Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Diantara Bid’ah dalam Shalat Tarawih, Kata An-Nawawiy

$
0
0
Jika kita perhatikan sikap dan pemahaman orang-orang awam, hampir-hampir tidak ada perkara baru dalam ibadah yang mereka hukumi dengan bid’ah sayyi-ah (bid’ah yang jelek). Hampir semua dikatakan bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Apalagi jika di dalamnya terdapat muatan-muatan bacaan Al-Qur’an, doa, dan yang semisalnya yang secara umum mengandung kebaikan.
An-Nawawiy rahimahullah– ulama besar madzhab Syaafi’iyyah – tidaklah seperti cara pandang mereka. Tidak semua perkara baru dalam ibadah harus dikatakan hasanah. Salah satunya adalah permasalahan yang tertera dalam fatwa beliau berikut:

Pertanyaan :
“Apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengimami manusia dalam shalat tarawih berupa membaca surat Al-An’aam dalam raka’at terakhir shalat tarawih pada malam ketujuh atau selain malam ketujuh bulan Ramadlaan; apakah perbuatan itu termasuk sunnah ataukah bid’ah ?
Ada yang berkata, surat tersebut turun sekaligus. Apakah statement ini ada dalam Ash-Shahiih ataukah tidak ? Dan apakah padanya terdapat dalil terhadap apa yang mereka lakukan itu ?. Seandainya statusnya bid’ah, apa sebab kemakruhannya ?”.
Jawab :
“Perbuatan itu bukanlah sunnah, akan tetapi bid’ah makruuhah (bid’ah yang dibenci). Kebenciannya disebabkan beberapa hal, diantaranya akan memberikan kesan perbuatan itu merupakan sunnah (padahal bukan sunnah), memperpanjang raka’at kedua daripada raka’at pertama – karena yang sunnah adalah memperpanjang raka’at pertama - , dan memperpanjang (durasi shalat) untuk para makmum – karena yang sunnah adalah meringankannya. Diantara sebab kebenciannya juga adalah tergesa-gesa dalam membacanya (karena panjangnya surat yang dibaca), berlebih-lebihan dalam memperingan raka’at-raka’at sebelumnya, dan yang lainnya. Tidak shahih riwayat turunnya surat Al-An’am dalam turun sekaligus, dan tidak ada pendalilan padanya seandainya shahih untuk perbuatan tersebut. Maka seharusnya bagi semua orang yang melakukan shalat (tarawih) menjauhi perbuatan ini, dan seharusnya menyebarkan pengingkarannya. Sungguh telah ada dalam hadits-hadits shahih tentang larangan membuat perkara-perkara yang baru (dalam agama), dan setiap bid’ah adalah kesesatan. Tidak ternukil dari seorangpun dari kalangan salaf akan perbuatan tersebut, dan sungguh jauh mereka (salaf) darinya. Wallaahu a’lam.
[Fataawaa Al-Imaam An-Nawawiy oleh ‘Alaauddiin bin Al-‘Aththaar, hal. 25-26]
Silakan cermati dan renungkan jawaban beliau rahimahullah, semoga ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 27 Sya'ban 1436 - 15062015 – 23:38].

Maksud 50 Ayat

$
0
0
Pertanyaan : Apa maksud jarak pembacaan 50 ayat terkait permasalahan selesainya sahur ?. Apakah ia jarak antara selesai makan sahur dengan adzan ataukah bagaimana ?. Dapatkan ia dijadikan dalil sebagai pensyari’atan waktu imsak ?.
Jawab :Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasuulillah wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalaah, wa ba’d:
Hadits yang dimaksudkanadalah sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : ”Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berdiri untuk shalat. Maka aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur?”. Ia (Zaid) menjawab : “Kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1921 dan Muslim no. 1097].
Bacaan 50 ayat tersebut adalah bacaan yang pertengahan, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.
Dalam riwayat lain:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ تَسَحَّرَا، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى، قُلْنَا لِأَنَسٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِي الصَّلَاةِ؟ قَالَ: قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً
Dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsaabit pernah makan sahur. Ketika mereka berdua selesai dari makan sahurnya, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk melakukan shalat Shubuh, lalu kemudian shalat. Kami (perawi) berkata kepada Anas : “Berapa jarak antara selesainya mereka berdua makan sahur dengan masuknya mereka berdua ke dalam shalat?” Anas radliyallaahu ‘anhumenjawab : “Kira-kira waktu seseorang membaca Al-Qur`an sebanyak lima puluh ayat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 576 & 1134].
Dalam riwayat lain:
عَنْ أَنَسٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجْنَا إِلَى الْمَسْجِدِ، فَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: "قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً "
Dari Anas, dari Zaid bin Tsaabit, ia berkata : “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kami keluar menuju masjid, kemudian dikumandangkanlah iqamat. Aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara keduanya?”. Ia (Zaid) menjawab : “Kira-kira waktu seseorang membaca Al-Qur`an sebanyak lima puluh ayat” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/182; shahih].
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan bacaan 50 ayat adalah waktu antara selesai makan sahur dengan dikumandangkannya iqamat, bukan dikumandangkannya adzan. Dalam hal ini, iqamat disebut juga dengan adzan, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثَلَاثًا لِمَنْ شَاءَ
Diantara dua adzan[1]ada shalat– beliau mengatakannya tiga kali – bagi siapa saja yang ingin melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 624].
Adapun waktu antara adzan dan iqamat sendiri secara umum adalah seukuran waktu mengumpulkan orang-orang datang untuk shalat berjama’ah[2] dan kemudian melakukan ibadah-ibadah sunnah ringan sebelum shalat wajib[3] seperti shalat sunnah (shalat tahiyyatul-masjid[4]dan/atau shalat sunnah rawatib) dan berdoa[5].
Oleh karena itu, dapat dipahami waktu selesai makan sahur dengan waktu adzan Shubuh adalah berturutan. Tidak ada jeda imsak untuk berhenti makan minum 10-20 menit sebelum adzan Shubuh dikumandangkan seperti kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Mereka katakan, setelah tiba waktu imsak, makruh hukumnya makan dan minum. Perkataan ini jelas tidak benar, karena waktu 10 menit sebelum fajar masih termasuk waktu-waktu utama untuk mengakhirkan makan sahur.
Dalam riwayat Anas di atas dapat diketahui bahwa ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan makan sahur dan beranjak pergi ke masjid, maka tidak lama kemudian shalat pun ditegakkan (dikumandangkan iqamah). Begitu juga kebiasaan sebagian salaf yang mengakhirkan makan sahur. Bahkan kadang ketika telah selesai makan sahur dan tiba di masjid, adzan atau iqamat telah dikumandangkan.
عَنْ أَبِيْ الطُّفَيْلِ أَنَّهُ تَسَحَّرَ فِي أَهْلِهِ فِي الْجَبَّانَةِ، ثُمَّ جَاءَ إلَى حُذَيْفَةَ وَهُوَ فِي دَارِ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ، فَوَجَدَهُ: فَحَلَبَ لَهُ نَاقَةً فَنَاوَلَهُ، فقَالَ: إنِّي أُرِيدُ الصَّوْمَ، فقَالَ: وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ فَشَرِبَ حُذَيْفَةُ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَدَفَعَ إلَى الْمَسْجِدِ حِينَ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ
Dari Abuth-Thufail : Bahwasannya ia pernah sahur bersama keluarganya di Al-Jabbaanah. Kemudian ia mendatangi Hudzaifah yang waktu itu berada di rumah Al-Haarits bin Rabii’ah. Ia pun mendapatinya, lalu diperaskan untuknya susu onta betina, dan diberikan kepadanya. Abuth-Thufail berkata : “Sesungguhnya aku berniat akan berpuasa”. Hudzaifah berkata : “Aku pun berniat akan berpuasa”. Kemudian Hudzaifah meminumnya dan ia (Abuth-Thufail) mengambilnya dengan tangannya (ikut minum). Lalu mereka pun berjalan menuju masjid ketika shalat telah ditegakkan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/10 no. 9028; sanadnya hasan].
عَنْ عَامِرِ بْنِ مَطَرٍ، قَالَ: أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ فِي دَارِهِ فَأَخْرَجَ لَنَا فَضْلَ سُحُورِهِ فَتَسَحَّرْنَا مَعَهُ فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَخَرَجْنَا فَصَلَّيْنَا مَعَهُ
Dari ‘Aamir bin Mathar, ia berkata : “Aku mendatangi ‘Abdullah (bin Mas’uud) di rumahnya, lalu ia menyuguhi kami kelebihan makan sahurnya, lalu kami pun sahur bersamanya. Setelah itu shalat diiqamati, maka kami pun keluar dan shalat bersamanya” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, 3/10 no. 9024; sanadnya hasan].
Ini menunjukkan salaf tidak mengenal waktu ‘imsak’ ala Indonesia.
Kesimpulannya, maksud kadar waktu pembacaan 50 ayat adalah kadar antara selesainya makan sahur dengan iqamat; dan tidak ada dalil dalam hadits ini pensyari’atan waktu imsak seperti dipraktekkan masyarakat umum.
Wallaahu a’lam, semoga dapat menjawab apa yang ditanyakan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 2 Ramadlan 1436/18062015 – 23:33].
Silakan baca artikel terkait:




[1]     Maksudnya, antara adzan dan iqamat.
[2]     An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فاتفق اصحابنا علي استحباب هذه القعدة قدر ما تجتمع الجماعة الا في صلاة المغرب فانه لا يؤخرها لضيق وقتها
“Para shahabat kami (dari kalangan ulama Syaafi’iyyah) telah sepakat tentang disunnahkannya mengadakan jarak waktu (antara adzan dan iqamat) ini seukuran masa bagi berkumpulnya orang-orang yang hendak berjama’ah shalat. Kecuali untuk shalat maghrib, maka tidak boleh menundanya (sampai orang-orang berkumpul semua) karena waktunya yang sempit” [Al-Majmuu’, 3/121].
[3]     Mughnil-Muhtaaj, 1/138.
[4]     Berdasarkan riwayat:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ السَّلَمِيِّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ "
Dari Abu Qataadah As-Sulamiy, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaklah ia shalat dua raka’at sebelum ia duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 444 & 1167 dan Muslim no. 714].
[5]     Berdasarkan riwayat:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الدُّعَاءَ لَا يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ، فَادْعُوا
Dari Anas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya doa yang diucapkan antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak, maka berdoalah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/155 & 254; shahih].

Riwayat Perselisihan Shahabat tentang Kubur Nabi

$
0
0
Dikatakan, salah satu dalil diperbolehkannya shalat di masjid yang ada kuburannya adalah dulu pernah ada perselisihan bahwa sebagian shahabat ada yang mengusulkan agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan dekat mimbar di dalam Masjid Nabawi dan sebagian shahabat lain tidak ada yang mengingkarinya. Artinya, ada ijmaa’sukuti di situ. Apa itu riwayatnya ? Berikut akan dibawakan pembahasannya secara ringkas:
حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِك، أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ الْاثْنَيْنِ، وَدُفِنَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ، وَصَلَّى النَّاسُ عَلَيْهِ أَفْذَاذًا لَا يَؤُمُّهُمْ أَحَدٌ، فَقَالَ نَاسٌ: يُدْفَنُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ، وَقَالَ آخَرُونَ: يُدْفَنُ بِالْبَقِيعِ، فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، فَقَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا دُفِنَ نَبِيٌّ قَطُّ إِلَّا فِي مَكَانِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَحُفِرَ لَهُ فِيهِ.....
Telah menceritakan kepadaku Yahyaa, dari Maalik, bahwasannya telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat pada hari Senin, dikuburkan pada hari Selasa, dan orang-orang menyalatkan beliau sendiri-sendiri, tidak diimami oleh satu orang. Orang-orang berkata : “Kuburkan (nabi) di mimbar (masjid Nabawi)”. Yang lain berkata: “Kuburkan di pemakaman Baqi’”. Kemudian Abu Bakr datang dan berkata : “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak ada nabi yang meninggal dunia kecuali ia dikuburkan di tempat dimana ia wafat”. Kemudian di gali lah di dalam kamar Nabi tersebut…. [Al-Muwaththa’ 2/203 no. 597].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa’d[1] dalam Ath-Thabaqaat 2/395 dari jalan Maalik. Sanad riwayat ini lemah karena mu’dlal.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Maajah[2] no. 1628 dan Abu Ya’laa[3] no. 22; semuanya dari jalan Muhammad bin Ishaaq : Telah menceritakan kepadaku Husain bin ‘Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas,…… dari Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa.
Sanadnya lemah karena Husain bin ‘Abdillah seorang yang lemah.
Husain bin ‘Abdillah mempunyai mutaba’ah dari Ibnu Sa’d[4]dalam Ath-Thabaqaat 2/395.
Sanadnya sangat lemah karena faktor Al-Waaqidiy, seorang yang matruuk; dan Ibraahiim bin Ismaa’iil bin Abi Habiibah, seorang yang dla’iif.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa’d[5] dalam Ath-Thabaqaat 2/395 : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Anshaariy : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan dan Yahyaa bin ‘Abdirrahmaan bin Haathib, ia berkata : Abu Bakr berkata : ………
Sanadnya dla’iif karena mursal.
Maka dapat kita lihat riwayat yang menyebutkan usul sebagian shahabat untuk menguburkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam  di mimbar atau masjid Nabawi tidak lepas dari kelemahan.
Seandainya shahih, maka tetap saja di dalamnya tidak ada dalil diperbolehkannya menguburkan seseorang di dalam masjid dengan alasan:
1.     Usul sebagian shahabat agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan di mimbar atau di dalam masjid kemungkinan karena ketidaktahuannya akan nash larangannya.
2.     Usul sebagian shahabat tersebut bertentangan dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menjadikan kubur beliau sebagai masjid:
عَنْ عَائِشَةَ، وَعَبْد اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ، قَالَا: لَمَّا نَزَلَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَفِقَ يَطْرَحُ خَمِيصَةً لَهُ عَلَى وَجْهِهِ، فَإِذَا اغْتَمَّ بِهَا كَشَفَهَا عَنْ وَجْهِهِ، فَقَالَ: "وَهُوَ كَذَلِكَ، لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا
Dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas, mereka berdua berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kesehatannya menurun pada saat-saat akhir hidupnya, beliau menutupkan kain khamishah-nya (selimut wolnya) pada wajahnya, namun beliau melepas kain tersebut dari wajahnya ketika napasnya semakin terganggu seraya bersabda : “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashara yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid”. Aisyah berkata : “Beliau memperingatkan agar tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 435 & 436 dan Muslim no. 531].
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي لَمْ يَقُمْ مِنْهُ: "لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ "، قَالَتْ: فَلَوْلَا ذَاكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ، غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sakit dan dalam keadaan berbaring : “Allah telah melaknat Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”. Aku ‘Aaisyah berkata : “Kalau bukan karena takut (laknat) itu, niscaya kuburan beliau ditempatkan di tempat terbuka. Hanya saja beliau takut kuburannya itu akan dijadikan sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 529].
‘Illat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak dikuburkan di Baqii’ adalah karena khawatir kubur beliau akan dijadikan masjid oleh kaum muslimin sehingga mereka tertimpa laknat Allah sebagaimana laknat telah menimpa orang Yahudi dan Nashrani. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dan melarang kaum muslimin agar tidak meniru jalan mereka. Lantas, bagaimana bisa seseorang berpikir mengambil perkataan salah seorang shahabat – apabila shahih perkataan ini – tentang kebolehan menguburkan beliau di dalam masjid ?.
Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhuberkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamtelah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 970].
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Apakah menurut kita – orang yang berakal – Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang membangun bangunan di atas kubur, namun malah memperbolehkan membangun masjid di atasnya atau meletakkan kubur beliau di dalam masjid yang secara fisik jelas lebih megah daripada sekedar mengapur dan menyemen kubur ?.
3.     Riwayat-riwayat yang menyebutkan adanya sebagian shahabat yang mengusulkan agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan di mimbar atau di dalam masjid, hanyalah menyebutkan macam perselisihan yang ada di waktu tersebut. Tidak ada qarinah sama sekali bahwa para shahabat tidak mengingkari usul tersebut.
Begitu juga Abu Bakr yang datang setelah adanya perselisihan tersebut dan kemudian mengatakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan di tempat beliau wafat; mengindikasikan adanya kemungkinan bahwa ia tidak mengetahui usul penguburan di masjid tersebut. Seandainya mengetahui, niscaya akan ia ingkari. Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Tahdziirus-Saajid menyebutkan riwayat:
عن أمهات المؤمنين أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا : كيف نبني قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ أنجعله مسجدا ؟ فقال أبو بكر الصديق : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
Dari Ummahatul-Mukminiin : Bahwasannya para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya : “Bagaimana kami harus membangun kubur Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, apakah kami boleh menjadikannya sebagai masjid ?”. Maka Abu Bakar menjawab : “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid” [HR. Ibnu Zanjawaih dalam kitab Fadlaailush-Shiddiiqsebagaimana disebutkan dalam Al-Jamii’ul-Kabiir 3/147/1].
4.     Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:
واتخاذ القبر مسجداُ معناه الصلاة عليه ، أو إليه
“Menjadikan kubur sebagai masjid berarti shalat di atasnya atau dengan menghadap ke arahnya” [Az-Zawaajir, 1/121].
Maksudnya, larangan menjadikan kubur sebagai masjid itu mencakup larangan untuk shalat di atasnya atau shalat menghadap ke arahnya.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].
Jika membangun masjid di atas kubur (atau sebaliknya : meletakkan kubur di dalam masjid) tidak diperbolehkan, lantas bagaimana dapat dipahami shalat di dalam masjid yang ada kuburnya diperbolehkan seperti kata ‘mereka’ ?.
Al-Munawi rahimahullah berkata :
أي اتخذوها جهة قبلتهم ، مع اعتقادهم الباطل ، وإن اتخاذها مساجد ، لازم لاتخاذ المساجد عليها كعكسه ، وهذا بين به سبب لعنهم لما فيه من المغالاة في التعظيم . قال القاضي ( يعني البيضاوي ) : لما كانت اليهود يسجدون لقبور أنبيائهم تعظيماً لشأنهم ، ويجعلونها قبلة ، ويتوجهون في الصلاة نحوها ، فاتخذوها أوثاناً لعنهم الله ، ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه
“Artinya,.. mereka menjadikan kubur para nabi itu sebagai arah kiblat mereka akibat keyakinan mereka yang salah. Dan menjadikan kubur itu sebagai masjid menuntut konsekuensi pembangunan masjid di atasnya, dan juga sebaliknya. Hal demikian itu menjelaskan sebab dilaknatnya mereka, yaitu karena tindakan tersebut mengandung sikap berlebihan dalam pengagungan. Al-Qadli (yaitu Al-Baidlaawiy) mengatakan : ‘Orang-orang Yahudi bersujud kepada kubur para Nabi sebagai pengagungan terhadap mereka dan menjadikannya sebagai kiblat. Mereka juga menghadap ke kubur itu dalam mengerjakan shalat dan ibadah lainnya. Sehingga dengan demikian, mereka telah menjadikannya sebagai berhala yang dilaknat oleh Allah. Dan Allah telah melarang kaum muslimin melakukan hal tersebut” [Faidlul-Qadiir Syarh Al-Jamii’ Ash-Shaghiir– melalui perantara Tahdziirus-Saajid hal. 35].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
قيل معناه النهي عن السجود على قبور الأنبياء وقيل النهي عن اتخاذها قبلة يصلى إليها
“Dikatakan maknanya adalah larangan terhadap sujud di atas kubur para Nabi. Dan juga dikatakan bahwa maknanya adalah larangan untuk menjadikannya sebagai kiblat dimana ia shalat menghadapnya” [Tanwiirul-Hawaalik Syarh Muwaththa’ Malik no. 414, 1/143].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ، وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا "
Dari Abu Martsad Al-Ghanawiy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian duduk di atas kubur dan jangan pula shalat menghadap ke arahnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 972, Abu Daawud no. 3229, Ahmad 4/135, An-Nasaa’iy no. 761, At-Tirmidzi no. 1050; dan yang lainnya].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 04 Ramadlaan 1436 – 21062015 – 16:13].




