنِ أَبِي كَرِيمَةَ، أنا الْقَاسِمُ بْنُ عُبَيْدٍ الْمُكْتِبُ، أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُلَيْمَانَ الْعَبْدِيُّ، أَنْبَأَنَا أَبِي، حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِنَّهَا سَتُفْتَحُ الشَّامُ، فَعَلَيْكُمْ بِمَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، فَإِنَّهَا خَيْرُ مَدَائِنِ الشَّامِ، وَهِيَ مَعْقِلُ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الْمَلاحِمِ، وَفُسْطَاطُ الْمُسْلِمِينَ بِأَرْضٍ مِنْهَا يُقَالُ لَهَا الْغُوطَةُ، وَمَعْقِلُهُمْ مِنَ الدَّجَّالِ بَيْتُ الْمَقْدِسِ، وَمَعْقِلُهُمْ مِنْ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ الطُّورُ
[44]  Sanad dan matannya adalah sebagai berikut:
قَرَأْتُ عَلَى أَبِي الْقَاسِمِ الْخَضِرِ بْنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَبْدَانَ، عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَحْمَدَ الْكَتَّانِيِّ، أنا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ الْحَافِظُ، أنا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ الْحَسَنِ، أنا أَحْمَدُ بْنُ عُمَيْرِ بْنِ يُوسُفَ، أَنْبَأَنَا أَبُو عَامِرٍ مُوسَى بْنُ عَامِرٍ، أَنْبَأَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، أَنْبَأَنَا حَفْصُ بْنُ غَيْلانَ الْهَمْدَانِيُّ، عَنْ حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ، قَالَ: ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ كَيْفَ يَجُوزُ الأَعْدَاءُ أُمَّتَهُ مِنْ بَلَدٍ إِلَى بَلَدٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَهَلْ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: "نَعَمُ، الْغُوطَةُمَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، هِيَ فُسْطَاطُهُمْ، وَمَعْقِلُهُمْ مِنَ الْمَلاحِمِ، لا يَنَالُهَا عَدُوٌّ إِلا مِنْهَا ".
قَالَ حَفْصٌ: يَقُولُ: لا يَنَالُهُمْ عَدُوٌّ لَهُمْ إِلا مِنْهَا مِنَ الأُمَّةِ، وَهُوَ يَوْمَ دَخَلَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَلِيٍّ بِجُنُودِهِ
أَنْبَأَنَاهُ أَبُو طَاهِرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الْحِنَّائِيُّ، وَحَدَّثَنَا عَنْهُ أَبُو الْبَرَكَاتِ الْخَضِرُ بْنُ شِبْلٍ الْحَارِثِيُّ الْفَقِيهُ، أنا أَبُو عَلِيٍّ الأَهْوَازِيُّ، أَنْبَأَنَا أَبُو نَصْرٍ عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْمُرِّيُّ، أنا أَبُو هَاشِمٍ عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ، أنا أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ عُمَيْرِ بْنِ يُوسُفَ، أَنْبَأَنَا أَبُو عَامِرٍ مُوسَى بْنُ عَامِرِ بْنِ عُمَارَةَ، أَنْبَأَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، قَالَ: وَنا أَبُو مُعَيْدٍ حَفْصُ بْنُ غَيْلانَ، عَنْ حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ ذَكَرَ كَيْفَ يَجُوزُ الأَعْدَاءُ أُمَّتَهُ مِنْ بَلَدٍ إِلَى بَلَدٍ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَ: "نَعَمُ، الْغُوطَةُمَدِينَةٌ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ، مَعْقِلُهُمْ وَفُسْطَاطُهُمْ لا يَنَالُهُمْ عَدُوٌّ إِلا مِنْهَا ".
قَالَ حَفْصُ بْنُ غَيْلانَ: يُرِيدُ بِقَوْلِهِ: "لا يَنَالُهَا عَدُوٌّ إِلا مِنْهَا "، يَقُولُ: مِنْ أُمَّتِهِ، وَهُوَ يَوْمَ دَخَلَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَلِيٍّ بِجُنُودِهِ

Casing Boleh Sama, Isinya Beda

$
0
0

Allah ta'ala berfirman:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
"Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan" [QS. Ar-Rahmaan : 26-27].
Al-Imaam Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam kitab At-Tauhiid (1/51-52) mengatakan bahwa sebagian orang bodoh dari kalangan JAHMIYYAH menyangka bahwa Allah ta'ala menyifati keagungan Diri-Nya dengan ayat ini. Mereka mengatakan Allah lah yang mempunyai kebesaran/keagungan dan kemuliaan, bukan wajah-Nya, sebagaimana ayat (lain) :

تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالإكْرَامِ
"Maha Agung nama Tuhanmu Yang Mempunyai kebesaran dan kemuliaan" [QS. Ar-Rahmaan : 78].
Dakwaan mereka keliru karena kebodohan terhadap bahasa Arab (dan mengikuti hawa nafsu). Dalam QS. Ar-Rahmaan ayat 27, Allah ta’ala berfirman dengan "wa yabqaa WAJHU Rabbika DZUL-jalaali wal-ikraam". Di situ disebutkan kata 'dzu' (ذُو) sehingga kembalinya pada wajah yang rafa'. Jika kembalinya kepada Allah/Rabb yang majrur (karena berkedudukan sebagai mudlaf ilaih), maka katanya adalah 'dzi' (ذِي). Selengkapnya, silakan lihat referensi di bawah.
Di sini lain, Abu Ja'far Ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan bahwa pembacaan dengan ya (yaitu dzi - ذِي) merupakan bacaan 'Abdullah (bin Mas'uud). Muhaqqiq kitab (Dr. 'Abdullah bin 'Abdil-Muhsin At-Turkiy hafidhahullah) memberikan keterangan referensi perkataan Ath-Thabariy tersebut pada kitab Ma'aanil-Qur'aan tulisan Al-Farraa' 2/116 dan Al-Bahrul-Muhiith 8/192. Saya tambahkan : I'raabul-Qur'aanoleh Abu Ja'far An-Nahhaas hal. 1076. Selengkapnya, silakan lihat referensi di bawah.
Apakah dengan ini Jahmiyyah menjadi benar karena berkesesuaian dengan qira'atIbnu Mas'uud? Atau Ibnu Mas'uud menjadi keliru karena berkesesuaian dengan Jahmiyyah ?. Tentu tidak.
Jahmiyyah mengemukakan pendapatnya itu bukan karena berdasar qira'at 'Abdullah bin Ma'uud. Mereka menolak qira'at 'dzul-jalaali wal-ikraam' karena ingin menta'thil sifat dzaatiyyah wajah bagi Allah ta'ala. Sementara Ibnu Mas'uud mengucapkan dan mengajarkan qira'at tersebut tidak ada hubungannya dengan motif ta'thil Jahmiyyah. Tidak pula Ibnu Mas'uud memiliki 'aqidah ala Jahmiyyah. Ibnu Mas'uud semata-mata mengucapkan apa yang diketahuinya dari Rasulullah .
Jahmiyyah tetap mengatakan apa yang ingin mereka katakan meskipun perkataan Ibnu Mas'uud tidak mereka dapatkan. Bisa jadi di era kontemporer ini, Jahmiyyah modern merasa suka cita menemukan qira'at Ibnu Mas'uud karena (dianggap) menguatkan 'aqidah mereka meski sebenarnya mereka tak membutuhkannya.
Di sini dapat diambil faedah bahwa kadang perkataan orang-orang menyimpang/ahlul-bid'ah berkesesuaian secara dhahir dengan perkataan seorang Ahlus-Sunnah. Niat/tujuan dan latar belakang 'aqidah/manhaj yang membedakannya.
Khawaarij dan bughat sering mengambil fatwa sebagian (kecil) ulama yang membolehkan demonstrasi bersyarat. Mereka mengambilnya karena sesuai dengan motif pengkafiran dan/atau pemberontakan yang menjadi dasar 'aqidah mereka, sedangkan ulama tersebut berfatwa hanya sebatas pertimbangan maslahat dan mafsadat[1], serta sangat menentang pemberontakan, pengkafiran, pertumpahan darah, dan fitnah.[2]
Ustadz politik dan ustadz sunnah sama-sama mengambil fatwa ulama kibar dalam masalah Pemilu/Pilkada (intikhabaat). Dhahir ucapan keduanya mungkin hampir sama, atau bahkan sama. Hanya saja, ustadz politik menggunakannya untuk menambang suara dan kekuasaan; sedangkan ustadz sunnah mengambil fatwa dalam rangka mengamalkan substansi fatwa : memilih mudlarat teringan.
Banyak oknum memanfaatkan faktor 'kesamaan' untuk memuluskan ide dan pikiran buruk mereka.
Jangan samakan yang hakekatnya beda, dan jangan bedakan yang hakekatnya sama.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – rnn – dari status FB yang ditulis beberapa hari yang lalu].


[1]   Menurut jumhur ulama kibaar Ahlus-Sunnah pendapatnya lemah lagi keliru.
[2]   Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah berkata:
إِنَّ الْفِتْنَةَ إِذَا أَقْبَلَتْ عَرَفَهَا الْعَالِمُ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ عَرَفَهَا كُلُّ جَاهِلٍ
“Sesungguhnya fitnah ketika ia datang, diketahui para ulama. Dan apabila fitnah telah berlalu, orang-orang jahil baru mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/24].


Kitab At-Tauhiid oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah:



Kitab Jaami’ul-Bayaan ‘an Ta’wiilil-Qur’an oleh Abu Ja'far Ath-Thabariy rahimahullah (Tafsiir Ath-Thabariy):



Kitab I’raabul-Qur’aan oleh Al-Farraa’ rahimahullah:




Memelihara Anjing

$
0
0

Tempo hari viral diberitakan seseorang wanita berjilbab besar dan bercadar yang punya kegemaran memelihara/mengasuh anjing. Bukan hanya 1 (satu) ekor, akan tetapi berekor-ekor. Bukan hanya anjing kampung kudisan (sehingga punya alasan untuk menaruh iba), tapi juga ‘anjing (agak) mahal’.
Btw, mari kita sejenak mengkaji secara ringkas, bagaimana syari’at Islam memandangnya.
Ada beberapa hadits yang terkait dengan permasalahan ini, antara lain:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا، إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ، أَوْ ضَارِي، نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa memelihara anjing selain untuk menjaga ternak atau untuk berburu, akan berkurang (pahala) amalannya, setiap harinya sebesar dua qirath” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5480-5482 dan Muslim no. 1574].

عَنْ السَّائِب بْن يَزِيد، أَنَّهُ سَمِعَ سُفْيَانَ بْنَ أَبِي زُهَيْرٍ رَجُلًا مِنْ أَزْدِ شَنُوءَةَ، وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَا يُغْنِي عَنْهُ زَرْعًا وَلَا ضَرْعًا، نَقَصَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطٌ ".
Dari As-Saaib bin Yaziid, bahwasannya ia mendengar Sufyaan bin Abi Zuhair – seorang laki-laki dari kabilah Azdi Sanuu-ah, dan ia termasuk sahabat Nabi - berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang memelihara anjing selain untuk menjaga ladang dan berburu, maka akan berkurang (pahala) amalannya setiap hari sebesar satu qirath” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2323 & 3325 dan Muslim no. 1576].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنِ اتَّخَذَ كَلْبًا، إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ، أَوْ صَيْدٍ، أَوْ زَرْعٍ، انْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ ".
قَالَ الزُّهْرِيُّ: فَذُكِرَ لِابْنِ عُمَرَ، قَوْلُ أَبِي هُرَيْرَةَ، فَقَالَ: يَرْحَمُ اللَّهُ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ صَاحِبَ زَرْعٍ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa memanfaatkan anjing selain anjing untuk menjaga ternak, untuk berburu, atau menjaga ladang/tanaman; maka setiap hari pahalanya akan berkurang sebesar satu qirath”.
Az-Zuhriy berkata : “Disebutkan kepada Ibnu ‘Umar perkataan (hadits) Abu Hurairah tersebut, makai ia (Ibnu ‘Umar) berkata : ‘Semoga Allah merahmati Abu Hurairah, dirinya adalah seorang petani (pengolah ladang)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1575].
Hadits-hadits ini menunjukkan haramnya memelihara anjing kecuali untuk beberapa keperluan yang disebutkan oleh Nabi , yaitu menjaga ladang/sawah/kebun, menjaga ternak, dan berburu[1].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : فِي هَذَا الْحَدِيث إِبَاحَة اِتِّخَاذ الْكِلَاب لِلصَّيْدِ وَالْمَاشِيَة ، وَكَذَلِكَ الزَّرْع لِأَنَّهَا زِيَادَة حَافِظ ، وَكَرَاهَة اِتِّخَاذهَا لِغَيْرِ ذَلِكَ
“Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : ‘Dalam hadits ini merupakan dalil kebolehan memanfaatkan anjing untuk berburu dan menjaga ternak. Begitu juga untuk (menjaga) tanaman, karena hal tersebut merupakan tambahan (lafadh) dari seorang perawi haafidh (sehingga diterima). Dan dimakruhkan memanfaatkannya (anjing) selain dari itu” [Fathul-Baariy, 5/6].
Bagaimana untuk keperluan menjaga rumah ?
Sebelum menjawabnya, perlu dijelaskan di sini – sebagaimana hadits-hadits di atas – bahwa memelihara anjing tanpa keperluan haram hukumnya, karena mengakibatkan berkurangnya pahala amalan kita sebanyak satu atau dua qirath. Ukuran qirath pahala amalan dijelaskan dalam hadits yang lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ، وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ، فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ "، قِيلَ: وَمَا الْقِيرَاطَانِ؟، قَالَ: أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi , beliau bersabda : “Barangsiapa yang menyalati jenazah, namun tidak mengantarkannya (hingga selesai dikuburkan), maka baginya pahala satu qirath. Barangsiapa yang mengantarnya (hingga selesai dikuburkan), maka baginya pahala dua qirath”. Ditanyakan kepada beliau : “Apakah dua qirath itu?”. Beliau menjawab : “Yang paling kecil dari keduanya seperti Bukit Uhud” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 945].
Sangat besar !!
Orang yang berakal tentu tidak ingin pahala amalannya yang susah payah ia kumpulkan sebagai bekal di akhirat berkurang setiap harinya minimal sebesar Bukit Uhud. Ingat, tidak setiap amal kebaikan yang kita kerjakan diterima (Allah)[2], dan tidak setiap amal kebaikan yang diterima Allah mendapatkan pahala sesuai harapan[3].
Terkait dengan pertanyaan di sub-judul, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama melarangnya karena di luar pengecualian yang tiga, sedangkan sebagain ulama lain membolehkan dengan dasar qiyas.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَهَلْ يَجُوز لِحِفْظِ الدُّور وَالدُّرُوب وَنَحْوهَا ؟ فِيهِ وَجْهَانِ :
أَحَدهمَا لَا يَجُوز لِظَوَاهِر الْأَحَادِيث فَإِنَّهَا مُصَرِّحَة بِالنَّهْيِ إِلَّا لِزَرْعٍ أَوْ صَيْد أَوْ مَاشِيَة ، وَأَصَحّهَا يَجُوز قِيَاسًا عَلَى الثَّلَاثَة عَمَلًا بِالْعِلَّةِ الْمَفْهُومَة مِنْ الْأَحَادِيث وَهِيَ الْحَاجَة .
“Apakah diperbolehkan (memelihara anjing) untuk menjaga rumah, gang, dan semisalnya ?. Ada dua pendapat. Salah satu diantaranya adalah tidak membolehkannya berdasarkan dhahir hadits-hadits yang ada, karena hadits tersebut menjelaskan pelarangannya kecuali untuk menjaga tanaman (ladang/kebun), berburu, dan menjaga ternak. Dan pendapat yang paling benar adalah yang membolehkannya berdasarkan qiyas terhadap tiga perbuatan dengan ‘illatyang diketahui dari hadits-hadits tersebut, yaitu adanya kebutuhan (hajat)” [Syarh Shahiih Muslim, 10/236].
Saya pribadi condong kepada apa yang dikuatkan oleh An-Nawawiy rahimahullah ini yang berkesesuaian dengan kaedah:
الْحُكْم يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ وَسَبَبِهِ وُجُودًا وَعَدَمًا
“Hukum itu berputar/berlaku bersama dengan ‘illat dan sebabnya, dalam hal ada atau tidaknya” [I’laamul-Muwaqqi’iin oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 4/414].
Meski demikian, harus tetap dipertimbangkan apakah memang benar-benar dibutuhkan ataukah tidak mengingat ancaman kerugian yang didapat (berkurang pahala satu atau dua qirath), sehingga tidak boleh main-main (mengampangkan). Jika di daerah tempat tinggal seseorang tidak aman, boleh memanfaatkan anjing untuk menjaga rumah sesuai keperluan dengan tanpa berlebihan. Bisa (juga) dengan memperhatikan kondisi kaum muslimin di daerah itu, apakah mereka umumnya merasa terancam. Selain itu juga perlu diperhatikan : Jika rumah cukup dijaga seekor anjing saja, tidak perlu dua ekor, apalagi 11 (sebelas) ekor. Apabila rumah hanya butuh dijaga ketika mudik lebaran saja – misalnya - , maka tidak perlu sepanjang hari muka rumah dihiasi anjing plus alunan suara gonggongannya; karena hukum asalnya adalah terlarang.
Ini perlu ditekankan karena Nabi telah memperingatkan bahwa rumah yang di dalamnya ada anjing (baik di halaman ataupun benar-benar masuk di dalam bangunan rumah) merupakan diantara sebab malaikat rahmat tidak dapat masuk.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَر، قَالَ: وَعَدَ النَّبِيَّ ﷺ جِبْرِيلُ فَرَاثَ عَلَيْهِ حَتَّى اشْتَدَّ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ فَخَرَجَ النَّبِيُّ ﷺ فَلَقِيَهُ فَشَكَا إِلَيْهِ مَا وَجَدَ، فَقَالَ لَهُ: "إِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ وَلَا كَلْبٌ "
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Jibriil berjanji (akan datang) menemui Nabi , namun ternyata ia (Jibriil) tidak juga muncul hingga Nabi merasa gelisah. Lalu Nabi keluar rumah dan akhirnya beliau bertemu dengan Jibriil, yang kemudian menanyakan apa yang sebenarnya terjadi (hingga ia tidak datang menemui beliau). Jibriil berkata kepada beliau : "Sesungguhnya kami tidak memasuki rumah yang padanya terdapat gambar/patung dan anjing” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5960].
عَنْ أَبِي طَلْحَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ "
Dari Abu Thalhah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi , beliau bersabda : “Malaikat tidak memasuki rumah yang padanya terdapat anjing dan gambar/patung” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3322 & 4002 & 5949 dan Muslim no. 2106].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "أَتَانِي جِبْرِيلُ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ أَتَيْتُكَ الْبَارِحَةَ، فَلَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَكُونَ دَخَلْتُ عَلَيْكَ الْبَيْتَ الَّذِي كُنْتَ فِيهِ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فِي بَابِ الْبَيْتِ تِمْثَالُ الرِّجَالِ، وَكَانَ فِي الْبَيْتِ قِرَامُ سِتْرٍ فِيهِ تَمَاثِيلُ، وَكَانَ فِي الْبَيْتِ كَلْبٌ، فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ الَّذِي بِالْبَابِ فَلْيُقْطَعْ، فَلْيُصَيَّرْ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ، وَمُرْ بِالسِّتْرِ فَلْيُقْطَعْ، وَيُجْعَلْ مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ مُنْتَبَذَتَيْنِ يُوطَآَنِ، وَمُرْ بِالْكَلْبِ فَيُخْرَجْ، فَفَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَكَانَ ذَلِكَ الْكَلْبُ جَرْوًا لِلْحَسَنِ أَوْ الْحُسَيْنِ تَحْتَ نَضَدٍ لَهُ فَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasululah : “Jibriil mendatangiku, kemudian ia berkata : ‘Sesungguhnya tadi malam aku datang kepadamu, dan tidak ada yang menghalangiku masuk menemuimu dalam rumah yang engkau ada di dalamnya, kecuali karena di pintu rumahmu ada gambar seseorang. Dan juga di dalam rumahmu ada tabir tipis bergambar (makhluk) dan ada anjingnya. Maka, perintahkan agar kepala gambar yang ada di pintu itu dipotong sehingga menjadi seperti bentuk pohon. Perintahkan agar tabir itu dipotong kemudian dijadikan dua bantal yang dihamparkan dan dijadikan tempat sandaran/diduduki. Perintahkan juga agar anjing itu dikeluarkan dari rumah". Lalu Rasulullah melakukannya (semua yang diperintahkan Jibriil). Anjing itu ternyata adalah anak anjing milik Al-Hasan dan Al-Husain yang berada di bawah kolong dipan, yang kemudian beliau perintahkan agar dikeluarkan (dari rumah)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2806, Abu Daawud no. 4158, Ahmad 2/305; dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”].
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: وَاعَدَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فِي سَاعَةٍ يَأْتِيهِ فِيهَا، فَجَاءَتْ تِلْكَ السَّاعَةُ وَلَمْ يَأْتِهِ، وَفِي يَدِهِ عَصًا، فَأَلْقَاهَا مِنْ يَدِهِ، وَقَالَ: "مَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَا رُسُلُهُ "ثُمَّ الْتَفَتَ فَإِذَا جِرْوُ كَلْبٍ تَحْتَ سَرِيرِهِ، فَقَالَ يَا عَائِشَةُ مَتَى دَخَلَ هَذَا الْكَلْبُ هَاهُنَا؟ "، فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا دَرَيْتُ، فَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ، فَجَاءَ جِبْرِيلُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "وَاعَدْتَنِي فَجَلَسْتُ لَكَ فَلَمْ تَأْتِ "، فَقَالَ: "مَنَعَنِي الْكَلْبُ الَّذِي كَانَ فِي بَيْتِكَ إِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ ".
Dari ‘Aaisyah, bahwasannya ia berkata : Jibriil berjanji kepada Rasulullah untuk menemui beliau di suatu waktu. Maka tibalah waktu tersebut namun ternyata Jibriil tak datang menemui beliau . Ketika itu di tangan beliau ada sebuah tongkat, dan beliau melemparkan tongkat tersebut dari tangan beliau seraya bersabda : “Allah dan para utusannya tidak akan menyelisihi janjinya”. Beliau lalu menoleh dan ternyata di bawah tempat tidur beliau ada seekor anak anjing. Beliau bersabda : “Wahai ‘Aaisyah, kapan anjing itu masuk ke sini?”. ‘Aaisyah menjawab : “Demi Allah, aku tidak tahu”. Lalu beliau menyuruh agar anjing itu dikeluarkan. Kemudian Jibriil datang, lalu Rasulullah bersabda : “Engkau telah berjanji kepadaku untuk datang dan aku pun duduk menunggumu, namun engkau tidak kunjung datang”. Jibriil berkata : “Anjing yang ada di rumahmu telah menghalangiku masuk. Sesungguhnya kami tidak memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan juga gambar/patung” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2104].
Anjing di sini maknanya umum, tanpa ada pengecualian sebagaimana pembahasan sebelumnya.
Benar, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa anjing yang menyebabkan malaikat rahmat tidak dapat masuk adalah anjing di luar pengecualian. Pendapat ini lemah. Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah menjelaskan:
الْمُرَاد بِالْبَيْتِ الْمَكَان الَّذِي يَسْتَقِرّ فِيهِ الشَّخْص سَوَاء كَانَ بِنَاء أَوْ خَيْمَة أَمْ غَيْر ذَلِكَ ، وَالظَّاهِر الْعُمُوم فِي كُلّ كَلْب لِأَنَّهُ نَكِرَة فِي سِيَاق النَّفْي ، وَذَهَبَ الْخَطَّابِيُّ وَطَائِفَة إِلَى اِسْتِثْنَاء الْكِلَاب الَّتِي أُذِنَ فِي اِتِّخَاذهَا وَهِيَ كِلَاب الصَّيْد وَالْمَاشِيَة وَالزَّرْع ، وَجَنَحَ الْقُرْطُبِيّ إِلَى تَرْجِيح الْعُمُوم ، وَكَذَا قَالَ النَّوَوِيّ ، وَاسْتُدِلَّ لِذَلِكَ بِقِصَّةِ الْجَرْو الَّتِي تَأْتِي الْإِشَارَة إِلَيْهَا فِي حَدِيث اِبْن عُمَر بَعْد سِتَّة أَبْوَاب ، قَالَ فَامْتَنَعَ جِبْرِيل مِنْ دُخُول الْبَيْت الَّذِي كَانَ فِيهِ مَعَ ظُهُور الْعُذْر فِيهِ ، قَالَ : فَلَوْ كَانَ الْعُذْر لَا يَمْنَعهُمْ مِنْ الدُّخُول لَمْ يَمْتَنِع جِبْرِيل مِنْ الدُّخُول
“Yang dimaksudkan dengan ‘rumah’ adalah tempat yang didiami seseorang, baik berupa bangunan, tenda, atau yang lainnya. Yang dhahir adalah umum yang meliputi semua jenis anjing karena bentuknya nakirah dalam siyaaqpenafikkannya. Al-Khaththaabiy dan sekelompok ulama lain berpendapat dengan mengecualikan anjing yang diizinkan untuk dimanfaatkan. Yaitu anjing yang dipergunakan untuk berburu, menjaga ternak, dan menjaga tanaman (pertanian). Adapun Al-Qurthubiy lebih condong pada tarjiih keumuman anjing (tanpa ada pengecualian). Demikian juga yang dikatakan oleh An-Nawawiy. Dan ia (An-Nawawiy) berdalil dengan kisah anak anjing yang ada isyarat padanya dalam hadits Ibnu ‘Umar setelah enam bab. An-Nawawiy berkata : ‘Jibriil terhalangi untuk masuk rumah yang ada anjingnya padahal ada udzur padanya’[4]. Ia (An-Nawawiy) melanjutkan : ‘Seandainya ‘udzur[5]tidak menghalangi para malaikat untuk masuk (rumah), niscaya Jibriil tidak terhalangi pula untuk masuk rumah (menemui Nabi )” [Fathul-Baariy, 10/381].
Hujjah An-Nawawiy rahimahullah sangat kuat, dan inilah yang rajih. ‘Udzur ketidaktahuan Nabi ada anak anjing di dalam rumahnya seharusnya lebih dapat diterima daripada ‘udzur ada kebutuhan pemanfaatannya.
Dalam hadits lain disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: لَا تَصْحَبُ الْمَلَائِكَةُ رُفْقَةً فِيهَا كَلْبٌ، وَلَا جَرَسٌ
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah bersabda : “Malaikat tidak akan menemani rombongan yang padanya ada anjing dan lonceng” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2113].
Anjing dan lonceng disebutkan secara umum dengan bentuk nakirah, sehingga maknanya juga umum : semua jenis anjing dan lonceng.
Dari sini diketahui bahwa malaikat rahmat dan anjing tidak akan bertemu/berkumpul di satu tempat.
Anjing dalam nash banyak disebutkan untuk penyifatan objek-objek yang dicela/buruk.
Allah ta’ala berfirman tentang perumpamaan orang yang tertipu dengan dunia dan memperturutkan hawa nafsu yang mendustakan ayat-ayat Allah:
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir” [QS. Al-A’raaf : 176].
Nabi ketika mensifati orang-orang Khawaarij sebagaimana hadits Abu Umaamah radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، يَقُولُ: "شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، وَخَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوا كِلَابُ أَهْلِ النَّارِ، قَدْ كَانَ هَؤُلَاءِ مُسْلِمِينَ فَصَارُوا كُفَّارًا "، قُلْتُ يَا أَبَا أُمَامَةَ: هَذَا شَيْءٌ تَقُولُهُ، قَالَ: بَلْ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
Dari Abu Umaamah, ia berkata : “Sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah kolong langit dan sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang mereka bunuh; mereka itu adalah anjing-anjing penghuni neraka. Sungguh, mereka itu dulunya muslim, namun berubah menjadi kafir”. Aku (perawi)[6]berkata : “Wahai Abu Umaamah, apakah ini sekedar perkataan yang engkau ucapkan saja ?”. Ia (Abu Umaamah) menjawab : “Bahkan, aku mendengarnya dari Rasulullah ” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 176; dishahihkan oleh Al-Albaaniy rahimahullah dalam Shahiih Sunan Ibni Maajah1/76].
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu ketika ditikam secara lancung oleh Abu Lu’lu’ah Al-Majuusiy berkata:
قَتَلَنِي - أَوْ أَكَلَنِي - الْكَلْب
“Aku dibunuh atau aku dimakan oleh anjing” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3700].
Dan yang lainnya.
Nabi pernah memerintahkan untuk membunuh anjing:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، فَأَرْسَلَ فِي أَقْطَارِ الْمَدِينَةِ: أَنْ تُقْتَلَ
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata :  “Rasulullah pernah memerintahkan untuk membunuh semua anjing. Maka beliau mengutus orang ke seluruh penjuru Madinah untuk membunuh anjing”
dalam lafadh lain:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَأْمُرُ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، فَنَنْبَعِثُ فِي الْمَدِينَةِ، وَأَطْرَافِهَا، فَلَا نَدَعُ كَلْبًا، إِلَّا قَتَلْنَاهُ، حَتَّى إِنَّا لَنَقْتُلُ كَلْبَ الْمُرَيَّةِ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ يَتْبَعُهَا
“Dulu Rasulullah pernah memerintahkan untuk membunuh semua anjing. Maka kami memburunya ke penjuru Madinah. Tidak satu anjing yang kami jumpai melainkan kami membunuhnya; hingga kami membunuh pun membunuh anjing yang dimiliki anjing yang dimiliki seorang wanita pedalaman yang selalu mengikutinya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1570].
Semula beliau memerintahkan membunuh semua anjing di Madiinah karena Madinah adalah tempat turunnya wahyu, sedangkan malaikat tidak dapat masuk tempat yang di dalamnya terdapat anjing.
Kemudian beliau memberikan rukhshah untuk tidak membunuh anjing yang dikecualikan (sebagaimana dibahas di awal):
عَنِ ابْنِ الْمُغَفَّلِ، قَالَ: أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، ثُمَّ قَالَ: مَا بَالُهُمْ، وَبَالُ الْكِلَابِ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي كَلْبِ الصَّيْدِ وَكَلْبِ الْغَنَمِ، وَقَالَ: إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الإِنَاءِ، فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِي التُّرَابِ
Dari Ibnul-Mughaffal, ia berkata : Rasulullah pernah memerintahkan membunuh anjing-anjing. Kemudian beliau bersabda : “Ada urusan apa antara mereka dengan anjing?[7].  Kemudian beliau memberikan keringanan pada anjing untuk berburu dan anjing (penjaga) kambing (untuk tidak dibunuh) seraya bersabda : “Apabila ada seekor anjing menjilat pada suatu wadah, maka cucilah ia sebanyak tujuh kali, dan campurkan dengan tanah pada pencucian yang kedelapan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 280].
أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ، أَوْ كَلْبَ غَنَمٍ، أَوْ مَاشِيَة
“Bahwasannya Rasulullah pernah memerintahkan membunuh anjing-anjing kecuali anjing untuk berburu, anjing untuk menjaga kambing, atau menjaga ternak” [idemno. 1571].
Dan setelah itu beliau hanya menyisakan perintah untuk membunuh anjing yang membahayakan/mengganggu dan yang berwarna hitam:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: "خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, dari Nabi , bahwasannya beliau bersabda : “Ada lima jenis binatang fasik yang boleh diboleh dibunuh di luar tanah haram maupun di tanah haram, yaitu : ular, burung gagak, tikus, anjing yang suka menggigit, dan burung elang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1829 & 3314, Muslim no. 1198, At-Tirmidziy no. 837, An-Nasaa’iy no. 2829, dan yang lainnya].
عَنْ جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ، يَقُولُ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، حَتَّى إِنَّ الْمَرْأَةَ تَقْدَمُ مِنَ الْبَادِيَةِ بِكَلْبِهَا فَنَقْتُلُهُ، ثُمَّ نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنْ قَتْلِهَا "، وَقَالَ: "عَلَيْكُمْ بِالْأَسْوَدِ الْبَهِيمِ ذِي النُّقْطَتَيْنِ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah ia berkata : “Rasulullah memerintahkan kami untuk membunuh semua anjing. Hingga (satu ketika) ada seorang wanita dari pedalaman yang datang dengan anjingnya, kami bunuh anjingnya itu. Kemudian setelah itu Nabi melarang kami membunuh anjing seraya bersabda : “Bunuhlah anjing yang seluruh bulunya berwarna hitam gelap/pekat yang memiliki dua titik putih (di atas kedua matanya), karena anjing itu adalah setan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1572].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَوْلَا أَنَّ الْكِلَابَ أُمَّةٌ مِنَ الْأُمَمِ لَأَمَرْتُ بِقَتْلِهَا كُلِّهَا، فَاقْتُلُوا مِنْهَا كُلَّ أَسْوَدَ بَهِيمٍ
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Seandainya anjing tidak termasuk sekelompok umat dari umat-umat, niscaya akan aku perintahkan untuk membunuhnya. Maka bunuhlah dari kelompok anjing itu yang seluruh bulunya berwarna hitam gelap/pekat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1486, Abu Daawud no. 2845, Ibnu Maajah no. 3205, Ahmad 4/85 & 5/54 & 5/56 & 5/57, dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : “Hadits ‘Abdullah bin Mughaffal adalah hadits hasan shahih”].
Hadits ‘Abdullah bin Mughaffal ini sekaligus menunjukan ketidaksukaan Nabi terhadap anjing dan berdekat-dekat dengannya[8]. Hanya dikarenakan anjing termasuk umat dari umat-umat yang ada[9], maka itu mencegah beliau untuk membunuhnya sehingga membinasakannya secara keseluruhan.
Lantas, bagaimana bisa seorang muslim/muslimah dapat merasa nyaman bergumul, memeluk, dan bermain-main dengan anjing di rumahnya sementara malaikat rahmat menjauhi dirinya dan keluarganya ?. Itu pun seandainya alasan ‘menjaga rumah’ diterima karena memang benar-benar dibutuhkan, bukan sekedar dalih untuk membenarkan.[10]Tak patut seorang muslim/muslimah berdalih mengasihi makhluk, lalu memelihara (atau ‘beternak’ ?) anjing di komplek rumahnya. Nabi adalah manusia paling mengerti makna kasih sayang terhadap makhluk[11], namun beliau tetap memerintahkan untuk mengeluarkan anak anjing dari rumahnya.[12]Begitu juga tak perlu kita berdalih tentang animal walfare, karena Allah yang menciptakan mereka (bangsa anjing) dan kemudian mewahyukan melalui lisan Nabi-Nya dengan segala hal yang telah disebutkan di atas. Tentu Allah ta’ala lebih tahu jalan kemaslahatan bagi manusia sebagai puncak piramida peradaban makhluk di muka bumi. Kalaupun di alam (baca : jalanan) terjadi overpopulation alias banyak anjing liar, boleh untuk diberantas dengan membunuhnya. Boleh menurut syari’at, karena untuk memaslahatan manusia[13]. Bukan dengan solusi dipelihara di dalam rumah !.
Lagi pula, apa juga si manfaatnya memelihara anjing?. Di negeri kita, setelah makan babi, memelihara anjing merupakan salah satu perkara yang membedakan antara keluarga muslim dan non-muslim/kafir. Lah ini malahan berjilbab besar dan bercadar pelihara selusin anjing. Media kuffar dan sekuler sangat bergembira dengan fenomena ini. Di-shooting dan diundang khusus live di TV. Para penggemar anjing mendapatkan ‘dalil’ baru dari perbuatan oknum berjilbab besar dan bercadar ini. Allaahul-musta’aan.
Semoga artikel ini ada manfaatnya dan semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk bagi kita semua.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Abul-Jauzaa’ - rnn – 04012018].



