Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Buluughul-Maraam Hadits No. 650-651 : Larangan Mendahului Berpuasa Menjelang Ramadlaan

$
0
0
٦٥٠ - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ))  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
650. Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian mendahului Ramadlaan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya), kecuali bagi orang yang biasa berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa”. Muttafaqun ‘alaih.
Penjelasan ringkas:
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1914 dan Muslim no. 1082, dan ini adalah lafadh Muslim. Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud no. 2335, At-Tirmidziy no. 684-685, An-Nasaa’iy no. 2172 & 2190, Ibnu Maajah no. 1650, Ahmad 2/234 & 347 & 408 & 438 & 477 & 497 & 513 & 521, dan yang lainnya.
Beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits ini:
1.     Larangan mendahului puasa Ramadlaan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian ulama ada yang menghukumi haram berdasarkan dhahir larangan, karena asal dari sebuah larangan menunjukkan keharaman. Adapun sebagian ulama lain ada yang menghukumi makruh berdasarkan istitsnaa’ (pengecualian) dalam hadits tersebut. Maksudnya, istitsnaa’ adalah bagi orang yang biasa puasa sunnah sehingga seandainya larangan tersebut bermakna haram, maka ia mesti didahulukan daripada puasa sunnah. Oleh karena itu. Larangan di sini bermakna makruuh.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا أَنْ يَتَعَجَّلَ الرَّجُلُ بِصِيَامٍ قَبْلَ دُخُولِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِمَعْنَى رَمَضَانَ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يَصُومُ صَوْمًا فَوَافَقَ صِيَامُهُ ذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ عِنْدَهُمْ
“Para ulama mengamalkan hadits ini, dan mereka memakruhkan orang yang mempercepat/mendahulukan puasa sebelum masuknya bulan Ramadlaan karena makna Ramadlaan. Namun apabila seseorang biasa berpuasa lalu puasanya itu bertepatan dengan hari tersebut, maka tidak mengapa menurut mereka” [Al-Jaami’ul-Kabiir, 2/64].
2.     Diperbolehkan berpuasa sunnah bagi orang yang terbiasa puasa meskipun kebetulan bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadlaan, seperti puasa Daawud, Senin-Kamis, dan yang lainnya. Kebolehan ini merupakan ijmaa’ ulama.
Adapun orang yang berpuasa wajib seperti puasa qadla’ dan puasa nadzar, maka lebih utama untuk diperbolehkan karena itu merupakan ‘aziimah baginya.
3.     Anjuran melaksanakan amal ibadah dan amal kebaikan yang biasa dilakukan seseorang secara berkesinambungan.
Amal kebaikan yang konsisten dilakukan meski sedikit mempunyai keutamaan yang sangat besar sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
Wahai sekalian manusia, hendaknya kalian melakukan amalan yang kalian sanggupi karena Allah tidak bosan hingga kalian sendiri yang bosan. Dan sesungguhnya sebaik-baik amalan di sisi Allah adalah yang terus-menerus dilakukan, meskipun sedikit” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1970 & 5862 & 6465 dan Muslim no. 782].
4.     Diantara hikmah larangan tersebut adalah untuk membedakan antara ibadah fardlu dengan ibadah sunnah, serta untuk mempersiapkan diri menghadapi Ramadlaan sehingga puasa di bulan tersebut menjadi syi’ar tersendiri.
Hal yang semisal adalah seperti larangan menyambung shalat fardlu dan shalat sunnah tanpa ada pemisah. Mu’aawiyyah radliyallaahu ‘anhu pernah berkata:
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami hal tersebut, yaitu agar tidak menyambung shalat dengan shalat lainnya hingga kami berbicara atau keluar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 883].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
فيه دليل لما قاله أصحابنا أن النافلة الراتبة وغيرها يستحب أن يتحول لها عن موضع الفريضة إلى موضع آخر وأفضله التحول إلى بيته، وإلا فموضع آخر من المسجد أو غيره ليكثره مواضع سجوده، ولتنفصل صورة النافلة عن صورة الفريضة. وقوله: "حتى نتكلم"دليل على أن الفصل بينهما يحصل بالكلام أيضاً ولكن بالانتقال أفضل لما ذكرناه والله أعلم
“Padanya terdapat dalil tentang apa yang dikatakan shahabat-shahabat kami (yaitu fuqahaa’ Syaafi’iyyah) bahwasannya shalat sunnah rawatib dan yang lainnya disunnahkan agar dialihkan pelaksanaannya dari tempat shalat fardlu ke tempat yang lainnya. Berpindah yang paling utama adalah di rumahnya. Dan jika tidak, maka cukup di tempat lain dari masjid atau yang lainnya untuk memperbanyak tempat sujudnya, dan untuk membedakan antara shalat sunnah dengan shalat fardlu. Dan perkataan Mu’aawiyyah : ‘hingga kami berbicara’, merupakan dalil bahwasannya pemisahan antara keduanya (shalat sunnah dengan shalat fardlu) dapat dilakukan dengan berbicara. Akan tetapi berpindah tempat lebih utama dilakukan sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, wallaahu a’lam” [Syarh Shahih Muslim, 6/170-171].
عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَاب النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعَصْرَ، فَقَامَ رَجُلٌ يُصَلِّي فَرَآهُ عُمَرُ، فَقَالَ لَهُ: اجْلِسْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَاب أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلَاتِهِمْ فَصْلٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَحْسَنَ ابنُ الْخَطَّاب "
Dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Bahwasannya ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat ‘Ashar, berdirilah seorang laki-laki untuk melanjutkan shalatnya. Lalu ‘Umar melihat orang tersebut dan berkata kepadanya : “Duduklah ! Ahlul-Kitab telah binasa hanyalah dikarenakan mereka tidak membuat pemisah untuk shalat-shalat mereka”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Sungguh baik apa yang dikatakan Ibnul-Khaththaab” [Al-Musnad, 5/368; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah, 6/105-106 no. 2549].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mengomentari hadits ini dengan perkataannya :
و الحديث نص صريح في تحريم المبادرة إلى صلاة السنة بعد الفريضة دون تكلم أو خروج
“Dan hadits tersebut merupakan nash yang jelas tentang pengharaman untuk langsung melanjutkan shalat sunnah setelah shalat fardlu tanpa berbicara atau keluar” [Silsilah Ash-Shahiihah, 6/105].
5.     Banyak ulama Syaafi’iyyah berpendapat bahwa larangan berpuasa tersebut dimulai dari tanggal 16 Sya’baan berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلَا صَوْمَ حَتَّى يَجِيءَ رَمَضَانُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila tiba pertengahan bulan Sya’baan, janganlah berpuasa hingga tiba bulan Ramadlan”[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2337, At-Tirmidziy no. 738, Ibnu Maajah no. 1651, Ahmad 2/442, ‘Abdurrazzaaq no. 7325, dan yang lainnya; shahih].
Sebagian ulama ada yang mendla’ifkan hadits ini dan sebagian yang lain menshahihkannya; dan pendapat yang menshahihkannya itu menurut kami yang lebih kuat, wallaahu a’lam. At-Tirmidziy mengatakan : "Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih". Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/392.
At-Tirmidziy rahimahullah menjelaskan hadits tersebut sebagai berikut :
وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ مُفْطِرًا فَإِذَا بَقِيَ مِنْ شَعْبَانَ شَيْءٌ أَخَذَ فِي الصَّوْمِ لِحَالِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يُشْبِهُ قَوْلَهُمْ حَيْثُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقَدَّمُوا شَهْرَ رَمَضَانَ بِصِيَامٍ إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَقَدْ دَلَّ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّمَا الْكَرَاهِيَةُ عَلَى مَنْ يَتَعَمَّدُ الصِّيَامَ لِحَالِ رَمَضَانَ
“Makna hadits tersebut menurut sebagian ulama adalah : Jika seseorang tidak terbiasa berpuasa, kemudian ketika masuk pada pertengahan bulan Sya'ban, ia baru mulai berpuasa karena (menyambut) bulan Ramadlaan. Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam (satu hadits) yang semisal makna yang diterangkan oleh mereka, yaitu beliau shalallaahu 'alaihi wa salam bersabda : ‘Janganlah kalian berpuasa mendahului bulan Ramadlaan dengan puasa, kecuali jika bertepatan hari yang kalian biasa berpuasa’. Hadits ini menunjukan larangan bagi orang yang sengaja berpuasa menjelang datangnya puasa Ramadlan” [Dinukil melalui perantaraan Jaami’ Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah fish-Shiyaam wal-Qiyaam wal-I’tikaaf oleh Hamdiy Haamid Shubh, hal. 37, muraja’ah : ‘Aliy Al-Halabiy].
Maka, jika seseorang berniat untuk puasa bulan Sya’ban dan ia telah memulainya sebelum pertengahan Sya’ban, maka tidak mengapa ia berpuasa hingga pada pertengahan kedua bulan Sya’ban. Namun ketika sampai sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadlaan, hendaklah ia berhenti karena ada larangan yang tercantum pada hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu dalam bab ini.
**********
٦٥١ - وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ [قَالَ]: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : ((مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)).
وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ.
651. Dari ‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa di hari yang diragukan padanya, sungguh ia telah durhaka kepada Abul-Qaasim shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, dan disambungkan sanadnya oleh imam yang lima serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan.
Penjelasan ringkas:
Al-Bukhaariy menyebutkannya secara mu’allaq (4/119 - Fathul-Baariy) dengan shighah jazm (pasti). Disambungkan sanadnya oleh Abu Daawud no. 2334, At-Tirmidziy no. 686, An-Nasaa’iy no. 2188, Ibnu Maajah no. 1645, Ad-Daarimiy no. 1724, oleh Ibnu Abi Syaibah 3/73, Ibnu Khuzaimah no. 1914, Ibnu Hibbaan 8/351 no. 3585 & 8/360-361 no. 3595 dan dalam Al-Mawaarid 3/179 no. 878, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 1394, Ad-Daaraquthniy no. 2150, Al-Haakim 1/423-424, dan Al-Baihaqiy 4/208 (350) no. 7952.
Selain Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan, hadits ini juga dishahihkan para imam yang lain.
At-Tirmidziy berkata : “Hadits ‘Ammaar adalah hadits hasan shahih”. Ad-Daaraquthniy berkata : “Sanad hadits ini hasan shahih, para perawinya tsiqaat”. Al-Haakim berkata : “Ini adalah hadits shahih sesuai persyaratan Shahihain, namun keduanya tidak meriwayatkannya”. Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar 3/353 berkata : “Hadits ini sanadnya shahih”.
Beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits ini:
1.     Larangan berpuasa di hari syakk (meragukan).
Para ulama berbeda perkataan dalam mendefinisikan hari syakk.Sebagian ulama berkata bahwa ia adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya gelap atau langit diliputi mendung sehingga hilal tidak tampak. Sebagian ulama lain berpendapat : hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya langit dalam keadaan cerah atau berawan, kemudian diberitahukan adanya ru’yah hilal dari orang yang tidak diterima persaksiannya seperti budak, wanita, atau orang fasik. Sebagian lagi berpendapat ia adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya hilal tidak nampak dalam keadaan langit cerah tanpa ada faktor yang menghalangi tampaknya hilal seperti mendung, gelap, atau yang lainnya. Yang kesemuanya itu menimbulkan keraguan : apakah hari tersebut masih bulan Sya’baan ataukah telah masuk bulan Ramadlaan.
[Catatan : semua pendapat itu bersatu dalam definisi : hari ke-30 bulan Sya’ban dan hilaaldi malam harinya tidak tampak; karena jika hilaal telah tampak maka tidak ada keraguan bahwa telah masuk bulan Ramadlaan].
Hadits ini sebagai sanggahan terhadap pendapat Hanaabilah[1] yang mengatakan wajib berpuasa dalam rangka kehati-hatian jika hilal di malam tigapuluh tidak nampak padahal langit tidak berawan atau tidak gelap (cerah).
2.     Hadits ini menunjukkan kaedah syar’iyyah:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum asal suatu perkara tetap pada asalnya”.
الرجوع للأصل عند الشك
“Hukum kembali pada asalnya ketika ada keraguan”.
Maksudnya, jika ada keraguan pada hari ke-30 bulan Sya’ban apakah ia telah masuk bulan Ramadlaan ataukah belum, maka hari itu tetap dihukumi sebagai bulan Sya’baan.
Sama halnya seperti ketika seorang shahabat ragu dalam shalatnya apakah ia telah batal ataukah belum dikarenakan sesuatu di dalam perutnya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Tidak (batal), hingga ia mendengar suaranya (kentut) atau mencium baunya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 137 & 177 & 2056 dan Muslim no. 361].
Secara umum, ini dapat diqiyaskan dalam hal-hal yang lainnya.
3.     Puasa Ramadlaan tidak dimulai kecuali dengan satu keyakinan akan masuknya bulan Ramadlaan, yaitu dengan terlihatnya hilaal atau setelah menggenapkan bulan Sya’ban 30 hari.
4.     Masyru’-nya menggunakan kun-yah bagi laki-laki maupun wanita
Sudah menjadi kebiasaan semenjak pra-Islam hingga kemudian ditetapkan oleh syari’at Islam, orang-orang menggunakan kun-yah bagi dirinya. Nama kun-yah ini dapat dinisbatkan kepada anaknya seperti yang digunakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu Abul-Qaasim), kepada ayahnya seperti ‘Abdullah bin ‘Umar yang berkunyah Ibnu ‘Umar, atau yang lainnya seperti ‘Aliy bin Abi Thaalib yang ber-kun-yah Abu Turaab[2].
Bahkan anak-anak pun boleh memakai nama kun-yah[3].
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memakai kun-yah Abul-Qaasim bagi selain diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat yang raajihwallaahu a’lam– adalah pendapat ulama yang mengatakan kun-yahAbul-Qaasim dilarang khusus bagi mereka yang bernama Muhammad atau Ahmad saja. Bagi yang tidak bernama ini, maka boleh baginya ber-kun-yah Abul-Qaasim. Hal ini berdasarkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَجْمَعُوا بَيْنَ اسْمِي وَكُنْيَتِي، فَإِنِّي أَنَا أَبُو الْقَاسِمِ، اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي، وَأَنَا أَقْسِمُ
Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku dan kunyahku. Karena sesungguhnya akulah Abul-Qasim. Allah ‘azza wa jalla lah yang memberi dan akulah yang membagi” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/433 no. 9596, Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 1275, Ibnu Hibbaan no. 5814 & 5817, dan yang lainnya; shahih].
Hadits ini memberikan mafhum bahwa jika tidak mengumpulkan antara nama dan kunyah adalah diperbolehkan.
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah.
[abul-jauzaa’ – perumahan bukit asri ciomas indah, sabtu, 06062015 – Buluughul-Maraam dengan penomoran sesuai tahqiq Samiir bin Amiin Az-Zuhairiy].




[1]     Lihat: Al-Hidaayah ‘alaa Madzhab Al-Imaam Abi ‘Abdillah oleh Abul-Khaththaab, hal. 153-154, tahqiq & takhrij & ta’liq : Maahir bin Yaasiin Al-Fakhl; Penerbit Ghiraasy, Cet. 1/1425, Kuwait.
[2]     Turaab artinya tanah. Abu Turaab adalah kun-yah yang diberikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: "جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَجِدْ عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ، فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ؟ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ، فَجَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ وَأَصَابَهُ تُرَابٌ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ "
Dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Faathimah namun tidak mendapatkan ‘Aliy dalam rumah tersebut. Beliau bertanya : “Dimanakah anak pamanmu ?”. Faathimah menjawab : “Telah terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu marah kepadaku kemudian ia keluar dan tidak tidur siang bersamaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang : “Carilah, dimanakah ia berada !”. Lalu orang tersebut datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, ia sedang tiduran di masjid “. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mendatanginya, dimana waktu itu ‘Aliy sedang berbaring, dan selendangnya terjatuh dari sisinya dan terkena tanah. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membersihkan tanah tersebut darinya dan berkata : “Bangunlah Abu Turaab, bangunlah Abu Turaab !” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 441].
[3]     Seperti salah seorang shahabat kecil yang ber-kun-yah Abu ‘Umair.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قال: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ، قَالَ: أَحْسِبُهُ، قَالَ: كَانَ فَطِيمًا، قَالَ: فَكَانَ إِذَا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَآهُ، قَالَ أَبَا عُمَيْرٍ: مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ ؟، قَالَ: فَكَانَ يَلْعَبُ بِهِ
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yang dipanggil Abu ‘Umair yang aku kira waktu itu sedang disapih. Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan melihatnya, beliau menyapanya : “Wahai Abu ‘Umair, apa yang terjadi pada An-Nughair (si burung pipit kecil) ?”. Waktu itu ia sedang bermain dengan nughair” [Diriwayatkanb oleh Al-Bukhaariy no. 6129 & 6203, Muslim no. 2150, Abu Daawud no. 4969, At-Tirmidziy no. 333 & 1989, dan yang lainnya].

Tragedi Banyolan Pak Kiyai

$
0
0
Belum lama ini saya mendengarkan celotehtak bermutu pak kiyai yang kebetulan didapuk (kembali) menjadi Ketua PBNU. Katanya, orang berjenggot itu identik dengan orang bodoh. Berjenggot itu mengurangi kecerdasan seseorang. Semakin panjang jenggot, semakin goblok. Lalu ia mencontohkan beberapa orang Indonesia tak berjenggot yang secara isyarat ia ingin mengatakan bahwa orang-orang itu termasuk cerdas, seperti : Gus Dur, Nur Cholish Majid, dan Quraish Shihab. Boleh-boleh saja ia mengatakan mereka cerdas karena tidak berjenggot; meski kita boleh saja mengatakan hal yang sebaliknya.
Berikut celoteh pak kiyai:

Anyway, ini kiyai makin lama makin mengenaskan saja omongannya. Bukankah ia tahu bahwa jenggot itu termasuk sunnah dalam Islam sebagaimana dikatakan oleh Nabi saya – yang mungkin juga masih Nabi Anda (pak kiyai) – shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam:
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا اللِّحَى
Potonglah kumis kalian dan peliharalah jenggot” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 259].
Nabi saya – yang mungkin juga masih Nabi Anda (pak kiyai) – shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam berjenggot.
عَنْ جَابِر بْن سَمُرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ شَمِطَ مُقَدَّمُ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، وَكَانَ إِذَا ادَّهَنَ لَمْ يَتَبَيَّنْ، وَإِذَا شَعِثَ رَأْسُهُ تَبَيَّنَ، وَكَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ
Dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Rambut bagian depan dan jenggotRasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam telah beruban. Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam meminyakinya, maka ubannya tidak terlihat. Namun apabila rambut kepala beliau telah kering, maka akan nampak. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam adalah seorang yang mempunyai jenggot lebat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2344].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah penghulunya orang-orang cerdas dari kaum muslimin tanpa ada persangsian. Semoga Anda tidak menyangsikannya.
Para shahabat dan taabi’iin pun berjenggot.
عَنْ عَطَاء بْن أَبِي رَبَاحٍ، قَالَ: كَانُوا يُحِبُّونَ أَنْ يُعْفُوا اللِّحْيَةَ، إِلا فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ
Dari ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, ia berkata : “Mereka (para shahabat dan tabi’in) menyukai untuk memelihara jenggot, kecuali saat haji dan ’umrah[1]” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih].
Mereka adalah generasi emas, generasi terbaik yang jauuuuuh lebih baik daripada generasi kocak Islam Nusantara yang coba Anda idekan. Nabi saya – yang mungkin juga masih Nabi Anda (pak kiyai)shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik ummatku adalah yang orang-orang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka (taabi’iin) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka (atbaa’ut-taabi’iin)" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3650 dan Muslim no. 2535].
Para ulama madzhab berjenggot dan menyatakan kemasyru’annya. Bahkan An-Nawawiy rahimahullah– ulama besar madzhab Syaafi’iyyah, madzhab yang sering Anda jadikan boncengan untuk menyebarkan pikiran nyleneh Anda – mengatakan untuk tidak memotong jenggot:
والمختار تركها على حالها, وألا يتعرض لها بتقصير شيء أصلاً
“Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot sebagaimana adanya, dan tidak memendekkannya sama sekali” [Syarh Shahih Muslim, 2/154].
Mereka semua adalah orang-orang cerdas, pilihan dari umat ini. Mereka memilih untuk berjenggot dan menyuruh orang lain untuk berjenggot.
Tokoh-tokoh Nusantara pun banyak. Ada Muhammad Yasin Al-Fadani, Nawawi Al-Bantani, Agus Salim, Ahmad Dahlan, Buya Hamka, sampai KH. Hasyim Asy’ari – pendiri NU – juga berjenggot. Ya, mereka tetap memelihara jenggot meski jenggot mereka tidak selebat keturunan Arab.
Tidak ada satupun orang Indonesia setahu saya yang mengatakan mereka bodoh ber-IQ di bawah standar.
Atau Anda lebih suka contoh dari orang-orang di luar Islam ?. Tak apa saya sebutkan meski saya tidak butuh nama-nama mereka untuk disebutkan. James Parkinson (1755 –1824), William Edmond Logan (1798 –1875), Asa Gray (1810 - 1888), John Strong Newberry (1822 – 1892), John Tyndall (1820 – 1893), Alfred Bernhard Nobel (1833 – 1896), John Wesley Powell (1834 – 1902), Ludwig Eduard Boltzmann (1844 – 1906), Dmitri Ivanovich Mendeleev (1834 – 1907), Henry Clifton Sorby (1826 - 1908), Grove Karl Gilbert (1843 –1918), Pyotr Alexeyevich Kropotkin (1842 – 1921), Alexander Graham Bell (1847 – 1922), Wilhelm Conrad Röntgen (1845 – 1923), dan masih banyak lagi; ini semua adalah para ilmuwan non-Islam yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan berjenggot.
Lantas dari mana dasar celotehan konyol jenggot identik dengan kebodohan ?. Apakah Anda berbicara atas nama ilmu statistik ?. Tentu tidak, karena saya tahu Anda tidak punya kemampuan dan kompetensi di bidang itu. Apakah Anda berbicara atas nama ilmu kesehatan dan psikologi ?. Lebih jauh lagi dari yang pertama. Jika demikian, orang yang berstatement katrok tanpa modal lebih pantas disebut …….. (jawab sendiri).
Saya sebenarnya tidak tahu apa kompetensi Anda. Yang nampak saat ini, bakat komedi Anda lumayan untuk dapat diperbandingkan dengan banyolan trio Bagito. Mampu membuat tawa para hadirin yang mungkin sejenis dengan Anda. Bedanya, Trio Bagito – setahu saya - tidak pernah membuat syari’at dan orang-orang yang menjalankannya sebagai bahan lawakan, sedangkan Anda adalah jagonya. Anda boleh saja benci dengan ‘Wahabi’, akan tetapi kebencian Anda tentu tidak boleh menjadikan syari’at sebagai mainan dan olok-olokan.
Allah ta’ala berfirman :
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ (64) وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66)
Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan kepada mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka.  Katakanlah kepada mereka : “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”.  Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu.  Dan jika kamu tanyakan kepada mereka  (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab : “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja”.  Katakanlah : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?.  Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman. Jika Kami maafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami mengadzab golongan (yang lain), karena mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa” [QS. At-Taubah : 64-66].[2]
Semoga Allah ta’ala tidak memperbanyak orang-orang seperti Anda. Dan yang lebih penting lagi, semoga Allah ta’ala memberi petunjuk kepada Anda dan para pengikut Anda.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – kantor P3E, 28 Dzulqa’dah 1436/12092015 – 13:03].




[1]     Maksudnya mereka memotongnya kelebihan jenggot di bawah genggaman tangan saat haji dan ‘umrah sebagaimana riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, wallaahu a’lam.
[2]     Abu Bakr Al-Jashshaash rahimahullah berkata :
فيه الدلالة على أن اللاعب والجاد سواء في إظهار كلمة الكفر على غير وجه الإكراه. لأن هؤلاء المنافقين ذكروا أنهم قالوا ما قالوه لعبا، فأخبر الله عن كفرهم باللعب بذلك. وروى الحسن وقتادة أنهم قالوا في غزوة تبوك: أيرجو هذا الرجل أن يفتح قصور الشام وحصونها!! هيهات هيهات. فأطلع الله نبيه على ذلك. فأخبر أن هذا القول كفر منهم على أي وجه قالوا من جِد أو هزل، فدل على استواء حكم الجاد والهازل في إظهار كلمة الكفر. ودل ـ أيضا ـ على أن الاستهزاء بآيات الله، أو بشيء من شرائع دينه: كفر من فاعله
“Pada ayat tersebut terdapat dalil bahwa seseorang yang bermain-main atau sungguh-sungguh adalah sama kedudukannya dalam hal mengeluarkan kalimat kufur yang dilakukan dengan sengaja. Orang-orang munafik tersebut mengatakan bahwa mereka mengatakan perkataan itu hanya main-main saja. Maka Allah mengkhabarkan (kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam) akan kekafiran mereka atas sebab hal itu. Al-Hasan dan Qatadah meriwayatkan bahwasannya mereka (kaum munafiq) berkata dalam peperangan Tabuk : ”Apakah laki-laki ini (yaitu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam) berangan-angan untuk membuka istana-istana Syaam beserta benteng-bentengnya ?! Sungguh sangat jauh khayalan ini”. Maka Allah menampakkan perkataan mereka kepada Nabi-Nya. Allah mengkhabarkan bahwasannya perkataan mereka itu adalah tanda kekufuran mereka, baik itu serius atau main-main saja. Ini menunjukkan bahwa dalam mengeluarkan ucapan-ucapan kufur baik serius atau main-main itu hukumnya sama. Juga menunjukkan bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah atau satu bagian dari syari’at agama-Nya adalah kekufuran bagi si pelaku” [Ahkaamul-Qur’an, 3/142].

Zakir Naik Sesat ?

$
0
0
Terus-terang, saya termasuk ‘penggemar’ dr. Zakir Naik hafidhahullah. Banyak video-videonya yang saya ikuti, terutama versi pendek yang ada di Youtube. Satu ketika kemudian, saya pernah ‘tersesat’ menonton satu cuplikan video di Youtube yang berisi ‘kritikan’ terhadap Dr. Zakir Naik. Saya tonton itu video dan coba cari bahasan apa yang diributkan di Google. Dan ternyata, yang ia katakan menjadi booming pentahdziran di berbagai forum, hingga muncullah tuduhan mulhid kepadanya yang berasal dari jawaban seorang ulama. Semula saya abaikan. Toh kalau dibahas, malah membuat orang yang tidak tahu jadi tahu. Lagi pula, fatwa dan isu tersebut – sependek pengetahuan saya waktu itu - belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan menjadi viral broadcast media sosial. Namun, tempo hari saya diberitahukan oleh salah seorang rekan bahwa isu tahdzir Zakir Naik sedang menghangat. Fatwa tahdzir terhadap dr. Zakir Naik diterjemahkan dan disebarkan. Pelakunya dapat ditebak,…. siapa lagi kalau bukan teman dan tetangga usil kita yang satu itu.

Berikut bunyi terjemahan fatwa dimaksud:
ZAKIR NAIK MENGATAKAN ALLAH TIDAK MAMPU MELAKUKAN SEMUA PERKARA
Ulama Kibar Muslim, Syaikh Shalih Fauzan al Fauzan hafizhahullah ditanya:
Terdapat da'ie yang terkenal yang mana usahanya tersebar ke seluruh dunia. Dia mengatakan Allah tidak mampu melakukan semua perkara. Dia juga mengatakan terdapat 1000 perkara yang Allah tidak mampu lakukan.
Adakah orang ini dianggap da'ie ke pintu pintu Jahannam? Adakah kami perlu ingat kan tentang dia (kesesatannya)?
Syaikh menjawab:
Orang ini mulhid (1), orang yang mengatakan sedemikian adalah mulhid terhadap Nama² dan Sifat² Allah.
"Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka berdoalah (kepada Allah) dengan nya (dengan menyebut asmaa-ul husna) dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama Nya. Nanti mereka akan mendapatkan balasan terhadap apa yang mereka lakukan." (Surah al A' raf ayat 180)
"Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman pada hari kiamat?" (Surah Fussilat ayat 40)
Seseorang mengatakan Allah tidak mampu melakukan semua perkara... Maha Suci Allah! Allah mengatakan:
"... Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu" (Surah al Baqarah ayat 284)
Berapa banyak ayat yang ada (menyatakan) "Allah mampu lakukan segala sesuatu" atau "Sesungguhnya Allah mampu lakukan semua perkara"? Berapa banyak ayat!? (2)
Allah tidak menyebutkan apa² batasan ke atas keupayaanNya, kebolehanNya tidak terbatas ke atas segala sesuatu. Dia mampu melakukan apa sahaja. Dia, Maha Mengetahui ke atas segala sesuatu. Dia, Yang Maha Tinggi dan Paling Tinggi, tidak menyebutkan apa² keterbatasan.
Dan kau datang dan mengehadkan ini!? Adakah kau katakan "Tidak, ada beberapa perkara yang Allah tidak tahu dan aku mengetahuinya" (3).
Ini adalah jenis ilhaad terhadap Nama² dan Sifat² Allah.
Bukan semua pendakwah berada di atas kebenaran. Dengar ucapan Rasulullah "pendakwah ke pintu-pintu Jahannam" (4)
Bukan semua pendakwah di atas kebenaran. (Tamat perkataan Syaikh)

Nota kaki:
(1) Mulhid adalah seseorang melakukan ilhaad terhadap Nama² dan Sifat² Allah dengan menafikan kesemuanya secara total atau merubah maknanya ke makna yang tidak sesuai kepada Allah.
Ilhaad juga termasuk menamakan Allah dengan nama-nama yang Dia tidak gunakannya untuk menamakan diri Nya. Lihat Syarah Qowaid Al Muthla (pg. 49-50), Syaikh Ibn 'Uthaymeen. Ilhaad juga boleh diterjemahkan sebagai kafir atau rawafidh (penolak/penafi) di dalam petikan ini, Allahu'alam.
(2) Terdapat lebih 35 ayat Quran yang menyatakan hal ini atau ayat yang sama!
(3) Perhatikan Syaikh menyebutkan faedah di dalam contoh ini. Beliau dengan sengaja gemar untuk memperlihatkan dengan jelas berapa tidak boleh diterima kepada pengakuan yang menyatakan bukan semua perkara Allah tahu, dan seseorang mengaku mengetahui sesuatu yang Allah tidak mengetahui! Maka ianya sama, apa² sifat Allah yang Dia nisbatkan pada diri Nya seperti ilmu Nya, keupayaanNya, atau apa sahaja, tidak akan ada keterbatasan atau limit atau pengkhususan (ke atas Sifat² Allah) dengan menggunakan pemikiran secara rasional atau falsafah. Wallaahu A'lam.
(4) Dari hadith shahih dari Hudzaifah menceritakan tentang ahlul dholal dan fitnah mereka yang akan dihadapi oleh umat yang akan datang.
"Akan ada du'at yang memanggil ke pintu-pintu jahanam dan sesiapa yang menyahut seruan mereka, mereka akan melemparkan nya ke dalam nya (neraka). Al Bukhari No. 7084 Muslim no. 1847
[selesai].
Ada beberapa hal pokok yang perlu dikomentari. Namun sebelum itu, simak video lengkap dr. Zakir Naik berikut:

Silakan lompat ke menit 3:55, berikut transkripnya (dalam bahasa Inggris):
Regarding the second part of the question…that God can do everything?…Normally I pose this question to most of the people who believe in God just so that they have better understanding of Allah subhanwatala …I ask them the question.. that can God create anything and everything …most of them will say Yes,… can God destroy anything and everything…all will say Yes …my third question is ..can God create a thing which he cannot destroy… and they are trapped…if they say yes .. that God can create a thing which he cannot destroy they are going against the second statement that God can destroy everything ..if they say no God cannot create a thing which he cannot destroy that means they are going against first statement that God can create everything… again they are not using logic… they are trapped …same way God cannot create a tall short man  ..yes he can make a tall man short but no longer he remains tall….he can make a tall man short……no longer remains tall..he make a short man tall ..no longer that man remains short….but you can’t have a tall short man ..you cannot ….(word unclear)…who is ..neither tall neither short ..but God can't make a man who is tall and short at the same time similarly God almighty ..Allah subhantala cannot make a fat thin man …there are a thousand things I can list which God almighty can't do ….God cannot tell a lie… the moment he tells a lie.. he ceases to be God …God cannot be unjust…the moment he is unjust he ceases to be God…God cannot be cruel ..God cannot forget …..you can list a thousand things ..God almighty cannot throw me out of his domain….the full world the full universe belong to him…he can kill me, he can obliterate me, he can make me vanish ..but he cannot throw me out of his domain …to him belongs everything ..where will he throw me…he can kill me ,…the can obliterate me..he can make me vanish…but he cant throw me out of his domain …nowhere does the quraan say God can do everything ..infact quraan says…innAllaha ala kulli shai in Qadeer… that verily Allah has Power over all things..quraan doesn't say God can do everything…quraan says God has power over all things…several places….surah baqrah chapter no.2 verse no.106 surah baqrah chap 2 verse 108.. surah Imran …aali imran chapter no. 3 verse 29 in surah nahl chapter no.16 verse no. 77 in surah faatir chapter 35 verse no.1 …several places the  quraan says the quraan says innaAllaha ala kulli shaiin Qadeer..verily Allah has power over all things…and there is a world of a difference between Allah can do everything and Allah has power over everything infact Quraan says in Surah Buruj chapter no.85 verse no. 15, and 16 it says that Allah is the doer of all He intends….see whatever He intends He can do…but God only does Godly things ..he does not do unGodly things…….
[selesai].
Terkait dengan hal tersebut di atas, sedikit catatan yang dapat saya tuliskan:
1.      Dari judulnya coba baca : ZAKIR NAIK MENGATAKAN ALLAH TIDAK MAMPU MELAKUKAN SEMUA PERKARA. Pertanyaan saya, apakah Zakir Naik mengatakan sebagaimana di judul ?. Jawabnya tidak. Silakan cari perkataannya dalam transkrip bahasa Inggris di atas. Barangkali judul tersebut terinspirasi dari kalimat dalam pertanyaan fatwa yang dinisbatkan kepada dr. Zakir Naik:
إن الله لا يقدر على كل شيء، وأنا أعلم ألف شيء لا يقدر عليه الله تعالى
“Sesungguhnya Allah tidak mampu melakukan segala sesuatu. Dan aku mengetahui 1.000 perkara yang Allah tidak mampu melakukannya”
Potongan pertanyaan ini adalah kelancungan yang diambil dari kelaziman[1]perkataan dr. Zakir Naik tanpa melihat perkataan utuhnya beserta konteksnya, dan siapa pula yang sedang bertanya[2]. Saya yakin, semua ulama yang ditanya dengan sepotong pertanyaan berbahasa Arab tersebut di atas akan menjawab sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah. Betapa tidak ?. Statement itu langsung menabrak firman Allah ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu” [QS. Al-Baqarah : 20, 109, 148]
Bertanya/minta fatwa kepada ulama tanpa menjelaskan gambaran utuh objek yang ditanyakan[3]adalah kebiasaan buruk yang perlu diterapi agar sembuh.
2.      Apakah benar perkataan dr. Zakir Naik bermaksud untuk mengingkari qudrah Allah ta’ala sebagaimana kemasan judul dan pertanyaan yang disampaikan ?.
Jika kita perhatikan konteks perkataan dr. Zakir Naik, maka ia sedang menjelaskan beberapa hal paradoks yang sering dilontarkan kaum atheis dan kafir untuk memberikan jebakan karat syubhat terhadap kaum muslimin. Misal ia mengatakan:
I ask them the question.. that can God create anything and everything …most of them will say Yes,… can God destroy anything and everything…all will say Yes …my third question is ..can God create a thing which he cannot destroy… and they are trapped…if they say yes .. that God can create a thing which he cannot destroy they are going against the second statement that God can destroy everything ..if they say no God cannot create a thing which he cannot destroy that means they are going against first statement that God can create everything…
“Aku bertanya kepada mereka dengan satu pertanyaan. Apakah Tuhan dapat menciptakan sesuatu dan segala sesuatu ?. Kebanyakan mereka akan menjawab : ‘Ya’. (Selanjutnya), apakah Tuhan dapat menghancurkan sesuatu dan segala sesuatu ?. Semuanya akan mengatakan : ‘Ya’. Pertanyaan ketiga saya adalah : Apakah Tuhan dapat menciptakan sesuatu yang ia tidak dapat menghancurkannya ?. Dan mereka pun (akhirnya) terjebak. Jika mereka mengatakan ‘ya’, bahwa Tuhan dapat menciptakan sesuatu yang tidak dapat Ia hancurkan, maka (jawaban) mereka akan bertentangan dengan pernyataan kedua bahwa Tuhan dapat menghancurkan segala sesuatu. Namun apabila mereka menjawab ‘tidak’, yaitu bahwa Tuhan tidak dapat menciptakan sesuatu yang tidak dapat Ia hancurkan, maka itu artinya (jawaban) mereka bertentangan dengan pernyataan pertama bahwa Tuhan dapat menciptakan segala sesuatu…..”
[selesai kutipan dan terjemahan].
Begitu juga hal paradoks lain yang ia contohkan seperti Allah ‘tidak dapat’ (cannot) menciptakan satu manusia yang tinggi dan rendah dalam satu waktu, kurus dan gemuk dalam satu waktu. Sebenarnya, apa yang dijelaskan dr. Zakir Naik bukanlah sesuatu yang baru. Perkataan yang semisal telah didahului oleh para ulama saat membahas qudrah Allah ta’ala.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengistilahkan hal-hal yang disebutkan Zakir Naik sebagai al-mumtani’ li-dzaatihi (sesuatu yang tidak mungkin/mustahil terjadi secara dzatnya).
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu” [QS. Al-Baqarah : 20, 109, 148, dan yang lainnya]
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, pemahaman qudrah Allah dalam ayat ini, manusia terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama mengatakan bahwa ayat ini umum dan mencakup al-mumtani’ li-dzaatihi. Diantara tokohnya adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Kelompok kedua mengatakan bahwa ayat ini bersifat ‘aamul-makhshuush, yaitu bersifat umum, namun dikhususkan darinya perkara al-mumtani’ li-dzaatihi.  Kedua kelompok ini keliru, karena yang benar adalah kelompok ketiga yang menyatakan al-mumtani’ li-dzaatihibukanlahsesuatusehingga tidak masuk cakupan ayat[4][lihat : Majmuu’ Al-Fataawaa, 8/8-9]. Ini adalah kesepakatan para ulama [Ash-Shafadiyyah, 2/190]. Termasuk dalam katagori ini adalah berkumpulnya dua hal yang bertentangan/berlawanan/paradoks (اجتماع الضدين) [Majmuu’ Al-Fataawaa, 8/8 dan Minhaajus-Sunnah, 1/350].
Seperti jika kita katakan: turun ke bawah,bergerak dan sekaligus diam, keberadaan benda yang putih semua dan hitam semua, terjadinya siang dan malam di satu tempat dan satu waktu secara bersamaan, dan banyak lagi yang lain. Semua ini adalah tidak masuk akal, tidak mungkin terjadi, dan tidak ada wujudnya sehingga tidak dikatakan termasuk ‘sesuatu’ yang masuk cakupan qudrah Allah ta’ala dalam ayat innallaaha ‘alaa kulli syain-qadiir.
Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-Utsaimiin rahimahullah saat membahas Al-‘Aqiidah As-Safaariniyyah menjelaskan bahwa qudrah Allah ta’ala tidak berkaitan dengan sesuatu yang mustahil(li-dzaatihi). Beliau rahimahullah berkata:
أما المستحيل لذاته : فهو مستحيل لا يمكن ، لو أن أحداً أراد أن يقول : هل الله قادر على أن يخلق مثله ؟
لقلنا : هذا مستحيل ، لكن الله قادر على أن يخلق خلقاً أعظم من الخلق الذي نعلمه الآن ، ونحن نعلم الآن أن أعظم مخلوقٍ نعلمه هو العرش ، العرش أعظم من كل شيء من المخلوقات التي نعلمها ، ومع ذلك نعلم أن الله قادر على أن يخلق أعظم من العرش ، لكن الشيء المستحيل لذاته هذا غير ممكن
“Adapun al-mustahiil li-dzaatihi, maka itu adalah kemustahilan yang tidak mungkin terjadi. Seandainya ada seseorang ingin mengatakan : ‘Apakah Allah mampu menciptakan (tuhan) semisal-Nya?’. Niscaya akan kita jawab : ‘Ini tidak mungkin’. Namun demikian, Allah mampu untuk menciptakan makhluk yang lebih besar daripada makhluk yang kita ketahui sekarang. Dan kita mengetahui saat ini bahwa makhluk paling besar adalah ‘Arsy[5]. ‘Arsy lebih besar dari segala sesuatu dari makhluk-makhluk Allah yang kita ketahui. Bersamaan dengan itu, kita juga mengetahui bahwa Allah mampu untuk menciptakan makhluk yang lebih besar daripada ‘Arsy. Namun sesuatu yang mustahil secara dzatnya, adalah tidak mungkin terjadi” [Syarh Al-‘Aqiidah As-Safaariniyyah, 2/190].
Begitu juga tiga contoh pertanyaan dr. Zakir Naik di awal, merupakan contoh perkataan mubtadi’yang dibawakan Asy-Syaikh Al-Khudlair hafidhahumallah:
هل القدرة تتعلق بمستحيل؟ لأنه لأن وجود إله ثاني مستحيل فهل يمكن أن يقال: إن الله قادر على أن يخلق مثله؟ لماذا؟ لأنه مستحيل، والمستحيل عند أهل العلم ليس بشيء، {وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ} [(284) سورة البقرة]، هذا ليس بشيء، يعني أورد بعض المبتدعة قوله في مجال القدرة هل الله -جل وعلا- قادر على أن يخلق صخرة لا يستطيع تفتيتها؟ نقول: هذا جمع بين النقيضين، جمع بين النقيضين، كونه يقدر على خلق هذه الصخرة يناقضه ويعارضه عدم القدرة على تفتيتها، فهو قادر غير قادر، هذا محال، والقدرة لا تتعلق بمستحيل
“Apakah qudrah (Allah) berkatan dengan hal yang mustahil ?. Dikarenakan keberadaan tuhan yang kedua adalah mustahil, apakah mungkin untuk dikatakan : ‘Sesungguhnya Allah mampu untuk menciptakan (tuhan) semisal-Nya?. Mengapa ?. Karena hal tersebut mustahil. Dan kemustahilan menurut para ulama bukanlah ‘sesuatu’. Wallaahu ‘alaa kulli syain qadiir (dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu) (QS. Al-Baqarah : 284). Ini bukanlah ‘sesuatu’. Yaitu, sebagian ahli bid’ah membawakan perkataannya dalam wilayah qudrah (Allah) : ‘Apakah Allah jalla wa ‘alaamampu menciptakan batu yang tidak dapat dihancurkan ?’. Kami katakan : Ini adalah mengumpulkan dua hal yang saling bertentangan/berlawanan/paradoks. Keberadaan Allah mampu untuk menciptakan batu tersebut bertentangan dan berlawanan dengan ketidakmampuan untuk menghancurkannya. Maka ini adalah kemampuan atas ketidakmampuan. Ini mustahil/tidak mungkin. Oleh karenanya, qudrah tidak berkaitan dengan kemustahilan….” [Syarh Al-‘Aqiidah As-Safaariniyyah, hari Rabu, 16 Dzulhijjah 1436 - http://shkhudheir.com/scientific-lesson/1237394494].
Tentang perkataan Zakir Naik:
“there are a thousand things I can list which God almighty can't do ….God cannot tell a lie… the moment he tells a lie.. he ceases to be God …God cannot be unjust…the moment he is unjust he ceases to be God…God cannot be cruel ..God cannot forget …..you can list a thousand things ..God almighty cannot throw me out of his domain….the full world the full universe belong to him…he can kill me, he can obliterate me, he can make me vanish ..but he cannot throw me out of his domain …to him belongs everything ..where will he throw me…he can kill me ,…the can obliterate me..he can make me vanish…but he cant throw me out of his domain …nowhere does the quraan say God can do everything ..infact quraan says…innAllaha ala kulli shai in Qadeer…
Ada 1.000 perkara yang dapat aku buat daftarnya dimana Tuhan yang Maha Kuasatidak dapat (can’t)melakukannya…. Tuhan tidak dapat berkata dusta…. (Jika memang Tuhan dapat berkata dusta – Pent.), saat ia berkata dusta,… maka Ia berhenti menjadi Tuhan…. Tuhan tidak dapat berbuat tidak adil. (Jika memang Tuhan dapat berbuat tidak adil  – Pent.), saat Ia berbuat tidak adil, maka ia berhenti menjadi Tuhan….. Tuhan tidak dapat berbuat jahat/kejam/lalim…. Tuhan tidak dapat lupa…. Anda dapat membuat daftar 1.000 perkara… Tuhan Yang Maha Kuasa tidak dapat melemparkanku keluar dari kekuasaan-Nya…. Semesta alam adalah milik-Nya…. Dia dapat membunuh/mematikanku, melenyapkanku, dan membuatku hilang….. namun Ia tidak dapat melemparkanku keluar dari kekuasaan-Nya. Tidak ada dalam Al-Qur’an yang mengatakan bahwa Tuhan dapat melakukan (can do) segala sesuatu…. Faktanya Al-Qur’an mengatakan…innallaahu ‘alaa kulli syain-qadiir (Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu)…”.
[selesai nukilan dan terjemahannya].
maka, perkara-perkara yang disebutkan di atas adalah contoh perkara-perkara yang juga disebutkan para ulama kita.
Asy-Syaikh Muhammad Amaan Al-Jaamiy rahimahullah berkata:
وهناك مستحيلات وواجبات ، فقدرة الله تعالى لا تتعلق بالمستحيلات ولا بالواجبات ، ولكنها تتعلق بالممكنات أو بالجائزات وكما قلنا : الجائزات والممكنات بمعنى واحد ، أما المستحيلات فلا تتعلق بها قدرة الله ، من المستحيلات : الشريك والصاحبة والولد والوزير والمعين ، قدرة الله تعالى لا تتعلق بهذه ( الممكنات ) لأن إيجادها نقص لا يليق بالله تعالى ، إذا قلنا قدرة الله لا تتعلق بها ، لا ينبغي بأن يفهم أن الله عاجز عن إيجاد هذه الأشياء ، ليس بعاجز ولكن قدرته لا تتعلق بها حكمة منه وكمالا لأنها نقص ....
“Di sana terdapat hal-hal yang mustahil dan hal-hal yang wajib. Qudrah Allah ta’ala tidak berkaitan dengan hal-hal yang mustahil dan juga hal-hal yang wajib. Akan tetapi, qudrah Allah berhubungan dengan hal-hal yang mungkin (mumkinaat) atau boleh (jaaizaat), sebagaimana perkataan kami : al-jaaizaat dan al-mumkinaat mempunyai satu makna. Adapun hal-hal yang mustahil (mustahiilaat), maka ia tidak berhubungan/ berkaitan dengan qudrah Allah. Yang termasuk mustahiilaat adalah (memiliki) sekutu, istri, anak, waziir, dan teman penolong. Qudrah Allah ta’ala tidak berkaitan dengan hal ini (yaitu mumkinaat)[6], karena mengadakannya merupakan kekurangan/aib yang tidak pantas bagi Allah ta’ala. Apabila kita katakan bahwa qudrah Allah tidak berkaitan dengannya (yaitu mustahiilaat– Pent.), maka tidak pantas untuk dipahamai bahwa Allah lemah untuk mengadakan semua hal tersebut. Allah tidak lemah[7], akan tetapi qudrah-Nya tidak berkaitan dengannya sebagai hikmah dan kesempurnaan dari-Nya karena hal tersebut merupakan kekurangan/aib…” [Syarh Risaalah At-Tadmuriyyah– islamspirit].
Apakah penjelasan-penjelasan di atas berbeda secara substansi?.[8]
3.      Perlu diingat, mayoritas yang dihadapi oleh Zakir Naik adalah orang-orang kafir penyembah manusia, sapi, dan patung serta atheis yang mengandalkan nalarnya untuk menerima agama. Bahasa ibu mereka bukan bahasa Arab, sehingga mereka tidak tahu teks nash kecuali setelah diterjemahkan. Mereka tidak kenal pula bahasa-bahasa syari’at seperti lazimnya dipakai oleh para penuntut ilmu dan ulama. Oleh karenanya, jangan disamakan kondisinya.
Dalam video yang lain[9] dijelaskan bahwa hampir semua agama yang ada – selain Islam – percaya bahwa Tuhan dapat bertransormasi dalam bentuk manusia. Orang-orang yang hadir, berdialog, dan berdebat dengan Zakir Naik adalah golongan yang percaya ini. Bagaimana cara membantah aqidah mereka sehingga mereka dapat menerima kebenaran Islam. Selain dalil – yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris/Urdu – Zakir Naik menjelaskan kepada mereka dan juga mendebat mereka dengan logika dan teks-teks kitab suci mereka. Ini sesuatu yang Anda miskin darinya…..
4.      Seandainya Zakir Naik keliru, apakah kekeliruannya bersifat substansial?. Saya sepakat ada beberapa kekeliruan dalam penggunaan kata, seperti misal perkataannya ‘there are a thousand things I can list which God almighty can't do’.
Things di sini artinya ‘sesuatu’. Jika Zakir Naik mengatakan ia dapat membuat daftar 1.000 perkara (sesuatu) – a thousand things– yang tidak dapat Allah lakukan, sementara di sisi lain ia mengatakan ayat God has power over all things (Allah maka Kuasa atas segala sesuatu – wallaahu ‘alaa kulli syain qadiir); secara lafadh memang terjadi paradoks. Kalau kita memakai penjelasan ulama, maka jelas. Satu kemustahilan (al-mustahiil li-dzaatihi atau al-mumtani’ lidzaatihi) itu bukan termasuk ‘sesuatu’, sehingga tidak berkaitan dengan qudrah Allah dalam ayat yang ia (Zakir Naik) sitir. Juga yang lainnya.
Seandainya apa yang dikatakan Zakir Naik itu memang salah, apakah layak mendapatkan predikat mulhid akibat pertanyaan lancung yang disampaikan ?. Jangan anggap ringan konsekuensi perbuatan Anda. Jangan anggap status mulhiditu seperti status penjual sate yang tidak ada konsekuensi hukum dunia dan akhiratnya. Seandainya Anda dan kaum Anda menyampaikan pertanyaan kepada Asy-Syaikh Al-Fauzaan hafidhahullah secara lengkap sesuai dengan konteksnya, saya yakin, beliau hafidhahullah tidak akan mengatakan mulhid. Apalagi jika Anda dan kaum Anda sampaikan siapa dai yang dimaksud (yaitu dr. Zakir Naik), barangkali beliau hafidhahumallah akan memberikan udzur kepadanya karena mempertimbangkan dimana ia tinggal dan siapa yang sedang ia ajak bicara. Atau bahkan membenarkannya, bukan hal yang mustahil.
Zakir Naik tidak mengingkari kekuasaan Allah atas segala sesuatu. Seandainya Zakir Naik mengatakan “there are a thousand things I can list which God almighty can't do”, maka tidak selalu harus dipahami darinya Allah tidak memiliki kemampuan atau memiliki kelemahan untuk melakukan sesuatu itu.
Kata ‘cannot/can’t’ dalam bahasa Inggris dapat mempunyai beberapa makna, tergantung kalimatnya. Bisa jadi maknanya adalah tidak mampu seperti kalimat my father cannot walk (ayahku tidak dapat berjalan). Bisa jadi maknanya adalah tidak mau seperti kalimat I cannot stay here any longer, maksudnya aku tidak mau/tidak mungkin tinggal di sini lebih lama karena sesuatu alasan. Contoh lain, I cannot marry you, maksudnya aku tidak dapat menikah denganmu, mungkin karena tidak mampu (modal kurang), atau tidak mau karena tidak suka. Dan yang lainnya.
Kalau Anda ngeyel dengan penafikkan sifat qudrah Allah dari Zakir Naik, apa sebenarnya yang dinafikkannya sehingga Anda berdagang cap kemulhidan dirinya?. Bukankah yang ia nafikkan adalah hal-hal yang mustahil bagi Alah, dan itu sesuai dengan penjelasan ulama. Hanya saja pilihan kata atau kalimat yang ia bawakan barangkali belum sepenuhnya tepat untuk mewakili terminologi yang diakui dalam syari’at.
5.      Dr. Zakir Naik adalah seorang dai. Ia tidak menyerukan kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan. Dakwahnya adalah mengajak orang-orang yang berbuat syirik penyembah sapi, manusia, dan berhala untuk menyembah Allah semata. Mengajak orang yang tidak bertuhan untuk bertuhan, menyembah hanya kepada Allah ta’ala saja. Banyak orang kafir melalui perantaraan dirinya akhirnya mendapatkan hidayah Allah ta’ala.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” [QS. Muhammad : 7].
وَاصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan” [QS. Huud : 115].
Beliau hafidhahullah mendapatkan penghargaan Raja Faishal dari kerajaan Saudi Arabia atas pengabdiannya terhadap Islam dan kaum muslimin[10]. Satu pengabdian yang luar biasa, yang penulis artikel ini belum mencapai seperseratus dari apa yang telah beliau lakukan. Semoga Allah ta’ala menerima amal kebaikannya dan mengampuni semua kesalahannya….
Zakir Naik bukanlah selevel ulama seperti Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin, Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan, Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Aalusy-Syaikh, Asy-Syaikh Rabii’, Asy-Syaikh ‘Ubaid, dan yang lainnya hafidhahumullah. Namun demikian, ia juga tidak lebih rendah kedudukannya dibandingkan Anda, wahai para pencela. Jika ia salah, maka sudah seharusnya diberikan udzur dan nasihat yang baik, karena ia termasuk muslim Ahlus-Sunnah. Ia tidak berguru pada Plato, Aristoteles, dan filosof Yunani; akan tetapi pada ulama Ahlul-Hadits. Zakir Naik adalah asset yang sangat berharga bagi kaum muslimin.
Itu saja barangkali sedikit yang dapat saya tuliskan setelah sekian lama libur menulis. Tidak lupa, silakan simak penjelasan Ustadz Firanda Andirja hafidhahullah saat membahas permasalahan yang sama. Saya banyak mengambil faedah dari beliau, dan judul artikel ini pun nyontek dengan judul video beliau:
Semoga dapat memberikan manfaat.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[somewhere, 19 Syawwal 1437, 16:52]




[1]   Dalam kaedah:
لازم القول ليس بقول
“Kelaziman dari satu perkataan bukanlah perkataan itu sendiri”
[2]   Kemasan jawaban dapat berlainan meskipun pertanyaan yang diajukan sama mempertimbangkan orang yang bertanya (disesuaikan dengan latar belakangnya, kapasitasnya, dan yang lainnya).
[3]   Apalagi jika si penanya sudah punya kesimpulan sendiri, sehingga pertanyaan yang diajukan telah dikemas hanya untuk menguatkan kesimpulannya.
[4]   Karena ayat menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu” [QS. Al-Baqarah : 20, 109, 148].
[5]   Rasulullah bersabda:
أُذِنَ لِى أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلاَئِكَةِ اللَّهِ مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ إِنَّ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيرَةُ سَبْعِمِائَةِ عَامٍ
“Aku telah diizinkan untuk mengabarkan tentang para malaikat pemikul ‘Arsy, sesungguhnya satu malaikat, jarak antara daun telinga sampai ke bahunya, sejauh perjalanan 700 tahun” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4727; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 151].
Jika wujud malaikat pemikul ‘Arsy adalah sebagaimana dalam hadits di atas, bagaimana dengan ‘Arsy yang dipikulnya ? (tentu lebih besar).
[6]   Mungkin yang dimaksud syaikh adalah mustahiilaat, karena beliau sedang membicarakan ini.
[7]   Sifat lemah ditiadakan dari Allah ta’ala karena berlawanan dengan sifat qudrah.
[8]   Sungguh menakjubkan, kawan dan tetangga usil kita men-translate-kan dialog dalam video berikut:

Video di atas adalah yang versi asli. Yang editan dan dikasih terjemahan oleh kawan usil kita itu ada di website mereka. Sayangnya, ada bagian terjemahan bahasa Inggris yang dirasa ngawur berat !. Contohnya, ada bagian terjemahan dari Zakir Naik dituliskan begini (baik yang versi website maupun versi video):
Jika saya bersetuju dengan kamu Tuhan bisa menjadi manusia, kamu harus sadar bahwa sebaik saja Tuhan menjadi manusia, Tuhan tidak lagi menjadi Tuhan..
Ditambah lagi, unggahan video terjemahan dikasih caption : “Perhatikan, ucapan tuhan menjadi manusia yang seharusnya diingkari/dihindari, justru meladeninya dengan mengucapkan kalam filsafat seperti ini”.

Zakir Naik tidak mengatakan agar Tuhan sebaiknya menjadi manusia saja. Yang dikatakan Zakir Naik di situ adalah if I agree with You (that) God can become human being, than You have to realize, when God can become human being, He ceases to be God…..yang kurang lebih artinya:
“Apabila saya setuju dengan Anda bahwa Tuhan dapat menjadi manusia, maka Anda harus menyadari, ketika Tuhan menjadi manusia, maka (saat itu) Ia berhenti menjadi tuhan…..”.
Tentu beda sekali apa yang dikatakan Zakir Naik dengan apa yang mereka tulis, komentari, dan sebarkan ke khalayak.
Jika Anda merasa tidak cakap berbahasa Inggris, sebaiknya pensiun dari kegiatan Anda bersibuk diri mengkritik orang yang berdakwah di negeri seberang sana yang banyak orang mendapatkan hidayah Allah melalui perantaraan dirinya. Sibukkan saja dengan kursus bahasa Inggris.
[9]   Lihat :
 
[10]  Silakan lihat :

Mendemo Nabi ?

$
0
0
Al-Imaam Muslim rahimahullah berkata dalam Shahih-nya:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ ﷺ قَبْرَ أُمِّهِ، فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: "اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي، فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid, dari Yaziid bin Kaisaan, dari Abu Haazim, dari Abu Hurairah, ia berkata : “(pada suatu waktu) Nabi berziarah ke kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang-orang di sekitar beliau pun ikut menangis. Beliau bersabda : “Sesungguhnya aku telah memohon izin Rabb-ku untuk memintakan ampun untuknya, namun Ia tidak mengizinkanku. Dan aku meminta izin-Nya untuk menziarahi kuburnya, dan Ia mengizinkanku. Maka berziarahlah kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian[No. 976].
An-Nawawiy rahimahullah berkata tentang hadits di atas:

فِيهِ جَوَاز زِيَارَة الْمُشْرِكِينَ فِي الْحَيَاة ، وَقُبُورهمْ بَعْد الْوَفَاة ؛ لِأَنَّهُ إِذَا جَازَتْ زِيَارَتهمْ بَعْد الْوَفَاة فَفِي الْحَيَاة أَوْلَى ، وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا } وَفِيهِ : النَّهْي عَنْ الِاسْتِغْفَار لِلْكُفَّارِ . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : سَبَب زِيَارَته صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرهَا أَنَّهُ قَصَدَ قُوَّة الْمَوْعِظَة وَالذِّكْرَى بِمُشَاهَدَةِ قَبْرهَا ، وَيُؤَيِّدهُ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِر الْحَدِيث : ( فَزُورُوا الْقُبُور فَإِنَّهَا تُذَكِّركُمْ الْمَوْت ) .
“Dalam hadits tersebut terdapat penjelasan tentang kebolehan untuk menziarahi orang-orang musyrik saat masih hidup, dan menziarahi kubur mereka setelah meninggal. Hal itu dikarenakan apabila diperbolehkan untuk menziarahi mereka setelah meninggal, maka ketika hidup lebih layak untuk kebolehannya. Allah ta’ala telah berfirman: ‘Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik’(QS. Luqmaan : 15).
Dalam hadits tersebut juga terdapat penjelasan tentang larangan untuk memintakan ampun kepada orang-orang kafir. Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah berkata : ‘Faktor penyebab ziarahnya Nabi ke kubur ibunya yaitu karena beliau ingin menguatkan nasihat dan peringatan dengan mengunjungi kuburnya’. Hal tersebut dikuatkan dengan sabda beliau yang ada di akhir hadits : ‘Berziarahlah kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian” [Syarh Shahih Muslim, 7/45].
Ketika beliau rahimahullah mengatakan kebolehan menziarahi orang musyrik yang masih hidup dan yang telah meninggal dengan berdalil hadits di atas, artinya beliau memahami bahwa ibunda Nabi meninggal dalam keadaan musyrik. Sama seperti penjelasan Syamsul-Haq ’Adhim ’Abadi rahimahullah yang berkata :
( فَلَمْ يَأْذَن لِي )
: لِأَنَّهَا كَافِرَة وَالِاسْتِغْفَار لِلْكَافِرِينَ لَا يَجُوز
”Sabda beliau : ”Dan Ia (Allah) tidak mengizinkanku” , karena Aminah adalah seorang yang kafir, sedangkan memintakan ampun terhadap orang yang kafir tidak diperbolehkan” [’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 7/220]
Ada syahid dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, yaitu hadits Buraidah radliyallaahu ‘anhu berikut:
حَدَّثَنَا حَسَنُ بنُ مُوسَى، وَأَحْمَدُ بنُ عَبدِ الْمَلِكِ، قَالَا: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، قَالَ أَحْمَدُ بنُ عَبدِ الْمَلِكِ فِي حَدِيثِهِ: حَدَّثَنَا زُبيْدُ بنُ الْحَارِثِ الْيَامِيُّ، عَنْ مُحَارِب بنِ دِثَارٍ، عَنِ ابنِ برَيْدَةَ، عَنْ أَبيهِ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبيِّ ﷺ فَنَزَلَ بنَا وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيب مِنْ أَلْفِ رَاكِب، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَقْبلَ عَلَيْنَا بوَجْهِهِ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ، فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ بنُ الْخَطَّاب، فَفَدَاهُ بالْأَب وَالْأُمِّ يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا لَكَ؟ قَالَ: "إِنِّي سَأَلْتُ رَبي عَزَّ وَجَلَّ فِي الِاسْتِغْفَارِ لِأُمِّي، فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، فَدَمَعَتْ عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنَ النَّارِ، وَإِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلَاثٍ: عَنْ زِيَارَةِ الْقُبورِ، فَزُورُوهَا لِتُذَكِّرَكُمْ زِيَارَتُهَا خَيْرًا، وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ بعْدَ ثَلَاثٍ، فَكُلُوا وَأَمْسِكُوا مَا شِئْتُمْ، وَنَهَيْتُكُمْ عَنِ الْأَشْرِبةِ فِي الْأَوْعِيَةِ، فَاشْرَبوا فِي أَيِّ وِعَاءٍ شِئْتُمْ، وَلَا تَشْرَبوا مُسْكِرًا "
Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Muusaa dan Ahmad bin ‘Abdil-Maalik, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Zuhair – Ahmad bin ‘Abdil-Malik berkata dalam haditsnya : ‘Telah menceritakan kepada kami Zubaid bin Al-Haarits Al-Yaamiy - , dari Muhaarib bin Diitsaar, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata : “Kami bersama Nabi , dan beliau singgah bersama kami dimana saat itu beliau bersama sekitar 1.000 pengendara kuda. Beliau melaksanakan shalat dua rakaat, kemudian setelah itu beliau menghadapkan wajah beliau ke arah kami dengan kedua air mata yang bercucuran. Kemudian 'Umar bin Al-Khaththaab berdiri menghampiri beliau dan mengatakan ayah dan ibunya sebagai tebusannya, lalu berkata : “Wahai Rasulullah, apa yang terjadi denganmu?”. Beliau bersabda : "Aku memohon kepada Rabbku agar dapat memintakan ampunan untuk ibuku, namun Ia tidak mengizinkanku. Maka air mataku pun bercucuran sebagai bentuk belas kasihan untuknya dari adzab neraka. Dan dulu aku melarang kalian dari tiga perkara, yaitu (1) ziarah kubur, namun sekarang berziarah kuburlah kalian untuk mengingatkan kalian terhadap kebaikan (kematian/akhirat); (2) dulu aku melarang kalian untuk makan daging kurban setelah tiga hari, namun sekarang makan dan simpanlah sekehandak kalian; serta (3) dulu aku melarang kalian minum minuman dari bejana, namun sekarang minumlah kalian dari bejana manapun yang kalian suka. Jangan kalian minum minuman yang memabukkan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/355; dishahihkan Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Musnad Ahmad 38/111].
Ada segolongan orang yang hendak menakwil-nakwil dengan pemahaman yang tidak benar tentang alasan Nabi dilarang Allah ta’ala memintakan ampun ibunya. Mereka pura-pura tidak tahu akan penjelasan para ulama di atas. Nabi dilarang Allah ta’ala memintakan ampunan kepada ibunya karena ibunya meninggal dalam keadaan kafir.
Tidaklah Allah ta’ala melarang untuk memintakan ampun kepada seseorang setelah meninggalnya kecuali orang tersebut meninggal dalam kekafiran. Allah ta’ala berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Inilah yang dipahami para shahabat, diantaranya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلًا يَسْتَغْفِرُ لِأَبَوَيْهِ وَهُمَا مُشْرِكَانِ، فَقُلْتُ لَهُ: أَتَسْتَغْفِرُ لِأَبَوَيْكَ وَهُمَا مُشْرِكَانِ؟ فَقَالَ: أَوَلَيْسَ اسْتَغْفَرَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَهُوَ مُشْرِكٌ؟ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ "
Dari ‘Aliy, ia berkata : Aku pernah mendengar seseorang mendoakan kedua orang tuanya yang meninggal dalam status musyrik. Aku katakana kepadanya: “Mengapa engkau memintakan ampunan untuk kedua orang tuamu padahal keduanya musyrik?”. Ia menjawab: “Bukankah Ibrahim juga memintakan ampunan untuk bapaknya yang musyrik?[1]”. Lalu aku mengadukan hal itu kepada Rasulullah , maka turunlah ayat : "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik" (At Taubah: 113) [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3101, An-Nasaa’iy no. 2036, 1/99, dan yang lainnya; dihasankan oleh At-Tirmidziy dan dishahihkan oleh Abu Ja’far bin Nahhaas, Al-Haakim, dan Al-Albaaniy].
Juga Ibnu ‘Abbaas :
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: إِنَّ أَبِي مَاتَ نَصْرَانِيًّا، فَقَالَ: "اغْسِلْهُ، وَكَفِّنْهِ، وَحَنِّطْهُ، ثُمَّ ادْفِنْهُ "، قَالَ: مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى الآيَةَ "
Dari Sa’d bin Jubair, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada Ibnu ‘Abbaas, lalu berkata : “Sesungguhnya ayahku meninggal sebagai seorang bragama Nashrani”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Mandikanlah, kafanilah, tahnith-kanlah, dan kuburkanlah”. Kemudian ia (Ibnu ‘Abbaas) melanjutkan membaca ayat : “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik" (At Taubah: 113)” [Diriwayatkan oleh Sa’d bin Manshuur dalam Tafsiir-nya no. 1037 dan Al-Baihaqiy 3/398 dengan sanad shahih].
Inilah yang dipahami Al-Baihaqiy rahimahullah bahwa kedua orang tua meninggal dalam keadaan kafir:
قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَأَبَوَاهُ كَانَا مُشْرِكَيْنِ بِدَلِيلِ مَا أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدُوسٍ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، ثنا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ.ح قَالَ وَأنا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَاللَّفْظُ لَهُ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا عَفَّانُ، ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، "أَنَّ رَجُلا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النَّارِ، قَالَ: فَلَمَّا قَفَّا دَعَاهُ، فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ "، رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي الصَّحِيحِ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ
Berkata Syaikh (yaitu Al-Baihaqiy – Abul-Jauzaa’) rahimahullah : “Dan kedua orang tua Nabi adalah musyrik dengan dalil hadits yang telah dikhabarkan kepada kami  Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah memberitakan kepada kami Abul-Hasan Ahmad bin Muhammad bin ‘Abduus : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy : Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah ia berkata (ح). Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin ‘Abdillah – dan lafadh hadits ini adalah miliknya - : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit, dari Anas : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi : “Wahai Rasulullah, dimanakah ayahku ?”. Beliau menjawab : “Di neraka”.[2]
Tidakkah kita bisa mengambil pelajaran dari kisah hubungan kekerabatan antara Nuuh dengan istri dan anaknya, Ibraahiim dengan ayahnya, Luuth dengan istrinya ?. Dekatnya hubungan kekerabatan tidak memastikan seseorang mendapat hidayah selamat di dunia dan akhirat.
So,…. saya heran dengan satu kiriman video berikut yang dikatakan membantah Wahabi karena mengatakan kedua orang tua Nabi meninggal dalam keadaan kafir:

Apa isi bantahannya ?. Hampir tidak ada, kalau tidak boleh dikatakan ‘sama sekali tidak ada’. Para hadirin diajak menangis karena cerita yang dibawakan. Kalau tangisan itu adalah seperti tangisan Nabi , yaitu tangisan belas kasihan, serta pengambilan pelajaran tentang akhirat dan bahwa keimanan tidak diwariskan melalui hubungan kekerabatan; maka ini masyru’. Namun jika tangisan itu hanya menjadi motif untuk memprovokasi umat menolak dalil, ini tidak masyru’. Agama tidak disandarkan dari tangisan. Tentu repot jadinya jika ‘perasaan’ dijadikan metode beragama.
Apalagi tempo hari ada demonstrasi dari kelompok orang yang ‘main perasaan’ ini untuk menolak kedatangan seorang ustadz dengan alasan si ustadz ‘memponis[3]’ kedua orang tua Nabi meninggal dalam keadaan kafir.

Kalau misalnya Nabi sendiri yang 'memponis' kedua orang tuanya meninggal dalam keadaan kafir, apakah akan Anda demo juga ?. Begitu juga Anda akan demo Al-Baihaqiy, An-Nawawiy, dan yang lainnya karena perkataan mereka tentang kedua orang tua Nabi Anda anggap meresahkan ?. Masyarakat Anda ajak untuk ikut resah bersama Anda. Resah yang tidak mencerdaskan. Ini sebagaimana dikatakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda, KH Zaini Naim, menyikapi provokasi kelompok yang ‘main perasaan’ ini:
“Saya dari MUI menyayangkan sekali, itu cerminan masyarakat yang tidak cerdas”.
[kutipan dari : Radar Kaltim].
Sebagai penutup, mari kita berdoa agar Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
للَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ
Semoga ada manfaatnya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Abul-Jauzaa’ - Somewhere, 26 Syawal 1437.




[1]   Maksud doa Ibraahiim ini adalah doa yang ada dalam ayat:
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" [QS Ibraahiim : 41].
Namun setelah Ibraahiim mengetahui hal itu dilarang Allah ta’ala karena ayahnya meninggal dalam keadaan musyrik, ia pun berlepas diri darinya sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” [QS. At-Taubah : 114].
[3]   Mungkin orang yang mengatakan adalah orang Sunda yang bertransmigrasi ke Kalimantan Timur.

Takhrij Hadits “Berlindung dari Istri yang Cerewet” (?)

$
0
0
Dalam sebuah hadits disebutkan doa berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ جَارِ السُّوءِ، وَمِنْ زَوْجٍ تُشَيِّبُنِي قَبْلَ الْمَشِيبِ، وَمِنْ وَلَدٍ يَكُونُ عَلَيَّ رِبًا، وَمِنْ مَالٍ يَكُونُ عَلَيَّ عَذَابًا، وَمِنْ خَلِيلٍ مَاكِرٍ عَيْنَهُ تَرَانِي، وَقَلْبُهُ تَرْعَانِي، إِنْ رَأَى حَسَنَةً دَفَنَهَا، وَإِذَا رَأَى سَيِّئَةً أَذَاعَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari tetangga yang jahat; dari pasangan yang menjadikanku tua (beruban) sebelum waktunya; dari anak (keturunan) yang berkuasa kepadaku; dari harta yang menjadi siksa (kelak) bagiku; dan dari teman dekat yang berbuat makar kepadaku, matanya melihat dan hatinya terus mengawasi, yang apabila kebaikanku ia menutupinya, namun apabila ia melihat kejelekanku ia menyebarkannya”.

Doa ini diriwayatkan secara marfuu’ oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’hal. 1425 no. 1339 : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari Muhammad bin ‘Ajlaan, dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Termasuk doa yang biasa diucapkan Rasulullah : “……… (al-hadits)……”.
Al-Hasan bin Ahmad Al-Hadlramiy[1]dalam periwayatannya dari Muhammad bin ‘Ajlaan diselisihi oleh:
1.    Abu Sa’iid Al-Asyajj[2]sebagaimana diriwayatkan oleh Aslam bin Sahl dalam Taarikh Waasith hal. 130 no. 112;
2.    Hannaad bin As-Sariy[3]dalam Az-Zuhd hal. 505 no. 1038
yang meriwayatkan dari perkataan Sa’iid Al-Maqburiy (maqthuu’), ia berkata:
كَانَ مِنْ دُعَاءِ دَاوُدَ النَّبِيِّ ﷺ: "اللَّهُمَّ، إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ جَارِ السُّوءِ، وَمِنْ زَوْجٍ تُشَيِّبُنِي قَبْلَ الْمَشِيبِ، وَمِنْ وَلَدٍ يَكُونُ عَلَيَّ وَبَالا، وَمِنْ مَالٍ يَكُونُ عَلَيَّ عَذَابًا، وَمِنْ خَلِيلٍ مَاكِرٍ عَيْنَاهُ تَرَانِي وَقَلْبُهُ يَرْعَانِي إِنْ رَأَى حَسَنَةً دَفَنَهَا وَإِنْ رَأَى سَيِّئَةً أَذَاعَهَا "
“Termasuk diantara doa yang diucapkan Nabi Dawud : “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari tetangga yang jahat; dari pasangan yang menjadikanku tua (beruban) sebelum waktunya; dari anak yang menjadi bencana/kesusahan bagiku; dari harta yang menjadi adzab (kelak) bagiku; dari dari teman dekat yang berbuat makar kepadaku, matanya melihat dan hatinya terus mengawasi, yang apabila kebaikanku ia menutupinya, namun apabila ia melihat kejelekanku ia menyebarkannya”.
Jika kita tarjih, maka riwayat maqthu’ lebih kuat. Jika kita anggap dua jalan tersebut sama-sama kuat[4], maka di sini ada idlthiraab yang berasal dari Abu Khaalid Al-Ahmar. Ibnu Hajar menghukuminya sebagai perawi yang shaduuq, namun sering keliru (yukhthi’)’ [Taqriibut-Tahdziib, hal. 406 no. 2562]. Meskipun ia dipuji banyak ulama, namun ada diantara hadits-haditsnya yang perlu untuk diteliti. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits yang shaalihah (baik). Hanya saja, hapalannya yang jelek menyebabkan ia sering keliru. Ia pada asalnya adalah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ma’iin : ‘shaduuq, namun bukan sebagai hujjah” [lihat Tahdziibul-Kamaal, 11/394-398 no. 2504]. Ibnu Hajar dalam Muqaddimah Al-Fath (hal. 407) menyebutkan bahwa Abu Bakr Al-Bazzaar berkata : “Para ulama hadits sepakat bahwa ia bukan seorang yang haafidh. Ia meriwayatkan dari Al-A’masy dan yang lainnya hadits-hadits yang tidak ada mutaba’ah-nya” [Dinukil melalui perantaraan Kasyful-Iihaam, hal. 399 oleh Dr. Maahir Al-Fahl].
Kemungkinan, hadits ini adalah salah satu yang ia (Abu Khaalid Al-Ahmar) keliru dalam periwayatannya.
Kemungkinan lain kekeliruan ini berasal dari Muhammad bin ‘Ajlaan. Sebagian ulama mengkritik periwayatannya yang berasal dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu [lihat : Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad 3/293-295 no. 2387 dan Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaraquthniy hal. 604 no. 3244].
Ada syahid dari Ibnu ‘Abbaas sebagaimana diriwayatkan oleh Aslam bin Sahl dalam Taariikh Waasith hal. 130, namun sanadnya sangat lemah karena Husain bin Qais, seorang yang matruuk.
Kesimpulannya, hadits ini dla’iif secara marfuu’, tidak boleh disandarkan pada Nabi . Yang shahih, ini hanya perkataan dari Sa’iid Al-Maqburiy. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[somewhere, 3 Dzulqa’dah 1437 selepas rapat].



[1]   Al-Hasan bin Hammaad bin Kusaib Al-Hadlramiy, Abu ‘Aliy Al-Baghdadiy, berlaqab sajjaadah; seorang yang tsiqah, shaahibus-sunnah. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Al-Kaasyif, 1/324 no. 1024].
[2]   Abu Sa’iid Al-Asyajj namanya ‘Abdullah bin Sa’iid bin Hushain Al-Kindiy, Abu Sa’iid Al-Asyajj Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan meninggal tahun 257 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 511 no. 3374].
[3]   Hannad bin As-Saariy, ia adalah Ibnu Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 152 H, dan meninggal tahun 243 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1025 no. 7370].
[4]   Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menyebutkan mutaba’ah bagi Al-Hasan bin Hammaad, yaitu Al-Hasan bin Sahl. Beliau rahimahullah berkata:
الحديث أخرجه الديلمي في "مسند الفردوس " (1/1/183) من طريق أبي بكر بن أبي عاصم: حدثنا الحسن بن سهل: حدثنا أبو خالد الأحمر به مقتصراً على الشطر الثاني منه، بلفظ: "اللهم إني أعوذ بك من خليلٍ ماكرٍ... "إلخ
“Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus(1/1/8) dari jalan Abu Bakr bin Abi ‘Aashim : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Sahl : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar dengan sanad tersebut secara ringkas pada bagian kedua dari hadits, dengan lafadh : “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari teman yang jahat …..dst.”.
Al-Hasan bin Sahl ini adalah Al-Ju’fiy Al-Kuufiy. Abu Zur’ah meriwayatkan hadits darinya, dan ia (Abu Zur’ah) tidaklah meriwayatkan kecuali dari orang yang tsiqah[lihat : Silsilah Ash-Shahiihah, 7/377-378 no. 3137].
Hanya saja, Asy-Syaikh Al-Albaaniy tidak menyebutkan sanad sebelum Ibnu Abi ‘Aashim sehingga dapat dinilai apakah sanad tersebut shahih sampai Al-Hasan bin Sahl ataukah tidak. Hal ini dikarenakan beliau rahimahulah sendiri menjelaskan bahwa Ad-Dailamiy ini banyak mengumpulkan riwayat-riwayat yang dla’iif/palsu dari para perawi pendusta, pemalsu, dan matruk; sehingga Ad-Dailamiy disebut beliau sebagai haatibul-lail ! [Silsilah Adl-Dla’iifah, 12/565].

Menyelisihi Ijmaa’

$
0
0
Pertanyaan : Apakah boleh menyelesihi ijmaa’ ulama dalam satu permasalahan ketika diketahui sebelumnya (yaitu sebelum terjadinya ijmaa’ tersebut) terjadi khilaaf?. Misalnya seperti nikah mut’ah yang dikatakan sebagian salaf ada yang membolehkannya ?.
Jawab : Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi ajma’iin, wa ba’d.
Terkait dengan nikah mut’ah, maka jenis pernikahan itu telah diharamkan dalam syari’at Islam berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah ta’ala bersabda:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ * إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ * فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” [QS. Al-Mukminuun : 5-7].

