Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Sebuah Masukan (1)

$
0
0
Belakangan ini kita dihebohkan oleh khabar beredarnya rekaman suara Ustadz Abdullah Taslim yang berkomentar terhadap Ustadz Adi Hidayat, hafidhahumallah. Sebuah rekaman yang asalnya dari grup WA atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada beliau (Ustadz Abdullah Taslim) dari anggota grup tentang Ustadz Adi. Isinya adalah nasihat kepada anggota grup dan tahdzir kepada Ustadz Adi Hidayat terkait dengan manhaj beliau. Sebenarnya, apapun kontennya tidak patut dipermasalahkan[1]. Tahdzir yang beliau katakan adalah wujud pertanggungjawaban atas pengetahuan yang dimiliki, sebagai pembina grup. Tahdzir bukan barang yang asing[2]meski substansinya sah-sah saja jika ada yang tidak sepakat. Yang menjadikan ramai – selain oknum yang menyebarkan keluar grup – adalah gorengan dan tambahan kata-kata oleh oknum tak bertanggung jawab yang bernada provokatif. Misalnya : Kembalilah kepada para asatidz yang jelas manhajnya yaitu para asatidz Rodja yang pasti benar dan di atas manhaj yang benar. Ada juga framing berita dengan judul : Takut Ditinggal Jama’ah! Ustadz Rodja’ Ini Larang Jama’ahnya Dengarkan Ceramah Ustadz Adi Hidayat!. Benar-benar dagelan…. Saya yakin, ini bukan berasal dari Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah, dan memang bukan tipikal beliau. Entah siapa….

Maybe ‘they’ realize, making a lie is the only way to win the war (?).
Kembali,… kemarin, saya menyimak respon positif Ustadz Adi Hidayat terkait perkataan Ustadz ‘Abdullah Taslim hafidhahumallah (yang saat ini sedang menjalankan ibadah umrah). Intinya, beliau terbuka menerima kritikan dari siapapun dan bersedia rujuk apabila kritikan tersebut memang benar, serta ajakan bersinergi dalam kebaikan (https://goo.gl/XiepHXdan https://goo.gl/MK16ga). Tentu ini sangat baik, karena sikap beliau tersebut didasari oleh pemahaman yang sangat baik atas sabda Nabi :
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Semua anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertaubat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2499, Ahmad 3/198, Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Oleh karena itu, izinkan di sini saya memberikan sedikit catatan atau kritikan terkait dengan beberapa isi ceramah Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah yang rekamannya banyak bertebaran di Youtube.
1.   Taqdir
Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah dalam satu rekaman video yang berjudul Memahami Takdir Allah dengan Benar, membacakan sebuah pertanyaan:
"Apakah semua orang telah ditetapkan taqdirnya oleh Allah subhaanahu wa ta'ala, dan apakah orang kafir itu sudah taqdir Allah ?".
Kemudian direspon:
"Pertama begini, antum pahami dulu apa itu taqdir. Taqdir itu pilihan hidup. Yang pilihan kita itu KEMUDIAN DITETAPKAN oleh Allah subhaanahu wa ta'ala. Jadi Anda bisa terbuka, ingin mengambil atau tidak. Itu pilihan Anda. Karena itu manusia diberikan kemampuan untuk memilih......dst. (kemudian dilanjutkan dengan penjelasan yang menguatkan itu yang intinya manusia diberikan pilihan antara yang positif dan negatif)......
Dalam rekaman video yang berjudul Perbedaan Takdir dan Qodarullah, awal ceramah (menit 00:24) beliau mengatakan :
“yang seperti ini, seperti aliran Qadariyyah[3]. Semua terserah Allah. Semua terserah Allah. Bahkan tidak mungkin saya bersin kecuali kecuali Allah berkehendak. Tidak mungkin saya minum kecuali saya berkehendak. Tapi kesimpulannya salah. Anda harus bedakan antara Qadar dan Taqdir. Kehendak Allah yang tidak ada intervensi kita di dalamnya, itu disebut Qadar
Kemudian beliau hafidhahullah mencontohkan qadar adalah ajal dan rizki. Selanjutnya beliau berkata (menit 01:23):
Tapi, ada sesuatu yang disebut dengan taqdir. Taqdir itu adalah ketetapan Allah yang dikukuhkan/ditetapkan berdasarkan ikhtiyar makhluk. Kita ikhtiyar dulu, BARU ALLAH MENETAPKAN. Jadi bukan seketika Allah tetapkan. Contoh, perbuatan itu takdir. Amal baik atau buruk, amal shalih atau salah, maka itu adalah taqdir, bukan qadar……dst.”.
Abu-Jauzaa’ berkata:
Ini adalah pemahaman keliru dalam masalah keimanan terhadap taqdir. Secara istilah, makna al-qadar adalah:
تقدير الله للكائنات حسبما سبق به علمُه، واقتضته حكمته
“Ketetapan (taqdiir) Allah bagi semua makhluk sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan yang dikehendaki oleh hikmah-Nya” [Rasaail fil-‘Aqiidah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, hal. 37].
Pembedaan dua hal tersebut (qadar dan takdir) tidaklah benar. Tidak mungkin ketetapan Allah datang menyusul setelah adanya ketetapan dari makhluk dalam ikhtiyarnya. Bahkan Allah ta’ala telah menuliskan segala sesuatu di sisi-Nya, di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun sebelum Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi.
Maka, tidak ada sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi luput dari Lauh Mahfuudh. Allah ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuudh) sebelum Kami menciptakannya”[QS. Al-Hadiid : 22].
Rasulullah bersabda:
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah menulis seluruh takdir makhluk-makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653].
Bahagia dan celaka, neraka dan surga seseorang; maka semua itu telah ditetapkan oleh Allah ta'ala; sama seperti ajal dan rizki. Bukankah dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’ dari Nabi telah disebutkan:
إِنَّ  أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ، أَوْ سَعِيدٌ، فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula (40 hari). Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula (40 hari). Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan RIZKINYA, AJALNYA, AMALANYA, dan CELAKA atau BAHAGIANYA. Maka demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan-Nya, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi CATATAN (TAKDIR) MENDAHULUINYA lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, tetapi CATATAN (TAKDIR) MENDAHULUINYA lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3207 dan Muslim no. 2643].
Juga tentang kisah perdebatan antara Adam dan Muusaa ‘alaihimas-salaam:
احْتَجَّ آدَمُ، وَمُوسَى، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: يَا آدَمُ، أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الْجَنَّةِ، قَالَ لَهُ آدَمُ: يَا مُوسَى، اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ، أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَة، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلَاثًا
“Aadam dan Muusaa saling berhujjah (berdebat). Muusaa berkata kepadanya (Aadam) : “Wahai Aadam, engkau adalah ayah kami, engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga”. Aadam berkata kepadanya : “Wahai Muusaa, Allah telah memilihmu dengan firman-Nya dan telah menuliskan (Taurat) dengan tangan-Nya untukmu. Apakah engkau mencelaku atas perkara yang Allah telah mentakdirkannya untukku 40 tahun sebelum Allah menciptakanku ?”. Maka Aadam mengalahkan Muusaa, Aadam mengalahkan Muusaa” – sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6614 dan Muslim no. 2652].
Yaitu, ketetapan Allah ta'ala telah mendahuluiperbuatan Adam yang menyebabkannya keluar dari surga.
Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa keimanan terhadap takdir tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani empat tingkatan takdir atau disebut juga rukun takdir. Mulai al-‘ilmu[4], al-kitaabah[5], al-iraadah wal-masyii’ah[6], dan al-khalq[7]yang uraiannya dapat dibaca dalam banyak referensi.
Pernyataan ketetapan Allah baru datang menyusul setelah adanya ikhtiyaar makhluk mengkonsekuensikan penafikan terhadap banyak nash. Jika yang dinafikkan dalam fase ikhtiyaar adalah tingkatan ilmu dan kitaabah; maka ini tergolongan pemahaman Qadariyyah purba yang muncul di jaman shahabat radliyallaahu ‘anhum. Para shahabat radliyallaahu ‘anhum mengkafirkan mereka, karena mereka menisbatkan kepada Allah ta’ala sifat bodoh (al-jahl). Allah (dianggap) tidak tahu kecuali setelah terjadinya sesuatu (yaitu perbuatan hamba). Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pernah berkata tentang mereka:
فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ، مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ، حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Apabila engkau berjumpa dengan mereka, beritahukanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang ‘Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengannya, seandainya salah seorang diantara mereka memiliki emas sebesar Uhud lalu ia menginfakkannya, Allah tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada takdir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8].
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْقَدَرِيِّ، فَلَمْ يُكَفِّرْهُ إِذَا أَقَرَّ بِالْعِلْمِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang Qadariy(penganut Qadariyyah), maka ia tidak mengkafirkannya apabila menetapkan ilmu (Allah) [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 868].
وَأَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، يَقُولُ: إِذَا جَحَدَ الْعِلْمَ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لا يَعْلَمُ الشَّيْءَ حَتَّى يَكُونَ، اسْتُتِيبَ، فَإِنْ تَابَ وَإِلا قُتِلَ
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah berkata : “Apabila ada seseorang yang mengingkari ilmu (Allah) dengan mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jallatidak mengetahui sesuatu hingga terjadi’; maka ia diminta untuk bertaubat. Jika ia bertaubat, maka diterima, dan jika enggan maka dibunuh[8]” [idemno. 869].
Jika yang dinafikkan dalam fase ikhtiyaar itu adalah tingkatan al-iraadah wal-masyii’ah dan al-khalq (dengan tetap mengimani tingkatan al-‘ilmu dan al-kitaabah), maka inilah keumuman paham qadariyyah yang masih eksis hingga saat ini. Kehendak dan perbuatan hamba adalah murni dari hamba itu sendiri; bukan terjadi karena kehendak dan penciptaan Allah ta’ala.
Dua jenis Qadariyyah di atas adalah sama-sama sesat yang tidak ada jalan lain bagi pelakunya kecuali harus rujuk darinya.
2.   Semua Muslim adalah Salafiy
Dalam Perbedaan Muhammadiyah, NU dan Salafi, ketika menjawab apa perbedaan Muhammadiyyah dan Salafi, maka Ustadz Adi Hidayat menjawab (setelah menjelaskan tentang Muhammadiyyah dan NU – mulai menit 05:23):
“Kalau Salafi, itu bukan Ormas, bukan madzhab. Tapi dari kata salaf. Salaf itu manhaj. Salaf itu artinya sesuatu yang lampau, yang lalu. Kenapa disebut dengan salaf, karena saat kita berusaha untuk beribadah menunaikan pendekatan ibadah kita kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, maka cara ibadah kita mesti seperti siapa ?. Rasululah . Rasulullah itu hidup di jaman kita atau di jaman dulu ?. Jaman dulu. Dulu itu bahasa Arabnya salaf. Jadi, mengikuti yang dulu, dulu bahasa Arabnya salaf. Kalau disebutkan mengikuti, ditambah dengan i ujungnya dalam bahasa Arab dengan ya’ nisbah. Ya’ nisbah itu gampangnya ditambah i saja di ujungnya. Misal, salaf , dulu, ikut yang dulu disebut dengan salafi. Ni asalnya salafi itu bukan madzhab, bukan kelompok, bukan ormas, tapi manhaj. Satu cara, sata arah, supaya kita beribadah mengikuti tuntunan yang dulu yang Rasulullah yang disampaikan kepada para shahabat, yang disampaikan kepada para tabi’in. Itu masa lalu dulu. Kita ikuti jalannya. Nah, maka cara kita mengikuti jalan itu, cara kita disebut salafi. Sebetulnya semua orang Islam itu gak ada yang gak Salafi. Semua salafi. Semua salafi. Tidak mungkin. Misalnya ada orang yang mengaku : ‘saya bukan salafi’, maka berarti shalatnya beda itu. Pasti salafi. Nggak mungkin. Pasti salafi, karena salafi itu artinya ikut yang dulu. Ikut Nabi . Manhajnya. Salafi itu bukan golongan tertentu, bukan kelompok tertentu, bukan eksklusif ini salafi yang lain bukan, maka tidak. Salafi itu manhaj. Nanti satu saat akan saya tunjukkan. Ibu kalau mau akan saya berikan slidenya…..”.
Kemudian beliau mencontohkan praktek ibadah shalat dengan variasi dalil yang ada. Dalam kesempatan lain (video berjudul Semua Muslim Adalah Salafi) dikatakan hal yang senada (menit : 00:28):
Maka di sini ada istilah manhaj salaf. Orang-orang yang mengikuti manhaj ini, sejalur dengan ini sampai ke ujungnya kemudian bermuara ke Rasulullah , maka orangnya disebut dengan salafi. Jadi salafi itu bukan istilah khusus, atau nama khusus, untuk golongan tertentu, aliran tertentu, kelompok tertentu. Semua orang Islam pasti salafi. Bapak Salafi ya ?...Bukan pak, saya Doni…. Iya, nama bapak Doni, cuma bapak pasti melewati jalur ini… pasti ini…. Jadi teman-teman sekalian, tidak ada yang tidak salafi. Pasti salafi. Dan jangan juga mengatakan kepada orang : ‘O ini manhajnya bukan salaf ini’. Lalu apa (kalau bukan salafi) ?”
[selesai kutipan sampai menit 01:12].
Abu-Jauzaa’ berkata:
Jika salafiy adalah orang-orang yang mengikuti cara beragama as-salafush-shaalih, maka mereka itu (as-salafush-shaalih) utamanya adalah tiga generasi pertama : Rasulullah dan para shahabatnya, taabi’iin, dan atbaa’ut-taabi’iin. Mereka adalah generasi yang diridlai Allah ta’ala sebagaimana firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100].
Generasi terbaik, sebagaimana sabda Nabi :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka. Kemudian akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya"[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3651, Muslim no. 2533, At-Tirmidziy no. 3859, Ibnu Maajah no. 2363, dan yang lainnya].
Setelah itu, Nabi bersabda tentang keadaan umat sepeninggal beliau:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu (yang masuk surga)”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Haakim 1/218-219, Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 85, Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah1/127-128 no. 23-24, dan yang lainnya].
Dalam riwayat lain:
مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“Siapa saja yang berada di atas jalan yang aku dan para shahabatku berada di atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir 2/29-30 no. 724 dan Al-Ausath 5/137 no. 4886].
Dalam riwayat lain:
وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Ia adalah Al-Jamaa’ah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4597].
Hadits di atas selaras dengan hadits ‘Irbaadl bin Saariyyah, dari Nabi , beliau bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ.....
“Karena siapa saja di antara kalian yang hidup setelahku akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Wajib atas kalian berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Peganglah erat dan gigitlah ia dengan gigi geraham….”[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, Ahmad 4/126-127, dan yang lainnya; shahih].
Hadits-hadits ini menginformasikan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu kelompok saja yang selamat, yaitu orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah dan para shahabatnya dengan sebenar-benarnya. Merekalah salafi (sesuai dengan pengertian sebelumnya). Merekalah Ahlus-Sunnah, sebagaimana dikatakan As-Sam'aaniy rahimahullah mengenai ciri pokok mereka:
شعار أهل السنَّة اتباعهم السلف الصالح، وتركهم كل ما هو مبتدع محدث
"Syiar Ahlis-Sunnah adalah sikap ittiba' mereka kepada As-Salafush-Shaalih, dan meninggalkan segala sesuatu yang diada-adakan (dalam agama)" [Al-Intishaar li-Ashhaabil-Hadiits hal. 31].
Selain mereka (Salafi/Ahlus-Sunnah), maka masuk dalam 72 golongan sisanya yang terdiri dari kelompok-kelompok menyimpang dalam Islam yang tidak mengikuti jalan as-salafush-shaalih.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahumallahberkata:
شعار أهل البدع: هو ترك انتحال اتباع السلف
"Syiar Ahli Bid'ah adalah meninggalkan penerimaan dalam ittiba' terhadap salaf" [Majmuu' Al-Fataawaa, 4/155].
Kelompok menyimpang/ahli bid’ah yang masuk ke kelompok sempalan yang 72 buah itu diantaranya apa yang dikatakan oleh Yuusuf bin Asbath rahimahullah:
أُصُولُ الْبِدَعِ أَرْبَعٌ: الرَّوَافِضُ، وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَالْمُرْجِئَةُ، ثُمَّ تَتَشَعَّبُ كُلُّ فِرْقَةٍ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ طَائِفَةً، فَتِلْكَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُونَ الْجَمَاعَةُ الَّتِي قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: إِنَّهَا النَّاجِيَةُ "
“Pokok-pokok kebid’ahan ada 4 (empat), yaitu Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, dan Murji’ah. Kemudian masing-masing firqah tersebut bercabang-cabang lagi menjadi 18 golongan sehingga totalnya menjadi 72 firqah. Dan yang ke-73 adalah Al-Jamaa’ah yang disabdakan Nabi : ‘Inilah firqah/kelompok yang selamat” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 17].
Ada perkataan ulama lain yang merinci untuk 72 kelompok sempalan ini selain dari penjelasan Yuusuf bin Asbath rahimahullah di atas. Ke-72 kelompok tersebut masih memiliki pokok Islam, namun menyimpang dari jalan as-salafush-shalih.
Jika demikian, apakah dapat dibenarkan untuk dikatakan semua muslim adalah salafiy ?. include di dalamnya kelompok-kelompok sempalan/ahli bid’ah yang menggembosi Islam dari dalam ?. Tentu tidak.
Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika menyebutkan biografi para ulama Ahlus-Sunnah yang kuat ittiba’-nya kepada as-salafush-shaalih, menyifatinyadengan salafiy. Diantaranya, ketika menyifati Ad-Daaraquthniy rahimahullah:
لم يدخل الرجل أبدا في علم الكلام ولا الجدال، ولا خاض في ذلك، بل كان سلفيا
“Ia (Ad-Daaraquthniy) tidak masuk sama sekali dalam ilmu kalam dan jidal (perdebatan), serta tidak pula mendalaminya. Bahkan ia seorang salafy” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 16/457].
Juga Abul-‘Abbas Ahmad bin Al-Muhaddits Al-Faqiih Majduddiin ‘Isaa bin Al-Imaam Al-‘Allamah Muwaffaquddiin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah:
وكان ثقة ثبتا، ذكيا، سلفيا، تقيا، ذا ورع وتقوى
“Ia seorang yang tsiqah (terpercaya), tsabt, pandai, salafiy, hati-hati, punya sifat wara’ dan taqwa…” [Idem, 23/118].
Sebaliknya, ketika menyebut orang-orang yang manhaj atau ‘aqidahnyanya ‘bermasalah’, Adz-Dzahabiy rahimahullah mensifati mereka dengan kebid’ahannya. Misalnya, Ibraahiim bin Abi Yahyaa Al-Aslamiy Al-Madaniy:
قدري، معتزلي، يروى أحاديث ليس لها أصل. وقال البخاري: تركه ابن المبارك والناس. وقال البخاري أيضا: كان يرى القدر، وكان جهميا.
Qadariy, mu’taziliy. Ia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak ada asalnya. Al-Bukhaariy berkata : ‘Ibnul-Mubaarak dan orang-orang meninggalkannya’. Al-Bukhaariy juga berkata : ‘Ia memiliki pandangan qadariyyah, seorang jahmiy” [Miizaanul-I’tidaal, 1/57-58 no. 189].
Ibraahiim bin Thahmaan :
ثقة متقن من رجال الصحيحين، وكان مرجئاً
Tsiqah, mutqin, termasuk perawi kitab Ash-Shahiihain, namun ia seorang Murji’(memiliki pemikiran Murji’ah)” [Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim, hal. 35 no. 1].
Al-Hasan bin Shaalih bin Hay :
مع جلالة الحسن وامامته كان فيه خارجية.
“Bersamaan dengan keagungan dan keimaman Al-Hasan, namun padanya ada pemikiran Khawaarij (Khaarijiyyah)” [Tadzkiratul-Huffadh, 1/217].
So, apakah kita pikir paham Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, Murji’ah, dan yang lainnya itu telah punah di dunia saat ini ?. Jawabannya : tidak. Malah mereka telah bermutasi dengan berbagai nama sehingga hakekatnya menjadi samar dari kejauhan.
Diantaranya, Khawaarij pada hari ini berada di bawah bendera ISIS yang menghalalkan darah kaum muslimin di berbagai penjuru negeri, dari Timur sampai Barat. Mereka muslim,…. tapi apakah mereka salafi ?. Kalau Anda mengatakan Salafi; mohon maaf, saya jelas tidak sependapat.
Apabila, slogan semua muslim adalah salafi dimaksudkan sebagai ajakan liberalisasi salafi/ahlus-sunnah dengan menyatukan semua kelompok Islam, tak peduli benar atau salahnya ‘aqidah dan manhaj mereka dalam baju salafiy; tentu ini menyalahi kaedah. Tidak mungkin dua hal yang berlawanan untuk disatukan : Sunnah dengan Bid’ah, Salafi/Ahlus-Sunnah dengan Ahli Bid’ah.
Di sini point pentingnya.
[bersambung, insya Allah– abul-jauzaa’, 300032017, 9:52 WIB]




[1]     Pertama, karena itu merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Sama seperti ketika Anda ditanya : ‘Apa pandangan Anda tentang Ayam Bakar Wong Solo ?’. Tentu Anda bebas menjawab sesuai pandangan Anda. Enak, tidak enak, tidak tahu, atau bahkan tidak menjawab sama sekali.
Kedua, jawaban tersebut sifatnya tertutup untuk anggota grup, khususnya yang bertanya. Hanya saja, karena kurangnya sifat amanah sebagian anggota grup, rekaman jawaban itu pun menyebar keluar (padahal sudah dipesan untuk tidak disebarkan). Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui" [QS. Al-Anfaal : 27].
Inilah adab yang banyak dilupakan oleh banyak anggota grup media sosial yang sifatnya tertutup (WA, path, dll.). Nabi bersabda:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Tunaikanlah amanah pada orang yang memberikan amanah kepadamu dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1264, Abu Daawud no. 3535, Ad-Daarimiy no. 2600, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1831-1832, dan yang lainnya; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 423].
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga : Jika berbicara berdusta, jika berjanji tidak menepati, dan jika dipercaya dia berkhianat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 33 & 2682 & 2749 & 6095, Muslim no. 59, At-Tirmidziy no. 2631, dan yang lainnya].
[2]     Itulah yang dilakukan para ulama zaman ke zaman. Bukan hanya dilakukan oleh ‘duaat Rodja’ saja (sebenarnya saya tidak nyaman menggunakan frasa ini). Bahkan (sebaliknya), yang mentahdzir ‘duaat Rodja’, ‘pendengar Rodja’, salafi, wahabi, dan yang semisalnya; banyak, dan lebih banyak. Termasuk diantaranya yang menggoreng masalah ini…. Gak percaya ?
Tentang tahdzir,….. dulu, ‘Aliy bin Abi Khaalid pernah menceritakan kepada Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah tentang seorang syaikh yang duduk bermajelis dengan Al-Haarits Al-Muhaasibiy (mubtadi’). Syaikh tersebut telah dinasihati agar tidak bermajelis dengannya, namun tetap saja ia bermajelis dengannya. ‘Aliy bin Abi Khaalid berkata:
فرأيت أَحْمَد قد أحمر لونه، وانتفخت أوداجه وعيناه، وما رأيته هكذا قط، ثم جعل ينفض، ويقول: ذاك؟ فعل اللَّه به وفعل، ليس يعرف ذاك إلا من خبره وعرفه، أويه، أويه، أويه، ذاك لا يعرفه إلا من خبره، وعرفه، ذاك جالسه المغازلي، ويعقوب، وفلان، فأخرجهم إلى رأي جهم، هلكوا بسببه،
فقال الشيخ: يا أبا عَبْد اللَّه، يروي الحديث، ساكن خاشع، من قصته، ومن قصته؟ فغضب أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، وجعل يقول: لا يغرك خشوعه ولينه، ويقول لا يغتر بتنكيس رأسه، فإنه رجل سوء، ذاك لا يعرفه، إلا من قد خبره، لا تكلمه، ولا كرامة له، كل من حدث بأحاديث رَسُول اللَّهِ ﷺ وكان مبتدعا، تجلس إليه؟ لا، ولا كرامة، ولا نعمى عين
Maka aku melihat wajah Ahmad memerah, serta urat leher dan kedua matanya menjadi membesar (karena menahan amarah). Aku belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya sama sekali. Setelah mereda, beliau rahimahullah berkata : “Orang itu (Al-Haarits) ? Semoga Allah menimpakan sesuatu kepadanya. Tidak ada orang yang mengenalnya kecuali orang yang tahu dan kenal dengannya. Ah…ah…ah… Orang itu, .... tidak ada yang mengenalnya kecuali orang yang tahu dan kenal dengannya. Al-Maghaazaliy, Ya’quub, dan Fulaan telah bermajelis dengannya, lalu ia (Al-Haarits) menjerumuskan mereka kepada pemikiran Jahm (bin Shafwaan), hingga mereka binasa dengan sebab dirinya”.
Maka syaikh itu berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, ia (Al-Haarits) meriwayatkan hadits, tenang, lagi khusyu’. Dan ceritanya begini dan begitu”. Abu ‘Abdillah marah dan berkata : “Jangan engkau tertipu dengan kekhusyukan dan kelembutannya. Jangan engkau tertipu dengan kepalanya yang tertunduk, karena ia adalah orang yang jelek. Tidak ada orang yang mengenalnya kecuali orang yang tahu tentangnya. Jangan engkau berbicara dengannya. Tidak ada kemuliaan padanya. Apakah semua orang yang berbicara tentang hadits-hadits Rasulullah sementara ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah); boleh untuk bermajelis dengannya ?. Tidak, tidak ada kemuliaan padanya. Kita tidak boleh membutakan mata kita (terhadap hal itu)” [Thabaaqatul-Hanaabilah, 2/149-150].
Beberapa pelajaran dari kisah di atas:
a.    Hakekat kesalahan/kesesatan seseorang seringkali hanya diketahui oleh orang-orang tertentu yang telah mengenalinya.
b.    Tahdzir dilakukan para ulama terhadap ahli bid’ah dan/atau pelaku penyimpangan dalam rangka menjaga agama dan kaum muslimin.
c.     Nasihat untuk tidak bermajelis dengan ahli bid’ah dan/atau pelaku penyimpangan karena dapat menjerumuskan dalam kesesatan/penyimpangannya tanpa disadari.
d.    Sebagian manusia terkelabuhi oleh ilmu yang disampaikan ahli bid’ah dan/atau pelaku penyimpangan dan akhlaq yang nampak darinya, sehingga kesesatan/penyimpangannya menjadi samar.
e.    Anjuran untuk bertanya kepada ahli ilmu terkait permasalahan agama yang ia hadapi.
Wallaahu a’lam.
[3]     Mungkin ini keseleo lidah (slip of tongue), karena yang dikatakan tersebut adalah aliran Jabriyah sebagai opposite dari Qadariyyah. Mereka (Jabriyyah) berkata : Sesungguhnya para hamba dipaksa dalam perbuatan-perbuatan mereka, dan mereka tidak mempunyai pilihan. Apabila suatu perbuatan disandarkan kepada makhluk, maka itu hanyalah majaziy saja, karena yang berbuat secara hakiki adalah Allah. Hamba tidak ubahnya seperti kayu yang hanyut di air atau daun yang tertiup angina.
Adapun Qadariyyah, maka mereka menafikkan takdir dengan berbagai tingkatannya.
قِيلَ لابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ قَوْمًا يَقُولُونَ: لا قَدَرَ، قَالَ: فَقَالَ: أُولَئِكَ الْقَدَرِيُّونَ أُولَئِكَ مَجُوسُ هَذِهِ الأُمَّةِ
Dikatakan kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : “Sesungguhnya ada satu kaum yang mengatakan : ‘tidak ada qadar”. Makai ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Mereka adalah Qadariyyah. Mereka adalah Majusinya umat ini” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 958 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 1517].
[4]     Yaitu, beriman bahwa Allah ta’alamengetahui segala sesuatu yang ada maupun yang tidak ada; yang mungkin maupun yang tidak mungkin (mustahil); yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang belum terjadi; serta mengetahui bagaimana terjadinya. Dalilnya diantaranya adalah firman Allah ta’ala:
لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu” [QS. Ath-Thalaq : 12].
[5]     Yaitu, beriman bahwa Allah ta’alatelah menuliskan segala sesuatu di sisi-Nya, di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun sebelum Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi. Maka, tidak ada sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi luput dari Lauh Mahfuudh.
Allah ta’ala berfirman:
وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ * وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ
“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis” [QS. Al-Qamar : 52-53].
[6]     Yaitu beriman bahwa segala sesuatu yang ada hanya terjadi dengan keinginan dan kehendak Allah ta’ala. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan apa yang telah dikehendaki Allah. Apa yang dikehendaki Allah ta’ala pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki Allah ta’ala tidak akan terjadi.
[7]     Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu, baik dzat maupun perbuatannya; semua yang bergerak dan gerakannya; serta yang ada, yang pernah ada, maupun yang belum ada. Oleh karena itu, tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi kecuali Allah ta’ala adalah Penciptanya.
[8]     Juga diriwayatkan dari ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ مَالِك، عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، فَقَالَ: "مَا رَأْيُكَ فِي هَؤُلَاءِ الْقَدَرِيَّةِ ؟ فَقُلْتُ: رَأْيِي أَنْ تَسْتَتِيبَهُمْ فَإِنْ تَابُوا وَإِلَّا عَرَضْتَهُمْ عَلَى السَّيْفِ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: "وَذَلِكَ رَأْيِي ". قَالَ مَالِك: وَذَلِكَ رَأْيِي
Dari Maalik, dari pamannya yaitu Abu Suhail bin Maalik, ia berkata : Aku pernah berjalan bersama ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, lalu ia bertanya : "Apa pendapatmu tentang orang-orang Qadariyah?". Aku menjawab : "Menurutku, engkau mesti meminta mereka untuk bertaubat. Jika mereka bertaubat, maka diterima. Namun jika tidak mau bertaubat, maka engkau bunuh mereka dengan pedang”. ‘Umar bin ‘Abdil-‘Azii berkata : "Itu juga pendapatku". Maka Maalik (bin Anas – perawi riwayat ini) berkata : "Dan itu juga pendapatku” [Al-Muwaththa’].

Masukan untuk AH hafizohullah

$
0
0
Bagian kedua :  Tafsir al-Qur’an ala Ustadz AH hafizohullah
Menafsirkan al-Qur’an tentu harus berhati-hati, berusaha merujuk kepada tafsiran para salaf -apalagi kalau mengaku bermanhaj salaf-. Terlebih lagi kalau menimbulkan penafsiran model baru dengan model tafsir majaz (kiasan) dan meninggalkan dzohir (tekstual) ayat, lalu menyalahkan tafsir yang sudah dikenal oleh salaf dan kaum muslimin.
Saya rasa hampir seluruh kaum muslimin di dunia ini -termasuk juga di Indonesia- menafsirkan atau menerjemahkan firman Allah “Ihdinash-Shiraathal-Mustaqiim” dengan “Tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus”.
Namun ternyata terjemah/tafsir yang selama ini diyakini oleh kaum muslimin dinilai salah oleh al-Ustadz AH !!?
Ustadz Adi Hidayat dalam video yang berjudul Cara Ampuh Berdoa Ketika Shalat Agar Cepat Dikabulkan saat menjelaskan tempat dikabulkannya doa saat berdiri shalat dengan membawakan hadits Abu Hurairah, berkata (mulai menit 06:17):
Perhatikan, karena itulah saat berdiri diberikan oleh Allah satu tawaran, kalau dibacakan diberikan apa yang dibutuhkan. Mau nggak ? Itulah ihdinash-shiraathal-mustaqiim. Tunjukkan kami ya Allah, solusi terbaik dari masalah yang kami miliki. Maaf, ihdinash-shiraathal-mustaqiim itu arti yang tepat bukan‘tunjukkan kami pada jalan yang lurus’. Itu bahasa kiasan. Ga pakai oo.. bu. Itu bahasa kiasan. Ihdinaa dari kata hudan, hidayah, itu solusi dari persoalan yang dihadapi. Jadi punya masalah apapun ya Allah, solusinya tolong berikan. Ash-shiraathal-mustaqiim itu kata kiasan. Majaz dalam bahasa Arab. Yang mudah tidak sulit prosesnya. Jadi berikan solusinya, tapi mudah. Jadi ketika kita minta dalam shalat, itu minta ya Allah, saya punya masalah, tolong berikan. Diberikan oleh Allah satu bacaan. Dibaca. Jadi yang punya masalah di rumah tangga, diberikan solusinya. Yang punya masalah di pekerjaan, diberikan solusinya. Dan itu bukan biasa………
Kesimpulan tafsir ustadz AH :
-      Arti “ihdinas shirothol mustaqim” dengan “Tunjukanlah kami jalan yang lurus” ternyata salah
-      Arti tersebut salah karena diterjemahkan secara tekstual, padahal menurut ustadz AH susunan “Ihdinas shirothol mustaqim” adalah susunan majaz/kiasan (tidak sesuai dzohir tekstualnya)
-      Yang benar “Tunjukanlah kami solusi terbaik dari masalah yang kami hadapi
Adapun tafsir “ihdinas shirothol mustaqim” menurut ahli tafsir adalah : “Tunjukanlah/anugrahkanlah/ilhamkanlah/bimbinglah/berilah kepada kami jalan yang lurus”.
Dan as-shirot al-mustaqimmenurut tafsir para ahli tafsir ada beberapa tafirasan yaitu : Kitabullah, tali Allah yang sangat kuat, Islam, agama Allah, kebenaran, serta Nabi dan kedua shahabatnya : Abu Bakr dan ‘Umar
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata(tentang tafsir “ihdina”)
والهداية هاهنا: الإرشاد والتوفيق، وقد تعدى الهداية بنفسها كما هنا (1) { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ } فتضمن معنى ألهمنا، أو وفقنا، أو ارزقنا، أو اعطنا
"Dan al-hidayah di sini maksudnya adalah bimbingan dan taufiq. Kadang kata al-hidayah dimuta'addikan dengan dirinya sebagaimana ayat ini 'ihdinash-shiraathal-mustaqiim'; sehingga mengandung pengertian “ilhamkanlah kepada kami”, “Bimbinglah kami”, “Anugrahkanlah kami”, dan “Berikanlah kepada kami
Beliau juga berkata (tentang tafsir as-shirot al-mustaqim) :
وأما الصراط المستقيم، فقال الإمام أبو جعفر بن جرير: أجمعت الأمة من أهل التأويل جميعًا على أن "الصراط المستقيم"هو الطريق الواضح الذي لا اعوجاج فيه.
Adapun 'ash-shiraathul-mustaqiim', Al-Imaam Abu Ja'far bin Jariir berkata : Umat Islam dari kalangan pakar ta'wiil (mufassiriin) telah SEPAKAT bahwa 'ash-shiraathul-mustaqiim' maknanya adalah jalan yang jelas, yang tidak ada kebengkokan padanya" [Tafsiir Ibni Katsiir 1/137].
Setelah menurunkan ragam pendapat mufassirin tentang makna ash-shiraath al-mustaqiim (Kitabullah, tali Allah yang sangat kuat, Islam, agama Allah, kebenaran, serta Nabi dan kedua shahabatnya : Abu Bakr dan ‘Umar), Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وكل هذه الأقوال صحيحة، وهي متلازمة، فإن من اتبع النبي صلى الله عليه وسلم، واقتدى باللذين من بعده أبي بكر وعمر، فقد اتبع الحق، ومن اتبع الحق فقد اتبع الإسلام، ومن اتبع الإسلام فقد اتبع القرآن، وهو كتاب الله وحبله المتين، وصراطه المستقيم، فكلها صحيحة يصدق بعضها بعضا، ولله الحمد.
"Semua perkataan/penafsiran ini adalah benar, yaitu saling menguatkan. Karena, barangsiapa yang mengikuti (ittiba') Nabi , meneladani orang-orang sepeninggal beliau yaitu Abu Bakr dan 'Umar, sungguh ia telah mengikuti kebenaran. Barangsiapa yang mengikuti kebenaran, sungguh ia telah mengikuti Islam. Barangsiapa yang mengikuti Islam, sungguh ia telah mengikuti Al-Qur'an, yaitu Kitabullah, tali-Nya yang sangat kuat, dan jalan-Nya yang lurus. Semuanya penafsiran itu benar dan membenarkan yang lain. Walillaahil-hamd"
Terdapat hadits marfuu’ dari Nabi yang menjelaskan makna ash-shiraathul-mustaqiim:
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الْكِلَابِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِنَّ اللَّهَ ضَرَبَ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا عَلَى كَنَفَيِ الصِّرَاطِ دَارَانِ لَهُمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، عَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ، وَدَاعٍ يَدْعُو عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ، وَدَاعٍ يَدْعُو فَوْقَهُ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ، وَالْأَبْوَابُ الَّتِي عَلَى كَنَفَيِ الصِّرَاطِ حُدُودُ اللَّهِ، فَلَا يَقَعُ أَحَدٌ فِي حُدُودِ اللَّهِ حَتَّى يُكْشَفَ السِّتْرُ، وَالَّذِي يَدْعُو مِنْ فَوْقِهِ وَاعِظُ رَبِّهِ "
Dari An-Nawwaas bin Sam’aan Al-Kilaabiy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Sesungguhnya Allah ta’ala telah membuat perumpamaan ash-shiraathul-mustaqiim dengan shirath yang di sampingnya ada dua tembok yang mempunyai pintu terbuka. Di setiap pintu terdapat tirai, penyeru yang menyeru di tengah shiraath, dan penyeru yang menyeru di atasnya (penyeru pertama). ‘Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)’ (QS. Yuunus : 25). Pintu-pintu yang berada di samping shiraath adalah batasan-batasan (larangan-larangan) Allah. Tidak ada seorangpun yang jatuh kepada larangan Allah hingga ia menyingkap tirainya. Penyeru yang berada di atasnya adalah penasihat (ilham) dari Rabbnya
Dalam riwayat lain dirinci :
وَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ، وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ، وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالدَّاعِي من فَوْقَ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ
Dan shiraath tersebut adalah Islam, kedua tembok/dinding adalah batasan-batasan (larangan-larangan) Allah, pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Penyeru yang berada di tengah shiraath adalah Kitabullah ‘azza wa jalla, sedangkan penyeru yang berada di atas shiraath adalah penasihat Allah (ilham) yang berada di hati setiap muslim” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2859, Ahmad 4/182 & 183, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 18-19, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/141].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: "خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: "هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ "، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: "هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ: مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ "، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًافَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : “Rasulullah pernah menggambar untuk kami sebuah garis (di tanah), lalu bersabda : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggambar banyak garis di kanan dan kiri garis tersebut, kemudian bersabda : “Ini adalah jalan-jalan yang lain, dimana setiap jalan tersebut ada setan yang menyeru pada jalan tersebut”. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya’ (QS. Al-An’aam : 153)” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/435; sanadnya hasan].
‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu sendiri menafsirkan ash-shiraathul-mustaqiim dengan perkataannya:
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ، قَالَ: هُوَ كِتَابُ اللَّهِ
“Makna ‘ash-shiraathul-mustaqiim’ adalah Kitabullah” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 2/258, dan ia menshahihkannya].
‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa– salah seorang pakar tafsir di kalangan shahabat – menjelaskan:
هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَاهُ "، قَالَ: فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلْحَسَنِ، فَقَالَ: "صَدَقَ وَاللَّهِ وَنَصَحَ وَاللَّهِ هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا "
Ash-shiraathul-mustaqiimadalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan dua orang shahabatnya”. Perawi berkata : Maka kami menyebutkan hal itu kepada Al-Hasan, lalu ia berkata : “Ia benar, demi Allah, ia telah memberikan nasihat, demi Allah. (Ash-shiraathul-mustaqiim) adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, 2/259; dan ia menshahihkannya].
Rasulullah merupakan ash-shiraathul-mustaqiim (jalan yang lurus), karena Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].
Begitu juga dengan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, karena Nabi sendiri yang memerintahkan para shahabat (dan kita pada umumnya) untuk meneladani Abu Bakr dan ‘Umar sepeninggal beliau:
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ
Mencontohlah kepada dua orang setelahku : Abu Bakr dan ‘Umar” [lihat : Silsilah Ash-Shahiihah no. 1233].
So, jika penafsiran-penafsiran yang didasarkan oleh riwayat/atsar dan perkataan as-salafush-shaalihdi atas dikatakan tidak tepat karena hanya kiasan saja; apakah kita harus membenarkan penafsiran Ustadz Adi Hidayat di atas ? yaitu : berikanlah kami ya Allah solusi yang mudah atas persoalan kami ?. Apakah kita mesti meninggalkan hadits,atsar sahabat dan ijmaa’mufassiriin (sebagaimana ditegaskan Ibnu Katsiir) untuk mengikuti tafsir majaz/kiasan ala Ustadz Adi Hidayat ?.
Metode penafsiran tanpa membawakan penjelasan ulama tentu sangat disayangkan bagi sekelas Ustadz Adi Hidayat - yang saya yakin sangat mampu untuk membawakannya (berikut judul, juz, halaman, dan letak baris kalimatnya) – karena rawan kesalahan.
Ingat pesan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ
“Berhati-hatilah berkata dalam satu permasalahan yang engkau tidak memiliki pendahulunya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/296].
[abul-jauzaa’ – bogor, 31032017 – 20:02 WIB].
Dikoreksi oleh : Al-Ustadz Firanda Andirja hafidhahullah (https://goo.gl/I4wCVj). 

Kebaikan dan Kejelekan Terjadi atas Takdir (Qadar) Allah

$
0
0
Syaikhul-Islaam Abu ‘Utsmaan Ismaa’iil Ash-Shaabuuniy rahimahullah (w. 449 H) berkata:
ويشهد أهل السنة ويعتقدون : أن الخير والشر، والنفع والضر [والحلو] والمر بقضاء الله وقدره لا مرد لها ولا محيص ولا محيد عنها ، ولا يصيب المرء إلا ما كتب له ربه ، ولو جهد الخلق أن ينفعوا المرء بما لم يكتب الله له لم يقدروا عليه ، ولو جهدوا أن يضروه بما لم يقضه الله [عليه] لم يقدروا . على ما ورد به خبر عبد الله بن عباس [رضي الله عنهما] ، عن النبي ﷺ . قال الله عز وجل : وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ

“Ahlus-Sunnah bersaksi dan meyakini bahwa kebaikan dan kejelekan, manfaat dan mudlarat, serta  manis dan pahitnya, terjadi dengan ketetapan dan takdir (qadar) Allah. Tidak ada yang dapat mencegahnya, menyimpangkannya, dan menjauhkannya. Seseorang tidak tertimpa sesuatu kecuali dengan ketentuan yang telah Rabbnya tuliskan untuknya. Seandainya seluruh makhluk berusaha keras untuk memberikan manfaat seseorang dengan sesuatu yang tidak Allah tetapkan untuknya, maka mereka tidak mampu melakukannya. Dan seandainya seluruh makhluk berusaha keras untuk memberikan mudlarat kepadanya dengan sesuatu yang tidak Allah tetapkan untuknya, maka mereka pun tidak mampu melakukannya. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi .[1]Allah ‘azza wa jalla berfirman : “Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya” (QS. Yuunus : 107)” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 70-71].
Inilah ‘aqidah Ahlus-Sunnah yang menetapkan semua kebaikan dan kejelekan yang terjadi berdasarkan qadar/takdir Allah ta’ala yang tercatat di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Allah ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuudh) sebelum Kami menciptakannya”[QS. Al-Hadiid : 22].
Rasulullah bersabda:
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah menulis seluruh takdir makhluk-makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653].
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
Sesungguhnya makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Allah ta’ala berfirman kepadanya : ‘Tulislah’. Pena bertanya : ‘Wahai Rabbku, apa yang mesti aku tuliskan?’. Allah ta’ala berfirman : ‘Tulislah takdir segala sesuatu hingga datang hari kiamat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2155 & 3319, Abu Daawud no. 4700; dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/148].
حَدَّثَنِي أَبِي نا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ مَنْصُورِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْغُدَانِيِّ، قَالَ: قُلْتُ لِلْحَسَنِ قَوْلُهُ: مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا، قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، وَمَنْ يَشُكُّ فِي هَذَا، كُلُّ مُصِيبَةٍ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ فَفِي كِتَابِ اللَّهِ قَبْلَ أَنْ يَبْرَأَ النَّسَمَةَ
Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepadaku Ismaa’iil (bin ‘Ulayyah), dari Manshuur bin ‘Abdirrahmaan Al-Ghudaaniy, ia berkata : Aku bertanya kepada Al-Hasan (Al-Bashriy) tentang firman-Nya : ‘Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya’ (QS. Al-Hadiid : 22), ia berkata : “Subhaanallah, dan siapakah yang meragukan ayat ini ?. Semua musibah yang terjadi antara langit dan bumi, maka itu telah ditetapkan dalam Kitab Allah (Lauh Mahfuudh) sebelum Allah menciptakan manusia” [Diriwayatkan ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 961; sanadnya hasan].
Termasuk dalam hal ini adalah segala perbuatan baik dan jelek/jahat yang dilakukan oleh manusia, semua itu berjalan menurut taqdir yang telah Allah ta’alatetapkan. Allah ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan” [QS. Al-An’aam : 137].
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya” [QS. Al-Baqarah : 253].
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ
“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya” [QS. Asy-Syuuraa : 8].
Bahkan Allah ta’ala telah menetapkan bahagia celaka, serta kemana tempat kembali seseorang kelak (surga atau neraka) berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ قَتَادَةَ السُّلَمِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ آدَمَ، ثُمَّ أَخَذَ الْخَلْقَ مِنْ ظَهْرِهِ، وَقَالَ: هَؤُلَاءِ فِي الْجَنَّةِ وَلَا أُبَالِي، وَهَؤُلَاءِ فِي النَّارِ وَلَا أُبَالِي ".قَالَ: فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَعَلَى مَاذَا نَعْمَلُ؟ قَالَ: "عَلَى مَوَاقِعِ الْقَدَرِ "
Dari ‘Abdurrahmaan bin Qataadah As-Sulamiy, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menciptakan Adam, kemudian ia menciptakan makhluk (yaitu keturunannya) dari tulang punggungnya seraya berfirman : ‘Mereka akan berada di surga sedangkan Aku tidak peduli; dan  mereka akan berada di neraka, sedangkan Aku tidak peduli”. Seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, lantas atas dasar apa kita beramal ?”. Beliau menjawab : “Di atas dasar/pijakan qadar” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/186, Ibnu Hibbaan no. 338, Al-Haakim 1/31, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhriij Musnad Al-Imaam Ahmad 29/206].
عَنْ مُسْلِمِ بْنِ يَسَارٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سُئِلَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ قَالَ: قَرَأَ الْقَعْنَبِيُّ الْآيَةَ فَقَالَ عُمَرُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ سُئِلَ عَنْهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ آدَمَ، ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ بِيَمِينِهِ، فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً، فَقَالَ: خَلَقْتُ هَؤُلَاءِ لِلْجَنَّةِ وَبِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَعْمَلُونَ، ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً، فَقَالَ خَلَقْتُ هَؤُلَاءِ لِلنَّارِ، وَبِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ يَعْمَلُونَ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَفِيمَ الْعَمَلُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا خَلَقَ الْعَبْدَ لِلْجَنَّةِ اسْتَعْمَلَهُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَمُوتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُدْخِلَهُ بِهِ الْجَنَّةَ، وَإِذَا خَلَقَ الْعَبْدَ لِلنَّارِ اسْتَعْمَلَهُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى يَمُوتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ النَّارِ، فَيُدْخِلَهُ بِهِ النَّارَ "
Dari Muslim bin Yasaar Al-Juhaniy : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab pernah ditanya tentang ayat ini : ‘Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka’ (QS. Al-A’raaf : 172). - Al-Qa’nabiy membaca ayat tersebut - . Maka ‘Umar berkata : Aku mendengar Rasulullah pernah ditanya tentang ayat tersebut, lalu bersabda : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menciptakan Adam, lalu Ia mengusap punggungnya dengan tangan kanan-Nya, dan mengeluarkan darinya sejumlah keturunannya. Allah berfirman : ‘Aku telah menciptakan mereka untuk dimasukkan ke dalam surga dengan amalan penduduk surga, dan mereka pun mengamalkannya.’. Kemudian Allah mengusap punggungnya lagi, lalu mengeluarkan darinya sejumlah keturunannya, dan Allah berfirman : ‘Aku telah menciptakan mereka untuk neraka dengan amalan penduduk neraka, dan mereka pun mengamalkannya”. Ada seorang laki-laki bertanya : "Wahai Rasulullah, lantas apa gunanya beramal?”. Maka Rasulullah menjawab : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla apabila menciptakan seorang hamba untuk surga, maka Allah menjadikannya beramal dengan amalan penduduk surga, hingga ia mati dalam keadaan beramal dengan amalan-amalan penduduk surga, lalu ia dimasukkan ke dalam surga dengan amalan tersebut. Dan apabila Allah menciptakan seorang hamba untuk neraka, maka Allah menjadikannya beramal dengan amalan penduduk neraka, hingga ia mati dalam keadaan mengamalkan amalan penduduk neraka, lalu ia dimasukkan ke dalam neraka dengan amalan tersebut” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3075, Abu Daawud no. 4703, Ahmad 1/44-45, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/149-150 dan Al-Arna’uth dalam Takhriij Musnad Al-Imaam Ahmad 1/399-400].
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُرَاقَةُ بْنُ مَالِكِ بْنِ جُعْشُمٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَيِّنْ لَنَا دِينَنَا كَأَنَّا خُلِقْنَا الْآنَ، فِيمَا الْعَمَلُ الْيَوْمَ؟ أَفِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ؟ أَمْ فِيمَا نَسْتَقْبِلُ؟ قَالَ: لَا، بَلْ فِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ، قَالَ: فَفِيمَ الْعَمَلُ، فَقَالَ: اعْمَلُوا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ "
Dari Jaabir, ia berkata : Suraaqah bin Maalik bin Ju’syum datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, berikanlah penjelasan kepada kami tentang agama kami, seakan-akan kami baru diciptakan sekarang. Untuk apakah kita beramal hari ini?. Apakah itu terjadi pada hal-hal yang pena telah kering dan takdir yang berjalan, ataukah untuk yang akan datang?”. Beliau menjawab : “Bahkan pada hal-hal yang dengannya pena telah kering dan takdir yang berjalan”. Ia bertanya : “Lalu apa gunanya beramal?”. Beliau bersabda : “Beramallah kalian, karena masing-masing dimudahkan (untuk melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2648].
عَنْ عِمْرَانَ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فِيمَا يَعْمَلُ الْعَامِلُونَ؟، قَالَ: كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
Dari ‘Imraan, ia berkata : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, lantas untuk apa orang-orang yang beramal melakukan amalan mereka ?”. Beliau : “Setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7551].
Dan inilah yang dipahami para shahabat dan taabi’iin sebagaimana riwayat:
عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ: "أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ، وَمَضَى عَلَيْهِمْ مِنْ قَدَرِ مَا سَبَقَ؟ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتِ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ؟ فَقُلْتُ: بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى عَلَيْهِمْ، قَالَ: فَقَالَ: أَفَلَا يَكُونُ ظُلْمًا؟ قَالَ: فَفَزِعْتُ مِنْ ذَلِكَ فَزَعًا شَدِيدًا، وَقُلْتُ: كُلُّ شَيْءٍ خَلْقُ اللَّهِ وَمِلْكُ يَدِهِ فَ-لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ، فَقَالَ لِي: يَرْحَمُكَ اللَّهُ، إِنِّي لَمْ أُرِدْ بِمَا سَأَلْتُكَ إِلَّا لِأَحْزِرَ عَقْلَكَ، إِنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ مُزَيْنَةَ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَقَالَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ مِنْ قَدَرٍ قَدْ سَبَقَ؟ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتِ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ؟ فَقَالَ: لَا، بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا { 7 } فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا { 8 } "
Dari Abul-Aswad Ad-Dua’liy, ia berkata : ‘Imraan bin Hushain pernah berkata kepadaku : “Apa pendapatmu tentang amalan yang dikerjakan orang hari ini dan jerih payah mereka ? Apakah itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan untuk mereka dan sesuatu yang telah ditentukan takdirnya sebelumnya? Ataukah itu pada sesuatu yang akan mereka hadapi dari ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka dan hujjah tegak untuk mereka?”.  Aku menjawab : “Bahkan sesuatu yang telah ditetapkan dan diputuskan untuk mereka”. Ia berkata : “Bukankah itu satu kedhaliman?”. Abul-Aswad berkata : Aku pun sangat terkejut karenanya, lalu aku berkata : “Segala sesuatu adalah ciptaan Allah, kekuasaan berada di tangan-Nya. ‘Dia tidak ditanya tentang perbuatan-Nya, akan tetapi merekalah yang akan ditanya tentang perbuatan mereka’ (QS. Al-Anbiyaa’ : 23). Ia (’Imraan bin Hushain) berkata kepadaku : “Semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya aku tidak bermaksud dengan pertanyaanku kepadamu itu kecuali memahamkan akalmu. Sesungguhnya ada dua orang laki-laki dari Muzainah datang kepada Rasulullah . Mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang amalan yang dikerjakan orang hari ini dan jerih payah mereka ? Apakah itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan untuk mereka dan sesuatu yang telah ditentukan takdirnya sebelumnya? Ataukah itu pada sesuatu yang akan mereka hadapi dari ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka dan hujjah tegak untuk mereka?’. Beliau bersabda : ‘Tidak, bahkan yang telah ditetapkan dan diputuskan untuk mereka. Pembenaran hal itu ada dalam Kitabullah ‘azza wa jalla : ‘Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya’ (QS. Asy-Syams : 7-8)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2650].
Abul-Aswad Ad-Dualiy termasuk kibaarut-taabi’iin yang wafat tahun 69 H, sedangkan ‘Imraan bin Hushain adalah salah seorang shahabat yang mulia yang wafat tahun 52 H.
Kehendak dan Ikhtiyaar Makhluk
Lantas bagaimana dengan ayat:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir" [QS. Al-Kahfi : 29].
Apakah ayat ini menunjukkan adanya kehendak manusia yang lepas dari kehendak dan taqdir Allah (yang telah ditetapkan sebelumnya) ?. Atau dikatakan : “Manusia berkehendak dan berikhtiyar, baru ketetapan Allah menyusul kemudian ?” Atau dikatakan : “Taqdir Allah tidak mutlak karena sebagiannya bergantung pada kehendak dan ikhtiyaarmanusia ?”.
Tentu tidak ! Jika dipahami demikian, tentu akan menabrak sekian sekian banyak dalil yang diantaranya telah disebutkan di atas. Untuk memahami ayat tersebut, tentu kita butuh penjelasan ulama yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang ada.
Al-Baihaqiy rahimahullah membuat satu Bab dalam kitabnya sebagai berikut:
بَابٌ الْقَوْلُ فِي وُقُوعِ أَفْعَالِ الْعَبْدِ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
قال الله تبارك وتعالى: وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ. فأخبر أنا لا نشاء شيئا، إلا أن يكون الله قد شاء. وقال: وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا. وقال: وَلَوْ شِئْنَا لآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا. وقال: مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ. وقال: فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ. وقال وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ.
وآيات القرآن في معنى هذه الآيات كثيرة، قد كتبناها في كتاب الأسماء والصفات وفي كتاب القدر.
Bab : Perkataan tentang terjadinya perbuatan-perbuatan hamba dengan kehendak Allah ‘azza wa jalla.
Allah tabaaraka wa ta’ala berfirman : ‘Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah’ (QS. Al-Insaan : 30). (Dalam ayat ini) Allah mengkhabarkan bahwa kita tidak dapat menghendaki sesuatu kecuali apabila Allah menghendakinya. Allah ta’ala berfirman : ‘Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya’ (QS. Yuunus : 99). ‘Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi)-nya’ (QS. As-Sajdah : 13). ‘Niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki’ (QS. Al-An’aam : 111). ‘Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit’ (QS. Al-An’aam : 125). ‘Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka’ (QS. Al-Maaidah : 41).
Ayat-ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat ini banyak. Kami telah menulisnya dalam kitab Al-Asmaa’ wash-Shifaat dan Al-Qadr” [Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad, hal. 179].
عَنْ حُذَيْفَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "لَا تَقُولُوا: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلَانٌ، وَلَكِنْ قُولُوا: مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ "
Dari Hudzaifah, dari Nabi , beliau bersabda : “Jangan kalian mengatakan : ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Fulan’, akan tetapi katakanlah : ‘Atas kehendak Allah, lalu kehendak Fulan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4980, Ibnu Maajah no. 2118, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 137].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَجُلا أَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَكَلَّمَهُ فِي بَعْضِ الأَمْرِ، فَقَالَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "أَجَعَلْتَنِي لِلَّهِ عَدْلا؟ قُلْ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ "
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ada seorang laki-laki mendatangi Nabi lalu ia berbicara dengan beliau pada sebagian urusan. Ia berkata : “Atas kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka Nabi bersabda : “Apakah engkau menjadikan aku sama dengan Allah ?. Katakan : Atas kehendak Allah semata” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2117, Ahmad 1/214 & 224 & 283 & 347, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 9/362-363 no. 10759, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 139].
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ : الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata : ‘Seandainya aku berbuat demikian dan demikian, tentu tidak akan demikian dan demikian’. Akan tetapi katakanlah : Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2664, Ahmad 2/366 & 370, Ibnu Maajah no. 79 & 4168, Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad hal. 185, dan yang lainnya].
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa manusia diberikan kehendak sehingga ia dapat berikhtiyaar, namun kehendak manusia tersebut mengikutikehendak Allah ta’ala dan takdir yang telah ditetapkan sebelumnya.
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
الْمَشِيئَةُ إِرَادَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ، فَأَعْلَمَ اللَّهُ خَلْقَهُ أَنَّ الْمَشِيئَةَ لَهُ دُونَ خَلْقِهِ، وَأَنَّ مَشِيئَتَهُمْ لا تَكُونُ إِلا أَنْ يَشَاءَ
Al-Masyii’ah adalah iraadah (keinginan) Allah ‘azza wa jalla : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam’ (QS. At-Takwir : 29). Maka Allah memberitahukan makhluknya bahwa masyi’ah itu murni milik-Nya, bukan milik makhluk-Nya, dan bahwasannya masyi’ah mereka tidak terjadi kecuali jika dikehendaki-Nya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad hal. 182; shahih].
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu ketika menjelaskan QS. Al-Kahfi ayat 29 berkata:
مَنْ شَاءَ اللَّهُ لَهُ الإِيمَانَ آمَنَ وَمَنْ شَاءَ لَهُ الْكُفْرَ كَفَرَ، وَهُوَ قوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya iman, maka ia beriman; dan barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kekafiran, maka ia kafir. Dan itu adalah sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam’ (QS. At-Takwir : 29)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad hal. 190].
Setelah memberikan dalil dan pemaparan tentang permasalahan ini[2], Al-Baihaqiy rahimahullah menutup dengan perkataan:
وَقَدْ رُوِّينَا فِي حَدِيثِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، وَفِي حَدِيثِ أَبِي الدَّرْدَاءِ وَغَيْرِهِمَا، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: مَا شَاءَ اللَّهُ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ، وَهَذَا كَلامٌ أَخَذَتْهُ الصَّحَابَةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَخَذَهُ التَّابِعُونَ عَنْهُمْ وَلَمْ يَزَلْ يَأْخُذُهُ الْخَلَفُ عَنِ السَّلَفِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ وَصَارَ ذَلِكَ إِجْمَاعًا مِنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ. وَفِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ، فَنَفَى أَنْ يَمْلِكَ الْعَبْدُ كَسْبًا يَنْفَعُهُ أَوْ يَضُرُّهُ إِلا بِمَشِيئَةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ وَفِي مَعْنَى ذَلِكَ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَا.
“Dan sungguh telah diriwayatkan kepada kami hadits Zaid bin Tsaabit, hadits Abud-Dardaa’, dan yang lainnya, bahwasannya Nabi bersabda : “Apa saja yang Allah kehendaki akan terjadi, dana pa saja yang tidak Ia kehendaki tidak akan terjadi”. Perkataan ini diambil oleh para shahabat dari Rasulullh , serta diambil oleh para taabi’iindari mereka, dan senantiasa (terus-menerus) orang-orang belakangan (khalaf) mengambilnya dari salaf tanpa ada pengingkaran, sehingga hal itu menjadi ijmaa’dari mereka dalam permasalahan tersebut. Dalam Kitabullah ‘azza wa jallaAllah berfirman : ‘Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah’ (QS. Al-Kahfi : 39). Di sini Allah menafikkan bahwa hamba memiliki usaha yang dapat memberikan manfaat atau mudlarat kepadanya kecuali berdasarkan kehendak Allah dan kekuasaan-Nya” [idem, hal. 192].
Kemudian Al-Baihaqiy menukil bait syi’ir Asy-Syaafi’iy rahimahumallah :
مَا شِئْتَ كَانَ وَإِنْ لَمْ أَشَأْ     وَمَا شِئْتُ إِنْ لَمْ تَشَأْ لَمْ يَكُنْ
خَلَقْتَ الْعِبَادَ عَلَى مَا عَلِمْتَ     فَفِي الْعِلْمِ يَجْرِي الْفَتَى وَالْمُسِنُّ
عَلَى ذَا مَنَنْتَ وَهَذَا خَذَلْتَ     وَهَذَا أَعَنْتَ وَذَا لَمْ تُعِنْ
فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَمِنْهُمْ سَعِيدٌ     وَمِنْهُمْ قَبِيحٌ وَمِنْهُمْ حَسَنٌ
“Apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi, meskipun tidak menghendakinya
apa saja yang aku kehendaki apabila tidak engkau kehendaki, maka tidak terjadi
Engkau ciptakan hamba-hamba sesuai dengan apa yang Engkau ketahui
di dalam ilmu berlangsung kehidupan pemuda dan orang tua
Kepada ini Engkau anugerahkan, sedangkan yang itu Engkau terlantarkan
dan yang ini Engkau tolong, sedangkan yang itu tidak Engkau tolong
Di antara mereka ada celaka dan diantara mereka ada yang bahagia
di antara mereka ada yang buruk dan diantara mereka pula ada yang baik”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad hal. 192, Al-Kubraa10/206-207, Ma’rifatus-Sunan wal-Atsar no. 72, Al-Asmaa’ wash-Shifaat 1/450 no. 376; Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 1303, dan yang lainnya; shahih].
Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah berkata:
وَمُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّ مَا شَاءَ اللَّهُ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لا يَكُونُ، وَعَلَى أَنَّ اللَّهَ خَالِقُ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ وَمُقَدِّرُهُمَا
“(Ahlus-Sunnah) sepakat bahwa semua yang dikehendaki Allah akan terjadi, dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Mereka juga bersepakat bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan keburukan serta Yang menetapkan/menakdirkan keduanya…” [Al-Ibaanah, 1/206].
Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata:
لأَنَّ أَصْحَابَ الْحَدِيثِ كُلَّهُمْ مُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّ مَا شَاءَ اللَّهُ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لا يَكُونُ، وَعَلَى أَنَّهُ خَالِقُ الْخَيْرِ، وَالشَّرِّ
“Hal itu dikarenakan ashhaabul-hadiits (Ahlus-Sunnah) semuanya sepakatbahwa semua yang dikehendaki Allah akan terjadi, dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Mereka juga sepakat bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan kejelekan….” [Ta’wiil Mukhtalafil-Hadiits, hal. 64].
Berikut beberapa nukilan dari salaf:
أَخْبَرَنِي يُوسُفُ بْنُ مُوسَى، أَنَّ أَبَا عَبْدَ اللَّهِ، "سُئِلَ عَنْ أَعْمَالِ الْخَلْقِ، مُقَدَّرَةٌ عَلَيْهِمْ مِنَ الطَّاعَةِ وَالْمَعْصِيَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قِيلَ: وَالشَّقَاءُ وَالسَّعَادَةُ مُقَدَّرَانِ عَلَى الْعِبَادِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قِيلَ لَهُ: وَالنَّاسُ يَصِيرُونَ إِلَى مَشِيئَةِ اللَّهِ فِيهِمْ مِنْ حَسَنٍ أَوْ سَيِّئٍ؟ قَالَ: نَعَمْ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Yuusuf bin Muusaa : Bahwasannya Abu ‘Abdillah pernah ditanya tentang perbuatan-perbuatan hamba, apakah sudah ditakdirkan atas mereka berupa ketaatan dan maksiat ?”. Ia menjawab : “Ya”. Dikatakan : “Sengsara dan bahagia juga telah ditakdirkan atas hamba-hamba ?”. Ia menjawab : “Ya”. Dikatakan kepadanya : “Orang-orang berjalan menuju kehendak Allah pada mereka berupa kebaikan dan keburukan ?”. Ia menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 932].
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ الْمَرُّوذِيُّ، قَالَ: سُئِلَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الزِّنَا، بِقَدَرٍ؟ فَقَالَ: الْخَيْرُ وَالشَّرُّ بِقَدَرٍ، ثُمَّ قَالَ: الزِّنَا وَالسَّرِقَةُ، وَذَكَرَ عَنْ سَالِمٍ، وَابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُمْ قَالُوا: "الزِّنَا وَالسَّرِقَةُ بِقَدَرٍ "، ثُمَّ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: كَانَ ابْنُ مَهْدِيٍّ قَدْ سَأَلُوهُ عَنْ ذَا؟ فَقَالَ: الْخَيْرُ وَالشَّرُّ بِقَدَرٍ، فَفَحَصُوا عَلَيْهِ، فَقَالُوا لَهُ: الزِّنَا وَالسِّحَاقُ بِقَدَرٍ؟ فَكَأَنَّهُ أَنْكَرَ هَذَا، وَقَالَ: قَدْ أَجَابَهُمْ إِلَى أَنَّ الْخَيْرَ وَالشَّرَّ بِقَدَرٍ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Marruudziy, ia berkata : Abu 'Abdillah (Ahmad bin Hanbal) pernah ditanya tentang zina, (apakah ia terjadi) berdasarkan qadar (takdir) ?. Maka beliau rahimahullah menjawab : "Kebaikan maupun kejelekan terjadi dengan qadar". Kemudian beliau melanjutkan : Zina dan pencurian (terjadi berdasarkan qadar)". Beliau menyebutkan riwayat dari Saalim dan Ibnu 'Abbaas, bahwasannya mereka berkata : "Zina dan pencurian (terjadi) berdasarkan qadar. Kemudian Abu 'Abdillah berkata : "Orang-orang pernah bertanya kepada Ibnu Mahdiy tentang hal tersebut. Ibnu Mahdiy berkata : 'Kebaikan dan kejelekan (terjadi) berdasarkan qadar'. Lantas mereka mengujinya dengan pertanyaan : 'Zina dan sihaaq (lesbianisme) (terjadi) berdasarkan qadar ?' - sekan-akan ia mengingkarinya. Maka ia menjawab mereka bahwasannya kebaikan dan kejelekan (terjadi) berdasarkan qadar[3]...." [idem no. 889].
أَخْبَرَنِي عِصْمَةُ بْنُ عِصَامٍ، قَالَ: ثَنَا حَنْبَلٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: أَفَاعِيلُ الْعِبَادُ مَخْلُوقَةٌ، وَأَفَاعِيلُ الْعِبَادِ مَقْضِيَّةٌ بِقَضَاءٍ وَقَدَرٍ، قُلْتُ: الْخَيْرُ وَالشَّرُّ مَكْتُوبَانِ عَلَى الْعِبَادِ، قَالَ: الْمَعَاصِي بِقَدَرٍ ، قَالَ: وَسَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ يَقُولُ: الْمَعَاصِي بِقَدَرٍ، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَالْخَيْرُ وَالشَّرُّ بِقَدَرٍ، وَالطَّاعَةُ وَالْمَعْصِيَةُ بِقَدَرٍ، وَأَفَاعِيلُ الْعِبَادِ كُلُّهَا بِقَدَرٍ
Telah mengkhabarkan kepadaku 'Ishmah bin 'Ishaam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hanbal, ia berkata : Aku mendengar Abu 'Abdillah berkata : "Perbuatan-perbuatan hamba adalah makhluk, dan perbuatan-perbuatan hamba ditetapkan dengan qadlaa' dan qadar". Aku (Hanbal) berkata : "Apakah kebaikan dan kejelakan hamba telah dituliskan ?". Ia (Abu 'Abdillah) berkata : "Perbuatan maksiat terjadi berdasarkan qadar". Ia (Abu 'Abdillah) berkata : "Aku mendengar 'Abdurrahmaan bin Mahdiy berkata : "Perbuatan maksiat (terjadi) berdasarkan qadar". Abu 'Abdillah berkata : "Kebaikan dan kejelekan (terjadi) berdasarkan qadar. Ketaatan dan kemaksiatan (terjadi) berdasarkan qadar. Perbuatan para hamba semuanya berdasarkan qadar" [idem,no. 897].
أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي هَارُونَ، أَنَّ إِسْحَاقَ حَدَّثَهُمْ، أَنَّ أَبَا عَبْدَ اللَّهِ، سُئِلَ عَنِ الْقَدَرِ، فَقَالَ: الْقَدَرُ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْعِبَادِ، فَقَالَ رَجُلٌ: إِنْ زَنَى فَبِقَدَرٍ، وَإِنْ سَرَقَ فَبِقَدَرٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، اللَّهُ قَدَّرَهُ عَلَيْهِ
Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin Abi Haaruun : Bahwasannya Ishaaq menceritakan kepada mereka, bahwasannya Abu 'Abdillah pernah ditanya tentang qadar. Ia menjelaskan : "Al-qadar telah Allah tetapkan atas para hamba". Seseorang berkata : "Apabila ada orang yang berzina, apakah itu berdasarkan qadar ? Apabila mencuri juga berdasarkan qadar ?". Abu 'Abdillah menjawab : "Ya, Allah telah mentakdirkan hal itu padanya" [idem, no. 899].
أَخْبَرَنِي عِصْمَةُ بْنُ عِصَامٍ، قَالَ: ثَنَا حَنْبَلٌ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: إِنَّ قَوْمًا يَحْتَجُّونَ بِهَذِهِ الآيَةِ مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ، وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ، وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ، وَاللَّهُ قَضَاهَا
Telah mengkhabarkan kepadaku 'Ishmah bin 'Ishaam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hanbal : Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah : "Sesungguhnya ada satu kaum yang berhujjah dengan ayat ini : 'Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri’ (QS. An-Nisa’ : 79)". Maka Abu 'Abdillah berkata : "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri, dan Allah telah menetapkannya" [idem, no. 904].
أَخْبَرَنَا بَكْرُ بْنُ سَهْلٍ الدِّمْيَاطِيُّ بِدِمْيَاطٍ، قَالَ: ثَنَا شُعَيْبُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: ثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ، حَتَّى وَضْعِكَ يَدَكَ عَلَى خَدِّكَ
Telah mengkhabarkan kepada kami Bakr bin Sahl Ad-Dimyaathiy di negeri Dimyaath, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu'aib bin Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Laits (bin Sa'd), dari Hisyaam, dari Ibraahiim bin Muhammad bin 'Aliy, dari 'Aliy bin 'Abdillah bin 'Abbaas, ia berkata : "Semua hal terjadi berdasarkan qadar, hingga engkau meletakkan tanganmu di atas pipimu" [idem, no. 912].
Aliy bin 'Abdillah bin 'Abbaas adalah anak dari Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhu. Seorang imam yang tsiqah.
حَدَّثَنِي أَبِي، نا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، نا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُحَمَّدٍ، قَالَ: "كُنْتُ عِنْدَ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، فَجَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: الزِّنَا بِقَدَرٍ ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، قَالَ: كَتَبَهُ عَلَيَّ وَيُعَذِّبُنِي عَلَيْهِ؟ قَالَ: فَأَخَذَ لَهُ الْحَصَا "
Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Mahdiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru bin Muhamad[4], ia berkata : Aku pernah berada di sisi Saalim bin ‘Abdillah. Maka datanglah seorang laki-laki lalu berkata : “Apakah zina terjadi berdasarkan qadar ?”. Ia menjawab : “Ya”. Laki-laki itu kembali bertanya : “Hal itu telah ditetapkan untukku dan kemudian aku diadzab atasnya ?”. Maka Saalim mengambil kerikil untuknya (untuk dilemparkan kepadanya)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 933].
Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar adalah salah satu pembesar ulama kalangan taabi’iin (termasuk fuqahaa’ yang tujuh).
Bahkan ketika ternukil dari Qaatadah bin Di’aamah rahimahullah perkataannya:
الأَشْيَاءُ كُلُّهَا بِقَدَرٍ إِلا الْمَعَاصِي
“Segala sesuatu semuanya terjadi berdasarkan qadar kecuali kemaksiatan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 1295]
maka para ulama mengecam keras dirinya dan melemparkan tuduhan terimbas pemahaman qadariyyah– sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Thaahir, Al-‘Ijliy, Adz-Dzahabiy, dan yang lainnya.[5]
Bahkan Abu Tsaur rahimahullah berkata:
وَمَنْ قَالَ: الأَشْيَاءُ كُلُّهَا بِقَدَرٍ إِلا الْمَعَاصِيَ، فَلا يُصَلَّى خَلْفَهُ
“Dan barangsiapa yang mengatakan : Segala sesuatu semuanya terjadi berdasarkan qadar kecuali kemaksiatan, maka jangan shalat di belakangnya” [idem no. 1363].
Penutup
Segala sesuatu yang telah, sedang, maupun yang akan terjadi/ada di alam ini telah ditakdirkan Allah ta'ala. Ini merupakan taqdir kauniy yang menjadi rahasia Allah, tersimpan di Lauh Mahfuudh. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah ta’ala. Meskipun Allah menakdirkan adanya kemaksiatan, namun Ia menghendaki (iraadah syar’iyyah) hamba-Nya untuk menjauhinya dan semangat untuk beramal (kebajikan). Hal itu sebagaimana sabda Nabi :
اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ، ثُمَّ قَرَأَ فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى إِلَى قَوْلِهِ لِلْعُسْرَى
Beramallah kalian, karena masing-masing dimudahkan (untuk melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya)”. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (QS. Al-Lail : 5-10)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2647].
Dengan dasar itulah seorang hamba kelak akan dihisab pada hari kiamat:
الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لا ظُلْمَ الْيَوْمَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya”[QS. Al-Ghaafir : 17].
Allah ta’ala telah mengkaruniai manusia akal, kehendak, dan kemampuan yang dengannya ia dapat berikhtiyaar memilih jalan petunjuk dengannya. Allah ta’ala juga telah menurunkan Al-Qur’an dan para Nabi/Rasul untuk menjelaskan semua yang menjadi perintah dan larangan dari Allah ta’ala.
Tidak boleh kita beralasan dengan takdir terhadap kemaksiatan yang dilakukan. Seandainya seseorang mencuri, maka ia tetap akan dihukum atas perbuatan yang dilakukannya[6].
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Abul-Jauzaa’ – di bumi Allah, 07071438/04042017.




