Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Bentuk-Bentuk Istihlaal

$
0
0
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
العبد إذا فعل الذنب مع اعتقاد أن الله حرمه عليه ، واعتقاد انقياده لله فيما حرمه وأوجبه : فهذا ليس بكافر.
فأما إن اعتقد أن الله لم يحرمه ، أو أنه حرمه لكن امتنع من قبول هذا التحريم ، وأبى أن يذعن لله وينقاد : فهو إما جاحد ، أو معاند.
ولهذا قالوا: من عصى مستكبرا كإبليس كفر بالاتفاق.
ومن عصى مشتهيا لم يكفر عند أهل السنة والجماعة، وإنما يكفره الخوارج.
فإن العاصي المستكبر وإن كان مصدقا بأن الله ربه ، فإن معاندته له ومحادته تنافي هذا التصديق.
وبيان هذا : أن من فعل المحارم مستحلا لها فهو كافر بالاتفاق ، فإنه ما آمن بالقرآن من استحل محارمه ، وكذلك لو استحلها بغير فعل.

“Seorang hamba apabila melakukan suatu dosa namun berkeyakinan Allah mengharamkannya dan berkeyakinan untuk tunduk/patuh kepada Allah terhadap apa yang dilarang dan diwajibkan-Nya; maka orang ini tidak kafir.
Adapun jika hamba tersebut berkeyakinan Allah tidak mengharamkannya, atau Allah mengharamkannya akan tetapi tidak mau menerimanya pengharaman ini, serta enggan mentaati dan mematuhi Allah, maka bisa jadi ia adalah orang yang ingkar atau orang menentang/membangkang.
Oleh karena itu mereka (ulama) berkata : Barangsiapa yang melakukan maksiat dengan kesombongan seperti Iblis, kafir menurut kesepakatan.
Barangsiapa yang melakukan maksiat karena menginginkannya (dorongan hawa nafsu), maka tidak dikafirkan menurut Ahlus-Sunnah. Hanya kelompok Khawaarij yang mengkafirkannya.
Sesungguhnya orang yang bermaksiat dengan kesombongan - meskipun dirinya membenarkan Allah adalah Rabbnya -, maka sikap pembangkangan dan penentangannya terhadap-Nya menafikkan pembenaran ini.
Penjelasannya : orang yang melakukan hal-hal yang diharamkan dengan menghalalkannya, maka ia kafir menurut kesepakatan. Ia bukan seorang yang beriman kepada Al-Qur’an akibat penghalalannya terhadap apa yang diharamkan-Nya. Begitu pula seandainya dirinya menghalalkannya meski tanpa melakukannya.
والاستحلال : اعتقاد أنها حلال له ، وذلك يكون تارة باعتقاد أن الله أحلها ، وتارة باعتقاد أن الله لم يحرمها ، وتارة بعدم اعتقاد أن الله حرمها . وهذا يكون لخلل في الإيمان بالربوبية ، أو لخلل في الإيمان بالرسالة ، ويكون جحدا محضا غير مبني على مقدمة.
وتارة يعلم أن الله حرمها ، ويعلم أن الرسول إنما حرم ما حرمه الله ، ثم يمتنع عن التزام هذا التحريم، ويعاند المحرِّم فهذا أشد كفرا ممن قبله.
وقد يكون هذا مع علمه أن من لم يلتزم هذا التحريم عاقبه الله وعذبه.
Dan penghalalan (istihlaal) itu adalah : keyakinan bahwasannya sesuatu halal baginya. Hal tersebut kadang disertai dengan keyakinan bahwa Allah (memang) menghalalkannya, kadang dengan keyakinan bahwa Allah tidak mengharamkannya, dan kadang dengan ketiadaan keyakinan Allah mengharamkannya. Ini terjadi karena kerusakan imannya terhadap Rubuubiyyah atau kerusakan imannya terhadap risalah; sehingga terjadi pengingkaran murni yang tidak terbangun atas muqaddimah.
Dan kadang, orang bersangkutan mengetahui bahwa Allah telah mengharamkannya dan mengetahui bahwa Rasulullah hanyalah mengharamkan apa yang diharamkan Allah, kemudian ia tidak mau ber-iltizaam (berkomitmen) terhadap pengharaman ini dan menentang/membangkang apa yang diharamkan tersebut; maka ini lebih kufur daripada orang sebelumnya.
Dan kadang orang seperti ini mengetahui bahwa orang yang tidak berkomitmen terhadap pengharaman ini akan dihukum dan diadzab oleh Allah.
ثم إن هذا الامتناع و الإباء إما لخلل في اعتقاد حكمة الآمر و قدرته فيعود هذا إلى عدم التصديق بصفة من صفاته.
و قد يكون مع العلم بجميع ما يصدق به تمردا أو اتباعا لغرض النفس و حقيقة كفر هذا لأنه يعترف لله و رسوله بكل ما أخبر به و يصدق بكل ما يصدق به المؤمنون لكنه يكره ذلك و يبغضه و يسخطه لعدم موافقته لمراده و مشتهاه و يقول : أنا لا أقر بذلك و لا ألتزمه و أبغض هذا الحق و أنفر عنه فهذا نوع من غير النوع الأول و تكفير هذا معلوم بالاضطرار من دين الإسلام و القرآن مملوء من تكفير مثل هذا النوع بل عقوبته أشد.
“Kemudian, sesungguhnya penolakan dan keengganan ini, mungkin disebabkan karena kerusakan pada keyakinan hikmah dan kekuasaan Allah ta’ala. Maka hal ini kembali pada peniadaan tashdiiq (pembenaran) terhadap sifat dari sifat-sifat-Nya.
Kadangkala penolakan dan keengganan dilakukan dengan pengetahuannya terhadap seluruh perkara yang ia benarkan/imani, namun ia durhaka atau mengikuti keinginan hawa nafsunya. Dan hakekat perbuatan ini adalah kekufuran, karena ia mengakui apa yang dikhabarkan Allah dan Rasul-Nya, dan membenarkan semua perkara yang dibenarkan oleh kaum mukminin, akan tetapi ia malah benci, marah, dan tidak rela padanya karena adanya ketidaksesuaian pada keinginan dan hawa nafsunya. Orang tersebut berkata : ‘Aku tidak mengakuinya, tidak akan menjalankannya, aku membenci kebenaran ini dan akupun lari/menghindar darinya’. Jenis kekufuran ini beda dengan jenis kekufuran yang disebut di awal, dan kekafirannya sudah ma’lum lagi aksiomatik dalam agama Islam. Dan Al-Qur’an dipenuhi dengan bentuk pengkafiran semacam ini, dan bahkan hukumannya lebih keras” [Ash-Shaarimul-Masluul, hal. 521-522].
Dari penjelasan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di atas diketahui, istihlaal yang menyebabkan kekufuran adalah keyakinan (i’tiqaad) penghalalan terhadap sesuatu yang diharamkan Allah. Istihlaal ini ada beberapa bentuk:
1.      Menghalalkan apa yang diharamkan dengan melakukannya.
2.      Menghalalkan apa yang diharamkan tanpa melakukannya.
3.      Tidak mau komitmen terhadap apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dengan penolakan dan keengganan yang disertai rasa benci, marah, dan tidak rela.[1]Allah ta’ala berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ * ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan amal-amal mereka” [QS. Muhammad : 8-9].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullahberkata:
من كره ما جاء به النبي صلّى الله عليه وسلّم أو شيء منه فهو مرتد، قال تعالى: (ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ) ، ولا يحبط العمل إلاَّ بالردة
“Barangsiapa yang membenci syari’at yang dibawa oleh Nabi , maka ia murtad. Allah ta’ala berfirman : ‘Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan amal-amal mereka’ (QS. Muhammad : 9). Dan tidaklah amal terhapus kecuali dengan kemurtadan” [Asy-Syarhul-Mumti’, 15/66].
Maka, tidak boleh dipahami sekedar terus-menerus melakukan perbuatan kemaksiatan atau berhukum dengan selain hukum Allah dan meninggalkan hukum Allah dikafirkan pelakunya karena dianggap sebagai penghalalan (istihlaal).
Dalilnya:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: "أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا، وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ، فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا، فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: اللَّهُمَّ الْعَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ، مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab : Ada seorang laki-laki di jaman Nabi bernama ‘Abdullah, yang dijuluki keledai (himaar). Ia suka membuat Rasulullah tertawa. Nabi pernah mencambuknya karena ia mabuk. Suatu hari ia dihadapkan ke hadapan Nabi , lalu beliau memerintahkan agar ia dicambuk. Lalu ada seorang laki-laki dari satu kaum berkata : “Ya Allah, laknatilah ia, betapa sering ia dihukum”. Maka Nabi bersabda : "Janganlah kalian melaknatnya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahuinya kecuali ia mencintai Allah dan Rasul-Nya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6780].
Hadits ini adalah dalil yang jelas yang menunjukkan orang yang terus-menerus melakukan kemaksiatan tidak dihukumi dengan kekafiran[2].
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
ومن لَـقِيـَه مُصِـرّا غير تائب من الذنوب التي استوجب بها العقوبة فأمره إلى الله ، إن شاء عذّبه ، وإن شاء غفر له ، ومن لَـقِـيَـه وهو كافر عذّبه ولم يغفر له
“Barangsiapa yang berjumpa (dengan Allah) dalam keadaan (sewaktu di dunia) terus-menerus melakukan dosa tanpa (sempat) bertaubat dari dosa-dosa yang mengkonsekuensikan hukuman tersebut, maka perkaranya diserahkan kepada Allah. Apabila Ia berkehendak, maka Ia akan mengadzabnya, dan apabila Ia berkehendak, maka Ia akan mengampuninya. Dan barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan kafir, maka Allah akan mengadzabnya dan tidak mengampuninya” [Ushuulus-Sunnah, hal. 110 – syarh : Ibnu Jibriin].
Ibnu Abiz-Zamaniin Al-Maalikiy rahimahullahberkata:
ومَن مات مِن المؤمنين مُصِرًّا على ذنبه فهو في مشيئته وخياره، وليس لأحدٍ أن يَتسَوَّر على الله في علم غَيْبه وبجحود قضائه؛ فيقول: أَبَى ربُّك أن يَغْفِر للمُصرِّين، كما أَبَى أن يُعَذِّب التائبين {مَا يَكُونُ لَنَا أَن نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ}
“Barangsiapa yang meninggal dari kalangan orang-orang yang beriman yang terus-menerus melakukan dosa, maka ia berada dalam kehendak-Nya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk mendahului Allah dalam ilmu ghaib-Nya dan mengingkari ketetapan-Nya lalu berkata : ‘Rabbmu enggan untuk memberikan ampunan terhadap orang-orang yang terus-menerus berbuat dosa sebagaimana Dia enggan mengadzab orang-orang yang bertaubat’. Allah ta’ala berfirman: ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar’ (QS. An-Nuur : 16)” [Ushuulus-Sunnah, hal. 257].
Al-Khathiib Asy-Syarbiiniy rahimahullahberkata:
الْكَبِيرَة لَا تَصِيرُ بِالْمُوَاظَبَةِ كُفْرًا 
“Dosa besar tidak berubah menjadi kekufuran dengan giat terus-menerus melakukannya” [Mughnil-Muhtaj, 6/346].
Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah berkata:
الإصرار على الكبيرة التي هي دون الشرك لا يصير المصر عليها كافرا ، لأنها ما دامت دون الشرك ودون الكفر : فإنه يعتبر فاسقا ولا يخرج من الملة ، ولو أصر عليها
“Terus-menerus berbuat dosa besar di bawah kesyirikan, maka orang yang melakukannya tersebut tidak menjadi kafir. Karena selama dosa besar itu di bawah kesyirikan dan kekufuran (akbar), maka dirinya hanya dihukumi sebagai orang fasiq saja dan tidak keluar dari agama (murtad) meskipun terus-menerus melakukannya” [Dhaahiratut-Tabdii’ wat-Tafsiiq wat-Takfiir wa Dlawaabithuhu, hal. 60-61].
Seandainya pun suatu perbuatan dihukumi sebagai istihlaal, maka wajib iqaamatul-hujjaah sebelum pengkafiran terhadap pelakunya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
الاستحلال إذاً: استحلال فعلي واستحلال عقدي بقلبه.
فالاستحلال الفعلي: ينظر فيه للفعل نفسه ، هل يكفر أم لا ؟ ومعلوم أن أكل الربا لا يكفر به الإنسان ، لكنه من كبائر الذنوب ، أما لو سجد لصنم فهذا يكفر لماذا ؟ لأن الفعل يكفر؛ هذا هو الضابط ولكن لابد من شرط آخر وهو: ألا يكون هذا المستحل معذوراً بجهله، فإن كان معذوراً بجهله فإنه لا يكفر، مثل أن يكون إنسان حديث عهد بالإسلام لا يدري أن الخمر حرام، فإن هذا وإن استحله فإنه لا يكفر، حتى يعلم أنه حرام؛ فإذا أصر بعد تعليمه صار كافراً.
“Maka istihlaal itu (ada dua) : istihlaal fi’liy (perbuatan) dan istihlaal ‘aqdiy (keyakinan) dengan hatinya.
Istihlaal fi’liy, perlu dilihat dulu tentang jenis dzat perbuatannya, apakah (termasuk) dikafirkan ataukah tidak ?. Dan telah diketahui bahwasannya orang yang memakan riba tidak dikafirkan, akan tetapi perbuatan tersebut termasuk dosa besar. Adapun jika ia sujud kepada berhala, maka ini dikafirkan. Mengapa ? Karena (dzat) perbuatannya sendiri memang dikafirkan. Inilah kaedahnya. Akan tetapi tetap harus memenuhi syarat yang lain (dalam pengkafirannya), yaitu orang yang menghalalkan ini bukan orang yang diberikan udzur karena kejahilannya. Apabila ia adalah orang yang diberikan udzur karena kejahilannya, maka tidak dikafirkan. Seperti misal orang yang baru masuk Islam yang tidak tahu khamr diharamkan. Apabila orang ini menghalalkannya, tidak dikafirkan hingga ia mengetahui khamr itu haram. Apabila ia bersikeras/terus-menerus (dalam penghalalannya) setelah diberitahu/diajari, maka kafir” [Liqaa’ul-Baab Al-Maftuuh, 16/50].
Wallaahu a’lam bish-shawaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’, 2 Ramadlaan 1438 – silakan baca juga artikel : Istihlaal].



[1]     Termasuk kufur ‘inaad dan istikbaar. Silakan baca penjelasan macam-macam kekufuran pada artikel : Macam-Macam Kekufuran.
[2]     Meski demikian, kita tidak boleh meremehkan karena dosa besar dapat mengantarkan kepada kekufuran. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ولا ريب أن المعصية قد تكون سببا للكفر كما قال بعض السلف المعاصى بريد الكفر
“Dan tidak diragukan bahwa kemaksiatan kadang menjadi sebab kekufuran sebagaimana dikatakan sebagian salaf : ‘Kemaksiatan adalah pengantar menuju kekufuran” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/494].

Siapakah Sebaik-Baik Manusia ?

$
0
0
Bacalah hadits-hadits nabawiy yang shahih berikut ini, niscaya engkau akan mendapati sebaik-baik manusia.
1.      Orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.
Telah bersabda Rasulullah :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5027].
2.      Orang yang baik akhlaqnya.
Telah bersabda Rasulullah :

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا
Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kalian adalah yang paling baik akhlaqnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6035].
3.      Orang yang paling baik dalam melunasi hutang.
Telah bersabda Rasulullah :
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kalian adalah yang paling baik dalam pelunasan hutangnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2305].
4.   Orang yang paling diharapkan kebaikannya dan orang lain pun merasa aman dari kejelekannya.
Telah bersabda Rasulullah :
خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ
Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan (orang lain) merasa aman dari kejelekannya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2263; shahih].
5.      Orang yang paling baik kepada keluarganya.
Telah bersabda Rasulullah :
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ
Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3895; shahih].
6.      Orang yang faqih dalam agamanya.
Telah bersabda Rasulullah :
فَخِيَارُكُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُكُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقُهُوا
Maka sebaik-baik orang diantara kalian di masa Jahiliyyah adalah yang paling di masa Islamnya apabia mereka memahami (ajaran Islam)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3374].
7.      Orang yang gemar memberikan makanan kepada orang lain dan menjawab salam.
Telah bersabda Rasulullah :
خِيَارُكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ وَرَدَّ السَّلَامَ
Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang yang memberikan makanan dan menjawab salam” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/16; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiihul-Jaami’no. 3318].
8.      Orang yang senang merapatkan shaff dalam shalat.
Telah bersabda Rasulullah :
خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ
Sebaik-baik orang diantara kalian adalah yang mempunyai bahu paling lembut di dalam shalat[1]” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 672; shahih].
9.      Orang yang panjang usianya dan baik pula amalannya.
Telah bersabda Rasulullah :
خِيَارُكُمْ أَطْوَلُكُمْ أَعْمَارًا، وَأَحْسَنُكُمْ أَعْمَالًا
Sebaik-baik orang diantara kalian adalah yang paling panjang usianya dan paling baik amalannya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/235 & 2/403; shahih].
10.   Orang yang menepati janji.
Rasulullah bersabda:
أُولَئِكَ خِيَارُ عِبَادِ اللَّهِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُوفُونَ الْمُطِيبُونَ
Mereka adalah para hamba pilihan di sisi Allah pada hari Kiamat, yaitu orang-orang yang menepati janji dan berbuat baik” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/268; dihasankan sanadnya oleh Al-Arna’uth dkk.].
11.   Orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Rasulullah bersabda:
وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” [Diriwayatkan oleh Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab no. 129, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 5787, dan yang lainnya; shahih[2]].
[Dari faedah nasihat Asy-Syaikh Samiir Al-Muraadiy Al-Jazaairiy dengan tambahan - Abul-Jauzaa’ - 10 Ramadlaan 1438].



[1]     Maksud hadits ini adalah bahwa salah satu katagori orang yang paling baik adalah orang yang ketika berada di dalam shaff, kemudian ada orang lain yang memegang bahunya untuk menyempurnakan (merapatkan dan meluruskan) shaff, ia akan tunduk dengan hati yang ikhlash lagi lapang tanpa ada pembangkangan [lihat selengkapnya dalam Badzlul-Majhuud 4/338 dan Ma’alimus-Sunan 1/184].

Fatwa MUI tentang Haramnya Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama

Khuthbah ‘Ied : Sekali atau Dua Kali ?

$
0
0
Tanya : Berapakah jumlah khuthbah ‘Ied yang sesuai dengan sunnah ?
Jawab : Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan khutbah (shalat) ‘Ied adalah dua kali diselingi dengan duduk seperti khuthbah (shalat) Jum’at, dan sebagian yang lain mengatakan sekali.
Dalil paling kuat yang dibawakan oleh pendapat pertama adalah hadits :
نَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى الصَّنْعَانِيُّ، نَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، ثنا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ الْخُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ، وَكَانَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-A’laa Ash-Shan’aaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari ‘Abdullah (bin ‘Umar) : Bahwasannya Rasulullah dulu berkhutbah dengan dua kali khuthbah dalam keadaan berdiri. Beliau memisahkan antara keduanya dengan duduk [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 2/349 no. 1446; shahih].
Ibnu Khuzaimah rahimahullah meletakkan hadits tersebut dalam bab : Jumlah khuthbah dalam shalat ‘Iedain, dan pemisahan antara dua khuthbah dengan duduk. Ini adalah wahm dari Ibnu Khuzaimah rahimahullah, karena dalam riwayat yang lain, hadits tersebut merupakan hadits tentang shalat Jum’at.
وحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ، وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ، جميعا عَنْ خَالِدٍ، قَالَ أَبُو كَامِلٍ: حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ، قَالَ: كَمَا يَفْعَلُونَ الْيَوْمَ "
Dan telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-Qawaariiriy dan Abu Kaamil Al-Jahdariy, keduanya dari Khaalid – Abu Kaamil berkata : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Al-Haarits - : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Dulu Rasulullah berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri”. Ibnu ‘Umar berkata : “Sebagaimana yang dilakukan pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 861].
Khaalid dalam tashriih penyebutan ‘(hari) Jum’at’ mempunyai mutaba’ah dari Ma’mar bin Raasyid dan ‘Abdurrahmaan bin ‘Utsmaan Al-Bakraawiy.
Selain itu, beberapa imam yang lain meletakkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tersebut di atas dalam Kitaabul-Jum’ah, seperti Al-Bukhaariy (no. 920), Muslim, At-Tirmidziy (no. 506), An-Nasaa’iy (no. 1416), dan yang lainnya.
Juga hadits :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ، حَدَّثَنَا أَبُو بَحْرٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى، فَخَطَبَ قَائِمًا، ثُمَّ قَعَدَ قَعْدَةً، ثُمَّ قَامَ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hakiim : Telah menceritakan kepada kami Abu Bahr : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Muslim Al-Khaulaaniy : Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zubair, dari Jaabir, ia berkata : “Rasulullah keluar pada hari raya ‘Iedul-Fithri atau ‘Iedul-Adlha (untuk menunaikan shalat), lalu beliauberkhutbah dengan berdiri, kemudian duduk sejenak, dan kemudian berdiri kembali” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1289].
Sayangnya, riwayat ini sangat lemah dikarenakan Ismaa’iil bin Muslim dan Abu Bahr. Dilemahkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Dla’iif Sunan Ibni Maajah 1/95].
Ada beberapa atsar dari sebagian salaf yang menunjukkan khuthbah ‘Ied terdiri dari dua khuthbah, di antaranya :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِي، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، قَالَ: "مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يُكَبِّرَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى الْعِيدَيْنِ: تِسْعًا قَبْلَ الْخُطْبَةِ، وَسَبْعًا بَعْدَهَا "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Al-Qaariy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : “Termasuk sunnah adalah imam bertakbir sebanyak sembilan kami di atas mimbar pada waktu ‘Iedain sebelum khuthbah, dan tujuh kali setelahnya (yaitu pada khuthbah kedua)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/190 no. 5916; hasan].
وَقَالَ سَعِيدٌ : حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ ، قَالَ : يُكَبِّرُ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ أَنْ يَخْطُبَ تِسْعَ تَكْبِيرَاتٍ ، ثُمَّ يَخْطُبُ ، وَفِي الثَّانِيَةِ سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ
Dan telah berkata Sa’iid (bin Manshuur) : Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin ‘Abdirrahmaan, dari ayahnya, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : “Imam bertakbir di atas mimbar pada hari ‘Ied sebelum berkhuthbah sebanyak sembilan kali, kemudian berkhuthbah. Dan dalam khuthbah yang kedua sebanyak tujuh kali takbir” [Dibawakan oleh Ibnu Qudaamah dalam Al-Mughniy, 2/239; sanadnya shahih].
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah adalah salah seorang 7 fuqahaa terkemuka di Madiinah (al-fuqahaa’ as-sab’ah), generasi tabi’iin pertengahan, dan wafat tahun 90-an H.
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ، قَالَ سَمِعْتُ أَنَّهُ يُكَبَّرُ فِي الْعِيدِ تِسْعًا وَسَبْعًا "
Dari Ma’mar, dari Ismaa’iil bin Umayyah, ia (Ma’mar) berkata : Aku pernah mendengarnya (Ismaa’iil) bertakbir (ketika khuthbah) pada hari ‘Ied sembilan kali dan tujuh kali [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5671; shahih].
Ismaa’iil bin Umayyah termasuk ulama dari kalangan shighaarut-taabi’iin yang tsiqah lagi tsabat, dan wafat tahun 144 H.
Inilah madzhab jumhur ulama 4 madzhab dan yang lainnya. Bahkan, sebagian kalangan mengatakan adanya ijmaa’ dua khuthbah dengan diselingi duduk antara keduanya dalam shalat ‘Iedain(misal : Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa, 3/293).
Adapun dalil yang dibawakan oleh sebagian ulama lain yang menyatakan hanya sekali khuthbah (tanpa diselingi duduk) adalah :
وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ، فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ، ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ، فَقَالَ: "تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ "، فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ، فَقَالَتْ: لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟، قَالَ: "لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ "، قَالَ: َجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ، يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan, dari ‘Athaa’, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku hadir bersama Rasulullah pada hari ‘Ied. Beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan iqamat. Kemudian beliau berdiri dengan berpegangan kepada Bilaal. Lalu beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah, menganjurkan ketaatan kepada-Nya, lalu beliau memberi nasihat dan mengingatkan mereka. Kemudian beliau berjalan hingga mendatangi wanita, menyampaikan nasihat kepada mereka dan mengingatkan mereka, lalu bersabda : “Wahai sekalian wanita, hendaklah kalian mengeluarkan shadaqah, karena kalian adalah kayu bakar Jahannam yang paling banyak”. Seorang wanita dari kerumunan para wanita yang kedua pipinya kehitaman, berdiri dan berkata : “Mengapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengeluh dan mengingkari suami”. Jaabir berkata : “Maka mereka dengan segera bershadaqah dengan perhiasan mereka, dengan melemparkan ke kain Bilal, berupa anting-anting dan cincin mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 885].
Dhahir hadits di atas menunjukkan beliau hanya berkhutbah sekali tanpa diselingi duduk, dan kemudian pergi ke tempat para wanita (karena mereka tidak mendengar apa yang disampaikan Nabi sebelumnya).
Selain itu juga terdapat riwayat:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ: مَتَى كَانَ مَنْ مَضَى يَخْرُجُ أَحَدُهُمْ مِنْ بَيْتِهِ يَوْمَ الْفِطْرِ لِلصَّلاةِ؟ فَقَالَ: كَانُوا يَخْرُجُونَ حَتَّى يَمْتَدَّ الضُّحَى فَيُصَلُّونَ، ثُمَّ يَخْطُبُونَ قَلِيلا سُوَيْعَةً، يُقَلِّلُ خُطْبَتَهُمْ؟ قَالَ: لا يَحْبِسُونَ النَّاسَ شَيْئًا، قَالَ: ثُمَّ يَنْزِلُونَ فَيَخْرُجُ النَّاسُ قَالَ: مَا جَلَسَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِنْبَرٍ حَتَّى مَاتَ، مَا كَانَ يَخْطُبُ إِلا قَائِمًا، فَكَيْفَ يُخْشَى أَنْ يَحْبِسُوا النَّاسَ؟ وَإِنَّمَا كَانُوا يَخْطُبُونَ قِيَامًا لا يَجْلِسُونَ، إِنَّمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، يَرْتَقِي أَحَدُهُمْ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَيَقُومُ كَمَا هُوَ قَائِمًا لا يَجْلِسُ عَلَى الْمِنْبَرِ، حَتَّى يَرْتَقِيَ عَلَيْهِ، وَلا يَجْلِسُ عَلَيْهِ بَعْدَمَا يَنْزِلُ وَإِنَّمَا خُطْبَتُهُ جَمِيعًا وَهُوَ قَائِمٌ، إِنَّمَا كَانُوا يَتَشَهَّدُونَ مَرَّةً وَاحِدَةً الأُولَى، قَالَ: لَمْ يَكُنْ مِنْبَرٌ، إِلا مِنْبَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى جَاءَ مُعَاوِيَةُ حِينَ حَجَّ بِالْمِنْبَرِ، فَتَرَكَهُ، قَالَ: فَلا يَزَالُونَ يَخْطُبُونَ عَلَى الْمَنَابِرِ بَعْدُ
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ : “Kapan orang-orang dulu keluar dari rumahnya pada hari ‘Iedul-Fithri untuk shalat ?”. ‘Athaa’ berkata : “Mereka biasanya keluar hingga nampak waktu Dluhaa, dan kemudian mereka shalat. Setelah itu mereka berkhuthbah singkat”. Ia melanjutkan : “Mereka tidak menahan orang-orang sedikitpun (seandainya ingin pergi). Kemudian mereka turun (dari mimbar), hingga orang-orang pun keluar. Nabi tidak pernah duduk di atas mimbar (ketika berkhuthbah) hingga beliau meninggal. Beliau berkhuthbah dengan berdiri. Lantas, bagaimana bisa dikhawatirkan menahan manusia ?. Orang-orang dulu berkhuthbah hanyalah dengan berdiri, tidak duduk. Nabi , Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan naik ke atas mimbar, lalu berdiri. Mereka tidak duduk di atas mimbar hingga menyelesaikannya. Mereka tidak duduk di atas mimbar setelah turun memulai khuthbahnya. Khuthbah mereka semuanya dilakukan dalam keadaan berdiri. Mereka mengucapkan syahadat sekali saja pada awalnya”. ‘Athaa’ meneruskan : “Dulu tidak ada mimbar kecuali mimbar Nabi saja hingga datang Mu’aawiyyah ketika melaksanakan haji dengan membawa mimbar, lalu ia meninggalkan mimbar Nabi tersebut. Maka setelah itu mereka senantiasa berkhuthbah di atas mimbar-mimbar” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/285-286 no. 5650].
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5265 dan Al-Faakihiy dalam Akhbaar Makkahno. 1728.
Dalam riwayat Al-Faakihiy terdapat tambahan lafadh:
وَقَالَ بَعْضُ الْمَكِّيِّينَ: أَوَّلُ مَنْ خَطَبَ عَلَى مِنْبَرٍ بِمَكَّةَ: مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، جَاءَ بِمِنْبَرٍ مِنَ الشَّامِ صَغِيرٍ عَلَى ثَلاثِ دَرَجَاتٍ
“Sebagian orang-orang Makkah berkata : “Orang yang pertama kali berkhuthbah di atas mimbar di Makkah adalah Mu’aawiyyah radliyallaahu ‘anhu. Ia datang dengan membawa mimbar kecil dari Syaam yang memiliki tiga tangga”.
Atsar ini shahih hingga ‘Athaa’, namun mursal dalam hal penyandarannya terhadap Nabi dan para Khulafaa’ Raasyidiin. Atsar ini memberi faedah:
1.    Menurut pendapat ‘Athaa’; dulu Nabi , Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum melakukan khuthbah ‘Ied dengan berdiri sepanjang khuthbahnya tanpa duduk.
2.    Menurut pendapat ‘Athaa’; Nabi , Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum hanya mengucapkan tasyahhud dalam khuthbah sekali saja. Ini menunjukkan khuthbah yang mereka lakukan hanya sekali karena Nabi pernah bersabda:
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ
Setiap khuthbah yang tidak ada padanya tasyahhud (syahadat), maka ia seperti tangan yang terpotong” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1106, Abu Daawud no. 4841, Ahmad 2/302, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/562].
Pandangan ‘Athaa’ ini membatalkan klaim ijmaa’ Ibnu Hazm rahimahullah. Apalagi ‘Athaa’ menisbatkan pandangannya tersebut kepada para pembesar shahabat seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum.
Namun demikian, perkataan ‘Athaa’ bahwa Nabi dan para khalifah setelahnya berkhuthbah ‘Ied dengan menggunakan mimbar adalah keliru. Terlebih penyandaran ini kualitasnya mursal, sehingga ia menyampaikan sebatas yang ia ketahui saja. Riwayat shahih menyatakan mimbar tidak pernah dipakai oleh Nabi , Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum ketika khuthbah ‘Ied di mushalla (tanah lapang). Mimbar dalam khuthbah ‘Ied baru ada di jaman Marwaan ketika menjabat sebagai amir Madiinah.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ، فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ،
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: فَلَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى خَرَجْتُ مَعَ مَرْوَانَ وَهُوَ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ، فَلَمَّا أَتَيْنَا الْمُصَلَّى إِذَا مِنْبَرٌ بَنَاهُ كَثِيرُ بْنُ الصَّلْتِ، فَإِذَا مَرْوَانُ يُرِيدُ أَنْ يَرْتَقِيَهُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَجَبَذْتُ بِثَوْبِهِ فَجَبَذَنِي، فَارْتَفَعَ فَخَطَبَ قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَقُلْتُ لَهُ: غَيَّرْتُمْ وَاللَّهِ، فَقَالَ أَبَا سَعِيدٍ قَدْ ذَهَبَ مَا تَعْلَمُ، فَقُلْتُ: مَا أَعْلَمُ وَاللَّهِ خَيْرٌ مِمَّا لَا أَعْلَمُ، فَقَالَ: إِنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَجْلِسُونَ لَنَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَجَعَلْتُهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : “Rasulullah keluar pada hari raya ‘Iedul-Fithri dan ‘Iedul-Adlhaa menuju mushalla (tanah lapang). Maka hal pertama yang dimulai beliau adalah shalat. Setelah itu, beliau berpaling lalu berdiri menghadap orang-orang, sedangkan orang-orang dalam keadaan duduk dalam shaff-shaff mereka. Beliau memberikan nasihat, pesan, dan perintah kepada mereka. Apabila beliau hendak mengirim pasukan, maka beliau memotong khuthbahnya (sebentar); atau apabila beliau hendak memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya; kemudian beliau berpaling (melanjutkan khuthbahnya).
Abu Sa’iid berkata : “Orang-orang senantiasa dalam keadaan seperti itu hingga (suatu saat) aku keluar bersama Marwaan yang menjabat sebagai amir kota Madiinah pada ‘Iedul-Adlaa atau ‘Iedul-Fithri. Ketika kami mendatangi mushallaa, ternyata ada mimbar yang dibuat oleh Katsiir bin Shalt. Saat Marwaan hendak menaikinya sebelum shalat, aku menarik bajunya dan ia pun kemudian menarikku. Ia tetap naik ke atas mimbar dan berkhuthbah sebelum shalat. Aku katakan kepadanya : ‘Engkau telah mengubah (sunnah Nabi ), demi Allah’. Ia (Marwaan) berkata : ‘Wahai Abu Sa’iid, sungguh apa yang engkau ketahui telah berlalu’. Aku berkata : “Apa yang aku ketahui – demi Allah – lebih baik daripada yang tidak aku ketahui’. Ia berkata : ‘Sesungguhnya orang-orang tidak duduk untuk kami setelah shalat, sehingga aku menjadikannya sebelum shalat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 956].
Dalam riwayat lain, Abu Sa’iid berkata:
أَخْرَجَ مَرْوَانُ الْمِنْبَرَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، وَلَمْ يَكُنْ يُخْرَجُ بِهِ، وَبَدَأَ بِالْخُطْبَةِ قَبْلَ الصَّلَاةِ، وَلَمْ يَكُنْ يُبْدَأُ بِهَا
“Marwaan mengeluarkan mimbar pada hari ‘Ied, dan hal itu belum pernah dilakukan sebelumnya. Ia memulainya dengan khuthbah sebelum shalat, dan hal itu belum pernah dilakukan sebelumnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/10, Abu Daawud no. 1140, Ibnu Maajah no. 1275, dan yang lainnya; shahih].
Marwaan bin Al-Hakam menjabat amir/gubernur Madiinah di jaman Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan, sehingga dipahami bahwa mimbar dalam khuthbah ‘Iedain dimulai pada era kekhilafahan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa. Marwaan adalah orang yang pertama kali mendahulukan khuthbah sebelum shalat di Madiinah[1].
‘Athaa’ mengatakan Nabi , Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum berkhuthbah di atas mimbar kemungkinan karena masyhurnya perkara tersebut di jamannya, sehingga ia menyangka itu dilakukan semenjak jaman Nabi dan para shahabat radliyallaahu ‘anhum[2].
Jika mimbar tidak pernah dibawa ke mushalla (tanah lapang), bagaimana dapat dikatakan khuthbah ‘Ied dilakukan dua kali dipisah dengan duduk, yang kemudian diqiyaskan dengan khuthbah Jum’at?. Duduk hanya dilakukan jika ada mimbar.
Telah shahih riwayat dari Nabi dan para shahabat radliyallaahu ‘anhummereka berkhuthbah ‘Iedain di atas hewan tunggangannya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَطَبَ يَوْمَ عِيدٍ عَلَى رَاحِلَتِهِ
Dari Abu Sa’iid, ia berkata : “Sesungguhnya Rasulullah pernah berkhuthbah ‘Ied di atas hewan tunggangannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/188 no. 5901, Abu Ya’laa no. 1182, Ibnu Khuzaimah no. 1445, Ibnu Hibbaan no. 2825, dan yang lainnya; shahih].
عَنْ مَيْسَرَةَ أَبِي جَمِيلَةَ، قَالَ: "شَهِدْتُ مَعَ عَلِيٍّ الْعِيدَ فَلَمَّا صَلَّى خَطَبَ عَلَى رَاحِلَتِهِ "، قَالَ: وَكَانَ عُثْمَانُ يَفْعَلُهُ
Dari Maisarah Abu Jamiilah, ia berkata : “Aku pernah menghadiri ‘Ied bersama ‘Aliy (bin Abi Thaalib). Ketika selesai shalat, ia berkhuthbah di atas hewan kendaraannya. Ia berkata : ‘Dulu ‘Utsmaan juga melakukannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/188 no. 5902; hasan].
Maisarah mempunyai syawaahid dari Al-Mughiirah bin Syu’bah, Ibnu Abi Lailaa,
Sisi pendalilannya : Orang berkhuthbah di atas hewan kendaraannya tidak seperti orang yang berkhuthbah Jum’at yang ia berdiri, lalu duduk, lalu berdiri lagi.
Tidak ternukil satupun riwayat shahih dari Nabi dan para pembesar shahabat radliyallaahu ‘anhum berkhuthbah ‘Ied dua kali dengan diselingi duduk antara keduanya. An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَمَا رُوِيَ عَنْ اِبْن مَسْعُود أَنَّهُ قَالَ : السُّنَّة أَنْ يَخْطُب فِي الْعِيد خُطْبَتَيْنِ يَفْصِل بَيْنهمَا بِجُلُوسٍ ضَعِيف غَيْر مُتَّصِل ، وَلَمْ يَثْبُت فِي تَكْرِير الْخُطْبَة شَيْء ، وَالْمُعْتَمَد فِيهِ الْقِيَاس عَلَى الْجُمُعَة
“Dan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’uud bahwasannya ia berkata : ‘Termasuk sunnah adalah berkhuthbah di hari ‘Ied dengan dua khuthbah yang dipisahkan antara keduanya dengan duduk’, dla’iif tidak bersambung (sanadnya). Tidak ada sama sekali riwayat shahih dalam hal pengulangan khuthbah (‘Ied). Dan yang dianggap/diakui dalam permasalahan tersebut adalah qiyasterhadap khuthbah Jum’at” [Al-Khulaashah– dinukil melalui perantaraan ‘Aunul-Ma’buud4/4].
Jika demikian, tersisa bagi pendapat pertama (jumhur) hujjah qiyas. Apakah qiyas tersebut valid ?. Jawabnya tidak, karena tidak ada ‘illat shahih antara keduanya sehingga khuthbah ‘Iedain dapat diqiyaskan dengan khuthbah Jum’at. Seandainya pun qiyas tersebut diterima, maka seharusnya hukum-hukum khuthbah Jum’at yang lain juga mesti diterapkan dalam khuthbah ‘Ied. Kenyataannya tidak. Misalnya : menghadiri menghadiri khuthbah Jum’at adalah wajib, sedangkan menghadiri khuthbah ‘Iedain tidak wajib. Dasarnya adalah hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ، قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ الْعِيدَ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ، قَالَ: "إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
Dari Abdullah bin Saib radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku menghadiri ‘Ied bersama Rasulullah . Ketika telah selesai shalat, maka beliau bersabda : ‘Sesungguhnya kami akan berkhuthbah. Barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khuthbah, hendaklah ia duduk. Dan barangsiapa yang ingin pergi, maka silakan ia pergi” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1155, Ibnu Maajah no. 1290, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 3/96 no. 629].
Begitu juga dengan pensyarai’atan waktu pelaksanaannya. Khuthbah Jum’at dilakukan sebelum shalat, sedangkan khuthbah ‘Iedain setelah shalat.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: "شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ "
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Aku menghadiri shalat ‘Iedul-Fithri bersama Rasulullah , Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman. Semuanya melaksanakan shalat sebelum khutbah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 919 dan Muslim no. 884].
Seandainya qiyas ini benar, mengapa mereka tidak mengqiyaskan juga pada pada khuthbah hari ‘Arafah yang statusnya hampir sama dengan khuthbah ‘Ied ?. Khuthbah hari ‘Arafah dilakukan hanya sekali khuthbah tanpa dipisahkan dengan duduk. Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
وَهِمَ مَنْ زَعَم أنه خَطَب بعرفة خُطْبتين جَلَس بينهما ثمَّ أذَّن المؤذِّنُ، فلمَّا فَرَغ أخَذَ في الخُطْبة الثانية، فلمَّا فَرَغ منها أقام الصلاةَ، وهذا لم يجئ في شيءٍ مِنَ الأحاديث ألبتَّةَ، وحديثُ جابرٍ صريحٌ في أنه لمَّا أكمل خُطْبتَه أذَّن بلالٌ وأقام الصلاةَ فصلَّى الظهرَ بعد الخُطْبة
“Telah keliru orang yang menyangka beliau khuthbah pada hari ‘Arafah dengan dua khuthbah yang diselingi duduk antara keduanya, kemudian muadzdzin mengumandangkan adzan. Ketika selesai, beliau melakukan khuthbah kedua, lalu dilanjutkan setelahnya mendirikan shalat. Perkara ini tidak ada dalilnya sama sekali dalam hadits-hadits. Hadits Jaabir jelas menunjukkan ketika beliau menyempurnakan khuthbahnya, Bilaal mengumandangkan adzan, dan shalat ditegakkan. Lalu beliau melakukan shalat Dhuhur setelah khuthbah…” [Zaadul-Ma’aad, 2/306].
Dari sini diketahui bahwa masing-masing khuthbah mempunyai sifat-sifat tersendiri berdasarkan nash yang tidak bisa diqiyaskan semua dengan khuthbah Jum’at.
Lantas bagaimana dengan perkataan sebagian salaf seperti ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah ?.
Kita tidak dapat menyepakati untuk mengatakan sunnah dalam khuthbah ‘Iedain berkhuthbah dua kali di atas mimbar sementara mimbar tidak pernah dibawa ke mushalla (tanah lapang) oleh Rasulullah dan Al-Khulafaaur-Raasyidiin. Apakah mungkin ada sunnah yang tidak dilakukan Nabi dan Khulafaa' Raasyidiin ?. Tidak lain ini adalah ijtihad beliau rahimahullah karena masyhurnya perkara ini di jamannya. Begitu juga dengan riwayat yang ternukil dari Ismaa’iil bin Umayyah di atas.
Kesimpulannya, khuthbah ‘Ied hanya dilakukan sekali. Inilah pendapat Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Juga pendapat ‘Athaa’ bin Abi Rabbah rahimahullah. Dari kalangan ulama muta’khkhiriin, pendapat ini dikuatkan oleh Sayyid Saabiq, Al-Albaaniy, Al-‘Utsaimiin, dan Al-Wadii’iy rahimahumullah.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[Abul-Jauzaa’ - akhir Ramadlaan, Ciomas, Bogor].




[1]     Ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Ada yang mengatakan ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu sebagaimana riwayat:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يُوسُفُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلامٍ، قَالَ: "أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ قَبْلَ الصَّلاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ.....
Dari Ibnu Juraij, ia berkata Telah mengkhabarkan kepadaku Yahyaa bin Sa’iid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuusuf bin ‘Abdillah bin Salaam, ia berkata : “Orang yang pertama kami memulai khuthbah sebelum shalat pada hari ‘Iedul-Fithri adalah ‘Umar bin Al-Khaththaab…..” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5644; sanadnya shahih].
Ibnu Juraij mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdah bin Sulaimaan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/170 no. 5731.
‘Abdurrazzaaq meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Yuusuf bin ‘Abdillah bin Salaam, namun ia (Yuusuf) menyebut ‘Utsmaan bin ‘Affaan [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5645; sanadnya shahih].
Riwayat ini bertentangan dengan riwayat Abu Sa’iid yang menyebutkan Marwaan bin Al-Hakam. Abu Sa’iid mempunyai syahid dari Thaariq bin Syihaab sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 3/54, Muslim no. 49, At-Tirmidziy no. 2172, ‘Abdurrazzaaq no. 5649 dan Ibnu Abi Syaibah 2/170 no. 5733. Inilah pendapat yang benar.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah setelah menyebutkan riwayat Yuusuf bin ‘Abdillah bin Salaam berkata:
وهذا خطأ بين، لم تختلف الآثار عن أبي بكر، وعمر أنهما صليا في العيدين قبل الخطبة، على ما كان يصنع رسول اللَّه ﷺ وهو الصحيح أيضا عن عثمان، لأن ابن شهاب حكى ذلك عن أبي عبيد مولى ابن أزهر، أنه صلى مع عمر، وعثمان، وعلي العيدين، فكلهم صلى قبل الخطبة، وليس في هذا الباب عنهم أصح من هذا الإسناد
“Ini adalah kekeliruan yang jelas. Tidak ada perselisihan atsar-atsar dari Abu Bakr dan ‘Umar bahwa keduanya melakukan shalat Iedain sebelum khuthbah sesuai dengan sunnah yang dilakukan Rasulillah . Dan ini juga shahih dari ‘Utsmaan karena Ibnu Syihaab menghikayatkannya dari Abu ‘Ubaid maulaa Ibni Azhar bahwasannya ia pernah shalat ‘Iedain bersama ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy, mereka semua melakukan shalat sebelum khuthbah. Tidak ada dalam bab ini dari mereka yang lebih shahih dibandingkan sanad ini” [At-Tamhiid, 10/256].
[2]     Sama halnya seperti ketidaktahuan ‘Athaa’ siapa yang memulai khuthbah sebelum shalat karena masyhurnya perkara tersebut di jamannya.
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ هَلْ تَدْرِي أَوَّلَ مَنْ خَطَبَ يَوْمَ الْفِطْرِ ثُمَّ صَلَّى؟ قَالَ: لا أَدْرِي، أَدْرَكْتُ النَّاسَ عَلَى ذَلِكَ
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ : “Apakah engkau tahu siapa yang mulai pertama kali khuthbah hari ‘Iedul-Fithri baru kemudian shalat ?”. Ia menjawab : “Aku tidak tahu. Aku mendapati manusia melakukannya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5643; sanadnya shahih].