[1]   Allah ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya" [QS. Al-Maaidah : 4].
[2]   Karena digugurkan oleh riyaa’.
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ: اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا، فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
Dari Mahmuud bin Labiid : Bahwasannya Rasulullah pernah bersabda : “Sesungguhnya suatu hal yang paling aku takutkan pada kalian adalah syirik ashghar (syirik kecil)”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Apakah syirik ashghar itu, wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Riyaa’. Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat ketika Ia memberikan balasan kepada manusia atas amal-amal yang mereka lakukan : ‘Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian berbuat riyaa’ kepada mereka di dunia. Lihatlah, apakah kalian mendapatkan balasan di sisi mereka ?” [lihat : Silsilah Ash-Shahiihah, 2/634-635 no. 951].
Oleh karena itu, salaf senantiasa tidak merasa aman amalan mereka pasti diterima di sisi Allah.
عَنْ عَائِشَةَ زَوْج النَّبِيِّ ﷺ قَالَتْ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ: وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ، قَالَتْ عَائِشَةُ: أَهُمُ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ؟ قَالَ: "لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمُ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ، أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ "
Dari ‘Aaisyah istri Nabi berkata : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ini : ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut’ (QS. Al-Mukminuun : 60). ‘Aaisyah berkata : “Apakah mereka adalah orang-orang yang minum khamr dan mencuri ?”. Rasulullah menjawab : “Bukan wahai anak perempuan Ash-Shiddiiq. Akan tetapi mereka adalah orang-orang (senantiasa) berpuasa, shalat, dan bershadaqah, namun mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka itu orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan baik, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3175, Ibnu Maajah no. 4198, Ahmad 6/159, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 162].
Atau dia tidak khusyu’ dan tidak mengerjakan/menyempurnakan rukun-rukunnya terkait ibadah mahdlah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ لَيُصَلِّي سِتِّينَ سَنَةً مَا تُقْبَلُ لَهُ صَلَاةٌ لَعَلَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَلَا يُتِمُّ السُّجُودَ وَيُتِمُّ السُّجُودَ وَلَا يُتِمُّ الرُّكُوعَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Sesungguhnya ada seseorang yang mengerjakan shalat selama 60 tahun, namun ternyata shalatnya itu tidak diterima (oleh Allah). Boleh jadi (sebabnya) karena ia menyempurnakan rukuknya namun tidak sujudnya, atau menyempurnakan sujudnya namun tidak menyempurnakan rukuknya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/287 (2/157) no. 2977].
[3]   Sebagaimana hadits orang yang mengerjakan shalat:
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا
Dari ‘Ammaar bin Yaasir, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya ada seseorang selesai mengerjakan shalatnya sedangkan Allah tidak menuliskan baginya pahala shalatnya itu kecuali sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, atau setengahnya saja” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 796 dan dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud1/226].
Begitulah yang berlaku untuk amal-amal yang lainya.
[4]   Yaitu ketidaktahuan Nabi keberadaan anak anjing di dalam rumah.
[5]   Yaitu karena ada hajat/kebutuhan untuk menjaga rumah.
[6]   Yaitu : Abu Ghaalib Al-Bashriy rahimahullah.
[7]   Maksudnya : Ada apa gerangan anjing-anjing itu mesti dibunuh ?. Perkataan beliau ini merupakan dalil penolakan/pencegahan membunuh anjing dan menghapus perintah beliau yang terdahulu. Al-Haafidh Al-Haazimiy menetapkan satu bab untuk permasalahan tersebut [lihat : ‘Aunul-Ma’buud oleh Abuth-Thayyib Muhammad Syasul-Haqq Al-‘Adhiim Aabaadiy 1/97 dan Al-I’tibaar fin-Naasikh wal-Mansuukh fil-Hadiits oleh Al-Haazimiy hal. 809-816].
[8]   Karena anjing dapat menyebabkan pahala berkurang satu atau dua qirath perhari, malaikat rahmat tidak masuk/mendekat, dan sumber najis (dari air liurnya).
NB : Yang aneh adalah, ada orang sudah tahu (air liur) anjing statusnya najis, bukan malah dijauhi, akan tetapi berdalih bahwa Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan solusi untuk menghilangkannya hanya sekedar agar dapat berakrab-akrab dengan anjing peliharaannya. Fallacy kronis dalam meletakkan dalil.
[9]   Allah ta’ala berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu” [QS. Al-An’aam : 38].
[10]  Saya yakin kita dapat membedakan mana sikap iba terhadap makhluk (anjing) karena butuh ditolong, dan mana sikap yang didasari oleh senang/hobi/gemar terhadap anjing.
[11]  Beliau pernah bersabda:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah), maka sayangilah yang ada di bumi, niscaya engkau akan disayangi oleh Allah yang berada di atas langit”[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1924, Abu Daawud no. 4941, Ahmad 2/160, dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”].
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
Orang yang tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi (oleh Allah ta’ala)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5997].
[12]  Jika kita cermati beberapa hadits yang mengisahkan sebagian sahabat memberikan pertolongan kepada anjing, itupun hanya temporer ketika melihatnya saja. Tak ada satupun riwayat dari salaf sampai kemudian mengambilnya sebagai piaraan klangenan karena merasa iba.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: "بَيْنَا رَجُلٌ بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ، ثُمَّ خَرَجَ، فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ مِنِّي، فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ مَاءً فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّه، وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ لَأَجْرًا، فَقَالَ: فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi pernah bersabda : “Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan, lalu ia merasakan kehausan yang sangat. Kemudian ia mendapati sebuah sumur, lalu ia turun ke sumur itu dan minum air darinya. Setelah itu ia keluar dan ternyata didapatkannya seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya menjilat-jilat (seperti) memakan tanah karena kehausan. Orang itu berkata : ‘Anjing ini sedang kehausan seperti yang aku alami tadi’. Maka ia turun kembali ke dalam sumur seraya mengisi sepatunya dengan air, dan kemudian memberi anjing itu minum. Maka Allah berterima kasih kepadanya dan memberikan ampunan kepadanya”. Para sahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala dengan berbuat baik kepada hewan?". Beliau bersabda : "Setiap amalan memberikan minum terhadap makhluk hidup akan diberi pahala” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2466].
[13]  Hewan dan tumbuhan ini diciptakan Allah ta’alauntuk kemaslahatan manusia. Jika keberadaannya keduanya (hewan dan tumbuhan) mengganggu manusia, maka keduanyalah yang harus ‘dibereskan’. Bukan sebaliknya, manusia yang harus menyesuaikan perilaku hewan dan tumbuhan.
Dalam ilmu ekologi dan cabang-cabangnya (kebetulan sewaktu S1 dan S2, anesedikit belajar tentang ilmu itu), seandainya ada beberapa penyesuaian perilaku manusia dalam rangka pelestarian hewan dan tumbuhan (flora dan fauna, wildlife), maka ujungnya harus membawa kemaslahatan manusia itu sendiri (secara berkelanjutan/sustainable). Cara pandangnya harus dari sisi manusia.
Pun sebagai muslim, semua ilmu dunia itu harus tetap tunduk pada syari’at Allah ta’ala- aturan-Nya - karena Dia-lah yang menciptakan ilmu-ilmu tersebut. Lebih mengetahui hakekat ilmu tersebut.

Modifikasi Kesyirikan

$
0
0

Dewi Sri adalah tokoh mitologi Hindu yang konon menjadi sumber asal tanaman padi. Karenanya lah kemudian masyarakat agraris tradisional (baca : kuno) Jawa-Bali memujanya sebagai lambang keberkahan dan kesuburan dengan segala ritualnya yang kental dengan nuansa animisme dan dinamisme. Ritual tersebut masih banyak dilakukan masyarakat hingga kini.
Misalnya saja ritual Mapag Dewi Sri yang dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai utara Jawa Barat (Cirebon, Idramayu, dan Subang). Ritual ini merupakan perkawinan antara budaya Sunda Kuno dan ‘budaya Islam Jawa[1]’ yang dilakukan untuk menyambut panen raya padi[2]. Dewi Sri (Nyai Pohaci Sanghyang Asri) dianggap masyarakat sebagai subjek (halusinasi) penjaga padi yang menghantarkan mereka pada musim panen. Teknis pelaksanaan ritual Mapag (Dewi) Sri tidak sama persis satu daerah dengan daerah lainnya. Namun satu elemen penting yang menjadi kesamaannya adalah keberadaan sesaji/sesajen[3]. Prosesinya, sesajen dibawa ke tempat padi yang diikat[4]lalu disimpan di sekitar padi tersebut. Setelah itu padi didoai oleh punduh, sesepuh para petani yang (dianggap) mempunyai kemampuan supernatural[5]. Padi tersebut kelak dijadikan bibit.

Upacara yang masih saudaraan dengan Mapag Sri adalah Nadran/Nyadran. Nyadran sukuran laut merupakan ritual yang dilakukan dilakukan agar hasil tangkapan ikan para nelayan banyak/melimpah, sekaligus sebagai tolak bala. Elemen utamanya adalah sesaji yang disebut ancak, berupa anjungan berbentuk replika perahu berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, dan lain sebagainya. Sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring, barongsai, telik sandi, jangkungan, ataupun seni kontemporer (drumband).[6]
Ritual Mapag (Dewi) Sri dan Nadran Laut ini jelas perbuatan syirik akbar.
Yang memberikan hasil panen yang baik, ikan yang melimpah, dan rizki secara umum hanyalah Allah ta’ala. Tidak ada campur tangan sedikitpun subjek (halusinasi) yang bernama Dewi Sri (Nyai Pohaci Sanghyang Asri) atau jin/setan penguasa laut. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah” [QS. Saba’: 24].
Bahkan kaum musyrikin zaman dahulu memahami hanya Allah-lah Tuhan yang memberikan mereka rizki dan mengatur segala urusan, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” [QS. Yuunus : 31].
Sungguh ‘mengherankan’ !
Dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman:
يَأَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?” [QS. Faathir : 3].
Allah ta’ala dalam ayat ini (QS. Faathir : 3), menjelaskan tentang sifat Rubuubiyyah dan Uluuhiyyah-Nya sekaligus.
Ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan :
لا معبود تنبغي لَهُ العبادة، إلا الذي فطر السَّمَوَاتِ والأرض، القادر على كل شيء، الذي بيده مفاتح الأشياء وخزائنها، ومغالق ذلك كله، فلا تعبدوا أيها الناس شيئًا سواه، فإنه لا يقدر على نفعكم وضركم سواه، فله فأخلصوا العبادة، وإياه فأفردوا بالألوهة
“Tidak ada sesembahan yang layak baginya untuk diibadahi kecuali Dzat yang menciptakan langit dan bumi, Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang di tangan-Nya lah kunci pembuka segala sesuatu dan perbendaharaannya, dan sekaligus kunci penutupnya. Maka janganlah kalian menyembah – wahai sekalian manusia – sesuatupun selain-Nya, karena tidak ada yang mampu memberikan manfaat maupun mudlarat kepada kalian selain-Nya. Maka ikhlashkanlah ibadah untuk-Nya, dan esakanlah peribadahan/uluuhiyyah hanya bagi-Nya…” [Tafsiir Ath-Thabariy, 19/329; tahqiq : At-Turkiy].
Segala macam bentuk peribadahan, baik itu kurban, sembelihan, isti’aadzah(permohonan perlindungan), isti’aanah (permohonan pertolongan), dan yang lainnya tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah ta’ala.
Allah ta'ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam” [QS Al-An'aam : 162].
Kesyirikan-kesyirikan sebagaimana disebutkan di atas tidak lantas menjadi ‘syari’iy’ (?) hanya sekedar dimodifikasi dengan tanmbahan kemasan istighatsah-an dan nyanyian shalawatan. Tak diterima alasan : “Saya beragama Islam yang menyembah Allah, melakukan kewajiban shalat dan puasa”. Perbuatan mereka yang menyembah Allah ta’ala dan sekaligus tuhan selain-Nya adalah murni kesyirikan itu sendiri.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah) Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu, maka benar-benar balasannya ada pada Tuhannya. Sungguh tiada beruntung orang-orang kafir itu” [QS. Al-Mukminun: 11].
Sama seperti orang-orang Yahudi dan Nashara yang selain menyembah Allah, mereka menyembah tuhan yang lainnya:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”[QS. Al-Maaidah : 73].
Kelak, semua sesembahan yang mereka sembah selain Allah akan berlepas diri di hari kiamat.
وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لِيَكُونُوا لَهُمْ عِزًّا * كَلا سَيَكْفُرُونَ بِعِبَادَتِهِمْ وَيَكُونُونَ عَلَيْهِمْ ضِدًّا
“Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka. Sekali-kali tidak. Kelak mereka (sembahan-sembahan) itu akan mengingkari penyembahan (pengikut-pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi musuh bagi mereka”[QS. Maryam : 81-82].
Hingga setan dan kawanannya pun berlepas tangan atas kecelakaan yang menimpa seseorang dengan sebab kesyirikan yang dilakukannya.
وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الأمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَمَا كَانَ لِي عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي فَلا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِي مِنْ قَبْلُ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan berkatalah setan ketika perkara (hisab) telah diselesaikan : ‘Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang lalim itu mendapat siksaan yang pedih” [QS. Ibraahiim : 22].
Ini adalah perkara dasar lagi pokok dalam agama kita, yang wajib diketahui – dan memang seharusnya telah diketahui – oleh setiap orang yang ber-KTP muslim.
Alhamdulillah, banyak ulama dan du’at yang memerangi kesyirikan dengan berbagai bentuknya, sehingga – atas idzin Allah ta’ala – dakwah yang mengajak pada tauhid dan sunnah semakin menyebar.
Namun, jika ada sebagian oknum yang justru mengipas-ngipasi kesyirikan ini dan berusaha menghidupkannya dengan mengatakan (misalnya) :
“Mapag Dewi Sri, dewa yang menjaga tanaman, kita jemput….(kurang jelas)… panen dengan sholawatan,..tiedak apa-apa (sambil mengibaskan tangannya). Nyadran sukuran laut supaya ikannya banyak, tidak apa-apa (sambil mengibaskan tangannya lagi)…”
sungguh, sangat disayangkan mengerikan!.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
"Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh" [QS. Al-Hajj : 31].
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar" [QS. An-Nisaa' : 48].
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan” [QS. Al-An’aam : 88].
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun” [QS. Al-Maaidah : 72].
Jika perkataan tersebut di atas diucapkan oleh orang yang mengerti dalil, paham lagi fasih bahasa Arab, pernah belajar dan diajari tentang makna tauhid dan syirik, serta pernah di hidup di negeri yang dipenuhi ulama yang mendakwahkan tauhid dan memerangi syirik; saya tidak melihat adanya ‘udzur dalam kekufuran akbar yang dilakukannya. Kecuali saat bicara yang bersangkutan sedang hilang akalnya (baca : gila).
Nabi pernah bersabda tentang fitnah yang akan muncul sepeninggal beliau:
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا
Akan muncul dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam, barangsiapa yang menerima seruan mereka maka mereka akan menjerumuskannya ke dalam jahannam”. Hudzaifah bertanya : “Wahai Rasululah sebutkan cirri mereka ?” Rasulullah menjawab : “Mereka dari golongan kita dan berbicara dengan lisan-lisan kita” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1847].
Beliau juga bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي، كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ
Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah setiap orang munafik yang pandai bersilat lidah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/22 & 1/44; Al-Arna’uth dkk. berkata : “Sanadnya kuat”].
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ
Yang aku khawatirkan atas umatku hanyalah (munculnya) para pemimpin yang menyesatkan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2229; At-Tirmidziy berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”].
Semoga tidak ada orang yang mengatakannya (lagi). Seandainya pun ada, semoga Allah ta’ala memberikannya hidayah agar kembali kepada syari’at Islam.
Jangan lupa untuk kita semua agar senantiasa berdoa dijauhkan dari kesyirikan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesyirikan (menyekutukan-Mu) sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap kesyirikan yang tidak aku ketahui" [Lihat Shahiihul-Jaami’, hal. 694 no. 3731].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 04022018].


[1]   Saya tidak mengatakan syari’at (agama) Islam.
[2]   Website Lisuma Gunadarma.
[4]   Gambar:

[6]   Sumber : Budaya Masyarakat Pesisir Wedung Wetan Jawa Tengah : Melihat Gaya Komunikasi dan Tradisi Pesisiran oleh Mahfudlah Fajrie, hal. 34-35; CV. Mangku Bumi Media, Cet. 1/Desember 2016 (lihat : sini).

Menjawab Adzan Dulu, Atau Langsung Sholat Tahiyyatul Masjid Kemudian Duduk Mendengarkan Khuthbah ?

$
0
0

Yaitu, ketika (menjelang) shalat Jum’at. Para ulama berselisih pendapat. Sebagian ulama mengatakan ia berdiri menjawab adzan, dan ketika telah selesai ia baru shalat tahiyyatul-masjid; sebagian ulama lain mengatakan ia langsung shalat tahiyyatul-masjid agar tidak kehilangan khuthbah Jum’ah dari awal waktu.
Sebelumnya mari kita perhatikan hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلَائِكَةُ يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi : “Apabila hari Jum’at tiba, maka di setiap pintu masjid terdapat malaikat yang mencatat siapa saja yang hadir lebih dahulu (untuk menghadiri shalat Jum’at). Apabila imam telah duduk (di atas mimbar), mereka melipat/menutup lembaran catatan kitab untuk turut mendengarkan adz-dzikr (khutbah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3211 dan Muslim no. 850].

Dalam riwayat Ibnu Maajah terdapat tambahan:
فَمَنْ جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ فَإِنَّمَا يَجِيءُ بِحَقٍّ إِلَى الصَّلَاةِ
Barangsiapa yang datang setelah itu, maka dirinya hanyalah datang seperti orang datang untuk shalat” [Sunan Ibni Maajah no. 1092].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ، ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasululah bersabda : “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at seperti mandi janabah, lalu segera pergi seawall mungkin ke masjid, seakan-akan ia berkurban seekor unta yang gemuk. Dan barangsiapa pergi pada waktu yang kedua, seakan-akan ia berkurban sapi betina. Dan barangsiapa pergi pada waktu yang ketiga, seakan-akan ia berkurban domba yang bertanduk. Dan barangsiapa pergi pada waktu yang keempat, seakan-akan ia berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang pergi pada waktu yang kelima, seakan-akan ia berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (untuk berkhutbah), maka para Malaikat turut hadir sambil mendengarkan dzikir (khuthbah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 881].
Yang dimaksud dengan ‘menutup lembaran catatan kitab’ adalah lembar catatan keutamaan yang berkaitan dengan bersegera menuju shalat Jum’at [Fathul-Baariy, 2/367]. Hadits ini menunjukkan keutamaan yang sangat besar untuk bersegera datang di hari Jum’at sebelum khaathib memulai khuthbahnya.
Sebagian ulama berdalil dengan hadits di atas tentang wajibnya mendengarkan khuthbah Jum’at [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy oleh Ibnu Baththaal 4/131], karena malaikat pencatat amal kebaikan ketika khathib naik mimbar dan berkuthbah, menutup lembar catatan amal kebaikan mereka duduk untuk mendengarkannya. Dan itu sesuai firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada ‘dzikrullah’ dan tinggalkanlah jual beli” [QS. Al-Jum’ah : 9].
Ternukil dari sebagian ulama seperti Sa’iid bin Al-Musayyib dan Mujaahid rahimahumallah menafsirkan ‘dzikrullah’ dengan nasihat imam (khuthbah Jum’at) [lihat : Mushannaf Ibni Abi Syaibah 2/64 no. 5598 dan Jaami’ul-Bayaan22/642].
Oleh karena itu jika ada seseorang datang shalat Jum’at ketika adzan telah berkumandang dan khathib sudah duduk di atas mimbar mengucapkan salam, hanya ada dua kondisi:
1.    Orang tersebut tetap berdiri mendengarkan dan menjawab adzan, baru setelah itu shalat tahiyyatul-masjid namun terlambat/ketinggalan mendengarkan awal khuthbah;
2.    Orang tersebut langsung mengerjakan shalat tahiyyatul-masjid dalam keadaan tidak mendengarkan dan menjawab adzan, namun tidak terlambat/ketingalan mendengarkan awal khuthbah.
Mana yang lebih afdlal ?.
Kondisi pertama mengkonsekuensikan orang tersebut mendapatkan pahala mendengarkan dan menjawab adzan serta shalat tahiyyatul-masjid (yang keduanya hukumnya sunnah mu’akkadah), namun kehilangan kesempatan mendengarkan khuthbah (yang hukumnya wajib) dari awal waktu dan keutamaannya.
Kondisi kedua mengkonsekuensikan orang tersebut mendapatkan pahala shalat tahiyyatul-masjid dan tidak tertinggal mendengarkan khuthbah dari awal waktu, namun kehilangan pahala mendengarkan dan menjawab adzan.
Meraih keutamaan amalan sunnah namun kehilangan keutamaan (kesempurnaan) amalan yang diwajibkan, ataukah meraih keutamaan (kesempurnaan) amalan yang diwajibkan namun kehilangan keutamaan amalan sunnah ?
Dalam kaedah fiqhiyyah disebutkan:
أن الواجب مقدم على المندوب عند التعارض
“Bahwasannya kewajiban lebih didahulukan daripada anjuran ketika terjadi pertentangan”
أن الواجب لا يترك إلا لواجب
“Kewajiban tidak ditinggalkan kecuali untuk sebuah kewajiban (yang lain)”
الواجب لا يترك للسنة
“Kewajiban tidak ditinggalkan untuk sesuatu yang sunnah”
[Referensi : Tanbiihul-Ummah bi-Ushuulin wa Masaailin Jaami’ah hal. 26 dan Al-Mufaadlalah fil-‘Ibaadaat, Qawaa’idun wa Tathbiiqaat hal. 527].[1]
Maka dapat dipahami bahwa dalam hal ini kondisi kedua yang lebih diutamakan.
Al-Mardawiy rahimahullah ketika menukil beberapa pendapat ulama Hanaabilah dalam permasalahan ini, diantaranya ia mengatakan:
قال في الفروع : ولعل المراد : غير أذان الخطبة ، لأن سماع الخطبة أهم اختاره في مجمع البحرين
“Dikatakan dalam kitab Al-Furuu’ : ‘Mungkin yang dimaksudkan adalah selain adzan khuthbah, karena mendengarkan khuthbah lebih penting. Pendapat ini dipilih dalam kitab Majma’ul-Bahrain” [Al-Inshaaf, 1/427].
Al-Bahuutiy rahimahullah menjelaskan lebih lanjut:
قَالَ فِي الْفُرُوعِ : ( وَلَعَلَّ الْمُرَادَ غَيْرُ أَذَانِ الْخُطْبَةِ ) أَيْ : الْأَذَانِ الَّذِي يَكُونُ بَيْنَ يَدَيْ الْخَطِيبِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ( لِأَنَّ سَمَاعَهَا ) أَيْ : الْخُطْبَةِ أَهَمُّ مِنْ الْإِجَابَةِ ، فَيُصَلِّي التَّحِيَّةَ إذَا دَخَلَ .
"Dalam kitab Al-Furuu’ disebutkan : ‘Mungkin yang dimaksudkan adalah selain adzan khuthbah’; yaitu adzan yang dikumandangkan menjelang khuthbah pada hari Jum'at, karena mendengarkan khuthbah lebih penting daripada menjawab adzan. Maka hendaknya ia langsung shalat tahiyyatul-masjid ketika masuk ke masjid" [Kasysyaaful-Qinaa’, 1/229].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
ذكر أهل العلم أن الرجل إذا دخل المسجد وهو يسمع الأذان الثاني فإنه يصلي تحية المسجد ولا يشتغل بمتابعة المؤذن وإجابته , وذلك ليتفرغ لاستماع لأن استماعها واجب , وإجابة المؤذن سنة , والسنة لا تزاحم الواجب
“Para ulama menyebutkan bahwa seseorang jika masuk ke masjid pada hari Jum’at dan ketika itu ia mendengar adzan kedua, maka hendaknya ia (langsung) mengerjakan shalat tahiyyatul-masjid dan tidak menyibukkan diri untuk mendengarkan adzan mu’adzdzin dan menjawabnya. Hal itu dilakukan agar ia dapat berkonsentrasi mendengarkan khuthbah, karena mendengarkannya hukumnya wajib sedangkan menjawab adzan hukumnya sunnah. Sunnah dapat menyaingi kewajiban” [Majmuu Al-Fataawaa war-Rasaail, 16/151].
Kasus ini seperti ketika seseorang datang ke masjid untuk shalat berjama’ah sedangkan iqamat sudah dikumandangkan, apakah dirinya shalat tahiyyatul-masjid terlebih dahulu ataukah langsung bergabung ke shaff makmum untuk shalat berjama’ah ?. Tentu dirinya hendaknya langsung bergabung shalat berjama’ah. Nabi bersabda:
إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
Apabila iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat kecuali shalat yang wajib” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 710].
Penerapan dalam kasus lain banyak.
Seseorang harus mengedepankan bershadaqah kepada orang yang menjadi kewajiban untuk menanggungnya (tanggung jawabnya) daripada selainnya. Allah ta’ala berfirman:
وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” [QS. Al-Baqarah : 233].
Rasulullah bersabda:
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau shadaqahkan kepada seorang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu; maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 995].
Orang yang belum berhaji, hendaknya melaksanakan kewajiban haji untuk dirinya sendiri sebelum menghajikan orang lain[2].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ النَّبِيَّ ﷺ سَمِعَ رَجُلًا، يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ، قَالَ: "مَنْ شُبْرُمَةُ؟ "قَالَ: أَخٌ لِي، أَوْ قَرِيبٌ لِي، قَالَ: "حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ "، قَالَ: لَا، قَالَ: "حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ، ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Nabi mendengar (ketika berhaji) seorang laki-laki mengucapkan talbiyyah haji : ‘Labbaika (kupenuhi panggilan-Mu ya Allah) atas nama hajinya Syubrumah’. Nabi bertanya : “Siapa Syubrumah?”. Ia menjawab : “Saudara saya (atau kerabat saya)”. Beliau kembali bertanya : ”Apakah engkau telah berhaji untuk dirimu sendiri?”. Ia menjawab : “Belum”. Maka beliau bersabda : ”Berhajilah untuk dirmu sendiri, kemudian (kelak) kamu berhaji untuk Syubrumah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1811, Ibnu Majah no. 2903, dan Ibnu Hibbaan no. 962; dishahihkan oleh A-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Dawud 1/509].
Dan yang lainnya.
Lantas bagaimana dengan hadits:
جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ: «أَصَلَّيْتَ؟» قَالَ: لَا، قَالَ «فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Telah datang seorang laki-laki dalam keadaan nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- sedang khuthbah ( Jum’at ). Maka beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata : “Kamu sudah sholat ( tahiyyatul masjid ) ?“. Orang itu menjawab : “Belum”. Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata : “Sholatlah dua rekaat.” [ HR. At-Tirmidzi : 2/385 no : 511, Ibnu Majah : 1/353 no : 1113 dan selain keduanya dan sanadnya dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah-. Lafadz di atas lafadz  Ibnu Majah ].
???
Bukankah di situ Nabi tetap memerintahkan untuk shalat tahiyyatul-masjid yang hukumnya sunnah padahal khathib sudah memberikan nasihatnya ?
Dijawab :
Kasus ini adalah perkecualian keluar dari kaedah yang disebutkan di atas, karena ada dalil yang menjadi dasar. Seandainya tidak ada dalil tersebut, niscaya tetap sebagaimana asalnya[3]. Pengecualian ini sama seperti kasus seseorang hendak makan dan makanan telah tersedia di hadapannya, lalu iqamat berkumandang; maka ia diperintahkan mendahulukan makannya berdasarkan hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ، وَلَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
Dari Anas bin Maalik, bahwasannya Rasulullah pernah bersabda : “Apabila makan malam telah tersedia, dahulukan makan malam sebelum engkau melaksanakan shalat Maghrib. Dan jangan engkau tergesa-gesa dari makan malam kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 672 & 5463, Muslim no. 557, At-Tirmidziy no. 353, An-Nasaa’iy no. 853, dan Ibnu Maajah no. 933].
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: "إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ "قَالَ: وَتَعَشَّى ابْنُ عُمَرَ وَهُوَ يَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi , beliau bersabda : “Apabila makan malam telah dihidangkan sedangkan shalat sudah ditegakkan (iqamat), maka dahulukan makan malam”. Naafi’ berkata : “Ibnu ‘Umar pernah makan malam sedangkan ia mendengar bacaan imam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 354; shahih].
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ إِذَا وُضِعَ عَشَاؤُهُ أَوْ حَضَرَ عَشَاؤُهُ لَمْ يَقُمْ حَتَّى يَفْرُغَ، وَإِنْ سَمِعَ الْإِقَامَةَ، وَإِنْ سَمِعَ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
“Apabila makan malam telah dihidangkan, maka ‘Abdullah (bin ‘Umar) tidak berdiri shalat hingga ia menyelesaikan makannya, meskipun ia mendengar iqamah dan bacaan imam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3757; shahih].
Padahal hukum asal makan adalah mubah.
Ini dalam kondisi, makanan telah tersedia dan sudah hendak makan, lalu adzan/iqamat berkumandang[4]. Jika makanan belum tersedia atau makanan telah tersedia namun yang bersangkutan belum hendak makan, hendaknya ia mendahulukan shalat[5].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Inilah sedikit yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 05042018 – merupakan kelanjutan dari artikel Masuk Masjid Ketika Adzan Jum’at Dikumandangkan].