[1]     Yaitu hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَوْمًا، فَقَالَ: يَا غُلَامُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ "
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Pada suatu hari aku pernah berada di belakang Nabi (membonceng kendaraan beliau). Beliau bersabda : “Wahai anak, aku akan mengajarimu beberapa kalimat : ‘Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah, dan jika  Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Dan ketahuilah, seandainya umat ini bersatu untuk memberikan manfaat untukmu, maka mereka tidak akan dapat memberikan manfaat kepadamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan seandainya mereka bersatu untuk memberikan mudlarat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberikan mudlarat kepadamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2516, dan ia mengatakan : “Hadits ini hasan shahih”].
[2]     Yaitu permasalahan terjadinya perbuatan-perbuatan hamba dengan kehendak Allah ‘azza wa jallasebagaimana judul bab.
[3]     Orang-orang waktu itu curiga, ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy rahimahullah berpaham Qadariyyah yang mengatakan bahwa perbuatan maksiat hamba terjadi bukan karena qadar/takdir Allah. Oleh karenanya ia dibela para ulama di jamannya. Yahyaa bin Ma'iin rahimahullahberkata:
كَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ مِنْ أَبْعَدِ النَّاسِ فِي الْقَدَرِ
"'Abdurrahmaan bin Mahdiy termasuk orang yang paling jauh dari paham Qadariyyah" [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 890].
Abu Qudaamah As-Sarkhaasiy berkata:
جَاءُوا إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَقَالُوا: قُلِ الزِّنَا بِقَدَرٍ، قُلِ اللِّوَاطُ بِقَدَرٍ، فَقَالَ لَهُمُ ابْنُ مَهْدِيٍّ: نُهِينَا عَنْ مُجَالَسَةِ السُّفَهَاءِ
"Orang-orang mendatangi 'Abdurrahmaan bin Mahdiy. Mereka berkata : "Katakanlah, zina (terjadi) berdasarkan qadar. Katakanlah, liwath (terjadi) berdasarkan qadar". Maka Ibnu Mahdiy berkata : "Kami dilarang bermajelis dengan orang-orang pandir" [idem, no. 891].
Maksud perkataan Ibnu Mahdiy tersebut - wallaahu a'lam - , adalah bahwa pertanyaan seperti itu hanyalah dilontarkan oleh orang-orang pandir, dan bermajelis dengan orang-orang pandir terlarang. Perkara zina, liwaath, dan perbuatan maksiat sejenis terjadi karena qadar/takdir Allah sudah menjadi pengetahuan aksiomatik bagi Ahlus-Sunnah jaman itu, sehinga tidak perlu ditanyakan lagi.
[4]     Kemungkinan di sini ada kekeliruan, karena syaikh dari Sufyaan (Ats-Tsauriy) yang mengambil riwayat dari Saalim bin ‘Abdillah adalah ‘Umar bin Muhammad bin Zaid bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab. Bukan ‘Amru bin Muhammad.
[5]     Sebagian muhaqqiq membantah bahwa Qataadah berpemikiran qadariyyah. Silakan baca penjelasannya dalam buku:
سياق ماروي ومافعل من الإجماع في آيات القدر
oleh Ahmad bin Muhammad bin Al-Luhaib.
Tudingan ini tidak benar. Seandainya benar, maka Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
ثم إن الكبير من أئمة العلم إذا كَثُرَ صوابُهُ، وعُلِمَ تَحَرِّيه للحقِّ واتَّسع علمُهُ، وظهر ذكاؤُهُ، وعُرِفَ صَلَاحُهُ وورعُهُ يُغْفَرُ له زَلَلُهُ، ولا نضَلِّله وطرحه ونَنسَى مَحَاسنهُ، نعم : ولا نقتدي به في بدعته وخطئته ونرجو التَّوبة من ذلك
Sesunguhnya para ulama besar jika telah dimaklumi banyak kebenarannya (yang ada padanya), diketahui kecenderungannya kepada al-haq, luas ilmunya, nampak kecerdasannya, shalih, dan wara’; maka dimaafkan kesalahan-kesalahannya. Kita tidak menyesatkannya, mencampakkannya, dan melupakan segala kebaikan yang ada padanya. Benar, bahwasannya kita tidak boleh mengikuti kebid’ahan dan kesalahannya. Kita berharap agar ia mau bertaubat atas hal tersebut” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 5/271].
Tentu kita tidak menjadikan kekeliruan Qataadah untuk membenarkan kesalahan yang sama. Tidak semua keadaannya dapat diqiyaskan pada diri Qataadah, apalagi orang yang sekedar mencari-cari alasan/dalil untuk membela kerusakan pendapatnya, wallaahul-musta’aan.
Tanbih :
Banyak beredar rekaman ceramah yang membahas tentang qadar (takdir) yang mengatasnamakan Ahlus-Sunnah, namun menyelisihi Ahlus-Sunnah. Diantara rekaman ini dikatakan bahwa keimanan terhadap qadar adalah pada rizki dan ajal; sedangkan amal baik-amal buruk, amal shalih-amal salah, iman-kafir bukan termasuk cakupan qadar ini. Lalu ia istilahkan dengan takdir. Dikatakan dalam satu rekaman berdurasi 2 jam 18 menit (mulai menit 01:24:30):
Terakhir, watu’mina bil-qadari. Dan Anda yakin dengan qadar Allah. Khairihi wa syarrihi. Baik pada hal yang menyenangkan, atau hal yang Anda duga tidak menyenangkan. Thayyib, qadar. Bapak dan ibu sekalian, ada perbedaan antara takdir dengan qadar. Itu beda. Dan terkait iman itu, yang dibicarakan bukan takdir. Tapi qadar. Bahkan nanti ada tambahan qadlaa’. Saya bahas qadar dengan takdir dulu ya. Apa perbedaan keduanya ?. ………
Kemudian dilanjutkan saat menjelaskan hadits Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu (menit 01:31:27 – 01:35:16):
“Bikatbi rizqihi, ditetapkanlah rizkinya. Apa itu rizki…halo…gak usah ngarang ya, nanti kita jelaskan. Pelajaran mengarang hanya ada dalam Bahasa Indonesia. Wa ajalihi. Ajalnya. Tiga, wa ‘amalihi, perbuatannya. Perilakunya. Dan keempat, a sa’iidun huwa au syaqiyyun, bahagia atau sengsaranya. Bahagia atau sengsaranya. Thayyib, saya jabarkan dulu ini. Dua pertama, masih ingat dua pertama tadi apa ? Satu rizki, kedua ajal. Ini yang disebut qadar. Ini qadar namanya. Dua terakhir, perbuatan. Satu lagi apa ? bahagia atau sengsara, itu yang disebut dengan takdir. Maka ini ditetapkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala sebelum kita terlahir. Jadi ada qadar ada takdir. Diungkapkan keduanya dengan kata kerja : qaddara. Di surah Al-A’laa di ayat yang ketiga. Sabbihisma rabbikal-a’laa. Alladzii khalaqa fasawwaa. Walladzii qaddara fahadaa. Jelas sampai sini ?....... Qadar adalah ketetapan Allah pada setiap hamba yang dikukuhkan sejak dalam masa kandungan dan tidak akan berubah sampai wafat menghadap Allah subhaanahu wa ta’ala. Dan tidak akan berubah sampai wafat menghadap Allah subhaanahu wa ta’ala. Itu qadar. Jadi Anda walaupun terus berdoa, untuk merubah qadar tidak akan mungkin berubah, walaupun sampai menangis darah minta bantuan sana sini, tidak bisa berubah. Itu qadar. Takdir adalah ketetapan Allah yang dikukuhkan berdasarkan ikhtiyar makhluk. Jadi ada usaha dulu di sini. Itu takdir. Jadi kalau qadar, tidak ada peran ikhtiyar. Anda berikhtiyar pun tidak akan merubah qadar. Akan tetapi kalau takdir akan ditentukan oleh ikhtiyar kita. Jadi begitu Allah berikan dua jalan, ini ya, kerjakan ini resikonya begini, kerjakan ini gambarannya seperti ini. Lalu Anda memilih. Ketika Anda memilih kemudian, Anda memilih itu, di situ Allah tetapkan takdirnya. Jelas ?. Sekarang, kita mulai dengan qadar….  [selesai].
Dalam rekaman lain dikatakan (mulai menit 0:12):
Yang ditanyakan adalah jodoh itu termasuk qadlaa’ atau takdir. Saya tidak menerangkan masalah qadlaa’. Saya menerangkan masalah qadar dan takdir. Karena ada qadlaa’, ada qadar, ada takdir. Ada qadlaa’, ada qadar, ada takdir. Yang saya maksudkan kemarin yaitu qadar. Qadar itu adalah ketetapan yang telah diberikan oleh Allah sebelum kita terlahir ke muka bumi ini dan tidak bisa diintervensi, tidak akan berubah sampai kita wafat. Jadi ibu sampai nangis darah, bikin status sampai jutaan kali untuk merubah itu, tidak akan pernah berubah. Diantaranya ada dua, satu rizki, kedua ajal. Sedangkan takdir adalah ketetapan Allah yang dikukuhkan atas ikhtiyar makhluk. Jadi ada usaha kita dulu. Usaha, baru Allah tetapkan. Diantaranya ada dua juga. Satu, perbuatan kita, apakah baik ataukah buruk, kembali pada ikhtiyaar kita…..” [selesai].
Dalam rekaman lain dikatakan saat membahas ‘takdir’ (mulai menit 02:37):
Jadi ada sesuatu yang kehendak Allah tidak mutlak di situ. Kehendak Allah bergantung pada ikhtiyaar yang kita kerjakan. Dan di situlah terletak antara pahala dengan dosa. Saking sayangnya Allah pada hamba, Allah menginginkan hamba-Nya tidak salah pilih. Maka diberikanlah hidayah supaya mengarahkan pada pilihan yang tepat……
Pemahaman ini keliru karena membatasi keimanan terhadap qadar hanya pada dua hal saja, yaitu rizki dan ajal. Selain itu dari macam-macam amal baik atau buruk, bahagia atau sengsara; maka ketetapan Allah menyusul kemudian. Dikatakan juga bahwa kehendak Allah tidak mutlak, karena ada yang tergantung ikhtiyaar hamba.
Jika kita memperhatikan riwayat-riwayat yang disebutkan di atas dari kalangan salaf, maka keyakinan ini menyerupai keyakinan Qadariyyah.
[6]     Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
وليس لأحد أن يحتج بالقدر على الذنب باتفاق المسلمين ، وسائر أهل الملل ، وسائر العقلاء ؛ فإن هذا لو كان مقبولاً لأمكن كل أحد أن يفعل ما يخطر له من قتل النفوس وأخذ الأموال ، وسائر أنواع الفساد في الأرض ، ويحتج بالقدر. ونفس المحتج بالقدر إذا اعتدي عليه ، واحتج المعتدي بالقدر لم يقبل منه ، بل يتناقض ، وتناقض القول يدل على فساده ، فالاحتجاج بالقدر معلوم الفساد في بدائه العقول
“Tidak boleh bagi seorang pun untuk berhujjah dengan takdir (qadar) atas dosa yang diperbuat berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, seluruh pemeluk agama, dan seluruh orang yang berakal. Seandainya alasan ini diterima, sangat dimungkinkan setiap orang akan melakukan perbuatan yang membahayakan seperti membunuh jiwa, mengambil harta (orang lain), dan seluruh perbuatan yang menimbulkan kerusakan di muka bumi, dan kemudian berhujjah dengan takdir. Orang yang berhujjah dengan takdir sendiri apabila diganggu orang lain yang berhujjah dengan takdir, tentu ia tidak menerimanya. Bahkan ia akan melawannya, sehingga hal ini menunjukkan rusaknya pendapat tersebut. Maka berhujjah dengan takdir diketahui kerusakannya secara langsung oleh akal” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 8/179].
فإن القدر ليس حجة لأحد لا على الله و لا على خلقه و لو جاز لأحد أن يحتج بالقدر على ما يفعله من السيئات لم يعاقب ظالم و لم يقاتل مشرك و لم يقم حد و لم يكف أحد عن ظلم أحد و هذا من الفساد في الدين و الدنيا المعلوم ضرورة فساده
“Sesungguhnya takdir (qadar) bukanlah hujjah bagi seorangpun terhadap Allah dan makhluk-Nya. Seandainya diperbolehkan bagi seseorang berhujjah dengan takdir terhadap perbuatan-perbuatan jeleknya, maka orang yang dhaalim tidak akan dihukum dan orang musyrik tidak akan diperangi. Begitu pula hadd tidak akan ditegakkan dan seseorang tidak boleh mencegah kedhaliman orang lain. Pendapat ini termasuk kerusakan di dalam agama dan dunia yang diketahui secara aksiomatik….” [idem, 8/114].
Ketika membantah kelompok menyimpang,setelah membawakan hadits yang diriwayatkan Muslim di atas Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
فأمر النبي صلى الله عليه وسلم بالعمل ونهى عن الإتكال على القدر.
الرابع: أن الله تعالى أمر العبد ونهاه ، ولم يكلفه إلا ما يستطيع، قال الله تعالى: فاتقوا الله ما أستطعتم سورة التغابن، الآية: 16 وقال: لا يكلف الله نفساً إلا وسعها  سورة البقرة، الآية:286 ولو كان العبد مجبراً على الفعل لكان مكلفاً بما لا يستطيع الخلاص منه، وهذا باطل ولذلك إذا وقعت منه المعصية بجهل، أو نسيان ، أو إكراه ، فلا إثم عليه لأنه معذور ..
الخامس: ان قدر الله تعالى سر مكتوم لا يعلم به إلا بعد وقوع المقدور، وإرادة العبد لما يفعله سابقة على فعله فتكون إرادته الفعل غير مبنية على علم منه بقدر الله ، وحينئذ تنفى حجته إذ لا حجة للمرء فيما لا يعلمه.  
“Maka Nabi memerintahkan untuk beramal dan melarang pasrah terhadap qadar.
Keempat : Bahwasannya Allah ta’ala memberikan perintah dan larangan kepada hamba-Nya, namun Ia tidak membebankan kepadanya kecuali apa yang disanggupinya. Allah ta’ala berfirman : ‘Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu’ (QS. At-Taghaabun : 16). Allah ta’ala juga berfirman : ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya’ (QS. Al-Baqarah : 286). Seandainya seorang hamba dipaksa untuk melakukan sesuatu, niscaya ia dibebani dengan sesuatu yang ia tidak sanggup yang tidak dapat terbebas darinya. Ini batil. Oleh karena itu, apabila terjadi kemaksiatan darinya karena kejahilan (ketidaktahuan), lupa, atau terpaksa; maka tidak berdosa karena ia dimaafkan.
Kelima : Sesungguhnya takdir (qadar) Allah ta’ala merupakan rahasia yang tersembunyi, yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali setelah terjadi apa yang ditakdirkan. Kehendak hamba terhadap apa yang akan dilakukannya adalah terdahulu daripada perbuatannya, sehingga kehendaknya untuk melakukan perbuatan tidak didasarkan pada pengetahuan tentang takdir Allah. Dengan demikian, hujjahnya (beralasan dengan takdir - Abul-Jauzaa’) dinafikkan, dengan alasan tidak ada hujjah bagi seseorang pada apa-apa yang tidak diketahuinya” [Syarh Tsalaatsatil-Ushuul].

Sebuah Masukan (3)

$
0
0
4.   Asy’ariy ?
Saat membawakan hadits nuzuul dalam video berjudul Selesai Shalat Tahajud, Apa yang Dicontohkan Rasulullah Hingga Salat Fajar?[1](durasi 01:25:14), Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah berkata (mulai menit 57:41):
Yanzilu rabbuna tabaaraka wa ta’ala – ini hadits qudsi - . Kata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Allah subhaanahu wa ta’ala. Kalimatnya menggunakan Rabb. Yanzilu Rabbunaa… saya agak pelan-pelan ya… Ada nazala, ada habatha. Ada nazala, ada habatha, itu lain. Baca Al-Baqarah ayat 36, eh 38 maaf. Al-Baqarah 38. Dimana Qur’annya ini ?... Qulna-hbithuu minhaa jamii’a. Qulna-hbithuu, ihbithu. Jadi turun itu ada habatha, ada nazala. Qulna-hbithuu minhaa jamii’a. Faimmaa ya’tiyannakum minnii hudaa dan seterusnya ayat. Perhatikan di sini.. Kenapa Adam ketika diturunkan oleh Allah ke bumi, kalimatnya bukan menggunakan nazala, tapi menggunakan habatha. Qulna-hbithuu minhaa jamii’a. Perhatikan. Kalau habatha, turun dengan niat bermukim, dengan niat tinggal. Adam diturunkan ke bumi memang untuk tinggal di bumi. Menjadi khalifah di sana, memperbaiki keadaan bumi. Karena itu kalimat Qur’annya menggunakan habatha. Ini hebatnya bahasa Al-Qur’an. Setiap kalimatnya ada makna, bahkan hurufnya. Tapi subhaanallah, ketika menerangkan Allah yang turun ke langit dunia, tidak menggunakan kata habatha, tapi menggunakan kata nazala. Yanzilu Rabbunaa. Yanzilu. Nazala itu turun umumnya dengan tidak niat mukim. Cuma turun saja. Jangan digambarkan di kepala kita Allah turun. Bukan. Maksudnya Allah menurunkan rahmat-Nya. Sudah ada kebahagiaan yang akan diberikan. Allah tidak segambar, tidak terbayang oleh kita, dan tidak serupa dengan apa yang kita gambarkan. Artinya apa ? Kalimat ini mengandung mukjizat yang ingin disampaikan oleh Nabi, tidak menggambarkan, kalau Nabi berkata yahbithu Rabbuna, ini salah kalimat Nabinya, karena Allah tidak menempat, tidak mewaktu. Artinya apa, mohon maaf, tidak disifati dengan tempat dan sifat yang seperti kita menggunakannya. Kalimat nazala artinya, tidak turun untuk menempat, menggunakan isyarat ini, ada kesan dalam kalimat ini, gunakan manfaatnya, itu maksudnya, gunakan peluangnya. ……. (01:00:16).
[selesai].

Fokus pada kalimat yang dibold dan diwarnai merah. Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah ‘menafsirkan’ turunnya Allah ke langit dunia dengan turunnya rahmat, bukan turun dengan makna hakiki. Ini jelas menyelisihi ‘aqidah Ahlus-Sunnah, dan ta’wil semacam ini merupakan ciri khas penakwilan kelompok Asyaa’irah. Bahasanya pun, ‘aswaja’ banget…
Al-Waliid bin Muslim rahimahumallah berkata:
سَأَلْتُ الأَوْزَاعِيَّ، وَالثَّوْرِيَّ، وَمَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، وَاللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ عَنِ الأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا الصِّفَاتُ؟ فَكُلُّهُمْ قَالَ: أَمِرُّوهَا كَمَا جَاءَتْ بِلا تَفْسِيرٍ
“Aku pernah bertanya kepada Al-Auza’iy, Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, Al-Laits bin Sa’d tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat (Allah). Mereka semua berkata : ‘Perlakukanlah (ayat-ayat tentang sifat Allah) sebagaimana datangnya tanpa tafsir”
Dalam riwayat lain:
أمروها كما جاءت بلا كيف
“Perlakukanlah sebagaimana datangnya tanpa menanyakan ‘bagaimana’ (kaifiyah-nya)” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 2/104-105, Ibnu Abi Haatim dalam Al-‘Ilal 5/468 no. 2118, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 2/377, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 930, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/149].
Perkataan tersebut merupakan penetapan terhadap hakekat sifat-sifat Allah ta’aladan penafikan pengetahuan kita tentang kaifiyat-nya. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ketika menjelaskan perkataan salaf di atas:
فقولهم رضى الله عنهم أمروها كما جاءت رد على المعطلة وقولهم بلا كيف رد على الممثلة
“Perkataan mereka radliyallaahu ‘anhum : ‘perlakukanlah sebagaimana datangnya’ adalah bantahan terhadap sekte Mu’aththilah (= yang menafikkan sifat-sifat Allah), dan perkataan mereka : ‘tanpa menanyakan bagaimana’ adalah bantahan terhadap sekte Mumatstsilah (= yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 5/39].
Inilah prinsip Ahlus-Sunnah dalam permasalahan sifat-sifat Allah ta’ala.
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusy rahimahullah menjelaskan lebih lanjut prinsip Ahlus-Sunnah tersebut dengan perkataannya:
أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة في الكتاب والسنة وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لم يكيفوا شيئا من ذلك . وأما الجهمية والمعتزلة والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل منها شيئا على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه وهم عند من أقر بها نافون للمعبود
“Ahlus-Sunah bersepakat tentang pengakuan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dengan membawa penafsirannya pada hakikatnya, bukan pada makna majaz. Hanya saja mereka tidak menanyakan “bagaimana” (kaifiyah) terhadap sifat-sifat tersebut. Adapun golongan Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij; mereka semua mengingkarinya dan tidak memberikan pengertian pada makna hakikatnya. Mereka (Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan Khawarij) menganggap orang-orang yang menyepakati hal tersebut (yaitu Ahlus-Sunnah) sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka (yang mengingkari sifat-sifat Allah) di sisi Ahlus-Sunnah merupakan golongan orang yang meniadakan Dzat yang disembah” [Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 39].
Begitu juga dengan Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahumallah. Setelah membawakan perkataan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahumalla[2], ia berkata:
وعلى هذا دَرَجَ السَّلَفُ وأَئِمَّةُ الخَلَفِ، كُلُّهُمْ مُتَّفِقُونَ على الإقْرارِ، والإمْرارِ والإثْباتِ لما وَرَدَ مِن الصِّفاتِ في كتابِ اللهِ وسُنَّةِ رسولِهِ، مِنْ غَيْرِ تَعَرُّضٍ لتأْوِيلِهِ
“Dan di atas dasar inilah, para salaf dan imam generasi khalaf setelahnya berjalan. Semuanya sepakat untuk menerima, membiarkan apa adanya, dan menetapkan sifat-sifat Allah. Baik yang terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur’an) maupun Sunnah Rasul-Nya, tanpa berpaling untuk menta’wilkannya” [Lum’atul-I’tiqad dengan syarh : Shaalih Al-Fauzaan, hal. 57-58].
Di bawah akan sedikit saya bawakan nukilan/riwayat para imam Ahlus-Sunnah dalam memahami hadits nuzuul.
Ibnu Abi Zamaniin Al-Maalikiy rahimahullah berkata:
وأخبرني وهب [عن] ابن وضاح عن زهير بن عباد قال : كل من أدركت من المشايخ : مالك وسفيان وفضيل بن عياض وعيسى وابن المبارك ووكيع كانوا يقولون : [النزول] حق
Telah mengkhabarkan kepadaku Wahb, dari Ibnu Wadldlaah, dari Zuhair bin ‘Abbaad, ia berkata : “Setiap orang yang aku temui dari kalangan masyayikh seperti Maalik, Sufyaan (Ats-Tsauriy), Fudlail bin ‘Iyaadl, ‘Iisaa, Ibnul-Mubaarak, dan Wakii’; mereka mengatakan an-nuzuul’ (turunnya Allah) adalah benar” [Ushuulus-Sunnah, hal. 113].
Abu Nashr As-Sijziy dalam kitab Al-Ibaanah berkata:
وأئمَّتنا كسفيان ومالكٍ والحمَّادَيْن وابن عيينة والفضيل وابن المبارك وأحمد بن حنبلٍ وإسحاق متَّفقون على أنَّ الله سبحانه فوق العرش وعلمُه بكلِّ مكانٍ، وأنه ينزل إلى السماء الدنيا وأنه يغضب ويرضى ويتكلَّم بما شاء
“Dan para imam kita seperti Sufyaan (Ats-Tsauriy), Maalik (bin Anas), Hammaad bin Zaid dan Hammaad bin Salamah, Ibnu ‘Uyainah, Al-Fudlail (bin ‘Iyaadl), Ibnul-Mubaarak, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaaq (bin Rahawaih) bersepakattentang perkara bahwasannya : Allah subhaanahu wa ta’ala di atas ‘Arsy-Nya sedangkan ilmu-Nya ada di setiap tempat; turun ke langit dunia; serta marah, ridla, dan berbicara sebagaimana yang Ia kehendaki” [Al-Aatsaarul-Waaridah ‘an Aimmatis-Sunnah fii Abwaabil-I’tiqaad min Kitaab Siyari A’laamin-Nubalaa’, hal. 209].
Catatan : Riwayat yang mengatakan Maalik bin Anas menta’wilkan sifat nuzuul dengan turunnya perintah Allah sebagaimana disebutkan oleh ‘Iyaadl dalam Al-Madaarik (2/44), Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (7/143), dan Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar (8/105) adalah lemah, karena ia berasal dari riwayat Habiib bin Abi Habiib, seorang yang matruuk, bahkan dituduh melakukan dusta [‘Aqiidah Al-Imaam Maalik As-Salafiyyah, hal. 33 atau silakan baca pembahasannya di sini].
Abu Haniifah An-Nu’man bin Tsaabit rahimahullah ketika ditanya tentang turunnya Allah, ia menjawab:
ينزل بلا كيف
“Allah turun tanpa ditanyakan ‘bagaimana’ (kaifiyat-nya)” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 44].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata dalam ‘Aqiidah-nya dan wasiatnya:
القول في السنة التي أنا عليها، ورأيت أهل الحديث عليها: أن الله على عرشه في سمائه، يقرب من خلقه كيف شاء، وينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء.
“Pendapat dalam sunnah yang aku berada di atasnya dan aku juga melihat ahli-hadits berada di atasnya : Bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya, mendekat kepada makhluk-Nya sebagaimana yang Ia kehendaki dan turun ke langit dunia sebagaimana yang Ia kehendaki” [Arba’iin fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiinoleh Adz-Dzahabiy no. 15].
Abu ‘Aliy Hanbal bin Ishaaq rahimahumallah berkata:
قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ يَنْزِلُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: نُزُولُهُ بِعِلْمِهِ أَمْ بِمَاذَا ؟ قَالَ: فَقَالَ لِي: اسْكُتْ عَنْ هَذَا، وَغَضِبَ غَضَبًا شَدِيدًا، وَقَالَ: مَا لَكَ وَلِهَذَا؟ أَمْضِ الْحَدِيثَ كَمَا رُوِيَ بِلا كَيْفٍ
“Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah (Ahmad bin Hanbal) : ‘Allah ta'alaturun ke langit dunia ?’. Ia menjawab : "Benar". Aku berkata : "Turun-Nya itu dengan ilmu-Nya atau dengan apa ?". Ia berkata kepadaku : "Diamlah engkau dari hal ini". Ia sangat marah (akibat pertanyaanku itu). Ia berkata : "Apa urusanmu tentang hal itu ?. Tetapkanlah hadits itu sebagaimana yang diriwayatkan tanpa menanyakan bagaimana" [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah. Dibawakan juga oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 777 dan Abu Ya’laa dalam Ibthaalut-Ta’wiilaat 2/260 no. 260].
Ad-Daaraquthniy rahimahullah menulis kitab khusus berjudul An-Nuzuul yang diawali dengan perkataannya:
ذِكْرُ الرِّوَايَةَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيُعْطِي السَّائِلِينَ.
“Penyebutan riwayat dari Nabi bahwasannya Allah tabaraka wa ta’alaturun setiap malam ke langit dunia, mengampuni orang-orang yang memohon ampunan (kepada-Nya) dan memberi orang-orang yang meminta (kepada-Nya)” [An-Nuzuul hal. 87-88 – yang dicetak bersama kitab Ash-Shifaat].
Ad-Daaraquthniy rahimahullah menetapkan sifat nuzuul dan tidak menta’wilkannya dengan ‘rahmat’ atau yang lainnya.
Muhammad bin Husain Al-Aajurriy rahimahullah berkata:
الإيمان بهذا واجب، ولا يسع المسلم العاقل أن يقول: كيف ينزل؟ ولا يرد هذا إلا المعتزلة وأما أهل الحق فيقولون: الإيمان به واجب بلا كيف، لأن الأخبار قد صحت عن رسول الله ﷺ: أن الله عَزَّ وَجَلَّ ينزل إلى السماء الدنيا كل ليلة والذين نقلوا إلينا هذه الأخبار هم الذين نقلوا إلينا الأحكام من الحلال والحرام، وعلم الصلاة، والزكاة، والصيام، والحج، والجهاد، فكما قبل العلماء عنهم ذلك كذلك قبلوا منهم هذه السنن، وقالوا: من ردها فهو ضال خبيث، يحذرونه ويحذرون منه
“Beriman terhadap hal ini (turunnya Allah ke langit dunia) adalah wajib, dan tidak boleh bagi muslim yang berakal untuk mengatakan : bagaimana Allah turun ?. Tidak ada yang menolak ini kecuali Mu’tazilah. Adapun ahlul-haq (Ahlus-Sunnah) mengatakan : Beriman kepada wajib tanpa menanyakan bagaimana (kaifiyah-nya), karena telah shahih khabar-khabar dari Nabi bahwasannya Allah ‘azza wa jallaturun ke langit dunia setiap malam. Dan orang-orang yang meriwayatkan khabar-khabar ini kepada kita adalah orang-orang yang meriwayatkan hukum-hukum halal dan haram, serta ilmu tentang shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad. Maka sebagaimana para ulama menerima dari mereka hal tersebut, begitu para ulama juga menerima dari mereka Sunnah-sunnah ini. Mereka (ulama) berkata : ‘Barangsiapa yang menolaknya, maka ia sesat lagi busuk’. Mereka mentahdzir mereka dan pemikiran mereka” [Asy-Syarii’ah, 2/93].
Ma’mar bin Ahmad bin Ziyaad Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:
وينزل كل ليلة إلى السماء الدنيا كيف شاء بلا كيف ولا تأويل، فمن أنكر النزول أو تأول فهو ضال مبتدع
“Dan Allah turun pada setiap malam ke langit dunia tanpa ditanyakan ‘bagaimana’ (kaifiyatnya) dan tanpa ta’wiil, sebagaimana yang Ia kehendaki. Barangsiapa yang mengingkari turunnya Allah atau mena’wilkannya, maka ia sesat lagi mubtadi’” [Al-‘Arsy oleh Adz-Dzahabiy 2/349].
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz rahimahullah berkata:
والصواب ما قاله السلف الصالح من الإيمان بالنزول وإمرار النصوص كما وردت من إثبات النزول لله سبحانه على الوجه الذي يليق به، من غير تكييف ولا تمثيل، كسائر صفاته. وهذا هو الطريق الأسلم، والأقوم، والأعلم، والأحكم، فتمسك به، وعض عليه بالنواجذ، واحذر ما خالفه تفز بالسلامة، والله أعلم.
“Dan yang benar adalah apa yang dikatakan as-salafush-shaalih yang mengimani an-nuzuul (turunnya Allah ke langit dunia), memperlakukan nash-nash sebagaimana datangnya yang menetapkan sifat turun (an-nuzuul) bagi Allah subhaanahu wa ta’ala dengan cara yang layak bagi-Nya : tanpa takyiif dan tamtsiil, seperti seluruh sifat-sifat-Nya. Inilah jalan yang paling selamat, paling lurus, paling sesuai, dan paling hikmah/bijaksana. Berpegang-teguhlah dengannya, gigitlah ia dengan gigi geraham, dan tahdzirlah orang yang menyelisihinya. Semoga engkau memperoleh keselamatan, wallaahu a’lam” [Manhaju Al-Haafidh Ibni Hajar Al-‘Asqalaaniy fil-‘Aqiidah, hal. 792].
Dan masih banyak lagi…
Seandainya berdasarkan penilaian ‘beberapa tokoh’ apa yang disampaikan Ustadz Adi adalah benar dan tidak ada kesalahan/penyimpangan, mungkin statement para imam di atas lah yang salah. Tapi secara pribadi, saya sangat berat dan keberatan untuk mengatakannya. Mohon dimaafkan.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[bersambung, insya Allah– abul-jauzaa’ – 09071438/06042017].




[1]   Jika belum dihapus, karena beberapa link video yang menjadi referensi pada bahasan qadar telah dihapus (tapi saya sudah save filenya). Alhamdulillah, jika itu merupakan wujud dari sikap rujuk beliau atas masukan dan kritikan yang diberikan, meskipun beliau hafidhahullah tidak menyatakannya secara tegas. Itulah yang sangat kami harapkan. Baarakallaahu fiik.
[2]   Perkataan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah yang dimaksud:
آمنت بالله وبما جاء عن الله، على مراد الله. وآمنت برسول الله، وبما جاء عن رسول الله، على مراد رسول الله
“Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan yang diinginkan/dimaksudkan Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah , sesuai dengan yang diinginkan/dimaksudkan Rasulullah ” [Lum’atul I’tiqaad dengan syarh Shaalih Al-Fauzaan, hal. 56]. 

Sebuah Masukan (4)

$
0
0
5.   Pakar Hadits (Takhrij)
Al-Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah dalam sebuah rekaman video pengajian yang berjudul Penjelasan Mengenai Doa Makan (Allahummabariklana) berkata (menit 02:38):
Ada yang berkata begini, saya tanya dulu. Kalau saya baca Allaahumma baarik lanaa fii maa razaqtanaa, shahih atau dla’iif ? (Hadirin : ‘dla’iif). Ooo, dla’iif…. (Tertawa). Dari mana tahunya ? Dari guru… Yuk kita lihat kitab aslinya. Buka dulu Muwaththa’ Imam Malik nomor hadits 2772. Nabi tidak mengatakan. Nabi tidak mengatakan : ‘bacalah bismillah’. Hanya mengatakan : ‘sammilah’. Nama Allah ada berapa ? Banyak. Diantaranya 99. Jadi sepanjang kita menyebut nama Allah, dibuat umum untuk memudahkan. Sepanjang kita menyebut nama Allah dengan bahasa apapun, dengan bismillah, dengan ya Allah, dengan Allahumma, itu sudah benar. Nabi mengajarkan hadits yang panjang di Muwaththa’ Imam Malik kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib. Bagaimana redaksinya ?. Kalau engkau mau makan : Qul, bismillaahir-rahmaanir-rahiim, Allahummaa baarik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaaban-naar. Hadits itu shahih. Bahkan ada yang lebih panjang lagi. Sekarang darimana munculnya pernyataan hadits itu dla’if ?. Ternyata, ada orang keliru baca kitab. Dibaca di kitab Syaikh Al-Albani pembahasan hadits nomor 6390, pembahasan itu sedang membahas hadits hubungan suami istri. Jadi ada hadits dla’if berbunyi begini : Kalau seorang istri berhubungan, seorang suami istri berhubungan, yang sebelum berhubungannya dia membaca Allahummaa baarik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaaban-naar, (hadirin tertawa), betul. Silakan dibuka. Maka anak yang lahir tidak akan disentuh oleh setan. Itu haditsnya. Dibahas oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hadits ini kualitasnya dla’if, karena bertentangan dengan doa shahih yang diajarkan oleh Nabi. Orang-orang mengira, yang dla’if ini hadits tentang makanan. Padahal haditsnya berbeda. Jadi hadits tentang makanan terpisah dengan hadits yang tadi. Yang satu dla’if, yang lainnya shahih.Itu yang penting saya luruskan. Itu banyak sekali. Dan banyak orang keliru

