Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Komunisme Gaya Baru

$
0
0
Banyak orang telah mengatakan komunisme adalah ideologi bangkrut. Ideologi yang sudah tak laku lagi di banyak negara. Rusia, China, Kuba, dan yang lainnya sudah (mulai) beralih dari ideologi mainstream mereka, sedikit atau banyak. Mungkin saat ini hanya tinggal Korea Utara yang dipimpin seorang psikopat yang masih kental rasa komunisnya menurut sebagian orang. Padahal, kata komunisme telah dinihilkan dalam konstitusi mereka tahun 2009 dan kemudian menggantinya dengan ideologi Juche yang digagas oleh Kim Il-sung. Masih berplatform umum sosialis, meski bukan komunis. Indonesia juga pernah merasakan remah-remah ideologi ini melalui melalui sebuah partai yang bernama PKI (Partai Komunis Indonesia).

Partai ini dibentuk tahun 1924 setelah sebelumnya bernama Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). PKI adalah partai ‘bising’ yang telah menorehkan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Rangkaian pemberontakan dilakoninya. Tahun 1926 mereka melakukan sejarah pemberontakan pertama kepada Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Hasilnya, ribuan orang terbunuh, perlawanan mereka dapat dipadamkan dengan mudah. Pemberontakan kedua dilakukan tahun 1948 yang terkenal dengan ‘Peristiwa Madiun 1948’ yang dipimpin oleh Musso. Kali ini PKI tidak mengangkat senjata melawan penjajah, namun memberontak kepada pemerintah Indonesia. Mereka mengangkat senjata melawan bangsa sendiri. Hasilnya, ribuan orang, terutama kaum muslimin di wilayah Madiun dan sekitarnya, berhasil mereka bunuh. Tokoh masyarakat, ulama, kiyai, dan santri menjadi target mereka[1]. Alhamdulillah, mereka berhasil digebuk. Pemberontakan mereka dapat dipadamkan. Tidak jera, mereka ulangi lagi tahun 1965 hingga terjadi peristiwa G30S/PKI (Gestapu) dengan melakukan penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat (TNI). Pemberontakan mereka – alhamdulillah– dapat dipadamkan dalam waktu singkat hingga akhirnya PKI dinyatakan sebagai partai terlarang melalui Tap MPRS No. XXV/1966. Sejarah nama PKI (untuk sementara) selesai.
Kini di era reformasi, semua orang merasa mempunyai kebebasan. Orang yang dulu bersembunyi mulai menampakkan kembali bulunya, meski meminjam bulu domba (serigala berbulu domba). Orang mulai berani memunculkan simbol komunis palu arit. Aparat dibikin sibuk main kucing-kucingan. Bahkan sebagiannya tak segan terang-terangan. Ketika slogan kembali kepada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika lebih nyaring terdengar,…. yang saya rasakan, ternyata berbanding lurus dengan meningkatnya sikap sosial-politik Islamophobia. Ajaran agama menjadi dipermasalahkan (kok bisa dan berani-beraninya ?). Kita dapat berkaca pada kasus Ah*k - si penghina Al-Qur’an- ketika Pilkada DKI tempo hari. Ajakan untuk mengamalkan Al-Maaidah ayat 51, malah diopinikan sebagian orang mengancam Pancasila dan kebhinakaan. Dalam kasus lain, tulisan murahan sekaligus jiplakan seorang anak SMA antah berantah bermuatan pluralisme, malah diorbitkan secara nasional. Pelakunya dijadikan bintang (plagiat). Ketidaksenangan terhadap kondisi umat Islam Indonesia yang kokoh ‘aqidah dan agamanya semakin anyir menyengat.
Saya khawatir (dan semoga kekhawatiran saya tidak benar), semua opini ini merupakan bagian dari ‘kebangkitan’ kawanan serigala berbulu domba, PKI. Saya pun khawatir, slogan-slogan Pancasila dan kebhinekaan tersebut ditunggangi maksud-maksud tidak benar. Saya pikir, kekhawatiran saya berdasar. Pada tahun 1964, D.N Aidit pernah menulis buku berjudul "Membela Pantjasila". Dalam buku itu ia tuliskan bagaimana pandangan dan dukungannya terhadap Pantjasila. Hal yang sama ketika ia diwawancarai Solichin Salam tentang Pantjasila yang pernah dimuat dalam majalah Pembina pada 12 Agustus 1964. Di situ, D.N. Aidit katakan:
“PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan. Hanya dengan menerima Pancasila sebagai keseluruhan, Pancasila dapat berfungsi sebagai alat pemersatu. PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila. Bagi PKI, semua sila sama pentingnya. Kami menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rangka Pancasila sebagai satu-kesatuan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan kenyataan bahwa jumlah terbanyak dari bangsa Indonesia menganut agama yang monoteis (bertuhan satu)”
Ketika memberi kuliah di hadapan para mahasiswa Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SESKOAD) tanggal 29 Juni 1963, ia berkata:
“Dalam hubungan inilah maka penting peranan azas atau dasar negara kita seperti yang telah digali oleh Presiden Sukarno, yaitu Panca Sila. Panca Sila merupakan alat pemersatu dan dengan demikian merupakan alat yang sangat penting dalam menggalang front persatuan nasional untuk menjamin terlaksananya tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya, Menerima Panca Sila sebagai alat pemersatu berarti menerima adanya perbedaan-perbedaan, karena kalau tiada perbedaan tidaklah diperlukan alat pemersatu”
Aidit dapat membonceng nama Pancasila yang dikatakan alat pemersatu bangsa yang menerima kebhinekaan. Begitu juga Aidit pun membonceng agama dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu dia lakukan untuk memuluskan tujuannya dan partainya (PKI). Namun sebagaimana Pembaca telah ketahui, partai Aidit adalah partai yang paling punya sejarah mengancam persatuan bangsa, paling sering melakukan agitasi, provokasi, dan penyerangan fisik (bahkan senjata) kepada aparat negara dan orang yang tak sepaham dengan mereka. Fakta atau opini ?
Saya juga khawatir, (akan) muncul oknum penafsir tunggal Pancasila yang tujuannya menggebuk umat Islam dengan dalih ‘mengancam persatuan dan NKRI’. Lebih khawatir lagi, jika hak penafsir tunggal itu jatuh pada oknum berhalauan ‘kiri’ dengan membonceng nama besar Presiden Sukarno. Pada era Orde lama, Presiden Sukarno memberikan tafsiran Pancasila tidak bertentangan dengan ideologi Komunis (dengan bungkus Nasakom) sebagaimana cuplikan pidato beliau berikut:

Begitu juga pidato beliau tanggal 17 Agustus 1961 (Pidato Resopim):
Panca Sila adalah alat pemersatu! Panca Sila bukan alat pemecah-belah! Dengan Panca Sila, kita juga mempersatukan tiga aliran besar yang bernama Nasakom itu. Jadi jangan mempergunakan Panca Sila untuk mengadudomba antara kita dengan kita. Jangan mempergunakan Panca Sila untuk memecah-belah Nasakom, mempertentangkan kaum nasionalis dengan kaum agama, kaum agama dengan komunis, kaum nasionalis dengan kaum komunis. Siapa yang main-main dengan Panca Sila untuk maksud-maksud pengadudombaan itu, -ia adalah orang yang samasekali tak mengerti Panca Sila, atau orang yang durhaka kepada Panca Sila, atau orang yang .... kepalanya sinting!
Yang saya pahami, tafsiran beliau ini keliru karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan kita yang melarang komunisme.
Jika muncul oknum penafsir tunggal, ia/mereka mewakili siapa ? Apakah tafsiran itu disepakati semua elemen bangsa, khususnya umat Islam yang mayoritas dan telah berperan besar dalam merebut kemerdekaan ?. Jangan-jangan itu tafsiran ‘kiri’…..
Kita menolak komunisme bukan sekedar karena realita sejarah, tapi secara substansi bertentangan dengan syari’at Islam. Bahkan, para ulama kita telah mengkafirkan pengikut komunisme dikarenakan ‘aqidah ilhad dan kekufuran yang mereka punya[2]. Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah berkata:
“Berafiliasi dan meyakini ajaran kekufuran dan ateisme seperti komunisme, sekularisme, kapitalisme, dan selainnya adalah termasuk perbuatan riddah (keluar) dari agama Islam.
Jika orang yang berafiliasi dan meyakini ajaran-ajaran tersebut mengaku sebagai muslim, maka ia termasuk munafik dengan nifaq akbar. Karena para munafik itu berafiliasi pada Islam secara zhahir, sementara mereka itu kafir secara bathin. Sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang mereka,
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah beriman.’ Dan bila mereka kembali kepada syaithan-syaithan mereka, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.' (al-Qur’an, surat al-Baqarah, 14)
Allah i berfirman,
الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِن كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللَّـهِ قَالُوا أَلَمْ نَكُن مَّعَكُمْ وَإِن كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُوا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُم مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
(Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (wahai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata, ‘Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?’ Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata, ‘Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?'(al-Qur’an, surat an-Nisaa’, 141)
Orang-orang munafik dan para penipu itu memiliki dua muka: Muka yang dipakai untuk bertemu dengan kaum mukminin, dan muka ketika mereka kembali kepada teman-teman mereka sesama ateis. Mereka memiliki dua lisan: Yang satu dipakai untuk berbicara dengan kaum muslimin, dan yang satu lagi keluar darinya apa-apa yang mereka sembunyikan.
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah beriman.’ Dan bila mereka kembali kepada syaithan-syaithan mereka, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.'” (al-Qur’an, surat al-Baqarah, 14)
Mereka berpaling dari Qur’an dan Sunnah dengan mengejek dan merendahkan orang-orang yang berpegang teguh pada keduanya. Mereka menolak untuk tunduk pada wahyu Allah karena bangga dengan ilmu yang mereka miliki, yang tidaklah ilmu itu punya manfaat sama sekali kecuali menimbulkan kerusakan dan rasa sombong. Maka kalian akan melihat mereka selalu mengejek orang-orang yang berpegang teguh pada dalil Qur’an dan Sunnah yang maknanya sudah sangat jelas.
اللَّـهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka’ (al-Qur’an, surat al-Baqarah, 15)
Dan Allah telah memerintahkan kita untuk menjadi bagian dari kaum mukminin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar’ (al-Qur’an, surat at-Taubah, 119)
Ajaran-ajaran kekufuran dan ateisme yang telah disebutkan di atas adalah ajaran-ajaran yang saling mencekal satu sama lain, karena itu semua dibangun di atas pondasi yang bathil.
Komunismemengingkari adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memerangi agama samawi. Barangsiapa yang mengandalkan akalnya untuk hidup tanpa memiliki akidah (yakni, agama) dan mengingkari hal-hal yang bersifat aksiomatik dan yang sudah sangat jelas kebenarannya, maka pada hakikatnya dia itu sedang menghilangkan akalnya sendiri.
Sekularisme mengingkari agama dan bersandar pada materi duniawi saja, yang tidak memiliki tujuan kecuali pada kehidupan duniawi ini saja.
Kapitalisme mengumpulkan harta dari segala arah tanpa memperhatikan halal-haram dan tanpa rasa simpati kepada fakir miskin. Perekonomiannya dibangun di atas riba, yang merupakan pernyataan perang kepada Allah dan RasulNya, yang merupakan sumber kehancuran negara dan individu, dan mengisap darah fakir miskin.
Orang berakal mana (lebih-lebih lagi jika dia masih memiliki secuil dari iman) yang mau hidup di bawah ajaran-ajaran ini tanpa akal, tanpa agama, dan tanpa tujuan yang benar dalam hidupnya. Ajaran-ajaran ini bisa tersebar di negeri-negeri kaum muslimin karena mereka masih belum memahami akidah Islam yang benar, masih belum terdidik dengan baik, dan hidup hanya dengan mengekor saja”
Begitu juga dengan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Baaz rahimahullah yang berfatwa:
“Di antara ideologi kufur yang bertentangan dengan akidah Islam yang lurus dan juga bertentangan dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ajaran yang diyakini oleh orang-orang ateis jaman ini dari kalangan pengikut Karl Marx, Lenin, dan selainnya. Yaitu, mereka para penyeru kepada ateisme dan kekufuran, baik apakah mereka menamakan diri mereka sebagai kaum sosialis, komunis, ba’atsis, dan selainnya.
Ini karena ajaran pokok mereka adalah bahwa tidak ada tuhan dan bahwa kehidupan adalah materi. Di antara ajaran pokok mereka lainnya adalah mengingkari hari berbangkit, mengingkari surga dan neraka, dan kufur terhadap seluruh agama.
Barangsiapa yang membaca kitab-kitab mereka dan mempelajari ideologi mereka, maka dia akan mengetahui secara yakin sesatnya ajaran mereka tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa ideologi mereka ini bertentangan dengan semua ajaran agama samawi, dan akan mengantarkan orang-orang yang meyakininya menuju balasan yang paling buruk di dunia dan akhirat”
“Tidak diragukan bahwa wajib atas para penguasa dan pimpinan kaum muslim untuk BERHUKUM DENGAN SYARI’AT ISLAMIYYAH dalam segala urusan mereka, serta memerangi semua yang bertentangan dengan syari’at tersebut. Ini adalah perkara yang DISEPAKATI oleh para ulama Islam, tidak perselisihan dalam hal ini, Alhamdulillah.
Dalil-dalil permasalahan ini dari Al-Quran dan as-Sunnah sangat banyak dan maklum di kalangan para ulama. ….
Para ‘ulama juga sepakat bahwa barangsiapa beranggapan bahwa selain hukum Allah adalah lebih baik daripada hukum Allah, atau beranggapan bahwa selain bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lebih baik daripada bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka DIA KAFIR.
Sebagaimana pula para ulama sepakat bahwa barangsiapa meyakini ada seseorang dari umat manusia yang boleh keluar dari aturan syari’at Muhammad shallallahu alaihi wa sallam atau boleh berhukum dengan selain syariat Islam, maka dia KAFIR SESAT.
Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an yang kami sebutkan di atas dan kesepakatan para ‘ulama, maka sang penanya dan yang lainnya akan tahu bahwa orang-orang yang mengajak/menyerukan Sosialisme atau Komunisme, atau ideologi penghancur lainnya yang sangat bertolak belakang dengan hukum Islam, adalah KAFIR SESAT, lebih kafir daripada Yahudi dan Nashara. Karena mereka (para penyeru Komunisme – sosialisme tersebut) adalah orang-orang mulhid, tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”
Sekali lagi, jika sekarang ada kelompok yang rajin menyuarakan Pancasila dan kebhinekaan, namun kental dengan ide-ide KIRI membonceng nama besar Bung Karno; wajar kalau banyak orang waspada dan curiga. Bung Karno dijadikan korban atau bemper untuk membenarkan kebathilan mereka.
Kita mesti waspada terhadap bangkitnya komunis/PKI[3]gaya baru. Tetap bersuara meski (untuk sementara) tak ada yang mendengar. Islam adalah agama yang sempurna dan tak butuh yang selainnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – rnn – 23092017].




[2]   Secara konsep, definisi ‘komunisme’ adalah:
a.    “paham atau ideologi (dalam bidang politik) yang menganut ajaran Karl Marx, yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan dan menggantikannya dengan hak milik bersama yang dikontrol oleh negara” [KBBI - https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/komunisme]
b.    is the philosophical, social, political and economic ideology and movement whose ultimate goal is the establishment of the communist society, which is a socioeconomic order structured upon the common ownership of the means of production and the absence of social classes, money and the state” [https://en.wikipedia.org/wiki/Communism].
Dari definisi ini dapat kita lihat bahwa konsep komunisme berada di wilayah politik, sosial, dan ekonomi. Tidak secara langsung merupakan pandangan keagamaan tertentu. Oleh karena itu, dalam kenyataannya di lapangan, tidak semua orang komunis adalah atheis, tak beragama, atau anti-agama – meski kebanyakan memang demikian atau minimal dangkal pemahaman agamanya.
China sangat anti agama, hingga semua agama – khususnya Islam – ditekan dan dikerdilkan. Beda dengan Laos. Laos adalah negara komunis, tapi memelihara agama Budha sehingga tumbuh subur. Di Kuba, semula agama dilarang oleh Partai Komunisnya sejak tahun 1959/1960, hingga para pastor Katolik tahun 1960 menolak paham komunis ini di Kuba. Namun pada bulan September 2015, Presiden Raul Castro (adik diktator Fidel Castro) memberikan statement : “I am from the Cuban Communist Party that doesn't allow believers, but now we are allowing it. It's an important step” (Saya dari Partai Komunis Kuba yang sebelumnya tidak mengizinkan orang memeluk agama, namun sekarang kami mengizinkannya. Ini adalah langkah penting) [https://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Cuba].
D.N. Aidit secara teori mengatakan agama menjadi faktor penting dalam mewujudkan komunisme dalam konteks Nasakomnya Bung Karno. Iya secara teori,…. karena di lapangan anggotanya banyak yang tak beragama atau anti-agama. Begitu juga dengan Tan Malaka – sependek pengetahuan saya - tak menyerukan atheisme dan peperangan terhadap agama, Islam pada khususnya.
Maksud saya, dari sisi penentangan terhadap agama atau atheisme; prakteknya tidak selalu demikian sebagaimana dapat dilihat. Maka, dalam ranah pengkafiran terhadap orang-orang komunis atau orang yang masuk dalam organisasi underbow komunis atau diduga underbow komunis; kita mesti hati-hati.
a.    Jika kondisinya seperti yang dijelaskan para ulama kita di atas (atheis, anti-agama, tidak percaya hari akhir); maka jelas kafir personnya secara ta’yin. Tidak ada udzur kejahilan, karena itu adalah perkara yang aksiomatik dan al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah akan kekafirannya.
b.    Jika kondisinya adalah (sekedar) membolehkan, membenarkan, dan menghalalkan sistem politik-sosial-ekonomi yang mengkonsekuensikan ketidakadilan dan pengambilan harta seseorang tanpa hak (sebagaimana definisi); maka kafir berdasarkan istihlaal-nya tersebut setelah dipenuhi syarat-syaratnya dan ditegakkan padanya hujjah. Ini analog dengan orang yang membolehkan sistem riba yang dikafirkan dengan pembolehannya setelah terpenuhi syarat-syaratnya dan ditegakkan hujjah.
c.     Jika kondisinya adalah sekedar menjadi pelaku sistem politik-sosial-ekonomi yang dhalim dan bathil tersebut tanpa menghalalkannya atau ia bodoh atau karena hawa nafsu; maka tidak dikafirkan kecuali jika ia menghalalkannya. Ini seperti ranah pembahasan/rincian al-hukmu bighairi maa anzalallaah.
d.    Jika kondisinya adalah sekedar ikut-ikutan masuk organisasi, maka kurang lebih sama kondisinya dengan poin c.
e.    Jika kondisinya ia membolehkan (menghalalkan) penerapan sekularisme dan/atau meyakini kebenarannya, sebagai salah satu akibat penerapan sistem komunis (karena agama dianggap urusan privat); maka kafir. Namun apabila ia tidak membolehkan (menghalalkan)-nya, tidak meyakini (kebenaran)-nya, atau jahil; tidak kafir. Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah berkata:
نعَم. العَلمانية كُفرٌ. والعَلمانيةُ يقُولون: هي فصلُ الدِّين عن الدَّولة, يقولون: الدين في المساجِد فقط، وأمّا في المعامَلات وفي الـحُكم فليسَ للدِّين دخل, هذهِ العلمانية: فصلُ الدين عن الدَّولة، فالذي يعتقِدُ هذا الاعتقادَ كافِرٌ؛ الذي يعتقِد أن الدِّين ما لهُ دخلٌ في المعاملات، ولا له دخلٌ في الحُكم، ولا له دخلٌ في السياسة، وإنما هو محصورٌ في المساجِدِ فقط، وفي العبادة فقط، هذا لا شك أنه كُفرٌ وإلحاد. أما إنسانٌ يصدر منه بعض الأخطاء ولا يعتقدُ هذا الاعتقادَ هذا يُعتبر عاصيًا ولا يُعتبر علمانيًّا, هذا يُعتبَر من العصاة
“Ya, sekularisme adalah kekufuran. Sekularisme adalah pemisahan agama dari negara. Mereka katakan agama hanya di masjid-masjid; adapun urusan mu’amalat dan hukum, maka agama tidak masuk di dalamnya. Inilah sekularisme yang memisahkan agama dari negara. Maka orang yang berkeyakinan dengan i’tiqad ini, kafir. Orang yang berkeyakinan bahwa agama tidak punya bagian dalam urusan mu’amalat, hukum, dan perpolitikan; karena agama hanya terbatas di masjid-masjid saja dan peribadahan saja; tidak diragukan lagi ini adalah kekufuran dan ilhaad. Adapun orang yang melakukan kekeliruan-kekeliruan dan tidak meyakini i’tiqad ini, maka statusnya adalah orang yang bermaksiat, bukan sekularis. Orang ini termasuk pelaku maksiat” [http://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/10433].
Kondisi seperti ini mesti dirinci dalam pengkafiran mu’ayyan (individu) terhadap orang (yang terindikasi) komunis. Komunisme sendiri jika dipahami secara letterlijk dengan akhiran -isme, maka itu ideologi atau keyakinan. Mau tidak mau, komunisme adalah paham kufur, sama seperti liberalisme, pluralisme, dan semisalnya.
Jika dipandang sebagai satu sistem atau perbuatan (dengan mengesampingkan i’tiqad pelakunyanya), maka perlu rincian seperti di atas, terutama jika dipakai untuk takfir.
Presiden Sukarno – misalnya – yang mengambil komunisme dari sisi kebijakan politik negara masa silam dengan Nasakomnya dan punya kecenderungan melindungi PKI ( - orang yang membaca pidato-pidato beliau rahimahullah tentu tidak asing dengan aroma ‘kekirian’ - ); tentu tidak pas jika dikafirkan dengan fatwa ulama di atas karena dianggap atheis, tak beragama, dan tidak percaya pada hari akhir. Takfirnya menjadi tidak sesuai realitas.
Ini perlu saya tuliskan karena ada sebagian orang ketika saya menuliskan beberapa point di atas, saya dianggap pecinta komunis dan pembela (haw ken yududet ?). Tapi, inilah dinamika, tidak semua produk apple lolos QC dan layak jual. Barang apkiran akan senantiasa ada.
[3]   Selain PKI, sebenarnya ada Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) yang berhalauan komunis/kiri. Partai ini didirikan oleh Tan Malaka – yang banyak dikenal sebagai salah satu bapak komunis di Indonesia – bersama  Chaerul Saleh, Sukarni, dan Adam Malik.
PKI dan Murba meski secara umum mempunyai kesamaan secara ideologis, namun menyimpan konflik. Murba lebih ‘soft’ daripada PKI yang radikal. Tahun 1964, Partai Murba menemukan dokumen perjuangan PKI yang berjudul ‘Resume Program dan Kegiatan PKI Desawa Ini’ yang di dalamnya disebutkan bahwa PKI berencana akan melakukan perebutan kekuasaan. Penemuan dokumen itu diberitakan ke khalayak, namun disangkal oleh D.N. Aidit dan dianggap sebagai fitnah. Aidit menyebar opini Partai Murba menggembosi persatuan Nasakom yang membahayakan ajaran Sukarno. Akhirnya, Partai Murba dibubarkan pada tanggal 21 September 1965 melalui Keputusan Presiden Nomor 291 Tahun 1965.

Asyaa’irah Kafir ?

$
0
0
Anda pernah mendengar pengkafiran Asw*** yang mengaku berpaham Asyaa'irah terhadap 'Wahabi' ?. Saya yakin pernah. Bahkan belakangan genderang ditabuh semakin kencang. Pengkafiran mereka diklaim sudah terjadi semenjak era Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah yang dianggap eyangnya 'Wahabi'. Beliau mendapat kiriman pahala yang cukup banyak atas tuduhan dan makian beberapa oknum Asw***. Btw, saya nggak akan ngurus Asw***, tapi pingin bincang tentang Asyaa'irah. Kalau ditanya balik, apakah Asyaa'irah itu lurus dan benar ?. Gak juga. Ternyata, sebagian 'aqidah Asyaa'irah telah banyak dikomentari dan dianggap sebagai penyimpangannya semenjak era sebelum Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Sebagian diantara penyimpangan tersebut adalah:
1.    Memiliki teori Kalaamullahterbagi menjadi dua, yaitu kalaam nafsiy yang bersifat qadiim dan kalaam lafdhiy yang bersifat hadiits. Yang pertama bukan makhluk, sedangkan yang kedua makhluk. Allah ta’ala berfirman tanpa huruf dan suara (kalaam nafsi), sedangkan Al-Qur’an yang sampai ke kita melalui perantaraan Jibriil dan Rasulullah adalah sebuah ibaarat dari firman Allah yang qadiim (yaitu : kalaam lafdhi).
Al-Baijuriy berkata:

ومذهب أهل السنة أن القرآن بمعنى كلام النفسي ليس بمخلوق، وأما القرآن بمعنى اللفظ الذي نقرؤه فهو مخلوق. لكن يمتنع أن يقال : القرآن مخلوق ويراد به اللفظ الذي نقرؤه إلا في مقام التعليم، لأنه ربما أوهم أن القرآن بمعنى كلامه تعالى مخلوق، ولذلك امتنعت الأئمة من القول بخلق القرآن
“Madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (maksudnya : Asyaa’irah – Abul-Jauzaa’) menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalaam nafsiy bukanlah makhluk. Adapun Al-Qur’aan dengan makna lafadh (kalaam lafdhiy)yang kita baca, maka ia adalah makhluk. Akan tetapi terlarang untuk dikatakan Al-Qur’an adalah makhluk – yaitu lafadh yang kita baca - kecuali dalam konteks pengajaran. Karena, perkataan tersebut bisa disalahartikan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalam-Nya ta’ala(kalaam nafsiy– Abul-Jauzaa’) adalah makhluk. Dengan alasan itulah para imam melarang terhadap perkataan Al-Qur’an adalah makhluk” [Hasyiyyah Al-Baijuriy ‘alaa Jauharit-Tauhiid, hal. 160].
والحاصل أن كل ظاهر من الكتاب والسنة دل على حدوث القرآن فهو محمول على اللفظ المقروء لا على الكلام النفسي، لكن يمتنع أن يقال : القرآن مخلوق إلا في مقام التعليم كما سبق
“Kesimpulan (dari pembicaraan ini), bahwa setiap nash yang nampak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan huduutsul-Qur’aan (kemakhlukan Al-Qur’an) dibawa pada pengertian lafadh yang terbaca, bukan pada kalaam nafsiy. Akan tetapi tetap terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk, kecuali dalam konteks pengajaran sebagaimana yang telah lalu (penyebutannya)” [idem, hal. 162].
Ar-Raaziy berkata:
فإن قيل كيف سمع جبريل كلام الله تعالى، وكلامه ليس من الحروف والأصوات عندكم؟ قلنا يحتمل أن يخلق الله تعالى له سمعا لكلامه ثم أقدره على عبارة يعبر بها عن ذلك الكلام القديم
“Apabila dikatakan : Bagaimana Jibriil dapat mendengar firman Allah (kalaamullah) sementara firman-Nya bukan berupa huruf dan suara menurut kalian ?. Kami katakan : Itu diasumsikan Allah ta’ala menciptakan pendengaran baginya (Jibriil) untuk firman-Nya, kemudian Allah menjadikannya mampu membuat ibaarat yang dapat menterjemahkan kandungan firman Allah yang qadiim tersebut” [Mafaatiihul-Ghaib, 2/277].
Al-Juwainiy berkata:
فإن معنى قولهم "هذه العبارات كلام الله"أنها خَلْقُه ونحن لا ننكر أنها خلق الله، ولكن نمتنع من تسمية خالق الكلام متكلما به، فقد أطبقنا على المعنى وتنازعنا بعد الاتفاق في تسميته
"Maka sesungguhnya makna perkataan mereka (Mu’tazilah) ‘Ibarat-ibarat ini adalah kalaamullah’; yaitu ibarat tersebut merupakan makhluk-Nya. Dan kami (Asyaa’irah) tidak mengingkari bahwa itu memang makhluk-Nya. Namun kami melarang dalam hal penamaan Pencipta Kalaam telah berbicara dengannya. Sungguh kami berkesesuaian (dengan Mu’tazilah) dalam makna, namun kami berselisih - setelah adanya kesepakatan – dalam penamaannya” [Al-Irsyaad, hal. 117].
Beda casing saja dengan Mu'tazilah. Para ulama telah mengecam keras jenis penyimpangan ini. Bahkan mengkafirkannya. Diantaranya dikatakan oleh Abu Ja’far Ahmad bin Sinaan rahimahullah (w. 256 H):
مَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنَ شَيْئَيْنَ ، أَوْ أَنَّ الْقُرْآنَ حِكَايَةٌ ، فَهُوَ وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ زِنْدِيقٌ كَافِرٌ بِاللَّهِ ، هَذَا الْقُرْآنُ هُوَ الْقُرْآنُ الَّذِي أَنْزَلَهُ اللَّهُ عَلَى لِسَانِ جِبْرِيلَ ، عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ ، لَا يُغَيَّرُ ، وَلَا يُبَدَّلُ ، لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ ، وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ، تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Barangsiapa yang menyangka Al-Qur'an terdiri dari dua (yaitu Al-Qur'an yang diturunkan dan yang tidak diturunkan – Abul-Jauzaa’), atau (menyangka) Al-Qur'an merupakan hikaayat; maka dirinya - demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Nya - orang zindiq lagi kafirkepada Allah. Al-Qur’an ini adalah Al-Qur’an yang Allah turunkan melalui lisan Jibriil kepada Muhammad , tidak diubah dan tidak diganti. Tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji…” [Diriwayatkan oleh Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy dalam Ikhtishaashul-Qur’an hal. 31-32 no. 16; sanadnya shahih].
Abu Ja’far Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy adalah guru Al-Imaam Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy rahimahumullah.
Al-Barbahaariy rahimahullah(w. 329 H):
والإيمان بأن الله تبارك وتعالى هو الذي كلم موسى بن عمران يوم الطور وموسى يسمع من الله الكلام بصوت وقع في مسامعه منه لا من غيره فمن قال غير هذا فقد كفر بالله العظيم
“Dan beriman bahwasannya Allah tabaraaka wa ta’ala berbicara kepada Muusaa bin ‘Imraan pada suatu hari di bukit Thuur, dan Muusaa mendengar perkataan Allah dengan suara melalui telinganya secara langsung, bukan dengan perantara dari selainnya. Barangsiapa yang mengatakan selain ini, sungguh ia telah kafirkepada Allah Yang Maha Agung” [Syarhus-Sunnah, hal. 90 no. 76].
Al-Laalikaa’iy rahimahullahberkata:
وأن القرآن على الحقيقة متلو في المحاريب، مكتوب في المصاحف، محفوظ في صدور الرجال، ليس بحكاية، ولا عبارة عن قرآن، وهو قرآن غير مخلوق، وغير مجعول ومربوب، بل هو من صفات ذاته، لم يزل متكلمًا، ومن قال غير هذا فهو كافر ضال مبتدع، مخالف لمذاهب أهل السنة والجماعة
“Dan bahwasannya Al-Qur’an secara hakiki dibaca di mihrab-mihrab, tertulis di mushhaf-mushhaf, dan terjaga (dihafal) di dada-dada manusia. (Semua itu) bukan hikayat dan bukan pula ibaarat dari Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan makhluk, bukan buatan, dan bukan marbuub. Namun Al-Qur’an termasuk diantara sifat-sifat Dzaat-Nya, dan Allah akan senantiasa berbicara. Barangsiapa yang mengatakan selain ini, maka ia kafir, sesat, mubtadi’, dan menyelisihi madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/330].
Asy-Syaikh ‘Abdul-Qaadir Al-Jiilaaniy rahimahullah (w.561 H):
فمن زعم أنه مخلوق أو عبارته أو التلاوة غير المتلو أو قال: لفظى بالقرأن مخلوق فهو  كافر بالله العظيم ولا يخالط ولا يؤاكل ولا يناكح ولا يجاور٬ بل يهجر ويهان٬ ولا يصلى خلفه٬ ولا تقبل شهادته٬ ولا تصح ولايته في نكاح وليه٬ ولا يصلى عليه إذا مات٬ فإن ظفر به استتيب ثلاثا كالمرتد٬ فإن تاب وإلا قتل
“Barangsiapa yang menyangka Al-Qur’an adalah makhluk, atau ibaarat-Nya, atau bacaan yang bukan dibaca; atau mengatakan ‘lafadhku dengan Al-Qur’an adalah makhluk’; maka ia kafir terhadap Allah Yang Maha Agung. Tidak boleh diajak bergaul, tidak boleh diajak makan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh dijadikan tetangga. Bahkan wajib di-hajr (dijauhi) dan dihinakan. Tidak boleh shalat di belakangnya, tidak diterima persaksiannya, tidak sah hak perwaliannya dalam pernikahan, dan tidak boleh dishalati apabila ia meninggal. Apabila ia dapat ditangkap, maka diminta bertaubat sebanyak tiga kali seperti orang murtad. Apabila bertaubat, maka diterima; namun jika tidak, maka dibunuh” [Al-Ghunyah li-Thaalibiy Thariiqil-Haqq, 1/128].
2.    Mengingkari sifat-sifat Allah yang lain.
Asyaa’irah banyak mengingkari sifat-sifat Allah dan kemudian menta’wilkannya dengan ta’wil-ta’wil menyimpang ala Jahmiyyah. Ini sudah jamak diketahui, bahkan hingga sekarang. Sangat menonjol dalam pengingkarannya terhadap sifat al-‘ulluw, an-nuzuul, serta sifat-sifat dzaatiyyah seperti tangan dan yang semisalnya.
Setelah membawakan hadits tentang shadaqah dan menjelaskan tentang madzhab salaf berkaitan dengan sifat Allah ta’ala, At-Tirmidziy rahimahullah (w.279 H)berkata:
وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ، وَقَالُوا: هَذَا تَشْبِيهٌ وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ، فَتَأَوَّلَتْ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الْآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ، وَقَالُوا: إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ، وَقَالُوا: إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ هَاهُنَا الْقُوَّةُ،
“Dan adapun Jahmiyyah mengingkari riwayat-riwayat ini. Mereka berkata : ‘Ini adalah tasybiih’. Padahal Allah ‘azza wa jalla telah menyebutkan di banyak tempat dalam Kitab-Nya tentang (sifat) tangan, pendengaran, dan penglihatan. Namun Jahmiyyah menta’wilkan ayat-ayat ini dan menafsirkannya pada tafsiran selain yang ditafsirkan para ulama. Mereka (Jahmiyyah) berkata : ‘Sesungguhnya Allah tidak menciptakan Adam dengan tangan-Nya’; dan mereka pun berkata : ‘Sesungguhnya makna tangan di sini adalah kekuatan” [Sunan At-Tirmidziy, 2/43].
Ini juga ta’wilbathil khas Asyaa’irah yang meniru pendahulunya dari kalangan Jahmiyyah.
Muhammad bin Mush’ab Al-‘Aabid rahimahullah berkata:
مَنْ زَعَمَ أَنَّكَ لا تَتَكَلَّمُ وَلا تَرَى فِي الآخِرَةِ فَهُوَ كَافِرٌ بِوَجْهِكَ لا يَعْرِفُكَ، أَشْهَدُ أَنَّكَ فَوْقَ الْعَرْشِ فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ لَيْسَ كَمَا يَقُولُ أَعْدَاءُ اللَّهِ الزَّنَادِقَةُ
“Barangsiapa yang menyangka Engkau (Allah) tidak berbicara dan tidak dapat dilihat di akhirat, maka ia kafir terhadap wajah-Mu dan tidak mengenal-Mu. Aku bersaksi bahwasannya Engkau berada di atas ‘Arsy, di atas tujuh langit. Tidak seperti yang dikatakan musuh-musuh-Mu, yaitu Zanaadiqah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 167].
Abu ‘Abdillah Al-Haakim rahimahullah berkata:
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ صَالِحِ بْنِ هَانِئٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ، يَقُولُ: مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ قَدِ اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ
Aku mendengar Muhammad bin Shaalih bin Haani’ berkata : Aku mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata : “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits hal. 84].
Abul-‘Abbaas As-Sarraaj rahimahullah (w. 313 H) berkata:
من لم يقر بأن الله تعالى يعجب، ويضحك، وينزل كل ليلة إلى السماء الدنيا، فيقول: "من يسألني فأعطيه "فهو زنديق كافر، يستتاب، فإن تاب وإلا ضربت عنقه، ولا يصلى عليه، ولا يدفن في مقابر المسلمين
“Barangsiapa yang tidak mengakui dan beriman bahwa Allah ta’ala heran, tertawa, turun (setiap malam) ke langit dunia seraya berfirman ‘Barangsiapa yang meminta kepadaku, maka akan aku beri’; maka ia zindiq lagi kafir. Ia diminta untuk bertaubat. Apabila ia bertaubat, maka diterima; namun apabila enggan, dibunuh. Tidak boleh dishalatkan (jenazahnya dan tidak boleh pula dikuburkan di pekuburan kaum muslimin” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 14/396; sanadnya qawiy (kuat)].
Jenis penyimpangan tersebut termasuk kufur akbar yang menyebabkan keluar dari wilayah Islam. Ini kata ulama, bukan kata saya. Sebagian ulama bahkan sangat keras terhadap kelompok Asyaa’irah ini sebagaimana riwayatnya dikumpulkan Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaam. Diantaranya Abu Manshuur Al-Mu’adzdzin rahimahullah berkata:
سمعت عمر بن إبراهيم يقول: لا تحل ذبائح الأشعرية؛ لأنهم ليسوا بمسلمين، ولا بأهل كتاب، ولا يثبتون في الأرض كتاب الله
Aku mendengar ‘Umar bin Ibraahiim berkata : ‘Tidak halal sembelihan orang Asy’ariyyah, karena mereka bukan termasuk kaum muslimin, bukan pula ahli kitab. Mereka tidak menetapkan Kitabullah di bumi” [Dzammul-Kalaam no. 1318].
Al-Harawiy rahimahullah berkata:
وسمعت أحمد بن الحسن الخاموشي الفقيه الرازي في داره بالري في محفل يلعن الأشعرية، ويطري الحنابلة، وذلك سنة خرجنا مع الحاج
“Dan aku pernah mendengar Ahmad bin Al-Hasan Al-Khaamuusyiy Al-Faqiih Ar-Raaziy di rumahnya di negeri Ray dalam satu perkumpulan melaknat Asy’ariyyah dan memuji Hanabilah. Hal itu terjadi di tahun kami pergi melaksanakan haji” [idem, no. 1337].
Ini adalah hukum secara umum (mutlak) tentang penyimpangan-penyimpangan mereka. Secara individu, kita tidak boleh langsung menghukumi kafir kecuali jika terpenuhi syarat-syarat pengkafirannya dan ditegakkan padanya hujjah. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأيضا فإن تكفير الشخص المعين ، وجواز قتله موقوف على أن تبلغه الحجة النبوية التي يكفر من خالفها ، وإلا فليس كل من جهل شيئا من الدين يكفر ، ولهذا كنت أقول للجهمية من الحلولية والنفاة الذين نفوا أن الله تعـالى فوق العرش لما وقعت محنتهم أنا لو وافقتكم كنت كافرا ، لأني أعلم أن قولكم كفر ، وأنتم عندي لا تكفرون لأنكم جهال "، وكان هذا خطابا لعلمائهم وقضاتهم ، وشيوخهم وأمرائهم ؛ وأصل جهلهم شبهات عقلية حصلت لرؤوسهم في القصور من معرفة المنقول الصحيح والمعقول الصريح الموافق له
“Dan juga, sesungguhnya pengkafiran terhadap individu tertentu dan pembolehan hukum bunuh terhadapnya tergantung pada sampainya hujjah nubuwwah yang mengkonsekuensikan hukum kekafiran terhadap orang yang menyelisihinya (nash tersebut). Jika tidak, maka tidak ada pengkafiran atas orang yang tidak mengetahui (jahil) sesuatu dari perkara agama. Oleh karena itu aku pernah mengatakan kepada penganut Jahmiyyah dari kalangan Huluuliyyah dan orang-orang yang menafikkan keberadaan Allah ta’aladi atas ‘Arsy ketika fitnah mereka muncul : ‘Seandainya aku sepakat dengan (kesesatan/penyimpangan) kalian, niscaya aku menjadi kafir, karena aku mengetahui perkataan kalian itu adalah kufur. Sedangkan kalian menurutku tidaklah kafir, karena kalian itu orang-orang bodoh (juhaal)’. Ucapan ini ditujukan kepada para ulama, hakim, syaikh, dan pemimpin mereka. Dan pokok dari kejahilan mereka adalah syubuhaat ‘aqliyyah yang berasal dari pembesar-pembesar mereka karena kurangnya pengetahuan atas nash yang shahih dan akal yang shariih yang sejalan dengannya (nash)” [Ar-Radd ‘alal-Bakriy, hal. 259].
Wallaahu a’lam.

[abul-jauzaa’ – rnn – 23011439/14102017].

Perdebatan Unik

$
0
0
Ada satu kisah perdebatan antara Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi'iy dengan Ishaaq bin Raahuuyah yang disaksikan oleh Ahmad bin Hanbal rahimahumullah. Tiga pembesar fiqh dan hadits ada dalam satu majelis. Dalam kitab Thabaqaat Asy-Syaafi'iyyah Al-Kubraa (1/320) disebutkan satu riwayat sebagai berikut:
أن إسحاق ابْن راهويه ناظر الشافعي، وأَحْمَد بْن حنبل حاضر، فِي جلود الميتة إذا دبغت، فقال الشافعي: دباغها: طهورها. فقال إسحاق: ما الدليل؟ فقال الشافعي: حَدِيثُ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ مَيْمُونَةَ، "أَنَّ النَّبِيَّ، ﷺ مَرَّ بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ، فَقَالَ: "هَلا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا ". فقال إسحاق: حديث ابْن عكيم: كتب إلينا رَسُول اللَّهِ، ﷺ قبل موته بشهر: "لا تنتفعوا من الميتة بإهاب، ولا عصب ". أشبه أن يكون ناسخا لحديث ميمونة ؛ لأنه قبل موته بشهر. فقال الشافعي: هَذَا كتاب، وذاك سماع. فقال إسحاق: إن النبي، ﷺ كتب إِلَى كسرى، وقيصر، وكان حجة عليهم عند اللَّه. فسكت الشافعي، فلما سمع ذلك أَحْمَد بْن حنبل ذهب إِلَى حديث ابْن عكيم، وأفتى بِهِ. ورجع إسحاق إِلَى حديث الشافعي، فأفتى بحديث ميمونة

(Pada suatu ketika) Ishaaq bin Raahuuyah berdebat dengan Asy-Syaafi'iy tentang masalah status kulit bangkai apabila telah disamak, yang ketika itu Ahmad bin Hanbal hadir menyaksikannya. Asy-Syaafi'iy berkata : "Penyamakannya itu merupakan (sebab) kesuciannya". Ishaaq berkata : "Apa dalilnya ?". Asy-Syaafi'iy menjawab : "(Dalilnya adalah) hadits Az-Zuhriy, dari 'Ubaidullah bin 'Abdillah, dari Ibnu 'Abbaas, dari Maimuunah : Bahwasannya Nabi pernah melewati bangkai kambing, lalu beliau bersabda : 'Tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya ?"[1]. Ishaaq berkata : "Hadiits Ibnu 'Ukaim : Rasulullah pernah menuliskan surat kepada kami sebulan sebelum wafat beliau : 'Jangan kalian manfaatkan (sesuatupun) dari bangkai, baik kulit maupun uratnya"[2]. Seakan-akan hadits ini merupakan naasikh (penghapus) hadits Maimuunah, karena hadits Ibnu 'Ukaim terjadi sebulan sebelum wafatnya beliau . Asy-Syaafi'iy berkata : "Hadits Ibnu 'Ukaim itu berupa kitaab, sedangkan hadits Maimuunah berupa penyimakan". Ishaaq menjawab : "Sesungguhnya Nabi pernah menulis surat kepada Kisraa dan Qaishar, dan surat tersebut merupakan hujjah bagi mereka di sisi Allah". Asy-Syaafi'iy pun terdiam. Ketika mendengar perdebatan tersebut, Ahmad bin Hanbal mengambil pendapat berdasarkan hadits Ibnu 'Ukaim dan berfatwa dengannya[3], sedangkan Ishaaq justru rujuk kepada hadits Asy-Syaafi'iy dan berfatwa dengan hadits Maimuunah"
[selesai].
Subhaanallah, banyak faedah yang diambil dari riwayat ini. Coba perhatikan bagaimana kesimpulan akhir perdebatan antara Ishaaq dan Asy-Syaafi'iy rahimahumallah.
Keduanya saling menyanggah. Asy-Syaafi'iy terdiam oleh hujjah yang dibawakan Ishaaq, sedangkan Ishaaq sendiri akhirnya - setelah berpikir ulang - justru rujuk kepada hadits yang dibawakan Asy-Syaafi'iy. Di sisi lain, Ahmad bin Hanbal yang hadir menyaksikan perdebatan mengambil faedah dari 'adu argumen' tersebut tanpa turut terjun dalam pedebatan mereka berdua.
Satu hal lagi yang penting digarisbawahi. Perdebatan dalam agama yang disyari'atkan adalah dalam rangka mencari kebenaran, ikhlash karena Allah ta’ala.[4]Perdebatan yang sarat dengan dalil dan adab. Tidak ada ego untuk sekedar mempertahankan pendapat, karena yang dicari adalah cahaya yang dapat menunjuki masing-masing pelaku jalan menuju jannah.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – rnn – 15102017].




[1]   Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1492, Muslim no. 363, An-Nasaa’iy no. 4235, dan yang lainnya.
[2]   Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1729, Abu Daawud no. 4127-4128, An-Nasaa’iy no. 4249-4251, Maajah no. 3613, Ahmad 4/310, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/270.
[3]   Namun setelah itu Ahmad bin Hanbal meninggalkan hadits ini sebagaimana dijelaskan oleh At-Tirmidziy rahimahullah :
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَيُرْوَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ، عَنْ أَشْيَاخٍ لَهُمْ هَذَا الْحَدِيثُ، وَلَيْسَ الْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ، أَنَّهُ قَالَ: أَتَانَا كِتَابُ النَّبِيِّ ﷺ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِشَهْرَيْنِ، قَالَ: وسَمِعْت أَحْمَدَ بْنَ الْحَسَنِ، يَقُولُ: كَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يَذْهَبُ إِلَى هَذَا الْحَدِيثِ لِمَا ذُكِرَ فِيهِ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِشَهْرَيْنِ، وَكَانَ يَقُولُ: كَانَ هَذَا آخِرَ أَمْرِ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ تَرَكَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ هَذَا الْحَدِيثَ لَمَّا اضْطَرَبُوا فِي إِسْنَادِهِ، حَيْثُ رَوَى بَعْضُهُمْ فَقَالَ: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ، عَنْ أَشْيَاخٍ لَهُمْ مِنْ جُهَيْنَةَ
“Hadits ini hasan. Dan hadits ini juga diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim, dari para syaikh mereka. Hadits ini tidak diamalkan oleh mayoritas ulama. Hadits ini diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim, ia berkata : ‘Datang kepada kami surat Nabi dua bulan sebelum wafat beliau ”. At-Tirmidziy berkata : “Dan aku mendengar Ahmad bin Al-Hasan berkata : ‘Dulu Ahmad bin Hanbal berpegang pada hadits ini karena adanya penyebutan padanya dua bulan sebelum wafat beliau . Waktu itu ia (Ahmad bin Hanbal) berkata : ‘Ini adalah perintah terakhir Nabi ’. Kemudian Ahmad bin Hanbal meninggalkan hadits ini karena adanya idlthiraabdalam sanadnya, dimana sebagian mereka meriwayatkan, perawi berkata : Dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim, dari para syaikh mereka dari Juhainah” [Sunan At-Tirmidziy, 3/344].
[4]   Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah berkata:
ينبغي للمجادلِ، أن يُقَدّم على جدَالهِ تقوى اللهِ تعالى، لقول سبحانه : (فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)، ولقوله : (إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ).
ويُخْلِصُ النِّية في جداله، بأنْ ينبغي به وجه الله تعالى. وليكن قصده في نظره إيضاح الحق، وتثبيته دون المغالبة للخصم.
قال الشافعي : ما كلمتُ أحدًا قط إلا أحببتُ أن يُوفقَ ويسدد ويعانَ، ويكونَ عليه رعايةٌ من اللهِ وحفظٌ، وما كلمتُ أحدًا قط إلا ولم أبالِ بيين اللهُ الحقَّ على لساني أو لسانه.
ويبني أَمْرُهُ على النصيحة لدين الله، وللذي ويُجادله، لأَنَّهُ أخوهُ في الدين، مع أنَّ النصيحةَ واجبةٌ لجميع المسلمين.
“Menjadi satu keharusan bagi orang yang berdebat untuk mengutamakan ketaqwaan kepada Allah ta’aladalam perdebatannya, sebagaimana firman Allah subhaanahu (wa ta’ala) : ‘Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu’ (QS. At-Taghaabun : 16). Dan juga firman-Nya : ‘Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan’ (QS. An-Nahl : 128).
Orang yang berdebat harus mengikhlashkan niat dalam perdebatannya tersebut semata-mata hanya mengharap wajah Allah ta’ala. Kemudian tujuan yang ia harapkan adalah untuk menunjukkan dan mengokohkan kebenaran (al-haq), tanpa harus mengalahkan lawan debatnya.
Telah berkata Asy-Syafi’iy : ‘Aku tidak pernah berbicara kepada seorangpun melainkan aku berharap agar ia ditetapkan dan ditolong dalam kebenaran, serta menjadikan pembicaraanku tadi sebagai petunjuk dan bimbingan Allah kepadanya. Dan aku tidaklah peduli – saat berbicara pada seseorang – apakah Allah akan memberikan kebenaran melalui lisanku atau lisan orang lain.’
Dan agar ia melandasi semua tindakannya di atas nasihat kepada agama Allah dan kepada orang yang didebatnya. Tidak lain adalah karena ia merupakan saudaranya seagama, dan juga bahwasannya nasihat itu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi seluruh kaum muslimin” [Al-Faqiih wal-Mutafaqqih, 1/360-363 dengan peringkasan].

Perintah (Al-Amru)

$
0
0
Pada kesempatan ini sedikit akan dibahas tentang al-amru (الْأَمْرُ) atau perintah. Definisi perintah dalam ushul al-fiqh adalah :
استدعاء الفعل بالقول على وجه الاستعلاء
“Memerintahkan untuk melakukan sesuatu dengan satu perkataan dalam bentuk al-isti’laa’ (dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah)” [Mudzakkirah fii Ushuulil-Fiqhi, hal. 224].
Atau bisa juga dikatakan :
قول يتضمن طلب الفعل على وجه الاستعلاء
”Perkataan yang mengandung tuntutan melakukan sesuatu dalam bentuk al-isti’laa’ (dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah)” [Syarh Al-Ushuul min ‘Ilmil-Ushuul, hal. 107].

Ada juga definisi yang lain, tapi mirip-miriplah dengan apa yang saya tuliskan di atas.
Bagaimana bentuk-bentuk perintah itu ? Asy-Syinqithi rahimahullah menjelaskan sebagai berikut :
1.    Fi’il amr, seperti dalam ayat :
أَقِمِ الصَّلاةَ
Dirikanlah shalat…” (QS. Al-Israa’ : 78)
2.    Fi’il mudlari’ majzumdengan lam amr, seperti dalam ayat :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut…” (QS. An-Nuur : 63)
3.    Isim fi’il amr, seperti dalam ayat :
عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ
….jagalah dirimu…” (QS. Al-Maaidah : 105)
4.    Mashdar pengganti dari fi’il amr, seperti dalam ayat :
فَضَرْبَ الرِّقَابِ
… maka pancunglah batang leher mereka…” (QS. Muhammad : 4)
[Mudzakkirah fii Ushuulil-Fiqh, hal. 225].
Nah, ... sekarang menginjak pada penunjukan shighah amr. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini yang terangkum sebagai berikut :
1.    shighah amr menunjukkan pengertian wajib secara mutlak;
2.    shighah amr menunjukkan pengertian mubah;
3.    shighah amr menunjukkan pengertian anjuran;
4.    shighah amr menunjukkan pengertian wajib, kecuali bila terdapat dalil yang memalingkannya ke pengertian yang lain.
Yang rajih adalah menurut jumhur ulama ushul-fiqh adalah pendapat yang keempat. Dari pendapat inilah terbangun kaidah :
الأصل في الأمر تفيد الوجوب
”Asal dari satu perintah menunjukkan pengertian wajib”.
Banyak dalil yang digunakan para ulama ushul-fiqh untuk membangun kaidah ini. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
Segi pendalilannya adalah bahwa bahwa Allah ta’ala telah memperingatkan dan mengancam orang-orang yang menyalahi perintah syari’at (yaitu perintah Rasululullah ) dengan adzab yang pedih. Hal ini menunjukkan perintah Rasul itu secara umum menunjukkan konsekuensi hukum wajib.
Juga firman Allah ta’ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” [QS. Al-Ahzaab : 36].
Dalam ayat ini Allah ta’ala melarang untuk menjadikan perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya sebagai pilihan (boleh diambil boleh tidak). Konsekuensinya, kemutlakan perintah Allah dan perintah Rasul di sini tidaklah mungkin terjadi kecuali jika mengandung konsekuensi wajib. 
Juga firman Allah ta’ala:
أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي
Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” [QS. Thaahaa : 93].
Mafhum muwafaqah ayat ini menunjukkan bahwa menyelisihi perintah adalah sebuah kedurhakaan/kemaksiatan). Tidaklah kedurhakaan/kemaksiatan itu muncul dari satu perintah kecuali perintah tersebut merupakan kewajiban.
Kaidah inilah yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani dalam Irsyaadul-Fuhuul, Asy-Syinqithi dalam Mudzakkirah fii Ushulil-Fiqhi, dan Ibnu ’Utsaimin rahimahumullah dalam Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul.
Adakalanya perintah itu keluar dari hukum wajib ke beberapa makna hukum yang lain. Di antaranya :
1.    Mandub (dianjurkan), sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli” [QS. Al-Baqarah : 282].
Mendatangkan saksi dalam jual beli di sini hanyalah anjuran saja karena ada dalil yang memalingkannya, yaitu Rasulullah pernah membeli seekor kuda dari seorang Arab Badui tanpa adanya saksi, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daawud no. 3607, An-Nasaa’iy no. 4647, Ahmad 5/215, dan yang lainnya.
Begitu pula dengan ayat:
وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ نَبَاتَ كُلِّ شَيْءٍ فَأَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِرًا نُخْرِجُ مِنْهُ حَبًّا مُتَرَاكِبًا وَمِنَ النَّخْلِ مِنْ طَلْعِهَا قِنْوَانٌ دَانِيَةٌ وَجَنَّاتٍ مِنْ أَعْنَابٍ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُشْتَبِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ انْظُرُوا إِلَى ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَيَنْعِهِ إِنَّ فِي ذَلِكُمْ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman” [QS. Al-An’aam : 99].
Kalimat undhuruu ilaa tsamarihi tentu tidak menunjukkan makna wajib. Ia hanya anjuran saja karena keseluruhan ayat hanya menunjukkan pengambilan ’ibrah saja. Selain itu, qarinahpemalingannya banyak, baik secara naql dan ’aql. Secara naql, banyak sekali dalil yang menunjukan bahwa keberadaan buah di pohonnya tidaklah harus selalu dilihat setiap waktu. Kita tengok kisah Maryam ketika bersandar di pangkal pohon kurma :
فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا (22)فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا (23)فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا (24)وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا (25)
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan". Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” [QS. Maryam : 22-25].
Dalam ayat tersebut ketika Maryam berada di dekat pohon kurma, bahkan ia bersandar padanya, tidak ada perintah agar ia melihat buahnya di tangkal pohonnya. Selain itu, dalam kisah tidak ada khabar yang menyebutkan bahwa Maryam melihat buah kurma ketika ada di tangkal pohonnya. Bahkan, perintah yang datang kepadanya hanyalah untuk menggoyangkan pohon kurma agar kurma yang masak dapat jatuh. Ini dalil naqli. Adapun dalil ’aqli, maka sungguh tidak masuk akal jika kita harus selalu memperhatikan dan melihat buah-buahan yang ada di sekitar kita.
2.    Mubah (boleh)
Pada umumnya, konsekuensi hukum ini ada jika perintah datang setelah adanya larangan. Ini merupakan pendapat Asy-Syaafi’iy sebagaimana dinukil oleh Asy-Syinqithiy rahimahumallah dalam Al-Mudzakkirah. Asy-Syinqithiy rahimahullah dalam kitabnya sebenarnya menyebutkan tiga pendapat dalam masalah ini (konsekuensi hukum perintah yang datang setelah adanya larangan), namun kemudian beliau merajihkan pendapat Asy-Syaafi’iy rahimahumallah. Dan itu pula yang diterangkan Ibnu ’Utsaimin dalam Al-Ushul min ’Ilmil-Ushuul. Asy-Syinqithiy rahimahullah kemudian merinci permasalahan ini bahwa permasalahan tersebut kembali pada hukum perbuatan sebelum adanya larangan. Jika hukum perbuatan tersebut semula adalah boleh, maka setelah adanya larangan ia kembali ke hukum boleh (jaaiz). Jika semula hukum perbuatan itu wajib, maka ia kembali pada hukum wajib.
Contohnya adalah firman Allah ta’ala:
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا
Jika engkau telah bertahallul maka berburulah" [QS. Al-Maidah : 2].
Letak larangannya terdapat dalam ayat sebelumnya yaitu :
أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji” [QS. Al-Maaidah : 1].
Kita kaitkan dengan bahasan, apa hukum berburu sebelum adanya larangan (ketika ihram) ? Jawab : Boleh (mubah). Maka setelah adanya larangan dalam ayat 1, fi’il amr di atas (yaitu : fasthaaduu) bermakna : boleh berburu. Bukan wajib berburu.
Selain itu, hukum mubah di sini juga bisa datang jika perintah datang sebagai suatu jawaban dari sesuatu yang disangka dilarang. Contohnya adalah :
افْعَلْ وَلَا حَرَجَ
Lakukanlah dan (hal itu) tidak apa-apa” [Muttafaqun ‘alaihi].[1]
Perkataan tersebut sebagai satu jawaban atas orang yang bertanya kepada beliau pada haji wadaa' tentang mendahulukan amalan-amalan haji yang satu terhadap yang lainnya.
3.    Ancaman.
Diantara dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” [QS. Al-Fushshilat : 40].
Juga dalam firman-Nya :
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang lalim itu neraka” [QS. Al-Kahfi : 29].
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 10052007 – 02:29].



[1]   Selengkapnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَقَفَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ بِمِنًى لِلنَّاسِ يَسْأَلُونَهُ فَجَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: لَمْ أَشْعُرْ فَحَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ؟ فَقَالَ: اذْبَحْ وَلَا حَرَجَ، فَجَاءَ آخَرُ، فَقَالَ: لَمْ أَشْعُرْ فَنَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ؟ قَالَ: ارْمِ وَلَا حَرَجَ، فَمَا سُئِلَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلَا أُخِّرَ إِلَّا قَالَ: افْعَلْ وَلَا حَرَجَ "
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash : Bahwasannya Rasulullah berdiri di Mina ketika haji wadaa’ memberi kesempatan kepada manusia untuk bertanya kepada beliau . Lalu ada seseorang yang mendatangi beliau dan berkata: “Aku tidak menyadari, ternyata saat aku mencukur rambut sebelum aku menyembelih”. Maka beliau bersabda : “Sembelihlah, tidak apa-apa”. Kemudian datang orang lain dan berkata : “Aku tidak menyadari, ternyata ketika berkurban sebelum aku melempar (jumrah)“. Beliau bersabda : “Lemparlah dan tidak apa-apa”. Dan tidaklah Nabi ditanya tentang sesuatu perkara sebelum dan sesudahnya kecuali beliau menjawab : “Lakukanlah dan tidak apa-apa” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 83 & 124 & 1736 & 1738 & 6665, Muslim no. 1306].

Hadits yang Diamalkan dan Tidak Diamalkan

$
0
0
HADITS 1:
At-Tirmidziy rahimahullah meriwayatkan hadits secara marfuu':
كُلُّ طَلَاقٍ جَائِزٌ إِلَّا طَلَاقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ
"Setiap thalaq boleh dilakukan (sah), kecuali thalaq yang dilakukan oleh orang gila lagi kurang akalnya" [As-Sunan no. 1191].
Setelah menjelaskan sebab kedla'ifannya, At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ وَغَيْرِهِمْ أَنَّ طَلَاقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ لَا يَجُوزُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعْتُوهًا يُفِيقُ الْأَحْيَانَ فَيُطَلِّقُ فِي حَالِ إِفَاقَتِهِ
"Para ulama dari kalangan shahabat Nabi dan yang lainnya mengamalkan hadits ini, yaitu bahwa thalaq yang dilakukan oleh orang gila lagi kurang akalnya tidak sah, kecuali jika kegilaannya hanya terjadi kadang-kadang saja dan ia menthalaqnya ketika sadar" [idem, 2/481].

Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata:
وأجمعوا على أن المجنون والمعتوه ، لا يجوز طلاقه
"Para ulama bersepakat bahwa orang sinting dan gila tidak sah thalaqnya" [Al-Ijmaa'no. 451].
HADITS 2:
Diriwayatkan dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
Setiap pinjaman yang membawa manfaat, maka itu riba”.
Ketika ditanya hadits tersebut, Ibnu Baaz rahimahullah menjawab:
الحديث المذكور ضعيف عن أهل العلم، ليس بصحيح، ولكن معناه صحيح عن العلماء معناه، أن القروض التي تجر نفعاً ممنوعة بالإجماع.....
“Hadits tersebut dla’iif menurut para ulama[1]. Tidak shahih. Namun demikian maknanya shahih menurut para ulama. Maknanya adalah bahwa pinjaman yang mengkonsekuensikan manfaat terlarang berdasarkan ijmaa’….” [sumber : http://www.binbaz.org.sa/noor/2872].
HADITS 3:
Hadits Jaabir bin 'Abdillah yang menceritakan kisahnya, yaitu ketika baru pulang dari safar dan tiba kembali di Madinah, Nabi bersabda kepadanya:
ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ
Pergilah ke masjid, lalu shalatlah dua rakaat
Setelah berkomentar tentang keshahihannya, Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
وظاهر الأمر يفيد وجوب صلاة القدوم من السفر في المسجد لكني لا أعلم أحدا من العلماء ذهب إليه فإن وجد من قال به صرنا إليه . والله أعلم
"Dhahir perintah tersebut memberikan faedah wajibnya shalat ketika tiba dari safar di masjid. Akan tetapi aku tidak mendapatkan seorangpun ulama yang berpendapat seperti itu. Apabila didapatkan ulama (dahulu) yang pernah berpendapat seperti itu kami akan berpegang terhadapnya, wallaahu a'lam" [Ats-Tsamarul-Mustathaab, hal. 628].
HADITS 4:
Dari Ummu Salamah, ia berkata:
بَيْنَا أَنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ مُضْطَجِعَةٌ فِي خَمِيصَةٍ، إِذْ حِضْتُ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حِيضَتِي، قَالَ: أَنُفِسْتِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فَدَعَانِي فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِي الْخَمِيلَةِ
“Ketika aku berbaring bersama Nabi dalam satu kain, tiba-tiba aku haidl. Maka aku bangun perlahan-lahan dan mengambil baju haidlku. Beliau bertanya : ‘Apakah engkau haidl ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau memanggilku dan akupun berbaring bersama beliau dalam sebuah kain” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 298].
Ada yang mengambil dhahir hadits ini sebagai dalil penyamaan waktu maksimal haidl dan nifas pada wanita. Ibnu Rajab rahimahulah berkata:
وقد اعتمد ابن حزم على هَذا الحديث في ان الحائض والنفاس مدتهما واحدة ، وأن أكثر النفاس كأكثر الحيض ، وَهوَ قول لَم يسبق إليه ، ولو كانَ هَذا الاستنباط حقاً لما خفي علي أئمة الإسلام كلهم إلى زمنه
“Ibnu Hazm berpegang dengan hadits ini dalam perkara bahwa masa (lama) wanita haidl dan nifas adalah satu, dan bahwa masa terlama nifas seperti masa terlama haidl. Pendapat tersebut belum pernah ada pendahulunya. Seandainya istinbath hukum ini benar, mengapa perkara itu tersembunyi pada semua imam/ulama Islam hingga zamannya (dan baru diketahui olehnya)?” [Fathul-Baariy, 2/83].
FAEDAH
Ketika sebagian ikhwah mengatakan : ‘apabila telah shahih satu hadits, maka itulah madzhabku’, atau perkataan ‘ulama itu bukan dalil’; maka ini benar, tapi masih ‘koma’, belum sepenuhnya ‘titik’. Butuh penjelasan lanjutan, bukan hanya berhenti di garis tersebut.
Sebagaimana Pembaca lihat di atas, ada sebagian hadits dla’if namun maknanya ternyata diterima para ulama. Bahkan, disepakati (ijmaa’).Sebaliknya, ada sebagian hadits shahih namun tidak diamalkan para ulama berdasarkan ijmaa'. Ijmaa'inilah yang kemudian menjadi dalil (akan dijelaskan secara ringkas di bawah).
Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika menjelaskan biografi Ad-Daarakiy ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Muhammad rahimahumullah berkata:
قال ابن خلكان: كان يتهم بالاعتزال، وكان ربما يختار في الفتوى، فيقال له في ذلك، فيقول: ويحكم ! [ حدث ] فلان عن فلان، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بكذا وكذا، والاخذ بالحديث أولى من الاخذ بقول الشافعي وأبي حنيفة.
قلت: هذا جيد، لكن بشرط أن يكون قد قال بذلك الحديث إمام من نظراء هذين الامامين مثل مالك، أو سفيان، أو الاوزاعي، وبأن يكون الحديث ثابتا سالما من علة، وبأن لا يكون حجة أبي حنيفة والشافعي حديثا صحيحا معارضا للآخرة.
أما من أخذ بحديث صحيح وقد تنكبه سائر أئمة الاجتهاد، فلا، كخبر: "فإن شرب في الرابعة فاقتلوه "، وكحديث "لعن الله السارق، يسرق البيضة، فتقطع يده "
“Ibnu Khalikaan berkata : ‘Ia (Ad-Daarakiy) dituduh berpemahaman i’tizaal (Mu’tazilah). Kadang ia menyeleksi dalam fatwa[2]sehingga dikatakan kepadanya tentang hal tersebut. Lalu ia berkata : ‘Celaka kalian! Telah menceritakan Fulaan, dari Fulaan, dari Rasulullah demikian dan demikian. Berpegang pada hadits lebih didahulukan daripada berpegang pada pendapat Asy-Syaafi’iy dan Abu Haniifah’.
Aku (Adz-Dzahabiy) katakan : ‘Perkataan ini baik, akan tetapi dengan syarat : (1) yang mengatakan hadits tersebut seorang imam yang selevel dengan dua imam tersebut, semisal Maalik, Sufyaan, atau Al-Auzaa’iy; (2) hadits tersebut shahih dan selamat dari ‘ilat; serta (3) hujjah yang dipakai Abu Haniifah dan Asy-Syaafi’iy bukan hadits shahih yang bertentangan dengan hadits yang lain.
Adapun orang yang mengambil hadits shahih yang dijauhi seluruh imam ahli ijtihad, maka tidak diperbolehkan. Seperti hadits : ‘Apabila ia minum khamr untuk yang keempat kalinya, maka bunuhlah ia[3], dan juga seperti hadits : ‘Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur lalu dipotong tangannya[4]” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/405-406].
Terkait hadits pertama yang disebutkan Adz-Dzahabiy rahimahullah, maka hadits membunuh orang yang mengulangi minum khamr keempat kalinya (setelah sebelumnya ia terkena hadd) tidak diamalkan para ulama. Al-Mundziriy rahimahullah menyatakan adanya ijmaa’ ulama bahwa peminum khamr tersebut tidak dibunuh. Dikatakan juga bahwa hadits tersebut mansuukh. An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan:
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ التِّرْمِذِيّ فِي حَدِيث شَارِب الْخَمْر هُوَ كَمَا قَالَ ، فَهُوَ حَدِيث مَنْسُوخ دَلَّ الْإِجْمَاع عَلَى نَسْخه
“Inilah yang dikatakan At-Tirmidziy tentang hadits peminum khamr, dan statusnya seperti yang dikatakannya. Itu adalah hadits mansuukh (terhapus hukumnya), dan ijmaa’ menunjukkan keberadaan penghapusannya” [Syarh Shahiih Muslim, 5/218].
Begitu juga dengan hadits kedua yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Tidak boleh mengamalkan dhahir hadits tersebut untuk memotong tangan pencuri sebutir telur, karena dalam Shahiihain dan yang lainnya dari hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa disebutkan pencuri tidak dipotong tangannya kecuali barang curiannya senilai seperempat dinar atau lebih[5]. Beberapa ulama menjelaskan hadits Abu Hurairah telah dihapus dengan hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa. Dikatakan, telur yang dimaksudkan bukan telur ayam atau sejenisnya, namun dita’wil dengan topi besi (yang senilai nishabpencurian). Dikatakan juga, maksud hadits Abu Hurairah adalah wasilah (sarana) kepada pencurian secara bertahap, dari sedikit hingga banyak yang menyebabkan dipotong tangannya [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/110].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy mengatakan hal yang mirip dengan Adz-Dzahabiy rahimahumallah:
فأما الأئمة وفقهاء أهل الحديث : فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان ، إذا كان معمولا به عند الصحابة ومن بعدهم ، أو عند طائفة منهم.
فأما ما اتفق على تركه : فلا يجوز العمل به ، لأنهم ما تركوه إلا على علم أنه لا يعمل به
“Para imam dan fuqahaa’ ahli hadits, maka mereka mengikuti hadits shahih dimanapun berada, yaitu jika hadits tersebut diamalkan para shahabat dan ulama setelahnya, atau (diamalkan) sekelompok dari mereka.
Adapun hadits yang mereka sepakati untuk meninggalkannya, maka tidak boleh mengamalkannya karena mereka tidaklah meninggalkan (pengamalan) suatu hadits kecuali di atas pengetahuan bahwa hadits itu memang tidak diamalkan” [Fadhlu ‘Ilmis-Salaf, hal. 83].
Jika kita mengetahui adanya kesepakatan (ijmaa’) ulama meninggalkan satu hadits shahih, maka itu menjadi faktor yang menghalangi kita untuk mengamalkannya. Ijmaa’ yang dimaksudkan adalah ijmaa’ yang qath’iy(pasti). Asy-Syinqithiy rahimahullah menjelaskan:
واعلم أن بعض الأصوليين يقولون بتقديم الاجماع على النص ، لأن النص يحتمل النسخ والاجماع لا يحتمله ، ...ومرادهم بالاجماع الذي يقدم على النص خصوص الاجماع القطعي دون الاجماع الظني ، وضابط الاجماع القطعي هو الاجماع القولي ، لا السكوتي
"Ketahuilah bahwasanya sebagian ulaam ushul berpendapat mendahulukan ijmaa’ atas nash karena nash mempunyai kemungkinan dihapus (naksh), sedangkan ijmaa’tidak demikian….. Dan yang mereka maksud dengan ijmaa’ yang dikedepankan di atas nash, khusus ijmaa’ yang qath’iy (pasti), bukan ijmaa’ dhanniy. Dan kaedah ijmaa’ qath’iy yang dimaksud adalah ijmaa’ qauliy (perkataan), bukan sukuutiy…” [Mudzakkirah fii Ushuulil-Fiqh, hal. 445].
Seseorang yang ingin mengamalkan syari’at Islam butuh dalil; dan yang mengamalkan dalil butuh ilmu. Pertanyaannya : Adakah kita memiliki ilmu tersebut ?. Allah ta’ala memerintahkan kita bertanya kepada ulama jika kita tidak memiliki ilmu sebagaimana firman-Nya:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” [QS. Al-Anbiyaa’ : 7].
Nabi bersabda:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Sesunguhnya ulama itu pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, namun mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang sangat banyak/berlimpah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/196, At-Tirmidziy no. 2682, Abu Daawud no. 3641, Ibnu Maajah no. 223, dan yang lainnya; shahih].
Kasus penyelewengan nash karena meninggalkan para ulama sudah sangat banyak. Banyak kelompok tersesat akibat mengambil dhahir nash dengan bepaling dari penafsiran Nabi , para shahabat, dan ulama salaf setelah mereka. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
الاحتجاج بالظواهر مع الإعراض عن تفسير النبي صلى الله عليه وسلم، وأصحابه طرق أهل البدع
"Berhujjah dengan dhahir nash namun berpaling dari tafsir Nabi dan para shahabatnya adalah jalan-jalan yang ditempuh ahli bid'ah" [Majmuu' Al-Fataawaa, 7/392].
Contoh mudah adalah bagaimana tersesatnya kaum Khawaarij yang mengambil dhahir QS. Al-Maaidah ayat 44. Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وقد ضلت جماعة من أهل البدع من الخوارج والمعتزلة في هذا الباب فاحتجوا بهذه الآثار ومثلها في تكفير المذنبين واحتجوا من كتاب الله بآيات ليست على ظاهرها مثل قوله عز وجل {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}
“Dan sungguh telah tersesat sekawanan ahlul-bida’ dari kalangan Khawaarij dan Mu’tazilah dalam bab ini. Mereka berhujjah dengan atsar-atsar ini dan yang semisalnya dalam pengkafiran orang-orang yang berbuat dosa. Mereka pun berhujjah dengan Al-Qur’an berupa ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagaimana dhahir-nya, seperti firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘‘Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44)’ [At-Tamhiid, 17/16].
Contoh lain adalah fatwa jenaka sekte kontemporer dalam pengharaman daging ayam karena berpegang pada hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah melarang memakan semua jenis hewan buas yang memiliki taring dan burung yang mempunyai cakar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1934].
Ini sebagai akibat meninggalkan penjelasan ulama tentang maksud burung bercakar dalam hadits tersebut, yaitu burung yang memburu mangsanya dengan menggunakan cakarnya [Al-Hayawaanaat, hal. 23]. Juga karena tidak menoleh pada hadits shahih lain yang menjelaskan permasalahan ini:
عَنْ أَبِي مُوسَى يَعْنِي الْأَشْعَرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَأْكُلُ دَجَاجًا
Dari Abu Muusaa Al-Asy’ariy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah melihat Nabi makan daging ayam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5518 & 6649 & 6721 & 7555, Muslim no. 1649].
Para ulama tidak berbeda pendapat dalam hal kehalalan daging ayam.
Dan lain-lain ….
Sungguh benar sabda Nabi :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari manusia. Namun Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu (di tengah mereka), manusia mengangkat para pemimpin yang jahil. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 100 dan Muslim no. 2673].
Bukan berarti di sini dikatakan bahwa dalil di depan kita sama sekali tidak dapat diamalkan kecuali setelah diketahui ada ulama yang mengamalkannya. Ini sama saja mengutamakan manusia daripada Allah dan Rasul-Nya. Haram hukumnya. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Hujuuraat : 1].
Seperti misal nash tentang beberapa hal yang diharamkan Allah ta’ala dalam ayat:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan” [QS. Al-Maaidah : 3].
Ayat ini jelas menunjukkan bangkai, darah, daging babi, dan yang lainnya yang disebutkan adalah haram dilakukan. Tak perlu menunggu perkataan dan perbuatan ulama hanya untuk meninggalkan perkara-perkara tersebut.
Untuk permasalahan yang diperoleh berdasarkan penggalian hukum terhadap nash-nash, khususnya dalam permasalahan agama yang telah ada semenjak dulu; maka dalam hal ini kita mesti memperhatikan penjelasan para ulama. Mesti memiliki pendahulu (salaf). Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ
Berhati-hatilah berkata dalam satu permasalahan yang engkau tidak memiliki pendahulunya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/296].
Jangan buru-buru ‘berfatwa’ dan/atau mengobarkan peperangan jika persenjataan belum lengkap. Berkata dan beramal ‘ngawur’ dalam agama terlarang keras.
Kita sangat butuh bimbingan para ulama dalam memahami nash-nash syari'at.
Sebenarnya, belum lengkap jika artikel ini tidak disertai penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul hafidhahullah yang menjelaskan perincian perkataan Ahmad bin Hanbal rahimahullah di atas, yaitu di sini. Semoga lain waktu dapat menterjemahkannya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 27 Muharram 1439/18102017].




[1]   Lihat penjelasannya dalam Irwaaul-Ghaliil5/235-236 no. 1398.
[2]   Ia kadang berfatwa menyelisihi madzhab Al-Imaam Asy-Syaafi’iy dan Abu Haniifah rahimahumallah.
[3]   Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1444, Abu Daawud no. 44845, An-Nasaa’iy no. 5662, dan yang lainnya.
[4]   Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6783 & 6799 dan Muslim no. 1687.
[5]   Silakan baca artikel Hukuman Bagi Pencuri.
Madzhab Dhaahiriyyah memandang tidak ada nishab dalam pencurian, dan ini adalah kekeliruan yang jelas karena menyelisihi dalil.

Penegakan Hujjah dalam Tabdii’

$
0
0
Pertanyaan :
هل يشترط في تبديع من وقع في بدعة أو بدع أن تقام عليه الحجة لكي يبدع أو لا يشترط ذلك؟
“Apakah dipersyaratkan penegakan hujjah dalam tabdii’ terhadap orang yang terjatuh dalam kebid’ahan ketika membid’ahkannya?”
Jawab :
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه أما بعد:
فالمشهور عن أهل السنة أنه من وقع في أمر مكفر لا يكفر حتى تقام عليه الحجة، أما من وقع في بدعة فعلى أقسام:
القسم الأول:أهل البدع كالروافض والخوارج والجهمية والقدرية والمعتزلة والصوفية القبورية والمرجئة ومن يلحق بهم كالإخوان والتبليغ وأمثالهم فهؤلاء لم يشترط السلف إقامة الحجة من أجل الحكم عليهم بالبدعة فالرافضي يقال عنه: مبتدع والخارجي يقال عنه: مبتدع وهكذا، سواء أقيمت عليهم الحجة أم لا.

Bismillaahir-rahmaanir-rahiim,
Alhamdulillahi wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasululillah wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man ittaba’a hudaahu, ammaa ba’d:
Yang masyhur dari (madzhab) Ahlus-Sunnah bahwa orang yang terjatuh dalam perkara kekafiran tidak dikafirkan hingga ditegakkan padanya hujjah. Adapun orang yang terjatuh dalam kebid’ahan, maka dalam hal ini ada beberapa jenis:
Jenis pertama : ahli bid’ah seperti Raafidlah, Khawaarij, Jahmiyyah, Qadariyyah, Mu’tazilah, Shuufiyyah, Qubuuriyyah, Murji’ah, dan yang terkait dengan mereka seperti Al-Ikhwaan (IM), Jama’ah Tabligh, dan yang semisalnya; maka salaf tidak mensyaratkan penegakan hujjah dalam penghukuman bid'ah terhadap mereka. Seorang Raafidliy, maka dikatakan kepadanya mubtadi’, dan begitu juga seorang Khaarijiy dikatakan kepadanya mubtadi’; baik telah tegak padanya hujjah ataukah belum (tegak).
القسم الثاني: من هو من أهل السنة ووقع في بدعة واضحة كالقول بخلق القرآن أو القدر أو رأي الخوارج وغيرها فهذا يبدع وعليه عمل السلف، ومثال ذلك ما جاء عن ابن عمر رضي الله عنه حين سئل عن القدرية قال: "فإذا لقيت أولئك فأخبرهم أني بريء منهم وأنهم برآء مني"رواه مسلم، قال شيخ الإسلام رحمه الله في درء تعارض العقل والنقل (1/254): "فطريقة السلف والأئمة أنهم يراعون المعاني الصحيحة المعلومة بالشرع والعقل، ويرُاعون أيضاً الألفاظ الشرعية، فيعبرون بها ما وجدوا إلى ذلك سبيلا، ومن تكلم بما فيه معنى باطل يخالف الكتاب والسنة ردوا عليه، ومن تكلم بلفظ مبتدع يحتمل حقا وباطلا نسبوه إلى البدعة أيضا، وقالوا: إنما قابل بدعة ببدعة وردَّ باطلا بباطل".
أقول: في هذا النص بيان أمور عظيمة ومهمة يسلكها السلف الصالح للحفاظ على دينهم الحق وحمايته من غوائل البدع والأخطاء منها
Jenis kedua : Seorang Ahlus-Sunnah namun terjatuh dalam bid’ah yang jelas seperti dalam permasalahan Khalqul-Qur’an, qadar, pemikiran Khawaarij, dan yang lainnya; maka dirinya dibid’ahkan. Itulah yang diamalkan salaf. Contoh akan hal tersebut adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu ketika ditanya tentang Qadariyyah. Ia berkata : “Apabila engkau berjumpa dengan mereka, maka khabarkanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka pun berlepas diri dariku”. Diriwayatkan oleh Muslim. Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata dalam kitab Dar’ut-Ta’aarudl Al-‘Aql wan-Naql (1/254) : “Jalan yang ditempuh salaf dan para imam adalah mereka memelihara makna-makna yang benar lagi diketahui oleh syari’at dan akal, serta memelihara lafadh-lafadh syar’iy. Mereka memahaminya berdasarkan apa yang mereka dapatkan dari jalan tersebut. Barangsiapa berbicara sesuatu yang mengandung makna bathil yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka membantahnya. Dan barangsiapa berbicara dengan lafadh baru/diada-adakan yang mempunyai kemungkinan benar dan salah, mereka juga menisbatkannya kepada kebid’ahan. Mereka (salaf) berkata : ‘Ia melawan kebid’ahan dengan kebid’ahan juga, serta membantah kebathilan dengan kebathilan juga”.
Aku katakan : Dalam statement ini terdapat penjelasan tentang perkara-perkara yang agung lagi penting yang ditempuh as-salafush-shaalih untuk menjaga agama mereka yang haq, serta melindungi dari bencana bid’ah dan kekeliruan; diantaranya:
1 - شدة حذرهم من البدع ومراعاتهم للألفاظ والمعاني الصحيحة المعلومة بالشرع والعقل، فلا يعبرون - قدر الإمكان - إلا بالألفاظ الشرعية ولا يطلقونها إلا على المعاني الشرعية الصحيحة الثابتة بالشرع المحمدي
2 - أنهم حراس الدين وحماته، فمن تكلم بكلام فيه معنى باطل يخالف الكتاب والسنة ردوا عليه، ومن تكلم بلفظ مبتدع يحتمل حقاً وباطلاً نسبوه إلى البدعة ولو كان يرد على أهل الباطل، وقالوا: إنما قابل بدعة ببدعة أخرى، ورد باطلا بباطل، ولو كان هذا الراد من أفاضل أهل السنة والجماعة، ولا يقولون ولن يقولوا يحمل مجمله على مفصله لأنا نعرف أنه من أهل السنة، قال شيخ الإسلام -بعد حكاية هذه الطريقة عن السلف والأئمة- : "ومن هذا القصص المعروفة التي ذكرها الخلال في كتاب "السنة"هو وغيره في مسألة اللفظ والجبر".
1.    Peringatan keras mereka (salaf) terhadap bid’ah, dan penjagaan mereka terhadap lafadh-lafadh dan makna-makna yang benar lagi diketahui dengan syari’at dan akal. Mareka tidak menganggap/menerima – sebisa mungkin - , kecuali lafadh-lafadh syar’iy; dan tidak memutlakkannya kecuali pada makna yang syar’iy, benar, lagi sah berdasarkan syari’at Muhammad .
2.    Mereka adalah para penjaga dan pemelihara agama. Barangsiapa mengucapkan satu perkataan yang mengandung makna bathil yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka membantahnya. Barangsiapa yang mengucapkan lafadh baru/diada-adakanyang mempunyai kemungkinan benar dan salah, mereka menisbatkan orang itu pada kebid’ahan. Dan seandainya orang tersebut (dengan perkataannya) membantah pelaku kebathilan, maka mereka (salaf) berkata : ‘Ia hanyalah melawan kebid’ahan dengan kebid’ahan yang lain, dan membantah kebathilan dengan kebathilan (yang lain)’. Seandainya orang yang membantah tersebut termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah yang memiliki keutamaan, mereka tidak berkata – dan tidak pernah berkata - : ‘Perkataan mujmal (umum)-nya dibawa kepada yang mufashshal (rinci), karena kami mengetahui ia seorang Ahlus-Sunnah’[1]. Syaikhul-Islaam rahimahullah - setelah menyebutkan hikayat ini dari para salaf dan imam – berkata : “Dari hal ini, ada kisah terkenal yang disebutkan Al-Khallaal dalam kitab As-Sunnah dan yang lainnya tentang masalah lafadh dan jabr”.
أقول: يشير -رحمه الله تعالى- إلى تبديع أئمة السنة من يقول: "لفظي بالقرآن مخلوق"لأنه يحتمل حقاً وباطلاً، وكذلك لفظ "الجبر"يحتمل حقاً وباطلاً،
وذكر شيخ الإسلام أن الأئمة كالأوزاعي وأحمد بن حنبل ونحوهما قد أنكروه على الطائفتين التي تنفيه والتي تثبته، وقال رحمه الله: "ويروى إنكار إطلاق "الجبر"عن الزبيدي وسفيان الثوري وعبد الرحمن بن مهدي وغيرهم، وقال الأوزاعي وأحمد وغيرهما: "من قال جبر فقد اخطأ ومن قال لم يجبر فقد أخطأ بل يقال إن الله يهدي من يشاء ويضل من يشاء ونحو ذلك"، وقالوا ليس للجبر أصل في الكتاب والسنة وإنما الذي في السنة لفظ – الجبل- لا لفظ الجبر؛ فإنه قد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لأشج عبد القيس: "إن فيك لخلقين يحبهما الله: الحلم والأناة"فقال: أخلقين تخلقت بهما أم خلقين جبلت عليهما؟، فقال: "بل جبلت عليهما"، فقال: الحمد لله الذي جبلني على خلقين يحبهما الله"، وقالوا: إن لفظ "الجبر"لفظ مجمل ثم بين أنه قد يكون باعتبار حقاً وباعتبار باطلاً، وضرب لكل منهما مثالاً، ثم قال: "فالأئمة منعت من إطلاق القول بإثبات لفظ الجبر أو نفيه، لأنه بدعة يتناول حقاً وباطلاً"،
وقال الذهبي رحمه الله: "قال أحمد بن كامل القاضي: كان يعقوب بن شيبة من كبار أصحاب أحمد بن المعذل، والحارث بن مسكين، فقيهاً سرياً، وكان يقف في القرآن"قال الذهبي: "قلت: أخذ الوقف عن شيخه أحمد المذكور، وقد وقف علي بن الجعد، ومصعب الزبيري، وإسحاق بن أبي إسرائيل، وجماعة، وخالفهم نحو من ألف إمام، بل سائر أئمة السلف والخلف على نفي الخليقة على القرآن، وتكفير الجهمية، نسأل الله السلامة في الدين"، قال أبو بكر المروذي: أظهر يعقوب بن شيبة الوقف في ذلك الجانب من بغداد، فحذر أبو عبد الله منه، وقد كان المتوكل أمر عبد الرحمن بن يحيى بن خاقان أن يسأل أحمد بن حنبل عمن يقلد القضاء، قال عبد الرحمن: فسألته عن يعقوب بن شيبة، فقال: مبتدع صاحب هوى، قال الخطيب: وصفه بذلك لأجل الوقف" [السير (12/478)]، وقدم داود الأصبهاني الظاهري بغداد وكان بينه وبين صالح بن أحمد حَسنٌ، فكلم صالحاً أن يتلطف له في الاستئذان على أبيه، فأتى صالح أباه فقال له: رجل سألني أن يأتيك. قال: ما اسمه؟ قال: داود، قال: من أين؟ قال: من أهل أصبهان، قال: أيّ شيء صنعته؟ قال وكان صالح يروغ عن تعريفه إيَّاه، فما زال أبو عبد الله يفحص عنه حتى فطن فقال: هذا قد كتب إليّ محمد بن يحيى النيسابوري في أمره أنه زعم أن القرآن محدث فلا يقربني، قال: يا أبت ينتفي من هذا وينكره، فقال أبو عبد الله: محمد بن يحيى أصدق منه، لا تأذن له في المصير إليَّ. [تاريخ بغداد (8/374)].
Aku katakan : Beliau (Syaikhul-Islaam) rahimahullah mengisyaratkan pada tabdii’para imam sunnah terhadap orang yang mengatakan ‘lafadhku dengan Al-Qur’an adalah makhluk’. Perkataan tersebut mempunyai kemungkinan benar dan salah sekaligus. Begitu juga lafadh al-jabr yang mempunyai kemungkinan benar dan salah juga.
Syaikhul-Islaam menyebutkan bahwa para imam seperti Al-Auzaa’iy, Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya mengingkari sekelompok orang yang menafikkannya dan menetapkannya. Beliau rahimahullah berkata : “Dan diriwayatkan adanya pengingkaran pemutlakan al-jabrdari Az-Zubaidiy, Sufyaan Ats-Tsauriy, ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dan yang lainnya. Al-Auzaa’iy, Ahmad, dan yang lainnya berkata : ‘Barangsiapa yang mengatakan jabr, maka ia keliru, dan begitu pula barangsiapa yang tidak mengatakan jabr, maka ia pun keliru. Yang seharusnya dikatakan bahwa sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan menyesatkan siapa saja yang Ia kehendaki. Atau yang semisal itu”. Mereka berkata : “Al-jabr itu tidak mempunyai asal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang terdapat dalam As-Sunnah hanyalah lafadh al-jabal, bukan al-jabr. Telah shahih dari Nabi bahwasannya beliau pernah berkata kepada Asyaj ‘Abdil-Qais : “Sesungguhnya dalam dirimu ada dua sifat yang Allah sukai : sifat santun dan tidak tergesa-gesa”. Ia (Asyaj) berkata : “Dua akhlaq yang aku mengusahakannya ataukah Allah ciptakan aku atas dua akhlaq tersebut?”. Beliau bersabda : “Allah yang ciptakan engkau di atas keduanya”. Asyaj berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakanku di atas dua akhlaq yang dicintai Allah”. Mereka berkata : “Sesungguhnya lafadh al-jabr adalah lafadh mujmal (umum) kemudian dijelaskan bahwasannya lafadh itu ada kemungkinan dianggap benar dan salah”. Kemudian beliau (Syaikhul-Islaam) memberikan contoh untuk masing-masingnya, lalu berkata : “Para imam melarang memutlakkan perkataan penetapan lafadh al-jabr atau menafikkannya, karena lafadh tersebut bid’ah yang memiliki kemungkinan benar dan salah”.
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata : “Ahmad bin Kaamil Al-Qaadliy berkata : ‘Ya’quub bin Syaibah termasuk diantara pembesar kalangan murid Ahmad bin Al-Mu’adzdzal dan Al-Haarits bin Miskiin. Ia (Yaquub) seorang faqiih lagi murah hati. Namun ia abstain (tawaqquf) dalam masalah Al-Qur’an”. Adz-Dzahabiy berkata : “Aku berkata : Ia mengambil sikap abstain tersebut dari syaikhnya, yaitu Ahmad (Al-Mu’adzdzal). Begitu juga dengan ‘Aliy bin Ja’d, Mush’ab Az-Zubairiy, Ishaaq bin Abi Israaiil, dan sekelompok ulama lain mengambil sikap abstain dimana mereka menyelisihi seribu imam. Bahkan seluruh imam salaf dan khalaf menafikkan kemakhlukan Al-Qur’an dan mengkafirkan Jahmiyyah. Kami memohon kepada Allah keselamatan dalam agama. Abu Bakr Al-Marruudziy berkata : ‘Ya’quub bin Syaibah menampakkan sikap abstain dalam masalah Al-Qur’an di suatu daerah dekat Baghdad. Maka Abu ‘Abdillah mentahdzirnya. Waktu itu, Al-Mutawakkil memerintahkan ‘Abdurrahmaan bin Yahyaa bin Khaaqaan untuk bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang orang yang bertaqlid dalam masalah qadlaa’. ‘Abdurrahmaan berkata : ‘Maka akupun bertanya kepadanya (Ahmad) tentang Ya’quub bin Syaibah. Ia menjawab : ‘Mubtadi’, pengikut hawa nafsu’. Al-Khathiib berkata : ‘Ahmad menyifatinya demikian dikarenakan sikap abstainnya” [As-Siyar, 12/478]. Daawud Al-Ashbahaaniy Adh-Dhaahiriy pernah tiba di Baghdaad, sedangkan antara dirinya dengan Shaalih bin Ahmad bin Hasan terdapat hubungan baik. Ia (Daawud) berbicara dengan Shaalih meminta izin untuk menemui ayahnnya (Ahmad bin Hanbal). Maka Shaalih mendatangi ayahnya lalu berkata kepadanya : ‘Ada seseorang yang memintaku agar dapat menemuimu’. Ahmad bertanya : ‘Siapa namanya ?’. Shaalih menjawab : ‘Daawud’. Ahmad berkata : ‘Dari mana ia ?’. Shaalih menjawab : ‘Dari penduduk negeri Ashbahaan’. Ahmad berkata : ‘Apa yang telah engkau lakukan terhadap dirinya ?’. Shaalih berusaha menghindar untuk mengenalkan jati diri Daawud sesungguhnya. Abu ‘Abdillah senantiasa menyelidikinya (Daawud) hingga akhirnya paham. Makai a (Ahmad bin Hanbal) berkata : ‘Muhammad bin Yahyaa An-Naisaabuuriy pernah menuliskan surat ini kepadaku tentang keadaannya (Daawud) dimana ia menyangka Al-Qur’an adalah sesuatu yang baru. Jangan dekatkan ia kepadaku’. Shaalih berkata : ‘Wahai ayahku, ia (Daawud) menafikkannya dan mengingkarinya’. Abu ‘Abdillah berkata : ‘Muhammad bin Yahyaa lebih jujur daripadanya. Jangan engkau izinkan ia untuk menemuiku’ [Taariikh Baghdaad, 8/374].
القسم الثالث: من كان من أهل السنة ومعروف بتحري الحق ووقع في بدعة خفية، فهذا إن كان قد مات فلا يجوز تبديعه بل يذكر بالخير، وإن كان حياً فيناصح ويبين له الحق ولا يتسرع في تبديعه، فإن أصر فيبدع، قال شيخ الإسلام ابن تيمية -رحمه الله-: "وكثير من مجتهدي السلف والخلف قد قالوا وفعلوا ما هو بدعة ولم يعلموا أنه بدعة، إما لأحاديث ضعيفة ظنوها صحيحة، وإما لآيات فهموا منها ما لم يرد منها، وإما لرأي رأوه وفي المسألة نصوص لم تبلغهم، وإذا اتقى الرجل ربه ما استطاع دخل في قوله : (ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا)، وفي الحديث: أن الله قال: "قد فعلت"، وبسط هذا له موضع آخر"[معارج الوصول ص:43]، وعلى كل حال لا يجوز إطلاق اشتراط إقامة الحجة لأهل البدع عموماً ولا نفي ذلك والأمر كما ذكرت.
Jenis ketiga : Seorang Ahlus-Sunnah yang terkenal berupaya penuh dalam mencari kebenaran dan kemudian ia terjatuh dalam kebid’ahan yang samar; jika ia telah meninggal, maka tidak boleh men-tabdii’-nya. Akan tetapi disebutkan tentang kebaikan-kebaikannya. Apabila ia masih hidup, maka dinasihati dan dijelaskan padanya kebenaran dan tidak tergesa-gesa dalam men-tabdii’-nya. Apabila dirinya terus melakukan (setelah dinasihati dan diberikan penjelasan), maka baru dibid’ahkan. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : ‘"Banyak mujtahid dari kalangan salaf dan khalaf yang kadang mengatakan dan melakukan kebid'ahan tanpa mereka ketahui bahwa itu adalah bid'ah. Mungkin dikarenakan hadits-hadits lemah yang mereka sangka shahih, pemahaman mereka terhadap ayat tidak sesuai dengan yang dimaksudkan, atau nash-nash dalam masalah tersebut belum sampai kepada mereka. Apabila seseorang bertaqwa kepada Rabb-nya semampunya, maka dirinya masuk dalam firman-Nya : ‘Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah’ (QS. Al-Baqarah : 286). Juga termasuk dalam hadits (qudsiy) bahwasannya Allah berfirman (tentang doa tersebut) : ‘Telah Aku lakukan (yaitu mengampunimu)’. Beliau (Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah) telah menjelaskannya di tempat yang lain” [Ma’aarijul-Wushuul, hal. 43]. Bagaimanapun juga, tidak boleh memutlakkan pensyaratan penegakan hujjah kepada Ahli Bid’ah secara umum dan tidak pula menafikkannya. Duduk perkaranya adalah sebagaimana yang aku jelaskan”
نصيحتي لطلاب العلم أن يعتصموا بالكتاب والسنة وأن ينضبطوا بمنهج السلف في كل ناحية من نواحي دينهم، وخاصة في باب التكفير والتفسيق والتبديع حتى لا يكثر الجدال والخصام في هذه القضايا.
وأوصي الشباب السلفي خاصة بأن يجتنبوا الأسباب التي تثير الأضغان والاختلاف والتفرق، الأمور التي أبغضها الله وحذّر منها، وحذّر منها الرسول الكريم صلى الله عليه وسلم والصحابة الكرام والسلف الصالح، وأن يجتهدوا في إشاعة أسباب المودّة والأخوة فيما بينهم، الأمور التي يحبها الله ويحبها رسوله صلى الله عليه وسلم،
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
كتبه: ربيع بن هادي عمير المدخلي، في 24/رمضان/1424هـ
Nasihatku kepada para penuntut ilmu agar mereka berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah; menetapi manhaj salaf pada semua sisi agama mereka - khususnya dalam takfiir (pengkafiran), tafsiiq (pembfasikan), dan tabdii’(pembid’ahan) – hingga tidak banyak terjadi perdebatan dan permusuhan dalam permasalahan ini.
Dan aku nasihatkan pula kepada pemuda salafiy secara khusus agar mereka menjauhi sebab-sebab yang mengakibatkan kedengkian, perselisihan, dan perpecahan; yang itu merupakan perkara-perkara yang dibenci Allah dan Allah pun memperingatkan darinya (untuk dijauhi). Rasulullah , para shahabat yang mulia, dan as-salafush-shaalih juga memperingatkan darinya. Aku juga nasihatkan agar bersungguh-sungguh untuk menyebarluaskan sebab-sebab kecintaan dan persaudaraan diantara mereka; yang itu merupakan perkara-perkara yang dicintai Allah dan Rasul-Nya .
Washallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Ditulis oleh : Rabii’ bin Haadiy Al-Madkhaliy tanggal 24 Ramadlaan 1424 H.
Saya (Abu-Jauzaa’) berkata:
Abu Haatim dan Abu Zur'ah rahimahumallah berkata saat menjelaskan 'aqiidah Ahlus-Sunnah:
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِرٌ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ كُفْرًا يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ. وَمَنْ شَكَّ فِي كُفْرِهِ مِمَّنْ يَفْهَمُ فَهُوَ كَافِرٌ.
وَمَنْ شَكَّ فِي كَلامِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَوَقَفَ شَاكًّا فِيهِ يَقُولُ: لا أَدْرِي مَخْلُوقٌ أَوْ غَيْرُ مَخْلُوقٍ فَهُوَ جَهْمِيٌّ.
وَمَنْ وَقَفَ فِي الْقُرْآنِ جَاهِلا عُلِّمَ وَبُدِّعَ وَلَمْ يُكَفَّرْ.
“Barangsiapa yang menyangka Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir terhadap Allah yang Maha Agung dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama. Barangsiapa paham namun ragu-ragu akan kekafirannya, maka ia pun kafir.
Barangsiapa yang ragu-ragu tentang Kalamullah ‘azza wa jalla, lalu ia abstain karena ragu dalam hal tersebut seraya berkata : ‘Aku tidak tahu apakah Al-Qur’an adalah makhluk atau bukan makhluk’, maka ia adalah Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah)"
Barangsiapa yang abstain dalam permasalahan Al-Qur’an karena KEJAHILAN, maka ia diajari dan dibid’ahkan tanpa dikafirkan…..” [lihat seluruhnya dalam Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, 1/176-180 no. 321-322].
Perkataan ini menunjukkan bahwa mubtadi’ bisa jadi seorang yang jaahilyang belum sampai kepadanya ilmu dan tegak padanya hujjah. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
و فِي الْجُمْلَةِ مَنْ عَدَلَ عَنْ مَذَاهِبِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَتَفْسِيرِهِمْ إلَى مَا يُخَالِفُ ذَلِكَ كَانَ مُخْطِئًا فِي ذَلِكَ بَلْ مُبْتَدِعًا وَإِنْ كَانَ مُجْتَهِدًا مَغْفُورًا لَهُ خَطَؤُه
“Dan secara umum, barangsiapa yang menyimpang dari madzhab shahabat dan taabi’iin, serta tafsir mereka kepada hal yang menyelisihinya, maka ia adalah orang yang keliru dalam permasalahan tersebut. Bahkan, (bisa jadi) ia seorang mubtadi’ meskipun statusnya mujtahid yang diampuni kesalahannya diampuni oleh Allah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 13/361].
فليس كل مخطىء ولا مبتدع ولا جاهل ولا ضال يكون كافرا بل ولا فاسقا بل ولا عاصيا
“Maka, tidak setiap orang yang bersalah, mubtadi’, jaahil, ataupun sesat otomatis menjadi kafir. Bahkan bisa jadi bukan seorang yang fasik dan bukan pula seorang yang durhaka" [idem, 12/180].
Syaikhul-Islaam rahimahullah menamakan orang yang menyimpang dari manhaj salaf sebagai mubtadi’ meski (kemungkinan) memiliki ‘udzur yang diterima udzurnya. Seorang mubtadi’yang memiliki ‘udzur – menurut beliau rahimahullah – tidak mesti berstatus seorang faasiq.
Di tempat lain beliau rahimahullah berkata:
فَقَدْ يَكُونُ كُلٌّ مِنْ الْمُتَنَازِعَيْنِ مُبْتَدِعًا وَكِلَاهُمَاَ جاهِلٌ مُتَأَوِّل
“Dan kadang dua orang yang berselisih berstatus mubtadi’, yang keduanya sama-sama jaahil muta-awwil” [idem, 23/356].
Syaikhul-Islaam rahimahullah menamakan mubtadi’ meski ia seorang yang jahilyang keliru dalam ta’wil.
Kesimpulan : Tidak semua tabdii’ dipersyaratkan iqaamatul-hujjah, wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – rnn – 01021439/21102017].