[1]     Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا تُوُفِّيَ، قَالَ نَاسٌ: يُدْفَنُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ، وَقَالَ آخَرُونَ: يُدْفَنُ بِالْبَقِيعِ، فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا دُفِنَ نَبِيٌّ إِلا فِي مَكَانِهِ الَّذِي قَبَضَ اللَّهُ فِيهِ نَفْسَهُ "، قَالَ: فَأُخِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَكَانِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَحُفِرَ لَهُ فِيهِ
[2]     Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ، أَنْبَأَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ  مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاق، حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَمَّا أَرَادُوا أَنْ يَحْفِرُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثُوا إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ وَكَانَ يَضْرَحُ كَضَرِيحِ أَهْلِ مَكَّةَ، وَبَعَثُوا إِلَى أَبِي طَلْحَةَ وَكَانَ هُوَ الَّذِي يَحْفِرُ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَكَانَ يَلْحَدُ، فَبَعَثُوا إِلَيْهِمَا رَسُولَيْنِ، وَقَالُوا: اللَّهُمَّ خِرْ لِرَسُولِكَ، فَوَجَدُوا أَبَا طَلْحَةَ، فَجِيءَ بِهِ وَلَمْ يُوجَدْ أَبُو عُبَيْدَةَ فَلَحَدَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَلَمَّا فَرَغُوا مِنْ جِهَازِهِ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ وُضِعَ عَلَى سَرِيرِهِ فِي بَيْتِهِ، ثُمَّ دَخَلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَالًا يُصَلُّونَ عَلَيْهِ، حَتَّى إِذَا فَرَغُوا أَدْخَلُوا النِّسَاءَ، حَتَّى إِذَا فَرَغُوا أَدْخَلُوا الصِّبْيَانَ، وَلَمْ يَؤُمَّ النَّاسَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ، لَقَدِ اخْتَلَفَ الْمُسْلِمُونَ فِي الْمَكَانِ الَّذِي يُحْفَرُ لَهُ، فَقَالَ قَائِلُونَ: يُدْفَنُ فِي مَسْجِدِهِ، وَقَالَ قَائِلُونَ: يُدْفَنُ مَعَ أَصْحَابِهِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا قُبِضَ نَبِيٌّ إِلَّا دُفِنَ حَيْثُ يُقْبَضُ "
[3]     Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مِهْرَانَ السَّبَّاكُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى السَّامِيُّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، قَالَ: حَدَّثَنِيحُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَمَّا أَرَادُوا أَنْ يَحْفُرُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ يَضْرَحُ، يَحْفُرُ، لأَهْلِ مَكَّةَ، وَكَانَ أَبُو طَلْحَةَ زَيْدُ بْنُ سَهْلٍ هُوَ الَّذِي كَانَ يَحْفُرُ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ، وَكَانَ يَلْحَدُ، فَدَعَا الْعَبَّاسُ رَجُلَيْنِ، فَقَالَ لأَحَدِهِمَا: اذْهَبْ إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ، وَلِلآخَرِ: اذْهَبْ إِلَى أَبِي طَلْحَةَ، اللَّهُمَّ خِرْ لِرَسُولِكَ، فَوَجَدَ صَاحِبُ أَبِي طَلْحَةَ أَبَا طَلْحَةَ فَجَاءَ بِهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الثُّلاثَاءِ، وُضِعَ عَلَى سَرِيرِهِ، وَقَدْ كَانَ الْمُسْلِمُونَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ، فَقَالَ قَائِلٌ: نَدْفِنُهُ فِي مَسْجِدِهِ، وَقَالَ قَائِلٌ: بَلْ يُدْفَنُ مَعَ أَصْحَابِهِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا قُبِضَ نَبِيٌّ إِلا دُفِنَ حَيْثُ قُبِضَ
[4]     Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ، أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَبِيبَةَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَمَّا فُرِغَ مِنْ جِهَازِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الثُّلاثَاءِ وُضِعَ عَلَى سَرِيرٍ فِي بَيْتِهِ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ قَدِ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ، فَقَالَ قَائِلٌ: ادْفِنُوهُ فِي مَسْجِدِهِ، وَقَالَ قَائِلٌ: ادْفِنُوهُ مَعَ أَصْحَابِهِ بِالْبَقِيعِ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مَاتَ نَبِيٌّ إِلا دُفِنَ حَيْثُ يُقْبَضُ "، فَرُفِعَ فِرَاشُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي تُوُفِّيَ عَلَيْهِ ثُمَّ حُفِرَ لَهُ تَحْتَهُ
[5]     Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِيُّ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَيَحْيَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَاطِبٍ، قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ: "أَيْنَ يُدْفَنُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ: عِنْدَ الْمِنْبَرِ، وَقَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ: حَيْثُ كَانَ يُصَلِّي يَؤُمُّ النَّاسَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: بَلْ يُدْفَنُ حَيْثُ تَوَفَّى اللَّهُ نَفْسَهُ، فَأُخِّرَ الْفِرَاشُ ثُمَّ حُفِرَ لَهُ تَحْتَهُ "

‘Berpuasalah, Maka Engkau Akan Sehat’ – Lemah Sanadnya, Shahih Maknanya

$
0
0
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صُومُوا تَصِحُّوا
Berpuasalah, maka engkau akan sehat”.
Hadits ini lemah sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Silsilah Adl-Dla’iifah 1/420-421 no. 253. Meskipun demikian, maknanya shahih sebagaimana dijelaskan oleh Al-Munawiy rahimahullah:
(صوموا تصحوا ) فإن الصوم غذاء للقلب كما يغذي الطعام الجسم ، ففيه صحة للبدن والعقل ..... ابن السني وأبو نعيم في الطب ) النبوي ( عن عائشة ) وإسناده ضعيف
“Hadits : ‘berpuasalah, maka engkau akan sehat’; hal itu dikarenakan puasa merupakan santapan bagi hati sebagaimana makanan memberikan santapan bagi tubuh. Puasa dapat menyehatkan badan dan akal….. Diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dan Abu Nu’aim dalam Ath-Thibbun-Nabawiy dari ‘Aaisyah[1], dan sanadnya lemah” [At-Taisiir bi-Syarh Al-Jaami’ish-Shaghiir, 2/187].
Beberapa penelitian dari pakar kesehatan telah menyebutkan manfaat puasa bagi kesehatan badan, diantaranya:
1.     Keseimbangan anabolisme dan katabolisme
Berbeda dengan kelaparan atau starvasi dalam berbagai bentuk dapat mengganggu kesehatan tubuh. Namun sebaliknya, dalam puasa Ramadlan terjadi keseimbangan anabolisme dan katabolisme yang berakibat asam amino dan berbagai zat lainnya membantu peremajaan sel dan komponennya memproduksi glukosa darah dan mensuplai asam amino dalam darah sepanjang hari. Cadangan protein yang cukup dalam hati karena asupan nutrisi saat buka dan sahur akan tetap dapat menciptakan kondisi tubuh untuk terus memproduksi protein esensial lainnya seperti albumin, globulin dan fibrinogen. Hal ini tidak terjadi pada starvasi jangka panjang, karena terjadi penumpukan lemak dalam jumlah besar, sehingga beresiko terjadi sirosis hati. Sedangkan saat puasa di bulan Ramadlan, fungsi hati masih aktif dan baik.
2.     Tidak akan mengakibatkan pengasaman dalam darah.
Kemudian juga berbeda dengan starvasi, dalam puasa Islam penelitian menunjukkan asam amino teroksidasi dengan pelan dan zat keton tidak meningkat dalam darah sehingga tidak akan mengakibatkan pengasaman dalam darah.
3.     Penurunan glukosa dan berat badan
Studi kohort dilakukan pada 81 mahasiswa Universitas Teheran of Medical Sciences saat berpuasa. Dilakukan evaluasi berat badan, indeks massa tubuh (BMI), glukosa, trigliserida (TG), kolesterol, lipoprotein densitas rendah (LDL), high density lipoprotein (HDL), dan Very Low density lipoprotein (VLDL), sebelum dan sesudah Ramadlan. Studi ini menunjukkan bahwa puasa Ramadlan menyebabkan penurunan glukosa dan berat badan. Meskipun ada penurunan yang signifikan dalam frekuensi makan, peningkatan yang signifikan dalam LDL dan penurunan HDL tercatat pada bulan Ramadlan. Tampaknya efek puasa Ramadlan pada tingkat lipid dalam darah mungkin berkaitan erat dengan pola makan gizi atau respon kelaparan biokimia.
4.     Bermanfaat Bagi Jantung
Beberapa penelitian menyebutkan sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang mencolok saat berpuasa dibandingkan saat tidak berpuasa. Puasa Ramadlan tidak mempengaruhi secara drastis metabolisme lemak, karbohidrat dan protein. Meskipun terjadi peningkatan serum uria dan asam urat sering terjadi saat terjadi dehidrasi ringan saat puasa. Saat berpuasa ternyata terjadi peningkatan HDL dan apoprotein alfa1. Penurunan LDL sendiri ternyata sangat bermanfaat bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah. Beberapa penelitian "chronobiological" menunjukkan saat puasa Ramadlan berpengaruh terhadap ritme penurunan distribusi sirkadian dari suhu tubuh, hormon kortisol, melatonin dan glisemia. Berbagai perubahan yang meskipun ringan tersebut tampaknya juga berperan bagi peningkatan kesehatan manusia.
5.     Memperbaiki dan merestorasi fungsi dan kinerja sel
Saat puasa terjadi perubahan dan konversi yang masif dalam asam amino yang terakumulasi dari makanan, sebelum didistribusikan dalam tubuh terjadi format ulang. Sehingga, memberikan kesempatan tunas baru sel untuk memperbaiki dan merestorasi fungsi dan kinerjanya. Pola makan saat puasa dapat mensuplai asam lemak dan asam amino penting saat makan sahur dan berbuka. Sehingga terbentuk tunas-tunas protein , lemak, fosfat, kolesterol dan lainnya untuk membangun sel baru dan membersihkan sel lemak yang menggumpal di dalam hati. Jumlah sel yang mati dalam tubuh mencapai 125 juta perdetik, namun yang lahir dan meremaja lebih banyak lagi.
6.     Sangat efektif meningkatkan konsentrasi urin dalam ginjal serta meningkatkan kekuatan osmosis urin
Penghentian konsumsi air selama puasa sangat efektif meningkatkan konsentrasi urin dalam ginjal serta meningkatkan kekuatan osmosis urin hingga mencapai 1000 sampai 12.000 ml osmosis/kg air. Dalam keadaan tertentu hal ini akan memberi perlindungan terhadap fungsi ginjal. Kekurangan air dalam puasa ternyata dapat meminimalkan volume air dalam darah. Kondisi ini berakibat memacu kinerja mekanisme lokal pengatur pembuluh darah dan menambah prostaglandin yang pada akhirnya memacu fungsi dan kerja sel darah merah.
7.     Meningkatkan sistem kekebalan tubuh
Penelitian menunjukkan saat puasa terjadi peningkatan limfosit hingga sepuluh kali lipat. Kendati keseluruhan sel darah putih tidak berubah ternyata sel T mengalami kenaikkan pesat. Pada penelitian terbaru menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar apo-betta, menaikkan kadar apo-alfa1 dibandingkan sebelum puasa. Kondisi tersebut dapat menjauhkan serangan penyakit jantung dan pembuluh darah.
8.     Penurunan berbagai hormon salah satu rahasia hidup jangka panjang
Penelitian endokrinologi menunjukkan bahwa pola makan saat puasa yang bersifat rotatif menjadi beban dalam asimilasi makanan di dalam tubuh. Keadaan ini mengakibatkan penurunan pengeluaran hormon sistem pencernaan dan insulin dalam jumlah besar. Penurunan berbagai hormon tersebut merupakan salah satu rahasia hidup jangka panjang.
9.     Bermanfaat dalam pembentukan sperma
Manfaat lain ditunjukan dalam penelitian pada kesuburan laki-laki. Dalam penelitian tersebut dilakukan penelitian pada hormon testoteron, prolaktin, lemotin, dan hormon stimulating folikel (FSH), Ternyata hasil akhir kesimpulan penelitian tersebut puasa bermanfaat dalam pembentukan sperma melalui perubahan hormon hipotalamus-pituatari testicular dan pengaruh kedua testis.
10.   Bermanfaat untuk penderita radang persendian (encok) atau rematoid arthritis
Manfaat lain yang perlu penelitian lebih jauh adalah pengaruh puasa pada membaiknya penderita radang persendian (encok) atau rematoid arthritis. Parameter yang diteliti adalah fungsi sel penetral (netrofil) dan progresifitas klinis penderita. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara membaiknya radang sendi dan peningkatan kemampuan sel penetral dalam membasmi bakteri.
11.   Memperbaiki hormon testoteron dan performa seksual
Dalam sebuah jurnal endokrin dan metabolisme dilaporkan penelitian puasa dikaitkan dengan hormon dan kemampuan seksual laki-laki. Penelitian tersebut mengamati kadar hormon kejantanan (testoteron), perangsang kantung (FSH) dan lemotin (LH). Terjadi perubahan kadar berbagai hormon tersebut dalam tiap minggu. Dalam tahap awal didapatkan penurunan hormon testoteron yang berakibat penurunan nafsu seksual tetapi tidak menganggu jaringan kesuburan. Namun hanya bersifat sementara karena beberapa hari setelah puasa hormon testoteron dan performa seksual meningkat pesat melebihi sebelumnya
12.   Memperbaiki kondisi mental secara bermakna
Seorang peneliti di Moskow melakukan penelitian pada seribu penderita kelainan mental termasuk skizofrenia. Ternyata dengan puasa sekitar 65% terdapat perbaikan kondisi mental yang bermakna. Berbagai penelitian lainnya menunjukkan ternyata puasa Ramadlan juga mengurangi risiko kompilkasi kegemukan, melindungi tubuh dari batu ginjal, meredam gejolak seksual kalangan muda dan penyakit lainnya yang masih banyak lagi.
13.   Peningkatan komunikasi psikososial baik dengan Allah dan sesama manusia
Manfaat puasa bagi kehidupan psikososial memegang peranan penting dalam kesehatan manusia. Dalam bulan puasa terjadi peningkatan komunikasi psikososial baik dengan Allah dan sesama manusia. Hubungan psikologis berupa komunikasi dengan Allah akan meningkat pesat, karena puasa adalah bulan penuh berkah. Setiap doa dan ibadah akan berpahala berlipat kali dibandingkan biasanya. Bertambahnya kualitas dan kuantitas ibadah di bulan puasa akan juga meningkatkan komunikasi sosial dengan sesama manusia baik keluarga, saudara dan tetangga akan lebih sering. Berbagai peningkatan ibadah secara langsung akan meningkatkan hubungan dengan Pencipta dan sesamanya ini akan membuat jiwa lebih aman, teduh, senang, gembira, puas serta bahagia.
14.   Menurunkan adrenalin
Keadaan psikologis yang tenang, teduh dan tidak dipenuhi rasa amarah saat puasa ternyata dapat menurunkan adrenalin. Saat marah terjadi peningkatan jumlah adrenalin sebesar 20-30 kali lipat. Adrenalin akan memperkecil kontraksi otot empedu, menyempitkan pembuluh darah perifer, meluaskan pembuluh darah koroner, meningkatkan tekanan darah arterial dan menambah volume darah ke jantung dan jumlah detak jantung. Adrenalin juga menambah pembentukan kolesterol dari lemak protein berkepadatan rendah. Berbagai hal tersebut ternyata dapat meningkatkan resiko penyakit pembuluh darah, jantung dan otak seperti jantung koroner, stroke dan lainnya.
Demikianlah manfaat puasa bagi kesehatan. Allah ta’ala tidak akan mensyari’atkan sesuatu kepada manusia yang memberikan mudlarat bagi mereka. Syari’at Allah ta’ala hanyalah memberikan kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Seandainya kita tidak belum dapat menyingkap lebih banyak manfaat puasa bagi kesehatan, cukuplah bagi kita firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” [QS. Al-Baqarah : 183].
Wallaahu a’lam.
Bahan bacaan : Kompas.Health
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai - 5 Ramadlaan 1436 – 21062015 – 20:31]




[1]     Saya belum mengetahui jalan periwayatan dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa sebagaimana dimaksudkan oleh Al-Munawiy rahimahullah. Para ulama menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan melalui jalan Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbaas, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Wallaahu a’lam.