Ayat di atas menegaskan bahwa kemaluan tidaklah halal kecuali kepada istri melalui pernikahan yang sah, atau menggauli budak (wanita). Adapun nikah mut’ah, maka ia adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu yang apabila waktunya telah terlampaui (sebagaimana disebutkan dalam akad awal), ikatan nikahnya bubar dengan sendirinya tanpa perlu thalaq. Apalagi yang dilakukan para praktisi mut’ah jaman sekarang yang membolehkan durasi waktu pernikahan hanya satu kali hubungan badan[1], maka ini lebih mirip dengan zina. Tidak ada kewajiban nafkah, dan tidak pula ada pewarisan. Nikah mut’ah bukanlah nikah syar’iy. Oleh karena itu, Nabi melarangnya hingga hari kiamat setelah sebelumnya pernah diperbolehkan.
عَنْ عَلِيّ بْن أَبِي طَالِبٍ، يَقُولُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: "نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ، وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ"
Dari ‘Aliy bin Abi Thaalib, ia berkata kepada Ibnu ‘Abbaas : “Rasulullah telah melarang menikahi wanita secara mut’ah dan makan daging keledai jinak pada tahun Khaibar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1407].
 عَنْ سَبْرَةَ الْجُهَنِي أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عَنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَه، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
Dari Sabrah Al-Juhaniy : ia pernah bersama Rasulullah , lalu beliau bersabda : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian nikah mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan janganlah kalian ambil sesuatupun yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ahi itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1406].
Para ulama telah bersepakat (ijmaa’) tentang keharaman nikah mut’ah.
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
فَهَذَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدْ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ، بِحَضْرَةِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِ مِنْهُمْ مُنْكِرٌ، وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى مُتَابَعَتِهِمْ لَهُ عَلَى مَا نَهَى عَنْهُ مِنْ ذَلِكَ، وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى النَّهْيِ فِي ذَلِكَ عَنْهَا، دَلِيلٌ عَلَى نَسْخِهَا وَحُجَّةٌ.
“Inilah ‘Umar (bin Al-Khaththaab) radliyallaahu ‘anhuyang telah melarang nikah mut’ah dengan kehadiran para shahabat Rasulullah tanpa adanya pengingkaran. Dan pada riwayat ini adalah dalil atas persetujuan para shahabat kepada ‘Umar terhadap apa yang ia larang (yaitu nikah mut’ah). Selain itu, kesepakatan (ijma’) mereka terhadap larangan nikah adalah dalil terhadap penghapusan hukumnya dan sekaligus merupakan hujjah” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 3/27].
Ibnul-‘Arabiy rahimahullah berkata:
وقد كان ابن عباس يقول بجوازها ثم ثبت رجوعه عنا فانعقد الإجماع على تحريمها فإذا فعلها أحد رجم في مشهور المذهب
“Ibnu ‘Abbaas dulu memang pernah membolehkannya, kemudian telah sah sikap rujuknya atas pembolehannya tersebut. Maka, terjadilah ijmaa’atas pengharamannya. Apabila ada seseorang yang melakukannya, maka ia dirajam menurut pendapat masyhur dalam madzhab (Maalikiyyah)” [Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan oleh Al-Qurthubiy, 5/132-133].
Al-Maaziriy rahimahullah berkata:
وَانْعَقَدَ الْإِجْمَاع عَلَى تَحْرِيمه وَلَمْ يُخَالِف فِيهِ إِلَّا طَائِفَة مِنْ الْمُسْتَبْدِعَة ، وَتَعَلَّقُوا بِالْأَحَادِيثِ الْوَارِدَة فِي ذَلِكَ ، وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهَا مَنْسُوخَة فَلَا دَلَالَة لَهُمْ فِيهَا
“Telah terjadi ijmaa’ atas keharamannya tanpa ada perselisihan padanya, kecuali kelompok dari kelompok ahli bid’ah[2]yang bergantung pada hadits-hadits yang dianggap membolehkannya. Telah kami sebutkan bahwa hadits-hadits tersebut mansuukh (terhapus), sehingga tidak ada dalil dalam hal tersebut bagi mereka” [Syarh Shahiih Muslimoleh An-Nawawiy, 9/179].
Adapun yang ternukil dari sebagian shahabat dan taabi’iinyang membolehkan – jika memang shahih riwayatnya dari mereka - , maka itu tidaklah dianggap karena menyalahi nash yang shahih dan sharih.
Selain itu, para ulama sendiri telah menjelaskan ada kemungkinan riwayat ternukil dari mereka (sebagian salaf) tidak sah, atau mereka rujuk sebagaimana rujuknya Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa. Tidak boleh ada seorang pun yang boleh menyelisihi ijmaa’ ini hanya karena adanya penyelisihan sebagian salaf dan kemudian berdalil dengan perkataan mereka. Perkara ini telah selesai (final) hukumnya. Barangsiapa yang menyelisihi ijmaa’, berarti menyelisihi jalan yang lurus.
Ini yang pertama….. Kemudian selanjutnya, permasalahan ijmaa’ setelah sebelumnya didahului dengan khilaaf adalah permasalahan yang boleh terjadi menurut pendapat yang kuat (raajih). Maksudnya di sini adalah : Terjadi khilaf dalam satu permasalahan di satu masa, kemudian masa setelahnya terjadi ijmaa’ – sebagaimana tergambar dalam pertanyaan.
Dalil tentang kebolehannya diantaranya adalah firman Allah ta’ala:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Mafhum dari ayat ini, sesuatu yang disepakati (tidak ada perselisihan pendapat) para ulama – tidak ada pembatasan masa tertentu - merupakan kebenaran (hujjah).
Juga sabda Nabi :
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ، ظَاهِرِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku berada di atas kebenaran yang selalu menang hingga hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 156 & 1923 dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu].
Hadits ini menunjukkan bahwa akan senantiasa ada di setiap masa orang yang mengatakan kebenaran dari umat ini, baik sedikit maupun banyak. Allah ta’ala tidak akan mengumpulkan umat Islam dalam kesesatan selamanya hingga tegak hari kiamat, sebagaimana sabda beliau yang lain:
لا يَجْمَعُ اللَّهُ أُمَّتِي عَلَى ضَلالَةٍ أَبَدًا
Allah tidak akan mengumpulkan umatku di atas kesesatan selamanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 80, Al-Haakim 1/115-116, dan yang lainnya dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Hadits ini diperselisihkan para ulama, namun Asy-Syaikh Al-Albaaniy menshahihkannya di beberapa tempat dalam kitabnya karena banyak jalan penguatnya, diantaranya Dhilaalul-Jannah no. 80-84, tahqiq Bidaayatus-Suul hal. 70, dan Shahiihul-Jaami’ 1/378 no. 1848].
Hujjah/dalil lainnya adalah seandainya taabii’iin atau ulama setelahnya berselisih pendapat dalam perkara tertentu pada satu masa, kemudian mereka bersepakat dalam perkara tersebut pada masa itu, maka itulah kesepakatan yang mengikuti khilaaf (perselisihan). Kesepakatan tersebut memutuskan perselisihan, sehingga menjadi ijmaa’. Tidak diperbolehkan adanya penyelisihan setelah itu[3]. Secara substansi, tidak ada beda antara antara perkara yang terjadi pada satu masa atau dua masa yang berlainan.
Ini adalah madzhab jumhur Hanafiyyah, jumhur Maalikiyyah, sebagian Syaafi’iyyah seperti Al-Qaffaal dan Abu Ishaaq Asy-Syiiraaziy, serta sebagian Hanaabilah seperti Abul-Khaththaab [lihat pembahasan ini dalam Al-Jaami’ li-Masaaili Ushuulil-Fiqh oleh ‘Abdul-Kariim An-Namlah hal. 325-326, Al-Muhadzdab fii ‘Ilmi Ushuulil-Fiqh Al-Muqaaran oleh ‘Abdul-Kariim An-Namlah 2/921-923, dan Syarh Ushuul min ‘Ilmil-Ushuul oleh Sa’d Asy-Syatsriy hal. 251-252 & 259].
Catatan :Ijmaa’ menjadi hal yang sangat dipertimbangkan apabila dikatakan oleh para ulama tsiqah yang dikenal teliti dan luas penelaahannya. Apalagi, jika ijmaa’ tersebut ternukil dari masa ke masa.
Contoh selain nikah mut’ah dari perkara yang ditanyakan adalah permasalahan berwudlu setelah makan makanan yang disentuh dengan api. An-Nawawiy rahimahullah berkata:
كَانَ الْخِلَاف فِيهِ مَعْرُوفًا بَيْن الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ ، ثُمَّ اِسْتَقَرَّ الْإِجْمَاع عَلَى أَنَّهُ لَا وُضُوء مِمَّا مَسَّتْ النَّار إِلَّا مَا تَقَدَّمَ اِسْتِثْنَاؤُهُ مِنْ لُحُوم الْإِبِل
“Perselisihan pendapat dalam permasalahan tersebut masyhuur  di kalangan shahabat dan taabi’iin, namun kemudian terjadilah ijmaa’ bahwasannya tidak wajib wudlu dengan sebab makan makanan yang disentuh api, kecuali apa yang telah lalu pengecualiannya dari daging onta[4]” [Fathul-Baariy, 1/311].
Dulu shahabat berselisih pendapat tentang masalah memakai emas bagi laki-laki, namun setelah itu terjadi ijmaa’ akan keharamannya.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
ويحملُ فعلُ من لبسهُ من الصحابةِ على أنهُ لم يبلغهم الناسخ
“Perbuatan sebagian shahabat yang memakai perhiasan emas dibawa pada kemungkinan bahwa belum sampai kepada mereka nash yang menghapuskan (kebolehannya)” [Ahkaamul-Khawaatiim, hal. 60].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
أَجْمَع الْمُسْلِمُونَ عَلَى إِبَاحَة خَاتَم الذَّهَب لِلنِّسَاءِ ، وَأَجْمَعُوا عَلَى تَحْرِيمه عَلَى الرِّجَال ، إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي بَكْر بْن مُحَمَّد بْن عُمَر بْن مُحَمَّد بْن حَزْم أَنَّهُ أَبَاحَهُ ، وَعَنْ بَعْضٌ أَنَّهُ مَكْرُوه لَا حَرَام ، وَهَذَانِ النَّقْلَانِ بَاطِلَانِ ، فَقَائِلهمَا مَحْجُوج بِهَذِهِ الْأَحَادِيث الَّتِي ذَكَرهَا مُسْلِم مَعَ إِجْمَاع مَنْ قَبْله عَلَى تَحْرِيمه
“Kaum muslimin bersepakat diperbolehkannya cincin emas bagi wanita, dan mereka bersepakat pula diharamkannya cincin emas bagi laki-laki. Kecuali yang dihikayatkan dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Umar bin Muhammad bin Hazm yang memperbolehkannya. Juga dari sebagian ulama yang menyatakan makruh saja, tidak haram. Dua nukilan ini batil, dan yang mengatakannya dihujjahi dengan hadits-hadits yang disebutkan Muslim bersamaan dengan adanya ijmaa’sebelumnya yang menyatakan keharamannya” [Syarh Shahiih Muslim, 14/65].
Dulu, sebagian salaf ada yang membolehkan keluar ketaatan dari penguasa dhalim. Namun setelah itu, terjadilah ijmaa’ akan larangannya. Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على أئمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم لكن أستقر الأمر على ترك ذلك لما رأوه قد أفضى إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة بن الأشعث وغيرهما عظة لمن تدبر
”Pendapat mereka menyatakan bolehnya keluar mengangkat pedang/senjata terhadap para pemimpin yang jahat/dhalim. Maka, ini adalah madzhab (sebagian) orang-orang salaf dahulu (sebagaian shahabat dan tabi’in). Akan tetapi kemudian menjadi sebuah ketetapan (ijmaa’)untuk meninggalkannya, karena justru menimbulkan dampak yang lebih fatal. Apa yang terjadi dalam peristiwa Al-Harrah dan Ibnul-Asy’ats menjadi pelajaran yang baik bagi orang yang mau mengambil pelajaran” [Tahdziibut-Tahdziib, 2/288].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ولهذا استقر أمر أهل السنة على ترك القتال في الفتنة للأحاديث الصحيحة الثابته عن النبي صلى الله عليه و سلم وصاروا يذكرون هذا في عقائدهم ويأمرون بالصبر على جور الأئمة وترك قتالهم وإن كان قد قاتل في الفتنة خلق كثير من أهل العلم والدين
“Oleh karena itu, tetaplah perkara Ahlus-Sunnah untuk meninggalkan perang dalam masa fitnah berdasarkan hadits-hadits shahih dari Nabi , hingga kemudian mereka menyebutkan masalah ini dalam ‘aqidah-‘aqidah mereka; dan mereka (Ahlus-Sunnah) memerintahkan bersabar atas kedhaliman para imam (pemimpin) dan tidak memeranginya, meskipun dalam masa fitnah tersebut telah melibatkan banyak ahli ilmu dan ulama” [Minhajus-Sunnah, 4/529-530].[5]
Dulu, para ulama berselisih pendapat tentang keimamahan Abu Haniifah An-Nu’maan bin Tsaabit rahimahumallah. Sebagian ulama ada yang mengkritik beliau dengan keras sebagaimana terdokumentasi dalam kitab-kitab Al-Jarh wat-Ta’diil. Beliau rahimahullah tergelincir diantaranya dalam masalah iman, sehingga muncul istilah Murji’atul-Fuqahaa’ yang dinisbatkan kepada beliau. Abu ‘Abdirrahmaan Al-Muqri’ rahimahullah pernah berkata:
كان والله أبو حنيفة مرجئاً ودعاني إلى الإرجاء فأبيت عليه
“Demi Allah, Abu Haniifah adalah seorang Murji’, dan mengajakku kepada pemahaman irjaa’ namun aku menolaknya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 386].
Namun setelah berlalunya masa, para ulama sepakat akan keimaman beliau rahimahullah sebagai salah satu ulama Ahlus-Sunnah, satu diantara 4 imam yang dikenal. Ketergelinciranya tidak kita ikuti dan diberikan udzur sebagai satu ijtihad yang keliru.
Dan yang permasalahan lainnya.
Tidak boleh bagi seorang pun berhujjah dengan khilaf yang disebutkan di atas. Begitu juga mentoleransi orang-orang yang menyelisihi ijmaa’. Bahkan, wajib untuk mengingarinya.[6] Apalagi jika penyelisihan itu dikenal menjadi syiar kelompok/golongan yang menyimpang dari Ahlus-Sunnah, seperti misal nikah mut’ah yang menjadi syiar kelompok Syi’ah, keluar ketaatan dari penguasa muslim dhalim yang menjadi syiar kelompok Khawaarij, amalan tidak masuk bagian dari iman yang menjadi syiar kelompok Murjiah (Fuqahaa), dan memakai cincin emas bagi laki-laki menjadi syiar orang-orang fasiq; maka pengingkarannya lebih keras dan harus ditahdzir. Akan selalu ada orang yang mencari-cari ketergelinciran para ulama dan menebarkan syubuhaat. Adz-Dzahabiy rahimahullah memperingatkan:
ومن تتبع رخص المذاهب، وزلات المجتهدين، فقد رق دينه
“Barangsiapa yang mencari-cari keringanan madzhab-madzhab dan ketergelinciran para mujtahid, sungguh buruk agamanya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 8/90].[7]
Semoga dapat menjawab serta ada manfaatnya bagi yang menulis dan membaca, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Somewhere, 12 Dzulqa’dah 1437.




[1]   Dalilnya adalah riwayat palsu berikut:
عَنْ زُرَارَةَ قَالَ قُلْتُ لَهُ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ الرَّجُلُ بِالْمَرْأَةِ سَاعَةً أَوْ سَاعَتَيْنِ فَقَالَ السَّاعَةُ وَ السَّاعَتَانِ لَا يُوقَفُ عَلَى حَدِّهِمَا وَ لَكِنَّ الْعَرْدَ وَ الْعَرْدَيْنِ وَ الْيَوْمَ وَ الْيَوْمَيْنِ وَ اللَّيْلَةَ وَ أَشْبَاهَ ذَلِكَ
Dari Zuraarah, ia berkata : Aku berkata kepadanya (imam, yaitu : Abu ‘Abdillah) : “Apakah boleh seorang laki-laki melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita selama satu atau dua jam ?”. Ia menjawab : “Satu atau dua jam itu tidak diketahui batas (akhirnya). Akan tetapi nikahlah sekali atau dua kali senggama, sehari atau dua hari, semalam, dan yang seperti itu” [Al-Kaafiy, 5/459].
[2]   Yaitu kelompok Syi’ah.
[3]   Dalilnya diantaranya adalah perselisihan para shahabat dalam perkara memerangi orang-orang yang menahan pembayaran zakat. Setelah itu, mereka menyepakati Abu Bakr dalam perkara tersebut, sehingga tercapailah ijmaa’.
[4]   Silakan baca artikel suplemen : Pembatal Wudlu : Makan Daging Onta.
[5]   Silakan baca buku berjudul : Fatwa Ulama Seputar Penguasa di Era Kontemporer tulisan Abul-Fatih Ristiyan, semoga Allah membalas kebaikannya dengan jannah.
[6]   Bagi yang mampu. Allah ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabuun : 16].
Nabi bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 49, Abu Daawud no. 1140, dan yang lainnya].
[7]   Muncul retorika apologi orang-orang belakangan untuk membela kebatilan dilakukan seperti perkataan “apakah kalian juga akan menuduh sebagian salaf yang membolehkan nikah mut’ah sebagai Raafidlah ?, apakah kalian juga akan menuduh sebagian salaf yang melakukan pemberontakan sebagai Khawaarij ?, apakah kalian juga akan menuduh Abu Haniifah sebagai gembong Murji’ah yang mengatakan amalan tidak masuk bagian dari iman ? apakah kalian juga akan mengecap Abu Bakr bin Muhammad bin Hazm sebagai orang fasiq karena membolehkan memakai cincin emas ?.

Da'i Sunnah

$
0
0
Istilah dai sunnah, pengajian sunnah, dan radio sunnah dewasa ini memang lagi ‘ngetrend’. Istilah ini dipakai untuk entitas yang mengajak kepada sunnah, menisbatkan diri kepada sunnah, cinta kepada sunnah. ‘Ngetrend’ karena ajakan kembali kepada sunnah dan meninggalkan kebid’ahan memang mendapatkan sambutan dan antusiasme yang cukup besar dari masyarakat. Seperti lazimnya dalam ilmu statistik, ada saja data pencilan (outlier) - yang dalam hal ini diwakili himpunan orang-orang yang tidak senang dan tidak tenang terhadap dakwah sunnah dan orang-orangnya. Mereka melakukan berbagai usaha untuk menghentikan atau minimal menghambat perkembangan dakwah sunnah. Yang paling mutakhir adalah ulah sebagian orang yang mengembangbiakkan alergen terhadap istilah dai sunnah, pengajian sunnah, dan radio sunnah sebagaimana disinggung di awal.

Sebenarnya istilah ini tidak ada masalah, bahkan bagus sebagai identitas penisbatan kepada sunnah.
Contohnya istilah ‘dai sunnah’. Para ulama sudah banyak menggunakannya dari jaman dahulu untuk memuji orang-orang yang berkomitmen terhadap sunnah, seperti misal Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika berkata tentang beberapa ulama Ahlus-Sunnah:
كان ابن خزيمة رأساً في الفقه، من دعاة السنة، وغلاة المثبتة، له جلالة عظيمة بخراسان....
“Ibnu Khuzaimah adalah pemimpin dalam bidang fiqh, termasuk du’aat sunnah, dan orang yang berlebihandalam penetapan nama-nama dan sifat-sifat Allah.  Ia memiliki kedudukan yang agung di negeri Khurasaan….” [Al-‘Ulluw, hal. 152].
وكان من دعاة السنة، وأعداء البدعة، توفي في سنة إحدى وسبعين وأربعمائة.
“Ia (Sa’d bin ‘Aliy Az-Zanjaaniy) termasuk du’aat sunnah dan musuh bid’ah. Wafat pada tahun 471 H” [idem, hal. 189].
Yang semisal dengan istilah ‘dai sunnah’ adalah ‘ulama sunnah’.
Al-Baghawiy rahimahullah (w. 516 H) pernah berkata:
اتَّفَقَتِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ عَلَى أَنَّ الأَعْمَالَ مِنَ الإِيمَانِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ، إِلَى قَوْلِهِ: وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.
“Para shahabat, taabi’iin, dan orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama sunnah telah bersepakat bahwa amal termasuk bagian dari iman berdasarkan firman Allah ta’ala : ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka ….’ hingga firman-Nya : ‘…..dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka’ (QS. Al-Anfaal : 2-3)” [Syarhus-Sunnah, 1/38].
Abul-Qaasim Ismaa’iil Al-Ashbahaaniy rahimahullah (w. 535 H) yang berkata:
فصل قال أحد علماء السنة: حرام عَلَى العقول أن تمثل الله، حرام عَلَى الخلق أن يكيفوه
“Pasal : Telah berkata seorang dari kalangan ulama sunnah  : Diharamkan bagi akal membuat perumpamaan (tamtsiil) untuk Allah, dan diharamkan bagi makhluk untuk menanyakan kaifiyyahAllah” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 2/468].
Adz-Dzahabiy rahimahullah (w. 748 H) pernah berkata tentang Abu Haatim Ar-Raaziy Al-Bazzaaz rahimahullah:
أحمد بن الحسين بن محمد المحدِّث الأمام أبو حاتم بن خاموش الرّازي البزّاز.من علماء السُّنَّة.
“Ahmad bin Al-Husain bin Muhammad, Al-Muhaddits, Al-Imaam, Abu Haatim bin Khaamuusy  Ar-Raaziy Al-Bazzaaz, termasuk ulama sunnah” [Taariikh Al-Islaam, 7/76].
Dan yang lainnya masih banyak.
Dai sunnah adalah dai yang mengajak kepada sunnah dan mengisi pengajiannya dengan materi sunnah. Dai yang cinta kepada sunnah dan mengajak orang untuk mencintai sunnah. Dai sunnah tentu bukan dai yang doyan bid’ah dan mendakwahkan bid’ah, karena sunnah dan bid’ah adalah dua hal yang berlawanan. Nabi bersabda:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, niscaya ia melihat perselisihan yang banyak. Maka, berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang mendapat petunjuk. Berpegang-teguhlah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan waspadalah kalian terhadap hal-hal yang baru (dalam urusan agama), karena setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih. Takhrijlebih lengkap bisa dibaca di sini].
Dai sunnah bukan pula pendongeng dan tukang cerita, shaahibu ‘ndabul’ dan ‘nggedebus’. Ibnu Abi ‘Aashim rahimahullah (w. 287 H) berkata:
لذا؛ كره السلف القصص ومجالس القصاص، فحذروا منها أيما تحذير، وحاربوا أصحابها بشتى الوسائل
“Oleh karena itu, salaf telah membenci cerita-cerita dan majelis cerita-cerita. Mereka memperingatkan untuk berhati-hati darinya dengan segala macam peringatan, serta memerangi pelakunya dengan berbagai sarana yang memungkinkan” [Al-Mudzakkir wat-Tadzkiir oleh Ibnu Abi ‘Aashim, hal. 26].
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkata:
أكذب الناس القُصَّاص والسؤَّال ..، قيل له : أكنت تحضر مجالسهم ؟، قال : لا
“Sedusta-dusta manusia adalah para pencerita/pendongeng dan orang yang banyak bertanya (pada sesuatu hal yang tidak bermanfaat)”.  Kemudian dikatakan kepada beliau : “Apakah engkau menghadiri majelis mereka?”. Beliau menjawab : “Tidak” [Al-Hawaadits wal-Bida’ oleh Ath-Thurthuusyiy, hal. 112].
Apalagi dai yang main film …… laa haula wa laa quwwata illaa billaah…..
Seandainya ada yang salah pada perilaku dai sunnah dan simpatisannya, maka bukan menjadi alasan untuk mempermasalahkan istilah ‘dai sunnah’. Sebagaimana tingkah arogan sebagian kaum yang katanya memiliki otoritas istilah ‘Aswaja’ ( = Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah); maka itu bukan pula menjadi alasan mencari-cari dalih untuk mengeliminasi istilah Aswaja (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) dari lisan. Yang dikritik adalah perilakunya, kesesuaiannya terhadap klaim yang diserukan.
Seandainya gugatan terhadap istilah ‘dai sunnah’ hanya sekedar kecemburuan sosial karena tidak terkenal sebagai ‘dai sunnah’, tentu itu masalah lain. Yang bersangkutan bisa ambil inisiatif request kepada para penggemarnya agar disebut dai sunnah. Tapi, ini bukan perkara yang patut saya kira. Hanya perlu diingat, sebutan orang hanyalah sekedar sebutan, baik pujian maupun celaan. Allah ta’ala hanya melihat ketaqwaan serta bagusnya niat dan amal-amal kita.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian” [QS. Al-Hujuraat : 13].
Nabi bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ، وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidaklah melihat pada rupa-rupa dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2564].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.

Somewhere, 17 Dzulqa’dah 1437

3 Hal yang Diridlai dan 3 Hal yang Dibenci Allah

$
0
0
Hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا، وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا، يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ، وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا، وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ، وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Sesungguhnya Allah ridla untuk kalian tiga perkara dan benci bagi kalian tiga perkara. Allah ridla untuk kalian (1) agar kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, (2) agar kalian seluruhnya berpegang teguh dengan tali (agama) Allah;  serta (3) hendaklah kalian saling memberikan nasehat kepada orang-orang yang mengurusi urusan kalian (yaitu : ulil-amri, penguasa kaum muslimin). Dan Allah benci untuk kalian (1) qiila wa qaala (dikatakan dan katanya), (2) menyia-nyiakan harta, dan (3) banyak pertanyaan”.
Diriwayatkan oleh Malik 4/519-520 no. 2011, Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 442, Muslim no. 1715, Ahmad 2/327 & 360 & 367, Ibnu Hibbaan no. 3388 & 4560 & 5720, dan yang lainnya.

Perawi :
Abu Hurairah Ad-Dausiy Al-Yamaaniy. Para ulama berselisih pendapat tentang namanya dan nama bapaknya. Ada yang mengatakan ‘Abdurrahman bin Shakhr. Ada yang mengatakan : ‘Abdurrahmaan bin Ghanam. Ada yang mengatakan : ‘Abdullah bin ‘Aaidz. Ada yang mengatakan : ‘Abdullah bin ‘Aamir. Ada yang mengatakan : ‘Abdullah bin ‘Amru. Ada yang mengatakan Sukain bin Wadzamah. Ada yang mengatakan : Sukain bin Haani’, dan yang lainnya.
Yang masyhur namanya adalah ‘Abdurrahmaan bin Shakhr.
Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah berkata : “Aku diberikan kunyah Abu Hurairah karena dulu aku pernah menemukan anak kucing, lalu aku bawa dengan lenganku. Dikatakan : ‘Apa ini ?’. Maka aku jawab : ‘Ini adalah anak kucing (hirrah)”. Dikatakan : “Maka engkau adalah Abu Hurairah” [Tahdziibul-Kamaal, 34/366-367 no. 7681].
Meninggal tahun 57 H di
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu termasuk shahabat Nabi yang paling banyak periwayatan haditsnya dari beliau.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: "مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي، إِلَّا مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلَا أَكْتُبُ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Tidak ada seorang pun dari kalangan shahabat Nabi yang lebih banyak dariku dalam meriwayatkan hadits dari beliau , kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr. Ia menulis, sedangkan aku tidak menulis” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 113, Ahmad 2/248-249, At-Tirmidziy no. 2668, dan yang lainnya].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قُلْتُ: "يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ، قَالَ: ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ، قَالَ: فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: ضُمَّهُ، فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar banyak hadits darimu, namun (saat ini) aku lupa”. Beliau bersabda : ‘Bentangkanlah selendangmu !’. Akupun kemudian membentangkan kain selendangku. Lalu beliau menggerakkan tangannya seakan-akan menciduk sesuatu, kemudian bersabda : ‘Tangkupkanlah ia’. Aku pun menangkupkannya. Semenjak itu aku tidak pernah melupakan sesuatu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 119].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَفِي هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ فَضِيلَة ظَاهِرَة لِأَبِي هُرَيْرَة وَمُعْجِزَة وَاضِحَة مِنْ عَلَامَات النُّبُوَّة ؛ لِأَنَّ النِّسْيَان مِنْ لَوَازِم الْإِنْسَان ، وَقَدْ اِعْتَرَفَ أَبُو هُرَيْرَة بِأَنَّهُ كَانَ يُكْثِر مِنْهُ ثُمَّ تَخَلَّفَ عَنْهُ بِبَرَكَةِ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dalam dua hadits ini terdapat keutamaan nyata yang ada pada diri Abu Hurairah, serta mu’jizat yang jelas dari tanda-tanda kenabian. Hal itu dikarenakan, sifat lupa adalah sesuatu yang biasa terjadi pada diri manusia. Abu Hurairah sendiri mengakui bahwa dirinya dulu mempunyai banyak sifat lupa, kemudian hal ini hilang dikarenakan barakah Nabi ” [Fathul-Baariy, 1/215].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
حماد بن زيد: حدثني عمرو بن عبيد الانصاري: حدثني أبو الزعيزعة كاتب مروان: أن مروان أرسل إلى أبي هريرة، فجعل يسأله، وأجلسني خلف السرير، وأنا أكتب، حتى إذا كان رأس الحول، دعا به، فأقعده من وراء الحجاب، فجعل يسأله عن ذلك الكتاب، فما زاد ولا نقض، ولا قدم ولا أخر.
قلت: هكذا فليكن الحفظ.
“(Berkata) Hammad bin Zaid : Telah menceritakan kepadaku ‘Amr bin ‘Ubaid Al-Anshaariy : Telah menceritakan kepadaku Abuz-Zu’aizi’ah, sekretaris Marwaan : Bahwasannya Marwaan pernah mengutus seseorang kepada Abu Hurairah untuk menanyakan sesuatu. Ia (Marwaan) menyuruhku duduk di belakang pembaringan, dan aku menulis (apa yang ia tanyakan kepada Abu Hurairah). Hingga datang awal tahun berikutnya, Marwaan memanggil Abu Hurairah dan menyuruhnya duduk di balik hijab. Lalu ia (Marwaan) bertanya kepada Abu Hurairah tentang isi tulisan (yang dulu pernah ia tanyakan kepadanya). Tidaklah Abu Hurairah menambahkan, mengurangi, dan mengakhirkan isi tulisan tersebut.
Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : Begitulah yang seharusnya (yang dilakukan dalam) menghapal” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 2/598].
Kandungan Umum
1.      Hadits ini menunjukkan perhatian Nabi terhadap umat untuk memberikan peringatan kepada umatnya untuk menetapi segala sesuatu yang membawa keridlaan Allah ta’ala sehingga membawa mereka masuk ke dalam jannah-Nya; dan memberi peringatan kepada umatnya untuk menjauhi segala apa yang dibenci Allah ta’ala yang dapat menjerumuskan ke dalam siksa-Nya di neraka, wal-‘iyadzubillah
Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” [QS. At-Taubah : 128].
2.      Ridlaa adalah lawan kata dari as-sukhth (benci, tidak puas, kemarahan), sehingga orang yang ridlaa tidak mungkin akan marah, jengkel, atau semacamnya.
Kata An-Nawaawiy, makna ‘aku ridlaa terhadap sesuatu’ adalah:
قَنَعْتُ بِهِ وَاكْتَفَيْتُ بِهِ وَلَمْ أَطْلُبْ مَعَهُ غَيْرَهُ
“Aku merasa puas dan merasa cukup dengannya, dan tidak menginginkan selainnya” [Syarh Shahiih Muslim, 1/51].
Ini seperti perkataan dalam Nabi dalam hadits:
مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
Barangsiapa yang ridla kepada Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Nabinya, maka wajib baginya surga” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1884].
Dan ini merupakan lafadh dzikir yang disunnahkan untuk diucapkan setiap pagi dan petang:
رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ ﷺ نَبِيًّا
TAUHID
Sabda beliau : ‘agar kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun’ (أَنْ تَعْبُدُوهُ، وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا).
Perkataan beliau ini adalah perkataan yang paling penting karena menyangkut pondasi keimanan kita kepada Allah agar beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Inilah tauhid. Inilah misi dakwah utama semua Nabi dan Rasul sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku" [QS. Al-Anbiyaa’ (21) : 25].
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (= segala sesuatu yang diibadahi selain Allah)" [QS. An-Nahl (16) : 36].
Ibnul-Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa tegaknya langit dan bumi, diciptakannya semua makhluk, diturunkannya kitab-kitab Allah dan diutusnya para Rasul, terbaginya manusia menjadi mukmin dan kafir, ada yang baik ada yang buruk; tertumpahkannya darah para syuhada’, dan perseteruan antara yang haq dan yang batil; maka semua ini karena tauhid [lihat Zaadul-Ma’aad, 1/35].
Dikarenakan menegakkan dakwah tauhid, Nabi Ibraahiim ‘alaihis-salaam dilemparkan ke dalam api oleh Namrud. Allah ta’ala berfirman:
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ * وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ * قَالُوا ابْنُوا لَهُ بُنْيَانًا فَأَلْقُوهُ فِي الْجَحِيمِ
“Ibrahim berkata: "Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". Mereka berkata: "Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim; lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu"[QS. Ash-Shaaffaat (37) : 95-97].
Dikarenakan menegakkan dakwah tauhid, para Nabi dan Rasul harus berkonfrontasi dengan kaum dan sanak kerabatnya sendiri, sehingga mereka dikucilkan dan mengalami gangguan, ujian, dan tantangan.
Syirik ada dua:
1.    Syirik Akbar
Yaitu memalingkan peribadahan kepada selain Allah ta’ala. Syirik jenis ini dapat menghapuskan amalan kebaikan secara keseluruhan, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan” [QS. Al-An’aam (6) : 88].
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” [QS. Az-Zumar (39) : 65].
Allah pun akan mengharamkan dirinya (pelaku syirik akbar) untuk masuk ke dalam surga.
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun” [QS. Al-Maaidah (5) : 72].
Kekal di dalam adzab neraka.
وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا * يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina” [QS. Al-Furqaan (25) : 68-69].
Keadaan yang mengherankan adalah bahwa pelaku kesyirikan (musyrik) di jaman sekarang lebih parah keadaannya daripada sebagian pelaku kesyirikan di jaman dahulu. Dahulu, orang berbuat syirik hanya di waktu lapang. Ketika datang kesempitan, mereka pun beribadah mengikhlashkan diri kepada Allah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allahmenyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)” [QS. Al-Ankabuut (29) : 65].
وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الإنْسَانُ كَفُورًا
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan Kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih” [QS. Israa’ (17) : 67].
Adapun jaman sekarang, orang berbuat syirik baik di waktu lapang maupun sempit.
Dulu sebagian orang berbuat syirik dalam Uluhiyyah Allah saja, tidak dalam Rububiyyah-Nya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” [QS. Az-Zukhruf (43) : 87].
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ
Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan menjawab: "Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui"[QS. Az-Zukhruf (43) : 9].
Adapun jaman sekarang, orang berbuat syirik dalam segala hal (Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asmaa wa Shifaat).
2.    Syirik Ashghar (Kecil)
Syirik ashghar (kecil) tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi (kesempurnaan) tauhid dan merupakan jalan/perantara yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar.
Syirik ashghar dibagi menjadi 2, yaitu:
a.    Syirik Dhahir (nyata, jelas)
Syirik dhahir (nyata) dapat berupa keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Dalam bentuk keyakinan seperti tathayyur, yaitu merasa sial karena sesuatu[1]. Nabi bersabda:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ثَلَاثًا، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik – beliau mengatakannya 3 kali - . Dan kita pasti juga pernah merasakannya, namun kemudian Allah menghilangkannya dengan tawakkal” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3910, Ibnu Maajah no. 3538, Ahmad 1/389, dan yang lainnya; shahih].
Dalam bentuk ucapan seperti misal bersumpah dengan selain nama Allah ta’ala. Nabi bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
"Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1535 dan Abu Dawud no. 3251].
Juga, menisbatkan turunnya hujan kepada bintang.
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلَةِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: "هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
Dari Zaid bin Khaalid Al-Juhhaniy, ia berkata : Rasulullah shalat Shubuh mengimami kami di Hudaibiyyah yang waktu itu masih ada bekas air hujan yang turun tadi malam. Ketika telah selesai shalat, beliau menghadap kami dan bersabda: “Apakah kalian tahu yang telah difirmankan oleh Rabb kalian ?”. Para shahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda : “(Allah telah berfirman : ) ‘Pagi hari ini ada di antara hambaku yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun yang berkata : ‘Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah’ ; maka ia telah beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang-bintang. Adapun yang berkata : ‘Kita diberi hujan karena bintang ini dan itu’ ; maka ia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 846].
Dalam bentuk perbuatan misalnya menggantungkan tamimah (jimat). Nabi bersabda:
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang menggantungkan tamiimah, sungguh ia telah berbuat kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 4/156; Al-Arna’uth berkata : “Sanadnya kuat”].
b.    Syirik Khafiy (tersembunyi)
Syirik khafiy (tersembunyi) adalah syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang), dan semisalnya.
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ
Dari Mahmuud bin Labiib : Bahwasannya Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para Sahabat) bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Riya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/428; hasan].
BERPEGANG KEPADA TALI ALLAH
Sabda Nabi :
وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا
agar kalian seluruhnya berpegang teguh dengan tali (agama) Allah
sama dengan firman Allah ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [QS. Aali ‘Imraan (3) : 103].
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berkata:
إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ، تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ: يَا عِبَادَ اللَّهِ، هَذَا الطَّرِيقُ، فَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ، فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ "
“Sesungguhnya jalan ini dihadiri para setan yang menyeru: 'Wahai hamba-hamba Allah, inilah jalanmu.' Oleh karena itu berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah, sesungguhnya tali Allah itu adalah Al-Qur'an” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 3317; shahih].
Perkataan Ibnu Mas’uud ini serupa dengan yang ada dalam riwayat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: "خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِﷺ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: "هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ "، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: "هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ "، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ "
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : Rasulullah membuatkan kami satu garis kemudian beliau bersabda : “Ini adalah jalan Allah” Kemudian beliau menggaris beberapa garis dari sebelah kanan dan sebelah kirinya, lalu beliau bersabda : “Ini adalah jalan-jalan, yang pada setiap jalan tersebut ada setan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat “dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am (6) : 153) [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/435, Ad-Daarimiy no. 208, dll.; Al-Arna’uth berkata : “Sanadnya hasan”].
Penjelasan riwayat Ibnu Mas’uud ini memberikan faedah bagi kita bahwa:
1.    Berpegang pada tali Allah maksudnya adalah berpegang teguh pada Kitabullah (Al-Qur’an).
2.    Berpegang pada tali Allah adalah dengan menetapi jalan yang lurus (ash-shiraathul-mustaqiim). Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berkata:
الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِﷺ
“Maksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditinggalkan Rasulullah kepada kami” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 10/245; shahih].
Dan jalan yang ditinggalkan beliau kepada para shahabat adalah berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana riwayat yang masyhur:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya : Kitabullah dan sunnah nabi-Nya”.
أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ....
Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Kitaab dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Qur’an dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya…..” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4604, Ibnu Hibbaan no. 12, Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 257, dan yang lainnya; shahih].
3.    Ketika menapaki jalan yang lurus tersebut, pasti ada gangguan dari para penyeru kebatilan agar kita berpecah dan menyimpang darinya. Allah ta’ala berfirman:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : ...... فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟، قَالَ: نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، صِفْهُمْ لَنَا، قَالَ: نَعَمْ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا تَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟، قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ، فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ؟، قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ "
Dari Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “…. Aku berkata : ‘Apakah setelah kebaikan tersebut akan muncul kejelekan ?’. Beliau bersabda : ‘Ya, yaitu kemunculan para dai yang menyeru kepada pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa yang menerima seruan mereka, maka mereka akan menjerumuskan ke dalamnya (Jahannam)’. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, sebutkan ciri-ciri mereka kepada kami ?’. Beliau menjawab : ‘Ya, mereka adalah kaum yang berasal dari golongan kita dan berbicara dengan bahasa kita’. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apa nasihatmu apabila kami menemui keadaan itu?’. Beliau bersabda : ‘Berpegangteguhlah pada jama’ah kaum muslimin dan imam mereka’. Aku berkata : ‘Apabila tidak ada imam dan jama’ah kaum muslimin (apa yang harus aku perbuat)?’. Beliau bersabda : ‘Tinggalkan semua kelompok-kelompok yang ada, meskipun engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian mendatangimu sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1848].
4.    Berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah menyebabkan persatuan, dan menyimpang darinya menyebabkan perpecahan.
MEMBERIKAN NASIHAT KEPADA PARA PEMIMPIN
Sabda beliau :
وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ
Hendaklah kalian saling memberikan nasehat kepada orang-orang yang mengurusi urusan kalian (yaitu : ulil-amri, penguasa kaum muslimin)”
Dalam hal ini Nabi juga bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Agama adalah nasihat”. Kami berkata : “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”. Beliau bersabda : “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, imam/pemimpin kaum muslimin, dan orang-orang kebanyakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 55, At-Tirmidziy no. 1926, dan yang lainnya].
An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan makna ‘nasihat untuk imam/pemimpin kaum muslimin’:
وَأَمَّا النَّصِيحَة لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَمُعَاوَنَتهمْ عَلَى الْحَقّ ، وَطَاعَتُهُمْ فِيهِ ، وَأَمْرُهُمْ بِهِ ، وَتَنْبِيههمْ وَتَذْكِيرهمْ بِرِفْقٍ وَلُطْفٍ ، وَإِعْلَامهمْ بِمَا غَفَلُوا عَنْهُ وَلَمْ يَبْلُغهُمْ مِنْ حُقُوق الْمُسْلِمِينَ ، وَتَرْك الْخُرُوج عَلَيْهِمْ ، وَتَأَلُّف قُلُوب النَّاس لِطَاعَتِهِمْ
“Adapun nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin, adalah dengan menolong dan mentaati mereka di atas kebenaran, memerintahkan mereka dengannya, memperingatkan dan menegur mereka dengan santun dan lembut, memberi tahu mereka apa-apa yang mereka lalaikan, dan hak-hak kaum muslimin yang belum mereka sampaikan, tidak keluar dari kepemimpinan mereka, menyatukan hati manusia dengan mentaati mereka” [Syarh Shahih Muslim, 2/38].
Lantas bagaimana cara menasihati para pemimpin ?
Ini kembali kepada hukum umum adab menasihati, yaitu secara sembunyi-sembunyi. Inilah adab nasihat yang diterima setiap jiwa.
Sulaiman Al-Khawwaash rahimahullah berkata:
مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ فَهِيَ نَصِيحَةٌ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلَى رُءُوسِ النَّاسِ فَإِنَّمَا فَضَحَهُ
“Barangsiapa menasihati saudaranya secara empat mata, itulah nasihat. Barangsiapa yang menasihatinya di hadapan manusia, sungguh ia sedang menjelek-jelekkannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf no. 62].
Hal yang sama dikatakan oleh Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah:
مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ سِرًّا فَقَدْ نَصَحَهُ وَزَانَهُ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلانِيَةً فَقَدْ فَضَحَهُ وَخَانَهُ
“Barangsiapa yang menasihat saudaranya secara sembunyi-sembunyi, sungguh ia telah menasihatinya sekaligus mempercantiknya. Namun, barangsiapa yang menasihati saudaranya secara terang-terangan (di hadapan orang banyak), sungguh ia telah membuka aibnya dan juga mengkhianatinya” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/140].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata saat menjelaskan norma umum syari’at Islam dalam menasihati kaum muslimin:
وكان السَّلفُ إذا أرادوا نصيحةَ أحدٍ ، وعظوه سراً حتّى قال بعضهم : مَنْ وعظ أخاه فيما بينه وبينَه فهي نصيحة، ومن وعظه على رؤوس الناس فإنَّما وبخه
“Adalah generasi salaf jika ingin menasihat seseorang, mereka menasihatinya secara rahasia, hingga salah seorang dari mereka berkata : ‘Barangsiapa menasihati saudaranya secara empat mata, itulah nasihat. Barangsiapa yang menasihatinya di depan manusia, sungguh ia sedang menjelek-jelekkannya” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/236].
Jika menasihati kaum muslimin secara umum saja ditekankan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka terhadap pemimpin yang padanya memegang urusan kaum muslimin lebih ditekankan lagi. Al-Imaam Ibnu Abi ‘Aashim rahimahullah (w. 287 H) membuat satu bab khusus dalam kitabnya As-Sunnah dengan judul:
بَابُ: كَيْفَ نَصِيحَةُ الرَّعِيَّةِ لِلْوُلاةِ؟
“Bab : Bagaimana nasihat rakyat yang dilakukan kepada pemimpin?”
Lalu beliau membawakan hadits berikut:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلا يُبْدِهِ عَلانِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang hendak menasehati sulthan/penguasa, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan. Akan tetapi ambillah tangannya dan menyepilah dengannya. Jika diterima, memang itulah yang diharapkan; namun jika tidak, maka ia telah melaksakan kewajibannya” [As-Sunnah no. 1096; shahih].
'Abdullah bin Abi Aufaa (salah seorang shahabat, wafat tahun 87 H) pernah berkata kepada Sa’iid bin Jumhaan saat terjadi fitnah Azaariqah (Khawaarij) dan terjadi kedhaliman dari penguasa:
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى قَالَ : .....وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
"Duhai celaka kamu wahai Ibnu Jumhaan. Hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham, hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham. Jika engkau ingin penguasa itu mendengar nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah dia apa-apa yang kamu ketahui hingga ia menerimanya. Jika tidak, maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/382-383; hasan].
Nasihat pun harus disampaikan dengan lemah-lembut, sebagaimana jika kita ingin menasihati orang tua kita, guru kita, dan orang lain yang mempunyai kedudukan. Itulah yang Allah perintahkan kepada Nabi Musa dan Harun untuk menasihati Fir’aun:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut” [QS. Thaha (20) : 44].
Jika Nabi Musa dan Harun berlemah-lembut dalam nasihat, tentu kita lebih pantas untuk mengamalkan kelembutan itu. Hal itu dikarenakan kedudukan kita tidaklah lebih tinggi daripada Musa dan Harun ‘alahimas-salaam, serta orang yang hendak kita nasihati tidaklah sedhalim dan sejahat Fir’aun.
Nabi bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
Sesungguhnya tidaklah kelembutan ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah ia tercabut dari sesuatu kecuali akan memburukkannya” [Diriwayatkan oleh Muslim].
MENJAUHI QIILA WA QAALA
Malik bin Anas rahimahullah berkata:
الْإِكْثَارُ مِنْ الْكَلَامِ وَالْإِرْجَافُ نَحْوُ قَوْلِ النَّاسِ قَالَ فُلَانٌ وَفَعَلَ فُلَانٌ وَالْخَوْضُ فِيمَا لَا يَنْبَغِي
“Memperbanyak ucapan dan menyebar berita yang menimbulkan fitnah dan kekhawatiran, seperti halnya perkataan seseorang : ‘Fulaanberkata begini dan berbuat begitu’, serta menceburkan diri pada perkara yang tidak seharusnya” [Al-Muntaqaa Syarh Al-Muwaththa’, 4/458].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَالْمُرَاد أَنَّهُ نَهَى عَنْ الْإِكْثَار بِمَا لَا فَائِدَة فِيهِ مِنْ الْكَلَام
“Yang dimaksud adalah bahwa beliau melarang memperbanyak (perkataan) yang tidak ada faedahnya” [Fathul-Bariy, 11/306].
Sabda beliau tersebut sejalan dengan sabda beliau yang lain:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6018 & 6136 & 6138 dan Muslim no. 47].
Diantara bencana yang banyak melanda kita adalah sifat mudah berbicara apa saja yang didengar dan menyampaikannya kepada orang, senang berbicara apa yang bukan urusannya, yang pada akhirnya menjerumuskan pada dosa dan permusuhan. Termasuk dalam hal ini adalah bencana ‘broadcast’, obrolan WA, facebook, dan yang lainnya.
Kadang atau bahkan sering pembicaraan itu memuat contentdusta, padahal Nabi telah memperingatkan:
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2607].
كَفَى بِالْمَرْء كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Cukuplah seseorang dikatakan berdusta bila menceritakan segala hal yang ia dengar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 5].
Atau ghibah:
وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” [QS. Al-Hujuraat (49) : 12].
Atau adu domba (namimah):
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 105].
Fenomena sekarang,….. banyak orang lebih asik berbicara masalah-masalah besar (seperti masalah politik, keamanan, dan yang lainnya), menyebarkannya, yang kemudian membuat orang merasa takut, khawatir, dan geram…., yang akhirnya timbullah amarah dan permusuhan. Tidak ada solusi yang didapat kecuali hanya luapan kekesalan. Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)” [QS. An-Nisaa’ (4) : 83].
Semoga kita bukan termasuk ruwaibidlah, golongan yang akan muncul sepeninggal beliau . Apa itu Ruwaibidlah ?. Nabi menjawab:
السَّفِيهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak (umat)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4036, Ahmad 2/291, dll; hasan].
MENYIA-NYIAKAN HARTA
Yang dimaksud dengan ‘menyia-nyiakan harta’ (إِضَاعَةَ الْمَالِ) adalah menyalurkan harta bukan pada jalan yang syar’i dan bertujuan memusnahkan harta [Syarh Shahih Muslim, 4/318].
Harta adalah karunia dari Allah ta’ala yang harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan syari’at. Harta bisa digunakan untuk membantu dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, jihad fi sabiilillaah, membantu orang lain, memberi nafkah kepada orang yang berada di bawah tanggungannya, dan yang lainnya. Oleh karena itu, Nabi bersabda:
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ مَعَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ
“Sebaik-baik harta yang baik adalah bersama hamba yang shalih" [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 3210].
Harta yang kita dapat tidak boleh disia-siakan karena kelak kita akan ditanya darimana harta itu didapat dan keana harta itu dibelanjakan.
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2417].
Sebagai tambahan, boleh hukumnya memanfaatkan harta (selain sembelihan) yang dipergunakan untuk sesajan terhadap berhala dan telah ditinggalkan pemiliknya, karena dulu Rasulullah pernah mengambil harta yang dipersembahkan orang-orang musyrik di perbendaharaan Laata untuk melunasi hutan shahabat ‘Urwah bin Mas’uud Ats-Tsaqafiy [Penjelasan Ibnu Baaz dalam catatan kaki kitab Fathul-Majiid, hal 174-175].
BANYAK PERTANYAAN
Sabda Nabi : ‘dan banyak pertanyaan’ (وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ).
Dalam hadits lain Nabi bersabda:
فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan mereka kepada para nabi mereka”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1337].
Larangan banyak pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tidak bermanfaat, tidak dibutuhkan, bahkan diharamkan. Misalnya pertanyaan tentang sesuatu yang mustahil, pertanyaan yang hanya bertujuan untuk menjatuhkan seseorang, pertanyaan untuk mencari-cari kesalahan, dan pertanyaan tentang ilmu ghaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala seperti pertanyaan tentang bagaimana istiwaa’ Allah di langit, bagaimana tangan Allah, dan semisalnya.
Adapun pertanyaan untuk mencari bimbingan tentang agama, baik ushul maupun furu’-nya atau perkara-perkara ibadah maupun muamalah, maka ini merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam. Bahkan hal itu sangat dianjurkan karena merupakan sarana untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan memahami hakekat syari’at ini. Allah ta’ala telah berfirman :
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
”Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” [QS. Al-Anbiyaa’ (21) : 7].
Rasulullah bersabda :
أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا شَفَاءُ الْعِيِّ السَّؤَالُ.
”Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengerti ? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 336].
Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan katsratas-suaal adalah banyak/sering meminta-minta harta, sehingga dipahami dari sabda Nabi di sini adalah larangan meminta-minta.
عن حُبْشِيِّ بْنِ جُنَادَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ "
Dari Hubsyiy bin Junaadah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa yang meminta-minta tanpa ada kebutuhan, maka seakan-akan ia memakan bara api” [Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ath-Thabaraniy dan yang lainnya].
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا، أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ "
Dari Samurah bin Jundub, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Meminta-minta adalah satu cakaran, yang seseorang mencakar dengannya wajahnya; kecuali seseorang yang meminta kepada penguasa atau meminta sesuatu hal/perkara yang sangat perlu/darurat” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, Ahmad, dan yang lainnya].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya…..
Somewhere, 17 Dzulqa’dah 1437.