[1]   Diantara dalil kaedah-kaedah ini adalah sabda Nabi :
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6502].
[2]   Meskipun jika ia mendahulukan menghajikan orang lain, tetap sah.
[3]   Bahkan para ulama berbeda pendapat dalam masalah seseorang yang datang ketika khuthbah Jum’at telah dimulai, apakah ia langsung duduk mendengarkan khuthbah ataukah shalat tahiyyatul-masjid terlebih dahulu. Hanafiyyah dan Maalikiyyah berpendapat orang tersebut langsung duduk mendengarkan khuthbah dan tidak boleh baginya shalat, sedangkan Syaafi’iyyah dan Hanaabilah sebaliknya, yaitu orang tersebut shalat (tahiyyatul-masjid) terlebih dahulu dengan ringkas, baru kemudian duduk mendengarkan khuthbah. Masing-masing membawakan dalil, namun yang raajih dalam hal ini adalah pendapat Syaafi’iyyah dan Hanaabilah karena dalil yang mereka bawakan shahih lagi sharih yang menjadi pengecualian (istitsnaa’) dalil-dalil yang dibawakan Hanafiyyah dan Maalikiyyah, wallaahu a’lam.
[4]   An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، ....... ، وَهَذِهِ الْكَرَاهَة عِنْد جُمْهُور أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ إِذَا صَلَّى كَذَلِكَ وَفِي الْوَقْت سَعَة ، فَإِذَا ضَاقَ بِحَيْثُ لَوْ أَكَلَ أَوْ تَطَهَّرَ خَرَجَ وَقْت الصَّلَاة صَلَّى عَلَى حَاله مُحَافَظَة عَلَى حُرْمَة الْوَقْت ، وَلَا يَجُوز تَأْخِيرهَا
“Dalam hadits-hadits ini terdapat petunjuk tentang dimakruhkannya shalat ketika makanan telah dihidangkan bagi orang yang hendak memakannya, karena akan menyebabkan kesibukan hati terhadapnya dan hilangnya kesempurnaan kekhusyukan…. Kemakruhan ini menurut jumhur shahabat kami dan yang lainnya, apabila waktu shalat masih luas. Namun apabila waktu shalat sempit sekiranya jika ia makan lalu bersuci (wudlu) menyebabkan waktu shalat habis, maka ia harus shalat pada waktu tersebut untuk menjaga kehormatan waktu  shalat, dan tidak diperbolehkan untuk mengakhirkannya” [Syarh Shahiih Muslim, 5/46].
Silakan baca artikel : Makan Dulu atau Shalat Dulu ?.
[5]   Sesuai keumuman dalil:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa mendengar adzan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya (tidak sempurna shalatnya) kecuali bagi yang memiliki udzur” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 793].
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku bertekad untuk menyuruh seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh shalat dan diserukan adzan untuknya. Kemudian aku suruh seorang laki-laki mengimami manusia. Setelah itu aku datangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah dan akan aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh sepotong daging gemuk dan dua kaki (daging) hewan berkuku belah yang baik, niscaya ia akan mendatangi shalat ‘isya’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 644].
NB : Terlepas perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait hukum shalat berjama’ah di masjid yang tentunya memerlukan pembahasan tersendiri..

Telaga Rasulullah ﷺ di Akhirat

$
0
0

Tanya :Apakah Rasulullah memang mempunyai telaga di akhirat sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang ?
Jawab :Termasuk bagian dari prinsip ’aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah adalah mengimani adalah Al-Haudl (telaga) yang diperuntukkan bagi Nabi Muhammad di akhirat. Airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, aromanya lebih harus daripada minyak kesturi, jumlah bejananya lebih banyak daripada bintang-bintang di langit, serta panjang dan lebarnya sejauh perjalanan sebulan. Barangsiapa yang meminum seteguk air darinya, dia tidak akan dahaga selamanya. Yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang yang berbuat maksiat dan bid’ah dalam agama. Nabi bersabda :

حَوْضِي مَسِيرَةُ شَهْرٍ، مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ، وَرِيحُهُ أَطْيَبُ مِنَ الْمِسْكِ، وَكِيزَانُهُ كَنُجُومِ السَّمَاءِ، مَنْ شَرِبَ مِنْهَا فَلَا يَظْمَأُ أَبَدًا
Telagaku seluas perjalanan sebulan. Warna airnya lebih putih daripada susu, aromanya lebih harum daripada aroma minyak kesturi, dan bejananya sejumlah bintang-bintang di langit. Barangsiapa yang minum darinya, maka tidak akan merasa dahaga selamanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6579 dan Muslim no. 2292].
إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ مَنْ مَرَّ عَلَيَّ شَرِبَ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا، لَيَرِدَنَّ عَلَيَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِي، ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ. وفي رواية : ((فأقول : إنهم مني؛ فيقال : إنك: لا تدري ما أحدثوا بعدك، فأقول : سحقا سحقا لمن غير بعدي))
Sesungguhnya aku adalah orang yang mendahului ke telaga. Barangsiapa yang melewatiku, pasti dia meminumnya. Barangsiapa yang meminumnya, pasti tidak akan merasa dahaga selamanya. Beberapa kaum pasti akan datang kepadaku, aku mengetahui mereka dan mereka pun mengetahuiku, kemudian dihalangi antara aku dan mereka” [HR. Al-Bukhari no. 6583 dan Muslim no. 2290]. Dalam riwayat lain : “Maka aku (Rasulullah ) bersabda : ‘Sesungguhnya mereka termasuk umatku’. Lalu dikatakan : ‘Sesungguhnya kamu tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan (dalam agama ini – yaitu perbuatan bid’ah –Pent.) setelah engkau (Rasulullah)’. Maka aku katakan : ‘Menjauhlah ! Menjauhlah ! Bagi orang yang mengubah (ajaran agama) setelahku’ [HR. Al-Bukhari no. 6584 dan Muslim no. 2291].
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa – Dzulqa’dah 1429 H].

Menempelkan Pundak dan Kaki dalam Shaff (2)

$
0
0

Dalam artikel Hukum Seputar Shaf dalam Shalat Berjama'ah dan Menempelkan Pundak dan Kaki dalam Shafftelah dijelaskan pensyari’atan meluruskan dan merapatkan shaff dalam shalat berjama’ah. Artikel kali ini – setelah beberapa saat libur – akan dituliskan keterangan tambahan tentang makna kaifiyyahmerapatkan shalat, yang sebenarnya, dalam artikel sebelumnya juga telah dijelaskan. Hanya untuk memperkuat saja….
عَنْ أَنَس، قَالَ: أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: "أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي "
Dari Anas, ia berkata : “Iqamat dikumandangkan, kemudian Rasulullah menghadap kami dengan wajahnya lalu bersabda : ‘Luruskan shaff-shaff kalian dan rapatkanlah, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 719].

Ibnul-Atsiir rahimahullah berkata: “Makna tarashshuu fish-shufuuf, yaitu saling menempel/bersentuhan hingga tidak ada diantara kalian celah….. (رص البناء – يرصه - رصا), yaitu : ‘jika bangunan menempel satu dengan yang lainnya sehingga menyatu” [An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits, hal. 360; Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 1/1421 H].
Keterangan yang sama disampaikan oleh As-Sindiy rahimahullah dalam Hasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan An-Nasaa’iy 2/426 (Daarul-Ma’rifah, Cet. 1990 M).
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah menjelaskan:
التراص : هوَ التضام والتداني والتلاصق . ومنه قوله تعالى : { إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفّاً كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ } [ الصف : 4 ] .
At-taraashshmaknanya bergabung, berdekatan, dan menempel. Dan darinya adalah firman Allah ta’ala: ‘Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh’ (QS. Ash-Shaff : 4)” [Fathul-Baariy, 6/719; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1416].
Perintah Nabi untuk merapatkan shaff dalam shalat berjama’ah adalah benar-benar merapatkan dengan menempelkan badan antara satu dengan yang lainnya sehingga tidak ada celah. Seperti halnya dalam hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang merapatkan tumit ketika sujud:
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ، مُسْتَقْبِلا بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ، فَسَمِعْتُهُ، يَقُولُ: "أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَبِكَ مِنْكَ، أُثْنِيَ عَلَيْكَ لا أَبْلُغُ كُلَّ مَا فِيكَ
“Aku kehilangan Rasulullah yang sebelumnya bersamaku di tempat tidur. Lalu aku dapati beliau ternyata sedang bersujud dengan menempelkan tumitnya, ujung-ujung jemarinya menghadap kiblat. Aku mendengar beliau mengucapkan : ‘Aku berlindung dengan ridla-Mu dari murka-Mu, (berlindung) dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu. Dengan-Mu (aku berlindung) dari (azab)-Mu, aku memujimu dan aku tidak dapat meraih semua apa yang ada pada-Mu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/328/no. 652].[1]
Makna rashshan ‘aqibaihi adalah benar-benar menempelkan/merapatkan tumit (ketika sujud). Oleh karena itu, Al-Baihaqiy rahimahullah memasukkan hadits tersebut dalam bab Maa Jaa-a fii Dlammil-‘Aqibaini fis-Sujuud (Beberapa Riwayat tentang Mengumpulkan/Menggabungkan Kedua Tumit Ketika Sujud).
Nabi telah menjelaskan sebab perintah merapatkan shaff tersebut dengan sabdanya:
رَاصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيَاطِينَ تَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ
Rapatkan shaff-shaff kalian, dekatkanlah antara shaf-shaf, dan sejajarkanlah leher-leher. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan-setan masuk dari celah-celah shaff seperti seekor anak kambing kecil” [Diriwayatkan Abu Daawud no. 667, An-Nasaa’iy no. 815, Ahmad 3/260, dan lain-lain; shahih].
أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، لَمْ يَقُلْ عِيسَى: بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ
Tegakkanlah shaff-shaff, sejajarkanlah antara pundak-pundak, tutuplah celah-celah, dan berlemah-lembutlah terhadap kedua tangan saudara-saudara kalian[2]‘Iisaa (perawi) tidak menyebutkan ‘kedua tangan saudara kalian’ – . Dan janganlah kalian membiarkan celah-celah itu untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaff, maka Allah akan menyambungnya; dan barangsiapa yang memutusnya, maka Allah Allah akan memutusnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 666; shahih].
Peniadaan celah dalam shaff dengan menempelkan badan seseorang dengan yang lainnya merupakan perbuatan para shahabat di belakang Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ أَنَسِ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي، وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ "
Dari Anas, dari Nabi yang bersabda : “Tegakkanlah shaff-shaff kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku”. (Anas berkata) : “Seseorang diantara kami yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki temannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 725].
Dalam riwayat Abu Ya’laa terdapat tambahan perkataan Anas setelah menceritakan apa yang diperbuat sahabat ketika melaksanakan perintah Nabi untuk merapatkan shaff:
لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ
“Dan seandainya engkau melakukan yang demikian itu pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal liar (yang melarikan diri)” [Musnad Abi Ya’laa no. 3720].
Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadh yulshiqu :
فَلَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْصِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ....
“Dan sungguh aku melihat salah seorang diantara kami melekatkan/menempelkan pundaknya dengan pundak temannya, telapak kakinya dengan telapan kaki temannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Fawaaris dalam Al-Fawaaid Al-Muntaqaah hal. 187 no. 92; shahih].
Dalam riwayat lain disebutkan perkataan Anas:
فَلَقَدْ يَتَبَارَى الرَّجُلُ بِلَزْقِ مَنْكِبِهِ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ إِذَا قَامَ فِي الصَّلاةِ
“Dan sungguh ada seorang sahabat berlomba-lomba menempelkan pundaknya kepada pundak temannya apabila berdiri dalam shalat (berjama’ah)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy no. 40; shahih].
Riwayat Anas di atas menunjukkan:
1.    kaifiyyah merapatkan shaff dalam shalat berjama’ah dan semangat para shahabat dalam melakukannya;
2.    persetujuan Nabi terhadap apa yang dilakukan dilakukan sahabat dalam hal menempelkan bahu dan telapak kaki[3];
3.    makna menempelkan antar bahu dan antar telapak kaki adalah sebagaimana dhahirnya;
4.    pengingkaran Anas terhadap fenomena yang terjadi di waktu itu – sepeninggal Nabi - berupa : tidak merapatkan shaffdengan menempelkan pundak dan telapak kakinya dalam shalat berjama’ah. Jika sunnah tersebut diamalkan, niscaya banyak orang yang enggan seperti bighal liar yang lari menjauh.[4]
Adapun hadits:
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا، وَيَقُولُ: لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ، وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْأُوَلِ
Dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib, ia berkata : “Rasulullah biasanya memasuki celah-celah shaffdari sisi/ujung shaff ke sisi/ujung lainnya dengan mengusap dada-dada dan pundak-pundak kami, seraya bersabda : ‘Janganlah kalian berselisih (dalam shaff), sehingga hati kalian akan berselisih juga’. Beliau juga bersabda : ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang yang berada di) shaff-shaff pertama” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 664]
maknanya bukan : Nabi menerjang shaff-shaff sehingga dengannya menunjukkan adanya celah untuk orang lewat antara satu orang dengan orang sebelahnya dalam satu shaff.
Dalam riwayat lain disebutkan dalam bentuk jamak (ash-shufuuf):
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَخَلَّلُ الصُّفُوفَ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا وَصُدُورَنَا
“Rasulullah biasanya memasuki celah-celah shaff-shaff dari sisi/ujung shaffke sisi/ujung lainnya dengan mengusap dada-dada dan pundak-pundak kami” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 811].
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَكَانَ يَأْتِي نَاحِيَةَ الصَّفِّ إِلَى نَاحِيَتِهِ، يُسَوِّي صُدُورَهُمْ، وَمَنَاكِبَهُمْ
“Dan beliau datang (berjalan) dari sisi/ujung shaff hingga ujung/sisi lainnya meluruskan dada-dada dan pundak-pundak-pundak mereka” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/285; shahih].
Maknanya, Rasulullah berjalan horizontal dari sisi/ujung shaf pertama ke sisi/ujung lainnya, lalu dilanjutkan ke berjalan ke shaff kedua, ketiga, dan seterusnya dengan cara yang sama. Celah yang dilewati adalah celah antar shaff, bukan di dalam shaff.
Al-Bukhaariy rahimahullah meletakkan hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhudalam bab :
إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ
“Menempelkan pundak dengan pundak, kaki dengan kaki dalam shaff” [Shahiih Al-Bukhaariy, 1/238].
Bab ini menunjukkan dhahir fiqh beliau rahimahullah pada perkara merapatkan shaffdalam shalat berjama’ah, karena sesuai dengan metode pemberian judul bab yang lain dalam kitab Jaami’ush-Shahiih-nya. Bukan makna majaziy.
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:
قوله : ( باب إلزاق المنكب بالمنكب والقدم بالقدم في الصف ) المراد بذلك المبالغة في تعديل الصف وسد خلله
“Dan perkataan Al-Bukhaariy : Bab Menempelkan Pundak dengan Pundak dan Kaki dengan Kaki dalam Shaff; maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaffdan menutup celah” [Fathul-Baariy, 2/211].
Sebagian orang ada yang memahami perkataan Al-Haafidh ‘al-mubaalaghah’ adalah majazi. Atau secara ringkas (menurut mereka) dikatakan : perkataan Al-Bukhaariy tersebut merupakan ungkapan majaz dalam meluruskan shaff dan menutup celah. Tidak benar-benar menempel. Justru ini tidak benar, karena menyalahi makna dhahirnya. Yang dimaksudkan Al-Haafidh dalam mubaalaghah di sini adalah penyangatan dan kesungguhan. Seakan-akan beliau rahimahullah berkata : Disyari’atkan menempelkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki, dalam rangka mubaalaghah (berlebihan, bersungguh-sungguh) dalam pencapaian kelurusan shaff dan menutup celah [lihat : At-Tatimmaat li-ba'dli Masaailish-Shalaah oleh Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin 'Umar Bazmuul, hal. 42].
Setelah menyebutkan hadits An-Nu’maan bin Basyiir dan Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhumaa, Ibnu Baththaal rahimahullah berkata:
هذه الأحاديث تفسر قوله عليه السلام:  « تراصُّوا فى الصف » ، وهذه هيئة التراص
“Hadits-hadits ini menasfirkan sabda beliau : ‘Rapatkanlah shaff’, dan inilah bentuk merapatkan tersebut” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy oleh Ibnu Baththaal, 2/347-348].
Bukankah ketika Anas menyebutkan pengingkarannya : ‘Dan seandainya engkau melakukan yang demikian itu pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal liar (yang melarikan diri)’; yang lebih pas dimaknai sesuai dengan dhahirnya ?. Dan inilah fakta yang banyak terjadi sekarang. Banyak orang enggan dan bahkan lari hanya sekedar untuk menempelkan bahu dan telapak kakinya. Silakan direnungkan !
Selain alasan makna yang dimaksud majazi (dan ini tidak valid), ada yang mengatakan bahwa sahabat yang menempelkan pundak dan telapak kakinya hanya satu orang saja, sedangkan yang lain tidak. Perbuatan seorang sahabat tidak menjadi dalil.
Dari mana disimpulkan sahabat yang lain tidak menempelkan pundak dan telapak kakinya ?. Tidak ada keterangan sama sekali dalam riwayat. Jika dikatakan ‘ahadunaa’ – dalam hadits Anas – bukan berarti yang lain tidak melakukannya. Misalnya saja hadits:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا أَمَرَنَا بِالصَّدَقَةِ انْطَلَقَ أَحَدُنَا إِلَى السُّوقِ فَيُحَامِلُ فَيُصِيبُ الْمُدَّ وَإِنَّ لِبَعْضِهِمْ الْيَوْمَ لَمِائَةَ أَلْفٍ
Dari Abu Mas’uud Al-Anshaariy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Dulu apabila Rasulullah memerintahkan kami bershadaqah, maka salah seorang diantara kami akan berangkat menuju pasar lalu dia bekerja dengan sungguh-sungguh hingga mendapatkan rezeki satu mud (untuk dishadaqahkan). Adapun hari ini sebagian dari mereka bisa mendapatkan seratus ribu kalinya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2273].
Hadits ini tidak menunjukkan hanya satu orang saja diantara banyak sahabat yang hadir yang mencari rizki dan bershadaqah darinya. Hadits ini hanya menunjukkan sifat/sikap para shahabat jika ketika mendengar perintah dari Nabi. Tentu aneh jika dipahami hanya satu orang saja dari banyak sahabat yang mendengar melaksanakan perintah beliau .
عَنْ زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ: إِنْ كُنَّا لَنَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ يُكَلِّمُ أَحَدُنَا صَاحِبَهُ بِحَاجَتِهِ حَتَّى نَزَلَتْ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ، فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ "
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata : “Dahulu kami di zaman Nabi saling berbicara ketika shalat. Salah seorang diantara kami mengajak temannya berbicara untuk satu keperluan, hingga kemudian turun ayat : ‘Peliharalah shalat-shalat-(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa’ (QS. Al-Baqarah : 283). Setelah itu, kami diperintahkan untuk diam (ketika shalat)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1199].
Hadits di atas menjelaskan bahwa fenomena berbicara ketika shalat sebelum turun larangan adalah jamak, umum dilakukan para shahabat. Ketika dikatakan oleh Zaid : ‘salah seorang diantara kami mengajak temannya berbicara untuk satu keperluan’, bukan artinya hanya satu orang saja yang berbicara dengan temannya.
Dan lain-lain.
Seandainya pun benar seperti yang mereka katakan bahwa hanya satu orang shahabat saja yang menempelkan pundak dan bahu mereka ketika meluruskan dan merapatkan shaff; bukankah menjadi janggal sementara mereka sendiri menguatkan makna perkataan Anas tersebut hanyalah majazi, bukan sebenarnya?. Perbuatan meluruskan dan merapatkan shaff tanpa menempelkan pun menjadi bukan hujjah karena hanya dilakukan oleh seorang shahabat saja.
Terakhir, sebagian orang mengatakan bahwa tidak mungkin untuk menempelkan lutut dengan lutut seperti dalam riwayat An-Nu’maan bin Basyiir radliyallaahu ‘anhu, sehingga makna yang terambil bukan pada dhahirnya, tapi majazi. Hadits An-Nu’maan bin Basyiir tersebut adalah:
عَنْ النُّعْمَان بْن بَشِير، يَقُولُ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: "أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثَلَاثًا، وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ "، قَالَ: فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ
Dari An-Nu’maan bin Basyiir, ia berkata : “Rasulullah  pernah menghadap ke arah jama’ah shalat dan bersabda : ‘Tegakkanlah shaff-shaff kalian’ – sebanyak tiga kali - .  Demi Allah, hendaklah kalian benar-benar menegakkan shaff-shaff kalian; atau jika tidak, maka Allah akan membuat hati-hati kalian saling berselisih’. An-Nu’maan berkata : “Aku melihat ada seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 662; shahih].
Pada dasarnya hujjah ‘aqliyyah ini mudah dijawab. Pertama, menempelkan lutut dengan lutut bukannya tidak mungkin; akan tetapi bisa meski tidak setiap orang dapat melakukannya (tergantung bentuk kaki dan ukuran badan). Saya jawab demikian karena saya adalah pelakunya, sering melakukannya, walau tidak selalu. Kedua, perkataan An-Nu’maan ini menunjukkan bahwa merapatkan shalat dilakukan pada keseluruhan shalat. Menempelkan lutut dengan lutut mudah dilakukan ketika sujud dan duduk, sehingga dengannya seseorang berusaha tidak membiarkan adanya celah antara dirinya dengan saudaranya ketika shalat berjama'ah [At-Tatimmaat li-ba'dli Masaailish-Shalaah, hal. 44].
Sebagai penutup,…. menempelkan bahu dengan bahu, telapak kaki (mata kaki) dengan telapak kaki, atau bahkan lutut dengan lutut (sebagaimana keterangan di atas) mudah dilakukan bagi yang terbiasa, insyaallah. Justru saya tidak habis pikir ketika kita datang masuk ke dalam shaff dengan menempelkan bahu dan telapak kaki (mata kaki) kita dengan bahu dan telapak kaki (mata kaki) saudara kita muslim (tanpa ekstrim mepet dengan tubuhnya), ia malah menjauh. Saya pribadi malah pernah dihardik. Opo salahku ?. Kalau memang saudara kita menjauh atau bahkan ‘lari’, kita tak perlu kejar-kejaran karena kita bukan mau lari atletik. Urusan dia lah mau lari atau sprint….
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – rnn – 13052018].