Nikah Mut’ah Diharamkan oleh ‘Umar

$
0
0
Tanya : Benarkah perkataan bahwa nikah mut’ah hanya dilarang oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu?.
Jawab : Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasuulillah wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalaah, wa ba’d,
Tentu saja perkataan tersebut tidak benar. Perkataan tersebut adalah slogan-slogan yang dikatakan orang-orang Syi’ah yang hati mereka penuh penyakit terhadap ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
Bagaimana dapat dikatakan nikah mut’ah hanya dilarang oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab sementara ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu pun melarangnya sebagaimana riwayat:
وحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، قَالَا: أَخْبَرَنا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ الْحَسَنِ، وَعَبْدِ اللَّهِ، ابني محمد بن علي بن أبي طالب، عَنْ أَبِيهِمَا، أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، يَقُولُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: "نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ، وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ "
Dan telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir dan Harmalah bin Yahyaa, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus, dari Ibnu Syihaab, dari Al-Hasan dan ‘Abdullah anak dari Muhammad bin ‘Aliy bin Abi Thaalib, dari ayahnya (Muhammad bin 'Aliy bin Abi Thaalib), bahwasannya ia mendengar‘Aliy bin Abi Thaalib berkata kepada Ibnu ‘Abbaas : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menikahi wanita secara mut’ah dan makan daging keledai jinak pada tahun Khaibar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1407].
Yuunus bin Yaziid mempunyai mutaba’aatdari Sufyaan bin ‘Uyainah, Maalik bin Anas, Usaamah bin Zaid, Ma’mar, dan ‘Ubaidullah bin ‘Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim no. 1407, Ahmad 1/142, Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj 3/27 no. 4072 & 5/28 no. 7645 & 5/29 no. 7650, dan Ad-Daarimiy no. 2197.
Riwayat ini menunjukkan pengingkaran ‘Aliy terhadap Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum yang sempat memfatwakan pembolehan nikah mut’ah[1]. Bahkan dalam riwayat lain ‘Aliy mengingkarinya dengan keras dengan perkataannya:
إِنَّكَ رَجُلٌ تَائِهٌ
“Sesungguhnya engkau adalah orang yang bingung……” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1407].
Riwayat tersebut juga menunjukkan bahwa kejadian antara ‘Aliy dan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum terjadi setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat, karena kejadian tersebut disaksikan oleh Muhammad bin ‘Aliy bin Abi Thaalib rahimahullah yang statusnya adalah taabi’iin.
Yang menjadi pokok di sini[2] adalah larangan nikah mut’ah merupakan madzhab yang dipegang oleh ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Seandainya ‘Umar bin Al-Khaththaab melarang nikah mut’ah, tidak lain hal itu karena pengetahuannya bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, sama seperti ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Dan seandainya mereka (orang Syi’ah) menganggap ‘Aliy bin Abi Thaalib ma’shum, mengapa mereka tidak memegang madzhabnya dalam masalah mut’ah dan malah melemparkan tuduhan dusta kepada ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa ?. Barangkali karena mereka sudah kecanduan akan praktek ‘prostitusi syar’iy’ sehingga susah untuk melepaskannya.
Semoga Allah ta’ala memberikan petunjuk kepada mereka dan juga kita.
Intinya, tidak benar hanya ‘Umar radliyallaahu ‘anhu yang melarang nikah mut’ah, akan tetapi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aliy bin Abi Thaalib dan para shahabat yang lain radliyallaahu ‘anhum.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 05 Ramadlaan 1436 – 22062015 – 01:11].
Silakan baca juga artikel:




[1]     Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa sempat memfatwakan kebolehan nikah mut’ah dalam keadaan darurat sebagaimana riwayat:
عَنْ أَبِي جَمْرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ سُئِلَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ، فَرَخَّصَ، فَقَالَ لَهُ مَوْلًى لَهُ: إِنَّمَا ذَلِكَ فِي الْحَالِ الشَّدِيدِ، وَفِي النِّسَاءِ قِلَّةٌ أَوْ نَحْوَهُ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: نَعَمْ
Dari Abu Jamrah, ia berkata : Aku mendengar Ibnu ‘Abbaas ditanya tentang menikahi wanita secara mut’ah, lalu ia memberikan keringanan (rukhshah)padanya. Lalu bekas budaknya berkata kepadanya: “Apakah hal itu hanya dilakukan ketika keadaan mendesak, sedikitnya jumlah wanita, atau yang seperti itu?”. Ia (Ibnu ‘Abbaas) berkata : “Ya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5116].
Tentu ini jauh dengan motif beberapa oknum yang membawakan perkataan Ibnu ‘Abbaas untuk membolehkan nikah mut’ah versi Syi’ah. Nikah mut’ah yang pernah berlaku di jaman Nabi dan dipahami para shahabat sangat berbeda wujudnya dengan nikah mut’ah orang Syi’ah yang lebih mirip pada praktek prostitusi [silakan baca : Ada Beda Antara Nikah Mut’ah dengan Zina !].
Kemudian Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa rujuk dari fatwanya tersebut.
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَسَمِعْتُ الرَّبِيعَ بْنَ سَبْرَةَ، يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَأَنَا جَالِسٌ، أَنَّهُ قَالَ: مَا مَاتَ ابْنُ عَبَّاسٍ حَتَّى رَجَعَ عَنْ هَذِهِ الْفُتْيَا
Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].
[2]     Sebagian riwayat menjelaskan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah itu membolehkannya dan kemudian melarangnya kembali dengan pelarangan yang abadi hingga hari kiamat.
حدثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حدثنا أَبِي، حدثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ: أَنَّ أَبَاهُ، حَدَّثَهُ: أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عَنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَه، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Umar : Telah menceritakan kepadaku Ar-Rabii’ bin Sabrah Al-Juhaniy : Bahwasannya ayahnya telah menceritakannya : Bahwasannya ia pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian nikah mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan janganlah kalian ambil sesuatupun yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ahi itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1406].

Fiqh Syi’ah (9) : Hukuman Bagi Pemerkosa

$
0
0
Pemerkosaan merupakan bagian dari perbuatan zina[1]yang telah Allah ta’ala tentukan hukumannya bagi pelakunya di dunia. Allah ta’ala berfirman:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” [QS. An-Nuur : 2].
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَأْمُرُ فِيمَنْ زَنَى وَلَمْ يُحْصَنْ، جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ
Dari Zaid bin Khaalid Al-Juhhaniy, ia berkata : “Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk orang yang berzina dan belum pernah menikah didera seratus kali dan diasingkan selama setahun” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6832].
Hukuman ini bagi laki-laki atau wanita yang belum pernah menikah (ghairu muhshan), yaitu didera seratus kali dan kemudian diasingkan selama setahun.
Untuk yang pernah menikah (muhshan), maka hukumannya sebagaimana yang ada dalam riwayat:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ، وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
Dari ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) adalah dera seratus kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera seratus kali dan rajam” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1690].
عَنْ الشَّعْبِيَ، وَسُئِلَ: هَلْ رَأَيْتَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؟ قَالَ: رَأَيْتُهُ أَبْيَضَ الرَّأْسِ وَاللِّحْيَةِ، قِيلَ: فَهَلْ تَذْكُرُ عَنْهُ شَيْئًا؟ قَالَ: نَعَمْ أَذْكُرُ أَنَّهُ جَلْدَ شُرَاحَةَ يَوْمَ الْخَمِيسِ، وَرَجَمَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: جَلَدْتُهَا بِكِتَابِ اللَّهِ، وَرَجَمْتُهَا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ
Dari Asy-Sya’biy, dan ia pernah ditanya : “Apakah engkau pernah melihat Amiirul-Mukminiin ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu ?”. Ia berkata : “Aku pernah melihatnya ia seorang yang kepala dan jenggotnya berwarna putih”. Dikatakan : “Apakah engkau akan menyebutkan sesuatu darinya ?”. Ia menjawab : “Ya. Aku menyebutkan bahwasannya ia pernah mendera Syuraahah pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jum’at. Ia (‘Aliy) berkata : ‘Aku menderanya berdasarkan Kitabullah, dan merajamnya berdasarkan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 4/365; sanadnya shahih].
Yaitu, didera seratus kali dan kemudian dirajam[2].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullahberkata :
وقد أجمع العلماء على ان [ على ] المستكره المغتصب الحد ان شهدت البينة عليه بما يوجب الحد او اقر بذلك فان لم يكن فعليه العقوبة ولا عقوبة عليها اذا صح انه استكرهها وغلبها على نفسها وذلك يعلم بصراخها واستغاثتها وصياحها
“Para ulama telah bersepakat diberlakukannya hadd bagi pelaku pemerkosaan apabila terdapat bukti yang mewajibkan baginya hadd atau si pelaku mengakui perbuatannya. Jika tidak memenuhi dua hal tersebut (adanya bukti atau pengakuan – Abul-Jauzaa’), maka baginya hukuman (ta’zir). Tidak ada hukuman baginya (si wanita) apabila terbukti tidak menginginkannya dan dipaksa. Hal itu diketahui dengan suaranya, permintaan tolongnya, dan teriakannya” [Al-Istidzkaar, 7/146].
Ini adalah madzhab Ahlus-Sunnah yang didasarkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sekarang, kita tinjau bagaimana madzhab Syi’ah dalam menjatuhkan hukuman bagi pemerkosa.
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ وَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ بُرَيْدٍ الْعِجْلِيِّ قَالَ سُئِلَ أَبُو جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) عَنْ رَجُلٍ اغْتَصَبَ امْرَأَةً فَرْجَهَا قَالَ يُقْتَلُ مُحْصَناً كَانَ أَوْ غَيْرَ مُحْصَنٍ
‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya dan Muhammad bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad; keduanya dari Ibnu Mahbuub, dari Abu Ayyuub, dari Yaziid Al-‘Ijliy, ia berkata : Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) pernah ditanya tentang seseorang yang memperkosa wanita. Ia berkata : “Dibunuh baik yang statusnya muhshan ataupun yang bukan muhshan” [Al-Kaafiy, 7/189 no. 1; Al-Majlisiy berkata : “Shahih”].
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ جَمِيلٍ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَحَدِهِمَا ( عليهما السلام ) فِي رَجُلٍ غَصَبَ امْرَأَةً نَفْسَهَا قَالَ يُقْتَلُ
‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari Abu ‘Umair, dari Jamiil, dari Zuraarah, dari salah seorang dari dua imam (‘alaihis-salaam) tentang seseorang memperkosa wanita, maka ia berkata : “Dibunuh” [Al-Kaafiy, 7/189 no. 3; Al-Majlisiy berkata : “Hasan”].
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ يُونُسَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِذَا كَابَرَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ عَلَى نَفْسِهَا ضُرِبَ ضَرْبَةً بِالسَّيْفِ مَاتَ مِنْهَا أَوْ عَاشَ
‘Aliy bin Ibraahiim, dari Muhammad bin ‘Iisaa, dari Yuunus, dari Abu Bashiir, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam), ia berkata : “Apabila seorang laki-laki memaksa seorang wanita terhadap dirinya, maka ia ditebas dengan pedang terlepas apakah ia mati ataukah hidup karenanya” [Al-Kaafiy, 7/189 no. 4; Al-Majlisiy berkata : “Shahih”].
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنِ ابْنِ أَبِي نَجْرَانَ عَنْ جَمِيلِ بْنِ دَرَّاجٍ وَ مُحَمَّدِ بْنِ حُمْرَانَ جَمِيعاً عَنْ زُرَارَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) الرَّجُلُ يَغْصِبُ الْمَرْأَةَ نَفْسَهَا قَالَ يُقْتَلُ
Muhammad bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisaa, dari Ibnu Abi Najraan, dari Jamiil bin Darraaj dan Muhammad bin Humraan, keduanya dari Zuraarah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) tentang seorang laki-laki yang memperkosa diri seorang wanita. Ia menjawab : “Dibunuh” [Al-Kaafiy, 7/189 no. 5; Al-Majlisiy berkata : “Shahih”].
Al-Mufiid berkata:
و من غصب امرأة على نفسها و وطئها مكرها لها ضربت عنقه محصنا كان أو غير محصن 
“Barangsiapa yang memaksa seorang wanita dan memperkosanya, maka lehernya dipenggal baik statusnya muhshan ataupun bukan muhshan” [Al-Muqni’ah, hal. 778].
Asy-Syariif Al-Murtadlaa berkata:
مسألة: ومما انفردت به الإمامية القول: بأن من غصب امرأة على نفسها ووطئها مكرها لها ضربت عنقه محصنا كان أو غير محصن، وخالف باقي الفقهاء في ذلك.
دليلنا على صحة ما ذهبنا إليه إجماع الطائفة، وأيضا من المعلوم أن هذا الفعل أفحش وأشنع في الشريعة وأغلظ من الزنى مع الراضي فيجب أن يكون الحد فيه أغلظ وأزجر.
“Permasalahan : Dan termasuk di antara yang  membedakan sekte Imaamiyyah adalah adanya pendapat bahwa barangsiapa yang memaksa seorang wanita dan memperkosanyam maka lehernya dipenggal baik statusnya muhshan atau bukan muhshan. Sementara itu, para fuqahaa lain (non-Syi’ah) menyelisihi mereka dalam perkara itu.
Dalil kami atas kebenaran pendapat kami adalah ijmaa’  para ulama (Syi’ah). Selain itu, termasuk diantara hal yang telah diketahui bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang paling keji dan paling buruk dalam syari’at, serta lebih parah daripada zina yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Maka wajib diterapkan hukuman yang paling keras padanya dan yang paling dapat memberikan peringatan (bagi yang lain)” [Al-Intishaar, hal. 527].
Beberapa riwayat dan perkataan ulama Syi’ah di atas didapatkan beberapa point sebagai berikut:
1.     Hukum bunuh terhadap pemerkosa menurut agama Syi’ah tidak membedakan yang muhshan ataupun yang bukan muhshan, yaitu dipenggal lehernya.
2.     Pendapat ini merupakan ciri khas agama Syi’ah Imamiyyah (Raafidlah).
3.     Hukuman yang diberlakukan kepada pemerkosa ini tidak mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana Ahlus-Sunnah. Tidak lebih ini hanya mengacu pada riwayat sepihak yang berasal dari orang-orang Syi’ah.
Ini saja yang dapat dituliskan. Semoga kita menjadi lebih kenal dengan agama Syi’ah, karena seperti pepatah : ‘tak kenal maka tak benci’.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 06 Ramadlaan 1436 – 22062015 – 20:33]




[1]     Zina didefiniskan sebagai masuknya penis/dzakar seorang laki-laki mukallaf secara sengaja pada kemaluan wanita yang bukan istrinya atau budaknya - tanpa adanya syubuhat.
[2]     Para ulama berbeda pendapat dalam hal tambahan hukum dera sebelum dilaksanakan hukum rajam. 