Ilusi tentang Salafi

$
0
0
Belum lama ini saya mendengarkan dan menyimak sebuah rekaman video di Youtube berjudul “Manhaj Tarjih Muhammadiyah VS Salafi” dengan durasi 1 jam 18 menit dan 54 detik. Dibawakan oleh seorang tokoh Muhammadiyyah Banjarmasin yang merupakan guru besar sebuah universitas terpandang kota tersebut. Dalam ceramahnya, beliau bercerita tentang ihwal salafi, sejarah dan perkembangannya. Sayang, beliau yang punya kebiasaan memaparkan sesuatu secara ilmiah (namanya juga guru besar), mendadak mempunyai ilusi tentang “Salafi”. Karangan bebas yang disampaikan kepada jama’ah tentang Salafi. Saya tidak mengatakan apa yang beliau sampaikan dari A sampai Z keliru semua. Tidak. Akan tetapi substansi materi yang beliau sampaikan perlu kiranya untuk diluruskan. Jangan sampai masyarakat kebablasan mengkonsumsi makanan kadaluarsa, beracun. Insya Allah,di sini saya akan sedikit dua dikit menuliskan tanggapan/catatan yang barangkali dapat menjadi pembanding dari salah paham yang beredar.

Adapun pokok-pokok tanggapan saya rangkum sebagai berikut:
1.     Periodisasi Salafi
Bapak Profesor hafidhahullah membuka dengan definisi salaf:
“Salafi itu secara umum adalah ingin kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf. Ar-rujuu’ ilal-Qur’an was-sunnah dengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf. Nah salaf ini ada yang tiga generasi, ada yang shahabat saja
[09:50 – 10:22]
Bapak Profesor hafidhahullah melanjutkan:
Salafi ini baru dimulai pada masa Ahmad bin Hanbal…… yang wafat tahun 855 H. Nah pada masa beliau, Pemerintah yang berkuasa memaksakan teologi Mu’tazilah. ‘Aqidah Mu’tazilah…… Yang intinya, memaksa kepada rakyat, khususnya ulama, untuk berkeimanan, berkeyakinan, bahwasannya Al-Qur’an itu makhluk. Al-Qur’an itu makhluk. Nah, Ahmad bin Hanbal sebagai seorang ulama, beliau tidak mau. Tapi beliau (ingin kembali) kepada ajaran Al-Qur’an…. Al-Qur’an mengatakan bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk dan juga bukan tidak makhluk. Al-Qur’an itu adalah Kalamullah. Nah, beliau ini yang pertama kembali kepada paham yang pertama. Karena di jaman itu, tahun 800-an itu, Bani ‘Abbas perpaham madzhab Mu’tazilah….
Lalu setelah Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah mengikuti Ahmad bin Hanbal. Juga paham salaf. Setelah Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim. Paham salaf. Kemudian setelah itu, ini di tahun 800-an ya. Ibnu Taimiyyah di tahun 1328, kemudian Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah wafat tahun 1350. Nah, beliau-beliau ini, paham salafnya lebih cenderung kepada ‘aqidah tauhid. Madzhabnya madzhab Hanbali, tetapi tidak fanatik”
[10:56 – 13:22]
Startingbeliau dalam memetakan dan memahami permasalahan sudah keliru, bahkan fatal. Jika beliau sendiri di awal telah mengatakan salafi itu adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman dan praktek salaf, apakah perkara tersebut tidak pernah muncul sebelum Ahmad bin Hanbal ?. Bukankah ini memang perintah Allah ta’ala dalam firman-Nya:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalan orang-orang mukmin menyebabkan seseorang jatuh dalam kesesatan dan diancam dengan Jahannam. Tidak ada kaum mukminiin saat ayat ini turun kecuali para shahabat Nabi radliyallaahu ‘anhum.
Bukankah ini juga merupakan perintah Nabi dalam sabdanya:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, niscaya ia melihat perselisihan yang banyak. Maka, berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang mendapat petunjuk. Berpegang-teguhlah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan waspadalah kalian terhadap hal-hal yang baru (dalam urusan agama), karena setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih].[1]
Solusi nabawi ketika terjadi perselisihan sepeninggal beliau adalah kembali kepada (Al-Qur’an), As-Sunnah, serta pemahaman dan praktek para shahabat, terutama Al-Khulafaaur-Raasyiduun.
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu pernah menjelaskan sebab mengapa kaum muslimin perlu meneladani para shahabat:
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ فَإِنَّهُمْ كَانُوا أَبَرَّ هَذِهِ الأُمَّةِ قُلُوبًا وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا وَأَحْسَنَهَا حَالا، قَوْمًا اخْتَارَهُمُ اللَّهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْرِفُوا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوهُمْ فِي آثَارِهِمْ ؛ فَإِنَّهُمْ كَانُوا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيمِ
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin mengambil keteladanan, hendaklah ia mengambil teladan dari para shahabat Muhammad , karena mereka adalah orang yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit takalluf-nya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Orang-orang yang telah Allah pilih untuk menemani/mendampingi Nabi-Nya . Maka ketahuilah keutamaan mereka dan ikutilah atsar-atsar mereka, karena mereka berada di atas petunjuk yang lurus” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’u Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih, no. 1810; sanadnya laa’ ba’sa bih].
Mereka adalah kaum yang diridlai Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhaajirin dan Anshaar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya”[QS. At-Taubah : 100].
Mereka – dan dua generasi setelahnya – adalah umat terbaik, sebagaimana hadits:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ ثُمَّ الثَّانِي ثُمَّ الثَّالِثُ
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Nabi : ‘Manusia manakah yang paling baik ?’. Beliau menjawab : ‘Generasi manusia yang aku masih ada di dalamnya. Kemudian yang kedua (setelahnya), kemudian yang ketiga (setelahnya lagi)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2536 dan Ahmad 6/156].
Perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya untuk mengembalikan cara beragama kita kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman as-salafush-shaalih sangat logis. Mereka adalah generasi yang mendapat pengajaran langsung dari Rasulullah , sehingga mereka lebih mengetahui makna-maknanya, maksudnya, dan praktek/impelementasinya.
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa pernah berkata saat mendatangi kaum Khawaarij di Harura’ dalam rangka menasihati mereka agar mau kembali kepada ajaran Nabi :
أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ الْمُهَاجِرِينَ، وَالأَنْصَارِ، وَمِنْ عِنْدِ ابْنِ عَمِّ النَّبِيِّ ﷺ وَصِهْرِهِ، وَعَلَيْهِمْ نُزِّلَ الْقُرْآنُ، فَهُمْ أَعْلَمُ بِتَأْوِيلِهِ مِنْكُمْ، وَلَيْسَ فِيكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ....
“Aku datang kepada kamu dari shahabat-shahabat Nabi , yaitu kaum Muhaajiriin dan Anshaar, serta dari anak paman Nabi dan menantu beliau (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu). Al-Qur’an diturunkan atas mereka, sehingga mereka lebih mengetahui tafsirnya daripada kalian. Tidak ada seorangpun diantara kalian yang termasuk dari mereka (yaitu shahabat Nabi ). Sedangkan diantara kalian tidak ada seorangpun (yang termasuk) dari sahabat Nabi….” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8522, Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 1/285-286, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 2/150, dan yang lainnya; hasan].
Barangsiapa yang menyimpang dari jalan mereka (salaf), maka ia termasuk orang yang sesat.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Tidak ada kaum mukminiin saat ayat ini turun kecuali para shahabat Nabi radliyallaahu ‘anhum.
Pemahaman mereka adalah pemahaman yang dijamin Nabi akan keselamatannya. Siapapun yang berpegang pada ajaran Nabi yang dipahami dan dipraktekkan para shahabat, surga adalah tempat kembalinya.
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Hakim 1/218-219, Ath-Thabaraniy dalam Ash-Shaghiir(melalui Ar-Raudlud-Daaniy) 2/29-30 no. 724), dan yang lainnya; hasan[2]].
Apakah ada alasan untuk tidak meneladani mereka ?.
Muhammad bin Siiriin rahimahumallah (w. 110 H), seorang pembesar dari kalangan taabi’iin dan murid utama Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu[3], berkata:
كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ عَلَى الطَّرِيقِ مَا كَانُوا عَلَى الأَثَرِ
“Mereka (yaitu taabi’iin dan shahabat yang sejaman dengannya) berpendapat bahwa diri mereka berada di atas jalan (kebenaran) selama berada di atas atsar” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 109-112].
Maksud selama berada di atas atsar adalah berada di atas sunnah Nabi dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum.
Abu Haniifah An-Nu’maan bin Tsaabit rahimahullah (w. 150 H) – salah seorang imam madzhab yang empat – berkata:
عليك بالأثر وطريقة السلف، وإياك وكل محدثة فإنها بدعة
“Wajib bagimu untuk berpegang pada atsar dan jalan yang ditempuh salaf. Dan berhati-hatilah engkau terhadap semua hal yang diada-adakan, karena itu adalah bid’ah” [Ahaadiits fii Dzammil-Kalaam hal. 81, melalui perantaraan Al-Ittibaa’ lis-Salafish-Shaalih hal. 10].
Al-Auzaa’iy rahimahullah (w. 157 H) - imam penduduk Syaam di jamannya – berkata:
اصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ، وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ، وَقُلْ بِمَا قَالُوا، وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوا عَنْهُ، وَاسْلُكْ سَبِيلَ سَلَفِكَ الصَّالِحِ، فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ
“Bersabarlah diri kalian di atas sunnah, berhentilah sebagaimana mereka (para shahabat) berhenti. Katakanlah apa-apa yang mereka katakan, dan tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Ikutilah jalan para pendahulu kalian yang shaalih (as-salafush-shaalih), karena akan mencukupimu apa-apa yang telah mencukupi mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 315 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 6/143-144].
عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَرَأْيَ الرِّجَالِ، وَإِنْ زَخْرَفُوهُ بِالْقَوْلِ
“Wajib bagimu untuk berpegang pada atsar-atsar salaf meskipun orang-orang menolakmu. Dan berhati-hatilah dengan pendapat orang-orang, meskipun mereka menghiasinya dengan perkatan (yang indah)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 233, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2077, dan yang lainnya].
Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah (w. 179 H) berkata:
وَلَا يُصْلِحُ آخرَ هذه الأمة إلا ما أصْلَحَ أَوَّلَهَا
“Tidaklah baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah menjadi baik pada awal umat ini” [Ar-Radd ‘alal-Bakriy, 2/259].
Mereka adalah para ulama yang hidup sebelum era Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Mereka semua mendakwahkan dan menganjurkan untuk berpegang teguh kepada jalan salaf. Bukan hal yang mengherankan jika kemudian Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 241 H) pun mengatakan hal serupa:
أُصُولُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا : التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ والاقْتِدَاءُ بِهِمْ
“Pokok-pokok/pondasi sunnah menurut kami adalah berpegang teguh pada ajaran/jalan hidup para shahabat Rasulullah dan meneladani mereka”…. [Ushuulus-Sunnah li-Ahmad bin Hanbal, hal. 25].
Bukan hanya berhenti pada Ahmad bin Hanbal, tapi terus terwariskan hingga generasi ke generasi.
Abul-Mudhaffar As-Sam’aaniy (w. 489 H) dan Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahumallah (w. 535 H) berkata:
وشعار أهل السنة اتباعهم السلف الصالح، وتركهم كل ما هو مبتدع محدث
“Dan syiar-syi’ar Ahlus-Sunnah adalah ittibaa’ mereka kepada as-salafush-shaalihdan meninggalkan semua hal yang diada-adakan (dalam agama)” [Al-Intishaar li-Ashhaabil-Hadiits hal. 31 dan Al-Hujjaah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/364].
Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah (w. 620 H) berkata:
فقد ثبت وجوب اتباع السلف -رحمة الله عليهم- بالكتاب والسنة والإجماع، والعبرة دلت عليه ،فإنّ السلف لا يخلوا من أن يكونوا مصيبين أو مخطئين ،فإن كانوا مصيبين وجب اتباعهم لأنّ اتباع الصواب واجب وركوب الخطأ في الاعتقاد حرام ،ولأنهم إذا كانوا مصيبين كانوا على الصراط المستقيم ومخالفهم متبع لسبيل الشيطان الهادي إلى صراط الجحيم ،وقد أمر الله تعالى باتباع سبيله وصراطه ونهى عن اتباع ما سواه فقال :{وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}[الأنعام:153]
“Dan telah tetap kewajiban untuk mengikuti salaf ­– rahmatullaahi ‘alaihim– berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’. Dan ‘ibrahditunjukkan padanya. Hal itu dikarenakan salaf tidaklah lepas statusnya sebagai orang yang benar atau orang yang salah. Apabila diri mereka adalah orang-orang yang benar, maka wajib untuk mengikutinya karena mengikuti kebenaran adalah wajib, sedangkan melakukan kekeliruan dalam ‘aqidah adalah haram. Apabila status mereka adalah orang yang benar, maka mereka berada di atas jalan yang lurus. Menyelisihi mereka artinya mengikuti jalan setan yang menghantarkan ke neraka. Allah ta’ala telah memerintahkan (kita) untuk mengikuti jalan mereka mereka (salaf) dan melarang mengikuti selain jalan mereka. Allah ta’ala berfirman : ‘dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa’ (QS. Al-An’aam : 153)” [Dzammut-Ta’wiilhal. 53].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (w. 728 H) berkata:
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقا
“Tidak tercela bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, serta menisbatkan diri dan bangga kepadanya. Bahkan wajib untuk menerima hal tersebut darinya menurut kesepakatan ulama, karena madzhab salaf itu tidak lain merupakan kebenaran” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/149].
Ibnul-Haaj Al-Maalikiy rahimahullah (w. 737 H) berkata:
إن الثواب إنما يترتب على امتثال الكتاب والسنة واتباع السلف الماضين رضي الله عنهم
“Sesungguhnya pahala hanyalah disebabkan karena mematuhi Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mengikuti (jalan) salaf yang lampau radliyallaahu ‘anhum” [Al-Madkhal, 4/261].
Dan lainnya dari perkataan para ulama jaman ke jaman……
Maka, kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf– sesuai bahasa yang Bapak Profesor pakai di atas – merupakan:
a.    perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya ,
b.    dakwah para shahabat radliyallaahu ‘anhum;
c.    dakwah para taabi’iinrahimahumullah;
d.    dakwah para atbaa’ut-taabi’iin rahimahumullah; dan
e.    dakwah para ulama setelahnya.
Inilah dakwah salafi secara substansial berdasarkan definisi Bapak Profesor.
Substansi ‘salafi’ telah ada semenjak Nabi dan para shahabatnya masih hidup, dan terus berlaku hingga jaman taabi’iin, atbaa’ut-taabi’iin, dan para ulama setelahnya hingga sekarang. Tidak ada kekosongan pemahaman salaf/salafi antara masa Nabi , Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah, dan Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah.
Apakah pemahaman salaf itu salah ? Tentu tidak. Bahkan itu merupakan inti manhaj beragama Islam bagi setiap muslim.
Jika demikian, analisis periodisasi Bapak Profesor yang mengatakan ‘paham Salafi’ muncul pertama kali pada jaman Ahmad bin Hanbal saat fitnah Mu’tazillah, kemudian diteruskan oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah, dan setelah itu Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullahtidak valid.
2.     Paham Salaf (Cenderung) Hanya dalam Masalah ‘Aqidah
Bapak Profesor hafidhahullah berkata:
“Lalu setelah Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah mengikuti Ahmad bin Hanbal. Juga paham salaf. Setelah Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim. Paham salaf. Kemudian setelah itu, ini di tahun 800-an ya. Ibnu Taimiyyah di tahun 1328, kemudian Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah wafat tahun 1350. Nah, beliau-beliau ini, paham salafnya lebih cenderung kepada ‘aqidah tauhid. Madzhabnya madzhab Hanbali, tetapi tidak fanatik
[12:40 - 13:22]
“Ini salaf. Pahamnya salaf, yaitu kembali kepada Al-Qur’an. Tetapi cenderung kepada aspek aqidah. Asalnya ini aqidah…” [15:39 – 15:47].
Paham salaf memang fokus pada masalah ‘aqidah dan manhaj. Ini adalah yang pokok.
Tapi bukan kemudian dikatakan boleh Salafi dalam ‘aqiidah, boleh tidak Salafi dalam fiqh. Yang penting menabuh genderang melawan TBC, penyimpangan dalam hal fiqh ditoleransi.
Seperti contoh seorang oknum (yang katanya ‘mantan’) kiyai NU yang pernah menulis buku gugatan amalan kesyirikan seperti istighatsah dan ziarah kubur (bid’iy/syirkiy). Dipuji dan dicap banyak orang sebagai Salafi. Tapi belakangan baru ketahuan ada prosesor yang soak dalam dirinya. Muncul berbagai fatwa aneh dan nyleneh, seperti ayam haram, telur haram, cuka haram, shalat tidak boleh beralas tikar atau sejenisnya, dan yang lainnya. Manhaj istidlaal dan istinbath-nya super aneh. Salafi kah ?. Dan akhirnya semakin ke belakang, keanehan dirinya bertambah hingga masuk ke ranah ‘aqidah. Lebih mirip ke ‘aqlaniy.
Jadi prinsip kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunahdengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf meliputi semua permasalahan, termasuk fiqh, muamalah, adab, dan akhlaq.
Masakada orang ‘aqidahnya salafi, tapi fiqh dan akhlaqnya Khaariji (penganut paham Khawaarij). Orang yang berprinsip mengembalikan pemahaman dan amalan agamanya kepada jalan salaf, pasti tidak membatasi pada ranah ‘aqidah. Automatically
Maka yang perlu ditekankan dalam permasalahan ini adalah : tidak keluar dari dari perkataan/pendapat salaf dan apa yang telah mereka sepakati (ijmaa’), serta meninggalkan keanehan/kenylenehan (syudzdzuudz) dengan pemahaman yang tidak mereka pahami dari nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik dalam masalah ‘aqidah maupun masalah lainnya.
Apabila salaf berselisih pada suatu permasalahan dalam dua pendapat, maka kita tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga. Tidak mungkin kebenaran lepas dari kalangan salaf dan baru ditemukan di masa belakangan. Dalilnya adalah:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ، ظَاهِرِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku berada di atas kebenaran yang selalu menang hingga hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 156 & 1923 dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu].
Hadits ini menunjukkan bahwa akan senantiasa ada di setiap masa orang yang mengatakan kebenaran dari umat ini, baik sedikit maupun banyak. Tidak mungkin ada satu masa/waktu yang kosong akan kebenaran.
Terlebih dalam permasalahan yang telah mereka (salaf) sepakati (ijmaa’). Kesepakatan mereka adalah pasti benar, karena Allah ta’ala tidak mungkin mengumpulkan umat Islam dalam kekeliruan/kesesatan selamanya. Nabi bersabda:
لا يَجْمَعُ اللَّهُ أُمَّتِي عَلَى ضَلالَةٍ أَبَدًا
Allah tidak akan mengumpulkan umatku di atas kesesatan selamanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 80, Al-Haakim 1/115-116, dan yang lainnya dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Hadits ini diperselisihkan para ulama, namun Asy-Syaikh Al-Albaaniy menshahihkannya di beberapa tempat dalam kitabnya karena banyak jalan penguatnya, diantaranya Dhilaalul-Jannah no. 80-84, tahqiq Bidaayatus-Suulhal. 70, dan Shahiihul-Jaami’ 1/378 no. 1848].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
ومحال أن تجمع الأمة على خلاف نص له إلا أن يكون له نص آخر ينسخه
“Dan mustahil umat berkumpul/bersepakat dalam penyelisihan terhadap nash, kecuali apabila ada nash lain yang meng-nasakh-nya” [I’laamul-Muwaqqi’iin, hal. 367].
Maka, tidak boleh keluar dari perkataan salaf; baik yang mereka perselisihkan, terlebih yang mereka sepakati. Baik dalam permasalahan ‘aqiidah, maupun permasalahan lainnya (termasuk fiqh). Bukan kata saya, tetapi kata para ulama.
Maalik bin Anas rahimahullah berkata:
فيه حديث رسول الله صلى الله عيه و سلم وقول الصحابة والتابعين ورأيهم ، وقد تكلمت برأيي على الإجتهاد ، وعلى ما أدركت عليه أهل العلم ببلدنا ولم أخرج عن جملتهم إلى غيره
“Di dalamnya terdapat hadits-hadits Rasulullah , perkataan shahabat dan tabi’iin, serta pendapat-pendapat mereka. Dan aku sungguh berbicara dengan pendapatku berdasarkan ijtihad dan berdasarkan apa saja yang aku dapatkan dari perkataan ahli ilmu di negeri kami. Aku tidak pernah keluar dari perkataan mereka (beralih) ke yang lainnya” [Tartiibul-Madaarik, 1/193].
Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
إِذَا اجْتَمَعُوا أَخَذْنَا بِاجْتِمَاعِهِمْ، وَإِنْ قَالَ وَاحِدُهُمْ وَلَمْ يُخَالِفْهُ غَيْرُهُ أَخَذْنَا بِقَوْلِهِ، فَإِنِ اخْتَلَفُوا أَخَذْنَا بِقَوْلِ بَعْضِهِمْ وَلَمْ نُخَرِّجْ مِنْ أَقَاوِيلِهِمْ كُلِّهِمْ
“Apabila para shahabat bersepakat, maka kami ambil kesepakatan mereka tersebut. Apabila salah seorang di antara mereka berpendapat tanpa ada yang menyelisihi, kami pun mengambil pendapatnya. Apabila mereka berselisih, maka kami mengambil perkataan sebagian di antara mereka dan kami tidak keluar dari perkataan-perkataan mereka itu semuanya” [Al-Madkhal ilas-Sunan Al-Kubraa, 1/45].
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
إذا كان في المسألة عن النبي ﷺ حديث لم نأخذ فيها بقول أحد من الصحابة ولا من بعدهم خلافه وإذا كان في المسألة عن أصحاب رسول الله ﷺ قول مختلف نختار من أقاويلهم ولم نخرج عن أقاويلهم إلى قول غيرهم ، وإذا لم يكن فيها عن النبي ﷺ ولا عن الصحابة قول نختار من أقوال التابعين
“Apabila dalam suatu permasalahan terdapat hadits Nabi , maka kami tidak mengambil perkataan salah seorang dari shahabat dan tidak pula dari orang-orang setelah mereka yang menyelisihinya. Dan apabila dalam suatu permasalahan ada perbedaan di antara para shahabat Rasulullah , maka kami memilih salah satu dari perkataan mereka, dan kami tidak keluar dari perkataan-perkataan mereka kepada perkataan yang selain mereka. Apabila kami tidak mendapatkan dalam permasalahan tersebut perkataan Nabi dan para shahabatnya, maka kami memilih ucapan para taabi’iin” [Al-Musawwadah, hal. 276].
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata:
وعلى أنه لا يجوز لأحد أن يخرج عن أقاويل السلف فيما أجمعوا عليه، وعما اختلفوا فيه، أو في تأويله، لأن الحق لا يجوز أن يخرج عن أقاويلهم
“(Kaum muslimin sepakat)….. dalam permasalahan tidak diperbolehkannya seorangpun untuk keluar dari perkataan-perkataan salaf dalam hal yang mereka sepakati dan yang mereka perselisihkan, atau dalam ta’wilnya; karena kebenaran tidak mungkin keluar dari perkataan-perkataan mereka” [Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr, hal. 306-307].
Contoh sangat banyak, diantaranya adalah permasalahan tidak adanya kewajiban makmum untuk mengulangi shalat apabila imam tidak mengetahui atau lupa bahwa dirinya berhadats.
Setelah membawakan atsar-atsar shahabat, Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وهذا في جماعتهم من غير نكير من واحد منهم
“Dan ini adalah pendapat yang ada pada jama’ah shahabat tanpa ada pengingkaran seorang pun di antara mereka” [Al-Istidzkaar 3/117 dan At-Tamhiid1/181].
Al-Maawardiy dalam Al-Haawiy (2/239) dan Ibnu Qudaamah rahimahumallah dalam Al-Mughniy (2/504) menegaskan adanya ijmaa’ shahabat dalam permasalahan ini.
Namun demikian, ternukil dari Abu Haniifah dan ulama madzhabnya menyelisihi pendapat ini dimana mereka berpendapat makmum mengulangi shalatnya. Dalam hal ini, Abu Ya’laa rahimahullah berkomentar:
وهذا يدل على حصول الإجماع منهم - أي الصحابة - على ذلك قبل أبي حنيفة
“Dan ini menunjukkan terjadinya ijmaa´dari mereka – yaitu para shahabat – dalam permasalahan tersebut sebelum Abu Haniifah” [At-Ta’liiqul-Kabiir, 1/354].
Ketika telah tercapai ijmaa’, maka tidak boleh terjadi penyelisihan setelahnya. Ibnu ‘Abdil-Barr adalah ulama madzhab Maalikiyyah, Ibnu Qudaamah Hanaabilah, dan Al-Maawardiy Syaafi’iyyah. Secara fiqh, mereka salafi. Fiqh salafi yang tidak tersentral pada madzhab Hanabilah.
Abu Haniifah rahimahullah yang berpendapat demikian bukan berarti ia bukan salafi secara fiqh. Kemungkinan beliau rahimahullah belum mengetahui secara keseluruhan pendapat-pendapat dari kalangan salaf, sehingga beliau berijtihad dengan ijtihadnya.
Benar, ada kalanya ulama menyelisihi pendapat yang ternukil dari ulama sebelumnya, sehingga muncul pendapat ‘baru’. Tidak ada yang ma’shum.Ada banyak faktor yang menyebabkan. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahulah telah menjelaskan permasalahan itu dalam kitab Raf’uul Malaam ‘an Aimmatil-A’laam (download di sini).
Secara umum, mereka semua menyepakati prinsip ini, yaitu tidak keluar dari nash dan atsar salaf.
Jikalau Bapak Profesor menyebut fiqh manhaji untuk Muhammadiyyah, maka inilah fiqh manhaji yang mesti dipegang.
Kesimpulan : Anggapan Bapak Profesor hafidhahullah bahwa ‘paham salafi’ cenderung pada aspek ‘aqidah (saja) dan kalaupun terpengaruh madzhab, maka madzhabnya Hanabilah; tidak valid.
3.     Rekayasa Paham Salafi Kontemporer
Bapak Profesor hafidhahullah setelah berhalusinasi tentang macam-macam salafi, berkata:
“Nah Ikhwan (IM) ini setelah dikejar-kejar di Mesir – di Mesir kan dilarang – beralih ke Saudi. Oleh Saudi ditampung juga karena sama salafi. Tetapi bumerangnya di tahun 1978 di bawah kepemimpinan Juhaiman ada pemberontakan. Anda pasti tahu itu. Pemberontakan Masjidil-Haram. Bahkan Masjidil-Haram dapat dikuasai sampai 1 minggu. Nah ini salafi yang mempunyai pandangan politik. Nah salafi ini ada salafi politik, yaitu mereka sangat politis, selalu mengkritisi rejim penguasa, dan kalau perlu mengambil kekuasaan. Nah itu salah satunya Ikhwanul-Muslimin. Nah maka mulai tahun 1978 ini, Saudi ini...(tidak jelas)... paham agamanya harus dipola. Salah satunya apa ? agar mereka tunduk, patuh, tanpa reserve (?) kepada Pemerintah. Nah itu. Jadi dipola. Paham agama. Yaitu salafi hambali yang dipola. Maka kemudian, di situ muncullah ulama-ulama yang kebetulan mempunyai paham yang demikian. Nah di sini juga ulamanya berpaham demikian,… barangkali kalau dalam pendekatan politik, dikooptasi oleh Pemerintah. Kemudian dijadikan alat. Dijadikan alat. Punya paham yang sedemikian ini. Mereka itu siapa ?. Mereka itu yang kita kenal misalnya ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz yang wafat tahun 1999. Kemudian Nashiruddin Al-Albani wafat tahun 1999. Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, wafat tahun 2001. Nah kemudian yang di belakang ini ada Rabii’ bin Hadiy Al-Madkhaliy. Kemudian kalau yang di Yaman yang disebut sebagai Salafi Yamani, yaitu Syaikh Muqbil yang taat kepada Pemerintah…..”
[22:47 – 25:08].
Salafi yang ada sekarang – menurut Bapak Profesor – merupakan evolusi dari Salafi hasil rekayasa Pemerintah Saudi untuk mempertahankan rezim, yaitu pengalaman menghadapi pemberontakan Juhaiman tahun 1978.
Menyedihkan juga, sekelas beliau menurunkan analisis kelas Pos Kota dan Lampu Merah. Nilai riuhnya 90, sedangkan kontennya 5 (skala 0 – 100).
Bagaimana bisa disimpulkan kewajiban tunduk dan patuh kepada Penguasa (muslim) merupakan paham yang lahir setelah era Juhaiman ?. Sule akan tertawa, jika ia paham.
Tunduk, patuh, mendengar, dan taat kepada Pemerintah atau penguasa merupakan perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya . Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Diantara makna ulil-amri adalah umaraa’ (penguasa).
Nabi juga bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai dan yang ia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat (pada perintah maksiat tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7144].
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟، قَالَ: أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
Sesungguhnya kelak sepeninggalku kalian akan melihat atsarah[4]dan perkara-perkara yang kalian mengingkarinya”. Para sahabat bertanya : “Lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda : “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7052 dan Muslim no. 1843].
عن علقمة بن وائل الحضرمي عن أبيه قال سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول الله ﷺ فقال : يَا نَبِيَّ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهمْ وَيَمْنَعُوْنَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَه اْلأَشْعَثُ بْنِ قَيْسِ وَقَالَ اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهمْ مَا حَمَلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حَمَلْتُمْ
Dari ‘Alqamah bin Wail Al-Hadlrami dari ayahnya ia berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju’fiy pernah bertanya kepada Rasulullah : “Wahai Nabiyullah, bagaimana pendapatmu jika kami punya pemimpin yang menuntut pemenuhan atas hak mereka dan menahan (tidak menunaikan) hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami ?”. Maka Rasulullah berpaling darinya, dan Salamah kembali mengulangi pertanyaannya. Dan hal itu berulang hingga dua atau tiga kali. Kemudian Al-Asy’ats bin Qais menariknya (Salamah). Dan akhirnya beliau menjawab : “(Hendaklah kalian) mendengar dan taat kepada mereka. Karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat dan atas kalian apa yang kalian perbuat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1846].
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لا نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ، فَذَكَرَ الشَّرَّ، فَقَالَ: "اتَّقُوا اللَّهَ، وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا
Dari ‘Adiy bin Haatim, ia berkata : Kami bertanya : ”Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang (pemimpin) yang bertaqwa. Akan tetapi (kami bertanya tentang) orang yang telah berbuat begini dan begitu” – maka ia menyebutkan kejelekan. Maka beliau bersabda : ”Bertaqwalah kepada Allah, dengar dan taatlah kalian (kepadanya)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ’Aashim dalam As-Sunnah no. 1069; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Dhilaalul-Jannah 2/508].
Tunduk, patuh, mendengar, dan taat kepada penguasa muslim pada hal yang ma’ruuf[5], serta tidak keluar ketaatan dengan melakukan pemberontakan meskipun dhalim merupakan manhaj yang disepakati para ulama Ahlus-Sunnah.
عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ، قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ: "يَا أَبَا أُمَيَّةَ، إنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَلْقَاكَ بَعْدَ عَامِي هَذَا، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ، إنْ ضَرَبَكَ فَاصْبِرْ، وَإِنْ حَرَمَكَ فَاصْبِرْ، وَإِنْ أَرَادَ أَمْرًا يَنْتَقِصُ دِينَكَ، فَقُلْ: سَمْعٌ وَطَاعَةٌ، دَمِي دُونَ دِينِي، فَلَا تُفَارِقِ الْجَمَاعَةَ
Dari Suwaid bin Ghafalah, ia berkata : Telah berkata ‘Umar (bin Al-Khaththaab) : “Wahai Abu Umayyah, sesungguhnya aku tidak tahu barangkali setelah tahun ini aku tidak menjumpaimu lagi. Dengar dan taatlah, meskipun yang memerintahkanmu seorang budak Habsyiy yang terpotong hidungnya. Seandainya ia memukul punggungmu, maka sabarlah. Seandainya ia mengharamkan (tidak memenuhi) hak-hakmu, maka sabarlah. Dan seandainya menghendaki satu perkara yang akan mengurangi agamamu, maka katakanlah : ‘Aku tetap mendengar dan taat (dengan pengorbanan) darahku, namun tidak agamaku. Janganlah engkau memisahkan diri dari jama’ah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 12/455; shahih].
Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah (w. 110 H) pernah berkata :
والله ما يستقيم الدِّين إلاَّ بهم ، وإنْ جاروا وظلموا ، والله لما يُصْلحُ الله بهم أكثرُ ممَّا يُفسدون ، مع أنَّ - والله - إنَّ طاعتهم لغيظٌ ، وإنَّ فرقتهم لكفرٌ
”Demi Allah, agama tidak akan tegak kecuali dengan (mentaati) mereka (penguasa). Meskipun mereka sewenang-wenang dan berlaku dhalim. Demi Allah, kebaikan yang Allah limpahkan dengan adanya mereka lebih besar daripada kerusakan yang mereka timbulkan. Meskipun ketaatan terhadap mereka – demi Allah – merupakan amarah,  namun memisahkan diri dari mereka (memberontak) merupakan kekufuran[6]” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 588, tahqiq : Maahir Al-Fahl].
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah berkata ketika terjadi debat dengan orang-orang yang ingin melepas ketaatan terhadap penguasa:
عَلَيْكُمْ بِالنَّكِرَةِ بِقُلُوبِكُمْ، وَلا تَخْلَعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَلا تَشُقُّوا عَصَا الْمُسْلِمِينَ، وَلا تَسْفِكُوا دِمَاءَكُمْ وَدِمَاءَ الْمُسْلِمِينَ مَعَكُمُ، انْظُرُوا فِي عَاقِبَةِ أَمْرِكُمْ، وَاصْبِرُوا حَتَّى يَسْتَرِيحَ بَرٌّ، أَوْ يُسْتَرَاحَ مِنْ فَاجِرٍ، وَدَارَ فِي ذَلِكَ كَلامٌ كَثِيرٌ لَمْ أَحْفَظْهُ وَمَضَوْا
“Wajib bagi kalian untuk mengingkarinya dengan hati kalian, namun jangan menarik ketaatan, jangan memecah-belah persatuan kaum muslimin, serta jangan menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin bersama kalian. Perhatikanlah nanti akibat dari urusan kalian. Bersabarlah hingga orang yang baik dapat beristirahat atau diistirahatkan dari orang yang jahat (faajir)” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah 1/133-134 no. 90].
Abu Haatim Ar-Raaziy dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy rahimahumallah berkata:
أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ .....وَلا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى الأَئِمَّةِ وَلا الْقِتَالَ فِي الْفِتْنَةِ، وَنَسْمَعُ وَنُطِيعُ لِمَنْ وَلاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَمْرَنَا وَلا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَنَتَّبِعُ السُّنَّةَ وَالْجَمَاعَةَ، وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالْخِلافَ وَالْفُرْقَةَ
“Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh kota baik di Hijaaz, ‘Iraaq, Syam, dan Yaman, maka diantara madzhab yang mereka pegang adalah …… Dan kami memandang tidak bolehnya keluar ketaatan (memberontak) kepada para pemimpin (kaum muslimin) dan mengobarkan peperangan di masa fitnah. Kami senantiasa mendengar dan taat kepada orang yang Allah ‘azza wa jallaberikan kekuasaan untuk mengatur urusan kami. Kami tidak akan melepaskan tangan kami dari ketaatan. Kami mengikuti sunnah dan jama’ah, serta menjauhkan diri dari keganjilan, penyelisihan, dan perpecahan” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/177].[7]
‘Aliy bin Al-Madiiniy rahimahullah (w. 234 H) berkata:
وَمَنْ خَرَجَ عَلَى إِمَامٍ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَقَدِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ النَّاسُ فَأَقَرُّوا لَهُ بِالْخِلافَةِ بِأَيِّ وَجْهٍ كَانَتْ بِرِضًا كَانَتْ أَوْ بِغَلَبَةٍ فَهُوَ شَاقٌّ هَذَا الْخَارِجُ عَلَيْهِ الْعَصَا، وَخَالَفَ الآثَارَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَإِنْ مَاتَ الْخَارِجُ عَلَيْهِ مَاتَ مِيتَةَ جَاهِلِيَّةٍ. وَلا يَحِلُّ قِتَالُ السُّلْطَانِ، وَلا الْخُرُوجُ عَلَيْهِ لأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ، فَمَنْ عَمِلَ ذَلِكَ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ عَلَى غَيْرِ السُّنَّةِ.
“Barangsiapa yang keluar ketaatan/memberontak terhadap seorang pemimpin dari kalangan pemimpin kaum muslimin yang manusia telah berkumpul di bawah kepemimpinannya dan merekapun mengakui kekhilafahannya/kepemimpinannya, dengan cara apa saja, baik dengan keridlaan ataupun paksaan; maka orang yang memberontak tersebut telah merusak persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar-atsar dari Rasulullah . Apabila ia mati, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyyah. Dan tidak halal untuk memeringai sulthaan/penguasa, dan tidak boleh seorangpun keluar ketaatan/memberontak terhadapnya. Barangsiapa yang melakukannya, maka ia adalah mubtadi’ yang tidak berada di atas sunnah” [idem, 1/168].
Perkara mendengar dan taat kepada penguasa muslim – baik yang shaalih maupun dhaalim – merupakan prinsip pokok Ahlus-Sunnah yang diletakkan para ulama dalam kitab-kitab ‘aqidah mereka, seperti Ismaa’iil bin Yahyaa Al-Muzanniy (w. 264 H) dalam Syarhus-Sunnah, Harb bin Ismaa’iil Al-Kirmaaniy (w. 280 H) dalam Al-Mu’taqad,Ibnu Abi ‘Aashim (w. 287 H) dalam As-Sunnah, Abu Ja’far Ath-Thahawiy Al-Hanafiy (w. 361 H) dalam Al’Aqiidah Ath-Thahaawiyyah,Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Barbahaariy (w. 329 H) dalam Syarhus-Sunnah, Abul-Hasan Al-Asy’ariy (w. 330) dalam Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr,Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy (w. 360 H) dalam Asy-Syarii’ah, Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy (w. 387 H) dalam Asy-Syarh wal-Ibaanah ‘alaa Ushuulis-Sunnah wal-Diyaanah, Ibnu Abi Zamaniin (w. 399 H) dalam Ushuulus-Sunnah,Abul-Qaasim Al-Laalikaa’iy (w. 418 H) dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad,Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy (w. 449 H) dalam ‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits,Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqiy (w. 458 H) dalam Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad, Ibnu Qudaamah (w. 620 H) dalam Lum’atul-I’tiqaad, dan banyak lagi yang lainnya.
Sengaja saya contohkan kitab-kitab para ulama antar madzhab sebelum Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah agar tidak disangka ini adalah paham Salafi Ibnu Taimiyyah. Karena saya tahu, ada sebagian kaum muslimin alergi dengan nama Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Mereka semua (para ulama) membahas kewajiban mendengar dan taat kepada penguasa muslim – yang baik maupun yang jahat/dhalim – pada hal yang ma’ruf dan larangan keluar ketaatan darinya. Bahkan sebagian di antaranya tegas mengatakan ijmaa’ dalam permasalahan ini. Apa yang mereka tuliskan adalah hasil penelaahan nash-nash Al-Qur’an, As-Sunnah, dan atsar salaf.
Akankah mereka – dikarenakan pendapat mereka - kita katakan sebagai ulama hasil kooptasi penguasa sebagaimana Bapak Profesor hafidhahullahmengatakan hal yang sama pada beberapa ulama salafi kontemporer ?. Apakah mereka boneka penguasa yang dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan ?.
Perlu Bapak Profesor ketahui, buku-buku yang saya sebut di atas adalah buku-buku yang dipelajari di ma’had-ma’had dan universitas-universitas Islam yang (dianggap) berafiliasi dengan salafi. Bahkan pengajian pekanan yang diadakan para asatidzah lokal dalam negeri juga membahas sebagian kitab-kitab ini. Termasuk ustadz Salafi di Banjarmasin, kota kediaman Bapak Profesor hafidhahullah.
Kesimpulan di point ini : Tuduhan ‘paham salafi’ sekarang merupakan hasil rekayasa Pemerintah Saudi adalah keliru.
Seandainya pun tuduhan ini kita anggap halusinasi, tidak berlebihan juga.[8]
4.     Penisbatan Individu dan Kelompok Tertentu Sebagai Tokoh dan Derivat Salafi
Di atas Bapak Profesor hafidhahullah mengisyaratkan Juhaiman sebagai seorang Salafi. Pada menit-menit sebelumnya, beliau juga menyebutkan beberapa objek. Begini kata beliau:
“Dari Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab yang ingin membersihkan tauhid ini, mempengaruhi kepada beberapa tokoh pembaharu. Diantaranya Jamaluddin Al-Afghani yang wafat tahun 1898. Seorang tokoh dari Afghanistan. Kemudian Muhammad Abduh, kemudian Rasyid Ridla yang kebetulan ketiga-tiganya ini di Mesir.…… Nah, Muhammad Rasyid Ridla ini, dia tauhidnya adalah salaf kemudian fiqihnya tidak bermadzhab, walaupun ada nama Hambali juga di nama belakangnya. Tetapi dalam Tafsir Al-Manarnya tidak bermadzhab. Nah itu. Kemudian Ahmad Dahlan terpengaruh dari Muhammad ‘Abduh. Muhammad ‘Abduh ini salaf tauhidnya. Tapi kemudian beliau ini bersinggungan dengan Perancis. Bersinggungan dengan Inggris. ………
Sebelum ini juga ada salafi di Mesir itu. Setelah jaman Rasyid Ridla tadi, mempengaruhi Hasan Al-Banna yang mendirikan Ikhwanul-Muslimin. Ikhwanul-Muslimin jaman Hasan Al-Banna itu moderat. Tapi belakangan setelah ada permusuhan dengan Pemerintah, menjadi radikal di bawah kepemimpinan Sayyid Quthb. Nah ini lebih cenderung disebut dengan Salafi Politik. Jadi Salafi itu ada Salafi Politik, ada Salafi Puritan, ada Salafi Jihadi. Ini pembagiannya lunaknya, terbagi menjadi bermacam-macam gitu. Ada Salafi Sururi, ada Salafi Ghairu Sururi, macam-macam. Tapi ini urut agar pembagiannya lebih mudah. Ada Salafi. Jadi Salafi ingin rujuk kepada Al-Qur’an dam As-Sunnah itu, ada Salafi Politik, nah ini Ikhwan……”
[16:29 – 22:47]
“Dari sini, mungkin kalau Salafi saya batasi untuk Salafi yang Puritan saja, karena ada yang Politik, kemudian ada yang Jihadi. Yang Jihadi itu yang kemudian menjadi ISIS. Yang jadi Jama’ah Islamiyyah, Al-Qaeda itu. Nah, kalau Jihadi itu, bahkan kadang-kadang sudah bisa menghalalkan darah”
[51:03 – 51:25].
Yang saya garis-bawahi di atas adalah individu dan kelompok yang diafiliasikan kepada Salafi dengan aneka penamaan oleh Bapak Profesor hafidhahullah, selain Juhaiman yang telah disebutkan sebelumnya. Diulang : ada Juhaiman, Jamaaluddin Al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Raasyid Ridlaa, Hasan Al-Bannaa, Sayyid Quthb, Al-Ikhwaanul-Muslimuun, ISIS, Jama’ah Islamiyyah, dan Al-Qaeda. Banyak banget ya ?
Kita mesti kembali kepada definisi yang telah disepakati di awal, yaitu : kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf. Apakah mereka ini memang punya prinsip mengembalikan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf ?. Apakah mereka menyepakati dan mengimplementasikan itu ?
Juhaimaan bin Muhammad bin Saif Al-‘Utaibiy, seorang ekstrimist kanan berhalauan takfiriy (mudah mengkafirkan). Ia mengangkat senjata bersama jama’ahnya merebut Masjidil-Haram karena menganggap Pemerintah Saudi sudah keluar dari batasan syari’at Allah. Cita-citanya membebaskan dunia Arab dari penguasa tirani dan thaghut yang ia anggap kafir. Tak segan menumpahkan darah sesama muslim. Dirinya juga punya khayalan tingkat tinggi sehingga tega mengangkat kolega sekaligus saudara iparnya yang bernama Muhammad Al-Qahthaniy sebagai Al-Mahdiy Al-Muntadhar.
Pertanyaan sederhana kita : Apakah idelogi Juhaimaan itu menggambarkan ideologi ‘Salafi’ ?.
Sama sekali tidak. Sebagaimana disinggung di atas, ‘aqidah ‘Salafi’ yang ternukil dari para ulama mutaqaddimiin adalah mendengar dan taat kepada penguasa pada hal-hal yang ma’ruf, serta mengharamkan pemberontakan. Ini adalah kesepakatan ulama yang menjadi bagian penting dalam ‘aqidah salafiyyah.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ , وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ
”Adapun keluar dari ketaatan terhadap para pemimpin/penguasa serta memeranginya, maka hukumnya adalah haram menurut kesepakat kaum muslimin. Walaupun pemimpin tersebut adalah dhalim lagi fasiq” [Syarh Shahiih Muslim, 12/229].
Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnu Baththaal rahimahumallah dalam masalah ijmaa’ ini:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاء عَلَى وُجُوب طَاعَة السُّلْطَان الْمُتَغَلِّب وَالْجِهَاد مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَته خَيْر مِنْ الْخُرُوج عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْن الدِّمَاء وَتَسْكِين الدَّهْمَاء ، وَحُجَّتهمْ هَذَا الْخَبَر وَغَيْره مِمَّا يُسَاعِدهُ ، وَلَمْ يَسْتَثْنُوا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا إِذَا وَقَعَ مِنْ السُّلْطَان الْكُفْر الصَّرِيح
”Para fuqahaa telah bersepakat atas wajibnya taat kepada sulthan yang terpilih dan jihad bersamanya. Hal itu dikarenakan ketaatan kepadanya lebih baik daripada keluar dari ketaatan (membangkang/memberontak), yang dengan itu bisa memelihara darah dan menenangkan orang banyak. Tidak ada pengecualian atas hal itu, kecuali bila sulthan melakukan kekufuran yang nyata” [Fathul-Baariy, 13/7].
Inilah yang diajarkan As-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz rahimahullah yang dianggap boneka penguasa oleh Bapak Profesor:
لكن لا يجوز الخروج على الأئمة وإن عصوا بل يجب السمع والطاعة في المعروف مع المناصحة ولا تنزعن يدا من طاعة لقول النبي صلى الله عليه وسلم: على المرء السمع والطاعة في المنشط والمكره وفيما أحب وكره ما لم يؤمر بمعصية الله فإن أمر بمعصية الله فلا سمع ولا طاعة. ويقول عليه الصلاة والسلام: من رأى من أميره شيئًا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدًا من طاعة فإنه من فارق الجماعة مات ميتة جاهلية، وقال عليه الصلاة والسلام: من أتاكم وأمركم جميع يريد أن يفرق جماعتكم وأن يشق عصاكم فاقتلوه كائنا من كان، والمقصود أن الواجب السمع والطاعة في المعروف لولاة الأمور من الأمراء والعلماء - وبهذا تنتظم الأمور وتصلح الأحوال ويأمن الناس وينصف المظلوم ويردع الظالم وتأمن السبل ولا يجوز الخروج على ولاة الأمور وشق العصا
“Akan tetapi tidak diperbolehkan memberontak kepada para penguasa meskipun mereka berbuat maksiat. Bahkan, wajib bagi rakyat untuk mendengar dan taat dalam hal yang ma’ruuf, disamping memberikan nasihat kepada mereka. Tidak boleh melepaskan ketaatan berdasarkan sabda Nabi : ‘Wajib bagi seseorang untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan giat ataupun tidak, dan pada yang ia sukai ataupun ia benci selama tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah. Apabila ia diperintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka ia tidak boleh mendengar dan taat (terhadap perintah itu)’. Nabi juga bersabda : ‘Barangsiapa melihat dari pemimpinnya perbuatan maksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci kemaksiatan yang dilakukan. Namun tidak diperbolehkan melepaskan ketaatan. Barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah, maka ia mati seperti kematian Jahiliyah’. Nabi juga bersabda : ‘Barangsiapa yang datang kepada kalian sedangkan urusan kalian satu (dalam kepemimpinan) dimana dirinya hendak memecah-belah jamaah kalian dan merusak persatuan kalian; maka bunuhlah ia siapapun orangnya’.