Kemudian perkataan beliau tersebut disambung dalam video lain (masih dalam pengajian yang sama) berjudul Doa Sebelum Makan (mulai menit 02:11):
Saya membaca dari yang ditanyakan doa makan itu, saya cari di 1.235 kitab hadits. Tidak ada yang lain. Di Tripoli, seorang ketua dewan khathib dibekali satu file 42 giga, semua kitab-kitab klasik dan kontemporer ada di situ. Jadi kalau mau dicari kitab apapun, dibuat 3 kualifikasi : Satu, yang manuskripnya, yang kedua yang bisa disalin, yang ketiga scan dari kitab yang asli. Jadi dibantu supaya tidak cari kitab lagi. Saya cari semua hadits yang terkait dengan doa makan, mengkristal pada hadits-hadits tadi. Yaitu cuma ada di hadits Bukhari nomor hadits 5061, hadits Muslim nomor hadits 5388, Ibnu Majah nomor hadits 3399. Kemudian syarahnya, nah ini, kalau bapak mau cari dimana menemukan ini shahih atau tidaknya. Buka diantaranya Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah wal-Maudluu’ah karangan Syaikh Nashiruddin Al-Albani, ada di halaman 6390. Nomor pembahasan, bukan halaman. Pembahasan nomor 6390. Di situ disebutkan kalau hadits tentang makanan allahumma baarik lana kualitasnya shahih. Yang dla’if itu, hadits tentang hubungan suami istri yang redaksinya sama. Ada orang yang mungkin membaca, dia hanya baca yang tentang hadits tadi. Diduga ini sama kualitasnya. Padahal dalam ilmu hadits belum tentu. Ada hadits yang redaksinya sama, bisa yang satu palsu, yang satu bisa benar. Bisa begitu. Sekarang jelas ya pak ya. Ini yang bisa saya sampaikan, dan mari kita hargai siapapun yang berpendapat. Pendapat saya demikian, dan bisa dirujuk di kitabnya….
[selesai].
Melaksanakan instruksi Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah, saya pun merujuk ke kitab-kitab hadits yang beliau maksud dengan hasil sebagai berikut:
Hadits ‘Umar bin Abi Salmah diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5376 (dengan penomoran standar dari Muhammad Fuaad ‘Abdul-Baqi, Al-Mathba’ah As-Salafiyyah); Muslim no. 2022 (hal. 838, Cet. Baitul-Afkaar Ad-Dauliyyah; dan hal 971, Cet. Daaruth-Thayyibah); Ibnu Maajah no. 3267 (4/407, tahqiq : Syu’aib Al-Arna’uth dkk.; 5/15-16, tahqiq : Basysyar ‘Awwaad Ma’ruuf; hal. 551, tahqiq : Masyhuur Hasan Salmaan); dan Maalik dalam Al-Muwaththa’ no. 3445 (hal. 1367, tahqiq : Muhammad Mushthafaa Al-A’dhamiy) atau no. 1868 (4/364-365, tahqiq : Saalim bin ‘Ied Al-Hilaaliy). Nabi bersabda:
يَا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
Wahai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa-apa yang dekat denganmu
Penomoran hadits yang beliau sebutkan itu setelah saya cek sebagian besarnya adalah versi Maktabah Syamilah, dan memang waktu itu beliau sedang membuka laptopnya. Tidak masalah.
Kemudian penyebutan hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dengan lafadh Bismillah, allaahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaaban-naar dalam Al-Muwaththaa’tidak saya temukan. Yang ada adalah dari ‘Urwah bin Az-Zubair sebagai berikut:
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ كَانَ لَا يُؤْتَى أَبَدًا بِطَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ حَتَّى الدَّوَاءُ فَيَطْعَمَهُ أَوْ يَشْرَبَهُ، إِلَّا قَالَ: "الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا وَأَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَنَعَّمَنَا اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَلْفَتْنَا نِعْمَتُكَ بِكُلِّ شَرٍّ فَأَصْبَحْنَا مِنْهَا، وَأَمْسَيْنَا بِكُلِّ خَيْرٍ فَنَسْأَلُكَ تَمَامَهَا وَشُكْرَهَا، لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ إِلَهَ الصَّالِحِينَ وَرَبَّ الْعَالَمِينَ، الْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ"
Dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah bin Az-Zubair) : Bahwasannya tidak pernah dihidangkan kepadanya makanan, minuman, maupun obat yang ia memakannya atau meminumnya, kecuali ia mengucapkan doa : ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami hidayah, memberikan kita makanan, memberi kita minuman, dan memberi kita kenikmatan. Allah Maha Besar. Ya Allah, palingkanlah nikmat-Mu ini dari segala keburukan, dan jadikanlah kami di pagi dan sore hari senantiasa dalam kebaikan. Kami memohon kesempurnaan nikmat-Mu dan (hidayah) untuk mensyukurinya. Tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Rabb orang-orang yang shaalih, dan Rabb semesta alam. Segala puji bagi Allah dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. Dan segala sesuatu atas kehendak Allah, dan tidak ada daya upaya melainkan atas izin Allah. Ya Allah, berikanlah barakah terhadap rizki yang Engkau anugerahkan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari api neraka” [No. 3447 (Al-A’dhamiy) atau no. 1869 (Al-Hilaaliy)].
Riwayat ini shahih, akan tetapi maqthuu’ (dari perkataan taabi’iy), sehingga tidak boleh disandarkan kepada Nabi . Dalam konteks pembahasan Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah, penshahihan yang beliau maksud adalah yang versi marfuu’.
Adapun hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib, maka bukan diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’, akan tetapi diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad (1/153):
حَدَّثَنِي الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ النَّرْسِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ أَبِي الْوَرْدِ، عَنِ ابْنِ أَعْبُدَ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: يَا ابْنَ أَعْبُدَ، هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الطَّعَامِ؟ قَالَ: قُلْتُ: وَمَا حَقُّهُ يَا ابْنَ أَبِي طَالِبٍ؟ قَالَ: تَقُولُ: بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا....
 Telah menceritakan kepadaku ‘Abbaas bin Al-Waliid An-Narsiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-Ward, dari Ibnu A’bud, ia berkata : Telah berkata kepadaku ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu : “Wahai Ibnu A’bud, apakah engkau mengetahui apa hak makanan itu ?”. Ibnu A’bud berkata : “Apa haknya wahai Ibnu Abi Thaalib ?”. ‘Aliy menjawab : “Engkau mengucapkan : Dengan nama Allah. Ya Allah, berikanlah barakah terhadap rizki yang Engkau anugerahkan kepada kami…..”
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 8/309 no. 24878 & 10/342 no. 30058 dan Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ no. 235.
Al-Arna’uth dkk. saat mentakhrij hadits ini dalam Musnad Al-Imaam Ahmad berkata : “Sanadnya lemah dikarenakan jahalah dari Ibnu A’bud – namanya ‘Aliy – dan Abul-Ward, ia adalah Ibnu Tsumaamah bin Huzn Al-Qusyairiy. Meriwayatkan darinya dua orang perawi. Ibnu Sa’d berkata : ‘Ia seorang yang ma’ruuf, sedikit haditsnya’. Adapun Ibnul-Madiiniy berkata : ‘Tidak ma’ruuf. Aku tidak mengenal haditsnya kecuali hadits ini (hadits ‘Aliy)” [2/436].
Dari sini, mencampurkan antara riwayat ‘Aliy dalam Musnad Al-Imaam Ahmad dengan riwayat Hisyaam bin ‘Urwah dalam Al-Muwaththa’ adalah kekeliruan. Riwayat ‘Aliy, konteksnya adalah ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu mengajarkan kepada Ibnu A’bud (mauquuf), bukan Nabi mengajarkan kepada ‘Aliy (marfuu’).
Ada hadits marfuu’, diriwayatkan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa:
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ أَبِي زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ، قَالا: ثنا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ سُمَيْعٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي الزُّعَيْزِعَةِ، حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي الطَّعَامِ إِذَا قُرِّبَ إِلَيْهِ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، بِسْمِ اللَّهِ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Ishaaq At-Tustariy dan Muhammad bin Abi Zur’ah Ad-Dimasyqiy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa bin Sumai’ : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abiz-Zu’aizi’ah : Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi : Bahwasannya apabila disuguhkan kepada beliau makanan, beliau membaca : “Ya Allah, berikanlah barakah terhadap rizki yang Engkau anugerahkan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari api neraka. Bismillaah (dengan menyebut nama Allah)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ hal. 1213 no. 888 dab Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 216-217 no. 457].
Sanad hadits ini sangat lemah, karena Muhammad bin Abiz-Zu’aizi’ah, munkarul-hadiits.
Lalu,….. benarkan orang yang mendla’ifkan hadits doa sebelum makan karena salah baca kitab ? khususnya membaca kitab Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah ?.
Saya ajak Pembaca sekalian untuk berwisata sejenak memperhatikan perkataan muhadditsiintentang hadits tersebut.
Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah– pakar ‘ilal hadits mutaqaddimiin– mengomentari hadits ‘Abdullah bin ‘Amru tersebut dengan perkataannya:
هَذَا حَدِيثٌ لَيْسَ بِشَيْءٍ، وَابْنُ أَبِي الزُّعَيْزِعَةِ لا يَشْتَغِلُ بِهِ مُنْكِرُ الْحَدِيثِ
“Hadits ini tidak ada apa-apanya. Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah, tidak boleh menyibukkan diri dengannya. Ia seorang yang munkarul-hadiits” [Al-‘Ilal 4/401 no. 1516].
Ibnu ‘Adiy rahimahullah setelah membawakan hadits Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah ini mengomentari :
وَابْنُ أَبِي الزعَيْزِعَةَ عَامَّةُ مَا يَرْوِيهِ عَنْ مَنْ رَوَاهُ مَا لا يُتَابَعُ عَلَيْهِ
“Dan Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah, mayoritas hadits yang ia riwayatkan dari orang yang meriwayatkan hadits tersebut, tidak ada mutaba’ah-nya” [Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’ 7/428].
Artinya, hadits ‘Abdullah bin ‘Amru tentang doa makan termasuk hadits ghariib yang diriwayatkan oleh Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah.
Ibnu ‘Allaanberkata dengan menukil perkataan Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahumallah : “Hadits ini ghariib. Diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dan dalam sanadnya terdapat Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah. Al-Bukhaariy berkata : ‘Munkarul-hadiits jiddan’. Ibnu ‘Adiy menyebutkan hadits ini termasuk yang ia ingkari. Ia (Ibnu ‘Adiy) berkata : ‘Hadits-haditsnya (Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah) tidak ada mutaba’ah-nya’. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Adl-Dlu’afaa’ dan ia melemahkannya” [Al-Futuuhaat Ar-Rabbaaniyyah, 5/178].
Apakah mereka mendla’ifkan karena salah baca kitab ?. Mereka lahir sebelum Asy-Syaikh Al-Albaaniy dan tidak tahu-menahu tentang kitab beliau berjudul Silsilah Adl-Dla’iifah. Begitu juga dengan ulama kontemporer, Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Bukhaariy hafidhahullah ketika mentakhrij hadits itu (no. 888) dalam kitab Ad-Du’aa tulisan Ath-Thabaraaniy rahimahullah berkata: “Sanadnya dla’iif, padanya terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Abiz-Zu’aizi’ah. Seorang yang dla’iif” [Ad-Du’aa, hal. 1213].
Begitu juga dengan Syu’aib Al-Arna’uth rahimahullah saat mengomentari riwayat ‘Aliy bin Abi Thaalib sebagaimana telah lewat perkataannya. Sangat susah disimpulkan pendla’ifannya karena salah baca kitab, karena beliau melihat perawi yang ada di dalam sanad.
Ustadz Adi Hidayat Lc., MA. merujuk pada kitab Silsilah Adl-Dla’iifah no. 6390. Untuk penomoran tersebut, tepatnya ada di juz 13 halaman 875-878. Ternyata, hadits pada nomor tersebut tidak sedang membicarakan hadits doa makan ataupun hadits bersetubuh. Beliau rahimahullah sedang menyinggung hadits Ath-Thaaifah Al-Manshuurah:
لا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ عَلَى مَنْ نَاوَأَهُمْ، وَهُمْ كَالإِنَاءِ بَيْنَ الأَكَلَةِ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ......
Umatku senantiasa berada di atas kebenaran lagi dimenangkan terhadap orang yang memusuhi mereka. Mereka itu seperti bejana yang berada di antara makanan, hingga datang urusan/keputusan Allah sedangkan mereka dalam keadaan seperti itu…. dst.”
Saya sendiri masih mencari hadits yang dimaksud Ustadz Adi Hidayat Lc., MA. dalam kitab Silsilah Adl-Dla’iifah tentang doa berhubungan antara suami-istri dengan lafadh Allaahummaa baarik lanaa fiimaa razaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban-naar. Saya baru mendengar hadits ini dari beliau (Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA.) hafidhahullah. Dikarenakan saya tidak mempunyai daya hapal yang luar biasa seperti beliau, saya mencarinya dengan menggunakan Maktabah Syaamilah di Kutub Al-Albaaniy, namun sayang : saya gagal menemukannya. Mungkin program Maktabah Syamilah saya yang kurang update.
Ada riwayat mirip dari Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah:
عَنْ جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ يُقَالُ: إِذَا أَتَى الرَّجُلُ أَهْلَهُ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ، بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، ولا تَجْعَلْ لِلشَّيْطَانِ نَصِيبًا فِيمَا رَزَقْتَنَا، قَالَ: فَكَانَ يُرْجَى إِنْ حَمَلَتْ أَوْ تَلَقَّتْ، أَنْ يَكُونَ ولَدًا صَالِحًا "
Dari Ja’far bin Sulaimaan, dari Hisyaam, dari Al-Hasan (Al-Bashriy), ia berkata : “Dikatakan, apabila seorang laki-laki mendatangi istrinya, hendaklah ia mengucapkan : Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, berikanlah barakah terhadap rizki yang Engkau anugerahkan kepada kami. Jangan jadikan bagi setan bagian dari yang Engkau rizkikan kepada kami”. Al-Hasan melanjutkan : “Diharapkan (dengan doa ini) apabila istrinya hamil atau lahir, maka akan menjadi anak yang shaalih” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10467].
Tapi riwayat ini tidak pernah disinggung oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Silsilah Adl-Dla’iifah sependek pengetahuan saya dalam pokok haditsnya. Beliau menyebutkan hadits ini sebagai pelengkap pembahasan untuk hadits no. 6930 yang menukil dari perkataan Ibnu Hajar, lalu mengomentarinya : "Begitulah yang diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaaq dalam Mushannaf-nya (6/194/11467) dengan sanad darinya (Al-Hasan). Tidak ada padanya tashriih dengan memarfu'kan sanadnya. Seandainya ia memarfu'kan sanadnya, niscaya kualitasnya munkar karena riwayat-riwayat mursal Al-Hasan nilainya seperti angin (tidak ada apa-apanya) - sebagaimana dikatakan sebagian huffaadh - , dan juga karena menyelisihi hadits yang shahih :
لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ، قَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرُّهُ
Apabila salah seorang diantara kalian mendatangi istrinya dengan membaca : ‘Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, jauhkan kami dari setan dan jauhkanlah setan dari rizki (anak) yang akan Engkau anugerahkan kepada kami’. Apabila keduanya diberi karunia anak, maka setan tidak akan bisa memudlaratkannya” [Silsilah Adl-Dla'iifah 14/1001].
Dan maaf, ini juga tidak ada hubungannya dengan salah baca. Kalau riwayat Al-Hasan ini yang dimaksud, maka kemungkinan Ustadz Adi lah yang salah baca. Asy-Syaikh Al-Albaaniy di sini konteksnya bukan mendla'ifkan atsar Al-Hasan, karena di situ justru beliau sedang mengomentari kekeliruan Ibnu Hajar. Seandainya marfuu', maka riwayat Al-Hasan munkar karena lemah/mursal dan bertentangan dengan hadits shahih. Tapi sebagaimana Anda lihat - dan juga ditetapkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy - bahwa riwayat Al-Hasan itu maqthuu' saja, bukan marfuu'.
Seandainya Ustadz Adi Hidayat Lc., MA. hendak menshahihkan doa makan yang marfuu’ : ‘Allaahumma baarik lanaa dst.’, bagi saya no problem, karena selain ustadz Adi banyak. Bahkan banyak di antara kita sejak dari TK diajari oleh bapak ibu guru kita dengan doa itu. Jadi seandainya Ustadz Adi ingin memakai hadits tersebut dan mengajarkannya kepada jama’ah beliau, maka itu hak beliau. Tidak masalah, meski kami tahu itu lemah (yang marfuu’).
Namun ketika beliau hafidhahullah mengklaim telah melakukan penelitian 1.235 kitab hadits dan kemudian menyalahkan (bahasa beliau : ‘meluruskan’) orang yang mendla’ifkannya semata-mata karena salah baca kitab, nampaknya ini yang perlu dikoreksi. Salahnya agak fatal bagi seorang pakar hadits seperti beliau hafidhahullah.
6.   Pakar Hadits (Syarah)
Ustadz Adi Hidayat Lc., MA. hafidhahullah dalam video berjudul Benarkah Makan dengan 3 Jari Itu Sunnah? berkata :
Makan yang sunnah pakai apa ? Pakai tangan. Berapa jari ? Hayoo, kalau Anda makan nasi pakai lima jari Anda nggak sunnah itu. Makan sayur pakai apa ? Haa… Anda harusnya pakai jari itu, tiga jari. Kalau pakai sendok gitu nggak sunnah. Nah,… sekarang, baik itu nggak ada perantara mas… Nggak ada perantara antara benda dengan tanganya itu. Ya, yang dimaksud hadits itu, kalau kita baca dengan ilmu ma’aniy-nya, dilihat asbabul-wurud-nya, ternyata Nabi saat mencontohkan itu sedang memegang kurma begini (sambil mencontohkan kepada hadirin). Makanlah kalian seperti ini, kata Nabi. Yang dipegang kurma. Yang dipegang kurma. Kata para ulama hadits, ini kalimat yang jelas menunjukkan contoh yang sangat dalam kepada kita. Nabi pada jaman itu selain kurma sudah ada makanan lain. Gandum ada, roti ada, dan sebagainya. Tapi ketika memegang kurma, beliau pegang dengan tiga jarinya. Kalau megang kurma dengan lima jari tandanya apa ? (Hadirin menjawab “ ‘Maruk’). Haa… itu. Rakus itu. Rakus. Maka hadits ini dipahami para ulama hadits, ini menunjukkan kemudian makanan dimakan dengan tiga jarinya. Bukan. Maksudnya Nabi ingin mengajarkan : Makanlah kalian sesuai dengan kadar makanannya.(Hadirin : ooo). Nggak pakai oooo. Kadar makanannya. Jadi kalau misalnya Anda makan kurma atau kue yang semisal kurma, Anda ingin ambil, jangan rakus dalam mengambilnya. Makan kacang ambil begini simpan. Gitu kan. Tangan kanan makan, tangan kiri pegang. Nggak harus seperti itu. Kacang mungkin cukup dengan dua jari, dua jari, gitu kan. Jadi sesuai dengan kadar makanannya. Makan kue ambil. Anda mau makan nasi dengan tiga jari, kapan habisnya ?. (Hadirin : tertawa). Jadi, ambil makanan sesuai dengan kadarnya. Itu poinnya. Jelas sampai sini ya
[selesai].
Dalam video semisal berjudul Benarkah Sunnah Makan Itu dengan 3 Jari?; Ustadz Adi Hidayat Lc., MA. hafidhahullah berkata semisal:
Makan yang sunnah berapa jari ?. Makan yang sunnah pakai tangan atau sendok ?. Pakai tangan. Berapa jari ?. Tiga jari. Masya Allah. Jadi kalau pakai lima jari itu nggak sunnah ya ?. Dua jari nggak sunnah ya ?. Awas hati-hati. Anda lihat lagi haditsnya. Ini pentingnya belajar ilmu tentang ilmu hadits turunan dengan ilmu bahasanya. Nabi mengatakan : ‘Makan seperti ini (sambil mempraktekkan dengan jarinya). Hakadza. Kul hakadza, kata Nabi. Kul hakadza. Itu yang dipegang oleh beliau kurma pak, bu. Kurma. Nabi pegang seperti ini. Sedang makan kurma. Karena melihat shahabat tu makan pada seneng, kata Nabi pegangnya seperti ini. Baik, fokus ya. Pelan-pelan. Jaman Nabi pun sudah ada roti sobek, sudah ada yang lainnya, sudah ada syurbah, minum-minuman seperti sirup dan lain sebagainya. Thayyib. Itu yang dipegang oleh beliau kurma. Saya mau tanya, kalau makan kurma dengan lima jari apa artinya ?. Bahasa Jepangnya rowog, ya. Jadi Nabi ingin mencontohkan, kata ulama hadits, ini bukanmenunjukkan saat makan harus makan dengan tiga jari saja. Bukan. Sunnah dalam hadits ini maksudnya makanlah sesuai dengan kadar makanannya. Anda kalau makan kurma, yang semacam dengan kurma, kue, ambil tiga jari begini. Gitu kan. Anda mau makan nasi pakai tangan tiga jari, kapan selesainya ?. Sesuai dengan kadar makanan. Kalau gunakan nasi, ya empat. Lima jari, silakan gunakan. Anda mau makan sayur asem pakai jari, gimana caranya ?. Jadi Anda hadirkan pada sendok, sendok itu Anda makan, itu sunnahnya. Jadi di situ nilai yang disampaikan bukan praktek harus menggunakan, misalnya salah satu organ tertentu. Na itu yang dipelajari di buku mushthalah hadits terkait dengan kaidah-kaidah ilmu bahasa asbabul-wurud. Jelas sampai di sini ? Thayyib
[selesai].
Ulama siapa yang beliau maksud yang mengatakan sunnah makan tiga jari bukan letterlijk makan tiga jari, namun makan sesuai kadarnya ?. Soalnya beliau sering sekali menyebutkan kata ulama tanpa spesifik menyebutkan ulama siapa. Wajar kita menjadi bertanya-tanya.
Dari Ka’b bin Maalik radliyallaahu ‘anhu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا
“Rasulullah makan dengan tiga jari, dan menjilat tangannya sebelum mengusapnya dengan sapu tangan" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2032, Abu Daawud no. 3848, Ahmad 6/386, dan yang lainnya].
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhua:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا لَعِقَ أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ، قَالَ: وَقَالَ: إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ، فَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ، وَأَمَرَنَا أَنْ نَسْلُتَ الْقَصْعَةَ، قَالَ: فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ
Bahwasannya Rasulullah apabila menyantap makanan, beliau menjilat tiga jarinya. Dan beliau bersabda : “Apabila suapan salah seorang dari kalian jatuh, maka bersihkanlah kotorannya, lalu makanlah. Jangan membiarkannya untuk dimakan oleh setan”. Beliau memerintahkan kami untuk menjilat nampan dan bersabda : “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di bagian manakah dari makanan kalian yang terdapat barakah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2034, At-Tirmidziy no. 1803, Abu Daawud no. 3845, dan yang lainnya].
Dalam riwayat lain:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا لَعِقَ أَصَابِعَهُ الثَّلاثَ
“Nabi apabila menyantap makanan, menjilati tiga jarinya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail hal. 95 no. 138 dan Ibnu Hibbaan 12/56-57 no. 5252; shahih].
Di sini disebutkan dengan ‘makanan’ (ath-tha’aam), sehingga tidak dikhususkan kepada kurma.
Itu pula yang dipraktekkan para shahabat radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ كَانَ يَلْعَقُ أَصَابِعَهُ الثَّلاثَ إِذَا أَكَلَ "، وَقَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِنَّهُ لا يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari Hushain, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia biasa menjilat tiga jarinya apabila selesai makan, dan kemudian berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Sesungguhnya seseorang tidak tahu di bagian manakah dari makanannya yang terdapat barakah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/295-296 no. 24825; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا حُصَيْنٌ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: مَا رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ مُتَوَضِّئًا مِنْ طَعَامٍ قَطُّ، كَانَ يَلْعَقُ أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ ثُمَّ يَمْسَحُ يَدَهُ بِالتُّرَابِ ثُمَّ يَقُومُ إِلَى الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hushain, dari Mujaahid, ia berkata : “Aku tidak pernah sekalipun melihat Ibnu ‘Umar berwudlu karena (makan) makanan. Dan ia menjilat tiga jarinya, kemudian mengusap tangannya dengan tanah, lalu berdiri untuk melaksanakan shalat” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/48 no. 540 & 8/294 no. 24820; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، قَالَ: "قُلْتُ لِعُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ: كُنْت تَشْهَدُ طَعَامَ ابْنِ عَبَّاسٍ ؟ "، قَالَ: "نَعَمْ "، قُلْتُ: "فَأَيَّ شَيْءٍ كُنْتُ تَرَاهُ يَصْنَعُ؟ "، قَالَ: "كُنْتُ أَرَاهُ يَلْعَقُ أَصَابِعَهُ الثَّلاثَ "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Ubaidullah bin Abi Yaziid : “Apakah engkau menyaksikan makanan Ibnu ‘Abbaas ?”. Ia menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Lantas, apa yang engkau lihat dari yang ia lakukan ?”. Ia menjawab : “Aku melihatnya menjilat tiga jarinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/295 no. 24822; sanadnya shahih].
Juga para taabi’iin.
حَدَّثَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، قَالَ: رَأَيْتُ الْقَاسِمَ وَسَالِمًا يَأْكُلانِ بِثَلاثِ أَصَابِعَ
Telah menceritakan kepada kami Ma’n bin ‘Iisaa, dari Khaalid bin Abi Bakr, ia berkata : Aku melihat Al-Qaasim dan Saalim makan dengan tiga jari” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/298 no. 24835; shahih[1]].
Makan dengan tiga jari adalah sunnah, begitulah penjelasan para ulama kita.
Dari Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah, ia berkata:
اثنا عشرة خصلة فِي الطعام ينبغي للمسلمين أَن يتعلموها: أربعة من فريضة، وأربعة سنة، وأربعة أدب. فأما الفريضة: فالتسمية، والمعرفة، والرضا، والشكر. وَأَمَّا السنة: فالجلوس عَلَى رجله اليسرى، والأكل مِمَّا يليه، والأكل بثلاث أَصَابِع، ولعق الأَصَابِع إِذَا فرغ. وَأَمَّا الأدب: فغسل اليدين، وتصغير اللقمة، والمضغ الشديد، وقلة النظر فِي وجوه أَصْحَابه
“Ada 12 hal ketika menyantap makanan yang hendaknya dilakukan oleh kaum muslimin. Empat hal merupakan kewajiban, empat hal merupakan sunnah, dan empat hal merupakan adab. Adapun kewajibannya : mengucapkan tasmiyyah (menyebut nama Allah/basmalah), ma’rifah, ridla, dan syukur (atas rizki yang diberikan Allah). Sunnahnya : duduk di atas kaki kiri, makan apa yang dekat dengannya, makan dengan tiga jari, dan menjilat jari-jarinya apabila telah selesai. Adabnya : mencuci kedua tangan, mengecilkan suapan, mengunyah dengan baik, dan menyedikitkan pandangan pada wajah rekan-rekannya” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib Al-Baghdaadiy dalam Ath-Tathfiil hal. 142 no. 170].
An-Nawawiy rahimahullahberkata:
وَاسْتِحْبَاب الْأَكْل بِثَلَاثِ أَصَابِع ، وَلَا يَضُمّ إِلَيْهَا الرَّابِعَة وَالْخَامِسَة إِلَّا لِعُذْرٍ بِأَنْ يَكُون مَرَقًا وَغَيْره مِمَّا لَا يُمْكِن بِثَلَاثٍ وَغَيْر ذَلِكَ مِنْ الْأَعْذَار
“(Diantara sunnah-sunnah dalam makan pada hadits ini adalah) disunnahkan bagi seseorang untuk makan dengan tiga jari, dan tidak menggunakan jari yang keempat atau kelima kecuali ada ‘udzur, semisal sayur berkuah dan yang lainnya yang tidak mungkin menggunakan tiga jari, dan alasan lainnya” [Syarh Shahiih Muslim, 13/203-204].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَيُؤْخَذ مِنْ حَدِيث كَعْب بْن مَالِك أَنَّ السُّنَّة الْأَكْل بِثَلَاثِ أَصَابِع وَإِنْ كَانَ الْأَكْل بِأَكْثَر مِنْهَا جَائِزًا
“Dan diambil dari hadits Ka’b bin Maalik bahwasannya sunnah ketika makan adalah dengan tiga jari, meskipun jika makan lebih dari tiga jari diperbolehkan” [Fathul-Baariy, 9/578].
Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah berkata:
وَالْأَكْلُ بِأَكْثَرَ مِنْهَا مِنْ الشَّرَهِ وَسُوءِ الْأَدَبِ ، وَلِأَنَّهُ غَيْرُ مُضْطَرٍّ لِذَلِكَ لِجَمْعِهِ اللُّقْمَةَ وَإِمْسَاكِهَا مِنْ جِهَاتِهَا الثَّلَاثِ ، وَإِنْ اُضْطُرَّ إلَى الْأَكْلِ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَصَابِعَ ، لِخِفَّةِ الطَّعَامِ وَعَدَمِ تَلْفِيقِهِ بِالثَّلَاثِ يَدْعَمُهُ بِالرَّابِعَةِ أَوْ الْخَامِسَةِ
“Makan lebih dari tiga jari termasuk keburukan dan jeleknya adab. Hal itu dikarenakan tidak ada kebutuhan yang mengharuskan menggunakan lebih dari tiga jari untuk mengumpulkan suapan makanan dan memegangnya. Namun jika ada kebutuhan untuk makan lebih dari tiga jari, karena ringan/lembutnya makanan dan tidak dapat diambil dengan tiga jari, maka ia boleh menggunakan jari yang keempat atau kelima” [idem].
Penulis kitab Syarh Al-Bahjatul-Wardiyyah ketika menyebutkan adab-adab makan antara lain:
"...وَأَنْ يَأْكُلَ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ ، وَأَنْ يَتَحَدَّثَ إذَا كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ بِمَا لَا إثْمَ فِيهِ..."
“…. Makan dengan tiga jari, berbicara/berbincang-bincang apabila ada orang lain bersamanya dengan pembicaraan yang tidak mengandung dosa…..” [Syarh Al-Bahjatul-Wardiyyah, 15/223].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah menjelaskan:
أنه ينبغي للإنسان أن يأكل بثلاثة أصابع الواسطى والسبابة والإبهام لأن ذلك أدل على عدم الشره وأدل على التواضع ولكن هذا في الطعام الذي يكفي فيه ثلاثة أصابع أما الطعام الذي لا يكفى فيه ثلاثة أصابع مثل الأرز فلا بأس بأن تأكل بأكثر لكن الشيء الذي تكفى فيه الأصابع الثلاثة يقتصر عليها فإن هذا سنة النبي ﷺ
“Dan hendaknya bagi seseorang untuk makan dengan tiga jarinya, yaitu jari tengah, telunjuk, dan ibu jari. Hal itu dikarenakan hal itu menunjukkan ia tidak rakus dan menunjukkan ketawadluan. Akan tetapi ini berlaku pada makanan cukup dimakan dengan tiga jari saja. Adapun makanan yang dimakan tidak cukup dengan tiga jari seperti nasi, maka tidak mengapa dimakan dengan lebih dari tiga jari. Akan tetapi makanan yang cukup menggunakan tiga jari, hendaklah ia mencukupi diri dengannya karena ini adalah sunnah Nabi ” [Syarh Riyaadlush-Shaalihin, 4/229].
Para ulama tentu sangat paham bahasa Arab, paham konteksnya, dan penjelasan mereka lebih didahulukan dibandingkan inovasi penjelasan orang belakangan – jika ada - .
Meskipun ada beberapa persamaan bahasa/kalimat dalam penjelasan para ulama di atas dengan penjelasan Ustadz Adi Hidayat, namun esensinya menjadi sangat berbeda.
Para ulama menjelaskan dari hadits-hadits di atas (juga berdasarkan atsar-atsar salaf) bahwa makan dengan tiga jari adalah sunnah. Ini pokok/substansi mereka. Adapun jika makan lebih dari tiga jari, terutama makanan yang lembut atau tidak cukup dimakan dengan tiga jari, maka boleh. Mereka tidak menakwilkannya bahwa sunnah yang dimaksud adalah ‘makanlah secukupnya atau sesuai kadarnya’ sebagaimana Ustadz Adi Hidayat.
Mungkin saja Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA. sebenarnya ingin menjelaskan hadits Ka’b dan Anas radliyallaahu ‘anhumaa dengan penjelasan para ulama tersebut di atas, namun keseleo lidah jadi beda esensinya.
Masukan kami untuk ke depan, alangkah baiknya jika penjelasan-penjelasan hadits diikuti dengan nukilan-nukilan otentik para ulama sehingga jama’ah yang mendengar tidak salah paham serta semangat dalam ittiba’ dan ta’dhiim-nya terhadap sunnah.
Satu lagi…….
Ketika Ustadz Adi Hidayat Lc. MA. hafidhahullah membahas tentang wudlu dalam video berjudul Jenis-Jenis Syetan & Tugass nya, beliau menguraikan panjang lebar tentang tentang definisi/arti wudlu (01:27:17):
Apa artinya wudlu ?. Apa artinya wudlu ? Lo, pertanyaan ketiga masih ngarang juga. Nggak usah ngarang. Apa artinya wudlu ? Wallaahu a’lam. Thayyib. Wudlu itu, asal bahasanya bukan bersuci ya. Kalau bersuci thaharah. Itu pengertian fikih ya. Wudlu artinya bersuci itu pengertian fikih. Secara bahasa, wudlu itu berasal dari kata dlau’ (ضَوْء). Yang berarti, cahaya yang terang, sinar yang terang, atau aura kebaikan yang tampak. Aura kebaikan yang tampak.Jadi ada orang-orang yang seakan-akan wajahnya ada cahaya. Yang dari jauh Anda sudah lihatnya enak.. ada cahaya kebaikan. Teduh melihatnya, tenang perasaan Anda gitu kan. Seperti terangnya cahaya matahari yang diharapkan itu. Dlaun, jamaknya disebut dliyaa’. Dalam surat ke-10 ayat ke-5 : huwalladzii ja’alasy-syamsa dliyaa’an wal-qamara nuuran. Oke. Nah, sekarang saya berikan rumus, dan ini akhir dari kajian kita. Saya tutup sampai di sini. ……(lalu Ustadz Adi menulis penjelasan di papan tulis dengan tulisan sebagai berikut:

(01:29:29):
….. maka turun kalimatnya kemudian menjadi begini : wudlu. Dari kata dlau’ yang berarti cahaya yang terang, aura kebaikan yang tampak. Ditambah wawu, maka kalimatnya berubah secara bahasa berarti sinar yang sangat terang, atau aura kebaikan yang semakin tampak. Makanya kata Nabi dalam hadits riwayat Muslim yastad’uuna ummati yaumal-qiyaamati ghurran muhajjaliin. Umatku nanti akan dipanggil di akhirat nanti dengan cahaya yang terang sekali tampak di tubuhnya. Min atsaril-wudluu’. Dari bekas wudlunya. Jadi saat di akhirat nanti, insya Allah, kita kalau wudlunya bagus, seperti tadi itu nanti saat dipanggil itu akan kelihatan umat Nabi itu. Kelihatan. Begitu datang, cahayanya banyak. Ada aura kebaikan. Kata Nabi, dari bekas wudlunya. Tapi Anda mesti tahu ya, awas, mesti ingat ini, yang dimaksud bekas wudlunya bukan airnya, bukan airnya ingat, tapi yang dimaksud ini aura kebaikan yang tampak ini. Makanya kalimatnya menggunakan atsar. Atsar itu jejak perilaku, bukan jejak benda. Jejak perilaku. Jadi kalau antum berjalan begini (sambil mempraktekkan), ada tapak di situ. Itu disebut dengan atsar namanya. Makanya ada atsar shahabat. Jejak kehidupan shahabat, sehingga seperti kita melacak jejak langkahnya. Atsar. Ya. Makanya kata Nabi, orang yang benar wudlunya, bisa tampak pada perilakunya. Aura kebaikannya. Kira-kira, maaf, semakin bercahaya nggak wajahnya? Semakin bercahaya nggak tangannya. Jadi, ada kebaikan yang ia lakukan dari situ. Itu yang menjadikan dirinya mendapat cahaya kebaikan di akhirat nanti. Makanya ibadahnya disebut dengan wudlu’. Ingin memberikan kesan bahwa orang wudlu itu pasti sifat dan sikapnya baik. Jadi kalau selama ini ada orang berwudlu, sifat dan sikapnya tidak baik, ada yang salah dalam wudlu’nya. Oke. Kalau semua orang sudah begini wudlunya, mana ada setan yang bisa ganggu. Susah gitu. Ya. Begitu dia mau ganggu, ini taubat kepada Allah. Dia rasakan Allah mengawasi. Ya, karena itulah kemudian besar kemungkinan dia bisa menepiskan setan, menghilangkan was-was dalam dirinya, dan lebih dekat kepada Allah subhaanahu wa ta’ala. Jelas sampai di sini ?. Thayyib. Paham insya Allah ?
…….
Bismillah, apakah boleh bicara ketika sedang berwudlu ?. Saya, kalau kembali kepada hadits tadi, kita menghindari itu. Kalau berbicara, hukumnya, Anda bicara, nggak membatalkan wudlu. Tapi Anda kehilangan kesempatan pahala diampuni dosa-dosa yang telah berlalu. Karena bahasa haditsnya, jangan bicara, selama ia tidak bicara selama wudlu sampai dia shalat. Bahasa haditsnya. Tapi kalau Anda bicarapun, tidak membatalkan wudlu. Cuman sayang, kehilangan kesempatan diampuni dosa-dosanya. Ya. Jelas ya ?. (01:33:01)
[selesai]
Jika kita buka penjelasan para ulama, wudlu’ berasal dari kata al-wadlaa’ah (الوَضَاءَة) yang bermakna kebaikan (الحسن), kebersihan (النظافة), dan kegembiraan (البهجة), sebagaimana jika dikatakan :
رجل وضيء
maknanya : bagus penampilannya (حسن الهيئة) [Taajul-‘Aruus 1/276-277, Lisaanul-‘Arab 1/194, dan Mukhtaarush-Shihhaahhal. 303 – melalui perantaraan Ahkaamuth-Thahaarah oleh Dibyaan bin Muhammad Ad-Dibyaan, 9/19][2].
Adapun permasalahan berbicara ketika wudlu’, apakah dalil yang beliau maksud menunjukkan pada kesimpulan yang ada pada jawaban beliau tersebut ? Apakah ada ulama yang memahami demikian ?.
Sebelumnya, mari kita cermati penjelasan beliau hafidhahullah pada menit sebelumnya ketika menjelaskan hadits ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu (01:26:05):
Teruskan haditsnya…. Di ujung haditsnya, ee saya berikan rumusnya sebentar ya. Ini rumus hadits di Al-Bukhaariy nomor hadits 159. Perhatikan. Haditsnya belum selesai. Ketika ‘Utsman selesai membasuh kakinya, beliau mengatakan, lihat kalimatnya, ya. Man tawadla’a bi-wudluuin bi mitsli wudluui hadza, siapa yang berwudlu seperti wudlu saya ini, maka kata Rasulullah, tsumma shalla rak’ataini, kemudian ia shalat dua raka’at, shalat sunnah wudlu. Jadi dia wudlu dulu dengan sempurna, kemudian dia shalat dua raka’at, walam yuhdits fiihimaa, dan dia tidak berbicara sepatah katapun, diantara wudlu dan shalat itu. Ya antum wudlu, selesai wudlu, sempurnakan, kemudian seperti tadi, Anda shalat dua raka’at, dan tidak bicara. Lihat, ghafarahullaahu maa taqaddama min dzanbihi. Paling minimal, pertama yang diberikan, semua dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh Allah subhaanahu wa ta’ala. Haditsnya shahih. Semua dosanya. Yang kecil sampai dengan yang besar. Ya…”.
[selesai].
Hadits ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu dimaksud adalah:
مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang berwudlu seperti wudluku ini, kemudian ia shalat dua raka’at dan tidak berkata-kata dalam dirinya antara dua raka’at tersebut, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
Beliau hafidhahullah keliru dalam menafsirkan laa yuhadditsu fiihimaa dimana beliau katakan maknanya tidak berbicara antara wudlu dan shalat. Padahal maksudnya adalah tidak berkata-kata dalam dirinya (hati) untuk perkara dunia antara dua raka’at shalat tersebut (di dalam shalat).
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فَالْمُرَاد لَا يُحَدِّث بِشَيْءٍ مِنْ أُمُور الدُّنْيَا وَمَا لَا يَتَعَلَّق بِالصَّلَاةِ
“Maksudnya adalah tidak berkata-kata tentang sesuatu dari perkara dunia dan yang tidak ada kaitannya dengan shalat” [Syarh Shahiih Muslim, 3/108].
Jadi menggunakan hadits ‘Utsmaan bin ‘Affaan sebagai dalil agar tidak berbicara/berkata-kata ketika berwudlu karena dapat kehilangan kesempatan mendapatkan pahala serta diampuni dosa-dosa yang telah berlalu; tidak tepat. Beda konteks.
Adapun berbicara pada waktu wudlu, hukumnya boleh, tidak terlarang. Dalilnya:
عَنْ عَمْرو بْن الْعَاصِ، يَقُولُ: بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: "خُذْ عَلَيْكَ ثِيَابَكَ وَسِلَاحَكَ، ثُمَّ ائْتِنِي ". فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَصَعَّدَ فِيَّ النَّظَرَ ثُمَّ طَأْطَأَهُ، فَقَالَ: "إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَبْعَثَكَ عَلَى جَيْشٍ فَيُسَلِّمَكَ اللَّهُ وَيُغْنِمَكَ، وَأَزْغَبُ لَكَ مِنَ الْمَالِ زَغْبَةً صَالِحَةً ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَسْلَمْتُ مِنْ أَجْلِ الْمَالِ، وَلَكِنِّي أَسْلَمْتُ رَغْبَةً فِي الْإِسْلَامِ، وَأَنْ أَكُونَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: يَا عَمْرُو، نِعِمَّا بِالْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
Dari ‘Amru bin Al-‘Aash, ia berkata : “Rasulullah mengutus seseorang kepadaku, dan kemudian menyampaikan pesan beliau : ‘Ambil baju dan senjatamu, kemudian datanglah kepadaku (Rasulullah )’. Aku pun mendatangi beliau yang saat itu sedang berwudlu. Beliau mengangkat pandangannya kemudian menunduk dan bersabda : “Sesungguhnya aku ingin mengutusmu untuk satu peperangan. Semoga Allah memberikan keselamatan dan harta ghanimah kepadamu. Dan aku berharap kepadamu dari harta yang baik”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, tidaklah aku masuk agama Islam semata-mata mengharapkan harta, namun aku masuk Islam karena aku memang menginginkan Islam”. Dan aku pun (setelah itu) bersama Rasulullah , lalu beliau bersabda : “Wahai ‘Amru, sebaik-baik harta yang shalih adalah untuk seseorang yang shaalih” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/197; sanadnya shahih].
Namun lebih baik untuk ditinggalkan. Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah ketika ditanya : “Apakah berbicara  ketika wudlu makruh?”. Beliau rahimahullah menjawab:
ليس بمكروه؛ الكلام في أثناء الوضوء ليس بمكروه، لكن في الحقيقة أنه يشغل المتوضئ؛ لأن المتوضئ ينبغي له عند غسل وجهه أن يستحضر أنه يمتثل إلى أمر الله، وعند غسل يديه ومسح رأسه وغسل رجليه يستحضر هذه النية، فإذا كلمه أحد وتكلم معه انقطع هذا الاستحضار، وربما يشوش عليه أيضاً، وربما يحدث له الوسواس بسببه، فالأولى أن لا يتكلم حتى ينتهي من الوضوء، لكن لو تكلم فلا شيء عليه
“Tidak makruh. Berbicara ketika wudhu tidaklah makruh. Akan tetapi pada hakekatnya, perbuatan tersebut menyibukkan bagi orang yang berwudlu, karena orang yang berwudlu seharusnya ketika membasuh wajahnya untuk menghadirkan hatinya bahwa ia lakukannya karena mentaati perintah Allah ta’ala. Begitu juga ketika membasuh kedua tangannya, mengusap kepalanya, dan membasuh kedua kakinya. Hendaknya ia menghadirkan niat ini. Seandainya ada seseorang yang berbicara dengannya dan ia berbicara kepadanya, terputuslah keadaan ini (menghadirkan hati) dan kadang ia juga akan terganggu dan merasa was-was dikarenakannya. Maka lebih utama agar tidak berbicara hingga ia selesai wudlu. Akan tetapi seandainya ia berbicara, maka tidak mengapa” [sumber : http://binothaimeen.net/content/12484].[3]
Sebenarnya tidak masalah apabila Ustadz Adi Hidayat mengatakan makruh atau tidak makruh, karena dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Hanya saja, yang disoroti di sini adalah cara pengambilan dalil beliau yang tidak merujuk pada pendapat ulama dalam memahami dalil.
Mungkin ini saja yang dapat saya tulis dari beberapa rangkaian pembahasan tentang materi Ustadz Adi Hidayat. Point penting di sini jika kita melihat benang kritikan yang dialamatkan kepada beliau adalah cara penafsiran dalil yang beliau lakukan cenderung bebas. Agak miskin kita mendengar nukilan para ulama dari materi yang beliau sampaikan – meski kata ‘ulama’ sendiri sering beliau katakan - . Ada baiknya ke depan, materi pembacaan kitab dan penukilan letterlijk perkataan ulama ketika mentafsirkan ayat dan mensyarah hadits lebih diperkaya. Insya Allah, itu sangat bermanfaat bagi jama’ah.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – 11071438/08042017 - revisi : 11071438/08042017, 13:27].




[1]  Dalam sanad riwayat ini ada Khaalid bin Abi Bakr, yang dikatakan Ibnu Hajar : “Padanya ada kelemahan”. Namun dalam riwayat ini ia adalah si pemilik cerita yang menghapal apa yang ia lihat, sehingga riwayat tersebut shahih. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[2]  Versi website dapat dibaca di : http://www.alukah.net/web/dbian/0/26271/
[3]  Pembahasan masalah ini dapat dibaca di : http://www.alukah.net/sharia/0/30068/

Hadits “Habatha” (Allah Turun ke Langit Dunia)

$
0
0
Dari Rifaa’ah bin ‘Araabah Al-Juhhaniy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Telah bersabda Nabi :
إِذَا مَضَى مِنْ اللَّيْلِ نِصْفُهُ أَوْ ثُلُثَاهُ، هَبَطَ اللَّهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، ثُمَّ يَقُولُ: لَا أَسْأَلُ عَنْ عِبَادِي غَيْرِي، مَنْ ذَا الَّذِي يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ؟ مَنْ ذَا الَّذِي يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ؟ مَنْ ذَا الَّذِي يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ "
Apabila telah berlalu setengah malam atau duapertiga malam, maka Allah turun ke langit dunia, kemudian berfirman : 'Tidak ada yang bertanya tentang hamba-hamba-Ku selain diri-Ku. Barangsiapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberinya; barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka akan Aku berikan ampunan kepadanya; dan barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, maka  akan Aku kabulkan; hingga terbit fajar”.

Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy dalam Sunan-nya[1]hal. 929-930 no. 1522 dan 1523, serta An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa[2]9/177-178 no. 10236; dari Al-Auzaa’iy dan Hisyaam Ad-Dastawaaiy, keduanya dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Rifaa’ah bin ‘Araabah Al-Juhhaniy, ia berkata : Telah bersabda Nabi : …..(al-hadits)…..”.
Hadits ini shahih, para perawinya tsiqaat.
Dari Abu Sa’iid dan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma, ia menyaksikan bahwa Nabi bersabda:
حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا كَانَ ثُلُثُ اللَّيْلِ هَبَطَ، فَيَقُولُ: هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَيُعْطَى، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ مِنْ ذَنْبٍ، هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَهُ؟ "
Sesungguhnya Allah memberi tangguh hingga apabila berlalu sepertiga malam Allah turun, lalu Ia berfirman : ‘Apakah ada orang yang meminta lalu ia akan diberikan (apa yang diminta) ? Apakah ada orang memohon ampunan atas dosanya ? Apakah ada orang yang berdoa lalu dikabulkan doa itu untuknya ?”.
Diriwayatkan oleh Ahmad[3]2/383 & 3/43, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa[4]9/179-180 no. 10242, ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah[5]hal. 63 no. 124, Ibnu Abid-Dunyaa dalam At-Tahajjud[6]hal. 294, Ath-Thayaalisiy[7]no. 2346 & 2507, Ad-Daaraquthniy dalam An-Nuzuul[8]no. 53 & 55 & 57-58, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah[9]2/96-97no. 746, Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj[10]2/28 no. 2194-2196, Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa[11]no. 143 & 145 & 147, dan Ibnu Mandah dalam At-Tauhiid[12]no. 817 & 819; semuanya dari jalan Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari Al-Agharr Abu Muslim, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’iid Al-Khudriy, mereka berkata : Aku menyaksikan Nabi bersabda : “…..(al-hadits)…..”.
Hadits ini shahih, para perawinya tsiqaat.
Al-Agharr Abu Muslim mempunyai mutaba’ah dari:
1.    ‘Athaa’ maulaa Ummu Shabiyyah sebagaimana diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa[13]9/181 no. 10246, Al-Khathiib dalam Al-Maudlih[14]1/340-341
2.    Al-A’raj sebagaimana diriwayatkan oleh Muhammad bin Al-Mudhaffar dalam Gharaaibu Maalik bin Anas[15]no. 140.
Hadits di atas menetapkan sifat al-hubuuth/turun (الْهُبُوْطُ) bagi Allah ‘azza wa jalla [Shifaatullahi ‘azza wa jalla Al-Waaridah fil-Kitaab was-Sunnah oleh ‘Alawiy As-Saqqaaf, hal. 336-340, 360]. Al-Hubuuth ini semakna dengan an-nuzuul.
Al-Imaam Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullahberkata:
لله تبارك وتعالى أسماء وصفات جاء بها كتابه وأخبر بها نبيه صلى الله عليه وسلم أمته ... وأنه يهبطكل ليلة إلى سماء الدنيا بخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم بذلك
“Allah tabaaraka wa ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang terdapat dalam Kitab-Nya dan dikhabarkan Nabi-Nya kepada umatnya….. Dan bahwasannya Allah turun setiap malam ke langit dunia berdasarkan khabar Rasulullah ” [Thabaqaatul-Hanaabilah, 1/282].
Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah berkata:
وذلك نحو إخبار الله تعالى ذكره إيانا أنه سميع بصير، وأن له يدين لقوله (بَلْ يَدَاهُ مَبْسُطَتَانِ)...... وأنه يهبطكل ليلة وينزلإلى السماء الدنيا، لخبر رسول الله
“Dan hal itu seperti pengkhabaran Allah ta’ala kepada kita bahwasannya Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, dan bahwasannya Allah memiliki dua tangan berdasarkan firman-Nya : ‘Akan tetapi kedua tangan-Nya terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64)….. Dan bahwasannya Allah turun setiap malam ke langit dunia berdasarkan khabar Rasulullah ” [At-Tabshiir fii Ma’aalimid-Diin, hal. 135, 138].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah menukil perkataan Al-Karjiy rahimahumallah:
رُوي عن محمد بن الحسن صاحب أبي حنيفة أنه قال في الأحاديث التي جاءت إنَّ الله يهبطإلى السماء الدنيا ونحو هذا من الأحاديث إنَّ هذه الأحاديث قد رواها الثقات فنحن نرويها ونؤمن بها ولا نفسرها
“Diriwayatkan dari Muhammad bin Al-Hasan, shahabat/murid Abu Haniifah bahwasannya ia berkata tentang hadits-hadits yang menjelaskan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia dan hadits lain yang semisal; maka hadits-hadits ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat (terpercaya), dan kami meriwayatkannya, mengimaninya, dan tidak mentafsirkan (menta’wilkan)-nya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/186].
Tidak boleh kita menolak sifat Allah ta’ala ini dengan aneka penolakan, seperti menta’wilkannya atau mengatakan ‘hadits ini salah’ atau ‘salah kalimat Nabinya’ hanya karena tidak sesuai dengan pendapat kita.
إذا ورد الأثر بطل النظر
“Apabila telah tetap nash, batallah segala pendapat”.
Akal harus tunduk pada nash, bukan sebaliknya.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 12071438/09042017].




[1]   Sanadnya:
No. 1522:
أَخْبَرَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ عَرَابَةَ الْجُهَنِيِّ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِذَا مَضَى مِنْ اللَّيْلِ......
No. 1523:
حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْيَحْيَى،عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رِفَاعَةَ أَخْبَرَهُ، عَنْ النَّبِيِّ ﷺ بِنَحْوِهِ
[2]   Sanadnya :
أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى.
وَأَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، عَنْ يَحْيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِيُّ، عَنْ يَحْيَى،عن هِلالٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ عَرَابَةَ الْجُهَنِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:.....
[3]   Sanadnya:
2/383:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِﷺ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يُمْهِلُ حَتَّى يَذْهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، ثُمَّ يَهْبِطُفَيَقُولُ: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَيُغْفَرُ لَهُ؟ "،
وقَالَ عَفَّانُ: وَكَانَ أَبُو عَوَانَةَ حَدَّثَنَا بِأَحَادِيثَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، ثُمَّ بَلَغَنِي بَعْدُ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُهَا مِنْ إِسْرَائِيلَ وَأَحْسَبُ هَذَا الْحَدِيثَ فِيهَا
3/43:
حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ:...
[4]   Sanadnya :
أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ فُضَيْلٍ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبي سعيدٍ، أَنَّهُمَا شَهِدَا بِهِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِﷺ وَأَنَا أَشْهَدُ عَلَيْهِمَا، أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُمْهِلُ حَتَّى يَذْهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلُ، ثُمَّ يَهْبِطُإِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ؟ هَلْ مِنْ تَائِبٍ؟ هَلْ مِنْ دَاعٍ؟ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ "
[5]   Sanadnya:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ الْوَاسِطِيُّ، أَنْبَأَ أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ هَبَطَ، فَقَالَ: مَنْ تَائِبٌ فَيُتَابُ عَلَيْهِ؟ مَنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَهُ؟ مَنْ مُسْتَغْفِرٌ؟ مَنْ مُذْنِبٌ؟ مَنْ سَائِلٌ فَيُعْطَى؟ "
[6]   Sanadnya:
حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ،عَنِ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَأَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِﷺ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَهْبِطُإِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلُ وَبَقِيَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَيَقُولُ: "هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَيُعْطَى؟ هَلْ مِنْ تَائِبٍ فَيُتَابُ عَلَيْهِ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ مِنْ ذَنْبٍ؟ "
[7]   Sanadnya:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ الأَغَرَّ، يَقُولُ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِﷺ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يُمْهِلُ حَتَّى يَمْضِيَ ثُلُثَا اللَّيْلِ، ثُمَّ يَهْبِطُ، فَيَقُولُ: هَلْ مِنْ سَائِلٍ؟ هَلْ مِنْ تَائِبٍ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ مِنْ ذَنْبٍ؟ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ؟ فَقَالَ: نَعَمْ "
[8]   Sanadnya :
No. 53:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ نُوحٍ الْجُنْدِيسَابُورِيُّ، أنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أنا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ فُضَيْلٍ، وأنا الْقَاضِي الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، أنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ شَاكِرٍ، قَالَ: أنا حُسَيْنٌ يَعْنِي ابْنَ عَلِيٍّ الْجُعْفِيَّ، نا فُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: شَهِدَا بِهِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَنَا أَشْهَدُ عَلَيْهِمَا، أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْهِلُ حَتَّى يَذْهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلُ، ثُمَّ يَهْبِطُإِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، يَقُولُ: "هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ، هَلْ مِنْ تَائِبٍ، هَلْ مِنْ دَاعٍ "، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ "
No. 55:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ الْفَقِيهُ، نا عَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَاتِمِ، عَنْ شَبَابَةَ، نا يُونُسُ بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ، أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ يَهْبِطُإِلَى هَذِهِ السَّمَاءِ، ثُمَّ أَمَرَ بِأَبْوَابِ السَّمَاءِ فَفُتِحَتْ، ثُمَّ قَالَ: "هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ، هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأُجِيبَهُ، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ، هَلْ مِنْ مُسْتَغِيثٍ أُغِيثُهُ، هَلْ مِنْ مُضْطَرٍّ أَكْشِفُ عَنْهُ ضُرَّهُ "، فَلا يَزَالُ كَذَلِكَ، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنَ الدُّنْيَا، ثُمَّ يَصْعَدُ إِلَى السَّمَاءِ،
زَادَ فِيهِ يُونُسُ بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ زِيَادَةً حَسَنَةً
No. 57:
حَدَّثَنَا الْقَاضِي الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، نا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ، نا شُرَيْحُ بْنُ النُّعْمَانِ، نا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا كَانَ ثُلُثُ اللَّيْلِ هَبَطَ، فَقَالَ: "هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَيُعْطَى، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ مِنْ ذَنْبٍ، هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابَ لَهُ "
No. 58:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ، نا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِسْحَاقَ، نا مُسَدَّدٌ، نا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْهَمْدَانِيِّ، عَنِ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ، أَوْ بَقِيَ ثُلُثُ اللَّيْلِ هَبَطَ، فَقَالَ: "هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابَ لَهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَيُعْطَى، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ مِنْ ذَنْبٍ "
[9]   Sanadnya:
وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَاسِمُ بْنُ زَكَرِيَّا الْمُطَرِّزُ، قَالَ: حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ بْنُ دِينَارٍ، قَالَ: ثنا مُصْعَبُ بْنُ الْمِقْدَامِ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: شَهِدَا بِهِ عَلَى نَبِيِّهِمَا أَنَّهُمَا سَمِعَاهُ يَقُولُ أَوْ قَالَ: سَمِعْتُهُمَا يَشْهَدَانِ بِهِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، أَنَّهُ قَالَ: "إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلُ هَبَطَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَقَالَ: "هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ؟ هَلْ مِنْ دَاعٍ؟ "
[10]  Sanadnya:
No. 2194:
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ حَبِيبٍ، قَالَ: ثنا أَبُو دَاوُدَ، قَالَ: ثنا شُعْبَةُ، قَالَ: ثنا أَبُو إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ الأَغَرَّ، يَقُولُ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِﷺ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْهِلُ حَتَّى يَمْضِيَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، ثُمَّ يَهْبِطُ فَيَقُولُ: "هَلْ مِنْ تَائِبٍ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ مِنْ ذَنْبٍ؟ "فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ؟ قَالَ: نَعَمْ،
No. 2195:
حَدَّثَنَا عَمَّارُ بْنُ رَجَاءٍ، وَعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالا: ثنا مُحَاضِرٌ، قَالَ: ثنا الأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الأَغَرِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ بِنَحْوِهِ
No. 2196:
حَدَّثَنَا أَبُو الْبَخْتَرِيِّ بْنُ شَاكِرٍ، قَالَ: ثنا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ، قَالَ: ثنا فُضَيْلٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ.ح
وَحَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ الإِمَامُ بِحَرَّانَ، قَالَ: ثنا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْخَطَّابِيُّ، قَالَ: ثنا جَرِيرٌ، عَنْ مَنْصُورٍ.ح
وَحَدَّثَنَا أَبُو أُمَيَّةَ الطَّرَسُوسِيُّ، قَالَ: ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ، قَالَ: ثنا أَبُو حَفْصٍ الأَبَّارُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ مَنْصُورٍ، كُلُّهُمْ قَالُوا: ثنا أَبُو إِسْحَاقَ، قَالَ: حَدَّثَنِي الأَغَرُّ أَبُو مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، يَشْهَدَانِ لَهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ هَبَطَالرَّبُّ تَعَالَى إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: "هَلْ مِنْ دَاعٍ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ؟ هَلْ مِنْ تَائِبٍ؟ "حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ ثُمَّ يَصْعَدُ،
وَهَذَا لَفْظُ فُضَيْلٍ، وَأَبِي حَفْصٍ، أَمَّا حَدِيثُ جَرِيرٍ، فَقَالَ: حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ بِمِثْلِهِ حَتَّى يَنْفَجِرَ الْفَجْرُ
[11]  Sanadnya:
No. 143:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ الضَّبِّيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَجَاءٍ، أَنْبَأَ إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الأَغَرِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلُ، هَبَطَإِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: هَلْ مِنْ مُذْنِبٍ فَيَتُوبُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ؟ هَلْ مِنْ دَاعٍ؟ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ "
No. 145:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدوسِ بْنِ كَامِلٍ السَّرَّاجُ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ، ثنا الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ الْفُضَيْلَ بْنَ عِيَاضٍ يُحَدِّثُ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: شَهِدَا بِهِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلُ، هَبَطَإِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ؟ هَلْ مِنْ تَائِبٍ؟ هَلْ مِنْ دَاعٍ؟ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ "
No. 147:
حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ أَنَسُ بْنُ سَلْمٍ الْخَوْلانِيُّ، ثنا أَبُو الْمُعَافَى مُحَمَّدُ بْنُ وَهْبِ بْنِ أَبِي كَرِيمَةَ الْحَرَّانِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحِيمِ خَالِدِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْهِلُ، حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلُ، هَبَطَإِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَقَالَ: هَلْ مِنْ مُذْنِبٍ يَتُوبُ؟ هَلْ مِنْ دَاعٍ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ؟ حَتَّى يُصْبِحَ "
[12]  Sanadnya:
No. 817:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَمْزَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يُونُسَ، قَالَا: ثنا يُونُسُ بْنُ حَبِيبٍ، ثنا أَبُو دَاوُدَ، ثنا شُعْبَةُ، ثنا أَبُو إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ الْأَغَرَّ أَبَا مُسْلِمٍ، يَقُولُ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّهُمْ شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِﷺ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يُمْهِلُ حَتَّى يَمْضِيَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، ثُمَّ يَهْبِطُفَيَقُولُ: هَلْ مِنْ سَائِلٍ، هَلْ مِنْ تَائِبٍ، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ مِنْ ذَنْبٍ؟ "، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ، قَالَ: "نَعَمْ "
رَوَاهُ غُنْدَرٌ، وَبَهْزُ بْنُ أَسَدٍ، وَسَعِيدُ بْنُ شُعْبَةَ
No. 819 :
أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ، ثنا عَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِيُّ، ثنا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي مُسْلِمٍ الْأَغَرِّ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ ﷺ وَأَنَا أَشْهَدُ عَلَيْهِمَا، أَنَّهُمَا سَمِعَا النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ يَهْبِطُإِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: هَلْ مِنْ مُذْنِبٍ يَتُوبُ، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ، هَلْ مِنْ دَاعٍ؟ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ "
رَوَاهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَغَيْرُهُ عَنْ إِسْرَائِيلُ، وَرَوَاهُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَأَبُو عَوَانَةَ، وَرَوَاهُ حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي مُسْلِمٍ الْأَغَرِّ، وَرَوَاهُ الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي سَعِيدٍ، عَنْ جَابِر
[13]  Sanadnya:
أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ وَهُوَ ابْنُ سَلَمَةَ، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ عَطَاءٍ مَوْلَى أُمِّ صِبْيَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلُ هَبَطَ اللَّهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَلا يَزَالُ بِهَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ، يَقُولُ قَائِلٌ: أَلا مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَهُ، أَلا مِنْ مَرِيضٍ يَسْتَشْفِي فَيُشْفَى، أَلا مِنْ مُذْنِبٍ يَسْتَغْفِرُ فَيُغْفَرُ لَهُ "
[14]  Sanadnya:
أَخْبَرَنَا أَبُو سَعِيدٍ مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الصَّيْرَفِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الأَصَمُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الصَّغَانِيُّ، أَخْبَرَنَا حَاجِبُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا ابْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ عَطَاءٍ مَوْلَى أُمِّ صَبِيَّةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلِ هَبَطَاللَّهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَلا يَزَالُ بِهَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ، يَقُولُ: "هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى سُؤْلَهُ، هَلْ مِنْ مَرِيضٍ يَسْتَشْفِي فَيُشْفَى، هَلْ مِنْ تَائِبٍ يَسْتَغْفِرُ فَيُغْفَرَ لَهُ "
[15]  Sanadnya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُمَيْرِ بْنِ يُوسُفَ، نا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ هِشَامِ بْنِ مَلاسٍ الدِّمَشْقِيُّ، نا زَيْدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ عُبَيْدٍ الدِّمَشْقِيُّ، نا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِذَا كَانَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْبَاقِي هَبَطَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: هَلْ مِنْ سَائِلٍ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ، هَلْ مِنْ تَائِبٍ فَأَتُوبَ عَلَيْهِ.
فِي الْمُوَطَّأِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، وَالأَغَرِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Perawi yang Melakukan Penyeleksian Riwayat

$
0
0
Para perawi hadits banyak keadaannya. Ada tipikal perawi yang meriwayatkan hadits (mayoritasnya) dari kalangan dlu’afaa’ (para perawi lemah). Ada yang meriwayatkan baik dari dlu’afaa’ maupun tsiqaat. Ada pula yang melakukan penyeleksian dengan meriwayatkan hanya dari para perawi tsiqaat atau mayoritasnya dari para perawi tsiqaat atau ma'ruuf (bukan majhuul). Pada kesempatan kali ini akan coba dibahas tentang penyebutan untuk perawi jenis yang ketiga. Artikel ini masih ada kaitannya dengan artikel sebelumnya yang membahas tentang Perawi Majhuul.
Siapakah mereka ?. Berikut diantaranya:

1.      Sa’iid bin Al-Musayyib rahimahullah (w. 93 H/94 H).
Yaziid bin Abi Maalik rahimahullah berkata :
كنت عند سعيد بن المسيب فحدثني بحديث فقلت له من حدثك يا أبا محمد بهذا فقال يا أخا أهل الشام خذ ولا تسأل فانا لا نأخذ إلا عن الثقات
“Aku pernah di sisi Sa’iid bin Al-Musayyib. Lalu ia menceritakan kepadaku satu hadits. Aku bertanya kepadanya : ‘Siapakah yang menceritakan hadits kepadamu wahai Abu Muhammad ?’. Ia berkata : ‘Wahai saudara penduduk Syaam. Ambillah, dan jangan engkau bertanya. Sesungguhnya kami tidaklah mengambil (riwayat) kecuali dari para perawi tsiqaat” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/87].
2.      Thaawuus bin Kaisaan rahimahullah (w. 106 H).
Muslim bin Al-Hajjaaj rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا إِسْحَاق بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ، أَخْبَرَنَا عِيسَى وَهُوَ ابْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِيُّ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، قَالَ: لَقِيتُ طَاوُسًا، فَقُلْتُ: حَدَّثَنِي فُلَانٌ، كَيْتَ وَكَيْتَ، قَالَ: إِنْ كَانَ صَاحِبُكَ مَلِيًّا، فَخُذْ عَنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Al-Handhaliy : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Al-Auza’iy, dari Sulaimaan bin Muusaa, ia berkata : Aku pernah bertemu dengan Thaawuus, lalu aku berkata : ‘Telah menceritakan kepadaku Fulaan ini dan itu’. Ia berkata : ‘Jika ia adalah shahabatmu yang terpercaya, maka ambillah” [Muqaddimah Shahih Muslim, 1/44-45].
3.      ‘Aamir bin Syaraahiil Asy-Sya’biy rahimahullah (w. 103/104/105/106/107/110 H).
Ibnu Abi Khaitsamah rahimahullah berkata :
سمعت يحيى بن معين يقول : إذا حدث الشعبي عن رجل فسماه فهو ثقة، يحتج بحديثه
Aku pernah mendengar Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Apabila Asy-Sya’biy meriwayatkan hadits dari seseorang lalu ia menyebutkan namanya, maka orang tersebut tsiqah, haditsnya dapat dijadikan hujjah” [Al-Jarh wat-Ta’diil oleh Ibnu Abi Haatim 6/323 dan An-Nukat ‘alaa Kitaab Ibnish-Shalaah oleh Badruddiin Az-Zarkasyiy, 3/372].
4.      Al-Hasan bin Yasaar Al-Bashriy rahimahullah (w. 110 H).
5.      Muhammad bin Siiriin Al-Anshaariy rahimahullah (w. 110 H).
Al-‘Alaaiy rahimahullah berkata:
وذكر ابن أبي خيثمة عن يحيى بن معين أنه قال: إذا روى الحسن ومحمد – يعني ابن سيرين – عن رجل وسمياه فهو ثقة
“Dan Ibnu Abi Khaitsamah menyebutkan dari Yahyaa bin Ma’iin, ia berkata : ‘Apabila Al-Hasan (bin Yasaar Al-Bashriy) dan Muhammad – yaitu Ibnu Siiriin – meriwayatkan dari seseorang yang ia sebutkan namanya, maka ia tsiqah” [Jaami’ut-Tahshiil, hal. 90].
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan riwayat :
وقال يعقوب بن شيبة: قلت ليحيى بن معين:"متى يكون الرجل معروفاً ؟ إذا روى عنه كم ؟ "قال:"إذا روى عن الرجل مثل ابن سيرين والشعبي، وهؤلاء أهل العلم فهو غير مجهول". قلت: "فإذا روى عن الرجل [ مثل سماك ] بن حرب وأبي إسحاق ؟ ". قال:"هؤلاء يروون عن مجهولين
Ya’quub bin Syaibah berkata : Aku bertanya kepada Yahyaa bin Ma’iin : “Kapan seseorang menjadi dikenal (ma’ruuf) ?. Jika perawi tersebut yang meriwayatkan darinya berapa orang ?”. Ia berkata : “Apabila yang meriwayatkan dari orang itu semisal Ibnu Siiriin dan Asy-Sya’biy, dan mereka itu termasuk ahlul-‘ilmi, maka perawi tersebut tidaklah majhuul”. Aku berkata : “Apabila diriwayatkan dari seseorang semisal Simaak bin Harb dan Abu Ishaaq (As-Sabii’iy) ?”. Ia berkata : “Mereka itu meriwayatkan dari para perawi majhuul” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy oleh Ibnu Rajab, 1/377-378].
6.      Bukair bin ‘Abdillah bin Al-Asyajj rahimahullah (w. 120 H).
Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy rahimahullah berkata :
إذا رأيت بكير بن عبد الله روى عن رجل فلا تسأل عنه ، فهو الثقة الذى لا شك فيه
“Apabila engkau melihat Bukair bin ‘Abdillah meriwayatkan dari seseorang, maka jangan engkau tanya tentangnya, karena ia seorang yang tsiqah tanpa ada keraguan padanya” [Tahdziibut-Tahdziib, 1/492].
7.      Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin Syihaab Az-Zuhriy (Ibnu Syihaab Az-Zuhriy) rahimahullah (w. 125 H).
Yahyaa bin Ma’iin berkata ketika mentautsiq ‘Umaarah bin Ukaimah Al-Laitsiy rahimahumullah:
كفاك قول الزهري سمعت ابن اكيمة
“Cukuplah bagimu perkataan Az-Zuhriy : ‘aku mendengar Ibnu Ukaimah…” [Tahdziibut-Tahdziib, 7/411].
Catatan : Untuk mursal Az-Zuhriy, para ulama tidak menganggapnya bernilai sedikitpun.
8.      ‘Abdullah bin Dzakwaan Al-Qurasyiy, Abuz-Zinaad (w. 130 H)
Muslim bin Al-Hajjaaj rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ، حَدَّثَنَا الأَصْمَعِيُّ، عَنِ ابْنِ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: أَدْرَكْتُ بِالْمَدِينَةِ مِائَةً، كُلُّهُمْ مَأْمُونٌ، مَا يُؤْخَذُ عَنْهُمُ الْحَدِيثُ، يُقَالُ: لَيْسَ مِنْ أَهْلِهِ
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy Al-Juhhaniy : Telah menceritakan kepada kami Al-Ashma’iy, dari Ibnu Abiz-Zinaad, dari ayahnya, ia berkata : “Aku pernah menjumpai di kota Madinah 100 orang yang semuanya amanah, namun tidak ada yang mengambil hadits dari mereka. Dikatakan : Karena bukan termasuk ahlinya” [Muqaddimah Shahih Muslim, 1/45].
Perkataan ini sebagai dalil bahwa Abuz-Zinaad menyeleksi orang yang akan ia ambil riwayatnya.
9.      Al-Qaasim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Umar rahimahullah (w. 130 H)
Ad-Daarimiy rahimahullah berkata:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ، عَنْ يَحْيَى، قَالَ: قُلْتُ لِلْقَاسِمِ: مَا أَشَدَّ عَلَيَّ أَنْ تُسْأَلَ عَنْ الشَّيْءِ لَا يَكُونُ عِنْدَكَ وَقَدْ كَانَ أَبُوكَ إِمَامًا، قَالَ: "إِنَّ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ مَنِ عَقَلَ عَنْ اللَّهِ أَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ، أَوْ أَرْوِيَ عَنْ غَيْرِ ثِقَةٍ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Katsiir, dari Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Yahyaa, ia berkata : Aku berkata kepada Al-Qaasim : “Betapa berat bagiku apabila engkau ditanya tentang suatu perkara kemudian engkau tidak mengetahuinya, padahal ayahmu adalah imam”. Ia menjawab : “Sesungguhnya perkara yang berat daripada itu di sisi Allah dan di sisi orang yang memahami Allah adalah berfatwa tanpa ilmu atau meriwayatkan hadits dari orang yang tidak tsiqah” [Sunan Ad-Daarimiy no. 115].
10.   Muhammad bin Al-Munkadir bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy At-Taimiy rahimahullah (w. 130 H)
Sufyaan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata:
ما رأيت أحدا أجدر أن يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا يسأل عمن هو من ابن المنكدر
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pantas untuk mengatakan : ‘Telah bersabda Rasulullah ’, dan tidak perlu ditanyakan dari mana hadits itu diambil; dibandingkan Ibnul-Munkadir”.
Ibnu Hajar rahimahullahmenjelaskan: “Karena pemeriksaan yang dilakukannya” [Tahdziibut-Tahdziib, 9/474-475].
11.   Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy (w. 131 H).
Abu Daawud rahimahullah berkata:
قلت لأحمد:أبو يزيد المدني ؟ قال:أي شيء يسأل عن رجل روى عنه أيوب ؟!
Aku bertanya kepada Ahmad : “Bagaimana tentang Abu Yaziid Al-Madaniy ?”. Ia berkata : “Apa lagi yang perlu ditanyakan tentang orang yang Ayyuub meriwayatkan darinya ?!” [Suaalaat Abi Daawud no. 163 hal. 210].
Ibnu Syaahiin ketika biografi ‘Ikrimah bin ‘Ammaar rahimhumullah berkata:
وسُئل أيوب عنه، فقال : لو لم يكن عندي ثقة، لم أكتب عنه
“Ayyuub pernah ditanya tentangnya, lalu ia berkata : ‘Seandainya menurutku ia tidak tsiqah, maka tidak aku tulis riwayat darinya” [Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat, hal. 254 no. 1019].
12.   Muhammad bin Juhaadah Al-Audiy rahimahullah (w. 131 H)
Abu ‘Ubaid Al-Aajurriy rahimahullah, dari Abu Daawud, iaberkata:
كان لا يأخذ عن كل أحد وأثنى عليه
“Muhammad bin Juhaadah tidak mengambil riwayat dari semua orang” – dan ia (Abu Daawud) memujinya [Tahdziibut-Tahdziib, 9/92].
Perkataan Abu Daawud ini menunjukkan bahwa Muhammad bin Juhaadah rahimahumullah menyeleksi para perawi yang ia ambil riwayatnya.
13.   Yahyaa bin Abi Katsiir Ath-Thaaiy rahimahullah (w. 132 H).
Ibnu Abi Haatim rahimahullah berkata :
سمعت أبى يقول: يحيى بن أبى كثير أمام لا يحدث إلا عن ثقة
“Aku mendengar ayahku berkata : ‘Yahyaa bin Abi Katsiir adalah seorang imam. Ia tidak meriwayatkan kecuali dari seorang yang tsiqah’” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 9/141 no. 599].
14.   Manshuur bin Al-Mu’tamir rahimahullah (w. 132 H).
Abu Daawud rahimahullah berkata :
منصور لا يروي إلا عن كل ثقة
“Manshuur (bin Al-Mu’tamir) tidaklah meriwayatkan kecuali dari setiap perawi tsiqah” [Tahdziibul-Kamaal, 28/549].
15.   Zaid bin Aslam Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy rahimahullah (w. 136 H)
Abu Zur’ah Ar-Raaziy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ، قال: حَدَّثَنَا عَطَّافُ بْنُ خَالِدٍ، قال: قِيلَ لِزَيدِ بْنِ أَسْلَمَ: "عَمَّنْ يَا أَبَا أُسَامَةَ؟ قَالَ: مَا كُنَّا نُجَالِسُ السُّفَهَاءَ، وَلَا نَحْمِلُ عَنْهُمْ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Ayyaasy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aththaaf bin Khaalid, ia berkata : Dikatakan kepada Zaid bin Aslam : “Dari siapa (hadits ini) wahai Abu Usaamah ?”. Ia menjawab : “Tidaklah kami bermajelis dengan orang-orang dungu, dan kami tidak membawa (hadits) dari mereka” [At-Taariikh no. 1090. Lihat juga Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’1/262].
16.   ‘Abdullah bin Sa’iid bin Abi Hind Al-Fazaariy rahimahullah (w. 144 H/147 H).
Abu Daawud rahimahullah berkata:
سمعت أحمد قال : عبد الله بن سعيد بن أبي هند، ما أحسن حديثه وأصحه
“Aku mendengar Ahmad berkata : ‘’Abdullah bin Sa’iid bin Abi Hind, betapa baik dan shahih haditsnya” [Suaalaat Abi Daawud hal. 213 no. 175].
17.   Habiib bin Asy-Syahiid Al-Azdiy rahimahullah (w. 145 H).
Ibnu Syaahiin rahimahullah berkata:
أخبرنا يحيى بن محمد بن صاعد: أخبرنا إسحاق بن إبراهيم بن حبيب بن الشهيد: حدثني أبي، قال: لقيت شعبة في الطريق، فقال: ما كان أبوك بأقلهم حديثاً، ولكن كان شديد الاتقاء
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin Shaa’id : Telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim bin Habiib Asy-Syahiid : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Aku pernah bertemu dengan Syu’bah di jalan, lalu ia berkata : “Ayahmu bukan yang paling sedikit haditsnya di antara mereka, akan tetapi ia terlalu hati-hati” [Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat, hal. 98].
18.   Ismaa’iil bin Abi Khaalid Al-Ahmasiy rahimahullah (w. 146 H).
Ibnu Hajar berkata menukil perkataan Al-‘Ijliy rahimahumallah :
كان ثبتا فى الحديث وربما أرسل الشىء عن الشعبى و إذا وقف أخبر و كان صاحب سنة ، و كان حديثه نحو خمس مئة حديث ، و كان لا يروى إلا عن ثقة
“Ia seorang yang tsabtdalam hadits, dan kadang-kadang memursalkan sesuatu dari Asy-Sya’biy. Dan apabila ia memahami satu riwayat, maka ia mengkhabarkannya. Ia seorang shaahibus-sunnah. Jumlah haditsnya sekitar 500 hadits. Dan ia tidaklah meriwayatkan kecuali dari perawi tsiqah” [Tahdziibut-Tahdziib, 1/292].
Catatan : Perkataan Al-‘Ijliy dalam Ma’rifatuts-Tsiqaatdalam biografi Ismaa’il bin Abi Khaalid (1/225 no. 87) tidak terdapat kalimat : ‘Dan ia tidaklah meriwayatkan kecuali dari perawi tsiqah’.
19.   Muhammad bin Al-Waliid Az-Zubaidiy rahimahullah (w. 146 H/147 H/149 H).
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
كان لا يأخذ إلا عن الثقات
“Ia (Muhammad bin Al-Waliid) tidaklah mengambil riwayat kecuali dari para perawi tsiqaat” [Tahdziibut-Tahdziib, 9/503].
20.   Ibnu Abi Dzi’b (Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Mughiirah) rahimahullah (w. 158 H/159 H).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وقال أحمد بن سعد بن أبى مريم ، عن يحيى بن معين : ابن أبى ذئب ثقة و كل من روى عنه ابن أبى ذئب ثقة إلا أبا جابر البياضى ، و كل من روى عنه مالك ثقة إلا عبد الكريم أبا أمية
Dan telah berkata Ahmad bin Sa’d bin Abi Maryam, dari Yahyaa bin Ma’iin (ia berkata) : “Ibnu Abi Dzi’b tsiqah, dan setiap orang yang Ibnu Abi Dzi’b meriwayatkan darinya adalah tsiqah, kecuali Abu Jaabir Al-Bayaadliy. Setiap orang yang Maalik (bin Anas) meriwayatkan darinya adalah tsiqah, kecuali ‘Abdul-Kariim Abu Umayyah” [Tahdziibul-Kamaal, 25/635].
وقال أبو داود فى موضع آخر : سمعت أحمد بن صالح يقول : شيوخ ابن أبى ذئب كلهم ثقات إلا أبو جابر البياضى
Dan Abu Daawud berkata pada tempat yang lain : Aku pernah mendengar Ahmad bin Shaalih (Al-Mishriy) berkata : “Syuyuukh Ibnu Abi Dzi’b semuanya tsiqaat, kecuali Abu Jaabir Al-Bayaadliy” [idem].
21.   Zaaidah bin Qudaamah Ats-Tsaqafiy (w. 160 H).
Al-Haakim rahimahullah berkata:
هَذَا حَدِيثٌ صَدُوقٌ رُوَاتُهُ، شَاهِدٌ لِمَا تَقَدَّمَهُ، مُتَّفَقٌ عَلَى الاحْتِجَاجِ بِرُوَاتِهِ إِلا السَّائِبَ بْنَ حُبَيْشٍ، وَقَدْ عُرِفَ مِنْ مَذْهَبِ زَائِدَةَ أَنَّهُ لا يُحَدِّثُ إِلا عَنِ الثِّقَاتِ
“Hadits ini para perawinya jujur/terpercaya, dan merupakan syaahid dari hadits sebelumnya. Para perawinya disepakati untuk dijadikan hujjah, kecuali As-Saaib bin Hubaisy. Dan telah diketahui madzhab Zaaidah (bin Qudaamah) bahwa ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari perawi tsiqaat” [Al-Mustadrak, 1/211].
22.   Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy Al-Azdiy rahimahullah (w. 160 H).
Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika menyebutkan biografi Ja’dah yang meriwayatkan dari Ummu Haani’, berkata:
لا يدري من هو، لكن شيوخ شعبة عامتهم جياد
“Tidak diketahui siapakah ia, akan tetapi syuyuukh Syu’bah pada umumnya baik” [Miizaanul-I’tidaal, 1/399].
Ibnu Abi Haatim rahimahullah berkata:
سمعت أبي، يقول: إذا رأيت شعبة يحدث عن رجل فأعلم أنه ثقة، إلا نفرا بأعيانهم
“Aku mendengar ayahku berkata : “Apabila engkau melihat Syu’bah meriwayatkan hadits dari seseorang, maka ketahuilah bahwa orang tersebut tsiqah, kecuali beberapa orang saja” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 1/128].
23.   Huraiz bin ‘Utsmaan Ar-Rahabiy rahimahullah (w. 163 H).
Ibnu ‘Adiy rahimahullah berkata :
وحريز يحدث عن أهل الشام عن الثقات منهم
“Dan Huraiz meriwayatkan dari orang-orang tsiqaat penduduk negeri Syaam” [Al-Kaamil, 3/394].
24.   Wuhaib bin Khaalid bin ‘Ajlaan Al-Baahiliy rahimahullah (w. 165 H)
Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah berkata:
ما أنقى حديث وهيب، لا تكاد تجده يحدث عن الضعفاء، وهو الرابع من حفاظ البصرة، وهو ثقة
“Betapa bersih hadits Wuhaib. Hampir engkau tidak mendapatinya menriwayatkan hadits dari para perawi dla’iif. Ia adalah orang keempat dari kalangan huffaadh Bashrah, seorang yang tsiqah” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 9/35].
25.   Al-Laits bin Sa’d bin ‘Abdirrahmaan Al-Fuhmiy rahimahullah (w. 175 H)
Al-Haakim rahimahullah berkata saat mengomentari sebuah hadits yang dibawakannya:
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ، فَإِنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ هَرِمٍ الْعَابِدَ مِنْ زُهَّادِ أَهْلِ الشَّامِ، وَاللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ، لا يَرْوِي عَنِ الْمَجْهُولِينَ
“Hadits ini sanadnya shahih, karena Sulaimaan bin Harim Al-‘Abdiy termasuk orang zuhud dari penduduk negeri Syaam, sedangkan Al-Laits bin Sa’d tidak meriwayatkan dari orang-orang yang majhuul” [Al-Mustadrak, 4/251].
26.   Maalik bin Anas rahimahullah(w. 179 H).
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan riwayat :
قال الميموني: وقال لي يحيى بن معين:"لا تريد أن تسأل عن رجال مالك، كل من حدث عنه ثقة إلا رجلاً أو رجلين".
Al-Maimuuniy berkata : Yahyaa bin Ma’iin berkata kepadaku : “Janganlah engkau bertanya tentang rijaal Maalik. Setiap orang yang ia (Maalik) meriwayatkan darinya adalah tsiqah, kecuali seorang atau dua orang” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy oleh Ibnu Rajab, 1/377].
Al-Qaadliy Ismaa’iil rahimahullah berkata :
إنما يعتبر بمالك في أهل بلده ، فأما الغرباء فليس يحتج به فيهم
“Periwayatan yang diakui dari Maalik adalah (periwayatannya) yang berasal dari penduduk negerinya (Madiinah). Adapun yang berasal dari orang-orang asing, maka riwayatnya (Maalik) dari mereka tidak bisa dijadikan hujjah” [idem, 1/380-381].
Sufyaan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata:
رَأَيْتُهُ لا يَتَتَبَّعُ مِنَ الْحَدِيثِ إِلا صَحِيحًا، وَلا يَأْخُذُ إِلا عَنِ الثِّقَاتِ مِنَ النَّاسِ
“Aku melihat ia tidak mencari-cari hadits kecuali yang shahih saja, dan tidak mengambilnya kecuali dari orang-orang yang tsiqaat” [Al-Mustakhraj oleh Abu Nu’aim no. 42].
27.   ‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy At-Tamiimiy rahimahullah (w. 181 H)
Abu Nu’aim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَرُوبَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ الْمُسَيِّبَ بْنَ وَاضِحٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ ابْنَ الْمُبَارَكِ، وَقِيلَ لَهُ: الرَّجُلُ يَطْلُبُ الْحَدِيثَ لِلَّهِ يَشْتَدُّ فِي سَنَدِهِ، "إِذَا كَانَ يَطْلُبُ الْحَدِيثَ لِلَّهِ، فَهُوَ أَوْلَى أَنْ يَشْتَدَّ فِي سَنَدِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibraahiim, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Aruubah berkata : Aku mendengar Al-Musayyib bin Waadlih berkata : Aku pernah mendengar Ibnul-Mubaarak : Dikatakan kepadanya : “Seseorang yang mencari hadits karena Alah, apakah ia harus memperketat sanadnya ?”. Ia menjawab : “Apabila ia mencari hadits karena Allah, maka itu lebih pantas baginya untuk memperketat sanadnya” [Hilyatul-Auliyaa’, 8/166].
28.   Ismaa’il bin Ibraahiim bin Miqsam Al-Asadiy Al-Bashriy (Ibnu ‘Ulayyah) (w. 193 H).
Adz-Dzahabiy ketika menyebutkan biografi Yahyaa bin Maimuun Al-‘Aththaar rahimhumullahberkata:
بل صدوق.
حدث عنه مثل شعبة، وابن علية، واحتج به النسائي
“Bahkan ia seorang yang shaduuq. Telah meriwayatkan darinya semisal Syu’bah dan Ibnu ‘Ulayyah. An-Nasaa’iy juga berhujjah dengannya” [Miizaanul-I’tidaal, 4/411].
Adz-Dzahabiy menyandingkan periwayatan Ibnu ‘Ulayyah dengan Syu’bah, dan telah ma’ruuf Syu’bah tidak meriwayatkan kecuali dari perawi tsiqaat.
29.   Ibraahiim bin Yaziid An-Nakha’iy (w. 196 H).
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وكل من عرف أنه لا يأخذ الا عن ثقة فتدليسه ومرسله مقبول فمراسيل سعيد بن المسيب ومحمد بن سيرين وابراهيم النخعي عندهم صحاح
“Dan semua orang yang diketahui bahwa tidaklah ia mengambil riwayat kecuali dari perawi tsiqah, maka tadlis dan mursal-nya diterima. Oleh karenanya, riwayat-riwayat mursal Sa’iid bin Al-Musayyib, Muhammad bin Siiriin, dan Ibraahiim An-Nakha’iy menurut mereka adalah shahih….” [At-Tamhiid, 1/30].
30.   ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy rahimahullah (w. 198 H)
Abu Daawud rahimahullah berkata :
سمعت أحمد قال:أبان بن خالد شيخ بصري لا بأس به كان عبد الرحمن يحدث عنه، وكان لا يحدث إلا عن ثقة
Aku mendengar Ahmad berkata : “Abaan bin Khaalid, syaikh, orang Bashrah. Tidak mengapa dengannya. ‘Abdurrahmaan telah meriwayatkan darinya, sedangkan ia (‘Abdurrahmaan) tidak meriwayatkan kecuali dari perawi tsiqah” [Suaalaat Abi Daawud, hal. 338-339 no. 503].
Ibnu Hibbaan rahimahullah berkata:
وكان من الحفاظ المتقنين وأهل الورع في الدين ممن حفظ وجمع وتفقه وصنف وحدث، وأبى الرواية إلا عن الثقات،
“Ia termasuk dari kalangan huffaadh yang mutqin dan orang yang wara’ dalam agama, serta orang yang menghapal, mengumpulkan, bertafaqquh, menulis, meriwayatkan, dan menolak hadits kecuali berasal dari kalangan perawi tsiqaat..” [Ats-Tsiqaat, 5/262].
31.   Sufyaan bin ‘Uyainah rahimahullah (w. 198 H).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
سفيان بن عيينة الهلالي، الكوفي، ث، المكي، الإمام المشهور، فقيه الحجاز في زمانه، كان يدلس لكن لا يدلس إلا عن ثقة
“Sufyaan bin ‘Uyainah Al-Hilaaliy Al-Kuufiy tsumma Al-Makkiy. Seorang imam yang masyhur, faqih negeri Hijaaz di jamannya. Ia sering melakukan tadliis, akan tetapi ia tidak melakukannyakecuali dari perawi tsiqah” [Ta’riifu Ahlit-Taqdiis, hal. Hal. 32 no. 52].
Ad-Daaraquthniy rahimahullah berkata:
فأما ابن عيينة، فإنه يُدَلِّس عن الثقات
“Adapun Ibnu ‘Uyainah, maka ia melakukan tadliis dari para perawi tsiqaat” [Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaraquthniy, hal. 292].
Jika Sufyaan bin ‘Uyainah tidak melakukan tadliis kecuali dari perawi tsiqah, maka jika ia meriwayatkan dengan tashriih penyimakan lebih layak dihukumi tsiqah.
32.   Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan rahimahullah (w. 198 H).
Al-‘Ijliy rahimahullah berkata :
يحيى بن سعيد القطان، يكنى أبا سعيد، بصري ثقة، نقي الحديث، وكان لا يحدث إلا عن ثقة
“Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, ber-kun-yah Abu Sa’iid. Termasuk penduduk Bashrah, tsiqah, haditsnya bersih. Ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari perawi tsiqah” [Ma’rifatuts-Tsiqaat, 2/353 no. 1978].
Al-Baihaqiy rahimahullahberkata:
هَذَا إِسْنَادٌ حَسَنٌ، وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، لا يُحَدِّثُ إِلا عَنِ الثِّقَاتِ عِنْدَهُ
“Sanad hadits ini hasan, dan Yahyaa bin Sa’iid tidak meriwayatkan kecuali dari para perawi tsiqaat menurutnya” [As-Sunan Al-Kubraa, 2/202].
33.   Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah (w. 204 H)
Al-Baihaqiy membawakan perkataan Asy-Syaafi’iy rahimahumallah:
وَكَانَ ابْنُ سِيرِينَ، وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ التَّابِعِينَ يَذْهَبُ هَذَا الْمَذْهَبَ فِي أَنْ لا يَقْبَلَ إِلا مِمَّنْ عَرَفَ، قَالَ: وَمَا لَقِيتُ وَلا عَلِمْتُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْحَدِيثِ يُخَالِفُ هَذَا الْمَذْهَبَ
“Ibnu Siiriin, Ibraahiim An-Nakha’iy, dan yang lainnya dari kalangan taabi’iinberpendapat dengan madzhab ini dalam hal tidak menerima riwayat kecuali dari orang yang dikenal. Dan aku tidak bertemu dan tidak pula mengetahui seorang pun dari kalangan ulama hadits yang menyelisihi madzhab ini” [Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar, 1/81].
Perkataan Asy-Syaafi’iy ini sekaligus menunjukkan madzhabnya yang tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang dikenal (ketsiqahannya).
Catatan : Asy-Syaafi’iy meriwayatkan dari Al-Aslamiy yang merupakan perawi dla’iif.
34.   Mudhaffar bin Mudrik Abu Kaamil rahimahullah (w. 207 H)
35.   Al-Haitsam bin Jamiil Al-Baghdaadiy rahimahullah (w. 213 H)
36.   Manshuur bin Salamah, Abu Salamah Al-Khuzaa’iy Al-Baghdaadiy rahimahullah (w. 210 H)
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
وروى أبو طالب عن أحمد قال: أبو سلمة الخزاعي والهيثم وأبو كامل كان لهم بصر بالحديث والرجال، ولا يكتبون إلا عن الثقات
“Dan Abu Thaalib telah meriwayatkan dari Ahmad (bin Hanbal), ia berkata : ‘Abu Salamah Al-Khuzaa’iy, Al-Haitsam, dan Abu Kaamil mempuyai wawasan yang luas tentang hadits dan rijaal. Dan mereka tidak menulis hadits kecuali dari para perawi tsiqaat” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/125 – lihat juga yang semisal dalam Taariikh Baghdaad 15/79].
37.   Ibraahiim bin Muusaa bin Yaziid At-Tamiimiy Ar-Raaziy rahimahullah (w. setelah 220 H).
Al-Bardza’iy rahimahullah berkata:
وقال لي أبو زرعة في ابراهيم بن موسى:لم يكن في كتبه من الضعفاء إلا رجلين:عبد العزيز بن أبان وأبو قتادة الحراني، ثم قال:كأنه قد جمع له الثقات
“Abu Zur’ah berkata kepadaku tentang Ibraahiim bin Muusaa : ‘Tidak ada dalam kitabnya para perawi dla’iif, kecuali dua orang, yaitu ‘Abdul-‘Aziiz bin Abaan dan Abu Qataadah Al-Harbiy’. Kemudian ia berkata : ‘Seakan-akan ia mengumpulkan para perawi tsiqaat” [Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil, 2/40].
38.   Sulaimaan bin Harb Al-Azdiy rahimahullah (w. 224 H).
Ibnu Abi Haatim rahimahumallahsaat menyebutkan biografi Muhammad bin Abi Raziin berkata :
سئل أبي عنه فقال شيخ بصري لا أعرفه لا أعلم روى عنه غير سليمان بن حرب وكان سليمان قل من يرضى من المشايخ فإذا رأيته قد روى عن شيخ فاعلم انه ثقة
Ayahku pernah ditanya tentangnya (Ibnu Abi Raziin), lalu ia berkata : Seorang syaikh, penduduk negeri Bashrah, aku tidak mengenalnya. Aku tidak mengetahui perawi yang meriwayatkan darinya selain Sulaimaan bin Harb. Sulaimaan bin Harb sedikit meridlai (dalam periwayatan) dari kalangan masyayikh. Apabila engkau melihatnya meriwayatkan dari seorang syaikh, maka ketahuilah bahwasannya ia tsiqah” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 7/255 no. 1399].
39.   Bisyr bin Al-Haarits Al-Haafiy rahimahullah (w. 227 H).
As-Sulamiy berkata:
سألت الدارقطني عن بشر بن الحارث الحافي؟ فقال: زاهد، جبل، ثقة، ليس يروي إلا حديثاً صحيحاً
“Aku pernah bertanya kepada Ad-Daaraquthniy tentang Bisyr bin Al-Haarits Al-Haafiy. Makai a menjawab : ‘Zaahid, jabal, tsiqah, dan tidak meriwayatkan kecuali hadits shahih” [Mausuu’ah Aqwaal Ad-Daaraquthniy, hal. 150 no. 661].
Perkataan Ad-Daaraquthniy bahwa ia tidak meriwayatkan kecuali hadits shahih menunjukkan secara tidak langsung bahwa ia melakukan seleksi terhadap perawi, yang secara umumnya hadits shahih berasal/diriwayatkan dari perawi tsiqah.
40.   ‘Aliy bin ‘Abdillah bin Ja’far bin Najiid (‘Aliy bin Al-Madiiniy) rahimahullah (w. 234 H).
Ibnu Hajar ketika menyebutkan biografi Muhammad bin Al-Hasan bin Aatisy rahimahumullah berkata:
وكلام النسائي فيه غير مقبول لأن أحمد وعلي بن المديني لا يرويان إلا عن مقبول
“Perkataan An-Nasaa’iy padanya tidak diterima, karena Ahmad (bin Hanbal) dan ‘Aliy bin Al-Madiiniy tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang maqbuul” [Tahdziibut-Tahdziib, 9/114].
41.   Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah (w. 241 H).
Ibnu ‘Abdil-Haadiy rahimahullah berkata :
فإن قيل : قد روى الإمام أحمد بن حنبل عن موسى بن هلال وهو لا يروي إلا عن ثقة ، فالجواب أن يقال : رواية الإمام أحمد عن الثقات هو الغالب من فعله والأكثر من عمله كما هو المعروف من طريقة شعبة ومالك وعبد الرحمن بن مهدي ويحيى بن سعيد القطان وغيرهم
“Dan apabila dikatakan : ‘Al-Imaam Ahmad telah meriwayatkan dari Muusaa bin Hilaal, dan ia (Ahmad) tidak meriwayatkan kecuali berasal dari perawi tsiqah’. Maka jawabnya adalah : Riwayat Al-Imaam Ahmad dari para perawi tsiqaat adalah keumuman dan kebanyakan dari amal perbuatannya ketika meriwayatkan hadits) sebagaimana hal itu juga diketahui dari metode Syu’bah, Maalik, ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, dan yang lainnya” [Ash-Shaarimul-Munkiy, hal. 18-19].
Al-Haitsamiy ketika mengomentari Tsaabit bin Al-Waliid rahimahumullah berkata :
روى عنه أحمد وشيوخه ثقات
“Ahmad (bin Hanbal) meriwayatkan darinya, sedangkan syuyuukh-nya (Ahmad) adalah tsiqaat” [Majma’uz-Zawaaid, 1/80].
42.   Muslim bin Al-Hajjaaj Al-Qusyairiy (penulis Shahiih Muslim) rahimahullah (w. 261 H)
Adz-Dzahabiy ketika menyebutkan Sa’iid bin ‘Abdil-Jabbaar rahimahumullah berkata:
سعيد بن عبد الجبار القرشي الكرابيسي شيخ مسلم فثقة.
“Sa’iid bin ‘Abdil-Jabbaar Al-Qurasyiy Al-Karaabiisiy, syaikh dari Muslim, maka tsiqah” [Miizaanul-I’tidaal, 2/147].
43.   Abu Zur’ah Ar-Raaziy (‘Ubaidullah bin ‘Abdil-Kariim bin Yaziid Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy) rahimahullah (w. 264 H).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
داود بن حماد بن فرافصة البلخي كان بنيسابور عن ابن عيينة ووكيع وإبراهيم بن الأشعث وجرير وعنه أبو زرعة وأحمد بن سلمة النيسابوري والحسن بن سفيان وغيرهم قال ابن القطان حاله مجهول قلت بل هو ثقة فمن عادة أبي زرعة ان لا يحدث الا عن ثقة
Daawud bin Hammaad bin Faraafishah Al-Balkhiy, ia tinggal di Naisaabuur. Meriwayatkan dari Ibnu ‘Uyainah, Wakii’, Ibraahiim bin Al-Asy’ats, dan Jariir. Telah meriwayatkan darinya Abu Zur’ah, Ahmad bin Salamah An-Naisaabuuriy, Al-Hasan bin Sufyaan, dan yang lainnya. Ibnul-Qaththaan berkata : “Keadaannya majhuul”. Aku (Ibnu Hajar) berkata : “Bahkan ia seorang yang tsiqah. Dan termasuk kebiasaan Abu Zur’ah adalah ia tidak meriwayatkan kecuali dari perawi tsiqah” [Lisaanul-Miizaan, 3/396 no. 3019].
44.   Muhammad bin Ishaaq Ash-Shaaghaaniy rahimahullah (w. 270 H)
Abu Ishaaq Ibraahiim bin Jaabir Al-Faqiih rahimahullah berkata :
سمعت الصاغاني، وذكر الواقدي، فقال: والله لولا أنه عندي ثقة ما حدثت عنه
“Aku mendengar Ash-Shaaghaaniy, dan (ketika itu) disebutkan tentang Al-Waaqidiy, ia berkata : ‘Demi Allah. Seandainya ia tidak tsiqah di sisiku, niscaya aku tidak meriwayatkan darinya” [Taariikh Baghdaad, 4/14].
45.   Abu Daawud As-Sijistaaniy rahimahullah (w. 275 H).
Ibnu Hajar rahimahullah saat menyebutkan biografi Al-Husain bin ‘Aliy Al-‘Ijliy berkata :
وهذا مما يدل على أن أبا داود لم يرو عنه، فإنه لا يرو إلا عن ثقة عنده
“Dan hal ini termasuk hal yang menunjukkan bahwa Abu Daawud (As-Sijistaaniy) tidak meriwayatkan darinya, karena ia (Abu Daawud) tidaklah meriwayatkan kecuali dari seorang yang tsiqah di sisinya” [Tahdziibut-Tahdziib, 2/244].
46.   Baqiy bin Makhlad Al-Qurthubiy rahimahullah (w. 276 H).
Ibnu Hajar rahimahullah saat menyebutkan biografi Ahmad bin Jawwaas Al-Hanafiy berkata :
وذكره ابن حبان في الثقات وروى عنه بقى بن مخلد وقد قال أنه لم يحدث إلا عن ثقة
“Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan telah meriwayatkan darinya Baqiy bin Makhlad. Dan ia berkata bahwasannya Baqiy bin Makhlad tidaklah meriwayatkan kecuali dari perawi tsiqah” [Tahdziibut-Tahdziib, 1/19].
47.   Muhammad bin Idriis bin Al-Mundzir Al-Handhaliy Ar-Raaziy (Abu Haatim Ar-Raaziy) rahimahullah (w. 277 H)
Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika menyebutkan biografi Al-Faidl bin Watsiiq rahimahumullahberkata:
قال ابن معين: كذاب خبيث.
قلت: قد روى عنه أبو زرعة، وأبو حاتم، وهو مقارب الحال إن شاء الله
“Ibnu Ma’iin berkata : ‘Pendusta yang busuk”. Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : Telah meriwayatkan darinya Abu Zur’ah dan Abu Haatim, dan ia seorang yang keadaannya berdekatan (dengan perawi tsiqah), insya Allah” [Miizaal-I’tidaal, 3/366].
48.   Ya’quub bin Sufyaan Al-Fasawiy rahimahullah (w. 277 H)
Al-Mizziy rahimahullah menukil:
وقال أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ عَبْد اللَّهِ بْن إسحاق النهاوندي الْحَافِظ: سمعت يَعْقُوب بْن سفيان.يَقُول: كتبت عَنْ ألف شيخ وكسر.كلهم ثقات
Abu ‘Abdirrahmaan ‘Abdullah bin Ishaaq An-Nahaawandiy Al-Haafidh berkata : Aku mendengar Ya’quub bin Sufyaan berkata : “Aku menulis hadits dari 1.000 orang syaikh lebih, yang semuanya tsiqah” [Tahdziibul-Kamaal, 32/333].
49.   Ibnu Wadldlah Al-Qurthubiy rahimahullah (w. 287 H).
Ibnu Hajar rahimahullah saat menyebutkan biografi ‘Abdul-Malik bin Habiib Al-Andalusiy berkata :
روى عنه ابن وضاح ، و بقى بن مخلد ، و لا يرويان إلا عن ثقة عندهما
“Telah meriwayatkan darinya Ibnu Wadldlaah dan Baqiy bin Makhlad. Keduanya tidaklah meriwayatkan kecuali dari perawi tsiqah di sisnya” [Tahdziibut-Tahdziib, 6/390].
50.   ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 290 H).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وقد كان عبد الله بن أحمد لا يكتب الا عن من يأذن له أبوه في الكتابة عنه، ولهذا كان معظم شيوخه ثقات
“’Abdullah bin Ahmad tidaklah menulis riwayat kecuali dari orang yang diizinkan ayahnya baginya untuk menulis riwayat darinya. Oleh karena itu, sebagian besar syuyuukh-nya adalah tsiqaat” [Ta’jiilul-Manfa’ah pada biografi Al-Laits bin Khaalid Al-Balkhiy].
51.   Muusaa bin Haaruun Al-Hammaal rahimahullah (w. 294 H)
Ibnu ‘Adiy rahimahullah berkata:
وَمُوسَى بْنُ هَارُونَ الْحَمَّالُ كَانَ عَالِمًا بِعِلَلِ الْحَدِيثِ، مُتَوَقِّيًا، وَلَمْ يُحَدِّثْ إِلا عَنْ ثِقَةٍ.
“Dan Muusaa bin Haaruun Al-Hammaal, ia seorang yang ‘aalim tentang ‘ilal hadits, bertaqwa, dan ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang yang tsiqah” [Al-Kaamil, 1/235].
52.   Ahmad bin Syu’aib An-Nasaa’iy (w. 303 H).
Adz-Dzahabiy ketika menyebutkan biografi Ahmad bin ‘Abdirrahmaan Al-Busriy rahimahumullah berkata:
حدث عنه النسائي، وحسبك به
“Telah meriwayatkan darinya An-Nasaa’iy, dan cukuplah bagimu dengannya” [Miizaanul-I’tidaal, 1/115 no. 445].
Ibnu Hajar berkata dalam biografi Ahmad bin Nufail As-Sakuuniy ketika membantah perkataan Adz-Dzahabiy yang mengatakannya majhuul:
بل هو معروف ، يكفيه رواية النسائى عنه
“Bahkan ia seorang yang ma’ruuf, cukuplah bagimu periwayatan An-Nasaa’iy darinya” [Tahdziibut-Tahdziib, 1/88].
53.   Muhammad bin Thaalib bin ‘Aliy, Abul-Husain An-Nasafiy rahimahullah (w. 371 H)
Adz-Dzahabiy rahimahullahberkata:
قَالَ جعفر المستغفري : كان فقيها ، عارفا باختلاف العلماء ، نقى الحديث صحيحه ، ما كتب إلا عن الثقات
“Abu Ja’far Al-Mustaghfiriy berkata : ‘Ia seorang yang faqih, mengetahui perselisihan di kalangan ulama, membersihkan hadits yang shahihnya, dan tidak menulis kecuali dari para perawi tsiqaat” [Taariikhul-Islaam, 25/179].
54.   Muhammad bin Daawud bin Shubaih rahimahullah
Telah berkata Abu ‘Ubaid Al-Aajurriy, dari Abu Daawud rahimahumallah:
كان محمد بن داود بن صبيح يتفقد الرجال ، و لم يكتب عن أبي كريب لحال المحنة ، و لم يحدث عن سعدويه و لا عن أبي نصر التمار ، و ما رأيت رجلا قط أعقل من محمد بن داود
“Muhammad bin Daawud bin Shubaih biasa memeriksa rijaal. Ia tidak menulis hadits dari Abu Kuraib dikarenakan mihnah/musibah. Ia juga tidak menulis hadits dari Sa’duyah dan Abu Nashr At-Tammaar. Aku tidak melihat seorang laki-laki pun yang lebih berakal daripada Muhammad bin Daawud” [Tahdziibut-Tahdziib, 9/154].
Wallaahu a’lam, semoga ada manfaatnya (banyak mengambil faedah dari Asy-Syaikh Abul-Hasan Al-Ma'ribiy hafidhahullah)
[libur di negeri seberang – 17071438/14042017].


Murji’ah Ma’al-Hukkaam !

$
0
0
Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah membawakan riwayat :
وسمعت الحاكم أبا عبد الله الحافظ : سمعت أبا بكر محمد بن أحمد بن بالويه الجلاب يقول: سمعت أبا بكر محمد بن إسحاق ابن خزيمة يقول: سمعت أحمد بن سعيد الرباطي يقول: قال لي عبد الله بن طاهر : يا أحمد إنكم تبغضون هؤلاء القوم جهلاً وأنا أبغضهم عن معرفة. أولاً إنهم لا يرون للسلطان طاعة. والثاني : إنه ليس للإيمان عندهم قدر. والله لا أستجيز أن أقول : إيماني كإيمان يحيى بن  يحيى ولا كإيمان أحمد بن حنبل. وهم يقولون: إيماننا كإيمان جبريل وميكائيل

Dan aku mendengar Al-Haakim Abu ‘Abdillah Al-Haafidh (ia berkata) : Aku mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baaluyah Al-Jalaab berkata : Aku mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata : Aku mendengar Ahmad bin Sa’iid Ar-Rabaathiy berkata : ‘Abdullah bin Thaahir pernah berkata kepadaku : “Wahai Ahmad, sesungguhnya engkau membenci kaum itu (Murji’ah) dengan kebodohan, sedangkan aku membenci mereka berdasarkan pengetahuan. Pertama, mereka adalah mereka tidak memandang adanya ketaatan terhadap penguasa. Dan kedua, mereka memandang tidak adanya kadar/tingkatan bagi keimanan. Demi Allah, aku tidak membolehkan diriku untuk mengatakan keimananku seperti Yahyaa bin Yahyaa, tidak pula seperti keimanan Ahmad bin Hanbal. Adapun mereka mengatakan : keimanan kita seperti keimanan Jibriil dan Mikaaiil” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 64 no. 64; sanadnya shahih].
Asy-Syaikh Naashir bin ‘Abdil-Kariim Al-‘Aql hafidhahullah menjelaskan point di atas sebagai berikut:
والأصول المشتركة عند جميع أهل الأهواء أنهم كلهم لا يرون للسلطان طاعة، كالمرجئة، والقدرية، والجهمية، والمعتزلة، وأهل الكلام المتأخرين، وخاصة أهل الكلام بالذات، أما من انتسب للكلام كبعض الأشاعرة والماتريدية فقد يقولون بقول السلف في مسألة السلطان، لكن من أصول مذاهبهم أنهم يرون الخروج على السلطان وعدم طاعة السلطان، كذلك من قبلهم الخوارج والسبئية الرافضة ومن سلك سبيلهم كلهم لا يرون للسلطان طاعة، وهذا مبدأ عام عند جميع الفرق إلا النادر، والنادر لا حكم له
“Dan perkara ushuul yang bersifat kolektif ada pada kelompok pengikut hawa nafsu, bahwasannya mereka semua berpandangan tidak adanya ketaatan terhadap penguasa, seperti Murji’ah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan ahlul-kalam belakangan, khususnya ahlul-kalam terhadap Dzat (Allah). Adapun orang yang dinisbatkan pada ilmu kalam seperti sebagian kelompok Asyaa’irah dan Maaturidiyyah, maka mereka berpendapat dengan pendapat salaf dalam permasalahan (ketaatan terhadap) penguasa. Akan tetapi termasuk ushul/pokok madzhab mereka bahwa mereka berpandangan bolehnya keluar/memberontak terhadap penguasa dan meniadakan ketaatan terhadapnya. Begitu pula kelompok sebelum mereka seperti Khawaarij, Sabaiyyah Raafidlah, dan orang-orang yang menempuh jalan mereka; semuanya berpandangan tidak adanya ketaatan terhadap penguasa. Ini adalah prinsip umum yang ada pada seluruh kelompok (ahlul-bid’ah/hawa nafsu) kecuali sedikit sekali, sedangkan yang sedikit ini tidak ada hukum padanya” [sumber : transkrip rekaman audio.islamweb].
Diriwayatkan dari Sufyaan Ats-Tsauriy rahimahullah, ia berkata:
اتَّقُوا هَذِهِ الأَهْوَاءَ الْمُضِلَّةَ "قِيلَ لَهُ: بَيِّنْ لَنَا، رَحِمَكَ اللَّهُ. قَالَ سُفْيَانُ: "أَمَّا الْمُرْجِئَةُ فَيَقُولُونَ: الإِيمَانُ كَلامٌ بِلا عَمَلٍ، مَنْ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ مُسْتَكْمِلُ الإِيمَانِ، عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَالْمَلائِكَةِ، وَإِنْ قَتَلَ كَذَا وَكَذَا مُؤْمِنٍ، وَإِنْ تَرَكَ الْغُسْلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَإِنْ تَرَكَ الصَّلاةَ، وَهُمْ يَرَوْنَ السَّيْفَ عَلَى أَهْلِ الْقِبْلَةِ
“Berhati-hatilah kalian terhadap hawa nafsu yang menyesatkan”. Dikatakan kepadanya : “Terangkanlah kepada kami, semoga Allah merahmatimu”. Sufyaan berkata : “Adapun Murji’ah, mereka berkata : iman adalah perkataan tanpa amal. Barangsiapa yang mengucapkan asyhadu an laa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh (aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya), maka ia mukmin yang sempurna imannya seperti imannya Jibriil dan para malaikat. Meskipun ia membunuh demikian dan demikian, maka ia (tetap) mukmin. Meskipun ia meninggalkan mandi janabah dan meninggalkan shalat. Dan mereka berpendapat bolehnya mengangkat pedang terhadap ahlul-kiblat (kaum muslimin)” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 3/583-584 no. 2116, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 1834, dan Ibnu Syaahiin dalam Syarh Madzaahib Ahlis-Sunnah hal. 27 no. 15].
Ada seseorang yang bertanya kepada ‘Abdullah bin Al-Mubaarak rahimahumallah, apakah ia berpemikiran irjaa’ ?. Maka ia (Ibnul-Mubaarak) menjawab:
كَيْفَ أَكُونُ مُرْجِئًا، فَأَنَا لا أَرَى رَأْيَ السَّيْفِ؟ وَكَيْفَ أَكُونُ مُرْجِئًا، وَأَنَا أَقُولُ: الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ؟
“Bagaimana bisa aku menjadi seorang Murji’ah, sedangkan aku tidak berpendapat bolehnya mengangkat pedang ? Bagaimana bisa aku menjadi seorang Murji’ah, sedangkan aku mengatakan : ‘iman adalah perkataan dan perbuatan’ ?” [Diriwayatkan oleh Ibnu Syaahiin dalam Syarh Madzaahib Ahlis-Sunnah hal. 28 no. 17].
Sufyaan bin ‘Uyainah dan Al-Auzaa’iy rahimahumullah berkata:
إِنَّ قَوْلَ الْمُرْجِئَةِ يَخْرُجُ إِلَى السَّيْفِ
“Sesungguhnya perkataan Murji’ah keluar menuju penghalalan pedang” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 363; shahih].
Qataadah rahimahullah berkata:
إِنَّمَا حَدَثَ هَذَا الإِرْجَاءُ بَعْدَ هَزِيمَةِ ابْنِ الأَشْعَثِ
“Paham irja’ itu hanya muncul pertama kali setelah terjadinya fitnah Ibnul-Asy’ats” [Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnad-nya hal. 527 no. 1091, ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah hal. 319 no. 644, dan Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 1252].
Fitnah Ibnul-Asy’ats adalah peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Ibnul-Asy’ats melawan Al-Hajjaaj bin Yuusuf Ats-Tsaqafiy, yang berakhir dengan kekalahan dan eksekusi Ibnul-Asy’ats pada tahun 82 H.
Dari perkataan salaf di atas, nampak kesamaan antara Khawaarij dan Murji’ah dari sisi muamalah mereka terhadap penguasa. Mereka sama-sama membolehkan pemberontakan dan mengangkat pedang melawan mereka. Inilah perkara ushul yang ada pada setiap ahli-bid’ah sebagaimana dijelaskan Asy-Syaikh Naashir bin ‘Abdil-Kariim Al-‘Aql di atas. Dan inilah pula yang dikatakan oleh sebagian salaf, diantaranya Abu Qilaabah rahimahullah :
مَا ابْتَدَعَ رَجُلٌ بِدْعَةً إِلا اسْتَحَلَّ السَّيْفَ
“Tidaklah seseorang berbuat kebid’ahan kecuali ia akan menghalalkan pedang” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 3/580 no. 2106 & 2109; shahih].
مَثَلُ أَهْلِ الأَهْوَاءِ مَثَلُ الْمُنَافِقِينَ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَكَرَ الْمُنَافِقِينَ بِقَوْلٍ مُخْتَلِفٍ وَعَمِلٍ مُخْتَلِفٍ، وَجِمَاعُ ذَلِكَ الضُّلالُ، وَإِنَّ أَهْلَ الأَهْوَاءِ اخْتَلَفُوا فِي الأَهْوَاءِ وَاجْتَمَعُوا عَلَى السَّيْفِ
“Permisalan pengikut hawa nafsu seperti permisalan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah ta’alamenyebutkan orang-orang munafik dengan perkataan yang berbeda-beda dan perbuatan yang berbeda-beda, namun semua itu adalah kesesatan. Dan pengikut hawa nafsu berbeda-beda dalam hawa nafsu (yang mereka ikuti), dan mereka semua berkumpul di atas (mengangkat) pedang” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 2/287-288].
Begitu pula yang dikatakan Al-Barbahaariy rahimahullah:
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأَهْوَاءَ كَلُّهَا رَدِيَّةٌ تَدْعُوْ كُلُّهَا إِلَى السَّيْفِ
“Ketahuilah, sesungguhnya hawa nafsu (pemahaman sesat/bid’ah) seluruhnya jelek. Seluruhnya mengajak pada (penghalalan mengangkat) pedang” [Syarhus-Sunnah, hal. 120 no. 136].
Sebagian salaf bahkan menyebut setiap ahli bid’ah yang menghalalkan mengangkat pedang/senjata kepada penguasa dan kaum muslimin sebagai Khawaarij (meskipun punya platform berbeda seperti Murji’ah, Jahmiyyah, atau yang lainnya).
Dari Salaam bin Abi Muthii’, ia berkata:
رَأَى أَيُّوبُ رَجُلا مِنْ أَصْحَابِ الأَهْوَاءِ، فَقَالَ: "إِنِّي لأَعْرِفُ الذِّلَّةَ فِي وَجْهِهِ، ثُمَّ قَرَأَ: إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ لِكُلِّ مُفْتَرٍ، قَالَ: فَكَانَ أَيُّوبُ يُسَمِّي أَصْحَابَ الأَهْوَاءِ خَوَارِجًا، وَيَقُولُ: إِنَّ الْخَوَارِجَ اخْتَلَفُوا فِي الاسْمِ وَاجْتَمَعُوا عَلَى السَّيْفِ "
“Ayyuub (As-Sikhtiyaaniy) pernah melihat seorang laki-laki dari pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah), lalu ia berkata : ‘Sesungguhnya aku mengetahui kehinaan di wajahnya’. Lalu ia membaca ayat : ‘Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kedustaan” (QS. Al-A’raaf : 152). Kemudian ia berkata : ‘Ini diperuntukkan bagi setiap orang yang melakukan kedustaan’. Ayyuub menamakan para pengikut hawa nafsu sebagai Khawaarij. Ia berkata : ‘Sesungguhnya Khawaarij berbeda-beda dalam nama, namun berkumpul di atas (penghalalan mengangkat) pedang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnad-nya hal. 575 no. 1275,Al-Faryaabiy dalam Al-Qadarhal. 215 no. 375, dan Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 3/581 no. 2111; shahih].
Ketika orang Khawaarij menuduh Ahlus-Sunnah sebagai Murji’ah – dan ini adalah tuduhan jaman purba - , maka Harb Al-Kirmaaniy[1]dalam ushul ‘aqiidah yang dihimpunnya mengatakan:
وأما (الخوارج) : فإنهم يسمون أهل السنة والجماعة : (مرجئة) ، وكذبت الخوارج [في قولهم] ؛ بل هم المرجئةيزعمون أنهم على إيمان [وحق] دون الناس ومن خالفهم كفار
“Adapun Khawaarij, mereka menamakan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sebagai Murji’ah. Khawaarij telah berdusta dalam perkataan mereka. Bahkan merekalah Murji’ahyang menyangka diri mereka di atas keimanan dan kebenaran sedangkan orang lain tidak. Siapa saja yang menyelisihi mereka adalah orang-orang kafir” [As-Sunnah min Masaaili Harb bin Ismaa’iil Al-Kirmaaniy hal. 72 no. 117. Lihat juga perkataan yang sama dalam Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Abu Ya’laa, 1/73].[2]
Mungkin inilah makna istilah kontemporer yang menjadi trend di lisan sebagian orang bodoh yang jago membeo : ‘Murji’ah ma’al-hukkaam’.[3]Yaitu, tidak memandang adanya ketaatan terhadap penguasa dan/atau membolehkan keluar ketaatan/memberontak dengan mengangkat senjata[4]. Ideologi trademark kelompok Khawaarij. Bedanya, Khawaarij mengiringi dengan pengkafiran, sedangkan Murji’ah tidak. Kemaksiatan perlawanan, pemberontakan, dan menumpahkan darah tidak dipandang Murji’ah sebagai faktor yang dapat mengurangi keimanan mereka. Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah setelah menyebutkan pandangan Khawaarij dalam perkara kemaksiatan berkata:
وعلى العكس المرجئة، قالوا: إذا فعل المؤمن كبيرة فهو مؤمن كامل الإيمان وإيمانه كإيمان جبريل وأبي بكر
“Dan sebaliknya, yaitu Murji’ah. Mereka katakan : Apabila seorang mukmin melakukan dosa besar, maka statusnya mukmin yang sempurna keimanannya. Imannya seperti iman Jibriil dan Abu Bakr” [Asy-Syarhul-Mumtii’, 4/293].
Oleh karenanya, mereka sangat ringan berbuat kemaksiatan.
Dari sisi ini, maka tepatlah jika dikatakan kepada Khawaarij : “Engkaulah yang justru Murji’ah”.
Semoga ada manfaatnya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – ba’da ashar, somewhere, 18071438 - baca juga artikel : Khawaarij 'alad-Du'aat].




[1]   Harb bin Ismaa’iil Al-Kirmaaniy Al-Handhaliy, salah satu murid utama Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah. Wafat tahun 280 H. Silakan baca biografi ringkas beliau di sini.
[2]   Ada lagi tuduhan orang Khawaarij terhadap Ahlus-Sunnah sebagai Murji’ah hanya karena tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat. Maka, Abul-Fadhl ‘Abbaas bin Manshuur As-Saksakiy Al-Hanbaliy rahimahullah telah menyinggungnya semenjak ratusan tahun yang lalu:
و تُسَمِّيها المنصوريةُ – و هم أتباع عبد الله بن زيد – مرجئةً , لقولها : إن تارك الصلاة إذا لم يكن جاحدا لوجوبها مسلم على الصحيح من المذهب , و يقولون : هذا يؤدي إلى أن الإيمان عندهم قول بلا عمل
“Dan kelompok Manshuuriyyah – mereka adalah pengikut ‘Abdullah bin Zaid (salah satu pecahan Khawaarij– Abul-Jauzaa’) – menamakan Ahlus-Sunnah sebagai Murji’ah berdasarkan  pendapat mereka (Ahlus-Sunnah) : Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat apabila ia tidak mengingkari (kewajibannya) statusnya muslim berdasarkan yang shahih dari madzhab (Ahmad). Dan mereka (Manshuuriyyah) berkata : ‘Pendapat ini mengkonsekuensikan bahwa iman menurut mereka hanyalah perkataan saja tanpa amal” [Al-Burhaan fii Ma’rifati ‘Aqaaidi Ahlil-Adyaan, hal. 95-96].
[3]   Secara tidak sadar, mereka sedang membicarakan diri mereka sendiri. Namanya juga burung beo, tentu hanya pandai menirukan suara radio.
[4]   Ini satu sisi ekstrim kelompok Murji’ah dalam muamalah mereka terhadap penguasa. Sisi ekstrim yang lain adalah mereka berpandangan ketaatan mutlak terhadap penguasa meskipun penguasa tersebut bukan orang yang shalih. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وهذه طريقة خيار هذه الأمة قديما وحديثا وهى واجبة على كل مكلف وهى متوسطة بين طريق الحرورية وأمثالهم ممن يسلك مسلك الورع الفاسد الناشىء عن قلة العلم وبين طريقة المرجئة وأمثالهم ممن يسلك ملك طاعة الأمراء مطلقا وأن لم يكونوا أبرارا
“Dan inilah jalan terbaik umat ini, baik dahulu maupun sekarang, yang wajib bagi setiap mukallaf(untuk menempuhnya). Jalan ini adalah pertengahan antara (1) jalan yang ditempuh Haruuriyyah (Khawaarij) dan semisal mereka yang menempuh jalan wara’ yang rusak yang timbul dari minimnya ilmu; dengan (2) jalan yang ditempuh Murji’ah dan semisal mereka yang menempuh jalan ketaatan terhadap para penguasa secara mutlak, meskipun mereka (penguasa) bukan orang yang baik/shalih” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/508].
Ini jelas keliru, karena ketaatan terhadap penguasa itu hanya pada yang ma’ruuf(sesuai dengan syari’at), sebagaimana sabda Nabi :
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Tidak ada ketaatan dalam maksiat. Ketaatan hanya pada yang ma’ruuf (sesuai syari’at)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7257 dan Muslim no. 1840].