Fiqh Syi’ah (10) : Cuci Tangan Setelah Berjabat Tangan dengan Ahlus-Sunnah

$
0
0
Cuci tangan setelah beristinja’, itu biasa. Cuci tangan setelah berjabat tangan dengan Ahlus-Sunnah, itu baru luar biasa. Dimanakah itu?. Akan coba saya bantu Pembaca sekalian untuk mengetahuinya dari tulisan ringkas berikut:
حُمَيْدُ بْنُ زِيَادٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ وُهَيْبِ بْنِ حَفْصٍ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ عَنْ أَحَدِهِمَا ( عليهما السلام ) فِي مُصَافَحَةِ الْمُسْلِمِ الْيَهُودِيَّ وَ النَّصْرَانِيَّ قَالَ مِنْ وَرَاءِ الثَّوْبِ فَإِنْ صَافَحَكَ بِيَدِهِ فَاغْسِلْ يَدَكَ
Humaid bin Ziyaad, dari Al-Hasan bin Muhammad, dari Wuhaib bin Hafsh, dari Abu Bashiir, dari salah seorang diantara dua imam (‘alaihimas-salaam) tentang permasalahan seorang muslim yang berjabat tangan dengan orang Yahudi dan Nashrani. Ia (imam) berkata : “Lakukan dari balik baju. Namun apabila ia menjabat tanganmu dengan tangannya, maka cucilah tanganmu (setelah itu)” [Al-Kaafiy oleh Al-Kulainiy, 2/650 no. 10].
Al-Majlisiy dalam Mir’atul-‘Uquul (12/548) berkata : “Muwatstsaq”. Bahbuudiy dalam Shahiih Al-Kaafiy (1/165) berkata : “Shahih”.
أَبُو عَلِيٍّ الْأَشْعَرِيُّ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ الْكُوفِيِّ عَنْ عَبَّاسِ بْنِ عَامِرٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مَعْمَرٍ عَنْ خَالِدٍ الْقَلَانِسِيِّ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) أَلْقَى الذِّمِّيَّ فَيُصَافِحُنِي قَالَ امْسَحْهَا بِالتُّرَابِ وَ بِالْحَائِطِ قُلْتُ فَالنَّاصِبَ قَالَ اغْسِلْهَا
Abu ‘Aliy Al-Asy’ariy, dari Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Kuufiy, dari ‘Abbaas bin ‘Aamir, dari ‘Aliy bin Ma’mar, dari KHaalid Al-Qalaanisiy, ia berkata : Aku pernah berkata kepada Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) : “Aku berjumpa dengan seorang dzimmiy, lalu ia menjabat tanganku”. Ia (Abu ‘Abdillah) berkata : “Usapkanlah/gosoklah tanganmu dengan tanah dan dinding”. Aku berkata : “Jika orang itu adalah Nashibiy ?”. Ia berkata : “Cucilah tanganmu” [Al-Kaafiy oleh Al-Kulainiy, 2/650 no. 11].
Bahbuudiy dalam Shahiih Al-Kaafiy (1/165) berkata : “Shahih”.
Naashib/Naashibiy yang dimaksudkan dalam riwayat di atas adalah Ahlus-Sunnah, karena orang Raafidlah dari dulu hingga sekarang menganggap Ahlus-Sunnah memusuhi dan dianggap sebagai musuh Ahlul-Bait[1].
أَبُو عَلِيٍّ الْأَشْعَرِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ عَنْ صَفْوَانَ عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ رَزِينٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) فِي رَجُلٍ صَافَحَ رَجُلًا مَجُوسِيّاً قَالَ يَغْسِلُ يَدَهُ وَ لَا يَتَوَضَّأُ
Abu ‘Aliy Al-Asy’ariy, dari Muhammad bin ‘Abdil-Jabbaar, dari Shafwaan, dari Al-‘Alaa’ bin Raziin, dari Muhammad bin Muslim, dari Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) tentang seseorang yang berjabat tangan dengan orang Majusiy. Ia (Abu Ja’far) berkata : “Ia cuci tangannya, namun tidak perlu berwudlu” [Al-Kaafiy oleh Al-Kulainiy, 2/650 no. 12].
Al-Majlisiy dalam Mir’atul-‘Uquul (12/548) berkata : “Shahih”. Bahbuudiy dalam Shahiih Al-Kaafiy (1/165) berkata : “Shahih”.
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas kita ketahui bahwa orang Syi’ah Raafidlah itu sebenarnya sangat cinta kebersihan. Senantiasa cuci tangan apabila berjabat tangan dengan orang Yahudi, Nashrani, Majusi, dan Ahlus-Sunnah yang mereka sebut dengan Nashibiy. Tapi jangan lupa, kalau cuci tangan pakai sabun Lifebuoy…. 
Semoga sedikit info ini ada manfaatnya. Tak kenal, maka tak benci……
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 06 Ramadlaan 1436 – 22062015 – 22:29]




[1]     Ini sekedar trik-trik politik orang-orang Syi’ah Raafidlah, karena berdasarkan riwayat dan fakta, Ahlus-Sunnah tidak pernah memusuhi Ahlul-Bait. Bahkan Ahlus-Sunnah mencintai dan menghormati Ahlul-Bait. Hanya saja mereka tidak mengkultuskan mereka sebagaiman orang-orang Syi’ah mengkultuskan mereka. Ahlus-Sunnah juga sangat anti terhadap ajaran-ajaran palsu Syi’ah yang mengusung slogan cinta Ahlul-Bait, padahal sebenarnya Ahlul-Bait berlepas diri dari mereka.

Kaffaarah Berhubungan Badan di Siang Hari pada Bulan Ramadlaan

$
0
0
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلَكْتُ، قَالَ: مَا لَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لَا، فَقَالَ: فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ، أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ، قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ؟ فَقَالَ: أَنَا، قَالَ: خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Ketika kami sedang duduk bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki lalu berkata : “Wahai Rasulullah, aku telah binasa”. Beliau bersabda : “Apa yang terjadi denganmu ?”. Ia berkata : “Aku telah berhubungan badan dengan istriku ketika aku sedang berpuasa”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah engkau mempunyai seorang budak untuk dimerdekakan ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Beliau bersabda : “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Beliau bersabda : “Apakah engkau memiliki makanan untuk diberikan kepada 60 orang miskin ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun terdiam sejenak. Dalam keadaan seperti itu, seorang shahabat menyerahkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sekeranjang kurma. Setelah itu beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Dimana orang yang bertanya tadi ?”. Laki-laki itu berkata : “Aku (di sini)”. Beliau bersabda : “Ambillah kurma itu dan sedekahkanlah”. Laki-laki itu berkata : “Apakah aku menyedekahkannya kepada orang yang lebih faqir daripadaku wahai Rasulullah ?. Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih faqir daripada keluargaku”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga nampak gigi taringnya, kemudian bersabda : “(Ya sudah), berilah makan keluargamu (dengannya)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1936 dan Muslim no. 1111].
Hadits ini memberikan kepada kita beberapa faedah terkait tema diantaranya:
1.         Berhubungan badan dengan sengaja dan sukarela di siang hari bulan Ramadlaan haram hukumnya berdasarkan firman Allah ta’ala:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” [QS. Al-Baqarah : 187].
2.         Berhubungan badan dengan sengaja di siang hari bulan Ramadlaan membatalkan puasa, baik bagi laki-laki (suami) maupun wanita (istri). Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
فَصْلٌ : وَيَفْسُدُ صَوْمُ الْمَرْأَةِ بِالْجِمَاعِ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ نَعْلَمُهُ فِي الْمَذْهَبِ ؛ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ الْمُفْطِرَاتِ ، فَاسْتَوَى فِيهِ الرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ ، كَالْأَكْلِ
“Pasal : Batalnya puasa wanita dengan sebab jimaa’ (berhubungan badan) tanpa ada perselisihan yang kami ketahui dari madzhab. Hal itu dikarenakan jimaa’ termasuk diantara sebab-sebab yang dapat membatalkan puasa, sehingga laki-laki dan wanita sama dalam permasalahan tersebut (dalam hal batalnya) seperti makan” [Al-Mughniy, 3/61].
Wajib bagi keduanya (suami dan istri) untuk mengqadla’ puasanya di hari yang lain.
Makna berhubungan badan (jima’) ini adalah dalam arti hakiki seperti timba yang masuk ke dalam air sumur, baik keluar mani ataupun tidak keluar mani.
3.         Orang yang berhubungan badan dengan sengaja di siang hari bulan Ramadlaan wajib menunaikan kaffaarah berupa:
a.     memerdekakan seorang budak;
b.     puasa dua bulan berturut-turut;
c.      memberika makan 60 orang miskin.
Kaffaarah tersebut sifatnya berurutan. Jika mampu, maka harus mengambil yang pertama. Jika tidak mampu, maka yang kedua; dan jika tidak mampu maka yang ketiga. Jika yang ketiga pun tidak mampu, maka kewajiban tersebut gugur padanya.
4.         Kaffaarah dibebankan atas suami. Jika ia telah melakukannya, maka istri tidak perlu melakukannya lagi. Hal itu dikarenakan dalam hadits di atas, ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh laki-laki tersebut menunaikan kaffaarah, beliau tidak menyinggung istrinya. Dalam kaedah disebutkan:
تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز
“Mengakhirkan penjelasan pada waktu yang diperlukan tidak diperbolehkan” [‘Umdatul-Qaariy, 11/99].
Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Asy-Syaafi’iy (Al-Umm, 2/85), Ahmad dalam salah satu riwayatnya (Al-Mughniy, 3/61), serta Dhaahiriyyah (Al-Muhallaa, 4/327).[1]
5.         Kaffaarah membebaskan budak adalah budak mukmin menurut pendapat yang raajih di kalangan ulama - wallaahu a’lam – dimana hal itu diqiyaskan dengan kaffaarah pembebasan budak yang lainnya.
6.         Kaffaarahberpuasa selama dua bulan harus dilakukan secara berturut-turut, tidak boleh berselang kecuali jika ada ‘udzur. Jika puasa tersebut berselang tanpa ‘udzur, maka harus diulang dari awal.
7.         Kaffaratmemberi makan orang miskin adalah sebanyak 60 orang berdasarkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah engkau memiliki makanan untuk diberikan kepada 60 orang miskin ?”. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan memberikan makan 30 orang miskin selama dua hari, atau 10 orang miskin selama tiga hari tanpa ada 'udzur.
8.         Jika seseorang berhubungan badan lebih dari satu kali dalam sehari pada siang harinya, maka ia cukup menunaikan kaffaarah sekali.
9.         Jika seseorang berhubungan badan dalam beberapa hari pada siang harinya, maka ia membayar kaffaarah sejumlah hari yang ia berhubungan badan padanya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 07 Ramadlaan 1436 – 24062015 – 00:34]




[1]     Adapun Abu Bakr, Maalik, Abu Haniifah, Abu Tsaur, Ibnul-Mundzir, dan Ahmad dalam salah satu riwayat - berpendapat keduanya (suami dan istri) mesti menanggung kaffaarah [Al-Mughniy, 3/61]. Sebagian ulama lain – seperti Al-Auzaa’iy – berpendapat bahwa kaffaarah dalam bentuk memerdekakan budan dan memberi makan orang miskin mesti ditanggung suami, sedangkan untuk kaffaarah puasa ditanggung masing-masing (suami dan istri) [As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqiy, 4/228].

Berbuka ala Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam

$
0
0
Berbuka puasa adalah salah satu kenikmatan Allah ta’ala yang dirasakan oleh orang yang berpuasa. Kenikmatan tersebut termasuk kegembiraan yang diawalkan bagi orang yang berpuasa di dunia sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ، وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ
“Dan bagi orang yang berpuasa itu mempunyai dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7492 dan Muslim no. 1151].
Oleh karena itu, sesuatu yang biasa-biasa saja kita makan di luar waktu puasa bulan Ramadlaan, seringkali menjadi luar biasa saat kita makan ketika berbuka puasa. Segelas air putih dan sepotong singkong goreng dingin pun dapat terasa sangat nikmat dalam kecapan waktu berbuka. Berbukanya seorang muslim yang baik tidak sekedar dengan cara ‘membatalkannya’ melalui makan minum saja atau yang penting perut terisi dan kenyang. Ada beberapa tuntunan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang jika kita meneladaninya, dapat menjadikan amalan berbuka puasa kita menjadi lebih sempurna dan berpahala. Apa sajakah itu? Berikut beberapa hal yang diambilkan dari Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih:
1.     Menyegerakan berbuka puasa.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Dari Sahl bin Sa’ad, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Manusia senantiasa berada di dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1957 dan Muslim no. 1098].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَة، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، إِنَّ الْيَهُودَ، وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Agama senantiasa kokoh selama manusia menyegerakan berbuka. Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya (menundanya)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2353; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud2/58].
Yaitu waktunya dimulai ketika matahari telah terbenam yang dengannya masuk waktu Maghrib. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ، وَغَابَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
Apabila malam telah tiba dan siang telah berlalu, serta matahari pun terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1100].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْل وَأَدْبَرَ النَّهَار وَغَابَتْ الشَّمْس فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِم ) مَعْنَاهُ : اِنْقَضَى صَوْمه وَتَمَّ , وَلَا يُوصَف الْآن بِأَنَّهُ صَائِم , فَإِنَّ بِغُرُوبِ الشَّمْس خَرَجَ النَّهَار وَدَخَلَ اللَّيْل , وَاللَّيْل لَيْسَ مَحِلًّا لِلصَّوْمِ
“Makna sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila malam telah tiba dan siang telah berlalu, serta matahari pun terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” ; adalah puasanya telah selesai sempurna, dan (pada waktu matahari sudah tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa.  Maka dengan terbenamnya matahari, habislah waktu siang dan malam pun tiba; dan malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa” [Syarh Shahiih Muslim 7/209].
2.     Mendahulukan berbuka sebelum shalat maghrib.
عَنْ أَنَس بْن مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr. Jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2356, Ahmad 3/164, dan yang lainnya; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghalil 4/45 no. 922].
3.     Sebelum berbuka membaca basmalah.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكمْ , فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَليهِ, يُبَارَكْ لَكمْ فِيهِ
Berkumpullah kalian ketika makan, dan sebutlah nama Allah padanya. Maka makanan kalian akan diberkahi” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3764, Ibnu Maajah no. 3286, dan yang lainnya; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 2/268-270 no. 664].
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ أَنْ لَا يُذْكَرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
Sesungguhnya setan menghalalkan makanan (untuk ia makan dari makanan yang dimakan manusia) yang tidak disebut nama Allah padanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2017].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
مَعْنَى ( يَسْتَحِلّ ) يَتَمَكَّن مِنْ أَكْله ، وَمَعْنَاهُ : أَنَّهُ يَتَمَكَّن مِنْ أَكْل الطَّعَام إِذَا شَرَعَ فِيهِ إِنْسَان بِغَيْرِ ذِكْر اللَّه تَعَالَى . وَأَمَّا إِذَا لَمْ يَشْرَع فِيهِ أَحَد فَلَا يَتَمَكَّن . وَإِنْ كَانَ جَمَاعَة فَذَكَرَ اِسْم اللَّه بَعْضهمْ دُون بَعْض لَمْ يَتَمَكَّن مِنْهُ
“Makna dari ‘menghalalkan’ yaitu dapat menikmati makanan tersebut. Maksudnya, bahwa setan itu mendapatkan bagian makanan jika seseorang memulainya tanpa dzikir kepada Allah ta’ala. Adapun bila belum ada seseorang yang memulai makan, maka (setan) tidak akan dapat memakannya. Jika sekelompok orang makan bersama-sama dan sebagian mereka menyebut nama Allah sedangkan sebagian lainnya tidak, maka setan pun tidak akan dapat memakannya” [Syarh Shahiih Muslim 13/189-190].
Apabila lupa mengucapkan basmalah, ketika ingat disunnahkan membaca:
بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ
Bismillaahi fii awwalihi wa aakhirihi (dengan menyebut Allah di awal dan di akhirnya)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/143 & 246 & 265, Ibnu Maajah no. 3264, Ibnu Hibbaan no. 5214, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dalam Takhriij Shahiih Ibni Hibbaan 12/14-15].
4.     Berbuka dengan kurma atau makanan lain yang ada dan mudah didapat.
Berbuka puasa dengan memakan beberapa butir kurma, baik ruthab (kurma setengah matang yang masih sedikit keras dan berwarna hijau kecoklatan),tamr (kurma matang), atau hanya sekedar air putih jika yang ada hanya itu - sebagaimana hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu di atas.
Atau berbuka dengan beberapa makanan yang disukai atau biasa dimakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: "رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ الرُّطَبَ بِالْقِثَّاءِ "
Dari ‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Aku pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan ruthab dengan mentimun” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5440 & 5447 & 5449 dan Muslim no. 2043].
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرُّطَبِ وَالْخِرْبِزِ
Dari Anas, ia berkata : “Aku permah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencampur antara ruthab dengan khirbiz(semangka kuning)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/142 & 143, Ibnu Hibbaan no. 5248, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dalam Takhriij Shahiih Ibni Hibbaan 12/53].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ الْبِطِّيخَ بِالرُّطَبِ، فَيَقُولُ: نَكْسِرُ حَرَّ هَذَا بِبَرْدِ هَذَا وَبَرْدَ هَذَا بِحَرِّ هَذَا
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa makan semangka dan ruthab, lalu beliau bersabda : ‘Panasnya ruthab ini kami hilangkan dengan dinginnya semangka ini, dan dinginnya semangka ini kami hilangkan dengan panasnya ruthab ini” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3836, At-Tirmidziy no. 1843, Ibnu Hibbaan no. 5246 & 5247, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/454-455].
عَنْ ابْنَيْ بُسْرٍ السُّلَمِيَّيْنِ، قَالَا: دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدَّمْنَا زُبْدًا وَتَمْرًا، وَكَانَ يُحِبُّ الزُّبْدَ وَالتَّمْرَ
Dari dua orang anak Busr As-Sulamiy, mereka berdua berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui kami. Lalu kami hidangkan keju dan tamr kepada beliau, dan beliau menyukai keju dan tamr” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3837, Ibnu Maajah no. 3334, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/455].
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ: أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ، فَقَالُوا: مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ، فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ، وَيَقُولُ: نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka berkata : “Tidak ada di sisi kami kecuali cuka”. Maka beliau menyuruh untuk diambilkan dan kemudian makan dengannya. Beliau bersabda : “Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2052, At-Tirmidziy no. 1839 & 1842, dan yang lainnya].
Dan makanan lainnya yang pernah dimakan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Beberapa jenis makanan di atas bukan merupakan bagian dari sunnah yang dianjurkan bagi kita untuk memakannya. Akan tetapi jika kita memakannya dikarenakan kecintaan kita kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka kita akan diberikan pahala berdasarkan niat kita. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya amal-amal itu hanyalah berdasarkan niat, dan setiap orang hanyalah akan dibalas sesuai apa yang diniatkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1].
Amalan kecil akan menjadi besar karena niatnya, dan begitu juga sebaliknya, amalan besar akan menjadi kecil – dan bahkan hilang sama sekali – karena niatnya pula.
5.     Tidak berlebihan ketika berbuka, memenuhi perut dengan makanan dan minuman.
Allah ta’ala berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [QS. Al-A’raaf : 31].
عَنْ مِقْدَامِ بْنِ مَعْدِ يكَرِبَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ، فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Dari Miqdaam bin Ma’diikarib, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2380, Ibnu Maajah no. 3349, Ahmad 4/132, Ibnu Hibbaan no. 674 & 5236, dan yang lainnya; shahih].
Berbuka dimulai dengan sedikit makanan dan minuman (diantaranya seperti dalam nomor 4) agar tidak menyebabkan berat ketika shalat Maghrib. Baru setelah itu, dapat dilanjutkan kembali dengan makan makanan berat seperti nasi dan yang lainnya.
Memenuhi perut dengan makanan dan minuman dapat menyebabkan rasa malas/berat untuk beribadah, mual, dan berbagai gangguan kesehatan.
6.     Mengucapkan hamdalah atau doa-doa lain yang ma’tsuur setelah selesai makan dan minum.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ، فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah ridla terhadap hamba-Nya yang makan atau minum, dan setelah itu ia memuji Allah atasnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2734].
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَعَ مَائِدَتَهُ، قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مُوَدَّعٍ وَلَا مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبَّنَا
Dari Abu Umaamah, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai dari makanannya beliau mengucapkan : “Alhamdulillaahi katsiiron thoyyiban mubaarokan fiihi ghairo makfiyyin wa laa muwadda’in wa laa mustaghnan ‘anhu Robbanaa (segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh barakah, yang senantiasa dibutuhkan, diperlukan, dan tidak dapat ditinggalkan, wahai Rabb kami” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5458].
عَنْ مَرْوَان يَعْنِي ابْن سَالِمٍ الْمُقَفَّعَ قَالَ رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَيَقْطَعُ مَا زَادَ عَلَى الْكَفِّ وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dari Marwaan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ - , ia berkata : Aku pernah melihat Ibnu ‘Umar menggenggam jenggotnya dan memotong selebih dari (genggaman) telapak tangannya, lalu berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka puasa berdoa : ‘(Dzahabazh-zhoma-u wab-talatil-‘uruuqu wa tsabatal-ajru insya Allooh) Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta telah ditetapkan pahala insya Allah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2357, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/374 no. 3315 & 9/119 no. 10058 dan dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 268-269 no. 299, dan yang lainnya; dihasankan oleh Ibnu Hajar sebagaimana dalam Mausu’ah Al-Haafidh Ibni Hajar Al-Hadiitsiyyah 2/360 no. 78].
Jika kita diberikan makanan atau minuman berbuka puasa oleh orang lain, maka disunnahkan untuk mendoakannya dengan doa diantaranya:
اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِي
Alloohumma ath’im man ath’amanii wasqi man asqoonii (ya Allah, berilah makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2055].
7.     Jika mempunyai kelebihan hidangan untuk berbuka, sangat dianjurkan untuk memberikan sebagiannya kepada orang lain (yang berpuasa) atau mengundang mereka untuk berbuka bersama.
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا "
Dari Zaid bin Khaalid Al-Juhaniy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang memberi makanan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun juga” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 807, Ibnu Maajah no. 1746, Ahmad 4/114 & 116, dan Ibnu Hibbaan no. 3429; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/423-424].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 09 Ramadlaan 1436/25062015 – 23:33].