[1]   Khusus bagian ini, ada penjelasan lain dari para ulama. Silakan baca artikel Penerapan Kaedah Hamlul-Mujmal ‘alal-Mufashshal dalam Perkataan Manusia Bukan Bid’ah.

Sunnah yang Terlupakan : Membaca Dzikir ‘Alloohummagh-firlii wa tub 'alayya, innaka antat-tawwaabul-ghofuur’

$
0
0
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata:
نا ابْنُ فُضَيْلٍ، وَابْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ هِلالِ بْنِ يَسَافٍ، عَنْ زَاذَانَ، أَنَّهُ قَالَ: نا رَجُلٌ، مِنَ الأَنْصَارِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ فِي دُبُرِ الصَّلاةِ: "اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّائِبُ أَوِ التَّوَّابُ الْغَفُورُ "، مِائَةَ مَرَّةٍ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail dan Ibnu Idriis, dari Hushain, dari Hilaal bin Yasaaf, dari Zaadzaan, bahwasannya ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang laki-laki dari kalangan Anshaar, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah mengucapkan di akhir shalatnya : “Alloohummagh-firlii wa tub 'alayya, innaka antat-tawwaabul-ghofuur (Ya Allah, ampunilah (dosa)-ku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Pengampun)– sebanyak 100 kali” [Al-Musnad no. 943 dan Al-Mushannaf no. 29754].

Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 9/45 no. 9851 dan ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 185 no. 103 serta Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 36083 dari jalan Ibnu Fudlail.
Ibnu Fudlail dan Ibnu Idriis mempunyai mutaba’ah dari Syu’bah sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 5/371 serta An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 9/45 no. 9852 dan dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 185 no. 104 dengan lafadh:
عَنْ زَاذَانَ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَاب النَّبيِّ ﷺ مِنَ الْأَنْصَارِ، قَالَ: قَالَ شُعْبةُ: أَوْ قَالَ: رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَنَّهُ سَمِعَ النَّبيَّ ﷺ فِي صَلَاةٍ وَهُوَ يَقُولُ: "رَب اغْفِرْ لِي، قَالَ شُعْبةُ: أَوْ قَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَتُب عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّاب الْغَفُورُ "، مِائَةَ مَرَّةٍ
Dari Zaadzaan, dari seorang laki-laki Anshaar dari kalangan shahabat Nabi – atau Syu’bah berkata : Seorang laki-laki dari kalangan Anshaar, bahwasannya ia mendengar Nabi dalam shalatnya mengucapkan : “Robbigh-firlii (Wahai Rabbku, ampunilah aku)– Syu’bah berkata : Atau mengucapkan : “Alloohummagh-firlii wa tub 'alayya, innaka antat-tawwaabul-ghofuur (Ya Allah, ampunilah (dosa)-ku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Pengampun)– sebanyak 100 kali”.
Hushain bin ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, Abul-Hudzail Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah namun berubah hapalannya di akhir hayatnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 253 no. 1378].
Sebagian orang ada yang melemahkan riwayat ini dikarenakan faktor ikhtilaath Hushain tersebut. Namun Syu’bah mendengar hadits darinya sebelum masa ikhtilaath-nya, sehingga hadits Syu’bah darinya adalah valid. Dalam kitab Al-‘Ilal disebutkan:
وَسُئِلَ عَنْ حَدِيثِ زَاذَانَ [عَنْ عَائِشَةَ : أن النبي ﷺ قال في دبر الضلاة : اللهم اغفر لي، وتب] عليّ، إنك أنت التواب الغفور. مِائَةَ مَرَّةٍ.
فَقَالَ: يَرْوِيهِ حُصَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَاخْتُلِفَ عَنْهُ:
فَرَوَاهُ خَالِدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ هِلالِ بْنِ يَسَافٍ، عَنْ زَاذَانَ عَنْ، عائشة، عن النبي ﷺ.
ورواه غيره عن حُصَيْنٍ، عَنْ هِلالِ بْنِ يَسَافٍ، عَنْ زَاذَانَ عَنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ عن النبي ﷺ. وهو الصحيح.
“Ia (Ad-Daaraquthniy) pernah ditanya tentang hadits Zaadzaan, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi mengucapkan di akhir shalatnya : Alloohummagh-firlii wa tub 'alayya, innaka antat-tawwaabul-ghofuur (Ya Allah, ampunilah (dosa)-ku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Pengampun)– sebanyak 100 kali.
Ia menjawab : ‘Diriwayatkan oleh Hushain bin ‘Abdirrahmaan, dan terdapat perselisihan riwayat yang berasal darinya.
Khaalid bin ‘Abdillah meriwayatkan dari Hushain, dari Hilaal bin Yasaaf, dari Zaadzaan, dari ‘Aaisyah, dari Nabi .
Dan selain dirinya (Khaalid) meriwayatkan dari Hushain, dari Hilaal bin Yasaaf, dari Zaadzaan, seorang laki-laki kalangan Anshaar, dari Nabi . Riwayat ini shahih” [Al-‘Ilal lid-Daaraquthniy, 14/326-327 no. 3670].
Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 6/200 no. 2603.

Riwayat Syu’bah yang menyebutkan fish-shalaah(di dalam shalat) tentu tidak dipahami dzikir tersebut diucapkan di dalam shalat. Maknanya - wallaahu a'lam - dzikir tersebut dibaca setelah selesai mengerjakan shalat bersama dzikir-dzikir rutin yang lainnya. Saya telah menuliskan pembahasan ringkas dan beberapa contohnya dalam artikel Berdoa Sebelum atau Setelah Salam ? [Makna Duburush-Shalaah].
Semoga kita dimudahkan untuk mengamalkannya.
[abul-jauzaa – rnn – 02021439/22102017]
NB : Sebenarnya ada pembahasan lebih lanjut mengenai sanad dan matan hadits tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abu Ishaaq Ad-Dimyaathiy hafidhahullah berikut:


Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah tentang ‘Udzur Kejahilan

$
0
0
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah ta’alapernah ditanya tentang keadaan seseorang yang kekufuran tanpa ia bermaksud untuk melakukannya, yaitu karena jahil. Apakah ia diberikan udzur baik dalam perkataan, perbuatan, atau tawassul ?
Beliau rahimahullah menjawab :
“Apabila seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya melakukan perbuatan kekufuran atau mempunyai keyakinan kufur karena ketidaktahuannya tentang syari’at yang Allah utus dengannya Rasul-Nya, maka orang ini menurut kami tidak dikafirkan. Kami tidak menghukumi kekafiran kepadanya hingga hujjah risaaliyyah ditegakkan kepadanya yang menyebabkan kekafiran orang yang menyelisihinya.

Apabila telah tegak hujjah padanya dan dijelaskan padanya tentang syari’at yang dibawa oleh Rasulullah , namun ia tetap melakukannya perbuatan kufurnya setelah tegak hujjah padanya; maka dikafirkan. Hal itu disebabkan kekufuran dapat terjadi karena penyelisihan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulillah . Ini adalah disepakati oleh para ulama secara umum.
Para ulama berhujjah dengan firman Allah ta’ala :
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15),
dan juga firman-Nya :
وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا بَلَى وَلَكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ الْعَذَابِ عَلَى الْكَافِرِينَ
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka menjawab: "Benar (telah datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir” (QS. Az-Zumar : 71).
Para ulama juga berdalil dengan hadits shahih yang terdapat dalam kitab Ash-Shahiihain, As-Sunan, dan yang lainnya dari kitab-kitab Islam, yaitu hadits Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya dulu ada seorang laki-laki sebelum kalian berkata kepada anak-anaknya : ‘Apabila aku mati, maka bakarlah jasadku, kemudian sebarkanlah setengah abu jasadku di daratan dan setengah yang lain di lautan. Demi Allah, apabila Allah mempunyai kemampuan untuk membangkitkanku, niscaya Ia akan mengadzabku dengan adzab yang tidak pernah Ia timpakan kepada seoragpun’. Maka Allah memerintahkan lautan untuk mengumpulkan abu jasadnya, dan Allah pun memerintahkan daratan untuk mengumpulkan abu jasadnya, lalu Ia berfirman terhadapnya : ‘Kun (jadilah – maka jadilah). Ketika laki-laki itu berdiri (setelah Allah bangkitkan), Allah ta’ala bertanya kepadanya : ‘Apa yang menyebabkan engkau melakukannya ?’. Laki-laki itu berkata : ‘Karena rasa takut dan khawatirku kepada-Mu’. Dan semua yang ia lakukan Allah mengampuninya’.
Orang ini berkeyakinan apabila ia melakukan perbuatannya itu Allah tidak mampu membangkitkannya; karena kebodohannya. Bukan karena kekufuran maupun penentangan. Ia ragu akan kemampuan Allah untuk membangkitkannya. Bersamaan dengan ini, Allah mengampuninya dan memberikan rahmat kepadanya. Setiap orang yang sampai kepadanya Al-Qur’an, maka hujjah telah tegak kepadanya dengan diutusnya Rasulullh . Akan tetapi orang jahil membutuhkan orang yang memberitahukan kepadanya tentang hal tersebut dari kalangan ulama, wallaahu a’lam” [Ad-Durarus-Saniyyah, 10/239-240].


Masih dalam kitab yang sama di halaman 273-274 disebutkan pertanyaan tentang orang yang meninggal di atas tauhid, menegakkan rukun Islam yang lima, dan rukun iman yang enam; akan tetapi ia berdoa menyeru (kepada selain Allah), bertawassul dalam doanya apabila berdoa kepada Rabbnya, menghadap ke (makam) nabinya dalam doanya karena bersandar pada dua hadits yang kami telah kamu sebutkan, atau karena jahil terhadap (hukum) masalah tersebut; bagaimana hukum atas mereka ?
Dijawab:
Telah lewat penjelasan tentang masalah permintaan kepada mayit dan istighatsah, dan telah kami jelaskan perbedaan antara dua hal itu dengan bertawassul dengannya dalam doa. Permintaan kepada mayit dan beristighatsah kepadanya untuk memenuhi hajat dan menghilangkan berbagai kesulitan/kesusahan termasuk syirik akbar yang diharamkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya . Kitab-kitab ilahiyyah dan dakwah-dakwah nabawiyyah bersepakat dalam pengharamannya, pengkafiran pelakunya, berlepas diri darinya, dan permusuhan terhadapnya.
Akan tetapi di zaman fatrah dan meratanya (mendominasinya) kejahilan/kebodohan; seseorang tidak dikafirkan secara personal (mu’ayyan) dengan sebab itu hingga tegak kepadanya hujjah risaliyyah, dijelaskan kepada (hujjah tersebut) dan diberitahukan bahwa perbuatan itu termasuk syirik akbar yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Apabila sampai kepadanya hujjah serta dibacakan kepadanya ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits nabawi, lalu ia berkeras terus melakukan kesyirikannya, makai a kafir. Lain halnya dengan orang yang jahil dan belum dijelaskan (hujjah) kepadanya tentang permasalahan tersebut. Orang yang jahil, perbuatannya kufur, namun orangnya tidak dihukumi dengan kekafiran kecuali setelah sampai kepadanya hujjah. Apabila hujjah telah tegak padanya, namun kemudian ia terus berkeras dalam kesyirikannya, makai a kafir. Meskipun ia mengucapkan persaksian laa ilaha illallaah wa anna Muhammadan rasuulallah, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, dan beriman terhadap rukun iman yang enam…….. [idem, 10/273-274].




Berisyarat ke Langit

$
0
0
Tempo hari beredar sebuah rekaman drama dari seseorang dengan para figuran membahas permasalahan ‘dimanakah Allah’. Banyak retorika disampaikan - tanpa dalil - hingga jatuh pada satu kesimpulan implisit/eksplisit : keliru orang yang mengatakan Allah berisitiwaa’ di atas langit di atas ‘Arsy, dan keliru pula jika ada orang yang berisyarat dengan tangan atau anggota tubuh lainnya ke atas (Allah di atas langit).
Berikut akan saya sampaikan beberapa riwayat yang menunjukkan Allah di atas langit serta ketetapan bolehnya berisyarat ke atas.

1.    Riwayat dari Nabi .
Abu Daawud As-Sijistaaniy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ الْجَوْزَجَانِيُّ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أَخْبَرَنِي الْمَسْعُودِيُّ، عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: "أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ ﷺ بِجَارِيَةٍ سَوْدَاءَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً، فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللَّهُ ؟، فَأَشَارَتْ إِلَى السَّمَاءِ بِأُصْبُعِهَا، فَقَالَ لَهَا: فَمَنْ أَنَا؟، فَأَشَارَتْ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ وَإِلَى السَّمَاءِ، يَعْنِي أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Ya’quub Al-Juuzajaaniy : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Al-Mas’uudiy, dari ‘Aun bin ‘Abdillah, dari ‘Abdullah bin ‘Utbah, dari Abu Hurairah : Bahwasannya ada seorang laki-laki mendatangi Nabi dengan membawa budak wanitanya yang berkulit hitam. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki kewajiban untuk memerdekan budak yang mukmin”. Maka beliau berkata kepada budak tersebut : “Dimanakah Allah?”. Lalu budak tersebut berisyarat ke langit dengan jarinya. Beliau melanjutkan : “Siapakah diriku?”. Budak itu berisyarat kepada Nabi dan (berisyarat) ke langit. Yaitu maksudnya : ‘engkau adalah Rasulullah (utusan Allah). Setelah itu beliau bersabda : “Bebaskanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang wanita mukminah (beriman)” [As-Sunan no. 3287].
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 7/388 no. 15268, semuanya dari Yaziid bin Haaruun dari Al-Mas’uudiy dari ‘Aun bin ‘Abdillah, dari ‘Abdullah bin ‘Utbah.
Diriwayatkan juga Ahmad 2/291, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 284-285, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 653, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 9/115, Ibnu Qudaamah Al-Maqdiisiy dalam Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw hal. 72-74; namun ‘Aun meriwayatkan dari saudaranya yang bernama ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah (bin ‘Utbah) dari Abu Hurairah.
Perbedaan syaikh dari ‘Aun ini dikarenakan faktor Al-Mas’uudiy, seorang yang shaduuq, namun mengalami ikhtilaathsebelum meninggalnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 586 no. 3944]. Namun yang benar di sini adalah ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah (saudara ‘Aun) sebagaimana akan dijelaskan pada penjabaran di bawah.
Aun bin ‘Abdillah bin ‘Utbah; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 758 no. 5258]. ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’uud Al-Hudzaliy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi tsabt [Taqriibut-Tahdziib, hal. 640 no. 4338].
Periwayatan Yaziid bin Haaruun memiliki mutaba’aat dari:
‘Aashim bin ‘Aliy sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Usaamah dalam Bughyatul-Baahits1/160 no. 15, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 283-284, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah.
‘Abdullah bin Rajaa’ sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath3/95 no. 2598 (Majma’ul-Bahrain 4/83-84 no. 2134), dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah
Asad bin Muusaa sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 12/521 no. 4990, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 285-286, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah.
Abu Daawud Ath-Thayaaliisiy sebagaimana diriwayatkan oleh Syarh Musykiilil-Aatsaar 12/521 no. 4990, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiidhal. 286-287dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah.
Dari kelima orang perawi yang meriwayatkan hadits dari Al-Mas’uudiy ini perlu diteliti, mana diantara mereka yang meriwayatkan setelah dan sebelum masa ikhtilaath-nya. Ahmad bin Hanbal berkata tentang Al-Mas’uudiy : “Tsiqah, banyak haditsnya. Dirinya mengalami ikhtilaath di Baghdaad. Barangsiapa yang mendengar riwayat darinya di Kuufah dan Bashrah, maka periwayatannya jayyid(baik)”. Ahmad juga berkata : “Penyimakan ‘Aashim bin ‘Aliy dan orang-orang tersebut dari Al-Mas’uudiy setelah dirinya mengalami ikhtilaath”. Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair berkata : “Al-Mas’uudiy tsiqah. Ketika di akhir usianya, ia mengalami ikhtilaath. ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy dan Yaziid bin Haaruun mendengar hadits-hadits yang mengalami ikhtilaath. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan para syuyuukh (senior) darinya, maka ia lurus”. Muslim bin Qutaibah menjelaskan bahwa Ath-Thayaaliisiy meriwayatkan dari Al-Mas’uudiy setelah masa ikhtilaath-nya.
Di sini dapat diketahui bahwa Yaziid bin Haaruun, ‘Aashim bin ‘Aliy, dan Abu Daawud Ath-Thayaalisiy adalah perawi yang meriwayatkan setelah masa ikhtilaath.
Berdasarkan perkataan para ulama tersebut di atas, Ibnu Kayyaal rahimahullah mengidentifikasi para perawi haditsnya diterima dalam periwayatannya dari Al-Mas’uudiy sebelum masa ikhtilaathselama berada di Kuufah dan Bashrah, yang salah satu diantaranya adalah ‘Abdullah bin Rajaa’. Adapun Asad bin Muusaa, maka dirinya adalah penduduk kota Bashrah [selengkapnya : Al-Mukhtalithiin – beserta komentar muhaqqiq-nya – hal. 72-73 no. 28 dan Al-Kawaakibun-Niiraats hal. 282-298 no. 35].
Oleh karena itu, riwayat dari jalan ini adalah shahih.[1]Adz-Dzahabiy rahimahullah mengatakan : “Sanadnya hasan” [Al-‘Ulluw, hal. 17].
‘Aun bin ‘Abdillah memiliki mutaba’ah dari Az-Zuhriy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 287-288. Namun riwayat ini keliru sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khuzaimah, dimana kekeliruan ini berasal dari Al-Husain bin Al-Waliid [idem, hal. 287]. Yang benar, hadits tersebut adalah hadits salah seorang shahabat Anshaar (mubham), bukan hadits Abu Hurairah.
‘Abdullah bin ‘Utbah memiliki mutaba’ah dari Abu Salamah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 1/29 no. 38 (berisyarat dengan tangan), Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 12//522 no. 4991 (tanpa menyebutkan isyarat), Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 283-284 (isyarat dengan mengangkat kepala), Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 693 (isyarat mengangkat kepala), dan Ibnul-Atsiir dalam Usudul-Ghaabah 4/70 (mengangkat tangan).
Faedah : Hadits ini menunjukkan taqriir (penetapan) Nabi atas jawaban dan isyarat budak wanita itu dengan menunjukkan tangannya ke atas langit.
2.    Riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ قَيْسٍ، قَالَ: لَمَّا قَدِمَ عُمَرُ الشَّامَ اسْتَقْبَلَهُ النَّاسُ وَهُوَ عَلَى الْبَعِيرِ، فَقَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَوْ رَكِبْتَ بِرْذَوْنًا يَلْقَاكَ عُظَمَاءُ النَّاسِ وَوُجُوهُهُمْ، فَقَالَ عُمَرُ: لَا أَرَاكُمْ هَاهُنَا، إِنَّمَا الْأَمْرُ مِنْ هُنَا وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى السَّمَاءِ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau mengendarai birdzaun (sejenis kuda yang bukan berasal dari Arab), niscaya para pembesar dan tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya ke langit” [Al-Mushannaf, 13/40 (11/577) no. 34418].
Diriwayatkan juga di kitab yang sama 13/263 (12/186) no. 35446 dan darinya Ibnu Qudaamah Al-Maqdiisiy dalam Itsbaatu Shifatil-‘Ulluw hal. 149 no. 56, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 1/47. Ibnu Abi Syaibah mempunyai mutaba’ah dari Muhammad bin Abaan Al-Balkhiy sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 399.
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata : “Sanadnya seperti matahari” [Al-'Ulluw, hal. 62]. Maksudnya : Sangat shahih.
Faedah : Perintah di sini maksudnya adalah perintah Allah ta’ala. Isyarat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu dengan tangannya ke langit menunjukkan asal dari perintah datang, yaitu dari Allah ta’ala yang ada di atas langit.
3.    Riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
Ath-Thabaraaniy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ الصَّائِغُ، ثنا أَبُو مُصْعَبٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَارِثِ الْجُمَحِيُّ، ثنا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، قَالَ: مَرَّ ابْنُ عُمَرَ بِرَاعِي غَنَمٍ، فَقَالَ: "يَا رَاعِيَ الْغَنَمِ هَلْ مِنْ جَزْرَةٍ؟ "قَالَ الرَّاعِي: لَيْسَ هَا هُنَا رَبُّهَا، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: "تَقُولُ: أَكَلَهَا الذِّئْبُ "، فَرَفَعَ الرَّاعِي رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ، ثُمَّ قَالَ: فَأَيْنَ اللَّهُ ؟ قَالَ ابْنُ عُمَرَ: "فَأَنَا وَاللَّهِ أَحَقُّ أَنْ أَقُولَ: فَأَيْنَ اللَّهُ؟ "فَاشْتَرَى ابْنُ عُمَرَ الرَّاعِي وَاشْتَرَى الْغَنَمَ، فَأَعْتَقَهُ وَأَعْطَاهُ الْغَنَمَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Nashr Ash-Shaaigh : Telah menceritakan kepada kami Abu Mush’ab : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Haarits Al-Jumahiy : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Aslam : (Suatu ketika) Ibnu ‘Umar melewati seorang penggembala kambing, lalu ia berkata kepadanya : “Wahai penggembala, apakah ada hewan yang dapat dipotong/disembelih?”. Penggembala menjawab : “Pemiliknya tidak ada di sini”. Ibnu ‘Umar berkata : “Katakan saja (kepadanya) dimakan serigala”. Maka penggembala tersebut mengangkat kepalanya ke langit lalu berkata : “Lantas dimana Allah?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Dan aku – demi Allah – lebih berhak untuk mengatakan ‘Lantas dimanakah Allah?”. Maka Ibnu ‘Umar membeli penggembala tersebut (karena statusnya bidak) dan sekaligus membeli kambingnya (dari pemiliknya), lalu membebaskannya dan memberikan kambing itu kepadanya [Al-Mu’jamul-Kabiir, 12/263 no. 13054].
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 11/102-103 no. 8250 dari jalan Muhammad bin Nashr Ash-Shaaigh.
Sanad riwayat ini hasan.
Muhammad bin Nashr Ash-Shaaigh seorang yang shaduuq, ahli ibadah, dan ahli qira’at [Irsyaadul-Qaashiy wad-Daaniy, hal. 623-624]. Abu Mush’ab, ia adalah Ahmad bin Abi Bakr bin Al-Haarits, Abu Mush’ab Az-Zuhriy; seorang yang shaduuq, atau bahkan tsiqah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 87 no. 17 dan Tahriirut-Taqriib, 1/58 no. 17]. ‘Abdullah bin Al-Haarits Al-Jumahiy; seorang yang shaduuq [Taqriibut-Tahdziib, hal. 498 no. 3281]. Zaid bin Aslam, seorang yang tsiqah lagi ‘aalim [idem, hal. 350 no. 2129].
Zaid bin Aslam mempunyai mutaba’ah dari :
Naafi’sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud dalam Az-Zuhd no. 306, Ibnu Abid-Dunyaa dalam Qisharul-Amal no. 187, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 4908, Ibnu Atsiir dalam Usudul-Ghaabah 3/43, Abu Nu’aim dalam Al-Arba’iin no. 14, serta Ibnul-Jauziy dalam Shifatush-Shafwah no. 615 dan dalam At-Tabshirah no. 237;
Asy-Sya’biysebagaimana diriwayatkan oleh Al-Balaadzuuriy dalam Ansaabul-Asyraf 10/452.
Faedah : Penggembala kambing itu tahu bahwa Allah ta’ala Maha Melihat dan Mengetahui semua perbuatan hamba-Nya. Dia Tinggi di atas langit beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya, sedangkan ilmu-Nya meliputi semua tempat. Tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya.
4.    Riwayat ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy rahimahullah
Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو حَفْصٍ، قَالَ: نا أَبُو جَعْفَرٍ، قَالَ: نا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: نا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلادٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ، "إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ أَمْرُ جَهْمٍ، وَأَمْرُ بِشْرٍ يَعْنِي الْمَرِّيسِّي قَالَ: تَدْرِي إِلَى أَيِّ شَيْءٍ يَذْهَبُونَ؟ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ، وَيُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى السَّمَاءِ، أَيْ: لَيْسَ إِلَهٌ
Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Khallaad, ia berkata : Aku mendengar 'Abdurrahmaan bin Mahdiy apabila disebutkan di sisinya perkara Jahm dan Bisyr Al-Mariisiy, ia berkata : "Tahukah engkau apa yang akan mereka tuju ?. Yaitu kepada pendapat bahwasannya - sambil ia (Ibnu Mahdiy) berisyarat dengan tangannya ke langit - (Dzat yang ada di langit) bukan tuhan" [Al-Ibaanah(Ar-Radd 'alal-Jahmiyyah) 2/94-95 no. 327].
Sanad riwayat ini hasan atau shahih.
Abu Hafsh adalah ‘Umar bin Muhammad bin Rajaa’, Abu Hafsh Al-‘Ukbariy, seorang yang shaduuq[Taariikh Baghdaad, 13/93 no. 5934]. Abu Ja’far adalah Muhammad bin Daawud bin Shubaih, Abu Ja’far Al-Mishshiishiy; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan [Taqriibut-Tahdziib, hal. 843 no. 5906]. Abu Bakr adalah Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaaj Al-Marruudziy – murid Al-Imaam Ahmad bin Hanbal yang terkenal - ; seorang imam, tsiqah, lagi faqiih [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13/173 no. 103]. Abu Bakr bin Khallaad adalah Muhammad bin Khallaad bin Katsiir Al-Baahiliy, Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 842 no. 5902].
Faedah : ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy rahimahumallah mengingkari pendapat rusak Jahm dan Bisyr Al-Mariisiy yang mengkonsekuensikan Allah yang ada di atas langit bukan tuhan yang disembah; padahal Dia-lah Allah Yang Maha Tinggi, tuhan semesta alam.
Jika demikian, apakah layak ada pengingkaran terhadap orang yang menetapkan 'aqidah Allah di atas langit seraya berisyarat dengan tangan atau anggota badan lain (misalnya : kepala sebagaimana riwayat di atas) ?. Bukan satu keharusan untuk menunjuk-nunjuk ke atas seperti skenario acting dagelan Anda, tapi ini hanya sekedar kebolehan untuk penegasan tentang 'aqidah ini.
Saya khawatir Anda ditimpa kekafiran karena menyelisihi nash, ijmaa’, fithrah, dan akal sehat.
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ صَالِحِ بْنِ هَانِئٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ، يَقُولُ: مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ قَدِ اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ
Aku mendengar Muhammad bin Shaalih bin Haani’ berkata : Aku mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata : “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Abdillah Al-Haakim dalam Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits hal. 84; shahih].
Apalagi ditambah perkataan level badut yang menyamakan dengan ‘tuhan Yahudi atau Nashrani. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Terlalu, meminjam kata dari Bang Haji. Saya hanya berpesan, bertaubatlah kepada Allah dari perkataan Anda. Mari terus belajar (yang giat). Masalah sifat duduk (juluus), saya telah menuliskannya dalam dua artikel Sifat Duduk (Juluus) – 1 dan Sifat Duduk (Juluus) – 2.
Sebagai pengayaan, silakan baca juga artikel :
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
NB : Salam buat para figuran, aktingnya lumayan.
[abul-jauzaa’ – dps – 16012018].