Maksudnya, wajib (bagi rakyat) untuk mendengar dan taat dalam hal yang ma’ruf kepada waliyyul-amri dari kalangan penguasa dan ulama. Dengan cara ini, segala urusan dapat lancar, kondisi masyarakat menjadi baik, masyarakat merasa aman, hak orang yang terdhalimi dapat dikembalikan, orang yang dhalim dapat dicegah, serta jalan-jalan menjadi aman. Maka, tidak diperbolehkan memberontak kepada penguasa dan merusak persatuan (yang ada)” [http://www.binbaz.org.sa/article/208].
Inilah yang diajarkan di bangku sekolah/kuliah universitas Islam dan berbagai majelis ta’lim. Apakah berbeda ?.
Pengkafiran Juhaimaan terhadap para penguasa karena dianggap mereka (penguasa) tidak berhukum dengan hukum Allah dan berbuat sewenang-wenang. Ia terpengaruh doktrinase revolusi dan chaos di Mesir pasca pemberangusan Al-Ikhwaanul-Muslimiin oleh Jamaal ‘Abdun-Naashir. Dan memang, Juhaimaan hanya sekedar menduplikasi pemikiran Sayyid Quthb, tokoh takfiriy Al-Ikhwaan, yang terimport ke Saudi Arabia.
Fariid bin ‘Abdil-Khaalid, seorang tokoh internal Al-Ikhwaanul-Muslimuun, memberikan pengakuan tentang Sayyid Quthb:
ألمعنا فيما سبق إلى أن نشأة فكر التكفير بدأت بين شباب بعض الإخوان في سجن القناطر في أواخر الخمسينات وأوائل الستينات، وأنهم تأثروا بكفر الشهيد سيد قطب وكتاباته، وأخذوا منها أن المجتمع في جاهلية، وأنه قد كفر حكامه الذين تنكروا لحاكمية الله بعدم الحكم بما أنزل الله، ومحكوميه إذا رضوا بذلك
“Telah kami tekankan sebelumnya bahwasannya pertumbuhan pemikiran takfir pada sebagian pemuda Al-Ikhwaan yang mendekam di penjara Al-Qanaathir pada akhir tahun 50-an dan awal tahun 50-an (masehi); maka mereka itu terpengaruh oleh pemikiran dan tulisan-tulisan Asy-Syahiid Sayyid Quthb. Mereka mengambil pemikirannya (Sayyid Quthb) bahwa masyarakat dalam keadaan Jahiliyyah, mengkafirkan para pemimpinnya karena (dianggap) mengingkari Haakimiyyah Allah dengan tidak menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah, serta mengkafirkan rakyatnya jika meridlai hal tersebut” [Al-Ikhwaanul-Muslimuun fii Mizaanil-Haqq, hal. 115].
Apakah ini yang disebut Salafi ?. Jelas bukan ! Ini adalah ideologi tua kaum Khawaarij dalam penakwilan ayat-ayat hukum.
Al-Imaam Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy rahimahullah berkata :
ومما يتبع الحرورية من المتشابه قول الله عز وجل : وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ . ويقرؤون معها : ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ فإذا رأوا الإمام يحكم بغير الحق قالوا : قد كفر . ومن كفر عدل بربه ، فقد أشرك ، فهؤلاء الأئمة مشركون ، فيخرجون فيفعلون ما رأيت ، لأنهم يتأولون هذه الآية
“Dan termasuk di antara syubhat yang diikuti kaum Haruuriyyah (Khawaarij) dalam firman Allah ta’ala : ‘Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44). Mereka membacanya bersama ayat : ‘Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka’ (QS. Al-An’aam : 1). Apabila mereka melihat seorang imam (penguasa) yang berhukum bukan dengan kebenaran, mereka pun berkata : ‘Sungguh ia telah kafir. Dan barangsiapa yang kafir, maka ia telah mempersekutukan Rabb-nya, dan sungguh ia telah berbuat syirik. Mereka adalah para pemimpin kaum musyrik’. Akhirnya, mereka (Khawaarij) keluar (dari ketaatan) dan melakukan apa-apa yang telah kamu lihat. Hal itu dikarenakan mereka mena’wilkan (secara keliru) ayat ini” [Asy-Syarii’ah, 1/144].
Semisal dengan penjelasan Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah(w. 463 H) yang berkata :
وقد ضلت جماعة من أهل البدع من الخوارج والمعتزلة في هذا الباب فاحتجوا بهذه الآثار ومثلها في تكفير المذنبين واحتجوا من كتاب الله بآيات ليست على ظاهرها مثل قوله عز وجل {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}
“Dan sungguh telah tersesat kelompok ahlul-bida’ dari kalangan Khawaarijdan Mu’tazilah dalam bab ini. Mereka berhujjah dengan atsar-atsar ini dan yang semisalnya dalam pengkafiran orang-orang yang berbuat dosa. Mereka pun berhujjah dengan Al-Qur’an berupa ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagaimana dhahir-nya, seperti firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44)” [At-Tamhiid, 17/16].
Kalau ada yang berkata : “Bukankah Juhaimaan murid ulama salafi : Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz dan para ulama Saudi lainnya ?”.
Kita katakan :
Waashil bin ‘Athaa’ – founding father aliran Mu’tazilah – adalah murid Al-Hasan Al-Bashriy yang sering bermajelis dengannya. Namun Al-Hasan justru mengingkari dan mengeluarkan Waashil dari majelisnya ketika ia (Waashil) berkata : “Orang fasiq, tidak berstatus mukmin dan tidak pula kafir”.[9]Lalu ‘Amru bin ‘Ubaid bergabung dengannya dan memisahkan diri dari majelis Al-Hasan Al-Bashriy, sehingga kelompok mereka dinamakan Mu’tazilah [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 5/464-465 no. 210].
Meski Waashil pernah berguru kepada Al-Hasan – ulama besar generasi taabi’iin- , para ulama tidak pernah menisbatkan Waashil dan pemahamannya kepada Al-Hasan rahimahullah. Para ulama tidak pernah menimpakan kesalahan Waashil kepada Al-Hasan.
‘Aliy bin Abi Thaalib beserta ahli baitnya radliyallaahu ‘anhum adalah orang-orang yang diagungkan oleh pemeluk sekte Syi’ah. Generasi awal Syi’ah adalah orang-orang yang duduk di majelis Ahlul-Bait dan menyatakan walaa’ terhadap mereka. Ketika mereka melakukan penyimpangan, Ahlul-Bait pun mengingkarinya dengan keras.
عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ حُسَيْنٍ، وَكَانَ أَفْضَلَ هَاشِمِيٍّ أَدْرَكْتُهُ، يَقُولُ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَحِبُّونَا حُبَّ الإِسْلامِ، فَمَا بَرِحَ بِنَا حُبُّكُمْ حَتَّى صَارَ عَلَيْنَا عَارًا
Dari Yahyaa bin Sa’iid, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Husain – dan ia adalah seutama-utama keturunan Bani Haasyim yang aku temui – berkata : “Wahai sekalian manusia, cintailah kami dengan kecintaan Islam. Kecintaan kalian kepada kami senantiasa ada hingga kemudian malah menjadi aib bagi kami” [Diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 5/110; shahih[10]].
Syi’ah tidak disandarkan pada Ahlul-Bait – meski mereka mengklaimnya – dan Ahlul-Bait pun tidak disandarkan pada Syi’ah.
Begitu juga dengan kasus Juhaimaan. Meski ia pernah menjadi murid Ibnu Baaz, tapi ia tidak sepemahaman dengan Ibnu Baaz. Dirinya lebih mirip kepada Sayyid Quthb dalam pemikiran takfir. Aroma anyir Khawaarij begitu menyengat dari dirinya. Ibnu Baaz pernah memberi syafa’at kepada dirinya ketika masuk penjara karena diharapkan ia dapat memperbaiki diri. Ketika Juhaimaan menampakkan pandangan ekstrimnya, maka Ibnu Baaz rahimahullah mengingkarinya dan memfatwakan agar kelompok Juhaimaan diperangi.
Apakah layak jika penyimpangan Juhaimaan dihubungkan dengan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah atau Salafi?.
Ini sekaligus merespon tentang cerita ISIS, Jama’ah Islaamiyyah, dan Al-Qaeda yang sudah dikatakan sendiri oleh Bapak Profesor : 'bisa menghalalkan darah' (orang di luar kelompok mereka). Takfir dan penghalalan darah kaum muslimin bukan ‘aqidah salafi sepanjang jaman. Baik dulu maupun sekarang.
Kemudian tentang Al-Ikhwaanul-Muslimuun (IM) dengan Hasan Al-Banna nya. Apakah benar jama’ah ini berserta muassis-nya (Hasan Al-Banna) adalah representasi ‘Salafi’ ?.
IM adalah organisasi ala karedok yang terdiri dari aneka macam sayuran seperti mentimun, taoge, kol, kacang panjang, daun kemangi, dan terong. Berbagai pandangan keagamaan tertampung dalam IM.
Al-Ustadz Hasan Al-Bannaa rahimahullah berkata:
أتحدث إليك الآن عن دعوتنا أمام الخلافات الدينية و الآراء المذهبية.
نجمع ولا نفرق
اعلم ـ فقهك الله ـ أولا: أن دعوة الإخوان المسلمين دعوة عامة لا تنتسب إلى طائفة خاصة، ولا تنحاز إلى رأي عرف عند الناس بلون خاص ومستلزمات وتوابع خاصة، وهي تتوجه إلى صميم الدين ولبه، وتود أن تتوحد وجهة الأنظار والهمم حتى يكون العمل أجدى والإنتاج أعظم وأكبر، فدعوة الإخوان دعوة بيضاء نقية غير ملونة بلون
“Maka sekarang akan akan berbicara tentang dakwah kami terkait perselisihan-perselisihan keagamaan (ikhtilaafaat diiniyyah) dan pendapat-pendapat madzhabiyyah. Yaitu : Kami (berusaha) menyatukan dan tidak mencerai-beraikan. Ketahuilah – semoga Allah memberikan pemahaman kepadamu – bahwasannya dakwah IM  adalah dakwah umum yang tidak menisbatkan diri kepada kelompok tertentu, dan tidak pula cenderung kepada satu pendapat yang dikenal manusia dengan warna, ciri khas, dan tabiat yang khusus. Dakwah kami fokus pada pusat dan jantung agama, serta berkinginan untuk menyatukan semua pandangan dan semangat hingga amalan tersebut lebih bermanfaat dan hasilnya lebih besar. Maka, dakwah IM adalah dakwah yang putih bersih tanpa terkontaminasi dengan warna tertentu” [Rasaail Al-Imaam Asy-Syahiid Hasan Al-Bannaa].
Karena keinginan tersebut, dalam IM ada unsur Shufiyyahnya, dan Hasan Al-Banna sendiri seorang tokoh Shuufiyyah sebagaimana dikatakan Sa’iid Hawwa rahimahumallah:
إِنَّ الصُّوْفِيَّةَ عِنْدَهُمْ اصْطِلَاحٌ الْمُرْشِدُ الْكَامِلُ ، وَلَقَدْ كَانَ اْلأُسْتَاذُ الْبَنَّا مُرْشِدًا كَامِلًا بِشَهَادَةِ كِبَارِ الصُّوْفِيَّةِ أَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya shuufiyyah memiliki istilah Al-Mursyid Al-Kaamil (pembimbing yang sempurna). Dan sungguh Al-Ustaadz Al-Bannaa adalah seorang pembimbing yang sempurna berdasarkan persaksian para pembesar shufi sendiri” [Tarbiyyatunar-Ruuhiyyah].
IM sangat toleran terhadap aneka pemahaman sesat dan bahkan mendakwahkan persatuan Ahlus-Sunnah – Syi’ah. ‘Umar At-Tilmisaaniy – mursyid aam ketiga IM – berkata:
وفي الأربعينات على ما أذكر كان السيد القمي-وهو شيعي المذهب- ينزل ضيفا على الإخوان في المركز العام ووقتها كان الإمام الشهيد يعمل جاداً على التقريب بين المذاهب ,حتى لا يتخذ أعداء الإسلام الفرقة بين المذاهب منفذا يعملون من خلاله على تمزيق الوحدة الإسلامية ,وسألناه يوماً عن مدى الخلاف بين أهل السنة والشيعة ,فنهانا عن الدخول في مثل هذه المسائل الشائكة التي لا يليق بالمسلمين أن يشغلوا أنفسهم بها ..... فقال رضوان الله عليه : اعلموا أنَّ أهل السنة والشيعة مسلمون تجمعهم كلمة لا إله إلاَّ الله وأنَّ محمداً رسول الله وهذا أصل العقيدة ,والسنة والشيعة فيه سواء وعلى التقاء ,أما الخلاف بينهما فهو في أمور من الممكن التقريب فيها بينهما
“Pada tahun 40-an seingatku, As-Sayyid Al-Qummiy yang bermadzhab Syi’ah bertamu ke markaz besarnya. Waktu itu, Al-Imaam Asy-Syahiid berusaha keras untuk mengadakan pendekatan antar madzhab, hingga musuh-musuh Islam tidak menjadikan perpecahan antar madzhab sebagai celah untuk merobek persatuan kaum muslimin. Dan pada suatu hari kami bertanya kepada beliau tentang cakupan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dan Syii’ah. Maka beliau melarang kami untuk masuk dalam permasalahan-permasalahan sensitif semisal ini. Kaum muslimin tidak boleh menyibukkan diri mereka terhadapnya….. Lalu beliau (Al-Ustadz Hasan Al-Banna) berkata : ‘Ketahuilah, bahwasannya Ahlus-Sunah dan Syi’ah statusnya adalah muslim yang disatukan oleh kalimat Laa ilaha illallaah wa anna Muhammadar-Rasuulullah. Ini adalah pokok ‘aqidah. Ahlus-Sunnah dan Syi’ah terdapat kesamaan dan kesesuaian (titik temu). Adapun perselisihan antara keduanya, maka itu dalam perkara-perkara yang sangat dimungkinkan untuk dilakukan pendekatan antara keduanya….” [Dzikriyaat Laa Mudzakkiraat, hal. 249-250 atau Al-Ikhwaanul-Muslimuun wasy-Syii’ah].
Apakah perbedaan kita dengan Syii’ah hanyalah masalah perbedaan fiqh ? Ataukah sudah masuk pada perbedaan ‘aqiidah ?. Majelis Ulama Indonesia sudah mencetak buku berjudul ‘Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi'ah di Indonesia’.[11] Penyimpangan Syi’ah termasuk penyimpangan kelas kakap.
Ketika Pilkada DKI Jakarta 2017 kemarin, ramai tentang masalah Ahok yang dianggap melecehkan Al-Qur’an terkait QS. Al-Maaidah ayat 51. Ayat itu menjelaskan konsep ‘aqidah al-walaa’ wal-baraa’. Al-Qur’an dalam banyak ayat telah menjelaskan tentang permusuhan antara kaum muslimin dengan Yahudi, Nashrani, dan orang-orang kafir yang lain karena masalah ‘aqidah. Kaum muslimin memusuhi mereka karena kekufuran dan kesyirikan mereka. Tapi apa kata Ustadz Hasan Al-Banna ? Beliau rahimahullah berkata:
فأقرر أن خصومتنا لليهود ليست دينية؛ لأن القرآن حضّ على مصافاتهم ومصادقتهم، والإسلام شريعة إنسانية قبل أن يكون شريعة قومية، وقد أثنى عليهم وجعل بيننا وبينهم اتفاقا {ولا تُجادِلُوا أَهْلَ الكِتَابِ إلاَّ بِالَّتي هِي أَحْسَنُ} وحينما أراد القرآن الكريم أن يتناول مسألة اليهود تناولها من الوجهة الاقتصادية والقانونية....
”Saya tegaskan sekali lagi bahwa persengketaan/permusuhan kita dengan Yahudi bukanlah persengketaan/permusuhan karena agama, karena Al-Qur’an menganjurkan kita agar bergandeng tangan dan bersahabat dengan mereka dan menyuruh agar mengadakan kesepakatan antara kita dengan mereka. Allah berfirman : ‘Dan janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik’ (QS. 29:46). Setiap kali Al-Qur’an berbicara tentang masalah Yahudi, maka disinggung dari sisi perekonomian dan hukum....” [Al-Ikhwaanul-Muslimuun Ahdats Shana’at-Taariikh, 1/409-410].
Dalam kesempatan lain:
إن الإسلام الحنيف لا يخاصم ديناً ولا يهضم عقيدة
“Sesungguhnya Islam yang hanif (lurus) itu tidaklah memusuhi satu agamapun, juga tidak menyerang/menganiaya satu ‘aqidahpun” [Mawaaqifun fid-Da’wati wat-Tarbiyyah, hal. 163].
Karenanya, dakwah IM tidak fokus pada masalah pembinaan ‘aqidah ketauhidan dan menjauhi kesyirikan, karena dalam diri mereka berkumpul orang-orang yang punya masalah dalam kedua hal tersebut. Yang penting kumpul……..
Inikah dakwah salafi ? Inikah yang disebut kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman dan praktek salafsebagaimana terminologi Salafi yang dikemukakan oleh Bapak Profesor yang terhormat ? Bahkan lebih mirip dakwah oportunistik karena ending-nya adalah politik kekuasaan.
Begitu juga dengan barisan IM yang lebih cenderung pada pemikiran radikalis Sayyid Quthb rahimahullah.
“Nggak cocok Pak jika disebut dakwah salaf, paham salaf, dan komunitas salafi….”
Kemudian tentang Jamaaluddin Al-Afghaaniy dan Muhammad ‘Abduh, dua orang yang dianggap membawa pemikiran tajdiid (pembaharuan) di dunia Islam.
Tajdiid dalam apa gerangan yang mereka berdua lakukan ?
Diantaranya tajdiid dalam ‘aqidah dan tafsiir. Seperti, dalam menafsirkan ayat :
وَقُلْنَا يَا آَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ * فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ
Dan Kami berfirman : "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan" [QS. Al-Baqarah : 35-36].
Muhammad ‘Abduh menafsirkan ayat ini, bahwa yang dimaksud surga di situ adalah sebuah kebun yang berada di sebuah bukit [Al-A’malu Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh]. Penafsiran semacam ini adalah penafsiran model Mu’tazilah dan Qadariyyah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qurthubi [Lihat Tafsir Ibni Katsir I, hal 116].
Begitu pula dalam menafsirkan surat Al-Fiil, Muhammad ‘Abduh masih memakai pola yang sama. Katanya : “….Di hari kedua, tentara Abrahah terjangkiti penyakit cacar. ‘Ikrimah mengatakan, bahwa penyakit ini pertama kali muncul di negeri ‘Arab. Ya’qub bin ‘Uthbah menyatakan tentang kejadian ini, bahwa pada tahun itu cacar menyerang ke seluruh tubuh mereka hingga hancur tubuh itu. Kemudian Abrahah dan sebagian tentaranya menyingkir dari tempat tersebut dan banyak diantaranya yang mati” [Al-A’maalu Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh, jilid III, hal 473].
Latar belakang penafsiran semacam ini dalam rangka agar diterima oleh pola pikir masyarakat Barat. Padahal, Allah ta’ala telah secara jelas menyebutkan pengertian ayat tersebut yang tentu saja tidak memerlukan kepada ta’wil. Firman-Nya ta’ala :
تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ
Yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar” [QS. Al-Fiil : 4].
Bila dilihat dalam kitab tafsirnya, niscaya akan banyak ditemukan pemikiran Muhammad ‘Abduh yang semacam itu. Hal itu tak mengherankan, sebab pemikirannya banyak dipengaruhi oleh orientalis, yakni saat dirinya menetap di Perancis. Hubungan tersebut tetap terjalin meski dirinya telah berpindah ke Mesir, baik melalui surat-menyurat atau saling kunjung-mengunjungi. Tatkala dirinya menjabat sebagai mufti di Mesir, dia pernah pula dikunjungi oleh orientalis. Dia juga menjalin hubungan yang cukup erat dengan seorang hakim berkebangsaan Inggris di Mesir, yaitu Lord Kramer. Hal itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia lagi [Waqii’unal-Mu’aashir, hal. 310-315].
Muhammad ‘Abduh senantiasa berusaha membuktikan bahwa Islam selaras dengan akal. Atau dengan kata lain Islam itu rasional. Jika terdapat pertentangan akal dengan naql (Al-Qur’an dan As-Sunnah), Muhammad ‘Abduh mengatakan : “Kaum muslimin telah bersepakat – dan hanya sedikit yang menyelisihi – apabila akal bertentangan dengannaql, maka akallah yang didahulukan” [Al-A’mal Al-Kamiilah oleh Muhammad ‘Abduh, 3/282].
Manhaj beragama seperti ini adalah manhaj Mu’tazillah. Muhammad ‘Abduh juga mendirikan Jam’iyyah At-Ta’liif wat-Taqriib yang punya misi melakukan penyatuan dan pendekatan agama samawi yang tiga[12] [Taariikh Al-Ustaadz Al-Imaam, 1/817-829 melalui At-Tajdiid fil-Fikril-Islaamiy hal. 403].
Kok bisa-bisanya Salafi lagi yang terkena leachate sampah pemikiran Muhammad ‘Abduh ini…..[13]
Jamaaluddin Al-Afghaaniy, guru Muhammad ‘Abduh. Ia (Jamaaluddin Al-Afghaaniy) adalah seorang Raafidliy (penganut Syi’ah Raafidlah)[14] dan Maasuniy (pengikut Freemasonry)[15] yang berbaju Islam. Memiliki pemikiran ‘baru’ – tapi nyleneh– seperti ajakan penyatuan/pendekatan agama yang tiga[16], sama seperti ‘Abduh. Katanya lagi, nubuwwah itu bisa diusahakan.[17] Banyak penyimpangannya yang telah dijelaskan para ulama.
Apakah orang seperti ini layak dikatakan prototype Salafi abad 20 ?.
Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani banyak mempengaruhi Muhammad Rasyid Ridlaa dalam beberapa tulisan di Majalah Al-Manar yang kental dengan pemikiran Mu’tazilah yang menolak As-Sunnah. Namun Raasyid Ridlaa banyak rujuk dan lebih dekat kepada Ahlus-Sunnah – meski bekas-bekas pemahaman gurunya masih kentara – dibandingkan Jamaaluddin Al-Afghaaniy dan Muhammad ‘Abduh.
So, tajdiid yang kemudian dimaknai dengan pembaharu, bukan sekedar memperbaharui. Kalau memperbaharui apa yang telah pakem, maka konteks baru ini adalah bid’ah. Mengada-ada sesuatu dalam agama. Kalau itu menjadi asas agamanya, jadilah Ahlul-bid’ah wadl-dlalaalah, bukan Ahlus-Sunnah wal-Jama’aah.
Makna tajdiid yang diterangkan para ulama adalah:
يُبَيِّن السُّنَّة مِنْ الْبِدْعَة وَيُكْثِر الْعِلْم وَيَنْصُر أَهْله وَيَكْسِر أَهْل الْبِدْعَة وَيُذِلّهُمْ
“Menjelaskan sunnah dari (percampuran) bid’ah, memperbanyak ilmu dan menolong orang yang berpegang kepadanya, serta menghancurkan ahlul-bid’ah dan menghinakannya” [‘Aunul-Ma’buud, 11/386].
As-Sindiy rahimahullah berkata:
كُلّ مَنْ يَدْعُو النَّاس إِلَى إِقَامَة دِين اللَّه وَطَاعَته وَسُنَّة نَبِيّه صَلَوَات اللَّه وَسَلَامه عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ
“Setiap orang yang mengajak manusia untuk menegakkan agama Allah dan mentaati-Nya, serta sunnah Nabi-Nya shalawaatullahi wa salaamuhu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi” [Haasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan Ibnu Maajah, 1/9].
Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi :
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap penghujung 100 tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4291; shahih[18]].
Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan hafidhahullah, maka beliau adalah dai Ahlus-Sunnah. Terus terang saya belum pernah secara khusus mempelajari segala macam tulisan atau buku beliau. Namun demikian, saya ber-husnudhdhandakwah yang beliau bawa adalah dakwah Ahlus-Sunnah, dakwah salaf. Berbeda dengan tiga tokoh di atas yang diklaim mempengaruhi diri beliau rahimahullah.
5.     Salafi Menafikkan Akal ?
Bapak Profesor hafidhahullah berkata:
“Salafi, kalau dari awal itu hanya berbicara tentang masalah tauhid. Kalau masalah fiqh itu masih sangat… ya tidak terlalu ketat, tidak terlalu fanatik. Tapi belakangan, sampai ke bawah ini, salafi itu kepada fiqihnya ketat. Karena fiqihnya fiqih Hambali. Fiqih Hambali. Nah, fiqih Hambali itu cara mengistimbath hukumnya cara pertama, dasar hukumnya Al-Qur’an, yang kedua hadits, hadits shahih tentunya. Yang ketiga fatwa shahabat, ijma’ shahabat. Yang keempat, hadits dlaif. Yang keempat hadits dlaif. Tapi hadits dlaif yang ini adalah hadits dla’if dalam katagori imam Ahmad bin Hanbal. Yang selanjutnya adalah fatwa shahabat yang mendekati Al-Qur’an dan hadits. Nah, itu madzhab Hanbali. Jadi mereka dalam hal ini sangat tekstualis. Tidak memberikan porsi kepada akal di dalam istinbath hukum fiqh….”
[29:05 – 30:23].
Beliau hafidhahullah melanjutkan:
“Nah kebetulan yang ada di sekitar kita ini saudara-saudara kita, salafi itu adalah Salafi Puritan. Artinya Salafi Puritan, yang mempunyai ajaran dasar kembali kepada Islam murni sebagaimana yang dijalankan oleh as-salafush-shaalih. Kemudian tauhid, perjuangan melawan syirik, bid’ah, dan khurafat. Muhammadiyyah ? Sama kan ?. Memberantas TBC. Sumber hukum Islam : Al-Qur’an, hadits, dan ijmaa’ shahabat. Nah ini mungkin ada bedanya. Kalau Muhammadiyyah, sumber hukum Islam : Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan akal untuk memahaminya. Kalau mereka : Al-Qur’an, hadits, dan ijmaa’ shahabat”.
[38:18 – 39:10]
Tentang masalah ijmaa’, saya kira tidak perlu diulang. Menafikkan ijmaa’ adalah kekeliruan yang sangat fundamental dalam agama. Namun saya khawatir, justru ada sesuatu yang terluput dari pengetahuan Bapak Profesor hafidhahullah. Pada kenyataannya, Majelis Tarjih Muhammadiyyah menerima ijmaa’ shahabat sebagai landasan hukum.[19]
Yang sedikit lucu dari pernyataan di atas, ada semacam isyarat – semoga sihsaya salah – bahwa Hanaabilah atau Salafi menafikkan akal dalam istinbath terhadap nash. Adapun Muhammadiyyah, menggunakan akal untuk memahami nash.
Kok bisa dikatakan begitu ?. Keren banget dong kalau begitu Muhammadiyyah….
Jelas ini statement yang ngawur bin ngawur bin ngawur bin ngawur bin ngawur bin ngawur bin ngawur…..
Allah ta’ala telah memerintahkan agar mengoptimalkan akal kita terhadap ayat-ayat kauniyyah-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)” [QS. An-Nahl : 12].
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [QS. Aali ‘Imraan : 190].
Allah ta’ala juga memerintahkan agar manusia memahami ayat-ayat-Nya yang berisi tentang hukum-hukum-Nya:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238) فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239) وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (240) وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (241) كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (242)
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (salatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya[QS. Al-Baqarah : 238-242].
Pada prakteknya, orang-orang Hanaabilah dan/atau Salafi melakukan pengkajian dalil, istinbaath terhadap nash-nash, dan tarjiih secara intens. Tarjiih bukan pekerjaan Majelis Tarjih Muhammadiyyah saja.
Contoh, ulama Salafi kontemporer – yang dianggap Bapak Profesor sebagai alat legitimasi Penguasa - , yaitu Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy rahimahullah. Kitab beliau berjudul Tamaamul-Minnah fit-Ta’liiq ‘alaa Fiqhis-Sunnah banyak berisi kajian istinbaath nash dan sekaligus tarjih-nya. Sama seperti Muhammadiyyah, Asy-Syaikh Al-Albaaniy tidak menasabkan diri pada madzhab fiqh tertentu.
Contoh lain, Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah, ulama fiqh negeri Saudi Arabia yang diakui dunia. Beliau bermadzhab Hanaabilah, tapi tidak taqlid dan fanatik terhadap madzhab[20]. Kitab beliau yang berjudul Asy-Syarhul-Mumti’ ‘alaa Zaadil-Mustaqnii’ merupakan syarah dari Zaadul-Musta’ni’ fii Ikhtishaar Al-Muqni’ tulisan ulama madzhab Hanaabilah yang bernama Muusaa bin Ahmad Al-Hijaawiy rahimahumullah. Al-Hijawiy menulisnya dengan satu pendapat yang raajih dari Ahmad bin Hanbal. Namun demikian, Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah tetap melakukan pengkajian yang sangat menakjubkan dan melakukan tarjih dalam banyak permasalahan. Bukan sekedar manthuk-manthuk saja atas perkataan Al-Hijaawiy rahimahullah.
Ringkas kata, ulasan Bapak Profesor ini sangat tidak berterima. Ndakvalid.
Yang ditolak Salafi dan juga para ulama sepanjang masa adalah mengutamakan akal daripada nash. Agama itu berdasarkan dalil, bukan hanya akal semata. Betapa indah perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ، لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Seandainya agama ini diukur dengan akal pikiran semata, niscaya bagian bawa khuff (sepatu) lebih berhak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun aku telah melihat Rasulullah mengusap bagian atas kedua khuff-nya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 162; shahih].
Bagian bawah khuff yang menginjak tanah pada umumnya lebih kotor daripada bagian atasnya, sehingga secara akal yang perlu dibersihkan adalah bagian bawahnya. Namun ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhumelihat Nabi mengusap bagian atas khuff ketika bersuci, maka ia buang jauh-jauh logika akal tersebut dan hanya mengikuti apa yang ia lihat dari Nabi .
Semua pendapat dalam agama tanpa didasari dalil dan bertentangan dengan dalil, dibuang.
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berkata:
أَصْبَحَ أَهْلُ الرَّأْيِ أَعْدَاءَ السُّنَنِ، أَعْيَتْهُمُ الأَحَادِيثُ أَنْ يَعُوهَا، وَتَفَلَّتَتْ مِنْهُمْ أَنْ يَرْوُوهَا فَاسْتَبَقُوهَا بِالرَّأْيِ
Ahlur-ra’yi (= orang-orang yang mengedepankan akal/rasionalis) telah menjadi musuh-musuh sunnah. Hadits-hadits telah menyebabkan mereka tidak mampu untuk menghapalkannya/memahaminya, sehingga mereka pun tidak dapat meriwayatkannya. Lalu mereka bergegas untuk mengambil pendapat dengan akal pikiran mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Al-Jaami’ no. 2001 & 2003 & 2004, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 213, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 201, dan yang lainnya; shahih].
Sahl bin Hunaif berkata :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّهِمُوا رَأْيَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ لَقَدْ رَأَيْتُنِي يَوْمَ أَبِي جَنْدَلٍ وَلَوْ أَسْتَطِيعُ أَنْ أَرُدَّ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ لَرَدَدْتُهُ
“Wahai sekalian manusia, curigailah pendapat kalian terhadap agama kalian. Sungguh aku telah menyaksikan diriku pada peristiwa Abu Jandal, seandainya aku sanggup untuk menolak perintah Rasulullah , niscaya aku akan menolaknya....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3181 & 7308].
Maksud perkataan ‘curigailah pendapat kalian terhadap agama kalian’ adalah : Janganlah kalian beramal dalam perkara agama berdasarkan akal pikiran saja tanpa bersandar pada pokok dari agama [Fathul-Baariy, 13/288-289].
Seandainya manhaj Muhammadiyyah dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah – sebagaimana dikatakan oleh Bapak Profesor – berdasarkan akal, maka mesti diberikan catatan yang diberi underline agar dikatakan benar:
a.    tidak mendahulukan akal daripada nash;
b.    tidak menentang nash dengan akal;
c.    tidak merancang pendapat-pendapat yang keluar dari pemahaman salaf atas nash;
d.    akal hanya digunakan untuk memahami nash berdasarkan metode shahih yang dikenal oleh ulama.
6.     Klasifikasi Salafi
Bapak Profesor hafidhahullah dalam ceramahnya banyak membuat turunan Salafi. Ada Salafi Puritan, Salafi Hambali, Salafi Politis, Salafi Jihadi, Neo Salafi, Salafi Yamani, Salafi Simbol, Salafi Sururi, Salafi Ghairu Sururi. Dari awal sampai (hampir) akhir, kita disuguhi bunyi frase-frase ini.
Jika beliau hafidhahullah sudah memahami bahwa substansi dari Salafi adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf, maka tinggal dinilai, apakah cocok ataukah tidak. Salafi itu ya Salafi, tanpa kata sebelumnya atau setelahnya.
Labelisasi aneka Salafi seperti ini rawan beranak-pinak sesuai imajinasi masing-masing penciptanya. Misal, sebagian oknum Aswaja menyebut ‘Sawah’ (Salafi Wahabi). Sebagian pemikir menciptakan term : Salafi-Tradisionalis dan Salafi-Modern. Saya pernah membaca orang Malang (Jatim) nggak jelas bikin term : Salafi Alternatif (situ dulu emang suka musik ?). Pecinta Bhineka Tunggal Ika kemasan agamis - berbeda-beda harakah dan pemikiran tapi satu jua - , menciptakan term : Salafi Toleran. Dan yang lainnya.
Kalau ada Salafi Yamani, nanti ada Salafi Garuti, Salafi Bogori, Salafi Jepang-i, Salafi Kongo-i, yang semuanya dinisbahkan berdasarkan letak geografis.
Kekeliruan individu atau kelompok individu bukan menjadi alasan membuat derivat baru Salafi.
Salafi hakiki itu satu, yaitu orang yang kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf. Dialah salafi hakiki. Bagaimana mengetahuinya ? Mempelajari prinsip-prinsip ‘aqidah salaf. Kitab yang tercetak tulisan ulama dahulu dan sekarang berlimpah. Jika menyimpang dari prinsip-prinsip pokoknya, ya bukan Salafi. Sekali lagi : Bukan malah membuat term baru.
7.     Salafi Simbol ?
Bapak Profesor hafidhahullah berkata:
“Kemudian semakin ke bawah ini, salafinya sampai kepada atribut. Simbol. Jadi kalau tadi dalam fiqh, misalnya ya, sangat tekstualis saya katakan, itu misalnya yang berbeda dengan Muhammadiyyah. Salah satu contohnya awal Ramadlan ……”
[30:22 – 30:46].
“Kemudian yang saya sebut dengan Salafi Simbol. Kemudian Salafi Simbol Salafi Bentuk tadi, kalau tadi asalnya ini, semakin ke belakang ini, nah Salafi ini. Kemudian simbolnya apa ? Mungkin yang fisiknya itu janggut. Kemudian celananya di atas dua mata kaki. Ini ada dalil. Dalilnya ada. Dalil tentang dua mata kaki ada dalilnya. Janggut juga ada dalilnya. Nah sekarang persoalannya, adalah persoalan pada saat, misalnya saudara-saudara Salafi berkesimpulan ini adalah wajib. Apabila tidak pakai janggut, maka haram. Berdosa. Celana yang menutup kedua mata kaki, ini haram. Nah, Muhammadiyyah memahami ini. Ini ada dalil. Dalilnya qath’iy atau tidak ?. O ternyata tidak qath’iy. Kemudian ada illah-nya ataukah tidak ? O ternyata ada ‘illah-nya. Janggut ini illah-nya agar kamu berbeda dengan orang Yahudi dan orang Nashrani…….”
[35:16-36:35].
Hanya karena Salafi berjenggot dan tidak isbal, serta mengatakan orang yang mencukur habis jenggot haram dan melakukan isbal berdosa; maka muncullah istilah Salafi Simbol. Sebentar saya mikir dulu……
Bapak Profesor dalam ceramahnya tersebut mengatakan ada dalil untuk tidak mencukur jenggot. Nabi bersabda:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot, dan potonglah kumis” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5892].
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا اللِّحَى
Potonglah kumis kalian dan peliharalah jenggot” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 259].
Yang saya pahami dari kaidah ushul fiqh, semua lafadh yang mengandung perintah menunjukkan makna wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya. Dalam hal ini, tidak ada dalil shahih, sharih (jelas), lagi setara yang memalingkan dari kewajiban ini.
Ibnu Hazm rahimahullah menukil adanya ijmaa’:
واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز
”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur seluruh jenggot adalah tidak diperbolehkan (haram)” [Maraatibul-Ijmaa’, hal 157].
Para ulama menyatakan keharamannya. Misalnya Ahmad bin Qaasim Al-’Abbaadi Asy-Syaafi’iy rahimahumullah yang berkata :
قال ابن الرِّفْعة في حاشية الكفاية: إن الإمام الشافعي قد نصَّ في الأم على تحريم حلق اللحية ، وكذلك نصَّ الزَّرْكَشِيُّ والحُلَيْميُّ في شُعَب الإيمان وأستاذُه القَفَّالُ الشاشيُّ في محاسن الشريعة على تحريم حلق اللحية
”Telah berkata Ibnur-Rif’ah dalam kitab Haasyiyah Al-Kifaayah : ’Sesungguhnya Al-Imaam Asy-Syaafi’iy telah menegaskan dalam kitab Al-Umm tentang keharaman mencukur jenggot. Dan begitu pula yang ditegaskan oleh Az-Zarkasyi dan Al-Hulaimi dalam kitab Syu’abul-Iimaan, dan gurunya (yaitu) Al-Qaffaal Asy-Syaasyiy dalam kitab Mahaasinusy-Syar’iyyahatas keharaman mencukur jenggot” [Hukmud-Diin fil-Lihyah wat-Tadkhiinoleh ’Aliy Al-Halaby hal. 31].
Dan ulama lainnya. Mereka bukan ulama Hambali lo…
Kenyataannya, orang-orang musyrik dan Majusi memang mencukur jenggot mereka dan memelihara kumis. Nabi kita - nabi saya dan Anda (Pembaca) – memerintahkan untuk memelihara jenggot dan memangkas kumis untuk menyelisihi mereka. Seandainya beliau hidup, berkata kepada kita, dan kita pun mendengar perkataan beliau ; akankah kita berani mengatakan : “Ooo,… jenggot tidak apa-apa untuk dicukur habis karena begini dan begitu…”. ????.
Nabi sendiri berjenggot.
عَنْ جَابِر بْن سَمُرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَدْ شَمِطَ مُقَدَّمُ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، وَكَانَ إِذَا ادَّهَنَ لَمْ يَتَبَيَّنْ، وَإِذَا شَعِثَ رَأْسُهُ تَبَيَّنَ، وَكَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ
Dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Rambut bagian depan dan jenggot Rasulullah telah beruban. Apabila beliau meminyakinya, maka ubannya tidak terlihat. Namun apabila rambut kepala beliau telah kering, maka akan nampak. Beliau adalah seorang yang mempunyai jenggot lebat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2344].
Ketika Salafi mengingatkan kaum muslimin tentang keharaman mencukur jenggot – dan hal itu dikatakan juga oleh para ulama sebelumnya – , ternyata ada yang meriang seraya mengatakan : “Anda Salafi Atribut/Simbol”.
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Minum obat dulu….
Tentang isbal…..
Bapak Profesor yang terhormat juga telah menyebutkan dalilnya. Seperti sabda Nabi :
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Apa saja yang berada di bawah mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya adalah di neraka" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5787].
Ibnu Muflih rahimahullah menjelaskan:
وَقَالَ أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَيْضًا { مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ } لَا يَجُرُّ شَيْئًا مِنْ ثِيَابِهِ وَظَاهِرُ هَذَا التَّحْرِيمُ
“Ahmad radliyallaahu ‘anhu juga berkata tentang hadits : ‘Apa saja yang berada di bawah dua mata kaki tempatnya di neraka’; yaitu tidak boleh menyeret sesuatu dari pakaiannya’. Dhahir perkataan ini adalah pengharaman” [Aadaabusy-Syar’iyyah, 3/492].
Benar, para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Bahkan jumhur ulama berpendapat isbaal tidak sampai derajat haram apabila tidak dilatarbelakangi kesombongan. Bahkan banyak ulama Salafi Saudi yang berpegang pada pendapat jumhur ulama.
Tapi dengan fakta ini, apakah kemudian tidak boleh mengatakan haram ?.
Apakah sesuatu yang menurut kita haram – seandainya kita menguatkan keharamannya - menjadi tidak apa-apa hanya karena eksisnya pendapat jumhur dan pendapat Muhammadiyyah? Tidak boleh pegang mikropon dan bicara haram di pengajian dalam rangka toleransi?.
Sebagaimana Anda punya hak mengatakan tidak haram, maka yang lain pun juga berhak mengatakan sebaliknya. Yang keliru adalah jika memaksakan kehendak dan berpecah-belah hanya karena khilafiyyah mu’tabar di kalangan ulama. Apakah individu Salafi ada yang ‘memaksakan kehendak’ dalam masalah ini ?. Jawab : Ada, dan itu keliru. Tapi tidak selayaknya kekeliruan itu membuat Anda berkreasi membuat istilah baru.
Anyway, kalau boleh tanya…. Nabi itu isbal nggak ?.
Cuma ngasih tahu bahwa Nabi pernah menegur ‘Ubaid bin Khaalid:
ارْفَعْ إِزَارَكَ، فَإِنَّهُ أَبْقَى وَأَتْقَى "، فَنَظَرْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ، قَالَ: "أَمَا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ "، فَنَظَرْتُ، فَإِذَا إِزَارُهُ عَلَى نِصْفِ السَّاقِ.
Angkatlah kainmu, karena hal itu lebih baik dan lebih bertaqwa bagimu!”. Maka aku (‘Ubaid) pun menoleh, dan ternyata orang tersebut adalah Rasulullah . Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja”. Beliau bersabda : “Apakah engkau tidak menganggapku sebagai contoh ?”. Maka aku melihat dan ternyata kain beliau sebatas pertengahan betis”  [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/364 dan An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa nomor 9603; shahih].
Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 33].
Kita disyari’atkan untuk mengikuti ‘simbol’ (atau apalah yang ingin Anda katakan) yang ada pada diri Nabi .
Terakhir tentang penentuan awal Ramadlan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah.
Pembahasan klasik tahunan dengan aktor utama (diantaranya) adalah Muhammadiyyah. Bapak Profesor hafidhahullah menjelaskan bahwa dalam hal ini Salafi berbeda metodologi dengan Muhammadiyyah. Kalau Salafi yang katanya tekstualis berdalil dengan hadits diantaranya:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَانْسُكُوا لَهَا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ، فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ، فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
Berpuasalah karena melihatnya (hilaal) dan berbukalah karena melihatnya (hilaal). Sembelihlah kurban karena melihatnya (hilaal) juga. Apabila hilaal tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bulan menjadi tigapuluh hari. Apabila dua orang saksi telah menyaksikannya, maka berpuasalah dan berbukalah” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 2116 dari ‘Abdurrahmaan bin Zaid radliyallaahu ‘anhumaa; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan An-Nasaa’iy, 2/95].
Dan banyak hadits yang lain.
Jumhur ulama – kalau tidak boleh dikatakan ijmaa’– memakai metodologi rukyat. Ada pendapat sebagian kecil ulama sebagaimana disitir Ibnu ‘Abdil-Barr membolehkan hisab, namun dikatakan riwayat pembolehan ini tidak benar. Saya telah menulis pembahasan itu beserta jawaban terhadap pendalilan hisab di artikel berjudul Ru’yatul-Hilaal, sehingga kurang berhajat untuk mengulangi.
Btw, atribut atau simbol ru’yatul-hilaal bukan merk dagang Salafi, tapi ulama dari jaman ke jaman. Bahkan para ulama tersebut menentang keras pihak-pihak yang menggunaan hisab dalam penentuan awal bulan tahun Qamariyyah. Akankah mereka disebut Salafi Simbol?. Sepertinya tidak, karena pesakitan yang sedang diincar di sini adalah Salafi Simbol bentukan Saudi.Duh tragisnya….
Salafi mengkritik Muhammadiyyah bukanlah sesuatu yang luar biasa. Yang mengkritik Muhammadiyyah bukan hanya Salafi saja. Maaf jika di sini (terpaksa) dikatakan bahwa sisi pendalilan Muhammadiyyah lemah. Salafi mengajak pada persatuan kaum muslimin untuk mengikuti keputusan Pemerintah. Sebagaimana kaedah fiqhiyyah : penghukuman seorang hakim mengangkat khilaaf (perselisihan). Maka, keputusan yang ditetapkan Pemerintah seharusnya mengangkat/menghilangkan perselisihan antar berbagai ormas Islam di Indonesia tentang penentuan bulan baru Hijriyyah.
Dulu ‘Abdullah bin Mas’uud mengikuti keputusan ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhumaa dalam masalah raka’at shalat:
عن عبد الرحمن بن يزيد قال : صلّى عثمان بمنىً أربعاً، فقال عبد اللّه بن مسعود: صليت مع النبي صلى اللّه عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، زاد عن حفص: ومع عثمان صدراً من إمارته ثم أتمّها، …ثمَّ تفرَّقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين، قال الأعمش: فحدثني معاوية بن قرة عن أشياخه أن عبد اللّه صلى أربعاً قال: فقيل له: عبت على عثمان ثم صليت أربعاً قال: الخلاف شرٌّ.
Dari ‘Abdurrahman bin Yaziid, ia berkata : ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi dua raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, kemudian beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar), kemudian kalian berselisih, dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan Nabi )”. Akan tetapi kemudian Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Maka ditanyakan kepadanya : “Engkau telah mencela perbuatan ‘Utsman, namun engkau sendiri shalat empat raka’at ?”. Maka beliau menjawab : “Khilaaf (perselisihan) itu jelek” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1960; shahih].
Perselisihan itu jelek. Mengikuti keputusan Pemimpin/Penguasa dalam permasalahan ijtihaadiyyah lebih utama agar tercipta persatuan kaum muslimin. Muhammadiyyah sendiri mengakui permasalahan ini adalah ijtihaadiyyah. Dalil yang mereka pakai dilalah-nya dhanniy/tidak qathi’iy.
Seandainya Bapak Profesor hafidhahullah beserta jajarannya di Muhammadiyyah melarang dai salafi menggunakan masjid Muhammadiyyah untuk ta’lim, diantara tujuannya adalah ‘persatuan’ internal kalangan Muhammadiyyah. Seandainya alasan itu dibenarkan, maka persatuan kaum muslimin dalam hal memulai ibadah puasa, ‘Idul-Fithri, dan ‘Idul-Adlhaa seharusnya lebih dikedepankan. Ini persatuan yang disyari’atkan yang ada landasannya dalam agama.[21]
NB : Menutup point ini ada yang ingin saya katakan: Banyak kaum muslimin malu untuk menampakkan syi’ar-syi’ar Islam yang dhahir. Mereka lebih malu memakai celana setengah senti di atas mata kaki daripada celana pendek setengah paha. Mereka lebih malu memakai peci dan berjenggot daripada kaos singlet sambil kebal-kebul pegang Lucky Strike. Bahkan malah curiga jika ada muslimah berjilbab longgar/besar dan memakai cadar, karena sudah kebanyakan melihat yang pakai tank top di sinetron TV. Kaum muslimin kehilangan dignity, karena loyo dalam semangat pengamalan sunnah. “Yang penting hatinya”, celoteh seorang artis.
8.     Salafi Tidak Cocok di Indonesia, dan Muhammadiyyah yang Semestinya Dieksport ke Manca Negara ?
Bapak Profesor hafidhahullah berkata:
“Nah sekarang Salafi itu, muncul karena setting sosial politik tadi. Setting sosial politik Arab. Nah, yang dibawa ke Indonesia. Ini sebenarnya kurang cocok dalam konteks hubungan orang Indonesia. Yang lebih cocok sekarang ini di dunia, bahkan kalau perlu Muhammadiyyah yang diekspor. Jangan mengimpor dari luar. Yang Muhammadiyyah diekspor ke Timur Tengah, diekspor ke Eropa, Australia, ke Amerika…….”
[53:01 – 53:33].
Jika sebelumnya kita telah mengetahui halusinasi sejarah Bapak Profesor tentang Salafi tidak tepat, maka betapa lucunya lelucon di atas.
Manhaj Salaf, adalah manhaj Nabi dan para shahabat. Sudah pasti cocok di semua tempat. Islam tidak mengenal pemahaman berdasarkan aspek geografis atau organisasi. Islam versi Saudi, versi Papua, versi Muhammadiyyah, versi NU, versi Karang Taruna, dan versi-versi yang lainnya. Pemahaman Islam yang benar itu satu. Masalah pokok ‘aqidah tidak boleh ada beda. Adapun masalah khilafiyyah ijtihadiyyah pada ranah fiqh, maka di situ ada ruang toleransi. Tapi bukan toleransi tanpa batas sehingga seenaknya nanti ada orang yang cenderung pada pendapat-pendapat tegas kelemahannya, syaadz (ganjil), atau keluar dari ijmaa’.
Ekspor-impor dai itu boleh, selama dai itu mengajarkan kebenaran.
Saya yakin, apa yang dikatakan oleh Bapak Profesor di atas tidak mewakili entitas Muhammadiyyah. Saya sangat mengapresiasi perkataan Bapak Profesor bahwa Muhammadiyyah itu bukan Dahlaniyyah (taqlid kepada pendapat Kiyai Haji Ahmad Dahlan rahimahullah). Hal ini menandakan sikap positif dari beliau (Bapak Profesor) untuk tidak taqlid (buta), sekedar mengikuti pendapat tanpa (tahu) dalil. Hal yang setara juga bisa dikatakan bahwa Muhammadiyyah bukan ‘Tarjiihiyyah’ (harus taqlid kepada fatwa Majelis Tarjih).
Yang saya tahu dan yakini, Muhammadiyyah adalah organisasi, bukan paham. Bukan Dahlaniyyah (meminjam perkataan Bapak Profesor), bukan Syamsuddiiniyyah, bukan Raiisiyyah, dan individu-individu lainnya, termasuk Bapak Profesor tentu saja. Muhammadiyyah adalah organisasi umat yang sangat berjasa pada kaum muslimin, khususnya di Indonesia. Banyak kebaikan yang telah direalisasikan.
Karena salafi bukan perusahaan dan organisasi, maka Salafi bukan kompetitor Muhammadiyyah. Orang Muhammadiyyah adalah Salafi jika dirinya berkomitmen untuk menjalankan agamanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman salaf, sebagaimana sekilas telah dijelaskan di atas. Tak perlu mendaftar untuk mendapatkan KTA. Anda adalah Salafi meski tidak membuat akun facebook dan twitter dengan username ‘Al-Atsariy’.
Sekian tulisan ini dibuat. Semoga ada manfaatnya dan mohon maaf jika ada kekeliruan. Kritik konstruktif tetap terbuka.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – somewhere, 21 Syawwal 1438].