[1]   Keshahihan hadits ini diperbincangkan para ulama. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menshahihkannya dalam Shifatu Shalaatin-Nabiy, hal. 142; Maktabah Al-Ma’aarif. Adapun beberapa ulama lainnya melemahkannya.
[2]   Abu Daawud rahimahullah setelah menyebutkan hadits tersebut menjelaskan makna ‘berlemah-lembutlah terhadap kedua tangan saudara-saudara kalian’:
إِذَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُلِينَ لَهُ كُلُّ رَجُلٍ مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ
“Apabila seseorang datang dan kemudian hendak masuk shaff, hendaknya setiap orang agar melunakkan kedua pundaknya hingga ia dapat masuk ke dalam shaff” [Sunan Abi Daawud no. 666].
Hadits ini berkaitan dengan perintah/anjuran untuk menyambung/merapatkan shaffdan menutup celah (jika ada celah), karena konteks haditsnya adalah demikian. Maka, jika ada seseorang datang dan ingin masuk shaff untuk menutup celah; hendaknya orang-orang melunakkan pundaknya sehingga ia dapat masuk dan celah dapat tertutup.
 Senada dengan hadits yang lain:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Sebaik-baik kalian adalah yang mempunyai bahu paling lembut di dalam shalat” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 672; shahih].
Al-Manaawiy menjelaskan hadits ini semisal dengan penjelasan Abu Daawud rahimahumallah:
إذا جاء من يريد الدخول في الصف فوضع يده على منكبه لان وأوسع له ليدخل
“Apabila ada orang yang hendak masuk (mengisi) ke dalam shaff lalu ia meletakkan tangannya ke pundaknya, hendaknya ia memberikan kelonggaran untuknya agar dapat masuk (mengisi shaff)” [Faidlul-Qadiir, 2/96].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبًا فِي الصَّلاةِ، وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خُطْوَةٍ مَشَاهَا رَجُلٌ إِلَى فُرْجَةٍ فِي صَفٍّ فَسَدَّهَا
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling lunak pundaknya dalam shalat. Dan tidak ada satu langkah yang lebih agung pahalanya daripada langkah yang diayunkan seseorang untuk menuju celah dalam shaff lalu ia menutupnya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausathno. 5217; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah2/368 no. 743].
Bukankah perbuatan ini sering kita lakukan menjelang shalat berjama’ah dimulai, yaitu kita saling mengisi dan merapatkan shaff yang kosong/longgar ?.
Adalah keliru jika kemudian hadits ini dimaknai bahwa shaff para shahabat di zaman Nabi adalah longgar sehingga orang dapat ‘keluar-masuk’ melewati shaff. Konteksnya bukan itu.
[3]   Karena Nabi bersabda dalam hadits tersebut:
فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي....
“Karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku”.
Jika menempelkan bahu dan telapak kaki adalah kemunkaran (sebagaimana prasangka sebagian orang), tentu akan diingkari oleh Nabi .
[4]   PERSIS seperti fenomena sekarang, dan bahkan (yang sekarang) lebih parah.

Mengadakan Papan Sutrah di Masjid

$
0
0

Sebagaimana telah dibahas pada artikel Apa Hukum Sutrah dalam Shalat ?, pada kesempatan ini saya akan sedikit menyinggung pembahasan lain tentang sutrah, yaitu hukum papan sutrah dalam masjid. Sebagian orang menganggap membuat atau memakai papan sutrah di masjid adalah bid’ah. Bahkan dikatakan, menyerupai penyembahan terhadap berhala. Really ?....
Dulu, Nabi pernah sengaja membawa tombak kecil yang beliau pergunakan sebagai sutrah di tanah lapang (mushalla) ketika shalat ‘Ied. Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah membahas permasalahan ini dengan membuat satu bab dalam kitab Al-Jaami’ush-Shahiih-nya dengan judul:
حمل العنزة أو الحربة بين يدي الإمام يوم العيد
“Membawa ‘anazah atau harbah untuk diletakkan di depan imam ketika shalat 'Ied”.

‘Anazah dan harbah adalah sejenis tombak [lihat : Fathul-Baariy oleh Ibnu Rajab, 3/313].
Kemudian beliau rahimahullah membawakan hadits:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ الْحِزَامِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو الْأَوْزَاعِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي نَافِعٌ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَغْدُو إِلَى الْمُصَلَّى وَالْعَنَزَةُ بَيْنَ يَدَيْهِ تُحْمَلُ، وَتُنْصَبُ بِالْمُصَلَّى بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Mundzir Al-Hizaamiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amru Al-Auzaa’iy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Nabi berangkat menuju mushallaasedangkan di tangan beliau membawa 'anazah yang kemudian beliau tancapkan di depan beliau, lalu shalat menghadap ke arahnya” [Al-Jaami’ush-Shahiih/Shahiih Al-Bukhaariy 1/307 no. 973].
Ibnu Baththaal rahimahullahmenjelaskan:
حمل العنزة والحربة بين يديه لتكون له سترة فى صلاته إذا كانت المصلى فى الصحراء، ولم يكن فيها من البنيان ما يستتر به، ومن سنته عليه السلام، أن لا يصلى المصلى إلا إلى سترة إمامًا كان أو منفردًا.
“(Disyari'atkan) meletakkan ‘anazah dan harbah di hadapan seseorang untuk dijadikan sutrah ketika shalat apabila berada di tanah lapang (mushalla) atau padang pasir yang tidak ada bangunan sebagai tabir (dalam shalat). Dan termasuk sunnah beliau ‘alaihis-salaam adalah seseorang tidak shalat kecuali menghadap sutrah, baik sebagai imam atau ketika munfarid (shalat sendirian)” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy, 2/567].
Sebagaimana diketahui, mushalla yang beliau pergunakan untuk shalat ‘Ied ada di pintu luar Madiinah. Dari sini diketahui bahwa sengaja mempersiapkan sesuatu yang dipergunakan untuk sutrah shalat diperbolehkan.
Yang menarik lagi adalah riwayat berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ بَزِيعٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَاذَانُ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، قَالَ: "كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ تَبِعْتُهُ أَنَا وَغُلَامٌ وَمَعَنَا عُكَّازَةٌ أَوْ عَصًا أَوْ عَنَزَةٌ وَمَعَنَا إِدَاوَةٌ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْ حَاجَتِهِ نَاوَلْنَاهُ الْإِدَاوَةَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Haatim bin Bazii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syaadzaan, dari Syu’bah, dari ‘Athaa’ bin Abi Maimuunah, ia berkata : Aku mendengar Anas bin Maalik berkata : “Apabila Nabi keluar untuk buang hajat, aku dan seorang anak kecil mengikuti beliau dengan membawa tongkat, atau sebatang kayu, atau ‘anazah, serta membawa bejana berisi air. Apabila beliau selesai dari buang hajatnya, kami memberikan bejana tersebut kepada beliau ” [Al-Jaami’ush-Shahiih 1/175 no. 500].
Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullahmeletakkan hadits ini dalam bab:
الصلاة إلى العنزة
“Shalat menghadap ‘anazah” [idem].
Apa hubungan hadits Anas di atas dengan bab shalat menghadap ‘anazah, padahal secara tekstual di dalamnya sama sekali tidak menyebutkan perbuatan Nabi shalat menghadap ‘anazah ?.
Ibnu Baththaal rahimahullahmenjelaskan maknanya:
أن الرسول كان التزم أن لا يكون إلا على طهارة فى أكثر أحواله، وكان إذا توضأ صلى ما أمكنه بذلك الوضوء مذ أخبره بلال بما أوجب الله له الجنة من أنه لم يتوضأ قط إلا صلى، فلذلك كان يحمل الماء والعنزة إلى موضع الخلاء والتبرز
“Bahwasannya Rasulullah selalu berkomitmen dirinya dalam keadaan suci pada kebanyakan kondisi beliau. Apabila berwudlu, maka beliau berusaha mengerjakan shalat yang beliau bisa dengan wudlunya tersebut, semenjak Bilal memberitahukan kepada beliau amalan yang menyebabkan dirinya masuk surga berupa shalat (sunnah) setiap kali selesai wudlu[1]. Oleh karena itu, beliau membawa air dan ‘anazah ke tempat buang hajat” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy 2/131].
Jadi, beliau senantiasa mempersiapkan (membawa) sesuatu yang dipergunakan sebagai sutrah ketika shalat seusai wudlu.
Jika mempersiapkan sesuatu yang dipergunakan sebagai sutrah shalat bagi diri sendiri diperbolehkan, apakah menjadi tidak boleh jika kita membantu atau menyiapkan hal itu untuk orang lain ?. Tentu tidak demikian.
Papan sutrah yang disediakan oleh sebagian pengurus masjid hanyalah sebagai wujud ta’aawun ‘alal-birr wat-taqwaa. Yaitu, membantu jama’ah untuk mendapatkan sutrah shalat sebagai pelaksanaan satu sunnah Nabi :
لا تُصَلِّ إِلا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
Janganlah engkau shalat kecuali menghadap sutrah (pembatas). Dan jangan engkau biarkan seorangpun lewat di hadapanmu (ketika engkau shalat). Jika ia enggan, maka perangilah ia, sesungguhnya ia bersama dengan qarin (syaithan)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 2/9-10 no. 800].
Jika ada seseorang yang ‘agak berat’ berjalan menuju dinding atau tiang saat dirinya duduk di masjid dan hendak melaksanakan shalat sunnah, bolehkah dirinya menjadikan tas yang ia bawa sebagai sutrah ?. Boleh. Jika boleh, bukankah kebolehan itu tetap berlaku jika ia mempergunakan papan sutrah yang kebetulan dekat dengannya ?.[2]
DKM atau orang yang sengaja menyiapkan/membuat papan sutrah tidak mewajibkan atau menganjurkan orang memakainya. Hanya sekedar alternatif saja, bisa dipakai atau tidak. Jika seseorang lebih dekat dengan tembok atau tiang masjid atau di depannya ada orang yang duduk, tentu dirinya tidak akan mempergunakan papan sutrah tersebut.
Adapun sampai menganggap tasyabbuhdengan penyembah berhala (karena seakan-akan menyembah kayu ketika shalat), justru ini bentuk penyamaan yang berlebih-lebihan. Apakah kita akan menganggap perbuatan Nabi yang sering membawa tongkat atau ‘anazah untuk sutrah yang kemudian shalat menghadapnya sama seperti sujud terhadap berhala ?. Allaahul-musta’aan….
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأجمع المسلمون على أن السجود لغير الله محرم وأما الكعبة فقد كان النبى يصلى الى بيت المقدس ثم صلى الى الكعبة وكان يصلى الى عنزة ولا يقال لعنزة والى عمود وشجرة ولا يقال لعمود ولا لشجرة والساجد للشىء يخضع له بقلبه ويخشع له بفؤاده واما الساجد اليه فانما يولي وجهه وبدنه اليه ظاهرا كما يولي وجهه الى بعض النواحي إذا أمه كما قال فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Kaum muslimin sepakat bahwa sujud untuk selain Allah haram hukumnya. Adapun Ka’bah, maka Nabi pernah shalat menghadap Baitul-Maqdis, kemudian setelah itu shalat menghadap Ka’bah. Beliau juga biasa shalat menghadap ‘anazah (ilaa ‘anazah) – tidak dikatakan (sujud) untuk/kepada ‘anazah (li-‘anazah) – dan menghadap tiang dan batang pohon – tidak dikatakan (sujud) untuk/kepada tiang dan batang pohon (li-‘amuud wa li-syajarah) – . Maka, orang yang bersujud untuk/kepada sesuatu, maka hatinya merendahkan diri dan khusyuk kepadanya. Adapun orang yang sujud menghadap pada sesuatu tersebut, maka ia hanya memalingkan wajah dan badannya saja kepadanya secara dhahir, sebagaimana ia memalingkan wajahnya ke sebagian arah apabila menghadap kepadanya. Sebagaimana dalam firman Allah ta’ala : ‘Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil-Haraam. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya’ (QS. Al-Baqarah : 144, 150)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/358-359].
Beliau rahimahullah membedakan antara sujud ilaa-syai’ dan sujud li-syai’. Sujud menghadap sutrah tidak dapat disamakan – atau bahkan dihukumi – seperti sujud para penyembah berhala, apapun wujud sutrah tersebut (‘anazah, meja, kursi, tas, atau papan sutrah).
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahiim Al-Bukhaariy hafidhahullah membolehkan memakai papan sutrah:

Asy-Syaikh Muhammad bin Haadiy Al-Madkhaliy tidak menghukimi bid'ah papan sutrah sebagaimana riwayat yang terkutip dari situs sahab.netdari Ahmad At-Tuwaijiriy hafidhahumallah:

“Aku mendengar Al-‘Allaamah Abu Anas Muhammad bin Haadiy hafidhahullah ditanya tentangnya – yaitu papan kayu sutrah – apakah itu bid’ah ?. Maka beliau hafidhahullah menjawab : ‘Bukan bid’ah. Tidak mengapa dengannya’. Lalu beliau ber-istidlaal bahwasannya Nabi pernah meletakkan – atau diletakkan baginya – ‘anazah (sebagai sutrah dalam shalat)” [selesai].
Begitu juga Dr. ‘Abdullah Al-Faqiih hafidhahullah dalam situs fatwa.islamweb.net.
Wallaahu a’lam, ini saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 2 Ramadlaan 1439 – menjelang ‘Ashar].



[1]   Riwayatnya adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قال لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ: يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi pernah bertanya kepada Bilaa ketika shalat Shubuh : “Wahai Bilaal, beritahukanlah kepadaku amalan yang engkau lakukan di masa Islam yang paling engkau harapkan, karena aku mendengar suara kedua sandalmu di hadapanku di dalam surga”. Bilaal menjawab : “Tidaklah aku mengerjakan suatu amalan yang paling aku harapkan daripada aku bersuci baik di waktu malam ataupun siang kecuali aku melakukan shalat dengan bersuciku tersebut sesuai yang dikehendaki Allah padaku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1149 dan Muslim no. 2458].
[2]   Jika dikatakan tidak boleh karena yang dilakukan salaf adalah berlomba-lomba mencari tiang masjid, maka Anda meletakkan tas yang Anda bawa sebagai sutrah shalat pun tidak boleh dengan alasan : Anda mesti mencari tiang masjid sebagai bentuk meneladani salaf.
Ini adalah pemahaman yang aneh!.

Tauhid, Pokok Dakwah Para Nabi dan Rasul

$
0
0

Allah ta’ala telah menciptakan langit-langit dan bumi, serta apa-apa yang ada diantaranya dan apa-apa yang ada di dalamnya. Allah ta’ala telah menciptakan yang nyata (syahadah) dan yang tidak nyata (ghoib). Allah ta’ala telah menciptakan manusia dan jin, maka tidaklah Allah membiarkan mereka begitu saja dengan sia-sia. Tetapi Allah telah mengutus para nabi dan rasul (al-anbiya wal-mursalin), dengan membawa Kitab yang diwahyukan oleh Allah ta’ala kepada mereka. Bagi yang menaati nabi/Rasul akan menjumpai nikmat dan rahmat Allah, yaitu surga. Sebaliknya, bagi yang durhaka akan menjumpai kemurkaan dan siksa Allah, yaitu neraka. Demikianlah keberadaan anbiya dan mursalin.
Maka sesungguhnya perjalanan dakwah para nabi dan rasul dari masa ke masa dan di manapun mereka diutus di muka bumi ini dan kepada ummat siapapun, mereka mengawali dan memulai dengan ilmu “Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah”, dengan Tauhid. Perjalanan dakwah tersebut dinyatakan pada beberapa ayat Al-Qur'an.

Allah ta’ala telah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” [QS. An-Nahl : 36].
Berikut beberapa penjelasan mengenai perjalanan dakwah para nabi dan rasul:
1.    Dakwah Nabi Nuh ‘alaihis-salaam
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ * أَنْ لا تَعْبُدُوا إِلا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيمٍ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): ‘Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa adzab (pada) hari yang sangat menyedihkan” [QS. Hud : 25-26].
2.    Dakwah Nabi Huud ‘alaihis-salaam
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Ad saudara mereka, Hud. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya” [QS. Al-A’raaf : 65 dan QS. Huud : 50].
3.    Dakwah Nabi Shaalih ‘alaihis-salaam
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Saleh. Ia berkata. ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya” [QS. Al-A’raaf : 73 dan QS. Huud : 61].
4.    Dakwah Nabi Ibraahiim, Isma’iil, Ishaaq, dan Ya’qub ‘alaihim as-salaam
إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’. Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” [QS. Al-Baqarah : 133].
5.    Dakwah Nabi Yuusuf ‘alaihis-salaam
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ * مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [ QS. Yuusuf : 39-40].
6.    Dakwah Nabi Syu’aib ‘alaihis-salaam
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya” (QS. Al-A’raaf : 85 dan QS. Huud : 84].
7.    Dakwah Nabi Musa dan Harun ‘alaihimas-salaam
Ketika Musa melihat penyimpangan Bani Israil menyembah patung emas anak sapi, (demikian pula tatkala memberi peringatan pada Fir’aun la’natullah), Musa berkata sebagaimana terdapat dalam firman Allah ta’ala:
إِنَّمَا إِلَهُكُمُ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ
Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia” [QS. Thaha : 98].
8.    Dakwah Nabi ‘Isa ‘alaihis-salaam
وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Padahal Al-Masih (sendiri) berkata: ‘Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu" Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun” [QS. Al-Maaidah : 72].
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?" Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya” [QS. Al-Maaidah : 116].
9.    Dakwah Nabi Muhammad
Sebagaimana semua muslimin/mukminin mengetahui dan memahami bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad , dan dakwah Al-Qur’an adalah dakwah tauhid, yang membebaskan manusia dari segala macam kesyirikan sampai ke akar-akarnya.
Rasulullah Muhammad telah menyampaikan dakwah tauhid ini selama 13 tahun berada di Makkah, 11 tahun berada di Madinah, dan juga ke negeri-negeri lain melalui utusan-utusan beliau (para shahabat). Dengan dakwah tauhid terbukalah pintu-pintu negeri-negeri di penjuru dunia ini.
Sebagai contoh, berkata Nabi :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَمَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ
Aku telah diperintah (oleh Allah) untuk memerangi manusia hingga mereka berkata Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaha illallaah, sungguh telah terjaga dariku hartanya dan juga jiwanya” [Shahiih Al-Bukhari Kitab Al-Iman, hadits no. 24; Shahih Muslim Kitab Al-Iman, juz 1 hal. 51].
Ketika Nabi mengutus Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu ke Yaman, beliau berpesan kepada Mu’adz radliyallaahu ‘anhu:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى فَإِذَا عَرَفُوا ذَلِكَ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِم
Sesungguhnya engkau akan menjumpai kaum dari ahli kitab. Maka hendaklah pertama kali yang engkau serukan kepada mereka agar mereka men-Tauhidkan Allah ta’ala. Jika meraka telah mengerti hal itu, kabarkan kepada mereka sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu pada tiap hari dan tiap malam …………..” [Shahih Al-Bukhari Kitab At-Tauhid, hadits no. 6823, Kitab Az-Zakat hadits no. 1308; Shahih Muslim Kitab Al-Iman,hadits no. 27].
Berdasarkan perjalanan dakwah para nabi dan rasul di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits di atas, maka tauhid adalah ushul permulaan dari dakwah mereka. Tauhid adalah ushul permulaan dakwah, ushul dakwah, ushul diinul-Islam, dan ushul syari’at. Sebelum syari’at-syari’at yang lain diajarkan oleh para nabi dan rasul kepada manusia (juga jin), maka Tauhid inilah yang menjadi pokok segala syari’ah tersebut.
Wallaahu a’lam
[shahabat tercinta, Abu Husain Al-Bogoriy rahimahullah– 6 Januari 2005, editing Abul-Jauzaa’, 2 Ramadlaan 1439 H[1]].


[1]   Artikel ini adalah salah satu bab dari tulisan sahabat saya yang saya diminta untuk memgoreksi/mengeditnya 13 tahun yang lalu. Lama belum saya lakukan, karena saya mengkhawatirkan diri saya sendiri yang belum pantas menjadi editor tulisannya. Tulisan ini hanyalah untuk materi pengajian di komplek. Sahabat saya itu telah meninggal 6 tahun yang lalu. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, dan juga baginya kelak di akhirat. Rahimahullah……


Sumpah dalam Al-Qur’an

$
0
0

Kata sumpah berasal dari bahasa Arab, yaitu al-qasam (اْلقَسَمُ) yang bermakna al-yamiin (اْليَمِينُ), yaitu menguatkan sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan menggunakan huruf-huruf (perangkat sumpah) seperti wawu dan yang lainnya. Huruf-huruf dimaksud ada tiga, yaitu:
1.    Wawu (و)
Contohnya seperti dalam firman Allah ta’ala :
فَوَرَبّالسّمَآءِ وَالأرْضِ إِنّهُ لَحَقّ
Maka Demi Rabb langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi)” [QS. Adz-Dzariyaat : 23].

Dengan masuknya huruf wawu (sebagai huruf qasam) maka ’aamil (pelaku)-nya harus dihapuskan, dan kemudian huruf wawu tersebut juga harus diikuti dengan isim dhaahir.
2.    Ba’ (ب)
Contohnya seperti dalam firman Allah ta’ala :
لاَ أُقْسِمُ بِيَوْمِالْقِيَامَةِ
Aku bersumpah dengan hari kiamat” [QS. Al-Qiyaamah : 1].
Dan dengan masuknya huruf ba’, diperbolehkan menyebutkan ’aamil-nya sebagaimana contoh ayat di atas. Namun diperbolehkan juga untuk menghapusnya sebagaimana firman Allah ta’alatentang iblis :
قَالَ فَبِعِزّتِكَلاُغْوِيَنّهُمْ أَجْمَعِينَ
(Iblis) berkata : Maka Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya” [QS. Shaad : 82].
Setelah huruf ba’ boleh diikuti isim dhaahir sebagaimana contoh ayat di atas, dan boleh juga diikuti dlamir, sebagaimana perkataan :
اللهُ رَبِّيْ وَبِهِأَحْلِفُ لَيَنْصُرُنَّ اْلمُؤمنِيْنَ
”Allah Rabbku, dan dengan-Nya aku bersumpah sungguh Dia akan menolong orang-orang beriman”
3.    Taa’ (ت)
Contohnya seperti dalam firman Allah ta’ala :
تَاللّهِلَتُسْأَلُنّ عَمّا كُنْتُمْ تَفْتَرُونَ
Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang kamu ada-adakan” [QS. An-Nahl : 56].
Dengan masuknya huruf taa’, ’aamil (pelaku)-nya harus dihapuskan, dan kemudian huruf taa’ tersebut harus diikuti dengan isim Allah (yaitu - الله) atau Rabb (ربّ). Contohnya :
تَرَبِّاْلكَعْبَةِ لَأحَجَنَّ إِنْ شَآءَ اللهُ
”Demi Rabb Ka’bah, sungguh aku akan berhaji insya Allah”.
Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam bih (sesuatu yang dijadikan dasar atau landasan sumpah) itu disebutkan, sebagaimana pada contoh-contoh sebelumnya.
Kadang dihapuskan, seperti perkataan :
أحلف عليك لتجتهدن
“Aku bersumpah kepadamu, sungguh engkau harus berusaha dengan sungguh-sungguh”.
Dan kadang-kadang dihapus dengan ‘aamil (pelaku)-nya. Bentuk yang seperti ini banyak, misalnya dalam firman Allah ta’ala :
ثُمّ لَتُسْأَلُنّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النّعِيمِ
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” [QS. At-Takaatsur : 8].
Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam ‘alaih disebutkan seperti dalam firman Allah ta’ala:
قُلْ بَلَىَ وَرَبّيلَتُبْعَثُنّ
Katakanlah : ‘Tidak demikian, demi Rabbku, benar-benar kamu akan dibangkitkan” [QS. At-Taghaabun : 7].
Namun kadang-kadang boleh dihapus, seperti dalam firman Allah ta’ala :
قَ وَالْقُرْآنِالْمَجِيدِ
Qaaf, demi Al-Qur’an yang sangat mulia” [QS. Qaaf : 1].
Taqdiir (kata yang tidak disebutkan) dalam ayat tersebut adalah لَيُهْلِكُنَّ, sehingga maknanya : “Qaaf, demi Al-Qur’an yang sangat mulia, sungguh Dia pasti akan membinasakan”.
Dan kadang-kadang wajib dihapuskan apabila diawali atau didahului oleh faktor-faktor yang memperbolehkannya. Ibnu Hisyam rahimahullah berkata dalam Al-Mughniy, dan dicontohkan dalam kaidah nahwu :
زَيْدٌ قَائِمٌ وَاللهِ
“Zaid sedang berdiri, demi Allah”
زَيْدٌ وَاللهِ قَائِمٌ
“Zaid, demi Allah, sedang berdiri”
Sumpah memiliki 2 faedah, yaitu :
1.    menjelaskan keagungan al-muqsam bihi (yang dijadikan landasan atau dasar sumpah);
2.    menjelaskan pentingnya al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) dan sebagai bentuk penguat atasnya.
Oleh karena itu, tidak baik bersumpah kecuali dalam keadaan berikut :
a.    sesuatu yang disumpahkan (al-muqsam ‘alaih) hendaknya adalah sesuatu yang penting;
b.    adanya keraguan dari mukhaththab(orang yang diajak bicara);
c.    adanya pengingkaran dari mukhaththab.
Wallaahu a’lam.
[Ushuulun fit-Tafsiir oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah hal. 48-49; Al-Maktabah Al-Islaamiyyah, Cet. 1/1422 H].

Syirik : Sumpah dengan Selain Allah

$
0
0

Sumpah dengan menyebut nama selain Allah ta’ala merupakan tradisi Jahiliyyah yang turun-temurun terwarisi hingga kini di sebagian kalangan juhalaa’. Budaya latah ini wajib dihilangkan karena termasuk diantara hal-hal yang mengurangi kesempurnaan tauhid kita. Banyak nash-nash larangan bersumpah dengan selain Allah ta’ala, diantaranya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَال: سَمِعْتُ عُمَرَ، يَقُولُ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ "، قَالَ عُمَرُ: فَوَاللَّهِ مَا حَلَفْتُ بِهَا مُنْذُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ ذَاكِرًا، وَلَا آثِرًا
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Aku mendengar ‘Umar berkata : “Rasulullah pernah berkata kepadaku : ‘Sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan menyebut nama bapak-bapak kalian”. ‘Umar berkata : “Maka demi Allah, aku tidak akan sengaja bersumpah dengannya (menyebut bapaknya) sejak aku mendengar (sabda) Nabi (tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6647 dan Muslim no. 1646].