[1]     Misalnya, keyakinan adanya kesialan pada angka 13, penyelenggaraan pernikahan pada bulan Suro (Muharram), datangnya kupu-kupu di waktu malam, dan yang lainnya.

Antara Murji’ah dan Khawaarij

$
0
0
Para ulama berbeda pandangan mana diantara keduanya yang lebih buruk bagi Islam dan kaum muslimin. Sebagian ulama mengatakan Murji’ah lebih buruk, sebagian lain mengatakan sebaliknya (yaitu Khawaarij lebih buruk).
Diantara ulama yang mengatakan Murji’ah lebih buruk atau mengklasifikasikannya sebagai golongan paling buruk dalam Islam adalah:

1.      Syariik bin ‘Abdillah Al-Qaadliy rahimahumallah sebagaimana riwayat:
حَدَّثَنِي أَبِي نا حَجَّاجُ، سَمِعْتُ شَرِيكًا وَذَكَرَ الْمُرْجِئَةَ، فَقَالَ: هُمْ أَخْبَثُ قَوْمٍ وَحَسْبُكَ بِالرَّافِضَةِ خُبْثًا وَلَكِنِ الْمُرْجِئَةُ يَكْذِبُونَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى "
Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah mengkhabarkan kepada kami Hajjaaj : Aku mendengar Syariik (bin ‘Abdillah Al-Qaadliy) menyebutkan tentang Murji’ah, ia berkata : “Mereka adalah kaum yang paling buruk. Engkau mengira Raafidlah lebih buruk, padahal Murji’ah lah yang lebih buruk karena mereka berdusta atas nama Allah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 614; shahih].
2.      Ibraahiim An-Nakha’iy rahimahullah sebagaimana riwayat:
حَدَّثَنِي أَبِي نا مُؤَمَّلٌ، نا سُفْيَانُ، نا سَعِيدُ بْنُ صَالِحٍ، قَالَ: قَالَ إِبْرَاهِيمُ: "لأَنَا لِفِتْنَةِ الْمُرْجِئَةِ أَخْوَفُ عَلَى هَذِهِ الأُمَّةِ مِنْ فِتْنَةِ الأَزَارِقَةِ "
Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid bin Shaalih (Al-Asadiy)[1], ia berkata : Telah berkata Ibraahiim (An-Nakha’iy) : “Sungguh, fitnah Murji’ah terhadap umat ini lebih aku khawatirkan daripada fitnah Azaariqah (salah satu kelompok dari Khawaarij – Abul-Jauzaa’)” [Idem no. 617; shahih].
3.      Yahyaa bin Abi Katsiir dan Qataadah bin Di’aamah rahimahumullah sebagaimana riwayat:
حَدَّثَنِي أَبِي نا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو، نا أَبُو إِسْحَاقَ، قَالَ: قَالَ الأَوْزَاعِيُّ: كَانَ يَحْيَى، وَقَتَادَةُ، يَقُولانِ: "لَيْسَ مِنَ الأَهْوَاءِ شَيْءٌ أَخْوَفُ عِنْدَهُمْ عَلَى الأُمَّةِ مِنَ الإِرْجَاءِ "
Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah mengkhabarkan kepada kami Mu’aawiyyah bin ‘Amru : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ishaaq (Al-Fazaariy), ia berkata : Telah berkata Al-Auzaa’iy : Yahyaa dan Qataadah pernah berkata : “Tidak ada hawa nafsu yang lebih dikhawatirkan di sisi mereka (ulama) yang akan menimpa umat daripada (pemahaman) irjaa’” [idem, no. 641; shahih].
4.      Al-A’masy rahimahullah, sebagaimana riwayat:
حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرِ بنَ عَيَّاشٍ، ذَكَرَ أَبَا حَنِيفَةَ وَأَصْحَابَهُ الَّذِينَ يُخَاصِمُونَ، فَقَالَ: كَانَ مُغِيرَةُ يَقُولُ : وَاللَّهِ الَّذِي لا إِلَهُ إِلا هُوَ لأَنَا أَخْوَفُ عَلَى الدِّينِ مِنْهُمْ مِنَ الْفُسَّاقِ، وَحَلَفَ الأَعْمَشُ، قَالَ: وَاللَّهِ الَّذِي لا إِلَهُ إِلا هُوَ مَا أَعْرِفُ مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنْهُمْ....
Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Aamir, ia berkata : Aku mendengar Abu Bakr bin ‘Ayyaasy menyebutkan Abu Haniifah dan para shahabatnya[2]yang sedang berdebat, lalu ia berkata : Al-Mughiirah pernah berkata : “Demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Nya, sungguh aku lebih khawatir terhadap mereka atas agamaku daripada orang-orang fasiq”. Dan Al-A’masy pun bersumpah seraya berkata : “Demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Nya, aku tidak tahu siapakah yang lebih jelek/buruk daripada mereka[3]…” [idem no. 258; shahih].
5.      Dan yang lainnya.
Tidak ada hadits marfuu’ yang shahih dari Nabi yang menyebutkan tentang Murji’ah selain hadits berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ مَسْعَدَةَ الأَصْبَهَانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحُسَيْنِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ الْحَلَبِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا شِهَابُ بْنُ خِرَاشٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا قَبْلِي قَطُّ فَاجْتَمَعَتْ لَهُ أُمَّتُهُ إِلا كَانَ فِيهِمْ مُرْجِئَةٌ وَقَدَرِيَّةٌ يُشَوِّشُونَ عَلَيْهِ أَمْرَ أُمَّتِهِ مِنْ بَعْدِهِ، أَلا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَعَنَ الْمُرْجِئَةَ وَالْقَدَرِيَّةَ عَلَى لِسَانِ سَبْعِينَ نَبِيًّا أَنَا آخِرُهُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas bin Mas’adah Al-Ashbahaaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Husain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Taubah Al-Halabiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syihaab bin Khiraasy, dari Muhammad bin Ziyaad, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihii wa sallam, beliau bersabda : “Allah tidak mengutus seorang nabi pun sebelumku lalu umatnya berkumpul untuknya, kecuali ada pada mereka kelompok Murji’ah dan Qadariyyah yang mengacaukan perkara umatnya sepeninggalnya. Ketahuilah, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla melaknat Murji’ah dan Qadariyyah melalui lisan tujuh puluh orang nabi dan aku yang terakhir dari mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 1219 (Al-Iimaan)  &  no. 1530 (Al-Qadar)– ini lafadh no. 1530; shahih[4]].
Adapun ulama yang mengatakan Khawaarij lebih buruk karena mereka termasuk golongan yang paling buruk dalam Islam, antara lain adalah:
1.      ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa sebagaimana dikatakan Al-Bukhaariy rahimahullah:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ، وَقَالَ إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Ibnu ‘Umar memandang mereka (Khawaarij) adalah sejelek-jelek makhluk Allah. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : ‘Mereka membawa ayat-ayat yang turun kepada orang-orang kafir dan mengenakannya pada orang-orang beriman[5]” [Shahiih Al-Bukhaariy 4/280].
2.      Abu Umaamah radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana riwayat:
حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ أَبِي سَهْلٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، يَقُولُ: "شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، وَخَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوا كِلَابُ أَهْلِ النَّارِ، قَدْ كَانَ هَؤُلَاءِ مُسْلِمِينَ فَصَارُوا كُفَّارًا "، قُلْتُ يَا أَبَا أُمَامَةَ: هَذَا شَيْءٌ تَقُولُهُ، قَالَ: بَلْ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Sahl bin Sahl : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Abu Ghaalib, dari Abu Umaamah, ia berkata : “Sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah kolong langit dan sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang mereka bunuh; mereka itu adalah anjing-anjing penghuni neraka. Sungguh, mereka itu dulunya muslim, namun berubah menjadi kafir”. Aku (Abu Ghaalib) berkata : “Wahai Abu Umaamah, apakah ini sekedar perkataanmu saja ?”. Ia menjawab : “Bahkan, itu adalah yang aku dengar dari Rasulullah ” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 176; dishahihkan oleh Al-Albaaniy rahimahullah dalam Shahiih Sunan Ibni Maajah 1/76].
3.      Ahmad bin Hanbal rahimahumallahsebagaimana riwayat:
أَخْبَرَنِي حَرْبُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْكَرْمَانِيُّ، أَنَّ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: الْخَوَارِجُ قَوْمُ سُوءٍ، لا أَعْلَمُ فِي الأَرْضِ قَوْمًا شَرًّا مِنْهُمْ. وَقَالَ: صَحَّ الْحَدِيثُ فِيهِمْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ عَشَرَةِ وُجُوهٍ
Telah mengkhabarkan kepadaku Harb bin Ismaa’iil Al-Karmaaniy, bahwasannya Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) pernah berkata : “Khawaarij adalah kaum yang buruk. Aku tidak tahu ada satu kaum di muka bumi yang lebih buruk/jahat daripada mereka. Telah shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mereka, dan dari sepuluh sisi” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah, 1/145 no. 110; shahih].
4.      Ibnu Taimiyyah rahimahullah, sebagaimana perkataannya:
فإنهم لم يكن أحد شرا على المسلمين منهم لا اليهود ولا النصارى فإنهم كانوا مجتهدين في قتل كل مسلم لم يوافقهم مستحلين لدماء المسلمين وأموالهم وقتل أولادهم مكفرين لهم وكانوا متدينين بذلك لعظم جهلهم وبدعتهم المضلة
“Sesungguhnya mereka (Khawaarij), tidak ada seorang pun yang lebih jelek (dampaknya) terhadap kaum muslimin daripada mereka. Tidak Yahudi, tidak pula Nashaara[6]. Mereka (khawaarij) bersungguh-sungguh dalam memerangi kaum muslimin yang tidak sesuai dengan mereka, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin, serta membunuh anak-anak mereka (kaum muslimin). Mereka melakukannya berdasarkan keyakinan agama dimana itu disebabkan oleh besarnya kebodohan dan kebid’ahan mereka yang menyesatkan” [Minhaajus-Sunnah, 5/248].
Diantara dalil yang menjadi sandaran adalah sabda Nabi yang menyatakan Khawaarij sebagai kelompok yang paling dibenci Allah ta’ala:
 مِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللهِ إِلَيْهِ 
Khawaarij termasuk makhluk Allah yang paling dibenci” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1066].
Juga anjing-anjing penduduk neraka:
شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، وَخَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوا كِلَابُ أَهْلِ النَّارِ، قَدْ كَانَ هَؤُلَاءِ مُسْلِمِينَ فَصَارُوا كُفَّارًا
Sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah kolong langit dan sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang mereka bunuh; mereka itu adalah anjing-anjing penghuni neraka. Sungguh, mereka itu dulunya muslim, namun berubah menjadi kafir” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 176; dishahihkan oleh Al-Albaaniy rahimahullah dalam Shahiih Sunan Ibni Maajah1/76].
Golongan yang keluar dari agama[7]:
يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ........
Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya.....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5058].
Golongan yang kelak mendampingi Dajjaal:
كُلَّمَا خَرَجَ قَرْنٌ قُطِعَ "أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَرَّةً، "حَتَّى يَخْرُجَ فِي عِرَاضِهِمُ الدَّجَّالُ
Setiap muncul satu generasi akan tertumpas – lebih dari dua puluh kali kemunculannya – hingga Dajjaal keluar bersama pasukan mereka (Khawaarij)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 174; hasan].
Orang yang paling dikhawatirkan Nabi ada di tengah-tengah umat Islam:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِنَّ مَا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ، وَكَانَ رِدْئًا لِلإِسْلامِ، غَيَّرَهُ إِلَى مَا شَاءَ الِلَّهِ، فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ "، قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ، الْمَرْمِيُّ أَمِ الرَّامِي ؟ قَالَ: "بَلِ الرَّامِي "
Dari Hudzaifah (bin Al-Yamaan), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas diri kalian adalah seseorang yang membaca Al-Qur’an hingga ketika terlihat kefasihan/kebagusan padanya dan menjadi pembela Islam, maka ia menggantinya pada sesuatu sesuai yang dikehendaki Allah. Maka ia pun menanggalkan semua hal itu dan membuangnya ke belakang punggungnya. Ia berjalan ke tetangganya dengan menghunus pedang dan menuduhnya dengan kesyirikan”. Aku (Hudzaifah) berkata : “Wahai Nabi Allah, siapakah di antara keduanya yang lebih layak dengan kesyirikan, yang dituduh ataukah penuduh ?”. Beliau menjawab : “Si penuduh” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 2/324 no. 825, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 7/220 no. 2793, Ibnu Hibban 1/282-282 no. 81, dan yang lainnya; Al-Arna’uth mengatakan : “Sanadnya hasan”].
Lantas, manakah yang lebih raajih ?
Wallaahu a’lam, dari segi dalil Khawaarij lebih kuat penunjukkannya sebagai kelompok yang lebih buruk/berbahaya bagi Islam dan kaum muslimin. Namun kadang, penilaian tersebut tidak mutlak, karena masing-masing punya keburukan yang lebih berbahaya dari yang lain dari sisi tertentu.
Misalnya, dalam hal peremehan terhadap syari’at, Murji’ah lebih berbahaya. Mereka memandang kedudukan pelaku maksiat dan orang yang shalih dan adalah sama, karena kemaksiatan tidak dinilai mempengaruhi keimanan. Selain itu, amal perbuatan juga tidak mereka masukkan dalam cakupan iman. Dari sinilah, Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah mengatakan bahwa terkadang madzhab Khawaarij lebih ringan bahayanya karena mereka lebih dekat dengan sikap menjauhi kemaksiatan dan taubat; sedangkan madzhab Murji’ah lebih berbahaya karena mereka bermudah-mudah dalam melakukan maksiat dan serta malas untuk bertaubat. Silakan simak rekaman suara beliau hafidhahullah berikut:

Adapun dalam masalah kehormatan, harta, dan darah; Khawaarij – si ‘pengawal Dajjaal’ – tentu jauh lebih buruk. Mereka mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum muslimin, namun membiarkan orang-orang kafir penyembah berhala.[8]
Anyway,… permasalahan manakah yang paling bahaya antara Murji’ah dengan Khawaarij bukanlah sesuatu yang penting. Jauh lebih penting daripada itu adalah belajar dan senantiasa waspada terhadap bahaya dan kesesatan kedua kelompok/golongan ini. Kita bantu peringatkan umat Islam untuk menjauhi pemikiran kedua kelompok ini beserta orang-orangnya.
Cabang Masalah
Ada beberapa kekeliruan penerapan dalam menyikapi kewaspadaan terhadap dua golongan/kelompok sesat ini.
a.      Untuk kasus Murji’ah, ada sekelompok orang yang menghukumi irjaa’ pada orang yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas. Ini kesalahan besar karena ketidakpahamannya tentang Murji’ah itu sendiri. Tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas – selama yang bersangkutan masih mengakui kewajibannya – merupakan pendapat jumhur ulama. Abul-Fadhl As-Saksakiy Al-Hanbaliy rahimahullah telah membantah kekeliruan ini semenjak ratusan tahun yang lalu[9]:
إن تارك الصلاة - إذا لم يكن جاحدا - فهو مسلم - على الصحيح من مذهب أحمد - ، وإن المنصورية يسمون أهل السنة مرجئة؛ لأنهم يقولون بذلك، ويقولون : هذا يؤدي إلى أن الإيمان عندهم قول بلا عمل
“Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat – apabila ia tidak mengingkari (kewajibannya) – maka statusnya muslim berdasarkan yang shahih dari madzhab Ahmad. Dan sesungguhnya kelompok Manshuuriyyah (yaitu salah satu pecahan Khawaarij – Abul-Jauzaa’) menamakan Ahlus-Sunnah sebagai Murji’ah karena mereka (Ahlus-Sunnah) berpendapat demikian. Mereka (Manshuuriyyah) berkata : ‘Pendapat ini mengkonsekuensikan bahwa iman menurut mereka hanyalah perkataan saja tanpa amal” [Al-Burhaan, hal. 35].
Ada juga yang menuduh orang yang memberikan ketaatannya kepada penguasa dan tidak ikut mengangkat senjata melawannya meskipun ia (penguasa) dhalim, sebagai Murji’ah; yang kemudian menukil riwayat dari An-Nadlr bin Syumail:
سئل النضير بن شميل عن الإرجاء فقال: ذلك دين يعجب الملوك
“An-Nadliir[10]bin Syumail penah ditanya tentang irjaa’, lalu ia berkata : ‘Itu adalah agama yang membuat senang para raja”.
Atau riwayat An-Nadlr bin Syumail yang lain:
دخلت على المأمون فقال لي كيف أصبحت يا نضر قال قلت بخير يا أمير المؤمنين قال تدري ما الإرجاء قال قلت دين يوافق الملوك يصيبون به من دنياهم وينقص من دينهم قال لي صدقت
“Aku masuk ke tempat Al-Ma’muun, lalu ia bertanya : ‘Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai Nadhr?’. Aku menjawab : ‘Baik-baik saja wahai Amirul-Mukminin’. Ia bertanya lagi : ‘Apakah engkau mengetahui apa irjaa’ itu?’. Aku menjawab : ‘(Irjaa’adalah) agama yang menyesuaikan para raja. Mereka mendapatkan dunia dengannya dengan mengurangi agama mereka’. Al-Makmuun berkata : ‘Engkau benar”.
Ini tidak tepat. Pertama, ditinjau dari kualitas riwayatnya, maka riwayat pertama tidak diketahui darimana sumbernya yang disertai sanadnya, sedangkan riwayat kedua lemah[11]dengan sebab Al-Musaddad bin ‘Aliy[12]dan jahalah dari Abu ‘Abdillah As-Sijistaaniy. Kedua,seandainya benar irjaa’ adalah paham yang disenangi para penguasa, maka maksudnya – wallaahu a’lam– adalah sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
المرجئة وأمثالهم ممن يسلك مسلك طاعة الأمراء مطلقاً وإن لم يكونوا أبراراً
“Murji’ah dan yang semisalnya yang menempuh jalan ketaatan terhadap para penguasa secara mutlak, meskipun mereka (penguasa) bukan orang yang baik/shalih” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/508].
Hal itu dikarenakan ketaatan kepada penguasa itu hanya pada yang ma’ruuf yang tidak bertentang dengan syari’at, sebagaimana sabda Nabi :
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Tidak ada ketaatan dalam maksiat. Ketaatan hanya pada yang ma’ruuf (sesuai syari’at)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7257 dan Muslim no. 1840].
Ketiga, taat kepada penguasa muslim meskipun dhalim, merupakan perintah dari Nabi sebagaimana riwayat:
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ، قَالَ: "دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ، قُلْنَا: أَصْلَحَكَ اللَّهُ، حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ "
Dari Junaadah bin Abi Umayyah, ia berkata : “Aku pernah masuk menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit yang wakti itu sedang sakit. Kami berkata : “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Ceritakanlah kepada kami satu hadits yang Allah telah memberikan manfaat kepadamu dengannya yang engkau dengar dari Nabi . Ia (‘Ubaadah) berkata : “Beliau menyeru kami, dan kami pun berbaiat kepada beliau. Lalu beliau bersabda dalam hal yang beliau ambil perjanjian dari kami yaitu kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan kami  agar kami berbaiat untuk senantiasa mendengar dan taat baik dalam keadaan senang ataupun benci, dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah, ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau bersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7056].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ؟، قَالَ: تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ "
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Akan ada sepeninggalku nanti ‘atsarah’ (penguasa yang dhalim – Abul-Jauzaa’) dan perkara-perkara yang kalian ingkari”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami jika diantara kami menemuinya ?”. Beliau menjawab : “Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah  [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1843].[13]
b.      Untuk kasus Khawaarij, ada sebagian orang yang bermudah-mudah mengecap orang-orang yang kontra dengan penguasa sebagai Khawaarij sehingga halal darahnya untuk ditumpahkan, termasuk para pelaku aksi demonstrasi. Ini tidak benar. Permasalahan ini butuh perincian. Pertama, tidak semua orang yang kontra penguasa disebut Khawaarij. Kesalahan mereka tidaklah dalam satu tingkatan. Disebut Khawaarij apabila sikap kontra tersebut diikuti dengan pengkafiran[14]. Kedua, tidak boleh bermudah-mudahan berfatwa dalam masalah darah. Harus ekstra hati-hati karena Nabi pernah bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Lenyapnya dunia lebih rendah kedudukannya di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1395, An-Nasaa’iy no. 3987, dan yang lainnya; shahih].
Ketiga, keliru karena tidak membunuh orang yang boleh dibunuh lebih ringan daripada keliru karena membunuh orang yang tidak boleh dibunuh. Keempat, seandainya benar mereka Khawaarij dan halal ditumpahkan darahnya, apakah boleh setiap orang main hakim sendiri ?. Tentu tidak boleh. Kelima, perlu pertimbangan maslahat dan mafsadat dalam menyikapi orang yang kontra dengan penguasa, dan ini perlu bimbingan para ulama karena Allah ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
Somewhere, 19 Dzulqa’dah 1437.




[1]    Seorang yang tsiqah[Al-Jarh wat-Ta’diil, 4/34 no. 145].
[2]    Abu Haniifah dan shahabat-shahabat dari kalangan penduduk Kuufah dikritik para ulama karena ketergelinciran mereka dalam masalah irjaa’.
[3]    Perkataan Al-A’masy ini sebenarnya tidak selalu mengkonsekuensikan bahwa Murji’ah adalah kelompok yang paling buruk dalam Islam, karena boleh jadi perkataannya tersebut dalam konteks mubalaghah untuk mentahdzir agar tidak tertipu oleh paham irjaa’yang dibawa oleh orang-orang faqih, yaitu Abu Haniifah dan para shahabatnya, wallaahu a’lam.
[4]    Silakan baca takhrij-nya dalam artikel : Apakah Kelompok Murji’ah Sudah Ada Sejak Jaman Nabi ?.
[5]    Riwayat ini mu’allaq, disambungkan sanadnya oleh Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Tahdziibul-Aatsaar– sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Taghliiqut-Ta’liiq 5/259; shahih].
[6]    Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai perkataan lain selain ini yang menyatakan Raafidlah dan Jahmiyyah lebih jelek daripada Khawaarij. Beliau rahimahullah berkata:
وحال الجهمية والرافضة شر من حال الخوارج فإن الخوارج كانوا يقاتلون المسلمين ويدعون قتال الكفار وهؤلاء أعانوا الكفار على قتال المسلمين وذلوا للكفار فصاروا معاونين للكفار أذلاء لهم معادين للمؤمنين أعزاء عليهم كما قد وجد مثل ذلك في طوائف القرامطة والرافضة والجهمية النفاة والحلولية ومن استقرأ أحوال العالم رأى من ذلك عبرا وصار في هؤلاء شبه من الذين قال الله تعالى فيهم : { ألم تر إلى الذين أوتوا نصيبا من الكتاب يؤمنون بالجبت والطاغوت ويقولون للذين كفروا هؤلاء أهدى من الذين آمنوا سبيلا * أولئك الذين لعنهم الله ومن يلعن الله فلن تجد له نصيرا } [ النساء : 51 - 52 ]
Keadaan Jahmiyyah dan Raafidlah yang lebih jelek/buruk dibandingkan keadaan Khawaarij, dikarenakan Khawaarij memerangi kaum muslimin dan meninggalkan peperangan terhadap orang kafir. Adapun mereka (Jahmiyyah dan Raafidlah) menolong orang-orang kafir untuk memerangi kaum muslimin dan tunduk kepada orang-orang kafir. Mereka menjadi penolong bagi orang-orang kafir dan sangat tunduk kepada mereka untuk memusuhi orang-orang beriman dan bersikap keras terhadap mereka. Hal itu seperti itu didapati pada kelompok Qaraamithah, Raafidlah, dan Jahmiyyah yang menafikkan sifat-sifat Allah dan mempunyai keyakinan huluuliyyah (bersatunya Allah dengan hamba-Nya). Barangsiapa yang memperhatikan keadaan-keadaan dunia niscaya akan melihat hal tersebut sebagai pelajaran. Oleh karenanya, keadaan mereka (Jahmiyyah dan Raafidlah) menyerupai orang yang difirmankan Allah ta’ala tentangnya: ‘Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barang siapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya’ (QS. An-Nisaa’ : 51-52)” [Dar’ut-Ta’aarudl, 3/364].
Silakan baca artikel : Khawaarij vs Syi’ah Raafidlah.
[7]    Para ulama berselisih pendapat apakah Khawaarij telah murtad dari Islam. Yang raajih, mereka adalah kelompok sesat yang masih berada dalam lingkaran/lingkup Islam. Silakan baca artikel : Apakah Khawaarij Kafir ?.
[8]    Persis seperti kelakuan ISIS dewasa ini yang memerangi kaum muslimin di Timur Tengah, namun malah membiarkan aman orang Yahudi (Israel).
Menyedihkannya, pengikut ISIS ini mulai bertumbuhan di tanah air, Allaahul-musta’aan.
[10]   Yang benar An-Nadlr bin Syumail.
[11]   Sanad lengkapnya adalah sebagai berikut:
أخبرنا أبو الحسين بن أبي الحديد أنا جدي أبو عبد الله أنا أبو المعمر المسدد بن علي بن عبد الله بن العباس بن أبي السجيس الحمصي قدم علينا نا أبو بكر محمد بن سليمان بن يوسف الربعي نا أبو إسحاق إبراهيم بن محمد بن أبي ثابت العطار نا أبو عبد الله السجستاني مستملي أبي أمية عن أبي داود المصاحفي سليمان بن سلم قال سمعت النضر بن شميل : .....
[Taariikh Dimasyq, 33/301].
[12]   Al-Kattaaniy rahimahullah berkata : “Padanya terdapat sikap bermudah-mudahan” [Taariikhul-Islaam, 7/86].
[13]   An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan hadits ini:
وَفِيهِ : الْحَثّ عَلَى السَّمْع وَالطَّاعَة ، وَإِنْ كَانَ الْمُتَوَلِّي ظَالِمًا عَسُوفًا ، فَيُعْطَى حَقّه مِنْ الطَّاعَة ، وَلَا يُخْرَج عَلَيْهِ وَلَا يُخْلَع ؛ بَلْ يُتَضَرَّع إِلَى اللَّه تَعَالَى فِي كَشْف أَذَاهُ ، وَدَفْع شَرّه وَإِصْلَاحه
“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh Shahiih Muslim, 12/232].
[14]   Silakan baca penjelasannya pada artikel Khawaarij.

Pajak yang Diperhitungkan Sebagai Zakat

$
0
0
Pernah diajukan pertanyaan kepada Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
هل يجزئ الرجل عن زكاته ما يغرمه ولاة الأمور في الطرقات أم لا
“Apakah mencukupi kewajiban zakat seseorang dari harta yang dibebankan (dipungut) penguasa kepadanya untuk membuat/membangun jalan ?”.
Maka beliau rahimahullah menjawab:
ما ياخذه ولاة الأمور بغير اسم الزكاة لا يتعد به من الزكاة والله تعالى أعلم
“Segala sesuatu yang diambil oleh penguasa bukan atas nama zakat, maka tidak diperhitungkan sebagai zakat, wallaahu a’lam” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 25/93].

Para ulama Lajnah Daaimah juga berfatwa hal yang senada sebagai berikut:
لا يجوز أن تحتسب الضرائب التي يدفعها أصحاب الأموال على أموالهم من زكاة ما تجب فيه الزكاة منها ، بل يجب أن يخرج الزكاة المفروضة ويصرفها في مصارفها الشرعية ، التي نص عليها سبحانه وتعالى بقوله : ( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ ) الآية
“Tidak diperbolehkan menganggap pajak dari harta yang dikeluarkan oleh pemilik harta sebagai zakat yang wajib dikeluarkan darinya. Bahkan tetap wajib baginya untuk membayarkan zakat dan menyalurkannya pada golongan yang berhak menerimanya menurut syari’at, yaitu yang telah dinashkan Allah subhaanahu wa ta’ala dengan firman-Nya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin……dst.” (QS. At-Taubah : 60)” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 9/285].
Wallaahu a’lam.

Somewhere, selepas kerja menjelang adzan Maghrib tiba, 19 Dzulqa’dah 1437

Disyari’atkannya Mengumandangkan Adzan Ketika Shalat Sendirian (Munfarid)

$
0
0
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa adzan merupakan salah satu syi’ar Islam yang paling besar dan penunjuk eksistensi Islam yang paling masyhur. Adzan dikumandangkan sebagai pemberitahuan kepada manusia (kaum muslimin) bahwa waktu shalat telah masuk. Bahkan, dikumandangkannya adzan menjadi sebab sebuah negeri tidak diserang oleh pasukan kaum muslimin sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas radliyallaahu ‘anhu berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ، وَكَانَ يَسْتَمِعُ الأَذَانَ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا، أَمْسَكَ، وَإِلَّا أَغَارَ، فَسَمِعَ رَجُلًا، يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى الْفِطْرَةِ.....
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Rasulullah pernah hendak menyerang satu daerah ketika terbit fajar. Beliau menunggu suara adzan, jika beliau mendengar suara adzan maka beliau menahan diri. Namun jika beliau tidak mendengar, maka beliau menyerang. Lalu beliau pun mendengar seorang laki-laki berkata (mengumandangkan adzan) : Allaahu akbar Allaahu akbar. Rasulullah bersabda : “Di atas fithrah....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 382].