[4]     An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan makna atsarah :
والأثرة : الاستئثار والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء بالدنيا، ولم يوصلوكم حقكم مما عندهم
Al-Atsarahadalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan dunia. Jadi pengertian hadits itu (yaitu hadits atsarah) adalah : dengar dan taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka lebih mengutamakan urusan dunia dan tidak memenuhi hak kalian di sisi mereka yang wajib ditunaikan [Syarh Shahiih Muslim, 6/225].
[5]     Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullahberkata:
وهذه طريقة خيار هذه الأمة قديما وحديثا وهى واجبة على كل مكلف وهى متوسطة بين طريق الحرورية وأمثالهم ممن يسلك مسلك الورع الفاسد الناشىء عن قلة العلم وبين طريقة المرجئة وأمثالهم ممن يسلك ملك طاعة الأمراء مطلقا وأن لم يكونوا أبرارا
“Dan inilah jalan terbaik umat ini, baik dahulu maupun sekarang, yang wajib bagi setiap mukallaf (untuk menempuhnya). Jalan ini adalah pertengahan antara (1) jalan yang ditempuh Haruuriyyah (Khawaarij) dan semisal mereka yang menempuh jalan wara’ yang rusak yang timbul dari minimnya ilmu; dengan (2) jalan yang ditempuh Murji’ah dan semisal mereka yang menempuh jalan ketaatan terhadap para penguasa secara mutlak, meskipun mereka (penguasa) bukan orang yang baik/shalih” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/508].
Ketaatan terhadap penguasa hanya pada yang ma’ruuf (sesuai dengan syari’at), sebagaimana sabda Nabi :
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Tidak ada ketaatan dalam maksiat. Ketaatan hanya pada yang ma’ruuf (sesuai syari’at)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7257 dan Muslim no. 1840].
[6]     Perkataan beliau : “merupakan kekufuran” maknanya adalah kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari Islam
[8]     Tragedinya lagi, Bapak Profesor hafidhahullah sempat merangkai cerita bahwa setelah kejadian Juhaiman tahun 1979 (bukan 1978), maka Pemerintah Saudi – dengan kekayaan minyaknya – mendirikan universitas-universitas berpaham Salafi Hambali (yang telah dipola), seperti Universitas Islam Madinah, Ibnu Su’uud, Malik Faishal, Ummul-Qurra’ [25:15 – 25:33].
Sebagai informasi saja terkait tahun pendirian beberapa universitas yang disebut oleh Bapak Profesor hafidhahullah:
a.    Universitas Islam Madiinah didirikan tahun 1381 H/1969 M (https://goo.gl/5ZBJLQ).
b.    Univeritas Al-Imaam Muhammad bin Su’uud diresmikan pada tahun 1974 M setelah sebelumnya hanya berstatus Kuliyyatul-‘Uluumisy-Syar’iyyah yang didirikan tahun 1373 H/1953 M (https://goo.gl/yoPGqz dan https://goo.gl/zBB81H).
c.     Universitas Malik Faishal didirikan tahun 1395 H/1975 M dan diresmikan 2 tahun kemudian yaitu tahun 1397 H/1977 M dengan 4 fakultas (https://goo.gl/n1KWtA). 
d.    Universitas Ummul-Qurra’ sebenarnya telah eksis sejak tahun 1369 H/1949 M (fase pertama) dalam bentuk Kuliiyatusy-Syar’iyyah, lalu berkembang menjadi Kuliyyatusy-Syar’iyyah wat-Tarbiyyah tahun 1379 H/1959 M. Kemudian, Kuliyyatut-Tarbiyyah memisahkan diri secara independen tahun 1382 H/1962. Setelah sempat digabung dan menjadi bagian dari Universitas Malik ‘Abdul-‘Aziiz di Jeddah cabang Makkah tahun 1391 H/1971 M, akhirnya berdiri sendiri menjadi Universitas Ummul-Qurra’ melalui dekrit Raja Khaalid bin ‘Abdil-‘Aziiz tahun 1801 H/1981 M (https://goo.gl/QvuNhy).
Ini perlu disampaikan agar jangan sampai timbul salah persepsi dari siapa saja yang mendengar ceramah Bapak Profesor hafidhahullah sehingga menimbulkan keraguan bagi orang yang ingin belajar di sana. Khawatir nanti lulusannya menjadi antek Pemerintah akibat cuci otak 4 atau 5 tahun belajar.
Sebagaimana kita lihat bersama, Pemerintah Saudi mendirikan universitas ini dengan cikal-bakalnya sebelum – atau bahkan : jauh sebelum – peristiwa Juhaiman.
Pendek kata, Jaka Sembung makan kedondong, nggak nyambung dong.
[9]     Yaitu ‘aqidah khas Mu’tazilah : al-manzilah bainal-manzilatain.
[10]    Silakan baca pembahasan riwayat ini pada artikel : Islam dan Ahlul-Bait Menolak Kecintaan ‘Berhala’ ala Syi’ah.
[11]    Dapat dibaca melalui aplikasi adroid di Googleplay atau download bukunya versi pdf di sini atau sini.
[12]    Jika dikatakan Hasan Al-Bannaa terpengaruh Muhammad ‘Abduh dalam masalah taqriib ini, tidak mengherankan.
[13]    Silakan baca artikel : Ragam Pemikiran Mu'tazilah.
[14]    Da’watu Jamaaliddiin Al-Afghaaniy fii Miizaanil-Islaam oleh Mushthafaa Ghazzaal hal. 80.
[15]    Idem, hal. 83.
[17]    Taariikh Al-Ustaadz Al-Imaam, 1/44.
[18]    Silakan baca penjelasannya dalam artikel : Pembaharuan dalam Islam.
[20]    Inilah yang menjadi doktrinase Salafi, tidak fanatik pada madzhab (baca : bukan anti madzhab) dan perkataan orang tertentu. Hanya boleh fanatik pada kebenaran dan dalil.
عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَ ابْنُ سِيرِينَ رَجُلًا بِحَدِيثٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَجُلٌ: قَالَ فُلَانٌ: كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ: أُحَدِّثُكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: قَالَ فُلَانٌ وَفُلَانٌ: كَذَا وَكذَا، لَا أُكَلِّمُكَ أَبَدًا
Dari Qataadah, ia berkata : Ibnu Siiriin pernah menceritakan kepada seseorang satu hadits dari Nabi . Orang tersebut berkata : “Telah berkata Fulaan begini dan begitu”. Maka Ibnu Siiriin berkata : “Aku menceritakan kepadamu satu hadits dari Nabi dan engkau berkata : ‘telah berkata Fulaan begini dan begitu’ ?. Aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 443; shahih].
[21]    Bukan persatuan lintas ‘aqidah dan manhaj.

(Bukan) Tragedi

$
0
0
Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy rahimahullah adalah mujtahid mutlak yang tidak berafiliasi dengan madzhab Syaafi'iyyah atau madzhab fiqh lainnya.[1]Beliau menulis kitab Shahiih Al-Bukhaariy berisi hadits-hadits yang disusun dalam bab-bab sesuai fiqhnya. Atau dengan kata lain, fiqh beliau rahimahullah ditunjukkan dalam bab-bab Shahiih Al-Bukhaariy.
Beberapa abad kemudian, Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-'Asqalaaniy rahimahullah (w. 856 H) yang bermadzhab Syaafi'iyyah mensyarah Shahiih Al-Bukhaariy dan membukukannya dalam satu kitab besar berjudul Fathul-Baariy. Kitab beliau ini terkenal dan masyhur di seantero negeri Islam. Dan alhamdulillah, kitab beliau ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Selain Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy, banyak ulama yang telah mendahului beliau dalam penulisan syarh (penjelasan) Shahiih Al-Bukhaariy, antara lain:
1.    Abul-Hasan 'Aliy bin Khalaf bin 'Abdil-Malik bin Baththaal Al-Bakriy Al-Qurthubiy (w. 449 H) yang bermadzhab Maalikiyyah. Tidak ada judul khusus selain Syarh Shahiih Al-Bukhaariy.
2.    'Abdul-Waahid bin 'Umar bin 'Abdil-Waahid yang terkenal dengan nama Ibnut-Tiin Ash-Shafaaqashiy (w. 611 H) yang bermadzhab Maalikiyyah dengan judul Al-Mukhbirul-Fashiih fii Syarh Jamii'ish-Shahiih.
3.    Quthbud-Diin, Abdul-Kariim bin 'Abdin-Nuur bin Muniir Al-Halabiy (w. 735 H) yang bermadzhab Hanafiyyahdengan judul Badrul-Muniir As-Saariy.
4.    Muhammad bin Yuusuf Al-Kirmaaniy (w. 786 H) dengan judul Kawaakibud-Daraariy fii Syarh Shahiih Al-Bukhaariy.[2]
5.    Zainuddin Abul-Faraj bin Rajab (w. 795 H) yang bermadzhan Hanaabilah dengan judul Fathul-Baariy.
Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy-nya banyak menukil para ulama di atas, terutama nomor 1 - 4. Adapun ulama seangkatan dengan Ibnu Hajar, Badruddin Al-'Ainiy Al-Hanafiy (w. 855 H) yang mensyarah Shahiih Al-Bukhaariy dengan judul 'Umdatul-Qaariy.
Itulah keberkahan Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah. Kitabnya disyarah para ulama berbagai madzhab. Al-Haafidh Ibnu Hajar pun mengambil faedah dari para ulama madzhab sebelum beliau dalam penulisan Fathul-Baariy. Akhirnya, kita yang hidup sekarang pun mendapatkan banyak faedah yang tak ternilai dari mereka semua.
Contoh lain, Al-Haafidh ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy Al-Hanbaliyrahimahumullah (w. 600 H) yang menulis kitab ‘Umdatul-Ahkaam min Kalaam Khairil-Anaam. Kitab ini berisi hadits-hadits hukum yang disepakati oleh Al-Bukhaariy dan Muslim. Seperti kasus Shahiih Al-Bukhaariy sebelumnya, kitab ini pun disyarah oleh para ulama lintas madzhab. Saya sebutkan diantaranya:
1.    Taqiyyuddiin Ibnu Daqiiqil-‘Ied rahimahullah (w. 702 H) yang bermadzhab Syaafi’iyyah[3]dengan judul ihkaamul-Ahkaam.
2.    ‘Umar bin ‘Aliy Al-Lakhamiy Al-Iskandariy Al-Faakihaaniy rahimahullah (w. 734 H) yang bermadzhab Maalikiyyah dengan judul Riyaadlul-Afhaam fii Syarh ‘Umdatil-Ahkaam.
3.    Muhammad bin Ahmad bin Marzuuq At-Tlmisaaniy rahimahullah (w. 781 H) yang bermadzhab Maalikiyyah dengan judul Taisiirul-Maraam fii Syarh ‘Umdatil-Ahkaam.
4.    Abu Hafsh ‘Umar bin ‘Aliy bin Ahmad Al-Mishriy - terkenal dengan nama Ibnul-Mulaqqin - rahimahullah (w. 804 H) yang bermadzhab Syaafi’iyyah dengan judul Al-I’laam bi-Fawaaidi ‘Umdatil-Ahkaam.
5.    Dan yang lainnya masih banyak
Ini juga merupakan keberkahan. Tidak lantas dikatakan, jika ada ulama madzhab yang menulis satu kitab dan kemudian ada ulama lain yang memberikan syarah adalah satu tragedi di dunia Islam dan khazanah keilmuannya. Maksimal dikatakan, apabila ada ulama semadzhab yang mensyarahnya, maka afdlal (lebih utama).
Itulah ulama. Beda dengan orang sekarang yang kata-katanya kadang sumbang didengar. Bahkan, cuma berisik saja yang didapat.
Semoga Allah ta’ala melimpahkan rahmat kepada para ulama kita atas jerih payah mereka dalam menegakkan agama.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – somewhere, 22 Syawwal 1438, dari status FB].




[1]     Ibnus-Subkiy menyebutkan biografi Al-Bukhaariy dalam Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa (2/4) yang seolah menegaskan bahwa beliau merupakan ulama Syaafi’iyyah. Disebutkan beberapa guru Al-Bukhaariy antara lain Az-Za’faraaniy, Abu Tsaur, dan Al-Karaabiisiy rahimahumullah.
Namun Abu Ya’laa Al-Farraa’ pun memasukkan Al-Bukhaariy dalam Thabaqaat Al-Hanaabilah (1/271). Dalam hal ini, masyhur diketahui bahwa Al-Imaam Ahmad bin Hanbal salah satu guru utama beliau rahimahumallah. Ulama Maalikiyyah juga berkata bahwa Al-Bukhaariy seorang Maalikiy (bermadzhab Maalikiyyah) karena ia meriwayatkan Al-Muwaththa’ dari ‘Abdullah bin Yuusuf At-Tuniisiy, Sa’iid bin ‘Anbar, dan Ibnu Bukair rahimahumullah. Kalangan Ahnaaf tak ketinggalan. Mereka mengatakan Al-Bukhaariy seorang Hanafiy karena gurunya yang bernama Ishaaq bin Rahuuyah/Rahawaih seorang Hanafiy.
[silakan baca pembahasannya dalam buku Al-Bukhaariy, Muhadditsan wa Faqiihantulisan Dr. Al-Husainiy bin ‘Abdil-Majiid bin Haasyim (hal. 167 – 174).
[2]     Saya belum tahu madzhab fiqh beliau rahimahullah. Barangkali ada rekan-rekan Pembaca yang mengetahuinya ?.
[3]     Dikatakan bahwa beliau awalnya bermadzhab Maalikiyyah, lalu beralih kepada madzhab Syaafi’iyyah. Beliau menguasai ilmu dua madzhab ini.




Cinta Tanah Air dan Negeri

$
0
0
Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَأَبْصَرَ دَرَجَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ، وَإِنْ كَانَتْ دَابَّةً حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا
Dari Anas radliyallaahu 'anhu berkata : "Rasulullah apabila pulang dari safar, maka beliau melihat dataran tinggi kota Madiinah seraya mempercepat ontanya. Apabila beliau berada di atas kendaraan yang lain (kuda, keledai), maka beliau menggerak-gerakkan kendaraannya karena kecintaan beliau kepadanya (Madiinah)" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1802 & 1886, At-Tirmidziy no. 3441, dan yang lainnya].

Maksudnya - wallaahu a'lam - , agar cepat kembali sampai di kota Madiinah.
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-'Asqalaaniy rahimahullah berkata ketika menyebutkan satu faedah dari hadits di atas:
وَفِي الْحَدِيث دَلَالَة عَلَى فَضْل الْمَدِينَة ، وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبّ الْوَطَن وَالْحَنِين إِلَيْهِ
"Dalam hadits ini menunjukkan tentang keutamaan Madiinah dan disyari'atkannya cinta kepada negeri/tanah air (al-wathan) dan rindu kepadanya" [Fathul-Baariy, 3/621].
Ibnu Baththal rahimahullah juga mengatakan hal senada:
(من حبها ) يعنى لأنها وطنه ، وفيها أهله وولده الذين هم أحب الناس إليه ، وقد جبل الله النفوس على حب الأوطان والحنين إليها
"Karena kecintaan beliau kepadanya (Madiinah); yaitu karena Madiinah adalah negerinya, yang padanya tinggal keluarga dan anak-anak beliau yang merupakan orang-orang yang paling beliau cintai. Allah ta'ala telah menciptakan bagi jiwa-jiwa kecintaan terhadap negeri/tanah air dan perasaan rindu kepadanya" [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy, 8/35].
Makna 'al-wathan' (الْوَطَنُ) adalah tempat kelahiran seseorang atau tempat tinggal seseorang.
Hadits yang memiliki substansi serupa adalah:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَدِيِّ ابْنِ حَمْرَاءَ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَاقِفًا عَلَى الْحَزْوَرَةِ، فَقَالَ: "وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ ".
Dari ‘Abdullah bin ‘Adiy bin Hamraa’ Az-Zuhriy, ia berkata : Aku pernah melihat Rasulullah berdiri di Hazwarah lalu bersabda : “Demi Allah, sesungguhnya engkau (Makkah) adalah bumi Allah yang paling baik dan bumi Allah yang paling dicintai-Nya. Seandainya aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan keluar darimu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3925, dan ia berkata : “Hadits hasan ghriib shahih”].
Dalam lafadh Ibnu Maajah:
وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَيَّ.......
Demi Allah, sesungguhnya engkau (Makkah) adalah bumi Allah yang paling baik dan bumi Allah yang paling aku cintai…….” [As-Sunan no. 3108].
Ketika Nabi dan para shahabat diusir dari Makkah – yang waktu itu masih berstatus Daarul-Kufr, tempatnya kesyirikan dan kekufuran – dan kemudian berhijrah dan mukim di Madiinah, maka saat Bilaal sakit dan sembuh dari sakitnya ia berkata:
أَلَا لَيْتَ شِعْرِي هَلْ أَبِيتَنَّ لَيْلَةً         بِوَادٍ وَحَوْلِي إِذْخِرٌ وَجَلِيلُ وَهَلْ أَرِدَنْ يَوْمًا مِيَاهَ مِجَنَّةٍ وَهَلْ يَبْدُوَنْ لِي شَامَةٌ وَطَفِيلُ.
قَالَ: اللَّهُمَّ الْعَنْ شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ، وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ، وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ، كَمَا أَخْرَجُونَا مِنْ أَرْضِنَا إِلَى أَرْضِ الْوَبَاءِ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَفِي مُدِّنَا وَصَحِّحْهَا لَنَا، وَانْقُلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ

“Alangkah baiknya syairku, dapatkah kiranya aku bermalam di sebuah lembah yang dikelilingi pohon idzkir dan jalil. Apakah ada suatu hari nanti aku dapat mencapai air Majannah. Dan apakah bukit Syamah dan Thufail akan tampak bagiku?”.
Lalu ia berkata : “Ya Allah, laknatlah Syaibah bin Rabii’ah, 'Utbah bin Rabii’ah, dan Umayyah bin Khalaf, sebagaimana mereka telah menyebabkan kami keluar dari negeri kami (Makkah) ke negeri derita (Madiinah)”.
Kemudian Rasulullah bersabda : “Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu. Ya Allah, berkahilah timbangan shaa’ dan mudd kami. Sehatkanlah (makmurkanlah) Madinah untuk kami dan pindahkanlah wabah demamnya ke Juhfah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1889].
Bilaal tetap mencintai tanah air/negeri asalnya, yaitu Makkah, dan tersirat harapan (kelak) dapat kembali ke sana; meskipun saat itu dirinya mukim di Madiinah berhijrah bersama Nabi . Dalam hal ini, Nabi tidak mengingkari perkataan Bilaal. Dan itulah yang dirasakan oleh para shahabat lainnya.
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan keinginan dan kecintaan seseorang terhadap negeri/tanah air sebagaimana keinginan dan kecintaannya kepada ruh/jiwanya, sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)” [QS. An-Nisaa’ : 66].
Allah juga berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah: 8].
Dalam hal ini, Allah ta’ala menjadikan ‘tidak mengeluarkan dari negeri’ sebagai sebab perlakuan baik dan adil kepada orang-orang kafir, karena tinggal di dalam negeri merupakan kecintaan setiap orang.
Beberapa dalil di atas menunjukkan bahwa manusia secara tabi’at cinta dan mengutamakan negeri/tanah airnya. Negeri tempat tinggal keluarganya. Oleh karena itu, secara tabiat pula, setiap orang pasti menginginkan kebaikan negeri yang ia dan keluarganya tinggali. Sebagaimana doa yang dipanjatkan Ibraahiim ‘alaihis-salaam untuk kebaikan negeri yang ditinggali keluarga dan keturunannya:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala” [QS. Ibraahiim : 35].
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
Dan (ingatlah), ketika Ibraahiim berdoa : ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian” [QS. Al-Baqarah : 126].
Sama seperti doa Nabi Muhammad untuk kecintaan dan keberkahan Madiinah, negeri baru setelah diusir dari Makkah.
Kecintaan terhadap tanah air/negeri akan bernilai ibadah apabila tanah air/negeri yang dicintai itu termasuk yang diperintahkan Allah ta’ala untuk mencintainya seperti Makkah dan Madiinah. Atau mencintainya karena adanya kebaikan di sana berupa keimanan dan sunnah.
So, kita tidak perlu alergi untuk mengatakan kita mencintai tanah air/negeri Indonesia, atau lebih spesifik wilayah dimana kita tinggal, serta menginginkan kebaikan di sana. Tentu, kecintaan yang tanpa berlebihan (ghulluw), apalagi menabrak rambu-rambu syari’at. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq” [QS. At-Taubah : 24].
Allah ta’ala dan Rasul-Nya tetap harus lebih diutamakan dari segalanya. Bahkan apabila kita tidak dapat menjalankan agama kita dan menampakkannya, serta dipaksa melakukan kesyirikan dan kekufuran, wajib untuk berhijrah dari negerinya ke negeri lain yang lebih layak apabila memiliki kemampuan. Bahkan Allah ta’ala mengecam orang yang mampu berhijrah namun tidak berhijrah:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 97].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
فنزلت هذه الآية الكريمة عامة في كل من أقام بين ظهراني المشركين وهو قادر على الهجرة، وليس متمكنا من إقامة الدين، فهو ظالم لنفسه مرتكب حراما بالإجماع
”Maka ayat yang mulia ini turun mencakup setiap orang yang tinggal di tengah-tengah orang-orang musyrik sedangkan ia mampu hijrah dan di sisi lain tidak mampu untuk menegakkan agama; maka (dalam keadaan ini) ia mendhalimi dirinya dan melakukan keharaman berdasarkan ijma’” [Tafsiir Ibni Katsiir, 2/389].
Kita mencintai tanah air/negeri tanpa mengatakan : “Nabi bersabda : ‘Cinta tanah air adalah bagian dari iman”; karena hadits itu palsu, bahkan tidak ada asal-usulnya.
Kecintaan kita kepada tanah air/negeri adalah untuk menciptakan maslahat dunia dan akhirat. Cinta dengan kebaikan yang ada di dalamnya, dan berusaha menghilangkan kemunkarannya. Berkontribusi positif dengan ilmu dan amal. Bukan kecintaan buta dengan membela kemaksiatan, kekufuran, dan kesyirikan yang mungkin ada padanya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Semoga ada manfaatnya.

Haramnya Sumpah Palsu

$
0
0
Allah ta’ala berfirman:
وَلا تَتَّخِذُوا أَيْمَانَكُمْ دَخَلا بَيْنَكُمْ فَتَزِلَّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَتَذُوقُوا السُّوءَ بِمَا صَدَدْتُمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki-(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan bagimu adzab yang besar” [QS. An-Nahl : 94].

Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah menjelaskan:
دخلا مكرا وخيانة هو من تفسير قتادة وسعيد بن جبير أخرجه عبد الرزاق عن معمر عن قتادة قال خيانة وغدرا وأخرجه بن أبي حاتم من طريق سعيد بن جبير قال يعني مكرا وخديعة وقال الفراء يعني خيانة وقال أبو عبيدة الدخل كل أمر كان على فساد وقال الطبري معنى الآية لا تجعلوا ايمانكم التي تحلفون بها على انكم توفون بالعهد لمن عاهدتموه دخلا أي خديعة وغدرا ليطمئنوا اليكم وأنتم تضمرون لهم الغدر انتهى ومناسبة ذكر هذه الآية لليمين الغموس ورود الوعيد على من حلف كاذبا متعمدا
“(Makna) ‘dakhalan’ (dalam ayat tersebut) adalah makar (tipu-daya) dan khianat. Ini adalah tafsir Qataadah dan Sa’iid bin Jubair yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dari Ma’mar, dari Qataadah, ia berkata : ‘Khianat dan penipuan’. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dari jalan Sa’iid bin Jubair, ia berkata : ‘Yaitu, makar (tipu-daya) dan tipuan’. Al-Farraa’ berkata : ‘Yaitu khianat’. Abu ‘Ubaidah berkata : ‘Ad-dakhal adalah semua perkara yang berada di atas kerusakan’. Ath-Thabariy berkata : ‘Makna ayat tersebut adalah : janganlah engkau menjadikan sumpah-sumpahmu yang engkau ucapkan sebagai alat penipu/tipu daya, yang seakan-akan engkau menunaikan janji itu kepada orang lain. Tujuannya (dengan sumpah tersebut), agar mereka percaya kepadamu, padahal engkau menyimpan tipu daya terhadap mereka’ – selesai perkataan Ath-Thabariy. Konteks penyebutan ayat ini untuk sumpah palsu (al-yamiinul-ghamuus) karena terdapat ancaman terhadap orang yang sengaja bersumpah dusta” [Fathul-Baariy, 11/556].
Itulah sumpah palsu yang dalam bahasa Arabnya disebut dengan al-yamiinul-ghamuus. Sumpah palsu termasuk diantara dosa-dosa besar.
‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa berkata:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْكَبَائِرُ؟، قَالَ: الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، قَالَ: ثُمَّ مَاذَا؟، قَالَ: ثُمَّ عُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ، قَالَ: ثُمَّ مَاذَا؟، قَالَ: الْيَمِينُ الْغَمُوسُ، قُلْتُ: وَمَا الْيَمِينُ الْغَمُوسُ؟، قَالَ: الَّذِي يَقْتَطِعُ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ هُوَ فِيهَا كَاذِبٌ "
“Seorang ‘Arab Baduwi pernah mendatangi Nabi , lalu ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah dosa-dosa besar itu ?’. Beliau menjawab : ‘Berbuat syirik kepada Allah’. Ia berkata : ‘Lalu apa ?’. Beliau menjawab : ‘Lalu durhaka kepada kedua orang tua’. Ia berkata : ‘Lalu apa ?’. Beliau menjawab : ‘Sumpah palsu (al-yamiinul-ghamuus)”. Aku berkata : “Apa sumpah palsu itu ?”. Beliau menjawab : “Orang yang mengambil harta seorang muslim, dan ia melakukan kedustaan dalam hal itu” [Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 6920].
Dalam riwayat lain, beliau menjawab :
الَّذِي يَقْتَطِعُ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينٍ صَبْرٍ، وَهُوَ فِيهَا كَاذِبٌ
Orang yang mengambil harta seorang muslim dengan sumpah palsu, dan ia melakukan kedustaan dalam hal itu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 5562].
Sumpah palsu adalah sengaja berdusta dalam sumpah, terutama dipergunakan untuk mengambil harta orang lain dengannya tanpa hak.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وهي أن يحلف الرجل على الشيء الماضي، وهو يعلم أنه كاذب في يمينه يتعمد ذلك
“(Sumpah palsu) adalah seseorang yang bersumpah tentang sesuatu yang telah lalu, sedangkan ia mengetahui dirinya berdusta dalam sumpahnya dan ia melakukannya dengan sengaja” [At-Tamhiid, 21/249].
Al-Baghawiy rahimahullah berkata:
الْيَمِينُ الْغَمُوسُ هِيَ الْيَمِينُ الْكَاذِبَةُ يَقْتَطِعُ الرَّجُلُ بِهَا مَالَ غَيْرِهِ، سُمِّيَتْ غَمُوسًا لأَنَّهَا تَغْمِسُ صَاحِبَهَا فِي الإِثْمِ، ثُمَّ فِي النَّارِ.
Al-Yamiinul-ghamuus adalah sumpah dusta dimana seseorang mengambil harta orang lain dengan sumpah itu. Dinamakan ghamuus karena sumpah itu menenggelamkan pelakunya ke dalam dosa, kemudian ke dalam neraka” [Syarhus-Sunnah, 1/85].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
ولايمين الغموس : التي يتعمد فيها الكذب، لأنها تغمس الحالف في الإثم
Al-Yamiinul-ghamuus (sumpah palsu) adalah sengaja berdusta dalam sumpahnya. (Disebut al-yamiinul-ghamuus) karena orang yang bersumpah tenggelam di dalam dosa” [Al-Kabaair, hal. 61].
Jumhur ulama berpendapat tidak ada kaffarat bagi orang yang mengucapkan sumpah palsu.
Inilah madzhab para shahabat sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Ia berkata:
كُنَّا نَعُدُّ مِنَ الذَّنْبِ الَّذِي لا كَفَّارَةَ لَهُ الْيَمِينَ الْغَمُوسَ "، فَقِيلَ: مَا الْيَمِينُ الْغَمُوسُ؟ قَالَ: "اقْتِطَاعُ الرَّجُلِ مَالَ أَخِيهِ بِالْيَمِينِ الْكَاذِبَةِ "
“Kami menganggap dosa yang tidak ada kaffaarah-nya adalah sumpah palsu”. Lalu dikatakan kepada beliau : “Apakah sumpah palsu itu?”. Ibnu Mas’uud menjawab : “Seseorang mengambil harta saudaranya dengan sumpah dusta” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 10/38 no. 19883; shahih].
Adapun Al-Imaam Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy dan para ulama madzhabnya rahimahumulllahberpendapat adanya kaffarah. Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
وَمَنْ حَلَفَ عَامِدًا الْكَذِبَ، فَقَالَ: وَاللَّهِ لَقَدْ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَمْ يَكُنْ كَفَّرَ وَأَثِمَ وَأَسَاءَ حَيْثُ عَمَدَ الْحَلِفَ بِاللَّهِ بَاطِلًا، فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: وَمَا الْحُجَّةُ في أَنْ يُكَفِّرَ وَقَدْ عَمَدَ الْبَاطِلَ؟ قِيلَ: أَقْرَبُهَا قَوْلُ النَّبِيِّ ﷺ: "فَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ "، فَقَدْ أَمَرَهُ أَنْ يَعْمِدَ الْحِنْثَ.
وَقَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى، نَزَلَتْ فِي رَجُلٍ حَلَفَ أَنْ لا يَنْفَعَ رَجُلًا فَأَمَرَهُ اللَّهُ أَنْ يَنْفَعَهُ، وَقَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا، ثُمَّ جَعَلَ فِيهِ الْكَفَّارَةَ
“Barangsiapa yang bersumpah dusta secara sengaja, lalu ia berkata : ‘Demi Allah, sungguh telah demikian dan demikian’, padahal yang sebenarnya tidak demikian; maka ia wajib membayar kafarah, berdosa, dan berbuat kejelekan ketika ia sengaja bersumpah dengan nama Allah secara batil. Apabila ada yang berkata : ‘Apa hujjah/dalil kewajiban membayar kaffarah padahal ia sengaja melakukan kebatilan ?’. Dikatakan : Yang paling dekat adalah sabda Nabi : ‘Maka hendaknya ia melakukan sesuatu yang lebih baik dan membayar kaffaarah sumpahnya[1]. (Dalam hadits ini) beliau memerintahkan untuk sengaja melanggar sumpahnya.
Dan juga firman Allah ta’ala : ‘Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya)’ (QS. An-Nuur : 22). Ayat ini turun pada seorang laki-laki yang bersumpah untuk tidak menolong orang lain. Maka Allah memerintahkannya untuk menolongnya. Juga firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta’ (QS. Al-Mujaadilah : 2), kemudian Ia memerintahkan padanya untuk membayar kaffarah[2]” [Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar, hal. 752].
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat jumhur ulama, karena dalil-dalil yang disebutkan dalam penetapan kaffarah adalah dalam hal orang yang berniat dari awal untuk memenuhi sumpahnya. Selain itu, peniadaan kaffarahadalah madzhab para shahabat yang sangat berat untuk diselisihi.
Para ulama Lajnah Daaimah berkata:
اليمين الغموس من كبائر الذنوب ، ولا تجدي فيها الكفارة لعظيم إثمها ، ولا تجب فيها الكفارة على الصحيح من قولي العلماء ، وإنما تجب فيها التوبة والاستغفار
“Sumpah palsu termasuk diantara dosa-dosa besar. Tidak ada kaffarat yang dapat mencukupinya dikarenakan besarnya dosa (atas perbuatan tersebut). Tidak wajib membayar kaffaratberdasarkan pendapat yang benar dari dua pendapat di kalangan ulama. Kewajiban yang ada padanya hanyalah taubat dan istighfar” [Al-Fataawaa, 23/133].
Sebagaimana dikatakan ulama Lajnah Daaimah, baik ada kaffarah maupun tidak ada kaffarah, kaffarah itu sendiri tidak dapat menebus dosa besar sumpah palsu, sehingga pelakunya harus benar-benar bertaubat kepada Allah ta’ala.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 26 Dzulqa’dah 1438].




[1]     Yaitu hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa yang bersumpah dengan suatu sumpah, lalu ia melihat yang lain lebih baik daripadanya, hendaklah ia melakukan sesuatu yang lebih baik tersebut dan kemudian membayar kaffaratnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1650].
[2]     Yaitu pada ayat selanjutnya:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (4)
Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih” [QS. Al-Mujaadilah : 3-4].

Panjang Jenggot

$
0
0
Tulisan ini tidak akan membahas hukum memanjangkan jenggot atau mencukurnya, karena telah lewat pembahasan itu dalam Blog ini artikel berjudul Hukum Jenggot dalam Syari'at Islam. Bahasan yang akan diangkat di sini adalah panjang jenggot Nabi dan sikap sebagian salaf yang ternukil dalam atsar-atsar yang shahih.
عَنْ جَابِر بْن سَمُرَةَ، يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَدْ شَمِطَ مُقَدَّمُ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، وَكَانَ إِذَا ادَّهَنَ لَمْ يَتَبَيَّنْ، وَإِذَا شَعِثَ رَأْسُهُ تَبَيَّنَ، وَكَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ
Dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Rasulullah telah mulai berubah (beruban) rambut kepala bagian depannya dan juga jenggotnya. Apabila beliau meminyakinya, maka ubannya tidak kelihatan. Dan apabila rambut kepala beliau kusut, maka nampaklah uban itu. Jenggot beliau lebat…” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2344].
Dalam hadits lain yang semisal:
عَنْ الْبَرَاءِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ رَجِلًا مَرْبُوعًا عَرِيضَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ، كَثَّ اللِّحْيَةِ....
Dari Al-Barraa’, ia berkata : “Rasulullah perawakannya sedang (tidak tinggi dan tidak pula pendek), kedua dadanya bidang/lebar, dan jenggotnya tebal….” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 5232; shahih].