Nabi mengkhususkan penyebutan larangan bersumpah dengan bapak-bapak dalam hadits di atas dikarenakan orang ‘Arab biasa mengucapkan model sumpah-sumpah tersebut; sebagaimana riwayat:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ كَانَ حَالِفًا، فَلَا يَحْلِفْ إِلَّا بِاللَّهِ، وَكَانَتْ قُرَيْشٌ تَحْلِفُ بِآبَائِهَا، فَقَالَ: لَا تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ "
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa yang bersumpah, maka janganlah ia bersumpah kecuali dengan nama Allah”. Dulu orang-orang Quraisy biasa bersumpah dengan menyebut nama bapak-bapak mereka. Oleh karenanya, beliau bersabda : “Janganlah kalian bersumpah dengan menyebut nama bapak-bapak kalian” [Diriwayatkan Muslim no. 1646].
Larangan bersumpah dengan selain Allah ini bersifat umum, bukan hanya dengan bapak-bapak, akan tetapi segala sesuatu selain Allah ta’ala.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لَا تَحْلِفُوا بِالطَّوَاغِي وَلَا بِآبَائِكُمْ "
Dari ‘Abdurrahmaan bin Samurah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Janganlah kalian bersumpah dengan nama thaaghut-thaaghut dan bapak-bapak kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1648].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لَا تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ، وَلَا بِأُمَّهَاتِكُمْ، وَلَا بِالْأَنْدَادِ، وَلَا تَحْلِفُوا إِلَّا بِاللَّهِ، وَلَا تَحْلِفُوا بِاللَّهِ إِلَّا وَأَنْتُمْ صَادِقُونَ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Janganlah kalian bersumpah dengan nama ayah-ayah kalian, ibu-ibu kalian, dan tandingan-tandingan Allah. Dan janganlah kalian bersumpah kecuali dengan nama Allah, dan janganlah kalian bersumpah kecuali engkau jujur (dalam sumpahmu)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3248, An-Nasaa’iy no. 3769, Ibnu Hibbaan 10/199 no. 4357, dan lain-lain; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/313].
Bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan.
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ رَجُلًا يَحْلِفُ لَا وَالْكَعْبَةِ، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَرَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, ia berkata : Ibnu ‘Umar mendengar seorang laki-laki yang bersumpah : “Tidak, demi Ka’bah”. Maka Ibnu ‘Umar berkata kepadanya : “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah berbuat kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3251; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/314].[1]
Dalam lafadh lain:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah berbuat kekufuran atau kesyirikan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1535; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/175].
عَنْ قُتَيْلَةَ امْرَأَةٍ مِنْ جُهَيْنَةَ، أَنَّ يَهُودِيًّا أَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ: إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ، وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ، تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ، وَتَقُولُونَ: وَالْكَعْبَةِ .فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا: وَرَبِّ الْكَعْبَةِ، وَيَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ شِئْتَ
Dari Qutailah, seorang wanita dari Juhainah : Bahwasannya ada seorang Yahudi mendatangi Nabi , lalu ia (orang Yahudi tersebut) berkata : "Sesungguhnya kalian membuat tandingan (bagi Allah), dan sesungguhnya kalian juga telah berbuat kesyirikan. Kalian mengatakan : 'Atas kehendak Allah dan kehendakmu’. Dan kalian juga mengatakan (bersumpah) : 'Demi Ka'bah'." Maka Nabi memerintahkan mereka (para shahabat) apabila mereka ingin bersumpah, hendaknya mengucapkan : 'Demi Rabb Ka'bah', dan mengatakan : 'Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendakmu” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 3773; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 1/263 no. 136].
Syirik yang dimaksudkan adalah syirik ashghar (kecil).[2]
Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah menjelaskan:
وكذلك الشرك : منه ما ينقل عن الملة ، واستعماله في ذلك كثير في الكتاب والسنة . ومنه : ما لا ينقل ، كما جاء في الحديث : "من حلف بغير الله فقد أشرك "، وفي الحديث : "الشرك في هذه الأمة أخفى من دبيب النمل "، وسمي الرياء : شركا .
“Begitu juga dengan syirik. Ada yang mengeluarkan dari agama, dan (lafadh) inilah yang banyak dipergunakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ada pula yang tidak mengeluarkan dari agama, seperti yang terdapat dalam hadits : ‘Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah berbuat kesyirikan’; dan juga dalam hadits : ‘Kesyirikan yang terjadi pada pada umat ini lebih samar daripada langkah semut’. Nabi menamakan riyaa’ dengan kesyirikan” [Fathul-Baariy, 1/75].
Apabila orang yang bersumpah dengan sesuatu selain Allah meyakini sesuatu tersebut memiliki keagungan seperti yang diyakininya terhadap Allah ta’ala, maka ini syirik akbar.
Dalam hadits Qutailah, Nabi sama sekali tidak mengingkari penamaan sumpah dengan selain Allah sebagai kesyirikan. Ini sekaligus sebagai bantahan yang jelas kepada sebagian fuqahaa’ madzhab yang menghukumi sumpah dengan selain Allah ta’ala hanya makruh tanziih.[3]Kesyirikan – baik syirik ashghar maupun akbar– diharamkan dalam syari’at kita dengan pengharaman yang tegas, tidak mungkin sekedar makruh tanzih saja.
Penulis kitab Syarh Sunan Ibni Maajah berkata:
قال السيد فكأنه اشرك اشراكا جليا فيكون زجر المبالغة فهذا المبالغة لا تكون الا بالتحريم
“As-Sayyid berkata : Seakan-akan kesyirikan tersebut adalah kesyirikan yang jelas, sehingga celaannya amatlah sangat (mubaalaghah). Dan bentuk mubaalaghahini tidak terjadi kecuali dengan makna pengharaman” [Syarh Sunan Ibni Maajahhal. 194].
عَنْ وَبَرَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: "لأَنْ أَحْلِفَ بِاللَّهِ كَاذِبًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ وَأنَا صَادِقٌ
“Dari Wabarah bin ‘Abdirrahmaan, ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah (bin Mas’uud) : “Aku bersumpah dengan menyebut nama Allah secara dusta, lebih aku sukai daripada jika aku bersumpah dengan menyebut nama selainnya meski diriku benar” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 8/469 no. 15929, Ibnu Abi Syaibah 5/29 no. 12402, dan Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 9/205 no. 8902; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Targhiib 3/131 no. 2953].
Sikap Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu tersebut menunjukkan pemahamannya bahwa dosa bersumpah dengan selain nama Allah ta’ala adalah dosa besar, karena sumpah palsu sendiri merupakan dosa besar. Allah ta’ala berfirman:
وَلا تَتَّخِذُوا أَيْمَانَكُمْ دَخَلا بَيْنَكُمْ فَتَزِلَّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَتَذُوقُوا السُّوءَ بِمَا صَدَدْتُمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki-(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan bagimu adzab yang besar” [QS. An-Nahl : 94].[4]
Nabi memerintahkan bagi siapa saja yang terlanjur melakukan kesyirikan berupa sumpah dengan selain Allah – terutama dengan berhala-berhala yang disembah selain Allah - hendaknya mengucapkan kalimat tauhid sebagai kaffarat-nya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: مَنْ حَلَفَ، فَقَالَ فِي حَلِفِهِ: بِاللَّاتِ وَالْعُزَّى، فَلْيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَمَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ: تَعَالَ أُقَامِرْكَ: فَلْيَتَصَدَّقْ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi , beliau bersabda : “Barangsiapa yang bersumpah, lalu ia mengatakan dalam sumpahnya : ‘Demi Laata dan ‘Uzza’, hendaklah ia mengucapkan Laa ilaha illallaah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan barangsiapa yang mengatakan kepada temannya : ‘Mari aku ajak kami berjudi’, maka hendaklah ia bershadaqah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6650].
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ ، قَالَ: كُنَّا نَذْكُرُ بَعْضَ الْأَمْرِ، وَأَنَا حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ، فَحَلَفْتُ بِاللَّاتِ وَالْعُزَّى، فَقَالَ لِي أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: بِئْسَ مَا قُلْتَ، ائْتِ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَأَخْبِرْهُ، فَإِنَّا لَا نَرَاكَ إِلَّا قَدْ كَفَرْتَ، فَأَتَيْتُهُ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ لِي: "قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَاتْفُلْ عَنْ يَسَارِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَلَا تَعُدْ لَهُ "
Dari Sa’d bin Abi Waqqaash, ia berkata : Kami pernah menyebutkan sebagian perkara, sedangkan waktu itu aku baru saja lepas dari masa Jaahiliyyah. Aku bersumpah dengan menyebut nama Laata dan ‘Uzza. Maka para shahabat Rasulullah berkata kepadaku : “Sungguh jelek yang engkau ucapkan !. Temuilah Rasulullah , lalu khabarkanlah kepada beliau (tentang apa yang engkau ucapkan itu), karena kami tidak melihatmu kecuali telah berbuat kekafiran[5]”. Maka aku menemui beliau dan mengkhabarkan tentang hal tersebut. Beliau bersabda kepadaku : “Ucapkanlah Laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu sebanyak tiga kali, lalu mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan sebanyak tiga kali, dan kemudian meludahlah ke kiri sebanyak tiga kali. Dan jangan engkau ulangi lagi” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 3776-3777, Ibnu Maajah no. 2097, Ahmad 1/183, dan lain-lain; shahih].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
قَالَ الْخَطَّابِيُّ : الْيَمِين إِنَّمَا تَكُون بِالْمَعْبُودِ الْمُعَظَّم ، فَإِذَا حَلَفَ بِاللَّاتِ وَنَحْوهَا فَقَدْ ضَاهَى الْكُفَّار ، فَأَمَرَ أَنْ يُتَدَارَك بِكَلِمَةِ التَّوْحِيد . وَقَالَ اِبْن الْعَرَبِيّ : مَنْ حَلَفَ بِهَا جَادًّا فَهُوَ كَافِر ، وَمَنْ قَالَهَا جَاهِلًا أَوْ ذَاهِلًا يَقُول لَا إِلَه إِلَّا اللَّه يُكَفِّر اللَّهُ عَنْهُ وَيَرُدّ قَلْبَهُ عَنْ السَّهْو إِلَى الذِّكْر وَلِسَانه إِلَى الْحَقّ وَيَنْفِي عَنْهُ مَا جَرَى بِهِ مِنْ اللَّغْو
“Al-Khaththaabiy berkata : ‘Sumpah hanyalah dilakukan dengan menyebut nama sesembahan (tuhan) yang diagungkan. Apabila seseorang bersumpah dengan nama Laata dan semisalnya, sungguh dirinya menyerupai (perbuatan) orang-orang kafir. Maka, ia diperintahkan untuk memperbaikinya dengan mengucapkan kalimat tauhid’. Ibnul-‘Arabiy berkata : ‘Barangsiapa yang bersumpah dengannya (Laata atau yang lainnya) dengan sungguh-sungguh, maka ia kafir. Barangsiapa yang mengucapkannya karena jahil atau lupa, ia mesti mengucapkan Laa ilaha illallaah agar supaya Allah mengampuni dosanya, mengembalikan hatinya dari kelalaian menuju dzikir (kepada Allah), mengembalikan lisannya kepada kebenaran, serta menafikkan perkataan tak berguna yang telah terjadi” [Fathul-Baariy, 8/612].
Sebagian fuqahaa’ ada yang membolehkan bersumpah dengan menyebut nama Nabi .[6] Alasannya, mengagungkan Nabi adalah seperti mengangungkan Allah ta’ala. Ini sangat tidak diterima. Larangan bersumpah dengan selain Allah adalah umum, apakah itu patung, pohon, matahari, bulan, atau manusia – siapapun dia dan betapapun tinggi kedudukannya.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: كَانَ عُمَرُ يَحْلِفُ: وَأَبِي، فَنَهَاهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَقَالَ: "مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ أَوْ قَالَ: أَلا هُوَ مُشْرِكٌ "
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Dulu ‘Umar pernah bersumpah : ‘Demi bapaku’. Maka Rasulullah melarangnya seraya bersabda : ‘Barangsiapa yang bersumpah dengan sesuatu selain Allah, sungguh ia telah berbuat kesyirikan’– atau beliau bersabda : ‘Sungguh, ia seorang musyrik” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 8/467-468 no. 15926; shahih].
Termasuk cakupan hadits di atas adalah (bersumpah dengan) beliau sendiri.
Nabi hanya memberikan dua pilihan bagi orang yang hendak bersumpah : menyebut nama Allah, atau diam.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: "مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
Dari ‘Abdullah (bin ‘Umar) : Bahwasannya Nabi bersabda : “Barangsiapa yang akan bersumpah, hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau diam” [Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 2679].
Lantas, bagaimana dengan sumpah Allah ta’ala dengan makhluk-Nya yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an ?. Jawaban ringkasnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ، عَنْ مَيْمُونٍ، قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: "إنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُقْسِمُ بِمَا شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ، وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُقْسِمَ إلَّا بِاللَّهِ، وَمَنْ أَقْسَمَ فَلَا يَكْذِبُ "
Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin Hisyaam, dari Ja’far bin Burqaan, dari Maimuun (bin Mihraan); ia (Ja’far) berkata : Aku mendengarnya (Maimuun) berkata : “Sesungguhnya Allah ta’ala bersumpah dengan apa saja dari makhluk-Nya, namun tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa yang bersumpah, maka tidak boleh berdusta” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/30 no. 12409; shahih].
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata:
قال ابن المنذر: فالجواب أن الله أقسم بما شاء من خلقه، ثم بين الرسول ما أراد الله من عباده أنه لا يجوز لأحد أن يحلف بغيره، لقوله:  « من كان حالفًا فليحلف بالله » .
قال الشعبى: الخالق يقسم بما شاء من خلقه، والمخلوق لا ينبغى له أن يقسم إلا بالخالق، والذى نفسى بيده لأن أقسم بالله فأحنث أحب إلى من أن أقسم بغيره فأبر. وذكر ابن القصار مثله عن ابن عمر.
“Ibnul-Mundzir berkata : Maka jawabnya adalah bahwa Allah bersumpah dengan apa saja yang Ia kehendaki dari makhluk-Nya. Kemudian Rasulullah menjelaskan apa yang diinginkan Allah ta’ala terhadap hamba-Nya bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk bersumpah dengan selain-Nya ta’ala berdasarkan sabda beliau : ‘Barangsiapa yang akan bersumpah, hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah’.
Asy-Sya’biy berkata : ‘Al-Khaaliq (Allah) bersumpah dengan apa saja yang Ia kehendaki dari makhluk-Nya, sedangkan makhluk tidak diperbolehkan untuk bersumpah kecuali dengan nama Al-Khaaliq. Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku bersumpah palsu dengan menyebut nama Allah lebih aku sukai daripada aku bersumpah dengan menyebut selain-Nya meskipun aku memenuhinya. Ibnul-Qashaar menyebutkan perkataan semisal dari Ibnu ‘Umar” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy11/102 – via Syamilah].
Allah ta’ala berfirman:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai” [QS. Al-Anbiyaa’ : 23].
Wallaahu a’lam.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 4 Ramadlan 1439].


[1]   Terdapat pembicaraan (sangat) menarik dalam takhrij hadits ini !!
[2]   Tapi bukan berarti dosanya kecil di sisi Allah.
[3]   Asy-Syaukaaniy rahimahullah menjelaskan:
واختلف هل الحلف بغير الله حرام أو مكروه ؟ للمالكية والحنابلة قولان ، ويحمل ما حكاه ابن عبد البر من الإجماع على عدم جواز الحلف بغير الله على أن مراده بنفي الجواز الكراهة أعم من التحريم والتنزيه . وقد صرح بذلك في موضع آخر . وجمهور الشافعية على أنه مكروه تنزيها ، وجزم ابن حزم بالتحريم . قال إمام الحرمين : المذهب القطع بالكراهة ، وجزم غيره بالتفصيل ، فإن اعتقد في المحلوف به ما يعتقد في الله تعالى كان بذلك الاعتقاد كافرا 
“Para ulama berselisih pendapat, apakah sumpah dengan selain Allah dihukumi haram ataukah makruh. Madzhab Maalikiyyah dan Hanaabilah memiliki dua pendapat. Dan apa yang dihikayatkan Ibnu ‘Abdil-Barr tentang ijmaa’ tidak bolehnya bersumpah dengan selain Allah dibawa maksudnya pada penafikan kebolehannya. Karaahah lebih umum daripada tahriim dan tanziih. Dan ia telah menjelaskan hal itu di tempat yang lain. Jumhur ulama Syaafi’iyyah berpendapat makruh tanziih, sedangkan Ibnu Hazm menegaskan keharamannya. Imam Al-Haramain berkata : ‘Madzhab yang pasti (dalam permasalahan ini) adalah karaahah’. Adapun ulama lain menegaskan perinciannya. Apabila pelakunya berkeyakinan terhadap al-mahluuf bihi (objek yang dijadikan sumpah) seperti apa yang ia yakini terhadap Allah ta’ala, maka dengan keyakinan tersebut dirinya kafir” [Nailul-Authaar, 8/236].
[4]   Selengkapnya silakan baca artikel : Haramnya Sumpah Palsu.
[5]   Perkataan para shahabat ini menunjukkan perkara bersumpah dengan selain Allah ta’ala merupakan perkara yang sangat besar.
[6]   Yaitu sebagian fuqahaa Hanaabilah.

Kesyahidan

$
0
0

Banyak sekali hadits shahih yang menjelaskan tentang syahaadah (kesyahidan). Diantaranya adalah sebagai berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ، وَالْمَبْطُونُ، وَالْغَرِقُ، وَصَاحِبُ الْهَدْمِ، وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah pernah bersabda : “Syuhadaa’ (orang yang mati syahid) itu ada lima : Orang yang mati terkena penyakit tha’un, orang yang mati terkena penyakit perut, orang yang tenggelam, orang yang tertimpa reruntuhan/bangunan, dan orang yang mati syahiid di jalan Allah (medan perang)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2829 dan Muslim 1914].

عَنْ جَابِر بْن عَتِيكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ جَاءَ يَعُودُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ ثَابِتٍ، فَوَجَدَهُ قَدْ غُلِبَ، فَصَاحَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَلَمْ يُجِبْهُ، فَاسْتَرْجَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَقَالَ: "غُلِبْنَا عَلَيْكَ يَا أَبَا الرَّبِيعِ، فَصَاحَ النِّسْوَةُ وَبَكَيْنَ، فَجَعَلَ ابْنُ عَتِيكٍ يُسَكِّتُهُنَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: دَعْهُنَّ، فَإِذَا وَجَبَ فَلَا تَبْكِيَنَّ بَاكِيَةٌ، قَالُوا: وَمَا الْوُجُوبُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الْمَوْتُ، قَالَتِ ابْنَتُهُ: وَاللَّهِ إِنْ كُنْتُ لَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ شَهِيدًا، فَإِنَّكَ كُنْتَ قَدْ قَضَيْتَ جِهَازَكَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِنَّ اللَّهَ ﷻ قَدْ أَوْقَعَ أَجْرَهُ عَلَى قَدْرِ نِيَّتِهِ، وَمَا تَعُدُّونَ الشَّهَادَةَ؟ قَالُوا: الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: الشَّهَادَةُ سَبْعٌ، سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ "
Dari Jaabir, bahwasannya Rasulullah pernah datang menjenguk ‘Abdullah bin Tsaabit, dan kemudian beliau mendapati dirinya dalam keadaan hampir meninggal. Maka Rasulullah berteriak, namun tidak seorang pun yang menjawabnya. Kemudian beliau ber-istirjaa’ seraya bersabda : “Kami ingin jika engkau hidup, namun Allah menakdirkanmu untuk mendahului kami (meninggal dunia) wahai Abur-Rabii’”. Para wanita berteriak dan menangis, sementara itu Ibnu ‘Atiik berusaha untuk menenangkan mereka. Rasulullah bersabda : “Biarkan mereka. Apabila 'kewajiban' telah datang, maka jangan ada di antara mereka yang menangis”. Para shahabat bertanya : “Apakah yang dimaksud ‘kewajiban’ itu wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Kematian”. Anak wanitanya berkata : “Demi Allah, dulu kami sangat berharap engkau (yaitu ‘Abdullah bin Tsaabit – Abul-Jauzaa’) menjadi seorang syahiid, karena engkau telah menghabiskan perbekalanmu (untuk berjihad)”. Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memberikan pahalanya sesuai dengan kadar niatnya. Apa yang engkau ketahui tentang kesyahidan (syahaadah)?”. Para shahabat menjawab : “Terbunuh di jalan Allah (medan peperangan)”. Rasulullah bersabda : “Kesyahidan ada tujuh selain terbunuh di jalan Allah, yaitu : orang yang mati terkena penyakit tha’un adalah syahiid, orang yang mati tenggelam adalah syahiid, orang yang mati terkena sakit lepra adalah syahiid, orang yang mati terkena sakit perut adalah syahiid, orang yang mati terbakar adalah syahiid, orang yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahiid, dan wanita yang mati karena hamil adalah syahiid” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3111, An-Nasaa’iy no. 1846, Ahmad 5/446, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/277].
عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ ".
Dari Sa’iid bin Zaid, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia syahid; barangsiapa yang terbunuh karena membela agamanya, maka ia syahid; barangsiapa yang terbunuh karena membela jiwanya, maka ia syahid; dan barangsiapa yang terbunuh karena membela keluarganya, maka ia pun syahid” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1421, Abu Daawud no. 4772, An-Nasaa’iy no. 4094, dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ "
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Aku mendengar Nabi bersabda : “Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia syahid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2480, Muslim no. 141].
عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ سُوَيْدِ بْنِ مُقَرِّنٍ، فَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ قُتِلَ دُونَ مَظْلَمَتِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ "
Dari Abu Ja’far, ia berkata : Aku pernah duduk di sisi Suwaid bin MUqarrin, lalu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa yang terbunuh karena membela dirinya atas kedhaliman yang menimpanya, maka ia syahiid” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 4096; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 3/101-102].
عَنْ عُقْبَة بْنَ عَامِرٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ صُرِعَ عَنْ دَابَّتِهِ فِي سَبِيلٍ اللَّهٍ فَمَاتَ، فَهُوَ شَهِيدٌ "
Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang terlempar dari hewan tunggangannya lalu meninggal, maka ia syahiid” [Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 1752 dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 17/323 no. 892; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 2346].
An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan:
وَاعْلَمْ أَنَّ الشَّهِيد ثَلَاثَة أَقْسَام أَحَدهَا الْمَقْتُول فِي حَرْب بِسَبَبٍ مِنْ أَسْبَاب الْقِتَال فَهَذَا لَهُ حُكْم الشُّهَدَاء فِي ثَوَاب الْآخِرَة وَفِي أَحْكَام الدُّنْيَا وَهُوَ أَنَّهُ لَا يُغَسَّل وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ . وَالثَّانِي شَهِيد فِي الثَّوَاب دُون أَحْكَام الدُّنْيَا وَهُوَ الْمَبْطُون ، وَالْمَطْعُون ، وَصَاحِب الْهَدْم ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ ، وَغَيْرهمْ مِمَّنْ جَاءَتْ الْأَحَادِيث الصَّحِيحَة بِتَسْمِيَتِهِ شَهِيدًا فَهَذَا يُغَسَّل وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَلَهُ فِي الْآخِرَة ثَوَاب الشُّهَدَاء ، وَلَا يَلْزَم أَنْ يَكُون مِثْل ثَوَاب الْأَوَّل . وَالثَّالِث مَنْ غَلَّ فِي الْغَنِيمَة وَشِبْهُه مَنْ وَرَدَتْ الْآثَار بِنَفْيِ تَسْمِيَته شَهِيدًا إِذَا قُتِلَ فِي حَرْب الْكُفَّار فَهَذَا لَهُ حُكْم الشُّهَدَاء فِي الدُّنْيَا فَلَا يُغَسَّل ، وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَلَيْسَ لَهُ ثَوَابهمْ الْكَامِل فِي الْآخِرَة . وَاَللَّه أَعْلَم
“Dan ketahuilah bahwa syahiid itu ada tiga macam. Pertama, orang yang mati di medan pertempuran dengan sebab-sebab perangan. Maka orang ini dihukumi sebagai syahiiddalam pahala di akhirat dan dalam hukum-hukum di dunia. Dirinya tidak dimandikan dan tidak pula dishalati[1]. Kedua, syahiid dalam pahala (akhirat), namun tidak dalam hukum-hukum dunia, seperti orang yang mati terkena sakit perut, orang yang mati karena terkena sakit tha’un, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan/bangunan, orang yang terbunuh karena membela hartanya, dan lain-lain yang terdapat dalam hadits shahih yang menyebutkan penamaan syahiid. Jenis orang ini tetap dimandikan dan dishalati; serta baginya pahala syahiid di akhirat. Namun demikian, tidak mesti mereka mendapatkan pahala seperti pahala kesyahidan jenis pertama. Ketiga, orang yang berbuat ghuluul (khianat) dalam ghaniimah dan yang semisalnya dari orang-orang yang disebutkan dalam atsar-atsar yang menafikkan penamaan syahiid apabila terbunuh di medan peperangan melawan kuffaar; maka orang tersebut dihukumi syahiid  di dunia, tidak dimandikan, dan tidak pula dishalati. Namun ia tidak mendapatkan pahala (kesyahidan) yang sempurna di akhirat, wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 2/164].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata :
وَيَتَحَصَّل مِمَّا ذُكِرَ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ الشُّهَدَاء قِسْمَانِ : شَهِيد الدُّنْيَا ، وَشَهِيد الْآخِرَة وَهُوَ مَنْ يُقْتَل فِي حَرْب الْكُفَّار مُقْبِلًا غَيْر مُدْبِر مُخْلِصًا . وَشَهِيد الْآخِرَة وَهُوَ مَنْ ذُكِرَ ، بِمَعْنَى أَنَّهُمْ يُعْطَوْنَ مِنْ جِنْس أَجْر الشُّهَدَاء وَلَا تَجْرِي عَلَيْهِمْ أَحْكَامهمْ فِي الدُّنْيَا .
“Dan kesimpulan yang didapatkan dari hadits-hadits yang disebutkan bahwasannya syuhadaa’ itu ada dua macam. (Pertama), syahiiddi dunia dan syahiid akhirat, yaitu orang yang terbunuh dalam peperangan melawan orang-orang kafir, teguh melawannya lagi tidak melarikan diri dengan ikhlash (karena Allah ). (Kedua) syahiid akhirat. Mereka adalah orang-orang yang disebutkan (dalam hadits). Mereka diberikan pahala kesyahidan, namun tetapi tidak berlaku padanya hukum syahid di dunia (dimandikan, dikafani, dan dishalatkan – Abul-Jauzaa’)” [Fathul-Baariy,6/44].
Apabila kita perhatikan, hadits-hadits yang membicarakan kesyahidan di atas adalah umum yang menyangkut sifat-sifatnya, bukan pada individu personnya. Jika menunjuk pada person, maka perlu ada dalil khusus, seperti misal penunjukkan Nabi atas kesyahidan ‘Umar bin Al-Khaththaab dan ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhumaa:
عَنْ أَنَس بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنّ النَّبِيَّ ﷺ صَعِدَ أُحُدًا وَأَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ، فَقَالَ: اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi pernah mendaki Uhud bersama Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan. Tiba-tiba Uhud bergetar. Beliau bersabda : “Tenanglah Uhud, karena di atas hanyalah ada seorang Nabi, seorang shiddiiq, dan dua orang syahiid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3675].
Yang dimaksud dengan shiddiiq adalah Abu Bakr, dan dua orang syahiid adalah ‘Umar dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum.
Dalam Al-Jaami’ush-Shahiih, Al-Bukhaariy rahimahullah menuliskan :
بَاب لَا يَقُولُ فُلَانٌ شَهِيدٌ
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِهِ "
“Bab : Tidak boleh mengatakan Fulaan syahiid.
Telah berkata Abu Hurairah, dari Nabi : “Allah lebih mengetahui orang yang berjihad di jalan-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang yang terluka di jalan-Nya”.
Kemudian Al-Bukhaariy rahimahullah menyebutkan hadits:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ الْتَقَى هُوَ وَالْمُشْرِكُونَ فَاقْتَتَلُوا فَلَمَّا مَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِلَى عَسْكَرِهِ وَمَالَ الْآخَرُونَ إِلَى عَسْكَرِهِمْ وَفِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ رَجُلٌ لَا يَدَعُ لَهُمْ شَاذَّةً، وَلَا فَاذَّةً إِلَّا اتَّبَعَهَا يَضْرِبُهَا بِسَيْفِهِ، فَقَالَ: مَا أَجْزَأَ مِنَّا الْيَوْمَ أَحَدٌ كَمَا أَجْزَأَ فُلَانٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ "، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ أَنَا صَاحِبُهُ، قَالَ: فَخَرَجَ مَعَهُ كُلَّمَا وَقَفَ وَقَفَ مَعَهُ، وَإِذَا أَسْرَعَ أَسْرَعَ مَعَهُ، قَالَ: فَجُرِحَ الرَّجُلُ جُرْحًا شَدِيدًا فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ بِالْأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَى سَيْفِهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ: وَمَا ذَاكَ، قَالَ الرَّجُلُ: الَّذِي ذَكَرْتَ آنِفًا أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَأَعْظَمَ النَّاسُ ذَلِكَ، فَقُلْتُ: أَنَا لَكُمْ بِهِ فَخَرَجْتُ فِي طَلَبِهِ، ثُمَّ جُرِحَ جُرْحًا شَدِيدًا فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ فِي الْأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَقَالَ: رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عِنْدَ ذَلِكَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin ‘Abdirrahmaan, dari Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’d As-Saa’idiy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah bertemu dengan orang-orang musyrik dan terjadilah peperangan di antara keduanya. Ketika Rasulullah kembali ke pasukan beliau dan mereka (orang-orang musyrik) kembali ke pasukan mereka, ada seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi yang tidak membiarkan musuh yang lari kecuali ia mengejarnya dan membunuhnya dengan pedangnya. Salah seorang shahabat berkata : “Tidak ada seorang pun yang diberikan pahala pada hari ini sebagaimana Fulaan tersebut diberikan pahala (karena pertempuran yang ia lakukan)”. Maka Rasulullah bersabda : “Adapun dirinya, maka termasuk penduduk neraka”. Berkatalah seorang laki-laki dari satu kaum : “Aku adalah temannya”. Maka ia keluar bersama Fulaan tersebut. Apabila Fulaan berhenti, maka ia berhenti bersamanya. Apabila Fulaan pergi, maka ia pergi bersamanya. Laki-laki (Fulaan) itu akhirnya terluka parah, sehingga ia ingin mempercepat kematiannya. Lalu ia meletakkan gagang pedangnya di tanah sedangkan mata/ujung pedangnya di antara dua dadanya. Ia menekan pedangnya hingga kemudian mati. Maka orang yang mengikuti Fulaan tersebut pergi menemui Rasulullah dan berkata: “Aku bersaksi bahwasannya engkau benar-benar utusan Allah”. Beliau bersabda : “Ada apa gerangan ?”. Orang itu berkata : “Apa yang engkau sebutkan barusan bahwa dirinya termasuk penduduk neraka. Orang-orang menganggap besar perkara tersebut (apa yang dikatakan Nabi ). Aku katakan : ‘Aku akan membuktikan hal itu untuk kalian’. Setelah itu aku mencarinya, kemudian aku dapati dirinya terluka parah sehingga ia ingin mempercepat kematiannya. Ia meletakkan gagang pedangnya di tanah sedangkan mata/ujung pedangnya di antara dua dadanya. Ia menekan pedangnya hingga kemudian mati”. Maka Rasulullah bersabda tentang peristiwa tersebut : “Sesungguhnya ada orang yang melakukan amalan penduduk surga seperti yang nampak pada manusia, padahal dirinya termasuk penduduk neraka. Dan ada pula orang yang melakukan amalan penduduk neraka seperti yang nampak pada manusia, padahal dirinya termasuk penduduk surga” [Al-Jaami’ush-Shahiih, 2/331 no. 2898].
Setelah menyebutkan Bab Tidak Boleh Mengatakan Fulaan Syahiid dalam Al-Jaami’ush-Shahiih (Shahiih Al-Bukhaariy), Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
أَيْ عَلَى سَبِيلِ الْقَطْعِ بِذَلِكَ إِلَّا إِنْ كَانَ بِالْوَحْي وَكَأَنَّهُ أَشَارَ إِلَى حَدِيثِ عُمَرَ أَنَّهُ خَطَبَ فَقَالَ "تَقُولُونَ فِي مَغَازِيكُمْ فُلَانٌ شَهِيدٌ وَمَاتَ فَلَانٌ شَهِيدًا وَلَعَلَّهُ قَدْ يَكُونُ قَدْ أَوْقَرَ رَاحِلَتَهُ أَلَا لَا تَقُولُوا ذَلِكُمْ وَلَكِنْ قُولُوا كَمَا قَالَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "مَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ قُتِلَ فَهُوَ شَهِيدٌ "وَهُوَ حَدِيثٌ حَسَنٌ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَسَيِّدُ بْنُ مَنْصُور وَغَيْرُهُمَا مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّد بْن سِيرِينَ عَنْ أَبِي الْعَجْفَاءِ
“Yaitu, dalam hal pemastiannya (hukum syahiid) dengannya, kecuali jika didasari wahyu. Dan seakan-akan ia (Al-Bukhaariy) mengisyaratkan pada hadits ‘Umar bin Al-Khaththaab yang ia (‘Umar) berkata : ‘Kalian katakan dalam peperangan-peperangan kalian ‘Fulaan syahiid’, ‘Fulaan meninggal dalam keadaan syahiid’. Barangkali dirinya membebani terlalu berat hewan kendaraannya (ghaniimah). Janganlah kalian mengatakan hal itu, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah : ‘Barangsiapa yang mati di jalan Allah atau terbunuh (di jalan Allah), maka ia syahiid’. Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad, Sa’iid bin Manshuur, dan yang lainnya dari jalan Muhammad bin Siiriin dari Abul-‘Ajfaa’” [Fathul-Baariy, 6/90].
Kemudian Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
فَالْمُرَاد النَّهْي عَنْ تَعْيِينِ وَصْفٍ وَاحِدٍ بِعَيْنِهِ بِأَنَّهُ شَهِيد بَلْ يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ ذَلِكَ عَلَى طَرِيقِ الْإِجْمَالِ
“Maka yang dimaksudkan adalah larangan men-ta’yiin seorang individu bahwa dirinya adalah syahiid. Akan tetapi diperbolehkan mengatakannya secara umum” [idem].
Hadits ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu yang dimaksud adalah sebagaimana perkataannya:
وَأُخْرَى يَقُولُونَهَا لِمَنْ قُتِلَ فِي مَغَازِيكُمْ أَوْ مَاتَ قُتِلَ فُلَانٌ شَهِيدًا أَوْ مَاتَ فُلَانٌ شَهِيدًا وَلَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَوْقَرَ عَجُزَ دَابَّتِهِ أَوْ دَفَّ رَاحِلَتِهِ ذَهَبًا أَوْ وَرِقًا يَطْلُبُ التِّجَارَةَ فَلَا تَقُولُوا ذَاكُمْ وَلَكِنْ قُولُوا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوْ مَاتَ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ "
“Dan hal lain yang sering mereka katakan terhadap orang yang terbunuh di medan peperangan kalian atau meninggal : ‘Fulaan terbunuh sebagai syahiid’, atau ‘Fulaan meninggal sebagai syahiid’. Barangkali saja dirinya membebani terlalu berat hewan kendaraannya, atau meletakkan emas atau perak (rampasan perang secara curang) di samping pelana kendaraannya untuk diperdagangkan. Janganlah kalian mengatakan demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana yang disabdakan Nabi : ‘Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah atau mati (di jalan Allah), maka baginya (pahala) surga” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 3349; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 2/451-452].
Perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu di atas dijelaskan dalam riwayat berikut:
عَنْ عُمَر بْن الْخَطَّابِ، قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ، أَقْبَلَ نَفَرٌ مِنْ صَحَابَةِ النَّبِيِّ ﷺ فَقَالُوا: فُلَانٌ شَهِيدٌ، فُلَانٌ شَهِيدٌ، حَتَّى مَرُّوا عَلَى رَجُلٍ، فَقَالُوا: فُلَانٌ شَهِيدٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "كَلَّا إِنِّي رَأَيْتُهُ فِي النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا أَوْ عَبَاءَةٍ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، اذْهَبْ فَنَادِ فِي النَّاسِ، أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ، قَالَ: فَخَرَجْتُ، فَنَادَيْتُ، "أَلَا إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ "
Dari ‘Umar bin Al-Khtahthaab, ia berkata : Ketika terjadi perang Khaibar, sekelompok shahabat Nabi menghadap beliau dan berkata : “Fulaan syahiid, Fulaan syahiid”, hingga mereka melewati seorang laki-laki. Mereka berkata : “Fulaan syahiid”. Maka Rasulullah bersabda : "Sekali-kali tidak. Sesungguhnya aku melihatnya di neraka dalam kondisi burdah atau mantel yang ia curi (dari harta ghaniimah)”. Kemudian Rasulullah bersabda : “Wahai Ibnul-Khaththaab, pergi dan serukanlah kepada manusia bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang beriman”. ‘Umar berkata : “Lalu akupun pergi dan berseru : ‘Ketahuilah, tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang beriman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 114].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: "إِيَّاكُمْ أَنْ تَقُولُوا مَاتَ فُلَانٌ شَهِيدًا، أَوْ قُتِلَ فُلَانٌ شَهِيدًا، فَإِنَّ الرَّجُلَ يُقَاتِلُ لِيَغْنَمَ، وَيُقَاتِلُ لِيُذْكَرَ، وَيُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ، فَإِنْ كُنْتُمْ شَاهِدِينَ لَا مَحَالَةَ، فَاشْهَدُوا لِلرَّهْطِ الَّذِينَ بَعَثَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي سَرِيَّةٍ، فَقُتِلُوا، فَقَالُوا: اللَّهُمَّ بَلِّغْ نَبِيَّنَا ﷺ عَنَّا أَنَّا قَدْ لَقِينَاكَ، فَرَضِينَا عَنْكَ وَرَضِيتَ عَنَّا
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : “Jauhilah oleh kalian untuk mengatakan ‘Fulaan mati dalam keadaan syahiid’ atau ‘Fulaan terbunuh dalam keadaan syahiid’. Sesungguhnya ada seseorang yang berperang agar (sekedar) diberi harta ghaniimah, disebut-sebut (sebagai pahlawan), dan dilihat manusia kedudukannya. Apabila kalian harus bersaksi, maka bersaksilah untuk sekelompok shahabat yang Rasulullah mengutus mereka dalam pasukan perang, lalu mereka terbunuh. Mereka berkata : ‘Ya Allah, sampaikanlah kepada Nabi kami khabar tentang diri kami bahwa kami telah berjumpa dengan-Mu (meninggal). Kami ridla kepada-Mu dan Engkau pun ridla kepada kami[2]” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/416; shahih lighairihi[3]].
Ibnun-Nahhaas rahimahullah menjelaskan:
واعلم أن من غل شيئاً في سبيل الله تعالى استوجب عقوبتين عقوبة في الدنيا وعقوبة في الآخرة.......وأنه يحرم الفوز بالشهادة، وإن قتل في جهاده، لقوله ﷺ حين قال الصحابة لمن قتل في سبيل الله - وقد غل - : فلان شهيد، فقال: (كلا والله، إنه في النار) فنفى أن يكون شهيداً، وأكد ذلك بقسمه البار ﷺ
“Dan ketahuilah bahwasannya orang yang melakukan ghuluul (khianat dalam ghaniimah) di jalan Allah ta’ala, dirinya berhak untuk mendapatkan dua macam hukuman, yaitu hukuman di dunia dan hukuman di akhirat….. Dan bahwasannya beliau mengharamkan keberhasilan mendapatkan syahaadah, meskipun dirinya terbunuh dalam jihadnya, berdasarkan sabda Nabi ketika shahabat berkata kepada orang yang terbunuh di jalan Allah dalam keadaan berbuat ghuluul : ‘Fulaan syahiid’, maka beliau bersabda : ‘Sekali-kali tidak demi Allah, dirinya berada di neraka’. Maka beliau menafikkan statusnya sebagai seorang syahiid, dan beliau menekankan dengan sumpahnya…” [Masyaari’ul-Aswaaq hal. 813].
Nabi secara jelas mengingkari persaksian para shahabat yang nampak di mata mereka tentang kesyahidan seseorang. Beliau mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Para shahabat mengetahui siapa saja yang mendapatkan kesyahidan, dan siapa pula yang tidak mendapatkannya. Maka setelah beliau wafat, kita diam dalam hal persaksian kesyahidan orang tertentu kecuali jika ada keterangannya dalam dalil yang shahih.
Oleh karena itu Rasulullah menegur Ummul-Alaa’ Al-Anshaariyyah ketika memuji ‘Utsman bin Madh’uan saat meninggal sebagaimana dalam hadits:
عَنْ أُمِّ الْعَلَاءِ الْأَنْصَارِيَّةِ : أَنَّهُ اقْتُسِمَ الْمُهَاجِرُونَ قُرْعَةً فَطَارَ لَنَا عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ فَأَنْزَلْنَاهُ فِي أَبْيَاتِنَا، فَوَجِعَ وَجَعَهُ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَلَمَّا تُوُفِّيَ وَغُسِّلَ وَكُفِّنَ فِي أَثْوَابِهِ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقُلْتُ: رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ فَشَهَادَتِي عَلَيْكَ لَقَدْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: وَمَا يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَكْرَمَهُ؟، فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَنْ يُكْرِمُهُ اللَّهُ؟، فَقَالَ: أَمَّا هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو لَهُ الْخَيْرَ وَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَا يُفْعَلُ بِي، قَالَتْ: فَوَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدَهُ أَبَدًا
Dari Ummul-‘Alaa’ Al-Anshaariyyah : Bahwasannya Nabi pernah mengundi pembagian shahabat Muhaajiriin (untuk tinggal di rumah para shahabat dari kalangan Anshaar), maka ‘Utsmaan bin Madh’uun mendapatkan bagiannya untuk tinggal bersama kami. Lalu kami bawa dirinya di rumah-rumah kami. ‘Utsmaan kemudian menderita sakit yang membawanya kepada kematian. Setelah meninggal, ia dimandikan dan dikafani dengan pakaiannya. Rasulullah masuk rumah, lalu aku berkata : “Rahmat Allah atasmu wahai Abus-Saa’ib!. Aku bersaksi kepadamu bahwa sungguh Allah telah memuliakan dirimu”. Lalu beliau bersabda : “Apa yang membuatmu mengatakan bahwa Allah telah memuliakannya?”. Aku katakan : “Akhirnya Ummul-Alaa’ berkata : “Ayahku sebagai tebusannya, wahai Rasulullah. Lantas siapakah yang layak dimuliakan Allah ?”. Beliau bersabda : "Adapun dia, telah datang kepadanya al-yaqiin (kematian) dan sesungguhnya aku benar-benar berharap ia berada di atas kebaikan. Demi Allah, meskipun aku ini Rasulullah, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan-Nya terhadapku". Ia (Ummul-‘Alaa’) berkata: "Demi Allah, setelah ini aku tidak akan membuat kesaksian kepada siapapun” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1243].
‘Utsmaan bin Madh’uun radliyallaahu ‘anhu yang merupakan salah seorang shahabat mulia saja dilarang untuk membuat persaksian terhadapnya, apalagi yang lebih rendah kedudukannya daripadanya dari orang-orang generasi setelahnya?. Perhatikanlah sabda Nabi : ‘Dan sesungguhnya aku benar-benar berharap ia berada di atas kebaikan’; maka itulah yang seharusnya diucapkan bagi orang yang meninggal yang dipersaksikan secara dhahir berada dalam kebaikan.
Pertanyaan Nabi terkait persaksian Ummul-‘Alaa’ terhadap ‘Utsmaan bin Madh’uun sama dengan pertanyaan ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhumkepada orang yang mempersaksikan kesyahidan seseorang:
نا أَبُو الأَحْوَصِ، قَالَ: نا أَشْعَثُ بْنُ سُلَيْمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْقِلٍ، قَالَ: كُنَّا قُعُودًا عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: قُتِلَ فُلانٌ شَهِيدًا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: "وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهُ قُتِلَ شَهِيدًا؟ إِنَّ الرَّجُلَ يُقَاتِلُ غَضَبًا، وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَيُقَاتِلُ رِئَاءً، إِنَّمَا الشَّهِيدُ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا
Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Asy’ats bin Sulaim, dari ‘Abdullah bin Ma’qil, ia berkata : “Kami pernah duduk di sisi ‘Abdullah bin Mas’uud . Lalu ada seseorang yang berkata : “Fulaanterbunuh dalam keadaan syahiid!”. Maka ‘Abdullah berkata : “Apa yang membuatmu mengatakan bahwa orang (Fulaan)tersebut terbunuh dalam keadaan syahiid?. Sesungguhnya ada seseorang yang berperang dikarenakan amarah, berperang karena fanatisme, dan riyaa’. Syahiid itu hanyalah orang yang berperang agar kalimat Allah tinggi[4]” [Diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur dalam Sunan-nya no. 2545; sanadnya shahih].
Mempersaksikan seseorang sebagai seorang syahiid di jalan Allah ta’ala, mempunyai konsekuensi pemastian balasan surga bagi orang tersebut; dan ini tidak mungkin[5].
Secara ringkas dikatakan : Orang yang berperang di jalan Allah ada yang ikhlash semata-mata hanya karena Allah , ada yang karena selain-Nya. Yang ikhlash semata-mata hanya karena Allah ta’ala, maka itu lah syahiid hakiki yang kelak dibalas dengan surga. Rasulullah bersabda:
مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ، بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ، وَتَوَكَّلَ اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِهِ، بِأَنْ يَتَوَفَّاهُ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، أَوْ يَرْجِعَهُ سَالِمًا مَعَ أَجْرٍ، أَوْ غَنِيمَةٍ
Perumpamaan seorang yang berjihad di jalan Allah - dan hanya Allah yang mengetahui siapa yang berjihad di jalan-Nya – adalah seperti seorang yang melaksanakan puasa dan shalat terus menerus. Dan Allah berjanji kepada orang yang berjihad di jalan-Nya, dimana bahwa jika Allah mewafatkannya maka Allah akan dimasukkannya ke dalam surga atau jika Dia mengembalikannya dalam keadaan selamat, maka ia pulang dengan membawa pahala atau ghaniimah’ [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2787 dan Muslim no. 1878].
Adapun orang yang berperang dengan niat selain-Nya, makai a akan dibalas sesuai dengan niatnya atau bahkan akan dicampakkan ke dalam neraka karena dosa-dosanya.
Sebagian ulama salaf dan khalaf memang ada yang membolehkan penyebutan syahiidterhadap orang yang meninggal berperang di jalan Allah – dan Allah ta’ala lebih mengetahui siapa yang meninggal di jalan-Nya - .
Akan tetapi yang lebih hati-hati adalah sebagaimana yang disebutkan, mengucapkan syahiiddiiringi dengan doa dan pengharapan, seperti misal : syahiidinsyallah; dan itu tidak berat di lisan.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[menjelang adzan Shubuh – abul-jauzaa’ – rnn].