[1]   Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Mukhtashar Al-‘Ulluw hal. 81-82 dan Al-Arna’uth dalam takhriij-nya terhadap Syarh Musykiilil-Aatsaar 12/521 mendlaifkannya dengan sebab ikhtilaathAl-Mas’uudiy. Namun yang benar – wallaahu a’lam– adalah dengan melakukan perincian sebagaimana dijelaskan di atas.

Pembahasan Ta'liil Hadits Sumpah

$
0
0
Dalam kitab Al-‘Ilal karya Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim rahimahullahdisebutkan:
وسألتُ أَبِي عَنْ حديثٍ رَوَاهُ معاوية بْن سَلاَّم، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عِكْرِمَة، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النبيِّ ﷺ قَالَ: مَنِ اسْتَلَجَّ بِيَمِينٍ فِي أَهْلِهِ، فَهُوَ أَعْظَمُ إِثْمًا، لَيْسَ الكَفَّارَةَ ؟
قَالَ أَبِي: رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ مَعْمَر ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِير، عَنْ عِكْرِمَة- فِي قَوْلِهِ: {وَلاَ تَجْعَلُوا اللَّهَ عُرْضَةً لأِيْمَانِكُمْ} -: وقد قال رسولُ الله ﷺ : لاَ يَسْتَلِجَّ أَحَدُكُمْ بِاليَمِينِ فِي أَهْلِهِ، فَهُوَ آثَمُ لَهُ عِنْدَ اللهِ مِنَ الكَفَّارَةِ الَّتي أُمِرَ بِهَا.
فقلت ُ لأَبِي: أيُّهما أصَحُّ؟
فَقَالَ : لا أعلَمُ أَحَدًا وصلَهُ غيرَ معاويةَ ابنِ سَلاَّم، ومَعْمَرٌ أشهرُ وأحبُّ إليَّ من معاوية ابن سَلاَّم

Dan aku (Ibnu Abi Haatim) pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan oleh Mu’aawiyyah bin Sallaam, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari ‘Ikrimah, dari Nabi , beliau bersabda : ‘Barangsiapa yang bersikeras dengan sumpahnya sehingga memberikan mudlarat kepada keluarganya, maka itu lebih besar dosanya daripada membayar kaffaarat? “.
Ayahku menjawab : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ma’mar, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya : ‘Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan’ (QS. Al-Baqarah : 224). Rasulullah bersabda : ‘Janganlah salah seorang diantara kalian bersikeras dengan sumpahnya sehingga memberikan mudlarat kepada keluarganya, karena itu lebih besar dosanya daripada membayar kaffarat yang telah Allah perintahkan dengannya”.
Aku bertanya kepada ayahku : “Mana diantara keduanya yang lebih shahih ?”.
Ayahku menjawab : “Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyambungkan sanadnya (kepada Nabi ) selain Mu’aawiyyah bin Sallaam; sedangkan Ma’ma’ lebih masyhur dan lebih aku sukai dibandingkan Mu’aawiyyah bin Sallaam”.
[Al-‘Ilal, 4/156-157 no. 1330].
Riwayat yang ditanyakan Ibnu Abi Haatim kepada ayahnya adalah riwayat yang dibawakan Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya:
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ، عَنْ يَحْيَى، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنِ اسْتَلَجَّ فِي أَهْلِهِ بِيَمِينٍ، فَهُوَ أَعْظَمُ إِثْمًا لِيَبَرَّ، يَعْنِي: الْكَفَّارَةَ "
Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Mu’aawiyyah, dari Yahyaa, dari ‘Ikrimah, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah :  “ ……. (al-hadits)…..” [no. 6626].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata : “Begitulah sanad yang dibawakan Mu’aawiyyah bin Sallaam, dan ia diselisihi oleh Ma’mar yang meriwayatkan dari Yahyaa bin Abi Katsiir dengan memursalkannya. Ia tidak menyebutkan dalam sanadnya Abu Hurairah. Diriwayatkan oleh Al-Ismaa’iiliy dari jalan Ibnul-Mubaarak dari Ma’mar, akan tetapi ia (Ma’mar) menyampaikannya dengan lafadh riwayat Hammaam dari Abu Hurairah. Dan itu kekeliruan yang berasal dari Ma’mar. Maka apabila ia tidak dlabth terhadap matannya, bukan hal yang mengherankan apabila dirinya tidak dlabth terhadap sanadnya” [Fathul-Baariy, 11/519].
Mursal yang dimaksudkan Abu Haatim diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf8/497 no. 16037 dan dalam Tafsiir-nya no. 270.
Adapun riwayat Ma’mar dari Hammaam dari Abu Hurairah yang diisyaratkan Ibnu Hajar adalah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 2625 dan Muslim no. 1655 yang lafadhnya :
وَاللَّهِ لَأَنْ يَلَجَّ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ فِي أَهْلِهِ آثَمُ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ أَنْ يُعْطِيَ كَفَّارَتَهُ الَّتِي فَرَضَ اللَّهُ
Demi Allah, salah seorang dari kalian bersikeras dengan sumpahnya sehingga memberikan mudlarat kepada keluarganya, maka itu lebih berdosa baginya di sisi Allah daripada (jika) ia membayar kafarat yang telah diwajibkan Allah”.
Faedah :
1.    Isyarat dari seorang ulama kritikus hadits tentang penyendirian seorang perawi yang menyambungkan (memaushulkan) hadits dimana selain dirinya membawakan secara mursal, maka tidak selamanya bermakna menta’lil jalur maushul tersebut dan mengedepankan jalur mursal. Bahkan seandainya ulama kritikus hadits tersebut secara jelas mengedepankan jalur mursal, maka penghukuman itu untuk dirinya dan tidak dapat berlaku secara menyeluruh sebagaimana hal itu ditemui pada sebagian muqallid bab ‘ilal. Dapat dilihat di sini, Al-Bukhaariy mengambil jalur maushul dari Mu’aawiyyah, sedangkan Abu Haatim condong pada jalur mursal dari Ma’mar.
2.    An-Nawawiy rahimahullah berkata:
ومعنى الحديث: أنه إذا حلف يمينًا تتعلَّق بأهله، ويتضرَّرون بعدم حِنْثه، ويكون الحِنْثُ ليس بمعصية؛ فينبغي له أن يَحنَثَ، فيفعلَ ذلك الشيء، ويكفِّر عن يمينه، فإن قال: لا أحنَثُ بل أتورَّع عن ارتكاب الحِنْث، وأخافُ الإثم؛ فهو مُخطِئ بهذا القول، بل استمرارُهُ في عدم الحِنْث وإدامةُ الضَّرر على أهله أكثرُ إثمًا من الحِنْث
“Makna hadits tersebut bahwa seandainya seseorang bersumpah yang berhubungan dengan keluarganya yang mengkonsekuensikan mudlarat bagi mereka apabila dirinya tidak membatalkan sumpahnya; maka apabila ia membatalkan sumpahnya tersebut bukan terhitung maksiat. Hendaknya orang tersebut membatalkan sumpahnya, melakukan perkara yang mesti dilakukan (dengan pembatalan sumpah tersebut), serta membayar kaffarat sumpahnya. Apabila ia berkata : ‘Aku tidak akan membatalkan sumpahku, aku menahan diri agar tidak terjerumus membatalkan sumpah, dan aku takut dosa (yang diakibatkannya)’ ; maka orang tersebut keliru dengan perkataannya tersebut. Bahkan terus-menerus dalam keadaan tidak membatalkan sumpah dan melestarikan mudlarat yang menimpa keluarganya lebih banyak dosanya dibandingkan membatalkan sumpah” [Syarh Shahiih Muslim, 11/123 – syamilah].
Wallaahu a’lam.

Referensi : Kitaabul-‘Ilal, isyraaf : Dr. Sa’d bin ‘Abdillah Al-Humaid dan Dr. Khaalid bin ‘Abdirrahmaan Al-Juraisiy dan artikel dalam kulalsalafiyeen].

Faedah Ibadah

$
0
0
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah menjelaskan:
“Sebagian orang ketika berkata tentang faedah berbagai macam ibadah, mereka mengalihkannya kepada faedah-faedah keduniaan.
Seperti misal, (ketika) mereka berkata tentang faedah shalat adalah untuk olah raga dan bermanfaat bagi kesehatan syaraf. Puasa memiliki faedah dalam hal menghilangkan kelembaban dan mengatur berbagai kewajiban.

Padahal yang seharusnya adalah kita tidak menjadikan faedah-faedah duniawi itu sebagai pokok, karena Allah tidak menyebutkannya dalam Kitab-Nya. Yang Allah sebutkan bahwasannya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar. Ketika Allah menyebutkan tentang puasa, maka hal itu menjadi sebab ketaqwaan. Oleh karenanya, faedah secara agama (diiniyyah) menjadi pokok, sedangkan faedah duniawi sebagai penyertanya (sekunder) saja. Akan tetapi, ketika kita berbicara kepada khalayak manusia, kita berbicara kepada mereka dari sisi agama (diiniyyah); sedangkan ketika kita berbicara kepada golongan orang yang tidak merasa puas kecuali dengan sesuatu yang bersifat kongkrit/fisik, maka kita berbicara kepadanya dari sisi agama (diiniyyah) dan duniawi sekaligus. Setiap tempat ada perkataan yang sesuai”
[selesai]

Referensi : Al-Qaulul-Mufiid 'alaa Kitaabit-Tauhiid oleh Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimiin, 2/245.



Ta’liil Hadits Berbekam di Masjid

$
0
0
Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، قَالَ: كَتَبَ إِلَيَّ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ يُخْبِرُنِي، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ احْتَجَمَ فِي الْمَسْجِدِ ، قُلْتُ لِابْنِ لَهِيعَةَ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهِ؟ قَالَ: لَا، فِي مَسْجِدِ الرَّسُولِ ﷺ
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin 'Iisaa : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii'ah, ia berkata : Muusaa bin 'Uqbah pernah menuliskan kepadaku seraya mengkhabarkanku dari Busr bin Sa'iid, dari Zaid bin Tsaabit : Bahwasannya Rasulullah pernah berbekam di masjid (ihtajama fil-masjid). Perawi (Ishaaq) bertanya kepada Ibnu Lahii'ah : "Di masjid rumahnya ?". Ia menjawab : "Bukan, di masjid Rasulullah " [Al-Musnad, 5/185].

Dalam hadits tersebut, tertulis 'ihtajama fil-masjid'(berbekam di masjid), sehingga sebagian fuqahaa' berdalil dengan hadits ini bolehnya berbekam di masjid.
Namun hadits ini telah dikritik para ulama ahli hadits. Para ulama menjelaskan hadits tersebut mengalami tashhiif, yaitu tertulis 'ihtajama fil masjid’ (احْتَجَمَ فِي الْمَسْجِدِ) yang seharusnya 'ihtajara fil-masjid' (membuat kamar/ruangan di masjid).
Ath-Thahawiy rahimahullah membawakan riwayat:
حَدَّثَنَا ابْنُ مَرْزُوقٍ، وَعَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالا: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا النَّضْرِ يُحَدِّثُ، عَنْ ْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ احْتَجَرَ حُجْرَةً فِي الْمَسْجِدِ مِنْ حَصِيرٍ، فَصَلَّى فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لَيَالِيَ، حَتَّى اجْتَمَعَ إِلَيْهِ نَاسٌ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Marzuuq dan 'Aliy bin 'Abdirrahmaan, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami 'Affaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin 'Uqbah, ia berkata : Aku mendengar Abun-Nadlr menceritakan dari Busr bin Sa'iid, dari Zaid bin Tsaabit : Bahwasannya Nabi membuat sebuah kamar/ruang khusus di masjid (ihtajara fil-masjid) dari tikar jerami. Lalu Rasulullah shalat di dalamnya beberapa malam hingga manusia berkumpul kepada beliau (untuk bermakmum shalat)...." [Syarh Ma'aanil-Aatsaar no. 1307].
Di sini ada perbedaan sanad dan sekaligus matannya. Ibnu Lahii'ah dalam hadits pertama membawakan dengan sanad dari Muusaa bin 'Uqbah, dari Busr bin Sa'iid, dari Zaid bin Tsaabit; dan dengan lafadh ihtajama fil-masjid. Sementara itu Wuhaib - dan ia seorang yang tsiqahlagi tsabat - meriwayatkan dari Muusaa bin 'Uqbah, dari Abun-Nadlr, dari Busr bin Sa'iid, dari Zaid bin Tsaabit; dan dengan lafadh ihtajara fil-masjid.
Wuhaib jauh lebih terpercaya dibandingkan Ibnu Lahii'ah, sehingga sanad dan matan yang benar adalah hadits yang dibawakan Wuhaib. Dalam hal ini, Muusaa bin 'Uqbah yang meriwayatkan dari Abun-Nadlr dengan lafadh 'ihtajara' memiliki mutaba'ah dari 'Abdullah bin Sa'iid (Ibnu Abi Hind), seorang yang tsiqah.
Oleh karena itu, tidak ragu lagi Ibnu Lahii'ah keliru dalam membawakan riwayat Zaid bin Tsaabit. Muslim bin Al-Hajjaaj rahimahumallahmengomentari riwayat Ibnu Lahii'ah dengan perkataannya:
وَهَذِهِ رِوَايَةٌ فَاسِدَةٌ مِنْ كُلِّ جِهَةٍ، فَاحِشٌ خَطَؤُهَا فِي الْمَتْنِ وَالإِسْنَادِ جَمِيعًا، وَابْنُ لَهِيعَةَ الْمُصَحَّفُ فِي مَتْنِهِ الْمُغَفَّلُ فِي إِسْنَادِهِ، وَإِنَّمَا الْحَدِيثُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ احْتَجَرَ فِي الْمَسْجِدِ بِخُوصَةٍ أَوْ حَصِيرٍ يُصَلِّي فِيهَا
“Riwayat ini rusak dari segala sisinya, sangat buruk kekeliruannya baik dari sisi matan maupun sanadnya. Ibnu Lahii'ah melakukan tashiif dalam matannya dan lalai dalam sanadnya. Bunyi hadits itu hanyalah : 'Bahwasannya Nabi membuat kamar/ruangan khusus di masjid dari daun kurma atau tikar jerami yang kemudian beliau shalat padanya" [Jawaabu Ba'dlil-Khadam li-Ahlin-Ni'am, hal. 39].
Begitu juga Al-Haafidh Ibnu Hajar mengomentari matan yang dibawakan Ibnu Lahii'ah rahimahumallah:
كَذَا قَالَ ابْنُ لَهِيعَةَ احْتَجَمَ بِالْمِيمِ. وَهُوَ تَصْحِيفٌ بِلا رَيْبٍ، وَإِنَّمَا هُوَ احْتَجَرَ بِالرَّاءِ، أَيْ أَعَدَّ حُجْرَةً
"Begitulah yang dikatakan Ibnu Lahii'ah : ihtajama, yaitu dengan miim. Dan itu adalah tashhiif tanpa ada keraguan. Lafadh yang benar yaitu ihtajara, dengan huruf raa', yaitu : membuat (suatu) kamar" [Al-Athraaf, 2/385].
Wallaahu a'lam.

[abul-jauzaa’ – rnn – 17012018].

DNA Syaafi’iyyah

$
0
0
Jika dikatakan mayoritas penduduk Indonesia adalah Syaafi'iyyah, maka itu benar (meskipun di lapangan banyak juga yang melakoni 'lintas madzhab' dalam sebagian perkara - contoh : zakat fithri dengan uang, musik, cadar, dan yang lainnya). Tak semua penduduk bermadzhab Syaafi'iyyah. Tak ada pula dalil yang mewajibkan kita bermadzhab Syaafi'iyyah dalam semua perkara hanya karena mayoritas penduduk negeri kita Syaafi'iyyah. Seandainya kaedah itu dibenarkan, secara lebih luas, pendapat jumhur ulama menjadi lebih wajib kita ambil dalam setiap permasalahan. Misalnya saja dalam masalah kaffarat sumpah palsu. Jumhur mengatakan tidak ada kaffarat, sedangkan Syaafi'iyyah menetapkannya (https://goo.gl/ecUChX). Toh saya tidak yakin beliau mengambil pendapat jumhur karena pulennya – jika tidak mau dikata fanatik – kecintaan pada madzhab Syaafi'iyyah. Contoh yang lain banyak.

Allah ta'ala hanya memerintahkan kita mengikuti dalil. Adapun madzhab, itu hanyalah perantara/wasilah dalam memahami dalil. Barangsiapa yang dimudahkan Allah ta'ala memahami dalil dari kesimpulan yang diberikan madzhab Syaafi'iyyah dalam satu permasalahan dan kemudian ia yakini kebenarannya, maka itulah yang wajib ia ambil. Tak peduli ia hidup di Saudi yang mayoritasnya Hanabilah atau Maroko yang Maalikiyyah. Begitu juga seandainya dalam permasalahan lain ia condong pada pendalilan dan kesimpulan madzhab Hanafiyyah. Ia mengambil pendapat yang ia yakini kuat, dan meletakkan yang lemah.
Allah ta’ala berfirman:
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” [QS. Az-Zumar : 55].
Dalam ayat ini terdapat dalil untuk mengikuti pendapat yang kuat (raajih), karena itu lebih baik daripada lemah (marjuuh) [Al-Mustashfaaoleh Abu Haamid Al-Ghazaaliy, hal. 72].
Justru jika menyelisihi apa yang ia yakini kebenarannya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah (perkara halal-haram) hanya karena perkataan manusia/madzhab, maka ia masuk dalam larangan dan ancaman pada firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" [QS. Al-Hujuraat : 1].
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [QS. Al-Ahzaab : 36].
Inilah tugas kita, terlebih para dai.
Al-Qaffaal Asy-Syaafi’iy rahimahullah pernah berkata:
لو أدى اجتهادي إلى مذهب أبي حنيفة قلت : مذهب الشافعي كذا ، لكني أقول بمذهب أبي حنيفة ; لأن السائل إنما يسألني عن مذهب الشافعي ; فلا بد أن أعرفه أن الذي أفتيته به غير مذهبه
“Seandainya ijtihadku ada pada madzhab Abu Haniifah, maka aku katakan (saat ditanya seseorang) : '(Pendapat) madzhab Asy-Syaafi'iy begini, akan tetapi aku berpegang pada madzhab Abu Haniifah'. Karena orang yang bertanya itu bertanya kepadaku tentang madzhab Asy-Syaaafi'iy (sehingga aku harus menjawab sesuai pertanyaannya). Maka dalam hal ini aku harus memberitahunya juga bahwa yang aku fatwakan dalam masalah tersebut bukan mengikuti madzhabnya” [I’laamul-Muwaqqi’iin, 4/183].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فسألت شيخنا قدس الله روحه عن ذلك ، فقال : أكثر المستفتين لا يخطر بقلبه مذهب معين عند الواقعة التي سأل عنها ، وإنما سؤاله عن حكمها وما يعمل به فيها ، فلا يسع المفتي أن يفتيه بما يعتقد الصواب في خلافه
“Kebanyakan orang yang meminta fatwa tidak terlintas dalam hatinya madzhab tertentu tentang permasalahan yang ia tanya. Pertanyaan orang itu hanyalah tentang status hukumnya dan apa yang mesti dilakukan. Maka, tidak ada keluasan bagi seorang mufti untuk memberikan fatwa dengan apa yang ia yakini menyelisihi kebenaran” [idem].
Beberapa ulama menegaskan adanya ijmaa’ tentang keharusan mengamalkan perkara/pendapat yang raajih yang ia yakini kebenarannya sesuai nash.
Abul-‘Abbaas Al-Qurthubiy rahimahullah berkata ketika membahas tentang hadits memotong khuff:
إعمال المرجوح وإسقاط الرَّاجح ، وهو فاسد بالإجماع
“Mengamalkan pendapat yang lemah (marjuuh) dan meninggalkan yang kuat (raajih) adalah rusak berdasarkan ijmaa’ ulama” [Al-Mufhim, 3/257].
Al-Qarraafiy rahimahullah berkata:
أما الحكم أو الفتيا بما هو مرجوح فخلاف الإجماع
“Adapun masalah hukum dan fatwa dengan pendapat yang lemah, maka itu menyelisihi ijmaa’” [Al-Ihkaam fii Tamyiizil-Fataawaa, hal. 93].
‘Abdul-‘Aziiz Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
وذهب الجمهور إلى صحة الترجيح ووجوب العمل بالراجح متمسكين في ذلك بإجماع الصحابة والسلف
“Jumhur ulama berpendapat pada benarnya tarjiih dan wajibnya mengamalkan pendapat yang raajih lagi bepergang teguh dalam hal itu berdasarkan ijmaa’shahabat dan salaf” [Kasyful-Asraar, 4/110].
Masalah najisnya kencing unta, memang pendapat jumhur Syaafi'iyyah [Al-Majmuu'2/547, Mughnil-Muhtaaj 1/79, dan Nihaayatul-Muhtaaj 1/224 - melalui Ahkaamuth-Thahaarah, 13/141]. Mereka mengecualikan untuk tujuan pengobatan jika tidak ditemukan obat lain selainnya, maka boleh menggunakannya ( = meminumnya). Namun tak semua ulama Syaafi'iyyah seperti itu. Diantara ulama Syaafi'iyyah yang menyatakan kencing unta tidak najis/suci adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnul-Mundzir, Ibnu Hibbaan, Al-Istakhriy, dan Ar-Ruuyaaniy rahimahumullah[1][Fathul-Baariy, 1/338 (1/576 – ta’liiq : ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak].
Saya terus terang ragu dengan klaim ‘keterusikan’ akibat – katanya – ada yang ‘show-off’ minum air kencing unta di Saudi; karena DNA madzhab masyarakat kita adalah Syaafi’iyyah. Mereka yang merasa terusik (baca : berisik) di media sosial kebanyakan justru tak paham soal madzhab-madzhaban. Tak paham pula dalil dan metode istinbath. Mereka terusik (baca : berisik) karena minum air kencing unta dianggap jorok, tak masuk akal, atau faktor sentimen personal/golongan (kontra). Anehnya, sebagian mereka malah tak begitu terusik (baca : berisik) ada orang yang minum air bekas cuci kaki Megawati[2].
Tidak najisnya air kencing unta, bagi saya adalah pendapat yang kuat (raajih). Seandainya ada yang condong dan tenteram dengan pendapat yang lain (yang menyatakan kenajisannya sehingga tidak boleh diminum), silakan. Ini termasuk diantara perkara yang terdapat keluasan padanya.
Yang paling penting, kita ikat diri kita untuk mengikuti dalil : Al-Qur'an dan As-Sunnah. Inilah yang wajib menjadi DNA kita. Adapun para ulama/madzhab adalah wasilah/sarana untuk dapat memahami dalil.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – dps – 17012018].




[1]   Berikut scan kitabnya:

[2]   Baca : WartabuanaDotCom.



Bahan bacaan:


Persatuan

$
0
0
Seandainya kita mengaji dan mendakwahkan tauhid yang 3 (Rubuubiyyah, Uluuhiyyah, dan Asmaa wa Shifaat), mengatakan sebagian amalan tawassul dan istighatsah termasuk bid'ah bahkan syirik, ritual tahlilan dan perayaan maulid bid'ah, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah adalah salah satu ulama besar Islam; apakah itu akan membuat umumnya orang-orang Asw*j* tenang dan suka cita ? Tidak, bahkan mereka terusik serta akan senantiasa menggembosi dan memprovokasi sebagaimana terekam dalam sejarah bapak dan kakek-kakek kita.