Khawaarij ‘alad-Du’at

$
0
0
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata:
قال أبو الوفاء علي بن عقيل الفقيه : قال شيخنا أبو الفضل الهمداني : مبتدعة الإسلام، والوضاعون للأحاديث أشد من الملحدين؛ لأن الملحدين قصدوا إفساد الدين من الخارج، وهؤلاء قصدوا إفساده من الداخل؛ فهم كأهل بلد سعوا في إفساد أحواله، والملحدون كالمحاصرين من الخارج، فالدخلاء يفتحون الحصن؛ فهم شر على الإسلام من غير الملابسين له
“Abul-Wafaa’ ‘Aliy bin ‘Aqiil Al-Faqiih berkata : Telah berkata syaikh kami Abul-Fadhl Al-Hamdaaniy : ‘Mubtadi’ (ahli bid’ah) dalam Islam dan para pemalsu hadits lebih berbahaya dibandingkan orang-orang mulhid (atheis/kafir), karena orang-orang mulhid ingin merusak agama dari luar, sedangkan mereka ingin merusak Islam dari dalam. Mereka itu seperti penduduk negeri yang berusaha merusak keadaan mereka sendiri. Adapun orang-orang mulhid seperti orang yang melakukan pengepungan dari luar, sedangkan orang-orang yang berada di dalam (yaitu ahli bid’ah dan para pemalsu hadits) membukakan gerbang bentengnya. Oleh karena itu, mereka (ahli bid’ah) lebih jelek terhadap Islam daripada orang-orang yang terang-terangan memusuhi Islam” [Al-Maudluu’aat, 1/51].

Al-Haafidh ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy rahimahullah berkata:
واعلم رحمك الله أن الإسلام وأهله أُتُوا من طوائف ثلاثة :
فطـائفة رَدَّت أحاديث الصفـات، وكذبوا رواتها؛ فهؤلاء أشد ضرراً على الإسلام وأهله من الكفار.
وطـائفة قـالوا : بصحـتها وقبولها ثم تأولوها؛ فهؤلاء أعظم ضرراً من الطائفة الأولى.
والثـالـثة : جـانبوا القولين الأولين؛ وكانوا أعظم ضرراً من الطائفتين الأولين
“Dan ketahuilah – semoga Allah merahmatimu – bahwa Islam dan orang-orangnya (kaum muslimin) didatangi oleh tiga golongan manusia:
1.    golongan yang menolak hadits-hadits sifat dan mendustakan para perawinya, maka mereka itu lebih berbahaya terhadap Islam dan kaum muslimin daripada orang-orang kafir;
2.    golongan yang mengatakan (mengakui) tentang keshahihannya dan menerimanya, lalu menta’wilkannya, maka mereka lebih besar bahayanya daripada golongan yang pertama; serta
3.    golongan ketiga yang menjauhkan diri dari dua pendapat awal, maka mereka lebih besar bahayanya daripada dua golongan sebelumnya” [‘Aqiidah Al-Haafidh ‘Abdil-Ghaniy, hal. 121].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فإن بيان حالهم، وتحذير الأمة منهم واجب باتفاق المسلمين، حتى قيل لأحمد بن حنبل : الرجل يصوم ويصلي ويعتكف أحب إليك، أو يتكلم في أهل البدع ؟ .  فقال : "إذا صام وصلى واعتكف فإنما هو لنفسه، وإذا تكلم في أهل البدع فإنما هو للمسلمين.
فتبين أن نفع هذا عام للمسلمين في دينهم، من جنس الجهاد في سبيل   الله؛ إذ تطهير سبيل الله، ودينه، ومنهاجه، وشرعته، ودفع بغي هؤلاء وعدوانهم على ذلك؛ واجب على الكفاية باتفاق المسلمين.
ولو لا من يقيمه الله لدفع ضرر هؤلاء لفسد الدين، وكان فساده أعظم من فساد استيلاء العدو من أهل الحرب؛ فإن هؤلاء إذا استولوا لم يفسدوا القلوب وما فيها من الدين إلا تبعاً، وأما أولئك فهم يفسدون القلوب ابتداءً.
وأعداء الدين نوعان : الكفار والمنافقون.
وقد أمر الله بجهاد الطائفتين في قوله: { جاهد الكفار والمنافقين واغلظ عليهم } في آيتين من القرآن.
فإذا كان أقوام منافقون، يبتدعون بدعاً تخالف الكتاب، ويلبسونها على الناس، ولم تُـبَـيّـن للناس؛ فسد أمر الكتاب، وبدل الدين، كما فسد دين أهل الكتاب قبلنا بما وقع فيه من التبديل الذي لم ينكر على أهله.
“Hal itu dikarenakan menjelaskan keadaan mereka (ahli bid’ah dan orang-orang yang menyimpang) dan memperingatkan umat dari mereka adalah wajib berdasarkan kesepakatan (ijmaa’) kaum muslimin. Hingga pernah dikatakan kepada Ahmad bin Hanbal : ‘Orang yang puasa, shalat, dan beri’tikaf dengan orang yang berbicara (menerangkan) tentang keadaan ahli bid’ah, manakah yang lebih engkau sukai ?’. Ia (Ahmad) menjawab : ‘Apabila orang tersebut puasa, shalat, dan beri’tikaf, maka ibadah itu hanya untuk dirinya sendiri. Namun apabila ia berbicara (menerangkan) keadaan ahli bid’ah, maka itu bermanfaat bagi kaum muslimin’.
Maka menjadi jelaslah bahwa manfaat perbuatan tersebut adalah umum bagi kaum muslimin dan agama mereka, dan itu termasuk jihad di jalan Allah (fii sabiilillah), karena membersihkan jalan Allah, agama-Nya, manhaj-Nya, dan syari’at-Nya (dari berbagai penyimpangan), dan menolak kedhaliman dan permusuhan mereka adalah fardlu kifayah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Seandainya bukan karena orang yang Allah tegakkan untuk menolak bahaya mereka, niscaya akan rusaklah agama. Kerusakan agama lebih besar bahayanya daripada kerusakan yang diakibatkan penguasaan musuh Islam dari kalangan kafir harbi. Penguasaan kafir harbi tidak menyebabkan rusaknya hati dan agama yang ada di dalamnya (hati dan jiwa), kecuali beberapa waktu kemudian. Adapun mereka (ahli bid’ah) merusak hati (kaum muslimin) semenjak awal.
Musuh agama ada dua macam, yaitu orang-orang kafir dan munafik. Allah telah memerintahkan untuk berjihad melawan dua golongan ini melalui firman-Nya : ‘Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka’ – yang terdapat dua ayat dalam Al-Qur’an.[1]
Apabila orang-orang munafik berbuat kebid’ahan yang menyelisihi Al-Qur’an dan menyamarkannya (talbiis) kepada manusia, lalu hal itu tidak dijelaskan kepada manusia, niscaya rusak Al-Qur’an dan tergantikanlah agama (dengan selain syari’at-Nya) sebagaimana telah rusak agama Ahli Kitab sebelum kita (Yahudi dan Nashrani) akibat tabdiil (penggantian syari’at) yang tidak diingkari oleh pemeluknya” [Majmuu’atur-Rasaail wal-Masaail, 5/109-111].
Asy-Syaathibiy rahimahullah berkata:
حين تكون الفِرقة تدعو إلى ضلالتها، وتزينها في قلوب العوام، ومن لا علم عنده؛ فإن ضرر هؤلاء على المسلمين كضرر إبليس، وهم من شياطين الإنس؛ فلا بد من التصريح بأنهم من أهل البدع والضلالة، ونسبتهم إلى الفرق إذا قامت الشهود على أنهم منهم.
فمثل هؤلاء لابد من ذكرهم، والتشريد بهم؛ لأن ما يعود على المسلمين من ضررهم إذا تُرِكوا أعظم من الضرر الحاصل بذكرهم والتنفير منهم؛ إذا كان سبب ترك التعيين الخوف من التفرق والعداوة.
ولا شك أن التفرق بين المسلمين، وبين الداعين إلى البدعة وحدهم ـ إذا أقيم عليهم ـ أسهل من التفرق بين المسلمين وبين الداعين، ومن شايعهم واتبعهم.
وإذا تعارض الضرران فالمرتكب أخفهما وأسهلهما، وبعض الشر أهون من جميعه، كقطع اليد المتآكلة؛ إتلافها أسهل من إتلاف النفس.
وهـذا حكم الشــرع أبـــداً : يطــرح حــكـم الأخـف وقاية من الأثقــل.
“Ketika satu kelompok mengajak kepada kesesatannya dan menghiasinya pada hati-hati orang awam dan orang tak berilmu, maka kerusakan/bahaya mereka terhadap kaum muslimin seperti kerusakan yang ditimbulkan oleh Iblis. Mereka itu adalah setan-setan dari jenis manusia. Harus dijelaskan bahwa mereka adalah ahli bid’ah dan penyeru kesesatan. Penisbatan mereka kepada kelompok-kelompok (sesat) dilakukan apabila telah tegak bukti bahwa mereka memang termasuk kelompok tersebut.
Yang semisal mereka harus disebutkan (kesesatannya) dan memisahkan darinya. Hal itu dikarenakan kerusakan/bahaya mereka yang akan menimpa kaum muslimin apabila (penjelasan terhadap kesesatan mereka) ditinggalkan, lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan dari penyebutan mereka dan anjuran untuk menjauhkan diri dari mereka - apabila sebab meninggakan ta’yin adalah khawatir menimbulkan perpecahan dan permusuhan.
Dan tidak diragukan lagi, perpecahan antara kaum muslimin dan penyeru kebid’ahan saja – apabila telah ditegakkan hujjah kepada mereka – , lebih ringan daripada perpecahan yang terjadi antara kaum muslimin dengan penyeru kebid’ahan plus orang-orang yang mendukung dan mengikuti mereka.
Apabila ada dua kerusakan yang saling berbenturan, maka yang diambil adalah yang paling ringan dan paling mudah. Sebagian kejelekan lebih ringan daripada keseluruhannya, seperti halnya memotong tangan penyakitan yang menggerogoti tubuh lebih ringan daripada hilangnya jiwa.
Maka ini adalah hukum syar’iy yang berlaku selamanya, yaitu menjatuhkan/menetapkan hukum yang lebih ringan dalam rangka melindungi yang lebih berat” [Al-I’tishaam, 2/228-229].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata:
وقد تكون مفسدة اتباع أهوية المبتدعة أشد على هذه الملة من مفسدة اتباع أهوية أهل الملل؛ لأن المبتدعة ينتمون إلى الإسلام، ويظهرون للناس أنهم ينصرون الدين، ويتبعون أحسنه، وهم على العكس من ذلك، والضد لما هنالك، فلا يزالون ينقلون من يميل إلى أهويتهم من بدعة إلى بدعة، ويدفعونه من شنعة إلى شنعة، حتى يسلخوه من الدين، ويخرجوه منه، وهو يظن أنه منه في الصميم، وأن الصراط الذي عليه هو الصراط المستقيم.
هذا إن كان في عداد المقصرين، ومن جملة الجاهلين.
وإن كان من أهل العلم والفهم المميزين بين الحق والباطل؛ كان في اتباعه لأهويتهم ممن أضله الله على علم، وختم على قلبه، وصار نقمة على عباد الله، ومصيبة صبها   الله على المقصرين؛ لأنهم يعتقدون أنه في علمه وفهمه لا يميل إلا إلى الحق، ولا يتبع إلا الصواب؛ فيضلون بضلاله، فيكون عليه إثمه، وإثم من اقتدى به إلى يوم القيامة.
نسأل الله اللطف والسلامة والهداية.
“Kadang kerusakan yang ditimbulkan dari mengikuti hawa nafsu ahli bid’ah lebih besar bagi agama ini daripada kerusakan mengikuti hawa nafsu pemeluk agama lain (non-Islam), karena ahli bid’ah menyandarkan diri pada Islam dan menampakkan diri pada manusia bahwa diri mereka menolong agama dan mengikuti yang paling baik. Padahal keadaan mereka adalah sebaliknya. Mereka senantiasa membawa orang condong pada hawa nafsu mereka, dari satu bid’ah ke bid’ah lainnya; menggerakkannya dari satu kejelekan kepada kejelekan yang lain hingga akhirnya mengeluarkannya dari agama. Orang tersebut menyangka dirinya di atas kebenaran dan jalan yang ditempuh adalah jalan yang lurus (ash-shiraatul-mustaqiim). Inilah yang terjadi apabila ia termasuk orang yang meremehkan agama dan jahil (bodoh).
Apabila ia termasuk ahli ilmu (ulama) dan memiliki pemahaman yang mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan, maka ikutnya ia kepada hawa nafsu mereka (ahli bid’ah) tergolong orang yang Allah sesatkan di atas ilmunya dan Allah tutup hatinya, sehingga ia menjadi bencana bagi hamba-hamba Allah yang lain dan musibah yang Allah timpakan kepada orang-orang meremehkan agama. Mereka (orang-orang awam dan yang meremehkan agama) meyakini orang tersebut di atas ilmunya yang tidak condong kecuali kepada kebenaran, dan tidak mengikuti kecuali pada yang benar. Maka, mereka pun sesat dengan kesesatan orang tersebut, sehingga baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Kita memohon kepada Allah kelembutan, keselamatan, dan hidayah” [Fathul-Qadiir, 1/123].
Ini adalah perkataan para ulama tentang kewajiban untuk memperingatkan umat dari penyimpangan dan orang-orang yang menyeru kepadanya. Bukankah dalam Shahiihain telah disebutkan akan fenomena ini?
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَ كُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرِّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرِّ قَالَ نَعَمْ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرِ قَالَ نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ قَلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَسْتَنُّوْنَ بِغَيْرِ سُنَّتِي وَيَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرِّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قثلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ فَمَا تَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ فَقُلْتُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلُ تِلكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Dari Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir aku akan menimpaku”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dulu kami berada dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan, lalu Allah mendatangkan kebaikan (Islam) kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku bertanya : “Apakah setelah kejelekan tersebut akan datang kebaikan?”. Beliau menjawab : “Ya, tetapi padanya ada asap”. Aku bertanya : “Apa asapnya itu ?”. Beliau menjawab : “Suatu kaum yang mengambil sunnah bukan dengan sunnahku, dan memberikan petunjuk (kepada manusia) kepada selain petunjukku. Engkau akan mengenal mereka dan engkau akan mengingkarinya”. Aku bertanya : “Apakah setelah kebaikan tersebut akan datang kejelekan lagi?”. Beliau menjawab : ”Ya, para dai yang menyeru ke pintu neraka Jahannam. Barangsiapa yang menyambut seruan mereka, maka mereka akan menjerumuskannya ke dalamnya (Jahannam)”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, sebutkan ciri-ciri mereka kepada kami ?”. Beliau menjawab : “Ya. Mereka adalah satu kaum yang berasal dari kulit-kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita”. Aku bertanya : “Lantas, apa saranmu seandainya aku menemui hal itu ?”. Beliau menjawab : “Berpegang teguhlah kepada jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”. Aku bertanya : “Apabila mereka tidak memiliki jama’ah dan imam?”. Beliau menjawab : ”Tinggalkan semua kelompok-kelompok (sesat) itu, meskipun engkau harus menggigit akar pohon hingga kematian mendatangimu sedangkan engkau masih dalam keadaan seperti itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3606 & 7084 dan Muslim no. 1847].
Oleh karena itu, Nabi mengkhabarkan akan selalu ada orang-orang yang menjaga agama dan memperingatkan umat dari para pelaku penyimpangan sebagaimana sabdanya:
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْجَاهِلِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ وَتَأْوِيلَ الْغَالِينَ
Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang adil (terpercaya) dari setiap generasi. Mereka akan membersihkan agama dari tahriif (penyelewengan) orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang yang bathil, serta pena’wilan orang-orang yang melampaui batas” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 143, Al-Baihaqiy 10/208, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin no. 599, dan yang lainnya dari beberapa shahabat].
Hadits ini diperselisihkan para ulama keshahihannya. Dishahihkan oleh Ahmad bin Hanbal, Al-‘Alaaiy, dan Al-Albaaniy; dan dilemahkan oleh ahli hadits lainnya. Namun maknanya adalah benar (shahih).
Ibnu Hibbaan rahimahullah membawakan riwayat dengan sanadnya dari Sa’iid bin Al-Musayyib:
مَرَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بِحَسَّانَ بْنَ ثَابِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ الشِّعْرَ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَحَظَ إِلَيْهِ، فَقَالَ حَسَّانُ: قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ فِيهِ مَعَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ: أَنْشُدُكَ اللَّهَ، هَلْ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "يَا حَسَّانُ أَجِبْ عَنِّي، اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ "؟، قَالَ: نَعَمْ
“Satu ketika ‘Umar bin Al-Khaththaab melewati Hassaan bin Tsaabit yang sedang melantunkan syairnya di masjid. Maka ‘Umar memperhatikannya. Hassaan berkata : “Sungguh, aku pernah melanturkan syair di dalam masjid bersama orang yang lebih baik darimu (yaitu Nabi ). Kemudian ia (Hassaan) berpaling kepada Abu Hurairah lalu berkata : “Aku memintamu dengan nama Allah, apakah engkau pernah mendengar Rasulullah bersabda : ‘Wahai Hassaan, balaslah mereka (orang-orang kafir) untuk membelaku. Ya Allah, kuatkanlah ia dengan Ruuhul-Qudduus”. Abu Hurairah berkata : “Ya”.[2]
Kemudian Ibnu Hibbaan rahimahullah berkata:
في هذا الخبر كالدليل على الأمر بجرح الضعفاء، لأن النبي ﷺ قَالَ لحسان بن ثابت: "أجب عني "، وإنما أمر أن يذب عنه ما كان يقول عليه المشركون فإذا كان في تقول المشركين على رسول الله ﷺ يأمر أن يذب عنه، وإن لم يضر كذبهم المسلمين، ولا أحلوا به الحرام، ولا حرموا به الحلال، كان من كذب على رسول الله ﷺ من المسلمين الذي يحل الحرام، ويحرم الحلال بروايتهم أحرى أن يؤمر بذب ذلك الكذب عنه ﷺ أن الله تبارك وتعالى يؤيد من فعل ذلك بروح القدس، كما دعا لحسان بذب الكذب عنه، وقال: "اللهم أيده بروح القدس "
“Dalam hadits ini seperti dalil atas perintah untuk mencela para perawi lemah, karena Nabi berkata kepada Al-Hassaan : ‘Balaslah mereka untuk membelaku’. Perintah ini hanyalah untuk membela beliau terhadap apa yang dikatakan oleh orang-orang musyrik terhadap beliau . Apabila dalam perkataan orang-orang musyrik terhadap Rasulullah diperintahkan untuk membela beliau – meskipun kedustaan mereka tidak memudlaratkan kaum muslimin, tidak menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal - , maka orang yang berdusta terhadap Rasulullah dari kalangan muslimin yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal dengan riwayat mereka lebih pantas/utama untuk diperintahkan melakukan pembelaan dari kedustaan terhadap beliau tersebut. Aku berharap agar Allah tabaaraka wa ta’ala menguatkan orang yang melakukannya dengan Ruuhul-Qudduussebagaimana beliau berdoa untuk Hassaan agar membela beliau dengan sabdanya : ‘Ya Allah, kuatkanlah ia dengan Ruuhul-Qudduus” [Al-Majruuhiin, 1/10-11].
Kedustaan atas nama beliau bukan hanya dalam masalah hadits/periwayatan, namun meliputi juga kedustaan dalam syari’at dengan berbagai bentuk bid’ah dan penyelewengan sebagaimana disinggung sebelumnya. Berikut akan dibawakan beberapa riwayat tahdzir para ulama terhadap para dai yang mengajak kepada kebid’ahan dan kesesatan.
1.    Tahdzir ulama terhadap pelaku bid’ah secara umum.
Fudlail bin ‘Iyaadl rahimahullah berkata:
مَنْ جَلَسَ مَعَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ فَاحْذَرْهُ، وَمَنْ جَلَسَ مَعَ صَاحِبِ الْبِدْعَةِ لَمْ يُعْطَ الْحِكْمَةَ، وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ بَيْنِي وَبَيْنَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حِصْنٌ مِنْ حَدِيدٍ، آكُلُ عِنْدَ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ آكُلَ عِنْدَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ
“Barangsiapa yang duduk bersama ahli bid’ah, maka tahdzirlah ia. Barangsiapa yang duduk bersama ahli bid’ah, ia tidak akan diberikan hikmah. Aku ingin seandainya antara diriku dengan ahli bid’ah dibatasi dengan benteng dari besi. Aku makan dengan orang Yahudi dan Nashrani lebih aku sukai daripada aku makan di sisi ahli bid’ah” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaadno. 1149].
2.    Tahdziir ulama terhadap orang yang mendustakan takdir
‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa berkata:
فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ، مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ، حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ،
“Apabila engkau bertemu mereka, khabarkan bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku. Dan demi Dzat Yang Ibnu ‘Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu ia menginfakkannya, maka Allah tidak akan menerimanya hingga mereka beriman kepada takdir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8].
Apakah dai atau orang yang semacam itu sekarang masih eksis ? Jawab : Masih, bahkan banyak.
3.    Tahdziir ulama terhadap orang-orang Khawaarij.
Abu Umaamah radliyallaahu ‘anhu berkata:
شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، وَخَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوا كِلَابُ أَهْلِ النَّارِ، قَدْ كَانَ هَؤُلَاءِ مُسْلِمِينَ فَصَارُوا كُفَّارًا "، قُلْتُ يَا أَبَا أُمَامَةَ: هَذَا شَيْءٌ تَقُولُهُ، قَالَ: بَلْ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah kolong langit dan sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang mereka bunuh; mereka itu adalah anjing-anjing penghuni neraka. Sungguh, mereka itu dulunya muslim, namun berubah menjadi kafir”. Aku (Abu Ghaalib) berkata : “Wahai Abu Umaamah, apakah ini sekedar perkataanmu saja ?”. Ia menjawab : “Bahkan, itu adalah yang aku dengar dari Rasulullah [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 176; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Ibni Maajah1/76].
Apakah dai atau orang yang semacam itu sekarang masih eksis ? Jawab : Masih, bahkan banyak.
4.    Tahdzir ulama terhadap orang-orang Murji’ah
Hajjaj rahimahumallahberkata:
سَمِعْتُ شَرِيكًا وَذَكَرَ الْمُرْجِئَةَ، فَقَالَ: هُمْ أَخْبَثُ قَوْمٍ وَحَسْبُكَ بِالرَّافِضَةِ خُبْثًا وَلَكِنِ الْمُرْجِئَةُ يَكْذِبُونَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى
Aku mendengar Syariik (bin ‘Abdillah Al-Qaadliy) menyebutkan tentang Murji’ah, ia berkata : “Mereka adalah kaum yang paling buruk. Engkau mengira Raafidlah lebih buruk, padahal Murji’ah lah yang lebih buruk karena mereka berdusta atas nama Allah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 614; shahih].
Apakah dai atau orang yang semacam itu sekarang masih eksis ? Jawab : Masih, bahkan banyak.
5.    Tahdzir ulama terhadap orang-orang yang mendustakan syafa’at dan adzab kubur.
Dari ‘Abdullah bin Ar-Ruumiy, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، وَأَنَا عِنْدَهُ فَقَالَ: يَا أَبَا حَمْزَةَ، لَقِيتُ قَوْمًا يُكَذِّبُونَ بِالشَّفَاعَةِ وَبِعَذَابِ الْقَبْرِ، فَقَالَ: أُولَئِكَ الْكَذَّابُونَ، فَلا تُجَالِسْهُمْ "
Seorang laki-laki pernah datang kepada Anas, dan waktu itu aku ada di sisinya. Laki-laki itu berkata : “Wahai Abu Hamzah, aku pernah bertemu dengan satu kaum yang mendustakan syafa’at dan ‘adzab kubur”. Anas berkata : “Mereka itu adalah para pendusta. Janganlah engkau bermajelis dengan mereka !!” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 265 dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 1743. ‘Abdullah Ar-Ruumiy mempunyai syaahid dari ‘Abdullah Ad-Daanaaj Al-Bashriy sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Laalikaaiy no. 2143. Dibawakan Ibnu Hajar dalam Al-Mathaalubul-‘Aaliyyah no. 4534].
Apakah dai atau orang yang semacam itu sekarang masih eksis ? Jawab : Masih, bahkan banyak.
6.    Tahdziir ulama terhadap orang-orang Jahmiyyah
Sufyaan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata:
مَا يَقُولُ هَذَا الدُّوَيْبَةُ يَعْنِي بِشْرًا الْمَرِيسِيَّ ؟ "، قَالُوا: يَا أَبَا مُحَمَّدٍ: يَزْعُمُ أَنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ. قَالَ: "فَقَدْ كَذَبَ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ فَالْخَلْقُ خَلْقُ اللَّهِ، وَالأَمْرُ الْقُرْآنُ ".
”Apa yang dikatakan oleh hewan kecil ini ?” – yaitu Bisyr Al-Marisi - . Orang-orang berkata : ”Wahai Abu Muhammad, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk”. Ibnu ’Uyainah berkata : ”Dia dusta, karena Allah ’azza wa jalla berfirman : ‘Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah’ (QS. Al-A’raf : 54). Al-Khalquadalah makhluk Allah dan al-amru adalah Al-Qur’an”.
Setelah membawakan riwayat ini, Al-Laalikaaiy berkata :
وَكَذَلِكَ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَنُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الذُّهْلِيُّ، وَعَبْدُ السَّلامِ بْنُ عَاصِمٍ الرَّازِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ الْوَاسِطِيُّ، وَأَبُو حَاتِمٍ الرَّازِيُّ
”Begitulah yang dikatakan Ahmad bin Hanbal, Nu’aim bin Hammaad, Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhliy, ’Abdus-Salaam bin ’Aashim Ar-Razi, Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy, dan Abu Haatim Ar-Raaziy” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 358].
Dari Yahyaa bin Khalaf Ar-Rabii’ Ath-Thursuusiy, ia berkata:
كنت عند مالك بن أنس ودخل عليه رجل فقال : يا أبا عبد الله ما تقول فيمن يقول القرآن مخلوق ؟. فقال مالك : زنديق اقتلوه، فقال : يا أبا عبد الله، إنما أحكى كلاما سمعته، فقال لم أسمعه من أحد، إنما سمعته منك، وعظم هذا القول
“Aku pernah di sisi Maalik bin Anas, dan masuklah seorang laki-laki menemuinya lalu berkata : ‘Wahai Abu ’Abdillah, apa yang engkau katakan tentang orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk ?’. Maalik menjawab : ‘Zindiiq, bunuhlah ia’. Lalu laki-laki berkata : ‘Wahai Abu ’Abdillah, aku hanya meriwayatkan perkataan yang aku dengar saja’. Maka Maalik berkata : ‘Aku tidak pernah mendengar dari seorang pun kecuali dari engkau’. Maalik pun menganggap besar perkataan ini [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/325; shahih].
Apakah dai atau orang yang semacam itu sekarang masih eksis ? Jawab : Masih, bahkan banyak.
Dan masih banyak perkataan yang lain.
Kembali ke judul,…. Jika ada orang mengatakan Khawaarij ‘alad-du’aat, apa artinya ?. Kalimat yang sering dialamatkan kepada Salafiyyun ini secara teori – menurut apa yang tertulis dan terkatakan oleh mereka yang pernah menuliskan dan mengatakannya - adalah (kurang lebih) : ‘galak dan garang terhadap para dai di luar kelompoknya dengan vonis fasiq, ahli bid’ah, atau bahkan kafir’.
Meski secara teori maknanya ‘lumayan’, tapi realitasnya mereka melakukan malapraktik dengan kalimat itu. Ujungnya batil. Betapa tidak ?. Mereka ini adalah kaum pegiat aktivitas kumpul-kumpul muti-firqah, dan kalau sudah kumpul biasanya sakit giginya kumat secara kolektif. Penyimpangan yang dilakukan teman kumpulnya yang seharusnya diomongkan, hanya didiamkan saja.
Gara-gara kumpul, HRS yang banyak terindikasikan membela Syi’ah/Raafidlah ditokohkan, bahkan diangkat menjadi imam besar. Orang shufi dan thariqaat, yo wis nggak apa-apa yang penting satu barisan. Tokoh yang pemikirannya rada-rada Qadariy dan mu’taziliy, dibela habis-habisan. Amalan TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat) di-pending dulu sampai waktu yang tidak ditentukan. Syirik, idem. Permasalahan khalqul-qur’an yang dulunya dianggap masalah besar dan pokok, diubah menjadi permasalahan khilafiyyah saja. Sampai pada orang yang perilakunya mirip dukun yang konon punya kemahiran meruqyah langit, mendapat tempat. Tidak cukup itu, oknum 'psikopat' pecinta selfie yang terkenal dengan mulut jambannya ala Ahok ketika mendaulatkan diri sendiri sebagai dai (palsu), diakui.
Ya,…. semua akibat kumpul-kumpul, terkontaminsasi paham pluralisasi dan liberalisasi manhaj. Asal mengaku muslim (harus) dianggap salafiy (juga).[3]
Bukankah Allah ta’ala berfirman:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar” [QS. Aali ‘Imraan: 110] ??
Juga Rasulullah telah bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْماَنِ
Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu juga, maka hatinya. Itulah selemah-lemah iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 49] ??
Mungkin ini adalah efek slogan lawas yang masih terpelihara:
نتعاون فيما اتفقنا عليه ويعذر بعضنا بعضاً فيما اختلفنا فيه
“Kita saling tolong-menolong dalam perkara yang kita sepakati dan kita saling memberi ‘udzur/toleransi sebagian kita terhadap sebagian yang lain dalam perkara yang kita selisihkan”.
Meniadakan nasihat, kritik, dan bahwa tahdzir terhadap kesalahan dan penyimpangan bukan tindakan terpuji meski digandrungi banyak orang awam. Justru ini merupakan ciri-ciri Murji’ah sebagaimana dikatakan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
وبازاء هؤلاء المكفرين بالباطل أقوام لا يعرفون اعتقاد أهل السنة والجماعة كما يجب أو يعرفون بعضه ويجهلون بعضه وما عرفوه منه قد لا يبينونه للناس بل يكتمونه ولا ينهون عن البدع المخالفة للكتاب والسنة ولا يذمون أهل البدع ويعاقبوهم بل لعلهم يذمون الكلام في السنة وأصول الدين ذما مطلقا لا يفرقون فيه بين ما دل عليه الكتاب والسنة والاجماع وما يقوله أهل البدعة والفرقة أو يقرون الجميع على مذاهبهم المختلفة كما يقر العلماء في مواضع الاجتهاد التي يسوغ فيها النزاع وهذه الطريقة قد تغلب على كثير من المرجئة وبعض المتفقهة والمتصوفة والمتفلسفة كما تغلب الأولى على كثير من أهل الأهواء والكلام وكلا هاتين الطريقتين منحرفة خارجة عن الكتاب والسنة
“Kebalikan orang-orang yang gemar mengkafirkan secara batil adalah sekelompok orang yang tidak mengetahui ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sebagaimana yang diwajibkan, atau mengetahui sebagian namun jahil terhadap sebagian yang lain – dan apa yang mereka ketahui tersebut tidak mereka jelaskan kepada manusia, namun malah mereka sembunyikan. Mereka tidak melarang kebid’ahan yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta tidak mencela dan memberikan hukuman terhadap ahli bid’ah. Bahkan, mereka mencela perkataan yang menjelaskan tentang sunnah dan ushuluddiindengan celaan secara mutlak. Mereka tidak membedakan antara perkara yang berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; dengan apa yang dikatakan oleh ahlul-bid’ah wal-furqah. Atau mereka mengakui semua madzhab mereka (ahli bid’ah) yang berbeda-beda sebagaimana pengakuan para ulama terhadap eksistensi perkara-perkara ijtihadiyyah yang membolehkan adanya perbedaan pendapat. Jalan ini telah memperdaya banyak kelompok Murji’ah, orang yang berlagak faqih, orang shufi, dan filosof sebagaimana hal yang pertama telah memperdaya kebanyakan pengikut hawa nafsu dan ahli kalam. Keduanya merupakan jalan menyimpang yang keluar dari Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/467].
Perkataan Syaikhul-Islaam sangat mencocoki fenomena yang saya sebutkan sebelumnya.
‘Khawaarij ‘alad-du’aat’ dalam artian tegas terhadap duat pembawa fitnah, itu benar – meski kedengarannya tetap wagu. Namun slogan ini jika dikatakan untuk menyumpal mulut agar tidak membicarakan penyimpangan dan lalu mentoleransinya, dikhawatirkan itu masuk dalam warning yang ditegaskan Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Anyway, saya sepakat tahdzir harus didasarkan ilmu dan sikap wara’ dalam agama. Harus dilandasi keikhlasan dan tidak boleh serampangan.
Terakhir, saya menasihati diri saya sendiri dan juga Pembaca semuanya agar senantiasa berhati-hati dengan paham Murji’ah Gaya Barudi atas. Semoga Allah senantiasa membimbing kita kepada jalan yang lurus.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – tengah malam lebih – 20071438 - baca juga artikel : Murji'ah Ma'al-Hukkaam]
[banyak mengambil faedah dari buku Al-Mahajjatul-Baidlaa’ fii Himaayatis-Sunnah Al-Gharraa’ min Zallaati Ahlil-Akhthaa wa Zaighi Ahlil-Ahwaa’ oleh Asy-Syaikh Rabii’ Al-Madkhaliy, Daarul-Minhaaj, Cet. 2/1416; dan Murji’atul-‘Ashr oleh Dr. Khaalid Al-‘Anbariy, Daarul-Minhaaj, Cet. Thn. 1424].




[1]   Yaitu QS. At-Taubah ayat 73 dan QS. At-Tahriim ayat 9.
[2]   Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2485 secara maushuul dari Sa’iid, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
[3]   Sebagian mereka (atau sebagian besar ?) tiba-tiba sembuh sakit giginya jika ada yang bicara tentang Salafiyyiin. Suara katak di musim hujan pun sahut menyahut.
They (Salafees) are their common enemies. The enemy of their enemy is their friend.

Apakah Kamu Merasa Aman Terhadap Allah yang di Langit?

$
0
0
Allah ta’ala berfirman:
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِأَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ * أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِأَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?. atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” [QS. Al-Mulk : 16-17].

Para ulama bersepakat bahwa makna fis-samaa’ dalam ayat di atas bukan berarti masuk di dalam langit, akan tetapi bermakna ‘di atas langit’.
Abu Bakr Ahmad bin Ishaaq bin Ayyuub Ash-Shibghiy Al-Faqiih rahimahullah (w. 342 H) berkata:
قَدْ تَضَعُ الْعَرَبُ فِي بِمَوْضِعِ عَلَى. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: فَسِيحُوا فِيالأَرْضِ، وَقَالَ: وَلأُصَلِّبَنَّكُمْ فِيجُذُوعِ النَّخْلِ، وَمَعْنَاهُ: عَلَىالأَرْضِ وَعَلَىالنَّخْلِ، فَكَذَلِكَ قَوْلُهُ فِي السَّمَاءِ: أَي عَلَىالْعَرْشِ فَوْقَ السَّمَاءِ، كَمَا صَحَّتِ الأَخْبَارُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ
“Kadang orang Arab meletakkan kata ‘fii (فِيْ)’ di tempat ‘alaa (عَلَى)’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Maka berjalanlah kalian (kaum musyrikin) di muka bumi’ (QS. At-Taubah : 2). Allah juga berfirman : ‘Dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma’ (QS. Thaha : 71). Maknanya : di atas permukaan bumi dan di atas pangkal pohon kurma. Begitu pula dengan firman-Nya fis-samaa’, maknanya yaitu : di atas ‘Arsy di atas langit, sebagaimana telah shahih khabar-khabar dari Nabi ” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 2/324].
Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusiy rahimahullah (w. 463 H) berkata:
وأما قوله تعالى أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِيالسَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ فمعناه من علىالسماء يعني علىالعرش وقد يكون فيبمعنى على
“Dan adapun firman-Nya ta’ala : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16), maknanya : (Allah) yang ada di atas langit (‘alas-samaa’), yaitu di atas ‘Arsy (‘alal-‘Arsy). Kadang kata ‘fii (فِيْ)’ bermakna ‘alaa (عَلَى)” [At-Tamhiid, 7/130].
Al-Baihaqiy rahimahullah (w. 458 H) berkata:
كَمَا قَالَ تَعَالَى: أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِيالسَّمَاءِ، يَعْنِي: مَنْ فَوْقَالسَّمَاءِ. وَقَالَ: وَلأُصَلِّبَنَّكُمْ فِيجُذُوعِ النَّخْلِ يَعْنِي: عَلَىجُذُوعِهَا
“Sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ (QS. Al-Mulk : 16), maknanya yaitu : ‘(Allah) yang ada di atas langit’. Allah juga berfirman : ‘Dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma’ (QS. Thaha : 71), maknanya yaitu : ‘di atas pangkal pohonnya” [idem, 2/236].
Adz-Dzahabiy rahimahullah (w. 748 H) berkata:
اعلم أنه ورد أن الله على العرش، وقد تقدم الكلام في ذلك
وورد أنه عَزَّ وَجَلَّ في السماء و ( في) ترد كثيرا بمعنى ( على )، كقوله تعالى: فسيحوا فيالأرض أي: على الأرض فلأصلبنكم في جذوع النخل أي: علىجذوع النخل. فكذلك قوله: أأمنتم من فيالسماء أي: من علىالسماء.
“Ketahuilah, bahwa terdapat dalam nash-nash Allah berada di atas ‘Arsy. Dan telah lewat pembicaraan tentang hal tersebut. Dan terdapat dalam nash bahwa Allah ‘azza wa jalla di atas langit (fis-samaa’). Kata fii (فِيْ) banyak dikembalikan kepada makna ‘alaa (عَلَى- di atas), sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Maka berjalanlah kalian (kaum musyrikin) di muka bumi’ (QS. At-Taubah : 2), yaitu : di atas permukaan bumi (‘alal-ardl). ‘Dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma’ (QS. Thaha : 71), yaitu : di atas pangkal pohon kurma. Maka begitu pula dengan firman-Nya : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ (QS. Al-Mulk : 16), yaitu (Allah) yang ada di atas langit” [Al-Arba’iin fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiin, hal. 53 no. 25].
Kemudian, siapakah yang dimaksudkan dengan kata ‘man fis-samaa’ (مَنْ فِي السَّمَاءِ) dalam ayat tersebut (QS. Al-Mulk : 16-17) ?
Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah (w. 310 H) menjelaskan:
أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ وهو الله
“Firman Allah : ‘Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ (QS. Al-Mulk : 17), yaitu Allah” [Jaami’ul-Bayaan, 23/513].
Ibnu Abi Zamaniin rahimahullah (w. 399 H) menjelaskan:
{مَنْ فِي السَّمَاءِ} يعني نفسه
“Firman-Nya : ‘Yang berada di atas langit’, yaitu Diri-Nya (Allah)” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Aziiz, 5/14].
As-Sam’aaniy rahimahullah (w. 562 H) menjelaskan:
قوله تعالى: {أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ} أي: أأمنتم ربكم
“Firman-Nya ta’ala : ‘Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ (QS. Al-Mulk : 17), maknanya adalah : ‘apakah engkau merasa aman terhadap Rabbmu (yang ada di atas langit)” [Tafsiir As-Sam’aaniy, 6/12].
Maka kesimpulan dari bahasan ayat ini adalah bahwasannya yang dimaksud dengan objek dalam QS. Al-Mulk : 16-17 adalah Allah yang berada di atas langit, di atas ‘Arsy.

Wallaahu a’lam.

‘Aqiidah Abu Haatim Ar-Raaziy dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy rahimahumallah

$
0
0
Abul-Qaasim Al-Laalikaa’iy rahimahullah berkata:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُظَفَّرِ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَبَشٍ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَاتِمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا: أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ:
الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ،
وَالْقُرْآنُ كَلامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ بِجَمِيعِ جِهَاتِهِ،
وَالْقَدَرُ خَيْرُهُ وَشَرُّهُ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَخَيْرُ هَذِهِ الأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، ثُمَّ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ، ثُمَّ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِمُ السَّلامُ، وَهُمُ الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ الْمَهْدِيُّونَ،
وَأَنَّ الْعَشَرَةَ الَّذِينَ سَمَّاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَشَهِدَ لَهُمْ بِالْجَنَّةِ عَلَى مَا شَهِدَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَقَوْلُهُ الْحَقُّ،
وَالتَّرَحُّمُ عَلَى جَمِيعِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ وَالْكَفُّ عَمَّا شَجَرَ بَيْنَهُمْ.
وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى عَرْشِهِ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ، وَعَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ ﷺ بِلا كَيْفٍ، أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير.

Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mudhaffar Al-Muqri’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad bin Habasy Al-Muqri’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ayahku (Abu Haatim Ar-Raaziy) dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam Ushuuluddiin(pokok-pokok agama), serta apa yang mereka dapatkan dari para ulama yang mereka jumpai di berbagai kota dan apa yang mereka yakini tentang hal tersebut. Mereka berdua berkata : “Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh kota baik di Hijaaz, ‘Iraaq, Syam, dan Yaman, maka diantara madzhab yang mereka anut adalah :
1.      Iman itu perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang.
2.      Al-Qur’an adalah Kalaamullah, bukan makhluk dari semua sisinya.
3.      Takdir yang baik dan yang buruk berasal dari Allah ‘azza wa jalla.
4.      Sebaik-baik umat sepeninggal Nabi adalah Abu Bakr Ash-Shiddiiq, lalu ‘Umar bin Al-Khaththaab, lalu ‘Utsmaan bin ‘Affaan, lalu ‘Aliy bin Abi Thaalib ‘alaihimis-salaam. Mereka adalah Khulafaaur-Raasyidiin yang terbimbing.
5.      Dan bahwasannya sepuluh orang shahabat yang disebutkan Rasulullah dan dipersaksikan masuk surga adalah sesuai dengan yang dikatakan oleh Rasulullah , dan perkataan beliau tersebut adalah benar.
6.      Mendoakan rahmat kepada seluruh shahabat Muhammad dan menahan diri untuk tidak membicarakan perselisihan yang terjadi di antara mereka.
7.      Dan bahwasannya Allah ‘azza wa jalla berada di atas ’Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang Ia sifatkan diri-Nya dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya , tanpa menanyakan ’bagaimana’, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Allah berfirman : ’Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11).
وَأَنَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُرَى فِي الآخِرَةِ، يَرَاهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ بِأَبْصَارِهِمْ وَيَسْمَعُونَ كَلامَهُ كَيْفَ شَاءَ وَكَمَا شَاءَ.
وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَهُمَا مَخْلُوقَتانِ لا يَفْنَيَانِ أَبَدًا، وَالْجَنَّةُ ثَوَابٌ لأَوْلِيَائِهِ، وَالنَّارُ عِقَابٌ لأَهْلِ مَعْصِيَتِهِ إِلا مَنْ رَحِمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ،
وَالْمِيزَانُ حَقٌّ، لَهُ كِفَّتَانِ، تُوزَنُ فِيهِ أَعْمَالُ الْعِبَادِ حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا حَقٌّ.
وَالْحَوْضُ الْمُكْرَمُ بِهِ نَبِيُّنَا حَقٌّ.
وَالشَّفَاعَةُ حَقٌّ،
وَالْبَعْثُ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ حَقٌّ.
وَأَهْلُ الْكَبَائِرِ فِي مَشِيئَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَلَا نُكَفِّرُ أَهْلَ الْقِبْلَةِ بِذُنُوبِهِمْ، وَنَكِلُ أَسْرَارَهُمْ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَنُقِيمُ فَرْضَ الْجِهَادِ وَالْحَجِّ مَعَ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ دَهْرٍ وَزَمَانٍ.
وَلا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى الأَئِمَّةِ وَلا الْقِتَالَ فِي الْفِتْنَةِ، وَنَسْمَعُ وَنُطِيعُ لِمَنْ وَلاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَمْرَنَا وَلا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَنَتَّبِعُ السُّنَّةَ وَالْجَمَاعَةَ، وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالْخِلافَ وَالْفُرْقَةَ.
فَإِنَّ الْجِهَادَ مَاضٍ مُنذُ بَعَثَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ نَبِيَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامِ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ مَعَ أُولِي الأَمْرِ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ لا يُبْطِلُهُ شَيْءٌ.
وَالْحَجُّ كَذَلِكَ، وَدَفْعُ الصَّدَقَاتِ مِنَ السَّوَائِمِ إِلَى أُولِي الأَمْرِ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ.
8.      Dan bahwasannya Allah tabaaraka wa ta’ala dapat dilihat kelak di akhirat, dilihat oleh penduduk surga dengan mata kepala mereka, dan mereka pun mendengar perkataan-Nya ‘azza wa jalla sebagaimana yang Ia kehendaki dan seperti yang Ia kehendaki.
9.      Surga itu benar (haq) dan neraka juga benar (haq). Keduanya adalah makhluk Allah yang akan kekal selamanya. Surga adalah balasan bagi para wali-Nya, sedangkan neraka adalah hukuman bagi para pelaku maksiat kecuali yang diberikan rahmat (diampuni) oleh Allah ‘azza wa jalla.
10.   Miizaan itu benar (haq). Ia memiliki dua daun timbangan yang akan menimbang amalan baik dan buruk para hamba adalah benar.
11.   Haudlyang merupakan pemuliaan bagi Nabi kita adalah benar (haq).
12.   Syafa’at adalah benar (haq).
13.   Kebangkitan (kelak di hari kiamat) setelah kematian adalah benar (haq).
14.   Para pelaku dosa besar berada di dalam kehendak Allah ‘azza wa jalla (apakah Ia berkehendak mengampuninya ataukah memberikan adzab/hukuman kepadanya – Abul-Jauzaa’).
15.   Kami tidak mengkafirkan kaum muslimin dengan sebab dosa-dosa yang mereka lakukan, dan kami menyerahkan urusan batin mereka kepada Allah ‘azza wa jalla.
16.   Dan kami menegakkan kewajiban jihad dan haji bersama para pemimpin kaum muslimin di setiap masa dan zaman.
17.   Dan kami memandang tidak bolehnya keluar ketaatan (memberontak) kepada para pemimpin (kaum muslimin) dan mengobarkan peperangan di masa fitnah. Kami senantiasa mendengar dan taat kepada orang yang Allah ‘azza wa jalla berikan kekuasaan untuk mengatur urusan kami. Kami tidak akan melepaskan tangan kami dari ketaatan. Kami mengikuti sunnah dan jama’ah, serta menjauhkan diri dari keganjilan, penyelisihan, dan perpecahan.
18.   Sesungguhnya jihad tetap eksis sejak Allah ‘azza wa jalla utus Nabi-Nya hingga hari kiamat, dilakukan bersama ulil-amri (pemerintah) dari kalangan para pemimpin kaum muslimin, tidak akan dibatalkan oleh sesuatupun.
19.   Begitu juga dengan haji dan penunaian zakat hewan ternak saaimah (yang digembalakan mencari makanan sendiri di alam bebas atau padang rumput – Abul-Jauzaa’) kepada ulil-amri (pemerintah) dari kalangan para pemimpin kaum muslimin.
وَالنَّاسُ مُؤَمَّنُونَ فِي أَحْكَامِهِمْ وَمَوَارِيثِهِمْ، وَلا نَدْرِي مَا هُمْ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
فَمَنْ قَالَ: إِنَّهُ مُؤْمِنٌ حَقًّا فَهُوَ مُبْتَدِعٌ، وَمَنْ قَالَ: هُوَ مُؤْمِنٌ عِنْدَ اللَّهِ فَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ، وَمَنْ قَالَ: هُوَ مُؤْمِنٌ بِاللَّهِ حَقًّا فَهُوَ مُصِيبٌ.
وَالْمُرْجِئَةُ وَالْمُبْتَدِعَةُ ضُلالٌ،
وَالْقَدَرِيَّةُ الْمُبْتَدِعَةُ ضُلالٌ،
فَمَنْ أَنْكَرَ مِنْهُمْ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لا يَعْلَمُ مَا لَمْ يَكُنْ قَبْلَ أَنْ يَكُونَ فَهُوَ كَافِرٌ.
وَأَنَّ الْجَهْمِيَّةَ كُفَّارٌ،
وَأَنَّ الرَّافِضَةَ رَفَضُوا الإِسْلامَ،
وَالْخَوَارِجَ مُرَّاقٌ.
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِرٌ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ كُفْرًا يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ. وَمَنْ شَكَّ فِي كُفْرِهِ مِمَّنْ يَفْهَمُ فَهُوَ كَافِرٌ.
وَمَنْ شَكَّ فِي كَلامِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَوَقَفَ شَاكًّا فِيهِ يَقُولُ: لا أَدْرِي مَخْلُوقٌ أَوْ غَيْرُ مَخْلُوقٍ فَهُوَ جَهْمِيٌّ.
وَمَنْ وَقَفَ فِي الْقُرْآنِ جَاهِلا عُلِّمَ وَبُدِّعَ وَلَمْ يُكَفَّرْ.
وَمَنْ قَالَ: لَفْظِي بِالْقُرْآنِ مَخْلُوقٌ فَهُوَ جَهْمِيٌّ أَوِ الْقُرْآنُ بِلَفْظِي مَخْلُوقٌ فَهُوَ جَهْمِيٌّ.
20.   Manusia pada asalnya adalah orang-orang beriman (mukmin) dalam hukum-hukum dan pewarisan mereka, sedangkan di sisi Allah ‘azza wa jalla kami tidak mengetahuinya.
21.   Barangsiapa berkata : ‘Sesungguhnya orang itu mukmin sejati/sebenar-benarnya’, maka ia adalah mubtadi’. Barangsiapa berkata : ‘Orang itu mukmin di sisi Allah’, maka ia termasuk orang-orang yang berdusta. Barangsiapa berkata : ‘Orang itu beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya’, maka ia benar.
22.   Murji’ah adalah mubtadi’yang sesat.
23.   Qadariyyah adalah mubtadi’ yang sesat.
24.   Maka barangsiapa diantara mereka yang mengingkari, yaitu : Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla tidak mengetahui apa yang akan terjadi sebelum terjadi, maka ia kafir.
25.   Jahmiyyah adalah kafir.
26.   Raafidlah, mereka itu menolak Islam.
27.   Khawaarij itu murraaq(orang-orang yang telah keluar dari agama).
28.   Barangsiapa yang menyangka Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir terhadap Allah yang Maha Agung dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama. Barangsiapa paham namun ragu-ragu akan kekafirannya, maka ia pun kafir.
29.   Barangsiapa yang ragu-ragu tentang Kalamullah ‘azza wa jalla, lalu ia abstain karena ragu dalam hal tersebut seraya berkata : ‘Aku tidak tahu apakah Al-Qur’an adalah makhluk atau bukan makhluk’, maka ia adalah Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah).
30.   Barangsiapa yang abstain dalam permasalahan Al-Qur’an karena kejahilan, maka ia diajari dan dibid’ahkan tanpa dikafirkan.
31.   Barangsiapa yang berkata : ‘Lafadh Al-Qur’anku adalah makhluk’, maka ia Jahmiy. Atau ia mengatakan : ‘Al-Qur’an dengan lafadhku adalah makhluk’, maka ia Jahmiy.
قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ: وَسَمِعْتُ أَبِي، يَقُولُ: وَعَلامَةُ أَهْلِ الْبِدَعِ الْوَقِيعَةُ فِي أَهْلِ الأَثَرِ، وَعَلامَةُ الزَّنَادِقَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ حَشْوِيَّةً يُرِيدُونَ إِبْطَالَ الآثَارِ.
وَعَلامَةُ الْجَهْمِيَّةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ مُشَبِّهَةً،
وَعَلامَةُ الْقَدَرِيَّةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ الأَثَرِ مُجَبِّرَةً.
وَعَلامَةُ الْمُرْجِئَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ مُخَالِفَةً وَنُقْصَانِيَّةً.
وَعَلامَةُ الرَّافِضَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ نَاصِبَةً.
وَلا يَلْحَقُ أَهْلَ السُّنَّةِ إِلا اسْمٌ وَاحِدٌ وَيَسْتَحِيلُ أَنْ تَجْمَعَهُمْ هَذِهِ الأَسْمَاءُ "
Abu Muhammad (Ibnu Abi Haatim) berkata : Aku mendengar ayahku (Abu Haatim Ar-Raaziy) berkata : “Tanda Ahlul-Bid’ah adalah mencela Ahlul-Atsar. Tanda orang-orang Zanaadiqah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah sebagai Hasyawiyyah karena mereka ingin membatalkan atsar-atsar.
Tanda orang-orang Jahmiyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Musyabbihah.
Tanda orang-orang Qadariyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Mujabbirah.
Tanda orang-orang Murji’ah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Mukhaalifah (orang yang selalu mempertentangkan) dan Nuqshaaniyyah (orang yang kurang dalam imannya).
Tanda orang-orang Raafidlah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Naashibah (pembenci ahlul-bait Nabi ).
Dan tidaklah didapatkan pada Ahlus-Sunnah kecuali hanya satu nama, sehingga mustahil nama-nama ini terkumpul pada mereka (Ahlus-Sunnah).
قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ، وَسَمِعْتُ أَبِي، وَأَبَا زُرْعَةَ يَأْمُرَانِ بِهِجْرَانِ أَهْلِ الزَّيْغِ وَالْبِدَعِ، يُغَلِّظَانِ فِي ذَلِكَ أَشَدَّ التَّغْلِيظِ، وَيُنْكِرَانِ وَضْعَ الْكُتُبِ بِرَأْيٍ فِي غَيْرِ آثَارٍ، وَيَنْهَيَانِ عَنْ مُجَالَسَةِ أَهْلِ الْكَلامِ وَالنَّظَرِ فِي كُتُبِ الْمُتَكَلِّمِينَ، وَيَقُولانِ لا يُفْلِحُ صَاحِبُ كَلامٍ أَبَدًا
قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ "وَبِهِ أَقُولُ أَنَا ".
وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ حُبَيْشٍ الْمُقْرِئُ: "وَبِهِ أَقُولُ ".
قَالَ شَيْخُنَا ابْنُ الْمُظَفَّرِ: "وَبِهِ أَقُولُ ".
وَقَالَ شَيْخُنَا يَعْنِي الْمُصَنِّفَ: "وَبِهِ أَقُولُ "
وَقَالَ الطريثيتي : وبه أقول
وَقَالَ شيخنا السلفي : وبه أقول
Abu Muhammad berkata : Aku mendengar ayahku (Abu Haatim Ar-Raaziy) dan Abu Zur’ah memerintahkan untuk memboikot ahluz-zaigh wal-bida’ (orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan pelaku bid’ah). Mereka (Abu Haatim dan Abu Zur’ah) bersikap sangat keras dalam hal tersebut. Mereka mengingkari penulisan kitab-kitab hanya berdasarkan pendapat semata tanpa berdasarkan atsar-atsar. Mereka melarang bermajelis dengan ahlul-kalam dan berdebat tentang kitab-kitab ahli kalam. Mereka berkata : ‘Tidak beruntung shaahibul-kalaamselamanya’.
Abu Muhammad berkata : “Dan inilah yang aku katakan (yaitu, berkeyakinan sebagaimana dikatakan oleh Abu Haatim dan Abu Zur’ah – Abul-Jauza’)”.
Abu ‘Aliy bin Hubaisy Al-Muqri’ berkata : “Dan inilah yang aku katakan”.
Syaikh kami, yaitu Ibnul-Mudhaffar, berkata : “Dan inilah yang aku katakan”.
Syaikh kami, yaitu penulis (Al-Laalikaa’iy), berkata : “Dan inilah yang aku katakan”.
Ath-Thuraitsitiy berkata : “Dan inilah yang aku katakan”.
Syaikh kami, As-Silafiy, berkata : “Dan inilah yang aku katakan”.

[Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, 1/176-180 no. 321-322, tahqiq : Dr. Ahmad bin Sa’d bin Hamdaan].

Sanad riwayat ini shahih, para perawinya tsiqaat:
a.      Muhammad bin Al-Mudhaffar bin ’Aliy bin Harb, Abu Bakr Al-Muqri’ Ad-Diinawariy; seorang syaikh yang shaalih, mempunyai keutamaan, lagi shaduuq. Wafat 415 H [Taariikh Baghdaad, 4/430 no. 1624, tahqiq : Dr. Basyaar ’Awwaad Ma’ruuf; Daarul-Gharb, Cet. 1/1422 H].
b.      Al-Husain bin Muhammad bin Habsy, Abu ’Aliy Ad-Diinawariy Al-Muqri’; seorang yang tsiqahlagi ma’muun [lihat : Taariikh Islaamiy oleh Adz-Dzahabiy, 26/538-539, tahqiq : Dr. ’Umar bin ’Abdis-Salaam At-Tadmuriy; Daarul-Kitaab Al-’Arabiy, Cet. 1/1409 H].
c.      Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim; ia adalah anak dari Abu Haatim Ar-Raaziy, seorang imam yang tidak perlu ditanyakan lagi.
Inilah aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yang telah menjadi kesepakatan para ulama kita semenjak dulu. Semoga Allah ta'ala memberikan kita petunjuk dan kekokohan dalam menitinya.
Semoga ada manfaatnya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’ – setelah pulang kantor, 06081438].

Pendapat Abu Haniifah

$
0
0
Tanya : Apakah benar Abu Haniifah rahimahullah membolehkan keluar ketaatan dari penguasa yang dhalim dengan mengangkat pedang ?. Jika benar, bukankah itu berarti merupakan salah satu pendapat madzhab yang statusnya sebagaimana khilaf-khilaf fiqh lain yang semestinya diberikan ruang toleransi?.
Jawab  : Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa nabiyyinaa wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi wa man waalah, amma ba’d,
Abu Haniifah rahimahullah adalah ulama besar di dunia Islam, salah satu dari 4 ulama madzhab yang terkenal. Banyak pujian ulama yang tersemat kepada beliau rahimahullah.