Abu ‘Ubaid bin Salaam rahimahullah berkata:
وَقَوْلُهُ: كَثَّ اللِّحْيَةِ: الْكُثُوثَةُ أَنْ تَكُونَ اللِّحْيَةُ غَيْرَ دَقِيقَةٍ وَلا طَوِيلَةٍ، وَلَكِنْ فِيهَا كَثَافَةٌ مِنْ غَيْرِ عِظَمٍ وَلا طُولٍ
“Dan perkataannya ‘katstsal-lihyah’, maksudnya al-kutsuutsah, yaitu (keadaan) jenggot yang tidak tipis dan tidak pula panjang. Akan tetapi padanya sifat tebal, tidak membesar dan tidak pula panjang” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ahaadiitsuth-Thuwwaal no. 44 dan Abu Nu’aim dalam Dalaailun-Nubuwwah no. 565; shahih].
Abul-‘Abbaas Al-Qurthubiy rahimahullah saat mengomentari hadits Jaabir di atas (khususnya perkataanya : ‘jenggot beliau lebat’) berkata:
لا يفهم من هذا أنه كان طويلها ، فإنَّه قد صحَّ أنه كان كثَّ اللحية ؛ أي : كثير شعرها غير طويلة
“Dan tidaklah dipahami dari perkataan ini beliau mempunyai jenggot panjang. Telah shahih (dalam hadits) bahwasannya beliau katstsal-lihyah’, yaitu : lebat rambut (jenggot)-nya namun tidak panjang” [Al-Mufhim, 6/135].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
قوله كث اللحية أي فيها كثافة واستدارة وليست طويلة
“Dan perkataannya ‘katstsal-lihyah’, yaitu tebal/padat, membulat, dan tidak panjang” [Muqaddimah Fathil-Baariy, 1/173].
Dalam kitab Al-Mu’jamul-Wasiith, katstsasy-syi’r (كَثَّ الشّعْرُ) maknanya:
اجتمع وكثر في غير طول ولا دقة
“Berhimpun/berkumpul dan banyak (lebat), tidak panjang dan tidak pula tipis” [2/471].
Ada sebuah hadits yang lebih menjelaskan dalam hal ini, yaitu hadits Yaziid Al-Faarisiy yang menyifati Nabi yang ia lihat dalam mimpinya kepada Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
رَأَيْتُ رَجُلًا بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ، جِسْمُهُ وَلَحْمُهُ، أَسْمَرُ إِلَى الْبَيَاضِ، حَسَنُ الْمَضْحَكِ، أَكْحَلُ الْعَيْنَيْنِ، جَمِيلُ دَوَائِرِ الْوَجْهِ، قَدْ مَلَأَتْ لِحْيَتُهُ مِنْ هَذِهِ، إِلَى هَذِهِ حَتَّى كَادَتْ تَمْلَأُ نَحْرَهُ
“Aku melihat seorang laki-laki yang perawakannya sedang (tidak tinggi dan tidak pendek). Badan dan daging (kulit)nya berwarna coklat/merah keputih-putihan, tertawanya indah, kedua matanya bercelak, dan wajahnya tampan. Jenggotnya memenuhi ini sampai ini, (yaitu) hingga memenuhi tenggorokan/batas dada bagian atasnya…” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/361-362].
Sanad riwayat ini lemah karena faktor kemajhulan Yaziid Al-Faarisiy. Namun demikian, matannya berkesesuaian dengan substansi hadits sebelumnya berikut penjelasannya.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
Dari Ibnu ’Umar, dari Nabi , beliau bersabda : ”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (Perawi/Naafi’ berkata : ) ”Adalah Ibnu ’Umar, jika ia menunaikan ibadah haji atau ’umrah, maka ia menggenggam jenggotnya. Maka apa-apa yang melebihi dari genggaman tersebut, ia potong” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5892].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah menjelaskan:
وفي أخذ ابن عمر من آخر لحيته في الحج دليل على جواز الأخذ من اللحية في غير الحج، لأنه لو كان غير جائز ما جاز في الحج، لأنهم أمروا أن يحلقوا أو يقصروا إذا حلوا محل حجهم ما نهوا عنه في حجهم، وابن عمر روى عن النبي ﷺ: "أعفوا اللحا "، وهو أعلم بمعنى ما روى، فكان المعنى عنده، وعند جمهور العلماء الأخذ من اللحية ما تطاير، والله أعلم.
“Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang memotong bagian bawah jenggotnya (selebih genggaman tangan) pada waktu haji dan ‘umrah merupakan dalil diperbolehkannya memotong (bagian bawah) jenggot selain waktu haji. Seandainya perbuatan itu tidak boleh, maka pada waktu haji pun tidak boleh, karena mereka diperintahkan untuk mencukur atau memendekkan (rambut) ketika telah diperbolehkan pada waktu/tempatnya dalam prosesi haji mereka (yaitu saat tahallul), dimana sebelumnya hal itu tidak diperbolehkan. Dan Ibnu ‘Umar meriwayatkan dari Nabi : ‘peliharalah jenggot’, dan dirinya lebih mengetahui makna hadits yang ia riwayatkan. Makna hadits tersebut menurutnya dan menurut jumhur ulama adalah memotong jenggot yang menyebar/berantakan/kepanjangan[1]” [Al-Istidzkaar, 4/317].
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، كَانَ إِذَا أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ الْحَجَّ، لَمْ يَأْخُذْ مِنْ رَأْسِهِ وَلَا مِنْ لِحْيَتِهِ شَيْئًا، حَتَّى يَحُجَّ
Dari Naafi’ : Bahwasanya Abdullah bin ’Umar apabila telah selesai bulan Ramadlan dan ingin melakukan ibadah haji, maka ia tidak memotong rambut kepalanya dan jenggotnya sedikitpun hingga ia benar-benar melaksanakan haji” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 2/563 no. 977; shahih].
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، كَانَ إِذَا حَلَقَ فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ أَخَذَ مِنْ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ
Dari Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar apabila mencukur (rambut kepalanya) ketika haji atau ‘umrah, ia memotong jenggot dan kumisnya [idem no. 978; shahih].
Aktivitas mencukur rambut di luar haji atau ‘umrah itu diperbolehkan. Ketika seseorang melakukan haji atau ‘umrah, maka sebelum tiba waktu tahallul tidak diperbolehkan baginya untuk memotong/mencukur rambutnya. Di sini Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu memotong jenggot beserta kumisnya pada saat dirinya mencukur rambut kepalanya ketika tahallul ibadah haji atau ‘umrah. Oleh karena itu dipahami bahwa memotong jenggot selebih genggaman tangan boleh dilakukan di luar waktu haji dan ‘umrah, sebagaimana kebolehan memotong rambut dan kumis.
Senada dengan Ibnu ‘Abdil-Barr, ketika mengomentari hadits Ibnu ‘Umar di atas Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
الذي يظهر أن بن عمر كان لا يخص هذا التخصيص بالنسك بل كان يحمل الأمر بالاعفاء على غير الحالة التي تتشوه فيها الصورة بافراط طول شعر اللحية أو عرضه
“Yang nampak bahwasannya Ibnu ‘Umar tidak mengkhususkannya (memotong jenggot yang melebihi genggaman– Abul-Jauzaa’) dengan haji/’umrah, akan tetapi membawa perintah memelihara jenggot tersebut pada keadaan tidak disukainya bentuk jenggot yang tidak baik karena panjangnya yang berlebihan atau di bagian sisinya” [Fathul-Baariy, 10/350].
Yang menguatkan perkataan Ibnu ‘Abdil-Barr dan Ibnu Hajar rahimahumallah tersebut adalah riwayat berikut:
عَن مَرْوَان يَعْنِي ابْن سَالِمٍ الْمُقَفَّع قَالَ رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَيَقْطَعُ مَا زَادَ عَلَى الْكَفِّ وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dari Marwaan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ - , ia berkata : Aku pernah melihat Ibnu ‘Umar menggenggam jenggotnya dan memotong selebih dari (genggaman) telapak tangannya, dan ia berkata : “Adalah Rasulullah apabila berbuka puasa berdoa : ‘(Dzahabazh-zhoma-u wab-talatil-‘uruuqu wa tsabatal-ajru insya Allooh) Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta telah ditetapkan pahala insya Allah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2357; hasan[2]].
Dhaahir riwayat ini tidak menyebutkan waktu haji atau ‘umrah, wallaahu a’lam.
Selain atsar Ibnu ‘Umar, ada atsar Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhumaa yang melakukan hal serupa.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مَا جَازَ الْقَبْضَةَ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Syu’bah, dari ‘Amru bin Ayyuub[3], dari Abu Zur’ah, dari Abu Hurairah : Bahwasannya ia memotong jenggotnya yang lebih dari genggaman tangan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25878; hasan].
Juga ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ فِي قَوْلِهِ: "ثُمَّ ليَقْضُوا تَفَثَهُمْ، قَالَ: التَّفَثُ: حَلَقُ الرَّأْسِ، وَأَخْذٌ مِنَ الشَّارِبَيْنِ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، وَالأَخْذُ مِنَ الْعَارِضَيْنِ، وَرَمْيُ الْجِمَارِ، وَالْمَوْقِفُ بِعَرَفَةَ وَالْمُزْدَلِفَةِ "
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-Malik, dari ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ia berkata tentang firman-Nya : ‘Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka’ (QS. Al-Hajj : 29) : “At-Tafatsu mencakup : mencukur (gundul) rambut kepala, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, memendekkan kuku, memotong rambut yang tumbuh di pipi (cambang), melempar jumrah, serta tinggal di ‘Arafah dan Muzdalifah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 18/612; shahih].
نا ابْنُ نُمَيْرٍ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: "التَّفَثُ: الرَّمْيُ، وَالذَّبْحُ، وَالْحَلْقُ، وَالتَّقْصِيرُ، وَالْأَخْذُ مِنَ الشَّارِبِ، وَالْأَظْفَارِ وَاللِّحْيَةِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Numair, dari ‘Abdul-Malik, dari ‘Atha’, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “At-Tafatsu mencakup menyembelih, mencukur (rambut kepala), memendekkan (rambut kepala), serta memotong kumis, kuku, dan jenggot” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 4/532 no. 15900; shahih].
Setelah generasi shahabat, akan dinukilkan atsar-atsar dari generasi berikutnya:
حَدَّثَنِي يُونُسُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو صَخْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي هَذِهِ الآيَةِ: "ثُمَّ ليَقْضُوا تَفَثَهُمْ: رَمْيُ الْجِمَارِ، وَذَبْحُ الذَّبِيحَةِ، وَأَخْذٌ مِنَ الشَّارِبَيْنِ وَاللِّحْيَةِ وَالأَظْفَارِ، وَالطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ "
Telah menceritakan kepada kami Yuunus, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Sakhr, dari Muhammad bin Ka’b Al-Quradhiy : Bahwasannya ia berkata tentang ayat : ‘Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka’ (QS. Al-Hajj : 29) : “Melempar jumrah; menyembelih hewan sembelihan; memotong kumis, jenggot, dan kuku; serta thawaf di Ka’bah dan (sa’i) di Shafaa-Marwah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 18/612-613; hasan].
Muhammad bin Ka’b Al-Quradhiy adalah seorang ulama taabi’iy yang tsiqah. Wafat tahun 120 H.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ: ثنا أَبُو عَاصِمٍ، قَالَ: ثنا عِيسَى، وَحَدَّثَنِي الْحَارِثُ، قَالَ: ثنا الْحَسَنُ، قَالَ: ثنا وَرْقَاءُ، جَمِيعًا عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، ثُمَّ ليَقْضُوا تَفَثَهُمْ، قَالَ: حَلْقُ الرَّأْسِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، والشَّارِبِ، وَرَمْيُ الْجِمَارِ، وَقَصُّ اللِّحْيَةِ "
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa (ح). Dan telah menceritakan kepadaku Al-Haarits, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Warqaa’, semuanya dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid tentang ayat : ‘Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka’ (QS. Al-Hajj : 29), ia berkata : “Mencukur (gundul) rambut kepala; mencukur bulu kemaluan; memendekkan kuku dan kumis; melempar jumrah; serta memendekkan jenggot” [idem, 18/613; shahih].
Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy, seorang imam mufassir murid ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, yang tsiqah lagi faqih. Wafat tahun 101/102/103/104 H.
حَدَّثَنِي نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الأَوْدِيُّ، قَالَ: ثنا الْمُحَارِبِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلا يَسْأَلُ ابْنَ جُرَيْجٍ، عَنْ قَوْلِهِ: "ثُمَّ ليَقْضُوا تَفَثَهُمْ، قَالَ: الأَخْذُ مِنَ اللِّحْيَةِ، وَمِنَ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَرَمْيُ الْجِمَارِ "
Telah menceritakan kepadaku Nashr bin ‘Abdirrahmaan Al-Audiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Muhaaribiy, ia berkata : Aku mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Juraij tentang firman-Nya : ‘Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka’ (QS. Al-Hajj : 29), ia berkata : “Memotong jenggot, kumis, kuku; mencabut bulu ketiak; mencukur bulu kemaluan; dan melempar jumrah” [idem, shahih].
Ibnu Juraij namanya ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid, seorang imam yang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai keutamaan. Wafat tahun 149/150/151 H.
حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مَنْصُورٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ أَبِي رَبَاحٍ، قَالَ: كَانُوا يُحِبُّونَ أَنْ يُعْفُوا اللِّحْيَةَ، إِلا فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ يَأْخُذُ مِنْ عَارِضِ لِحْيَتِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Manshuur, ia berkata : Aku mendengar ‘Athaa’ bin Abi Rabaah berkata : “Mereka menyukai memelihara jenggot kecuali pada saat haji atau ‘umrah. Dan Ibraahiim (An-Nakha’iy) memotong sisi samping jenggotnya (cambangnya)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 6/109 no. 25872; shahih].
Mereka yang dimaksudkan ‘Athaa’ adalah ulama generasi taabi’iin dan shahabat yang ia temui. ‘Athaa’ sendiri seorang ulama taabi’iin, murid ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa. Adapun Ibraahiim An-Nakha’iy rahimahullah adalah seorang ulama generasi taabi’iin yang tsiqah lagi faqiih. Wafat tahun 196 H.
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ، عَنْ أَفْلَحَ، قَالَ: كَانَ الْقَاسِمُ إِذَا حَلَقَ رَأْسَهُ أَخَذَ مِنْ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy, dari Aflah, ia berkata : “Al-Qaasim apabila mencukur (rambut) kepalanya (ketika haji/’umrah), ia memotong jenggot dan kumisnya” [idem, no. 25875; shahih].
Al-Qaasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiiq At-Taimiy, seorang tsiqah lagi faqih. Wafat tahun 106 H.
Al-Muzanniy rahimahullah berkata:
ما رأيت أحسن وجهًا من الشّافعيّ، وكان ربّما قبض عَلَى لحيته، فلا تفْضُلُ عَنْ قبضته
“Aku tidak pernah melihat wajah yang paling indah daripada Asy-Syaafi’iy. Kadang-kadang dirinya menggenggam jenggotnya, maka (jenggotnya itu) tidak melebihi dari genggamannya[4]” [Taarikhul-Islaamoleh Adz-Dzahabiy 4/61 dan Mukhtashar Taariikh Dimasyq 6/423].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما إعفاء اللحية فإنه يترك ولو أخذ ما زاد علي القبضة لم يكره نص عليه كما تقدم عن ابن عمر وكذلك أخذ ما تطاير منها
“Adapun memelihara jenggot adalah dengan membiarkannya. Seandainya memotong yang lebih dari genggaman tangan, tidak dibenci (makruh). Hal itu dinyatakan sebagaimana riwayat Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan sebelumnya. Begitu juga memotong yang menyebar/berantakan/kepanjangan darinya” [Syarhul-‘Umdah, 1/236].
Kesimpulan dari tulisan ini, asal dari jenggot adalah membiarkannya (tidak dipotong). Boleh dipotong jika berantakan atau kepanjangan dengan batas selebih dari genggaman tangan[5]. Hal ini tidak dibatasi pada waktu haji dan ‘umrah saja[6].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – bumi Allah yang indah, 28 Dzulqa’dah 1438]




[1]     Ada sementara orang yang memahami penjelasan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah ini sebagai bentuk kebolehan memotong jenggot sependek-sependeknya dengan alasan ‘kerapihan’. Tentu saja ini keliru, karena yang dilakukan Ibnu ‘Umar untuk ‘merapikan’ itu adalah memotong rambut jenggot selebih genggaman tangan.
[2]     Takhriij hadits ini selengkapnya dapat dibaca pada artikel Takhrij Doa Berbuka Puasa : Dzahabadh-Dhama-u....dst.
[3]     Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat7/224-225, dan Syu’bah meriwayatkan darinya dimana masyhur diketahui bahwa Syu’bah tidaklah meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang ia anggap tsiqah.
[4]     Tentu tidak dipahami dari perkataan ini Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah pembolehan mencukur pendek-pendek jenggot atau bahkan membabatnya habis dengan alasan agar keren seperti yang dilakukan sebagian orang-orang pandir. Beliau rahimahullah berkata:
وَالْحِلَاقُ لَيْسَ بِجِنَايَةٍ لِأَنَّ فِيهِ نُسُكًا فِي الرَّأْسِ وَلَيْسَ فِيهِ كَثِيرُ أَلَمٍ، وَهُوَ وَإِنْ كَانَ فِي اللِّحْيَةِ لَا يَجُوزُ فَلَيْسَ فِيهِ كَثِيرُ أَلَمٍ وَلَا ذَهَابُ شَعْرٍ، لِأَنَّهُ يُسْتَخْلَفُ وَلَوِ اسْتَخْلَفَ الشَّعْرُ نَاقِصًا أَوْ لَمْ يَسْتَخْلِفْ كَانَتْ فِيهِ حُكُومَةٌ
“Dan mencukur (gundul) bukan termasuk kejahatan karena padanya ada peribadahan dalam mencukur kepala dan juga tidak menimbulkan rasa sakit yang banyak. Mencukur rambut – meskipun untuk jenggot tidak diperbolehkan – tidak akan menyebabkan rasa sakit yang banyak dan hilangnya rambut (secara permanen) karena akan tumbuh kembali….. “ [Al-Umm, 6/91].
[5]     Sebagian shahabat ada yang membiarkannya panjang, sebagaimana ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ مَوْلَى شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ قَالَ: "رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ..... طَوِيلُ اللِّحْيَةِ حَسَنُ الْوَجْهِ
Dari Abu ‘Abdillah maulaa Syaddaad bin Al-Haad, ia berkata : “Aku melihat ‘Utsmaan bin ‘Affaan di (berdiri) di atas mimbar pada hari Jum’at….. jenggotnya panjang dan tampan wajahnya” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 3/96; shahih].
Juga beberapa ulama lainnya.
[6]     Sekaligus tulisan ini mengkoreksi kesimpulan tulisan saya yang telah lalu:
“Pendapat yang paling kuat menurut kami adalah pendapat kedua yang membolehkan memotong jenggot jika telah melebihi genggaman tangan pada waktu haji dan ’umrah.
[selesai kutipan]
Wal-‘ilmu ‘indallah….




INTERMEZZO :
Menurut Anda, yang manakah diantara ketiga gambar ini yang lebih sesuai dengan sunnah dan atsar salaf ?

Al-Firqatun An-Najiyyah (Golongan Yang Selamat)

$
0
0
Rasulullah bersabda :
 إفترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة. وافترقت النصارى على اثنين وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة. وستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة. وفي رواية : على ثلاث وسبعين ملة. قالو : ومن هي يارسول الله؟ قال : هي الجماعة. يد الله مع الجماعة. وفي رواية : قال : ما أنا عليه وأصحابي.
”Orang-orang Yahudi telah terpecah menjadi 71 firqah semuanya masuk neraka kecuali satu. Orang-orang Nashara terpecah menjadi 72 firqah semuanya masuk neraka kecuali satu. Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 firqah semuanya masuk neraka kecuali satu.” Dalam satu riwayat : ”Menjadi 73 millah”.  Para shahabat bertanya : “Siapakah dia yang selamat itu ya Rasulullah ?. Maka Rasulullah menjawab : ”Meraka adalah Al-Jama’ah. Tangan Allah di atas jama’ah”.

Dalam riwayat lain beliau bersabda : ”Yaitu apa yang aku dan shahabatku berada di atasnya”.
[Ibnu Taimiyyah berkata : Hadits ini Shahih Masyhur di dalam kitab-kitab Sunan dan Masaanid, seperti Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’I, dan yang lain. Lihat Majmu’ FatawaaSyaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah juz 3 halaman 345].
Menurut Syaikh Al-Albani, hadits masalah perpecahan umat ini derajatnya ada yang shahih dan ada pula yang hasan.
Berdasarkan hadits di atas jelas bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 firqah; 72 di antaranya di neraka dan satu di surga, yang berarti ada satu firqah yang selamat.
Adapun tentang istilah-istilah Al-Firqatun-Najiyyah(Golongan yang Selamat), maka ada beberapa penyebutan :
1.      Terkadap di sebut Al-Jama’ah. Sebagaimana diterangkan hadits di atas.
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :
الجماعة : ما وافق الحق وإن كنت وحدك

“Jama’ah adalah apa-apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun sendirian”

Dalam lafadh lain :
إنما الجماعة : ما وافق طاعة الله وإن كنت وحدك
”Jama’ah adalah apa-apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah sekalipun sendirian” (Lihat Kitab Ahlus-Sunnah, Ma’alim Al-Inthilaqatil-Kubra, halaman 49).
2.      Terkadang diistilahkan pula Ahlur-Rahmah (orang yang mendapat rahmat dari Rabb-Nya).
Allah ta’ala berfirman :
وَلَوْ شَآءَ رَبّكَ لَجَعَلَ النّاسَ أُمّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ *  إِلاّ مَن رّحِمَ رَبّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
”Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Rabb-mu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka” (QS. Huud : 118-119).
Qatadah berkata : “Maksud orang yang mendapat rahmat adalah Al-Jama’ah, sekalipun masing-masing terpisah rumah/negeri dan badannya. Sedangkan  orang yang maksiat adalah Al-Firqah sekalipun satu rumah/negeri dan satu badan”. (Ma’alimul-Inthilaaqatil-Kubra halaman 28).
3.      Terkadang disebut pula Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (sebagaimana dalam hadits).
 أهل السنة = ما أنا عليه  = Jalannya Rasul.
 والجماعة = وأصحابي = Jalannya Shahabat.
Dalam hadits lain :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين
”Wajib bagimu berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur-Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum)” (Ma’alamul-Inthilaaqatil-Kubra halaman 46).
4.      Sering pula dinamakan Ath-Thaifah Al-Manshurah (Kelompok yang Ditolong – oleh Allah)
Rasulullah bersabda :
لا تزال من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله
”Tidak pernah berhenti sekelompok dari umatku yang selalu membela kebenaran. Tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka hingga datang keputusan Allah” (HR. Muslim).
5.      Juga kadang dinamakan Ahlul-Hadits; sebagaimana perkataan Imam Ahmad :
إن لم تكن هذه الطائفة المنصورة أصحاب الحديث فلا أدري من هم ؟
“Seandainya Thaifah Manshurah ini bukan Ahlul-Hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka itu” (Minhaj Al-Firqatun-Najiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu halaman 16).
Ibnu Taimiyyah memberikan komentar tentang Ahli Hadits : “Yang kami maksud dengan ahli hadits bukan terbatas hanya pada orang yang menekuni untuk mendengar atau menulis atau meriwayatkannya saja, tetapi mencakup siapa saja yang berhak untuk menghafal, mengetahui, dan memahaminya secara lahir maupun dan bathin, serta kemudian mengikutinya baik secara lahir maupun bathin. Begitu pula Ahli Qur’an”.
Peringkat paling sederhana dari pekerjaan Ahli Hadits adalah mencintai Al-Qur’an dan Al-Hadits, membahas makna-makna keduanya, dan mengamalkan apa-apa yang telah mereka pahami dari tuntutan keduanya. (Ma’alimul-Inthilaaqatil-Kubrahalaman 50).
Di jaman sekarang banyak orang yang disebut-sebut sebagai Ahli Hadits ( baca : Doktor Jurusan Hadits), tetapi sayangnya ia tidak termasuk Ahlus-Sunnah. Disebabkan ia belajar hadits hanya untuk ilmu, bukan untuk diamalkan.
6.      Disebut pula As-Salafush-Shalih
Syaikh Abdulaziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang Al-Firqatun-Najiyah, beliau menjawab : “Mereka adalah orang-orang salaf dan orang-orang yang mengikuti jalannya As-Salafush-Shalih (Rasul dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum) (Minhaj Al-Firqatun-Najiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu halaman 15).
Jadi tentang nama-nama tersebut di atas adalah nama yang syar’iy (tidak bid’ah).
Al-Firqatun-Najiyyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah mungkin bisa terjadi dimana hanya dilakukan oleh sekelompok kecil manusia, bahkan bisa perorangan; yang menurut nash telah jelas yaitu bahwa bumi ini tidak akan pernah kosong dari Thaifah Manshurah ini, kecuali menjelang hari kiamat.
Sifat-Sifat Golongan Yang Selamat
Adapun sifat-sifat Golongan yang Selamat (Al-Firqatun-Najiyyah) adalah sebagai berikut :
1.      Selalu istiqamah dalam berpegang teguh dengan al-haq., yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah sebagaimana yang dipahami oleh As-Salafush-Shalih. Allah ‘azza wa jalla berfirman :
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرّقُواْ
”Dan berpegangteguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) Alah secara keseluruhan, dan janganlah kamu bercerai-berai” (QS. Aali Imarn : 103).
Rasulullah telah bersabda :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين. تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ
“Wajib bagimu berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafaur-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpeganglah dengannya dan gigitlah dengan gigi gerahammu kuat-kuat” (HR. At-Tirmidzi; hasan-shahih).
Allah ta’ala berfirman :
وَأَنّ هَـَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتّبِعُوهُ وَلاَ تَتّبِعُواْ السّبُلَ
”Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)” (QS. Al-An’am : 153).
Jalan lurus yang dimaksud adalah jalannya Rasulullah dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum ajma’in.
2.      Mengikuti jejak Rasulullah , para shahabat, dan para imam ahlul-haditsdalam segala hal. Seperti dalam beraqidah, beribadah, berhukum, bermuwalah, dan sebagainya.
Al-Firqatun-Najiyyah dalam Beraqidah
1.      Sumber aqidah hanya Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang shahihah.
2.      Semua khabar yang shahih dari Rasulullah diimani dan dibenarkan. Orang salaf tidak membedakan antara khabar mutawatir dan khabar ahad yang shahih.
3.      Dalam memahami nash-nash selalu mengambil penjelasan dari nash-nash itu sendiri, kemudian qaul As-Salafush-Shalih (para shahabat), kemudian imam yang berjalan sesuai dengan manhaj mereka. Baru setelah itu kembali kepada kaidah bahasa Arab yang shahihah.
4.      Menyerah pada wahyu (dalil naqli) dan tidak menentangnya baik dengan akal, perasaan, atau pendapat imam. Akal bisa dipakai sesuai dengan sesuai dengan fungsinya, tidak dipakai untuk memikirkan hal-hal yang bukan wilayahnya, seperti shifat-shifat Allah, masalah ghaib, surga, nereka, dan lain-lain.
5.      Menggunakan istilah-istilah syar’i, tidak menggunakan istilah-istilah bid’ah.
6.      Akal sehat tidak bertentangan dengan nash yang shahih. Akan tetapi jika seolah-olah bertentangan, maka nash wajib didahulukan.
(Diambil dari kitab-kitab : Al-‘Aqidah Fillaholeh Al-Asyqar; Wujud Luzuumil-Jama’ah  oleh Jamal bin Ahmad bin Basyirbadi; Mujmal Ushul Aqidah Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah] oleh Dr. Nashir bin Abdilkarim Al-‘Aql).
Keistimewaan ‘Aqidah Al-Firqatun-Najiyyah
Yaitu, memelihara kemurnian tauhid.
Dalam hal ini ada dua macam :
1.      Tauhidullah
Meliputi : Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Mengapa ulama salaf setelah membahas Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah, kemudian membahas Tauhid Asma’ wa Shifat secara khusus ?
Jawaban : Karena masalah shifat-shifat Allah ini merupakan masalah ghaibiyyah, seperti : Allah punya tangan, mata, berbicara, turun, bersemayam, dan sebagainya. Dalam hal ini, Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengimani semua shifat-shifat yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik dalam menetapkan atau menafikkannya. Jadi tidak terbatas 13 atau 20 shifat sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Abul-Hasan Al-Asy’ary (yang alhamdulillah beliau rujuk kepada aqidah shahihah menjelang akhir hayatnya). Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengimani semua shifat-shifat yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan tidak merubah artinya, tidak menolak, tidak pula menanyakan kaifiyyahnya. Ahlus-Sunnah mengimani sebagaimana dhahir nash dengan berlandaskan firman Allah :
 لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السّمِيعُ الْبَصِيرُ
”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia – dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy-Syuuraa : 11).
Jadi, shifat-shifat Allah itu tidak sama dengan shifat makhluk-Nya sedikitpun. Memang, para ulama salaf mempunyai cara tersendiri dalam meluruskan akal. Salah satunya dengan memahamkan Tauhid Asma’ wa Shifat. Kalau seorang muslim sudah bisa menerima tauhid ini sesuai dengan pemahaman salaf – dengan tidak melakukan ta’wil - , misalnya dengan mengimani bahwa Allah mempunyai mata, kaki, dan lain-lain. InsyaAllah dalam menghadapi atau memahami ayat-ayat lain seperti Nabi ‘Isa turun, atau berita-berita ghaib lainnya, ia akan mengimaninya tanpa perlu berpikir-pikir lagi (jika memang dilandasi oleh nash Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah yang jelas/sharih).
Inilah pentingnya Tauhid Asma’ wa Shifat dalam meluruskan akal yang sok ilmiah (dengan permainan logika/mantiq).
2.      Tauhid Ittiba’
Tauhidullah dan Tauhid Mutaba’ah (tauhid hanya mengikuti petunjuk Nabi dalam agama) adalah dua rukun dan dua asas yang hakiki dalam Islam. Keduanya itulah hakikat dua kalimat syahadat, sehingga dengannya suatu amal bisa diterima.
Imam Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy berkata : “Tidaklah seseorang itu selamat dari ‘adzab, kecuali jika telah merealisasikan dua tauhid tersebut”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Secara global arti dua kalimat tauhid tersebut adalah  Pertama, tidaklah kita beribadah kecuali hanya kepada Allah; Kedua, tidaklah kita beribadah kecuali kecuali dengan apa yang telah disyari’atkan (oleh Rasulullah ). Kita tidak boleh beribadah dengan cara bid’ah”.
Ibnul-Qayyim berkata : “Tidaklah seseorang dikatakan telah merealisasikan ayat {إِيّاكَ نَعْبُدُ} “Hanya kepada-Mu kami menyembah”, kecuali jika orang tersebut telah merealisasikan dua masalah besar, yaitu :
a.    Tauhid Ittiba’; yaitu mutaba’ah kepada Ar-Rasul .
b.    Tauhidullah.
(Lihat : Wujuub Luzuumil-Jama’ah oleh Jamal bin Ahmad bin Basyirbadi halaman 311).
Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhu mengatakan : “Sesungguhnya kami adalah orang yang mutbi’ (mengikuti), bukan mubtadi’(membuat bid’ah). Jika kami dalam keadaan lurus maka maka ikutilah; dan jika bengkok/menyimpang, maka luruskanlah”.
Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :
إتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم
”Ikutilah dan jangan membuat hal-hal yang baru (bid’ah), karena sesungguhnya hal itu telah cukup bagimu” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani).
Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
”Semua bid’ah adalah sesat sekalipun manusia melihat hal itu baik” (Diriwayatkan oleh Al-Laalika’i]).
{Lihat Tanbih Ulil-Abshar karya Syaikh Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimy halaman 66}.
Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Pokok-pokok Ahlus-Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh pada apa yang ada pada shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengikutinya, serta meninggalkan bid’ah. Karena semua bid’ah adalah sesat” (Ushulus-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal).
Imam Syafi’i dan Al-Laits bin Sa’ad berkata : “Ahlul-Ahwa’ itu sekalipun bisa berjalan di atas udara, tidak akan kami terima”.
{Lihat : Tanbih Ulil-Abshar karya Syaikh Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimy halaman 70}
Dalam rangka merealisasikan Tauhid Ittiba’ ini, maka Tauhid ini harus didasari cinta pada Rasulullah melebihi cintanya pada bapak, anak, maupun dirinya sendiri.
Dari Abdullah bin Hisyam radliyallaahu ‘anhuma berkata : “Kami beserta Nabi . Disampingnya terdapat Umar bin Khaththab. Maka ‘Umar berkata pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sungguh aku mencintai engkau di atas segalanya kecuali diriku”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : “Tidak! Demi Dzat yang diriku ada di Tangan-Nya. Bahkan sampai engkau menjadikan aku yang paling engkau cintai daripada dirimu”. Maka berkata ‘Umar kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sungguh sekarang, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Maka Rasulullah berkata,”Demikianlah ya ‘Umar….” (HR. Bukhari).
Berkata Syaikh Sulaiman bin Abdullah Aali Syaikh : “Syarat mahabbah(cinta) adalah harus sesuai dengan yang dicintai, mencintai apa yang dicintai, dan membenci apa yang dibenci” (Taisirul-Azizil-Hamid Syarhu Kitaabit-Tauhidhalaman 472).
Berkata Ibnu Taimiyyah : “Salah satu dari konsekuensi mahabbah(cinta) pada Rasulullah ialah harus menjunjung tinggi sunnah dan melaksanakannya, serta tidak menolaknya disebabkan bertentangan dengan pendapat dan akalnya, atau qiyas atau perkataan orang, dan lain-lain” (Majmu’ Fataawaa 17/443-445).
Termasuk konsekuensi cinta ialah memperbanyak membaca shalawat dan salam kepada Rasulullah dengan tidak berlebihan seperti yang dilakukan oleh ahlul-bida’; kemudian mencintai shahabat dan keluarganya radliyallaahu ‘anhum ajma’in. Juga memberikan wala’ (loyalitas) serta keridlaan pada mereka dan diam dalam mensikapi fitnah yang menimpa para shahabat, serta membenci orang-orang yang membenci shahabat.
{Lihat : Wujub Luzuumil-Jama’ah karya Syaikh Jamal bin Ahmad bin Basyirbadi halaman 322}.
Dalil-Dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
Allah ta’ala telah berfirman :
وَمَن يُشَاقِقِ الرّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُ الْهُدَىَ وَيَتّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلّهِ مَا تَوَلّىَ وَنُصْلِهِ جَهَنّمَ وَسَآءَتْ مَصِيراً
”Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisaa’ : 115).
Rasulullah bersabda :
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى.  قالوا : يا رسول الله ومن يأبى؟.  قال : من أطاعني دخل الجنة ومن عصاني فقد أبى.
”Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para shahabat bertanya : “Siapa yang enggan itu yan Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Barangsiapa yang taat kepadaku, maka ia masuk surga. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka itulah orang-orang yang enggan (masuk surga)” (HR. Bukhari).
من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصا الله
”Barangsiapa yang taat kepadaku berarti dia taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka berarti ia bermaksiat kepada Allah” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Dalam melaksanakan sunnah/syari’at Islam, hendaknya kita sandarkan sebagaimana yang dilakukan para shahabat, karena para shahabat dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam hanya bersumber pada dua perkataan, yaitu perkataan Allah dan perkataan Rasulullah (Ma’alimul-Inthilaaqatil-Kubra oleh Muhammad Abdil-Hadi Al-Mishri, halaman 31).
Bagaimana dengan ketentuan hukum yang disimpulkan menurut ahli Ushul-Fiqh ? Kita tidak menolak hukum-hukum kaidah ushul-fiqh. Karena yang menciptakan qaidah ushul fiqh adalah para imam yang mu’tabar(sudah memenuhi kriteria sebagai mujtahid; seperti Imam Syafi’i, Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah). Akan tetapi dalam pengamalan, kita harus mengambil sikap sebagaimana yang dilakukan para salaf kita, yaitu berdasarkan nash-nash shahih dari Rasulullah beserta para shahabatnya. Baik dari masalah kecil maupun yang besar, asalkan dengan niat ikhlash dan ittiba’. Terlepas hukumnya sunnah atau wajib. Dalam meninggalkan maksiat pun harus seperti itu, terlepas hukumnya haram atau makruh. Inilah amalan-amalan yang dilakukan oleh As-Salafaush-Shalih.
Mudah-mudahan kita termasuk golongan pengikut As-Salafush-Shalih.
===Abu Al-Jauzaa’ 1427 in Rain City=======

[nemu tulisan di laptop 11 tahun yang lalu saat masih aktif di MyQuran]

Firqah Sesat

$
0
0
Dalam sebuah hadits disebutkan:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu (yang masuk surga)”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Haakim 1/218-219, Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 85, Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/127-128 no. 23-24, dan yang lainnya].

Dalam hadits di atas disebutkan tentang keberadaan 72 golongan/kelompok sesat lagi celaka sebagai opposite golongan yang selamat (al-firqatun-najiyyah). Banyak ulama menjelaskan tentang 72 golongan ini. Diantaranya Asy-Syaathibiy rahimahullah yang berkata:
وهي مسألة - كما قال الطرطوشي - طاشت فيها أحلام الخلق ، فكثير ممن تقدم وتأخر من العلماء عينوها، لكن في الطوائف التي خالفت في مسائل العقائد فمنهم من عد أصولها ثمانية ، فقال : كبار الفرق الإسلامية ثمانية : ( 1 ) المعتزلة و ( 2 ) الشيعة ، و ( 3 ) الخوارج ، و ( 4 ) المرجئة ، و ( 5 ) النجارية ، و ( 6 ) الجبرية و ( 7 ) المشبهة ، و ( 8 ) الناجية.
Sebagaimana dikatakan Ath-Thurthuusyiy, hal itu adalah permasalahan yang banyak orang keliru padanya. Banyak ulama dahulu maupun sekarang yang telah menentukan golongan/kelompok tersebut, akan tetapi sebatas kelompok-kelompok yang menyimpang dalam permasalahan-permasalahan ‘aqidah. Diantara mereka ada yang menghitung pokok golongan/kelompok tersebut berjumlah delapan. Ia katakan : ‘Gembong kelompok-kelompok Islam (yang menyimpang) berjumlah delapan, yaitu Mu’tazilah, Syii’ah, Khawaarij, Murji’ah, Najjaariyyah, Jabriyyah, Musyabbihah, dan Naajiyyah” [Al-I’tishaam, 3/185].
Yuusuf bin Asbath rahimahullah berkata:
أُصُولُ الْبِدَعِ أَرْبَعٌ: الرَّوَافِضُ، وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَالْمُرْجِئَةُ، ثُمَّ تَتَشَعَّبُ كُلُّ فِرْقَةٍ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ طَائِفَةً، فَتِلْكَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُونَ الْجَمَاعَةُ الَّتِي قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: إِنَّهَا النَّاجِيَةُ
“Pokok-pokok kebid’ahan ada 4 (empat), yaitu Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, dan Murji’ah. Kemudian masing-masing firqah tersebut bercabang-cabang lagi menjadi 18 golongan sehingga totalnya menjadi 72 firqah. Dan yang ke-73 adalah Al-Jamaa’ah yang disabdakan Nabi : ‘Inilah firqah/kelompok yang selamat” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 17].
Senada dengan hal di atas adalah penjelasan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
الْبِدْعَةُ الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ: كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ، وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ
"Bid'ah yang menyebabkan pelakunya terhitung sebagai pengikut hawa nafsu adalah bid'ah yang terkenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah (secara jelas), seperti bid'ah Khawaarij, Rafidlah, Qadariyyah, dan Murji'ah" [Majmuu' Al-Fataawaa, 35/414].
Kembali Asy-Syaathibiy rahimahullah menjelaskan:
هذه الفرق إنما تصير فرقا بخلافها للفرقة الناجية في معنى كلي في الدين وقاعدة من قواعد الشريعة ، لا في جزئي من الجزئيات ، إذ الجزئي والفرع الشاذ لا ينشأ عنه مخالفة يقع بسببها التفرق شيعا ، وإنما ينشأ التفرق عند وقوع المخالفة في الأمور الكلية ، لأن الكليات تقتضي عددا من الجزئيات غير قليل
“Kelompok-kelompok ini hanyalah menjadi kelompok (yang sesat) dengan sebab penyelisihannya terhadap al-firqatun-naajiyyah dalam makna yang kulliy dalam (pokok-pokok) agama dan kaedah-kaedah syari’at. Bukan dalam permasalahan yang juz’iy (parsial). Karena permasalahan juz’iy dan cabang yang menyimpang tidaklah menimbulkan penyimpangan yang menyebabkan perpecahan. Perpecahan hanya timbul akibat terjadinya menyimpangan dalam perkara-perkara kulliyyah (pokok), karena perkara kulliyyah mengharuskan adanya perkara-perkara juz’iyyahyang tidak sedikit” [Al-I’tishaam, 3/177].
Tujuhpuluh dua golongan/kelompok yang gagal beragama dengan benar (alias sesat) ini adalah kelompok yang menyimpang dalam perkara pokok dan/atau masuk dalam ranah ‘aqiidah[1]. Oleh karena itu jika kita membaca kitab-kitab para ulama terdahulu yang membahas manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah, maka yang mereka tetapkan adalah perkara ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan ‘aqiidah kesepakatan umat. Diantaranya:
1.    Abu Haatim Ar-Raaziy dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim rahimahumullah:
سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا: أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ.....
Aku pernah bertanya kepada ayahku (Abu Haatim Ar-Raaziy) dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam Ushuuluddiin (pokok-pokok agama), serta apa yang mereka dapatkan dari para ulama yang mereka jumpai di berbagai kota dan apa yang mereka yakini tentang hal tersebut. Mereka berdua berkata : “Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh kota baik di Hijaaz, ‘Iraaq, Syam, dan Yaman, maka diantara madzhab yang mereka anut adalah …… (lalu disebutkan permasalahan ushuuludiin yang dimaksud)” [Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, 1/176-180 no. 321-322].
2.    Al-Muzanniy rahimahullah (w. 264 H)setelah memaparkan ‘aqidah Ahlus-Sunnah berkata:
هذه مقالات وأفعال اجتمع عليها الماضون الأولون من أئمة الهدى، وبتوفيق الله اعتصم بها التابعون قدوة ورضى، وجانبوا التكلف فيما كفوا، فَسُدِّدوا بعون الله وَوُفِّقوا، ولم يرغبوا عن الاتباع فيقصروا، ولم يتجاوزوه تزّيداً فيعتدوا، فنحن بالله واثقون، وعليه متوكلون، وإليه في اتباع آثارهم راغبون
“Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan ini merupakan kesepakatan para ulama generasi awal dulu, dan – dengan taufiq Allah - yang dipegang oleh orang-orang setelahnya yang menjadi teladan dan diridlai. Mereka meninggalkan sikap takalluf (memperberat diri) terhadap perkara yang tidak dilakukan (salaf), sehingga mereka dikokohkan dan diberikan taufiq dengan pertolongan Allah. Mereka juga tidak membenci sikap ittibaa’hingga mereka mengurang-ngurangi (apa yang seharusnya) dan menambah-nambahi. Hanya kepada Allah kami percaya dan bertawakkal, dan hanya kepada Allah kami berharap untuk dapat mengikuti jejak mereka (salaf)” [Syarhus-Sunnah, hal. 88].
3.    Harb bin Ismaa’iil Al-Kirmaaniy rahimahumallah (w. 280 H) berkata ketika memaparkan madzhab/‘aqidah para imam Ahlus-Sunnah:
هذا مذهب أئمة العلم وأصحاب الأثر وأهل السنة المعروفين بها المقتدى بهم فيها: وأدركت من أدركت من علماء أهل العراق والحجاز والشام وغيرهم عليها، فمن خالف شيئا من هذه المذاهب، أو طعن فيها، أو عاب قائلها، فهو مبتدع، خارج عن الجماعة، زائل عن منهج السنة وسبيل الحق
“Ini adalah madzhab para imam, ashhaabul-atsar, dan ahlus-sunnah yang dikenal dan diteladani. Dan aku telah bertemu dengan para ulama penduduk ‘Iraaq, Hijaaz, Syaam, dan yang lainnya yang mereka itu semua berada di atas (madzhab itu). Barangsiapa yang menyelisihinya dari madzhab ini atau menghujatnya atau mencela orang yang mengatakannya; maka ia adalah mubtadi’ keluar dari jama’ah, serta menyimpang dari manhaj sunnah dan jalan yang benar” [As-Sunnah, hal. 34].
4.    Dan yang lainnya.
Benar, ada beberapa perkara ‘amaliyyah yang dapat dikatakan sebagai ciri Ahlus-Sunnah, seperti misal mengusap dua khuff.
Sahl bin ‘Abdillah At-Tustariy rahimahullah pernah ditanya tentang kapan seseorang mengetahui dirinya di atas (manhaj) Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah, maka ia menjawab:
إِذَا عَرَفَ مِنْ نَفْسِهِ عَشْرَ خِصَالٍ: لا يَتْرُكُ الْجَمَاعَةَ، وَلا يَسُبُّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ ﷺ وَلا يَخْرُجُ عَلَى هَذِهِ الأُمَّةِ بِالسَّيْفِ، وَلا يُكَذِّبُ بِالْقَدَرِ، وَلا يَشُكُّ فِي الإِيمَانِ، وَلا يُمَارِي فِي الدِّينِ، وَلا يَتْرُكُ الصَّلاةَ عَلَى مَنْ يَمُوتُ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِالذَّنْبِ، وَلا يَتْرُكُ الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَلا يَتْرُكُ الْجَمَاعَةَ خَلْفَ كُلِّ وَالٍ جَارَ أَوْ عَدَلَ
“Apabila ia mengenal dirinya 10 perkara/karakteristik, yaitu tidak meninggalkan jama’ah, tidak mencaci shahabat Nabi , tidak melakukan pemberontakan terhadap umat ini dengan senjata/pedang, tidak mendustakan takdir, tidak ragu dalam keimanan, tidak berdebat dalam masalah agama, tidak meninggalkan shalat terhadap seorang muslim yang mati dengan dosa (besar yang dilakukannya), tidak meninggalkan mengusap dua khuff, serta tidak meninggalkan (shalat) jama’ah di belakang pemimpin yang jahat maupun adil” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/182 no. 324].
Begitu juga dalam kitab-kitab ‘aqiidah yang lain (termasuk kitab aqidah yang tersebut sebelumnya). Mengapa ? Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy rahimahullah:
وقد أدخل المسح على الخفين في العقائد ، لأنَّ بعض المبتدعين أنكره ، وهم الخوارج ، والشيعة بحجة أنه لم يرد في القرآن ، وهو ثابتٌ عن النبي ﷺ من رواية جماعةٍ من الصحابة ، وصار إنكاره علماً على أهل البدع ، وأهل السنَّة والجماعة يثبتونه لوجود الأدلة به
"Permasalahan mengusap dua khuff beliau (Al-Barbahaariy rahimahullah)masukkan dalam 'aqaaid karena sebagian ahli bid'ah/mubtadi' mengingkarinya seperti Khawaarij dan Syii'ah dengan hujjah bahwa masalah itu tidak ada dalam Al-Qur'an. Padahal permasalahan itu shahih dari Nabi dari riwayat sekelompok shahabat, sehingga pengingkaran akan hal itu sebagai satu pertanda atas ahli bid'ah. Adapun Ahlus-Sunnah wal-Jamaa'ah menetapkannya dikarenakan keberadan dalil-dalil yang medasarinya" [selesai - Irsyaadus-Saariy ilaa Taudliih Syarhis-Sunnah lil-Barbahaariy].
Jadi, (sebagian) perkara ‘amaliyyah memang ada yang masuk dalam katagori ushuulAhlus-Sunnah wal-Jama’ah dikarenakan Ahlul-Bid’ah masyhur dengan perkara kebalikannya.
Dr. Ahmad An-Najjaar hafidhahullah menjelaskan korelasi hal ini dengan yang dibahas sebelumnya:
المسائل الاعتقادية أو العملية الجليلة التي اشتهرت عند أهل العلم بالسنة موافقتها للكتاب والسنةوالإجماع، وهي تعرف (بالأصول).
فمن خالف أصلاً من الأصول التي اشتهرت موافقتها للكتاب والسنة والإجماع؛ فقد خرج عن هدي السلف الصالح ونسب إلى غيرهم.
“Permasalahan-permasalahan ‘aqidah atau amaliyyah yang agung lagi terkenal menurut ulama Ahlus-Sunnah yang berkesesuaian dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; maka itulah yang dikenal dengan pokok (ushuul).
Barangsiapa yang menyelisihi suatu pokok (ushuul) dari pokok-pokok (agama) yang dikenal berkesesuaian dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’, maka dirinya keluar dari petunjuk as-salafush-shaalih dan dinisbatkan kepada selainnya (kelompok sesat)” [Tabshiirul-Khalaf bi-Dlaabithil-Ushuuli allatii Man Khalafaa Kharaja ‘an Manhajis-Salaf, hal. 28].[2]
Dari sini kita mengetahui mengapa (sebagian) perkara ‘amaliyyah yang agung dimasukkan para ulama dalam bab ‘aqiidah dan ushuul.
Berdasarkan keterangan tersebut, apakah jika ada orang yang melafadhkan niat ketika shalat, dapat kita hukumi kesalahan (bid’ah)-nya itusebagai sebab masuk dalam kelompok sesat gagal beragama (dengan benar) di luar al-firqatun-naajiyyah?. Tentu jawabannya tidak. Apakah jika ada orang yang melakukan bid’ah berjabat tangan setelah shalat dapat kita hukumi kesalahan (bid’ah)-nya itusebagai sebab keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah ?. Tentu jawabannya tidak. Mengapa ?. Karena hal itu bukan bagian dari pokok-pokok Ahlus-Sunnah. Juga bid’ah ‘amaliyyah lain (menurut sebagian ulama) seperti qunut shubuh, zakat profesi, biji tasbih, yasinan, dan yang lainnya.
Kemudian…..
Ketika Syaikhul-Islaam membahas permasalahan mana yang lebih utama antara ‘Utsmaan dan ‘Aliy[3], beliau rahimahullah berkata:
هذه المسألة - مسألة عثمان وعلي - ليست من الأصول التي يضلل المخالف فيها عند جمهور أهل السنة لكن التي يضلل فيها مسألة الخلافة
"Permasalahan ini – yaitu permasalahan ‘Utsmaan dan ‘Aliy - bukanlah permasalahan pokok (ushuul) dimana orang yang menyelisihinya boleh untuk disesatkan menurut jumhur ulama. Akan tetapi yang disesatkan padanya adalah permasalahan khilaafah" [Majmuu' Al-Fatawaa, 3/153].
Orang yang mengutamakan 'Aliy dibandingkan 'Utsmaan radliyallaahu ‘anhumaaadalah keliru. Namun dalam masalah ini tidak boleh dikatakan sesat, karena bukan termasuk pokok (ushuul) agama yang membolehkan seseorang menyesatkan oposannya dan keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Perkara kemudian masalah ini diboncengi masalah khilaafah – dan biasanya ini sepaket dilakukan oleh orang Syi’ah – , lain perkara. Jika tafdliil tersebut diikuti dengan pembatalan kekhalifahan ‘Utsmaan, maka orang tersebut lebih sesat daripada keledai peliharaannya. Namun jika murni masalah tafdliil saja, tidak boleh saling menyesatkan dan mengandangkan dalam 72 golongan.
Kasus lain tentang perayaan maulid Nabi . Ini adalah bid’ah amaliyyah menurut jumhur ulama. Bid’ah ini tidak mengeluarkan pelakunya dari Ahlus-Sunnah – meski kita katakan dia salah dan berdosa atas bid’ah yang dilakukannya. Pelakunya tidak kita sebut sebagai Ahli Bid'ah. Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Al-Jibriin rahimahullah berkata:
وأما البدع العملية فإنه لا يقال لصاحبها مبتدع علي الإطلاق. ولكن يقال: فيه بدعة كالذين يحيون ليلة المعراج أو المولد أو ليلة النصف من شعبان أو يصلون صلاة الرغائب و ما أشبهها من البدع العملية.
فهناك فرق بين البدع الاعتقادية فيقال لصاحبها مبتدع و البدع العملية و يقال لصاحبها فيه بدعة ولا يصدق عليه أنه مبتدع بدعة كلية. هذا هو المتبادر. والله أعلم.
“Sedangkan bid’ah dalam masalah ibadah, pelakunya sama sekali tidak bisa disebut sebagai ahli bid’ah. Akan tetapi pelakunya kita katakan bahwa pada dirinya ada kebid’ahan. Semisal orang-orang yang memperingati malam Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, beribadah pada malam Nishfu Sya’ban, melakukan shalat Raghaib, dan bid’ah-bid’ah yang lain dalam masalah ibadah.
Jadi ada perbedaan antara bid’ah dalam masalah akidah- itulah bid’ah yang pelakunya disebut sebagai ahli bid’ah- dengan bid’ah dalam masalah ibadah. Pelaku bid’ah dalam masalah ibadah mendapat sebutan ‘ada bid’ah pada dirinya’. Pelaku bid’ah semacam ini tidak tepat jika disebut sebagai ahli bid’ah. Demikian jawaban instan yang bisa diberikan. Wallahu a’lam” [Ijabah al Sa-il ‘an Ahammi al Masa-il Ajwibah al ‘Allamah al Jibrin ‘ala As-ilah al Imarat, hal 13-14 – dikutip dari website ustadzaris.com].
Apakah maulid termasuk bagian dari pokok ushuul dalam agama ? Termasuk syi’ar-syi’ar yang membedakan antara Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Bid’ah yang tercantum dalam kitab para ulama dulu ?. Jawabnya : Tidak.[4]
Bukankah banyak orang yang merayakan maulid disertai dengan banyak kemunkaran seperti istighatsah, doa kepada Nabi, ikhtilaath, dan perbuatan ghulluw lainnya ?.
Kalau begitu, ini namanya perayaan maulid plus. Kalau sudah plus-plus, hukumnya lain. Sama seperti kasus tafdliil sebelumnya.
Lajnah Daaimah ketika membahas rincian kemunkaran maulid, tetap membedakan antara hanya sekedar merayakannya saja dan yang merayakan plus ibadah yang lain yang isinya kesyirikan. Saya highlight khusus kalimat/perkataan yang ini:
إذا كان مجرد احتفال ، على الأكل والشرب ، والقهوة والشاي ، وليس فيه دعاء ولا استغاثة بالنبي ، فهذه بدعة منكرة
"Apabila hanya sekedar perayaan saja dengan makan, minum, ngopi dan ngeteh; namun tidak ada padanya doa dan istighatsah kepada Nabi; maka ini bid'ah munkarah (saja, bukan syirik)" [alifta.net].
Maka, penghukuman maulid pun harus hati-hati dan dirinci, antara sekedar perayaannya saja (sebagaimana perkataan fuqahaa yang membolehkan) atau yang paket plus-plus. Paket plus-plus dapat menyebabkan seseorang keluar dari lingkup al-firqatun-naajiyyah. Bukan karena maulidnya, tapi karena plus-plusnya.
Terakhir, kalaupun ada bantahan, silakan. Tak perlu kasih judul bombastis “Ultraman Membantah Upin dan Ipin”. Nanti dikira cari perhatian dan malah bikin gaduh. Saya tahu ada perkataan ulama kontemporer yang berbeda dengan hal di atas. No problemo.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – one thousand km from home – 30 Dzulqa’dah 1438 H].