Seandainya kita mengatakan cara-cara politik praktis, demokrasi dan demonstrasi, serta taktik oportunistik ala Al-Ikhwaanul-Muslimuun tidak disyari'atkan dalam Islam, terlarang, dan perlu ditahdzir; apakah ini akan membuat mereka lapang dada dalam menerima kita ?. Belum lagi jika kita katakan 'aqiidah tafwiidl-nya Hasan Al-Bannaa dan fikrah takfiriy nya Sayyid Quthb merupakan bentuk penyimpangan dari manhaj Ahlus-Sunnah..... tentu akan membuat mereka meradang.
Apakah Anda mengira sebagian habaaib (include : para penganut thariqah) bersama pengikut dan simpatisan fanatiknya itu akan gembira ria dengan dakwah tauhid yang telah berabad-abad ingin mereka musnahkan dengan stigma dakwah Wahabi (sesat) ?
Apakah Anda mengira orang Hizbut-Tahriir, Jama'ah Tabligh, LDII, dan yang lainnya menjadi tambah sehat, gemuk-gemuk, sejahtera, dan sentausa jika dakwah tauhid atau dahwah salafiyyah menjadi bergema di semua penjuru tempat disertai penjelasan penyelisihan mereka terhadap manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah ?
Sebaliknya, kita pun tak akan tenang bergaul akrab dengan penggemar klenik berdalih karamah, pelaku bid'ah, takfiri, atau oportunis politik yang gemar menggunakan label dakwah untuk kepentingan dunia. Atau, (pasti) tidak akan tenang pula membiarkan anak, istri, dan keluarga kita banyak memperoleh siraman rohani pencerahan dari mereka.....
Mereka akan 'menerima' kita dengan syarat tak mengusik/mengkritik 'aqidah dan amalan mereka atau - sukur-sukur - kita menerima apa yang menjadi bagian dari agama mereka. Dan itu tak mungkin,…. karena ketika kita bicara tauhid, pasti akan menyinggung syirik dan segala macam bentuk amalannya. Ketika kita bicara sunnah, tentu kita ikuti dengan kebalikannya, bid'ah. Ketika bicara manhaj Ahlus-Sunnah, secara langsung atau tidak langsung akan bicara manhaj lain yang menjadi musuhnya. Sejarah permusuhan antara tauhid dan syirik, bid’ah dan sunnah sudah sangat tua. Lebih tua dibandingkan Prasasti Ciaruteun di Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Jika kita ingin diterima semua golongan tanpa gesekan, PASTI ada yang dikorbankan. Sedikit atau banyak. Silakan lihat kenyataan yang dapat diindera dengan mata dan telinga kita, bagaimana keadaan para penyeru 'pluralitas' itu ..... Mulut mereka terpenjara. Mau bilang syirik dan bid'ah; dari semula bebas, jelas, dan lantang dikatakan di setiap pengajian; menjadi lirih, bisik-bisik, dan akhirnya blackout alias mati lampu. Sunyi dan sepi. Sesekali terdengar suara jangkrik. Lidah yang semula sangat berat mengatakan yang bid'ah bukan bid'ah; sekali, dua kali, dan tiga kali, menjadi terbiasa. Bahasa diplomatis keluar : perkara khilafiyyah. Akhirnya malah berani mengatakan : Tak mengapa, atau bahkan Sunnah.
Hati orang yang seaqidah dan semanhaj akan nyaman berkumpul dengan yang sejenisnya. Nabi bersabda:
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
Ruh-ruh itu bagaikan tentara yang berkelompok-kelompok. Jika saling mengenal (mempunyai kesesuaian) di antara mereka, maka akan bersatu. Namun jika saling mengingkari (tidak ada kesesuaian), maka akan berselisih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3336, Muslim no. 2638, Abu Daawud no. 4834, dan yang lainnya].
Ini adalah realitas, sunnah kauniyyah. Bukan kampanye pendikotomian antar kelompok, tapi memang wujud riil dikotomi itu sendiri. Bukankah Allah ta'alaberfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ * إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, akan tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu" [QS. Huud : 118-119].
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” [QS. An-Nahl : 93].
???
Dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ، أَنَّهُ قَامَ فِينَا، فَقَالَ: أَلَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَامَ فِينَا، فَقَالَ: "أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Dari Abu ‘Aamir Al-Hauzaniy, dari Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan bahwasannya ia (Mu’aawiyyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata : “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda : ‘Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. (Adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu Al-Jama’ah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4597].
Tujuhpuluh dua golongan tersebut adalah sekte-sekte yang menyimpang dari Ahlus-Sunnah dari kalangan ahlul-bid’ah. Sekte-sekte tersebut ada yang masih tetap dalam keislamannya, ada yang telah keluar dari wilayah Islam (kafir).
Ketika menafsirkan ayat ‘akan tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’ (QS. Huud : 118-119), beberapa ulama menjelaskan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ، قَالَ: أَهْلُ الْبَاطِلِ، إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: أَهْلُ الْحَقِّ
Dari Ibnu ‘Abbaas tentang ayat ‘akan tetapi mereka senantiasa berselisih’, ia berkata : “Yaitu Ahlul-Baathil”; dan ayat ‘kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : “Ahlul-Haq”.
عَنْ عِكْرِمَةَ، فِي قَوْلِهِ: "وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: لا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ فِي الْهَوَى
Dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : “Mereka senantiasa berselisih dalam hawa nafsu”.
عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلَهُ: "وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، فَأَهْلُ رَحْمَةِ اللَّهِ أَهْلُ جَمَاعَةٍ، وَإِنْ تَفَرَّقَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ، وَأَهْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ أَهْلُ فُرْقَةٍ، وَإِنْ اجْتَمَعَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ
Dari Qataadah tentang firman-Nya ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : ‘Orang yang diberikan rahmat Allah adalah Ahlul-Jamaa’ah, meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka (secara fisik) terpisah. Sedangkan orang yang bermaksiat kepada Allah adalah Ahlul-Furqah (orang-orang yang berpecah-belah), meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka (secara fisik) berkumpul”.
[Tafsiir Ath-Thabariy, 15/533].
Menilik ayat, hadits, dan atsar di atas dapat diambil beberapa faedah:
1.    Merupakan sunnah kauniyyah umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dimana hanya ada satu yang masuk surga, yaitu Al-Jama’ah.
2.    Al-Jama’ah atau disebut Ahlur-Rahmah adalah orang-orang yang tidak berselisih dan terpecah. Mereka adalah orang yang menetapi kebenaran meskipun terpisah badan dan tempat tinggalnya.
3.    Tidak disebut Al-Jama’ah dengan berkumpulnya fisik selama mereka berada di atas kemaksiatan, hawa nafsu, dan kebid’ahan.
Ketika ada perintah Allah untuk mengikat persatuan di antara kaum muslimin, maksudnya adalah persatuan di atas asas kebenaran (al-haq). Seandainya orang yang beridentitas Islam dan mengaku muslim dengan segala ragam ‘aqidah dan manhaj semuanya disatukan – atau bahkan dipaksa satu – tetap saja tidak dinamakan al-jama’ah, karena al-jama’ah itu satu, yaitu orang-orang yang mengikatkan diri pada manhaj Nabi dan para shahabatnya, sebagaimana tafsiran Al-Jama’ah itu sendiri dalam riwayat yang lain:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
Apa yang aku dan para shahabatku ada di atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/218-219].
Kenyataannya memang tidak bisa (disatukan), sebagaimana realitas disebutkan di awal. Kecuali akan timbul sekte baru yang ‘pluralis’, enjoy diam satu dengan yang lainnya (sukutiyyun).
Eksistensi al-jama’ah atau al-firqatun-naajiyyah dengan sekte-sekte sesat dari kalangan pengikut kebid’ahan dan hawa nafsu saling meniadakan dan saling bermusuhan. Dan memang tidak akan dapat disatukan antara yang haq dan yang bathil. Al-haq akan senantiasa bermusuhan dengan al-baathil. Allah ta’ala berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap” [QS. Al-Anbiyaa’ : 18].
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” [QS. Al-Israa’ : 81].
Allah ta’ala melarang untuk mencampurk-adukkan yang haq dan yang bathil.
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 42].
Ketika kita mengajak berjama’ah (baca : persatuan), maka jalan yang kita tempuh adalah berdakwah mengajak orang beragama sesuai dengan pemahaman salaf. Sesuai patron Nabi yang murni. Inilah jama’ah yang hakiki atau persatuan yang hakiki.
Abu 'Abdillah Al-Marwaziy rahimahullah pernah memberikan nasihat :
قَبَضَ اللَّهُ رَسُولَهُ ﷺ إِلَيْهِ بَعْدَ أَنْ أَكْمَلَ لِلْمُسْلِمِينَ دِينَهُمْ ، فَقَالَ : الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا سورة المائدة آية 3 ، نَزَلَتْ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَاقِفٌ بِعَرَفَاتٍ ، فَلَمْ يَنْزِلْ بَعْدَهَا حَلالٌ وَلا حَرَامٌ ، وَرَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَمَاتَ
وَأَمَرَهُمُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِالاجْتِمَاعِ عَلَى مَا جَاءَهُمْ عَنْهُ ، وَنَهَاهُمْ عَنِ التَّفَرُّقِ مِنْ بَعْدِ أَنْ جَاءَهُمُ الْبَيَانُ ، فَقَالَ : وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا سورة آل عمران آية 103 ، وَقَالَ سُبْحَانَهُ : وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ سورة آل عمران آية 105 ،
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لا تَقَاطَعُوا وَلا تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا "، وَقَالَ ﷺ : "لا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ "، وَقَالَ ﷺ : مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ
"Allah ta'ala mewafatkan Rasul-Nya setelah menyempurnakan bagi kaum muslimin agama mereka. Allah berfirman : 'Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu' (QS. Al-Maaidah : 3). Ayat itu turun dimana waktu itu Rasulullah sedang berdiri di 'Arafah. Tidak turun perkara halal dan haram setelahnya (ayat tersebut). Lalu Rasulullah kembali dan kemudian wafat.
Dan Allah tabaraka wa ta'ala memerintahkan mereka untuk BERSATU di atas agama yang turun kepada mereka (yang telah sempurna), dan melarang PERPECAHAN setelah datang penjelasan kepada mereka. Allah ta'ala berfirman : 'Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara' (QS. Aali 'Imraan : 103). Dan Allah juga berfirman : 'Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka' (QS. Aali 'Imraan : 105).
Rasulullah bersabda : ‘Janganlah kalian saling memutuskan hubungan dan jangan pula saling memalingkan muka. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara’. Beliau bersabda : ‘Jangan kalian berselisih sehingga hati-hati kalian berselisih’. Beliau juga bersabda : ‘Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, hendaklah ia menetapi jama’ah [As-Sunnah, hal. 43-44 no. 6].[1]
Selain itu, jama’ah juga dapat berarti : ‘berkumpul di atas pemimpin (ulil-amri) yang satu’. Nabi bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ، وَالنُّصْحُ لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ، وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ
Ada tiga perkara yang membuat hati seorang muslim tidak merasa dengki terhadapnya : ikhlash beramal karena Allah, menasehati para pemimpin kaum muslimin, dan menetapi jama’ah mereka” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2658].
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan:
وقوله ولزوم جماعتهم هذا ايضا مما يطهر القلب من الغل والغش فإن صاحبه للزومه جماعة المسلمين يحب لهم ما يحب لنفسه ويكره لهم ما يكره لها ويسوؤه ما يسؤوهم ويسره ما يسرهم وهذا بخلاف من انجاز عنهم واشتغل بالطعن عليهم والعيب والذم لهم كفعل الرافضة والخوارج والمعتزلة وغيرهم فإن قلوبهم ممتلئة نحلا وغشا ولهذا تجد الرافضة ابعد الناس من الاخلاص اغشهم للائمة والامة واشدهم بعدا عن جماعة المسلمين
Dan sabda beliau : ‘dan menetapi jama’ah mereka’; ini juga termasuk satu hal yang bisa membersihkan hati dari sifat iri dan dengki. Karena pelakunya, dengan menetapi jama’ah kaum muslimin, berarti dia mencintai mereka sebagaimana cintanya kepada diri sendiri. Dan akan menyakitkannya apa yang membuat mereka sakit. Akan membuatnya mudah (lapang) apa yang memudahkan mereka. Hal ini berbeda jauh dengan keadaan orang yang menentang (membelot) dari imam dan menyibukkan diri dengan celaan-celaan kepada mereka, serta (membeberkan) aib dan menghinakan mereka, seperti tindakan Raafidlah, Khawaarij, Mu’tazillah, dan yang sejenis dengan mereka; karena hati mereka telah dipenuhi dengan rasa dengki. Oleh karena itu kamu akan dapati bahwa Rafidlah adalah sejauh-jauh manusia dari rasa ikhlash dan sedengki-dengki manusia terhadap para penguasa dan rakyat jelata, serta sejauh-jauh manusia dari jama’ah kaum muslimin….” [Miftaah Daaris-Sa’aadah, 1/72-73].
Dalam konteks pemahaman ini, terhadap orang yang tidak atau belum sepenuhnya menetapi manhaj salaf, kita dapat bersatu di bawah pemimpin kaum muslimin (ulil-amri) untuk mewujudkan kemaslahatan umum yang diakui syari’at Islam. Yaitu, tetap mendengar dan taat kepada mereka (pemimpin/ulil-amri) dalam perkara yang ma’ruf. Nabi bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai dan yang ia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat (pada perintah maksiat tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7144].
Implementasinya banyak dalam kehidupan sehari-hari. Bersama-sama ikut menjaga stabilitas, keamanan, dan kenyamanan umum/masyarakat……
Tapi apa lacur, sebagian mereka pun enggan dalam prinsip ini dengan berbagai alasan. Pemimpin jadi objek yang menyatukan mereka dalam celaan. Common enemy(selain salafi/wahabi tentu saja he he he). Yang mengajak persatuan – yaitu mendengar dan taat kepada ulil amri dalam perkara yang ma’ruf – mereka cibir sebagai penjilat.
Jadi kalau ada orang yang mengajak persatuan, kita tanyakan : “Persatuan dalam hal apa dan atas dasar apa ? Persatuan untuk kemudian berpecah? Persatuan agitasi ? Persatuan dalam demonstrasi ? Persatuan saling memaklumi kerusakan masing-masing ?”.
Mari kita serukan persatuan dengan menempuh jalannya. Bukan hanya dendangan slogan dan yel-yel fatamorgana.
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِي عَلىَ الْيَبَسِ
"Engkau mengharapkan keselamatan, namun tidak menempuh jalan-jalannya,....
Sesungguhnya perahu tidaklah berlayar di atas daratan".
Mari kita upayakan sesuatu yang hakiki, yang langgeng. Optimis, karena ini adalah tugas kita bersama, bukan tugas sekelompok orang.
Terakhir, seorang muslim diberikan walaa’ dan baraa’ sesuai kadar ketaatan dan kemaksiatan mereka. Mereka kita cintai karena ketaatan mereka kepada Allah, dan kita benci karena kemaksiatan mereka kepada Allah. Cinta dan benci karena Allah. Kita tunaikan hak-hak mereka dan tidak boleh mendhalimi mereka, siapapun mereka. Kita bermudarah dan tidak bermudahanah.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – rnn – 17012018].




[1]   Faedah dari penjelasan beliau rahimahullah:
  1. Agama telah sempurna.
  2. Perintah untuk bersatu di atas agama/syari'at yang telah sempurna tersebut.
  3. Persatuan yang disyari'atkan didasarkan oleh syari'at Allah, bukan didasarkan atas aneka macam maksiat dan kebid'ahan.
  4. Larangan perpecahan setelah datangnya penjelasan tentang syari'at yang sempurna kepada kita.
  5. Barangsiapa yang menginginkan keselamatan, wajib baginya menetapi jama’ah.

Persatuan (Lagi)

$
0
0
Nabi bersabda:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak untuk diibadai melainkan Allah dan bersaksi bahwasannya aku adalah utusan Allah; kecuali dengan dengan satu diantara tiga perkara : (1) orang yang pernah menikah lalu berzina; (2) jiwa dibalas dengan jiwa, dan (3) orang yang meninggalkan agamanya (murtad), yang memisahkan diri dari jama’ah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1676].

An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan salah satu makna al-mufaariqu lil-jamaa'ahdari para ulama:
كل خارج عن الجماعة ببدعة أو بغي أو غيرهما وكذا الخوارج
"Setiap orang yang keluar dari jama'ah dengan kebid'ahan, pemberontakan, atau yang lainnya. Begitu juga dengan Khawaarij" [Syarh Shahiih Muslim, 11/165].
Artinya, perbuatan bid'ah dan berbagai bentuk pemberontakan yang keluar dari makna mendengar dan taat kepada pemimpin muslim yang sah; maka itu paradoks dengan makna persatuan, dan persatuan itu identik dengan jama'ah.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
ومن لم يندفع فساده في الأرض إلا بالقتل قُتل، مثل المفرق لجماعة المسلمين، والداعي إلى البدع في الدين. قال تعالى: {من أجل ذلك كتبنا على بني إسرائيل أنه من قتل نفساً بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعاً} [المائدة: 32]، وفي الصحيح عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: ((إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما)).
وقال: ((من جاءكم وأمركم على رجل واحد يريد أن يفرق جماعتكم فاضربوا عنقه كائناً من كان))
"Barangsiapa yang kerusakannya di muka bumi tidak dapat dihentikan kecuali dengan pembunuhan, maka ia (boleh) dibunuh. Misalnya orang yang memisahkan diri dari jama'ah kaum muslimin dan penyeru kebid'ahan dalam agama. Allah ta'ala berfirman : 'Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya' (QS. Al-Maaidah : 32). Dalam kitab Ash-Shahiih dari Nabi , beliau bersabda : 'Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling akhir baiatnya di antara mereka'. Beliau juga bersabda : 'Barangsiapa yang mendatangi kalian sedangkan perkara kalian berkumpul pada diri satu orang (pemimpin/ulil-amri) yang dirinya itu hendak memecah belah jama'ah kalian, maka bunuhlah siapapun ia" [Majmuu' Al-Fataawaa, 28/108-109].
Bid'ah serta paham memberontak, enggan untuk mendengar dan taat (terhadap ulil-amri); bertentangan dengan makna persatuan.
Apakah kita bermimpi akan terjalin persatuan dengan orang/kelompok yang keberadaan/eksistensinya justru menjadi sebab perpecahan umat ?
Benar, dulu Nabi pernah mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi dengan melahirkan beberapa butir kesepakatan untuk kemaslahatan yang kaum muslimin - yang saat itu masih belum kuat. Sebagian ulama menjelaskan bahwa kesepakatan dalam perjanjian (Piagam Madinah) itu dalam konteks ayat:
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" [QS. Al-Mumtahanah : 8].
Meski demikian, bara'ah dan kebencian kaum muslimin terhadap orang kafir dan kekafirannya tetap ada dan wajib sebagaimana difirmankan Allah ta'aladalam ayat:
لاّ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ يُوَآدّونَ مَنْ حَآدّ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوَاْ آبَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara atau keluarga mereka” [QS. Al-Mujaadalah : 22].
Dalam realitas kehidupan sehari-hari pun, insya Allah terpraktekkan, seperti misal kerjasama kaum muslimin dengan orang kafir dalam menjaga stabilitas dan keamanan lingkungan (desa, RT, RW), saling menghormati hak dan tidak saling mengganggu, dan yang semisalnya. Tolong-menolong dalam mengatasi krisis dan bencana. Banyak ikhwah yang telah berpartisipasi.
Sama halnya dengan kerjasama kaum muslimin pada umumnya seperti NU, Muhammadiyyah, Persis, PKS, HTI, dan yang lainnya. Insya Allah kita hidup rukun dan saling menghormati (kecuali gerombolan yang sering main persekusi ngalahin kerja pak polisi). Berkumpul melakukan kerjabakti bersama, menjadi anggota DKM masjid komplek, menjadi panitia kurban di lingkungan sekitar, dan hal lainnya. Hubungan muamalah yang baik di kantor, di pasar, di jalan, dan yang lainnya. Atau bersama-sama menangkal permurtadan (Kristenisasi).
Sayang memang, ada yang menginginkan lebih. Persatuan dalam 'aqidah, manhaj, dan pemikiran. Memang tak vulgar dikatakan, tapi cukup dapat dirasakan. Mencampurkan yang haq dan yang bathil. Yang bathil disamarkan dengan nama 'khilaf ulama'. Bahkan yang syirik pun dianjurkan agar kita meninjau ulangnya seperti shalawat nariyyah. Mungkin nanti menyusul qasidah burdah, dan yang lainnya. Yang bid'ah menjadi bukan bid'ah. Semua akhirnya berbungkus khilaf ulama. Semua kelompok dianggap benar berlabel al-firqatun-naajiyyah. Apakah ini ilusi ? Tidak, lha wong saya lihat dan dengar sendiri kokrekamannya. Bahkan muncul kemudian dagelan istilah 'pengkapling surga'...😀😎. Haloo..... how are you ? Have you been to see the doctor yet??
Allah ta'ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" [QS. Aali 'Imraan : 103].
Ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan ayat tersebut:
وتمسَّكوا بدين الله الذي أمركم به، وعهده الذي عَهده إليكم في كتابه إليكم، من الألفة والاجتماع على كلمة الحق، والتسليم لأمر الله
Dan berpegah teguhlah kepada agama Allah yang telah Allah perintahkan kepada kalian dengannya, perjanjian-Nya yang telah Allah mandatkan kepada kalian dalam Kitab-Nya untuk menjalin persahabatan dan persatuan DI ATAS KALIMAT AL-HAQ, serta tunduk terhadap perintah Allah” [Tafsiir Ath-Thabariy, 7/70].
Ibnu Mas'uud radliyallaahu 'anhu berkata:
إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ، تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ: يَا عِبَادَ اللَّهِ، هَذَا الطَّرِيقُ، فَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ، فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ
“Sesungguhnya jalan ini dihadiri para setan yang menyeru: 'Wahai hamba-hamba Allah, inilah jalanmu.' Oleh karena itu berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah, sesungguhnya tali Allah itu adalah Al-Qur'an” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 3317].
Perkataan Ibnu Mas’uud ini serupa dengan yang ada dalam riwayat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: "خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِﷺ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: "هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ "، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: "هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ "، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : Rasulullah membuatkan kami satu garis kemudian beliau bersabda : “Ini adalah jalan Allah” Kemudian beliau menggaris beberapa garis dari sebelah kanan dan sebelah kirinya, lalu beliau bersabda : “Ini adalah jalan-jalan, yang pada setiap jalan tersebut ada setan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat “dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am (6) : 153) [Diriwayatkan oleh Ahmad, Ad-Daarimiy, dll.].
Penjelasan riwayat Ibnu Mas’uud ini memberikan faedah bagi kita bahwa:
1.    Berpegang pada tali Allah maksudnya adalah berpegang teguh pada Kitabullah.
2.    Berpegang pada tali Allah adalah dengan menetapi jalan yang lurus (ash-shiraathul-mustaqiim). Ibnu Mas’uud berkata:
الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِﷺ
“Maksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditinggalkan Rasulullah kepada kami” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, shahih].
Selaras dengan sabda Nabi :
تفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة، كلهم في النار إلا ملة واحدة». قالوا: ومن هي يا رسول الله؟ قال: ما أنا عليه وأصحابي
Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golonan. Semuanya masuk neraka kecuali satu”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya”.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وهذا الأصل العظيم وهو الإعتصام بحبل الله جميعا وأن لا يتفرق هو من أعظم أصول الإسلام ومما عظمت وصية الله تعالى به فى كتابه
ومما عظم ذمه لمن تركه من أهل الكتاب وغيرهم ومما عظمت به وصية النبى فى مواطن عامة وخاصة مثل قوله عليكم بالجماعة فإن يد الله على الجماعة
“Ini adalah pokok yang agung, yaitu berpegang teguh semuanya kepada tali Allah dan agar tidak berpecah-belah. Perkara ini termasuk pokok Islam yang paling agung dan termasuk wasiat Allah yang besar yang Allah wasiatkan dalam Kitab-Nya; celaan Allah yang sangat keras terhadap orang yang meninggalkannya (berpegang teguh terhadap tali Allah) dari kalangan Ahli Kitab dan yang laiunnya; serta termasuk wasiat Nabi yang paling agung dalam beberapa tempat secara umum maupun khusus, misalnya sabda beliau : ‘Wajib atas kalian berpegang pada Jama’ah, karena tangan Allah di atas Jama’ah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 22/359].
Intinya, perintah untuk bersatu adalah bersatu dalam berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful-ummah. Ini adalah diantara pokok Islam yang paling agung.
Terakhir, ….. kaum muslimin pada prinsipnya adalah bersaudara, namun mereka diberikan walaa’ dan baraa’ sesuai kadarnya. Diberikan walaa’ berdasarkan kadar ketaatannya dan kesesuaiannya terhadap sunnah; serta diberikan baraa’ berdasarkan jenis dan kadar kemaksiatan dan penyimpangannya dari pokok-pokok Ahlus-Sunnah.
Jika kita ingin persatuan, maka tempuhlah jalannya dengan menetapi ketauhidan serta berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful-ummah. Jangan sekedar berdendang tentang persatuan namun melupakan jalannya……
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa – dps – 02122017].

Serba Serbi Media Sosial

$
0
0
Dulu sekali - di akun FB yang lama - saya pernah menulis status tentang motif sebagian penuntut ilmu hadir di pengajian ulama (waktu itu saya mengangkat case Tabligh Akbar Ulama di Masjid Istiqlaal) untuk kopi darat dan foto-foto, sementara pelajaran yang disampaikan pemateri tak ada bekasnya. Tak beberapa lama kemudian diinbox oleh seseorang - sebut saja namanya Mawar - yang 'mencak-mencak' karena merasa status saya membicarakan dirinya. Saya malah baru tahu apa yang ditulisnya setelah saya coba membuka apa yang tertulis dalam statusnya. Ooo, ternyata dia baru janjian mau ketemu dengan temannya di acara tersebut. Saya jelaskan padanya bahwa saya tidak memaksudkan ke individu tertentu, terlebih dirinya. Ia tak percaya, terus marah-marah. Akhirnya di-unfriend. Bahkan kemudian jika yang bersangkutan membicarakan saya, bawaannyaselalu ofensif dan negatif setelah sebelumnya sering copy paste status saya.😎😁

Hal yang demikian bukan sekali dua kali terjadi pada diri saya.
Rekans,.... kita ingin nyaman bermedia sosial. Selain pandai pilih-pilih teman, seharusnya kita juga jangan terlalu sensitif. ‘Baper’ kata orang sekarang (dan saya sendiri honestlysangat tidak suka menggunakan kata 'baper'). Sebenarnya, 'baper' bisa juga membawa spirit positif. Sering merasa tersindir ketika membaca nasihat orang lain, dan kemudian memperbaiki diri tanpa perlu bilang : "Anda sedang membicarakan saya ?". Jika kita bawaannya sakit hati, kapan kita akan merasa sehat dalam bermedia sosial ?. Apa yang dipikirkan orang lalu dituliskannya, belum tentu sama seperti yang ada dalam alam pikiran kita.
Saya justru khawatir pada orang yang bawaannya emosian, selalu curiga kepada orang, dan paranoid. Pertama, (mungkin) ia mempunyai gangguan mental, berdelusi orang lain bersekongkol mencelakakan dirinya. Salah satu tanda skizofrenia paranoid. Kedua, (mungkin) ia memang sedang melakukan hal-hal negatif yang dibicarakan orang (karena jika ia tidak melakukannya, tentu tidak akan merasa).
Jika kita tidak siap membaca tulisan semua orang, pilih teman-teman yang membuat kita senang saja. Delete oknum yang tak disuka tanpa harus pengumuman kepada orang sedunia. Buang jauh-jauh pikiran bahwa kita orang penting dimana orang pasti rugi besar jika tak berteman dengan kita. Atau, tutup akun saja.
Atau..... ambil segelas air putih dingin, baca basmalah, minum, lalu ambil napas, baru buka media sosial.
Media sosial bagaikan dunia liar yang berisi manusia dengan berbagai tabiat.

[abul-jauzaa’ – dps – 19012018].

Jelas dan Samar

$
0
0
Sebagian orang belakangan memiliki teori dalam masalah pemberian udzur kejahilan, khususnya dalam perkara yang dianggap jelas (yang tidak menerima udzur kejahilan) dan tidak jelas (menerima udzur kejahilan). Mereka katakan perkara tawassul (syirkiy), tabarruk (syirkiy), dan istighatsah (syirkiy) adalah perkara yang jelas; sedangkan perlara bid’ah penyimpangan dalam al-asmaa’ wash-shifaat adalah perkara yang samar. Cukup ‘dimaklumi’, karena banyak ulama terdahulu memberikan udzur dalam masalah asmaa’ wa shifaat saat merebak bid’ah Jahmiyyah.