Speaker Jangan Disalahkan Karena Ia Tidak Dapat Membela Diri

Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (10) – Para Pengingkar As-Sunnah

$
0
0
Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa ketika kita akan mengambil suatu hukum, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah membuka Al-Qur’an dan mencarinya di sana. Apabila tidak menemukannya, baru kemudian mencarinya dalam As-Sunnah. Mereka berdalil dengan hadits:
عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ، فَقَالَ: "كَيْفَ تَقْضِي ؟ "فَقَالَ: أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ. قَالَ: "فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ "قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Al-Haarits bin ‘Amru, dari beberapa orang dari kalangan shahabat Mu’aadz : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Mu’aadz ke Yaman, lalu bersabda : “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?”. Mu’aadz menjawab : “Aku akan menghukum dengan apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila tidak terdapat dalam Kitabullah ?”. Mu’aadz menjawab : “Maka (aku akan menghukum) dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kembali : “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan berijtihad dengan pikiranku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1327, Abu Daawud no. 3592, dan yang lainnya].
Sayangnya, hadits ini tidak shahih, terutama karena kelemahan Al-Haarits bin ‘Amru. Ia telah dilemahkan jumhur ulama. Al-Bukhaariy rahimahullah berkata : “Tidak sah haditsnya”.
At-Tirmidziy mengomentari hadits itu dengan perkataannya:
هَذَا حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ، وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ عِنْدِي بِمُتَّصِلٍ، وَأَبُو عَوْنٍ الثَّقَفِيُّ اسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ
“Hadits ini tidak kami ketahui kecuali dari jalan ini. Dan menurut pandangan kami, sanadnya tidaklah muttashil (bersambung). Abu ‘Aun yang dimaksud dalam hadits bernama Muhammad bin ‘Ubaidillah”.
Selain itu, matan hadits ini juga munkar. Bagaimana seseorang dapat mengambil kesimpulan hukum dengan benar seandainya ia mencukupkan diri mencarinya dalam Al-Qur’an tanpa menoleh kepada As-Sunnah ?. Seandainya ia mencari hukum pencurian, lalu ia buka Al-Qur’an dan menemukan ayat:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” [QS. Al-Maaidah : 38].
Apakah ayat ini langsung dapat operasional untuk menghukumi seseorang yang kedapatan melakukan pencurian ?. Tidak, karena As-Sunnah memberikan beberapa penjelasan diantaranya nishab harta yang dicuri yang pelakunya dijatuhi hukum potong tangan adalah ¼ dinar, tidak dijatuhi hukum potong tangan pada kasus pencurian harta yang tidak dijaga atau tidak disimpan pada tempat penyimpanan oleh pemiliknya, dan yang lainnya.
Begitu juga sendainya mencari hukum pembunuhan dan menemukan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” [QS. Al-Baqarah : 178].
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishaashnya” [QS. Al-Maaidah 45].
Dapatkan seorang hakim atau aparat langsung mengqishaash dengan benar berdasarkan dua ayat ini terhadap setiap kasus pembunuhan?. Tidak, karena tidak setiap kasus pembunuhan dijatuhi hukum qishaash bunuh juga. As-Sunnah mengecualikannya bagi orang tua yang membunuh anaknya.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يُقْتَلُ الْوَالِدُ بِالْوَلَدِ "
Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab, ia berkata : Aku mendengar Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang tua tidak dibunuh karena membunuh anaknya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1400, Ibnu Maajah no. 2662, dan yang lainnya; shahih].
Begitu mengecualikan orang muslim yang membunuh orang kafir, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
Seorang muslim tidak dibunuh karena membunuh orang kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3046].
Oleh karena itu, Mak-huul Asy-Syaamiy rahimahullah berkata:
الْقُرْآنُ أَحْوَجُ إِلَى السُّنَّةِ مِنَ السُّنَّةِ إِلَى الْقُرْآنِ
“Al-Qur’an lebih membutuhkan As-Sunnah daripada As-Sunnah membutuhkan Al-Qur’an” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 106, Ibnu Syaahiin dalam Syarh Madzaahibi Ahlis-Sunnah no. 48, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’u Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2352; shahih].
Hal yang sama dikatakan juga oleh Al-Auza’iy rahimahullah.
Bahkan Yahyaa bin Abi Katsiir rahimahullah sampai berkata:
السُّنَّةُ قَاضِيَةٌ عَلَى الْكِتَابِ، وَلَيْسَ الْكِتَابُ قَاضِيًا عَلَى السُّنَّةِ
“As-Sunnah adalah hakim terhadap Al-Kitaab, bukan Al-Kitaab sebagai hakim terhadap As-Sunnah” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 105, Ad-Daarimiy no. 607, dan yang lainnya; shahih].
Namun, Al-Imaam Ahmad bin Hanbalmengomentari perkataan Yahyaa bin Abi Katsiir rahimahumullah tersebut dengan :
مَا أَجْسِرُ عَلَى هَذَا أَنْ أَقُولَهُ، وَلَكِنَّ السُّنَّةَ تُفَسِّرُ الْكِتَابَ، وَتُعَرِّفُ الْكِتَابَ وَتُبَيِّنُهُ
“Aku tidak berani mengatakannya, akan tetapi As-Sunnah itu menafsirkan Al-Qur’an, menerangkannya, dan menjelaskannya” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Al-Kifaayah 1/81 no. 22; shahih].
Meski sebagian ulama menafsirkan perkataan Yahyaa seperti yang dikatakan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah, namun secara lafadh, apa yang dikatakan Ahmad bin Hanbal lebih tepat[1]. Ini sesuai dengan yang dikatakannya dalam kitab Ushuulus-Sunnah yang sedang dibahas ini. Wallaahu a’lam.
Apapun itu, perkataan para ulama di atas menunjukkan betapa agungnya kedudukan As-Sunnah dalam syari’at Islam selain dari Al-Qur’an.
Namun demikian,….. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memperingatkan:
عَنْ أَبِي رَافِعٍ وَغَيْرِهِ، رَفَعَهُ قَالَ: "لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ أَمْرٌ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ: لَا أَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ "
Dari Abu Raafi’ dan yang lainnya dan ia memarfu’kannya (kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam), beliau bersabda : “Jangan sampai aku dapari salah seorang di antara kalian yang bersandar di atas dipannya, kemudian datang kepadanya perkara yang aku perintahkan atau aku larang, lalu ia berkata : ‘Aku tidak tahu. Apa saja yang kami dapati dalam Kitabullah, maka itulah yang kami ikuti” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2663, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”].
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ، يَقُولُ: عَلَيْكُمْ بِالْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلالٍ فَأَحِلُّوهُ، وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ، أَلا لا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِيِّ وَلا كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السَّبُعِ "
Dari Al-Miqdaam bin Ma’diy Karib, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Kitaab dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Qur’an dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya. Ketahuilah, dikhawatirkan akan ada seseorang yang duduk kenyang di atas dipannya seraya berkata : ‘Wajib bagi kalian berpegang pada Al-Qur’an ini. Apa saja yang kalian dapati di dalamnya dari perkara halal, maka halalkanlah, dan apa aja yang kalian dapati di dalamnya dari perkara haram, maka haramkanlah’. Ketahuilah, tidak dihalalkan bagi kalian daging keledai jinak dan binatang buas yang mempunyai taring” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4604, Ibnu Hibbaan no. 12, Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 257, dan yang lainnya; shahih – ini lafadh milik Al-Marwaziy].
Ternyata, apa yang dikhawatirkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kemunculan orang-orang yang menolak memakai As-Sunnah terjadi, baik secara total maupun sebagian:
1.     Di India, ada seorang yang bernama Ahmad Khaan yang hidup di abad 18 M. Ia bekerja untuk penjajah Inggris yang mempunyai pemikiran untuk kembali kepada Al-Qur’an saja dan menjauhkan umat dari As-Sunnah. Penjajah Inggris memberikan penghargaan Knight Commander of Star of Indiakepadanya. Tidaklah Inggris memelihara dan memberikan penghargaan kepada seseorang kecuali keberadaan orang tersebut menguntungkan mereka. Dan bukan rahasia lagi, diantara keuntungan besar yang dipetik orang-orang kafir adalah rusaknya ‘aqidah kaum muslimin sehingga mengokohkan kolonialisme mereka karena keinginan untuk berjihad melawan mereka (orang-orang kafir) melemah.
2.     Di Mesir, ada banyak tokoh yang memusuhi As-Sunnah, seperti Muhammad Abduh, Jamaaluddin Al-Afghaniy, Muhammad Rasyid Ridlaa[2], Taufiq Shiddiiqiy, Muhammad Al-Ghazaliy, Mahmuud Abu Rayyaah, dan yang lainnya.
Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani banyak mempengaruhi Muhammad Rasyid Ridlaa dalam beberapa tulisan di Majalah Al-Manar yang kental dengan pemikiran Mu’tazilah yang menolak As-Sunnah. Taufiq Ash-Shiddiqiy menulis serial artikel Al-Islaamu huwal-Qur’an Wahdah (Islam adalah Al-Qur’an Semata) yang dimuat dalam Majalah Al-Manaar. Mahmuud Abu Rayyaah menulis buku Adlwaa’ ‘alas-Sunnah Al-Muhammadiyyahdan Syaikhul-Madliirah : Abu Hurairah,sedangkan Muhammad Al-Ghazaliy menulis buku As-Sunnah An-Nabawiyyah baina Ahlil-Fiqh wa Ahlil-Hadits; dimana kedua buku tersebut memuat syubhat-syubhat yang menimbulkan keraguan terhadap As-Sunnah.
3.     Kelompok Syi’ah Raafidlah yang menolak memakai As-Sunnah yang dipakai kaum muslimin, kecuali yang diriwayatkan oleh kalangan mereka yang dinisbatkan kepada Ahlul-Bait.
4.     Kelompok Hizbut-Tahriir yang menolak memakai As-Sunnah, yaitu hadits ahad, dalam masalah ‘aqidah.
5.     Di Indonesia, ada macam-macam kelompok atau individu yang menolak As-Sunnah, baik secara total maupun sebagian:
a.      Kelompok Minardi Mursyid di Surakarta (Solo) dan sekitarnya dengan Yayasan Tauhid Indonesia (Yatain) dan Lembaga Pengkajian dan Pendalaman Al-Qur’an Tauhid (LPPAT)-nya. Mereka menolak penggunaan As-Sunnah dan hanya menggunakan Al-Qur’an yang dipahami sesuai tafsir ketuanya, Minardi. Mereka aktif mengadakan pengajian dan menguploadnya di internet (Youtube).
b.      Kelompok Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) pimpinan Ahmad Sukina yang berpusat di Surakarta (Solo) yang menolak beberapa hadits shahih karena dianggap bertentangan dengan Al-Qur’anyang mereka pahami (misalnya : hadits tentang keharaman binantang bertaring, kesurupan jin, syafa’at, peristiwa akhir jaman, dll.).
c.      Marinus Taka dan Irham Sutarto, pentolan kelompok Inkarus-Sunnah di Indonesia generasi awal.
d.      Irene Handono, mantan biarawati yang menolak As-Sunnah yang mengkhabarkan tentang kedatangan ‘Iisaa ‘alaihis-salaam di akhir jaman karena ia anggap bertentangan dengan Al-Qur’an. Ia bahkan menulis buku berjudul : ‘Mempertanyakan Kebangkitan dan Kenaikan ‘Iisaa Al-Masih.Begitulah baik sangkanya terhadap pemahamannya.
Siapakah yang lebih mengerti tentang Al-Qur’an daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?. As-Sunnah yang mengkhabarkan tentang kedatangan ‘Iisaa di akhir jaman adalah mutawatir.
e.      Dan lain-lain.
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur’an tanpa ilmu, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2950, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’].
Ayyuub As-Sakhtiyaaniy rahimahullah:
إِذَا حَدَّثْتَ الرَّجُلَ بِالسُّنَّةِ فَقَالَ: دَعْنَا مِنْ هَذَا وَحَدِّثْنَا مِنَ الْقُرْآنِ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ ضَالٌّ مُضِلٌّ
“Apabila engkau menceritakan sunnah kepada seseorang, lalu ia berkata : ‘Tinggalkan kami dari ini dan ceritakan kepada kami sesuatu yang berasal dari Al-Qur’an’. Maka ketahuilah, sesungguhnya ia sesat dan menyesatkan” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Al-Kifaayah 1/85-85 no. 26; shahih].
Kita mesti waspada dan hati-hati. Tidak setiap suara mesti kita dengar meski suara-suara itu dibungkus dengan kemasan agama.
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah……
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 16-05-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 39-40, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, Miftaahul-Jannah fil-Ihtijaaj bis-Sunnah oleh As-Suyuuthiy, dengan beberapa referensi lain sebagai tambahan penjelasan].