[1]     Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan hal serupa:

[2]     Buku ini diberikan taqdiim oleh Asy-Syaikh Dr. Shaalih bin Sa’d As-Suhaimiy dan Asy-Syaikh Dr. Sulaimaan Ar-Ruhailiy hafidhahumallah. Sangat direkomendasikan untuk dibaca dalam masalah keluar-masuk pintu Ahlus-Sunnah.
[3]     Jumhur ulama berpendapat bahwa ‘Utsmaan lebih utama daripada ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa.
[4]     Diantara ulama madzhab yang membolehkan maulid adalah Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy, Ibnul-Jazariy, Ibnu Hajar Al-Haitamiy, Ibnush-Shalah, Abu Syammaah Al-Maqdisiy, Ibnul-Hajj Al-Malikiy, As-Suyuuthiy, dan yang lainnya rahimahumullah.
Mereka membolehkan maulid dengan melakukan amal-amal kebaikan, menampakkan kegembiraan, bershadaqah, bersyukur, dan yang lainnya di hari itu.
(-) : Ente kok malah nyebutin khilaf ulama segala. Khilaf itu bukan dalil !! Dalil itu adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’ !!!
(+) : Saya sepakat dengan Anda bahwa maulid itu bid’ah yang terlarang dalam agama. Clear bagi saya. Di sini saya hanya ingin mendudukkan realitas saja, apakah maulid itu merupakan perkara ijmaa'atau bukan ijmaa', pokok ataukah cabang, perkara kulliy ataukah juz’iy, sehingga kita dapat menghukuminya dengan akurat. 

Kapan Keluar dari Ahlus-Sunnah ?

$
0
0
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومما ينبغي أن يعرف أن الطوائف المنتسبة إلى متبوعين في أصول الدين والكلام على درجات، منهم من يكون قد خالف السنة في أصول عظيمة ومنهم من يكون إنما خالف السنة في أمور دقيقة
"Dan termasuk diantara hal yang perlu diketahui bahwasannya golongan-golongan yang berafiliasi pada tokoh-tokoh tertentu dalam perkara pokok-pokok agama dan ilmu kalam itu bertingkat-tingkat. Diantara mereka ada yang menyelisihi sunnah dalam pokok-pokok yang agung, dan diantara mereka ada yang hanya menyelisihi sunnah dalam perkara-perkara kecil" [Majmuu' Al-Fataawaa, 3/348-349].

الْبِدْعَةُ الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ: كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ، وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ
"Bid'ah yang menyebabkan pelakunya terhitung sebagai pengikut hawa nafsu adalah bid'ah yang terkenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah (secara jelas), seperti bid'ah Khawaarij, Rafidlah, Qadariyyah, dan Murji'ah" [idem, 35/414].
Asy-Syaikh Rabii' Al-Madkhaliy hafidhahullah pernah ditanya : "Bid'ah apakah yang terhitung dapat mengeluarkan seseorang dari wilayah Ahlus-Sunnah wal-Jamaa'ah ?". Beliau menjawab:
مثل بدعة القدر وبدعة الإرجاء وبدعة الرفض وبدعة الخروج والبدع الصوفية مثل الموالد الشركية وغيرها وشدّ الرحال إلى القبور والأشياء هذه بارك الله فيكم ؛من هذا النوع.
تولّي أهل البدع يُصيِّر الإنسان منهم ومناصرتهم والذبّ عنهم ؛فإنّ أحمد ابن حنبل رحمه الله قيل له : إنّ بعض الناس يجلس إلى أهل البدع فقال : انصحه ,قال : نصحته فأبى ,قال : ألحقه بهم.
فالذي يجالس أهل البدع ويُعاشرهم يُستدلّ عليه أنّه مريض وأنّه يُوافق هؤلاء وهذا فيه أدلّة ؛( الأرواح جنودٌ مجندة ما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف ) ,فهذا يأتلف مع أهل البدع دليل أن هناك توافق وتشابه بين الأمرين والشخصين أو الجماعتين.
وعلى كلّ حال ما ذكرناه هو الذي يُخرج عن دائرة أهل السنّة والجماعة
"Semisal bid'ah qadar (Qadariyyah), bid'ah irjaa', bid'ah Raafidlah, bid'ah Khawaarij, bid'ah Shuufiyyah seperti (perayaan) maulid yang syirik dan yang lainnya, syaddur-rihaal[1]ke kuburan, dan yang lainnya semisal ini, baarakallaahu fiikum, termasuk jenis bid'ah yang mengeluarkan dari Ahlus-Sunnah.
(Juga) memberikan loyalitas kepada ahlul-bid'ah dengan menjadikan seseorang dari kalangan mereka (ahlul-bid'ah) sebagai penolongnya; serta membela mereka (ahlul-bid'ah). Pernah dikatakan kepada Ahmad bin Hanbal rahimahullah : 'Sesungguhnya sebagian manusia bermajelis dengan Ahlul-Bid'ah'. Maka ia (Ahmad bin Hanbal) berkata : 'Nasihatilah ia!'. Dijawab : 'Aku sudah menasihatinya, namun ia menolak'. Ahmad berkata : 'Masukkanlah ia ke dalam golongan mereka (ahlul-bid'ah)'.
Orang yang bermajelis dengan ahlul-bid'ah dan bergaul dengan mereka, maka ini sebagai dalil bahwa dirinya 'sakit' dan dirinya menyepakati mereka. Dan dalam hal ini terdapat dalil : 'Ruh-ruh itu berkelompok-kelompok yang banyak. Yang cocok di antara mereka akan saling berkumpul, dan yang tidak cocok akan saling menjauh'. Dan berkumpulkan orang dengan ahlul-bid'ah sebagai tanda bahwa di sana terdapat kecocokan dan kesamaan antara dua perkara, dua orang, atau dua jama'ah.
Apapun itu, apa yang kami sebutkan adalah perkara yang mengeluarkan seseorang dari wilayah Ahlus-Sunnah" [https://goo.gl/ze5qBZ].
Begitu juga Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy pernah ditanya hal serupa, maka beliau rahimahullah menjawab:
من خرج عن السنة بأخذه ببدعة من البدع؛ سواءً كانت بدعة الخروج كالخوارج أو بدعة تعطيل الصفات كالجهمية والمعتزلة, أو تأويلها كالأشاعرة, أو بأن يقول بأنَّ الإسلام لا يضر معه ذنبٌ كالمرجئة, أو غير ذلك من البدع، فإذا كنت قد عرفت عنه بدعة، فنصح عنها، ولكنَّه أصرَّ على البقاء عليها فهو يعتبر قد خرج عن السنة، وأخذ بالبدعة، وقد روى مسلمٌ في مقدمة كتابه أنَّ أبا عبد الرحمن السلمي نصح بعض طلاب العلم في ذلك الزمن ألاَّ يسمعوا إلى قول شقيق، وكان شقيق غير شقيق بن سلمة، وكان يرى رأي الخوارج، فقال ألاَّ يسمعوا كلامه، ولاتأتوا إليه، وظاهر هذا أنَّ من استقر أمره على الأخذ ببدعةٍ، واشتهرت عنه تلك البدعة فإنَّه ينبغي أن ينصح طلاب العلم منه، وأن يحذروا منه؛ لأنَّه يعتبر قد خرج عن منهج أهل السنة بذلك؛ أمَّا إذا حصلت المخالفة في أمورٍ فرعية اجتهادية، فهذا لا يعتبر خلافًا ممنوعًا ولا موجبًا للعتب على المخالف كمن يقول: "إنَّ الزنا لا يثبت إلاَّ بالاعتراف أربع مرات، ومن يقول: أنَّه يثبت بالاعتراف مرة"، وبالله التوفيق
"Barangsiapa yang keluar dari sunnah dengan mengambil satu bid'ah, baik itu bid'ah khuruuj/pemberontakan seperti Khawaarij, atau bid'ah peniadaan sifat seperti (bid'ah) Jahmiyyah dan Mu'tazilah, atau (bid'ah) ta'wiil seperti Asyaa'irah, atau mengatakan tidak memudlaratkan Islam dengan sebab dosa seperti (bid'ah) Murji'ah, atau bid'ah-bid'ah yang lainnya. Apabila engkau mengetahui darinya satu bid'ah, lalu engkau nasihati, namun ia tetap dalam bid'ahnya, maka dirinya dianggap keluar dari Ahlus-Sunnah dan beralih kepada bid'ah (Ahlul-Bid’ah). Muslim meriwayatkan dalam muqaddimah kitabnya bahwa Abu 'Abdirrahmaan As-Sulamiy pernah menasihati sebagian penuntut ilmu pada waktu itu agar tidak mendengar (riwayat) dari Syaqiiq. Syaqiiq yang dimaksud bukan Syaqiiq bin Salamah. Syaqiiq ini memiliki pemikiran Khawaarij. Ia (Abu 'Abdirrahmaan As-Sulamiy) berkata : 'Janganlah dengar perkataannya dan jangan pula mendatanginya’. Yang nampak di sini, bahwasannya barangsiapa yang tetap pada diri seseorang memegang satu bid'ah dan terkenal darinya bid'ah tersebut, maka sudah seharusnya untuk menasihati para penuntut ilmu darinya dan memperingatkan (mentahdzir) darinya, karena ia dianggap keluar dari manhaj Ahlus-Sunnah dengan sebab tersebut. Adapun jika penyelisihan yang terjadi pada perkara-perkara furuu'iyyah ijtihadiyyah, maka ini tidak dianggap sebagai penyelisihan yang terlarang dan tidak mengkonsekuensikan celaan terhadap orang yang menyelisihi tersebut. Seperti orang yang berkata : 'Sesungguhnya (hukuman) zina tidak tetap kecuali dengan pengakuan sebanyak 4 kali', dan orang yang mengatakan : '(Hukuman) zina itu tetap dengan pengakuan sekali saja'. Wabillaahit-taufiiq" [https://goo.gl/ze5qBZ].
Asy-Syaikh 'Ubaid Al-Jaabiriy hafidhahullah pernah ditanya kapankah seseorang keluar dari manhaj salafiy dan ia dihukumi bukan salafiy ?. Beliau menjawab:
هذا بيّنه أهل العلم ، وضمنته كتبهم ونصائحهم وهو ضمن منهجهم وذلك أن الرجل يخرج من السلفية إذا خالف أصلا من أصول أهل السنة ، وقامت الحجة عليه بذلك وأبى الرجوع ، هذا يخرج من السلفية ، كذلك قالوا حتى في الفروع إذا خالف فرعا من فروع الدين فأصبح يوالي ويعادي في ذلك فإنه يخرج من السلفية نعم.
"Permasalahan ini telah dijelaskan ulama serta dimasukkan dalam kitab-kitab dan berbagai nasihat mereka. Dan hal itu merupakan bagian dari manhaj mereka. Seseorang keluar dari salafiyyah apabila menyelisihi pokok-pokok Ahlus-Sunnah dan telah tegak hujjah atas mereka namun enggan untuk rujuk. Orang ini keluar dari salafiyyah. Begitu juga mereka (ulama) berkata : 'Bahkan dalam masalah furuu'(cabang)'. Yaitu apabila ia menyelisihi cabang agama dan kemudian dirinya mengikat loyalitas dan bermusuhan berdasarkan atas hal tersebut, maka ia keluar dari salafiyyah. Na'am" [Kaset Jinaayatut-Tamyi''alal-Manhajis-Salafiy].
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang keluar dari lingkup Ahlus-Sunnah (Salafiyyah) apabila:
1.    menyelisihi prinsip-prinsip pokok dalam agama serta tegak padanya hujjah namun enggan untuk rujuk;
2.    menyelisihi perkara cabang dalam agama dan ia membangun al-walaa' wal-baraa' atas hal itu.
NB : Di sini didapatkan satu faedah tambahan bahwa dikeluarkannya seseorang dari Ahlus-Sunnah dalam penyelisihan masalah furuu'itu bukan semata-mata karena penyelisihannya tersebut, namun karena al-walaa' wal-baraa' yang ia bangun atas hal tersebut.
3.    bergaul dan bermajelis dengan Ahlul-Bid’ah (tanpa alasan yang dibenarkan), serta ber-walaa’ wa baraa’ di atasnya.
Penyelisihan dalam perkara khilafiyyah ijtihadiyyah yang mu’tabar di kalangan ulama, bukan menjadi sebab untuk mengeluarkan seseorang dari lingkup Ahlus-Sunnah.
Wallaahu a'lam.
Semoga ada manfaatnya.
Baca juga artikel terkait : Firqah Sesat.

Menggugat Arogansi Parasit Oknum Penggiat Toleransi

$
0
0
Bhineka Tunggal Ika, kebhinekaan, pluralitas/pluralisme, dan toleransi adalah kata-kata popular yang muncul di berbagai media. Apalagi semenjak partai merah berkuasa – setelah (katanya) 10 tahun ‘puasa’[1]–, kata-kata tersebut menjadi jauh lebih sering dan nyaring. Apakah salah ?. Tidak sepenuhnya salah. Yang jadi salah (diantaranya) muncul kecondongan penafsiran kebhinekaan dalam bentuk pluralisme agama. Sebagaimana jamak diketahui, paham pluralisme sendiri sangat ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia melalui fatwanya yang telah dirilis beberapa tahun silam. Alhamdulillah, banyak kaum muslimin Indonesia masih memegang fithrahnya menolak pluralisme agama. Banyak pula tokoh dan kiyai kita, terutama dari kalangan NU, yang memahami pluralisme hanya sekedar sikap sosial saling menghormati pemeluk agama lain tanpa meyakini eksistensi kebenaran majemuk semua agama. Hanya Islam agama yang benar. Sekali lagi, patut kita syukuri.

Tentu ada pengecualiannya dari kalangan oknum – baik individu maupun kelompok, besar atau kecil – yang menyimpang dari garis normal tersebut. Di satu sisi mereka dengungkan secara keras keberagaman dan toleransi secara eksternal, di sisi lain sangat primitif dalam masalah toleransi secara internal.
Betapa tidak ?!.
Dengan suka dan rela gereja-gereja dijaga dan diamankan, agar orang yang melakukan ibadah kesyirikan di dalamnya merasa nyaman. Sementera saya yakin mereka pernah melewati bacaan ayat Al-Qur’an:
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam’” [QS. Al-Maaidah : 17 & 72].
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٖۘ وَمَا مِنۡ إِلَٰهٍ إِلَّآ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۚ وَإِن لَّمۡ يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Rabb Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih” [QS. Al-Maaidah : 73].
Dengan suka dan rela mereka melakukan doa bersama lintas agama dengan berbagai motif untuk sekedar simbol toleransi dan persatuan[2]. Mungkin saja prinsipnya ‘berbeda-beda tuhan namun tetap dikabulkan jua’. Saya yakin, Anda tidak membenarkan apa yang mereka lakukan karena MUI telah mengeluarkan fatwa bid’ah dan haramnya acara tersebut dengan rincian:
1.    Doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam. Oleh karenanya, termasuk bid’ah.
2.    Doa Bersama dalam bentuk “Setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran” maka orang Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin oleh non-muslim.
3.    Doa Bersamadalam bentuk “Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak” (misalnya mereka membaca teks doa bersama-sama) hukumnya haram.
4.    Doa Bersama dalam bentuk “Seorang non-Islam memimpin doa” maka orang Islam haram mengikuti dan mengamininya.
5.    Doa Bersama dalam bentuk “Seorang tokoh Islam memimpin doa” hukumnya mubah.
6.    Doa dalam bentuk “Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing” hukumnya mubah.
Bagaimanakah sikap mereka terhadap kaum muslimin yang berbeda paham dengan mereka ?. Saya ajak membaca sebagian fakta yang sempat booming:
1.    Pengambilalihan paksa Masjid As-Salam yang dikelola Muhammadiyyah (sertifikat Nomor 3 tanggal 23/9/2008 atas nama PC Muhammadiyah Cengkareng) di Cengkareng Barat (27/2/2015) yang ditindaklanjuti dengan tindakan arogan moncoret plang masjid, memaksa menggelar seremoni maulid yang dihadiri habaaib dan massa (dimana tradisi ini tidak dilaksanakan oleh Muhammadiyyah), mengganti khathib dan imam secara sepihak, dan lainnya (selengkapnya : http://sangpencerah.id/2015/02/kronologis-penyerobotan-masjid/).
Kasus ini sempat menghebohkan jagad media yang akhirnya dapat diselesaikan secara damai.
2.    Ittihadul Ma’ahid Muhammadiyah (ITMAM/Persatuan Pondok Pesantren Muhammadiyah) yang sedang mengadakan Daurah Tahfidzul-Qur’an (program dua bulan dengan target hafal 30 juz) di Karimunjawa, Jepara; dibubarkan paksa. Diantara alasannya adalah ketiadaan IMB (https://goo.gl/UHHPHk dan https://goo.gl/R4Kj88). Memang terkesan mengada-ada (baca : dibuat agar ada), karena masjid-masjid yang dikelola NU pun banyak yang belum ber-IMB. Passion mereka hanyalah menyasar ke masjid-masjid non-NU.
3.    Mendemo dan menolak pembangunan (kembali) Masjid Imam Ahmad bin Hanbal Bogor yang telah memiliki IMB. Padahal, masjid ini telah berdiri semenjak 2001. Mungkin karena melihat celah peluang menolak masjid ketika masih berdiri kecil, maka ketika masjid dirobohkan untuk direnovasi dengan memperbaharui IMB, peluang itu ada dan tak mereka sia-siakan. ‘Cerdas’. Dengan modal hasutan (wahabi, eksklusif, bukan masjid umum, dll.), terkumpullah massa untuk melakukan demo di kantor Wali Kota (29/8/2017) yang akhirnya atas desakan itu Walikota akan membatalkan IMB Masjid Ahmad bin Hanbal yang telah diperoleh secara sah (https://goo.gl/dcG9zW, https://goo.gl/pddQm5, dan https://goo.gl/NKz576).
4.    Perobohan dan perebutan tanah waqaf Masjid Al-Ikhlash/Baitul-Muttaqin Muhammadiyyah di Dusun Jimus, Desa Pule, Kecamatan Modo, Lamongan pada tahun 1993 oleh sekelompok warga yang merasa mayoritas. Masih di wilayah yang sama, pembangunan masjid baru Muhammadiyyah mengalami berbagai tekanan dan gangguan sebelum akhirnya dapat diresmikan pada tanggal 15 Agustus 2017 (https://goo.gl/cYQG3S dan https://goo.gl/XFS9pj).
Silakan baca kronologisnya di link ini : https://goo.gl/bbeqEM.
5.    Demo pada bulan Mei 2014 terhadap pengurus Mushalla An-Nurjannah Desa Yunyang, Kecamatan Modo, Kab. Lamongan (H. Darim) yang dikatakan ‘mendominasi’ kegiatan masjid. Para pendemo berhasil menonaktifkan H. Darim dan melarangnya menjadi imam. Padahal H. Darim hanya mengaktifkan mushalla yang selama ini cenderung vakum dan kemudian mengadakan pengajaran agama untuk warga sekitar. Kegiatan ini sudah berlangsung selama 14 tahun tanpa ada warga sekitar yang protes dan merasa terganggu. Lalu datanglah kelompok yang mengatasnamakan warga (?) yang melakukan apa yang mereka lakukan.
Setelah 2 bulan dilarang melakukan aktivitas, datang bantuan dari Yayasan Bina Muwahhidin untuk membangunkan masjid di tempat tersebut. Masjid tersebut sekarang telah berdiri dan dinamakan Masjid Jauharo Ali Muhammadiyah (https://goo.gl/sCFFjF). 
6.    Dan yang lainnya.
Ini hanya segelintir contoh yang dapat ditelusuri di internet. Yang lain masih banyak. Apalagi cerita berdasarkan pengalaman individu. Sengaja saya ambilkan mayoritas contohnya adalah kasus Muhammadiyyah vs (oknum) NU, karena lebih gampang diindera dan dibuktikan. Konflik klasik yang sudah berusia 1 abad semenjak kelahirannya.
Warga Muhammadiyyah mengakui Wahabi era dulu sangat diidentikkan dengan mereka (https://goo.gl/U814uX). Begitu juga kaum kaum tradisionalis aswaja yang dalam hal ini diwakili oleh suara Habib Munzir ketika menjawab pertanyaan kaitan Muhammadiyyah dengan Wahabi. Habib Munzir secara jelas menyatakan : “Muhammadiyyah tidak termasuk salah satu dari Madzhab Ahlussunnah waljamaah, karena banyak hal yg mereka tentang, dan Muhammadiyyah ini hanya ada di indonesia saja, di negeri lain dikenal dengan sebutan wahabi, dan faham wahabi ini bertentangan dengan 4 Madzhab Ahlussunnah waljamaah” (https://goo.gl/K4ZUCt atau https://goo.gl/DjUY8Q). Walhasil, kaitan Muhammadiyyah dengan stigma Wahabi di sini valid karena ada statement dari objek maupun subjeknya.
Telinga kaum tradisonalis aswaja (NU) kerap memerah apabila mendeteksi sinyal 4G dakwah Wahabi Muhammadiyyah memberantas TBC, takhayyul-bid'ah-churafat. Menilik sejarahnya, tidak terlalu mengherankan karena pemicu didirikannya NU sendiri diantaranya adalah untuk menghadapi ‘Wahabisme’ yang kala itu – menurut Masdar F. Mas’udi – menguasai Arab Saudi (https://goo.gl/9HyGm7). Sentimen yang terjadi di Timur Tengah ditarik ke dalam negeri untuk mengimbangi ormas yang lebih dahulu lahir yang diklaim sebagai duplikasi Wahabi Saudi.
Konflik fisik berupa penyerangan dan pengusiran oleh oknum Aswaja (NU) yang merasa mayoritas bukan sesuatu yang aneh buat warga Muhammadiyyah. Sebagian konflik ini telah direkam dalam beberapa tulisan/penelitian akademik, diantaranya:
1.    Skripsi berjudul : KOFLIK ANTARA NU DAN MUHAMMADIYAH (1960-2002) (Studi Kasus di Wonokromo Pleret Bantul Yogyakarta) - http://digilib.uin-suka.ac.id/1084/.
2.    Skripsi berjudul : KONFLIK dan INTEGRASI : Antara Penganut NU dan Muhammadiyah di Dusun Sumber Langgeng Kel. Sumberejo, Kec. Pakal, Kota Surabaya.http://repository.unair.ac.id/18382/.
Atau konflik kaum tradisionalis aswaja versus ‘Wahabi’ versi lain, seperti Persis sebagaimana dilakukan Ayub (2011) untuk studi kasus di Kelurahan Mekarsari, Depok (http://repository.uinjkt.ac.id/).
Semakin lama, area konflik semakin melebar sehingga semua orang, kelompok, organisasi, atau ormas non-tradisional dianggap Wahabi di luar border aliran Aswaja (versi mereka). Muhammadiyyah, Persis, Al-Irsyad, dan terakhir Salafi. Objek-objek ini dianggap mengganggu eksistensi kaum tradisionalis aswaja tanah air - kaum yang menganggap diri paling moderat, Pancasilais, pro-kebhinekaan, dan toleran.
Beberapa masalah yang sering dijadikan media provokasi umat antara lain bid’ah, maulid, tahlil, yasinan, qunut Shubuh, tawassul, ngalap berkah (tabaruk), istighatsah, dan beberapa budaya lokal yang dilakukan masyarakat. Mari kita sekilas melihat substansi sebagian alergen mereka:
1.    Bid’ah
Kaum tradisionalis aswaja (NU) maunya ada bid’ah hasanah – selain madzmumah - berdasarkan qaul Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُودَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُودٌ، وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu : (1) bid’ah yang terpuji, dan (2) bid’ah yang tercela. Maka segala hal yang sesuai dengan sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah (bid’ah yang) tercela” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/113].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berdalil dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu ketika shalat tarawih di bulan Ramadlaan:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal itu” [idem].
Adapun non-tradionalis memahami bid’ah itu semuanya tercela, tidak ada yang baik sebagaimana keumuman sabda Nabi :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih[3]].
Juga perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu:
فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَةٌ
“Maka berhati-hatilah kalian dari segala sesuatu yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4611; shahih].
Saya tahu kaum tradisionalis aswaja punya sanggahan. Begitu juga sebaliknya. Masing-masing punya rincian (tafshiil) dari apa yang mereka pahami.
2.    Perayaan Maulid Nabi
Kaum tradisionalis aswaja maunya merayakan maulid Nabi karena dianggap sunnah dan bukti kecintaan mereka kepada beliau . Diantara dalil yang mereka pergunakan adalah hadits :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "قَدِمَ النَّبِيُّ ﷺ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ، فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ "
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu : “Ketika Nabi tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Aasyuuraa’. Lalu beliau bersabda : ‘Apa yang kalian lakukan ?’. Mereka (Yahudi) berkata : ‘Ini adalah hari baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israaiil dari musuh mereka, lalu Muusaa pun berpuasa pada hari itu’. Beliau bersabda : ‘Aku lebih berhak terhadap Muusaa daripada kalian’. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan (orang-orang) untuk berpuasa” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2004 dan Muslim no. 1130].
As-Suyuuthiy menukil perkataan Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahumallah:
أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها ، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا ، قال : وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين
“Hukum asal peringatan maulid adalah bid’ah yang tidak ternukil dari kalangan as-salafush-shaalih yang hidup pada tiga jaman (yang pertama). Namun demikian, peringatan maulid ini mengandung kebaikan dan lawannya. Maka barangsiapa yang , jadi barangsiapa yang berusaha melakukan kebaikan dalam perayaan maulid dan menjauhi lawannya (keburukan), maka itu adalah bid’ah hasanah. Jika tidak seperti itu, maka bukan bid’ah hasanah (tidak bolehdilakukan). Dan nampak bagiku dasar pengambilannya (maulid) atas pokok yang shahih dari riwayat dalam Shahiihain…” [Al-Haawiy lil-Fataawaa].
Kemudian Al-Haafidh menyebutkan riwayat Ibnu ‘Abbaas di atas.
Adapun non-tradisionalis tidak merayakan maulid dan menganggapnya itu bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi , para shahabat, taabi’iin, dan at-baa’ut-taabi’iindari kalangan as-salafush-shaalih– seperti dikatakan Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah di atas. Ibnul-Maajisyuun rahimahullah berkata:
سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"
”Aku mendengar Maalik berkata : ‘Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu’ (QS. Al-Maaidah :5). Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu di jaman Rasulullah beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tishaam oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Seandainya kita berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbaas, maka perbuatan yang seharusnya dilakukan adalah berpuasa, sebagaimana dilakukan Nabi dalam riwayat tersebut. Bukan perayaan maulid Nabi .
3.    Tahlilan dan Yasinan
Konstruksi pendalilan antara tradisionalis aswaja dan non-tradisionalis dalam bab ini polanya hampir sama. Berkisar pada masalah persepsi bid’ah. Masalah menjadi runyam karena sebagian oknum tradisionalis aswaja di tingkat tapak memberikan bumbu provokasi : “Masak berdzikir membaca tahlil dan membaca Al-Qur’an dilarang ?’. Lalu merebaklah bau tak sedap : ‘Wahabi melarang berdzikir dan baca  Al-Qur’an’.
Padahal, bukan dzikir dan baca Al-Qur’annya secara umum yang dilarang non-tradisionalis, akan tetapi pelaziman kaifiyyah-nya. Kejadian ini analog dengan atsar Sa’iid bin Al-Musayyib yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq berikut:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي رِيَاحٍ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ رَأَى رَجُلا يُكَرِّرُ الرُّكُوعَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَنَهَاهُ، فَقَالَ: "يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَيُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَلَى الصَّلاةِ؟ قَالَ: لا، وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلافِ السُّنَّةِ "
Dari Ats-Tsauriy, dari Abu Rayyaah, dari Ibnul-Musayyib : Bahwasannya ia (Ibnul-Musayyib) pernah melihat seorang laki-laki memperbanyak rukuknya setelah terbit fajar, lalu ia melarangnya. Laki-laki tersebut berkata : “Wahai Abu Muhammd, apakah Allah akan mengadzabku dengan sebab shalat (yang aku kerjakan)?”. Ia menjawab : “Tidak, akan tetapi Allah mengadzabmu karena menyelisihi sunnah[4]” [Al-Mushannaf 3/52 no. 4755; shahih – lihat Irwaaul-Ghaliil, 2/236].
Jadi ketika Ibnul-Musayyib mengingatkan shalat yang dilakukan laki-laki itu tidak disyari’atkan, tidak lantas disimpulkan dirinya melarang shalat secara umum. Akan tetapi yang dilarang adalah dirinya menyelisihi petunjuk Rasulullah . Melakukan apa yang tidak dilakukan Nabi , padahal hal yang mendorong beliau untuk itu ada namun tetap tidak beliau lakukan.
Kaum tradisionalis aswaja juga berkata bahwa tahlilan 7 hari berturut-turut ada landasannya dari kaum salaf sebagaimana perkataan Thaawus:
إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ
“Sesungguhnya orang yang meninggal akan terfitnah (diuji) dalam kuburnya selama 7 hari. Dulu mereka (shahabat dan taabi’iin– Abul-Jauzaa’) menyukai untuk memberikan makanan dari mereka (yang meninggal) pada hari-hari tersebut” [Hilyatul-Auliyaa’4/11].
Tapi atsar ini lemah tak bisa dipakai sebagai dalil. Begitu menurut kaum non-tradisionalis.[5]
Masih berkaitan, kaum tradisionalis aswaja sering mengadakan kumpul-kumpul kendurian mayit bersamaan dengan penyelenggaraan tahlilan dan yasinan, sedangkan non-tradisionalis tidak. Kaum non-tradisional mengatakan perbuatan ini bukan sunnah dan termasuk bid’ah yang terlarang. Dalilnya adalah atsar Jariir bin ‘Abdillah Al-Bajaliy radliyallaahu ‘anhu:
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami (para shahabat) menganggap menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) termasuk bagian dari niyahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1612; dishahihkan oleh An-Nawawiy dalam Al-Majmuu’ 5/285, Ibnu Katsiir dalam Irsyaadul-Faqiih 1/241, dan yang lainnya].
Bahkan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ عَلَى الِانْفِرَادِ، لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ، وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ، .....
“Dan aku membenci perbuatan niyaahah(meratap) terhadap mayit setelah kematiannya dan orang yang meratap tersebut menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara tersendiri. Akan tetapi hendaknya ia dihibur dengan sesuatu yang diperintahkan Allah agar bersabar dan mengucapkan kalimat istirjaa’. Dan aku juga membenci berkumpul-kumpul di keluarga di mayit meskipun tidak disertai adanya tangisan, karena hal tersebut akan menimbulkan kesedihan dan membebani materi/bahan makanan (bagi keluarga si mayit)…..” [Al-Umm, 1/248].
4.    Tawassul
Tawassul yang dilakukan kaum tradisionalis aswaja cenderung sangat longgar dengan berbagai bentuknya. Adapun non-tradionalis lebih ketat. Diantara titik perbedaan (dan ini bukan pembatas) adalah masalah tawassul dengan kedudukan/hak Nabi atau orang-orang shalih seperti ucapan : “Aku memohon kepada-Mu ya Allah dengan kedudukan/hak Nabi atau Fulaan…..demikian dan demikian…”.
Tawassul seperti ini memang ternukil dari sebagian ulama. Namun sebagian ulama yang lain melarang dan membencinya sebagaimana dinukil Al-Albaaniy dari kalangan Hanafiyyah rahimahumullah:
فقد جاء في "الدر المختار""2/630"– وهو من أشهر كتب الحنفية – ما نصه: عن أبي حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به، والدعاء المأذون فيه، المأمور به ما استفيد من قوله تعالى: {وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا}. ونحوه في "الفتاوى الهندية""5/280". وقال القُدوري في كتابه الكبير في الفقه المسمى "بشرح الكرخي"في "باب الكراهة": قال بشر بن الوليد حدثنا أبو يوسف قال أبو حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به، وأكره أن يقول: بمعاقد العز من عرشك، أو بحق خلقك، وهو قول أبي يوسف، قال أبو يوسف: معقد العز من عرشه هو الله، فلا أكره هذا، وأكره أن يقول: بحق فلان، أو بحق أنبيائك ورسلك، وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام...."
“Tercantum dalam kitab Ad-Durrul-Mukhtaar (2/630) yang merupakan salah satu kitab masyhurmadzhab Hanafiyyah : ‘Tidak sepatutnya bagi seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan-Nya. Dan doa yang diidzinkan lagi diperintahkan-Nya adalah seperti yang tercantum dalam firman-Nya : Hanya milik Allah al-asmaaul-husnaa, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu (QS. Al-A’raaf ; 180)’. Hal yang semisal terdapat dalam Al-Fataawaa Al-Hindiyyah (5/280).
Telah berkata Al-Quduuriy dalam kitabnya yang besar dalam permasalahan fiqh Syarhul-Karkhiy, bab Al-Karahah : Telah berkata Bisyr bin Al-Waliid : Telah menceritakan kepada kami Abu Yuusuf, ia berkata : Telah berkata Abu Haniifah : ‘Tidak sepatutnya bagi seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan-Nya, dan aku membenci untuk mengatakan : Dengan kemuliaan ‘Arsy-Mu atau Dengan hak makhluk-Mu’.
Dan inilah perkataan Abu Yuusuf : Telah berkata Abu Yuusuf : ‘Jaminan kemuliaan ‘Arsy adalah Allah, oleh karena itu aku tidak membencinya. Namun aku membenci untuk mengatakan : Dengan hak si Fulaan atau Dengan hak para nabi-Mu, para Rasul-Mu, ‘Al-Baitul-Haraam, dan Al-Masy’aril-Haraam’…….” [At-Tawassul, hal. 46-47].
5.    Ngalap Berkah
Sebagian kaum tradisionalis aswaja akar rumput melakukan ngalap berkah pada hal-hal yang tidak ada dalilnya (menurut pandangan non-tradisionalis), lebih cenderung pada tradisi. Misalnya ngalap berkah masyarakat Solo terhadap gunungan kembar hasil bumi sebagaimana pada video di bawah:

Atau ngalap berkah dengan mencium dan mengusap-usap pintu makam di Cirebon (Jawa Barat) dan Mataram (NTB) sebagaimana video di bawah:

Sementara itu, kaum non-tradisionalis mengatakan perbuatan tabarruk di atas terlarang dan menyelisihi sunnah (bid’ah). Bahkan, berpotensi jatuh pada kesyirikan. Para shahabat membencinya sebagaimana atsar yang teriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، "أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ مَسَّ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari ‘Ubaidullah, dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar membenci mengusap kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam[Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juuz-nya no. 27, dan darinya Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/45 dan As-Siyar12/378; shahih].
Terkait dengan atsar Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullahmengatakan :
فصل : ولا يستحب التسمح بحائط قبر النبي صلى الله عليه و سلم ولا تقبيله قال أحمد : ما أعرف هذا قال الأثرم : رأيت أهل العلم من أهل المدينة لا يمسون قبر النبي صلى الله عليه و سلم يقومون من ناحية فيسلمون قال أبو عبد الله : هكذا كان ابن عمر يفعل
“Pasal : Tidak disukai mengusap tembok kubur Nabi dan tidak pula menciumnya. Ahmad berkata : ‘Aku tidak mengetahuinya’. Al-Atsram berkata : ‘Aku melihat ulama dari kalangan penduduk Madiinah tidak mengusap kubur Nabi , dan mereka berdiri dari sisi mengucapkan salam. Abu ‘Abdillah berkata : ‘Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar” [Al-Mughniy, 3/556].
Dalam kitab Kasysyaaful-Qinaa’disebutkan :
اتَّفَقَ السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ سَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ الصَّالِحِينَ فَإِنَّهُ لَا يَتَمَسَّحُ بِالْقَبْرِ وَلَا يُقَبِّلُهُ
“Salaf dan para imam telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang mengucapkan salam kepada Nabi atau selainnya dari kalangan para nabi yang shalih, maka ia tidak mengusap kubur dan menciumnya” [4/439].
6.    Dan lainnya….
Dengan melihat uraian di atas, pendapat yang dipegang kaum non-tradisionalis (baca : Wahabi) mempunyai dasar dan pendahulu di kalangan ulama (salaf). Tentu bukan di sini tempatnya untuk merinci pembahasan tersebut. Di sini saya hanya ingin menunjukkan anatomi pemahaman non-tradisionalis dari (sebagian) perkara yang sering dipermasalahkan. Perkara mereka (tradisionalis aswaja) setuju atau tidak setuju, lain perkara.
Non-tradisionalis secara hakekat bukan ‘aliran modern’ yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pemahaman ulama sebelumnya. Pemahaman non-tradisionalis bukan ‘ujug-ujug’ ada di abad 19.
Lantas, apakah pas kiranya dikarenakan masalah itu kaum tradisionalis aswaja (NU) membikin-bikin provokasi, teror, intimidasi, okupasi/pendudukan tanah waqaf dan masjid, pengusiran, dan semisalnya? – sementara di sisi lain sibuk dengan propaganda toleransi dan kebhinekaan?.
Sebuah paradoks dan ironi yang nyata. Bahkan arogansi dan penjajahan praktek beragama.
Apakah dipikir semua masjid di Nusantara harus menyelenggarakan perayaan maulid, shalawatan, istighatsahan, dan kegiatan lain yang menjadi ciri khas tradisionalis aswaja (NU) yang secara fiqh tidak disepakati non-tradisionalis ?.
Apakah dipikir ketika tradisionalis aswaja meyakini disunnahkannya sesuatu, yang lain harus setuju atau diam ?. Tidak boleh mengatakan terlarang, haram, atau bid’ah ?. Atau,…. kenapa tidak sebaliknya saja mereka yang mengikuti lawannya ?
Apakah pernah kita temui para ulama dulu melakukan seperti apa yang mereka lakukan ?.
Ketika sebagian ulama Syaafi’iyyah mengatakan dibolehkan perayaan maulid, ‘Umar bin ‘Aliy bin Saalim bin Shadaqah Al-Lakhmiy Al-Iskandariy yang masyhur dengan nama Al-Faakihaaniy (lahir 654 H/656 H) dengan terang-terangan berfatwa bid’ah:
أما بعد : فإنه قد تكرر سؤال جماعة من المباركين عن الاجتماع الذي يعمله بعض الناس في شهر ربيع الأول ويسمونه المولد : هل له أصل في الشرع ، أو هو بدعة وحدث في الدين ؟ ؟ وقصدوا الجواب من ذلك مبينا ، والإيضاح عنه معينا ، فقلت وبالله التوفيق : لا أعلم لهذا المولد أصلا في كتاب ولا سنة ، ولا ينقل عمله عن أحد من علماء الأمة الذين هم القدوة في الدين المتمسكون بآثار المتقدمين ، بل هو بدعة أحدثها المبطلون ، وشهوة نفس اعتنى بها الأكالون بدليل أنا إذا أدرنا عليها الأحكام الخمسة : قلنا إما أن يكون واجبا أو مندوبا ، أو مباحا أو مكروها أو محرما ، وليس هو بواجب إجماعا ، ولا مندوبا ، لأن حقيقة المندوب : ما طلبه الشارع من غير ذم على تركه ، وهذا لم يأذن فيه الشارع ، ولا فعله الصحابة ، ولا التابعون ، ولا العلماء المتدينون فيما علمت ، وهذا جوابي عنه بين يدي الله تعالى إن عنه سئلت ولا جائزا أن يكون مباحا ، لأن الابتداع في الدين ليس مباحا بإجماع المسلمين فلم يبق إلا أن يكون مكروها أو محرما
Amma ba’du, sungguh telah berulang kali pertanyaan dilontarkan oleh jama’ah orang-orang yang mendapat keberkahan tentang perkumpulan yang dilakukan sebagian orang di bulan Rabii’ul-Awwal, yang mereka namai dengan Maulid (Nabi) : ‘Apakah ia mempunyai asal/dalil dari syari’at? Ataukah ia merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama ?. Mereka menghendaki jawaban dan penjelasan yang terang tentang perkara tersebut.
Maka aku katakan – wa billaahit-taufiiq - :
Aku tidak mengetahui asal perbuatan maulid dari Al-Kitaab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Perbuatan tersebut juga tidak pernah ternukil dari satupun ulama umat yang menjadi teladan dalam agama dan berpegang pada atsar ulama terdahulu. Bahkan perbuatan itu adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang baathil (kalangan Faathimiyyin – Abul-Jauzaa’), serta syahwat jiwa yang diperhatikan oleh orang-orang yang senang makan. Dalilnya, apabila aku menghendaki hukum-hukum syar’iyyah, maka kami katakan : kemungkinan ia wajib, manduub (sunnah), mubah, makruh, atau haram. Perbuatan (maulid) itu bukan termasuk wajib secara ijmaa’. Bukan pula manduub, karena hakekat manduub adalah sesuatu yang dituntut oleh Syaari’ (Allah) tanpa adanya celaan jika meninggalkannya. Adapun perbuatan ini (yaitu maulid) tidaklah diizinkan oleh Syaari’ (Allah), tidak pernah dilakukan para shahabat, taabi’iin, dan ulama yang dijadikan pegangan dalam agama sepanjang pengetahuanku. Inilah jawabanku di hadapan Allah ta’ala jika nanti aku ditanya tentang permasalahan itu. Tidak boleh menjadikan perkara tersebut sesuatu yang mubah, karena berbuat bid’ah dalam agama bukanlah perkara mubah berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin. Oleh karena itu, tidaklah tersisa kecuali perbuatan itu dihukumi makruh atau haram........” [Al-Maurid fii ‘Amalil-Maulid, hal. 20-22, Maktabah Al-Ma’aarif, Riyaadl, Cet. 1/1407].
Kita dapat lihat bersama, para ulama tak menjadi bisu dan dipaksa bisu oleh lainnya.
Ketika Asy-Syaafi’iy rahimahullah mengatakan sunnahnya qunut Shubuh secara terus-menerus, tak ternukil dari beliau larangan untuk menyelisihi pendapatnya. At-Tirmidziy rahimahullah memaparkan fakta masa silam dalam permasalahan ini:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ وَغَيْرِهِمُ الْقُنُوتَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وقَالَ أَحْمَدُ، وَإِسْحَاق: لَا يُقْنَتُ فِي الْفَجْرِ إِلَّا عِنْدَ نَازِلَةٍ تَنْزِلُ بِالْمُسْلِمِينَ، فَإِذَا نَزَلَتْ نَازِلَةٌ فَلِلْإِمَامِ أَنْ يَدْعُوَ لِجُيُوشِ الْمُسْلِمِينَ
“Para ulama berbeda pendapat mengenai qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi dan selain mereka berpendapat (masyru’-nya) qunut pada shalat Shubuh. Itu merupakan perkataan Asy-Syaafi’iy. Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaaq (bin Rahawaih) berkata : ‘Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendoakan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”
وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ، وقَالَ سفيان الثوري: إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ، وَاخْتَارَ أَنْ لَا يَقْنُتَ، وَلَمْ يَرَ ابْنُ الْمُبَارَكِ الْقُنُوتَ فِي الْفَجْرِ،
“(Hadits Abu Maalik Al-Asyja’iy di atas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyaan Ats-Tsauriy berkata : ‘Apabila seseorang melakukan qunut di waktu shalat Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’. Ia (Ats-Tsauriy) memilih untuk tidak qunut. Ibnul-Mubaarak tidak berpendapat adanya qunut pada shalat Shubuh” [Jaami’ At-Tirmidziy, 1/426-427].
Semua berbicara sesuai dengan ilmu dan ijtihadnya. Bebas berpemahaman sesuai dengan koridor keilmuan.
Tapi mari kita lihat sebagian gambaran realitas di lapangan – yang sebenarnya bagi non-tradisionalis – tak terlalu dibawa pikiran:

Tak begitu masalah, tapi silakan rasakan taste-nya…
Coba perhatikan pula model rekayasa lawakan dai tentang anak yang mau membunuh bapaknya dalam video di bawah (00:58 – 01:30):

Semua aliran Islam, semua sesat kecuali NU katanya (he he he he….– menit 02.22 – 02.43). Dai di atas juga mencontohkan sesuatu yang sangat merendahkan Muhammadiyyah – yang mungkin kalau benar ceritanya itu – sifatnya kasuistik. Tentang kasus siswi sekolah Muhammadiyyah yang ‘meteng’ (hamil) 4 bulan karena dikerjai temannya (02:50 – dst). Tapi kalau madrasah yang dibina NU, insya Allah tidak ada, kata beliau[6]. Sangat mudah sebenarnya membantah klaim tak berbobot ini, tapi biarlah.
Yang seperti ini banyak.
Pengurus NU mengeluh banyak masjid NU yang ‘direbut’ oleh orang selain NU. Modusnya katanya:
“munculnya seseorang yang dengan sukarela membantu membersihkan masjid, lalu membantu adzan, diteruskan dengan mengajak temannya untuk menjadi khotib dan akhirnya merubah seluruh kepengurusan takmir masjid dan tatanan peribadatan yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Kemunculan kasus seperti ini akhirnya menimbulkan resistensi di masjid-masjid yang lain yang sebelumnya cukup terbuka dengan alasan untuk menjaga eksistensi peribadatan yang sudah ada dan diyakini kebenarannya”
“Banyak masjid dan mushola NU yang direbut mereka. Istilahnya, mereka tidak bisa membangun masjid sendiri, bisanya cuma merebut masjid milik orang lain. Ingin enaknya sendiri,” ujar Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars itu”
Mari kita nalar. Seandainya masjid tersebut aktif dan jama’ah NU konsisten, tentu tidak terjadi apa yang mereka namakan ‘perebutan’. Kenyataan di lapangan dari istilah ‘perebutan’ itu lebih ke arah revitalisasi masjid yang sebelumnya minim jama’ah, vakum kegiatan, dan vakum kepengurusan. Atau, warga sekitar masjid atau jama’ah masjid tidak (lagi) didominasi orang NU. Ada perubahan dan dinamika. Anehnya, setelah aktif dan ramai jama’ah, sebagian oknum ‘nun jauh di sana’ yang tidak menjadi bagian dari masjid tersebut merasa direbut masjidnya. Dalam sebagian kasus, lantas rame-rame galang massa mendemo orang yang mengaktifkannya (sebagaimana yang dialami H. Darim yang disebutkan sebelumnya). Ketika publikasi ke khalayak, merekalah yang (seakan) merasa didhalimi para perebut masjid itu. Memang menyedihkan dan sekaligus mengesalkan.
Tapi klaim tersebut sangat dipahami. Jangankan yang tidak ‘punya’ masjid, yang jelas-jelas ‘punya’ masjid saja dapat mereka duduki paksa dan didemo untuk dihentikan kegiatannya.
Mungkin, kegusaran mereka bertambah dengan kehadiran beberapa stasiun TV dan Radio dakwah ‘Wahabi’, semisal TV dan Radio RODJA[7]. Alhamdulillah, TV dan Radio Rodja mendapatkan animo sangat besar dari masyarakat hingga ke wilayah pedalaman.[8]
Seandainya segala kegusaran mereka hanya ditindaklanjuti di tataran ilmiah (bantahan), tak ada soal. Ataupun maksimal, mereka katakan ‘Wahabi’ sesat, itu pun tak begitu merisaukan karena memang telah eksis semenjak jaman purba.
Kita tak pernah memaksa mereka untuk mengatakan ‘Wahabi’ itu baik hati, tidak sombong, dan gemar menabung. Tapi kiranya, jangan ikuti semua itu dengan hasutan, provokasi, ngarang cerita alias ndabul, demonstrasi, pengambilalihan paksa (secara fisik) tanah waqaf dan masjid, atau perobohan masjid seperti yang sudah-sudah. Ahmadiyyah yang jelas-jelas kafir dapat nyaman dengan perlindungan Anshor/Banser[9], tapi ‘Wahabi’ yang statusnya masih muslim selalu merasa gelisah bertetangga dengan mereka. Rasa-rasanya, sangat jarang terdengar ormas NU, para habaaib, dan pasukan Banser yang konon sakti mandraguna melindungi orang-orang Wahabi, atau yang belakangan mereka sebut ‘Salafi’.
Ironi toleransi pilih kasih…..
‘Wahabi’ yang katanya suka mengkafirkan, malah sering mengkampanyekan ‘peperangan’ terhadap golongan takfiri, diantaranya ISIS, LDII, dan yang lainnya. LDII, kelompok takfiri produk lokal, hampir tak tersentuh oleh kaum tradisionalis. ‘Wahabi’ bermitra dengan kepolisian untuk melakukan deradikalisasi dan detakfirisasi. Ini fakta, bukan sekedar ‘lamis-lamis lambe’ alias lips service. Dai ‘Wahabi’ sering dipanggil ngisi ceramah agama bersama pejabat negara atau di lembaga milik negara[10].
Wallaahul-musta’aan….

[abul-jauzaa’ – 19 Dzulhijjah 1438].




[1]     Baca berita di link : https://goo.gl/63HTGK dan https://goo.gl/ScGtqv
[2]     Misalnya dalam acara peringatan 40 hari kematian Gus Dur (https://goo.gl/aPwLTq), haul Gus Dur (https://goo.gl/sCx5BD), haul Bung Karno (https://goo.gl/LnwjcL), aksi keprihatinan bangsa (https://goo.gl/c2dAxY), peringatan HUT RI (https://goo.gl/DAHt6C), keprihatinan terhadap kerusuhan (https://goo.gl/dhCeYR), dan yang lainnya.
[4]     Ibnul-Musayyib memahami dari sunnah Nabi bahwa setelah adzan Shubuh, yang ada hanyalah shalat sunnah dua raka’at saja sebagaimana riwayat:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لا صَلاةَ بَعْدَ النِّدَاءِ، إِلا رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ "
Dari Ats-Tsauriy, dari ‘Abdurrahman bin Harmalah, dari Ibnul-Musayyib, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Tidak ada shalat setelah adzan kecuali dua raka’at fajr” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/53 no. 4756; shahih].
[5]     Silakan baca pembahasannya pada artikel Atsar Thaawuus tentang Anjuran Tahlilan 7 Hari Berturut-Turut.
[6]     Berikut diantara contoh bagaimana sebagian oknum tradisionalis aswaja membuat materi ‘Wahabi’ masuk pendidikan dasar:

Sumber foto : PR anak kelas IV MI pada akun FB Wahyu Surinto
Silakan rasakan taste-nya.
[8]     Sebenarnya NU memiliki stasiun TV sendiri misalnya Aswaja TV. Namun demikian, ada beberapa kontent yang secara spesifik membedakannya dengan TV Rodja (yang digembosi). Misalnya, Aswaja TV menampilkan shalawatan, lagu dan musik (religi), tertampilkannya wanita yang tidak menutupi aurat,
[10]    Contoh:
a.    Prof. Yunahar Ilyas duet dengan Menteri Agama dalam pengajian Ramadlan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta - https://goo.gl/M6jU7w.
b.    Dr. Firanda Andirja mengisi pengajian di Masjid Darul Ilmi Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta - https://www.youtube.com/watch?v=yifwVim9Gz8
c.     dll.

Atsar ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu tentang Taat terhadap Pemimpin

$
0
0
Suwaid bin Ghafalah pernah berkata :
قَالَ لِي عُمَرُ: "يَا أَبَا أُمَيَّةَ، إنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَلْقَاكَ بَعْدَ عَامِي هَذَا، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ، إنْ ضَرَبَكَ فَاصْبِرْ، وَإِنْ حَرَمَكَ فَاصْبِرْ، وَإِنْ أَرَادَ أَمْرًا يَنْتَقِصُ دِينَكَ، فَقُلْ: سَمْعٌ وَطَاعَةٌ، دَمِي دُونَ دِينِي، فَلَا تُفَارِقِ الْجَمَاعَةَ".
‘Umar (bin Al-Khaththaab) pernah berkata kepadaku : “Wahai Abu Umayyah, sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih bisa bertemu denganmu setelah tahun ini. Maka, mendengar dan taatlah, meskipun yang memerintahmu seorang budah Habsyiy yang terpotong hidungnya. Meskipun ia memukulmu, bersabarlah. Meskipun ia menahan hakmu, bersabarlah. Meskipun ia menghendaki sesuatu yang mengecilkan/meremehkan agamamu, maka katakanlah : ‘Aku tetap mendengar dan taat (dengan pengorbanan) darahku, namun tidak agamaku’. Janganlah engkau memisahkan diri dari Al-Jamaa’ah”.

Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 6/544, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa8/159, Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 54, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah1/161 no. 74, Ad-Daaniy dalam As-Sunanul-Waridah no. 143, Ibnu Abi Zamaniin dalam Ushuulus-Sunnah no. 237, Ibnu Zanjuyah dalam Al-Amwaalno. 30, At-Tibriziy dalam An-Nashiihah no. 53, Nu’aim bin Hammaad dalam Al-Fitanno. 388; dari beberapa jalan semuanya dari Ibraahiim bin ‘Abdil-A’laa, dari Suwaid bin Ghafalah.
Sanad atsar ini SHAHIH, para perawinya tsiqah, sanadnya bersambung, tanpa ada ‘illatmaupun syudzuudz.
Sebagian kecil orang belakangan mengatakan riwayat ini lemah karena tafarrud Ibraahiim bin ‘Abdil-A’laa (sebagaimana dikatakan Khaalid Al-Haayik, yang kemudian diikuti orang yang ingin mengikutinya), sehingga dihukumi munkar. Pelemahan ini terlalu mengada-ada, karena:
1.    Ibraahiim bin ‘Abdil-A’laa adalah perawi tsiqah tanpa ternukil – sependek pengetahuan saya – ada ulama yang menjarhnya. Ahmad bin Hanbal, An-Nasaa’iy, Al-‘Ijliy, Ibnu Hibbaan, Adz-Dzahabiy, dan Ibnu Hajar mentsiqahkannya. Al-Fasawiy mengatakan : “Tidak mengapa dengannya”. Hal serupa dikatakan oleh Ibnu Ma’iin (sebagaimana diketahui bahwa laisa bihi ba’s yang dikatakan Ibnu Ma’iin setara dengan tsiqah).
Syu’bah meriwayatkan darinya, dimana secara umum periwayat Syu’bah ini dapat dianggap sebagai tautsiq. ‘Abdurrahmaan bin Mahdi berkata dari Israaiil, bahwa ia menuliskan surat kepada Syu’bah yang isinya : ‘Tulislah kepadaku hadits Ibraahiim bin ‘Abdil-A’laa dengan tulisan tanganmu’. Maka Syu’bah mengutus utusan untuk menyerahkan tulisan itu kepadanya (Israaiil)”.
‘Abdullah bin Ahmad berkata : Ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkata : Ibnu Mahdiy berkata : “Aku mendengar Sufyaan berkata : ‘Abdul-A’laa dari Ibnul-Hanafiyyah’. Ia (Ibnu Mahdiy) berkata : ‘Kami berpendapat bahwa riwayat itu merupakan kitab Ibraahiim bin ‘Abdil-A’laa, tsiqah”. Ayahku berkata : “Syu’bah meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Abdil-A’laa” [Al-‘Ilal no. 1514].
2.    Ibraahiim adalah perawi yang menerima riwayat langsung dari Suwaid yang mengalami cerita. Muslim mengambil riwayat Ibraahiim dari Suwaid bin Ghafalah dalam kitab Shahih-nya sebagai mutaba’ahtentang hadits mencium hajar aswad.
Dalam kasus hadits mencium hajar aswad, Al-Hayik mengambil sampel pelemahan tafarud Ibraahim dalam hadits mencium hajar aswad pada lafadh (رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بِكَ حَفِيًّا). Kemudian Al-Hayik berhujjah dengan komentar Al-Bazzaar setelah membawakan riwayat ini : “Lafadh ini tidak kami ketahui diketahui dari ‘Umar kecuali dari hadits Suwaid bin Ghafalah dari ‘Umar”. Al-Hayik memahaminya sebagai bentuk pelemahan dan kemudian menganalogkan dengan kasus atsar di atas.
Ini tidak benar. Al-Bazzaar sendiri hanya menyebutkan tafarrud-nya saja, tidak lebih; dan sebagaimana diketahui tidak semua riwayat yang rawinya bertafarrud itu lemah. An-Nasaa’iy telah memilih riwayat hadits mencium hajar aswad Ibraahim dari Suwaid dalam Al-Mujtabaasetelah membawakannya dalam Al-Kubraa.
Dalam kasus atsar yang lain terkait tafarrud Ibraahiim dari Suwaid dibawakan Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 179 :
أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ، وَحَدَّثَنِي ابْنُ حَنْبَلٍ، عَنِ ابْنِ مَهْدِيٍّ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الأَعْلَى، عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ فِي قَوْلِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَلُّوهُمْ بَيْعَهَا ؛ الْخَمْرَ، وَالْخِنْزِيرَ، نُعَشِّرُهَا.
قلت: كيف إسناده؟ قَالَ: إسناد جيد
Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdul-Malik; dan telah menceritakan kepadaku Ibnu Hanbal, dari Ibnul-Mahdiy, dari Sufyaan, dari Ibraahiim bin ‘Abdil-A’laa, dari Suwaid bin Ghafalah tentang perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : ‘Biarkanlah mereka (orang Yahudi dan Nashrani) memperjualbelikan khamr dan babi, dan kita pungut pajaknya’.
Aku (Al-Khallaal) berkata : “Bagaimana sanadnya ?”. Ia (Ahmad) berkata : “Sanad yang jayyid (bagus)” [selesai].
Artinya, Ahmad bin Hanbal menshahihkan sanad atsar ini dimana Ibraahiim bin 'Abdil-A'laa bertafarrud dalam periwayatan dari Suwaid, dari 'Umar. Jika ada ‘illatatau syadz yang menjatuhkan riwayat tersebut, tentu ia (Ahmad) akan menyebutkannya.
Ini hukum asal riwayat Ibraahiim dari Suwaid.
Walhasil, atsar ‘Umar ini shahih dan menjadi hujjah bagi Ahlis-Sunnah.
Atsar ini menunjukkan bagaimana pemahaman ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhudalam hal ketaatan terhadap pemimpin (muslim) yang dhalim. Sangat berkesesuaian dengan pemahaman Ahlus-Sunnah yang tertulis dalam banyak kutub ‘aqiidah. Berkesesuaian juga dengan hadits yang dibawakan oleh Muslim dalam Shahiih-nya:
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan taat[1]” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1847].
Catatan : Meski sebagian ulama melemahkan sanad hadits ini, namun maknanya shahih.
Inilah manhaj ketaatan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu terhadap waliyul-amrimuslim yang banyak diremehkan, ditertawakan, dan dijadikan bahan lelucon para pahlawan tanpa tanda jasa.
Wallaahu a'lam.
[Abul-Jauzaa’ – dari status FB tanggal 19 Desember 2016].

Atsar Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahumallah tentang Bid’ah

$
0
0
Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
حدثنا أحمد بن عمر بن أنس نا الحسين بن يعقوب نا سعيد بن فحلون نا يوسف بن يحيى المغامي نا عبد الملك بن حبيب أخبرني بن الماجشون أنه قال قال مالك بن أنس من أحدث في هذه الأمة اليوم شيئا لم يكن عليه سلفها فقد زعم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خان الرسالة لأن الله تعالى يقول {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} فما لم يكن يومئذ دينا لا يكون اليوم دينا

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Umar bin Anas : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin Ya’quub : Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid bin Fahluun : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuusuf bin Yahyaa Al-Maghaamiy : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Habiib : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnul-Maajisyuun, ia berkata : Telah berkata Maalik bin Anas : “Barangsiapa yang mengada-adakan pada umat ini sesuatu yang tidak ada pendahulunya (dari kalangan salaf) pada hari ini, sungguh ia telah menuduh Rasulullah mengkhianati risalah, karena Allah ta’alaberfirman : ‘Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’ (QS. Al-Maaidah : 3). Apa saja yang bukan perkara agama pada waktu itu (yaitu jaman Nabi dan para shahabat), maka bukan pula perkara agama pada hari ini” [Al-Ihkaam fii Ushuulil-Ahkaam, 6/225 & 791].
Keterangan para perawinya adalah sebagai berikut:
1.    Ahmad bin ‘Umar bin Anas
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Ibnu Dalhaats, al-imaam, al-haafidh, al-muhaddits, at-tsiqah, Abul-‘Abbaas Ahmad bin ‘Umar bin Anas bin Dalhaats bin Anas bin Faldzaan bin ‘Umar bin Muniin Al-‘Udzriy Al-Andalusiy”. Lahir tahun 393 H dan wafat tahun 478 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 18/567 no. 296].
2.    Al-Husain bin Ya’quub
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Asy-syaikh,al-faqiih, al-mu’ammar (berumur panjang), Abu ‘Aliy Al-Husain bin ‘Abdillah bin Al-Husain bin Ya’quub Al-Andalusiy Al-Bajaaniy Al-Maalikiy”. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Khaulaaniy berkata : “Ia mencari ilmu semenjak awal, banyak mendengar/menerima hadits, termasuk dari kalangan ulama, panjang umurnya, dijadikan hujjah…”. Lahir tahun 320 H dan wafat tahun 421 H [idem, 17/377-378 no. 238].
3.    Sa’iid bin Fahluun
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Asy-syaikh, ats-tsiqah, al-imaam, Abu ‘Utsmaan Sa’iid bin Fahluun Al-Andalusiy Al-Ilbiiriy… Seorang yang shaduuq, jarang rambutnya. Wafat tahun 346 H” [idem, 16/51 no. 37].
4.    Yuusuf bin Yahyaa Al-Maghaamiy
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Al-‘allaamah, al-muftiy, Syaikhul-Maalikiyyah (pembesar ulama kalangan Maalikiyyah), Abu ‘Amru Yuusuf bin Yahyaa Al-Azdiy Al-Andalusiy Al-Qurthubiy Al-Maalikiy, dikenal dengan nama Al-Maghaamiy… Penghulu dalam bidang fiqh tak ada bandingnya, ahli bahasa Arab lagi fasih…. Muhammad Al-Qiiruwaaniy berkata : ‘Abu ‘Umar Al-Maghaamiy seorang yang tsiqah lagi imam, menghimpun beberapa cabang keahlian ilmu, ‘aalim dalam hal pembelaan terhadap madzhab penduduk Hijaaz, faqih….. Wafat tahun 288 H” [idem, 13/336-337 no. 155].
5.    ‘Abdul-Malik bin Habiib
Para ulama berbeda pendapat tentang dirinya.
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Al-imaam, al-‘allaamah, seorang faqih negeri Andalus, Abu Marwaan ‘Abdul-Malik bin Habiib bin Sulaimaan bin Haaruun bin Jaahimah bin ‘Abbaas bin Mirdaas As-Sulamiy Al-‘Abbaasiy Al-Andalusiy Al-Qurthubiy Al-Maalikiy” [idem, 12/102 no. 32].
Ibnu Wadldlah dan Baqiy bin Makhlad telah meriwayatkan dimana diketahui bahwa keduanya tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang tsiqah menurut mereka [Liisaanul-Miizaan 5/285 dan Tahdziibut-Tahdziib, 6/390].[1]
Ketika sampai berita kematiannya kepada Suhnuun, maka ia (Suhnuun) berkata : “Telah meninggal seorang ‘aalim negeri Andalus. Bahkan – demi Allah - seorang ‘aalim dunia”. Muhammad bin ‘Umar bin Lubaabah berkata : “Ibnu Habiib seorang ‘aalimnegeri Andalus…”. ‘Utbiy berkata : “Aku tidak mengetahui seorangpun yang menulis madzhab penduduk Madiinah seperti dirinya. Ia memiliki banyak tulisan/karya seperti Al-Waadlihah, Al-Jawaami’, Fadlaailush-Shahaabah, Ar-Raghaaib, dan lainnya”.
Ibnul-Qaradliy berkata : “Mempunyai kunyah Abu Marwaan. Ia seorang yang haafidhdalam bidang fiqh, namun ia tidak mengetahui ilmu hadits serta tidak mengenal hadits yang shahih maupun yang dla’if”. Di lain tempat ia berkata : “Ia seorang yang faqih, ahli nahwu, penyair, ahli ‘aruudl, ahli nasab, panjang lisannya (jelek lisannya), dan pemimpin dalam cabang-cabang keilmuan”.
Ibnul-Qaththaan berkata : “Seorang mutahaqqiq dalam menjaga madzhab Maalik, menolongnya, dan membelanya. Ia menjumpai para pembesar dari kalangan murid-murid Maalik bin Anas”.
Ibnu Hazm berkata : “Tidak tsiqah (ada beberapa hadits ‘Abdul-Malik yang diingkari oleh Ibnu Hazm)”. Ibnu Sayyidin-Naas menjelaskan kelemahan ‘Abdul-Malik bin Habiib bahwasannya ia seorang shahafiy (sering salah dalam penulisanhadits)[2]. Ia kemudian berkata : “Dirinya dilemahkan lebih dari seorang ulama, dan sebagiannya menuduhnya melakukan kedustaan”. Terkait dengan sifat ‘shahafiy’, Adz-Dzahabiy berkomentar : ‘Tidak diragukan dirinya seorang shahafiy. Adapun (kemungkinan) unsur kesengajaan, maka tidak”.
Ad-Daaraquthniy mendla’ifkan dirinya dalam Gharaaibu Maalik. ‘Iyaadl dalam Al-Madaarik menyebutkan bahwa ‘Abdul-A’laa bin Wahb mendustakannya atas apa yang ia riwayatkan dari Ashbagh dan yang lainnya. Al-Baajiy mengatakan bahwa Ibnu ‘Abdil-Barr mendustakannya. Ibnu ‘Abdil-Barr menyebutkan riwayat ‘Abdul-Maalik dari Asad bin Muusaa yang diingkarinya.
Para ulama menuduhnya dalam hal penyimakan haditsnya dari Asad bin Muusaa, dan ia (‘Abdul-Maalik) mengklaim periwayatannya itu dengan ijazah. Ahmad bin Sa’iid Ash-Shadafiy berkata : “Ia dicerca karena membolehkan mengambil periwayatan dengan munaawalah tanpa adanya perjumpaan/pertemuan.
Dikatakan bahwa Ibnu Abi Maryam pernah menjumpai dirinya dan mendapatkan di sisinya kitab-kitab Asad dalam jumlah banyak. Maka Ibnu Abi Maryam berkata kepadanya : “Kapan engkau mendengar riwayat itu (darinya)?”. ‘Abdul-Malik bin Habiib berkata : “Shahabatnya telah mengijazahkannya kepadaku”. Maka Ibnu Abi Maryam mendatangi Asad dan bertanya kepadanya tentang hal tersebut, lalu Asad menjawab : “Aku tidak melihat adanya qira’ah (darinya), lantas bagaimana aku mengijazahkannya ?. Dirinya hanyalah mengambil kitab-kitabku untuk kemudian menulisnya (ulang)”. Namun Ahmad bin Khaalid mengomentari bahwa penetapan Asad baginya dengan hal tersebut merupakan bentuk ijazah itu sendiri.
Wafat tahun 238 H/239 H pada usia 53/56 tahun.
[selengkapnya : Lisaanul-Miizaan 5/255-259 no. 4901 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 12/102-107 no. 32].
Tarjiih :
Dirinya lemah dalam hadits, karena terbukti ada pengingkaran para ulama dalam hadits-hadits yang diriwayatkannya. Ia memang bukan ahli dalam bidang hadits, namun tidak benar jika dinisbatkan kepadanya kedustaan. Ibnu Wadldlah dan Baqiy bin Makhlad yang notabene adalah dua orang ulama besar negeri Andalus – satu negeri dengan ‘Abdul-Malik – meriwayatkan darinya, dan tidak mungkin mereka meriwayatkan dari seorang pendusta.
Meski demikian, 'Abdul-Malik bin Habiib adalah pembesar/imam madzhab Maalikiyyah generasi awal. Di sini ia meriwayatkan ilmu madzhabnya dari Maalik bin Anas melalui perantaraan Ibnu-Maajisyuun (akan dituliskan keterangan ringkas tentangnya di bawah). ‘Abdul-Maalik bertemu dengan pembesar dari kalangan murid Maalik bin Anas, diantaranya Ibnul-Maajisyuun. Periwayatannya dalam madzhab Maalik terpercaya dan diterima para ulama. Sebagai bukti, kitabnya yang berjudul Al-Waadlihah merupakan kitab utama dalam madzhab Maalikiyyah selain Al-Mudawwanah.
Oleh karena itu, dirinya tsiqah dalam periwayatan ucapan Maalik (melalui perantara Ibnul-Maajisyuun).
6.    Ibnul-Maajisyuun
Sama seperti ‘Abdul-Malik bin Habiib, dirinya mendapat sedikit kritikan dalam hadits, namun terpercaya dalam periwayatan fiqh Maalik bin Anas.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “’Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Abi Salamah Al-Maajisyuun, Abu Marwaan Al-Madaniy, al-faqiih, mufti kota Madiinah. Seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa kekeliruan dalam hadits” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 624-625 no. 4223].
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Al-‘allaamah, al-faqiih, mufti kota Madiinah, Abu Marwaan ‘Abdul-Malik bin Al-Imaam ‘Abdil-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Abi Salamah bin Al-Maajisyuun At-Taimiy maulaahumAl-Madaniy Al-Maalikiy. Murid Al-Imaam Maalik (bin Anas)”.
Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : “Ia seorang yang faqih lagi fasiih. Fatwa berpusat pada dirinya di jamannya, dan ayahnya sebelum dirinya. Ia seorang yang buta”.
Abu Daawud berkata : “Ia tidak paham tentang hadits, yaitu bukan ahlinya, namun ia seorang terpercaya untuk dirinya sendiri”
Wafat tahun 213 H/214 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/359-360 no. 92].
Kesimpulan : Sanad atsar Maalik bin Anas rahimahumallahadalah shahih.
Ini adalah madzhab Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahumallah dalam menyikapi perkara baru dalam agama yang diada-adakan oleh (sebagian) manusia belakangan. Oleh karenanya, Ibnu Wadldlah Al-Andalusiy rahimahullah berkata:
وَقَدْ كَانَ مَالِكٌ يَكْرَهُ كُلَّ بِدْعَةٍ، وَإِنْ كَانَتْ فِي خَيْرٍ
“Dan sungguh Maalik (bin Anas) membenci semua bid’ah meskipun bid’ah tersebut dalam kebaikan” [Al-Bida’ wan-Nahyu ‘anhaa, hal. 81].
Maalik bin Anas rahimahullah sangat besar wara’-nya untuk tidak menyelisihi sunnah Rasulullah dengan pendapat pribadinya.
عَنْ عُثْمَان بْن عُمَرَ، : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى مَالِكٍ فَسَأَلَهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ، فَقَالَ لَهُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ؟ فَقَالَ مَالِكٌ: فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ "
Dari ‘Utsmaan bin ‘Umar : Datang seorang laki-laki kepada Maalik (bin Anas) untuk bertanya kepadanya satu permasalahan. Lalu Maalik berkata kepadanya : “Telah bersabda Rasulullah begini dan begitu”. Laki-laki itu berkata : “Bagaimana pendapatmu ?”. Maka Maalik menjawab : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An-Nuur : 63)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 236, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’6/326, dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 294].
Maalik bin Anas rahimahumallah meninggalkan dan membenci perkataan dan perbuatan dalam agama yang tidak dikatakan/dilakukan salaf.
Al-Husain bin Al-Waliid rahimahullah berkata:
لقيت مالك بن أنس فسألته عن حديث، فقال: لقد طال عهدي بهذا الحديث، فمن أين جئت به؟ قلت: حَدَّثَنِي به عنك إبراهيم بن طهمان، قَالَ: أبو سعيد؟ كيف تركته؟ قلت: تركته بخير، قَالَ: هو بعد يقول: أنا عند الله مؤمن؟ قلت له: وما أنكرت من قوله يا أبا عبد الله؟ فسكت عني وأطرق ساعة، ثم قَالَ: لم أسمع السلف يقولونه
“Aku menemui Maalik bin Anas lalu aku tanyakan kepadanya tentang sebuah hadits. Ia (Maalik) berkata : ‘Sungguh telah lama waktuku dengan hadits ini. Darimana engkau dapatkan hadits itu ?’. Aku katakan : ‘Telah menceritakan kepadaku hadits itu Ibraahiim bin Thahmaan darimu’. Maalik berkata : ‘Abu Sa’iid?[3]. Bagaimana (keadaannya ketika) engkau meninggalkannya?’. Aku katakan : ‘Aku meninggalkannya baik-baik saja’. Maalik berkata : ‘Dirinya setelah mengatakan aku di sisi Allah adalah seorang mukmin ?’[4].  Aku katakan kepada Maalik : ‘Lantas apa yang engkau ingkari dari perkataannya itu wahai Abu ‘Abdillah ?’. Maka ia pun diam dariku sejenak, lalu berkata : ‘Aku tidak pernah mendengar salaf mengatakannya” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad7/16 dan Ad-Duulaabiy dalam Al-Kunaa no. 1054].
Ja’far bin ‘Abdillah rahimahumallahberkata:
جاء رجل إلى مالك بن أنس يعني يسأله عن قوله : الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كيف استوى؟ قال فما رأيته وجد من شيء كوجده من مقالته ، وعلاه الرحضاء ، وأطرق القوم ؛ فجعلوا ينتظرون الأمر به فيه ، ثم سُرِّي عن مالك فقال: ( الكيف غير معقول، والاستواء غير مجهول ، والإيمان به واجب ، والسؤال عنه بدعة ، وإني لأخاف أن تكون ضالاً ) ثم أمر به فأخرج
“Datang seorang laki-laki kepada Maalik bin Anas, yaitu menanyakan kepada beliau tentang firman Allah : ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’ ; bagaimana istiwaa’-nya Allah itu ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada orang itu. Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang akan terjadi. Kemudian setelah keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepada adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku takut kamu berada dalam kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari majelisnya”[5][‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 38-39].
Seandainya perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang belakangan itu baik, niscaya salaf telah melakukannya. Dalam hal ini, Al-Baghawiy rahimahullah menyebutkan perkataan Maalik rahimahullah terkait tahdzir-nya terhadapilmu kalam dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya:
رَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ مَالِكٍ: لَوْ كَانَ الْكَلامُ عِلْمًا، لَتَكَلَّمَ فِيهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ، كَمَا تَكَلَّمُوا فِي الأَحْكَامِ وَالشَّرَائِعِ، وَلَكِنَّهُ بَاطِلٌ يَدُلُّ عَلَى بَاطِلٍ.
‘Abdurrahmaan bin Mahdiy meriwayatkan dari Maalik, (ia berkata) : “Seandainya ilmu kalam itu adalah ilmu, niscaya para shahabat dan taabi’iin telah membicarakannya sebagaimana mereka membicarakan berbagai hukum dan syari’at[6]. Akan tetapi ilmu kalam itu bathil yang menunjukkan pada kebathilan[7]” [Syarhus-Sunnah, 1/217].
Ahlul-bid’ah – menurut Maalik bin Anas rahimahullah– adalah orang-orang yang merasa lebih berilmu daripada salaf, sok tahu dalam perkara agama, dan sering offside dengan tidak diam terhadap sesuatu yang salaf diam terhadapnya.
Asyhab bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahumallah berkata:
سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، يَقُولُ: "إِيَّاكُمْ وَالْبِدَعَ، قِيلَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، وَمَا الْبِدَعُ؟، قَالَ: أَهْلُ الْبِدَعِ الَّذِينَ يَتَكَلَّمُونَ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ وَصِفَاتِهِ وَكَلَامِهِ وَعِلْمِهِ وَقُدْرَتِهِ، وَلَا يَسْكُتُونَ عَمَّا سَكَتَ عَنْهُ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ "
Aku mendengar Maalik bin Anas berkata : “Berhati-hatilah kalian terhadap bid’ah-bid’ah”. Dikatakan : “Wahai Abu ‘Abdillah, apakah bid’ah itu ?”. Ia menjawab : “Ahlul-bida’ adalah orang-orang yang berbicara tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, kalaam-Nya, ilmu-Nya, dan kekuasaan-Nya. Mereka tidak diam terhadap apa yang para shahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik diam terhadapnya” [Diriwayatkan Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaam wa Ahlihi no. 858. Disebutkan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah1/217].
Solusi keselamatan dalam beragama adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan semakin kreatif berkarya dengan bid’ah-bid’ah…..
Bisyr bin ‘Umar Az-Zahraaniy rahimahumallahberkata:
سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، يَقُولُ: "مَنْ أَرَادَ النَّجَاةَ فَعَلَيْهِ بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ ﷺ "
“Aku mendengar Maalik bin Anas berkata : ‘Barangsiapa yang menginginkan keselamatan, maka wajib baginya berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ” [Diriwayatkan oleh Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaam no. 864].
‘Abdullah bin Wahb rahimahumallah berkata:
سمعتُ مالكَ بنَ أنسٍ يقولُ: الْزَمْ مَا قَالَهُ رسولُ اللهِ ﷺ في حجَّةِ الوداع: «أَمْرَانِ تَرَكْتُهُمَا فِيكُمْ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كتابَ اللهِ وسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Aku mendengar Maalik bin Anas berkata : ‘Tetapilah apa yang dikatakan Rasulullah ketika haji wada’ : Ada dua perkara yang aku tinggalkan pada kalian yang apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ” [I’laamul-Muwaqqi’iin oleh Ibnul-Qayyim 1/256].
‘Abdullah bin Wahb rahimahumallah berkata:
كُنَّا عِنْدَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، فَذُكِرَتِ السُّنَّةُ، فَقَالَ: "السُّنَّةُ سَفِينَةُ نُوحٍ !، مَنْ رَكِبَهَا نَجَا، وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ
“Kami pernah berada di sisi Maalik bin Anas, lalu disebutkan tentang sunnah. Maka Maalik berkata : ‘Sunnah itu adalah perahu Nuuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat, dan barangsiapa tertinggal darinya akan tenggelam” [Diriwayatkan oleh Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaam no. 872 dan Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 8/309].
Maalik bin Anas rahimahumallahberkata:
مَنْ مَاتَ عَلَى السُّنَّةِ فَلْيِبْشِرْ
“Barangsiapa yang meninggal di atas sunnah, hendaklah ia bergembira” [Diriwayatkan oleh Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaamno. 866 & 867].
Semakin sedikit sunnah yang tertinggal pada satu kaum, maka hawa nafsu dan bid’ah akan merajalela. Maalik bin Anas rahimahumallahberkata:
مَا قَلَّتِ الْآثَارُ فِي قَوْمٍ إِلَّا ظَهَرَتْ فِيهِمُ الْأَهْوَاءُ......
“Sedikitnya peninggalan atsar (riwayat/hadits) pada satu kaum hanya akan menimbulkan hawa nafsu di kalangan mereka…….” [idemno. 869].
Maalik bin Anas sangat keras terhadap para pengingkar sunnah, sebagaimana dikatakan Ma’n rahimahumullah:
وَكتبَ إِلَى مَالِكٍ [رجل] من الْعَرَبِ يَسْأَلُ عَنْ قَوْمٍ يُصَلُّونَ رَكْعَتَيْنِ وَيَجْحَدُونَ السُّنَّةَ، وَيَقُولُونَ: مَا نَجِدُ إِلا صَلاةَ رَكْعَتَيْنِ، قَالَ مَالِكٌ: أَرَى أَنْ يُسْتَتَابُوا، فَإِنْ تَابُوا وَإِلا قُتِلُوا
“Seorang laki-laki ‘Arab menuliskan surat kepada Maalik menanyakan satu kaum yang mengerjakan shalat dua raka’at dan mengingkari sunnah. Mereka katakan : ‘Kami tidak dapatkan kecuali (hanya) shalat dua raka’at saja’. Maalik berkata : ‘Aku berpandangan mereka mesti diminta untuk bertaubat. Apabila mereka bertaubat, diterima; dan apabila enggan, dibunuh” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Zamaniin dalam Ushuulus-Sunnah hal. 309 no. 245].
Itulah sedikit riwayat dari Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahumallah tentang sunnah dan bid’ah.
Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – dps – 17092017].



[1]   Selengkapnya silakan baca artikel Perawi yang Melakukan Penyeleksian Riwayat.
[2]   Dalam definisi lain : orang yang mengambil ilmu/hadits dari kitab, bukan dari ustadz.
[3]   Kunyah Ibraahiim bin Thahmaan.
[4]   Al-Aajurriy rahimahullah berkata:
احْذَرُوا رَحِمَكُمُ اللَّهُ قَوْلَ مَنْ يَقُولُ إِنَّ إِيمَانَهُ كَإِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ، وَمَنْ يَقُولُ: أَنَا مُؤْمِنٌ عِنْدَ اللَّهِ، وَأَنَا مُؤْمِنٌ مُسْتَكْمِلُ الإِيمَانِ هَذَا كُلُّهُ مَذْهَبُ أَهْلِ الإِرْجَاءِ
“Berhati-hatilah – semoga Allah merahmati kalian – pendapat orang yang mengatakan : ‘sesungguhnya imannya seperti iman Jibriil dan Miikaaiil’; dan orang yang berkata : ‘aku mukmin di sisi Allah, dan aku adalah mukmin yang sempurna imannya’. Semuanya ini adalah madzhab para penganut irjaa’ (murji’ah)” [Asy-Syarii’ah, 1/312].
Silakan baca beberapa artikel terkait di blog ini seperti:
d.    dan yang lainnya.
[5]   Silakan baca artikel terkait : Pemalsuan Perkataan Al-Imam Malik rahimahullah.
[6]   Senada dengan penjelasan Ibnu Katsiir rahimahullah:
وأما أهل السنة والجماعة فيقولون في كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة: هو بدعة؛ لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه، لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها
“Adapun Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, maka mereka mengatakan dalam setiap perbuatan dan perkataan yang tidak dilakukan para shahabat : ‘Itu adalah bid’ah’, karena seandainya hal tersebut baik, niscaya mereka (para shahabat) telah mendahului kita melakukannya. Tidaklah mereka meninggalkan kebaikan apapun kecuali mereka bersegera terhadapnya” [Tafsiir Ibni Katsiir, 7/278-279].
[7]   Abu Thaalib Al-Makkiy rahimahullah berkata:
كان مالكٌ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْ مَذَاهِبِ المُتَكَلِّمِينَ وَأَشَدَّهُمْ بُغْضاً للعِرَاقيِّينَ، وأَلْزَمَهُمْ لِسُنَّةِ السَّالِفِينَ مِنَ الصَّحَابَةِ والتَّابِعِينَ
“Maalik adalah orang yang paling jauh dari madzhab ahli kalaam, orang yang paling benci terhadap penduduk ‘Iraaq (karena berpegang pada ra’yu), dan orang yang paling menetapi sunnah terdahulu dari kalangan shahabat dan taabi’iin” [Tartiibul-Madaarik, 1/51].