Sebenarnya, masalah jelas atau samar secara umum tidak dapat dimutlakkan dengan pengklasifikasian masalahnya, antara satu orang dengan yang lain karena perbedaan pengetahuan dan daya nalarnya. Begitu faktor keberadaan ilmu dan ulama (sebagai penyampai ilmu) itu sendiri, sehingga kondisinya tidak dapat disamakan antara satu tempat dengan tempat yang lain, atau satu masa dengan masa yang lain. Berikut sedikit uraiannya:
Dari An-Nu'maan bin Basyiir radliyallaahu 'anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda :
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ
Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Maka barangsiapa yang menjaga (dirinya) dari syubhat, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, ia pun terjerumus ke dalam (hal-hal yang) haram. Bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan hewan ternaknya di sekitar kawasan terlarang, maka hampir-hampir (dikhawatirkan) akan memasukinya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa (raja) memiliki kawasan terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya kawasan terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 52 & 2051 dan Muslim no. 1599].
Dalam hadits di atas disebutkan tentang syubuhaat : 'laa ya'lamuhunna katsiirun minan-naas'. Dalam riwayat lain:
لا يَدْرِي كَثِير مِنْ النَّاس أَمِنَ الْحَلال هِيَ أَمْ مِنْ الْحَرَام
"Kebanyakan orang tidak mengetahui apakah statusnya halal ataukah haram" [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1205].
Mafhuum hadits ini, perkara syubuhaat dapat diketahui status dan hakekatnya oleh beberapa orang manusia yang memiliki ilmu. Khususnya dalam hal ini adalah para ulama dan orang-orang yang mendedikasikan dirinya pada ilmu. Hal ini sama seperti firman Allah ta’ala:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”[QS. Aali ‘Imraan : 7].
Terjemahan di atas adalah dengan mewaqafkan sampai dengan ayat ‘laa ya’lamu ta’wiilahu illallaah’. Namun sebagian salaf dan ulama setelahnya seperti Ibnu ‘Abbaas, Mujaahid, Ar-Rabii’, dan yang lainya membacanya dengan washal :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan dan orang-orang yang mendalam ilmunya” [QS. Aali ‘Imraan : 7].
Silakan baca pembahasan ini dalam Tafsiir Ath-Thabariy 6/203-204.
Dalil di atas menunjukkan bahwa setiap orang berbeda-beda tingkat keilmuan dan pemahamannya. Tidak dapat disamakan dengan penghukuman : jika A dan B mengetahui, pasti C mengetahuinya. Mesti diteliti terlebih dahulu.
Perbedaan tempat/negeri.
عَنْ أَنَس بْن مَالِكٍ، قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ، فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: مَهْ، مَهْ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لَا تُزْرِمُوهُ، دَعُوهُ "، فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ، ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ دَعَاهُ، فَقَالَ لَهُ: "إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ، لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ، وَلَا الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ، وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ "، أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَالَ: فَأَمَرَ رَجُلًا مِنَ الْقَوْمِ، فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ، فَشَنَّهُ عَلَيْه
Dari Anas bin Maalik, ia berkata: Ketika kami sedang berada di masjid bersama Rasulullah , tiba-tiba datang seorang Arab badui lalu berdiri kencing di dalam masjid. Para sahabat Rasulullah berkata : “Mah mah”.[1]Kemudian Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian memutusnya, biarkanlah ia hingga selesai kencing”. Maka para shahabat meninggalkannya hingga ia selesai kencing. Lalu Rasulullah memanggil orang tersebut dan berkata berkata : “Sesungguhnya masjid ini tidak boleh untuk kencing dan buang ludah, karena masjid itu hanyalah untuk berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla, shalat, dan membaca Al-Qur’an”. – atau sebagaimana yang dikatakan Rasulullah - . Kemudian beliau memerintahkan salah seorang shahabat untuk mengambil seember air dan menyiramnya [Diriwayatkan oleh Muslim no. 285].
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata:
فدل ذلك على استعمال الرفق بالجاهل - فإنه بخلاف العالم - وترك اللوم له والتثريب عليه
“Hadits itu menunjukkan pada penggunaan sikap lemah lembut kepada orang yang jahil – berbeda halnya dengan orang yang ‘alim – dan meninggalkan celaan dan cercaan kepadanya” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy oleh Ibnu Baththaal, 17/275].
Ketika menjelaskan salah satu faedah hadits tersebut, Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
أنه ينبغي، بل يجب على الإنسان أن ينزل كل إنسان منزلته، لو إن الذي حصل منه البول في المسجد كان رجلا من أهل المدينة ممن يعرفون الأحكام الشرعية ما نعامله هذه المعاملة، لكن عاملنا هذا الأعرابي لأن الغالب عليه الجهل
“Dan hendaknya, bahkan wajib bagi seseorang untuk menempatkan setiap orang sesuai dengan posisi/kedudukannya (yang sesuai). Seandainya yang kencing di masjid tadi adalah orang dari kalangan penduduk Madiinah yang mengetahui hukum-hukum syari’at, kami kita tidak menyikapinya dengan perlakuan tersebut (yaitu sabar dan lemah-lembut tanpa menghardiknya). Namun kita menyikapi orang Arab Badui itu karena yang dominan ada padanya adalah kebodohan/kejahilan” [Fathu Dzil-Jalaali wal-Ikraam, 1/100].
Ilmu di Madinah tersebar dengan keberadaan Rasulullah dan para pembesar shahabat (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Mu’aadz, Ibnu Mas’uud, dan yang lainnya) radliyallaahu ‘anhu; sedangkan di perkampungan Badui tidak demikian. Orang Arab Badui tinggal di perkampungan terpisah dari Madiinah sehingga akses mereka terhadap ilmu dan ulama tidak dapat disamakan dengan para shahabat yang tinggal di Madiinah.
Perbedaan masa.
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْرُسُ الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لَا يُدْرَى مَا صِيَامٌ وَلَا صَلَاةٌ وَلَا نُسُكٌ وَلَا صَدَقَةٌ وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ فَلَا يَبْقَى فِي الْأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنْ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ يَقُولُونَ أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا فَقَالَ لَهُ صِلَةُ مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَهُمْ لَا يَدْرُونَ مَا صَلَاةٌ وَلَا صِيَامٌ وَلَا نُسُكٌ وَلَا صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ فَقَالَ يَا صِلَةُ تُنْجِيهِمْ مِنْ النَّارِ ثَلَاثًا
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman ia berkata : Rasulullah bersabda : “(Ajaran) Islam akan terkikis sebagaimana hiasan baju yang terkikis sehingga tidak di ketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu ibadah dan apa itu sedekah, dan akan ditanggalkan Kitabullah di malam hari, sehingga tidak tersisa di muka bumi satu ayat pun. Yang tersisa adalah beberapa kelompok manusia yang telah lanjut usia dan lemah, mereka berkata, 'Kami menemui bapak-bapak kami di atas kalimat 'Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah', maka kami mengucapkannya". Shilah berkata kepadanya : " Apakah perkataan Laa ilaaha illallaahbermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat, puasa, haji, dan shadaqah?". Lalu Hudzaifah berpaling darinya, lantas ia (Shilah bin Zufar) mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian Hudzifah menjawab : “Wahai Shilah, kalimat itu (laa ilaaha illallaah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka”. Hudzaifah mengucapkan itu sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4049 dan Al-Haakim 4/473, shahih].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari manusia. Akan tetapi Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu (di tengah mereka), orang-orang mengangkat para pemimpin yang jahil. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka pun sesat dan menyesatkan (orang lain)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 100 dan Muslim no. 2673].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وَكَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ قَدْ يَنْشَأُ فِي الْأَمْكِنَةِ وَالْأَزْمِنَةِ الَّذِي يَنْدَرِسُ فِيهَا كَثِيرٌ مِنْ عُلُومِ النُّبُوَّاتِ ، حَتَّى لَا يَبْقَى مَنْ يُبَلِّغُ مَا بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ مِنْ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ ، فَلَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا يَبْعَثُ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ ، وَلَا يَكُونُ هُنَاكَ مَنْ يُبَلِّغُهُ ذَلِكَ ، وَمِثْلُ هَذَا لَا يَكْفُرُ؛ وَلِهَذَا اتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ نَشَأَ بِبَادِيَةٍ بَعِيدَةٍ عَنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْإِيمَانِ ، وَكَانَ حَدِيثَ الْعَهْدِ بِالْإِسْلَامِ ، فَأَنْكَرَ شَيْئًا مِنْ هَذِهِ الْأَحْكَامِ الظَّاهِرَةِ الْمُتَوَاتِرَةِ : فَإِنَّهُ لَا يُحْكَمُ بِكُفْرِهِ حَتَّى يَعْرِفَ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ
“Dan banyak manusia hidup di tempat dan zaman yang terkikis banyak ilmu kenabian, hingga tidak tersisa orang yang menyampaikan syari’at yang Allah utus Rasul-Nya dengannya berupa Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah); sehingga mereka pun tidak mengetahui banyak syari’at yang Allah utus Rasul-Nya dengannya. Tidak ada pula di sana orang yang menyampaikannya. Maka kondisi yang demikian, tidak boleh dikafirkan. Oleh karena itu, para imam sepakat bahwa orang yang hidup di daerah pelosok yang jauh dari ulama dan keimanan, serta dirinya baru masuk Islam, lalu ia mengingkari satu perkara dari hukum-hukum yang jelas lagi mutawatir ini; ia tidak dihukumi kafir hingga dirinya mengetahui syari’at yang dibawa oleh Rasul ” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].
Hadits di atas menunjukkan bahwa antara satu masa dan masa lainnya tidaklah sama dalam hal keberadaan ilmu dan ulama. Semakin jauh dari masa kenabian, secara umum semakin berkurang ilmu dan semakin banyak penyimpangan dan bid’ah. Apa yang diketahui orang dahulu belum tentu diketahui orang yang hidup kemudian.
Oleh karena itu, sebagian ulama terdahulu ada yang menganggap permasalahan kalaamullah(ketika terjadi fitnah Jahmiyyah) seperti permasalahan Laa ilaha illallaah. Begitu juga dalam (sebagian) permasalahan asmaa’ wa shifaat lain. Yaitu, termasuk perkara yang jelas dan barangsiapa mengingkari atau menyelisihi apa yang telah disepakati, maka kafir dengan kekufuran yang jelas pula.
حَدَّثَنَا أَبُو الْفَضْلِ جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّنْدَلِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ زِيَادٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبَّاسٍ النَّرْسِيُّ، فَقُلْتُ: كَانَ صَاحِبُ سُنَّةٍ؟ فَقَالَ: رَحِمَهُ اللَّهُ قُلْتُ: بَلَغَنِي عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: مَا قُولِي: الْقُرْآنُ غَيْرُ مَخْلُوقٍ، إِلا كَقَوْلِي: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ "، فَضَحِكَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، وَسُرَّ بِذَلِكَ، قُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، أَلَيْسَ هُوَ كَمَا قَالَ؟ قَالَ: بَلَى،....
Telah menceritakan kepada kami Abul-Fadhl Ja'far bin Muhammad Ash-Shandaliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Ziyaad, ia berkata Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah tentang 'Abbaas An-Nursiy. Aku katakan : "Apakah ia Ahlus-Sunnah ?". Ia menjawab : "Semoga Allah merahmatinya". Aku berkata : "Telah sampai kepadaku darinya bahwa ia berkata : "Perkataanku bahwa Al-Qur'an bukan makhluk seperti perkataanku laa ilaha illallaah". Maka Abu 'Abdillah tertawa dan bergembira dengannya. Aku katakan : "Wahai Abu 'Abdillah, tidakkah perkara itu seperti yang dikatakannya ?". Abu 'Abdillah menjawab : "Ya….." [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii'ah1/224-225 no. 192; sanadnya shahih].
‘Abbaas An-Nursiy namanya adalah Al-‘Abbaas bin Al-Waliid bin Nashr An-Nursiy, Abul-Fadhl Al-Bashriy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 489 no. 3210].
أَخْبَرَنَا ابْنُ مَخْلَدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، وَذكرَ لَهُ رَجُلٌ أَنَّ رَجُلا قَالَ: إِنَّ أَسْمَاءَ اللَّهِ مَخْلُوقَةٌ وَالْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ فَقَالَ أَحْمَدُ: كُفْرٌ بَيِّنٌ، قُلْتُ لأَحْمَدَ: مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِرٌ؟ قَالَ: أَقُولُ: هُوَ كَافِرٌ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Makhlad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud, ia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hanbal : Satu ketika ada seorang menyebutkan padanya bahwa ada orang yang mengatakan : “Sesungguhnya nama-nama Allah itu makhluk, dan Al-Qur’an juga makhluk”. Maka Ahmad menjawab : “Kekufuran yang jelas”. Aku katakan kepada Ahmad : “Apakah orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk adalah kafir ?”. Ia menjawab : “Aku katakan : Dia kafir!” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah, 1/223 no. 188; shahih. Lihat juga Masaailul-Imaam Ahmad bi-Riwaayati Abi Daawud As-Sijistaaniy hal. 353 no. 1696-1697].
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حَسْنويهِ الْقَطَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الصَّاغَانِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عُبَيْدٍ الْقَاسِمَ بْنَ سَلامٍ، يَقُولُ: "مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ فَقَدِ افَتَرَى عَلَى اللَّهِ، وَقَالَ عَلَى اللَّهِ مَا لَمْ يَقُلْهُ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin bin Hasnuuyah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq Ash-Shaaghaaniy, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Ubaid Al-Qaasim bin Sallaam berkata : “Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, sungguh ia telah membuat kedustaan terhadap Allah. Ia mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh Yahudi dan Nashara[2]” [idem, 1/224 no. 191; shahih].
وثنا أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ الْوَاسِطِيُّ، وَعَبَّاسُ الْعَنْبَرِيُّ، قَالَا: ثَنَا شَاذُّ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: سَمِعْتُ يَزِيدَ بْنَ هَارُونَ، يَقُولُ: "مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ، فَهُوَ، وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، زِنْدِيقٌ، أَوْ قَالَ: عِنْدِي زِنْدِيقٌ "
Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy dan ‘Abbaas Al-‘Anbariy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Syaadz bin Yahyaa, ia berkata : Aku mendengar Yaziid bin Haaruun berkata : “Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia – demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah melainkan-Nya – adalah zindiiq”. Atau ia berkata : “Menurutku ia zindiq” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud dalam Masaailul-Imaam Ahmad hal. 359 no. 1726; sanadnya hasan[3]. Lihat juga Khalqu Af’aalil-‘Ibaad oleh Al-Bukhaariy hal. 22].
Ulama terdahulu yang menghukumi zindiiq terhadap pelaku khalqul-qur’an diantaranya Maalik bin Anas, ‘Abdullah bin Idriis, Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, An-Nadlr bin ‘Abdil-Jabbaar rahimahumullah.
Zindiq menurut definisi para ulama adalah munafik yang menampakkan Islam (secara lahir) namun menyembunyikan kekufuran (dalam batin), meskipun dirinya melakukan shalat, berpuasa, haji, dan membaca Al-Qur’an. Baik dalam batinnya itu ia sebagai Yahudi, Nashrani, musyrik, atau penyembah berhala (watsaniy). Baik dirinya itu orang yang menafikkan pencipta dan kenabian, atau hanya menafikkan kenabian saja, atau hanya menafikkan kenabian nabi kita saja [Bughyatul-Murtaad oleh Ibnu Taimiyyah hal. 338].
Kekufuran orang yang dilabeli zindiq bukan kekufuran yang samar, namun kekufuran yang jelas dalam Islam.
Apalagi orang yang mengingkari ketinggian (al-‘ulluw) Allah di atas langit. Bid’ah pengingkaran terhadap sifat ‘ulluw lebih jelas kekufurannya dibandingkan bid’ah pengingkaran terhadap kalaamullah dalam kasus khalqul-qur’an !.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وإن كان يطلق القول بأن هذا الكلام كفر كما أطلق السلف الكفر على من قال ببعض مقالات الجهمية مثل القول بخلق القرآن أو إنكار الرؤية أو نحو ذلك مما هو دون إنكار علو الله على الخلق وأنه فوق العرش فإن تكفير صاحب هذه المقالة كان عندهم من أظهر الأمور فإن التكفير المطلق مثل الوعيد المطلق لا يستلزم تكفير الشخص المعين حتى تقوم عليه الحجة التي تكفر تاركها
“Meskipun dalam hal ini dimutlakkan perkataan bahwasannya perkataan ini adalah kufur sebagaimana salaf memutlakkan kekufuran kepada orang yang mengatakan sebagian perkataan Jahmiyyah seperti perkataan khalqul-qur’aan( = Al-Qur’an adalah makhluk), mengingkari ru’yah[4], atau yang semisal itu yang statusnya di bawah pengingkaran terhadap ketingian (‘ulluw) Allah di atas makhluk-Nya dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy, karena pengkafiran orang yang mengatakan ucapan ini[5] di sisi meraka termasuk perkara yang paling jelas/nampak. Sesungguhnya pengkafiran yang bersifat mutlak (at-takfiirul-muthlaq) seperti halnya ancaman yang bersifat mutlak (al-wa’iid al-muthlaq) yang tidak mengkonsekuensikan pengkafiran terhadap individunya, kecuali jika telah ditegakkan padanya hujjah, dimana ia dikafirkan jika meninggalkannya” [Al-Istiqaamah, hal. 164].
Ini adalah perkataan yang jelas dari Syaikhul-Islaam rahimahullah bahwa bid’ah pengingkaran terhadap sifat ‘ulluw Allah lebih besar daripada bid’ah khalqul-qur’an. Padahal, kita telah membaca bagaimana pandangan para imam terhadap bid’ah khalqul-qur’an.
Hal itu dikarenakan ilmu tentang sifat ‘ulluw Allah bukan hanya dapat dicapai dengan dalil, tapi juga dengan akal sehat dan fithrah. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وهذا تصريح من أبى حنيفة بتكفير من أنكر أن يكون الله فى السماء واحتج على ذلك بأن الله فى أعلى عليين وأنه يدعى من أعلى لا من أسفل وكل من هاتين الحجتين فطرية عقلية فان القلوب مفطورة على الاقرار بأن الله فى العلو وعلى أنه يدعى من أعلى لا من أسفل
“Ini merupakan tashriih dari Abu Haniifah tentang pengkafiran terhadap orang yang mengingkari bahwasannya Allah di atas langit. Ia berhujjah terhadap hal itu bahwa Allah di atas tempat yang tertinggi. Allah diseru dari atas (yaitu dengan menengadahkan tangan ke atas ketika berdoa – Abul-Jauzaa’), bukan dari bawah[6]. Dua macam hujjah ini adalah (hujjah) secara fithriyyah ‘aqliyyah. Sesungguhnya semua hati itu sesuai fithrahnya pada pengakuannya bahwasannya Allah di atas ketinggian dan Dia diseru dari atas, bukan dari bawah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 5/48-49].
Orang yang mengingkari ketinggian Allah di atas makhluk-Nya, selain mengingkari dalil, juga mengingkari fitrah dan akal sehatnya.
Jika demikian, akankah kita tetap memutlakkan bid’ah pengingkaran sifat ‘ulluw sebagai perkara samar (khafiy) – sebagaimana perkataan ‘mereka’ ?[7].
Meskipun perkara nama dan sifat tersebut di atas di kalangan salaf dan ulama mutaqaddimiin merupakan perkara yang jelas – (lagi-lagi) bukan samar sebagaimana kata ‘mereka’ – , namun ketika tersebarnya kebodohan di kalangan awam akibat bid’ah yang disebarkan kaum Jahmiyyah, mereka (para ulama) memberikan udzur kejahilan bagi orang awam hingga tegak padanya hujjah.
Muhammad bin Idriis As-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
للهِ أَسْمَاءٌ وَصِفَاتٌ، جَاءَ بِهَا كِتَابُهُ ، وَأَخْبَرَ بِهَا نَبِيُّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ ، لاَ يَسَعُ أَحَداً قَامَتْ عَلَيْهِ الحُجَّةُ رَدُّهَا ، لأَنَّ القُرْآنَ نَزَلَ بِهَا ، وَصَحَّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ القَوْلَ بِهَا. فَإِنْ خَالَفَ ذَلِكَ بَعْدَ ثُبُوتِ الحُجَّةِ عَلَيْهِ : فَهُوَ كَافِرٌ ، فَأَمَّا قَبْلَ ثُبُوْتِ الحُجَّةِ ، فَمَعْذُورٌ بِالجَهْلِ ، لأَنَّ عِلْمَ ذَلِكَ لاَ يُدْرَكُ بِالعَقْلِ ، وَلاَ بِالرَّوِيَّةِ وَالفِكْرِ ، وَلاَ نُكَفِّرُ بِالجَهْلِ بِهَا أَحَداً إِلاَّ بَعْدَ انتهَاءِ الخَبَرِ إِلَيْهِ بِهَا
“Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang dijelaskan dalam Kitab-Nya dan dikhabarkan oleh Nabi-Nya kepada umatnya. Tidak ada kelonggaran bagi siapapun untuk menolaknya ketika telah tegak hujjah kepadanya, karena Al-Qur’an turun dengannya dan telah shahih dari Rasulullah perkataan tentangnya. Apabila ia menyelisihi hal itu setelah tetapnya hujjah padanya, maka ia kafir. Namun jika penyelisihannya itu sebelum tetapnya hujjah, maka ia diberikan ‘udzur kejahilan, karena ilmu tentang hal itu tidaklah dicapai dengan akal, pandangan, dan pemikiran. Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun yang tidak mengetahuinya kecuali setelah hal itu (hujjah/nash) sampai kepadanya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/79-80].
Perkataan Asy-Syaafi’iy sangat mirip dengan Abu Ja’far Ath-Thabariy rahimahumallah berikut:
ونظائرها مما وصف الله عز وجل بها نفسه أو وصف بها رسوله ﷺ مما لا تدرك حقيقة علمه بالفكر والروية، ولا نكفر بالجهل بها أحداً إلا بعد انتهائها إليه
“Sesungguhnya makna-makna yang telah aku sebutkan ini dan selainnya dari apa saja yang telah Allah ‘azza wa jalla sifatkan diri-Nya dengannya atau disifatkan oleh Rasul-Nya dengannya, yang hakekat ilmunya tidak dapat dicapai dengan akal pikiran maupun pengamatan; maka kami tidak mengkafirkan seorangpun yang tidak mengetahuinya kecuali setelah hal itu (hujjah/nash) sampai kepadanya” [At-Tabshiir fii Ma’aalimid-Diin, hal. 140].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ثم الفلاسفة والباطنية هم كفار كفرهم ظاهر عند المسلمين كما ذكر هو وغيره وكفرهم ظاهر عند أقل من له علم وإيمان من المسلمين إذا عرفوا حقيقة قولهم لكن لا يعرف كفرهم من لم يعرف حقيقة قولهم وقد يكون قد تشبث ببعض أقوالهم من لم يعلم أنه كفر فيكون معذورا لجهلة
“Kemudian kaum Falaasifah (filosof) dan Baathiniyyah, mereka itu adalah kafir dengan kekufuran yang jelas menurut kaum muslimin, sebagaimana yang disebutkannya (Al-Ghazaaliy) dan yang lainnya.  Kekufuran mereka jelas bagi orang yang memiliki sedikit pengetahuan dan keimanan dari kaum muslimin apabila mereka mengetahui hakekat perkataan mereka. Akan tetapi tidaklah mengetahui kekufuran mereka orang yang tidak mengenal hakekat perkataan mereka (yang kufur). Kadang-kadang ada seseorang bergantung pada sebagian perkataan (kufur) mereka dimana ia tidak mengetahui perkataan itu kufur, sehingga ia diberikan ‘udzur atas kejahilannya tersebut” [Syarh Al-‘Aqiidah Al-Asfahaaniyyah, hal. 127-128].
Begitu juga kemudian ketika menyebar sebagian perkara kesyirikan di tengah kaum muslimin dengan dalih tawassul (syirkiy), tabarruk (syirkiy), atau istighaatsah (syirkiy) yang dikomandoi para ulama suu’ dan ahli bid’ah; maka para ulama juga memberi ruang udzur kejahilan bagi orang jahil yang tertipu syubhat mereka hingga tegak padanya hujjah.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فإنا بعد معرفة ما جاء به الرسول نعلم بالضرورة انه لم يشرع لأمته أن تدعو أحدا من الأموات لا الأنبياء ولا الصالحين ولا غيرهم لا بلفظ الاستغاثة ولا يغيرها ولا بلفظ الاستعاذة ولا يغيرها كما أنه لم يشرع لأمته السجود لميت ولا لغير ميت ونحو ذلك بل نعلم أنه نهى عن كل هذه الأمور وأن ذلك من الشرك الذي حرمه الله تعالى ورسوله لكن لغلبة الجهل وقلة العلم بآثار الرسالة في كثير من المتأخرين لم يكن تكفيرهم بذلك حتى يتبين لهم ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم مما يخالفه
“Maka setelah kita mengetahui risalah yang dibawa Rasulullah , kita mengetahui dengan pasti[8] bahwa tidaklah disyari’atkan bagi umatnya untuk berdoa kepada orang mati, baik para Nabi, orang shaalih, dan yang lainnya; tidak dengan lafadh istighatsah, isti’adzah, atau yang lainnya. Sebagaimana juga tidak disyari’atkan bagi umatnya untuk sujud kepada mayit atau selain mayit, dan yang lainnya. Bahkan kita mengetahui beliau melarang semua perkara itu, karena termasuk kesyirikan yang diharamkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Akan tetapi karena meratanya kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar-atsar risalah pada kebanyakan orang-orang yang hidup di masa belakangan (muta’akhkhiriin), maka kita tidak langsung mengkafirkan mereka karena perkara tersebut, hingga jelas bagi mereka syari’at yang dibawa Rasulullah yang menyelisihi perbuatan mereka tersebut” [Ar-Radd 'alal-Bakriy, 2/731].
Di lain tempat, setelah menjelaskan perbuatan kesyirikan dan bid’ah yang dilakukan orang-orang di kuburan, Ibnu Taimiyyah rahimahullahberkata:
وهذا الشرك إذا قامت على الإنسان الحجة فيه ولم ينته وجب قتله كقتل أمثاله من المشركين ولم يدفن في مقابر المسلمين ولم يصلَّ عليه وأما إذا كان جاهلا لم يبلغه العلم ولم يعرف حقيقة الشرك الذي قاتل عليه النبي صلى الله عليه وسلم المشركين فإنه لا يحكم بكفره ولا سيما وقد كثر هذا الشرك في المنتسبين إلى الإسلام ومن اعتقد مثل هذا قربة وطاعة فإنه ضال باتفاق المسلمين وهو بعد قيام الحجة كافر
“Ini adalah kesyirikan. Apabila telah tegak hujjah pada seseorang padanya namun ia tidak berhenti (dari perbuatan syirik tersebut), maka wajib untuk membunuhnya seperti pembunuhan terhadap orang yang semisal dengannya dari kalangan orang-orang musyrik. Ia tidak dikuburkan di kuburan kaum muslimin dan tidak pula dishalati. Namun apabila ia seorang yang jaahil yang belum sampai kepadanya ilmu yang membuatnya mengetahui hakekat kesyirikan yang membuat Nabi memerangi orang-orang musyrik, maka ia tidak dihukumi kafir. Khususnya, banyak kesyirikan ini dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam. Barangsiapa yang berkeyakinan seperti ini dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah dan taat kepada-Nya, maka ia sesat berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Setelah adanya penegakan hujjah, maka ia dikafirkan” [Jaami’ Al-Masaail, 3/151].
Atau perkara rukun Islam….. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما الفرائض الأربع فإذا جحد وجوب شيء منها بعد بلوغ الحجة فهو كافر وكذلك من جحد تحريم شيء من المحرمات الظاهرة المتواتر تحريمها كالفواحش والظلم والكذب والخمر ونحو ذلك وأما من لم تقم عليه الحجة مثل أن يكون حديث عهد بالاسلام أو نشأ ببادية بعيدة لم تبلغه فيها شرائع الاسلام ونحو ذلك أو غلط فظن أن الذين آمنوا وعملوا الصالحات يستثنون من تحريم الخمر كما غلط فى ذلك الذين استتابهم عمر وأمثال ذلك فإنهم يستتابون وتقام الحجة عليهم فإن اصروا كفروا حينئذ ولا يحكم بكفرهم قبل ذلك كما لم يحكم الصحابة بكفر قدامة بن مظعون وأصحابه لما غلطوا فيما غلطوا فيه من التأويل
“Adapun kewajiban-kewajiban rukun Islam yang empat (setelah syahadat), apabila ada seseorang mengingkari kewajibannya setelah sampai hujjah kepadanya, maka ia kafir. Begitu juga dengan orang yang mengingkari keharaman sesuatu yang jelas lagi mutawatir status keharamannya seperti perbuatan keji ( = zina), berbuat dhalim, berdusta, minum khamr, dan yang semisalnya. Namun bagi orang yang belum tegak padanya hujjah seperti orang yang baru masuk Islam atau hidup di daerah terpencil yang jauh (dari ilmu dan ulama) yang belum sampai kepadanya syari'at-syari'at Islam, atau keliru dengan menyangka bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih dikecualikan dalam pengharaman minum khamr sebagaimana telah keliru orang-orang yang diminta 'Umar (bin Al-Khaththaab) untuk bertaubat, dan yang semisalnya; maka mereka diminta untuk bertaubat dan ditegakkan hujjah kepada mereka. Apabila mereka bersikeras melakukannya (setelah itu), maka dikafirkan - pada waktu itu - , dan mereka tidak dihukumi kafir sebelum itu. sebagaimana para shahabat tidak menghukumi kekufuran Qudaamah bin Madh'uun dan shahabat-shahabatnya ketika mereka keliru pada perkara yang mereka keliru dalam mena'wilkannya......"[9] [Majmuu' Al-Fataawaa, 7/609-610].
Tentu para ulama memberikan fatwa demikian dengan landasan dalil. Diantaranya firman Allah ta’ala:
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ * إِنَّ هَؤُلَاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ * قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Dan Kami seberangkan Bani Israel ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israel berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)". Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab: "Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat” [QS. Al-A’raaf : 138-140].
Ibnul-Jauziy rahimahullah menjelaskan:
وهذا إخبار عن عظيم جهلهم حيث توهموا جواز عبادة غير الله بعدما رأوا الآيات
“Dan ini merupakan khabar tentang besarnya kejahilan mereka, yaitu ketika menyangka boleh beribadah kepada selain Allah setelah mereka melihat ayat-ayat (mu’jizat)” [Zaadul-Masiir, 3/254].
‘Abdurrahmaan bin Yahyaa Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy rahimahullah menjelaskan:
يظهر من جواب موسى عليه السلام أنه وإن أنكر عليهم جهلهم : لم يجعل طلبهم ارتدادا عن الدين ، ويشهد لذلك أنهم لم يؤاخذوا هنا ، كما أوخذوا به عند اتخاذهم العجل ، فكأنهم هنا - والله أعلم - عذروا بقرب عهدهم
“Nampak dari jawaban Muusaa ‘alaihis-salaam bahwa ia (muusaa) – meskipun dirinya mengingkari mereka terhadap kejahilan mereka – tidak menjadikan permintaan mereka sebab murtad/keluar dari agama. Dan yang menjadi buktinya, di sini mereka tidak dihukum (dikenai dosa) sebagaimana mereka dihukum (dikenai dosa) ketika membuat patung anak sapi. Maka seakan-akan mereka di sini – wallaahu a’lam– diberikan udzur dikarenakan baru masuk Islam” [Majmuu’ Ar-Rasaail, 1/142].
Dalil-dalil lain tentang udzur kejahilan ini dapat dibaca di artikel 1, 2, 3. Atau membaca tag Udzur Kejahilan.
Intinya, kaedah umum memang menegaskan bahwa mengingkari perkara yang jelas yang termasuk al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah dapat mengkonsekuensikan kekufuran secara mu’ayyan tanpa perlu iqaamatul-hujjah. Sebaliknya, orang yang mengingkari perkara yang samar, maka tidak dikafirkan sebelum ditegakkan padanya hujjah. Ini kaedah umum. Namun ketika bicara penghukuman person/individu di tempat dan waktu tertentu; tetap harus diteliti dahulu (dengan memperhatikan kondisi orangnya dan permasalahannya). Permasalahan jelas dan samar itu dapat relatif sebagaimana disinggung di awal.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فكون الشىء معلوما من الدين ضرورة أمر اضافي فحديث العهد بالاسلام ومن نشأ ببادية بعيدة قد لا يعلم هذا بالكلية فضلا عن كونه يعلمه بالضرورة وكثير من العلماء يعلم بالضرورة أن النبى سجد للسهو وقضي بالدية على العاقلة وقضى أن الولد للفراش وغير ذلك مما يعلمه الخاصة بالضرورة وأكثر الناس لا يعلمه البتة
“Bahwasannya keberadaan perkara al-ma'luum minad-diin bidl-dlaruurah merupakan perkara idlaafiy. Baru masuk Islam dan orang yang hidup di daerah terpencil (jauh dari ilmu dan ulama) kadang tidak mengetahui semua hal ini, apalagi mengetahuinya secara dlaruurah (pasti/aksiomatik). Kebanyakan ulama mengetahui secara pasti bahwasannya Nabi melakukan sujud sahwi, memutuskan kewajiban diyat bagi 'aqilah (keluarga pembunuh), memutuskan anak zina milik ibunya, dan perkara lainnya yang diketahui secara pasti oleh orang-orang khusus (ulama) dimana kebanyakan manusia (awam) tidak mengetahuinya sama sekali” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 13/118].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata dalam satu dialog:
لو فرضْنا أنه يقول: أنا أعيش في قوم يذبحون للأولياء، ولا أعلم أن هذا حرام، فهمْتَ؟ هذه تكون خفية؛ لأن الخفاء والظهور أمر نسبي، قد يكون ظاهراً عندي ما هو خفيٌ عليك، وظاهرٌ عندك ما هو خفيٌّ عليَّ
“Seandainya kita asumsikan ada orang berkata : ‘Aku hidup di tengah kaum yang menyembelih untuk para wali, namun aku tidak mengetahui perbuatan ini haram’. Pahamkah engkau ?. Maka ini (baginya) merupakan perkara yang samar (khafiyyah), karena samar dan jelas itu adalah perkara yang nisbi. Kadang ada sesuatu yang jelas menurutku, namun samar bagimu. Begitu juga sebaliknya, jelas bagimu, namun samar bagiku...” [Pertemuan Terbuka, kaset no. 48, side B - http://islamqa.info/ar/111362].
Dengan memperhatikan dalil dan pengamalan ulama terdahulu dalam praktek pengkafiran individu, maka tidak dibedakan perkara jelas atau samar dengan pengklasifikasian yang tegas sebagaimana ‘mereka’ lakukan (seperti misal perkataan mereka : istighatsah adalah perkara yang jelas, sedangkan asmaa’ wa shifaat adalah perkara samar). Bisa jadi satu perkara tertentu dihukumi jelas bagi seseorang sehingga dalam pengkafirannya tidak perlu penegakan hujjah untuk dirinya; namun bagi orang lain di tempat yang lain, perkara itu baginya adalah perkara yang samar. Tidak dapat diglobalkan. Karena itu Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
فتجب إقامة الحجة قبل التكفير، وذلك في كل المسائل التي يمكن أن يجهلها الناس، فلا نقسم المسائل إلى مسائل ظاهرة ومسائل خفية؛ لأن الظهور والخفاء أمر نسبي، قد تكون المسألة ظاهرة عندي وخفية عند غيري، فلابد إذاً من إقامة الحجة وعدم التسرع في التكفير؛ لأن إخراج رجل من ملة الإسلام ليس بالأمر الهين، وهناك موانع تمنع من تكفير الشخص وإن قال أو فعل ما هو كفر
“Maka wajib menegakkan hujjah sebelum pengkafiran, dan itu berlaku pada setiap permasalahan yang dimungkinkan orang tidak mengetahuinya. Kami tidak membagi permasalahan menjadi permasalahan yang jelas dan permasalahan yang samar, karena jelas dan samar itu perkara yang nisbi (relatif). Kadang satu permasalahan adalah jelas menurutku, namun samar menurut selainku. Maka dalam hal ini harus ada penegakan hujjah dan tidak boleh tergesa-gesa dalam pengkafiran. Hal itu dikarenakan mengeluarkan seseorang dari agama Islam bukan perkara yang enteng. Terdapat penghalang-penghalang yang menghalangi pengkafiran individu, meskipun ia mengatakan atau melakukan perbuatan kufur”[10][Pertemuan Terbuka, 16/48 – lihat juga yang semakna dalam Asy-Syarhul-Mumti’, 2/25].
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – dps – 21012018].