[1]   Sebagaimana hadits:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ يَقُولُ: أَيُّهُمْ أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ؟، فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ، وَقَالَ: أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا، وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Nabi pernah mengumpulkan dua orang laki-laki yang meninggal di peperangan Uhid dalam satu kain, kemudian bersabda : “Manakah diantara keduanya yang paling banyak hapalan Al-Qur’annya ?”. Ketika ada yang menunjukkan salah satu diantara keduanya (yang paling banyak hapalannya), maka beliau mendahulukannya untuk masuk ke liang lahad dan bersabda : “Aku bersaksi atas mereka kelak pada hari kiamat”. Beliau memerintahkan untuk menguburkan dengan darah yang ada di tubuh mereka tanpa dimandikan dan dishalatkan [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1343].
[2]   Sesuai dengan hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: جَاءَ نَاسٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالُوا: أَنِ ابْعَثْ مَعَنَا رِجَالًا يُعَلِّمُونَا الْقُرْآنَ وَالسُّنَّةَ، فَبَعَثَ إِلَيْهِمْ سَبْعِينَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُمُ الْقُرَّاءُ، فِيهِمْ خَالِي حَرَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَدَارَسُونَ بِاللَّيْلِ يَتَعَلَّمُونَ، وَكَانُوا بِالنَّهَارِ يَجِيئُونَ بِالْمَاءِ فَيَضَعُونَهُ فِي الْمَسْجِدِ وَيَحْتَطِبُونَ، فَيَبِيعُونَهُ وَيَشْتَرُونَ بِهِ الطَّعَامَ لِأَهْلِ الصُّفَّةِ وَلِلْفُقَرَاءِ، فَبَعَثَهُمُ النَّبِيُّ ﷺ إِلَيْهِمْ فَعَرَضُوا لَهُمْ فَقَتَلُوهُمْ قَبْلَ أَنْ يَبْلُغُوا الْمَكَانَ، فَقَالُوا: اللَّهُمَّ بَلِّغْ عَنَّا نَبِيَّنَا أَنَّا قَدْ لَقِينَاكَ فَرَضِينَا عَنْكَ وَرَضِيتَ عَنَّا، قَالَ: وَأَتَى رَجُلٌ حَرَامًا خَالَ أَنَسٍ مِنْ خَلْفِهِ، فَطَعَنَهُ بِرُمْحٍ حَتَّى أَنْفَذَهُ، فَقَالَ حَرَامٌ فُزْتُ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِأَصْحَابِهِ: "إِنَّ إِخْوَانَكُمْ قَدْ قُتِلُوا وَإِنَّهُمْ قَالُوا: اللَّهُمَّ بَلِّغْ عَنَّا نَبِيَّنَا أَنَّا قَدْ لَقِينَاكَ فَرَضِينَا عَنْكَ وَرَضِيتَ عَنَّا "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Datang serombongan orang kepada Nabi , lalu mereka berkata : "Kirimkanlah bersama kami beberapa orang untuk mengajarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah kepada kami". Maka beliau mengirim tujuh puluh orang laki-laki dari golongan Anshar, dan mereka dinamakan qurraa’ (ahli membaca Al-Qur'an). Diantara mereka adalah pamanku yang bernama Haraam yang senantiasa membaca dan mempelajari Al-Qur'an di malam hari dan mengajarkannya, sedangkan di siang hari mereka mengangkut air ke masjid (untuk digunakan bersuci). Mereka juga mencari kayu bakar, yang setelah dijual, mereka gunakan uangnya untuk membeli makanan untuk Ahlus-Suffah dan orang-orang fakir. Lalu Nabi mengutus mereka menyertai rombongan tersebut. Di tengah perjalanan mereka diserang oleh rombongan tersebut, dan akhirnya mereka dibunuh sebelum sampai ke tempat tujuan. Namun mereka sempat berdoa : "Ya Allah, sampaikanlah kepada Nabi kami khabar tentang diri kami bahwa kami telah berjumpa dengan-Mu (meninggal). Kami ridla kepada-Mu dan Engkau pun ridla kepada kami". Anas berkata : " Ketika itu ada seseorang yang membuntuti Haraam - paman Anas - dari belakang, namun Haraam dapat menikamnya dengan tombak hingga ia berhasil membunuhnya. Setelah itu Haram berkata : "Aku telah menang demi Rabb pemilik Ka'bah". Kemudian Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya : "Sesungguhnya saudara-saudara kalian telah terbunuh, dan (sebelum terbunuh) mereka sempat berkata : ‘Ya Allah, sampaikanlah kepada nabi kami khabar kami bahwa kami telah berjumlah dengan-Mu. Kami ridla kepada-Mu dan Engkau pun ridla kepada kami” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 677].
[3]   Lihat Marwiyaat Abi ‘Ubaidah bin ‘Abdillah bin Mas’uud ‘an Abiihi hal. 308.
Hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalur dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdillah bin Mas’uud, dari ayahnya. Terdapat keterputusan dalam rantai sanad ini, karena jumhur ulama mutaqaddimiin menafikkan adanya penyimakan hadits Abu ‘Ubaidah dari ayahnya (Ibnu Mas’uud). Namun demikian, para ulama mutaqaddimiin menerima riwayat Abu ‘Ubaidah dari ayahnya, karena ia hanya mendapatkan riwayat Ibnu Mas’uud dari kalangan pembesar murid-murid Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu sehingga sangat menguasanya.
‘Aliy bin Al-Madiiniy rahimahullah berkata tentang riwayat Abu ‘Ubaidah dari ayahnya :
هو منقطع، وهو حديث ثبت
“Sanadnya terputus, namun itu adalah hadits shahih” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy1/544].
Ya’quub bin Syaibah rahimahullah berkata:
إنما استجاز أصحابنا أن يدخلوا حديث أبي عبيدة عن أبيه في المسند -يعني في الحديث المتصل- لمعرفة أبي عبيدة بحديث أبيه وصحتها، وأنه لم يأت فيها بحديثٍ منكرٍ
“Rekan-rekan kami membolehkan memasukkan hadits Abu ‘Ubaidah dari ayahnya dalam Al-Musnad– yaitu dalam hadits muttashil (bersambung sanadnya) – hanyalah karena pengetahuan Abu ‘Ubaidah tentang hadits ayahnya dan keshahihannya. Dan ia tidak membawakan padanya hadits munkar” [idem].
[4]   Nabi bersabda:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَة اللَّه هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيل اللَّه
Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah tinggi, maka itulah perang di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 123 dan Muslim no. 1904].
[5]   Nabi bersabda:
فَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُ النَّارَ
Dan sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amalan penduduk neraka hingga tak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sejengkal saja, lalu ia didahului oleh ketetapan takdirnya hingga ia beramal dengan amalan penduduk surga dan kemudian ia masuk surga. Dan sesungguhnya ada juga seseorang yang beramal dengan amalan penduduk surga hingga tak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali sejengkal saja, lalu ia didahului oleh ketetapan takdirnya hingga ia beramal dengan amalan penduduk neraka dan kemudian ia masuk neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3332].

Takhrij Hadits Sumpah dengan Selain Allah

$
0
0

Sebagaimana pernah saya singgung pada artikel berjudul Syirik : Sumpah dengan Selain Allah(catatan kaki no. 1), maka pada kesempatan ini – dengan izin Allah ta’ala – saya akan membahas hadits tentang sumpah, yaitu:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: لَا وَأَبِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَهْ، إِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ دُونَ اللَّهِ، فَقَدْ أَشْرَكَ
Dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar : Bahwasannya ia (‘Umar) pernah berkata : “Tidak, demi bapakku”. Maka Rasulullah bersabda : “Mah ! (ucapan yang menunjukkan kemarahan – Pent.). Barangsiapa yang bersumpah dengan sesuatu selain Allah, sungguh ia telah berbuat kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/47].
Hadits ini masyhur dalam banyak kitab yang membahas masalah sumpah.