Al-Ikhwaan dan Maulid

$
0
0
Jikalau teman-teman kita dari kalangan harakah Tarbiyyah, PKS, atau Al-Ikhwaanul-Muslimuun begitu membela perayaan Maulid Nabi atau memberikan komentar 'mengambang', saya pribadi cukup memahaminya. Tidak lain tidak bukan adalah karena beberapa tokoh yang – saya kira – menjadi panutan mereka juga melakukannya.
Hasan Al-Banna rahimahullahberkata :
وأذكر أنه كان من عادتنا أن نخرج في ذكرى مولد الرسول ﷺ بالموكب بعد الحضرة، كل ليلة من أول ربيع الأول إلى الثاني عشر منه من منزل أحد الإخوان، ...... وخرجنا بالموكب ونحن ننشد القصائد المعتادة في سرور كامل وفرح تام

”Dan saya sebutkan bahwasannya bagian dari adat/kebiasaan kami adalah keluar pada waktu peringatan Maulid Rasul di Maukib setelah pelaksanaan hadlrah setiap malam, mulai tanggal 1 sampai tanggal 12 Rabi’ul-Awwal di rumah salah seorang ikhwan...... Dan kami keluar di Maukib sambil mendendangkan qashidah-qashidah yang biasa didendangkan dalam kegembiraan dan kesenangan yang sempurna” [Mudzakkiratud-Da’wah wad-Daa’iyyah hal. 52].
’Abbaas As-Siisiy rahimahullahmenceritakan:
وبدأ الأستاذ المرشد محاضرته بحمد الله والثناء عليه والصلاة والسلام على رسوله الكريم ثم دخل فى موضوع الذكرى فقال نحيى ذكرى مولد الرسول صلى الله عليه وسلم ومن حق الناس جميعا مسلمين وغير مسلمين أن يحتفلوا بهذه الذكرى المباركة فرسولنا عليه الصلاة والسلام لم يأت للمسلمين فقط وإنما بعث رحمة للعالمين للإنس والجن على السواء 
”Al-Ustaadz Al-Mursyid (Hasan Al-Bannaa) memulai muhadlarahnya dengan hamdalah, pujian terhadap-Nya, serta ucapan shalawat dan salam kepada Rasul-Nya yang mulia . Kemudian beliau masuk ke inti nasihat lalu berkata : ’Kita menghidupkan peringatan maulid Rasul dan menjadi hak seluruh manusia baik kaum muslimin dan selain kaum muslimin untuk merayakan peringatan yang diberkahi ini. Rasul kita tidak datang/diutus hanya untuk kaum muslimin saja, namun beliau diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, yaitu bagi golongan manusia dan jin..” [Taariikh Al-Ikhwaanil-Muslimiin fii Muhaafadhah Al-Iskandaariyyah].
Mahmuud Abdil-Halim rahimahullahberkata :
وكنا نذهب جميعاً كل ليلة إلى مسجد السيدة زينب ، فنؤدي صلاة العشاء ، ثم نخرج من المسجد ، ونصطف صفوفاً ، يتقدمنا الأستاذ المرشد، ينشد نشيداً من أناشيد المولد النبوي ، ونحن نردده من بعده في صوت جهوري جماعي يلفت النظر
”Dan kami keluar bersama-sama setiap malam menuju Masjid As-Sayyidah Zainab, lalu kami pun menunaikan shalat ’isya’. Kemudian setelah itu kami keluar dari masjid. Kami berbaris dalam shaf-shaf dimana Al-Ustadz Al-Mursyid (Hasan Al-Banna) memimpin kami untuk mendendangkan nasyid dari nasyid-nasyid Maulid Nabawiy. Dan kami pun menyahut/mengikuti setelahnya dengan suara yang keras secara bersama-sama sambil memalingkan pandangan” [Al-Ikhwanul-Muslimuun : Ahdaats Shana’at-Taarikh 1/109].
Sa’iid Hawwaa rahimahullah menegaskan:
والأستاذ البنا يعتبر من مهمات الحركة الإسلامية إحياء المناسبات الاسلامية وتذكير الناس بها ومن ثمّ فإنه يكاد يكون من البديهيات في فقه الدعوة الإسلامية المعاصرة أن تعطى قضية المولد النبوي والاحتفال به على طريقة مدروسة علمية مقبولة فقهاً أهمية خاصة
”Dan Al-Ustaadz Al-Bannaa memandang bahwa termasuk diantara hal-hal penting yang mesti dilakukan harakah Islamiyyah adalah menghidupkan berbagai perayaah Islam dan mengingatkan masyarakat terhadapnya. Oleh karena itu, hal tersebut hampir menjadi perkara aksiomatik dalam fiqh dakwah kontemporer untuk meletakkan perkara maulid nabawi dan perayaannya secara baik/bijaksana lagi ilmiyyah sehingga secara khusus arti pentingnya dapat diterima secara fiqh” [Tarbiyyatunar-Ruuhiyyah].
Program peringatan maulid Nabi menjadi semacam ’anjuran resmi’ dari founding father harakah Al-Ikhwaan dan secara rutin dilakukan turun-temurun, dari generasi ke generasi hingga sekarang.
Ada pula yang mengatakan dari mereka - terutama grassroot - bahwa perayaan Maulid Nabi ini hanyalah bagian adat kebiasaan manusia dan bukan bagian dari ibadah. Jelas ini hanya sekedar trik agar terhindar dari larangan bid'ah dan bertentangan dengan kenyataan. Tidak mungkin mereka melakukannya tanpa latar belakang ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. As-Suyuuthi rahimahullah saja (sebagai salah seorang tokoh yang membela keabsahan perayaan Maulid Nabi) mengakui status kebid'ahannya, dan mengakui kebolehan/anjuran pelaksanaannya adalah dalam rangka peribadahan/pendekatan diri kepada Allah ta’ala (taqarrub ilalllah):
عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات ، ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك - هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف ، وأول من أحدث فعل ذلك صاحب إربل الملك المظفر أبو سعيد كوكبري بن زين الدين علي بن بكتكين ، أحد الملوك الأمجاد والكبراء الأجواد
”Menurutku asal amalan maulid adalah berkumpulnya orang-orang, membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah baginya dan khabar-khabar awal mula kehidupan Nabi dan tanda-tanda/peristiwa yang terjadi saat kelahiran beliau . Kemudian dihidangkan makanan kepada mereka, mereka menyantapnya, kemudian bubar tanpa ada tambahan atas hal itu. Maka itu termasuk bid’ah hasanah yang diberikan pahala kepada pelakunya karena dalam hal itu termasuk pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan menampakkan rasa senang dan gembira dengan kelahiran beliau yang mulia . Dan yang pertama kali yang mengadakan amalan tersebut (yaitu peringatan Maulid Nabi) adalah orang-orang Irbil, Raja Al-Mudhaffar Abu Sa’iid Kaukaburiy bin Zainuddin ’Aliy bin Bakitkiin, salah seorang raja yang mulia, agung, dan murah hati” [Al-Hawi lil-Fataawaa].
Di tempat lain As-Suyuuthiy mengutip perkataan Ibnu Hajar Al-’Asqalaaniy rahimahumallah:
أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها ، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا
“Hukum asal peringatan maulid adalah bid’ah yang tidak ternukil dari kalangan as-salafush-shaalih yang hidup pada tiga jaman (yang pertama). Namun demikian, peringatan maulid ini mengandung kebaikan dan lawannya. Maka barangsiapa yang berusaha melakukankebaikan dalam perayaan maulid dan menjauhi lawannya (keburukan), maka itu adalah bid’ah hasanah. Jika tidak seperti itu, maka bukan bid’ah hasanah (tidak boleh dilakukan).…” [Al-Haawiy lil-Fataawaa].
Ijtihaad beliau rahimahullah yang mengatakan bid’ah peringatan maulid diterima dan dipandang sebagai perbuatan baik; bertentangan dengan sabda Nabi :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih[1]].
Juga perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما اتخاذ موسم غير المواسم الشرعية كبعض ليالي شهر ربيع الأول، التي يقال إنها المولد ، أو بعض ليالي رجب ، أو ثامن عشر ذي الحجة ، أو أول جمعة من رجب ، أو ثامن شوال الذي يسميه الجهال عيد الأبرار ، فإنها من البدع التي لم يستحبها السلف ، ولم يفعلوها ، والله سبحانه وتعالى أعلم
“Adapun mengadakan upacara peribadahan selain yang disyari’atkan, seperti malam-malam Rabi’ul-Awwal yang sering disebut Maulid (Nabi), atau malam-malam Rajab, atau tanggal 18 Dzulhijjah , atau awal Jum’at bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan ‘Iedul-Abraar; semuanya termasuk bid’ah yang tidak disunnahkan salaf dan tidak mereka kerjakan. Wallaahu subhaanahu wa ta’ala a’lam [Majmu’ Al-Fataawaa, 25/298].
Kembali pada masalah awal......
Ketika satu harakah/kelompok dibentuk dengan sebagian amalan bid’ah yang digagas oleh kreatornya, maka akan sangat sulit untuk menghilangkan bid’ah dari harakah/kelompok tersebut. Ide tashfiyyah akan berhadapan langsung dengan ide sang kreator. Sudah pasti, tertelan ide mainstream dan masuk kotak dianggap dinamika kecil yang terjadi di tepi kolam. Sama halnya ketika harakah Al-Ikhwaan ini dibentuk dengan prinsip kebhinekaan, sehingga cenderung sangat toleran terhadap pemahaman-pemahaman di luar pagar Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah[2]. Sangat sulit untuk menghilangkan kebathilan yang ada di dalam kelompok ini. Secara umum hanya ada dua pilihan : orangnya keluar atau organisasinya bubar. Orang yang bertahan di dalam mau tidak mau, suka atau terpaksa harus menyepakati ide ini. Minimal diam tidak mengusik ketenangan harakah jikapun harus berbeda pendapat.
Mungkin saja ini dianggap sok tahu, tapi silakan rasakan dan buktikan. Sekali lagi, saya hanya ingin mengajak rekan-rekan 'memahami', bukan menyepakati....... Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 18092017].




[2]     IM sangat toleran terhadap aneka pemahaman sesat dan bahkan mendakwahkan persatuan Ahlus-Sunnah – Syi’ah. ‘Umar At-Tilmisaaniy – mursyid aam ketiga IM – rahimahullah berkata:
وفي الأربعينات على ما أذكر كان السيد القمي-وهو شيعي المذهب- ينزل ضيفا على الإخوان في المركز العام ووقتها كان الإمام الشهيد يعمل جاداً على التقريب بين المذاهب ,حتى لا يتخذ أعداء الإسلام الفرقة بين المذاهب منفذا يعملون من خلاله على تمزيق الوحدة الإسلامية ,وسألناه يوماً عن مدى الخلاف بين أهل السنة والشيعة ,فنهانا عن الدخول في مثل هذه المسائل الشائكة التي لا يليق بالمسلمين أن يشغلوا أنفسهم بها ..... فقال رضوان الله عليه : اعلموا أنَّ أهل السنة والشيعة مسلمون تجمعهم كلمة لا إله إلاَّ الله وأنَّ محمداً رسول الله وهذا أصل العقيدة ,والسنة والشيعة فيه سواء وعلى التقاء ,أما الخلاف بينهما فهو في أمور من الممكن التقريب فيها بينهما
“Pada tahun 40-an seingatku, As-Sayyid Al-Qummiy yang bermadzhab Syi’ah bertamu ke markaz besarnya. Waktu itu, Al-Imaam Asy-Syahiid berusaha keras untuk mengadakan pendekatan antar madzhab, hingga musuh-musuh Islam tidak menjadikan perpecahan antar madzhab sebagai celah untuk merobek persatuan kaum muslimin. Dan pada suatu hari kami bertanya kepada beliau tentang cakupan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dan Syii’ah. Maka beliau melarang kami untuk masuk dalam permasalahan-permasalahan sensitif semisal ini. Kaum muslimin tidak boleh menyibukkan diri mereka terhadapnya….. Lalu beliau (Al-Ustadz Hasan Al-Banna) berkata : ‘Ketahuilah, bahwasannya Ahlus-Sunah dan Syi’ah statusnya adalah muslim yang disatukan oleh kalimat Laa ilaha illallaah wa anna Muhammadar-Rasuulullah. Ini adalah pokok ‘aqidah. Ahlus-Sunnah dan Syi’ah terdapat kesamaan dan kesesuaian (titik temu). Adapun perselisihan antara keduanya, maka itu dalam perkara-perkara yang sangat dimungkinkan untuk dilakukan pendekatan antara keduanya….” [Dzikriyaat Laa Mudzakkiraat, hal. 249-250 atau Al-Ikhwaanul-Muslimuun wasy-Syii’ah].

Perincian Al-Qur’an

$
0
0
Pertanyaan:
Fadliilatusy-Syaikh, orang-orang Qur’aaniyyuun[1]berkata : ‘Allah ta’ala berfirman :
وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلا
Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan sejelas-jelasnya (QS. Al-Isra’ : 12).
Dan Allah ta’ala berfirman :
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Tidak Kami tinggalkan di dalam Al-Kitab ini sesuatupun (= tidak ada satupun yang tidak Kami tulis di dalam Kitab ini) (QS. Al-An’am : 38).

Rasulullah bersabda :
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ طَرْفُهُ بِيَدِ اللَّهِ وَطَرَفُهُ بِأَيْدِيكُمْ، فَتَمَسَّكُوا بِهِ فَإِنَّكُمْ لَنْ تَضِلُّوا وَلَنْ تَهْلِكُوا بَعْدَهُ أَبَدًا
Sesungguhnya Al-Qur’an ini satu ujungnya ada di tangan Allah dan ujungnya yang lain ada di tangan kalian.  Maka berpegangteguhlah kalian dengannya (Al-Qur’an), niscaya kalian tidak akan tersesat[2].
Kami mohon penjelasan Anda terhadap hal itu[3].
Jawab:
“Tentang firman-Nya ta’ala : ‘Tidak Kami tinggalkan di dalam Al-Kitab ini sesuatupun (= tidak ada satupun yang tidak Kami tulis di dalam Kitab ini)’ (QS. Al-An’am : 38), maka yang dimaksudkan dengan Al-Kitaab dalam ayat ini adalah Al-Lauhul-Mahfuudh[4], bukan Al-Qur’anul-Kariim.
Adapun firman-Nya ta'ala : ‘Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan sejelas-jelasnya’ (QS. Al-Isra’ : 12), apabila kalian hubungkan dengan ayat Al-Qur’anul-Kariim yang telah dijelaskan sebelumnya[5], maka dalam hal ini Allah ‘azza wa jalla lengkapi bahwa Ia telah menerangkan segala sesuatu dengan sejelas-jelasnya. Namun digabungkan dengan sesuatu yang lain[6].
Kalian telah mengetahui bahwa kadang perincian (tafshiil) itu dalam bentuk global/garis besar berupa kaedah-kaedah umum yang meliputi perkara-perkara juz’iyyaat yang tidak mungkin dibatasi karena saking banyaknya. Dengan Allah letakkan kaedah-kaedah yang dikenal tersebut pada perkara-perkara juz’iyyaat yang banyak, maka nampaklah makna ayat dimaksud.
Dan kadang perincian (tafshiil) itu langsung terkandung dalam ayat itu sendiri, sebagaimana sabda Nabi :
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللَّهُ بِهِ، إِلا وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ، وَلا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمُ اللَّهُ عَنْهُ، إِلا وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
Aku tidak meninggalkan sesuatu yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali telah aku perintahkannya juga kepada kalian. Dan aku tidak meninggalkan sesuatu yang Allah larang kalian darinya kecuali telah aku larang juga kalian darinya”.[7]
Dengan demikian, perincian (tafshiil) kadang ada dalam bentuk kaedah-kaedah yang meliputi perkara-perkara juz’iyyaatyang banyak; kadang dalam bentuk perincian berbagai individu ibadah dan hukum tanpa perlu merujuk pada kaedah-kaedah itu.
Diantara kaedah-kaedah yang di dalamnya meliputi banyak perkara cabang – yang dengannya nampak keagungan Islam dan luasnya wilayah Islam dalam tasyrii’– misalnya sabda Nabi :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Tidak boleh menimpakan bahaya kepada diri sendiri dan kepada orang lain’.[8]
Juga sabda beliau :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram’.[9]
Juga sabda beliau :
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
Dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap yang kesesatan ada di neraka’.[10]
Inilah kaidah-kaidah umum lagi menyeluruh (kulliyyaat)yang tidak ada sesuatupun luput terkait dengan bahaya yang menimpa jiwa atau bahaya yang menimpa harta pada hadits yang pertama. Dan (tidak ada yang luput) terkait sesuatu yang memabukkan pada hadits kedua, baik yang memabukkan itu berasal dari anggur – sebagaimana masyhur - , jagung, atau bahan lainnya; selama itu memabukkan, maka haram hukumnya.
Begitu juga dengan hadits ketiga, tidak mungkin membatasi bid’ah-bid’ah karena banyaknya, dan tidak mungkin juga untuk menyebutnya satu per satu. Namun hadits ini dengan ringkas dikatakan secara jelas : ‘Dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap yang kesesatan ada di neraka’.
Ini adalah perincian (tafshiil), namun dalam bentuk kaedah.
Adapun berbagai hukum yang kalian ketahui, maka itu dirinci secara individu yang secara umum dijelaskan dalam As-Sunnah. Dan kadang, semisal hukum waris, disebutkan rinciannya dalam Al-Qur’anul-Kariim.
Tentang hadits yang disebutkan dalam pertanyaan, maka itu adalah hadits shahih. Pengamalannya adalah dengan cara berpegang teguh dengannya (Al-Qur’an), sebagaimana disebutkan dalam hadits:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَسُنَّةَ رَسُولِهِ
Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla dan Sunnah Rasul-Nya ’.[11]
Maka berpegang teguh kepada tali Allah – yang itu ada di tangan kita – hanyalah dengan mengamalkan sunnah yang memberikan perincian bagi Al-Qur’anul-Kariim”
[selesai – Kaifa Yajibu ‘alainaa An Nunassiral-Qur’anal-Kariim oleh Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy rahimahullah, hal. 7-10].
Silakan baca artikel terkait : Kedudukan As-Sunnah dalam Islam.









[1]   Sekte yang hanya berpegang kepada Al-Qur’an dengan meninggalkan sunnah Nabi .– Abul-Jauzaa’
[2]   Shahiih At-Targhiib wat-Tarhiib (1/93/35).
[3]   Maksudnya, sekte Qur’aniyyuun berhujjah dengan ayat dan hadits tersebut untuk meninggalkan hadits karena Al-Qur’an telah mencukupi.- Abul-Jauzaa’
[4]   Sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:– Abul-Jauzaa’
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Al-Lauhul-Mahfuudh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” [QS. Al-Hajj : 70].
لا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الأرْضِ وَلا أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرُ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Tidak ada tersembunyi daripada-Nya seberat zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Al-Lauhul-Mahfuudh)” [QS. Saba’ : 3].
وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Al-Lauhul-Mahfuudh)” [QS. Yuunus : 61].
[5]   Dalam penjelasan terhadap pertanyaan sebelumnya.– Abul-Jauzaa’
[6]   Yaitu dengan sunnah.– Abul-Jauzaa’
[7]   Ash-Shahiihah (no. 1803).
[8]   Shahiihul-Jaami’ (no. 7517).
[9]   Irwaaul-Ghaliil (8/40/2373).
[10]  Shahiih At-Targhiib wat-Tarhiib (1/92/34) dan Shalaatut-Taraawiih (hal. 75).
[11]  Misykaatul-Mashaabiih (1/66/186).

Tafsir Isti’aadzah dan Hukum-Hukumnya

$
0
0
Allah ta’ala berfirman :
 فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ * إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
”Jika kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sesungguhnya syaithan itu tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang beriman dan bertawakal kepada Rabb-nya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) itu hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas- orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah”[QS. An-Nahl : 98-100].

Yang masyhur menurut jumhur ulama’ bahwa isti’adzahdilakukan sebelum membaca Al-Qur’an untuk mengusir gangguan setan. Menurut mereka, ayat yang berbunyi:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
‘Jika kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk’
artinya : Jika engkan hendak membaca, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
Jika kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah wajah dan kedua tanganmu’ [QS. Al-Maaidah : 6].
Artinya, jika kalian bermaksud mendirikan shalat.
Penafsiran seperti ini didasrkan pada beberapa hadits dari Rasulullah . Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah meriwayatkan dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Apabila Rasulullaah hendak mendirikan shalat malam, maka beliau membuka shalatnya dan bertakbir seraya mengucapkan :
سبحانك اللهم وبحمدك، وتبارك اسمك، وتعالى جدك، ولا إله غيرك " . ويقول: "لا إله إلا الله "ثلاثًا، ثم يقول: "أعوذ بالله السميع العليم، من الشيطان الرجيم، من هَمْزه ونَفْخِه ونَفْثه
”Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Maha Agung nama-Mu dan Maha Tinggi kemuliaan-Mu. Tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau”. Kemudian beliau mengucapkan : “Laa ilaha illallaah (Tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah)” - sebanyak tiga kali. Setelah itu beliau mengucapkan (isti’aadzah) : ”Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaan, tiupan, dan hembusannya”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh empat penyusun kitab As-Sunan dari riwayat Ja’far bin Sulaimaan, dari ‘Aliy bin ‘Aliy Ar-Rifaa’iy. At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan hadits ini merupakan hadits yang paling masyhur dalam masalah ini. Kata al-hamz (الْهَمْزُ) ditafsirkan sebagai cekikan (sampai mati); an-nafkh (الْنَفْخُ) sebagai kesombongan; dan an-nafts(الْنَفْثُ) sebagai syه’ir.
Al-Bukhaariy rahimahullah meriwayatkan (dengan sanadnya) dari Sulaiman bin Shurad radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
استب رجلان عند النبي صلى الله عليه وسلم، ونحن عنده جلوس، فأحدهما يسب صاحبه مغضَبًا قد احمر وجهه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: "إني لأعلم كلمة لو قالها لذهب عنه ما يجد، لو قال: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم "فقالوا للرجل: ألا تسمع ما يقول رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إني لست بمجنون
”Ada dua orang yang saling mencela di hadapan Nabi , sedangkan kami sedang duduk di sisi beliau . Salah seorang dari keduanya mencela yang lain dalam keadaan marah sehingga mukanya memerah. Maka Nabi bersabda : ”Sesungguhnya aku akan mengajarkan suatu kalimat yang jika seseorang mengucapkannya, niscaya akan hilang semua yang dirasakannya itu. Yaitu jika ia mengucapkana’uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim”. Maka para shahabat berkata kepada orang tersebut : ”Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan Rasulullah ?”. Ia menjawab : ”(Aku mendengarnya), dan sesungguhnya aku bukan orang gila”.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’i melalui beberapa jalan, dari Al-A’masy.
Catatan :
1.     Jumhur ulama berpendapat isti’aadzah hukumnya sunnah dan bukan suatu kewajiban yang menyebabkan dosa bagi orang yang meninggalkannya. Diriwayatkan dari Maalik, bahwasannya ia tidak membaca ta’awudz dalam mengerjakan shalat wajib, namun mengucapkannya ketika shalat tarawih pada bulan Ramadlaan di awal malamnya.
2.     Dalam kitab Al-Imlaa’, Asy-Syaafi’iy mengatakan ta’awwudz dibaca jahr (keras), namun jika dibaca sir(pelan) tidak apa-apa. Sedangkan dalam kitab Al-Umm, beliau rahimahullah mengatakan : Diberikan pilihan, karena Ibnu ‘Umar membacanya sirr, sedangkan Abu Hurairah jahr.
Jika orang yang memohon perlindungan itu membaca a’uudzubillaahi minasy-syaithaanir-rajiim; maka cukuplah baginya.
3.     Menurut Abu Hanifah dan Muhammad (bin Al-Hasan), ta’awwudzdalam shalat adalah untuk membaca Al-Qur’an; sedangkan Abu Yuusuf rahimahumullah berpendapat ta’awwudz itu justru dibaca untuk shalat.
Berdasarkan hal ini, seorang makmum membaca ta’awwudzmeskipun tidak membaca. Hendaknya ia juga membacanya dalam shalat ‘Iedsetelah takbiratul-ihraam dan sebelum membaca takbir-takbir ‘Ied. Menurut jumhur ulama, ta’awwudz itu dibaca setelah takbir sebelum qira’ah/membaca (Al-Faatihah atau surat Al-Qur’an).
Diantara manfaat ta’awwudz adalah untuk menyucikan dan mengharumkan mulut dari kata-kata yang tidak mengandung faidah dan buruk. Ta’awwudz ini digunakan untuk membaca firman-firman Allah ta’ala; yaitu : memohon pertolongan kepada Allah ta’ala sekaligus memberikan pengakuan atas kekuasaan-Nya, kelemahan dirinya sebagai hamba, dan ketidakberdayaannya dalam melawan musuh yang sesungguhnya (yaitu setan), yang bersifat baathiniyyah, yang seorang pun tidak mampu menolak dan mengusirnya kecuali Allah ta’ala yang telah menciptakannya. Hal itu sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala :
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلا
”Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabbmu sebagai penjaga” [QS. Al-Israa’ : 65].
Dan para malaikat telah turun untuk memerangi musuh dari kalangan manusia. Barangsiapa dibunuh oleh musuh yang bersifat lahiriyyah yang berasal dari kalangan manusia, maka ia meninggal sebagai syahid; dan barangsiapa yang dibunuh oleh musuh yang bersifat baathiniyyah (setan), maka ia sebagai thariid. Barangsiapa yang dikalahkan oleh musuh manusia biasa, maka akan mendapatkan pahala; dan barangsiapa yang dikalahkan oleh musuh baathiniyyah, maka ia tertipu atau menanggung dosa. Hal itu dikarenakan setan dapat melihat manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihatnya; sehingga ia memohon perlindungan kepada Rabb yang melihat setan, dan setan tidak dapat melihat-Nya.

Pengertian Isti’aadzah

Isti’aadzah berarti memohon perlindungan kepada Allah ta’ala dari kejahatan setiap yang jahat. Adapun istilah al-‘iyaadzah (العياذة) adalah isitilah (permohonan pertolongan) dalam usaha untuk menolak kejahatan. Dan al-liyaad(اللياذ) adalah istilah (permohonan pertolongan) yang digunakan dalam upaya memperoleh kebaikan.
A’uudzubillaahi minasy-syatithaanir-rajiim, berarti aku memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk agar ia tidak membahayakan diriku dalam urusan agama dan duniaku, atau menghalangiku untuk mengerjakan apa yang telah Dia perintahkan. Atau agar ia tidak menyuruhku mengerjakan apa yang Dia larang, karena tidak ada yang mampu mencegah godaan syaithan itu kecuali Allah.
Oleh karena itu, Allah ta’ala memerintahkan manusia agar menarik dan membujuk hati setan jenis manusia dengan cara menyodorkan sesuatu yang baik kepadanya, sehingga dapat berubah tabiat dari kebiasaannya mengganggu orang lain. Selain itu, Allah juga memerintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari setan dari jenis jin, karena dia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi oleh kebaikan. Tabiat mereka jahat dan tidak ada yang dapat mencegahnya dari dirimu kecuali Rabb yang menciptakannya.
Inilah makna yang terkandung dalam tiga ayat Al-Qur’an. Pertama adalah firman-Nya dalam surat Al-A’raaf :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
”Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” [QS. Al-A’raf : 199]. 
Makna di atas berkenaan dengan muamalah terhadap musuh dari kalangan manusia.
Kemudian (yang kedua), Allah ta’alaberfirman :
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
”Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan, maka berlindunglah kepada Allah ( = dengan membaca : a’uudzubillaahi minasy-syaithaanir-rajiim). Sesunggunya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-A’raaf : 200].
Sedangkan dalam Surat Al-Mukminuun, Allah ta’alaberfirman :
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ (96) وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ (97) وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ (98)
”Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah : ‘Ya Rabbku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaithan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engka ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku” [QS. Al-Mukminuun : 96-98].
Dan dalam surat Al-Fushshilat, Allah ta’alaberfirman :
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (36)
”Dan tidaklah sama  kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-oleh telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyaikeberuntungan yang besar. Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Fushshilat : 34-36].
Dalam bahasa Arab, kata setan (الشيطان) berasal dari kata “شطن” (syathana), yang berarti ‘jauh’. Jadi tabiat setan itu sangat jauh dari tabiat manusia, dan karena kefasikannya dia sangat jauh dari segala macam kebaikan.
Ada juga yang mengatakan bahwa kata syaithan (الشيطان) itu berasal dari kata “شاط” (syaatha) ( = terbakar), karena ia diciptakan dari api. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna yang pertama adalah lebih benar.
Menurut Sibawaih (seorang ulama pakar bahasa), bangsa Arab biasa mengatakan = “تشيطن فلان” (tasyaithana fulaanun), jika Fulan itu berbuat seperti perbuatan setan. Jika kata setan itu berasal dari kata “شاط”, tentu mereka akan mengatakan “تشيط”.
Jadi menurut pendapat yang benar, kata setan (الشيطان) itu berasal dari kata “  شطن” yang berarti jauh. Oleh karena itu, mereka menyebut syaithan untuk setiap pendurhaka, baik jin, manusia, maupun hewan.
Berkenaan dengan hal ini, Allah ta’ala berfirman :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلّ نِبِيّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنْسِ وَالْجِنّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىَ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
”Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” [QS. Al-An’aam : 112].
Dalam Musnad Ahmad, disebutkan hadits dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu :
 قال رسول الله ﷺ يا أبا ذر «تعوذ بالله من شياطين الإنس والجن» فقلت أوَ للإنس شياطين ؟ قال «نعم»
Rasulullah bersabda :“Wahai Abu Dzarr, mohonlah perlindungan kepada Allah dari syaithan-syaithan dari jenis manusia dan jin”. Lalu aku bertanya : “Apakah ada syaithan dari jenis manusia ?”. Beliau menjawab : “Ya”.[1]
Dalam Shahih Muslim, masih dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
 قال رسول الله ﷺ «يقطع الصلاة المرأة والحمار والكلب الأسود» فقلت يا رسول الله ما بال الكلب الأسود من الأحمر والأصفر ؟ فقال: «الكلب الأسود شيطان»
Telah bersabda Rasulullah :“Yang dapat membatalkan shalat itu adalah wanita, keledai, dan anjing hitam”. Aku berkata :“Ya Rasulullah, mengapa anjing hitam dan bukan anjing merah atau kuning?”. Beliau menjawab :“Anjing hitam itu adalah setan”.
Kata “الرّجيم”, berwazan  فعيل (subjek), tapi bermakna  مفعول (objek), yang berarti setan itu terkutuk (marjuum)dan terusir dari semua kebaikan. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًالِلشَّيَاطِينِ
”Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan” [QS. Al-Mulk : 5].
[selesai – dinukil dari Lubaabut-Tafsiir min Ibni Katsiir - Abu Al-Jauzaa’ 1427 in Rain City]




[1]   Diriwayatkan oleh Ahmad 5/178; sanadnya sangat lemah sebagaimana dijelaskan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam takhriij-nya terhadap Musnad Al-Imaam Ahmad bin Hanbal (35/432-433).– Abul-Jauzaa’

Syi’ah = Mujassimah (?)

$
0
0
Telah banyak kita dengar orang-orang Syi’ah menggelari Ahlus-Sunnah (baca : Wahabiy/Salafiy) dengan gelaran-gelaran buruk. Salah satu diantaranya adalah Mujassimah. Ahlus-Sunnah yang telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang tertera dalam nash sebagaimana dhahirnya/hakekatnya, mereka anggap sebagai mujassimah, menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas bagaimana salahnya pemahaman itu. Saya di sini – untuk kesekian kalinya – hanya akan mengajak Pembaca sekalian untuk berwisata sejenak pada sedikit diantara banyak teks Syi’ah yang tertera dalam kitab-kitab mereka.

زيد عن عبد الله بن سنان قال سمعت ابا عبد الله (ع) يقول ان الله ليخاصر العبد المؤمن يوم القيامة والمؤمن يخاصر ربه يذكره ذنوبه قلت وما يخاصر قال فوضع يده على خاصرتي فقال هكذا كما يناجى الرجل منا اخاه في الامر يسره إليه 
Zaid, dari ‘Abdullah bin Sinaan, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) berkata : “Sesungguhnya Allah yukhaashir hamba-Nya yang beriman di hari kiamat. Dan hamba-Nya yang beriman pun akan ‘yukhaashir’ Rabb-Nya seraya menyebutkan dosa-dosanya”. Aku (‘Abdullah bin Sinaan) berkata : “Apa makna yukhaashir?”. Ia (Ibnu Sinaan) berkata : “Lalu Abu ‘Abdillah meletakkan tangannya di pinggangku, lalu berkata : “Seperti inilah sebagaimana seorang laki-laki membisiki saudaranya dalam perkara yang ia rahasiakan kepadanya” [Al-Ushuulus-Sittah, hal. 54 – lihat sumber Syi’ah : http://www.rafed.net/books/hadith/usul-16/04.html].
عن علي بن إبراهيم ، عن أبيه ، عن ابن أبي عمير ، عمن ذكر ، عن أبي حمزة الثمالي قال : رأيت علي بن الحسين (عليهما السلام) قاعدا واضعا إحدى رجليه على فخذه ، فقلت : إن الناس يكرهون هذه الجلسة ويقولون : إنها جلسة الرب ، فقال : إني إنما جلست هذه الجلسة للملالة ، والرب لا يمل ولا تأخذه سنة ولا نوم
Dari ‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi ‘Umair, dari seseorang yang menyebutkan dari Hamzah Ats-Tsamaaliy, ia berkata : “Aku melihat ‘Aliy bin Al-Husain (‘alaihimas-salaam) duduk dengan meletakkan salah satu kakinya di atas pahanya. Lalu aku berkata : “Sesungguhnya orang-orang membenci cara duduk seperti ini. Mereka berkata : ‘Sesungguhnya ia adalah cara duduknya Rabb (Allah)”. ‘Aliy bin Al-Husain berkata : “Sesungguhnya aku duduk seperti ini karena aku capek. Adapun Rabb tidaklah capek, merasa ngantuk, dan tidur” [Wasaailusy-Syii’ah, no. 15774].
‘Aliy bin Al-Husain tidak mengingkari apa yang dikatakan Hamzah. Ia hanya menjelaskan alasan mengapa dirinya duduk seperti itu dan perbedaan antara duduknya dengan Allah ta’ala.
حدثني ابي رحمه الله ، عن سعد بن عبد الله ، عن محمد بن عيسى بن عبيد اليقطيني ، عن محمد بن سنان ، عن ابي سعيد القماط ، عن ابن ابي يعفور ، عن ابي عبد الله ( عليه السلام ) ، قال : بينما رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) في منزل فاطمة ( عليها السلام ) والحسين في حجره إذ بكى وخر ساجدا ثم قال : يا فاطمة يا بنت محمد ان العلي الاعلى تراءى لي في بيتك هذا في ساعتي هذه في أحسن صورة وأهيا هيئة ، وقال لي : يا محمد أتحب الحسين ( عليه السلام ) ، فقلت : نعم قرة عيني وريحانتي وثمرة فؤادي وجلدة ما بين عيني ، فقال لي : يا محمد – ووضع يده على رأس الحسين ( عليه السلام ) – بورك من مولود عليه بركاتي وصلواتي ورحمتي ورضواني ، ولعنتي وسخطي وعذابي وخزيي ونكالي على من قتله وناصبه وناواه ونازعه ، اما انه سيد الشهداء من الاولين والاخرين في الدنيا والاخرة
Telah menceritakan ayahku rahimahullah, dari Sa’d bin ‘Abdillah, dari Muhammad bin ‘Iisaa bin ‘Ubaid Al-Yaqthiiniy, dari Muhammad bin Sinaan, dari Abu Sa’iid Al-Qamaath, dari Ibnu Abi Ya’fuur, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam), ia berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi di rumah Faathimah ‘alaihas-salaam, sedangkan Al-Husain di dalam kamarnya, tiba-tiba beliau menangis dan bersungkur sujud, lalu berkata : “Wahai Faathimah, wahai anak wanita Muhammad. Sesungguhnya Dzat yang Maha Tinggi melihatku di rumahmu ini, di waktu ini, dalam sebaik-baik bentuk, dan berkata kepadaku : ‘Wahai Muhammad, apakah engkau senang Al-Husain ‘alaihis-salaam?’. Aku menjawab : ‘Ya, ia adalah penyejuk pandanganku, raihanah-ku, buah hatiku, dan kulit di antara dua mataku’. Lalu Ia (Allah) berkata kepadaku : ‘Wahai Muhammad – lalu Ia meletakkan tangan-Nya di atas kepala Al-Husain ‘alaihis-salaam– ia telah diberikan barakah dengan keberkahan-Ku, shalawat-Ku, rahmat-Ku, dan keridlaan-Ku. Dan laknat-Ku, kemarahan-Ku, ‘adzab-Ku, kerendahan-Ku, dan hukuman-Ku atas orang yang membunuhnya, membencinya, memusuhinya, dan menyelisihinya. Sesungguhnya ia adalah sayyidusy-syuhadaa’ dari kalangan orang-orang terdahulu dan kemudian di dunia dan akhirat” [Al-Kaamil Az-Ziyaaraat oleh Ja’far bin Muhammad Al-Kuluwaih, hal. 141-142].
Dan yang lainnya.
Saya tahu sebagian orang syi’ah ada yang berusaha melemahkannya dan menakwilkannya dengan ta’wil macam-macam agar tak dianggap mujassimah. Namun dengan melihat jalan pikir (sebagian) mereka ketika melihat riwayat Ahlus-Sunnah yang dengan tergopoh-gopoh langsung dicap sebagai riwayat tajsim; maka saya persilakan mereka katakan pada riwayat mereka sendiri hal yang semisal. Semoga bergembira……

[abul-jauzaa’ – rnn – 02011439].

Bangsa Romawi (Eropa) dan Akhlaq/Sifat Mereka

$
0
0
عَنْ الْمُسْتَوْرِد الْقُرَشِيّ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: « تَقُومُ السَّاعَةُ وَالرُّومُ أَكْثَرُ النَّاسِ ». فَقَالَ لَهُ عَمْرٌو أَبْصِرْ مَا تَقُولُ. قَالَ أَقُولُ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ إِنَّ فِيهِمْ لَخِصَالاً أَرْبَعًا إِنَّهُمْ لأَحْلَمُ النَّاسِ عِنْدَ فِتْنَةٍ وَأَسْرَعُهُمْ إِفَاقَةً بَعْدَ مُصِيبَةٍ وَأَوْشَكُهُمْ كَرَّةً بَعْدَ فَرَّةٍ وَخَيْرُهُمْ لِمِسْكِينٍ وَيَتِيمٍ وَضَعِيفٍ وَخَامِسَةٌ حَسَنَةٌ جَمِيلَةٌ وَأَمْنَعُهُمْ مِنْ ظُلْمِ الْمُلُوكِ
Dari Al-Mustaurid Al-Qurasyiy : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Akan tegak hari kiamat sedangkan bangsa Ruum (Romawi, Eropa) adalah populasi manusia terbanyak”. ‘Amru (bin Al-‘Aash) berkata kepadanya : “Perhatikan apa yang engkau katakan itu!”. Ia (Al-Mustaurid) berkata : “Aku mengatakan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah ”. ‘Amru berkata : “Apabila engkau berkata demikian, maka sesungguhnya pada diri mereka (bangsa Romawi, Eropa) terdapat 4 kepribadian, yaitu (1) mereka adalah orang yang paling sabar saat terjadi fitnah, (2) paling cepat sadar setelah tertimpa musibah, (3) paling segera menyerang kembali setelah mundur, (4) paling baik terhadap orang-orang miskin, yatim, dan lemah; serta kelima yang memang baik lagi bagus adalah paling bersemangat mencegah kedhaliman para penguasa” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2898].

Sedikit faedah dari banyak faedah yang dapat diambil dari hadits ini, yaitu:
1.    Menjelang hari kiamat, populasi bangsa Romawi (Eropa) merupakan populasi manusia terbanyak, sesuai dhahir hadits.
2.    Bangsa Romawi (Eropa) kelak akan memeluk Islam sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsiir rahimahullah:
وهذا يدل على أن الروم يسلمون في آخر الزمان، ولعل فتح القسطنطينية يكون على يدي طائفة منهم كما نطق به الحديث المتقدم أنه يغزوها سبعون ألفاً من بني إسحاق، والروم من سلالة العيص بن إسحاق بن إبراهيم الخليل، فمنهم أولاد عم بني إسرائيل وهو يعقوب بن إسحاق، فالروم يكونون في آخر الزمان خيراً من بني إسرائيل، فإن الدجال يتبعه سبُعون ألفاً من يهود أصبهان فهم أنصار الدجال، وهؤلاء أعني الروم قد مدحوا في هذا الحديث فلعلهم يسلمون على يدي المسيح ابن مريم والله أعلم
“Hadits ini menunjukkan bahwa bangsa Romawi (Eropa) akan memeluk Islam pada akhir jaman. Kemungkinan penaklukan Konstantinopel dilakukan oleh sekelompok dari mereka sebagaimana terdapat dalam hadits yang disebutkan di awal bahwa 70.000 orang Bani Ishaaq akan berperang, sedangkan bangsa Romawi termasuk keturunan Al-‘Iish bin Ishaaq bin Ibraahiim Al-Khaliil. Diantara mereka merupakan anak-anak dari paman Bani Israaiil, yaitu Ya’quub bin Ishaaq. Bangsa Romawi di akhir jaman lebih baik daripada Bani Israaiil (Yahudi), karena Dajjaal kelak akan diikuti oleh 70.000 orang Yahudi Ashbahaan, yang mereka itu adalah penolong-penolong Dajjaal. Mereka – yaitu bangsa Romawi – dipuji dalam hadits ini, karena kemungkinan mereka masuk Islam di tangan Al-Masiih bin Maryam, wallaahu a’lam” [An-Nihaayah fil-Fitan wal-Malaahim, 1/30].
3.    Senantiasa berhati-hati dalam menyampaikan hadits yang disandarkan kepada Nabi .
4.    Ada empat atau lima akhlaq/sifat yang terpuji bangsa Romawi yang dikenal semenjak dahulu, yaitu:
(a) Paling sabar saat terjadi fitnah.
(b) Paling cepat sadar setelah tertimpa musibah.
Dua hal di atas sangat berkaitan. Sabar saat musibah terjadi adalah sesuatu yang dipuji lagi dituntut sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan : ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” [QS. Al-Baqarah : 155-157]
Dan kemudian setelah itu, mereka cepat sadar dengan belajar, introspeksi, dan mengevaluasi diri. Sikap ini merupakan dampak dari kesabaran yang benar dari seorang mukmin. Nabi bersabda:
لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ
Seorang mukmin tidak akan tersengat (binatang berbisa) dari satu lubang sebanyak dua kali” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6133].
Orang mukmin adalah orang yang paling sabar dan paling pandai mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa untuk segera bangkit memperbaiki diri.
(c) Paling segera menyerang kembali (untuk berperang) setelah (sebelumnya) mundur.
Ini menunjukkan kecerdasan dan keberanian. Asalnya seorang muslim tidak boleh mundur dari medan peperangan kecuali sebagai strategi untuk menyusun kekuatan dan menyerang kembali. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ (15) وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (16)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, KECUALI berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya” [QS. Al-Anfaal : 15-16].
(d) Paling baik terhadap orang-orang miskin, yatim, dan lemah.
Ini adalah akhlaq mulia yang diperintahkan Allah ta’ala diantaranya dalam firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” [QS. An-Nisaa’ : 36].
(e) Paling bersemangat mencegah kedhaliman para penguasa. Yaitu ketika mereka memiliki kesempatan dan kemampuan untuk melakukannya.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Tolonglah saudaramu yang berbuat dhalim atau yang didhalimi”. Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, kami paham jika kami menolong orang yang didhalimi. Tapi bagaimanakah cara kami menolong orang yang berbuat dhalim?”. Beliau bersabda : “Kamu pegang kedua tangannya (agar tidak berbuat dhalim)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2444].
Mencegah kedhaliman mereka dengan memberikan nasihat tentang kebenaran dan masukan konstruktif, karena Nabi bersabda:
إن من أعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر
Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah kalimat ‘adil (benar) yang disampaikan di sisi penguasa yang dhalim/jahat” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4344, At-Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011, dan yang lainnya; shahih].
Tentu saja, tidak dipahami dari hadits ini mencegah kedhaliman penguasa dengan keluar ketaatan dan mengangkat senjata kepadanya, karena ini diharamkan sebagaiman sabda Nabi :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?”. Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1855].
Semoga bermanfaat.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’ – status FB tanggal 24 Desember 2016]. 
Viewing all 594 articles
Browse latest View live