[1]   Perkataan ‘mah, mah’ merupakan perkataan/kalimat cercaan/hardikan dengan maksud mencegah/menghentikan [Syarh Shahiih Muslim lin-Nawaawiy, 3/193 & 6/34].
[2]   Ibnu Thaahir Al-Maqdiisiy rahimahullah berkata:
قرأت على أبي بكر السمسار بأصبهان، أخبركم جعفر الفقيه قال: سألت أبا القاسم سليمان الطبراني: ما قولك -رحمك الله- فيمن يقول: إن أهل التوحيد يخرجون من النار إلا من يقول: القرآن مخلوق؟ فكتب في جوابه :
من قال: القرآن مخلوق فهو كافر بالله العظيم بلا اختلاف بين أهل العلم والسنة؛ لأنه زعم أن الله تعالى مخلوق؛ لأن القرآن كلام الله عز وجل تكلم به وكلم به جبريل الروح الأمين، وأنزله جبريل عليه السلام من عند الله هكذا. قال الله تبارك وتعالى: {نزل به الروح الأمين}، وأنزله جبريل على قلبك، من قال: إنه مخلوق، فهو شر من اليهود والنصارى وعبدة الأوثان، وليس من أهل التوحيد المخلصين الذين أدخلهم الله النار عقوبة منه لأعمال استوجبوا بها النار، فيخرجهم الله من النار برحمته وشفاعة نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وشفاعة الشافعين، ومن زعم أن من يقول: ((إن القرآن مخلوق)) يخرج من النار فهو كافر كمن زعم أن اليهود والنصارى يخرجون من النار.
Aku pernah membacakan (riwayat) kepada Abu Bakr As-Simsaariy di Ashbahaan : Telah mengkhabarkan kepada kalian Ja’far Al-Faqiih, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abul-Qaasim Sulaimaan Ath-Thabaraaniy : “Apa pendapatmu – semoga Allah memberikan rahmat kepadamu – terhadap orang yang mengatakan : Ahli tauhid keluar dari neraka kecuali orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk ?. Ia menuliskan jawabannya (sebagai berikut) :
‘Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir kepada Allah yang Maha Agung tanpa ada perselisihan di kalangan ulama dan Ahlus-Sunnah, karena dirinya menyangka (dengan perkataannya itu) Allah adalah makhluk. Al-Qur’an adalah kalaamullah(firman Allah) ‘azza wa jalla yang Allah firmankan dan diucapkan oleh Jibriil Ar-Ruuhul-Amiin. Jibriil ‘alaihis-salaam menurunkannya (Al-Qur’an) dari sisi Allah demikian. Allah tabaaraka wa ta’ala berfirman : ‘dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril)’ (QS. Asy-Syu’araa’ : 193), dan kemudian Jibriil menurunkannya di hatimu. Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk, maka ia lebih buruk daripada Yahudi, Nashara, dan penyembah berhala. Tidak ada dari kalangan ahli tauhid yang benar-benar ikhlash yang kemudian Allah masukkan ke dalam neraka sebagai satu hukuman kepadanya karena amal perbuatan yang mengkonsekuensikan neraka, (melainkan) akan Allah keluarkan mereka dari neraka dengan rahmat-Nya, syafa’at Nabi-Nya Muhammad , dan syafa’at orang-orang yang memberi syafa’at. Barangsiapa yang menyangka orang yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah makhluk’ keluar dari (kekekalan adzab) neraka, maka ia kafir seperti halnya orang yang yang menyangka Yahudi dan Nashara keluar dari (kekekalan adzab) neraka” [Al-Hujjah fii Taarikil-Mahajjah, 2/484].
Perkataan Ath-Thabaraaniy ini sekaligus sebagai penjelas perkataan ‘Abbaas An-Nursiy yang menyamakan kedudukan permasalahan tauhid al-asmaa’ wash-shifaat dengan tauhid uluhiyyah.
[3]   Syaadz bin Yahyaa Al-Waasithiy dikatakan Ibnu Hajar maqbuul. Namun yang benar – wallaahu a’lam– dirinya seorang shaduuq, hasan haditsnya, karena Muhammad bin Ismaa’iil Al-Waasithiy (tsiqah) ketika meriwayatkan darinya, ia memujinya; dan Muhammad bin Ismaa’iil satu negeri dengan Syaadz sehingga dirinya lebih mengetahui perihal penduduk negerinya dan (sekaligus) gurunya dibandingkan yang lain. Selain itu, Ahmad bin Hanbal mengenalnya pula [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal. 122 no. 50 dan Tahdziibut-Tahdziib 4/299-300 no. 525, dan Taqriibut-Tahdziibhal. 429 no. 2746].
[4]   Yaitu ‘aqidah bahwasannya Allah kelak dapat dilihat di akhirat. Silakan baca artikel 'Aqidah Ahlus-Sunnah : Kaum Mukminin Kelak Akan Melihat Allah di Hari Kiamat/Akhirat (Ru'yatullah).
[5]   Yaitu pengingkaran terhadap sifat ‘ulluw Allah subhaanahu wa ta’ala.
[6]   Abu Haniifah rahimahullah berkata:
والله يدعى من أعلى لا من أسفل لأن الأسفل ليس من وصف الربوبية والألوهية في شيء
“Allah ta’ala diseru Allah diseru dari atas (yaitu dengan menengadahkan tangan ke atas ketika berdoa – Abul-Jauzaa’), bukan dari bawah, karena bawah bukan termasuk pensifatan rububiyyah dan uluhiyyah sedikit pun” [Al-Fiqhul-Absath, hal. 40 – melalui buku Haqiiqatut-Tauhiid Baina Ahlis-Sunnah wal-Mutakallimiin oleh ‘Abdurrahiim As-Sulamiy, hal. 114].
‘Aliy Al-Qaariy rahimahullah menyebutkan:
وما روي عن أبي مطيع البلخي أنه سأل أبا حنيفة رحمه الله عمن قال لا أعرف ربي في السماء هو أم في الأرض ، فقال: قد كفر لأن الله تعالى يقول : {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [سورة طه ] ، وعرشه فوق سبع سمواته ، قلت : فإن قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض !، قال : هو كافر لأنه أنكر كونه في السماء فمن أنكر كونه في السماء فقد كفر لأن الله تعالى في أعلى عليين وهو يدعى من أعلى لا من أسفل
Dan apa yang diriwayatkan dari Abu Muthii’ Al-Balkhiy bahwasannya ia pernah bertanya kepada Abu Haniifah rahimahullah tentang orang yang berkata : ‘Aku tidak mengetahui Rabbku di langit ataukah di bumi’. Makai a (Abu Haniifah) berkata : “Sungguh ia kafir, karena Allah ta’ala berfirman : ‘Ar Rahman (Allah) ber-istiwa di atas 'Arsy” (QS. Thaha : 5), dan ‘Arsy-Nya di atas tujuh langit-Nya”. Aku berkata : “Apabila dirinya berkata : ‘Sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy, namun aku tidak tahu ‘Arsy itu di langit ataukah di bumi”. Abu Haniifah berkata : “Ia kafir karena mengingkari keberadaan-Nya di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari keberadaan-Nya di atas langit, sungguh ia telah kafir karena Allah ta’ala di atas tempat yang tertinggi, dan Ia diseru dari atas (yaitu dengan menengadahkan tangan ke atas ketika berdoa – Abul-Jauzaa’), bukan dari bawah” [Syarh Al-Fiqhil-Akbar, hal. 197-198].
[7]   Beberapa waktu lalu beredar video drama yang cukup provokatif dari ‘oknum MUI’ yang mempermasalahkan perkara sifat ‘ulluw dengan bahasa dan pilihan kata ala srimulat. Menyedihkan, tapi lebih dominan konyolnya.
Silakan baca artikel : Berisyarat ke Langit.
[8]   Perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah: [نعلم بالضرورة] ‘kita mengetahui secara pasti’, maksudnya hal itu termasuk al-ma’luum mind-diin nidl-dlaruurah. Di sini, Ibnu Taimiyyah rahimahullah tetap memberikan ruang ‘udzur kejahilan karena tersebarnya kebodohan dan sedikit ilmu di masa itu dalam perkara tersebut, sehingga hal-hal yang telah jelas diketahui dengan pasti oleh sebagian orang di tempat dan waktu tertentu, ternyata tidak diketahui oleh sebagian yang lain di tempat dan waktu yang lain pula.
[9]   Padahal di lain tempat Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومن جحد وجوب بعض الواجبات الظاهرة المتواترة كالصلوات الخمس وصيام شهر رمضان وحج البيت العتيق أو جحد تحريم بعض المحرمات الظاهرة المتواترة كالفواحش والظلم والخمر والميسر والزنا وغير ذلك أو جحد حل بعض المباحات الظاهرة المتواترة كالخبز واللحم والنكاح فهو كافر مرتد يستتاب فان تاب والا قتل وان اضمر ذلك كان زنديقا منافقا لا يستتاب عند اكثر العلماء بل يقتل بلا استتابة إذا ظهر ذلك منه
“Dan barangsiapa yang mengingkari kewajiban sebagian perkara yang diwajibkan yang jelas lagi mutawatir seperti shalat yang lima, puasa bulan Ramadlaan, dan haji di Baitullah; atau mengingkari pengharaman sebagian perkara haram yang jelas lagi mutawatir seperti perbuatan keji, kedhaliman, khamr, judi, zina, dan yang lainnya; atau mengingkari halalnya sebagian perkara halal yang jelas lagi mutawatir seperti roti, daging, dan nikah; maka ia kafir lagi murtad dan ia diminta untuk bertaubat. Jika bertaubat, maka taubatnya diterima. Jika tidak bertaubat, maka dibunuh. Apabila ia menyembunyikan perbuatannya itu, maka statusnya zindiq munafik, tidak diminta untuk bertaubat menurut jumhur ulama. Bahkan ia langsung dibunuh tanpa diminta bertaubat apabila nampak perkara itu darinya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/405].
Artinya, Syaikhul-Islaam memang mengakui pemberlakuan kaedah ini. Namun dalam hal pengkafiran kepada individu tertentu, tetap harus hati-hati dengan meneliti kondisinya.
[10]  Penjelasan beliau rahimahullah ini sama seperti penjelasan Asy-Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy hafidhahullah.
NB : Sebagian orang ada yang meriang dengan penjelasan Asy-Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy hafidhahullah dan kemudian menuduhnya sebagai Murji’ah. Biasalah, tingkah kaum bingung dalam negeri yang tumpul dalam hujjah andalannya tuduh irjaa'. Salam mumet selalu...

Faedah Mengetahui Asbaabun-Nuzul

$
0
0
Mengetahui asbaabun-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an) sangatlah penting, karena mengandung beberapa faedah, diantaranya :
1.    Penjelasan bahwasannya Al-Qur’an benar-benar turun dari Allah ta’ala
Hal tersebut dikarenakan kadang Nabi ditanya tentang suatu perkara, lalu beliau diam tidak menjawabnya hingga kemudian turun kepada beliau wahyu (menjawabnya); atau tersembunyi atas beliau tentang satu permasalahan yang terjadi, lalu turun wahyu yang menjelaskan tentangnya kepada beliau .

Contoh pertama, seperti dalam firman Allah ta’ala :
 وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرّوحِ قُلِ الرّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبّي وَمَآ أُوتِيتُم مّن الْعِلْمِ إِلاّ قَلِيلاً
Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,”Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” [QS. Al-Israa’ : 85].
Dalam Shahiih Al-Bukhaariy, dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ada seorang laki-laki Yahudi bertanya kepada beliau : ”Wahai Abul-Qaasim, apa itu ruh?”. Maka Nabi terdiam – dalam lafadh lain : ‘menahan diri’ – tanpa memberikan jawaban apapun kepadanya. Lalu aku pun mengetahui bahwa sedang turun wahyu kepada beliau . Kemudian aku berdiri dari tempatku. Ketika turun wahyu, beliau bersabda :
 وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرّوحِ قُلِ الرّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبّي وَمَآ أُوتِيتُم مّن الْعِلْمِ إِلاّ قَلِيلاً
Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,”Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” [QS. Al-Israa’ : 85].[1]
Contoh kedua, seperti dalam firman Allah ta’ala :
يَقُولُونَ لَئِن رّجَعْنَآ إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنّ الأعَزّ مِنْهَا الأذَلّ
Mereka berkata : ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang mulia/kuat akan mengusir yang hina/lemah daripadanya” [QS. Al-Munaafiquun : 8].
Dalam Shahiih Al-Bukhaariy, bahwasannya Zaid bin Arqam radliyallaahu ‘anhu mendengar ‘Abdullah bin ‘Ubay bin Salul – salah seorang pemimpin kaum munafiq – mengatakannya (yaitu mengatakan sebagaimana yang tercantum dalam ayat – Abul-Jauzaa’). Yang ia (Ibnu Saluul) maksudkan dengan orang mulia/kuat adalah dirinya, dan orang yang hina/lemah adalah Rasulullah dan para shahabatnya. Maka Zaid mengkhabarkan kepada pamannya tentang hal tersebut, dan kemudian pamannya mengkhabarkannya kepada Nabi . Nabi kemudian memanggil Zaid lalu ia (Zaid) mengkhabarkan kepada Nabi apa-apa yang dia dengar. Maka beliau mengutus seseorang kepada ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul dan teman-temannya. Mereka bersumpah bahwa mereka tidak mengatakannya. Rasulullah membenarkan mereka, sehingga Allah menurunkan wahyu untuk membenarkan Zaid sebagaimana tersebut dalam ayat ini. Maka, jelaslah duduk perkaranya bagi Rasulullah .[2]
2.    Penjelasan tentang pertolongan Allah ta’ala kepada Rasul-Nya untuk membela beliau
Contohnya dalam firman Allah ta’ala :
وَقَالَ الّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلاَ نُزّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتّلْنَاهُ تَرْتِيلاً
Berkatalah orang-orang kafir : “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturnkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)” [QS. Al-Furqaan : 32].
Begitu pula dengan ayat-ayat tentang al-ifk (berita dusta), sesungguhnya ayat-ayat tersebut merupakan pembelaan terhadap tempat tidur Nabi (yaitu ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha) dan pensucian atas dirinya dari kebohongan para pendusta.[3]
3.    Penjelasan tentang pertolongan Allah ta’ala kepada hamba-Nya dengan melapangkan kesusahan dan menghilangkan kesedihan mereka
Contohnya adalah ayat tentang tayamum. Dalam Shahiih Al-Bukhaariy disebutkan bahwa kalung milik ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa hilang, yang ketika ia sedang ikut bersama Nabi dalam sebagian safarnya. Maka, Nabi pun mencarinya dan begitu juga orang-orang mencari hingga (ketika tiba waktu shalat) mereka tidak mendapatkan air (untuk wudlu). Mereka kemudian mengadukan hal itu kepada Abu Bakr – dan disebutkanlah hadits dimana padanya ada perkataan : ‘Maka  turunlah ayat tentang tayamum’. Lalu mereka melakukan tayamum. Usaid bin Hudlair berkata : ”Ini bukanlah barakah kalian yang pertama kalinya wahai keluarga Abu Bakr”.  Hadits ini terdapat dalam Shahiih Al-Bukhaariy dengan lafadh yang panjang.[4]
4.    Pemahaman (makna) ayat secara benar
Contohnya dalam firman Allah ta’ala :
 إِنّ الصّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللّهِ فَمَنْ حَجّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطّوّفَ بِهِمَا
Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya” [QS. Al-Baqarah : 158].
Sesungguhnya dhahir firman-Nya ta’ala : فَلاَ جُنَاحَ(maka tidak ada dosa baginya) menunjukkan perintah mengerjakan sa’i antara keduanya (Shafa dan Marwah) hanyalah bersifat mubah saja. Dalam Shahiih Al-Bukhaariy, dari ‘Aashim bin Sulaimaan, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu tentang Shafa dan Marwah. Lalu ia menjawab : “Kami berpendapat bahwa keduanya termasuk perkara jahiliyyah. Setelah Islam datang, kami melestarikannya”. Kemudian Allah ta’ala menurunkan firman-Nya :
إِنّ الصّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللّهِ
Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah
sampai dengan firman-Nya :
أَن يَطّوّفَ بِهِمَا
mengerjakan sa’i antara keduanya”.
Maka di di sini dapat diketahui bahwasannya peniadaan dosa maksudnya bukan penjelasan asal hukum sa’i. Namun yang dimaksudkan hanyalah peniadaan atas anggapan dosa ketika mereka menahan diri tidak melakukan sa’i antara keduanya dengan dasar anggapan mereka dahulu bahwa perbuatan itu termasuk perkara jahiliyyah. Adapun asal hukum sa’i, maka telah jelas dengan firman-Nya : ‘Termasuk sebagian syi’ar-syi’ar Allah’.
[selesai – Ushuulun fit-Tafsiir oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, hal. 11-13; Al-Maktabah Al-Islaamiyyah, Cet. 1/1422 H].



[1]   Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 125 & 4721 dan Muslim no. 2794
[2]   Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4900 & 4901 dan Muslim no. 2772
[3]   QS. An-Nuur : 11-26 – Abul-Jauzaa’
[4]   Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 334 & 336 dan Muslim no. 367 dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa

Turunnya Al-Qur’an Secara Ibtida’i dan Sababi

$
0
0
Turunnya Al-Qur’an dibagi menjadi dua macam :
1.    Secara Ibtida’i
Yaitu, ayat Al-Qur’an turun tanpa didahului oleh suatu sebab yang melatarbekanginya. Dan ini adalah keumuman ayat-ayat Al-Qur’an. Diantaranya adalah firman-Nya ta’ala:
 وَمِنْهُمْ مّنْ عَاهَدَ اللّهَ لَئِنْ آتَانَا مِن فَضْلِهِ لَنَصّدّقَنّ وَلَنَكُونَنّ مِنَ الصّالِحِينَ
Dan diantara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah; sesungguhnya Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bershadaqah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih” [QS. At-Taubah : 75].

Sesungguhnya ayat ini pada mulanya turun untuk menjelaskan keadaan sebagian orang-orang munafik. Adapun khabar masyhur bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Tsa’labah bin Hathib dalam suatu kisah yang panjang yang disebutkan oleh banyak ahli tafsir dan dikuatkan oleh banyak pemberi nasihat, merupakan riwayat yang dla’iif(lemah) yang tidak dapat dibenarkan.[1]
2.    Secara  sababi
Yaitu ayat Al-Qur’an turun didahului oleh suatu sebab yang melatarbelakangi.
Sebab-sebab tersebut bisa berupa :
Pertama, pertanyaan yang dijawab oleh Allah ta’ala.
Contohnya :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنّاسِ وَالْحَجّ
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji” [QS. Al-Baqarah : 189].
Kedua, kejadian sebuah peristiwa yang membutuhkan penjelasan dan peringatan.
Contohnya:
 وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنّ إِنّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab : “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja” [QS. At-Taubah : 65].
Dua ayat di atas turun berkenaan dengan seorang laki-laki dari golongan munafik yang berkata dalam suatu majelis pada waktu perang Tabuk : “Kami tidak melihat orang semisal pembaca Al-Qur’an kita ini, mereka paling besar perutnya, paling dusta lisannya, dan paling penakut ketika bertemu dengan musuh”. Yang dimaksudkan mereka adalah Rasulullah dan para shahabat beliau. Kemudian sampailah hal itu kepada Rasulullah , kemudian turunlah ayat Al-Qur’an. Kemudian laki-laki tersebut datang kepada Rasulullah untuk meminta maaf, lalu beliau menjawab:
 أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, danRasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” [QS. At-Taubah : 65].[2]
Ketiga, peristiwa yang terjadi yang membutuhkan penjelasan hukumnya.
Contohnya :
 قَدْ سَمِعَ اللّهُ قَوْلَ الّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيَ إِلَى اللّهِ وَاللّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمآ إِنّ اللّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Al-Mujaadilah : 1].
[selesai – Ushuulun fit-Tafsiir oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, hal. 10-11; Al-Maktabah Al-Islaamiyyah, Cet. 1/1422 H].



[1]   Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 8/218-219 dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 4357. Sanad hadits ini perlu diteliti kembali. Riwayat ini masyhur di kalangan ulama tafsir, wallaahu a’lam.
Al-Haafidh dalam Al-Fath, Kitabuz-Zakaat, Baab Wujuubuz-Zakaat, berkata : “Hadits ini dla’iif, tidak boleh dipergunakan sebagai hujjah”.
[2]   Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya 6/408, yaitu dalam tafsir surat Al-Maaidah dari hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.

Ketika Disengat Kalajengking

$
0
0
Dari 'Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu 'anhu, ia berkata:
لَدَغَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَقْرَبٌ وَهُوَ يُصَلِّي، فَلَمَّا فَرَغَ، قَالَ: لَعَنَ اللَّهُ الْعَقْرَبَ لا تَدَعُ مُصَلِّيًا وَلا غَيْرَهُ، ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ وَمِلْحٍ، وَجَعَلَ يَمْسَحُ عَلَيْهَا وَيَقْرَأُ بِ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
"Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam disengat seekor kalajengking ketika beliau sedang shalat. Setelah usai, beliau shallallaahu 'alaihi wa sallambersabda : 'Semoga Allah melaknat kalajengking. Ia tidak meninggalkan orang yang sedang shalat atau selainnya (kecuali disengatnya)'. Kemudian beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam meminta untuk diambilkan air dan garam, lalu mengusapkannya di atas luka sengatan dan membacakan Qul yaa ayyuhal-kaafiruun, qul a'uudzu birabbil-falaq, dan qul a'uudzu birabbin-naas".

Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir (Ar-Raudlud-Daaniy) 2/87 no. 830 dan dalam Al-Ausath 6/90-91 no. 5890, Al-Baihaqiy dalam Syu'abul-Iimaan no. 2341, Al-Khallaal dalam Fadlaailu Suraatil-Ikhlaash no. 55, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah hal. 1969 no. 4946 dan dalam Akhbaar Ashbahaan 2/223, serta Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtarah 2/344-345 no. 722; dari jalan Muhammad bin Al-Fudlail Adl-Dlabbiy, dari Mutharrif bin Thariif, dari Al-Minhal bin ‘Amru, dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfuu’.
Muhammad bin Al-Fudlail mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdurrahiim bin Sulaimaan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah[1]dalam Al-Mushannaf 7/398-399 (12/76) no. 24019 & 10/419 (15/376) no. 30420 dan darinya Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 2340 serta Abu Nu’aim dalam Kitaabut-Thibb (sebagaimana dalam Silsilah Ash-Shahiihah2/705).
Sanad riwayat ini shahih. Al-Haitsamiy rahimahullah berkata : “Sanadnya hasan” [Majma’uz-Zawaaid 5/111]. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahiihah 2/80.
Berikut keterangan para perawinya:
1.    Muhammad bin Fudlail bin Ghazwaan bin Jariir Adl-Dlabbiy, Abu ‘Abdirahmaan Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 889 no. 6267 dan Tahriirut-Taqriib 3/306-307 no. 6227].
2.    ‘Abdurrahiim bin Sulaimaan Al-Kinaaniy Ath-Thaa’iy, Abu ‘Aliy Al-Asyal Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, mempunyai beberapa tulisan [Taqriibut-Tahdziib, hal. 607 no. 4084].
3.    Mutharrif bin Thariif Al-Haaritsiy, Abu Bakr/Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan [Taqriibut-Tahdziib, hal. 948 no. 6750].
4.    Al-Minhaal bin ‘Amru Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 974 no. 6966 bersama Tahriirut-Taqriib, 3/421-422 no. 6918].
5.    Muhammad bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abul-Qaasim/Abu ‘Abdillah – terkenal dengan nama : Ibnul-Hanafiyyah – Al-Madaniy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 880 no. 6197].
6.    ‘Aliy bin Abi Thaalib bin ‘Abdil-Muthallib bin Haasyim Al-Qurasyiy, Abul-Hasan Al-Haasyimiy; salah seorang shahabat besar, amiirul-mukminiin. Termasuk thabaqah ke-1, dan meninggal tahun 40 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 698 no. 4787].
Catatan : Ada perbedaan lafadh tentang surat yang dibaca:
a.    Al-Khallaal dan Abu Nu’aim membawakan : Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas.
b.    Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqiy membawakan al-mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas).
c.    Ath-Thabaraniy membawakan : Al-Kaafiruun, Al-Falaq, dan An-Naas.
d.    Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy membawakan secara ringkas tanpa menyebutkan surat yang dibaca.
Lafadh surat yang mahfuudh lagi tersebut dalam semua riwayat adalah al-mu’awwidzatain(Al-Falaq dan An-Naas).
Sebagian muhaqqiq ada yang melemahkan hadits di atas berdasarkan apa yang tertera dalam kitab Al-‘Ilal :
وَسُئِلَ عَنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَنَفِيَّةِ، عَنْ عَلِيٍّ: "لَدَغَتِ النَّبِيُّ ﷺ عَقْرَبٌ وَهُوَ يُصَلِّي ".
فَقَالَ: هُوَ حَدِيثٌ يَرْوِيهِ الْمِنْهَالُ بْنُ عَمْرٍو، وَاخْتُلِفَ عَنْهُ، فَرَوَاهُ مُطَرِّفُ بْنُ طَرِيفٍ، عَنِ الْمِنْهَالِ فَأَسْنَدَهُ إِسْمَاعِيلُ بْنُ بِنْتِ السُّدِّيِّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ مُطَرِّفٍ، عَنِ الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو، عَنِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ، عَنْ عَلِيٍّ.
وَخَالَفَهُ مُوسَى بْنُ أَعْيَنَ، وَأَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَغَيْرُهُمَا، فَرَوُوهُ عَنْ مُطَرِّفٍ، عَنِ الْمِنْهَالِ، عَنِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ مُرْسَلًا.
وَكَذَلِكَ رَوَاهُ حَمْزَةُ الزَّيَّاتُ، عَنِ الْمِنْهَالِ، عَنِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ مُرْسَلًا،
وَهُوَ أَشْبَهُ بِالصَّوَابِ
Ad-Daaraquthniy ditanya tentang hadits Muhammad bin Al-Hanafiyyah, dari ‘Aliy : “Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam disengat seekor kalajengking ketika beliau sedang shalat”.
Ia (Ad-Daaraquthniy) berkata : “Itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Minhaal bin ‘Amru. Ada perselisihan (dari perawi) yang meriwayatkan darinya. Mutharrif meriwayatkan dari Minhaal; lalu Ismaa’iil bin binti As-Suddiy membawakan sanadnya dari Muhammad bin Fudlail, dari Mutharrif bin Thariif, dari Mutharrif, dari Al-Minhaal bin ‘Amru, dari Ibnul-Hanafiyyah, dari ‘Aliy.
Muusaa bin A’yan, Asbaath bin Muhammad, dan yang lainnya menyelisihinya (Muhammad bin Fudlail), dimana mereka meriwayatkannya dari Mutharrif, dari Al-Minhaal, dari Ibnul-Hanafiyyah secara mursal.
Begitu juga Hamzah bin Zayyaat yang meriwayatkan dari Al-Minhaal, dari Ibnul-Hanafiyyah secara mursal.
Inilah yang benar” [Al-‘Ilal, 4/122-123 no. 462 dan Al-Mukhtarah oleh Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy 2/345].
Ta’liil ini dijawab:
1.    Muhammad bin Fudlail tidak sendirian dalam periwayatan dari Mutharrif. Ia mempunyai mutaba’ahdari ‘Abdul-Kariim bin Sulaimaan Al-Kinaaniy. Artinya, persaksian Muhammad bin Fudlail atas periwayatan maushuul dari Mutharrif ini dibenarkan oleh ‘Abdul-Kariim. Keduanya adalah perawi tsiqah.
2.    Periwayatan mursal yang dikatakan Ad-Daaraquthniy belum ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Kecuali apa yang disandarkan kepada Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, namun penyandaran ini tidak benar.[2]
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – dps – 26012018].




[1]   Begitulah yang tertera dalam cetakan Daarul-Qiblah dengan tahqiiq Muhammad ‘Awwaamah yang tertulis secara maushuul. Adapun yang tertera dalam cetakan Maktabah Ar-Rusyd 8/33 no. 23900 & 10/175 no. 30298 dengan tahqiiq Hamad bin ‘Abdillah Al-Jum’ah dan Muhammad bin Ibraahiim Al-Luhaidaan tertulis secara mursal, yaitu dari Muhammad bin ‘Aliy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (tanpa menyebut ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu).
Yang benar adalah sebagaimana sanad riwayat yang tertera dalam cetakan Daarul-Qiblah dengan qarinah bahwa Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan membawakan riwayat tersebut dari Ibnu Abi Syaibah secara maushuul. Wallaahu a’lam.
Catatan : Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah kemudian mendla’ifkan lafadh maushuulkarena faktor Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah !! yang kemudian dianggap menyelisihi Baqiy bin Makhlad [Silsilah Ash-Shahiihah, 2/704-705].
Silakan baca keterangan Muhammad ‘Awwaamah dalam mentahqiq kitab Al-Mushannaf.
[2]   Sebagaimana penjelasannya dalam catatan kaki no. 1.
Viewing all 594 articles
Browse latest View live