‘Aliy bin ‘Aashim rahimahullah berkata:
لَوْ وُزِنَ عِلْمُ أَبِي حَنِيفَةَ بِعِلْمِ أَهْلِ زَمَانِهِ لَرَجِحَ
“Seandainya ilmu Abu Haniifah ditimbang dengan ilmu orang-orang di zamannya, niscaya akan lebih berat (ilmu Abu Haniifah)” [Manaaqib Abi Haniifah, hal. 19].
Ibnul-Mubaarak rahimahullah pernah ditanya:
أَمَالِكٌ أَفْقَهُ أَمْ أَبُو حَنِيفَةَ؟، فَقَالَ: أَبُو حَنِيفَةَ
“Manakah yang lebih faqih, Maalik (bin Anas) ataukah Abu Haniifah ?”. Maka ia menjawab : “Abu Haniifah” [idem].
Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan rahimahullah berkata:
لا نَكْذِبُ اللَّهَ مَا سَمِعْنَا أَحْسَنَ مِنْ رَأْيِ أَبِي حَنِيفَةَ، وَقَدْ أَخَذْنَا بِأَكْثَرِ أَقْوَالِهِ
“Kami tidak berdusta kepada Allah. Tidaklah kami mendengar satu pendapat yang lebih baik daripada pendapat Abu Haniifah. Sungguh, kami telah mengambil (faedah) dari kebanyakan perkataannya” [idem].
Hafsh bin Ghiyaats rahimahullah berkata:
كَلامُ أَبِي حَنِيفَةَ أَدَقُّ مِنَ الشَّعْرِ لا يَعِيبُهُ إِلا جَاهِلٌ
“Perkataan Abu Haniifah lebih dalam dibandingkan helaian rambut. Tidak ada yang mencelanya kecuali orang yang bodoh” [idem].
Dan masih banyak lagi pujian ulama kepada Abu Haniifah yang kesemuanya menunjukkan ketinggian martabat beliau di kalangan mereka.
Namun demikian, Abu Haniifah tidak ma’shuum. Dalam beberapa hal, ia mendapatkan kritikan. Seperti misal dalam hadits, maka ia seorang yang lemah yang dikritik oleh jumhur ulama[1]. Juga dalam masalah iman, beliau terjatuh dalam kekeliruan irjaa’ (murji’atul-fuqahaa’) yaitu mengeluarkan amal perbuatan dari nama iman[2], iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang[3], serta pelarangan mengucapkan istitsnaa’ dalam iman[4].
Termasuk dari ketergelinciran beliau rahimahullah adalah dalam masalah pedang – sebagaimana yang antum tanyakan. Akan saya bawakan beberapa riwayat tentangnya sebagai berikut:
حَدَّثَنِي أَبُو الْفَضْلِ الْخُرَاسَانِيُّ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ مُوسَى الأَشْيَبُ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا يُوسُفَ، يَقُولُ: كَانَ أَبُو حَنِيفَةَ يَرَى السَّيْفَ، قُلْتُ: فَأَنْتَ؟ قَالَ: مَعَاذَ اللَّهِ
Telah menceritakan kepadaku Al-Fadhl Al-Khurasaaniy : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Muusaa Al-Asyyab, ia berkata : Aku mendengar Abu Yuusuf berkata : "Abu Haniifah berpendapat bolehnya mengangkat pedang/senjata". Aku berkata : "Kalau engkau ?". Ia (Abu Yuusuf) berkata : "Ma'aadzallaah" [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah hal. 181-182 no. 233; shahih].
حَدَّثَنِي أَبُو الْفَضْلِ الْخُرَاسَانِيُّ، حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ شَمَّاسِ السَّمَرْقَنْدِيُّ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لابْنِ الْمُبَارَكِ وَنَحْنُ عِنْدَهُ إِنَّ أَبَا حَنِيفَةَ، كَانَ مُرْجِئًا يَرَى السَّيْفَ، فَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ ذَلِكَ ابْنُ الْمُبَارَكِ
Telah menceritakan kepadaku Abul-Fadhl Al-Khurasaaniy : Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim bin Syammaas As-Samarqandiy (ia berkata) : "Ada seorang laki-laki yang berkata kepada Ibnul-Mubaarak sedangkan kami (ketika itu) di sisinya : 'Sesungguhnya Abu Haniifah seorang murji' yang berpendapat bolehnya mengangkat pedang', dan Ibnul-Mubaarak tidak mengingkari orang tersebut" [idem, hal. 182 no. 234; shahih].
حدثني إبراهيم ثنا أبو توبة عن أبي إسحاق قال: كان أبو حنيفة مرجئاً يرى السيف
Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Abu Taubah, dari Abu Ishaaq, ia berkata : "Abu Haniifah seorang Murji' yang berpendapat bolehnya mengangkat pedang".
حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ، ثنا أَبُو تَوْبَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْفَزَارِيِّ، قَالَ: حَدَّثْتُ أَبَا حَنِيفَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِحَدِيثٍ فِي رَدِّ السَّيْفِ فَقَالَ: هَذَا حَدِيثُ خُرَافَةٍ
Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Abu Taubah, dari Abu Ishaaq Al-Fazzaariy, ia berkata : "Aku menceritakan kepada Abu Haniifah hadits dari Nabi tentang penolakan terhadap (sikap mengangkat) senjata, lalu ia (Abu Haniifah) berkata : "Ini adalah hadits khurafaat" [idem, hal. 207 no. 322; shahih].
حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ، ثنا أَبُو تَوْبَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ: كَانَ أَبُو حَنِيفَةَ مُرْجِئًا يَرَى السَّيْفَ
Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Abu Taubah, dari Abu Ishaaq (Al-Fazzaariy), ia berkata : “Abu Haniifah seorang murji’yang berpendapat bolehnya mengangkat pedang” [idem, no. 325; shahih].
Al-'Uqailiy rahimahullah berkata:
حدثنا الفضل بن عبد الله، قال: حدثنا محمد بن أبي خالد المصيصي، قال: سمعت وكيع بن الجراح، وسئل عن أبي حنيفة، قال: كان مرجئا يرى السيف
Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin 'Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Khaalid Al-Mishshiishiy, ia berkata : Aku mendengar Wakii' bin Al-Jarraah ditanya tentang Abu Haniifah. Ia menjawab : "Ia seorang murji' yang berpendapat bolehnya mengangkat pedang" [Diriwayatkan oleh Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ hal. 1409].
حدثني أحمد بن أصرم المدني، قال: حدثنا محمد بن هارون، قال: حدثنا أبو صالح الفراء، عن يوسف بن أسباط، قال: كان أبو حنيفة مرجئا، وكان يرى السيف، وولد على غير الفطرة.
Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Ashram Al-Madaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Haaruun, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Shaalih Al-Farraa’, dari Yuusuf bin Asbaath, ia berkata : “Abu Haniifah seorang murji’ yang berpendapat bolehnya mengangkat pedang. Ia lahir bukan di atas fithrah” [idem, hal. 1410].
أَخْبَرَنَا الحسن بن أبي بكر، قَالَ: أَخْبَرَنَا إبراهيم بن مُحَمَّد بن يحيى المزكي النيسابوري، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّد بن المسيب، قال: سمعت عبد الله بن خبيق، قال: سمعت الهيثم بن جميل، يقول: سمعت أبا عوانة، يقول: كان أَبُو حنيفة مرجئا يرى السيف، فقيل له: فحماد بن أبي سليمان؟ قال: كان أستاذه في ذلك
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Abi Bakr, ia berkata : Telah mengkhabatkan kepada kami Ibraahiim bin Muhammad bin Yahyaa Al-Muzakkiy An-Naisaabuuriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Musayyib, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Khabiiq, ia berkata : Aku mendengar Al-Haitsam bin Jamiil berkata : Aku mendengar Abu ‘Awaanah berkata : “ Abu Haniifah seorang murji’ yang berpendapat bolehnya mengangkat pedang”. Dikatakan kepadanya : “Bagaimana dengan Hammaad bin Abi Sulaimaan ?". Ia menjawab : "Ia adalah gurunya dalam hal tersebut" [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad, 15/530].
Abu 'Ubaid Al-Aajurriy berkata:
قُلْت لأبي دَاوُد "كَانَ أَبُو حَنِيفَة يرى السَيْف ؟، قَالَ: نعم
Aku bertanya kepada Abu Daawud : "Apakah Abu Haniifah berpendapat bolehnya mengangkat pedang ?". Ia menjawab " Ya" [As-Suaalaat].
Jika kita melihat perkataan para ulama di atas, komentar mereka terhadap pendapat Abu Haniifah yang membolehkan mengangkat pedang (memberontak) dalam konteks jarhatau kritikan. Ini adalah ketergelinciran beliau yang tidak boleh direpro oleh siapapun setelahnya. Sama halnya kekeliruan beliau dalam masalah keimanan yang telah disebutkan sebelumnya. Hal itu dikarenakan bertentangan dengan nash-nash shahih dan sharih (jelas) tentang kewajiban bersabar dan menahan diri untuk tidak mengangkat pedang (memberontak) terhadap penguasa yang dhalim.
Nabi bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟، قَالَ: أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
Sesungguhnya kelak sepeninggalku kalian akan melihat atsarah dan perkara-perkara yang kalian mengingkarinya”. Para sahabat bertanya : “Lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah ?”. Beliau ﷺ bersabda : “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7052 dan Muslim no. 1843].
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ، فَقَالَ: لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ، فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?”. Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1855].
Larangan memberontak dan mengangkat pedang sudah menjadi manhaj Ahlus-Sunnah sebagaimana ditegaskan para ulama.
‘Aliy bin Al-Madiiniy rahimahullah berkata:
وَمَنْ خَرَجَ عَلَى إِمَامٍ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَقَدِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ النَّاسُ فَأَقَرُّوا لَهُ بِالْخِلافَةِ بِأَيِّ وَجْهٍ كَانَتْ بِرِضًا كَانَتْ أَوْ بِغَلَبَةٍ فَهُوَ شَاقٌّ هَذَا الْخَارِجُ عَلَيْهِ الْعَصَا، وَخَالَفَ الآثَارَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَإِنْ مَاتَ الْخَارِجُ عَلَيْهِ مَاتَ مِيتَةَ جَاهِلِيَّةٍ. وَلا يَحِلُّ قِتَالُ السُّلْطَانِ، وَلا الْخُرُوجُ عَلَيْهِ لأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ، فَمَنْ عَمِلَ ذَلِكَ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ عَلَى غَيْرِ السُّنَّةِ.
“Barangsiapa yang keluar ketaatan/memberontak terhadap seorang pemimpin dari kalangan pemimpin kaum muslimin yang manusia telah berkumpul di bawah kepemimpinannya dan merekapun mengakui kekhilafahannya/kepemimpinannya, dengan cara apa saja, baik dengan keridlaan ataupun paksaan; maka orang yang memberontak tersebut telah merusak persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar-atsar dari Rasulullah . Apabila ia mati, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyyah. Dan tidak halal untuk memeringai sulthaan/penguasa, dan tidak boleh seorangpun keluar ketaatan/memberontak terhadapnya. Barangsiapa yang melakukannya, maka ia adalah mubtadi’ yang tidak berada di atas sunnah” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/168].
Abu Haatim Ar-Raaziy dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy berkata:
أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ .....وَلا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى الأَئِمَّةِ وَلا الْقِتَالَ فِي الْفِتْنَةِ، وَنَسْمَعُ وَنُطِيعُ لِمَنْ وَلاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَمْرَنَا وَلا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَنَتَّبِعُ السُّنَّةَ وَالْجَمَاعَةَ، وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالْخِلافَ وَالْفُرْقَةَ
“Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh kota baik di Hijaaz, ‘Iraaq, Syam, dan Yaman, maka diantara madzhab yang mereka anut adalah …… Dan kami memandang tidak bolehnya keluar ketaatan (memberontak) kepada para pemimpin (kaum muslimin) dan mengobarkan peperangan di masa fitnah. Kami senantiasa mendengar dan taat kepada orang yang Allah ‘azza wa jalla berikan kekuasaan untuk mengatur urusan kami. Kami tidak akan melepaskan tangan kami dari ketaatan. Kami mengikuti sunnah dan jama’ah, serta menjauhkan diri dari keganjilan, penyelisihan, dan perpecahan” [idem, 1/177].[5]
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ
“Adapun keluar ketaatan dan memerangi mereka, maka haram hukumnya berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin, meskipun mereka berbuat kefasiqan lagi dhalim” [Syarh Shahiih Muslim, 12/229].
Maka dari itu, tidak diperbolehkan kita berhujjah dengan kekeliruan Abu Haniifah dalam masalah kebolehan mengangkat senjata terhadap penguasa – dan ini adalah salah satu ciri khas sekte Murji’ah[6]– sebagaimana kita tidak boleh mengikuti kekeliruan beliau dalam masalah iman. Apalagi telah dikatakan oleh sebagian ulama, Abu Haniifah rahimahullah di akhir hayatnya rujuk dari pendapatnya tersebut dan menetapi pendapat Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga dapat menjawab apa yang ditanyakan.




[1]     Al-Bukhaariy berkata : “Ia seorang murji’. Para ulama mendiamkannya, pendapatnya, dan haditsnya”. Di lain tempat ia berkatya : “Para ulama meninggalkannya”.  Muslim berkata : “Shaahibur-ra’yi, mudltharibul-hadiits. Ia tidak memiliki banyak hadits shahih”. Sufyaan Ats-Tsauriy berkata : “Abu Haniifah tidak tsiqah, dan tidak ma’muun”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat dalam hadits”. Ad-Daaraquthniy berkata : “Dla’iif”. Dan yang lainnya [Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil, 3/209-219 no. 4643].
[2]     Abu Haniifah rahimahullah berkata:
الإيمان هو الإقرار والتصديق
“Iman adalah pengakuan (iqraar) dan pembenaran (tashdiiq)” [Al-Fiqhul-Akbar, hal. 304].
Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah berkata saat mengomentari perkataan Ath-Thahawiy Al-Hanafiy (dalam kitab Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah) :
والإيمان : هو الإقرار باللسان ، والتصديق بالجنان
‘Iman itu adalah pengakuan/ucapan dengan lisan dan pembenaran dengan hati’
sebagai berikut :
وذهب كثير من أصحابنا إلى ما ذكره الطحاوي رحمه الله : أنه الإقرار باللسان ، والتصديق بالجنان . ومنهم من يقول : إن الإقرار باللسان ركن زائد ليس بأصلي ، وإلى هذا ذهب أبو منصور الماتريدي رحمه الله ، ويروى عن أبي حنيفة رضي الله عنه
“Dan kebanyakan shahabat kami (yaitu ulama Hanafiyyah) berpendapat sebagaimana yang disebutkan oleh Ath-Thahawiy rahimahullah bahwasannya iman itu adalah pengakuan/ucapan dengan lisan dan pembenaran dengan hati. Dan di antara mereka ada yang mengatakan : Sesungguhnya pengakuan lisan itu rukun yang ditambahkan, bukan rukun asal. Inilah yang dipegang oleh Abu Manshuur Al-Maturidiy rahimahullahdan yang diriwayatkan dari Abu Haniifah radliyallaahu ‘anhu….” [Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal. 313, tahqiq : Al-Albaaniy].
[3]     Abu Haniifah rahimahullah berkata:
والإيمان لا يزيد ولا ينقص
“Iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang” [Syarh Kitaab Al-Washiyyah, hal. 3. Lihat Ushuuluddiin ‘indal-Imaam Abi Haniifah, hal. 389].
[4]     Ushuuluddiin ‘indal-Imaam Abi Haniifah, hal. 415.

Madzhab Kibaar Ulama dalam ‘Udzur Kejahilan pada Permasalahan Kufur dan Syirik (2)

$
0
0
Artikel ini merupakan kelanjutan dari bagian pertamayang telah ditulis tanggal 30 November 2014. Kibaar ulama di sini maksudnya kibaar ulama muta’khkhiriin.
1.     Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Aba Buthain rahimahullah (w. 1282 H)
Asy-Syaikh 'Abdullah bin 'Abdirrahmaan Abu Buthain rahimahullah pernah ditanya tentang makna Laa ilaha illallaah, dan orang yang mengucapkannya namun tidak mengkafiri segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Apakah orang yang mengucapkannya sedangkan ia juga berdoa kepada Nabi dan para wali, kalimat itu bermanfaat baginya, ataukah darah dan hartanya menjadi halal ditumpahkan meskipun ia mengucapkannya?

Maka syaikh rahimahullah memberikan uraian tentang makna Laa ilaha illah, yaitu tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah. Semua peribadahan yang dikhususkan ditujukan kepada Allah namun dipalingkan kepada selain Allah, maka syirik dan pelakunya musyrik. Beliau kemudian berkata :
"Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaha illallaah namun bersamaan dengannya ia melakukan syirik akbar seperti berdoa kepada orang mati dan orang yang tidak hadir, meminta kepada mereka untuk memenuhi hajatnya, menghilangkan kesulitan/kesusahan, bertaqarrub kepada mereka dengan melakukan nadzar dan penyembelihan; maka orang ini musyrik baik ia sadar/setuju dengannya atau tidak. Dan Allah tidak mengampuni orang yang berbuat syirik kepada-Nya sebagai firman-Nya : 'Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka' (QS. Al-Maaidah : 72). Akan tetapi dengan perbuatan ini, ia musyrik. Barangsiapa yang melakukannya, maka kafir.
Akan tetapi berdasarkan perkataan Syaikh, TIDAK dikatakan Fulaan kafir HINGGA DIJELASKAN apa yang dibawa oleh Rasulullah . Apabila ia terus melakukannya setelah dijelaskan, maka ia dikafirkan, halal darah dan hartanya......." [Ithaaful-Khalq bi-Ma'rifatil-Khaaliq hal. 57-58].



2.     As-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah (w. 1376 H)
Beliau rahimahullah ketika menjelaskan bab riddah berkata:
“……. Apa yang engkau sebutkan dari dalil-dalil Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijmaa'bahwa berdoa kepada selain Allah dan beristighatsah kepadanya adalah kufur yang menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka, maka ini tidak diragukan lagi (kebenarannya). Namun apa yang engkau sebutkan tentang penyamaan kejahilan orang Yahudi, Nashrani, dan seluruh orang kafir yang tidak beriman kepada Rasul dan tidak membenarkannya akibat kejahilannya; dengan orang yang beriman kepada Muhammad , meyakini kebenaran semua ajarannya dan kewajiban untuk mentaatinya, namun kemudian ia terjatuh dalam kekeliruan berdoa kepada selain Allah dan berbuat syirik kepada-Nya sedangkan ia tidak mengetahui dan tidak sadar perbuatan tersebut termasuk kesyirikan - bahkan ia menganggapnya sebagai bentukan pengagungan terhadap orang yang diseru tersebut lagi diperintahkan oleh Allah; maka itu merupakan kekeliruan yang jelas, berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, serta ijmaa' shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, yang membedakan antara dua hal ini.
Termasuk perkara al-ma'luum minad-diin bidl-dlaruurah tentang kekafiran orang-orang yang jahil dari kalangan Yahudi, Nashrani, dan seluruh orang kafir lainnya. Ini merupakan perkara yang tidak mungkin diingkari. Adapun orang yang beriman kepada Rasulullah , membenarkan semua perkataannya, dan berkomitmen terhadap agama yang dibawanya, namun kemudian ia terjatuh dalam kekeliruan pada perkara keyakinan (i'tiqad), perkataan, atau perbuatan/amalan karena jahil atau taqlid atau (salah dalam) ta'wiil; maka Allah ta'alaberfirman (tentangnya) : "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah" (QS. Al-Baqarah : 286). Allah memaafkan umatnya karena kesalahan, lupa, dan semua yang dilakukan karena terpaksa. Baik dalam perkataan maupun keyakinan, meskipun itu kekufuran......." [Al-Fataawaa As-Sa'diyyah, hal. 579-580].




3.     Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Yahyaa Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy rahimahullah (w. 1386 H)
Beliau rahimahullah berkata dalam kitab Raf'ul-Isytibaah (3/826):
"Dan begitu juga yang kami katakan dalam masalah doa dan yang semisalnya. Meskipun kami mengatakan dalam gambaran pertanyaan dan yang semisalnya : 'Sesungguhnya perbuatan ini adalah doa kepada selain Allah ta'ala, ibadah, dan sekaligus merupakan kesyirikan' ; namun kami tidak memaksudkan dari hal itu semua orang yang melakukannya otomatis dihukumi musyrik. Menjadi musyrik hanyalah bagi orang yang melakukannya tanpa udzur. Adapun yang melakukannya dikarenakan udzur, maka orang tersebut mungkin merupakan hamba Allah yang paling baik, paling utama, dan paling bertaqwa yang boleh jadi ia diberikan pahala atas perbuatannya tersebut (meskipun keliru)[1]"
Pada halaman 924-925 beliau rahimahullah menjelaskan:
"Jika engkau mengatakan : 'Bagaimana bisa diberikan udzur orang yang melakukan amalan kesyirikan padahal Allah ta'ala berfirman : 'Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya' (QS. An-Nisaa' : 48, 116) ?'.
Maka aku katakan : Barangsiapa udzurnya itu benar (diterima/diakui oleh syari'at), maka ia tidak termasuk orang yang telah berbuat kesyirikan (dan dihukumi musyrik). Hal itu sebagaimana orang yang menikahi wanita yang tidak disadarinya ada hubungan kemahraman antara kedua - yang ternyata wanita itu saudara wanita sepersusuannya misalnya - maka ia tidak termasuk berzina dengan saudara wanitanya. Namun seandainya orang itu ingin menikah dengan seorang wanita, lalu ada yang mengatakan kepadanya : 'Wanita itu saudara wanita sepersusuanmu', dan banyak orang mengetahui hubungan kemahraman antara dua orang itu yang seandainya engkau tanya kepada mereka, niscaya mereka akan memberitahukan kepadamu; lalu orang itu enggan untuk bertanya, maka pernikahannya tidak diberikan udzur (dan dianggap sebagai perzinahan)"
[selesai].
Hujjah beliau rahimahullah dalam hal pemberian ruang udzur ini sangat kuat dengan ilustrasi kasus pernikahan antara orang yang mempunyai hubungan kemahraman. Mana yang diberikan udzur, mana yang tidak diberikan udzur. Dan seperti itulah udzur kejahilan ditetapkan dalam syari'at, baik dalam ushul maupun furuu'.
Wallaahu a'lam.



4.     Asy-Syaikh ‘Abdul-Kariim Al-Khudlair hafidhahullah (anggota Haiah Kibaar Ulama Saudi Arabia).
Pernah diajukan pertanyaan kepada beliau:
"Dalam permasalahan udzur kejahilan, ada yang berpendapat bahwa udzur tersebut tidak ada dan ia berlebih-lebihan padanya hingga berpendangan seluruh manusia ini adalah kafir kecuali dirinya. Sebaliknya, ada pula yang lembek seraya menganggap Yahudi dan Nashrani tidak kafir. Semua orang berhak diberikan udzur kejahilan. Kami mohon jawaban yang memuaskan berdasarkan madzhab ahlul-hadits".
Kemudian, beliau hafidhahullah menjawab:
"Udzur kejahilan merupakan perkara yang dikenal di kalangan ulama, akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang kaifiyyah sampainya hujjah (buluughul-hujjah), pemahaman hujjah, dan hilangnya penghalang dari orang yang menerima hujjah.
Di antara mereka ada yang mengatakan : Apabila telah sampai hujjah, hilanglah kejahilan. Tidak disyaratkan hilangnya penghalang dari orang yang menerima hujjah, meskipun itu berupa pemahamannya (terhadap hujjah). Namun yang benar, apabila orang jahil ini belum sampai kepadanya hujjah seperti kedudukan orang-orang 'Ajam (non-'Arab) yang tidak memahami nash-nash - meskipun ia orang 'Arab - , maka harus dijelaskan hujjah tersebut kepadanya. Sangat disayangkan banyak kaum muslimin yang mengatakan 'Laa ilaha illallaah', namun bersamaan dengan itu ia senantiasa melakukan perkara yang membatalkan kalimat tauhid karena kejahilannya bahwa perkara tersebut dapat membatalkan kalimat tauhid (yang ia ucapkan).
Orang seperti ini perlu dijelaskan bahwa berdoa kepada selain Allah dan meminta kebutuhan/keperluan kepada makhluk yang tidak sanggup dipenuhi kecuali oleh Allah semata, adalah syirik (akbar) yang mengeluarkan pelakunya dari agama. (Namun) tidak boleh menghukumi orang seperti ini dengan kekufuran kecuali setelah memberikan penjelasan kepadanya. Ini jika disandarkan kepada person. Adapun jika disandarkan kepada perbuatannya, maka harus dinyatakan perbuatan itu syirik, dan barangsiapa yang melakukannya, maka ia telah berbuat kesyirikan. Akan tetapi hukum terhadap individu/personnya, tergantung pada (tegaknya) penjelasan yang sesuai terhadapnya. Oleh karena itu, engkau akan dapati jawaban-jawaban Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab bahwa beliau kadang memberikan udzur dalam satu kasus, dan tidak memberikan udzur dalam kasus yang lain. Tidak diragukan lagi, ini bukan paradoks, bukan pula idlthiraab (goncang) dalam fatwa, akan tetapi hal itu kembali pada perbedaan situasi dan kondisi yang disandarkan kepada orang-orang yang meminta fatwa.
Semua ini disandarkan kepada orang yang mengaku beragama Islam yang mengucapkan syahadat Laa ilaha illallaah wa anna Muhammadan-Rasuulullah. Adapun orang yang memuluk agama selain Islam seperti Yahudi dan Nashrani, maka tidak ragu lagi akan kekafiran mereka dan kekalnya mereka di neraka. Nas-alullaahal-'aafiyyah"

Diambil dari status FB.



[1]     Perkataan beliau rahimahullah bahwa orang yang berbuat kesyirikan dari kalangan ulama dikarenakan kejahilan (salah ta'wil) diberikan pahala, maka ini mengingatkan kita pada perkataan salah seorang ustadz kita yang perkataannya menjadi 'bully' pentolan kelompok pengibar peniadaan udzur kejahilan. Perkataan ustadz tersebut ternyata hampir semakna dengan perkataan Asy-Syaikh 'Abdurrahmaan bin Yahyaa Al-Mu'allimiy Al-Yamaaniy, seorang 'aalim rabbaniy yang kedudukannya secara keilmuan tidak lebih rendah dari ulama yang lainnya. Perkataan ma'juur (diberikan pahala) perlu diteliti kembali. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
كل من عبد عبادة نهي عنها ولم يعلم بالنهي - لكن هي من جنس المأمور به - مثل من صلى في أوقات النهي وبلغه الأمر العام بالصلاة ولم يبلغه النهي ...... فإنها إذا دخلت في عموم استحباب الصلاة ولم يبلغه ما يوجب النهي أثيب على ذلك ....... بخلاف ما لم يشرع جنسه مثل الشرك فإن هذا لا ثواب فيه وإن كان الله لا يعاقب صاحبه إلا بعد بلوغ الرسالة كما قال تعالى‏:‏ ‏{‏وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً‏}‏ ‏[‏الإسراء‏:‏ 15‏]‏ لكنه وإن كان لا يعذب فإن هذا لا يثاب بل هذا كما قال تعالى‏:‏ ‏{‏وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا‏}‏ ‏[‏الفرقان‏:‏ 23‏]‏‏
“Setiap orang yang beribadah dengan peribadahan yang dilarang (oleh syari’at), namun ia tidak mengetahui keberadaan larangan tersebut – akan tetapi ibadah tersebut termasuk jenis yang diperintahkan – , seperti orang yang shalat di waktu-waktu yang terlarang dimana telah sampai padanya perintah umum untuk melaksanakan shalat, namun tidak sampai padanya larangan (untuk shalat di waktu-waktu tersebut) ...... Maka jika ia masuk dalam keumuman dalil perintah shalat, namun belum sampai padanya larangannya, orang tersebut tetap diberikan pahala.... Berbeda halnya dengan ibadah yang tidak disyari’atkan menurut jenisnya, seperti perbuatan syirik. Perbuatan ini tidak diberikan pahala (jika orang tersebut melakukannya dengan ketidaktahuannya). Sesungguhnya Allah tidaklah menghukum orang tersebut kecuali setelah sampainya risaalah, sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala : ‘Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul’ (QS. Al-Israa’ ; 15). Akan tetapi – meskipun ia tidak diadzab karenannya – ia tidak diberikan pahala dengannya. Bahkan perbuatannya ini sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan’ (QS. Al-Furqaan : 23)...” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 20/31-33].
Seandainya ustadz mengambil faedah dari perkataan Asy-Syaikh Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy rahimahullah ini, tentu bisa dimaklumi karena sumbernya adalah ulama yang diakui keilmuannya. Meski tetap kita katakan, perkataan tersebut lemah. Sama halnya dengan perkataan sebagian orang yang mengkafirkan orang Raafidlah tanpa pembedaan yang ‘awwam dan ‘alimnya karena mengambil fatwa dari Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah. Pendapat beliau ini bertentangan dengan pendapat Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah yang tidak mengkafirkan semua orang Raafidlah.
Anyway, substansi perkataan Asy-Syaikh 'Abdurrahmaan bin Yahyaa Al-Mu'allimiy Al-Yamaaniy rahimahumallah adalah benar, meski barangkali ada satu kalimat yang perlu untuk diteliti kembali. Wallaahu a’lam.

Pandangan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhaab terhadap Al-Buushiiriy, Ibnu ‘Arabiy, dan Ibnul-Faaridl

$
0
0
Dulu, ada seseorang bernama Sulaimaan bin Suhaim yang membenci dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallah. Ia membuat beberapa kedustaan terhadap beliau rahimahullah. Ketika kedustaan itu sampai kepada Syaikh, beliau rahimahullah berkata:
ثم لا يخفى عليكم أنه بلغني أن رسالة سليمان بن سحيم قد وصلت إليكم، وأنه قبلها وصدقها بعض المنتمين للعلم في جهتكم، والله يعلم أن الرجل افترى علي أمورا لم أقلها، ولم يأت أكثرها على بالي.
“Kemudian tidak tersembunyi atas kalian bahwa telah sampai kepadaku risalah Sulaimaan bin Suhaim, yang itu juga telah sampai kepada kalian. Risalah tersebut diterima dan dibenarkan oleh sebagian orang yang condong kepada ilmu di sisimu. Dan Allah mengetahui orang ini telah berdusta pada perkara-perkara yang aku tidak pernah mengatakannya dan (bahkan) mayoritas perkara itu tidak pernah terlintas dalam benakku”

فمنها قوله: إني مبطل كتب المذاهب الأربعة; وإني أقول: إن الناس من ستمائة سنة ليسوا على شيء، وإني أدعي الاجتهاد; وإني خارج عن التقليد; وإني أقول: إن اختلاف العلماء نقمة، وإني أكفر من توسل بالصالحين; وإني أكفر البوصيري لقوله: يا أكرم الخلق; وإني أقول: لو أقدر على هدم قبة رسول الله صلى الله عليه وسلم لهدمتها، ولو أقدر على الكعبة لأخذت ميزابها، وجعلت لها ميزابا من خشب، وإني أحرم زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم، وإني أنكر زيارة قبر الوالدين وغيرهما، وإني أكفر من حلف بغير الله، وإني أكفر ابن الفارض، وابن عربي; وإني أحرق دلائل الخيرات، وروض الرياحين، وأسميه روض الشياطين.
Diantaranya adalah perkataannya:
1.      aku membatalkan kitab-kitab madzhab yang empat;
2.      aku berkata : ‘sesungguhnya manusia selama 600 tahun tidak berada di atas kebenaran sama sekali’;
3.      aku mendakwakan ijtihad;
4.      aku keluar dari taqlid;
5.      aku berkata : ‘sesungguhnya perselisihan ulama adalah adzab’;
6.      aku mengkafirkan orang yang bertawassul kepada orang-orang shalih;
7.      aku mengkafirkan Al-Bushiiriy karena ucapannya : ‘wahai makhluk yang paling mulia’[1];
8.      aku berkata : ‘seandainya aku kuasa menghancurkan kubah Rasulullah , niscaya akan aku hancurkan’;
9.      (aku berkata) : ‘seandainya aku berkuasa atas Ka’bah, niscaya akan aku ambil saluran airnya dan aku ganti dengan kayu’;
10.   aku mengharamkan berziarah kepada Nabi ;
11.   aku mengingkari berziarah ke kubur kedua orang tua dan yang selainnya;
12.   aku mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah;
13.   aku mengkafirkan Ibnul-Faaridl dan Ibnu ‘Arabiy;
14.   aku membakar kitab Dalaailul-Khairaatdan Raudlur-Rayaahiin, yang kemudian aku ganti nama dengan Raudlusy-Syayaathiin.
جوابي عن هذه المسائل أن أقول: سبحانك هذا بهتان عظيم; وقبله من بهت محمدا صلى الله عليه وسلم أنه يسب عيسى ابن مريم، ويسب الصالحين، فتشابهت قلوبهم بافتراء الكذب
“Jawabanku tentang permasalahan-permasalahan ini, aku katakan : ‘Maha Suci Engkau, ini adalah kedustaan yang besar. Sebelumnya telah ada orang yang berdusta pada diri Muhammad bahwasannya ia (Muhammad ) mencaci ‘Iisaa bin Maryam dan mencaci orang-orang shaalih, sehingga serupalah hati-hati mereka dengan berbagai kedustaan dan kebohongan tersebut….”.
[selesai nukilan].
Khusus kedustaan nomor 7 dan 13 tentang pengkafiran Al-Bushiiriy, Ibnul-Faaridl, dan Ibnu ‘Arabiy (dan beliau rahimahullah mengingkarinya dengan keras), maka Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah menjelaskan:
وقوله: «وأني أكفر البوصيري لقوله: يا أكرم الخلق» ، هذه مسألة تكفير المعين؛ كأن الشيخ لا يرى تكفير المعين، والبوصيري كلامه كفر؛ كقوله يخاطب الرسول صلى الله عليه وسلم:
يا أكرم الخلق ما لي من ألوذ به ... سواك عند حلول الحادث العمم
فإن من جودك الدنيا وضرتها ... ومن علومك علم اللوح والقلم
إن لم تكن في معادي آخذا بيدي ... فضلا وإلا فقل يا زلة القدم
فإن لي ذمة منه بتسميتي ... محمدا وهو أوفى الخلق بالذمم
إلى آخر ما قال في «البردة» ، وهذا كفر، لكن الشخص قد يكون ما بلغته الحجة، أو يكون متأولا، فلا يكفر حتى تقام عليه الحجة، وأيضا هو لا يعلم ما ختم له به.
“Perkataan beliau ((aku mengkafirkan Al-Bushiiriy karena ucapannya : ‘wahai makhluk yang paling mulia’)). Ini adalah permasalahan takfir mu’ayyan. Seakan-akan Syaikh (dengan perkataan itu) tidak berpendapat adanya takfir mu’ayyan, sedangkan Al-Bushiiriy perkataannya adalah kufur seperti perkataannya ketika berbicara tentang diri Rasul :
Wahai makhluk yang paling mulia, tidak ada tempat untukku berlindung
kecuali dirimu ketika terjadinya musibah yang merata
Sesungguhnya termasuk diantara kemurahanmu adalah dunia dan segala isinya
dan termasuk ilmu-ilmumu adalah ilmu Lauh dan Qalam
Apabila engkau kelak di akhirat tidak memegang tanganku (untuk menolong)
sebagai karunia (darimu), maka katakanlah : ‘Wahai orang yang tergelincir kakinya (ke neraka)’
Sesungguhnya aku memiliki jaminan darinya dengan penamaanku
Muhammad, dan ia adalah orang yang paling menjaga jaminannya’
hingga akhir dari apa yang ia katakan dalam Al-Burdah. Perkataan ini kufur, akan tetapi kadang individunya belum sampai kepadanya hujjah atau ia salah dalam ta’wil, sehingga ia tidak dikafirkan hingga hujjah ditegakkan kepadanya. Selain itu juga ia (Al-Bushiiriy) tidak diketahui apa yang menjadi penutup kehidupannya” [Syarh ‘Aqiidah Al-Imaam Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab, hal. 150-151; Maktabah Daaril-Minhaaj, Cet. 2/1431].
Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah melanjutkan penjelasan beliau tentang kedustaan yang dialamatkan kepada Syaikh ((aku mengkafirkan Ibnul-Faaridl dan Ibnu ‘Arabiy)) :
ابن الفارض صاحب المنظومة التائية في وحدة الوجود، فيها كفر وإلحاد والعياذ بالله، ولكن الشيخ لا يكفر صاحبها؛ لأنه لا يدري ماذا ختم له، ولا يدري هل بلغته الحجة أو لم تبلغه، فهو يقول: إن ما فيها إلحاد وكفر، ولكن صاحبها يتوقف فيه، هذا مذهب أهل السنة والجماعة أنهم لا يشهدون لأحد بجنة أو نار إلا من شهد له رسول الله صلى الله عليه وسلم
وابن عربي معروف، هو محيي الدين بن عربي الطائي إمام أهل وحدة الوجود، وابن الفارض من أتباع ابن عربي، ومع هذا فإن الشيخ لا يجزم بكفرهما، وإن كانا قالا كفرا وضلالا وإلحادا، ولكن تكفير المعين يحتاج إلى دليل؛ لأنه ربما تاب، وربما ختم له بالتوبة، فالله أعلم.
“Ibnul-Faaridl adalah penulis kitab Al-Mandhuumah At-Taaiyyah yang berisikan tentang wihdatul-wujuud[2], yang di dalamnya berisikan kekufuran dan ilhaad (pengingkaran), wal-‘iyaadzubillah. Akan tetapi Syaikh tidak mengkafirkannya, karena beliau tidak tahu apa yang menjadi akhir dalam kehidupannya, dan beliau tidak tahu apakah telah sampai kepadanya hujjah ataukah belum.  Beliau mengatakan : ‘Sesungguhnya dalam kitabnya berisi ilhaad dan kekufuran’, akan tetapi tentang penulisnya beliau tawaqquf (dalam pengkafirannya). Inilah madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah bahwasannya mereka tidak bersaksi (memastikan) atas seseorang termasuk penduduk surga atau neraka, kecuali orang yang dipersaksikan oleh Rasulullah (melalui nash).
Dan Ibnu ‘Arabiy ma’ruuf (dikenal). Namanya adalah Muhyiddiin bin ‘Arabiy Ath-Thaaiy, imam kelompok wihdatul-wujuud. Ibnul-Faaridl sendiri adalah pengikut Ibnu ‘Arabiy. Meskipun demikian, Syaikh tidak memastikan akan kekufuran dua orang tersebut meskipun mereka mengatakan kekufuran, kesesatan, dan ilhaad. Pengkafiran secara mu’ayyan (individu) membutuhkan dalil, karena barangkali yang bersangkutan telah bertaubat dan boleh jadi akhir kehidupannya ditutup dengan taubat. Wallaahu a’lam [idem, hal 155].
Beberapa point yang dapat kita ambil dari perkataan di atas:
1.      Al-Buushiiriy, Ibnul-Faaridl, dan Ibnu ‘Arabiy telah terjatuh dalam perkara kekufuran yang tercermin dalam kitab-kitabnya.
2.      Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallah mengingkari dengan keras tuduhan Sulaimaan bin Suhaim bahwa ia mengkafirkan Al-Buushiiriy, Ibnul-Faaridl, dan Ibnu ‘Arabiy.
3.      Penyebab Syaikh tidak mengkafirkan secara mu’ayyan terhadap ketiga orang tersebut ada tiga kemungkinan (sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah):
a.    belum sampai/tegak kepadanya hujjah;
b.    keliru dalam ta’wiil[3];
c.    tidak mengetahui apa yang menjadi penutup dalam kehidupannya, apakah ia sempat bertaubat ataukah tidak.
4.      Kejahilan adalah salah satu faktor penghalang yang dipertimbangkan dalam takfir mu’ayyan.
Ini adalah fakta yang didapatkan secara tekstual (manshuush), bukan kesimpulan pribadi hasil istiqraa’.
Memang ada sebagian orang yang keberatan dengan fakta ini, sehingga mereka membuat berbagai macam ta’wilan agar dapat disimpulkan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah mengkafirkan Al-Buushiiriy, Ibnul-Faaridl, dan Ibnu ‘Arabiy[4].
Kita katakan:
Pertama, bagaimana bisa dikatakan Syaikh mengkafirkan mereka, sedangkan ketika dituduh mengkafirkan beliau dengan jelas mengingkarinya dengan keras dan menganggapnya sebagai kedustaan. Apakah ada yang lebih jelas dari statement ini ?
Kedua, tekstual dari penjelasan Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah, beliau mengakuinya dan tidak mengingkarinya. Ini juga jelas dapat dipahami bagi siapa saja yang sedikit saja mempunyai kemampuan untuk membaca. Kemudian, beliau (Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah) memberikan 3 kemungkinan di atas.
Ketiga, pengingkaran terhadap kedustaan yang disandarkan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab diucapkan dengan menyebut nama Allah : ‘Maha Suci Engkau, ini adalah kedustaan yang besar’. Tidak mungkin pengingkaran tuduhan pengkafiran ini diucapkan hanya sekedar alasan politis, lip service, atau alasan lain yang kadang terkesan mengada-ada.[5]
Pengkafiran secara individu orang yang pada asalnya muslim yang terjatuh dalam sebagian perkara kekufuran adalah ijtihadiyyah sesuai dengan kejelasan bukti yang sampai pada masing-masing. Adapun Ibnu ‘Arabiy, dia memang kafir sebagaimana dikatakan banyak ulama. Ibnu Hajar rahimahullah pernah bertanya kepada Siraajuddiin Al-Bulqiiniy tentang Ibnu ‘Arabiy, dan ia menjawab : “Ia kafir” [Al-‘Aqduts-Tsamiin, 2/178 dan Lisaanul-Miizaan, 4/318].[6]
Kita tidak akan pernah mengatakan dengan kaedah orang-orang jahil ‘orang yang tidak mengkafirkan orang (yang kami hukumi) kafir, maka kafir’ ; terhadap hak Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah.
Beliau adalah ulama penegak bendera tauhid, mujaddid yang banyak berjasa terhadap Islam dan kaum muslimin. Sayang, banyak orang jahil mencatut sebagian perkataan beliau untuk berbuat kerusakan di muka bumi.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.





[1]     Maksudnya : Rasulullah .
[2]     Yaitu keyakinan kufur yang menyatakan Allah ta’ala menyatu dengan makhluk-Nya.
[3]     Keliru dalam ta’wiil merupakan salah satu cabang kejahilan (jahil murakkab). Abul-Baqaa’ rahimahullahberkata :
الجهل : يقال للبسيط، وهو عدم العلم عما من شأنه أن يكون عالما، ويقال أيضا للمركب، وهو عبارة عن اعتقاد جازم غير مطابق، سمي به، لأنه يعتقد الشيء على خلاف ما هو عليه
“Al-Jahl : dikatakan untuk jahl basiith, yaitu tidak mempunyai ilmu tentang sesuatu yang seharusnya ia ketahui. Dan dikatakan juga untuk jahl murakkab, yaitu ungkapan dari keyakinan pasti seseorang yang tidak sesuai dengan kebenaran. Dinamakan dengannya karena ia meyakini sesuatu yang bertentangan dengan yang seharusnya” [Al-Kuliyyaat (Mu’jamu fil-Mushthalahaat wal-Furuuq Al-Lughawiyyah), hal. 350. Lihat : At-Ta’riifaat oleh Al-Jurjaaniy, hal. 93].
[4]     Seperti misal mereka membawakan statement Syaikh yang lain:
من أعظم الناس ضلالا: متصوفة في معكال وغيره، مثل ولد موسى بن جوعان، وسلامة بن مانع، وغيرهما، يتبعون مذهب ابن عربي وابن الفارض. وقد ذكر أهل العلم أن ابن عربي من أئمة أهل مذهب الاتحادية، وهم أغلظ كفرا من اليهود والنصارى. فكل من لم يدخل في دين محمد صلى الله عليه وسلم ويتبرأ من دين الاتحادية، فهو كافر بريء من الإسلام، ولا تصح الصلاة خلفه، ولا تقبل شهادته
“Dan termasuk orang yang paling besar kesesatannya, yaitu orang-orang shufi di Ma’kal dan yang lainnya seperti anak Muusaa bin Jau’aan, Salaamah bin Maani’, dan lain-lain yang mengikuti madzhab Ibnul-‘Arabiy dan Ibnul-Faaridl. Para ulama telah menyebutkan bahwa Ibnu ‘Arabiy termasuk diantara imam madzhab Al-Ittihaadiyyah. Mereka ini lebih kafir daripada Yahudi dan Nashara. Setiap orang yang tidak masuk agama Muhammad dan berlepas diri dari agama ittihaadiyyah, maka ia kafir dan berlepas diri dari Islam. Tidak sah shalat di belakangnya dan tidak pula diterima persaksiannya” [Majmuu’ Al-Mu’allafaat, 1/189].
Padahal perkataan ini tidak ada ta’yin sama sekali kepada Ibnu ‘Arabiy. Siapa yang dimaksud dengan ‘mereka’ (jamak) ?. Individu Ibnu ‘Arabiy ataukah orang-orang yang mengikuti madzhab Ibnu ‘Arabiy dari kalangan orang-orang shufi Ma’kal ?. Dhahirnya adalah pengkafiran terhadap golongan yang kedua. Mereka inilah orang-orang musyrik yang telah ditegak hujjah kepada mereka dengan dakwah beliau rahimahullah.
Berbeda dengan individu Ibnu ‘Arabiy – sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah - kemungkinan faktor tidak dikafirkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallahadalah belum sampai/tegak kepadanya hujjah, keliru dalam ta’wiil, atau tidak mengetahui apa yang menjadi penutup dalam kehidupannya (apakah ia sempat bertaubat ataukah tidak).
[5]     Seperti ta’wil yang mereka katakan :
a.    tidak terang-terangan mengkafirkan. Dan tidak terang-terangan mengkafirkan tidak berarti menafikan keyakinan hati”.
Sungguh menyedihkan apabila perkataan ini disandarkan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallah. Syaikh dianggap mengingkari (bahwa beliau tidak mengkafirkan Al-Buushiiriy, Ibnul-Faaridl, dan Ibnu ‘Arabiy) dengan lisan dengan menyebut nama Allah, tapi dalam hati beliau mengkafirkannya.
b.    beliau tidak mengkafirkan mereka dalam rangka mudaarah (mengalah dalam urusan dunia) demi maslahat dakwah”.
Sama seperti di atas. Bahkan ini seperti menuduh Syaikh lemah. Ber-mudaarahbukan berarti melakukan malapraktik dalam penghukuman, yang kafir dikatakan tidak kafir. Bukankah mereka punya kaedah ‘orang yang tidak mengkafirkan orang (yang mereka hukumi) kafir adalah kafir’ (tanpa boleh ada penyelisihan) ?. Bukankah ini artinya menuduh Syaikh menyelisihi kaedah yang mereka tetapkan ?.
Mengatakan tidak kafir pada orang kafir dalam rangka mudaarah justru akan menjadikan orang salah paham, dan ini berbahaya.
c.     ucapan itu beliau ucapkan di awal dakwah apakah karena waktu itu dakwah yang masih lemah seperti yang saya sebutkan di point pertama, atau karena perkara ini belum begitu jelas bagi Asy-Syaikh Muhammad, atau ketika itu ia menyangka bahwa dalam perkara ini ada khilaf
Mereka sering mengatakan bahwa tidak mengkafirkan orang musyrik itu seperti tidak mengkafirkan orang Yahudi dan Nashrani. Pertanyaannya : Apakah boleh ketika dakwah dianggap lemah kita mengatakan Yahudi dan Nashrani tidak kafir ?.
Udzur tidak adanya pengkafiran yang dijelaskan Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullahdi atas menghapus kemungkinan-kemungkinan ini dari awal sampai akhir.
[6]     Bahkan Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy rahimahullah pernah menantang mubaahalah kepada siapa saja yang tidak menyesatkan Ibnu ‘Arabiy Silakan baca artikel : Mubaahalah Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy tentang Kekafiran Ibnu ‘Arabiy Ash-Shuufiy.