An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وَفِي الْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّ الْأَذَان يَمْنَع الْإِغَارَة عَلَى أَهْل ذَلِكَ الْمَوْضِع ، فَإِنَّهُ دَلِيل عَلَى إِسْلَامهمْ
“Dalam hadits ini terdapat dalil yang menujukkan bahwa adzan menahan serangan terhadap penduduk daerah tersebut, karena adzan tersebut merupakan dalil atas keislaman mereka” [Syarh Shahiih Muslim, 4/84].
Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengumandangkan adzan, apakah wajib ataukah hanya sunnah muakkadah saja. Yang raajih dalam hal ini – wallaahu a’lam– adalah wajib/fardlu kifayah. Apabila salah seorang telah mengumandangkan adzan, maka telah mencukupi bagi orang-orang yang tinggal di negeri/tempatnya. Dalilnya antara lain sabda Nabi :
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لَا يُؤَذَّنُ وَلَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ
Tidaklah tiga orang yang tinggal di satu desa yang tidak dikumandangkan adzan dan tidak pula ditegakkan shalat padanya, kecuali setan akan menguasai mereka
Dalam lafadh lain:
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ
Tidaklah tiga orang yang tinggal di satu desa atau pedalaman yang tidak ditegakkan shalat padanya, kecuali setan akan menguasai mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 547, An-Nasaa’iy no. 847, Ahmad 5/196 & 6/446, Al-Haakim 1/330 & 2/524, dan yang lainnya; hasan].
Hadits di atas secara jelas menunjukkan wajibnya adzan di suatu tempat/negeri, karena meninggalkan adzan dan shalat menjadi sebab berkuasanya setan. Selain itu, yang menjadi dalil adalah hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu yang disebutkan di awal.
Pendapat inilah yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana perkataannya:
الصحيح أن الأذان فرض على الكفاية
“Yang benar dalam permasalahan ini, adzan hukumnya fardlu kifaayah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 22/64].
Begitu juga Al-Mardawiy Al-Hanbaliy rahimahullah:
فإن فعلهما في الحضر فالصحيح من المذهب : أنهما فرض كفاية في القرى والأمصار وغيرهما وعليه الجمهور
“Apabila keduanya (adzan dan iqamat) dilakukan ketika menetap (tidak safar – Abul-Jauzaa), maka yang shahih dalam madzhab (Hanabilah) bahwa keduanya hukumnya fardlu kifayahdi desa, kota, dan tempat yang lainnya. Inilah pendapat yang dipegang jumhur” [Al-Inshaaf, 1/407].
Apabila seseorang shalat sendirian (munfarid), ia pun tetap disyari’atkan untuk mengumandangkan adzan (dan iqamat). Dalilnya antara lain adalah:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "يَعْجَبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ، يُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ، يَخَافُ مِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ "
Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Rabb kalian ridlaa pada seorang penggembala kambing yang berada di pucuk gunung, yang mengumandangkan adzan dan shalat. Maka Allah ‘azza wa jallla berfirman : ‘Lihatlah kepada hamba-Ku yang mengumandangkan adzan dan menegakkan shalat karena semata-mata takut kepada-Ku. Sungguh Aku telah mengampuni hamba-Ku itu dan akan Aku masukkan ia ke dalam surga” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1203, An-Nasaa’iy no. 666, Ahmad 4/145 & 4/157, dan yang lainnya; shahih].
An-Nasaa’iy rahimahullah memasukkan hadits ‘Uqbah bin ‘Aamir radliyallaahu ‘anhu di atas dalam bab (الْأَذَانُ لِمَنْ يُصَلِّي وَحْدَهُ) “Adzan bagi orang yang shalat sendirian diri” [Sunan An-Nasaa’iy, hal. 111].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
وفي الحديث من الفقه استحباب الأذان لمن يصلي وحده , وبذلك ترجم له النسائي.
وقد جاء الأمر به وبالإقامة أيضاً في بعض طرق حديث المسيء صلاته , فلا ينبغي التساهل بهما.
“Kandungan dalam hadits ini merupakan fiqh disunnahkannya adzan bagi orang yang shalat sendirian. Oleh sebab itu, An-Nasaa’iy telah menjelaskan hadits itu (pada bab dalam Sunan-nya). Dan telah ada hadits lain yang memerintahkan iqamat pada sebagian jalan hadits orang yang jelek shalatnya, sehingga tidak boleh untuk bermudah-mudah untuk meninggalkan adzan dan iqamat” [Silsilah Ash-Shahiihah, 1/102].
Juga hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَة الْأَنْصَارِيِّ ، أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ، قَالَ لَهُ: "إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ، فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ أَوْ بَادِيَتِكَ فَأَذَّنْتَ بِالصَّلَاةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ "، قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
Dari ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Sha’sha’ah Al-Anshaariy Al-Maaziniy, bahwasannya Abu Sa’iid Al-Khudriy pernah berkata kepadanya : “Aku melihatmu menyukai kambing dan daerah pedalaman/sahara. Apabila engkau sedang bersama kambingmu atau ketika berada di daerah pedalaman/sahara, lalu engkau mengumandangkan adzan untuk shalat, maka angkatlah (keraskanlah) suaramu. Karena tidaklah suara muadzin terdengar oleh jin, manusia, atau yang lainnya, kecuali mereka akan menjadi saksi bagimu di hari kiamat”. Abu Sa’iid melanjutkan : “Aku mendengarnya dari Rasulullah ” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 609].
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata:
أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يُؤَذِّنَ وَيُقِيمَ إِذَا صَلَّى وَحْدَهُ، وَيُجْزِيهِ إِنْ أَقَامَ وَإِنْ لَمْ يُؤَذِّنْ، وَلَوْ صَلَّى بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلا إِقَامَةٍ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الإِعَادَةُ، وَإِنَّمَا أَحْبَبْتُ الأَذَانَ وَالإِقَامَةَ لِلْمُصَلِّي وَحْدَهُ لِحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
“Aku menyukai untuk dikumandangkan adzan dan iqamat apabila shalat sendirian, dan tetap mencukupi (sah) apabila hanya iqamat saja tanpa adzan. Meskipun ia mengerjakan shalat tanpa adzan dan iqamat, tidak wajib baginya untuk mengulangi. Aku menyukai dikumandangkan adzan dan iqamat bagi orang yang shalat sendirian berdasarkan hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy” [Al-Ausath, no. 1233].
Juga hadits Salmaan Al-Farisiy radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ ﷺ: "إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بِأَرْضِ قِيٍّ فَحَانَتِ الصَّلاةُ فَلْيَتَوَضَّأْ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً فَلْيَتَيَمَّمْ، فَإِنْ أَقَامَ صَلَّى مَعَهُ مَلَكَاهُ، وَإِنْ أَذَّنَ وَأَقَامَ صَلَّى خَلْفَهُ مِنْ جُنُودِ اللَّهِ مَا لا يُرَى طَرَفَاهُ "
Dari Salmaan Al-Faarisiy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Apabila seseorang berada di tanah tandus tak berpenghuni, lalu tiba waktu shalat, hendaklah ia berwudlu. Apabila ia tidak mendapatkan air, hendaklah bertayammum. Apabila ia mengumandangkan iqamat, maka akan shalat bersamanya dua orang malaikat. Apabila ia mengumandangkan adzan dan iqamat, maka akan shalat di belakangnya tentara-tentara Allah yang tidak terlihat dua ujungnya (yaitu sangat banyak – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq 1/510-511 no. 1955; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Targhiib no. 249].[1]
Apabila seseorang shalat qadla, atau shalat di masjid setelah shalat berjama’ah pertama usai yang sebelumnya telah dikumandangkan adzan dan iqamat; maka hendaknya adzan yang dikumandangkannya tidak keras.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَالْأَفْضَلُ لِكُلِّ مُصَلٍّ أَنْ يُؤَذِّنَ وَيُقِيمَ إلَّا أَنَّهُ إنْ كَانَ يُصَلِّي قَضَاءً أَوْ فِي غَيْرِ وَقْتِ الْأَذَانِ ، لَمْ يَجْهَرْ بِهِ .
وَإِنْ كَانَ فِي الْوَقْتِ ، فِي بَادِيَةٍ أَوْ نَحْوِهَا ، اُسْتُحِبَّ لَهُ الْجَهْرُ بِالْأَذَانِ ؛ لِقَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ
“Dan yang afdlal untuk setiap orang yang akan melakukan shalat untuk mengumandangkan adzan dan iqamat. Hanya saja, apabila ia shalat qadlaatau pada selain waktu adzan, maka tidak dikeraskan. Namun apabila ia berada pada waktu adzan, di daerah pedalaman/sahara, atau yang semisalnya, disunnahkan untuk mengeraskan adzan, berdasarkan perkataan Abu Sa’iid….” [Al-Mughniy, 2/231].
وَإِذَا أَذَّنَ فَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ يُخْفِيَ ذَلِكَ وَلَا يَجْهَرَ بِهِ ؛ لِيَغُرَّ النَّاسَ بِالْأَذَانِ فِي غَيْرِ مَحِلِّهِ .
“Apabila ia hendak adzan (di masjid yang telah dikumandangkan adzan sebelumnya), maka disunnahkan untuk melirihkannya dan tidak mengeraskannya, karena orang-orang dapat terkecoh dengan adzan yang dikumandangkan bukan pada tempatnya (waktunya)” [idem, 2/238].
Sebagai tambahan, adzan dan iqamat bagi orang yang shalat sendirian di masjid seperti itu tidaklah wajib tanpa ada perselisihan sebagaimana dikatakan Asy-Syaafi’iy rahimahullah:
وَلَمْ أَعْلَمْ مُخَالِفًا فِي أَنَّهُ إِذَا جَاءَ الْمَسْجِدَ، وَقَدْ خَرَجَ الْإِمَامُ مِنَ الصَّلَاةِ، كَانَ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
“Aku tidak mengetahui adanya orang yang menyelisihi apabila ada seseorang yang datang ke masjid sedangkan imam telah keluar (selesai) dari shalatnya, maka boleh baginya shalat tanpa adzan dan iqamat” [Al-Umm, 1/101].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
Somewhere, 21 Dzulqa’dah 1437




[1]   Namun tashhiih ini mendapatkan kritikan, karena dalam jalan yang lain diriwayatkan secara mauquuf. Semoga lain waktu dapat membahasnya di Blog ini. 

Sebagian Kaedah dalam Berdakwah

$
0
0
Ada beberapa kaedah dan landasan yang perlu diperhatikan bagi orang yang berdakwah di jalan Allah ta’ala:
1.      Orang yang berdakwah tidak dituntut untuk merealisasikan hasil akhir berupa kemenangan agama Islam atau penerimaan dari objek yang didakwahi, karena hal ini adalah urusan dan kehendak Allah ta’ala. Rasulullah dulu dengan segala kemampuannya menginginkan pamannya Abu Thaalib untuk menerima Islam, namun ternyata Allah ta’ala berkehendak lain.

عَنْ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: "لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ، فَقَالَ: "أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ "، فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى، قَالَ أَبُو طَالِبٍ: آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ، يَقُولَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي أَبِي طَالِبٍ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ: إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Dari Al-Musayyib, ia berkata : Ketika Abu Thaalib hampir mati, Rasulullah mengunjunginya dan beliau mendapati Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Al-Mughiirah ada di sisi Abu Thaalib. Rasulullah bersabda (kepada Abu Thaalib): “Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah; satu kalimat yang aku dapat berhujjah membelamu kelak di hadapan Allah”. Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata : “Wahai Abu Thaalib, apakah engkau membenci agama ‘Abdul-Muthallib ?”. Rasulullah tidak henti-hentinya mengulangi kalimat tersebut agar Abu Thaalib mengucapkannya, namun keduanya (Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Umayyah) juga mengulang apa yang telah mereka katakan sebelumnya. Hingga akhir perkataan Abu Thaalib saat kematiannya adalah di atas agama ‘Abdul-Muthallib dan enggan untuk mengucapkan Laa ilaaha illallaah. Rasulullah bersabda : “Demi Allah, sungguh aku akan memintakan ampun kepadamu selama tidak dilarang”. Maka Allah menurunkan ayat : “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam” (QS. At-Taubah : 113). Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Thaalib. Dan Allah berfirman kepada Rasulullah : “Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah (lah) memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al-Qashshash : 56)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4675 & 4772, Muslim no. 24, Ahmad 5/433, dan yang lainnya].
Yang dituntut bagi seorang pendakwah berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk berdakwah.
2.      Dakwah tidak diukur oleh banyak-sedikitnya pengikut dan jama’ah, akan tetapi dakwah diukur dengan kebenaran.
Dakwah bukan sekedar bertujuan untuk mengumpulkan manusia, akan tetapi menyampaikan kebenaran yang telah Allah perintahkan. Bukan menjadi sesuatu yang diharuskan dalam dakwah agar semua orang menyambut dakwahnya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ada Nabi yang mempunyai sedikit pengikut, atau bahkan tidak mempunyai pengikut sama sekali.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَا صُدِّقَ نَبِيٌّ مَا صُدِّقْتُ، إِنَّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ مَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُ مِنْ أُمَّتِهِ إِلا رَجُلٌ وَاحِدٌ "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Tidak ada seorangpun Nabi yang dibenarkan seperti aku dibenarkan (oleh umatnya). Sesungguhnya ada di kalangan para nabi yang tidak dibenarkan oleh umatnya kecuali hanya satu orang saja” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 14/136].
Begitu juga hadits:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ وَالنَّبِيَّانِ يَمُرُّونَ مَعَهُمُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Umat-umat pernah ditampakkan kepadaku. Lalu nampaklah seorang nabi dan dua orang nabi lain lewat bersama dengan beberapa orang saja (= tidak sampai 10 orang), dan seorang nabi lagi yang tidak bersama seorang pun (pengikut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5705].
Sebagian ulama salaf berkata:
عَلَيْكَ بِطَرِيْقِ اْلحَقِّ وَلاَ تَسْتَوْحِشْ لِقِلَّةِ السَّالِكِينَ. وَ إِيَّاكَ وَطَرِيقَ اْلبَاطِلِ وَلاَ تَغْتَرَّ بِكَثْرَةِ اْلهَالِكِينَ
“Wajib bagi engkau untuk mengikuti jalan kebenaran dan jangan merasa kesepian dengan sedikitnya orang yang menempuhnya. Waspadailah jalan kebathilan, dan jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang binasa (yang menempuh jalan itu)” [Madaarijus-Saalikiin, 1/22].
Sufyaan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata:
الْزَمِ الْحَقَّ، وَلا تَسْتَوْحِشْ لِقِلَّةِ أَهْلِهِ
“Berpegang teguhlah kepada kebenaran, dan jangan engkau terpedaya karena sedikitnya orang yang berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Az-Zuhd no. 247].
3.      Pahala yang akan diperoleh dari usahanya untuk berdakwah, tidak terkait dengan respon (objek dakwah), apakah ia menerima ataukah menolak dakwah yang disampaikan.
Pahala yang didapat tergantung pada niat, usaha, dan cara (yang mengikuti sunnah).
Para Nabi dan Rasul berdakwah sama sekali tidak mengharapkan upah, namun hanya mengharapkan keridlaan dan pahala dari Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
وَمَآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam” [QS. Asy Syu’araa’ (26) : 109, 127, 145, 164, 180].
قُل لآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an)”. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat” [QS. Al-An’aam (6) : 90].
Adapun apabila ada orang yang menyambut dakwahnya dan melakukan kebenaran/kebaikan dari apa yang diserukan, maka baginya tambahan pahala yang berlipat sebagai satu karunia dari-Nya ta’ala.
Nabi bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya seperti pahala orang yang mengerjakannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1677].
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2674].
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Maka demi Allah, sungguh seandainya Allah melalui perantaraan dirimu memberikan petunjuk kepada seseorang, maka itu baik bagimu daripada onta merah (= harta dunia yang paling baik)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3009].
4.      Berupaya mewujudkan persatuan kaum muslimin di atas kebenaran dan kalimat tauhid, karena kalimat tauhid (Laa ilaha illallaah) merupakan pokok untuk menyatukan barisan (كلمة التوحيد أساس توحيد الكلمة).
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)"[QS. Aali ‘Imraan (3) : 64].
5.      Dakwah dimulai dari yang paling penting, kemudian yang penting, dan seterusnya.
Hal ini seperti pengajaran Rasulullah kepada Mu’’adz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu saat diutus ke negeri Yaman:
إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi Ahli Kitaab. Maka serulah (untuk yang pertama kali) kepada persaksian (syahadat) bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan aku adalah Rasullullah. Seandainya mereka mentaatimu dalam perkara tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali dalam sehari semalam. Apabila mereka telah mentaatimu dalam perkara tersebut, beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqirnya. Jika mereka mentaatimu dalam perkara tersebut, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka dan takutlah kamu terhadap doa orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada hijab antara dia dengan Allah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 19].
Hadits ini juga memberikan faedah kepada kita bahwa metode dakwah Rasulullah dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus.
6.      Dakwah mengajak loyal kepada agama (syari’at Islam), bukan untuk para tokoh, karena kebenaran akan kekal sedangkan tokoh akan wafat.
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berkata:
إِنَّ اْلحَقَّ لاَ يُعْرَفُ بِالرِّجَالِ, اِعْرِفِ اْلحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ
“Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenal melalui orang-orangnya. Tetapi kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan tahu siapa orang-orang yang berada di atas kebenaran” [Talbiis Ibliis oleh Ibnul-Jauziy].
Dakwah hanyalah untuk mengajak orang lain kepada agama/jalan Allah sebagaimana firman Allah ta’ala:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik"[QS. Yuusuf (12) : 108].
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” [QS. Fushshilat (41) : 33].
7.      Mengikuti metode hikmah dan nasihat yang baik.
Allah ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”[QS. An-Nahl (16) : 125].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
“Allah ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya Muhammad agar menyeru manusia kepada Allah ta’ala dengan ‘hikmah’. Ibnu Jariir berkata bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah apa yang diturunkan Allah kepada Nabi berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah.
(وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ) ‘pelajaran yang baik’ maksudnya adalah berupa larangan-larangan dan berbagai kejadian yang menimpa manusia yang disebutkan di dalamnya (Al-Qur’an dan As-Sunnah), agar dijadikan peringatan bagi mereka akan hukuman Allah ta’ala.
Firman Allah ta’ala : ‘dan bantahlah mereka dengan cara yang baik’, maksudnya adalah : barangsiapa yang membutuhkan perdebatan dan perbantahan, hendaknya dilakukan dengan cara yang baik, yaitu dengan kelemahlembutan, keramahan, dan tutur kata yang baik; sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang lalim di antara mereka’ (QS. Al-Ankabuut : 46). Maka, (dengan ayat ini) Allah memerintahkan Nabi untuk berlemah-lembut sebagaimana Allah telah memerintahkan Muusaa dan Haaruun ‘alaihimas-salaamketika memerintahkan keduanya datang (berdakwah) kepada Fir’aun sebagaimana dalam firman-Nya : ‘maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut’ (QS. Thaha (20) : 44)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/613].
Rasulullah bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan tercabut dari sesuatu melainkan akan membuatnya jelek” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2594].
مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ
Barangsiapa dijauhkan dari sifat lemah-lembut, maka ia dijauhkan dari kebaikan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2592].
8.      Menghindari perdebatan.
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menjelaskan ada 3 (tiga) jenis perdebatan yang tercela, yaitu:
a.    Berdebat dengan kebathilan untuk melenyapkan kebenaran.
Allah ta’ala berfirman:
وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ
Dan mereka membantah dengan (alasan) yang bathil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang bathil itu” [QS. Al-Mukmin (40) : 5].
b.    Berdebat tentang kebenaran setelah jelas kebenaran tersebut.
Allah ta’ala berfirman:
يُجَادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ
Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah jelas kebenaran itu” [QS. Al-Anfaal (8) : 6].
c.    Berdebat tentang perkara yang tidak diketahui oleh pihak yang berdebat.
Allah ta’ala berfirman:
هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ
Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui?” [QS. Aali ‘Imraan : 66].
[Ar-Radd ’alal-Mukhaalif, hal. 51-52].
Sebagai tambahan, perdebatan tercela:
d.    Perdebatan dengan orang yang susah diharapkan kembali kepada kebenaran dari kalangan pelaku bid’ah dan orang-orang yang menyimpang lainnya, karena nampak dari mereka sikap sombong terhadap kebenaran, permusuhannya yang keras terhadap orang-orang yang benar, dan kukuhnya dalam membela kebathilan.
e.    Perdebatan pada perkara yang telah jelas dan tidak ada kesamaran padanya, baik bagi yang mendebat maupun yang didebat.
f.     Perdebatan yang tidak diniatkan ikhlash untuk menggapai keridlaan Allah ta’ala.
Rasulullah bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ، وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ، وَإِنْ كَانَ مَازِحًا، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ "
Aku menjamin rumah di tepi surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar, (menjamin) rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun hanya sekedar bergurau, serta (menjamin) rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4800; hasan].
Tidak dapat dipungkiri menahan untuk tidak mendebat dengan orang lain saat ia memandang orang lain salah dan dirinya benar adalah sangat sulit. Suka berdebat itu adalah tabiat, sehingga seringkali seseorang melakukannya mempunyai sangkaan bahwa apa yang dilakukannya benar dan mendapatkan pahala. Ia menganggap dirinya sebagai penolong agama Allah melalui debatnya. Tentu saja, tidak seperti itu keadaannya.
9.      Menghindari sikap dari tasyaddud(mempersulit/keras) serta mengutamakan sikap mudah dan lapang selama diperbolehkan syari’at.
Rasulullah bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 39].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[Balideli – 14 Sya’ban 1437 H/21-05-2016].

Jawaban Resmi MUI untuk Pendusta

Sifat Duduk (Juluus)

$
0
0
Ramai pembicaraan akhir-akhir ini tentang sifat duduk (juluus) Allah ta’ala. Apakah boleh Allah ta’ala disifati dengan ‘duduk’ ?. Mereka kata – you know who - , orang yang menyifati Allah ta’ala dengan ‘duduk’ (juluus) adalah adalah sesat lagi menyesatkan, satu kerangkeng dengan orang-orang Mujassimah. Bagi yang terbiasa hidup bergaul dengan komunitas mereka, tentu tidak aneh dengan gaya-gaya nyentrik seperti ini. Perkataan mereka hanyalah sekedar duplikasi perkataan Jahmiyyah yang usianya sudah memfosil lebih dari seribu tahun, gak kreatif banget. Banyak orang tertipu dengan penemuan fosil itu yang dikiranya batu mulia, padahal dulunya onggokan kotoran onta.
So, mari kita bahas apa yang menjadi pokok pembicaraan di sini…

Allah ta’ala berfirman:
عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
"Mudah-mudahan Rabbmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" [QS : Al-Israa’ : 79].
Terkait dengan ayat tersebut, ada satu riwayat penafsiran di kalangan salaf:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، ثنا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ: عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا قَالَ: يُقْعِدُهُ مَعَهُ عَلَى الْعَرْشِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari Laits, dari Mujaahid tentang firman Allah ta’ala : ‘Mudah-mudahan Rabbmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" (QS : Al-Israa’ : 79), ia (Mujaahid) berkata : “Allah mendudukkan beliau (Nabi ) bersama-Nya di atas ‘Arsy” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 695].
Diriwayatkan juga oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 255 (Ibnu Abi syaibah) & 256 Ibnu Mandah dalam Adz-Dzikr hal. 99-100 no. 70 dari jalan Abu Bakr bin Abi Syaibah.
Abu Bakr bin Abi Syaibah mempunyai mutaba’aat dari ‘Utsmaan bin Abu Syaibah, Al-‘Alaa’ bin ‘Utsmaan, Abu Hammaam, Abul-Hudzail, Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair, Ishaaq bin Rahuyah/Rahawaih, Muhammad bin ‘Umar Al-Mishshiishiy, Al-Haarits bin Syuraih, ‘Aliy bin Al-Mundzir Ath-Thariiqiy, ‘Aliy bin Harb Al-Maushiiliy, ‘Abbaad bin Ya’quub Al-Asadiy, dan ‘Abdullah bin Sa’iid Abu Sa’iid; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 251 & 256 & 279 & 280 & 283 & 288 & 310, Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya 17/529, Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 2/368 no. 1160-1162, dan Ibnu Mandah dalam Adz-Dzikr hal. 99-100 no. 70.
Dalam sebagian riwayat disebutkan dengan lafadh:
يُجْلِسُهُ مَعَهُ عَلَى الْعَرْشِ
“Mendudukkan beliau (Nabi - yujlisuhu) bersama-Nya di atas ‘Arsy”.
Ibnu Fudlail adalah Muhammad bin Fudlail bin Ghazwaan Adl-Dlabbiy, seorang yang tsiqah [Tahrirut-Taqriib, 3/306-307 no. 6227].
Al-Laits bin Abi Sulaim, seorang yang shaduuq, namun lemah dalam hapalannya, mudltharibul-hadiits[selengkapnya : Tahdziibul-Kamaal, 24/279-288 no. 5017].
Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy, seorang yang tsiqah lagi imam di bidang tafsir [Taqriibut-Tahdziib, hal. 921 no. 6523].
Sebagian ulama melemahkan riwayat Mujaahid ini karena faktor Al-Laits bin Abi Sulaim. Ini tidak benar. Riwayat Al-Laits bin Abi Sulaim dari Mujaahid dalam tafsiiradalah shahih, karena periwayatannya tersebut melalui perantaraan kitab/catatan Al-Qaasim bin Abi Bazzah. Ibnu Hibbaan rahimahullah menjelaskan:
ما سمع التفسير عن مجاهد أحد غير القاسم بن أبى بزة نظر الحكم بن عتيبة وليث بن أبى سليم وابن أبى نجيح وابن جريج وابن عيينة في كتاب القاسم ونسخوه ثم دلسوه عن مجاهد
“Tidak ada seorang pun yang mendengar tafsir dari Mujaahid kecuali Al-Qaasim bin Abi Bazzah. Lalu Al-Hakam bin ‘Utaibah, Laits bin Abi Sulaim, Ibnu Abi Najiihm Ibnu Juraij, dan Ibnu ‘Uyainah melihat kitab kitab Al-Qaasim, dan kemudian mereka menyalinnya dan mentadlisnya dari Mujaahid (yaitu dengan menggugurkan Al-Qaasim– Abul-Jauzaa’)” [Masyaahiiru ‘Ulamaail-Amshaar, hal. 176 no. 1153].
Al-Qaasim bin Abi Bazzah adalah seorang yang tsiqah.
Yang menguatkan itu adalah penerimaan para ulama mutaqaddimiin atas riwayat Al-Laits bin Abi Sulaim dari Mujaahid ini, dan bahkan mereka mengingkari dengan keras orang-orang yang menolaknya. Akan saya sebutkan diantaranya, terutama yang ‘jenderal-jenderal’-nya.
1.      Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
قَدْ تَلَقَّتْهَا الْعُلَمَاءُ بِالْقَبُولِ، نُسَلِّمُ الأَخْبَارَ كَمَا جَاءَتْ
“Sungguh para ulama telah mendapatkan khabar tersebut dengan penuh penerimaan. Kami tunduk/berserah diri terhadap khabar-khabar tersebut sebagaimana datangnya” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 284].
Catatan : Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menerima khabar Laits dari Mujaahid ini, meskipun beliau men-jarh Al-Laits bin Abi Sulaim dengan : ‘mudltharibul-hadiits, tidak kuat, dla’iiful-hadiits jiddan, banyak salahnya, dan lain-lain [Mausuu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad bin Hanbal, 3/207-208 no. 2231]. Ini sebagai indikasi kuat bahwa riwayat Laits bin Abi Sulaim khusus dari Mujaahid dalam Tafsiir adalah shahih.
2.      Abu Daawud As-Sijistaaniy rahimahullah (w. 275 H) berkata:
أَرَى أَنْ يُجَانَبَ كُلُّ مَنْ رَدَّ حَدِيثَ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ: يُقْعِدُهُ عَلَى الْعَرْشِ "، وَيُحَذَّرُ عَنْهُ، حَتَّى يُرَاجِعَ الْحَقَّ
“Aku berpandangan untuk menjauhi semua orang yang menolak hadits Laits, dari Mujaahid : ‘Allah mendudukkan beliau di atas ‘Arsy’; mentahdzirnya hingga ia kembali kepada kebenaran” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 276].
3.      ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahumullah (w. 290 H) berkata:
سَمِعْتُ هَذَا الْحَدِيثَ مِنْ جَمَاعَةٍ، وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنَ الْمُحَدِّثِينَ يُنْكِرُهُ، وَكَانَ عِنْدَنَا فِي وَقْتٍ مَا سَمِعْنَاهُ مِنَ الْمَشَايِخِ أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ إِنَّمَا تُنْكِرُهُ الْجَهْمِيَّةُ
“Aku mendengar hadits ini dari sekelompok ulama, dan aku tidak melihat seorang pun dari muhadditsiin mengingkarinya. Dan pada saat ini, apa yang kami dengar dari para masyayikh bahwa hadits ini hanyalah diingkari oleh Jahmiyyah” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 280].
4.      Abu Bakr bin Hammaad Al-Muqri’ rahimahullah (w. 267 H):
مَنْ ذُكِرَتْ عِنْدَهُ هَذِهِ الأَحَادِيثُ فَسَكَتَ فَهُوَ مُتَّهَمٌ عَلَى الإِسْلامِ، فَكَيْفَ مَنْ طَعَنَ فِيهَا؟
“Barangsiapa yang disebut di sisinya hadits ini lalu ia diam (abstain), maka ia tertuduh di atas Islam. Lantas, bagaimana halnya dengan orang yang malah mencelanya ?” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 257].
Ia merupakan salah seorang pembesar di kalangan murid-murid Ahmad bin Hanbal [Taariikh Baghdaad, 3/76-77 no. 690].
5.      Abu Ja’far Ad-Daqiiqiy rahimahullah (w.266 H):
مَنْ رَدَّهَا فَهُوَ عِنْدَنَا جَهْمِيُّ، وَحُكْمُ مَنْ رَدَّ هَذَا أَنْ يُتَّقَى
“Barangsiapa yang menolaknya (riwayat Mujaahid), maka ia di sisi kami adalah Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah), dan hukum bagi orang yang menolak riwayat ini adalah dijauhi/dikucilkan” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 257].
Abu Ja’far Ad-Daqiiqiy, namanya adalah Muhammad bin ‘Abdil-Malik bin Marwaan bin Al-Hakam Al-Waasithiy, Abu Ja’far Ad-Daqiiqiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 185 H, dan meninggal tahun 266 H di Baghdaad. Dipakai oleh Abu Daawud dan Ibnu Maajah [Tahriirut-Taqriib, 3/284 no. 6101].
6.      ‘Abbaas Ad-Duuriy rahimahullah (w. 271 H):
لا يَرُدُّ هَذَا إِلا مُتَّهَمٌ
“Tidak ada yang menolak riwayat ini kecuali orang yang tertuduh (agamanya)” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 257].
‘Abbaas Ad-Duuriy adalah seorang imam masyhur, murid utama Yahyaa bin Ma’iin rahimahumullah.
7.      Ishaaq bin Rahawaih rahimahullah(w. 238 H):
الإِيمَانُ بِهَذَا الْحَدِيثِ وَالتَّسْلِيمُ لَهُ
“(Wajib) beriman terhadap hadits/riwayat ini dan tunduk kepadanya”
dalam riwayat lain:
مَنْ رَدَّ هَذَا الْحَدِيثَ فَهُوَ جَهْمِيُّ
“Barangsiapa yang menolak hadits ini, maka ia adalah Jahmiy” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 257].
Ishaaq bin Rahawaih adalah seorang imam besar kaum muslimin lagi tsiqah [referensi : https://goo.gl/uBDvKn].
8.      Ibraahiim Al-Ashbahaaniy rahimahullah (w. 266 H) berkata:
هَذَا الْحَدِيثُ حَدَّثَ بِهِ الْعُلَمَاءُ مُنْذُ سِتِّينَ وَمِائَةِ سَنَةٍ، وَلا يَرُدُّهُ إِلا أَهْلُ الْبِدَعِ
“Hadits ini telah diriwayatkan oleh para ulama sejak 160 tahun, dan tidak ada yang menolaknya kecuali ahli bid’ah” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 257].
Ibraahiim bin Aruumah Abu Ishaaq Al-Ashbahaaniy seorang haafidh agung di masanya yang aqidahnya lurus [Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’ oleh Ibnu ‘Adiy 1/232-233 dengan catatan kaki muhaqqiq-nya].
9.      Hamdaan bin ‘Aliy rahimahullah (w. 272 H) berkata:
كَتَبْتُهُ مُنْذُ خَمْسِينَ سَنَةً، وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا يَرُدُّهُ إِلا أَهْلُ الْبِدَعِ
“Aku telah menulis riwayat tersebut sejak 50 tahun lalu, dan tidaklah aku melihat seorang pun yang menolaknya kecuali ahli-bid’ah” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 257].
Hamdaan (bin ‘Aliy) adalah laqab dari Muhammad bin ‘Aliy bin ‘Abdillah bin Mihraan Al-Baghdaadiy Al-Warraaq; seorang tsiqah, haafidh, dan merupakan pembesar di kalangan murid Ahmad bin Hanbal rahimahumullah[Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13-49-50 no. 36].
10.   Haaruun bin Ma’ruuf Al-Marruuziy rahimahullah (w. 231) berkata:
لَيْسَ يُنْكِرُ حَدِيثَ ابْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، إِلا الْجَهْمِيَّةُ
“Tidak ada yang mengingkari hadits Ibnu Fudlail, dari Laits, dari Mujaahid kecuali Jahmiyyah” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 260].
Haaruun bin Ma’ruuf adalah seorang yang tsiqah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 1015 no. 7291].
11.   Abu Bakr bin Ishaaq Ash-Shaaghaaniy rahimahullah (w. 270 H) berkata:
لا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مِمَّنْ تَقَدَّمَ، وَلا فِي عَصْرِنَا هَذَا إِلا وَهُوَ مُنْكِرٌ لِمَا أَحْدَثَ التِّرْمِذِيُّ مِنْ رَدِّ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: "عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا قَالَ: يُقْعِدُهُ عَلَى الْعَرْشِ "، فَهُوَ عِنْدَنَا جَهْمِيُّ، يُهْجَرُ وَنَحْذِرُ عَنْهُ.
“Aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan ulama terdahulu maupun yang hidup di jaman sekarang ini kecuali mereka mengingkari apa yang dikatakan At-Tirmidziy[1]tentang penolakannya terhadap hadits Muhammad bin Fudlail, dari Laits, dari Mujaahid tentang firman Allah ta’ala : ‘Mudah-mudahan Rabbmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" (QS : Al-Israa’ : 79), dimana Mujaahid berkata : ‘Allah mendudukkan beliau (Nabi ) di atas ‘Arsy’. Ia (yaitu orang yang menolak riwayat Mujaahid – Abul-Jauzaa’) di sisi kami adalah Jahmiyyang perlu diboikot dan ditahdzir” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnahno. 275].
Muhammad bin Ishaaq bin Ja’far, Abu Bakr Ash-Shaaghaaniy; seorang yang imam yang tsiqah lagi tsabat[Taqriibut-Tahdziib, hal. 824 no. 5758].
12.   Al-Jurairiy rahimahullah (w. 144 H) berkata:
وَقَدْ أَتَى عَلَيَّ نَيِّفٌ وَثَمَانُونَ سَنَةً مَا عَلِمْتُ أَنَّ أَحَدًا رَدَّ حَدِيثَ مُجَاهِدٍ إِلا جَهْمِيُّ، وَقَدْ جَاءَتْ بِهِ الأَئِمَّةُ فِي الأَمْصَارِ، وَتَلَقَّتْهُ الْعُلَمَاءُ بِالْقَبُولِ مُنْذُ نَيِّفٍ وَخَمْسِينَ وَمِائَةِ سَنَةٍ، وَبَعْدُ فَإِنِّي لا أَعْرِفُ هَذَا التِّرْمِذِيَّ، وَلا أَعْلَمُ أَنِّي رَأَيْتُهُ عِنْدَ مُحَدِّثٍ، فَعَلَيْكُمْ رَحِمَكُمُ اللَّهُ بِالتَّمَسُّكِ بِالسُّنَّةِ وَالاتِّبَاعِ
“Sungguh telah lebih dari 80 tahun, aku tidak mengetahui seorang pun yang menolak hadits Mujaahid kecuali Jahmiy. Para imam di penjuru negeri dan ulamanya mendapati hadits itu dengan penuh penerimaan semenjak lebih dari 150 tahun. Dan setelah itu, aku tidak mengenal At-Tirmidziy ini, tidak pula mengetahui bahwa aku pernah melihatnya di sisi muhaddits. Maka wajib bagi kalian – semoga Allah merahmati kalian – untuk berpegang teguh kepada Sunnah dan ittibaa’” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 275].
Al-Jurariy adalah Sa’iid bin Iyaas Al-Jurairiy, Abu Mas’uud Al-Bashriy; seorang imam yang tsiqah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 374 no. 2286].
13.   Abu Bakr Yahyaa bin Abi Thaalib rahimahullah (w. 275 H) berkata:
لا أَعْرِفُ هَذَا الْجَهْمِيَّ الْعَجَمِيَّ، لا نَعْرِفُهُ عِنْدَ مُحَدِّثٍ، وَلا عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ إِخْوَانِنَا، وَلا عَلِمْتُ أَحَدًا رَدَّ حَدِيثِ مُجَاهِد
“Aku tidak mengenal orang Jahmiy ‘Ajamiy ini(maksudnya At-Tirmidziy - Abul-Jauzaa’). Kami juga tidak mengenalnya di kalangan muhaddits, tidak pula di kalangan seorang pun dari saudara-saudara kami (ulama Ahlus-Sunnah). Aku tidak mengetaui seorang pun yang menolak hadits Mujaahid” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 275].
Abu Bakr Yahyaa bin Abi Thaalib, seorang imam muhaddits yang ‘aalim.
14.   Dan lain-lain.
Perkataan di atas mengisyaratkan adanya ijmaa’ atas penerimaan atsar Mujaahid dari waktu ke waktu. Menunjukkan tashhiih mereka (Ahlus-Sunnah) atas riwayat itu, sekaligus menggambarkan apa dan bagaimana pemahaman mereka dalam permasalahan ini. Para ulama Ahlus-Sunnah mutaqaddimiin menetapkan sifat ‘duduk’ bagi Allah ta’ala, dan mengklasifikasikan siapa saja yang menyelisihi mereka waktu itu sebagai ahli bid’ah dari kalangan Jahmiyyah dan Zanaadiqah.
Sejarah ‘Wahabi’ belum terbuat ketika riwayat Mujaahid ini muncul[2], sehingga tidak adil rasanya Wahabi selalu menjadi ‘onta merah’[3].
Al-Aajurriy rahimahullah berkata:
فَقَدْ تَلَقَّاهَا الشُّيُوخُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالنَّقْلِ لِحَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ تَلَقَّوْهَا بِأَحْسَنِ تَلَقٍّ، وَقَبِلُوهَا بِأَحْسَنِ قَبُولٍ، وَلَمْ يُنْكِرُوهَا، وَأَنْكَرُوا عَلَى مَنْ رَدَّ حَدِيثَ مُجَاهِدٍ إِنْكَارًا شَدِيدًا وَقَالُوا: مَنْ رَدَّ حَدِيثَ مُجَاهِدٍ فَهُوَ رَجُلُ سُوءٍ
قُلْتُ: فَمَذْهَبُنَا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَبُولُ مَا رَسَمْنَاهُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مِمَّا تَقَدَّمَ ذِكْرُنَا لَهُ، وَقَبُولُ حَدِيثِ مُجَاهِدٍ، وَتَرْكُ الْمُعَارَضَةِ وَالْمُنَاظَرَةِ فِي رَدِّهِ.
“Para senior dari kalangan ulama dan ahli hadits Nabi telah mendapatkannya dengan sebaik-baiknya, serta menerimanya dengan sebaik-baik penerimaan tanpa mengingkarinya. Mereka mengingkari orang-orang yang menolak hadits Mujaahid dengan pengingkaran yang sangat keras. Mereka berkata : ‘Barangsiapa yang menolak hadits Mujaahid, maka ia orang yang jelek. Aku (Al-Aajurriy) berkata : Madzhab kami, walhamdulillah, adalah menerima apa yang telah kami gambarkan dalam permasalahan ini sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya; serta menerima hadits Mujaahid, meninggalkan penentangan dan perdebatan dalam membantahnya” [Asy-Syarii’ah, 2/367].
Ibnu Taimiyyah rahimahumallah berkata:
إذَا تَبَيَّنَ هَذَا فَقَدْ حَدَثَ الْعُلَمَاءُ الْمَرْضِيُّونَ وَأَوْلِيَاؤُهُ الْمَقْبُولُونَ : أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجْلِسُهُ رَبُّهُ عَلَى الْعَرْشِ مَعَهُ . رَوَى ذَلِكَ مُحَمَّدُ بْنُ فَضِيلٍ عَنْ لَيْثٍ عَنْ مُجَاهِدٍ ؛ فِي تَفْسِيرِ : { عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا } وَذَكَرَ ذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ أُخْرَى مَرْفُوعَةٍ وَغَيْرِ مَرْفُوعَةٍ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ : وَهَذَا لَيْسَ مُنَاقِضًا لِمَا اسْتَفَاضَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ مِنْ أَنَّ الْمَقَامَ الْمَحْمُودَ هُوَ الشَّفَاعَةُ بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ مِنْ جَمِيعِ مَنْ يَنْتَحِلُ الْإِسْلَامَ وَيَدَّعِيه لَا يَقُولُ إنَّ إجْلَاسَهُ عَلَى الْعَرْشِ مُنْكَرًا. وَإِنَّمَا أَنْكَرَهُ بَعْضُ الْجَهْمِيَّة وَلَا ذَكَرَهُ فِي تَفْسِيرِ الْآيَةِ مُنْكَرٌ
“Apabila hal ini telah jelas, maka para ulama yang diridlai dan para wali yang diterima mengatakan : Bahwasannya Muhammad Rasulullah telah didudukkan Rabbnya di atas ‘Ars bersama-Nya. Muhammad bin Fudlail telah meriwayatkannya dari Laits, dari Mujaahid dalam tafsir firman Allah ta’ala : ‘Mudah-mudahan Rabbmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" (QS : Al-Israa’ : 79), dan ia menyebutkannya juga dari jalan lain yang marfuu’ maupun bukan marfuu’. Ibnu Jariir berkata : ‘Penafsiran ini tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang telah tersebar bahwasannya al-maqaam al-mahmuud (tempat yang terpuji) adalah syafa’at, berdasarkan kesepakatan para imam dan orang-orang yang mengaku beragama Islam. Ia (Ibnu Jariir) tidak mengatakan bahwa riwayat Allah mendudukkan beliau di atas ‘Arsy adalah munkar. Yang mengingkarinya adalah sebagian orang Jahmiyyah. Tidak pula ia menyebutkan dalam tafsir ayat itu munkar” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/374].
Al-Qaadliy Abu Ya’aa menukil beberapa bait syi’ir dari Ad-Daaraquthniy dan Ibnul-‘Allaaf Adl-Dlariir rahimahumullahyang isinya membenarkan riwayat Mujaahid [lihat : Ibthaalut-Ta’wiilaat, 2/492-493 no. 465-466].
Apakah kita akan menyelisihi atau bahkan menentang apa yang menjadi pemahaman salaf ?. Insya Allah tidak. Kita menetapkan sifat Allah tersebut tanpa tahrif, ta’thil, tamtsil, dan takyif. Kalau kemudian ada orang yang melabeli stiker Wahabi Mujassimah, sesat, dan menyesatkan kepada kita karena mengikuti pemahaman salaf, tak perlu sakit kepala. Semoga saja mereka segera sadar dari mabuk fosil kotoran onta…..
Wallaahu a’lam, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ahad hening, 17:14 – 12032017].



[1]   Bukan Al-Imaam Muhammad bin ‘Iisaa At-Tirmidziy, penulis kitab As-Sunan.
[2]   Malahan, nenek moyang kelompok tukang jual stiker dan cap ‘Wahabi’ ini belum lahir di dunia.
[3]   Saya tidak mengatakan ‘kambing hitam’.