Diriwayatkan dari beberapa jalan dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, yaitu:
1.    Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy.
Diriwayatkan oleh Ahmad[1]1/47 (yaitu hadits dengan lafadh di atas), Ath-Thahawiy[2]dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 2/297 no. 826, Al-Haakim[3]dalam Al-Mustadrak 1/52, dan Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy[4]dalam Al-Mukhtarah no. 205 & 207; semuanya dari jalan Israaiil bin Yuunus As-Sabi’iy, dari Sa’iid bin Masruuq, dari Ibnu ‘Umar.
Lafadhnya berdekatan.
Israaiil bin Yuunus bin Abi Ishaaq Al-Hamdaaniy As-Sabii’iy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 134 no. 405].
Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy Al-Kuufiy 9ayah dari Sufyaan Ats-Tsauriy); seorang yang tsiqah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 388 no. 2406].
2.    Al-Hasan bin ‘Ubaidillah An-Nakha’iy.
Al-Hasan bin ‘Ubaidillah An-Nakha’iy, Abu ‘Urwah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan [Taqriibut-Tahdziib, hal. 239 no. 1264].
Darinya:
Abu Khaalid Al-Ahmar; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad[5]2/125, At-Tirmidziy[6]no. 1535, dan Al-Haakim[7]dalam Al-Mustadrak 4/297 dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: لَا، وَالْكَعْبَةِ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: لَا يُحْلَفُ بِغَيْرِ اللَّهِ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ "
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah : Bahwasannya Ibnu ‘Umar mendengar seorang laki-lakiberkata : “Tidak, demi Ka’bah”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Jangan bersumpah dengan nama selain Allah, karena aku mendengar Rasulullah bersabda : ‘Barangsiapa yang bersumpah dengan (nama) selain Allah, sungguh ia telah melakukan kekufuran atau kesyirikan”.
Abu Khaalid Al-Ahmar namanya adalah Sulaimaan bin Hayyaan Al-Azdiy; seorang yang shaduuqyang memiliki beberapa kekeliruan dalam sebagian haditsnya [Taqriibut-Tahdziibhal. 406 no. 2562, Tahriirut-Taqriib 2/65-66 no. 2547, dan Kasyful-Iihaam hal. 398-400].
‘Abdullah bin Idriis Al-Audiy; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud[8]no. 3251 dengan lafadh semisal di atas (Abu Khaalid Al-Ahmar).
‘Abdullah bin Idriis bin Yaziid bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Aswad Al-Audiy, Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi ahli ibadah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 491 no. 3224].
Fudlail bin Sulaimaan; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah[9]dalam Musnad-nya 4/44 no. 5967 dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ، فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, ia berkata : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : “Telah bersabda Rasulullah : ‘Barangsiapa yang bersumpah dengan (nama) selain Allah, sungguh ia telah melakukan kekufuran atau kesyirikan”.
Fudlail bin Sulaimaan An-Numairiy, Abu Sulaimaan Al-Bashriy; seorang yang dla’iif menurut jumhur ulama [Taqriibut-Tahdziib, hal. 785 no. 5462 dan Tahriirut-Taqriib 3/163-164 no. 5437 dan Tahriirut-Taqriib3/162 no. 5427].
‘Abdurrahiim bin Sulaimaan; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Zamaniin[10] dalam Ushuulus-Sunnah hal. 237 no. 159 dan Ibnu Hibbaan[11]10/199-200 no. 4358dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ فَحَلَفَ رَجُلٌ بِالْكَعْبَةِ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَيْحَكَ لا تَفْعَلْ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
 Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, ia berkata : Aku pernah di sisi Ibnu ‘Umar. Lalu ada seorang laki-laki yang bersumpah : ‘Demi Ka’bah’. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Celaka engkau, jangan engkau lakukan, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : ‘Barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, sungguh ia telah melakukan kesyirikan”.
‘Abdurrahiim bin Sulaimaan Al-Kinaaniy Ath-Thaa’iy, Abu ‘Aliy Al-Asyal Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, mempunyai beberapa tulisan [Taqriibut-Tahdziib, hal. 607 no. 4084].
Jariir bin ‘Abdil-Hamiid Adl-Dlabbiy; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haakim[12]dalam Al-Mustadrak 1/18 & 1/52 dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَن ِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ "
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi , beliau bersabda : “Barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, sungguh ia telah melakukan kekufuran”.
Jariir bin ‘Abdil-Hamiid bin Qurth Adl-Dlabbiy; seorang yang tsiqah shahiihul-kitaab [Taqriibut-Tahdziib, hal. 196 no. 924].
Mas’uud bin Sa’d; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy[13]dalam Al-Kubraa 10/29 no. 19829 dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا رَجُلا يَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ، فَقَالَ: لا تَحْلِفْ بِالْكَعْبَةِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ، فَقَدْ كَفَرَ، أَوْ أَشْرَكَ "،
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, ia berkata : Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pernah mendengar seorang laki-laki bersumpah : ‘Demi Ka’bah’. Maka ia berkata : “Janganlah engkau bersumpah dengan menyebut Ka’bah, karena aku mendengar Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, sungguh ia telah melakukan kekufuran atau kesyirikan”.
Mas’uud bin Sa’d Al-Ju’fiy, Abu Sa’d Al-Kuufiy; seorang yang tsiqahlagi ahli ibadah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 936 no. 6654].
3.    Manshuur bin Al-Mu’tamir
Manshuur bin Al-Mu’tamir bin ‘Abdillah bin Rabii’ah, Abu ‘Attaab Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat[Taqriibut-Tahdziib, hal. 973 no. 6956]. Manshuur paling tsabt periwayatannya di antara penduduk Kuufah.
Darinya:
Syu’bah bin Al-Hajjaaj; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah[14]dalam Musnad-nya4/44 no. 5971 dan Al-Bazzaar[15]dalam Al-Bahr 12/22 no. 5390 (darinya ada dua jalan, yaitu Wahb bin Jariir dan Muhammad bin Ja’far/Ghundar).
Riwayat Abu ‘Awaanah yang dibawakan Wahb bin Jariir dari Syu’bah dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ، فَقُلْتُ: أَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ، قَالَ: لا، وَلَكِنِ احْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، وَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لا تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ، فَمَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ، فَقَدْ أَشْرَكَ "
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, ia berkata : Aku pernah berada di sisi Ibnu ‘Umar. Aku katakan : “Bolehkah aku bersumpah dengan menyebut Ka’bah ?”. Ia menjawab : “Tidak boleh, akan tetapi bersumpahlah dengan Rabb Ka’bah. Sesungguhnya ‘Umar pernah bersumpah dengan menyebut bapaknya, maka Rasulullah bersabda : ‘Janganlah kalian bersumpah dengan bapak-bapak kalian. Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah melakukan kesyirikan”.
Riwayat Al-Bazzaar yang dibawakan Ghundar dari Syu’bah dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَجُلا حَلَفَ بِالْكَعْبَةِ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: احْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لا تَحْلِفْ بِأَبِيكَ، فَإِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ada seorang laki-laki bersumpah dengan menyebut Ka’bah. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Bersumpahlah dengan Rabb Ka’bah, karena dulu ‘Umar pernah bersumpah dengan menyebut bapaknya. (Mendengar itu), maka Rasulullah bersabda : ‘Janganlah kalian bersumpah dengan menyebut bapakmu, karena barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah melakukan kesyirikan”.
Syu’bah bin Al-Hajjaaj; seorang yang tsiqah, haafidh, mutqin, dan disebut Ats-Tsauriy sebagai amiirul-mukminiin fil-hadiits [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2805].
Wahb bin Jariir bin Haazim bin Zaid bin ‘Abdillah bin Syujaa’ Al-Azdiy, Abul-‘Abbaas Al-Bashriy; seorang yang tsiqah[Taqriibut-Tahdziib, hal.1043no.7522].
Muhammad bin Ja’far Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy – terkenal dengan nama Ghundar; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi shahiihul-kitaab[Taqriibut-Tahdziib, hal. 833 no. 5824]. Ia dikenal diantara perawi yang paling menguasai riwayat Syu’bah sebagaimana dikatakan Ibnul-Mubaarak dan Al-‘Ijliy.
Lafadh yang valid di sini adalah lafadh yang dibawakan oleh Ghundar, bahwa yang bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah seorang laki-laki, bukan Sa’d bin ‘Ubaidah. Ghundar lebih diunggulkan dalam periwayatan dari Syu’bah daripada Wahb, meski keduanya seorang yang tsiqah.Ini berkesesuaian riwayat yang lainnya.
Sufyaan Ats-Tsauriy; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bazzaar[16]dalam Al-Bahr 12/22 no. 5393 dengan lafadh:
،عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi pernah bersabda : “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah melakukan kesyirikan”.
Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].
Yaziid bin ‘Athaa’; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Basyraan[17]dalam al-Amaaliy no. 49 dengan lafadh semisal yang dibawakan Sufyaan Ats-Tsauriy di atas.
Yaziid bin ‘Athaa’ Al-Yasykuriy, Abu Khaalid Al-Waasithiy Al-Bazzaaz; seorang layyinul-hadiits [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1080 no. 7808].
4.    Al-A’masy
Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy – terkenal dengan nama Al-A’masy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aalim terhadap qira’aat, wara’, akan tetapi sering melakukan tadliis [Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630].
Darinya:
‘Abdul-‘Aziiz Al-Qasmaliy; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa[18]dalam Musnad-nya no. 5668 dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ رَجُلا يَقُولُ: وَأَبِي، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ لا تَحْلِفْ بِهَا، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِﷺ: "لا تَحْلِفْ بِهَا "
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, ia berkata : Ibnu ‘Umar mendengar seseorang yang berkata : “Demi bapakku”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : Janganlah engkau bersumpah dengannya, karena dulu ‘Umar pernah bersumpah dengannya lalu Rasulullah bersabda : “Janganlah engkau bersumpah dengannya”.
‘Abdul-‘Aziiz bin Muslim Al-Qasmaliy; seorang yang tsiqah lagi ahli ibadah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 616 no. 4150 dan Tahriirut-Taqriib 2/372 no. 4122].
Abu ‘Awaanah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy[19]dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 2/296 no. 825 dan Abu ‘Awaanah[20]dalam Musnad-nya 4/44 no. 5970 dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا مَعَ ابْنِ عُمَرَ، فَسَمِعَ رَجُلا، يَقُولُ: كَلا وأبي، فقال: كان عمر يحلف بها، فقال النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلامُ: "إنَّهَا شِرْكٌ، فَلا تَحْلِفْ بِهَا "
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, ia berkata : Aku pernah duduk bersama Ibnu ‘Umar. Lalu ia mendengar seseorang yang berkata : “Sekali-kali tidak, demi bapakku”. Maka ia berkata : “Dulu ‘Umar pernah bersumpah dengan perkataan itu. Maka Nabi ‘alaihis-salaambersabda : ‘Itu adalah kesyirikan, jangan engkau bersumpah dengannya”.
Abu ‘Awaanah namanya Al-Wadldlaah bin ‘Abdillah Al-Yasykuuriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1036 no. 7457].
NB : Abu ‘Awaanah yang ini (w. 175 H) berbeda dengan Abu ‘Awaanah penulis kitab Al-Musnad. Abu ‘Awaanah penulis kitab bernama Ya’quub bin Ishaaq Al-Isfiraainiy (w. 316 H).
Muhammad bin Fudlail dan Muhammad bin Salamah Al-Kuufiy; sebagaimana diriwayatkan Abu ‘Awaanah[21]dalam Musnad-nya 4/44 no. 5968-5969 dengan lafadh semisal yang dibawakan Abu ‘Awaanah.
Akan tetapi, Muhammad bin Fudlail meriwayatkan dari Al-A’masy, dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Abu ‘Abdirrahmaan (As-Sulamiy). Sanad ini keliru, karena menyelisihi jumhur yang meriwayatkan dari Al-A’masy, yang jauh lebih kuat riwayatnya dari Ibnu Fudlail dan Muhammad bin Salamah.
Muhammad bin Fudlail bin Ghazwaan bin Jariir Adl-Dlabbiy, Abu ‘Abdirahmaan Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 889 no. 6267 dan Tahriirut-Taqriib3/306-307 no. 6227].
Muhammad bin Salamah Asy-Syaamiy; Ibnu Hibbaan berkata tentangnya : Tidak halal meriwayatkan hadits darinya”; sedangkan Abu Haatim berkata : “Seorang syaikh, aku tidak mengenalnya. Akan tetapi haditsnya tidak munkar” [Lisaanul-Miizaan, 7/168 no. 6852].
Wakii’ bin Al-Jarraah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad[22]2/58 & 2/60, Ibnu Abi Syaibah[23]dalam Al-Mushannaf 5/28 no. 12400, Al-Khallaal[24]dalam As-Sunnah no. 1425, Ibnu Mandah[25]dalam At-Tauhiid no. 162, Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy[26]dalam Al-Mukhtarah no. 206 dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ فِي حَلْقَةٍ، فَسَمِعَ رَجُلًا فِي حَلْقَةٍ أُخْرَى، وَهُوَ يَقُولُ: لَا وَأبي، فرماه ابن عمر بالحصى، وَقَالَ: إِنَّهَا كَانَتْ يَمِينَ عُمَرَ، فَنَهَاهُ النَّبِيُّ ﷺ عَنْهَا، وَقَالَ: "إِنَّهَا شِرْكٌ "
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, ia berkata : Aku pernah bersama Ibnu ‘Umar dalam sebuah halaqah. Lalu ia mendengar seseorang di halaqah lain yang mengucapkan : “Tidak, demi bapakku”. Maka Ibnu ‘Umar melemparnya dengan kerikil seraya berkata : “Itu dulu adalah sumpah (yang pernah diucapkan) ‘Umar dan kemudian Nabi melarangnya. Beliau bersabda : “Ucapan itu adalah kesyirikan”.
Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy, Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ahli ibadah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1037 no. 7464]
5.    Jaabir bin Yaziid Al-Ju’fiy
Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d[27]dalam Musnad-nya hal. 844 no. 2332 dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ سَمِعَ رِجَالا، يَقُولُونَ: وَالْكَعْبَةِ، فَقَالَ: لا تَقُولُوا: وَالْكَعْبَةِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ مُحَمَّدًا ﷺ يَقُولُ: "كُلُّ يَمِينٍ حُلِفَ بِهَا دُونَ اللَّهِ شِرْكٌ "
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia mendengar seseorang mengucapkan “Demi Ka’bah”. Maka ia berkata : “Janganlah engkau mengucapkan ‘Demi Ka’bah’, karena aku mendengar Muhammad bersabda : ‘Setiap sumpah yang diucapkan dengan menyebut selain Allah adalah kesyirikan”.
Jaabir bin Yaziid bin Al-Haarits bin ‘Abd Yaghuuts bin Ka’b Al-Ju’fiy Al-Kuufiy, Abu ‘Abdillah; seorang yang dla’iif dan raafidliy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 192 no. 886 – atau selengkapnya silakan baca biografinya pada Tahdziibul-Kamaal, 4/465-472 no. 879].
6.    Al-A’masy dan Manshuur bin Al-Mu’tamir secara bersamaan
Meriwayatkan dari keduanya Syu’bah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy[28]3/412 no. 2008 dan Ibnu Ja’d[29]dalam Musnad-nya hal. 486 no. 925 dengan lafadh:
سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ، يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَجُلا سَأَلَهُ عَنِ الرَّجُلِ يَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ، فَقَالَ: لا تَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ، وَلَكِنِ احْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
Sa’d bin ‘Ubaidah menceritakan dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya tentang orang yang bersumpah dengan menyebut Ka’bah. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Janganlah engkau bersumpah dengan menyebut Ka’bah, akan tetapi bersumpahlah dengan menyebut Rabb Ka’bah (Allah). Karena dulu ‘Umar pernah bersumpah dengan menyebut bapaknya, maka Rasulullah bersabda kepadanya : ‘Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah melakukan kesyirikan”.
7.    Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Al-A’masy, dan Manshuur bin Al-Mu’tamir secara bersamaan.
Meriwayatkan dari ketiganya Sufyaan Ats-Tsauriy sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq[30]dalam Al-Mushannaf 8/467-468 no. 15926, Ahmad[31]2/34, Al-Bazzaar[32]dalam Al-Bahr 12/22-23 no. 5391-5392, dan Al-Haakim[33]dalam Al-Mustadrak 1/52 dengan lafadh:
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: كَانَ عُمَرُ يَحْلِفُ: وَأَبِي، فَنَهَاهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَقَالَ: "مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ أَوْ قَالَ: أَلا هُوَ مُشْرِكٌ "
Dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Dulu ‘Umar pernah bersumpah : ‘Demi bapakku’. Maka Rasulullah melarangnya seraya bersabda : ‘Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut sesuatu selain Allah, sungguh ia telah berbuat kesyirikan’– atau beliau bersabda : ‘Sungguh, ia seorang musyrik’.
Inilah riwayat-riwayat yang secara dhahir menunjukan pada kita bahwa larangan Nabi tersebut diucapkan ketika mendengar ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu bersumpah dengan menyebut bapaknya. Peristiwa itu disampaikan ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu 'anhumaa– yang saat itu Sa’d bin ‘Ubaidah bermajelis bersamanya - ketika ada seseorang yang bersumpah dengan menyebut Ka’bah.
Sebagian ulama mengkritik hadits di atas, karena sebenarnya hadits itu didapatkan Sa’d bin ‘Ubaidah melalui perantaraan seorang laki-laki dari suku Kindah bernama Muhammad Al-Kindiy. Sa’d tidak mendengar atau menyaksikan secara langsung dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan dari jalan:
1.    Syu’bah bin Al-Hajjaaj; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad[34]2/86 & 2/125, Ath-Thahawiy[35]dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 2/299-300 no. 830, Abu ‘Awaanah[36]dalam Musnad-nya 4/44 no. 5972, Al-Baihaqiy[37]dalam Al-Kubraa 10/29 no. 19830;
2.    Syaibaan; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad[38]2/69 dan Abu Nu’aim[39]dalam Hilyatul-Auliyaa’ 9/253;
3.    Jariir bin ‘Abdil-Hamiid; sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy[40]dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 2/300 no. 831;
Semuanya dari Manshuur, dari Sa’d bin ‘Ubaidah, ia berkata:
كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ، فَقُمْتُ وَتَرَكْتُ رَجُلًا عِنْدَهُ مِنْ كِنْدَةَ، فَأَتَيْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ، قَالَ: فَجَاءَ الْكِنْدِيُّ فَزِعًا، فَقَالَ: جَاءَ ابْنَ عُمَرَ رَجُلٌ، فَقَالَ: أَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ؟ فَقَالَ: لَا، وَلَكِنْ احْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لَا تَحْلِفْ بِأَبِيكَ، فَإِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
“Aku pernah di sisi Ibnu ‘Umar. Lalu aku pergi menemui Sa’iid bin Al-Musayyib dan meninggalkan seseorang dari suku Kindah di sisi Ibnu ‘Umar. Kemudian setelah itu, datanglah orang dari suku Kindah tersebut dalam keadaan cemas/takut, lalu berkata : “Ada seseorang datang kepada Ibnu ‘Umar dan berkata : ‘Bolehkah aku bersumpah dengan menyebut Ka’bah ?”. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : ‘Tidak boleh, akan tetapi bersumpahlah dengan menyebut Rabb Ka’bah (Allah). Karena dulu ‘Umar pernah bersumpah dengan menyebut bapaknya, maka Rasulullah bersabda : ‘Jangan bersumpah dengan menyebut bapakmu, karena barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah melakukan kesyirikan”.
Penambahan kisah ini dianggap sebagian ulama sebagai ‘illat yang merusak keshahihan hadits.
Al-Baihaqiy rahimahullah setelah menyebutkan hadits Mas’uud bin Sa’d (di atas) berkata:
وَهَذَا مِمَّا لَمْ يَسْمَعْهُ سَعْدُ بْنُ عُبَيْدَةَ، مِنِ ابْنِ عُمَرَ
“Ini termasuk diantara hadits yang tidak didengar Sa’d bin ‘Ubaidah dari Ibnu ‘Umar” [As-Sunan Al-Kubraa, 10/29 no. 19829].
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
فَوَقَفْنَا عَلَى أَنَّ مَنْصُورَ بْنَ الْمُعْتَمِرِ قَدْ زَادَ فِي إسْنَادِ هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى الأَعْمَشِ، وَعَلَى سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، رَجُلا مَجْهُولا بَيْنَهُ وَبَيْنَ ابْنِ عُمَرَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ، فَفَسَدَ بِذَلِكَ إسْنَادُهُ
“Maka kami mengetahui bahwa Manshuur bin Al-Mu’tamir menambahkan dalam sanad hadits ini terhadap Al-A’masy dan Sa’iid bin Masruuq dari Sa’d bin ‘Ubaidah seorang laki-laki majhuul antara dirinya dan Ibnu ‘Umar dalam hadits ini, sehingga merusak sanad hadits tersebut” [Syarh Musykiilil-Aatsaar, 2/300].
Laki-laki dari suku Kindah tersebut dalam riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 9/253 bernama Muhammad (Al-Kindiy).
Ibnu Abi Haatim rahimahumallah berkata:
محمد الكندي روى عن علي رضي الله عنه، مرسل، روى عنه عبد الله بن يحيى التوءم سمعت أبى يقول ذلك وسمعته يقول: هو مجهول.
“Muhammad Al-Kindiy. Ia meriwayatkan dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, mursal. Meriwayatkan darinya ‘Abdullah bin Yahyaa At-Tauam. Aku mendengar ayahku mengatakannya. Dan aku pun mendengarnya berkata : “Dirinya majhuul” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 8/132 no. 592].
Permasalahannya adalah, Manshuur - dalam hal ini - meriwayatkan dengan tambahan perantara Muhammad Al-Kindiy dan juga tanpa tambahan. Perawi yang meriwayatkan dari Manshuur dengan tambahan perantara adalah Syu’bah, Syaibaan, dan Jariir. Adapun perawi yang meriwayatkan dari Manshuur tanpa tambahan Syu’bah, Sufyaan Ats-Tsauriy, dan Yaziid bin ‘Athaa’.
Oleh karena itu, sebagian ulama lain menjelaskan bahwa Sa’d bin ‘Ubaidah mendengar hadits dua kali atau dua versi :
a.    Langsung dari Ibnu ‘Umar dalam satu majelis; yaitu dalam kasus seorang laki-laki yang bersumpah “Demi bapakku”;
b.    Tidak langsung, melalui perantaraan Muhamad Al-Kindiy; yaitu dalam kasus seorang laki-laki yang bersumpah “Demi Ka’bah.
Eksistensi riwayat bersambung antara Sa’d bin Ibnu ‘Umar lebih jelas lagi adalah riwayat yang dibawakan Al-A’masy dari jalan Wakii’ bin Al-Jarraah. Dua peristiwa yang berbeda dengan yang versi perantara Muhammad Al-Kindiy.
Dikuatkan lagi dengan jalan riwayat yang lain:
حَدَّثَنَا عَتَّابٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ. ."فَقَالَ فِيهِ قَوْلًا شَدِيدًا
Telah menceritakan kepada kami ‘Attaab : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah mengkhabarkan kepada kami Muusaa bin ‘Uqbah, dari Saalim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah…” (Perawi berkata) : Maka beliau bersabda tentang perkataan tersebut dengan perkataan yang keras (ancamannya) [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/67].
Pekataan perawi bahwa Nabi mengomentari perkara sumpah dengan selain Allah dengan perkataan yang keras seakan-akan menunjukkan tentang (ancaman) kesyirikan yang ada dalam riwayat lainnya.
Walhasil, riwayat ini shahih.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Irwaaul-Ghaliil 8/189-191 no. 2561, sedangkan Asy-Syaikh Muqbil bin Haadiy Al-Waadi’iy rahimahumallah mendla’ifkannya dalam Ahaadiitsun Mu’allah Dhaahiruhash-Shihhaahhal. 248-249 no. 268. Saya banyak mengambil faedah dari pembahasan kedua kitab ini.
Ad-Daaraquthniy menyebutkan perselisihan riwayat hadits ini dalam Al-‘Ilal 13/233-234 no. 3133 tanpa menyimpulkan perajihannya.
Wallaahu a’lam, semoga ada manfaatnya [menjelang berbuka puasa – rnn – 27052018].



[1]   Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَسْرُوقٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: لَا وَأَبِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَهْ، إِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ دُونَ اللَّهِ، فَقَدْ أَشْرَكَ "
[2]   Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو أُمَيَّةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَجَاءٍ، حَدَّثَنَا إسْرَائِيلُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ، قَالَ: لا وأبي، فقال رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ دُونَ اللَّهِ، فَقَدْ أَشْرَكَ ".
[3]   Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ رَحِيمٍ الشَّيْبَانِيُّ بِالْكُوفَةِ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ حَازِمِ بْنِ أَبِي غَرَزَةَ، ثنا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، أَنْبَأَ إِسْرَائِيلُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ: لا وَأَبِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لا تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ، مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ دُونَ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
[4]   Riwayatnya adalah:
205:
أَخْبَرَنَا الْمُبَارَكُ بْنُ أَبِي الْمَعَالِي بْنِ الْمَعْطُوشِ بِبَغْدَادَ: أَنَّ هِبَةَ اللَّهِ أَخْبَرَهُمْ قِرَاءَةً عَلَيْهِ، أنا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنِي أَبِي، ثَنا أَبُو سَعِيدٍ، ثنا إِسْرَائِيلُ، ثنا سَعِيدُ بْنُ مَسْرُوقٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: لا وَأَبِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَهْ ؛ فَإِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ دُونَ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ ".
كَذَا رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ فِي الْمُسْنَدِ ؛ فِي مُسْنَدِ عُمَرَ، وَقَدْ رَوَاهُ أَيْضًا فِي مُسْنَدِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَر
207:
وَأَخْبَرَنَا عَبْدُ الْبَاقِي بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ الْهَرَوِيُّ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ مُحَمَّدٍ أَخْبَرَهُمْ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ، أنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ، أنا عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ، أنا الْهَيْثَمُ بْنُ كُلَيْبٍ، ثنا ابْنُ أَبِي غَرْزَةَ أَبُو عُمَرَ، نا عُبَيْدُ اللَّهِ، أنا إِسْرَائِيلُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ: لا وَأَبِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لا تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ، مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ دُونَ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
[5]   Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَيَّانَ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ رَجُلًا، يَقُولُ: وَالْكَعْبَةِ، فَقَالَ: لَا تَحْلِفْ بِغَيْرِ اللَّهِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ وَأَشْرَكَ "
[6]   Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، عَنْ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: لَا، وَالْكَعْبَةِ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: لَا يُحْلَفُ بِغَيْرِ اللَّهِ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ "
[7]   Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حَمْشَاذَ الْعَدْلُ، ثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ الْجُنَيْدِ، ثَنَا سَهْلُ بْنُ عُثْمَانَ الْعَتَكِيُّ، ثَنَا أَبُو خَالِدٍ الأَحْمَرُ، ثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ النَّخَعِيُّ،عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا رَجُلا يَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ، فَقَالَ لا تَحْلِفْ بِالْكَعْبَةِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ، فَقَدْ كَفَرَ، أَوْ أَشْرَكَ "
[8]   Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، قَالَ: سَمِعْتُ الْحَسَنَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ رَجُلًا يَحْلِفُ لَا وَالْكَعْبَةِ، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَرَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
[9]   Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا يُوسُفُ الْقَاضِي، قثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ، قثنا فُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ، قثنا الْحَسَنُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ، فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ "، رَوَاهُ عَبْدُ الْوَاحِدِ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، بِمِثْلِهِ
[10]  Riwayatnya adalah:
ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ: وَحَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ [عَنْ سعد بن عبيدة]، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ، فَحَلَفَ رَجُلٌ بِالْكَعْبَةِ، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَيْحَكَ، لا تَفْعَلْ؟ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ، أَوْ كَفَرَ "
[11]  Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْجُعْفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ النَّخَعِيِّ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ فَحَلَفَ رَجُلٌ بِالْكَعْبَةِ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَيْحَكَ لا تَفْعَلْ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
[12]  Riwayatnya adalah:
1/18:
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ صَالِحِ بْنِ هَانِئٍ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَالْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، وَأَحْمَدُ بْنُ سَلَمَةَ، قَالُوا: ثنا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، أَنْبَأَ جَرِيرٌ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ النَّخَعِيِّ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَن ِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ "
1/52:
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُوسَى، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ، أَنْبَأَ يَحْيَى بْنُ الْمُغِيرَةِ، ثنا جَرِيرٌ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ "
[13]  Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ جَنَاحُ بْنُ نُذَيْرِ بْنِ جَنَاحٍ الْقَاضِي بِالْكُوفَةِ، ثنا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ دُحَيْمٍ الشَّيْبَانِيُّ، ثنا أَبُو عَمْرٍو أَحْمَدُ بْنُ حَازِمِ بْنِ أَبِي غَرَزَةَ الْغِفَارِيُّ، أنبأ مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلُ، ثنا مَسْعُودُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ،عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا رَجُلا يَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ، فَقَالَ: لا تَحْلِفْ بِالْكَعْبَةِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ، فَقَدْ كَفَرَ، أَوْ أَشْرَكَ "،
وَهَذَا مِمَّا لَمْ يَسْمَعْهُ سَعْدُ بْنُ عُبَيْدَةَ، مِنِ ابْنِ عُمَرَ
[14]  Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُنَادِي، قثنا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ، قثنا شُعْبَةُ، عَنْ مَنْصُورٍ،عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ، فَقُلْتُ: أَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ، قَالَ: لا، وَلَكِنِ احْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، وَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لا تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ، فَمَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ، فَقَدْ أَشْرَكَ "
[15]  Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، نا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، نا شُعْبَةُ، عَنْمَنْصُورٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَجُلا حَلَفَ بِالْكَعْبَةِ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: احْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لا تَحْلِفْ بِأَبِيكَ، فَإِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
[16]  Riwayatnya adalah:
وَناه عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، نا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، نا سُفْيَانُ، عَنْ مَنْصُورٍ،عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
[17]  Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الشَّافِعِيُّ، نا مُحَمَّدٌ غَالِبٌ، ثنا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ النُّعْمَانِ، ثنا يَزِيدُ بْنُ عَطَاءٍ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
[18]  Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَجَّاجِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الْقَسْمَلِيَّ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ رَجُلا يَقُولُ: وَأَبِي، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ لا تَحْلِفْ بِهَا، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِﷺ: "لا تَحْلِفْ بِهَا "
[19]  Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا بَكَّارٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا مَعَ ابْنِ عُمَرَ، فَسَمِعَ رَجُلا، يَقُولُ: كَلا وأبي، فقال: كان عمر يحلف بها، فقال النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلامُ: "إنَّهَا شِرْكٌ، فَلا تَحْلِفْ بِهَا "
[20]  Riwayatnya adalah:
حدثنا أبو قلابة : قثنا يحيى بن حماد : قثنا أبو عوانة عن الأعمشبإسناده : يحلف بأبيه فنهاه
[21]  Riwayatnya adalah:
No. 5968:
حدثنا علي بن حرب : قثنا ابن فضيل عن الأعمش، عن سعد بن عبيدة، عن أبي عبد الرحمن : سمع ابن عمر رجلا يحلف ((لا وأبي)). فقال : لا تحلف بهذا اليمين، هذه يمين عمر الذي حلف بها، فقال له رسول الله ﷺ : ((لا تحلف بها؛ فإنها شرك))
No. 5969:
       حدثنا محمد بن كثير الحراني : قثنا محمد بن موسى قال : قرأت على أبي : عن محمد بن سلمة الكوفي عن الأعمشبإسناده مثله
[22]  Riwayatnya adalah:
2/58:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ فِي حَلْقَةٍ، فَسَمِعَ رَجُلًا فِي حَلْقَةٍ أُخْرَى، وَهُوَ يَقُولُ: لَا وَأبي، فرماه ابن عمر بالحصى، وَقَالَ: إِنَّهَا كَانَتْ يَمِينَ عُمَرَ، فَنَهَاهُ النَّبِيُّ ﷺ عَنْهَا، وَقَالَ: "إِنَّهَا شِرْكٌ "
2/60:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَاالْأَعْمَشُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ فِي حَلْقَةٍ، قَالَ: فَسَمِعَ رَجُلًا فِي حَلْقَةٍ أُخْرَى وَهُوَ يَقُولُ: لَا وَأبي، فرماه ابن عمر بالحَصَى، فقال: إنَّها كانت يمينَ عمر، فنهاه النَّبِيُّ ﷺ عَنْهَا، وَقَالَ: "إِنَّهَا شِرْكٌ "
[23]  Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنَّا مَعَ عُمَرَ فِي حَلْقَةٍ، فَسَمِعَ رَجُلًا، يَقُولُ: لَا وَأَبِي، فَرَمَاهُ بِالْحَصَا، وَقَالَ: "إنَّهَا كَانَتْ يَمِينَ عُمَرَ، فَنَهَاهُ النَّبِيُّ ﷺ عنهَا، وَقَالَ: إنَّهَا شِرْكٌ "
[24]  Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: ثنا وَكِيعٌ، قَالَ: ثنا الأَعْمَشُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ، فِي حَلْقَةٍ، فَسَمِعَ رَجُلا فِي حَلْقَةٍ أُخْرَى وَهُوَ يَقُولُ: لا وَأَبِي، فَرَمَى ابْنُ عُمَرَ بِالْحَصَى، وَقَالَ: إِنَّهَا كَانَتْ يَمِينَ عُمَرَ، فَنَهَاهُ النَّبِيُّ ﷺ عَنْهَا، وَقَالَ: إِنَّهَا شِرْكٌ "
[25]  Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ بْنِ يُوسُفَ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الصَّغَانِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا مَعَ ابْنِ عُمَرَ فِي حَلْقَةٍ فَسَمِعَ رَجُلًا، فِي حَلْقَةٍ أُخْرَى يَقُولُ: وَأَبِي، فَرَمَاهُ بِالْحَصَى وَقَالَ: هَذِهِ كَانَتْ يَمِينَ عُمَرَ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ ﷺ وَقَالَ: "إِنَّهَا شِرْكٌ "، رَوَاهُ الْحَسَنُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، وَغَيْرُهُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، فَقَالَ: "كُلُّ يَمِينٍ يُحْلَفُ بِهَا دُونَ اللَّهِ ﷻ شِرْكٌ "
[26]  Riwayatnya adalah:
وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْمَجْدِ زَاهِرُ بْنُ حَامِدٍ الثَّقَفِيُّ، بِأَصْبَهَانَ: أَنَّ سَعِيدَ بْنَ أَبِي الرَّجَاءِ الصَّيْرَفِيَّ أَخْبَرَهُمْ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ، أَنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ النُّعْمَانِ، أنا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَنَا أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ، ثنا عُبَيْدُ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عُمَرَ، ثَنا وَكِيعٌ، ثنا الأَعْمَشُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا مَعَ ابْنِ عُمَرَ فِي حَلَقَةٍ، فَسَمِعَ رَجُلا فِي حَلَقَةٍ أُخْرَى يَقُولُ: لا وَأَبِي.
فَرَمَاهُ بِالْحَصَا، وَقَالَ: إِنَّهَا كَانَتْ يَمِينَ عُمَرَ، فَنَهَاهُ النَّبِيُّ ﷺ وَقَالَ: "إِنَّهَا شِرْكٌ "
[27]  Riwayatnya adalah:
وَبِهِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ سَمِعَ رِجَالا، يَقُولُونَ: وَالْكَعْبَةِ، فَقَالَ: لا تَقُولُوا: وَالْكَعْبَةِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ مُحَمَّدًا ﷺ يَقُولُ: "كُلُّ يَمِينٍ حُلِفَ بِهَا دُونَ اللَّهِ شِرْكٌ "
[28]  Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مَنْصُورٍ، وَالأَعْمَشِ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَأَنَا لِحَدِيثِ الأَعْمَشِ أَحْفَظُ وَالإِسْنَادُ وَاحِدٌ سَمِعَا سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ، يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَجُلا سَأَلَهُ عَنِ الرَّجُلِ يَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ، فَقَالَ: لا تَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ، وَلَكِنِ احْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
[29]  Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ، نا أَبُو دَاوُدَ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مَنْصُورٍ، وَالأَعْمَشِ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ، وَأَنَا لِحَدِيثِ الأَعْمَشِ أَحْفَظُ وَالإِسْنَادُ وَاحِدٌ، سَمِعَا سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ يُحَدِّثُ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَجُلا سَأَلَهُ عَنِ الرَّجُلِ يَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ؟ قَالَ: لا يَحْلِفْ بِالْكَعْبَةِ وَلَكِنْ يَحْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
[30]  Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا الثَّوْرِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، وَالأَعْمَشِ، وَمَنْصُورٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: كَانَ عُمَرُ يَحْلِفُ: وَأَبِي، فَنَهَاهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَقَالَ: "مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ أَوْ قَالَ: أَلا هُوَ مُشْرِكٌ "
[31]  Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِيهِ وَالْأَعْمَشِ، وَمَنْصُورٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: كَانَ عُمَرُ يَحْلِفُ وَأَبِي، فَنَهَاهُ النَّبِيُّ ﷺ قَالَ: "مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ دُونَ اللَّهِ تَعَالَى فَقَدْ أَشْرَكَ "، وَقَالَ الْآخَرُ: "فَهُوَ شِرْكٌ "
[32]  Riwayatnya adalah:
No. 5391:
وَناه عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، نا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْأَبِيهِ، وَالأَعْمَشِ، وَمَنْصُورٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
No. 5392:
وَناه أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عُبَيْدَةَ، نا أَبُو عَاصِمٍ، نا سُفْيَانُ، حَدَّثَنِي أَبِي، وَمَنْصُورٌ، وَالأَعْمَشُ،عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ بنحوه
[33]  Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدٍ الْعَنْبَرِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَنْبَأَ سُفْيَانُ، عَنْ أَبِيهِ، وَالأَعْمَشِ، وَمَنْصُورٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: كَانَ عُمَرُ يَحْلِفُ وَأَبِي فَنَهَاهُ النَّبِيُّ ﷺ فَقَالَ: "مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "، وَقَالَ الآخَرُ: "فَهُوَ شِرْكٌ "
[34]  Riwayatnya adalah:       
2/86:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ، فَقُمْتُ وَتَرَكْتُ رَجُلًا عِنْدَهُ مِنْ كِنْدَةَ، فَأَتَيْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ، قَالَ: فَجَاءَ الْكِنْدِيُّ فَزِعًا، فَقَالَ: جَاءَ ابْنَ عُمَرَ رَجُلٌ، فَقَالَ: أَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ؟ فَقَالَ: لَا، وَلَكِنْ احْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لَا تَحْلِفْ بِأَبِيكَ، فَإِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
2/125:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، فَجِئْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ، وَتَرَكْتُ عِنْدَهُ رَجُلًا مِنْ كِنْدَةَ، فَجَاءَ الْكِنْدِيُّ مُرَوَّعًا، فَقُلْتُ: مَا وَرَاءَكَ؟ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ آنِفًا، فَقَالَ: أَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ؟ فَقَالَ: احْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: "لَا تَحْلِفْ بِأَبِيكَ، فَإِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
[35]  Riwayatnya adalah:
ابْنَ مَرْزُوقٍ قَالَ: حَدَّثَنَا وَهْبٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مَنْصُورٍ،عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ فَقُمْتُ وَتَرَكْتُ عِنْدَهُ رَجُلا مِنْ كِنْدَةَ، فَأَتَيْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ فَجَاءَ فَزِعًا، فَقَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إلَى ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ لَهُ: أَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ؟ فَقَالَ: لا، وَلَكِنِ احْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لا تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ، فَمَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
[36]  Riwayatnya adalah:
حدثنا أبو قلابة : قثنا روح بن عبادة : قثنا شعبة عن منصور،عن سعد بن عبيدة قال : كنت عند ابن عمر ومعي رجل من كِنْدة، فقمت من عن ابن عمر فأتيت سعيد بن المسيب فأتاني الكندي وأنا عند سعيد بن المسيب فقال : ما سمعت ما أحدة ابن عمر : أن النبي ص سمع عمر يحلف بأبيه فنهاه وقال : ((لا تحلفوا بآبائكم))
[37]  Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ هُوَ الْقَطِيعِيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، ثنا شُعْبَةُ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَقُمْتُ، وَتَرَكْتُ رَجُلا عِنْدَهُ مِنْ كِنْدَةَ، فَأَتَيْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: فَجَاءَ الْكِنْدِيُّ فَزِعًا، فَقَالَ: جَاءَ ابْنَ عُمَرَ رَجُلٌ، فَقَالَ: احْلِفْ بِالْكَعْبَةِ، قَالَ: لا، وَلَكِنِ أَحْلِفُ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ، فَقَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لا تَحْلِفْ بِأَبِيكَ، فَإِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ، فَقَدْ أَشْرَكَ "
[38]  Riwayatnya adalah:       
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: جَلَسْتُ أَنَا وَمُحَمَّدٌ الْكِنْدِيُّإِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، ثُمَّ قُمْتُ مِنْ عِنْدِهِ، فَجَلَسْتُ إِلَى سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، قَالَ: فَجَاءَ صَاحِبِي وَقَدْ اصْفَرَّ وَجْهُهُ، وَتَغَيَّرَ لَوْنُهُ، فَقَالَ: قُمْ إِلَيَّ، قُلْتُ: أَلَمْ أَكُنْ جَالِسًا مَعَكَ السَّاعَةَ؟ فَقَالَ سَعِيدٌ: قُمْ إِلَى صَاحِبِكَ، قَالَ: فَقُمْتُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: أَلَمْ تَسْمَعْ إِلَى مَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ ؟ قُلْتُ: وَمَا قَالَ؟ قَالَ: أَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَعَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ أَحْلِفَ بِالْكَعْبَةِ؟ قَالَ: وَلِمَ تَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ؟ إِذَا حَلَفْتَ بِالْكَعْبَةِ فَاحْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ إِذَا حَلَفَ، قَالَ: كَلَّا وَأَبِي، فَحَلَفَ بِهَا يَوْمًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لَا تَحْلِفْ بِأَبِيكَ وَلَا بِغَيْرِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
[39]  Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ، حدَّثَنَا مُحَمَّدٌ، حدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَسْلَمَ، حدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، حدَّثَنَا شَيْبَانُ، عَنْ مَنْصُورٍ،عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ مُحَمَّدٍ الْكِنْدِيِّ،عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: "لا تَحْلِفْ بِأَبِيكَ وَلا تَحْلِفْ بِغَيْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
[40]  Riwayatnya adalah:
وَأَنَّ يَزِيدَ بْنَ سِنَانٍ حَدَّثَنَا، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عُمَرَ بْنِ شَقِيقٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ، عَنْ مَنْصُورٍ،عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، قَالَ: كُنْتُ أَنَا، وَصَاحِبٌ لِي مِنْ كِنْدَةَجُلُوسًا عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ، فَقُمْتُ فَجَلَسْتُ إلَى ابْنِ الْمُسَيِّبِ، فَأَتَانِي صَاحِبِي، فَقَالَ: قُمْ إلَيَّ، وَقَدْ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ، وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ، فَقُلْتُ لَهُ: ألَيْسَ إنَّمَا فَارَقْتُكَ قُبَيْلُ، قَالَ سَعِيدٌ: قُمْ إلَى صَاحِبِكَ، فَقُمْتُ إلَيْهِ، فَقَالَ: أَلَمْ تَرَ إلَى مَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ ؟ فَقُلْتُ: وَمَا قَالَ؟ قَالَ: أَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: أَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ؟ قَالَ: لا، وَلِمَ تَحْلِفُ بِالْكَعْبَةِ؟ احْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ، فَإِنَّ عُمَرَ حَلَفَ بِأَبِيهِ عِنْدَ النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلامُ، فَقَالَ لَهُ: "لا تَحْلِفْ بِأَبِيكَ، فَإِنَّهُ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ "
فَوَقَفْنَا عَلَى أَنَّ مَنْصُورَ بْنَ الْمُعْتَمِرِ قَدْ زَادَ فِي إسْنَادِ هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى الأَعْمَشِ، وَعَلَى سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، رَجُلا مَجْهُولا بَيْنَهُ وَبَيْنَ ابْنِ عُمَرَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ، فَفَسَدَ بِذَلِكَ إسْنَادُهُ، غَيْرَ أَنَّا قَدْ ذَكَرْنَا فِي تَأْوِيلِهِ مَا إنْ صَحَّ كَانَ تَأْوِيلُهُ الَّذِي تَأَوَّلْنَاهُ عَلَيْهِ مَا ذَكَرْنَاهُ فِيهِ، وَاللَّهَ نَسْأَلُهُ التَّوْفِيقَ