SCAN KITAB

Tidak Mengkafirkan Orang Kafir

$
0
0
Dalam kitab Nawaaqidlul-Islaam karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah, ini merupakan pembatal keislaman ketiga yang secara tekstual berbunyi:
من لم يكفر المشركين أو شك في كفرهم أو صحح مذهبهم كفر
“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan madzhab mereka, maka kafir”.
Yang dimaksud dengan kesyirikan dan kekafiran ini adalah kesyirikan dan kekafiran yang sangat jelas lagi diketahui kemunkarannya. Barangsiapa yang mengetahui kekufuran atau kesyirikan seseorang yang telah tetap/shahih kekufurannya berdasarkan nash, serta tidak ada perselisihan tentang perbuatan atau perkataannya tersebut merupakan kekufuran; kemudian ia tidak mengkafirkannya atau abstain atau ragu akan kekufurannya, maka ia kafir. Siapa saja yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang kekafirannya, maka wajibbagi kita untuk mengkafirkannya. Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah dikafirkan Allah dan Rasul-Nya , maka ia kafir karena mendustakan Allah dan Rasul-Nya . Adapun orang yang (malah) membenarkan madzhab (agama) mereka, maka ini bentuk pendustaan yang lebih parah daripada yang sebelumnya karena pembenaran merupakan ‘penambahan’ dari bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta’ala dan sabda Nabi , serta penghalalan (istihlaal) terhadap apa yang diharamkan Allah. Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” [QS. Al-An’aam : 121].
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan”[QS. Al-A’raaf : 40].
Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah berkata:
ولهذا نكفِّر كل من دان بغير ملة المسلمين من الملل ، أو وقف فيهم، أو شك ، أو صحَّح مذهبهم ، وإن أظهر مع ذلك الإسلام ، واعتقده ، واعتقد إبطال كل مذهب سواه ، فهو كافر بإظهاره ما أظهر من خلاف ذلك
“Oleh karena itu, kita mengkafirkan semua orang yang beragama selain agama Islam, atau abstain terhadap (kekafiran) mereka, atau ragu-ragu (akan kekafiran mereka), atau membenarkan madzhab mereka; meskipun yang bersangkutan menampakkan keislamannya, meyakininya (Islam), dan meyakininya batilnya setiap madzhab selain agama Islam. Ia tetap kafir dikarenakan ia menampakkan sesuatu yang menyelisihinya (yang ia yakini)” [Asy-Syifaa bi-Ta’riifi Huquuqil-Musthafaa, 2/1071].
Al-Bahuutiy rahimahullah berkata saat menjelaskan sebab-sebab kekafiran:
( أَوْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ ) أَيْ تَدَيَّنَ ( بِغَيْرِ الْإِسْلَامِ كَالنَّصَارَى ) وَالْيَهُودِ ( أَوْ شَكَّ فِي كُفْرِهِمْ أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ ) فَهُوَ كَافِرٌ لِأَنَّهُ مُكَذِّبٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنْ الْخَاسِرِينَ } .
“(Atau tidak mengkafirkan orang yang beragama), yaitu memeluk agama (selain Islam, seperti Nashaaraa) dan Yahudi (atau ragu-ragu tentang kekufuran mereka atau membenarkan madzhab mereka), maka ia kafir karena mendustakan firman-Nya ta’ala: ‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi’ (QS. Aali ‘Imraan : 85)” [Kasysyaaful-Qinaa’, 5/146].
Untuk menghukumi kekafiran orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, perlu perincian terkait status orang kafirnya:
1.      Orang kafir asli.
Orang kafir asli yang tidak pernah masuk agama Islam dari kalangan Yahudi[1], Nashrani[2], orang-orang musyrik[3], dan yang semisalnya yang kekufurannya ditegaskan Allah dan Rasul-Nya berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa ada perselisihan; maka orang yang tidak mengkafirkan mereka, ragu akan kekafiran mereka, abstain dalam kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan agama mereka, maka ia kafir berdasarkan ijmaa’.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومن لم يقر بأن بعد مبعث محمد لن يكون مسلم إلا من آمن به واتبعه باطنا وظاهرا فليس بمسلم ومن لم يحرم التدين بعد مبعثه بدين اليهود والنصارى بل من لم يكفرهم ويبغضهم فليس بمسلم بإتفاق المسلمين
“Dan barangsiapa yang tidak mengakui bahwa setelah diutusnya Muhammad seseorang tidak dianggap muslim kecuali orang yang beriman kepadanya dan mengikutinya secara lahir dan batin; maka ia bukan muslim. Barangsiapa yang tidak mengharamkan beragama Yahudi dan Nashara setelah diutusnya Nabi , bahkan barangsiapa yang tidak mengkafirkan mereka dan membenci (agama) mereka, maka ia bukan muslim berdasarkan kesepakatan kaum muslimin” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 27/464].
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Abu Buthain rahimahullah berkata:
أجمع المسلمون على كفر من لم يكفر اليهود والنصارى، أو شك في كفرهم
“Kaum muslimin sepakat atas kafirnya orang yang tidak mengkafirkan orang Yahudi dan Nashara, atau ragu akan kekafiran mereka” [Ad-Durarus-Saniyyah, 2/207 & 8/160].
Hal sama dengan individu-individu yang telah ditegaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah akan kekafirannya tanpa ada perselisihan seperti Fir’aun[4], Haamaan, Qaaruun[5], Abu Lahab[6], dan yang semisalnya; maka orang yang tidak mengkafirkan mereka dihukumi sama dengan sebelumnya.
2.      Orang yang murtad dari Islam.
Orang yang murtad dari Islam terbagi menjadi dua:
a.    Orang yang mengumumkan dengan jelas kekafiran dan kemurtadan dirinya dari agama Islam kepada agama selainnya, maka statusnya seperti golongan nomor 1 di atas dari kalangan Yahudi, Nashrani, Majusi, Hindu, Budha, dan yang semisalnya. Orang yang tidak mengkafirkan mereka, ragu akan kekafiran mereka, abstain dalam kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan agama mereka; maka ia kafir.
b.    Orang yang melakukan kekafiran namun dirinya menyangka di atas Islam dan/atau ia tidak menganggap kafir atas perbuatannya, maka dalam hal ini dibagi menjadi dua golongan.
Golongan pertama. Orang yang melakukan kekafiran yang jelas dan disepakati tentang kekafirannya; maka orang yang tidak mengkafirkan mereka dihukumi kafir setelah datang penjelasan dan/atau hujjah tegak atasnya, karena mungkin dalam dirinya (orang yang tidak mengkafirkan) terdapat syubhat atau kejahilan.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menegaskan perkataan orang-orang Huluuliyyah dan yang berpemahaman wihdatul-wujuud lebih jelek dan lebih kufur dibandingkan orang Nashara, beliau berkata:
ولهذا يلبسون على من لم يفهمه فهذا كله كفر باطنا وظاهرا بإجماع كل مسلم ومن شك فى كفر هؤلاء بعد معرفة قولهم ومعرفة دين الإسلام فهو كافر كمن يشك فى كفر اليهود والنصارى والمشركين
“Karenanya, mereka mengelabuhi orang yang tidak memahaminya. Maka semua ini adalah kufur secara bathin dan dhaahir berdasarkan ijmaa’ semua orang muslim. Barangsiapa yang ragu akan kekufuran mereka setelah mengetahui (hakekat) perkataan mereka dan mengetahui (hakekat) agama Islam, maka ia kafir seperti kafirnya orang yang ragu akan kekufuran Yahudi, Nashrani, dan orang-orang musyrik” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 2/368].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah berkata :
وكل من حكم الشرع بتكفيره فإنه يجب تكفيره ومن لم يكفر من كفره الله ورسوله فهو كافر مكذب لله ورسوله وذلك إذا ثبت عنده كفره بدليل شرعي
“Setiap orang yang dihukumi syari’at tentang kekafirannya, wajib bagi kita untuk mengkafirkannya. Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya , maka ia kafir karena mendustakan Allah dan Rasul-Nya . Pengkafiran tersebut dilakukan apabila telah tetap baginya akan kekafirannya[7]berdasarkan dalil syar’iy” [Al-Fataawaa As-Sa’diyyah, 1/215].
Ulama Lajnah Daaimah pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, mereka rahimahumullah menjawab:
من ثبت كفره وجب اعتقاد كفره والحكم عليه به وإقامة ولي الأمر حد الردة عليه إن لم يتب، ومن لم يكفر من ثبت كفره فهو كافر، إلا أن تكون له شبهة في ذلك، فلا بد من كشفها
“Barangsiapa yang telah tetap kekufurannya, wajib untuk meyakininya kekufurannya, mengukumi kafir terhadapnya, dan ulil-amri menegakkan hukum orang murtad[8]kepada yang bersangkutan apabila tidak bertaubat. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah tetap kekafirannya, maka ia kafir. Kecuali apabila ia memiliki syubhat tentang hal tersebut, maka (syubhat tersebut) harus dihilangkan[9]” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 2/93].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullahpernah ditanya tentang hukum orang yang meninggalkan shalat dan melakukan amalan kesyirikan, beliau berkata (dengan peringkasan) :
حكم من ترك الصلاة من المكلفين الكفر الأكبر في أصح قولي العلماء وإن لم يعتقد ذلك هو؛ لأن الاعتبار في الأحكام بالأدلة الشرعية لا بعقيدة المحكوم عليه.
وهكذا من تعاطى مكفرا من المكفرات كالاستهزاء بالدين، والذبح لغير الله، والنذر لغير الله، والاستغاثة بالأموات وطلبهم النصر على الأعداء أو شفاء المرض ونحو ذلك لقول الله عز وجل: قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ[1]، وقوله سبحانه: قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، وقوله سبحانه: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ * فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.
"Hukum orang mukallaf (yang telah dibebani syariat) yang meninggalkan shalat adalah kufur akbar menurut pendapat paling shahih diantara dua pendapat yang beredar di kalangan ulama apabila ia tidak berkeyakinan bolehnya meninggalkan shalat. Hal itu dikarenakan yang dianggap dalam hukum adalah dalil-dalil syar'iy, bukan keyakinan orang yang dihukumi terhadapnya.
Begitu pula orang yang melakukan perbuatan-perbuatan kufur seperti istihzaa'(mengolok-olok) agama, menyembelih untuk selain Allah, bernadzar kepada selain Allah, beristighatsah kepada orang mati, memohon kepada mereka pertolongan dari musuh-musuh atau kesembuhan dari penyakit, dan yang lainnya berdasarkan firman Allah 'azza wa jalla : "Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?'. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman" (QS. At-Taubah : 65-66). Juga berdasarkan firman-Nya subhaanahu wa ta'ala : "Katakanlah: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" (QS. Al-An'aam : 162-163). Juga firman-Nya : "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan menyembelihlah" (QS. Al-Kautsar : 1-2).
........
ومن لم يكفر الكافر فهو مثله إذا أقيمت عليه الحجة وأبين له الدليل فأصر على عدم التكفير، كمن لا يكفر اليهود أو النصارى أو الشيوعيين أو نحوهم ممن كفره لا يلتبس على من له أدنى بصيرة وعلم.
"Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia semisal dengannya (kafir) apabila telah ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan padanya dalil, lalu ia bersikeras untuk tidak mengkafirkannya; seperti status (kafirnya) orang yang tidak mengkafirkan orang Yahudi, Nashara, komunis, dan semisalnya dari kalangan yang tidak samar lagi kekufurannya bagi orang yang memiliki pemahaman dan ilmu minimal......" [selengkapnya : http://www.binbaz.org.sa/fatawa/226].
Dalam fatwa lain beliau rahimahullah berkata:
أما من جحد وجوبها وقال الصلاة غير واجبة، فهذا كافر عند الجميع، ومن شك في كفره فهو كافر نعوذ بالله، وهكذا من قال إن الزكاة لا تجب أي جحد وجوبها أو صيام رمضان جحد وجوبه، فهذا يكفر بذلك؛ لأنه مكذب لله ولرسوله، ومكذب لإجماع المسلمين فيكون كافراً.
ومن شك في كفره فهو كافر بعدما يبين له الدليل ويوضح له الأمر، يكون كافراً بذلك لكونه كذب الله ورسوله، وكذب إجماع المسلمين.
وهذه أمور عظيمة يجب على طالب العلم التثبت فيها، وعدم العجلة فيها حتى يكون على بينة وعلى بصيرة، وهكذا العامة يجب عليهم في ذلك أن يتثبتوا، وألاَّ يقدموا على شيء حتى يسألوا أهل العلم، وحتى يتبصروا؛ لأن هذه مسائل عظيمة، مسائل تكفير وليست مسائل خفيفة.
“….. Adapun orang yang mengingkari kewajibannya (shalat), lantas ia berkata : 'Shalat itu tidak wajib', maka orang ini kafir berdasarkan kesepakatan seluruh ulama. Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya, maka ia kafir - na'uudzu billah - . Begitu pula orang yang mengatakan zakat tidak wajib - yaitu mengingkari kewajibannya - , atau mengingkari kewajiban puasa di bulan Ramadlaan; maka orang ini dikafirkan dengan sebab itu. Hal itu dikarenakan ia mendustakan Allah dan Rasul-Nya, serta mendustakan ijmaa kaum muslimin sehingga ia menjadi kafir.
Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya, maka ia kafir setelah dijelaskan kepadanya dalil dan diterangkan kepadanya hakekat perkaranya. Ia kafir dikarenakan ia mendustakan Allah dan Rasul-Nya, serta mendustakan ijmaa' kaum muslimin.
Ini adalah perkara-perkara besar yang wajib bagi penuntut ilmu untuk melakukan tatsabbutpadanya dan tidak tergesa-gesa, hingga dirinya berada di atas bukti dan pengetahuan. Begitu juga masyarakat umum (orang-orang awam), wajib bagi mereka untuk tatsabbutdan tidak mendahului dalam sesuatupun hingga mereka bertanya terlebih dahulu kepada ulama dan mereka memiliki pemahaman yang benar. Karena permasalahan ini adalah sangat besar. Permasalahan takfiir bukan permasalahan yang ringan” [selengkapnya : http://www.binbaz.org.sa/fatawa/4150].
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Raajihiy rahimahullah pernah ditanya tentang dlaabithpengkafiran orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik seperti Ibnu Sinaa, seperti misal ada orang yang berkata : ‘Aku tidak mengkafirkan Ibnu Sinaa, menurutku ia seorang muslim’. Apakah orang ini dikafirkan ?. Beliau hafidhahullah menjawab:
إذا كان عنده لبس , ولا يعرف حاله , لا يكفر حتى يتبين له أمره , لكن من عرف أنه كافر وأنه ملحد , ولم يكفره فهذا داخل في هذا الناقض , لكن قد لا يتبين هذا لبعض الناس , فالذي لا يتبين له يبين له حاله.
“Apabila ia memiliki kesamaran dan tidak mengetahui keadaan dirinya (Ibnu Sinaa), maka tidak dikafirkan hingga dijelaskan kepadanya keadaannya (Ibnu Sinaa). Akan tetapi bagi orang yang mengenal bahwa Ibnu Sinaa kafir dan mulhid, namun ia tidak mengkafirkannya, maka ini masuk dalam pembatal keislaman tersebut. Akan tetapi kadang hal ini tidak jelas bagi sebagian orang, sehingga bagi orang yang tidak jelas, perlu dijelaskan keadaannya (Ibnu Sinaa) kepadanya” [Syarh Nawaaqidlil-Islaam].
Sebagaimana kaedah umum dalam pengkafiran, maka di sini butuh penjelasan dan penegakkan hujjah terhadap orang (yang tidak mengkafirkan) tersebut jika ia bodoh atau memiliki syubhat. Akan tetapi dalam prakteknya secara individu, maka tidak sama. Tergantung detail/jenis permasalahannya, keadaan individunya, serta situasi dan kondisinya. Kadang 'udzur diberikan kepada si Fulaan, namun tidak si 'Alaan.
Golongan kedua. Orang yang melakukan perbuatan yang kekafirannya diperselisihkan para ulama Ahlus-Sunnah. Sebagian ulama mengatakan kafir yang mengeluarkannya dari agama, sebagian yang lain tidak sampai mengeluarkannya dari agama. Seperti misal orang yang meninggalkan rukun Islam yang empat selain syahadat dengan tetap mengakui kewajibannya. Maka orang yang tidak mengkafirkan golongan ini tidak dikafirkan.
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz rahimahullah pernah berkata ketika menjelaskan permasalahan kekafiran orang yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat:
......................
وقال آخرون من أهل العلم: إنه لا يكفر بذلك؛ لأنه لم يجحد وجوبها، بل يكون عاصياً وكافراً كفراً دون كفر وشركاً دون شرك، لكن لا يكون كافراً كفراً أكبر. قاله جمع من أهل العلم. ومن شك في كفر هذا لا يكون كافراً؛ لأنه محل اجتهاد بين أهل العلم، فمن رأى بالأدلة الشرعية أنه كافر وجب عليه تكفيره، ومن شك في ذلك، ولم تظهر له الأدلة ورأى أنه لا يكفر كفراً أكبر بل كفر أصغر فهذا معذور في اجتهاده، ولا يكون كافراً بذلك.
أما من جحد وجوبها وقال الصلاة غير واجبة، فهذا كافر عند الجميع، ومن شك في كفره فهو كافر نعوذ بالله، وهكذا من قال إن الزكاة لا تجب أي جحد وجوبها أو صيام رمضان جحد وجوبه، فهذا يكفر بذلك؛ لأنه مكذب لله ولرسوله، ومكذب لإجماع المسلمين فيكون كافراً.
ومن شك في كفره فهو كافر بعدما يبين له الدليل ويوضح له الأمر، يكون كافراً بذلك لكونه كذب الله ورسوله، وكذب إجماع المسلمين.
“Ulama lain berpendapat bahwasannya orang yang meninggalkan shalat (karena malas) tidak kafir, karena ia tidak mengingkari kewajibanya. Namun ia termasuk orang yang bermaksiat dengan kekafiran di bawah kekafiran (kufur ashghar), kesyirikan di bawah kesyirikan (syirik ashghar). Pendapat itu dikatakan oleh sekelompok ulama. Barangsiapa yang ragu akan kekufurannya, maka tidak kafir karena permasalahan tersebut merupakan ranah ijtihad di kalangan ulama. Barangsiapa yang melihat dalil-dalil syar'iy bahwa ia (orang yang meninggalkan shalat) adalah kafir, maka wajib baginya untuk mengkafirkannya. Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya dan tidak nampak baginya dalil-dalil (yang mengkonsekuensikan pengkafirannya) dan kemudian berpandangan orang tersebut tidak dikafirkan dengan kufur akbar, namun sebatas kufur ashghar saja, maka ini diberikan udzur dalam ijtihadnya. Ia tidak kafir dengan sebab itu” [selengkapnya : http://www.binbaz.org.sa/fatawa/4150].
Permasalahan lain misalnya kafir tidaknya orang yang meminta kepada penghuni kubur agar ia (si mayyit) berdoa kepada Allah untuknya. Ini juga diperselisihkan ulama. Sebagian mengatakan syirik akbar, sedangkan jumhur ulama mengatakan syirik ashgharyang dapat menghantarkan kepada syirik akbar.[10]
Begitu pula dengan permasalahan pengkafiran orang muslim yang terjatuh dalam kesyirikan, apakah dipersyaratkan penegakkan hujjah ataukah tidak.
Ulama Lajnah Daaimah yang dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahumullah menjelaskan :
وبذا يعلم أنه لا يجوز لطائفة الموحدين الذين يعتقدون كفر عباد القبور أن يكفروا إخوانهم الموحدين الذين توقفوا في كفرهم حتى تقام عليهم الحجة؛ لأن توقفهم عن تكفيرهم له شبهة وهي اعتقادهم أنه لا بد من إقامة الحجة على أولئك القبوريين قبل تكفيرهم بخلاف من لا شبهة في كفره كاليهود والنصارى والشيوعيين وأشباههم، فهؤلاء لا شبهة في كفرهم ولا في كفر من لم يكفرهم، والله ولي التوفيق، ونسأله سبحانه أن يصلح أحوال المسلمين، وأن يمنحهم الفقه في الدين، وأن يعيذنا وإياهم من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، ومن القول على الله سبحانه وعلى رسوله صلى الله عليه وسلم بغير علم، إنه ولي ذلك والقادر عليه.
"Dengan demikian diketahui bahwa tidak boleh bagi golongan muwahhidiin (orang yang mentauhidkan Allah) yang meyakininya kekafiran para penyembah kubur untuk mengkafirkan saudaranya muwahhidiinlain yang tawaqquf dalam kekafiran mereka (penyembah kubur) hingga ditegakkan hujjah kepada mereka. Sikap tawaqquf mereka terhadap pengkafiran para penyembah kubur karena memiliki syubhat, yaitu keyakinan mereka bahwa harus ada penegakan hujjah terhadap para penyembah kubur tersebut sebelum pengkafirannya[11]. Berbeda halnya dengan golongan yang tidak ada syubhat dalam pengkafirannya seperti orang Yahudi, Nashrani, komunis, dan yang semisalnya. Golongan ini tidak ada syubhat dalam pengkafirannya dan tidak pula (ada syubhat) dalam pengkafiran orang yang tidak mengkafirkan golongan ini. Dan Allah lah Yang memberi taufik. Kami memohon kepada Allah subhaanahu wa ta'ala untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin, menganugerahkan pemahaman agama kepada mereka, serta melindungi kita dan mereka dari kejelekan diri kita dan amal perbuatan kita. Serta melindungi kita dari berbicara tentang Allah subhaanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya tanpa ilmu. Sesungguhnya Ia Maha Kuasa atas hal itu" [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 2/99].
Sebagaimana perkataan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullahdi atas, permasalahan takfiir adalah permasalahan besar, bukan permasalahan yang ringan. Kadang seseorang memiliki bukti yang jelas akan kekafiran seseorang, namun yang lain tidak memilikinya atau mempunyai takwil.
Contoh misalnya : Ada seseorang pernah melihat Fulaan muslim dengan mata kepalanya sendiri menyembah patung Budha, mendengar perkataannya ia meminta sesuatu kepadanya, dan memberikan sesajen kepadanya di dalam rumahnya sehingga ia yakin akan kekafiran (murtad) Fulaan tersebut. Namun apa yang ia lihat ternyata tidak dilihat oleh orang lain karena Fulaan menampakkan keislamannya seperti mengerjakan shalat dan puasa. Orang yang tidak melihat tentu berbeda sikap dan penghukumannya dengan orang yang melihat, sehingga ia tidak mengkafirkan sebagaimana pengkafiran orang pertama.
Contoh lain : Ada seseorang yang mendengar ‘Alaan mengatakan Allah tidak pernah berbicara dan berfirman dalam bentuk apapun. Ini adalah perkataan kufur dan merupakan bentuk penghinaan terhadap Allah ta’ala. Ia pun mengkafirkannya. Kemudian ada orang lain mendengar perkataan ‘Alaan tidak menganggapnya sebagai kekufuran dan tidak mengkafirkan ‘Alaan karena dianggapnya ucapan itu merupakan bagian dari perbedaan pendapat biasa di kalangan ulama[12]. Seandainya diasumsikan si ‘Alaan kafir karena telah ditegakkan hujjah oleh orang pertama yang mendengarnya, maka tidak mengkonsekuensikan ia harus otomatis mengkafirkan orang kedua yang mempunyai syubhat di kepalanya.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
فمن عيوب أهل البدع تكفير بعضهم بعضا ومن ممادح أهل العلم أنهم يخطئون ولا يكفرون وسبب ذلك أن أحدهم قد يظن ما ليس بكفر كفرا وقد يكون كفرا لأنه تبين له أنه تكذيب للرسول وسب للخالق والآخر لم يتبين له ذلك فلا يلزم إذا كان هذا العالم بحاله يكفر إذا قاله أن يكفر من لم يعلم بحاله
“Maka termasuk diantara aib-aib ahlul-bida’ adalah pengkafiran sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, dan termasuk diantara yang menunjukkan terpujinya para ulama adalah mereka sekedar menyalahkan tanpa mengkafirkan. Penyebabnya, salah seorang diantara mereka kadang menyangka sesuatu yang bukan merupakan kekufuran sebagai kekufuran, dan yang lain (menghukumi) sebagai kekufuran karena nampak jelas baginya perbuatan itu merupakan pendustaan terhadap Rasul dan penghinaan terhadap Al-Khaaliq. Adapun yang lain tidak nampak hal itu padanya (sehingga tidak mengkafirkannya). Maka tidaklah mengkonsekuensikan orang yang mengetahui keadaannya sehingga ia mengkafirkan apabila ada yang mengatakannya; untuk mengkafirkan orang yang tidak mengetahui keadaannya” [Minhaajus-Sunnah, 5/251].
Ahlus-Sunnah tidak mengenal takfir MLM, takfir berantai disebabkan karena tidak menyepakati pendapat mereka. Prinsip ini berasal dari ahli bid’ah.
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata saat menjelaskan ragam pendapat di kalangan kelompok Murji’ah:
واختلفت المرجئة في إكفار المتأولين على ثلاثة أقاويل:
فقالت الفرقة الأولى منهم: لا نكفر أحداً من المتأولين إلا من أجمعت الأمة على إكفاره.
وقالت الفرقة الثانية منهم أصحاب أبي شمر أنهم يكفرون من رد قولهم في القدر والتوحيد ويكفرون الشاك في الشاك.
وقالت الفرقة الثالثة منهم: الكفر هو الجهل بالله فقط ولا يكفر بالله إلا الجاهل به، وهذا قول جهم بن صفوان.
“Kelompok Murji’ah berselisih pendapat dalam pengkafiran muta’awwiliin (orang-orang yang salah ta’wiil[13])dalam tiga pendapat:
Kelompok pertama mengatakan : Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan muta’awwiliinkecuali orang yang telah disepakati umat[14]akan kekafirannya.
Kelompok kedua dari kalangan pengikut Abu Syimr mengkafirkan orang yang menolak pendapat mereka dalam permasalahan qadar dan tauhiid[15], dan mereka mengkafirkan orang yang ragu-ragu dalam mengkafirkan orang yang ragu-ragu (terhadap kekafiran orang yang menolak pendapat mereka).
Kelompok ketiga mengatakan bahwa kekufuran itu hanyalah bodoh terhadap Allah saja. Tidak ada orang yang kufur terhadap Allah kecuali orang yang jahil terhadapnya. Ini perkataan Jahm bin Shafwaan” [Maqaalatul-Islaamiyyiin].
Kita harus senantiasa ingat akan sabda Nabi :
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’ maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Apabila (saudaranya itu) seperti yang ia katakan (maka ia memang kafir); namun apabila tidak, maka tuduhannya itu akan kembali kepadanya (yang mengatakan)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 60].
Semoga apa yang dituliskan ini ada manfaanya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[bahan bacaan : Syarh Nawaaqidlul-Islaam oleh Naashir bin Ahmad Al-‘Adniy, Syarh Nawaaqidlil-Islaam oleh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak, Al-Ilmaam bi-Syarh Nawaaqidlil-Islaam oleh Dr. ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Rays, dan beberapa artikel di internet].




[1]     Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
[2]     Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam" [QS. Al-Maaidah : 17].
[3]     Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” [QS. Al-Bayyinah : 6].
[4]     Allah ta’ala berfirman:
كَدَأْبِ آلِ فِرْعَوْنَ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ فَأَهْلَكْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَكُلٌّ كَانُوا ظَالِمِينَ
“(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Anfaal : 54].
[5]     Allah ta’ala berfirman:
وَقَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مُوسَى بِالْبَيِّنَاتِ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الأرْضِ وَمَا كَانُوا سَابِقِينَ
“Dan (juga) Qaaruun, Fir’aun, dan Haamaan. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu)” [QS. Al-Ankabuut : 39].
[6]     Allah ta’ala berfirman:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut” [QS. Al-Lahab : 1-5].
[7]     Yaitu ia mengetahui perbuatan tersebut termasuk kekufuran.
[8]     Yaitu hukum bunuh.
[9]     Dengan penjelasan dan penegakan hujjah.
[11]    Permasalahan apakah dipersyaratkan penegakan hujjah terhadap orang yang terjatuh pada sebagian perkara kesyirikan diperselisihkan para ulama kita. Sebagian ulama Najd tidak mensyaratkannya, namun jumhur ulama mensyaratkannya.Pendapat kedua inilah yang lebih kuat yang dipegang oleh Ibnul-‘Arabiy, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab, ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy, Al-Albaaniy, Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahumullah, dan banyak yang lain.
Permasalahan ini telah banyak dibahas dalam Blog ini.
[12]    Saya pernah mendengar dan melihat di rekaman video Youtube seorang dai mengatakan bahwa kekufuran Jahmiyyah tersebut adalah sekedar perbedaan pendapat saja.
[13]    Menurut versi pemahaman mereka.
[14]    Umat di sini adalah termasuk dari kalangan ahli bid’ah, sehingga cakupan kekafiran sangatlah sedikit.
[15]    Maksud dari ‘tauhiid’ versi mereka adalah penafikkan terhadap Allah dari sifat-sifat-Nya yang azaliyyah.

Tabarruk dengan Air Kembang

$
0
0
Tabarrukadalah aktifitas mencari barakah melalui perantaraan sesuatu. Barakah sendiri artinya tetapnya kebaikan pada sesuatu [Al-Mufradaat, hal. 44]. Sesungguhnya semua barakah itu berasal dari Allah ta’ala, sehingga kita tidak boleh memohon barakah kecuali hanya kepada Allah ta’ala saja. Allah ta’alaberfirman :
قُلِ اللّهُمّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمّنْ تَشَآءُ وَتُعِزّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلّ مَن تَشَآءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنّكَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah : "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” [QS. Ali-‘Imran : 26].

Benda-benda, ucapan-ucapan, dan perbuatan-perbuatan yang oleh syari’at diperbolehkan dipakai mencari barakah, tidak lain itu semua hanyalah sarana saja. Sama seperti obat. Ia hanyalah merupakan sarana penyembuh saja, dan yang menyembuhkan hakikatnya adalah Allah ta’ala. Sebagaiamana hal itu diterangkan pada salah satu doa Nabi untuk orang sakit dalam hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ بَعْضَهُمْ يَمْسَحُهُ بِيَمِينِهِ أَذْهِبْ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Nabi biasa berdoa meminta perlindungan untuk sebagian keluarganya, lalu mengusapkan tangan kanan beliau dan berdoa : ‘Hilangkanlah kesengsaraan, wahai Rabb manusia. Sembuhkanlah karena Engkaulah Dzat yang bisa menyembuhkan. Tidak ada penyembuh melainkan Engkau. Suatu penyembuhan yang tidak lagi meninggalkan sakit” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5750].
Mencari barakah pada sesuatu harus didasarkan dalil, baik dzatnya maupun kaifiyyah-nya. Tidak boleh berdasarkan perasaan dan prasangka semata.
Dulu orang pernah tabarruk dengan sengaja mencari-cari jejak peninggalan Nabi hanya untuk shalat padanya. Ini tidak boleh, karena termasuk bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para shahabat radliyallaahu ‘anhu. Oleh karena itu, ‘Umar radliyallaahu ‘anhu melarangnya.
عَنْ مَرْوَان بْن سُوَيْدٍ الأَسَدِيُّ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ مَنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَلَمَّا أَصْبَحْنَا صَلَّى بِنَا الْغَدَاةَ، ثُمَّ رَأَى النَّاسَ يَذْهَبُونَ مَذْهَبًا، فَقَالَ: أَيْنَ يَذْهَبُ هَؤُلاءِ؟ قِيلَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَسْجِدٌ صَلَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُمْ يَأْتُونَ يُصَلُّونَ فِيهِ، فَقَالَ: إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِمِثْلِ هَذَا، يَتَّبِعُونَ آثَارَ أَنْبِيَائِهِمْ فَيَتَّخِذُونَهَا كَنَائِسَ وَبِيَعًا، مَنْ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاةُ مِنْكُمْ فِي هَذِهِ الْمَسجِدِ فَلْيُصَلِّ، وَمَنْ لا فَلْيَمْضِ، وَلا يَعْتَمِدْهَا
Dari Marwaan bin Suwaid Al-Asadiy, ia berkata : Aku pernah keluar bersama Amiirul-Mukminiin‘Umar bin Al-Khaththaab dari Makkah menuju Madiinah. Ketika memasuki waktu pagi, kami shalat Shubuh. Kemudian ia (‘Umar) melihat orang-orang pergi ke suatu tempat, lalu berkata : “Kemana mereka ini pergi ?”. Dikatakan : “Wahai Amiirul-Mukminiin, (mereka pergi) ke masjid dimana Rasulullah dulu pernah shalat di dalamnya. Mereka mendatangi untuk shalat di dalamnya”. ‘Umar berkata : “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa hanyalah dengan sebab yang seperti ini. Mereka mengikuti/mencari-cari peninggalan-peninggalan nabi-nabi mereka, lalu menjadikannya tempat ibadah. Barangsiapa di antara kalian yang kebetulan mendapatkan waktu shalat di masjid ini, hendaklah ia shalat. Dan barangsiapa yang tidak mendapatinya, maka janganlah kalian sengaja untuk datang shalat di situ” [Diriwayatkan oleh Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ wan-Nahyu ‘anhaa no. 105; shahih].
Diriwayatkan:
عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: بَلَغَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَنَّ نَاسًا يَأْتُونَ الشَّجَرَةَ الَّتِي بُويِعَ تَحْتَهَا، قَالَ: فَأَمَرَ بِهَا فَقُطِعَتْ
Dari Naafi’, ia berkata : “Sampai kepada ‘Umar berita bahwa orang-orang mendatangi pohon dimana Nabi pernah dibaiat di bawahnya. Lalu ia memerintahkan untuk menebangnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/375; dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy 7/448].
Tidak ada keberkahan dari bekas-bekas tempat yang pernah disinggahi Nabi , karena ketiadaan dalil yang menopangnya.
Begitu juga yang lain, seperti misal kubur. Bertabarruk dengan mengusap-usap bangunan kubur orang-orang shalih – atau bahkan kubur Nabi – tidaklah disyari’atkan. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu membenci perbuatan ini.
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ مَسَّ قَبْرِ النَّبِيِّ ﷺ
Dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar membenci mengusap kubur Nabi [Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juuz-nya no. 27, dan darinya Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/45 dan As-Siyar12/378; shahih].
Lantas, apa hukum bertabarruk dengan makhluk (manusia dan benda-benda semisal air, batu, atau yang lainnya) yang tidak ada landasan syar’iynya ?. Ada perincian.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
من تبرك بهؤلاء، أي: بأهل القبور، سواءٌ في المسجد أو في غير المسجد: فإن كان يدعوهم أو يستغيث بهم أو يستعين بهم أو يطلب منهم الحوائج فهذا شركٌ أكبر مخرجٌ عن الملة.
وإن كان لا يدعوهم ، ولكن يتبرك بترابهم ونحوه فهذا شركٌ أصغر، لا يصل إلى حد الشرك الأكبر، إلا إذا اعتقد أن بركته يحصل بها الخير من دون الله ، فهذا مشركٌ شركاً أكبر.
“Barangsiapa yang bertabarruk dengan mereka – yaitu penghuni kubur – baik (yang terkubur) di dalam masjid atau selain masjid, apabila ia berdoa berdoa kepada mereka dan beristighatsah kepada mereka atau memohon pertolongan kepada mereka atau meminta kebutuhan/keperluan kepada mereka; maka ini adalah syirik akbar yang mengeluarkan dari agama.
Namun apabila ia tidak berdoa kepada mereka, yaitu hanya bertabarruk dengan tanah kubur mereka, maka ini syirik ashghar yang tidak sampai kepada syirik akbar. Kecuali apabila ia berkeyakinan bahwa barakahnya yang mendatangkan kebaikan berasal dari selain Allah; maka ia musyrik dengan syirik akbar” [Fataawaa Nuur ‘alad-Darb, 2/4].
Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah pernah ditanya kapan amalan tabarruk kepada kubur dihukumi syirik ashghar dan syirik akbar ?. Maka beliau hafidhahullah menjawab :
التبرك بالقبر إذا كان يعتقد أن القبر يمنح البركة، فهذا شرك أكبر، أما إذا أعتقد أن البركة من الله، وإنما القبر سبب فقط، فهذا شرك أصغر، ووسيلة من وسائل الشرك الأكبر، إذا كان يعتقد أن البركة من الله، وأن القبر سبب للبركة، فهذا شرك أصغر، ووسيلة إلى الشرك الأكبر، أما إذا كان يعتقد أن القبر يمنح البركة، والميت يعطي البركة، فهذا شرك أكبر، وهذا ما عليه عباد القبور الآن، يعتقدون في الأموات أنهم يعطون، يمنعون، ويتصرفون
“Tabarruk kepada kubur apabila pelakunya berkeyakinan bahwa kubur memberikan barakah, maka ini syirik akbar. Adapun jika ia berkeyakinan bahwa barakah berasal dari Allah sedangkan kubur hanyalah faktor penyebabnya saja, maka ini syirik ashghar dan merupakan perantara dari perantara-perantara menuju syirik akbar. Apabila ia berkeyakinan bahwa barakah berasal dari Allah sedangkan kubur hanyalah sebab datangnya barakah, maka ini syirik ashghar dan perantara menuju syirik akbar.
Adapun jika ia berkeyakinan kubur memberikan barakah dan si mayit memberikan barakah, maka ini syirik akbar. Inilah yang menjangkiti para penyembah kubur sekarang. Mereka berkeyakinan terhadap mayit/orang mati dapat memberi barakah, mencegahnya, dan mengaturnya” [sumber : http://www.alfawzan.af.org.sa/node/10618].
Lajnah Daaimah pernah ditanya kapan tabarruk dihukumi syirik akbar dan kapan dihukumi syirik ashghar. Dijawab:
التبرك بالمخلوق قسمان:أحدهما: التبرك بالمخلوق من قبر أو شجر أو حجر أو إنسان، حي أو ميت، يعتقد فاعل ذلك حصول البركة من ذلك المخلوق المتبرك به، أو أنه يقربه إلى الله سبحانه، ويشفع له عنده، كفعل المشركين الأولين، فهذا يعتبر شركًا أكبر من جنس عمل المشركين مع أصنامهم وأوثانهم، وهو الذي ورد فيه حديث أبي واقد الليثي في تعليق المشركين أسلحتهم على الشجرة، واعتبر النبي - صلى الله عليه وسلم - ذلك شركًا أكبر من المعلقين، وشبه قول من طلب ذلك منه بقول بني إسرائيل لموسى: اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ.
القسم الثاني: التبرك بالمخلوق اعتقادًا أن التبرك به قربة إلى الله يثيب عليها، لا لأنه يضر أو ينفع، كتبرك الجهال بكسوة الكعبة ، وبالتمسح بجدران الكعبة ، ومقام إبراهيم ، والحجرة النبوية ، وأعمدة المسجد الحرام والمسجد النبوي ؛ رجاء البركة من الله، فإن هذا التبرك يعتبر بدعة، ووسيلة إلى الشرك الأكبر إلا ما خصه الدليل، كالشرب من ماء زمزم والتبرك بعرق النبي - صلى الله عليه وسلم - وشعره وما مس جسده، وفضل وضوئه - صلوات الله وسلامه عليه -، فإن هذا لا بأس به لقيام الدليل عليه. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Tabarrukkepada makhluk ada dua jenis. Pertama, tabarruk kepada makhluk seperti kubur, pohon, batu, atau manusia baik yang masih hidup maupun sudah mati; yang pelakunya berkeyakinan bahwa makhluk-makhluk yang diharapkan barakahnya itu dapat mendatangkan barakah, atau ia dapat mendekatkan diri kepada Allah ta’ala dan memberikan syafa’at baginya di sisi-Nya seperti perbuatan orang-orang musyrik generasi awal, maka ini dihukumi syirik akbar dari jenis perbuatan orang-orang musyrik terhadap berhala-berhala mereka. Dan itulah yang dijelaskan dalam hadits Abu Waaqid Al-Laitsiy tentang perbuatan orang-orang musyrik yang menggantungkan senjata-senjata mereka di sebuah pohon. Nabi menganggapnya sebagai syirik akbar yang dilakukan oleh orang-orang yang menggantungkannya. Beliau juga menyamakan permintaan mereka (para shahabat) itu dengan perkataan Bani Israaiil kepada Muusaa : “buatlah untuk kami sebuah tuhan sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)" (QS. Al-A’raaf : 138).
Kedua, tabarruk kepada makhluk dengan keyakinan bahwa bertabarruk dengannya merupakan amalan mendekatkan diri kepada Allah dan diberikan pahala. Bukan karena (keyakinan) bahwa makhkuk tersebut memberikan mudlarat atau mendatangkan manfaat, seperti tabarruknya orang-orang bodoh dengan kiswah (kain penutup) Ka’bah, mengusap-usap tembok Ka’bah, maqam Ibraahiim, eks kamar Nab , tiang-tiang Masjidil-Haraam dan Masjid Nabawi; mengharapkan barakah dari Allah. Maka tabarruk jenis ini dihukumi bid;ah dan sarana/perantara menuju syirik akbar. Kecuali yang dikhususkan oleh dalil seperti minum air zam-zam, tabarruk dengan keringat Nabi , keringat beliau, dan apa saja yang dapat disentuh dari jasad beliau, bekas air wudlu beliau ; maka semua ini tidak mengapa karena ada dasarnya dari dalil.
Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam” [sumber : https://goo.gl/a1N8Dk].
Inilah rincian yang dijelaskan para ulama kita.
Kembali ke judul, jika ada orang yang menyiram mobil dengan air kembang untuk mendapatkan keberkahan, apakah langsung dicap dengan syirik akbar dan pelakunya musyrik lagi kafir ?. Tentu tidak. Harus dicek dulu dan dipastikan, apakah itu masuk dalam klasifikasi syirik akbar ataukah ashghar. Yang jelas, baik diklasifikasikan syirik akbar atau ashghar, perbuatan itu diharamkan tanpa ada perselisihan. Itu dilihat dari dzat perbuatannya. Belum lagi dilihat dari pelakunya. Seandainya ia bodoh, tentu butuh untuk diajari. Seandainya perbuatannya diklasifikasikan syirik akbar, tentu butuh terpenuhi syarat-syaratnya untuk pengkafirannya.
Dakwah kita bukan konsentrasi pada pengkafiran, tapi menunjukkan ketauhidan yang benar dan lawannya (kesyirikan). Masyarakat lebih membutuhkan pengajaran dua hal itu daripada diajari cara mengkafirkan person-person muslim.
Jangan sampai besarnya semangat kita dalam mendakwahkan tauhid dan memerangi syirik di masyarakat, merubah orientasi cita-cita kita menjadi mufti gadungan yang ringan dalam takfir. Asal pegang koran atau gadget, diinventarisasi siapa yang akan dikafirkan hari ini. Tiada hari tanpa ngomongin takfir.
Takfir itu ada, akan tetapi ia bukan perkara yang ringan. Harus dilakukan oleh orang yang bertaqwa dan mempunyai ilmu memadai, bukan orang yang hobi game onlineatau play-station.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’].

Sarana Menuju Kesyirikan dan Kesyirikan

$
0
0
Mempelajari ta'shil tauhid dan syirik itu penting sehingga dapat membedakan dengan tepat mana syirik akbar dan mana syirik ashghar.
Sujud (menghadap) kepada kuburan sebagai misal. Dalam hadits disebutkan:
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
"Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya" [Diriwayatkan oleh Muslim].
Shalat - yang di dalamnya ada SUJUD - dengan menghadap kubur haram hukumnya. Namun apakah shalat dengan menghadap kubur itu syirik akbar ?. Jawabnya TIDAK, jika shalat yang ia lakukan hanya untuk Allah semata. Perbuatannya tersebut merupakan sarana yang dapat menghantarkan kepada syirik akbar, bukan syirik akbar itu sendiri.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullahberkata:
والسبب الذي من أجله نُهِي عن الصلاة في المقبرة في أصح قولي العلماء هو سَدُّ ذريعة الشرك، كما نُهِي عن الصلاة وقت طلوع الشمس، ووقت غروبها
"Dan sebab dilarangnya shalat di pekuburan menurut pendapat paling shahih dari dua pendapat di kalangan ulama adalah menutup sarana menuju kesyirikan, sebagaimana terlarangnya shalat pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari" [Minhaajus-Sunnah, 2/439].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimiin rahimahullahberkata:
والحكمة من ذلك أن الصلاة في المقبرة، أو إلى القبر ذريعة إلى الشرك، وما كان ذريعة إلى الشرك كان محرماً، لأن الشارع قد سد كل طريق يوصل إلى الشرك، والشيطان يجري من ابن أدم مجرى الدم، فيبدأ به أولاُ في الذرائع والوسائل، ثم يبلغ به الغايات، فلو أن أحداً من الناس صلى صلاة فريضة أو صلاة تطوع في مقبرة أو على قبر فصلاته غير صحيحة
"Dan hikmah dari hal itu bahwasannya shalat di pekuburan atau menghadap kubur merupakan sarana yang dapat menghantarkan kepada kesyirikan. Dan segala sesuatu yang menghantarkan kepada kesyirikan haram hukumnya, karena Allah menutup semua jalan yang menghantarkan kepada kesyirikan, sedangkan setan berjalan pada aliran darah anak Adam. Setan memulainya dengan sarana dan perantara (kesyirikan), hingga akhirnya sampai kepada tujuan akhirnya (kesyirikan yang sebenarnya). Seandainya ada seseorang yang melakukan shalat wajib atau shalat sunnah di pekuburan atau menghadap kubur, maka shalatnya tidak sah" [sumber : https://goo.gl/S59kgF].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
ألا ترى الصحابة من فرط حبهم للنبي صلى الله عليه وسلم قالوا: ألا نسجد لك؟ فقال: لا، فلو أذن لهم لسجدوا سجود إجلال وتوقير لا سجود عبادة كما سجد إخوة يوسف عليه السلام ليوسف، وكذلك القول في سجود المسلم لقبر النبي ﷺ على سبيل التعظيم والتبجيل لا يكفر به أصلا بل يكون عاصيا. فليعرف أن هذا منهي عنه وكذلك الصلاة إلى القبر
"Tidakkah engkau melihat shahabat yang sangat cintanya kepada Nabi , mereka berkata : 'Bolehkah kami sujud kepadamu ?'. Beliau menjawab : 'Tidak boleh'. Seandainya beliau mengizinkan mereka, niscaya mereka akan sujud dengan sujud penghormatan dan pemuliaan, bukan sujud ibadah, sebagaimana sujudnya saudara Yuusuf 'alaihis-salaam kepada Yuusuf. Dan begitu pula dalam masalah sujudnya seorang muslim kepada kubur Nabi dengan alasan pengagungan dan penghormatan, maka ia tidak dikafirkan pada asalnya. Akan tetapi itu (tetap) merupakan kemaksiatan. Maka hendaklah diketahui akan larangan ini, sebagaimana larangan shalat menghadap kuburan" [Mu'jamusy-Syuyyuukh, 1/55].
Jika shalat dan/atau sujudnya itu bertujuan untuk menyembah kepada orang yang ada di dalam kubur, maka ini syirik akbar.[1]
Al-Qarraafiy Al-Maalikiy rahimahullah berkata:
اتفق الناس على أن السجود للصنم على وجه التذلل والتعظيم له كفر ولو وقع مثل ذلك في حق الولد مع والده تعظيما له وتذللا أو في حق الأولياء والعلماء لم يكن كفرا
“Orang-orang bersepakat bahwa sujud kepada berhala dengan merendahkan diri dan pengagungan kepadanya adalah kufur (akbar). Dan seandainya sujud tersebut dilakukan seorang anak kepada orang tuanya sebagai pengagungan kepadanya dan perendahan diri, atau kepada para wali dan ulama, maka bukan kekufuran (akbar)[2]” [Al-Furuuq, 1/126].
Oleh karena itu, memutlakkan kekafiran sujud kepada selain Allah tanpa perincian merupakan pendapat yang lemah.
Contoh lain adalah minta izin kepada orang tua yang telah meninggal di kuburan karena akan menikah. Apakah ini syirik akbar dan pelakunya langsung dicap musyrik lagi kafir ? Sama seperti di atas, harus dirinci.
1.      Jika maksud orang tersebut adalah dalam rangka penghormatan dan wujud berbakti kepada orang tuanya dengan disertai keyakinan bahwa orang tuanya yang telah meninggal itu mendengar perkataan orang yang masih hidup, maka itu bukan syirik akbar. Seandainya sujud kepada manusia yang hidup atau yang telah mati di kubur mereka dalam rangka penghormatan tidak dikatagorikan ulama sebagai syirik akbar, tentu sekedar perkataan/izin menikah - yang itu lebih ringan daripada sujud - lebih utama untuk tidak dikatakan syirik akbar.
Bisa jadi izin itu hanya sekedar pemberitahuan saja sebagaimana jamak di masyarakat. Adapun permasalahan apakah mayit dapat mendengar perkataan orang yang masih hidup, maka ini menjadi perselisihan di kalangan ulama. Yang raajihwallaahu a’lam– mayyit tidak dapat mendengar perkataan orang yang masih hidup kecuali keadaan-keadaan tertentu yang ditetapkan dalam nash.[3] Diantara dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
إِنّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَىَ وَلاَ تُسْمِعُ الصّمّ الدّعَآءَ إِذَا وَلّوْاْ مُدْبِرِينَ
Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang” [QS. An-Naml : 80].
Perbuatan itu bid’ah, diharamkan, dan dapat menghantarkan kepada kesyirikan (akbar).
2.      Jika maksud orang tersebut dilandasi rasa khawatir akan tertimpa musibah dari Allah karena dianggap melakukan dosa, kedurhakaan, dan tidak berbakti kepada ayah-ibunya, maka ini juga bukan syirik akbar. Khawatir akan ditimpa musibah dari Allah karena dosa yang diperbuat pada asalnya diperbolehkan. Allah ta’ala berfirman :
وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa : 30].
Hanya saja, anggapan dosanya itu tidak berdasar karena orang tua yang telah meninggal terputus amalannya, tidak dapat mendengar orang yang masih hidup, dan tidak perlu dimintai izin atas segala sesuatu yang dilakukan oleh orang yang masih hidup. Justru apa yang dilakukannya merupakan bid’ah yang munkar dan sarana yang dapat menghantarkan kepada kesyirikan.
Perbuatan itu bisa masuk klasifikasi tathayyur apabila ada anggapan sial jika tidak izin dulu kepada orang tua yang telah meninggal. Anggapan sial ini karena bersandar pada sebab yang tidak ada hakekatnya sebagaimana tathayyur pengikut Fir’aun atas musibah yang menimpa mereka karena keberadaan Muusa ‘alaihis-salaam dan pengikutnya. Allah ta’ala berfirman:
Allah ta’ala berfirman:
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَٰذِهِ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ ۗ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini disebabkan (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” [QS. Al-A’raaf: 131].
Thiyarah sendiri adalah kesyirikan, sebagaimana sabda Nabi :
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan tidaklah diantara kami pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal (kepada-Nya)” [Diriwayatkan oleh Muslim].
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, sungguh ia telah berbuat kesyirikan”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa tebusannya?”. Beliau bersabda : “Hendaklah salah seorang diantara mereka mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Engkau” [Diriwayatkan oleh Ahmad; shahih].
Thiyarah sendiri adalah syirik ashghar, bukan syirik akbar.
3.      Jika izin tersebut dilakukan karena yang bersangkutan berkeyakinan orang tuanya yang telah meninggal lah yang berkuasa memberikan maslahat dan mudlarat dalam pernikahannya, maka ini syirik akbar.
Perbuatan haram yang dapat menghantarkan kepada kesyirikan harus tetap dicegah, karena itu akan menggiring manusia kepada syirik akbar. Meski syirik ashghar, bukan berarti ia kecil di mata Allah, karena ia tetap termasuk dosa besar. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” [QS. An Nisa’: 48].
Oleh karena itu, dalam berfatwa harus hati-hati. Mengeluarkan seseorang dari wilayah Islam harus berpikir 7 kali – bahkan lebih – yang dilandasi sikap wara’ dan ketelitian terhadap permasalahannya, karena Nabi bersabda:
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ وَمَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Tidak ada seorang lelakipun yang mengakui bapak kepada orang yang bukan bapaknya padahal ia tahu (kalau itu bukan bapaknya), kecuali dia telah kufur. Barangsiapa yang mengaku sesuatu yang bukan haknya, berarti dia tidak termasuk golongan kami dan hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka. Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dan Muslim].
Jangan kita menjadi badut yang ringan berfatwa takfir, yang fatwanya itu membahayakan hak kaum muslimin (darah, harta, dan kehormatannya).
Wallaahu a’lam.



[1]     Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
السُّجُودُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : سُجُودُ عِبَادَةٍ مَحْضَةٍ ، وَسُجُودُ تَشْرِيفٍ ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَلَا يَكُونُ إلَّا لِلَّهِ
“Sujud ada dua jenis: sujud ibadah mahdlah, dan sujud untuk pemuliaan/penghormatan. Adapun jenis pertama, maka tidak boleh dilakukan kecuali hanya untuk Allah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/361].
[2]     Bukan berarti boleh, karena sujud kepada selain Allah apapun bentuknya tetap diharamkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
أجمع المسلمون على أن السجود لغير الله محرم
Kaum muslimin sepakat bahwa sujud kepada selain Allah diharamkan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/358].
[3]     Selengkapnya silakan baca artikel : Orang Mati Tidak Bisa Mendengar.