Sifat Duduk (Juluus) – 2

$
0
0
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan Bagian Pertamayang membahas tentang sifat ‘Duduk’ (Juluus), dan akan saya ambilkan secara ringkas dari referensi kutub Ahlis-Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ
Kemudian Dia beristiwaa’ menuju langit” [QS. Al-Fushshilat : 11].
An-Nasaa’iy rahimahullah membuat satu bab dalam kitab As-Sunan Al-Kubraa(10/245) dengan ayat tersebut, kemudian membawakan hadits berikut:

أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، عَنِ ابْنِ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ جُرَيْجٍ، أَنَّ أَبَا الزُّبَيْرِ أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَلِيًّا الأَسَدِيَّ أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَعْلَمَهُ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ إِذَا اسْتَوَى عَلَى بَعِيرِهِ، خَارِجًا إِلَى سَفَرٍ كَبَّرَ ثَلاثًا، وَقَالَ: "سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ { 13 } وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ { 14 } ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا، وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالْخَلِيفَةُ فِي الأَهْلِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ، وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الأَهْلِ وَالْمَالِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan bin Daawud, dari Ibnu Wahb, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Juraij : Bahwasannya Abuz-Zubair mengkhabarkan kepadanya: Bahwasannya ‘Aliy Al-Asadiy mengkhabarkan kepadanya : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar memberitahukan kepadanya : Bahwasannya Rasulullah apabila berada (duduk) di atas kudanya (istiwaa ‘alaa ba’iirihi) keluar untuk safar (bepergian), maka beliau bertakbir tiga kali dan mengucapkan : “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami’ (QS. Az-Zukhruf : 13-14). Ya Allah, sesungguhnya kami mohon kepada-Mu dalam safar kami ini kebaikan dan ketakwaan, serta amal yang Engkau ridlai. Ya Allah, ringankanlah perjalanan ini kepada kami dan dekatkan jaraknya untuk kami. Ya Allah, Engkau adalah teman dalam safar, pengganti dalam keluarga. Ya Allah, sesungguhnya, aku berlindung kepada-Mu dari beratnya perjalanan, pandangan yang menyedihkan, dan buruknya keadaan ketika kembali, baik mengenai keluarga dan harta” [As-Sunan Al-Kubraa, 10/245-246 no. 11.402].
Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa salah satu makna istiwaa’ secara bahasa adalah duduk.
حَدَّثَنِي أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلِيفَةَ، عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: "إِذَا جَلَسَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْكُرْسِيِّ سُمِعَ لَهُ أَطِيطٌ كَأَطِيطِ الرَّحْلِ الْجَدِيدِ "
Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan, dari Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdullah bin Khaliifah, dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Apabila Allah tabaaraka wa ta’ala duduk di atas kursi, maka terdengarlah suara seperti suara seseorang yang baru duduk” [As-Sunnah hal. 301 no. 575].
حَدَّثَنِي أَبِي، نا وَكِيعٌ، بِحَدِيثِ إِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلِيفَةَ، عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "إِذَا جَلَسَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْكُرْسِيِّ "
فَاقْشَعَرَّ رَجُلٌ سَمَّاهُ أَبي عِنْدَ وَكِيعٍ فَغَضِبَ وَكِيعٌ وَقَالَ: أَدْرَكْنَا الأَعْمَشَ وَسُفْيَانَ يُحَدِّثُونَ بِهَذِهِ الأَحَادِيثِ لا يُنْكِرُونَهَا
Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Wakii’ tentang hadits Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdullah bin Khaliifah, dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : ‘Apabila Rabb ‘azza wa jalla duduk di atas kursi’.
Maka gemetaranlah seorang laki-laki - yang namanya disebutkan ayahku - di sisi Wakii’, sehingga Wakii’ marah (karenanya). Ia (Wakii’) berkata : “Kami menjumpai Al-A’masy dan Sufyaan (Ats-Tsauriy) menceritakan hadits ini tanpa ada pengingkaran terhadapnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah hal. 302 no. 578].
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahumullahsebelum membawakan riwayat ‘Abdullah bin Khaliifah di atas berkata:
سئل عما روي في الكرسي وجلوس الرب عز وجل عليه
584 - رَأَيْتُ أَبِيَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُصَحِّحُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ أَحَادِيثَ الرُّؤْيَةِ وَيَذْهَبُ إِلَيْهَا وَجَمَعَهَا فِي كِتَابٍ وَحَدَّثَنَا بِهَا
“Ditanyakan (kepada ayahku) tentang apa yang diriwayatkan perihal kursi dan duduknya Rabb ‘azza wa jalla di atasnya.
584. Aku melihat ayahku (Ahmad bin Hanbal) rahimahullah menshahihkan hadits-hadits ini, yaitu hadits-hadits tentang ru’yah, mengambil pendapat kepadanya, mengumpulkannya dalam kitab, dan meriwayatkannya” [As-Sunnah hal. 300].
Sebagian ulama men-ta’liil riwayat ini, dan sebagian lain menshahihkannya[1]. Namun yang benar, riwayat ini adalah mauquuf shahih (dari perkataan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu) sebagaimana dikatakan oleh Al-Imaam Ahmad rahimahullah di atas. Meskipun mauquuf, dihukumi marfuu'karena tidak mungkin perkataan 'Umar ini datang dari ijtihadnya.
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
وهذا الحديث صحيح عند جماعة من المحدثين.....فإذا كان هؤلاء الأئمة: أبو إسحاق السبيعي، والثوري، والأعمش، وإسرائيل، وعبد الرحمن بن مهدي، وأبو أحمد الزبيري، ووكيع، وأحمد بن حنبل، وغيرهم ممن يطول ذكرهم وعددهم الذين هم سُرُج الهدى ومصابيح الدجى قد تلقوا هذا الحديث بالقبول وحدثوا به، ولم ينكروه، ولم يطعنوا في إسناده، فمن نحن حتى ننكره ونتحذلق عليهم؟، بل نؤمن به ونكل علمه إلى الله عز وجل
“Hadits ini shahih menurut sekelompok ahli hadits…… Apabila para imam seperti Abu Ishaaq As-Sabii’iy, Ats-Tsauriy, Al-A’masy, Israaiil, ‘Abdurrahman bin Mahdiy, Abu Ahmad Az-Zubairiy, Wakii’, Ahmad bin Hanbal, dan lainnya yang jumlahnya banyak, yang mereka itu adalah penerangan yang memberikan petunjuk serta pelita bagi kegelapan; mereka mendapatkankan hadits ini dengan penuh penerimaan, meriwayatkannya tanpa ada pengingkaran, serta tidak pula mereka mencela sanadnya, maka siapakah diri kita hingga kita (berani) mengingkarinya dan menyusahkan diri terhadapnya ?. Bahkan kita harus mengimaninya dan menyerahkan ilmunya[2]kepada Allah ‘azza wa jalla” [Al-‘Arsy, 2/121-122].
Allah ta’ala berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy” [QS. Thaha : 4].
Tentang ayat tersebut, terdapat beberapa riwayat tentang penafsiran istiwaa’sebagai berikut:
قال الخلال: أخبرنا أبو بكر المروذي قال: سمعت عبدالوهاب يقول: { الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } قال: قعد
Telah berkata Al-Khallaal : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Marwadziy, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdul-Wahhaab tentang firman Allah : ‘Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 4), ia berkata : “Duduk” [Dibawakan oleh Ad-Dasytiy Al-Hanbaliy dalam Itsbaatil-Hadd lillaah hal. 180 no. 50 dan Ibnu Taimiyyah dalam Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah 1/435].
Tentang ‘Abdul-Wahhaab (Al-Warraaq), Al-Fath bin Abil-Fath pernah bertanya kepada Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah ketika sakit:
مَنْ نَسْأَلُ بَعْدَكَ؟
“Siapakah yang layak kami tanyai setelah engkau wafat?”.
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menjawab:
سَلْ عَبْدَ الْوَهَّابِ
“Bertanyalah kepada ‘Abdul-Wahhaab” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Az-Zuhd no. 3 – baca juga referensi : https://goo.gl/vHOZgh].
ثَنَا مُوسَى، ثَنَا رَوحُ بنُ عُبَادَةَ، عن حَمَّاد بن سَلَمَة، عَن عَطَاء بن السائب، عن الشعبي عن عبد الله [رَضِيَ اللهُ عَنْهُ] أَنَّهُ قَالَ : (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى)، فَقَالَ : جَالِس
Telah menceritakan kepada kami Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah, dari Hammaad bin Salamah, dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Asy-Sya’biy, dari ‘Abdullah, tentang firman-Nya : ‘Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 4), ia berkata : “Duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Hakam bin Ma’bad dalam Ar-Ru’yahsebagaimana dibawakan oleh Ad-Dasytiy Al-Hanbaliy dalam Itsbaatil-Hadd lillaah hal. 173 no. 47].
Hammaad bin Salamah seorang yang tsiqah lagi ahli ibadah. Hanya saja ia berubah hapalannya di akhir usianya. Tidak diketahui kapan Rauh bin ‘Ubaadah mengambil riwayat darinya, sebelum ataukah setelah masa ikhtilath-nya. Namun Muslim mengambil riwayat Rauh dari Hammaad bin Salamah dalam kitab Shahiih-nya. Periwayatan ‘Aamir Asy-Sya’biy dari ‘Abdullah bin Mas’uud adalah mursal sebagaimana dijelaskan oleh Al-‘Alaaiy, dan Asy-Sya’biy tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang tsiqah sebagaimana dikatakan Yahyaa bin Ma’iin[3].
حدثنا محمد بن حاتم، ثنا الفضل بن عباس، ثنا عبد الرحمن بن ثابت، عن يزيد بن هارون، عن عباد بن منصور، قال: سألت الحسن وعكرمة، عن قوله { الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}، قالا: جالس
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Haatim[4]: Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin ‘Abbaas[5]: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Tsaabit[6], dari Yaziid bin Haaruun[7], dari ‘Abbaad bin Manshuur[8], ia berkata : Aku bertanya kepada Al-Hasan dan ‘Ikrimah tentang firman-Nya ta’ala : ‘Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 4), mereka berdua berkata : “Duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Hakam bin Ma’bad dalam Ar-Ru’yah sebagaimana dibawakan oleh Ad-Dasytiy Al-Hanbaliy dalam Itsbaatil-Hadd lillaah hal. 174 no. 48 dan Fathul-Hamiid fii Syarh Kitaabit-Tauhiid hal. 1675].
Riwayat ini lemah karena faktor ‘Abbaad bin Manshuur An-Naajiy.
Abu Muusaa Al-Madiiniy rahimahullah berkata:
سألتُ أبا القاسم إسماعيل بن محمد يومًا، وقلت له: أليس قد رُوي عن ابن عباس في قوله تعالى: اسْتَوَى، قعد؟، قال: نعم.
Aku pernah bertanya kepada Abul-Qaasim Ismaa’iil bin Muhammad pada suatu hari. Aku katakan kepadanya : “Bukankah telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman-Nya ta’ala : ‘istiwaa’ , yaitu duduk ?”. Ia menjawab : “Ya benar” [Taariikhul-Islaamoleh Adz-Dzahabiy].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
واذا كان قعود الميت فى قبره ليس هو مثل قعود البدن فما جاءت به الآثار عن النبى من لفظ القعود والجلوس فى حق الله تعالى كحديث جعفر بن أبى طالب رضى الله عنه وحديث عمر بن الخطاب رضى الله عنه وغيرهما أولى أن لا يماثل صفات أجسام العباد
“Apabila duduknya mayit di kuburnya bukan seperti duduknya badan, maka yang terdapat dalam atsar-atsar dari Nabi tentang lafadh qu’uud dan juluus (duduk) dari hak Allah ta’ala– seperti hadits Ja’far bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, hadits ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, dan yang lainnya – lebih layak untuk tidak dibawa (kepada pemahaman) sifat badan manusia” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 5/527].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah berkata:
 فكذلك نثبت أنّه استوى على عرشه استواء يليق بجلاله سواء فُسِّر ذلك بالإرتفاع أو بعلوّه على عرشه ، أو بالإستقرار أو بالجلوس .فهذه التّفاسير واردة عن السلف
“Begitu pula kita menetapkan bahwa Allah ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya yang layak dengan keagungan-Nya. Sama saja apakah itu ditafsirkan dengan irtifaa’atau dengan ketinggiannya di atas ‘Arsy-Nya, atau dengan istiqraar, atau dengan juluus (duduk). Berbagai penafsiran ini semuanya datang dari salaf…..” [Al-Ajwibatus-Sa’diyyah ‘anil-Masaailil-Kuwaitiyyah, hal. 147].
Kesimpulan : Duduk adalah salah satu makna dari kata istiwaa’, dan ini merupakan sifat yang ada pada Allah ta’ala.
Wallaahu a’lam.
Abul-Jauzaa’ – sore yang gelap di seberang lautan, 17032017




[1]     Beberapa ulama men-ta’liil riwayat ini, diantaranya Ad-Daaraquthniy, Ibnu Khuzaimah, Al-Ismaa’iiliy, Ibnul-Jauziy, Ibnu Katsiir, Al-Albaaniy, dan yang lainnya. Ta’liil tersebut dengan sebab:
a.  Idlthiraab
Sebagian diriwayatkan secara mauquuf, marfuu’, dan mursal (tanpa penyebutan ‘Umar), yang semuanya berporos pada Abu Ishaaq, dari ‘Abdullah bin Khaliifah. Sufyaan Ats-Tsauriy dan Syu’bah[1] secara mauquuf, sedangkan Israaiil bin Abi Ishaaq meriwayatkan secara marfuu’, mursal, dan mauquuf. Satu riwayat dihukumi idllthiraab apabila tidak dapat dilakukan tarjiih, sedangkan tarjiih di sini sangat memungkinkan untuk dilakukan. Riwayat mauquuf yang dibawakan Sufyaan dan Syu’bah jauh lebih kuat daripada riwayat Israaiil yang padanya terdapat perselisihan. Oleh karena itu, yang mahfuudh dalam riwayat Abu Ishaaq, dari ‘Abdullah bin Khaliifah, dari ‘Umar adalah mauquuf.
b.  Majhuul-nya ‘Abdullah bin Khaliifah
Ini tidak valid dengan alasan:
i.      Riwayat ‘Abdullah bin Khaliifah telah dishahihkan oleh Ahmad bin Hanbal sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah. Ditetapkan juga oleh Wakii’, Al-A’masy, dan Sufyaan.
Penshahihan terhadap riwayat (dengan sanadnya) ekuivalen dengan penshahihan (tautsiq) terhadap para perawinya.
ii.     ‘Abdullah bin Khaliifah adalah seorang yang dlaabith dalam periwayatan, diantaranya ditunjukkan dengan dua riwayat berikut:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلِيفَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، أَنَّهُ انْقَطَعَ شِسْعُهُ فَاسْتَرْجَعَ، وَقَالَ: "كُلُّ مَا سَاءَكَ مُصِيبَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdullah bin Khaliifah, dari ‘Umar bin Al-Khaththaab : Bahwasannya tali sandalnya pernah putus, lalu ia ber-istirjaa’ (mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun– Abul-Jauzaa’), dan mengatakan : “Semua hal yang menyusahkanmu adalah musibah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 27063 dan darinya ‘Abdullah bin Ahmad dalam Az-Zuhd no. 1211].
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا شَيْبَانُ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: انْقَطَعَ قُبَالُ عُمَرَ، فَقَالَ: "إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ "، فَقَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، أَفِي قُبَالِ نَعْلِكَ؟ قَالَ: "نَعَمْ، كُلُّ شَيْءٍ أَصَابَ الْمُؤْمِنَ يَكْرَهُهُ فَهُوَ مُصِيبَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Muusaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Syaibaan, dari Manshuur, dari Mujaahid, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : “Tali sandal ‘Umar pernah putus, lalu ia mengucapkan : “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Orang-orang berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, apakah (ucapan istirjaa’ itu) disebabkan karena tali sandalmu (yang putus) ?”. Ia (‘Umar) berkata : “Ya, semua hal yang menimpa seorang mukmin yang ia tidak menyukainya, maka itu adalah musibah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 27064].
Riwayat ‘Abdullah bin Khaliifah berkesesuaian dengan riwayat Ibnul-Musayyib – dan ia seorang imam yang tsiqah lagi tsabt– sehingga ini menunjukkan sifat dlabth darinya.
iii.   Terputusnya riwayat ‘Abdullah bin Khaliifah dari ‘Umar.
Hal ini sebagaimana dikatakan Ibnu Katsiir yang mengatakan periwayatan ‘Abdullah bin Khaliifah dari ‘Umar perlu diteliti kembali. Ta’liil Ibnu Katsiir ini tidak benar, karena telah shahih pertemuan ‘Abdullah bin Khaliifah dengan ‘Umar, dan kemudian meriwayatkan darinya sebagaimana riwayat:
حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلِيفَةَ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ عُمَرَ فِي جِنَازَةٍ فَانْقَطَعَ شِسْعُهُ فَاسْتَرْجَعَ ثُمَّ قَالَ: "كُلُّ مَا سَاءَكَ مُصِيبَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdullah bin Khaliifah, ia berkata : Aku pernah bersama ‘Umar dalam pemakaman seorang jenazah. Tali sandalnya putus, lalu ia ber-istirjaa’ dan kemudian berkata : “Semua hal yang menyusahkanmu adalah musibah” [Diriwayatkan oleh Hanaad bin As-Sariy dalam Az-Zuhd no. 423].
Selain itu, ‘Abdullah bin Khaliifah adalah seorang kibaarut-taabi’iin yang berstatus mukhdlaram(= orang yang pernah hidup pada masa jahiliyyah dan kemudian masuk Islam, namun tidak pernah bertemu dengan Nabi ). Tentu saja hal ini sangat memungkinkan bagi dirinya untuk bertemu dengan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.
Tulisan ini sekaligus merupakan koreksi atas komentar saya dalam Blog ini beberapa waktu lain, wal-‘ilmu ‘indallah…..
[2]     Yaitu tentang kaifiyat-nya.
[3]     Hanya saja ia (Asy-Sya’biy) meriwayatkan dari Al-Haarits Al-A’war yang dikritik banyak ulama, dan ini merupakan satu aib dalam periwayatannya.
[4]     Muhammad bin Haatim bin Yuunus Al-Jarjaraaiy Al-Mishiishiy, Abu Ja’far Al-‘Aabid, seorang yang tsiqah. Wafat tahun 225 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 834 no. 5832].
[5]     Al-Fadhl bin ‘Abbaas Al-Baghdaadiy, seorang yang tsiqah [idem, hal. 783 no. 5441].
[6]     ‘Abdurrahmaan bin Tsaabit bin Tsaubaan Al-‘Ansiy, Abu ‘Abdillah Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy Az-Zaahid; seorang yang shaduuq hasanul-hadiits. Lahir tahun 75 H dan meninggal tahun 165 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 572 no. 3844, Man Tukullima fiihi Wahuwa Muwatstsaqun au Shaalihul-Hadiits oleh Adz-Dzahabiy hal. 324-325 no. 206, dan Tahriirut-Taqriib, 2/309-310 no. 3820].
Catatan :
Perkataan Abu Haatim rahimahullah :
و تغير عقله فى آخر حياته ، و هو مستقيم الحديث
“Berubah akalnya di akhir kehidupannya, namun ia adalah seorang yang mustaqiimul-hadiits” [Tahdziibut-Tahdziib, 6/151].
Perkataan ini tidak mengandung konsekuensi haditsnya ditolak dengan sebab ikhtilaath, kareba Abu Haatim sendiri melanjutkan : ‘hawuwa mustaqiimul-hadiits’. Artinya, ikhtilaath-nya tersebut tidak mempengaruhi hadits yang disampaikannya. Di tempat lain ia sendiri mengatakan : “Tsiqah”.
[7]     Yaziid bin Haaruun bin Zaadzaan As-Sulamiy, Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, mutqin, lagi ahli ibadah. Meninggal tahun 206 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842].
[8]     ‘Abbaad bin Manshuur An-Naajiy, seorang yang dla’iif, berubah hapalan di akhir usianya [Tahriirut-Taqriib, 2/180-181 no. 3142].

Hukum Meminta kepada Mayit agar Berdoa kepada Allah untuknya

$
0
0
Maksud dari bahasan adalah seperti orang yang berkata kepada mayit/penghuni kubur : “Wahai Fulaan, berdoalah kepada Allah untukku demikian dan demikian”. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menghukuminya sebagai syirik akbar seperti sebagian ulama Najd, ada pula yang menghukuminya sebagai dosa besar yang dapat menghantarkan kepada syirik akbar seperti Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah, dan para ulama lainnya. Dalam hal ini, pendapat kedua lebih kuat.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
الثَّانِيَةُ : أَنْ يُقَالَ لِلْمَيِّتِ أَوْ الْغَائِبِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ : اُدْعُ اللَّهَ لِي أَوْ اُدْعُ لَنَا رَبَّك أَوْ اسْأَلْ اللَّهَ لَنَا كَمَا تَقُولُ النَّصَارَى لِمَرْيَمَ وَغَيْرِهَا ، فَهَذَا أَيْضًا لَا يَسْتَرِيبُ عَالِمٌ أَنَّهُ غَيْرُ جَائِزٍ وَأَنَّهُ مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي لَمْ يَفْعَلْهَا أَحَدٌ مِنْ سَلَفِ الْأُمَّةِ

"Yang kedua, mengatakan kepada mayit atau para nabi dan orang-orang shalih yang ghaib (tidak hadir) : 'Berdoalah kepada Allah untukku' atau 'berdoalah kepada Rabbmu untuk kami' atau 'mintalah kepada Allah untuk kami' sebagaimana yang dikatakan orang-orang Nashara kepada Maryam dan yang lainnya; maka yang semacam ini juga tidak diragukan lagi oleh orang yang 'alim akan ketidakbolehannya, dan itu termasuk bid'ah yang tidak pernah dilakukan seorang pun dari kalangan salaful-ummah" [Majmuu' Al-Fataawaa, 1/351].
Beliau rahimahullah memperjelas lagi di tempat lain:
وَكَذَلِكَ الْأَنْبِيَاءُ وَالصَّالِحُونَ ، وَإِنْ كَانُوا أَحْيَاءً فِي قُبُورِهِمْ ، وَإِنْ قُدِّرَ أَنَّهُمْ يَدْعُونَ لِلْأَحْيَاءِ ، وَإِنْ وَرَدَتْ بِهِ آثَارٌ ، فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يَطْلُبَ مِنْهُمْ ذَلِكَ ، وَلَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ ، لِأَنَّ ذَلِكَ ذَرِيعَةٌ إلَى الشِّرْكِ بِهِمْ وَعِبَادَتِهِمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ تَعَالَى ؛ بِخِلَافِ الطَّلَبِ مِنْ أَحَدِهِمْ فِي حَيَاتِهِ ، فَإِنَّهُ لَا يُفْضِي إلَى الشِّرْكِ
"Begitu juga para nabi dan orang-orang shalih. Meskipun mereka hidup di kubur-kubur mereka, meskipun mereka mampu mendoakan untuk orang-orang yang masih hidup, dan meskipun terdapat atsar-atsar tentangnya; tetap tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk memohon kepada mereka akan hal tersebut. Tidak ada seorangpun dari salaf yang melakukannya, karena hal itu merupakan sarana yang mengantarkan kepada kesyirikan dan peribadahan kepada mereka selain dari Allah ta'ala. Berbeda halnya dengan permohonan kepada mereka di waktu hidupnya, maka itu tidak terhitung sebagai kesyirikan...." [Majmuu' Al-Fataawaa, 1/300].
بخلاف ما يطلب من أحدهم فى حياته من الدعاء والشفاعة فإنه لا يفضى الى ذلك فإن أحدا من الأنبياء والصالحين لم يعبد فى حياته بحضرته فإنه ينهى من يفعل ذلك بخلاف دعائهم بعد موتهم فإن ذلك ذريعة الى الشرك بهم وكذلك دعاؤهم فى مغيبهم هو ذريعة الى الشرك
 فمن رأى نبيا أو ملكا من الملائكة وقال له ادع لى لم يفض ذلك الى الشرك به بخلاف من دعاه فى مغيبه فإن ذلك يفضى الى الشرك به كما قد وقع
"Berbeda halnya dengan apa yang diminta salah seorang dari mereka ketika hidupnya berupa doa dan syafa’at, maka itu tidak sampai membawa perbuatan tersebut kepada kesyirikan. Sesungguhnya seorang dari kalangan nabi dan orang-orang shalih tidak diibadahi di masa hidupnya pada waktu kehadirannya, karena mereka (pasti) melarang orang yang melakukan perbuatan tersebut. Berbeda halnya dengan doa mereka setelah kematian mereka (para Nabi dan orang-orang shalih), maka itu merupakan sebab yang mengantarkan kepada kesyirikan. Begitu juga dengan doa mereka pada saat ketidakhadiran mereka (para Nabi dan orang-orang shalih), maka itu juga merupakan sebab yang mengantarkan kepada kesyirikan.
Barangsiapa yang melihat seorang nabi atau seorang malaikat di antara para malaikat, dan ia berkata kepadanya : ‘Berdoalah untukku’, maka itu tidak sampai mengantarkan kepada kesyirikan. Berbeda halnya dengan orang yang berdoa kepadanya saat ia tidak hadir, maka perbuatan tersebut dapat mengantarkan kepada kesyirikan sebagaimana kadang terjadi” [idem, 1/179].
Dzarii'ah ilasy-syirk (sebab yang mengantarkan kepada kesyirikan akbar) bukan merupakan kesyirikan (akbar) itu sendiri, seperti halnya perkataan Ibnu Taimiyyah yang lain, diantaranya:
فإن تحري الصلاة فيها ذريعة إلى اتخاذها مساجد والتشبه بأهل الكتاب مما نهينا عن التشبه بهم فيه وذلك ذريعة إلى الشرك بالله
"Hal itu dikarenakan seseorang yang mencari-cari tempat untuk shalat padanya merupakan sebab yang dapat mengantarkan kepada perbuatan menjadikan tempat itu sebagai masjid dan tasyabbuh kepada ahli kitab yang kita dilarang untuk tasyabbuhkepada mereka padanya. Dan itu juga merupakan sebab yang mengantarkan kepada kesyirikan kepada Allah (dzarii'atun ilasy-syirk billah)..." [Iqtidlaa Ash-Shiraathil-Mustaqiim, hal. 757].
Begitu juga dengan perkataan para ulama, diantaranya ulama Lajnah Daaimah dalam soal jawab berikut:
س3: هل تصوير ذوات الأرواح كفر أكبر أو كفر أصغر أو معصية؟
ج3: ليس ذلك كفرًا أكبر ولكنه من كبائر المعاصي؛ لما ورد فيه من الوعيد الشديد ولعن المصورين، ومع ذلك فهو ذريعة إلى الشرك الأكبر. وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.
Pertanyaan :"Apakah menggambar makhluk bernyawa termasuk kufur akbar, kufur ashghar, atau maksiat ?"
Jawab :Bukan kufur akbar, akan tetapi perbuatan itu termasuk kemaksiatan yang besar dikarenakan adanya ancaman yang sangat keras terhadapnya dan laknat bagi para penggambar. Meskipun demikian, hal itu merupakan sebab yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (dzarii'atun ilasy-syirkul-akbar). Wabillahit-taufiq, wa shallallaahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam" [https://goo.gl/k5Ojrh].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak hafidhahullah menjelaskan sebab mengapa perbuatan itu tidak dihukumi syirik akbar. Beliau hafidhahullah pernah ditanya:
ذهب شيخ الاسلام ابن تيمية في مواضع من كتبه الى ان ذلك وسيلة من وسائل الشرك وذهب أئمة الدعوة الى ان هذا هو الشرك عينه وانه من دعاء الاموات
"Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah berpendapat dalam beberapa tempat pada kitabnya bahwa perbuatan itu (yaitu : meminta kepada mayit agar berdoa kepada Allah untuknya – Abul-Jauzaa’) merupakan salah satu perantara dari perantara-perantara menuju kesyirikan; sedangkan para imam dakwah (Najd) berpendapat perbuatan tersebut adalah kesyirikan itu sendiri dan termasuk berdoa kepada mayit"
Beliau hafidhahullah menjawab:
وفي هذا نظر لان هذا الداعى يظن ان هذ الميت يسمع دعاءه وجاء ان النبى صلى الله عليه وسلم يسمع كما قال أهل العلم وهذا الفاعل ضال مبتدع وفعله وسيلة الى الشرك
"Perkataan itu (dari imam dakwah Najd) perlu diteliti kembali karena orang yang berdoa ini menyangka si mayit dapat mendengar doanya dan telah ada riwayat bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dapat mendengar sebagaimana dikatakan ulama. Orang tersebut sesat lagi mubtadi', dan perbuatannya merupakan SARANA MENUJU KESYIRIKAN" [selesai - dikutip dari tanya jawab dari murid beliau yang bernama Sulail Al-Akaabir dalam Multaqaa Ahlalhdeeth].
Di lain tempat, Asy-Syaikh Al-Barraak hafidhahullah menjelaskan:
من أنواع الشرك الأكبر شرك الدعاء، وهو دعاء الأموات والغائبين في قضاء الحوائج والاستغاثة بهم في الشدائد، وطلب النصر والرزق منهم، سواء طلب ذلك من الميت من قرب أو بعد، إذا كان الداعي والطالب يعتقد أنه يفعل ذلك بقدرته، وحينئذ يكون قد جمع بين الشرك في الربوبية والشرك في العبادة، وأما إذا كان الداعي للميت يطلب منه أن يدعو الله له، وهو قريب من قبره لاعتقاده أنه يسمع، فذلك بدعة ووسيلة إلى الشرك، كما ذكر ذلك شيخ الإسلام ابن تيمية في مواضع من كلامه
“Termasuk diantara jenis syirik akbar adalah syirik dalam berdoa, yaitu doa kepada orang yang telah mati atau orang yang tidak hadir untuk memenuhi kebutuhan, beristighatsah kepada mereka ketika mengalami berbagai macam kesulitan, dan memohon pertolongan dan rizki dari mereka. Sama saja, apakah permohonan kepada mayit tersebut dari dekat ataupun jauh. Apabila orang yang berdoa dan orang yang memohon tersebut berkeyakinan bahwa ia (mayit) melakukannya dengan kemampuannya, maka pada waktu itu ia mengumpulkan syirik dalam rubuubiyyah dan syirik dalam ibadah (uluhiyyah) sekaligus. Namun apabila orang yang berdoa kepada mayit itu meminta kepadanya (mayit) agar berdoa kepada Allah untuknya dan orang tersebut berada dekat dengan kuburnya karena keyakinannya bahwa si mayit mendengar, maka itu merupakan bid’ah dan perantara menuju kesyirikan sebagaimana disebutkan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah di beberapa tempat dalam perkataannya” [referensi : https://goo.gl/Zy5mng].
Asy-Syaikh Muhammad Basyiir As-Sahsawaaniy Al-Hindiy rahimahullah dalam bukunya yang terkenal Shiyaanatul-Insaan 'alaa Waswasatisy-Syaikh Dahlaan (hal. 246 ketika menjelaskan permasalahan ini berkata:
وإن كان ذلك المدعو ميتاً وينادى عند قبره، فهذا ليس بشرك ولكنه بدعة، فعلى كل حال ينبغي للمؤمن أن يجتنب دعاء غير الله، وذلك هو القول الذي لا إفراد فيه ولا تفريط
"Apabila orang yang diminta doa itu telah mati, dan ia (yang hidup) menyeru di sisi kuburnya; maka ini bukan termasuk kesyirikan, akan tetapi bid'ah. Maka bagaimanapun juga, sudah seharusnya bagi orang yang beriman untuk menjauhi berdoa kepada selain Allah. Dan inilah perkataan pertengahan tanpa berlebih-lebihan padanya (ifrath) ataupun meremehkan (tafrith)" [selesai].
Asy-Syaikh 'Abdul-'Aziiz bin Baaz rahimahullah ketika mengomentari kisah Maalik Ad-Daar yang dibawakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy (2/496) mengatakan sebagai berikut:
بل عدل عمر عنه لما وقع في الجدب إلى الاستسقاء بالعباس ولم ينكر ذلك عليه أحد من الصحابة فعلم أن ذلك هو الحق وأن ما فعله هذا الرجل منكر ووسيلة إلى الشرك بل قد جعله بعض أهل العلم من أنواع الشرك
"Bahkan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu telah mengkoreksi apa yang dilakukan oleh laki-laki itu, yaitu ketika musim kemarau tiba, beliau meminta hujan melalui perantaraan (doa) Al-‘Abbas. Apa yang beliau perbuat itu tidak diingkari oleh satupun d antara shahabat; yang dengan itu diketahui bahwa apa yang diperbuat ‘Umar adalah benar. Apa yang dilakukan oleh laki-laki tersebut adalah munkar dan merupakan PERANTARA MENUJU KESYIRIKAN. Bahkan sebagian ulama menganggap perbuatan tersebut merupakan bagian dari kesyirikan" [selesai].
Adapun kisah Maalik Ad-Daar adalah sebagai berikut:
عن مالك الدار قال : وكان خازن عمر على الطعام قال : أصاب الناس قحط في زمن عمر ، فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا ، فأُتي الرجل في المنام فقيل له : ائت عمر فأقرئه السلام ، وأخبره أنكم مسقيون وقل له : عليك الكَيس ! عليك الكَيس ! فأتى عمر فأخبره فبكى عمر ثم قال : يا رب لا آلو إلا ما عجزت عنه.
Dari Maalik Ad-Daar, dan ia pernah menjabat bendahara gudang makanan Khalifah ‘Umar , ia berkata : “Orang-orang pernah ditimpa kemarau pada masa pemerintahan ‘Umar. Lalu datang seorang laki-laki ke kubur Nabi dan berkata : “Wahai Rasulullah, MINTAKANLAH HUJAN (KEPADA ALLAH) UNTUK UMATMU, karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi dalam tidurnya dan dikatakan kepadanya : “Datanglah ke ‘Umar dan ucapkanlah salam kepadanya. Khabarkanlah kepadanya bahwa kalian adalah orang-orang yang sedang membutuhkan air (hujan)…” [silakan baca artikel : https://goo.gl/fCZ6d3].
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah juga memberikan perincian:
سؤال حي لميت بحضرة قبره بأن يدعو الله له، مثل قول عباد القبور مخاطبين لها: يا فلان ادعو الله لي بكذا وكذا أو أسألك أن تدعو الله لي بكذا وكذا، فهذا لا يختلف المسلمون بأنه واسطة بدعية، ووسيلة مفضية إلى الشرك بالله ودعاء الأموات من دون الله وصرف القلوب عن الله، لكن هذا النوع يكون شركا أكبر في حال ما إذا أراد الداعي من صاحب القبر الشفاعة والوساطة الشركية على حد عمل المشركين: مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“(Kedua) Permintaan orang yang hidup kepada mayit dengan kehadirannya di sisi kuburnya, agar ia (mayit) berdoa kepada Allah untuknya. Seperti misal perkataan para penyembah kubur kepada si mayit : 'Wahai Fulaan, berdoalah kepada Allah untukku demikian dan demikian'. Atau : 'Aku meminta kepadamu agar engkau berdoa kepada Allah untukku demikian dan demikian' ; maka kaum muslimin tidak berselisih pendapat bahwa hal tersebut merupakan perantara bid'ah, perantara yang dapat membawa kesyirikan kepada Allah, berdoa kepada orang mati selain dari Allah, serta memalingkan hati dari Allah.
Akan tetapi jenis perbuatan ini dapat menjadi syirik akbar apabila yang diinginkan orang yang berdoa tersebut dari penghuni kubur berupa syafa'at dan perantara syirik seperti perbuatan orang-orang musyrik dalam firman Allah : 'kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya' (QS. Az-Zumar : 3)..." [Tashhiihud-Du’aa, hal. 250-251].
Meski di sini dikatakan sarana yang mengantarkan kepada kesyirikan, perbuatan tersebut bukanlah dosa yang ringan dan patut diremehkan. Tetap itu merupakan dosa besar yang kita semua harus menghindarinya dan memperingatkan orang untuk menjauhinya.
Demikianlah perincian para ulama kita dalam permasalahan ini (meski ada beberapa ulama lain yang berpendapat lain dalam masalah ini, sebagaimana disebutkan di awal). Apapun itu, perbuatan syirik atau yang mengantarkan kepada kesyirikan harus diperangi/diberantas dan menjadi prioritas dalam dakwah. Allah ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut” [QS. An Nahl : 36].
Sekaligus, tulisan ini sebagai bantahan ringkas bagi beberapa tulisan yang beredar tentang klaim ijmaa’ penghukuman syirik akbar dalam permasalahan ini, dan penafikan adanya khilaf dalam masalah perincian hukum syirik akbar.
Wallaahu a’lam, semoga ada manfaatnya.

Abul-jauzaa’ – malam yang hening - 17032017 

Menshalati Jenazah Orang Munafik

$
0
0
Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), dan janganlah kamu berdiri untuk mendoakan di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik” [QS. At Taubah: 84].
Terkait dengan ayat ini, ada sababun-nuzuul ayat sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: لَمَّا تُوُفِّيَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ جَاءَ ابْنُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: "يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْطِنِي قَمِيصَكَ أُكَفِّنْهُ فِيهِ، وَصَلِّ عَلَيْهِ، وَاسْتَغْفِرْ لَهُ، فَأَعْطَاهُ قَمِيصَهُ، وَقَالَ: إِذَا فَرَغْتَ مِنْهُ فَآذِنَّا، فَلَمَّا فَرَغَ آذَنَهُ بِهِ، فَجَاءَ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَجَذَبَهُ عُمَرُ، فَقَالَ: أَلَيْسَ قَدْ نَهَاكَ اللَّهُ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ، فَقَالَ: اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ فَنَزَلَتْ وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ فَتَرَكَ الصَّلَاةَ عَلَيْهِمْ "