[1]     Selain Yahyaa bin Abi Katsiir, perkataan serupan juga diucapkan oleh Al-Auzaa’iy dan Ad-Daarimiy rahimahumullah.

Kunci-Kunci Semua yang Ghaib

$
0
0
Allah ta’ala berfirman:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuudh)” [QS. Al-An’aam : 59].
Kata (عِنْدَهُ), maknanya adalah ‘di sisi Allah’, yaitu khabaryang didahulukan. Adapun kata (مَفَاتِحُ), yaitu mubtada’ yang diakhirkan.
Susunan kata ini memberikan faedah pembatasan dan pengkhususan, yaitu kunci-kunci yang ghaib hanya ‘di sisi-Nya’ bukan selain-Nya. Pembatasan ini ditegaskan lagi dengan firman-Nya:
لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ
Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri”.
Dalam kalimat tersebut, adanya pembatasan bahwasannya pengetahuan terhadap kunci-kunci yang ghaib di sisi Allah melalui dua jalan, yaitu : (1) mendahulukan khabar dan mengakhirkan mubtada’, serta (2) penafikan dan penetapan.
Kata (مَفَاتِحُ), dikatakan : ia adalah jamak (plural) dari kata miftah (مِفْتَح) dengan kasrah huruf miim dan fat-hah huruf taa’ yang artinya kunci. Atau ia adalah jamakdari kata miftaah (مِفْتَاح), akan tetapi dengan membuang huruf yaa’ darinya dan ini jarang. Kita mengetahui bahwasannya kunci (al-miftaah) adalah sesuatu yang digunakan untuk membuka pintu. Dan dikatakan juga, ia adalah jamak dari maftih (مَفْتِح), dengan fat-hah huruf miim dan kasrah huruf taa’, yang artinya adalah tempat-tempat penyimpanan (khazaain). Maka, kata mafaatihul-ghaib (مَفَاتِحُ الْغَيْبِ) artinya : tempat penyimpanannya (hal yang ghaib). Dikatakan juga kata mafaatihul-ghaib (مَفَاتِحُ الْغَيْبِ) artinya : dasar-dasarnya, karena kunci segala sesuatu berada di awalnya; sehingga kata mafaatihul-ghaib, artinya : dasar-dasar yang ghaib, karena hal-hal yang disebutkan ini merupakan dasar bagi sesudahnya.
Kata (الْغَيْبُ) adalah mashdar dari kata : ghaaba, yaghiibu, ghaiban (غَابَ - يَغِيْبُ - غَيْباً). Yang dimaksud dengan ghaib adalah segala sesuatu yang tidak hadir/tersembunyi. Ghaib adalah perkara nisbiy (realtif), akan tetapi keghaiban yang mutlak pengetahuan tentangnya khusus di sisi Allah.
Kata (مَفَاتِحُ) ini – baik kita katakan maknanya dasar-dasar, tempat penyimpanan, atau kunci-kunci – tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah ‘azza wa jalla. Tidak ada malaikat yang mengetahuinya, tidak pula Rasul, hingga malaikat yang paling mulia – yaitu Jibriil – bertanya kepada manusia yang paling mulia – yaitu Muhammad ‘alaihish-shalaatu was-salaam - : “Khabarkan kepadaku tentang hari kiamat”, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Yang ditanya tidaklah lebih mengetahui daripada yang bertanya[1]. Maknanya : Sebagaimana hal itu tidak engkau ketahui, maka akupun tidak mengetahuinya juga. Barangsiapa yang mengklaim mengetahui kapan hari kiamat, maka ia pendusta lagi kafir. Barangsiapa yang membenarkannya, maka ia juga kafir, karena ia mendustakan Al-Qur’an.
Kata (مَفَاتِحُ) ini telah ditafsirkan/dijelaskan oleh makhluk yang paling mengetahui tentang firman Allah, yaitu Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ketika ia membaca ayat:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS. Luqmaan : 34][2]
yaitu ada lima perkara:
1.     Ilmu tentang Hari Kiamat (As-Saa’ah).
Ilmu tentang hari kiamat adalah asas/dasar kunci bagi kehidupan akhirat. Dan hari kiamat dinamakan as-saa’ah (waktu) karena ia adalah waktu yang sangat besar yang mengancam seluruh manusia. Ia disebut juga al-haaqqah dan al-waaqi’ah. Ilmu tentang hari kiamat hanya ada di sisi Allah, tidak diketahui oleh seorang pun kapan terjadinya kecuali Allah ‘azza wa jalla.
2.     Ilmu tentang Turunnya Hujan (Al-Ghaits).
Hal ini berdasarkan firman-Nya:
وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ
Dialah yang menurunkan hujan (al-ghaits)”.
Al-Ghaits (الْغَيْثُ) adalah mashdar, maknanya : melenyapkan kesempitan/kesulitan, dan yang dimaksudkan di sini adalah hujan (الْمَطَرُ), karena dengan adanya hujan hilanglah kesulitan kemarau dan kegersangan. Apabila Allah ta’alayang menurunkan hujan, maka Ia lah yang mengetahui waktu turunnya hujan.
Turunnya hujan merupakan kunci bagi kehidupan di muka bumi dengan tumbuh-tumbuhan, dan dengan hidupnya tumbuh-tumbuhan timbullah kebaikan di padang penggembalaan dan semua yang berkaitan dengan kebaikan manusia.
Ada satu hal tentang firman-Nya:
وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ
Dialah yang menurunkan hujan (al-ghaits)”.
Allah ta’ala tidak berfirman:
وَيُنَزِّلُ الْمَطَرَ
Dialah yang menurunkan al-mathar”.
Hal itu dikarenakan al-mathar kadang turun namun tidak menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, sehingga ia bukanlah al-ghaits, dan bumi tidak tumbuh dengannya. Oleh karena itu, terdapat satu hadits dalam Shahiih Muslim:
لَيْسَتِ السَّنَةُ أَلَا تُمْطَرُوا، إِنَّمَا السَّنَةُ أَنْ تُمْطَرُوا وَلَا تُنْبِتُ الْأَرْضُ شَيْئًا
Kemarau (as-sanah) bukanlah karena kalian tidak diberikan hujan, akan tetapi kemarau itu itu kalian diberikan hujan namun bumi tidak menumbuhkan apapun”.[3]
Makna as-sanah (السَّنَةُ) adalah kemarau.
3.     Ilmu tentang Apa yang Ada di dalam Rahim.
Hal ini berdasarkan firman-Nya:
وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ
Dan mengetahui apa yang ada dalam rahim”.
Yaitu rahim wanita. Allah ‘azza wa jalla mengetahui apa yang ada di dalam rahim-rahim, yaitu apa yang ada di dalam di perut para ibu dari Bani Aadam atau selainnya. Dan yang terkait dengan ilmu bersifat umum yang meliputi segala sesuatu. Maka, tidak ada yang mengetahui apa yang ada di dalam Rahim kecuali Yang menciptakannya ‘azza wa jalla.
Jika engkau berkata : Sekarang mereka dapat mengetahui jenis kelamin laki-laki atau perempuan ketika masih di dalam rahim, apakah ini benar ?.
Kami katakan : Ini memang kenyataannya tanpa diingkari. Akan tetapi mereka tidak mengetahuinya kecuali setelah janin terbentuk dan nampak jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan. Namun janin mempunyai hal-hal lainnya yang tidak mereka ketahui. Mereka tidak mengetahui kapan ia lahir, tidak mengetahui apabila ia lahir sampai kapan ia bertahan hidup, tidak mengetahui apakah ia bahagia atau sengsara, tidak mengetahui apakah ia nanti kaya atau miskin, dan hal-hal lainnya yang tidak diketahui.
Jadi, kebanyakan ilmu yang berkaitan dengan janin tidak diketahui oleh manusia, sehingga benarlah keumuman firman Allah ta’ala:
وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ
Dan Dia mengetahui apa yang ada dalam rahim”.
4.     Ilmu tentang Apa yang akan Terjadi Besok.
Yaitu, hari setelah hari ini, berdasarkan firman-Nya:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok”.
Ini adalah kunci usaha masa yang akan datang. Apabila manusia tidak mengetahui apa yang ia usahakan untuk dirinya sendiri (di masa yang akan datang), maka ia akan lebih tidak mengetahui apa yang diusahakan oleh orang lain.
Akan tetapi seandainya ada orang yang berkata : Aku mengetahui apa yang terjadi besok, yaitu aku akan pergi ke tempat Fulaan, atau aku akan membaca, atau aku akan mengunjungi kerabat-kerabatku.
Maka kami katakan : Ia memang telah memastikan akan melakukan sesuatu, akan tetapi mungkin akan muncul penghalang sehingga ia tidak jadi melakukannya.
5.     Ilmu tentang Tempat akan Mati.
Hal ini berdasarkan firman-Nya:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati”.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui apakah ia akan mati di tempatnya  atau tempat yang lain, di negeri Islam atau negeri kafir, di darat atau di lautan atau di udara. Ini adalah kenyataan.
Seseorang tidak mengetahui kapan akan mati, karena apabila ia tidak mungkin mengetahui di bumi mana akan mati sehingga ia dapat menentukan tempatnya, maka begitu juga ia tidak mengetahui kapan ia akan mati.
Kelima hal ini adalah kunci-kunci hal yang ghaib yang tidak mengetahuinya kecuali Allah. Dinamakan kunci-kunci keghaiban (مَفَاتِحُ الْغَيْبِ) karena ilmu tentang apa yang ada di dalam rahim adalah kunci bagi kehidupan dunia.
Firman Allah ta’ala:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok
adalah kunci bagi perbuatan yang dilakukan di masa yang akan datang.
Firman Allah ta’ala:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati”.
adalah kunci bagi kehidupan akhirat, karena manusia apabila mati, ia masuk ke alam akhirat. Telah lewat penjelasan tentang ilmu tentang hari kiamat dan turunnya hujan. Maka, jelaslah bahwa semua kunci ini merupakan dasar bagi semua yang ada di belakangnya.
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS. Luqmaan : 34]
Kemudian Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan” [QS. Al-An’aam : 59].
Ini adalah global. Siapakah yang dapat menghitung jenis-jenis yang ada di daratan ?. Berapa jumlah hewan, serangga, gunung, pepohonan, dan sungai; maka tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah ‘azza wa jalla. Begitu juga dengan lautan, tidak ada yang mengetahui isinya kecuali Penciptanya ‘azza wa jalla. Mereka berkata : Sesungguhnya lautan jumlah jenis di lautan tiga kali lipat dari daratan, karena lautan lebih luas.
Firman Allah ta’ala:
وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا
Dan tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula)” [QS. Al-An’aam : 59].
Ini adalah rinci. Daun apapun yang gugur dari pohon kecil atau besar, dekat atau jauh; maka Allah ta’ala mengetahuinya. Oleh karena itu ayat mengunakan maa (مَا) naafi’ahdan min (مِنْ) zaaidah sehingga menjadi nash yang bersifat umum. Jika daun yang gugur diketahui oleh Allah, maka tentu Ia ‘azza wa jalla lebih mengetahui tentang apa yang diciptakan.
Lihatlah pada luasnya ilmu Allah ‘azza wa jalla, segala sesuatu yang terjadi, Allah mengetahuinya, hingga pada sesuatu yang belum terjadi dan yang akan terjadi, Allah ta’ala mengetahuinya juga.
Firman Allah ta’ala:
وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ
Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi” [QS. Al-An’aam : 59].
yaitu : biji kecil yang tidak tidak dapat dijangkau oleh mata, berada dalam kegelapan bumi; maka itu pun diketahui oleh Allah ‘azza wa jalla.
Kata dhulumaat (ظُلُمَاتِ) adalah jamak dari dhulmah (ظُلْمَةٌ). Kita bayangkan saja ada biji kecil yang tenggelam di dasar lautan di kegelapan malam dan turunnya hujan. Maka kegelapan-kegelapan itu terdiri dari : pertama, lumpur laut; kedua, air laut; ketiga, hujan; keempat, mendung; dan kelima, malam. Kelima kegelapan ini termasuk kegelapan-kegelapan bumi. Mskipun demikian, Allah subhaanahu wa ta’ala mengetahuinya dan melihatnya.
Firman Allah ta’ala:
وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ
Dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering” [QS. Al-An’aam : 59].
Ini adalah umum. Tidak ada sesuatu pun kecuali ia basah atau kering.
Firman Allah ta’ala:
إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuudh)” [QS. Al-An’aam : 59].
Kata kitaab (كِتَابٍ) bermakna maktuub (yang tertulis). Adapun kata mubiin (مُبِينٍ) maknanya nampak dan jelas, karena kata abaana (أَبَانَ) adalah digunakan sebagai fi’il muta’addi (transitif) dan laazim (intransitif). Maka dikatakan : abaanal-fajr, maknanya : fajar telah nampak. Dan dikatakan : abaanal-haqq, makanya : menampakkan kebenaran. Dan yang dimaksudkan dengan Al-Kitaab di sini adalah Lauh Mahfuudh.
Semua perkara ini diketahui oleh Allah subhaanahu wa ta’ala, tertulis di sisi-Nya di Lauh Mahfuudh. Hal itu dikarenakan ketika Allah ta’ala ketika menciptakan pena (al-qalam), Ia berfirman: “Tulislah!”. Pena berkata : “Apa yang harus aku tulis?”. Allah berfirman : “Tulislah apa yang akan terjadi hingga hari kiamat[4]. Maka pena seketika itu menulis apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. Kemudian Allah subhaanahu wa ta’ala memberikan buku catatan di hadapan para malaikat agar ditulis apa yang diperbuat manusia, karena yang ada di dalam Lauh Mahfuudh telah ditulis (oleh pena) apa yang diinginkan manusia ataupun yang diperbuat manusia. Buku catatan yang ditulis para malaikat tersebut berisi balasan terhadap apa yang diperbuat manusia. Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ
Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu” [QS. Muhammad : 31].
Adapun yang ilmu-Nya bahwa si Fulaan apakah akan bersabar ataukah tidak, maka ini telah ada sebelumnya, hanya saja tidak berisi pahala dan siksa.
[selesai – dari Syarh Al-‘Aqiidah Al-Wasiithiyyah oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, 1/193-199; Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 6/1421 H – abul-jauzaa’, perumahan ciomas permai – 17052015 – 22:13].




[1]     Diriwayatkan oleh Muslim no. 8 dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
[2]     Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4778 dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
[3]     Diriwayatkan oleh Muslim no. 2905 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
[4]     Diriwayatkan oleh Ahmad 5/317, Abu Daawud no. 4700, At-Tirmidziy no. 2155, Al-Haakim 2/498 dan ia menshahihkannya, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 804, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 178, dan Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 105. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 133 dan dalam As-Sunnah oleh Ibnu Abi ‘Aashim 1/48-49.