Kafir Secara Lahir dan Batin

$
0
0
Tanya : Apakah benar jika kita melihat kekafiran atau kesyirikan (akbar), kita menghukumi pelakunya dengan kekufuran lahir tanpa perlu iqaamatul-hujjah. Adapun iqaamatul-hujjahhanya untuk memastikan yang bersangkutan kufur secara batin. Jika ia menolak, maka ia kufur secara lahir dan batin.
Jawab : Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasululillah wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi wa man waalah, amma ba’d :
Madzhab Ahlus-Sunnah mensyaratkan iqaamatul-hujjah (penegakan hujjah) terlebih dahulu sebelum pengkafiran terhadap individu tertentu (mu'ayyan). Iqaamatul-hujjah adalah menyampaikan dalil kepada orang yang belum sampai hujjah itu kepadanya atau samar baginya, serta menjelaskan dan memahamkannya[1]tentang kebenaran dan sekaligus kebatilan yang mereka lakukan. Ini adalah prinsip umum dalam pengkafiran sebagaimana ditegaskan para ulama kita dari zaman ke zaman.
Asy-Syaafi’iy rahimahullah (w. 204 H) berkata:
فَإِنْ خَالَفَ ذَلِكَ بَعْدَ ثُبُوتِ الْحُجَّةِ عَلَيْهِ فَهُوَ كَافِرٌ، فَأَمَّا قَبْلَ ثُبُوتِ الْحُجَّةِ فَمَعْذُورٌ بِالْجَهْلِ، لِأَنَّ عِلْمَ ذَلِكَ لَا يُدْرَكُ بِالْعَقْلِ، وَلَا بِالرُّؤْيَةِ وَالْفِكْرِ، وَلَا نُكَفِّرُ بِالْجَهْلِ بِهَا أَحَدًا، إِلَّا بَعْدَ انْتِهَاءِ الْخَبَرِ إِلَيْهِ بِهَا
“Apabila ia (pelaku kekufuran) menyelisihi hal itu setelah tegaknya hujjah padanya, maka ia kafir. Adapun jika penyelisihannya itu sebelum tegak hujjah padanya, ia diberikan ‘udzur dengan sebab kejahilannya, karena ilmu tentang hal itu tidaklah dicapai dengan akal, pandangan, dan pemikiran. Kami tidak mengkafirkan seorangpun dengan sebab kejahilan terhadapnya, kecuali setelah sampainya khabar tersebut kepadanya” [Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw oleh Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy, no. 93 hal. 181].
Ath-Thabariy rahimahullah (w. 310 H) berkata:
وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ قَامَتْ عَلَيْهِ حُجَّةُ اللَّهِ، تَعَالَى ذِكْرُهُ، بِوَحْدَانِيَّتِهِ وَشَرَائِعِهِ، فَإِنَّهُ غَيْرُ خَارِجٍ، مَعَ قِيَامِ الْحُجَّةِ عَلَيْهِ بِهَا، مِنَ الإِيمَانِ أَوِ الْكُفْرِ
“Begitu pula setiap orang yang telah tegak padanya hujjah Allah ta’ala tentang ke-Esaan-Nya dan syari’at-syari’at-Nya, maka ia tidaklah keluar - bersamaannya dengan tegaknya hujjah tersebut terhadapnya - dari keimanan atau kekufuran[2]” [Tahdziibul-Aatsaar no. 965].
Di lain tempat beliau rahimahullah berkata:
فإن هذه المعاني التي وصفت ونظائرها مما وصف الله عز وجل بها نفسه أو وصف بها رسوله ﷺ مما لا تدرك حقيقة علمه بالفكر والروية، ولا نكفر بالجهل بها أحداً إلا بعد انتهائها إليه
“Sesungguhnya makna-makna yang telah aku sebutkan ini dan selainnya dari apa saja yang telah Allah ‘azza wa jalla sifatkan diri-Nya dengannya atau disifatkan oleh Rasul-Nya dengannya, yang hakekat ilmunya tidak dapat dicapai dengan akal pikiran maupun pengamatan; maka kami tidak mengkafirkan seorangpun yang tidak mengetahuinya kecuali setelah hal itu sampai kepadanya” [At-Tabshiir fii Ma’aalimid-Diin, hal. 140].
Ibnu Hazm rahimahullah (w. 456 H) berkata:
فَقُلْنَا: عُذْرًا بِجَهْلِهِمَا كَمَا يُعْذَرُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَأَخْطَأَ فِيهِ، وَبَدَّلَهُ، وَزَادَ، وَنَقَصَ وَهُوَ يَظُنُّ أَنَّهُ عَلَى صَوَابٍ، وَأَمَّا مَنْ قَامَتِ الْحُجَّةُ عَلَيْهِ، وَتَمَادَى مُعَانِدًا لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَهُوَ كَافِرٌ بِلَا شَكٍّ
“Kami katakan : Diberikan ‘udzur dikarenakan kejahilan keduanya sebagaimana diberikan ‘udzur orang yang membaca Al-Qur’an lalu ia keliru dengan mengubahnya, menambahnya, dan menguranginya dalam keadaan ia menyangka di atas kebenaran. Adapun orang yang telah tegak padanya hujjah, dan kemudian ia tetap melakukannya dengan penentangan terhadap Rasulullah , maka ia kafir tanpa keraguan” [Al-Muhallaa, 7/70].
Di lain tempat beliau rahimahullah mengatakan:
وَكَذَلِكَ من قَالَ أَن ربه جسم فَإِنَّهُ إِن كَانَ جَاهِلا أَو متأوَلَا فَهُوَ مَعْذُور لَا شَيْء عَلَيْهِ وَيجب تَعْلِيمه فَإِذا قَامَت عَلَيْهِ الْحجَّة من الْقُرْآن وَالسّنَن فَخَالف مَا فيهمَا عناداً فَهُوَ كَافِر يحكم عَلَيْهِ بِحكم الْمُرْتَد
“Begitu pula dengan orang yang mengatakan bahwa Rabbnya adalah jism (memiliki badan). Apabila jahil atau keliru ta’wil, maka ia diberikan ‘udzur dan tidak ada dosa padanya. Wajib untuk mengajarinya. Apabila telah tegak padanya hujjah dari Al-Qur’an dan as-sunnah, lalu ia menyelisihinya dengan penentangan, maka ia kafir. Ia dihukumi dengan hukum orang murtad” [Al-Fashl fil-Milaal wal-Ahwaa’ wan-Nihal, 3/141].
Ibnul-‘Arabiy Al-Malikiy rahimahullah (w. 543 H) berkata:
فالجاهل والمخطئ من هذه الأمة ولو عمل من الكفر والشرك ما يكون صاحبه مشركاً أو كافراً، فإنه يعذر بالجهل والخطأ حتى يتبين له الحجة التي يكفر تاركها بياناً واضحاً ما يلتبس على مثله، وينكر ما هو معلوم بالضرورة من دين الإسلام، مما أجمعوا عليه إجماعاً قطعياً، يعرفه من المسلمين من غير نظر وتأمل
“Orang yang jaahil dan keliru dari umat ini, meskipun melakukan kekufuran dan kesyirikan, maka pelakunya tidaklah menjadi kafir atau musyrik, karena ia diberikan ‘udzur atas kejahilan dan kekeliruannya tersebut. Hal ini berlaku hingga jelas baginya hujjah secara gamblang yang mengkafirkan orang yang meninggalkannya tanpa ada kesamaran bagi orang (lain) yang semisal dengan ia. Atau ia mengingkari sesuatu yang diketahui secara jelas dalam agama Islam, telah disepakati secara pasti (oleh para ulama), dan diketahui oleh kaum muslimin tanpa melalui proses penelitian dan perenungan” [Tafsiir Al-Qaasimiy, 5/1307-1308].
Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah (w. 620 H) berkata:
وكذلك كلُّ جاهل بشيء يُمكن أن يجهله، لا يُحكم بكفره حتى يعرف ذلك وتزول عنه الشبهة ويستحله بعد ذلك
“Dan begitu pula setiap orang yang jahil (tidak mengetahui) tentang sesuatu yang dimungkinkan baginya untuk tidak mengetahuinya, maka tidak dihukumi kafir hingga ia mengetahui hal tersebut dan hilangnya darinya syubhat lalu ia menghalalkannya setelahnya” [Al-Mughniy, 12/277].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (w. 728 H) berkata:
وليس لأحد ان يكفر أحدا من المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة
“Dan tidak boleh bagi seorangpun mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/466].
وإذا عرف هذا فتكفير المعين من هؤلاء الجهال وأمثالهم بحيث يحكم عليه بأنه من الكفار لا يجوز الاقدام عليه الا بعد ان تقوم على أحده الحجة الرسالية التي يتبين بها أنهم مخالفون للرسل وان كانت هذه المقالة لا ريب انها كفر
“Apabila telah diketahui hal ini, maka pengkafiran secara mu’ayyan(individu/personal) terhadap orang-orang bodoh tersebut dan yang semisal dengan mereka - dengan penghukuman bahwa mereka itu kafir - tidak diperbolehkan kecuali setelah tegak padanya hujjah risaaliyyah yang menjelaskan bahwa mereka menyelisihi Rasul; meskipun perkataan tersebut tidak diragukan lagi kekufurannya” [idem, 12/500].
Adz-Dzahabiy rahimahullah (748 H) memberi kesaksian atas madzhab Ibnu Taimiyyah dalam pengkafiran (takfiir)dengan perkataannya:
ومذهبه توسعة العذر للخلق، ولا يكفر أحد إلا بَعْد قيام الحجة عَلَيْهِ.
“Dan madzhabnya (Ibnu Taimiyyah) adalah luas dalam pemberian ‘udzur kepada makhluk. Beliau tidak mengkafirkan seorangpun kecuali setelah ditegakkan hujjah kepadanya” [Adz-Dzail ‘alaa Thabaqaat Al-Hanaabilah, 4/506].[3]
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah (w. 1206 H) berkata:
وكذلك تمويهه على الطغام بأن ابن عبد الوهاب يقول: الذي ما يدخل تحت طاعتي كافر، ونقول: سبحانك هذا بهتان عظيم! بل نشهد الله على ما يعلمه من قلوبنا، بأن من عمل بالتوحيد، وتبرأ من الشرك وأهله، فهو المسلم في أي زمان وأي مكان. وإنما نكفّر مَن أشرك بالله في إلهيته، بعد ما نبين له الحجة على بطلان الشرك
“Begitu juga distorsi yang mereka lakukan terhadap masyarakat awam bahwasannya Ibnu ‘Abdil-Wahhaab mengatakan : ‘Orang yang tidak berada di bawah ketaatanku, maka kafir’. Subhaanallaah, ini adalah kedustaan yang sangat besar. Akan tetapi kami bersaksi kepada Allah terhadap apa yang Ia ketahui pada perkataan kami bahwasannya siapa saja yang beramal ketauhidan serta berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, maka dia adalah muslim kapapunpun dan dimanapun. Kami hanyalah mengkafirkan orang berbuat syirik kepada Allah dalam ilahiyyah-Nya setelah kami jelaskan padanya hujjah atas batilnya kesyirikan” [Ar-Risaalah Asy-Syakhshiyyah, hal. 60].
Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy rahimahullah (w. 1420 H) berkata:
لكن الحقيقة التكفير الذي يذكرونه مقرونا بمخالفة الإجماع هو الإجماع اليقيني الذي يعبر عنه علماء الأصول بمخالفة ما ثبت من الدين بالضرورة فهذا هو الذي يستلزم التكفير بعد إقامة الحجة.
وعلى هذا النوع من الإجماع ـ الإجماع اليقيني ـ يطبق قوله تعالى :  وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Akan tetapi hakekat pengkafiran (takfir) yang diakibatkan dari penyelisihan terhadap ijmaa’, (maksudnya) adalah ijmaa’ yang yakin/pasti (ijmaa’ yaqiiniy) yang dinyatakan ulama ushul sebagai penyelisihan terhadap perkara agama yang telah jelas/pasti (al-ma’luum minad-din bidl-dlaruurah - Abul-Jauzaa’). Maka ijmaa’ inilah yang mengkonsekuensikan pengkafiran setelah ditegakkannya hujjah.
Berdasarkan atas jenis ijmaa’ ini – yaitu ijmaa’ yang yakin (ijmaa’ yaqiiniy) – diterapkan firman Allah ta’ala : ‘Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali’ (QS. An-Nisaa’ : 115)” [Fataawaa Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy fil-Madiinah wal-‘Imaaraat, hal. 45].
نعم، نقل كلام الصوفية ولا يمكن أن يفهم منه إلا أنه يقول بوحدة الوجود، لكن نحن من قاعدتنا -وأنت من أعرف الناس بذلك لأنك تتابع جلساتي- لا نكفر إنساناً ولو وقع في الكفر إلا بعد إقامة الحجة
“Ya, ia (Sayyid Quthb) menukil perkataan Shuufiyyah yang tidak mungkin kita pahami darinya kecuali dirinya mengatakan wihdatul-wujuud. Akan kami dengan prinsip kami – dan engkau termasuk orang yang paling mengenal hal tersebut karena engkau mengikuti majelis-majelis pengajianku – bahwa kami tidak mengkafirkan seseorang meskipun ia terjatuh dalam kekufuran, kecuali setelah ditegakkannya hujjah” [Kaset berjudul Mafaahimu Yajibu an Tushahhah].
Ini merupakan bentuk keadilan syari’at Allah ta’ala. Allah ta’alatidak akan memberikan hukuman terhadap seseorang hingga ia mengetahui ilmunya dari apa yang ia langgar dari ketentuan/syari’at-Nya. Seseorang tidak hilang status keislamannya hanya dengan tuduhan kekafiran hingga tegak padanya hujjah.
Dalilnya pensyari’atan penegakan hujjah (sebelum takfir) sangatlah banyak, diantaranya:
1.      Firman Allah ta’ala:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Israa’ : 15].
Tentang ayat ini Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأن حكم الوعيد على الكفر لا يثبت في حق الشخص المعين حتى تقوم عليه حجة الله التي بعث بها رسله كما قال تعالى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“Bahwasannya hukum peringatan atas kekafiran tidaklah ditetapkan terhadap diri seseorang hingga tegak padanya hujjah Allah yang Ia mengutus dengannya para Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15)” [Bughyatul-Murtaad, hal. 311].
ومن خالف ما ثبت بالكتاب والسنة فإنه يكون إما كافرا وإما فاسقا وإما عاصيا إلا أن يكون مؤمنا مجتهدا مخطئا فيثاب على إجتهاده ويغفر له خطؤه وكذلك إن كان لم يبلغه العلم الذى تقوم عليه به الحجة فإن الله يقول وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا وأما إذا قامت عليه الحجة الثابتة بالكتاب والسنة فخالفها فإنه يعاقب بحسب ذلك إما بالقتل وإما بدونه والله أعلم
“Dan barangsiapa yang menyelisihi apa yang telah tetap dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ia statusnya boleh jadi kafir, fasiq, atau orang yang bermaksiat. Kecuali jika dirinya adalah seorang mukmin mujtahid yang keliru (dalam ijtihadnya), maka ia diberikan pahala dalam ijtihad-nya dan diampuni kesalahannya tersebut. Begitu pula jika belum sampai kepadanya ilmu yang dengannya ditegakkan hujjah, maka Allah ta’ala berfirman : ‘‘Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15). Adapun jika telah tegak padanya hujjah yang tsaabit dari Al-Qur’an dan As-Sunnah lalu ia menyelisihinya, maka ia dihukum sesuai kadar penyelisihannya. Bisa jadi ia dibunuh, bisa jadi hukumannya di bawah itu, wallaahu a’lam” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 1/113].
2.      Firman Allah ta’ala:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi” [QS. At-Taubah : 115].
Al-Bukhaariy rahimahullah berdalil dengan ayat ini pada satu bab dalam kitab Shahiih-nya berjudul:
بَاب قَتْلِ الْخَوَارِجِ وَالْمُلْحِدِينَ بَعْدَ إِقَامَةِ الْحُجَّةِ عَلَيْهِمْ
“Bab : Pembunuhan orang-orang Khawaarij setelah ditegakkannya hujjah terhadap mereka” [Shahiih Al-Bukhaariy, 4/280].
Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berhujjah dengan ayat ini dalam perkataannya:
ومن تعمد خلاف أصل من هَذِهِ الأصول وكان جاهلا لم يقصد إليه من طريق العناد فإنه لا يكفر لأنه لم يقصد اختيار الكفر ولا رضي به وقد بلغ جهده فلم يقع له غير ذَلِكَ، وقد أعلم الله سبحانه أنه لا يؤاخذ إلا بعد البيان، ولا يعاقب إلا بعد الإنذار فقال تَعَالَى: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ.
“Dan barangsiapa sengaja menyelisihi salah satu pokok dari pokok-pokok (syari’at) ini dalam keadaan jahil tanpa ada maksud penentangan, maka ia tidak dikafirkan. Hal itu dikarenakan ia tidak bermaksud sengaja melakukan kekafiran dan tidak pula ridla dengannya. Dan ia telah mengerahkan kemampuannya namun tidak ia dapatkan selain dari itu (kekeliruannya). Allah ta’ala telah memberitahukan bahwasannya ia tidak dihukum kecuali setelah datang penjelasan dan peringatan. Allah ta’ala berfirman : ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka’ (QS. At-Taubah : 115)” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 2/511].
3.      Firman Allah ta’ala:
رُسُلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” [QS. An-Nisaa’ : 165].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
لكن من الناس من يكون جاهلا ببعض هذه الأحكام جهلا يعذر به فلا يحكم بكفر احد حتى تقوم عليه الحجة من جهة بلاغ الرسالة كما قال تعالى لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وقال تعالى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً ولهذا لو أسلم رجل ولم يعلم ان الصلاة واجبة عليه أو يعلم ان الخمر يحرم لم يكفر بعدم اعتقاد ايجاب هذا وتحريم هذا بل ولم يعاقب حتى تبلغه الحجة النبوية
“Akan tetapi ada di antara manusia yang jaahil (tidak mengetahui) terhadap sebagian hukum-hukum ini dimana kejahilannya ini diberikan ‘udzur. Maka tidak boleh seseorang dihukumi kafir hingga tegak padanya hujjah dari sisi sampainya risalah kepadanya sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu’ (QS. An-Nisaa’ : 165). Dan Allah ta’ala juga berfirman : ‘Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/406].
4.      Firman Allah ta’ala:
ذَلِكَ أَنْ لَمْ يَكُنْ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا غَافِلُونَ
“Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah”[QS. Al-An’aam : 131].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
أى هذا بهذا السبب فعلم أنه لا يعذب من كان غافلا ما لم يأته نذير ودل أيضا على أن ذلك ظلم تنزه سبحانه عنه
“Yaitu, dengan sebab ini maka diketahui bahwa Allah tidak mengadzab orang yang lengah selama tidak datang kepadanya orang yang memberi peringatan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa kedhaliman ditiadakan dari Allah subhaanahu wa ta’ala” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 19/215-216].
5.      Hadits Sa’d bin ‘Ubaadah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
لَوْ رَأَيْتُ رَجُلًا مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرُ مُصْفِحٍ عَنْهُ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: "أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ فَوَاللَّهِ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي، مِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ اللَّهِ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا شَخْصَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، وَلَا شَخْصَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ بَعَثَ اللَّهُ الْمُرْسَلِينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا شَخْصَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمِدْحَةُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ وَعَدَ اللَّهُ الْجَنَّةَ "
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki Bersama istriku, sungguh akan aku tebas ia dengan pedang. Lalu hal itu sampai kepada Rasulullah , maka beliau bersabda: “Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d?. Maka demi Allah, sungguh aku lebih cemburu daripadanya dan Allah lebih cemburu daripada aku. Dikarenakan kecemburuan Allah itulah, maka Allah mengharamkan perbuatan keji (zina) baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Tidak ada seorangpun yang lebih menyukai adanya ‘udzur (alasan) daripada Allah. Oleh karena itulah, Allah mengutus (para Rasul) yang memberikan kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada seorangpun yang lebih menyukai pujian daripada Allah, dan oleh karena itulah Allah menjanjikan surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7416 dan Muslim no. 1499].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فَالْعُذْر هُنَا بِمَعْنَى الْإِعْذَار وَالْإِنْذَار قَبْل أَخْذهمْ بِالْعُقُوبَةِ ، وَلِهَذَا بَعَثَ الْمُرْسَلِينَ كَمَا قَالَ سُبْحَانه وَتَعَالَى : {وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَث رَسُولًا}
“’Udzur di sini bermakna pemberian maaf dan peringatan sebelum memberikan mereka hukuman. Oleh karenanya, Allah ta’ala mengutus para Rasul sebagaimana firman-Nya subhaanahu wa ta’ala : ‘: ‘Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15)” [Syarh Shahiih Muslim, 10/132].
6.      Dan yang lainnya.
Apabila telah tegak hujjah pada seseorang yang melakukan kekufuran (akbar), maka kafir.
Iqaamatul-hujjah selain bertujuan memastikan syarat ilmu (yang menafikkan kejahilan) dalam pengkafiran individu/personal berupa penyampaian hujjah (plus pemahamannya), juga untuk memastikan syarat lain, yaitu al-qashd (kesengajaan/niat) yang menafikkan al-khatha’ (kekeliruan)[4]dan al-ikraah (keterpaksaan)[5].
Ada beberapa permasalahan kekufuran (akbar) yang tidak menerima udzur kejahilan seperti menghina/mencaci Allah dan Rasul-Nya, serta agama Islam, sehingga siapapun yang beralasan tidak tahu (jahil) tidak diterima ‘udzurnya. Namun, jika ia melakukannya karena udzur tidak sengaja atau keliru, diterima udzurnya dan tidak dikafirkan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya : “Wahai syaikh, semoga Allah menjaga Anda. Tentang masalah ‘udzur kejahilan, apakah itu juga termasuk permasalahan menghina/mencaci agama dan Rabb (Allah) ?
Syaikh : “Masalah apa ?”.
Penanya : “Masalah menghina agama dan menghina Rabb”.
Syaikh : “Menghina apa ?”
Penanya : “Menghina agama dan menghina Rabb”.
Syaikh : “Menghina siapa ?”.
Penanya : “Menghina Rabb”
Syaikh : “Apakah ada seorangpun yang jahil/tidak mengetahui bahwa Rabb wajib untuk diagungkan ?. Aku bertanya kepadamu. Aku bertanya kepadamu, dan katakan ya atau tidak”.
Penanya : “Tidak. Tidak seorangpun”.
Syaikh : “Tidak ada seorangpun yang jahil/tidak mengetahui bahwa Rabb memiliki hak untuk diagungkan dan dihormati/dimuliakan, sehingga tidak mungkin seorangpun menghina-Nya. Begitu juga syari’at. Maka ini adalah permasalahan yang wajib (aksiomatik) dalam pikiran, dan tidak ada wujudnya dalam kenyataan (bagi seorang muslim).
Setiap orang yang menghina Allah, maka ia kafir murtad meskipun ia sekedar bersendau-gurau[6]. Wajib untuk dibunuh, wajib dihadapkan kepada waliyul-amri, dan tidak terbebas dari tanggung jawab kecuali dengan melakukan hal tersebut” [sumber : http://ia600303.us.archive.org/26/items/elkofr/binotaimeen.mp3].
Kemudian di lain kesempatan, beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang menghina/mencaci agama dalam keadaan marah. Beliau rahimahullah menjawab:
إن الإنسان إذا تاب من أي ذنب – ولو كان ذلك سب الدين – فإن توبته تقبل إذا استوفت الشروط التي ذكرناها, ولكن ليعلم أن الكلمة قد تكون كفرا وردة ولكن المتكلم بها قد لا يكفر بها لوجود مانع يمنع من الحكم بكفره, فهذا الرجل الذي ذكر عن نفسه أنه سب الدين في حال الغضب, نقول له: إن كان غضبك شديدا بحيث لا تدري ما تقول, ولا تدري أنت حينئذ أأنت في سماء أم في أرض, وتكلمت بكلام لا تستحضره ولا تعرفه, فإن هذا الكلام لا حكم له, ولا يحكم عليك بالردة؛ لأنه كلام حصل عن غير إرادة وقصد, وكل كلام حصل عن غير إرادة وقصد فإن الله سبحانه وتعالى لا يؤاخذ به. يقول الله تعالى في الأيمان: (لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ) {سورة المائدة, الآية: 89} فإذا كان هذا المتكلم بكلمة الكفر في غضب شديد لا يدري ما يقول, ولا يعلم ما خرج منه فإنه لا حكم لكلامه, ولا يحكم بردته حينئذ
“Sesungguhnya seseorang apabila bertaubat dari dosa apapun – meskipun dosa berupa menghina/mencaci agama - , maka taubatnya diterima apabila memenuhi syarat-syarat yang telah kami sebutkan. Akan tetapi mesti diketahui bahwa suatu kalimat kadang merupakan kekufuran dan kemurtadan, namun orang yang mengatakannya kadang tidak dikafirkan dengannya karena adanya penghalang yang menghalangi penghukuman kekafirannya. Orang ini yang disebutkan bahwa dirinya telah menghina agama dalam keadaan marah, kami katakan kepadanya : ‘Apabila kemarahanmu amat sangat sehingga engkau tidak tahu apa yang engkau katakan, tidak mengetahui apakah waktu itu engkau sedang berada di langit ataukah di bumi, lalu engkau mengatakan satu kalimat yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau ketahui; maka perkataan ini tidak ada hukumnya. Tidak pula engkau dihukumi dengan kemurtadan, karena perkataan tersebut keluar bukan karena keinginan dan kesengajaan. Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala tidak memberikan hukuman dengannya. Allah ta’ala berfirman berkaitan dengan sumpah : ‘Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja’ (QS. Al-Maaidah : 89). Maka apabila orang yang mengatakan kalimat kekufuran dalam keadaan amat sangat marah sehingga ia tidak tahu apa yang ia katakan, maka tidak ada hukum bagi perkataannya, dan tidak pula dihukumi dengan kemurtadan dalam hal tersebut” [Fataawaa ‘Ulamaa Al-Baladil-Haraam, hal. 752].[7]
Orang yang menafikkan persyaratan iqaamatul-hujjah dan langsung ‘tancap gas’ dalam pengkafiran individu/personal, maka dirinya telah menyalahi prinsip Ahlus-Sunnah.
Ini pertama.
Kedua, status kekafiran seseorang – jika ia divonis kafir (murtad) karena melakukan perbuatan kekufuran akbar – adalah kafir secara lahir dan batin. Oleh karena itu, perkataan yang Anda sebutkan:
Adapun iqaamatul-hujjah hanya untuk memastikan yang bersangkutan kufur secara batin. Jika ia menolak, maka ia kufur secara lahir dan batin’.
mengkonsekuensikan adanya status seseorang kafir secara lahir (karena dihukumi secara lahir dari perbuatan kufurnya), namun belum kafir secara batin (karena ‘dianggap’  hujjah belum ditegakkan padanya). Atau bisa jadi (kemungkinan) batinnya beriman, meskipun ia kafir secara lahir. Ini musykil.
Kekufuran lahir merupakan dalil atas kekufuran batin. Dengan kata lain, barangsiapa yang melakukan kekufuran yang ia divonis kafir (murtad) karenanya, maka dirinya kafir secara lahir dan batin[8]. Memisahkan kekafiran lahir dan kekafiran batin dalam takfir merupakan diantara ciri khas kelompok Murji’ah.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فهؤلاء القائلون بقول جهم والصالحي قد صرحوا بأن سب الله ورسوله والتكلم بالتثليث وكل كلمة من كلام الكفر ليس هو كفرا في الباطن، ولكنه دليل في الظاهر على الكفر، ويجوز مع هذا أن يكون هذا السابُّ الشاتم في الباطن عارفا بالله موحدا له مؤمنا به
“Orang-orang yang mengatakan dengan perkataan Jahm dan Ash-Shaalihiy telah menegaskan bahwa menghina Allah dan Rasul-Nya, serta mengucapkan perkataan tatsliits(Trinitas) dan semua perkataan kekufuran, bukan kekufuran dalam batin, namun dalil (petunjuk) dalam lahir akan kekufuran. Maka diperbolehkan dalam hal ini (untuk mengatakan) bahwa orang yang menghina dan mencaci (Allah dan Rasul-Nya) dalam batinnya adalah seorang yang mengenal Allah, mentauhidkan-Nya, dan beriman kepada-Nya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/557].
فإنا نعلم أن من سب الله ورسوله طوعا بغير كره ، بل من تكلم بكلمات الكفر طائعا غير مكره ، ومن استهزأ بالله وآياته ورسوله فهو كافر باطنا وظاهرا ، وإن من قال : إن مثل هذا قد يكون في الباطن مؤمنا بالله وإنما هو كافر في الظاهر ، فإنه قال قولا معلوم الفساد بالضرورة من الدين
“Sesungguhnya kami mengetahui bahwa barangsiapa menghina/mencaci Allah dan Rasul-Nya secara sukarela tanpa paksaan - bahkan yang berbicara dengan kalimat-kalimat kekufuran secara sukarela tanpa paksaan -, serta mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya; maka ia kafir secara lahir dan batin. Dan orang yang mengatakan : 'Sesungguhnya orang semisal ini kadang dalam batinnya beriman kepada Allah, ia hanyalah kafir dalam lahirnya saja'; maka ia telah mengatakan satu perkataan yang diketahui dalam agama kerusakannya dengan jelas/pasti” [idem, 7/557-558].
ولهذا تنازع العلماء فى تكفير من يترك شيئا من هذه الفرائض الأربع بعد الاقرار بوجوبها فأما الشهادتان اذا لم يتكلم بهما مع القدرة فهو كافر بإتفاق المسلمين وهو كافر باطنا وظاهرا عند سلف الأمة وائمتها وجماهير علمائها وذهبت طائفة من المرجئة وهم جهمية المرجئة كجهم والصالحى واتباعهما الى أنه إذا كان مصدقا بقلبه كان كافرا فى الظاهر دون الباطن وقد تقدم التنبيه على أصل هذا القول وهو قول مبتدع فى الإسلام لم يقله أحد من الأئمة
“Oleh karenanya, para ulama berbeda pendapat dalam pengkafiran orang yang meninggalkan satu perkara dari empat kewajiban ini (rukun Islam) setelah pengakuan tentang kewajibannya. Adapun dua kalimat syahadat, apabila ada orang yang tidak mengucapkannya padahal mampu, maka ia kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Ia kafir secara lahir dan batin menurut salaf umat, para imamnya, serta jumhur ulama. Satu kelompok dari kalangan Murji’ah – mereka itu adalah Jahmiyyah Murji’ah seperti Jahm, Ash-Shaalihiy, dan pengikutnya - berpendapat yang bersangkutan membenarkan dalam hatinya, maka ia hanya kafir dalam lahirnya saja tanpa batinnya. Telah berlalu peringatan tentang asal perkataan ini, yaitu perkataan yang diada-adakan dalam Islam yang tidak pernah dikatakan oleh seorangpun dari para imam” [idem, 7/609].
فمن قال بلسانه كلمة الكفر من غير حاجة عامدا لها عالما بأنها كلمة كفر [ فإنه يكفر بذلك ظاهرا و باطنا و لأنا لا نجوز أن يقال : إنه في الباطن يجوز أن يكون مؤمنا و من قال ذلك فقد مرق من الإسلام قال سبحانه : { مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ } [ النحل : 106 ]
“Barangsiapa berkata dengan lisannya kalimat kekufuran tanpa ada hajat (kebutuhan yang syar’iy) secara sengaja dan tahu bahwa itu adalah kalimat kekufuran, maka ia dikafirkan dengannya secara lahir dan batin. Dan kita tidak boleh mengatakan : ‘Sesungguhnya ia dalam batin boleh jadi seorang yang beriman’. Barangsiapa yang mengatakan hal itu, sungguh ia telah keluar dari agama. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman : ‘Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar’ (QS. An-Nahl : 106)” [Ash-Shaarimul-Masluul. Hal. 523].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata saat mengomentari hadits tentang ‘hati’[9]:
كما قال أئمة أهل الحديث قول وعمل قول باطن وظاهر وعمل باطن وظاهر والظاهر تابع للباطن لازم له متى صلح الباطن صلح الظاهر وإذا فسد فسد ولهذا قال من قال من الصحابة عن المصلى العابث لو خشع قلب هذا لخشعت جوارحه
“….. Sebagaimana dikatakan para imam ahli hadits : (Iman) adalah perkataan dan perbuatan. Perkataan lahir dan batin, serta perbuatan lahir dan batin. Yang lahir mengikuti yang batin dan merupakan konsekuensi baginya. Ketika batin baik, maka baik pula yang lahir. Begitu juga apabila batin rusak, maka rusak pula yang lahir. Oleh karena itu salah seorang shahabat berkata tentang orang yang main-main dalam shalatnya : ‘Seandainya hati orang ini khusyu’, niscaya khusyu’ pula anggota badannya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/187].[10]
Jadi, antara antara yang lahir dan yang batin saling terkait sebagaimana firman Allah ta’ala:
ولَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ والنَّبِيِّ ومَا أُنزِلَ إلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ
“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong” [QS. Al-Maaidah : 81].
Dikarenakan mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dalam hatinya, maka secara lahir menjadikan mereka mengambil orang-orang musyrik sebagai penolong. Sebaliknya, perbuatan lahir mereka mengambil orang-orang musyrik sebagai penolong sebagai dalil ketiadaan iman mereka dalam hati terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Kesimpulannya :
1.      Pengkafiran (takfiir) dijatuhkan setelah proses iqaamatul-hujjah;
2.      Seseorang yang melakukan kekafiran (akbar) dan ia dihukumi kafir dengannya, maka ia kafir secara lahir dan batin.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga dapat menjawab dan ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 28 Sya’ban 1438].
[Bahan bacaan : Mudzakarah At-Takfiir wa Dlawaabithuhu oleh Asy-Syaikh Prof. Dr. Muhammad bin ‘Umar Bazmuul, Syarh Alfaadhis-Salaf wa Naqdlu Alfaadhil-Khalaf fii Haqiiqatil-Iimaan oleh Dr. Ahmad bin Shaalih Az-Zahraaniy, Ar-Raddul-Burhaaniy oleh Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy, dan beberapa artikel di internet].




[1]     Silakan baca artikel : Syarat Pemahaman dalam Iqaamatul-Hujjah.
[2]     Maksudnya, setelah tegak hujjah seseorang hanya ada dua status : beriman jika ia menerima hujjah tersebut atau kafir jika menolaknya.
[3]     Adz-Dzahabiy menyifati Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah sebagai orang yang sangat berhati-hati dalam masalah pengkafiran individu. Ia (Adz-Dzahabiy) rahimahullah berkata:
وكذا كان شيخنا ابن تيمية في أواخر أيامه يقول: أنا لا أكفر [ أحدا ] من الامة، ويقول: قال النبي صلى الله عليه وسلم: "لا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن "فمن لازم الصلوات بوضوء فهو مسلم.
“Dan guru kami, Ibnu Taimiyyah, pada hari-hari terakhir dalam kehidupannya (menjelang wafat) berkata : ‘Aku tidak mengkafirkan seorangpun dari umat (Islam)’. Dan beliau berkata : Nabi bersabda :’Tidak ada orang yang menjaga wudlunya kecuali orang yang beriman’. Maka barangsiapa yang menetapi/menjaga shalat-shalatnya dengan berwudlu, maka ia muslim” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/88].
[4]     Dalilnya adalah sabda Nabi :
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
“Allah jauh lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya daripada kegembiraan salah seorang diantara kalian yang berada di atas hewan tunggangannya di tanah tandus (padang pasir), lalu hewan tunggangannya itu lepas padahal ia membawa bekal makanan dan minumnya. Maka ia putus asa karenanya, lalu ia pun mendatangi suatu pohon untuk istirahat bersandar di bawah naungannya. Sungguh, ia telah berputus asa untuk menemukan hewan tunggangannya itu. Ketika ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba hewan tunggangannya berdiri di hadapannya. Maka ia segera memegang tali kekangnya dan berkata karena terlalu gembira : ‘Ya Allah, Engkau hambaku dan aku adalah Rabbmu’. Ia keliru ucap karena terlalu gembira”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2747].
[5]     Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar” [QS. An-Nahl : 106].
[6]     Allah ta’ala berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa” [QS. At-Taubah : 65-66].
[7]     Silakan juga simak video beliau rahimahullah berikut (hukum mencela agama dan Rabb dalam keadaan marah):

[8]     Perlu diperhatikan dalam hal ini, seseorang kadang melakukan kekufuran atau kemaksiatan dalam lahirnya, namun dalam batinnya ia beriman kepada Allah ta’ala karena dirinya jahil, salah ta’wil,tidak sengaja, atau terpaksa (yang ini semua termasuk ‘udzur dan penghalang dalam pengkafiran). Seperti halnya perbuatan sebagian shahabat yang meminta dibuatkan Dzaatu Anwaath karena kejahilan baru masuk Islam (silakan baca artikel ini dan ini). Jika perbuatan tersebut dilakukan tanpa ‘udzur, maka apa yang dilakukan secara lahir menunjukkan apa yang ada di dalam batin.
Ibnul-Qayyim rahimahullahberkata:
قاعدة الايمان له ظاهر وباطن وظاهره قول اللسان وعمل الجوارح وباطنه تصديق القلب وانقياده ومحبته فلا ينفع ظاهر لا باطن له وان حقن به الدماء وعصم به المال والذرية ولا يجزىء باطن لا ظاهر له الا اذا تعذر بعجز أو إكراه وخوف هلاك فتخلف العمل ظاهرا مع عدم المانع دليل على فساد الباطن وخلوه من الايمان ونقصه دليل نقصه وقوته دليل قوته
“Kaedah/prinsip keimanan mempunyai sesuatu yang lahir dan batin. Yang lahir berupa perkataan lisan dan amal anggota badan, sedangkan yang batin berupa pembenaran dalam hati, ketundukan, dan kecintaannya. Maka tidak bermanfaat keimanan lahir bagi seseorang jika tidak mempunyai keimanan batin, meskipun darahnya tertumpah serta terlindungi harta dan keturunannya dengannya. Begitu pula tidak mencukupi keimanan batin bagi seseorang yang tidak mempunyai keimanan lahir, kecuali apabila ada udzur dengan sebab kelemahan atau keterpaksaan dan khawatir akan binasa. Maka tertinggalnya amalan lahir dengan ketiadaan penghalangnyamerupakan dalil atas kerusakan batin dan kekosongannya dari keimanan. Kekurangan keimanan lahir adalah dalil atas kekurangan keimanan batin. Begitu juga kuatnya keimanan lahir merupakan dalil atas kuatnya keimanan batin” [Al-Fawaaid, hal. 124].
Maka di sini nampak perbedaannya dari yang mereka katakan dalam hal ini bahwa seseorang yang divonis/dicap kafir karena perbuatan kufur yang dilakukannya, ia kafir secara lahir dan belum tentu kafir secara batin. Ini yang tidak benar.
[9]     Yaitu hadits:
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Namun apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, ia adalah hati” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 52 dan Muslim no. 1599].
[10]    Hal yang sama dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah:
وَالحَقِيقَةُ أَنَّهُ لاَ يُمْكِنُ تَصَوُّرُ صَلاَحِ القُلُوبِ إِلاَّ بِصَلاَحِ الأَعْمَالِ ، وَلاَ صَلاَحِ الأَعْمَالِ إِلاَّ بِصَلاَحِ القُلُوبِ.
وَقَدْ بَيَّنَ ذلِكَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَجْمَلَ بَيَانٍ فِي حَدِيثِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ : «... أَلاَ وَإِنْ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً ؛ إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ، أَلاَ وَهِيَ القَلْبُ» ، وَحَدِيثِهِ الآخِرِ : «لَتُسَوُّنَّ صَفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ» ، أَيْ : قُلُوبِكُمْ ، وَقَوْلِهِ ﷺ : «إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمَالَ» ، وَهُوَ وَارِدٌ فِي الجَمَالِ المَادِّي المَشْرُوعِ -خَلاَفاً لِظَنِّ الكَثِيرِينَ -
“Pada hakekatnya, tidak mungkin tergambar baiknya hati kecuali dengan baiknya amal perbuatan. Tidak mungkin pula tergambar baiknya amal perbuatan kecuali dengan baiknya hati. Hal tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah dengan seindah-indah penjelasan dalam hadits An-Nu’maan bin Basyiir : ‘Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Namun apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, ia adalah hati’. Dan juga dalam hadits yang lain : ‘Hendaklah kalian luruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menjadikan perselisihan di antara wajah-wajah kalian’– maksudnya : hati-hati kalian. Dan juga sabda beliau : ‘Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan’. Keindahan tersebut adalah pada keindahan jasad yang disyari’atkan, berbeda dengan sangkaan kebanyakan orang” [Muqaddimah Riyaadlish-Shaalihiin].

Analog yang Tidak Tepat

$
0
0
Orang yang meniadakan ‘udzur kejahilan sering berdalil dengan syarat ilmu dalam kalimat Laa ilaha illallaah dan kemudian mengqiyaskannya dengan wudlu. Jika wudlu seseorang batal, maka batallah shalat. Begitu juga dengan syarat ilmu. Jika syarat ini batal (karena kejahilan), maka batallah kalimat Laa ilaha illallaah sehingga beralih status dari muslim menjadi kafir (murtad). Dengan ini, ‘udzur kejahilan ditiadakan.
Padahal analog ini tidak tepat dengan alasan:

1.      Orang jahil karena baru masuk Islam mendapatkan dispensasi seandainya ia melakukan perkara kekufuran. An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَكَذَلِكَ الْأَمْر فِي كُلّ مَنْ أَنْكَرَ شَيْئًا مِمَّا أَجْمَعَتْ الْأُمَّة عَلَيْهِ مِنْ أُمُور الدِّين إِذَا كَانَ عِلْمه مُنْتَشِرًا كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْس وَصَوْم شَهْر رَمَضَان وَالِاغْتِسَال مِنْ الْجَنَابَة وَتَحْرِيم الزِّنَا وَالْخَمْر وَنِكَاح ذَوَات الْمَحَارِم وَنَحْوهَا مِنْ الْأَحْكَام إِلَّا أَنْ يَكُون رَجُلًا حَدِيث عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ وَلَا يَعْرِف حُدُوده فَإِنَّهُ إِذَا أَنْكَرَ شَيْئًا مِنْهَا جَهْلًا بِهِ لَمْ يَكْفُر
"Dan begitu juga semua orang yang mengingkari perkara yang telah disepakati oleh umat yang ia termasuk diantara perkara-perkara agama yang ilmunya telah tersebar (di kalangan kaum muslimin secara luas) seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlaan, mandi dari janabah, serta haramnya zina, khamr, menikahi mahram dan yang lainnya (tidak diberikan ‘udzur). Kecuali orang yang baru masuk Islam yang tidak mengetahui ketentuan-ketentuannya. Apabila ia mengingkari hal-hal tersebut karena jahil, tidak dikafirkan" [Syarh Shahih Muslim, 1/205].
Begitu juga dengan penjelasan As-Suyuuthiy rahimahullah:
كل من جهل تحريم شيء مما يشترك فيه غالب الناس لم يقبل منه دعوى الجهل، إلا أن يكون قريب عهد بالإسلام، أو نشأ ببادية يخفى فيها مثل ذلك كتحريم الزنا والقتل والخمر والكلام في الصلاة والأكل في الصوم
“Setiap orang yang jahil (bodoh) tentang pengharaman sesuatu yang diketahui bersama oleh mayoritas manusia tidaklah diterima klaim kejahilan itu darinya, kecuali jika ia baru masuk Islam atau hidup di daerah terpencil (yang jauh dari ilmu dan ulama) sehingga samar padanya (keharaman tersebut), seperti misal haramnya zina, membunuh, minum khamr, berbicara ketika shalat, dan makan ketika puasa" [Al-Asybah wan-Nadhaair, hal. 200-201].
Ketika ada yang memberitahukan kepadanya bahwa perbuatannya dilarang syari'at dan termasuk dosa besar/kekufuran (akbar), ia tidak wajib memperbaharui syahadatnya jika menerimanya dan berhenti dari perbuatannya. Statusnya masih muslim. Tidak boleh dikatakan ia murtad karena batal keislamannya.
Berbeda halnya dengan orang jahil baru masuk Islam yang buang air besar lalu shalat tanpa berwudlu. Ketika usai dari shalatnya ia diberitahukan shalatnya tidak sah karena tidak berwudlu atau wudlunya telah batal – jika sebelumnya ia telah berwudlu. Maka dalam hal ini, ia wajib mengulangi shalat dan wudlunya yang batal tersebut.
Begitu juga kasus lain. Orang yang mengucapkan kalimat kesyirikan karena keliru, lupa, atau tidak sengaja; maka tidak batal keislamannya sehingga harus memperbarui syahadatnya. Berbeda halnya dengan orang yang shalat tapi lupa tidak wudlu atau lupa kalau wudlunya telah batal karena kentut; ketika ingat ia wajib mengulangi wudlu dan shalatnya[1].
Jadi jelas, analog ini tidak tepat apple to apple.
2.      Ilmu dalam syarat kalimat Laa ilaha illallaah adalah ilmu mujmal, bukan ilmu tafshiiliy.
Ilmu mujmaltersebut berupa penafikan peribadahan terhadap selain Allah dan menetapkan peribadahan tersebut hanya kepada Allah semata tanpa berbuat kesyirikan sedikitpun kepada-Nya. Ilmu mujmal ini tidak bisa tidak harus ada pada setiap orang masuk Islam atau mengaku dirinya muslim. Ilmu mujmal ini menghasilkan keimanan yang bersifat mujmal pula.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
لا ريب أنه يجب على كل أحد أن يؤمن بما جاء به الرسول إيمانا عاما مجملا
“Dan tidak diragukan lagi bahwasannya wajib bagi setiap orang untuk beriman kepada apa yang dibawa Rasulullah dengan keimanan yang umum lagi mujmal” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/312].
فعامة الناس اذا اسلموا بعد كفر أو ولدوا على الاسلام والتزموا شرائعه وكانوا من اهل الطاعة لله ورسوله فهم مسلمون ومعهم ايمان مجمل ولكن دخول حقيقة الايمان الى قلوبهم انما يحصل شيئا فشيئا ان أعطاهم الله ذلك
"Maka kebanyakan manusia jika masuk Islam setelah kekufuran atau dilahirkan dalam keadaan muslim, menjalankan syari’at-syari’at-Nya, serta mentaati Allah dan Rasul-Nya; maka status mereka muslim dengan keimanan yang mujmal. Akan tetapi masuknya hakekat keimanan pada hati-hati mereka hanyalah terwujud sedikit demi sedikit apabila Allah memberikannya” [idem, 7/271].
Keimanan mujmal ini tergambar dalam penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
أن الانسان قد يكون مكذبا ومنكرا لأمور لا يعلم أن الرسول أخبر بها وأمر بها ولو علم ذلك لم يكذب ولم ينكر بل قلبه جازم بأنه لا يخبر إلا بصدق ولا يأمر إلا بحق ثم يسمع الآية أو الحديث أو يتدبر ذلك أو يفسر له معناه أو يظهر له ذلك بوجه من الوجوه فيصدق بما كان مكذبا به ويعرف ما كان منكرا وهذا تصديق جديد وإيمان جديد ازداد به ايمانه ولم يكن قبل ذلك كافرا بل جاهلا
"Seseorang kadang mendustakan dan mengingkari perkara-perkara yang tidak ia ketahui bahwasannya Rasulullah telah mengkhabarkannya dan memerintahkannya. Seandainya ia mengetahui hal tersebut, niscaya ia tidak mendustakan dan tidak pula mengingkarinya. Bahkan hatinya kokoh (dalam keyakinan) bahwa tidaklah beliau mengkhabarkan kecuali kebenaran, dan tidak memerintahkan kecuali yang haq. Kemudian ia mendengar ayat-ayat atau (mendengar) hadits-hadits, atau mentadaburinya, atau dijelaskan kepadanya tentang maknanya, atau nampak baginya (kebenaran) perkara itu dari arah manapun; kemudian ia membenarkan apa yang semula ia dustakan dan meyakini apa yang semula ia ingkari. Maka ini pembenaran yang baru dan iman yang baru, yang menyebabkan keimanannya bertambah. Dan dirinya sebelum itu (yaitu ketika ia mendustakan dan melakukan pengingkaran - pent.) tidaklah kafir, akan tetapi jaahil" [idem, 7/237].
Jika seseorang jahil terhadap ilmu mujmal tentang kalimat tauhid Laa ilaha illallaah (wa anna Muhammadan rasulullah); jika dirinya adalah orang kafir yang hendak masuk Islam, maka ia tidak memenuhi syarat ilmu dalam kalimat tauhid tersebut sehingga tidak dikatakan masuk Islam secara asal. Adapun jika dirinya orang muslim (karena keturunan), namun ia jahil dengan ilmu mujmal ini dan kemudian tidak berkeinginan untuk mengetahuinya, mengamalkannya, tunduk dan patuh, dan tidak menginginkan apapun juga dari kalimat itu; maka dirinya kafir dengan kufur i’raadl(berpaling/tidak peduli).
Setelah pengetahuan ini ada di hatinya, ia wajib untuk mengucapkan kalimat syahadat dengan lisannya dengan wujud berlepas diri dari kesyirikan dan berkomitmen dengan ketauhidan. Apabila ia telah mengucapkannya, maka tetap keislamannya sehingga didapatkan darinya pokok keimanan. Dikarenakan pengetahuan ini bersifat batin (tidak nampak) dari yang bersangkutan, cukup bagi kita untuk menetapkan keislamannya dengan dhahir pengucapan dua kalimat syahadat.
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
ومن المعلوم بالضرورة أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يقبل مِنْ كل منْ جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط ، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك ، ويجعله مسلماً ، فقد أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال : لا إله إلا الله ، لما رفع عليه السيفَ ، واشتدَّ نكيرُه عليه
“Dan termasuk hal yang telah diketahui dengan pasti bahwasannya Nabi menerima siapa saja yang datang kepada beliau yang ingin masuk Islam hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Beliau melindungi darahnya dan menjadikannya seorang muslim. Nabi pernah mengingkari dengan sangat keras terhadap Usaamah bin Zaid yang membunuh orang yang mengucapkan Laa ilaha illallaah ketika ia (Usaamah) mengangkat pedang kepadanya. Pengingkaran beliau ini sangat keras terhadapnya” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 207].
Ibnu Hajar Al-Asqalaniy rahimahullah berkata :
وَمِنْ حُجَج مَنْ أَجَازَ ذَلِكَ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "أُمِرْت أَنْ أُقَاتِل النَّاس حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَه إِلَّا اللَّه ، فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ "فَيُحْكَم بِإِسْلَامِ مَنْ تَلَفَّظَ بِالشَّهَادَتَيْنِ - وَلَوْ كَانَ فِي نَفْسِ الْأَمْر يَعْتَقِد خِلَاف ذَلِكَ -
“Di antara hujjah-hujjah ulama yang membolehkan hal tersebut adalah sabda Nabi : ‘Aku diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah. Apabila mereka mengucapkannya, terpeliharalah dariku darah mereka’. Maka orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dihukumi Islam (secara dhahir), meskipun sebenarnya ia berkeyakinan lain dari itu” [Fathul-Baariy, 13/174].
Ilmu tafshiliywajib ia pelajari setelah itu (setelah dirinya masuk Islam), sehingga keimanannya bertambah sedikit demi sedikit sesuai kadarnya. Wajib bagi dirinya untuk mempelajari rincian tauhid (rububiyyah, uluhiyyah, dan asmaa’ wa shifaat), rincian kesyirikan (ashghar dan akbar), dan syari’at Islam lainnya secara bertahap. Dan tentu, mengamalkannya.
Ilustrasi gampangnya adalah seperti kita dulu sebelum mengenal sunnah. Kita sama-sama ngaca, apa yang kita ketahui dengan ketauhidan dan kesyirikan. Kita hanya tahu secara global bahwa tuhan kita adalah 1 (satu), yaitu Allah ta’ala. Tidak boleh berbuat syirik, haram hukumnya, tanpa mengetahui apa saja rincian kesyirikan dan pembatal keislaman. Inilah ilmu yang bersifat mujmal, ilmu minimal yang harus ada bagi orang yang berstatus muslim. Kemudian akhirnya kita belajar ‘aqidah, iman, dan ketauhidan. Lalu kita belajar pula tentang kesyirikan dan segala macam rinciannya. Akhirnya dari yang dulu kita remang-remang atau bahkan buta, dapat melihat cahaya, sedikit demi sedikit dan semakin terang. Jika bukan karena taufiq dan hidayah Allah, niscaya kita tetap dalam keadaan seperti dulu yang kita ingat.[2]
Wallaahu a’lam…..




[1]     Berdasarkan sabda Rasulullah :
لا يقبَلُ اللهُ صلاةَ أحدِكم إذا أَحْدثَ حتى يتوضَّأَ
"Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila dia berhadats hingga ia berwudu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6954].
Para ulama telah bersepakat (ijmaa’) dalam hal ini.
Ibnu Rusyd rahimahullah berkata:
واتفقوا على أنّ من صلى بغير طهارة أنّه يجب عليه الإعادة عمداً أو نسياناَ
“Para ulama sepakat bahwa orang yang shalat tanpa bersuci, wajib baginya untuk mengulangi shalatnya. Baik dilakukan dengan sengaja maupun lupa” [Bidaayatul-Mujtahid, 1/151].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وكذلك من نسي طهارة الحدث وصلى ناسيا فعليه أن يعيد الصلاة بطهارة بلا نزاع حتى لو كان الناسي إماما كان عليه أن يعيد الصلاة ولا إعادة على المأمومين إذا لم يعلموا عند جمهور العلماء كمالك والشافعى وأحمد فى المنصوص المشهور عنه ...
“Begitu juga dengan orang yang lupa bersuci dari hadats lalu shalat dalam keadaan lupa, maka wajib baginya untuk mengulangi shalat dengan bersuci terlebih dahulu tanpa ada perselisihan. Meskipun orang yang lupa tersebut imam shalat, maka tetap baginya untuk mengulangi shalat. Namun bagi makmum tidak (wajib) mengulanginya apabila ia tidak mengetahuinya (keadaan si imam) menurut jumhur ulama seperti Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan Ahmad dalam nash-nash yang masyhur darinya….” [Al-Fataawaa Al-Kubraa, 2/48].
[2]     Kadang sebagian kita (dulu) mengolok-olok sebagian syari’at Islam karena kebodohan kita bahwa itu termasuk syari’at Islam – sementara di sisi lain kita tahu dan yakin haramnya mengolok-olok syari’at Islam. Sebagian kita pula dulu ada yang ikut-ikut kiyai ngalap berkah ke kuburan, serta tawassulan dan istighatsah kepada wali yang telah tertanam di dalam kubur tanpa tahu itu termasuk syirik akbar, bahkan amal ketaatan kepada Allah ta’ala. Sementara itu setiap sore-malam saat ‘nyantri kalong’, kita mendengarkan wejangan pak kiyai wajibnya menjauhi kesyirikan dan harus mentauhidkan Allah. Sebagian kita dulu juga ada yang termasuk bagian musuh-musuh dakwah tauhid karena menganggap dakwah tauhid adalah dakwah yang gemar mengkafirkan dan mensyirikkan orang. Kita memusuhi keras para ustadz dan penuntut ilmu, mendemo, dan menuntut agar majelis ilmu mereka dibubarkan. Akhirnya Allah ta’ala memberikan hidayah kepada kita sehingga kita terbimbing di atas jalan-Nya yang lurus.
Anehnya, bermunculan orang yang amnesia terhadap sejarah dirinya sendiri dengan mengatakan sebagian perkara kekufuran dan kesyirikan yang dilakukan orang-orang (dan juga dirinya dulu) adalah perkara al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah, perkara yang dhaahir yang tidak menerima udzur apapun dalam pengkafirannya. Siapapun yang melakukan ini, harus dicap dengan kekafiran tanpa memperhatikan kaedah yang ditetapkan para ulama.
Butuh kaca besar bagi orang-orang seperti ini agar bekas bisulnya dulu di hidung yang telah sembuh terlihat. Mudah-mudahan ia ingat…..

Tidak Berstatus Kafir, tapi Tidak Juga Berstatus Muslim

$
0
0
Sebagian ulama Najd rahimahumullah berkata:
فنقول: إذا كان يعمل بالكفر والشرك، لجهله، أو عدم من ينبهه، لا نحكم بكفره حتى تقام عليه الحجة؛ ولكن لا نحكم بأنه مسلم، بل نقول عمله هذا كفر، يبيح المال والدم، وإن كنا لا نحكم على هذا الشخص، لعدم قيام الحجة عليه؛ لا يقال: إن لم يكن كافرا، فهو مسلم، بل نقول عمله عمل الكفار، وإطلاق الحكم على هذا الشخص بعينه، متوقف على بلوغ الحجة الرسالية.
“Kami katakan : Apabila seseorang melakukan perbuatan kekufuran dan kesyirikan karena kejahilannya atau karena ketiadaan orang yang memberikan peringatan kepadanya, kami tidak menghukuminya dengan kekufuran (kafir) hingga ditegakkan padanya hujjah, tetapi kami juga tidak menghukuminya muslim. Namun kami katakan perbuatannya ini kufur yang menghalalkan harta dan darahnya. Meskipun kami tidak menghukumi orang tersebut (dengan kekufuran/kafir) dikarenakan ketiadaan penegakan hujjah kepadanya, tidak lantas dikatakan : ‘Seandainya ia bukan orang kafir, maka ia muslim’. Namun yang kami katakan perbuatannya itu adalah perbuatan orang kafir. Dan memutlakkan hukum atas orang ini secara individu tergantung pada sampainya hujjah risaaliyyah[1]” [Ad-Durarus-Saniyyah, 10/136].

Ini adalah kekeliruan dalam prinsip-prinsip pengkafiran. Bagaimana bisa seorang mukallaf yang melakukan dosa besar tidak berstatus muslim dan tidak pula kafir ?.
Adapun prinsip pengkafiran Ahlus-Sunnah diantaranya dinyatakan bahwa seseorang yang telah tetap keislamannya secara yakin, maka tidak boleh dikeluarkan dari wilayah Islam hanya karena keraguan. Jika ada keraguan, maka kembali ke hukum asalnya (yaitu muslim). Juga, seorang muslim yang melakukan kekufuran dan belum sampai kepadanya hujjah, ia tidak dikafirkan dan statusnya tetap sebagai seorang muslim sebagaimana hukum asalnya.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
أن كلَّ مَن ثبت له عقدُ الإسلام في وقتٍ بإجماعٍ من المسلمين ، ثم أذنبَ ذنباً أو تأوَّل تأويلاً ، فاختلفوا بعدُ في خروجه من الإسلام ؛ لم يكُن لاختِلافهم بعد إجماعهم معنىً يوجبُ حُجَّةً ، ولا يخرجُ من الإسلام المتفقِ عليه إلا باتفاقٍ آخر ، أو سنةٍ ثابتةٍ لا مُعارِضَ لها
“Setiap orang dari kalangan muslimin yang telah tetap keislamannya dalam satu waktu berdasarkan ijma’/kesepakatan, kemudian ia berbuat satu dosa atau menta’wilkan satu ta’wil (yang diharamkan), lalu orang-orang berselisih tentang murtad tidaknya orang itu (akibat perbuatan dosa yang ia lakukan); maka perselisihan mereka setelah kesepakatannya itu tidak ada artinya sebagai hujjah (akan kekafirannya). Tidaklah seseorang dikeluarkan dari wilayah Islam yang keislamannya itu telah disepakati, kecuali dengan kesepakatan yang lain, atau sunnah yang shahih yang bertentangan baginya” [At-Tamhiid, 16/315].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وليس لأحد ان يكفر أحدا من المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة
“Dan tidak boleh bagi seorangpun mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan[2]. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/466].
Adz-Dzahabiy berkata tentang madzhab Ibnu Taimiyyah rahimahumallah dalam pengkafiran:
ومذهبه توسعة العذر للخلق، ولا يُكفِّر أحدًا إلا بعد قيام الدليل والحجة عليه، ويقول: هذه المقالة كفرٌ وضلالٌ، وصاحبها مجتهدٌ جاهلٌ لم تقم عليه حجة الله، ولعله رجع عنها أو تاب إلى الله ويقول: إيمانه ثبت له بيقين فلا نخرجه منه إلا بيقين، أما من عرف الحق وعانده وحاد عنه فكافرٌ ملعونٌ كإبليس، وإلا من الذي يسلم من الخطأ في الأصول والفروع
“Dan madzhab beliau (Ibnu Taimiyyah) luas dalam pemberian udzur kepada makhluk. Beliau tidak mengkafirkan seorangpun kecuali setelah ditegakkannya dalil dan hujjah terhadapnya. Beliau berkata : ‘Perkataan ini kufur lagi sesat, sedangkan orang yang mengucapkannya adalah mujtahid yang jahil yang belum tegak padanya hujjah Allah. Barangkali ia telah rujuk darinya atau bertaubat kepada Allah’. Beliau juga berkata : ‘Keimanannya telah tetap dengan yakin, sehingga kami tidak mengeluarkannya dari Islam kecuali dengan keyakinan. Adapun orang yang mengenal kebenaran namun menentangnya dan menyimpang darinya, maka ia kafir seperti Iblis. Jika tidak demikian, maka ia termasuk orang yang selamat dari kekeliruan dalam ushul maupun furu’” [Al-Masaail wal-Ajwibah, hal. 246-247].
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata:
وَإِذْ وَقَعَ الشَّكّ فِي ذَلِكَ لَمْ يُقْطَع عَلَيْهِمْ بِالْخُرُوجِ مِنْ الْإِسْلَام ، لِأَنَّ مَنْ ثَبَتَ لَهُ عَقْد الْإِسْلَام بِيَقِينٍ لَمْ يَخْرُج مِنْهُ إِلَّا بِيَقِينٍ
“Dan ketika timbul keraguan dalam hal itu[3], maka tidak memastikan mereka keluar dari Islam, karena orang yang telah tetap baginya perjanjian Islam dengan yakin, maka ia tidak keluar darinya kecuali dengan keyakinan pula” [Fathul-Baariy, 12/301].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
النوع الثاني : أن يكون من شخص يدين بدين الإسلام ولكنه عاش على هذا المكفر ولم يكن يخطر بباله أنه مخالف للإسلام، ولا نبهه أحد على ذلك فهذا تجري عليه أحكام الإسلام ظاهرا، أما في الأخرة فأمره إلى الله - عز وجل - وقد دل على ذلك الكتاب والسنة وأقوال أهل العلم
“Jenis yang kedua : Orang yang memeluk agama Islam, akan tetapi ia hidup dengan melakukan kekafiran ini tanpa terlintas dalam pikirannya bahwasannya dirinya menyelisihi (syari’at) Islam, serta tidak ada seorang pun yang memberikan peringatan kepadanya tentang hal tersebut; maka berlaku padanya hukum-hukum Islam secara lahir. Adapun kelak di akhirat, maka urusannya diserahkan kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, dan perkataan para ulama” [Syarh Kasyfisy-Syubuhaat, hal. 51-52].
Kaedah ini adalah seperti kaedah-kaedah fiqhiyyah lainnya yang masyhur seperti:
اليقين لا يزول بالشك
“Keyakinan tidak hilang dengan sebab keraguan”.
Juga kaedah:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Asal dari sesuatu adalah tetap dalam keadaan semula”.
Contohnya : Apabila ada orang yang berwudlu, lalu kemudian ditimpa keraguan ketika hendak shalat apakah ia sudah batal ataukah belum, maka dikembalikan pada asalnya yaitu suci[4].
Dalil dari kaedah ini adalah:
1.      Firman Allah ta’ala:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran” [QS. Yuunus : 36].
2.      Hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا، فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ، أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ، أَمْ لَا، فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدَ رِيحًا "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Apabila salah seorang diantara kalian mendapatkan sesuatu dalam perutnya, lalu timbul keraguan terhadapnya : ‘Apakah ada sesuatu (angin) yang keluar darinya atau tidak?’, maka janganlah ia keluar dari masjid (untuk membatalkan shalatnya) hingga mendengar suara (kentut) atau mencium baunya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 362].
3.      Hadits:
عَنْ عبد الله بن زيد الأنصاري، أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ: لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari ‘Abdullah bin Zaid Al-Anshaariy : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah bahwa dirinya seakan-akan mendapatkan sesuatu (dalam dirinya) ketika shalat. Maka beliau bersabda : “Janganlah ia keluar (dari shalat) hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 137].
4.      Hadits:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى، ثَلَاثًا، أَمْ أَرْبَعًا، فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ، وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam shalatnya, sehingga ia tidak tahu berapa raka’at yang telah ia kerjakan, tiga raka’at ataukah empat raka’at; maka buanglah keraguan dan ikutilah yang diyakini….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 571].
Oleh karena itu, pengkafiran tidak boleh ditetapkan berdasarkan kemungkinan atau dugaan kuat (ghalabatudh-dhann). Seandainya ada 99 kemungkinan untuk mengkafirkan seseorang dan ada 1 kemungkinan yang menafikkannya (tidak kafir/tetap muslim); maka yang diambil adalah yang sebaliknya. Maka di sini yang dibutuhkan adalah kepastian dan keyakinan.
‘Aliy Al-Qaariy rahimahullah berkata:
ذكروا أنّ المسألة المتعلقة بالكفر إذا كان لها تسعة وتسعون احتمالاً للكفر واحتمال واحد في نفيه، فالأولى للمفتي والقاضي أن يعمل بالاحتمال النافي، لأنً الخطأ في إبقاء ألف كافر أهون من الخطأ في إفناء مسلم واحد
“Para ulama menyebutkan bahwa permasalahan yang terkait dengan kekafiran apabila ia memiliki 99 kemungkinan kekafiran dan 1 kemungkinan yang menafikkannya, maka yang lebih utama bagi seorang mufti atau qadli (hakim) untuk mengambil kemungkinan penafikkan (yaitu tidak kafir – Abul-Jauzaa’). Karena keliru dalam membiarkan seribu orang kafir lebih ringan daripada keliru dalam membunuh satu orang muslim” [Syarh Al-Fiqhil-Akbar, hal. 162].
Dalilnya adalah
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي سَرِيَّةٍ، فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ، فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا، فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ، فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: أَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَقَتَلْتَهُ؟ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ، قَالَ: "أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ، حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا؟ "فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ،
Dari Usaamah bin Zaid, ia berkata : Rasulullah pernah mengutus kami dalam sekelompok pasukan kecil. Pada waktu pagi kami mendatangi huruqat[5]Juhainah. Maka aku dapati seorang laki-laki. Lalu tiba-tiba ia mengucapkan : ‘Laa ilaha illallaah’. Aku menikamnya, namun aku merasakan sesuatu dalam diriku atas kejadian itu. Kemudian, aku menceritakannya kepada Nabi . Maka Rasulullah bersabda : ‘Apakah setelah ia mengucapkan Laa ilaha illallaah engkau membunuhnya?’. Aku katakan : “Wahai Rasulullah, ia mengucapkannya hanya karena takut tertebas pedang’. Beliau bersabda : ‘Tidakkah engkau belah hatinya saja hingga engkau mengetahui apakah ia benar-benar mengatakannya karena takut pedang ataukah tidak’. Beliau senantiasa mengulang perkataan itu kepadaku hingga aku berangan-angan seandainya aku baru masuk Islam pada waktu itu…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 96].
Dari hadits ini nampak bahwa Usaamah mempunyai dugaan kuat bahwa orang yang dibunuhnya mengucapkan kalimat Laa ilaha illallaah hanya karena takut mati/dibunuh. Namun kemudian dirinya ada sedikit keraguan sehingga menceritakan hal itu kepada Nabi . Hadits ini juga menunjukkan bahwa keislaman dhahir seseorang cukup dengan pengucapan kalimat syahadat. Statusnya muslim. Nabi mengambalikan hukum dhahir orang tersebut (yaitu Islam) dan menolak alasan yang dikemukakan Usaamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhumaa.
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
ومن المعلوم بالضرورة أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يقبل مِنْ كل منْ جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط ، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك ، ويجعله مسلماً ، فقد أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال : لا إله إلا الله ، لما رفع عليه السيفَ ، واشتدَّ نكيرُه عليه
“Dan termasuk hal yang telah diketahui dengan pasti bahwasannya Nabi menerima siapa saja yang datang kepada beliau yang ingin masuk Islam hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Beliau melindungi darahnya dan menjadikannya seorang muslim. Nabi pernah mengingkari dengan sangat keras terhadap Usaamah bin Zaid yang membunuh orang yang mengucapkan Laa ilaha illallaah ketika ia (Usaamah) mengangkat pedang kepadanya. Pengingkaran beliau ini sangat keras terhadapnya” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 207].
Tidak boleh ada status quo bagi seorang mukallaf setelah diutusnya Nabi . Yang ada hanyalah muslim atau kafir, tidak ada yang ketiga. Menetapkan status seorang mukallaf tidak mukmin (Islam) dan pula tidak kafir, secara lafadh mirip dengan Mu’tazilah dalam penamaan mereka terhadap para pelaku dosa besar, yaitu al-manzilah bainal-manzilatain.
Abu Ishaaq Al-Isfiraayiiniy rahimahullah berkata:
قولهم بمنزلة بين المنزلتين وزعمهم أن الفاسق – مرتكب الكبيرة - لا مؤمن ولا كافر، وأن الفساق من أهل الملة خرجوا من الإيمان ولم يبلغوا الكفر، وأنهم مع الكفار في النار خالدين مخلدين، لا يجوز لله تعالى أن يغفر لهم، وأنه لو غفر لهم لخرج من الحكمة
“Perkataan mereka (Mu’tazilah) tentang manzilah bainal-manzilatain dan sangkaan mereka bahwa orang fasiq – pelaku dosa besar – tidak berstatus mukmin tidak pula kafir, yaitu orang-orang fasiq dari kalangan kaum muslimin keluar dari keimanan namun tidak sampai pada kekufuran. Namun mereka bersama orang-orang kafir di neraka kekal di dalamnya. Tidak boleh bagi Allah ta’ala untuk mengampuni mereka, karena seandainya Allah mengampuni mereka, niscaya keluar dari hikmah” [At-Tabshiir fid-Diin, hal. 22].
Al-Qaadliy Abu Ya’laa Al-Hanbaliy rahimahullah menjelaskan prinsip Ahlus-Sunnah:
وأن سائر المكلفين لا يخلو من أن يكونوا كفارا أو مؤمنين كاملي الإيمان أو ناقصي الإيمان أو بعضهم كفار وبعضهم مؤمنين. ولا يجوز كون مكلف ليس بمؤمن ولا كافر
“Dan bahwasannya seluruh mukallaf (yang dibebani syari’at) tidak lepas dari statusnya sebagai orang-orang kafir ataukah orang-orang mukmin yang sempurna imannya atau kurang imannya; atau sebagian diantara mereka orang-orang kafir dan sebagian yang lain orang-orang mukmin. Tidak boleh dikatakan seorang mukallaf tidak berstatus mukmin tidak pula kafir” [Al-Mu’tamad fii Ushuulid-diin, hal. 276].
Perkataan Mu’tazilah al-manzilah bainal-manzilatain adalah perkataan diada-adakan yang tidak pernah diucapkan oleh salaf. Status mukallaf hanyalah mukmin atau kafir. Adapun munafiq (yang menyembunyikan kekafiran dalam hatinya dengan menampakkan keislaman secara lahiriah), apabila yang bersangkutan menampakkan apa yang ia sembunyikan, maka ia kafir. Namun apabila tidak ia nampakkan, maka ia diperlakukan/dihukumi dengan muamalah orang Islam.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 1 Ramadlaan 1438]



[1]     Artinya, sebagian ulama Najd rahimahullah mengakui takfir mu’ayyan itu ditetapkan setelah adanya penegakan hujjah secara khusus, yaitu sampainya hujjah kepada yang bersangkutan tentang kekafiran atau kesyirikan yang ia lakukan. Bukan sekedar hujjah umum dengan diutusnya Rasulullah dan diturunkannya Al-Qur’an.
[2]       Tentang perkataan Syaikhul-Islaam rahimahullah ini, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil-Hamiid Al-Atsariy hafidhahullah mengomentari:
اتفق أئمة أهل السنة والجماعة على هذه القاعدة؛ فكانوا أعظم الناس ورعاً؛ لأن تكفير المسلم مسألة خطيرة، يجب عدم الخوض فيها دون دليل وبرهان، وينبغي الاحتراز من التكفير ما وجد إلى ذلك سبيلاً، فباب التكفير باب خطير، وقد حذر النبي صلى الله عليه وسلم أن يكفر أحد أحداً دون برهان.
قال النبي صلى الله عليه وسلم : (أيما امرئ قال لأخيه : يا كافر. فقد باء بها أحدهما. إن كان كما قال. وإلا رجعت عليه).
وقال النبي صلى الله عليه وسلم : (لا يرمي رجل رجلاً بالفسوق، ولا يرميه بالكفر؛ إلا ارتدت عليه، إن لم يكن صاحبه كذلك).
“Para imam Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sepakat tentang kaedah ini. Mereka adalah orang yang paling besar sikap wara’-nya, karena pengkafiran seorang muslim merupakan permasalahan yang berbahaya/berat. Wajib untuk tidak menceburkan diri ke dalamnya apabila tidak memiliki dalil dan bukti (yang jelas), serta harus mencegah pengkafiran selama didapatkan jalan untuk hal tersebut. Maka bab pengkafiran adalah bab yang berbahaya, karena Nabi telah memperingatkanseseorang untuk tidak mengkafirkan yang lainnya tanpa bukti (yang jelas).
Nabi bersabda : ‘Siapapun orangnya yang berkata kepada saudaranya : Wahai kafir, sungguh ia akan menuju salah seorang di antara keduanya. Apabila saudaranya itu seperti yang dikatakan (maka kekafiran itu ada pada saudaranya). Jika tidak, akan kembali kepadanya (si pengucap)’.
Dan Nabi juga bersabda : ‘Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan, dan jangan pula menuduh kekufuran, karena tuduhan tersebut akan berbalik kepada dirinya jika orang tersebut tidak seperti yang dituduhkan’” [Al-Iimaan, Haqiiqatuhi wa Khawaarimuhu wa Nawaaqidluhu, hal. 261].
Begitu pula dengan Asy-Syaikh ‘Aliy bin Hasan Al-Halabiy Al-Atsariy hafidhahullah. Beliau menyebutkan perkataan Syaikhul-Islaam rahimahullah ini dalam catatan kaki terhadap perkataan beliau:
ولما كان مَرَدُّ حكم التكفير إلى الله ورسوله : لم يجز أن نكفر إلا من دل الكتاب والسنة على كفره - دلالةً واضحةً -؛ فلا يكفي في ذلك مجرد الشبهت والظن؛ لما يترتب ذلك من الأحكام الخطيرة.
“Dan sehubungan hukum pengkafiran dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya : Tidak diperbolehkan kita mengkafirkan kecuali orang yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang kekufurannya – dengan penunjukkan yang jelas - , sehingga tidak mencukupi dalam hal tersebut sekedar syubhat dan prasangka saja, sebab akan mengkonsekuensikan hukum-hukum yang berbahaya” [Kalimatun Sawaa’, hal. 27].
[3]     Yaitu kafir tidaknya kelompok Khawaarij.
[4]     Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata:
إذا تطهَّرَ الرَّجُلُ فهو على طهارته ، إلا أن تَدُلَّ حُجَّةٌ على نقضِ طهارته
“Apabila seseorang bersuci, maka ia tetap dalam kesuciannya kecuali ada hujjah/dalil yang menunjukkan atas batalnya kesucian orang tersebut” [Al-Ausath, 1/230].
[5]     Nama kabilah-kabilah dari suku Juhainah.
Viewing all 594 articles
Browse latest View live