Dari ‘Abdullah (bin ‘Umar), ia berkata : Ketika ‘Abdullah bin Ubay meninggal, anaknya mendatangi Rasulullah lalu berkata : “Wahai Rasulullah, berikanlah bajumu untuk mengkafaninya, shalatilah ia, dan mohonkanlah ampun kepadanya”. Maka beliau memberikan bajunya seraya bersabda : “Apabila engkau telah selesai mengurusnya, maka beritahukanlah kami”. Ketika telah selesai mengurus (jenazah ayahnya), maka ia memberitahukan kepada beliau . Beliau pun datang untuk menyalatkannya. (Melihat itu) ‘Umar menarik beliau lalu berkata : “Bukankah Allah telah melarangmu untuk menyalati orang-orang munafik ?”. Beliau membaca ayat : “Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka” (QS. At-Taubah : 80). Maka turunlah ayat : “Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), dan janganlah kamu berdiri untuk mendoakan di kuburnya” (QS. At-Taubah : 84). Maka beliau meninggalkan shalat untuk mereka (orang-orang munafik) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5796].
Ayat ini sebagai dalil larangan menyalatkan orang-orang munafik tulen semisal ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul. Ibnu Saluul ini adalah orang munafik tulen yang menampakkan keislaman namun menyimpan kebencian dan permusuhan kepada Islam dan orang-orangnya. Jenis nifaq yang diderita pesakitan ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul ini adalah nifaq akbar atau nifaq i’tiqadiy yang mengeluarkan subjeknya dari wilayah Islam, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam QS. At-Taubah ayat 84 :
إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِوَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik”.
Ibnu Katsiir rahimahullah menjelaskan:
أمر الله تعالى رسوله صلى الله عليه وسلم أن يَبْرَأ من المنافقين، وألا يصلي على أحد منهم إذا مات، وألا يقوم على قبره ليستغفر له أو يدعو له؛ لأنهم كفروا بالله ورسوله، وماتوا عليه. وهذا حكم عام في كل من عرف نفاقه، وإن كان سبب نزول الآية في عبد الله بن أُبَيّ بن سلول رأس المنافقين
“Allah ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk membebaskan diri dari orang-orang munafik, tidak menyalati seorang pun dari mereka apabila meninggal, dan tidak berdiri di atas kuburnya untuk memintakan ampunan kepadanya atau mendoakannya. Hal itu dikarenakan mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan meninggal di atas kekafiran itu. Ini adalah hukum umum bagi siapa saja yang diketahui kemunafikannya, meskipun sebab turunnya ayat ini terkait ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul, pemimpin orang-orang munafik” [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/192-193].
Larangan mendoakan dan memintakan ampunan (dan itu merupakan substansi dalam shalat jenazah) adalah larangan yang ditujukan untuk objek orang kafir.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ ﷺ قَبْرَ أُمِّهِ، فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: "اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي، فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “(pada suatu waktu) Nabi berziarah ke kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang-orang di sekitar beliau pun ikut menangis. Beliau bersabda : “Sesungguhnya aku telah memohon izin Rabb-ku untuk memintakan ampun untuknya, namun Ia tidak mengizinkanku. Dan aku meminta izin-Nya untuk menziarahi kuburnya, dan Ia mengizinkanku. Maka berziarahlah kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian[Diriwayatkan oleh Muslim no. 976].
An-Nawawiy rahimahullah berkata tentang hadits di atas:
فِيهِ جَوَاز زِيَارَة الْمُشْرِكِينَ فِي الْحَيَاة ، وَقُبُورهمْ بَعْد الْوَفَاة ؛ لِأَنَّهُ إِذَا جَازَتْ زِيَارَتهمْ بَعْد الْوَفَاة فَفِي الْحَيَاة أَوْلَى ، وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا } وَفِيهِ : النَّهْي عَنْ الِاسْتِغْفَار لِلْكُفَّارِ . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : سَبَب زِيَارَته صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرهَا أَنَّهُ قَصَدَ قُوَّة الْمَوْعِظَة وَالذِّكْرَى بِمُشَاهَدَةِ قَبْرهَا ، وَيُؤَيِّدهُ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِر الْحَدِيث : ( فَزُورُوا الْقُبُور فَإِنَّهَا تُذَكِّركُمْ الْمَوْت ) .
“Dalam hadits tersebut terdapat penjelasan tentang kebolehan untuk menziarahi orang-orang musyrik saat masih hidup, dan menziarahi kubur mereka setelah meninggal. Hal itu dikarenakan apabila diperbolehkan untuk menziarahi mereka setelah meninggal, maka ketika hidup lebih layak untuk kebolehannya. Allah ta’ala telah berfirman: ‘Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik’(QS. Luqmaan : 15).
Dalam hadits tersebut juga terdapat penjelasan tentang larangan untuk memintakan ampun kepada orang-orang kafir. Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah berkata : ‘Faktor penyebab ziarahnya Nabi ke kubur ibunya yaitu karena beliau ingin menguatkan nasihat dan peringatan dengan mengunjungi kuburnya’. Hal tersebut dikuatkan dengan sabda beliau yang ada di akhir hadits : ‘Berziarahlah kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian” [Syarh Shahih Muslim, 7/45].[1]
Nabi tetap menyalatkan ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul karena beliau melihat kepada dhahir keislamannya, meskipun di masa hidupnya ia (Ibnu Saluul) melakukan berbagai hal yang merugikan Islam dan kaum muslimin. Kemaksiatan yang dilakukannya belum cukup memastikannya keluar dari wilayah Islam. Kekufurannya tersembunyi dari beliau sebelum Allah ta’ala mengkhabarkan tentang dirinya melalui ayat.
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata:
وقال بعض العلماء : إنما صلى النبي صلى الله عليه وسلم على عبد الله بن أبي بناء على الظاهر من لفظ إسلامه . ثم لم يكن يفعل ذلك لما نهي عنه
“Sebagian ulama berkata : Nabi menyalatkan ‘Abdullah bin Ubay hanyalah berdasarkan apa yang nampak dari ucapan (pengakuan) keislamannya. Kemudian beliau tidak melakukannya ketika dilarang Allah darinya” [Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 8/219].
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata:
أنه إنما استغفر لقوم منهم على ظاهر إِسلامهم من غير أن يتحقق خروجهم عن الإسلام ، ولا يجوز أن يقال : علم كفرهم ثم استغفر
“Nabi hanyalah memohonkan ampunan untuk satu kaum dari mereka berdasarkan atas dhahir keislamannya (yang nampak) tanpa dapat memastikan keluarnya mereka dari Islam. Tidak boleh untuk dikatakan : beliau mengetahui kekufuran mereka, lalu memintakan ampunan (kepada Allah untuk mereka)” [Zaadul-Masiir, 3/211].
Allah ta’ala berfirman:
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الأعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ
Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar” [QS. At-Taubah : 101].
Sebagian shahabat pun ada yang menganggapnya muslim seperti kaum Muhajirin dan Anshaar. Diantaranya adalah Usaamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ عُرْوَة بْن الزُّبَيْرِ، أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ، : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ رَكِبَ عَلَى حِمَارٍ عَلَيْهِ قَطِيفَةٌ فَدَكِيَّةٌ وَأُسَامَةُ وَرَاءَهُ يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فِي بَنِي حَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ، فَسَارَا حَتَّى مَرَّا بِمَجْلِسٍ فِيهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ، وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ، فَإِذَا فِي الْمَجْلِسِ أَخْلَاطٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَالْيَهُودِ.....
Dari ‘Urwah bin Az-Zubair, bahwasannya Usaamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhumaamengkhabarkan kepadanya : Rasulullah pernah menunggangi seekor keledai yang di atasnya beralaskan (pelana) beludru Fadak – dan Usaamah membonceng di belakang beliau - untuk mengunjungi Sa’d bin ‘Ubaadah di (kampung) Bani Haarits bin Khazraj sebelum peristiwa (perang) Badr. Mereka berdua berjalan hingga melewati majelis yang padanya terdapat ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul. Itu terjadi sebelum ‘Abdullah bin Ubay masuk Islam.[2]Di majelis tersebut bercampur baur dari kalangan kaum muslimin, orang-orang musyrik penyembah berhala, dan orang Yahudi…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4566].
So, makar apa gerangan yang telah dibuat oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul terhadap Islam dan kaum muslimin ?. Diantaranya:
1.    Menyebarkan berita bohong (haditsul-ifki) bahwa ‘Aaisyah Ummul-Mukminiin telah berzina
قَالَتْ: فَهَلَكَ مَنْ هَلَكَ وَكَانَ الَّذِي تَوَلَّى كِبْرَ الْإِفْكِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ، قَالَ عُرْوَةُ: أُخْبِرْتُ أَنَّهُ كَانَ يُشَاعُ وَيُتَحَدَّثُ بِهِ عِنْدَهُ فَيُقِرُّهُ وَيَسْتَمِعُهُ وَيَسْتَوْشِيهِ
‘Aaisyah berkata : “Maka binasalah orang yang binasa." Dan orang yang berperan besar menyebarkan berita bohong ini adalah ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul[3]. 'Urwah berkata : Dikhabarkan kepadaku bahwa ia (‘Abdullah bin Ubay bin Saluul) menyebarkan berita bohong itu, menceritakannya, membenarkannya, dan menyampaikannya kepada orang-orang sambil menambah-nambahinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4141].
2.    Tidak mau menolong kaum muslimin dan ingin mengusir mereka dari Madiinah
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "كُنْتُ مَعَ عَمِّي، فَسَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ ابْنَ سَلُولَ، يَقُولُ: لَا تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ حَتَّى يَنْفَضُّوا، وَقَالَ أَيْضًا: لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ
Dari Zaid bin Arqam radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah bersama pamanku, lalu aku mendengar ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul berkata : ‘Janganlah kamu menginfakkan harta kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)’ (QS. Al-Munaafiquun : 7)’. Ia juga berkata : ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya’ (QS. Al-Munaafiquun : 8)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4901].
Perkataan Ibnu Saluul tersebut sampai kepada Nabi hingga kemudian turun QS. Al-Munaafiquun ayat 1-8.
3.    Menyuruh berbuat kekejian
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ، يَقُولُ لِجَارِيَةٍ لَهُ "اذْهَبِي فَابْغِينَا شَيْئًا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِههُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ لَهُنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ "
Dari Jaabir, ia berkata : Dahulu ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul berkata kepada budak perempuannya : “Pergilah dan melacurlah untuk kami”. Maka Allah 'azza wa jalla menurunkan ayat : "Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu (An Nuur: 33)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 3029].
4.    Dan yang lainnya.
Makar ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul dan teman-temannya bukan sesuatu yang remeh. Namun demikian, Nabi tetap menyalatkan Ibnu Saluul dengan sebab dhahir keislamannya. Bahkan setelah ‘Umar mengingatkan beliau tentang kemunafikannya.
Kembali kepada tema/judul, apa hukum menyalatkan orang munafik ? Satu pertanyaan pernah dilontarkan kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah:
إذا عرف أن الميت منافق فهل يصلى عليه؟
“Apabila dikenali bahwa si mayit adalah munafik, apakah wajib menyalatkannya ?”.
Beliau rahimahullah menjawab:
لا يصلى عليه؛ لقوله تعالى: وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا، إذا كان نفاقه ظاهراً، أما إذا كان ذلك مجرد تهمة فإنه يصلى عليه؛ لأن الأصل وجوب الصلاة على الميت المسلم فلا يترك الواجب بالشك
“Ia tidak dishalati berdasarkan firman Allah ta’ala : ‘Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik)’ (QS. At-Taubah : 84), (yaitu) apabila kemunafikannya nampak jelas. Namun apabila kemunafikannya hanya sekedar tuduhan saja, maka ia tetap (wajib) dishalati, karena pada asalnya adalah wajib menyalati mayit muslim sehingga tidak boleh meninggalkan yang wajib hanya berdasarkan keraguan” [sumber : https://goo.gl/LwsAo4].
Yang dimaksud kemunafikan yang jelas adalah kemunafikan yang mengkonsekuensikan kepada kekufuran (nifaq akbar/nifaq i’tiqadiy)[4]. Bukan sekedar melakukan perbuatan dosa, kefasikan, maksiat, dan yang semisal dari cabang-cabang kemunafikan. Sebagian orang keliru memahaminya dengan menghukumi seseorang sebagai munafik hanya sekedar perbuatan kemaksiatan yang dilakukanya secara terang-terangan nampak di mata manusia.
Nabi bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga : Jika berbicara berdusta, jika berjanji tidak menepati, dan jika dipercaya dia berkhianat
dan dalam riwayat lain disebutkan :
وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
Jika berselisih, maka dia akan berbuat dhalim, dan jika berjanji dia berkhianat”.
Apakah jika ada orang yang melakukan perbuatan-perbuatan maksiat tersebut di atas secara terang-terangan, kita dapat sebut secara otomatis sebagai munafiq dengan kemunafikan yang jelas ala ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul yang matinya tidak boleh dishalati ?. Tentu tidak[5].
Dulu, ketika heboh kasus 'Aaisyah yang dituduh berzina oleh orang-orang munafiq, para shahabat berselisih. Sa’d bin ‘Ubaadah radliyallaahu ‘anhu membela tokoh munafiq Abdullah bin Ubaiy bin Saluul karena fanatisme kesukuan (satu suku : Khazraj) sebagaimana riwayat berikut:
فَقَامَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ الْأَنْصَارِيُّ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَا أَعْذِرُكَ مِنْهُ إِنْ كَانَ مِنْ الْأَوْسِ ضَرَبْتُ عُنُقَهُ، وَإِنْ كَانَ مِنْ إِخْوَانِنَا مِنَ الْخَزْرَجِ أَمَرْتَنَا فَفَعَلْنَا أَمْرَكَ، قَالَتْ: فَقَامَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَهُوَ سَيِّدُ الْخَزْرَجِ وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ رَجُلًا صَالِحًا وَلَكِنْ احْتَمَلَتْهُ الْحَمِيَّةُ، فَقَالَ لِسَعْدٍ: كَذَبْتَ لَعَمْرُ اللَّهِ لَا تَقْتُلُهُ وَلَا تَقْدِرُ عَلَى قَتْلِهِ، فَقَامَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَهُوَ ابْنُ عَمِّ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ، فَقَالَ لِسَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ: كَذَبْتَ لَعَمْرُ اللَّهِ لَنَقْتُلَنَّهُ، فَإِنَّكَ مُنَافِقٌ تُجَادِلُ عَنِ الْمُنَافِقِينَ، فَتَثَاوَرَ الْحَيَّانِ الْأَوْسُ وَالْخَزْرَجُ حَتَّى هَمُّوا أَنْ يَقْتَتِلُوا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّضُهُمْ حَتَّى سَكَتُوا وَسَكَتَ،
‘Aaisyah berkata : Maka berdirilah Sa’d bin Mu’aadz Al-Anshaariy dan berkata : “Wahai Rasulullah, aku memberikan pembelaan kepadamu dari orang tersebut. Seandainya ia dari suku Aus, aku sendiri yang akan menebas lehernya. Namun apabila ia berasal dari saudara kami suku Kazraj, maka perintahkanlah kami dan kami akan melaksanakannya (untuk membunuh orang tersebut)”. ‘Aaisyah berkata : Maka berdirilah Sa’d bin ‘Ubaadah - dan ia pemimpin suku Khazraj yang sebelum itu adalah orang yang shaalih, akan tetapi hari itu ia terbawa sikap fanatisme kesukuan – dan berkata : “Engkau dusta. Demi Allah, engkau tidak akan membunuhnya dan tidak akan bisa membunuhnya”. Maka berdirilah Usaid bin Hudlair – paman Sa’d bin Mu’aadz – yang berkata kepada Sa’d bin ‘Ubaadah : “Engkau lah yang berdusta. Demi Allah, sungguh kami akan membunuhnya, karena engkau seorang munafiq yang berdebat untuk membela orang-orang munaafiq (yaitu kelompok ‘Abdullah bin Ubay)”. Suasana semakin memanas antara orang-orang dari suku Aus dan Khazraj hingga hampir saja mereka saling bunuh, padahal Rasulullah masih berdiri di atas mimbar. Rasulullah berusaha menenangkan mereka hingga mereka diam dan beliau pun diam....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4750].
Sa'd bin 'Ubaadah keliru telah membela Ibnu Saluul gembong munafik, dan kita tidak ragu lagi atas apa yang diperbuat Ibnu Saluul sebagaimana telah lewat penyebutannya. Akan tetapi Sa’d bin ‘Ubaadah dengan kekeliruannya bukan seorang munafik meski ada shahabat yang menuduhnya munafik. Bahkan Sa’d tetap merupakan shahabat yang mulia, sayyid suku Khazraj. Nabi pernah berdoa :
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ عَلَى آلِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ
Ya Allah, limpahkanlah barakah dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa’d bin ‘Ubaadah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 5185].
Begitu juga dengan Haathib bin Abi Balta'ah radliyallaahu ‘anhu yang terjatuh dalam kekeliruan membantu orang kafir Makkah dengan membocorkan rahasia kaum muslimin kepada mereka. Motif Haathib adalah ingin melindungi kerabat-kerabatnya di Makkah sebagaimana perkataannya dalam riwayat:
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ بِمَكَّةَ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا، وَلَا ارْتِدَادًا، وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ
“Wahai Rasulullah, janganlah engkau terburu-buru kepadaku. Sesungguhnya aku adalah seorang anak angkat di tengah suku Quraisy, dan aku bukanlah termasuk dari kalangan mereka. Adapun kaum Muhaajirin yang bersama engkau, mereka mempunyai kerabat di Makkah yang akan melindungi keluarga dan harta mereka. Dikarenakan aku tidak punya hubungan nasab dengan mereka, aku ingin menolong mereka agar mereka pun menjaga kerabatku. Aku melakukan ini bukan karena kekafiran, murtad, ataupun ridlaa dengan kekufuran setelah Islam”[6][Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3007].
Jelas ia keliru, namun kekeliruannya tidak menyebabkan dirinya tergolong orang munafik sebarisan dengan 'Abdullah bin Ubay bin Saluul.
Penjabaran di sini bukan artinya kita tidak dapat menghukumi seseorang dengan nifaq akbar/i’tiqadiy secara dhahir. Orang munafik yang jelas kemunafikannya tetap ada dan dapat dihukumi berdasarkan qarinah-qarinah lahiriyah (yang nampak). Ini seperti riwayat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: "قَالَ رَجُلٌ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فِي مَجْلِسٍ: مَا رَأَيْنَا مِثْلَ قُرَّائِنَا هَؤُلاءِ، أَرْغَبَ بُطُونًا، وَلا أَكْذَبَ ألسنًا، وَلا أَجْبَنَ عِنْدَ اللِّقَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ فِي الْمَجْلِسِ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ مُنَافِقٌ، لأُخْبِرَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ ﷺ وَنَزَلَ الْقُرْآنُ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: فَأَنَا رَأَيْتُهُ مُتَعَلِّقًا بِحَقَبِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ، تَنْكُبُهُ الْحِجَارَةُ، وَهُوَ يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ { 65 } لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ "
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Berkatalah seorang laki-laki saat perang Tabuk dalam satu majelis : “Kami tidak pernah melihat seperti para qurraa’ (pembaca Al-Qur’an) kita ini; yang paling mementingkan perut (rakus), sangat pendusta, dan penakut dalam pertempuran/peperangan”. Maka berkatalah seseorang di majelis tersebut : “Engkau berdusta, engkau jelas munafik. Sungguh akan aku khabarkan (apa yang engkau ucapkan) kepada Rasulullah ”. Maka, sampailah ucapan tersebut kepada Nabi , kemudian turunlah (ayat) Al-Qur’an. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Maka aku lihat laki-laki tersebut bergantung pada tali onta Rasulullah , tersandung batu-batu, sambil berkata : ‘Wahai Rasulullah, kami hanya bersendau-gurau dan bermain-main saja”.  Dan Rasulullah bersabda : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?.  Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman (QS. At-Taubah : 65-66)[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 14/333-334 no. 16912; shahih].
Para shahabat menghukumi secara dhahir perkataan mereka yang mengolok-olok kaum muslimin (para shahabat) yang berjihad dengan harta dan darah mereka di medan perang melawan kuffaar sebagai satu kemunafikan. Apa yang mereka katakan kemudian dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kekafiran orang-orang munafik tersebut yang melakukan istihzaa’ (olok-olok). Istihzaa’ terhadap syari’at Islam dan orang-orang yang menjalankannya adalah kekafiran[7].
Di dalam negeri, spesies munafik seperti ini memang eksis. Mereka ber-KTP Islam, terpelajar, tidak gila, paham bahasa Arab, namun menyembunyikan kekufuran. Seperti misal orang yang mengatakan jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Rasul dikatakan tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis. Gambaran tentang Tuhan yang sibuk mengurusi segala tetek bengek urusan manusia itu sudah tidak tepat lagi. LGBT, nggak apa-apa… Dan lain sebagainya….
Seandainya ada yang yakin akan kemunafikan seseorang, maka itu baginya dan ia tidak harus mewajibkan penghukumannya/keyakinannya itu kepada orang lain, karena kemunafikan adalah sesuatu yang asalnya tersembunyi[8]. Memvonis seseorang sebagai munafik yang jelas kemunafikannya harus hati-hati, karena ini terkait dengan pengeluaran seseorang dari wilayah Islam. Harus dengan bukti yang kuat.
Dulu, sebagian shahabat pernah berkumpul dan berbincang tentang kaum munafik. Pembicaraan mereka tertuju kepada seorang shahabat yang mereka indikasikan kuat termasuk kaum munafik. Shahabat itu bernama Maalik bin Ad-Dukhaisyin. Dikarenakan tidak melihat keberadaannya, maka Nabi bertanya : “Dimanakah Maalik bin Ad-Dukhaisyin ?”. Sebagian shahabat menjawab : “Orang itu munafik yang tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Maka Rasulullah bersabda :
لَا، تَقُلْ ذَلِكَ، أَلَا تَرَاهُ قَدْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يُرِيدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Jangan engkau katakan itu. Tidakkah engkau melihat bahwa ia mengatakan : ‘tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah’, yang ia menginginkan dengannya wajah Allah ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 425].
Tidak semua orang yang melakukan kemaksiatan dan cabang-cabang kemunafikan (nifak amaliy) dikandangkan bersama orang munafik tulen sejenis Ibnu Saluul. Hanya karena urusan Pilkada, semua orang yang pro komunitas serbet dianggap munafik yang Allah larang untuk menyalatkannya (dengan mengambil dalil QS. At-Taubah : 84). Bahkan, akibat akrobat fatwa yang diproduksi kalangan tertentu, sebagian masjid ada yang pasang spanduk tidak mau menyalatkan (dan mengurus) jenazah para korban Pilkada. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun….
Benar, dalam barisan komunitas serbet ada kloningan Ibnu Saluul, tapi tidak dapat dipukul rata. Banyak diantara mereka yang memilih hanya karena alasan ‘anggapan’ bersih korupsi, berhasil menata kota, tidak suka kelompok ekstrim, alasan uang, atau perkara dunia lainnya….. sebagaimana Haathib yang menolong orang kafir karena faktor kerabat, atau Sa’d bin ‘Ubaadah yang membela Ibnu Saluul karena faktor kesukuan.
Dulu, ketika Nabi tidak menyalatkan orang yang berhutang, beliau bersabda :
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatlah kalian untuk shahabat kalian ini[9]
Artinya, beliau tetap memerintahkan kepada para shahabat untuk menyalatinya, karena hukumnya wajib (kifayah). Ini pertama.
Kedua, seandainya kita tidak menyalatinya, maka dapat berakibat memberikan mudlarat kepada keluarganya yang barangkali berbeda pendapat/pemikiran dengannya. Edukasi peringatan agar orang lain tidak meniru perbuatannya tak teraih, dan justru memberikan stigma negatif terhadap Islam dan kaum muslimin.
Ketiga, shalat jenazah selain bermanfaat bagi si mayit, juga – dan inilah yang justru terpenting – merupakan amal shalih yang membuahkan pahala bagi siapa saja yang melakukannya. Amal shalih yang kelak menjadi bekal bagi kita di akhirat. Nabi bersabda:
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ "، قِيلَ: وَمَا الْقِيرَاطَانِ؟، قَالَ: مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
Barangsiapa yang menghadiri jenazah hingga jenazah itu dishalati, maka baginya pahala satu qirath. Dan barangsiapa yang menghadiri jenazah hingga dikuburkan, maka baginya pahala dua qirath”. Dikatakan : “Apa maksud dua qirath ?”. Beliau menjawab : “Seperti dua gunung yang sangat besar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1325].
Mendoakan kebaikan dan ampunan bagi si mayit dan keluarganya bukanlah amalan yang sia-sia. Nabi bersabda:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada malaikat yang menjadi wakil baginya. Setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata : ‘Aamiin dan engkau pun mendapatkan apa yang ia dapatkan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2733].
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – keheningan malam, 18032017].




[1]   Bisa dibaca artikel : Mendemo Nabi ?.
[2]   Artinya, setelah itu ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul secara dhahir masuk Islam dalam pandangan Usaamah (dan para shahabat lain).
[3]   Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar” [QS. An-Nuur : 11].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ، قَالَتْ: "عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang ayat : ‘Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu (QS. An-Nuur : 11), ia berkata : “’Abdullah bin Ubay bin Saluul” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4749].
[4]   Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullahpernah ditanya:
إذا ترك العلماء الصلاة على أهل البدع، ألا يكون فعلهم هذا قدوة لترك الناس الصلاة عليهم؟
“Apabila para ulama meninggalkan shalat (jenazah) terhadap ahli bid’ah, apakah perbuatan mereka ini merupakan teladan/contoh bagi manusia (yang lain) untuk meninggalkan shalat terhadap mereka juga?”.
Beliau rahimahullah menjawab :
الصلاة على الميت المسلم واجبة وإن كانت لديه بدعة، ويصلي عليهم بعض الناس إذا كانت بدعتهم لا تخرجهم عن الإسلام، أما إذا كانت بدعتهم توجب كفرهم فإنه لا يصلى عليهم، ولا يستغفر لهم؛ كالجهمية والمعتزلة والرافضة الذين يدعون علياً رضي الله عنه، ويستغيثون به وبأهل البيت وأشباههم؛ لقول الله سبحانه في المنافقين وأشباههم: وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
“Shalat atas seorang mayit muslim wajib hukumnya meskipun padanya terdapat kebid’ahan. Sebagian manusia menyalatkan mereka apabila bid’ah mereka tidak mengeluarkan mereka dari Islam (murtad). Namun apabila bid’ah mereka mengkonsekuensikan kepada kekufuran, maka tidak boleh menyalatkan mereka. Tidak boleh pula memintakan ampunan (kepada Allah) untuk mereka, seperti )bid’ah) Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan Raafidlah yang berdoa kepada ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, ber-istighatsah (meminta pertolongan agar dihilangkan segala kesusahan)kepadanya dan kepada ahlul-bait, dan yang serupa. Hal ini berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’ala tentang orang-orang munafik dan yang serupa mereka : ‘Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), dan janganlah kamu berdiri untuk mendoakan di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik” (QS. At Taubah: 84)” [sumber : https://goo.gl/acpqKd].
Syaikh berdalil dengan QS. At-Taubah ayat 84 yang terkait dengan orang munafik, adalah bagi orang-orang yang telah kafir, keluar dari agama Islam (murtad).
[5]   Adapun hadits:
أَرْبَعٌ، مَنْ كُنَّ فِيْهِ، كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ، كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا، إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
"Ada empat sifat yang barangsiapa empat sifat tersebut ada padanya, maka ia adalah seorang munafik tulen. Barangsiapa yang padanya terdapat salah satu dari empat perkara tersebut, maka dalam dirinya terdapat karakter kemunafikan hingga dia meninggalkannya. (Empat perkara tersebut adalah) : 1) apabila diberi amanat berkhianat, 2) apabila berbicara berdusta, 3) apabila berjanji mengingkari, dan 4) apabila bertikai, dia berlaku aniaya
Para ulama berbeda pendapat tentang makna munaafiqan khaalishan (munafik tulen) dalam hadits ini. Ada yang mengatakan pemutlakan nifak tersebut sebagai peringatan agar manusia tidak melakukan sifat-sifat nifaq ini. Ada yang mengatakan makna munafik tulen di situ adalah orang yang apabila berkata tentang sesuatu, maka ia pasti berdusta; jika berjanji, pasti mengingkari, dan seterusnya. Ada yang mengatakan maknanya adalah nifaq amaliy, dan inilah yang dikuatkan Ibnu Hajar [lihat selengkapnya : Fathul-Baariy, 1/90-91].
[7]   Perlu hati-hati sebelum ketok palu takfir terhadap seseorang atas perbuatan istihzaa’ yang dilakukannya. Ulama Lajnah Daaimah pernah ditanya tentang hukum orang yang mengolok-olok sebagian perkara-perkara yang disunnahkan seperti siwak, pakaian di atas mata kaki, dan minum sambil duduk; maka dijawab :
من استهزأ ببعض المستحبات، كالسواك، والقميص الذي لا يتجاوز نصف الساق، والقبض في الصلاة، ونحوها مما ثبت من السنن؛ فحكمه: أنه يبين له مشروعية ذلك، وأن السنة عن الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ دلت على ذلك؛ فإذا أصر على الاستهزاء بالسنن الثابتة: كفر بذلك، لأنه بهذا يكون متنقصا للرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ ولشرعه، والتنقص بذلك كفر أكبر
”Barangsiapa yang mengolok-olok sebagian perkara yang disunnahkan, seperti siwak, berpakaian tidak melebihi pertengahan betis, bersedekap ketika shalat dan lainnya yang telah tetap dari Sunnah; maka hukumnya adalah : Hendaknya ia diberikan penjelasan tentang disyari’atkannya perbuatan tersebut (yang ia olok-olok). Bahwasannya Sunnah Rasul menunjukkan demikian. Apabila setelah diberi penjelasan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari Sunnah yang telah tetap, (orang tersebut masih saja mengolok-olok), maka ia telah kufur. Hal itu disebabkan karena ia telah mencela dan menghujat Rasul dan syari’atnya. Mencela dan menghujat yang seperti ini maka termasuk kufur akbar” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, hal. 141-142].
Dalam fatwa lain:
سب الدين والاستهزاء بشيء من القرآن والسنة والاستهزاء بالمتمسك بهما نظرًا لما تمسك به كإعفاء اللحية وتحجب المسلمة؛ هذا كفر إذا صدر من مكلف، وينبغي أن يبين له أن هذا كفر فإن أصر بعد العلم فهو كافر، قال الله تعالى  قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Mencela agama, menghina Al-Qur'an dan Sunnah, serta menghina orang yang berpegang teguh dengan keduanya, seperti memanjangkan jenggot, menutup muka bagi seorang muslimah; hal ini termasuk kafir, jika ini dilakukan oleh orang dewasa. Dan hendaklah dijelaskan kepadanya bahwa ini adalah kekufuran. Jika ia tetap melakukannya setelah mengetahui hukumnya, maka ia adalah kafir. Allah ta'alaberfirman : “Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman” (QS. At-Taubah : 65-66)…..” [sumber : sini].
[8]   ‘Umar bin Al-Khaththaab tidak mau menyalati jenazah seseorang yang Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhumaa tidak menyalatinya. Hudzaifah adalah shaahibus-sirr yang mengetahui individu-individu munafik karena diberi tahu oleh Rasulullah .
[9]   Nabi pernah meninggalkan menyalatkan jenazah orang yang bunuh diri, memiliki tanggungan hutang, dan melakukan perbuatan ghuluul sebagai hukuman dan tarhiib (upaya menakuti) atas perbuatan mereka, dan juga peringatan kepada umat agar menjauhi perbuatan yang mereka lakukan.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Pernah didatangkan kepada Nabi jenazah seorang laki-laki yang bunuh diri dengan tombak, namun beliau tidak mau menyalatkannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 978].
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ ؟ قَالُوا: لَا، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ
Dari Salamah bin Al-Akwa’ radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya pernah didatangkan kepada Nabi jenazah untuk dishalatkan. Maka beliau bertanya : "Apakah ia mempunyai hutang?". Mereka berkata : "Tidak". Maka beliau pun menyalatkannya. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain. Beliau bertanya : "Apakah orang ini punya hutang?". Mereka menjawab : "Ya". Beliau bersabda: "Shalatilah saudaramu ini". Abu Qataadah berkata : "Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah". Maka beliau menyalatkannya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2295].
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ، قال: مَاتَ رَجُلٌ بِخَيْبَرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ إِنَّهُ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ "، فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا فِيهِ خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
Dari Zaid bin Khaalid, ia berkata : “Seseorang meninggal di Khaibar. Lalu Rasulullah bersabda : “Shalatilah shahabat kalian ini. Sesungguhnya ia telah berbuat ghuluul di jalan Allah”. Maka kami pun memeriksa perbekalan yang ia bawa dan kami dapati padanya batu mulia dari perhiasan orang-orang Yahudi yang tidak mencapai dua dirham [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1959; dilemahkan oleh Al-Albaaniy dalam Dla’iif Sunan An-Nasaa’iy hal. 66-67, namun dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam takhriij Sunan Abi Daawud 4/344].

Berjihad Melawan Penguasa dengan Tangan……

$
0
0
Ibnu Hibbaan rahimahullah berkata:
أَخْبَرَنَا عِمْرَانُ بْنُ مُوسَى بْنِ مُجَاشِعٍ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذْ بْنِ مُعَاذْ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ السِّمْطِ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ طَلْحَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي ثُمَّ اسْتَكْتَمَنِي أَنْ أُحَدِّثَ بِهِ مَا عَاشَ مُعَاوِيَةُ، فَذَكَرَ عَامِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ: حَدَّثَنِي عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ، وَهُوَ قَاضِي الْمَدِينَةِ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ وَهُوَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "سَيَكُونُ أُمَرَاءُ مِنْ بَعْدي يَقُولُونَ مَا لا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَا لا يَأْمُرُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ  بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، لا إِيمَانَ بَعْدَهُ "
قَالَ عَطَاءٌ: فَحِينَ سَمِعْتُ الْحَدِيثَ مِنْهُ انْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: أَنْتَ سَمِعْتَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ هَذَا؟ كَالْمُدْخَلِ عَلَيْهِ فِي حَدِيثِهِ، قَالَ عَطَاءٌ: فَقُلْتُ: هُوَ مَرِيضٌ فَمَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَعُودَهُ؟، قَالَ: فَانْطَلِقْ بِنَا إِلَيْهِ، فَانْطَلَقَ وَانْطَلَقْتُ مَعَهُ، فَسَأَلَهُ عَنْ شَكْوَاهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ عَنِ الْحَدِيثِ، قَالَ: فَخَرَجَ ابْنُ عُمَرَ وَهُوَ يُقَلِّبُ كَفَّهُ وَهُوَ يَقُولُ: مَا كَانَ ابْنُ أُمِّ عَبْدٍ يَكْذِبُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ

Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Imraan bin Muusaa bin Mujaasyi’ : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah bin Mu’aadz bin Mu’aadz : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin Muhammad, dari ‘Aamir bin As-Simth, dari Mu’aawiyyah bin Ishaaq bin Thalhah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku – kemudian  ia memintaku untuk menyimpannya selama Mu’aawiyyah (bin Ishaaq) masih hidup - . Lalu ‘Aamir menyebutkan, ia berkata : Aku mendengarnya (Mu’aawiyyah)  berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Athaa’ bin Yasaar – dan ia seorang qaadliy di Madiinah – berkata : Aku mendengar Ibnu Mas’uud berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Kelak akan ada para pemimpin setelahku yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang melawan mereka dengan hatinya, maka ia pun seorang mukmin. Tidak ada keimanan setelah hal itu”.
‘Athaa’ (bin Yasaar) berkata : “Ketika aku mendengar hadits tersebut darinya, maka aku pergi dengan riwayat tersebut menemui ‘Abdullah bin ‘Umar, lalu aku khabarkan tentangnya. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Engkau mendengar Ibnu Mas’uud mengatakan ini?”. (Kemudian ia menyampaikan) seperti pengantar terhadapnya dalam haditsnya. Setelah itu ‘Athaa’ berkata : “Ia (Ibnu Mas’uud) sedang sakit. Apa yang menghalangimu untuk menjenguknya ?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Pergilah bersamaku kepadanya”. Maka ia pergi dan akupun pergi bersamanya. (Ketika sampai), ia (Ibnu ‘Umar) bertanya tentang keluhan sakitnya, kemudian ia bertanya tentang hadits tersebut. Lalu Ibnu ‘Umar keluar seraya membolak-balik telapak tangannya dan berkata : “Ibnu Ummi ‘Abd (yaitu Ibnu Mas’uud – Abul-Jauzaa’) tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah ” [Shahiih Ibni Hibbaan, 1/403-404 no. 177].
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad secara ringkas[1](7/374) dari jalan ‘Aamir bin As-Simth, dan Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 3308 dari jalan Al-Hasan bin ‘Amru Al-Fuqaimiy; keduanya dari Mu’aawiyyah bin Ishaaq, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Ibnu Mas’uud.
Al-Bazzaar rahimahullah berkata:
وَهَذَا الْحَدِيثُ لا نَعْلَمُهُ يُرْوَى بِهَذَا اللَّفْظِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ إِلا بِهَذَا الإِسْنَادِ، وَلا نَعْلَمُ رَوَى عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ غَيْرَ هَذَا الْحَدِيثِ، وَلا نَعْلَمُهُ سَمِعَ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ قَدِيمًا، وَلا نَعْلَمُ أَسْنَدَ الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ إِسْحَاقَ إِلا هَذَا الْحَدِيثَ
“Hadits ini tidak kami ketahui diriwayatkan dengan lafadh ini dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) kecuali dengan sanad ini. Kami tidak mengetahui ‘Athaa’ bin Yasaar meriwayatkan dari ‘Abdullah kecuali hadits ini, dan kami tidak mengetahuinya (‘Athaa’) mendengar hadits darinya (Ibnu Mas’uud), meskipun ia (‘Athaa’) termasuk perawi yang terdahulu[2]. Dan kami tidak mengetahui Al-Hasan bin ‘Amru membawakan sanad dari Mu’aawiyyah bin Ishaaq kecuali hadits ini” [selesai].
Penyimakan hadits ‘Athaa’ bin Yasaar dari Ibnu Mas’uud diperselisihkan para ulama. Sebagian ulama ada yang menafikkan – sebagaimana isyarat perkataan Al-Bazzaar di atas - , sebagian yang lain menetapkannya.
Ibnu Abi Haatim rahimahullah berkata:
سَأَلْتُ أَبِي عَنْ حَدِيثٍ رَوَاهُ عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ إِسْحَاق، عَنْ عَطَاءَ بْنِ يَسَارٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ "، الْحَدِيثَ، قَالَ أَبِي: "هَذَا خَطَأٌ، قَوْلُهُ سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ فَإِنَّ عَطَاءَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَكَذَا هُوَ عِنْدِي لَمْ يَسْمَعْ مِنَ ابْنِ مَسْعُودٍ "
“Aku bertanya kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad, dari ‘Aashim bin Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mu’aawiyyah bin Ishaaq, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, ia berkata : Aku mendengar Ibnu Mas’uud berkata : Telah bersabda Rasulullah : ‘Kelak akan ada para pemimpin setelahku yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka…’, al-hadits. Ayahku berkata : ‘Ini keliru, yaitu perkataannya ‘aku mendengar Ibnu Mas’uud berkata’. Karena, ‘Athaa’ tidak pernah mendengar hadits dari ‘Abdullah bin Mas’uud. Demikianlah menurutku, ia tidak mendengar riwayat dari Ibnu Mas’uud” [Al-Maraasiilno. 572].
Al-‘Alaaiy rahimahullah berkata : “Telah berkata Abu Haatim : ‘’Athaa’ tidak mendengar riwayat dari Ibnu Mas’uud’, dan ia menyalahkan orang yang mengatakan darinya (‘Athaa’) : Aku mendengar Ibnu Mas’uud’. Al-Bukhaariy menyelisihinya, dan ia menetapkan penyimakan riwayatnya dari Ibnu Mas’uud, wallaahu a’lam” [Jaam’ut-Tahshiil, hal. 238 no. 524].
Selain Al-Bukhaariy, Ibnu Sa’d (Ath-Thabaqaat, 5/173)dan Abu Daawud (As-Siyar, 4/449)juga menetapkan penyimakan riwayat ‘Athaa’ dari Ibnu Mas’uud.
Ad-Daaraquthniy setelah membawakan beberapa perselisihan, ia menguatkan periwayatan ‘Athaa’ (bin Yasaar), dari Abu Waaqid Al-Laitsiy, dari Ibnu Mas’uud lebih shahih [Al-‘Ilal Al-Waaridah, 5/341-342 no. 936].
‘Athaa’ bin Yasaar mempunyai mutaba’ah dari Abu Raafi’ Al-Qibthiy yang diriwayatkan oleh:
1.    Muslim no. 50, Ahmad 7/378, Abu ‘Awaanah 1/43 no. 100, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/137, Ibnu Mandah dalam Al-Iimaan 1/345 no. 183, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa10/90 & Syu’abul-Iimaan 6/68, 85 & Al-I’tiqaad hal. 326, dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 35/430 dari jalan Shaalih bin Kaisaan;
2.    Abu ‘Awaanah 1/43 no. 98, Ibnu Hibbaan 14/71 no. 6193, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 10/13 no. 9784, dan Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/137 no. 177 dari jalan ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad Ad-Daraawardiy;
3.    Ahmad 7/411, Ibnu Mandah dalam Al-Iimaan 1/346 no. 184, Abu ‘Awaanah 1/43 no. 99, dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 1/212 no. 54 dari jalan ‘Abdullah bin Ja’far Al-Makhzuumiy;
Ketiganya dari jalan Al-Haarits bin Fudlail, dari Ja’far bin ‘Abdillah bin Al-Hakam, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Miswar, dari Abu Raafi’, dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي، إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ، وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ، يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ، حَبَّةُ خَرْدَلٍ"،
قَالَ أَبُو رَافِعٍ: فَحَدَّثْتُهُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، فَأَنْكَرَهُ عَلَيَّ، فَقَدِمَ ابْنُ مَسْعُودٍ، فَنَزَلَ بِقَنَاةَ، فَاسْتَتْبَعَنِي إِلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ يَعُودُهُ، فَانْطَلَقْتُ مَعَهُ، فَلَمَّا جَلَسْنَا سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ، حَدَّثَنِيهِ كَمَا حَدَّثْتُهُ ابْنَ عُمَرَ
Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah sebelumku, melainkan ia mempunyai murid-murid setia (hawariyyun) dan para shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka, muncul para penerus yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya, maka ia pun seorang mukmin. Tidak ada keimanan setelah hal itu, walau seberat biji sawi”.
Abu Raafi’ berkata : Lalu aku menceritakan riwayat ini kepada ‘Abdullah bin ‘Umar, namun ia mengingkariku. Ketika Ibnu Mas'uud datang dan singgah di Qanaah, ‘Abdullah bin ‘Umar mengajakku untuk mengikutinya mengunjungi Ibnu Mas'uud. Aku pun pergi bersamanya. Ketika kami duduk, aku bertanya kepada Ibnu Mas'uud tentang hadits ini,. Lalu ia menceritakan hadits tersebut kepadaku sebagaimana aku menceritakannya kepada Ibnu ‘Umar” [lafadh dari Muslim].
Ibnu Hibbaan menggunakan lafadh aqwaam (kaum-kaum) sebagai ganti umaraa’atau khuluuf.
Dua jalan hadits tersebut (‘Athaa’ bin Yasaar dan Abu Raafi’) sama-sama menceritakan pengingkaran Ibnu ‘Umar setelah disampaikan hadits oleh perawi kepadanya, dan juga kepergiannya menemui Ibnu Mas’uud dalam rangka check and re-check. Besar kemungkinan, peristiwa tersebut hakekatnya satu (sekali) karena tidak mungkin terjadi dua kali pengingkaran Ibnu ‘Umar jika masalahnya telah clearpada pertemuannya dengan Ibnu Mas’uud yang pertama. Sementara itu, dua jalan periwayatan ini (‘Athaa’ bin Yasaar dan Abu Raafi’) masing-masing ada kritikan dari para ulama mutaqaddimiin.
Riwayat ‘Athaa’ bin Yasaar dikritik ulama dari sisi penyimakan dirinya dari Ibnu Mas’uud sebagaimana ditegaskan oleh Abu Haatim dan Ad-Daaraquthniy, serta diisyaratkan oleh Al-Bazzaar. Adapun riwayat Abu Raafi’, Al-Khallaal membawakan kritikan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ذَكَرَ حَدِيثَ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَكَمِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: "يَكُونُ أُمَرَاءٌ يَقُولُونَ مَا لا يَفْعَلُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ ".
قَالَ أَحْمَدُ: جَعْفَرٌ هَذَا هُوَ أَبُو عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ، وَالْحَارِثُ بْنُ فُضَيْلٍ لَيْسَ بِمَحْفُوظِ الْحَدِيثِ، وَهَذَا الْكَلامُ لا يُشْبِهُ كَلامَ ابْنِ مَسْعُودٍ، ابْنُ مَسْعُودٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "اصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي "
Telah mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah menyebutkan hadits Shaalih bin Kaisaan, dari Al-Haarits bin Fudlail, dari Ja’far bin ‘Abdilllah bin Al-Hakam, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Miswar bin Makhramah, dari Abu Raafi’, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, dari Nabi : “Kelak akan ada para pemimpin yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya”.
Ahmad berkata : “Ja’far ini adalah Abu ‘Abdil-Hamiid bin Ja’far, sedangkan Al-Haarits bin Fudlail haditsnya tidak terjaga. Perkataan ini tidak seperti perkataan Ibnu Mas’uud. Ibnu Mas’uud berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Bersabarlah hingga kalian menemuiku (kelak di haudl)” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Muntakhabhal. 169-170 no. 89].
Ahmad bin Hanbal rahimahumallah melemahkan jalur periwayatan ini dikarenakan Al-Haarits dan adanya penyelisihan dalam matan dengan hadits masyhur lain dari Ibnu Mas’uud dari Nabi tentang perintah untuk bersabar (terhadap pemimpin yang dhalim). Namun secara keseluruhan, dua jalur ini saling menguatkan sehingga shahih, dan dimasukkan Muslim dalam kitab Shahiih-nya.
Ini dari segi pembahasan sanad.
Dari segi matan, telah lewat perkataan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang menegaskan bahwa hadits itu tidak seperti hadits Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Beliau rahimahullah mengisyaratkan adanya penyelisihan dengan hadits Ibnu Mas’uud yang lain dari Nabi , yaitu hadits:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟، قَالَ: أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
Sesungguhnya kelak sepeninggalku kalian akan melihat atsarah dan perkara-perkara yang kalian mengingkarinya”. Para sahabat bertanya : “Lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda : “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7052 dan Muslim no. 1843].
Penjelasan beliau ini sama dengan penjelasan muridnya, yaitu Abu Bakr Al-Atsram rahimahumallah saat mengulas hadits yang sama:
وروى عامر بن السمت عن معاوية بن إسحاق عن عطاء بن يسار عن ابن مسعود عن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : ((سيكون أمراء - فذكر من فعلهم ثم قال - فمن جاهدهم بلسانه فهو مؤمن، ومن جاهدهم بيده فهو مؤمن، ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن))
وهذا أيضاً خلاف الأحاديث، وهو إسناد لم يسمع حديث عن ابن مسعود بهذا الإسناد غيره، وقد جاء الإسناد الواضح عن ابن مسعود بخلافه.
روى الأعمش عن زيد بن وهب عن ابن مسعود عن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : ((سترون بعدي أثرة وفتناً وأموراً تنكرونها)) قالوا : فما تأمرنا يا رسول الله؟. قال : ((تؤدون الحق الذي عليكم، وتسألون الله الذي لكم)).
وهذا عن ابن مسعود، وذاك عن ابن مسعود، وهذا أثبت الإسنادين، وهو موافق الأحاديث، وذاك لها مخالف، ثم تواترت الأحاديث عن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فكثرت عنه، وعن الصحابة والأئمة بعدهم - رضي الله عنهم - يأمرون بالكف، ويكرهون الخروج وينسبون من خالفهم في ذلك إلى فراق الجماعة ومذهب الحرورية وترك السنة
“Dan ‘Aamir bin As-Samt meriwayatkan dari Mu’aawiyyah bin Ishaaq, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Ibnu Mas’uud, dari Nabi , beliau bersabda : ‘Kelak akan ada para pemimpin– kemudian beliau menyebutkan perbuatan mereka, lalu berkata : - Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang melawan mereka dengan hatinya, maka ia pun seorang mukmin’.
Ini juga menyelisihi hadits-hadits. Dan hadits ini tidak didengar dari Ibnu Mas’uud kecuali dengan sanad ini. Terdapat sanad (lain) yang jelas/gamblang dari Ibnu Mas’uud menyelisihinya.
Al-A’masy meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, dari Ibnu Mas’uud, dari Nabi , beliau bersabda : “Kelak sepeninggalku kalian akan melihat atsarah[3], berbagai fitnah, dan perkara-perkara yang kalian ingkari”. Para shahabat bertanya : “Lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda : “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah”.
Hadits ini dari Ibnu Mas’uud, dan itu juga dari Ibnu Mas’uud. Namun sanad hadits ini (dari jalan Zaid bin Wahb – Abul-Jauzaa’)paling kokoh dari dua sanad tersebut, dan berkesesuaian dengan hadits-hadits yang lain. Adapun hadits yang itu (‘Aamir/’Athaa’) mempunyai perselisihan. Kemudian mutawatir hadits-hadits dari Nabi , sehingga menjadi banyaklah riwayat dari beliau , dari para shahabat dan para imam sepeninggal mereka – radliyallaahu ‘anhum– yang (semuanya) memerintahkan untuk menahan diri, membenci pemberontakan, dan menisbatkan orang yang menyelisihi mereka dalam perkara tersebut sebagai pemisahan diri dari jama’ah, (penganut) madzhab Haruuriyyah (Khawaarij), dan meninggalkan Sunnah” [Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuh oleh Al-Atsram, hal. 256-257].
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal – imam Ahlis-Sunnah di jamannya – dan muridnya yang terkemuka, Abu Bakr Al-Atsram rahimahumallah,tidak mengambil dhahir hadits Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu dalam perkara inkarul-munkar terhadap penguasa dengan tangan, karena bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih jelas matannya dan lebih kuat sanadnya yang memerintahkan untuk bersabar, mendengar, dan taat kepada penguasa yang dhalim.
Inilah yang kemudian menjadi madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah untuk senantiasa bersabar, mendengar, dan taat kepada para pemimpin yang adil ataupun faajir (jahat). Riwayat berikut menguatkannya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا زُرْعَةَ، يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "يُهْلِكُ أُمَّتِي هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ "، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "لَوْ أَنَّ النَّاسَ اعْتَزَلُوهُمْ ".
قال عبد الله بن أحمد: وقَالَ أَبِي فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ: اضْرِبْ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ، فَإِنَّهُ خِلَافُ الْأَحَادِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي قَوْلَهُ: "اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَاصْبِرُوا"
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abut-Tayyaah, ia berkata : Aku mendengar Abu Zur’ah menceritakan hadits dari Abu Hurairah, dari Nabi , beliau bersabda: “Umatku akan binasa oleh sekelompok orang dari Quraisy”. Para shahabat bertanya: “Lantas, apa yang engkau perintahkan wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Seandainya orang-orang meninggalkan mereka”.
‘Abdullah bin Ahmad berkata: Telah berkata ayahku pada waktu sakitnya yang menyebabkan kematiannya[4]: ‘Tahanlah hadits ini, karena ia bertentangan dengan hadits-hadits Nabi , yaitu sabda beliau : ‘Dengar dan taatilah (pemimpin kalian), serta bersabarlah” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/301; shahih].
Perkataan beliau rahimahullah bukan bermaksud untuk mencela hadits Nabi . Orang yang mengetahui sirah beliau, pembelaan beliau terhadap hadits Nabi , serta celaan beliau terhadap orang yang meremehkan dan merendahkan hadits Nabi ; tentu tidak akan memahami demikian. Beliau rahimahullah mengatakannya karena kehatian-hatiannya dan khawatir umat akan menggunakannya sebagai wasilah untuk keluar ketaatan dari penguasa sehingga menyebabkan perpecahan dan kerusakan yang besar [baca penjelasan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Al-Imaam Ahmad no. 7992].
Memang terbukti, sebagian firqah sesat menggunakan hadits Ibnu Mas’uud tersebut untuk melegalkan penyimpangan mereka. Al-Khallal setelah membawakan hadits ini, menukil perkataan Al-Marruudziy rahimahumallah:
وقد كنت سمعته يقول : هو حديث رديء، يحتج به المعتزلة في ترك الجمعة
“Sungguh, aku telah mendengarnya (Ahmad bin Hanbal) berkata : ‘Itu hadits tidak baik/jelek, (karena) Mu’tazilah berhujjah dengannya untuk meninggalkan shalat Jum’at[5]” [Al-Muntakhab minal-‘Ilal, hal. 163].
Masih dari hadits ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu yang lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: "سَيَلِي أُمُورَكُمْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ، وَيَعْمَلُونَ بِالْبِدْعَةِ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا "، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُهُمْ كَيْفَ أَفْعَلُ؟، قَالَ: "تَسْأَلُنِي يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ، كَيْفَ تَفْعَلُ؟ لَا طَاعَةَ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ "
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya Nabi bersabda : “Kelak sepeninggalku akan mengurusi urusan kalian orang-orang yang memadamkan sunnah, mengerjakan bid’ah, dan mengakhirkan shalat dari waktu-waktunya”. Aku (Ibnu Mas’uud) berkata : “Wahai Rasulullah, apabila aku bertemu dengan mereka, apa yang mesti aku lakukan?”. Beliau bersabda : “Engkau bertanya kepadaku apa yang mesti engkau lakukan, wahai Ibnu Ummi ‘Abd?. Tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2865; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 590].
Al-Atsram rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan perkataannya:
وأما حديث ابن مسعود وأنس فهما اللذان تأولهما أهل البدع فقالوا: ألا تراه يقول لا طاعة لمن عصى الله عز وجل، فإذا عصى الله لم يطع في شيء، وإن دعا إلى طاعة.
وإنما يرد المتشابه إلى المفسر، فما جعل هذا على ظاهره أولى بالاتباع من تلك الأحاديث بل إنما يرد هذا إلى ما بيّن معناه فقوله: "لا طاعة لمن عصى الله "، إنما يريد أنه لا يطاع في معصية. كسائر الأحاديث.
"Adapun hadits Ibnu Mas’uud dan Anas yang keduanya dita’wilkan oleh ahlul-bid’ah. Mereka (Ahlul-Bida’) berkata : “Tidakkah kalian melihat beliau bersabda : ‘tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah ‘azza wa jalla”. Jika pemimpin itu bermaksiat, maka tidak ada boleh ditaati sedikitpun meskipun ia mengajak pada ketaatan.
Maka, hadits yang samar harus dikembalikan pada yang mufassar (jelas). Tidak boleh menjadikan dhahir hadits ini (yang samar) untuk lebih diikuti daripada hadits-hadits tersebut (yang jelas). Bahkan yang benar mesti mengembalikannya pada hadits-hadits yang jelas maknanya, sehingga sabda beliau : ‘tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah’, itu maksudnya bahwasannya tidak boleh taat dalam kemaksiatan[6], seperti keseluruhan hadits-hadits lainnya” [Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuhu, hal 252].
Point penting yang hendak disampaikan di sini, Al-Imaam Ahmad bin Hanbal dan murid-muridnya yang utama rahimahumullah tidak mengambil dhahir hadits Ibnu Mas’uud sebagai dalil memisahkan diri dari para penguasa muslim (meski dhalim) dan mengangkat senjata memerangi mereka[7]. Pengambilan dhahir hadits tersebut di jaman beliau rahimahullah hanyalah dilakukan oleh kelompok sesat dari kalangan Haruuriyyah (Khawaarij). Hadits tersebut harus diselaraskan dengan hadits-hadits lain yang jumlahnya lebih banyak, lebih kuat, dan lebih jelas penunjukkannya.
Lantas apa yang dimaksudkan dengan hadits Ibnu Mas’uud dalam bahasan di awal?.
Ada perbedaan lafadh dari dua jalur riwayat ini. Jalur ‘Athaa’ bin Yasaar dari Ibnu Mas’uud dibawakan dengan lafadh:
سَيَكُونُ أُمَرَاءُ مِنْ بَعْدي يَقُولُونَ مَا لا يَفْعَلُون.......
Kelak akan ada para pemimpin setelahku yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan……”.
Adapun mayoritas jalur Abu Raafi’ dari Ibnu Mas’uud dibawakan dengan lafadh:
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي، إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ، وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ، يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ،.....
Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah sebelumku, melainkan ia mempunyai murid-murid setia (hawariyyun) dan para shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka, muncul para penerus yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan…..
Dua riwayat ini konteks waktunya berbeda. Yang pertama konteks waktunya adalah sepeninggal Nabi , sedangkan yang kedua konteksnya adalah umat terdahulu sebelum Nabi .
Ibnu Shalaah rahimahullah berkata:
وما ورد في هذا الحديث من الحث على جهاد المبطلين باليد واللسان فذلك حيث لا يلزم منه إثارة فتنة على أن لفظ هذا الحديث مسوق فيمن سبق من الأمم وليس في لفظه ذكر هذه الأمة والله أعلم
“Dan apa yang terdapat dalam hadits ini adalah anjuran berjihad terhadap para pembela kebathilan dengan tangan dan lisan. Hal tersebut dilakukan ketika tidak menyebabkan merebaknya fitnah. Namun demikian, lafadh hadits ini disampaikan terhadap orang dari kalangan umat-umat terdahulu. Tidak ada penyebutan untuk umat ini dalam lafadh hadits itu, wallaahu a’lam”.
Kemudian An-Nawawiy mengomentari perkataan Ibnu Shaalah rahimahumallah di atas:
وهو ظاهر كما قال
“Itulah yang nampak sebagaimana yang dikatakannya” [Syarh Shahiih Muslim, 2/28].
Ketika Al-Baihaqiy membawakan hadits Ibnu Mas’uud dari jalan Abu Raafi’ ini dalam kitab Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad (hal. 326), maka ia memasukkannya dalam Bab:
بَابُ طَاعَةِ الْوُلاةِ وَلُزُومِ الْجَمَاعَةِ وَإِنْكَارِ الْمُنْكِرِ بِلِسَانِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ بِقَلْبِهِ
قال الله عَزَّ وَجَلَّ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ، وقال: وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.
“Bab : Taat terhadap Penguasa, Menetapi Jama’ah, serta Mengingkari Kemunkaran dengan Lisannya atau Membencinya dengan Hatinya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil-amri di antara kamu’ (QS. An-Nisaa’ : 59). Allah ‘azza wa jalla juga berfirman : ‘Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali’ (QS. An-Nisaa’ : 115)” [idem, hal. 323].
Al-Baihaqiy rahimahullah sama sekali tidak mempunyai fiqh pengingkaran terhadap penguasa dengan tangan dengan penyebutan hadits tersebut dalam kitabnya.
Lafadh khuluuf (خُلُوْفٌ) merupakan jamak dari khalf (خَلْف) yang maknanya adalah sekelompok orang yang menggantikan yang lain. Ini umum, bisa penguasa atau selain penguasa. Adapun penguasa, maka yang diwajibkan adalah bersabar.
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah memberikan penjelasan yang bagus:
حديث ابن مسعود الذي فيه: (يخلف من بعدهم خلوف فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن) الحديث. وهذا يدل على جهاد الأمراء باليد، وقد استنكر الإمام أحمد هذا الحديث في رواية أبي داود وقال: هو خلاف الأحاديث التي أمر رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم- فيها بالصبر على جور الأئمة، وقد يجاب عن ذلك بأن التغيير باليد لا يستلزم القتال، وقد نص على ذلك أحمد أيضا في رواية صالح فقال: التغيير باليد ليس بالسيف والسلاح، فحينئذ جهاد الأمراء باليد أن يزيل بيده ما فعلوه من المنكرات، مثل: أن يريق خمورهم، أو يكسر آلات اللهو التي لهم، أو نحو ذلك، أو يبطل بيده ما أمروا به من الظلم إن كان له قدرة على ذلك، وكل ذلك جائز، وليس هو من باب قتالهم، ولا من الخروج عليهم الذي ورد النهي عنه، ....... وأما الخروج عليهم بالسيف فيخشى منه الفتن التي تؤدي إلى سفك دماء المسلمين، .....
“Hadits Ibnu Mas’uud yang di dalamnya terdapat statement : ‘Kemudian setelah mereka, muncul para penerus/pengganti’ – al-hadits - . Dan ini menunjukkan jihad terhadap para penguasa dengan tangan. Al-Imam Ahmad mengingkari hadits ini dalam riwayat Abu Daawud[8]. Ia (Ahmad) berkata : “Hadits tersebut bertentangan dengan hadits-hadits yang Rasulullah memerintahkan untuk bersabar padanya atas kejahatan para penguasa. Hal tersebut dijawab bahwasannya mengubah (kemunkaran) dengan tangan tidak selalu mengkonsekuensikan peperangan. Pernyataan ini telah dinashkan juga oleh Ahmad dalam riwayat Shaalih[9], dimana Ahmad berkata : ‘Mengubah (kemunkaran) dengan tangan tidak menggunakan pedang dan senjata’. Dengan demikian, jihad terhadap para penguasa dengan tangan adalah dengan menghilangkan kemunkaran yang dilakukan penguasa dengan tangannya. Misalnya : menumpahkan minuman khamr mereka, menghancurkan alat musik mereka, atau yang semisalnya. Yang lain : membatalkan kedhaliman yang mereka perintahkan dengan tangannya apabila ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Semua hal itu boleh dilakukan, dan ini bukan termasuk bab memerangi mereka dan keluar ketaatan (memberontak) terhadap mereka yang ada nash larangannya….. Adapun pemberontakan dengan pedang terhadap penguasa maka dikhawatirkan darinya muncul fitnah yang berakibat tertumpahnya darah kaum muslimin….” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 323].
Kesimpulan : Hadits Ibnu Mas’uud tidak dipahami para ulama secara dhahirnya untuk melakukan perlawanan dengan mengangkat senjata (pemberontakan).
Wallaahu a’lam, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – di malam yang hening – 20032017].



[1]   Yaitu:
سَيَكُونُ أُمَرَاءُ بَعْدِي، يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ
Kelak akan ada para pemimpin setelahku yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan”.
[2]   Termasuk kibaarut-taabi’iin, thabaqah ke-2 yang bertemu dengan banyak shahabat.
[3]   An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan makna atsarah :
والأثرة : الاستئثار والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء بالدنيا، ولم يوصلوكم حقكم مما عندهم
Al-Atsarah adalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan dunia. Jadi pengertian hadits itu (yaitu hadits atsarah) adalah : dengar dan taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka lebih mengutamakan urusan dunia dan tidak memenuhi hak kalian di sisi mereka yang wajib ditunaikan [Syarh Shahiih Muslim, 6/225].
[4]   Riwayat ini sebagai bantahan dari desas-desus yang disebarkan di beberapa tulisan dan pesan berantai media sosial yang katanya beliau rahimahullah rujuk dari pendapatnya untuk tetap mendengar dan taat meskipun pada penguasa yang dhalim. Riwayat ini menunjukkan pandangan, sikap, dan manhaj beliau hingga menjelang kematiannya bagaimana muamalah terhadap penguasa muslim.
[5]   Kelompok sesat di jaman beliau memang banyak menggunakan ayat dan hadits-hadits shahih, juga sebagian ketergelinciran salaf sebagai legalitas mereka untuk melakukan penyimpangan. Contohnya adalah riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah dalam Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy (2/806-807):
قال المروذي: مضيت إلى الكرابيسي، وهو إذ ذاك مستور يذب عن السنة، ويظهر نصرة أبي عبد الله، فقلت له: إن كتاب المدلسين يريدون أن يعرضوه على أبي عبد الله، فأظهر أنك قد ندمت حتى أخبر أبا عبد الله.
فقال لي: إن أبا عبد الله رجل صالح مثله يوفق لإصابة الحق، وقد رضيت أن يعرض كتابي عليه.
وقال: قد سألني أبو ثور وابن عقيل، وحبيش أن أضرب على هذا الكتاب فأبيت عليهم. وقلت: بل أزيد فيه.
ولج في ذلك وأبى أن يرجع عنه، فجيء بالكتاب إلى أبي عبد الله، وهو لا يدري من وضع الكتاب، وكان في الكتاب الطعن على الأعمش والنصرة للحسن بن صالح، وكان في الكتاب: إن قلتم: إن الحسن بن صالح كان يرى رأي الخوارج فهذا ابن الزبير قد خرج.
فلما قرىء على أبي عبد الله، قال: هذا جمع للمخالفين ما لم يحسنوا أن يحتجوا به، حذروا عن هذا، ونهى عنه.
Al-Marruudziy berkata : Aku pernah pergi menemui Al-Karaabiisiy yang waktu itu keadaan dirinya masih tertutup, karena pembelaannya terhadap sunnah dan pertolongannya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal). Aku katakan kepadanya : ‘Tentang kitab Al-Mudallisiin, sesungguhnya orang-orang ingin memperlihatkannya kepada Abu ‘Abdillah. Maka, tampakkanlah bahwa engkau menyesal (telah menuliskannya) hingga aku khabarkan kepada Abu ‘Abdillah. Ia (Al-Karaabiisiy) berkata kepadaku : “Sesungguhnya Abu ‘Abdillah adalah orang yang shalih. Orang semisal dirinya telah diberikan petunjuk (oleh Allah) kepada kebenaran. Aku ridla jika kitabku tersebut diperlihatkan kepadanya”. Ia menambahkan : “Abu Tsaur, Ibnu ‘Uaqil, dan Hubaisy memintaku agar aku menghancurkan kitab ini, namun aku menolaknya. Aku katakan : ‘Bahkan aku akan menambahkannya’”. Al-Karaabiisiy tetap bersikeras dalam hal tersebut dan menolak untuk rujuk darinya. Maka didatangkanlah kitab itu kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal), sedangkan ia tidak tahu siapa yang mengarang kitab tersebut. Kitab tersebut berisi celaan terhadap Al-A’masy dan pembelaan terhadap Al-Hasan bin Shaalih (tokoh Khawaarij – Abul-Jauzaa’). Dalam kitab tersebut terdapat statement : ‘Apabila kalian mengatakan : Sesungguhnya Al-Hasan bin Shaalih memiliki pemikiran Khawaarij (yang menghalalkan keluar ketaatan/memberontak terhadap penguasa), maka Ibnu Zubair pun juga telah keluar (ketaatan/memberontak)". Ketika dibacakan kepada Abu ‘Abdillah, ia berkata: "Buku ini telah disusun oleh orang-orang menyimpang yang tidak mampu berhujjah dengan baik. Peringatkanlah orang-orang dari buku ini" - dan beliau (Ahmad bin Hanbal) melarang (orang-orang membaca) buku tersebut [selesai].
Sungguh, alangkah samanya hujjah orang-orang menyimpang dulu dan sekarang. Dulu mereka membela tokoh Khawaarij (Al-Hasan bin Shaalih) dengan dalih perbuatan 'Abdullah bin Zubair radliyallaahu 'anhumaa. Sekarang pun demikian. Lihat siapa yang mereka bela, dan dalih yang mereka pakai untuk membenarkan perbuatannya.
Tidaklah salah jika sekarang para ulama memperingatkan dengan keras umat terhadap orang-orang yang menyimpang ini sebagaimana dulu Al-Imaam Ahmad rahimahullah telah memperingatkan umat terhadap orang-orang semisal mereka.....
[6]   Yaitu hadits:
عَنْ عَلِيٍّ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَ
Dari ‘Aliy, dari Nabi , beliau bersabda : “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/131; shahih].
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi , beliau bersabda : “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila ia diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1839].
Al-Mubaarakfuriy rahimahullah berkata :
وَفِيهِ أَنَّ الْإِمَامَ إِذَا أَمَرَ بِمَنْدُوبٍ أَوْ مُبَاحٍ وَجَبَ . قَالَ الْمُظْهِرُ : يَعْنِي سَمَاعُ كَلَامِ الْحَاكِمِ وَطَاعَتُهُ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَوَاءٌ أَمَرَهُ بِمَا يُوَافِقُ طَبْعَهُ أَوْ لَمْ يُوَافِقْهُ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَأْمُرَهُ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِنْ أَمَرَهُ بِهَا فَلَا تَجُوزُ طَاعَتُهُ ، وَلَكِنْ لَا يَجُوزُ لَهُ مُحَارَبَةُ الْإِمَامِ
“Dalam hadits ini terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya. Al-Muthahhar berkata : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa tersebut” [Tuhfatul-Ahwadziy, 5/298].
[7]   Al-Khallaal rahimahullah berkata:
وَأَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ عِيسَى، قَالَ: سَمِعْتُ حَنْبَلا، يَقُولُ فِي وِلايَةِ الْوَاثِقِ: "اجتمع فقهاء بغداد إلى أبي عبد الله، أبو بكر بن عبيد، وإبراهيم بن علي المطبخي، وفضل بن عاصم، فجاءوا إلى أبي عبد الله، فاستأذنت لهم، فقالوا يا أبا عبد الله، هذا الأمر قد تفاقم وفشا، يعنون إظهاره لخلق القرآن وغير ذلك، فقال لهم أبو عبد الله: فَمَا تُرِيدُونَ؟ قَالُوا: أَنْ نُشَاوِرَكَ فِي أَنَّا لَسْنَا نَرْضَى بِإِمْرَتِهِ، وَلا سُلْطَانِهِ، فَنَاظَرَهُمْ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ سَاعَةً، وَقَالَ لَهُمْ: عَلَيْكُمْ بِالنَّكِرَةِ بِقُلُوبِكُمْ، وَلا تَخْلَعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَلا تَشُقُّوا عَصَا الْمُسْلِمِينَ، وَلا تَسْفِكُوا دِمَاءَكُمْ وَدِمَاءَ الْمُسْلِمِينَ مَعَكُمُ، انْظُرُوا فِي عَاقِبَةِ أَمْرِكُمْ، وَاصْبِرُوا حَتَّى يَسْتَرِيحَ بَرٌّ، أَوْ يُسْتَرَاحَ مِنْ فَاجِرٍ، وَدَارَ فِي ذَلِكَ كَلامٌ كَثِيرٌ لَمْ أَحْفَظْهُ وَمَضَوْا، وَدَخَلْتُ أَنَا وَأَبِي عَلَى أَبِي عَبْدِ اللَّهِ بَعْدَمَا مَضَوْا، فَقَالَ أَبِي لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: نَسْأَلُ اللَّهَ السَّلامَةَ لَنَا وَلأُمَّةِ مُحَمَّدٍ، وَمَا أُحِبُّ لأَحَدٍ أَنْ يَفْعَلَ هَذَا، وَقَالَ أَبِي: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، هَذَا عِنْدَكَ صَوَابٌ، قَالَ: لا، هَذَا خِلافُ الآثَارِ الَّتِي أُمِرْنَا فِيهَا بِالصَّبِرِ، ثُمَّ ذَكَرَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: إِنْ ضَرَبَكَ فَاصْبِرْ "، وَإِنْ. . .، وَإِنْ فَاصْبِرْ، فَأَمَرَ بِالصَّبِرِ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ: وَذَكَرَ كَلامًا لَمْ أَحْفَظُهْ
Dan telah mengkhabarkanku ‘Aliy bin ‘Iisaa, ia berkata : Aku mendengar Hanbal berkata saat pemerintahan Al-Waatsiq : Para fuqahaa Baghdaad berkumpul untuk menemui Abu ‘Abdillah, (diantaranya) : Abu Bakr bin ‘Ubaid, Ibraahim bin ‘Aliy Al-Mathbajiy, dan Fadhl bin ‘Aashim. Maka pergilah mereka menemui Abu ‘Abdillah, dan aku memintakan izin kepadanya (Abu ‘Abdillah) untuk mereka (agar dapat bertemu). Mereka berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, sesungguhnya perkara ini menjadi gawat dan menyebar” – maksudnya fitnah Khalqul-Qur’an dan yang lainnya - . Abu ‘Abdillah berkata kepada mereka : “Lantas apa yang engkau inginkan ?”. Mereka berkata : “Kami hendak bermusyawarah denganmu bahwa kami tidak ridla dengan pemerintahan dan kekuasaannya”. Maka Abu ‘Abdillah mendebat mereka sesaat, lalu berkata kepada mereka : “Wajib bagi kalian untuk mengingkarinya dengan hati kalian, namun jangan menarik ketaatan, jangan memecah-belah persatuan kaum muslimin, serta jangan menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin bersama kalian. Perhatikanlah nanti akibat dari urusan kalian. Bersabarlah hingga orang yang baik dapat beristirahat atau diistirahatkan dari orang yang jahat (faajir)”. Maka berlangsunglah diskusi yang banyak/panjang dalam masalah itu yang tidak aku (Hanbal) hapal, dan kemudian mereka pergi. Aku (Hanbal) dan ayahku menemui Abu ‘Abdillah setelah mereka pergi. Ayahku berkata kepada Abu ‘Abdillah : “Kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi umat Muhammad , dan aku tidak suka seorangpun melakukan ini”. Ayahku melanjutkan : “Wahai Abu ‘Abdillah, apakah ini menurutmu benar ?”. Ia (Abu ‘Abdillah) berkata : “Tidak. Perbuatan ini menyelisihi atsar-atsar yang kita diperintahkan untuk bersabar”. Kemudian Abu ‘Abdillah menyebutkan hadits, ia berkata : “Telah bersabda Nabi : ‘Seandainya ia (pemimpin) memukulmu, maka bersabarlah, apabila….. apabila… maka bersabarlah’. Nabi memerintahkan untuk bersabar. ‘Abdullah bin Mas’uud berkata : - lalu Abu ‘Abdillah menyebutkan satu perkataan yang tidak aku hapal – “ [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah 1/133-134 no. 90].
‘Aliy bin ‘Iisaa mempunyai mutaba’ah dari ‘Utsmaan bin Ahmad, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Qaadliy Ibnu Abi Ya’laa dalam Thabaqaatul-Hanaabilah 1/387.
Hadits yang dimaksudkan oleh Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal rahimahullah di atas adalah:
قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ: "قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: كَيْفَ؟، قَالَ: يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Telah berkata Hudzaifah bin Al-Yamaan : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejelekan, lalu Allah mendatangkan kebaikan, lalu kami berada di dalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Bagaimana itu ?”. Beliau bersabda : “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [Shahih Muslim no. 1847 (52)].
Adapun perkataan Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu yang dinukil beliau kemungkinan adalah riwayat-riwayat yang memerintahkan untuk sabar, mendengar, dan taat sebagaimana disebutkan dalam artikel ini dari Ahmad bin Hanbal rahimahumallah.
NB : Ahmad bin Hanbal rahimahullah berhujjah dengan riwayat Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu.
[8]   Masaailu Ahmad li-Abi Daawud As-Sijistaaniy no. 1950.
[9]   Riwayatnya:
وَأَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: حَدَّثَنَا صَالِحٌ، أَنَّ أَبَاهُ، قَالَ: "التَّغْيِيرُ بِالْيَدِ لَيْسَ بِالسَّيْفِ وَالسِّلاحِ "
Dan telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin ‘Aliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Shaalih, bahwasannya ayahnya (Ahmad bin Hanbal) berkata : “Mengubah (kemunkaran) dengan tangan tidak menggunakan pedang dan senjata” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyu ‘anil-Munkar hal. 33].

Bertaubat kepada Allah ta’ala

$
0
0

Khusus untuk kalimat yang saya garis merah, Al-Muzanniy rahimahullah (w. 264 H) berkata:
"Dan hendaknya bertaubat kepada Allah 'azza wa jalla agar supaya pemimpin berkasih-sayang kepada rakyatnya"
[Syarhus-Sunnahlil-Muzanniy, hal. 85, tahqiiq : Jamaal ‘Azzuun].
Beliau rahimahullah saat menjelaskan rambu-rambu manhaj Ahlis-Sunnah wal-Jama'ah menekankan agar rakyat segera dan selalu bertaubat atas segala kesalahan mereka. Hal itu tidak lain karena kedhaliman para pemimpin disebabkan karena kedhaliman dan dosa yang mereka lakukan. Nabi dalam sebuah penggalan hadits bersabda:
وَلمَ ْيَنْقُصُوْا اْلمِكْيَالَ وَاْلمِيْزَانَ إِلَّا أَخَذُوْا بِالسِّنِيْنَ وَشِدَّةِ اْلمَئُوْنَةِ وَجُوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
"Dan tidaklah mereka mereka mengurangi takaran dan timbangan, kecuali akan ditimpakan kepada mereka paceklik dan, kesusahan hidup, dan kedhaliman para penguasa atas mereka" [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4019].
Ibnu Abil-'Izz Al-Hanafiy rahimahulah mengatakan:
فإذا أراد الرعية أن يتخلصوا من ظلم الأمير الظالم ، فليتركوا الظلم
Maka, apabila rakyat ingin mengakhiri/melepaskan diri dari kedhaliman pemimpin yang dhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman (yang mereka perbuat)” [Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah hal 370].
Apakah kedhaliman yang kita lakukan sedikit ? Mari kita hitung mulai bangun pagi hingga saat ini, kemarin hingga hari ini, tahun lalu hingga tahun ini.
Allah ta'ala berfirman:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ
"Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat" [QS. Huud : 3].
Ketika kita bertaubat dan meminimalkan kedhaliman yang kita lakukan, semoga dengannya Allah ta'ala memberikan taufik kepada para pemimpin kita meninggalkan kedhaliman mereka dan mengasihi rakyatnya....
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’ – sore yang hujan, 21032017].

Tabdiil (Mengganti) Syari’at yang Mengkafirkan Pelakunya

$
0
0
Allah ta’ala berfirman:
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al-Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui” [QS. Aali ‘Imraan : 78].

Ibnu Katsiir rahimahullah saat menjelaskan ayat di atas berkata:
يخبر تعالى عن اليهود، عَليهم لعائن الله، أن منهم فريقا يُحَرِّفون الكلم عن مواضعه ويُبَدِّلون كلام الله، ويزيلونه عن المراد به، ليُوهِموا الجهلة أنه في كتاب الله كذلك، وينسبونه إلى الله، وهو كذب على الله، وهم يعلمون من أنفسهم أنهم قد كذبوا وافتروا في ذلك كله؛ ولهذا قال: { وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ }
“Allah ta’ala mengkhabarkan tentang Yahudi – semoga Allah melaknat mereka – bahwasannya ada segolongan dari mereka yang mengubah-ubah perkataan (Allah) dari tempatnya dan mengganti (tabdiil) Kalaamullah, serta menyelewengkan dari maksudnya. Tujuannya adalah untuk mengelabuhi orang-orang bodoh sehingga mereka menyangka itu dari Kitabullah dan menisbatkannya kepada Allah. Ini adalah dusta atas nama Allah. Mereka (orang-orang Yahudi) melakukannya dengan keadaan mengetahui bahwa diri mereka berdusta dan mengada-adakan hal itu semuanya. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman : ‘Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui’” [Tafsiir Ibni Katsiir, 2/65].
Ayat ini seperti juga dalam firman Allah ta’ala:
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu” [QS. Al-Baqarah : 79].
Qataadah rahimahullah berkata:
كَانَ نَاسٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَتَبُوا كُتُبًا لِيَتَآكَلُوا بِهَا النَّاسَ، ثُمَّ قَالُوا: هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ، وَمَا هِيَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
“Dulu ada orang dari kalangan Bani Israaiil pernah menulis sebuah buku agar mereka mendapatkan makan dari manusia, lalu mereka berkata : ‘Ini berasal dari sisi Allah’ – padahal itu bukan dari sisi Allah (sedikitpun)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Tafsiir-nya no. 80 dan Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 2/271].
Begitu juga dengan As-Suddiy rahimahullah yang menjelaskan hal serupa:
كَانَ نَاسٌ مِنَ الْيَهُودِ كَتَبُوا كِتَابًا مِنْ عِنْدِهِمْ يَبِيعُونَهُ مِنَ الْعَرَبِ، وَيُحَدِّثُونَهُمْ أَنَّهُ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَأْخُذُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا
“Dulu ada orang dari kalangan Yahudi yang menulis sebuah buku dari mereka sendiri, lalu menjualnya kepada orang Arab, lalu mengatakan kepada mereka (orang Arab) bahwa itu berasal dari Allah. Mereka melakukannya hanya sekedar untuk memperoleh keuntungan yang sedikit” []Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 2/270].
Berikut riwayat tabdiil yang dilakukan oleh orang Yahudi yang dimaksud:
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: "مُرَّ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ بِيَهُودِيٍّ مُحَمَّمًا مَجْلُودًا، فَدَعَاهُمْ ﷺ فَقَالَ: هَكَذَا تَجِدُونَ حَدَّ الزَّانِي فِي كِتَابِكُمْ؟، قَالُوا: نَعَمْ، فَدَعَا رَجُلًا مِنْ عُلَمَائِهِمْ، فَقَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى مُوسَى أَهَكَذَا تَجِدُونَ حَدَّ الزَّانِي فِي كِتَابِكُمْ؟، قَالَ: لَا وَلَوْلَا أَنَّكَ نَشَدْتَنِي بِهَذَا لَمْ أُخْبِرْكَ، نَجِدُهُ الرَّجْمَ وَلَكِنَّهُ كَثُرَ فِي أَشْرَافِنَا، فَكُنَّا إِذَا أَخَذْنَا الشَّرِيفَ تَرَكْنَاهُ وَإِذَا أَخَذْنَا الضَّعِيفَ أَقَمْنَا عَلَيْهِ الْحَدَّ، قُلْنَا: تَعَالَوْا فَلْنَجْتَمِعْ عَلَى شَيْءٍ نُقِيمُهُ عَلَى الشَّرِيفِ وَالْوَضِيعِ، فَجَعَلْنَا التَّحْمِيمَ وَالْجَلْدَ مَكَانَ الرَّجْمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَوَّلُ مَنْ أَحْيَا أَمْرَكَ إِذْ أَمَاتُوهُ فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ "فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَأَيُّهَا الرَّسُولُ لا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ إِلَى قَوْلِهِ إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ يَقُولُ ائْتُوا مُحَمَّدًا ﷺ فَإِنْ أَمَرَكُمْ بِالتَّحْمِيمِ وَالْجَلْدِ فَخُذُوهُ، وَإِنْ أَفْتَاكُمْ بِالرَّجْمِ فَاحْذَرُوا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ، وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ، وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ فِي الْكُفَّارِ كُلُّهَا
Dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib, ia berkata : Rasulullah melewati seorang Yahudi yang dipoles hitam wajahnya dan didera, maka beliau memanggil mereka, lalu bersabda : “Apakah kalian mendapatkan hukuman zina seperti ini dalam kitab kalian?”. Mereka menjawab: “Ya”. Maka Rasulullah memanggil salah seorang ulama mereka, beliau bersabda : “Aku ingatkan kamu dengan Dzat yang telah menurunkan Taurat kepada Muusaa, apakah kalian mendapatkan hukuman zina dalam kitab kalian seperti ini?”. Maka ia berkata: “Demi Allah tidak, seandainya engkau tidak mengingatkan aku dengan Allah tentu aku tidak akan memberitahukan engkau terhadapnya. Kami mendapatkan hukuman zina dalam kitab kami adalah rajam, akan tetapi banyak terjadi perzinahan di kalangan bangsawan kami, sehingga apabila kami mendapatkan orang bangsawan berzina, maka kami tinggalkan (tidak diberi hukuman). Apabila yang berzina adalah orang lemah, maka kami terapkan hukuman itu, hingga akhirnya kami semua berkata : ‘Marilah kita bersepakat untuk menjadikan hukuman yang diterapkan kepada orang bangsawan dan orang biasa’. Maka kami sepakat terhadap hukuman memoles wajah hitam dan dera”. Maka Rasulullah bersabda : “Ya Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling pertama kali menghidupkan perintah-Mu ini saat mereka mematikannya”. Maka beliau memerintahkan untuk merajam orang itu, kemudian Allah menurunkan : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.” (QS: Al Maaidah : 44-47). Maka Al-Baraa’ berkata : “Ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir seluruhnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1700].
Mereka sengaja mengganti hukum Allah dengan hukum selainnya dan menisbatkannya kepada Allah ta’ala. Inilah jenis tabdiilyang disepakati para ulamaa (ijmaa’) akan kekafirannya.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
والإنسان متى حلّل الحرام المجمع عليه ، أو حرم الحلال المجمع عليه ، أو بدَّل الشرع المجمع عليه : كان كافراً مرتدّاً باتفاق الفقهاء ، وفي مثل هذا نزل قوله تعالى – على أحد القولين (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ) [ المائدة 44 ] ، أي : هو المستحل للحكم بغير ما أنزل الله
“Dan seseorang ketika menghalalkan yang haram yang telah disepakati keharamannya, atau mengharamkan yang halal yang telah disepakati kehalalannya, atau mengganti syari’at yang telah disepakati : maka ia kafir lagi murtad dengan kesepakatan fuqahaa’. Dan yang semisal dengan ini adalah tentang firman Allah ta’ala – menurut salah satu dari dua pendapat - : ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44), yaitu orang yang menghalalkan untuk berhukum dengan selain yang diturunkan Allah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/267].
Diperjelas lagi oleh beliau rahimahullah maksud tabdiil yang mengkafirkan tersebut:
الشرعُ المبدَّلُ : وهو الكذبُ على الله ورسوله ، أو على الناس بشهادات الزور ونحوها والظلم البيِّن ، فمن قال : (إن هذا مِن شرع الله) فقد كفر بلا نزاع
“Syari’at yang diganti (asy-syar’ul-mubaddal)[1]: ia merupakan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, atau terhadap manusia dengan persaksian-persaksian palsu dan yang semisalnya, dan merupakan kedhaliman yang nyata. Barangsiapa yang berkata : ‘Sesungguhnya ini termasuk syari’at Allah’, sungguh ia telah kafir tanpa ada perselisihan[2]” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/268].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – 23032017 – malam yang sunyi setelah rehat dari pekerjaan].



[1]     Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما إن أضاف أحد إلى الشريعة ما ليس منها من أحاديث مفتراه أو تأول النصوص بخلاف مراد الله ونحو ذلك فهذا من نوع التبديل
“Adapun apabila seseorang menyandarkan kepada syari’at sesuatu yang bukan berasal darinya semisal hadits-hadits palsu, atau ta’wil nash-nash yang berlainan dengan yang dimaksudkan Allah, dan yang semisalnya; maka ini merupakan jenis dari tabdiil” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/265].
وأما الشرع المبدل فهو الأحاديث المكذوبة والتفاسير المقلوبة والبدع المضلة التى أدخلت فى الشرع وليست منه والحكم بغير ما انزل الله فهذا ونحوه لا يحل لأحد اتباعه
“Adapun syari’at yang diganti (asy-syar’ul-mubaddal), yaitu hadits-hadits dusta, tafsir-tafsir kacau, bid’ah-bid’ah menyesatkan yang masuk ke dalam syari’at padahal bukan termasuk darinya, hukum selain yang diturunkan Allah, dan yang sejenisnya; maka tidak dihalalkan bagi seorang pun untuk mengikutinya” [idem, 11/507].
Macam-macam tabdiil ini tidak semua mengkafirkan pelakunya, karena ada perinciannya. Seperti misal bid’ah dan pelaku bid’ah yang membuat-buat syari’at dengan persangkaan mereka itu semua asalnya dari syari’at (padahal bukan).
[2]     Perkataan beliau ini sama dengan perkataan Ibnul-‘Arabiy Al-Maalikiy rahimahumallah:
وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين
"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [Ahkaamul-Qur’an, 2/624].
Viewing all 594 articles
Browse latest View live