Hukum At-Tark

$
0
0
Telah dimaklumi bersama bahwa sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ditinjau dari segi dzatnya terdiri dari perkataan, perbuatan, dan persetujuan (taqriir) beliau [Syarh Mukhtashar Ar-Raudlah 2/62 dan Mukhtashar Ibnul-Lahaam hal. 74]. Termasuk padanya tulisan, isyarat, kehendak, dan juga apa yang ditinggalkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena semuanya ini masuk dalam perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam[1] [lihat : Syarh Kaukabil-Muniir, 2/160-166].
At-Tark adalah ketiadaan perbuatan yang mampu untuk dilakukan dengan disertai kesengajaan. Oleh karena itu, tidak dikatakan : ‘Fulaan meninggalkan menciptakan langit’.  Begitu juga tidak dikatakan : ‘Orang yang tidur itu telah meninggalkan makan dan minum’. Maka, dengan adanya faktor kemampuan dan kesengajaan dalam at-tark, di sini berputar beberapa konsekuensi seperti pujian atau celaan, dan pahala atau dosa/hukuman.
Ada beberapa bentuk/macam at-tark dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
1.     Sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena faktor tabi’at atau adat/kebiasaan.
Contohnya adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan memakan dlabb (kadal gurun) karena hewan itu tidak ada di daerah kaum beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ، قَالَ: "أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ، فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ، فَقِيلَ لَهُ: إِنَّهُ ضَبٌّ، فَأَمْسَكَ يَدَهُ، فَقَالَ خَالِدٌ: أَحَرَامٌ هُوَ؟ قَالَ: لَا، وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ بِأَرْضِ قَوْمِي، فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ، فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
Dari Khaalid bin Al-Waliid, ia berkata : “Pernah disuguhkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam daging dlabb panggang. (Ketika melihatnya), maka beliau berselera untuk memakannya. Dikatakan kepada beliau : “Daging itu adalah daging dlabb”. Maka, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menahan tangan beliau (tidak jadi mengambilnya ). Khaalid berkata : “Apakah ia diharamkan ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Tidak, akan tetapi hewan itu tidak ada di daerah kaumku, sehingga aku tidak suka memakannya”. Lalu Khaalid pun memakan daging dlabb tersebut, sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihatnya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5400].
Melakukan apa yang ditinggalkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan dan tidak ada tuntutan dalam hal ini untuk mencontoh/meneladani beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara ini.
2.     Sesuatu yang ditinggalkan khusus bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena adanya dalil yang menunjukkan kekhususan ini.
Contohnya adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan memakan bawang yang telah dimasak.
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ إِلَيْهِ بِطَعَامٍ مِنْ خَضِرَةٍ فِيهِ بَصَلٌ أَوْ كُرَّاثٌ، فَلَمْ يَرَ فِيهِ أَثَرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْكُلَ؟ "، فَقَالَ: لَمْ أَرَ أَثَرَكَ فِيهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَسْتَحِي مِنْ مَلائِكَةِ اللَّهِ، وَلَيْسَ بِمُحَرَّمٍ"
Dari Abu Ayyuub Al-Anshaariy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengiriminya makanan dari sayuran yang di dalamnya terdapat bawang merah atau bawang bakung, namun ia tidak melihat bekas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (memakannya), sehingga ia enggan untuk memakannya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda kepadanya : “Apa yang menghalangimu untuk memakannya ?”. Ia menjawab : “Aku tidak melihat bekasmu padanya wahai Rasulullah”. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda : “Aku malu kepada malaikat, namun makanan itu tidak haram” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 3/85-86 no. 1670, Ibnu Hibbaan 5/445-446 no. 2092, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 4/157 no. 3996; shahih].
Ibnu Khuzaimah menjelaskan bahwa hadits Abu Ayyuub ini merupakan pengkhususan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammeninggalkan memakan bawang putih, bawang merang, dan bawang bakung yang telah dimasak [Shahiih Ibni Khuzaimah, 3/85].
3.     Sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena adanya faktor kemaslahatan syar’iy.
Contohnya adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid karena rasa sayang terhadap umatnya.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 882 dan Muslim no. 761].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimaullah menjelaskan:
فيه أن قيام رمضان سنة من سنن النبي عليه السلام مندوب إليها مرغب فيها ولم يسن منها عمر إلا ما كان رسول الله يحبه ويرضاه وما لم يمنعه من المواظبة عليه إلا أن يفرض على أمته وكان بالمؤمنين رؤوفا رحيما صلى الله عليه و سلم فلما علم عمر ذلك من رسول الله وعلم أن الفرائض في وقته لا يزاد فيها ولا ينقص منها أقامها للناس وأحياها وأمر بها وذلك سنة أربع عشرة من الهجرة صدر خلافته
“Dalam hadits terdapat faedah bahwa shalat (tarawih) di bulan Ramadlaan termasuk diantara sunnah-sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disunnahkan dan dianjurkan untuk melakukannya. ‘Umar tidaklah men-sunnah-kannya, karena perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dicintai dan diridlai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sehingga ‘Umar sekedar menghidupkannya– Abul-Jauzaa’). Tidak ada halangan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk terus melakukannya, kecuali karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya, sedangkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sayang terhadap kaum mukminiin. Ketika ‘Umar mengetahui hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambahwa kewajiban-kewajiban di masanya tidak akan bertambah dan berkurang (karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat– Abul-Jauzaa’), maka ia (‘Umar) mendirikannya, menghidupkannya, dan memerintahkannya melakukan shalat tarawih berjama’ah bersama orang-orang. Peristiwa itu terjadi tahun 14 hijriyyah di masa pemerintahannya” [Al-Istidzkaar, 1/62-63].
Contoh lain adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan untuk merobohkan Ka’bah dan membangunannya sesuai dengan yang dibangun Ibraahiim ‘alaihis-salaam pertama kali, dalam rangka ta’liiful-quluub penduduk Makkah yang baru saja terlepas dari kekufuran.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا: "يَا عَائِشَةُ، لَوْ لَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ، لَأَمَرْتُ بالبيت فَهُدِمَ، فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ وَأَلْزَقْتُهُ بِالْأَرْضِ، وَجَعَلْتُ لَهُ بَابَيْنِ بَابًا شَرْقِيًّا وَبَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيمَ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya : “Wahai ‘Aaisyah, seandainya bukanlah karena kaummu baru saja lepas dari Jaahiliyyah, niscaya aku akan perintahkan merobohkan Ka’bah, lalu aku masukkan ke dalamnya apa yang pernah dikeluarkan daripadanya, dan niscaya aku akan tempelkan (pintunya) ke tanah, lalu aku buat pintu timur dan pintu barat. Dengan begitu aku membangunnya di atas pondasi yang telah dibangun oleh Ibraahiim ‘alaihis-salaam..…” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1586 dan Muslim no. 1333].
Contoh lain adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan membunuh orang-orang munafik untuk menghindari dari membuat lari orang-orang yang akan masuk Islam.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: ..... وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ: أَقَدْ تَدَاعَوْا عَلَيْنَا لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ، فَقَالَ عُمَرُ: أَلَا نَقْتُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا الْخَبِيثَ لِعَبْدِ اللَّهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّهُ كَانَ يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ "
Dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “……..Dan 'Abdullah bin Ubay bin Saluul berkata : ‘Apakah mereka (orang-orang Muhaajiriin) menantang kita ? Jika kita sudah kembali ke Madiinah, pasti kelompok yang kuat akan mengusir kelompok yang lemah dari Madinah. ‘Umar berkata : ‘Wahai Rasulullah, mengapa tidak kita bunuh saja orang jahat ini ?’ - maksudnya : ’Abdullah (bin ’Ubay bin Saluul) - . Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ’Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh shahabatnya sendiri” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3518].
Contoh lain adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan untuk menyalatkan jenazah orang yang bunuh diri, memiliki tanggungan hutang, dan melakukan perbuatan ghuluul sebagai hukuman dan tarhiib(upaya menakuti) atas perbuatan mereka, dan juga peringatan kepada umat agar menjauhi perbuatan yang mereka lakukan.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Pernah didatangkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jenazah seorang laki-laki yang bunuh diri dengan tombak, namun beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 978].
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ ؟ قَالُوا: لَا، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ
Dari Salamah bin Al-Akwa’ radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya pernah didatangkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jenazah untuk dishalatkan. Maka beliau shallallaahu‘alaihi wa sallam bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Mereka berkata: "Tidak". Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menyalatkannya. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain.Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallan bertanya: "Apakah orang ini punya hutang?".Mereka menjawab: "Ya". Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Shalatilah saudaramu ini". Abu Qataadah berkata : "Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah". Maka beliau shallallaahu 'alaihi wasallammenyalatkannya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2295].
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ، قال: مَاتَ رَجُلٌ بِخَيْبَرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ إِنَّهُ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ "، فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا فِيهِ خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
Dari Zaid bin Khaalid, ia berkata : “Seseorang meninggal di Khaibar. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shalatilah shahabat kalian ini. Sesungguhnya ia telah berbuat ghuluul di jalan Allah”.[2]Maka kami pun memeriksa perbekalan yang ia bawa dan kami dapati padanya batu mulia dari perhiasan orang-orang Yahudi yang tidak mencapai dua dirham [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1959; dilemahkan oleh Al-Albaaniy dalam Dla’iif Sunan An-Nasaa’iy hal. 66-67, namun dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam takhriij Sunan Abi Daawud 4/344].
Masyru’ tidaknya mencontoh perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tergantung pada keberadaan ‘illat dan/atau pertimbangan maslahat-mafsadat (syar’iy)yang ada.
4.     Sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena ketiadaan kemampuan atau ketiadaan kemungkinan untuk melakukannya.
Contohnya adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan permasalahan-permasalahan yang muncul sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, seperti memerangi orang-orang yang mengingkari kewajiban zakat dan tidak menunaikannya yang baru muncul di jaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu. Seandainya perkara itu muncul di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, pasti beliau akan melakukan seperti yang dilakukan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu.
Bagian ini bukan merupakan at-tark secara istilah yang dimaksudkan dalam bahasan ini sebagaimana disinggung di awal.
5.     Sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelasan atau pensyari’atan (tasyrii’iy) terhadap umatnya secara umum.
Contohnya adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan adzan dan iqamat dalam shalat ‘Iedain, meninggalkan shalat tahiyyatul-masjid berjama’ah, dan meninggalkan perayaan Maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Bagian inilah yang merupakan sunnah tarkiyyah yang mengandung tuntutan untuk melakukannya, yaitu meninggalkan apa yang ditinggalkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila :
a.      terdapat sebab yang menuntut dilakukannya perbuatan tersebut di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,dan
b.      tidak adanya penghalang untuk melakukan perbuatan tersebut di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, sunnah tarkiyyah ini adalah sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya bersamaan dengan adanya faktor pendorong dan ketiadaan penghalang untuk melakukannya, sebagai penjelasan atau pensyari’atan kepada umatnya.
Sunnah tarkiyyah dapat diketahui melalui:
a.      Adanya nash yang jelas dari shahabat radliyallaahu ‘anhum yang menegaskan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian dan demikian, atau meninggalkan demikian dan demikian.
Contohnya:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
Dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Aku pernah shalat ‘Iedain bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beberapa kali tanpa adzan dan iqamat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 887].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعِيدَ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammelakukan shalat ‘Ied tanpa adzan dan iqamat [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1147; shahih].
عَنْ ابْن عُمَرَ: وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَيُوتِرُ عَلَيْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
Dari Ibnu ‘Umar : Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya ke arah mana saja menghadap dan juga melakukan shalat witir di atasnya. Hanya saja beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melaksanakan yang demikian itu untuk shalat wajib” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1098 dan Muslim no. 700].
b.      Berkumpulnya qarinah-qarinah yang menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara teratur/rutin meninggalkan perbuatan tersebut.
Seandainya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, niscaya para shahabat akan menukilnya, karena mereka adalah kaum yang sangat bersemangat dalam menukil dan menyampaikan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ketiadaan penukilan dan pembicaraan di kalangan shahabat tentang perbuatan tersebut menunjukkan perbuatan tersebut memang tidak pernah ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Contohnya adalah melafadhkan niat ketika hendak shalat. Amalan shalat adalah diantara amalan mutawatir dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak ternukil sedikitpun dari para shahabat bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya.
[bagian kelima ini yang menjadi pokok bahasan selanjutnya dalam tulisan]
Dalam sunnah tarkiyyah ini, apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perkara, maka hal tersebut perlu diteladani dan diikuti, karena sesuatu yang beliau tinggalkan termasuk bagian dari sunnah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].
Ibnun-Najaar rahimahullah berkata:
إذا نقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه ترك كذا كان أيضاً من السنة الفعلية
“Apabila dinukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau meninggalkannya, maka hal itu juga termasuk sunnah fi’liyyah” [Syarh Kaukabil-Muniir, 2/165].
As-Sam’aaniy rahimahullah berkata:
إذا ترك النبي صلى الله عليه وسلم شيئاً من الأشياء وجب علينا متابعته فيه
“Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perkara, maka wajib bagi kita untuk mengikuti beliau dalam hal tersebut” [Qawaathi’ul-Adillah, 2/190].
Kewajiban mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam at-tark tidaklah dalam kemutlakannya, akan tetapi mesti memenuhi dua persyaratan, yaitu  adanya sebab yang menuntut dilakukannya perbuatan yang ditinggalkan tersebut di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,dantidak adanya penghalang untuk melakukan perbuatan yang ditinggalkan tersebut di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam– sebagaimana telah disebutkan.
Perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang meninggalkan suatu perkara, menunjukkan adanya pensyari’atan untuk meninggalkan perkara tersebut, dan minimal menunjukkan perkara tersebut hukumnya tidak wajib untuk dilakukan – sebagaimana perkara yang dilakukan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam minimal menunjukkan perkara tersebut hukumnya tidak haram dilakukan [lihat : Miftaahul-Wushuul oleh At-Tilmisaaniy, hal. 580].
Apalagi diperkuat jika salaf (para shahabat, taabi’iin, dan atbaa’ut-taabi’iin) sepakat meninggalkan perbuatan tersebut.
Oleh karena itu, suatu perbuatan yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, taabi’iin, dan atbaa’ut-taabi’iin sepakat untuk meninggalkannya, tidak pernah menukilnya, tidak pernah menuliskannya dalam kitab-kitab mereka, tidak pernah menyinggungnya dalam majelis-majelis mereka, maka perbuatan tersebut berstatus bid’ah (jika dilakukan) dengan syarat : faktor yang mendorong dilakukannya perbuatan tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak ada.
Diantara contoh perkataan para ulama yang menegaskan kaedah ini antara lain adalah Al-‘Izz bin ‘Abdis-Salaam rahimahullah saat membicarakan bid’ahnya shalat raghaaib:
ومما يدل على ابتداع هذه الصلاة أن العلماء الذين هم أعلام الدين وأئمة المسلمين من الصحابة والتابعين وتابعي التابعين وغيرهم ممن دوَّن الكتب في الشريعة مع شدة حرصهم على تعليم الناس الفرائض والسنن لم ينقل عن أحد منهم أنه ذكر هذه الصلاة ، ولا دوَّنها في كتابة ، ولا تعرَّض لها في مجالسه .
والعادة تحيل أن تكون مثل هذه سنة وتغيب عن هؤلاء الذين هم أعلام الدين وقدوة المؤمنين ، وهم الذين إليهم الرجوع في جميع الأحكام من الفرائض والسنن والحلال والحرام
“Dan yang termasuk yang menunjukkan bid’ahnya shalat ini bahwasannya para ulama yang notabene termasuk orang-orang yang paling mengetahui tentang agama dari kalangan shahabat, taabi’iin, taabi’ut-taabi’iin, dan ulama lainnya yang menyusun kitab-kitab dalam syari’at ini – dengan besarnya semangat mereka dalam mengajarkan manusia tentang hal-hal yang fardlu dan sunnah – , tidak pernah ternukil dari salah seorang pun dari mereka yang menyebutkan shalat ini, tidak pernah menuliskannya dalam kitab-kitab mereka, dan tidak pula menyinggungnya dalam majelis-majelis mereka.
Adat kebiasaan menganggap mustahil hal ini menjadi sunnah serta tidak diketahui oleh mereka yang merupakan orang-orang yang paling mengerti akan agama dan teladan bagi kaum mukminiin. Mereka adalah tempat rujukan bagi seluruh hukum-hukum agama baik yang fardlu, sunnah, halal, dan haram” [At-Targhiib ‘an Shalaatir-Raghaaib Al-Maudluu’ah hal. 9. Lihat pula Al-Baa’its, hal. 47].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang maulid nabi:
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير أحرص .  وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته وإتباع أمره ، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان . فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم  بإحسان
”Sesungguhnya ini (perayaan maulid) tidak pernah dilakukan oleh salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor penghalangnya tidak ada. Seandainya ini murni baik atau kuat, tentu salaf lebih berhak (melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam lebih dari yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala kebaikan. Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya terdapat pada kesetiaan mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya, serta berjihad demi semua itu dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan yang ditempuh oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan” [Iqtidlaa’ Shirathil-Musthaqiim, 2/615].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وأما أهل السنة والجماعة فيقولون في كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة: هو بدعة؛ لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه، لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها
“Adapun Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengatakan bahwa setiap perbuatan dan ucapan yang tidak berasal dari shahabat, maka statusnya bid’ah. Seandainya hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita, karena mereka tidak pernah meninggalkan satu kebaikan pun, kecuali mereka telah lebih dahulu melakukannya” [Tafsiir Ibni Katsiir, 7/278-279].
Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahumallah berkata:
كل من تكلم بكلام في الدين أو في شيء من هذه الأهواء ليس له فيه إمام متقدم من النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه فقد أحدث في الإسلام حدثًا
“Setiap orang mengatakan satu perkataan dalam perkara agama atau sesuatu dari urusan hawa nafsu yang tidak memiliki imam pendahulunya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat, sungguh ia telah membuat-buat perkara baru dalam Islam” [Shaunul-Manthiq wal-Kalaam, hal. 150].
Taqiyyuddiin As-Subkiy rahimahullah pernah ditanya tentang sebagian perkara bid’ah, ia berkata:
الحمد لله ، هذه بدعة لا يشك فيها أحد ، ولا يرتاب في ذلك ، ويكفي أنها لم تُعرف في زمن النبي صلى الله عليه وسلم ، ولا في زمن أصحابه ، ولا عن أحد من علماء السلف
“Segala puji bagi Allah, ini adalah bid’ah, tidak seorang pun ragu dan bimbang akan hal itu. Dan cukuplah bahwasannya hal itu tidak pernah diketahui di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak di jaman para shahabatnya, dan tidak pula seorang pun dari ulama salaf” [Fataawaa As-Subkiy, 2/549].
As-Suyuuthiy rahimahullah menukil perkataan Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu:
كل عبادة لم يتعبد بها أصحاب رسول الله فلا تتعبدوا بها؛ فإن الأول لم يدع للآخر مقالاً؛ فاتقوا الله يا معشر القراء، خذوا طريق من كان قبلكم
“Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan engkau lakukan, karena generasi awal tidaklah menyisakan satu perkataan pun bagi generasi berikutnya. Bertaqwalah wahai orang-orang yang rajin beribadah, ambillah jalan orang-orang sebelum kalian” [Al-Amru bil-Ittibaa’, hal. 62].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ لا يُصَلِّي الضُّحَى، حَتَّى أَدْخَلَنَاهُ عَلَى أُمِّ هَانِئٍ، فَقُلْتُ لَهَا: أَخْبِرِي ابْنَ عَبَّاسٍ بِمَا أَخْبَرْتِينَا بِهِ، فَقَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ: "دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي، فَصَلَّى صَلاةَ الضُّحَى ثَمَانِ رَكَعَاتٍ، فَخَرَجَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ، فَمَا عَرَفْتُ صَلاةَ الإِشْرَاقِ إِلا السَّاعَةَ، يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإِشْرَاقِ، ثُمَّ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: هَذِهِ صَلاةُ الإِشْرَاقِ "
Dari ‘Abdullah bin Al-Haarits : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas dulu tidak mengerjakan shalat Dluhaa, hingga kami mempertemukannya dengan Ummu Haani’. Aku berkata kepadanya : “Khabarkanlah kepada Ibnu ‘Abbaas dengan apa yang telah engkau khabarkan kepada kami”. Kemudian Ummu Haani’ berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pernah masuk ke rumahku, lalu beliau mengerjakan shalat Dluhaa sebanyak 8 raka’at”. Kemudian Ibnu ‘Abbaas keluar seraya berkata : “Sungguh, aku telah membaca mushhaf, dan aku tidaklah mengetahui shalat isyraaq kecuali saat ini. (Allah ta’ala berfirman : ) ‘untuk bertasbih di waktu petang dan pagi(isyraaq)’ (QS. Shaad: 18)”. Kemudian Ibnu ‘Abbaas berkata : Ini adalah shalat isyraaq” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/53].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa meninggalkan shalat Dluhaa karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya juga (= tidak mengerjakannya). Setelah tahu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya, maka ia baru mengerjakannya.
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا، أَنْ نَقُولَ: "الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
Dari Naafi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammengajari kami. Akan tetapi beliau mengajari kami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2738; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/93-94].
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa mengingkari dan menyuruh orang meninggalkan bacaan shalawat ketika bersin karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa meninggalkan apa yang ditinggalkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Syari’at Islam telah sempurna. Segala kebaikan telah diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada yang tersisa. Apa yang tidak menjadi bagian dari agama waktu itu (di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya), maka tidak pula menjadi bagian dari agama di waktu sekarang.
Allah ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Dari Abu Dzarr, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami dalam keadaan tudak ada burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak tersisa sesuatupun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 2/155-156 no. 1647; sanadnya shahih].
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Irbaadl bin Saariyyah : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Siapa saja yang hidup di antara kalian sepeninggalku nanti, akan menjumpai banyak perselisihan. Wajib atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah dan sunnah para khalifah yang mendapatkan hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham. Waspadailah kalian terhadap hal-hal yang baru, karena setiap hal-hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada di dalamnya, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2697 dan Muslim no. 1718].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Barangsiapa yang beramal dengan satu amalan yang tidak ada keterangannya dari kami, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718].
قال ابن الماجشون سمعت مالكا يقول من ابتدع في الاسلام بدعه يراها حسنه فقد زعم ان محمدا ( صلى الله عليه وسلم ) خان الرسالة لان الله يقول ( اليوم أكملت لكم دينكم ) فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا
Ibnul-Maajisyuun berkata : Aku mendengar Maalik (bin Anas) berkata : “Barangsiapa yang berbuat bid’ah dalam Islam lantas memandangnya sebagian kebaikan, sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah, Hal itu dikarenakan Allah ta’ala telah berfirman : ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu’ (QS. Al-Maaidah : 3). Maka apa saja yang bukan merupakan perkara agama pada waktu itu (yaitu jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat), maka itu juga bukan perkara agama pada hari ini” [Al-I’tishaam, 1/49].
Perkara bid’ah timbul karena melakukan apa yang dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat meninggalkannya.
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 19052015 – 00:34 – mengambil faedah dari buku Qawaa’idu Ma’rifatil-Bida’ dan Sunnatut-Tark, keduanya tulisan Dr. Muhammad bin Husain Al-Jizaaniy hafidhahullah].