Shalat Sunnah Dua Raka’at Sebelum Shubuh/Fajr

$
0
0

Banyak shalat sunnah yang dapat dikerjakan seorang muslim untuk menambah perbendaharaan amal shalih dan penambal kekurangsempurnaan shalat wajibnya[1]. Diantara shalat sunnah yang mempunyai keutamaan besar adalah shalat sunnah dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr.
Allah ta’ala berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ
“Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)” [QS. Ath-Thuur : 49].
Sebagian salaf menafsirkan wa idbaaran-nujuum adalam ayat di atas adalah shalat sunnah dua raka’at sebelum Shubuh.

حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، عَنْ أَبِي الْعَنْبَسِ، عَنْ زَاذَانَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ، قَالَ: "وإِدْبَارَ النُّجُومِ: رَكْعَتَانِ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَأَدْبَارَ السُّجُودِ: رَكْعَتَانِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, dari Abul-‘Anbas (yaitu : Sa’iid bin Katsiir At-Taimiy), dari Zaadzaan, dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar (bin Al-Khaththaab) radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Wa idbaaran-nujuum (dan di waktu terbenam bintang-bintang) (QS. Ath-Thuur : 49), maksudnya adalah dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr, dan ‘wa adbaaras-sujuud’ (dan setiap selesai sujud/shalat) (QS. Qaaf : 40), maksudnya dua raka’at setelah Maghrib” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/615 no. 8838; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: سَمِعْتُ الْحَسَنَ، يَقُولُ: "وَإِدْبَارَ النُّجُومِ: الرَّكْعَتَانِ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَأَدْبَارَ السُّجُودِ: الرَّكْعَتَانِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Yaziid bin Ibraahiim, ia berkata : Aku mendengar Al-Hasan (Al-Bashriy) berkata : “Wa idbaaran-nujuum (dan di waktu terbenam bintang-bintang) (QS. Ath-Thuur : 49), maksudnya adalah dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr, dan ‘wa adbaaras-sujuud’ (dan setiap selesai sujud/shalat) (QS. Qaaf : 40), maksudnya dua raka’at setelah Maghrib” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/614 no. 8834; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا بِشْرٌ قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ قَوْلَهُ: وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ: كُنَّا نُحَدَّثُ أَنَّهُمَا الرَّكْعَتَانِ عِنْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ.
Telah menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah tentang firman-Nya : ‘Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)’ (QS. Ath-Thuur : 49), ia berkata : “Kami mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah dua raka’at ketika terbit fajar” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 22/491; sanadnnya shahih].
Beberapa hadits yang menjelaskan disunnahkannya shalat dua raka’at sebelum Shubuh, diantaranya:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: "لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Tidak ada shalat sunnah yang lebih Nabi jaga (untuk mengerjakannya) dibandingkan dua raka’at (sebelum) Shubuh” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1163 dan Muslim no. 724].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: "صَلَّى النَّبِيُّ ﷺ الْعِشَاءَ، ثُمَّ صَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ وَرَكْعَتَيْنِ جَالِسًا وَرَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءَيْنِ، وَلَمْ يَكُنْ يَدَعْهُمَا أَبَدًا "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Nabi shalat ‘Isyaa’, kemudian shalat delapan raka’at, dua raka’at sambil duduk, serta dua raka’at antara adzan dan iqamat (di waktu Shubuh) - dan beliau tidak pernah meninggalkan dua raka’at (shalat antara adzan dan iqamah Shubuh) tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1159].
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ إِلَى شَيْءٍ مِنَ الْخَيْرِ أَسْرَعُ مِنْهُ إِلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَلا إِلَى غَنِيمَةٍ
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : Aku tidak pernah melihat Rasulullah lebih bersegera menuju kebaikan daripada mengerjakan dua raka’ar sebelum Shubuh/Fajr, dan tidak pula kepada ghanimah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 2/160-161 no. 1108; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Targhiib 1/379 no. 582].
Hingga ketika safar pun, Nabi tidak luput untuk mengerjakannya.
عَنْ عَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيِّ، قَالَ: "كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَنَامَ عَنِ الصُّبْحِ، حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَاسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: تَنَحَّوْا عَنْ هَذَا الْمَكَانِ، قَالَ: ثُمَّ أَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ ثُمَّ تَوَضَّئُوا وَصَلَّوْا رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، ثُمَّ أَمَرَ بِلَالًا فَأَقَامَ الصَّلَاةَ فَصَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الصُّبْحِ
Dari ‘Amru bin Umayyah Adl-Dlamriy, ia berkata : “Kami pernah bersama Rasulullah di sebagian safarnya. Suatu ketika beliau tertidur dari shalat Shubuh hingga matahari terbit. Maka Rasulullah bangun lalu bersabda : ‘Berpindahlah dari tempat ini’. Kemudian beliau memerintahkan Bilaal untuk mengumandangkan adzan, lalu mereka berwudlu dan mengerjakan dua raka’at shalat sunnah Fajr. Setelah itu, beliau memerintahkan Bilaal mengumandangkan iqamat, dan beliau shalat Shubuh berjama’ah mengimami mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 444; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/131-132].
Tidaklah Nabi konsisten melakukan amalan dan senantiasa menjaganya kecuali amalan tersebut mempunyai keutamaan yang sangat besar.
عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "رَكْعَتَا الْفَجْرِ، خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا "
Dari ‘Aaisyah, dari Nabi , beliau bersabda : “Dua raka’at (sebelum) Shubuh lebih baik daripada dunia dan seisinya[2]” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 725, At-Tirmidziy no. 416, An-Nasaa’iy no. 1759, dan lain-lain].
Karena, dunia dan kenikmatannya bersifat fana yang tidak lepas dari kesukaran dan kepayahan; sedangkan pahala shalat sunnah tersebut kekal dan tidak akan memudar  [Tuhfatul-Ahwadziy, 1/454 – via Syaamilah].
Barangsiapa yang – qadarullah– terlambat bangun shalat Shubuh hingga matahari terbit, maka tetap disunnahkan untuk mengerjakan shalat sunnah ini sebelum shalat Shubuh sebagaimana riwayat ‘Amru bin Umayyah Adl-Dlamriy radliyallaahu ‘anhu di atas.
Barangsiapa yang terluput mengerjakannya sebelum shalat Shubuh, maka diperbolehkan mengqadlanya setelah shalat Shubuh.
عَنْ قَيْسِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: رَأَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ رَجُلًا يُصَلِّي بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "صَلَاةُ الصُّبْحِ مَرَّتَيْنِ.؟ "فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا فَصَلَّيْتُهُمَا الْآنَ، فَسَكَتَ "
Dari Qais bin ‘Amru, ia berkata : Rasulullah melihat seorang laki-laki mengerjakan shalat dua raka’at setelah shalat Shubuh. Maka Rasulullah bersabda : “Apakah shalat Shubuh dua kali ?”. Orang tersebut berkata : “Sesungguhnya aku belum mengerjakan shalat sunnah sebelum Shubuh, sehingga aku mengerjakannya sekarang”. Beliau pun diam (membiarkannya) [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 422, Abu Daawud no. 1267, Ibnu Maajah no. 1154, Ibnu Abi Syaibah 3/166 no. 6498, dan lain-lain; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/347-348].
Meskipun boleh dikerjakan setelah shalat Shubuh, lebih utama dikerjakan setelah terbit matahari[3].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua raka’at (sebelum) Shubuh/Fajr, hendaklah ia mengerjakannya setelah terbit matahari” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 423 dan Ibnu Khuzaimah 2/165 no. 1117; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/244].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ فُضَيْلِ بْنِ غَزْوَانَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: "أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْقَوْمِ وَهُمْ فِي الصَّلَاةِ، وَلَمْ يَكُنْ صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ، فَدَخَلَ مَعَهُمْ، ثُمَّ جَلَسَ فِي مُصَلَّاهُ، فَلَمَّا أَضْحَى، قَامَ فَقَضَاهُمَا
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Fudlail bin Ghazwaan, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia (Ibnu ‘Umar) pernah datang datang kepada satu kaum yang sedang mengerjakan shalat. Waktu itu, Ibnu ‘Umar belum mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (sebelum Shubuh). Ia langsung masuk bergabung dengan mereka (shalat berjama’ah), setelah itu ia duduk di tempat shalatnya. Ketika tiba waktu Dluhaa, ia mengqadlanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/167 no. 6503; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ الْقَاسِمَ، يَقُولُ: "لَوْ لَمْ أُصَلِّهِمَا حَتَّى أُصَلِّيَ الْفَجْرَ صَلَّيْتُهُمَا بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ "
Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Yahyaa bin Sa’iid (Al-Anshaariy), ia berkata : Aku mendengar Al-Qaasim (bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiiq) berkata : “Seandainya aku belum mengerjakannya (dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr) hingga aku shalat Shubuh, maka aku mengerjakannya setelah terbit matahari” [idem, no. 6502; sanadnya shahih].
Shalat sunnah sebelum Shubuh/Fajr bukan sesuatu yang berat, karena ia merupakan dua raka’at yang ringan/ringkas. Ini adalah sunnahnya dari Nabi .
عَنْ حَفْصَة أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنَ الأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ، وَبَدَا الصُّبْحُ، رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ، قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ
Dari Hafshah Ummul-Mukminiin : Bahwasannya Rasulullah apabila muadzdzin telah selesai mengumandangkan adzan shalat Shubuh dan masuk waktu Shubuh, beliau mengerjakan dua raka’at ringan sebelum melaksanakan shalat Shubuh [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 618 dan Muslim no. 723].
عَنْ عَائِشَةَ : كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ
Dari ‘Aaisyah : Nabi biasa mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ringan antara adzan dan iqamat shalat Shubuh [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 619 dan Muslim no. 724].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ، حَتَّى إِنِّي لَأَقُولُ هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Nabi biasa meringankan shalat sunnah dua raka’at yang beliau kerjakan sebelum shalat Shubuh hingga aku berkata : ‘Apakah beliau membaca Al-Faatihah ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1165].
Sakingringkasnya, sebagian ulama ada yang berpendapat cukup membaca Al-Faatihah saja. Abul-‘Abbaas Al-Qurthubiy rahimahullah berkata:
واستحب مالك الاقتصار على أم القرآن على ظاهر حديث عائشة رضي الله عنها
“Maalik menyunnahkan untuk meringkas bacaan hanya Ummul-Qur’aan (Al-Faatihah) saja berdasarkan dhaahir hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa” [Al-Mufhim, 2/263].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqaalaniy rahimahullah mengatakan hal serupa:
وَاسْتُدِلَّ بِحَدِيثِ الْبَاب عَلَى أَنَّهُ لَا يَزِيد فِيهِمَا عَلَى أُمّ الْقُرْآن وَهُوَ قَوْل مَالِك
“Dan berdasarkan pendalilan dengan hadits dalam bab ini (yaitu hadits ‘Aaisyah) bahwa tidak menambahkan bacaan apapun dalam dua raka’at tersebut selain dari Ummul-Qur’an (Al-Faatihah). Ini adalah pendapat Maalik” [Fathul-Baariy, 3/47].
Namun ini kurang tepat, karena telah shahih dalam beberapa hadits bahwa Nabi membaca surat atau ayat pendek setelah Al-Faatihah:
1.    Membaca QS. Al-Kaafiruun pada raka’at pertama dan QS. Al-Ikhlash pada ayat kedua.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah membaca qul yaa ayyuhal-kaafiruun(QS. Al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (QS. Al-Ikhlaash) ketika mengerjakan shalat dua raka’at (sebelum) Shubuh/Fajr [Diriwayatkan oleh Muslim no. 726, Abu Daawud no. 1256, An-Nasaa’iy no. 945, dan Ibnu Maajah no. 1148].
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: "رَمَقْتُ النَّبِيَّ ﷺ شَهْرًا فَكَانَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ بِ: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ "
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Aku memperhatikan Nabi selama sebulan, maka beliau senantiasa membaca qul yaa ayyuhal-kaafiruun (QS. Al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (QS. Al-Ikhlaash) ketika mengerjakan shalat dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 417, An-Nasaa’iy no. 992, dan Ibnu Maajah no. 833 & 149; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/239].
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُخْفِي مَا يَقْرَأُ فِيهِمَا، وَذَكَرَتْ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ".قَالَ سَعِيدٌ: فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Rasulullah memelankan surat yang beliau baca padanya”. Lalu ‘Aaisyah menyebutkan qul yaa ayyuhal-kaafiruun (QS. Al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (QS. Al-Ikhlaash). Sa’iid (yaitu perawi yang membawakan hadits ini – Abul-Jauzaa’) berkata : “(Yaitu) dalam dua raka’at (sebelum) Shubuh/Fajr” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1482; shahih].
2.    Membaca QS. Al-Baqarah ayat 136 pada raka’at pertama:
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya"
dan QS. Aali ‘Imraan ayat 52 pada raka’at kedua:
فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Maka ketika Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri”.
Dalilnya adalah hadits:
عَنْ ابْن عَبَّاسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، فِي الأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ، وَفِي الآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ "
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah ketika mengerjakan shalat dua raka’at (sebelum) Shubuh/Fajr membaca di raka’at pertama ‘quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa (Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami) yang terdapat dalam Al-Baqarah (ayat 136), dan di raka’at kedua ‘aamannaa billaahi wasy-had bi-annaa muslimuun’ (Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri)[4](QS. Aali ‘Imraan : 52) [Diriwayatkan oleh Muslim no. 727].
3.    Membaca QS. Al-Baqarah ayat 136 pada raka’at pertama sebagaimana di atas, dan pada raka’at kedua membaca QS. Aali ‘Imraan ayat 53:
رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)".
Dalilnya adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي السَّجْدَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، فِي السَّجْدَةِ الأُولَى قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ الآيَةَ، وَفِي السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ: رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah ketika mengerjakan dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr, pada raka’at pertama membaca ‘quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa wa maa unzila ilaa ibraahiim’ (Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim) (QS. Al-Baqarah : 136) dan pada raka’at kedua ‘rabbanaa aamannaa bimaa unzilat wat-taba’nar-rasuula wak-tubnaa ma’asy-syaahidiin’ (Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)) (QS. Aali ‘Imraan : 53) [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/298 no. 1772, Abu Daawud no. 1260, dan Al-Baihaqiy 3/43 no. 4877; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/345-346].
Oleh karena itu, hadits ‘Aaisyah (yang diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1165 di atas) merupakan bentuk mubaalaghah betapa ringkasnya shalat sunnah yang dilakukan Nabi , berbeda dengan shalat-shalat beliau yang lain[5].
Lebih utama seseorang membaca beberapa variasi bacaan yang dicontohkan Nabi di atas dalam rangka mengamalkan semua sunnah beliau . Satu waktu membaca yang ini, di waktu lain membaca yang itu.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 13 Ramadlaan 1439 H].



[1]   Nabi bersabda:
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ أَكْمَلَهَا كُتِبَتْ لَهُ نَافِلَةً، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَكْمَلَهَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِمَلَائِكَتِهِ: انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَأَكْمِلُوا بِهَا مَا ضَيَّعَ مِنْ فَرِيضَتِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى حَسَبِ ذَلِكَ
Amalan hambah yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila ia menyempurnakannya, akan ditulis baginya (pahala) nafilah. Namun apabila ia tidak menyempurnakannya, maka Allah subhaanahu wa ta’ala berkata kepada malaikat : ‘Lihatlah, apakah engkau dapatkan pada hambaku amalan shalat sunnah (tathawwu’) ?. Sempurnakanlah shalat (wajib) yang ia luput (mengerjakannya) dengan shalat sunnah tersebut’. Kemudian amalan-amalan lain diperlakukan seperti itu” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 864, Ibnu Maajah no. 426, An-Nasaa’iy no. 466, dan lain-lain; shahih].
Oleh karena itu, Rasulullah senantiasa berusaha melakukan shalat sunnah yang beliau mampu dan menganjurkan hal itu kepada umatnya.
عَنْ رَبِيعَة بْن كَعْبٍ الأَسْلَمِيُّ، قَالَ: "كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ، فَقَالَ لِي: سَلْ، فَقُلْتُ: أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ، قُلْتُ: هُوَ ذَاكَ، قَالَ: فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ، بِكَثْرَةِ السُّجُودِ "
Dari Rabii’ah bin Ka’b Al-Aslamiy, ia berkata : “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah . Maka, aku pun mengambilkan air wudlu beliau dan keperluan beliau . Beliau bersabda kepadaku : “Mintalah”. Aku berkata : “Aku minta kepadamu untuk dapat menemanimu di surga”. Beliau bersabda : “Adakah selainnya ?”. Aku menjawab : “Itu saja”. Beliau bersabda : “Kalau begitu, tolonglah aku atas dirimu agar engkau memperbanyak sujud (shalat)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 489].
[2]   Apabila dunia dan seisinya tidak lebih berharga di mata Rasulullah dibandingkan shalat sunnah sebelum Shubuh/Fajr, lantas bagaimana keutamaan shalat Shubuh berjama’ah bersama kaum muslimin di masjid ?. Tentu keutamaannya jauh lebih besar lagi.
[3]   Al-Baghawiy rahimahullah menjelaskan:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيمَنْ صَلَّى فَرْضَ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، مَتَى يَقْضِيهِمَا؟ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّيهِمَا بَعْدَ فَرْضِ الصُّبْحِ ، وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ، وَطَاوُسٌ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ ابْنُ جُرَيْجٍ، وَالشَّافِعِيُّ.
وَقَالَ قَوْمٌ: يَقْضِيهِمَا بَعْدَ ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ، وَبِهِ قَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَرُوِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ فَاتَتْهُ رَكْعَتَا الْفَجْرِ، فَصَلاهُمَا بَعْدَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الأَوْزَاعِيُّ، وَابْنُ الْمُبَارَكِ، وَالثَّوْرِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ.
وَقَالَ مَالِكٌ: يَقْضِيهِمَا ضُحًى إِلَى وَقْتِ الزَّوَالِ، وَلا يَقْضِيهِمَا بَعْدَهُ، وَهُوَ قَوْلٌ لِلشَّافِعِيِّ، وَيَحْتَجُّونَ بِحَدِيثٍ غَرِيبٍ يُرْوَى عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ ".
Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang telah mengerjakan shalat fardlu Shubuh sebelum mengerjakan dua raka’at shalat sunnah Fajr, kapan ia mesti mengqadlanya ?. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, bahwa ia mengerjakannya setelah selesai shalat Shubuh. Pendapat ini dipegang oleh ‘Athaa’, Thaawuus, Ibnu Juraij, dan Asy-Syaafi’iy.
Sekelompok ulama lain berpendapat : mengqadlanya setelah matahari meninggi/naik. Pendapat ini dipegang oleh Al-Qaasim bin Muhammad. Diriwayatkan dari Maalik, telah sampai kabar kepadanya bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar luput mengerjakan dua raka’at shalat sunnah Fajr, lalu ia mengerjakannya setelah terbit matahari. Pendapat ini dipegang oleh Al-Auzaa’iy, Ibnul-Mubaarak, Ats-Tsauriy, Ahmad, Ishaaq, dan ashhaabur-ra’yi.
Maalik berkata : Mengqadlanya pada waktu dluhaa hingga waktu zawaal, dan tidak boleh mengqadla setelah waktu tersebut. Ini adalah satu pendapat dari Asy-Syaafi’iy. Mereka berhujjah dengan hadits ghariib yang diriwayatkan dari Basyiir bin Nahiik, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : ‘Barangsiapa yang belum mengerjakan dua raka’at shalat sunnah Fajr, hendaklah ia mengerjakannya setelag terbit matahari” [Syarhus-Sunnah, 2/392].
[4]   Dalam riwayat lain:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا، وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ، تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ".
 Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah ketika mengerjakan shalat dua raka’at (sebelum) Shubuh/Fajr membaca ‘quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa (Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami) yang terdapat dalam Al-Baqarah (ayat 136), dan ayat yang terdapat dalam Aali ‘Imraan (ayat 64): ‘ta’aalau ilaa kalimatin sawaa’ bainanaa wa bainakum (Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 727].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 3/147 no. 6393, Ibnu Khuzaimah no. 1115, Al-Haakim 1/307, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj no. 1647, dan Al-Baihaqiy 3/42 no. 4876; semuanya dari jalan Abu Khaalid Al-Ahmar, dari ‘Utsmaan bin Hakiim, dari Sa’iid bin Yasaar, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’. Dalam riwayat ini, ayat yang dibaca pada raka’at kedua adalah QS. Aali ‘Imraan ayat 64.
Abu Khaalid Al-Ahmar menyelisihi:
a.    Marwaan bin Mu’aawiyyah Al-Fazaariy; sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim no. 727, An-Nasaa’iy dalam Al-Mujtabaa no. 944 dan dalam Al-Kubraa 1/487no. 1018 & 10/89 no. 11093, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/298 no.1771,Al-Baihaqiy 3/42 no. 4875), dan Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj no. 1646
b.    Ibnu Numair; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 1/230
c.     Zuhair bin Mu’aawiyyah; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1259, Abu ‘Awaanah dalam Musnad-nya no. 2162, ‘Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab 1/525 no. 705, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 24/43
d.    ‘Iisaa bin Yuunus; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Talkhiish Al-Mutasyaabih2/801
yang semuanya meriwayatkan dari ‘Utsmaan bin Hakiim, dari Sa’iid bin Yasaar, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’ dengan menyebutkan ayat yang dibaca pada raka’at kedua adalah QS. Aali ‘Imraan ayat 52.
Marwaan bin Mu’aawiyyah (tsiqah lagi haafidh), Ibnu Numair (tsiqah shaahibul-hadiits), Zuhair bin Mu’aawiyyah (tsiqah lagi tsabat), dan ‘Iisaa bin Yuunus (tsiqah lagi ma’muun) adalah para perawi yang jauh lebih unggul riwayatnya dari Abu Khaalid Al-Ahmar (shaduuq).
Maka, penyebutan QS. Aali ‘Imraan ayat 64 pada ayat kedua adalah kekeliruan Abu Khaalid.
Wallaahu a’lam.
[5]   An-Nawawiy rahimahullah berkata:
هَذَا الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى الْمُبَالَغَةِ فِي التَّخْفِيفِ ، وَالْمُرَادُ الْمُبَالَغَةُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى عَادَتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِطَالَةِ صَلَاةِ اللَّيْلِ وَغَيْرِهَا مِنْ نَوَافِلِهِ ، وَلَيْسَ فِيهِ دَلَالَةٌ لِمَنْ قَالَ لَا تُقْرَأُ فِيهِمَا أَصْلًا
“Hadits ini (yaitu hadits ‘Aaisyah) merupakan dalil atas mubaalaghah dalam meringankan (shalat). Dan yang dimaksud dengan mubaalaghah dinisbatkan pada kebiasaan beliau yang suka memanjangkan shalat malam dan yang lainnya dari shalat-shalat sunnah. Tidak ada dalil dalam hadits tersebut bagi orang yang berpendapat tidak membaca surat pada kedua raka’at” [Syarh Shahiih Muslim, 6/4].

Viewing all 594 articles
Browse latest View live