[1]     Dalil bahwasannya at-tark termasuk bagian dari perbuatan adalah firman Allah ta’ala:
كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu [QS. Al-Maaidah : 79].
Allah ta’ala telah menamakan ketiadaan melarang perbuatan kemungkaran sebagai ‘satu perbuatan’ dan mencela perbuatan ini dengan firman-Nya : ‘Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu’.
Dalil lain adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari (keburukan) lisan dan tangannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 10 & 6484 dan Muslim no. 41].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakan ‘meninggalkan suatu gangguan’ dengan Islam menunjukkan at-tark merupakan bentuk ‘perbuatan’.
[2]     Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata :
ما نعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم ترك الصلاة على أحد إلا على الغال وقاتل نفسه
“Kami tidak mengetahui bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan untuk menyalati seseorang kecuali orang yang berbuat ghuluul dan bunuh diri” [Al-Kabaair, hal. 56].

Hukum Belajar di Sekolah yang Ada Ikhtilath-nya

$
0
0
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum belajar di sekolah yang terdapat ikhtilaath di dalamnya. Maka beliau menjawab :
فعلى كلِّ حالٍ نقول -أيها الأخ- يجب عليك أن تطلب مدرسةً ليس هذا وضعها، فإن لم تجد مدرسةً إلاَّ بهذا الوضع وأنت محتاجٌ إلى الدراسة فإنك تقرأ وتدرس وتحرص بقدر ما تستطيع على البعد عن الفاحشة والفتنة، بحيث تغضُّ بصرَك وتحفظ لسانَك، ولا تتكلَّم مع النساء، ولا تمرُّ إليهنَّ
’Alaa kulli haal kami katakan – wahai saudaraku – : tetap wajib bagimu untuk mencari sekolah yang bukan di tempat itu. Namun jika engkau tidak mendapati sekolah lain kecuali di tempat tersebut, sedangkan dirimu membutuhkan untuk belajar padanya, maka hendaknya engkau membaca, belajar, dan senantiasa bersemangat sesuai dengan kemampuanmu untuk menjauhi kekejian dan fitnah dengan menundukkan pandanganmu, menjaga lisanmu, dan janganlah engkau berbicara dengan wanita dan berjalan menuju mereka” [Fataawaa Mar-atil-Muslimah, 6/576].
Adapun Asy-Syaikh‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Al-Jibriin rahimahullah menjawab:
لا يجوز بالنسبة للنساء أن يدرسنَ في المدرسة التي يحصل فيها الاختلاط بالرجال، سواء كان ذلك في حقِّ الطالبات أو المُدرِّسات؛ لما في ذلك من الفتنة.
وأمَّا الرجال والطُلاَّب فلهم الدراسة مع الحرص على غضِّ البصر والبُعد عن الاحتكاك بالنساء المُتكشفات، أو القُرب منهنَّ. والله أعلم
“Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk belajar di sekolah yang terjadi padanya ikhtilaath dengan laki-laki. Larangan itu berlaku baik untuk sisiwinya maupun pengajar wanitanya, karena dapat menimbulkan fitnah.
Adapun bagi laki-laki dan para siswanya, maka mereka boleh belajar di tempat tersebut dengan tetap senantiasa menjaga pandangan, menjauhi interaksi dengan wanita yang ditemui atau berdekatan dengan mereka, wallaahu a’lam” [Al-Fataawaa no. 2718 – dari website beliau].

[abul-jauzaa – perumahan ciomas permai – 19052015 – 22:34 – silakan baca artikel terkait : Dalil-Dalil Larangan Ikhtilaath].

Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (11) – As-Sunnah dan Akal

$
0
0
٩ - ليس في السنة قِيَاسٌ
9.     Tidak ada qiyaas dalam As-Sunnah.
Penjelasan:
Para ulama berbeda perkataan dalam menjelaskan maksud ucapan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah di sini.
1.     Dikatakan maksudnya adalah tidak boleh menyertakan sesuatu terhadap sunnah yang bukan termasuk darinya yang kemudian menjadikannya sebagai sunnah dan kita katakan sesuatu tersebut dinashkan dalam sunnah.
2.     Dikatakan juga, maksud qiyas di sini adalah qiyaasfaasid (qiyas yang rusak), yaitu qiyas yang bertentangan dengan nash dan ijmaa’. Ini adalah qiyas yang terlarang. Apabila didapatkan satu nash dalam satu permasalahan, maka tidak boleh menentangnya dengan qiyas, karena pertentangan nash dengan qiyas menyebabkan qiyas tersebut rusak.
Misalnya qiyas riba yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap jual-beli. Allah ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” [QS. Al-Baqarah : 275].
Ini adalah qiyas yang rusak karena dilakukan untuk menentang firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman” [QS. Al-Baqarah : 278].
Contoh lain adalah qiyas yang dilakukan Ibliis ketika ia mengatakan:
أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah” [QS. Al-A’raaf : 12].
Ini adalah qiyas yang rusak karena dilakukan untuk menentang firman Allah ta’ala:
اسْجُدُوا لآدَمَ
Sujudlah kalian kepada Adam” [QS. Al-Baqarah : 34].
Contoh lain adalah seseorang meninggalkan shalat ketika safar karena mengqiyaskan kebolehan tidak berpuasa (berbuka) bagi seorang musafir.
Apabila telah ada nash, maka tidak boleh menentangnya/membantahnya dengan qiyas, tidak dengan akal, tidak dengan pendapat, dan tidak dengan apapun. Kewajiban kita hanyalah tasliim (menerima). Allah ta’ala berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
3.     Dikatakan juga maksudnya tidak ada qiyas dalam perkara ‘aqidah dan ibadah mahdlah (murni), karena keduanya bersifat tauqifiyyah, (ditetapkan berdasarkan nash).
‘Aqidah dan ibadah mahdlah ditetapkan tidak berdasarkan ‘illat, karena Allah ta’ala berfirman:
لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, namun merekalah yang (kelak) akan ditanyai” [QS. Al-Anbiyaa’ : 23].
Padahal qiyas sendiri ditetapkan berdasarkan ‘illat, dan ‘illat tersebut termasuk diantara rukun-rukunnya. Adapun qiyas antara perkara cabang dengan perkara pokok dalam suatu hukum karena ada kesamaan ‘illat– sebagaimana masyhur dalam bahasan fiqh/ushul fiqh - , maka ini diperbolehkan.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
كان أحمد و غيره من فقهاء أهل الحديث يقولون إن الأصل فى العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله تعالى و إلا دخلنا في معنى قوله أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Ahmad dan yang lainnya dari kalangan fuqahaa’ ahli hadits berkata : Sesungguhnya pokok dalam ibadah-ibadah adalah tauqiif, sehingga tidak disyari’atkan darinya kecuali apa-apa yang disyari’atkan oleh Allah ta’ala. Jika tidak demikian, kita akan masuk dalam makna firman-Nya ta’ala : ‘Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?’ (QS. Asy-Syuuraa : 21)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 29/17].
Contoh qiyas yang diperbolehkan adalah qiyas antara haramnya narkoba dengan (haramnya) khamr karena mempunyai ‘illat yang sama, yaitu memabukkan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2003].
Yang menjadi cabang dalam hal ini adalah narkoba, sedangkan yang pokok adalah khamr.
Contoh qiyas yang tidak dipebolehkan adalah qiyas antara batalnya wudlu karena makan daging burung onta (an-na’aamah) dengan batalnya wudlu karena makan daging onta. Hukum pada perkara pokoknya (yaitu batalnya wudlu karena makan daging onta) tidak memiliki ‘illat yang diketahui, akan tetapi ini adalah perkara murni ta’abbduiy (ibadah mahdlah) berdasarkan pendapat yang masyhur.
Begitu juga dalam perkara aqidah, maka tidak ada qiyas, yaitu qiyas syumul dan qiyas tamtsil. Adapun aulawiyyah, maka diperbolehkan.
a.      Qiyas asy-syumuul : mengqiyaskan satu bagian kepada sesuatu yang umum yang mencakup seluruh bagian-bagiannya, sehingga setiap bagian tersebut masuk dalam yang umum baik lafadh maupun maknanya.
Qiyas ini seperti silogisme berikut:
PMy  :   Semua mamalia berkaki empat.
PMn  :   Sapi adalah mamalia.
K    :   Sapi berkaki empat.
Qiyas ini boleh dan benar.
PMy  :   Semua yang memiliki tangan adalah makhluk.
PMn  :   Allah memiliki tangan.
K    :   Allah adalah makhluk.
Qiyas ini tidak boleh dan tidak benar. Akibat penggunakan logika qiyas ini, ahlul-bida’ telah terjerumus dalam kesesatan dalam menolak nash dan kemudian mentahrifnya (menyelewengkannya) kepada makna-makna yang menyimpang. Mereka katakan bahwa dikarenakan semua yang memiliki tangan adalah makhluk, maka setiap orang yang mengatakan Allah memiliki tangan mengkonsekuensikan anggapan bahwa Allah adalah makhluk. Ini tidak benar, kata mereka. Oleh karena itu, ‘tangan’ di situ mesti ditakwilkan kepada makna lain seperti kekuasaan, kehendak, dan yang lainnya untuk menghindari penyerupaan terhadap makhluk-Nya. Akibat dari logika qiyas ini, mereka menuduh Ahlus-Sunnah yang menetapkan sifat tangan bagi Allah ta’alasebagaimana dhahirnya sebagai musyabbihah dan mujassimah.
Logika qiyas yang mereka lakukan untuk menolak nash itu tidak benar karena Allah ta’ala telah menetapkan bagi diri-Nya mempunyai tangan, namun tangan-Nya berbeda dengan tangan makhluk-Nya; sebagaimana Allah ta’ala menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun kedua sifat ini berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Allah ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
b.      Qiyaas at-tamtsiil : menyamakan sesuatu dengan yang semisalnya, dengan menjadikan apa yang tetap bagi Allah seperti apa yang tetap bagi makhluk-Nya.
Allah mempunyai tangan, makhluk juga mempunyai tangan. Jadi, tangan Allah sama seperti tangan makhluk. Qiyas ini jelas tidak benar dengan dalil QS. Asy-Syuuraa ayat 11 di atas.
c.      Qiyas al-aulawiyyah : qiyas dimana perkara cabangnya lebih kuat dan lebih berhak terhadap hukumnya daripada pokoknya. Qiyas seperti ini diperbolehkan untuk Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأعْلَى
Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi” [QS. An-Nahl : 60].
Maknanya, semua sifat sempurna (dari makhluk-Nya – jika ada), maka Allah ta’ala memiliki sifat-sfat tersebut yang paling tinggi dan paling sempurna [Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, 1/130].
Contohumumnya adalah mengqiyaskan larangan memukul dengan larangan perkataan ‘ah’ dan bentakan terhadap orang tua dalam firman Allah ta’ala:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” [QS. Al-Israa’ : 23].
Maksudnya, jika perkataan ‘ah’ dan hardikan saja dilarang (ini perkara pokoknya), maka memukul (perkara cabang) tentu lebih kuat larangan dan pengharamannya.
Adapun contoh penggunaan qiyas ini untuk hak Allah adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ
“Allah jauh lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya, daripada salah seorang di antara kalian yang berada di atas hewan tunggangannya di tanah yang tandus....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2747].
Hadits ini menetapkan sifat gembira.
Juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
أَتُرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا: لَا، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لَا تَطْرَحَهُ فَقَالَ: لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
Apakah menurut kalian ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam api ?”. Kami (para shahabat) menjawab : “Tidak. Ia tidak akan tega melemparkannya”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah lebih sayang terhadap hamba-Nya daripada (kasih sayang) ibu ini terhadap anaknya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5999].
Hadits ini menetapkan sifat rahiim (penyayang).
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
١٠ - وَلَا تُضْرَبُ لَهَا الْأَمْثَالُ، وَلَا تُدْرَكُ بِالْعُقُولِ وَلَا الْأَهْوَاءِ، وَإِنَّمَا هُوَ الْاتِّبَاعُ وَتَرْكُ الْهَوَى
10.   As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan-permisalan dan tidak boleh dipahami dengan akal semata dan hawa nafsu. Kewajiban yang ada hanyalah ittibaa’ dan meninggalkan hawa nafsu.
Penjelasan:
As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan-permisalan, sehingga dikatakan ini seperti ini sehingga hukumnya demikian dan demikian. Ini dilakukan dalam rangka membantah As-Sunnah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "تَوَضَّئُوا مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ "، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتَوَضَّأُ مِنَ الْحَمِيمِ؟ فَقَالَ لَهُ: يَا ابْنَ أَخِي إِذَا سَمِعْتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا فَلَا تَضْرِبْ لَهُ الْأَمْثَالَ
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernha bersabda : “Berwudlulah karena makan sesuatu yang dimasak oleh api”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Apakah mesti juga berwudlu karena minum air panas ?”. Maka Abu Hurairah berkata : “Wahai anak saudaraku, apabila engkau mendengar hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan engkau buat permisalan-permisalan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 485; hasan].
Ibnu Maajah membawakan riwayat di atas secara lebih singkat dalam Bab : ‘Pengagungan terhadap Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Teguran terhadap Orang yang Menentangnya’ :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ لِرَجُلٍ: "يَا ابْنَ أَخِي، إِذَا حَدَّثْتُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا، فَلَا تَضْرِبْ لَهُ الْأَمْثَالَ "
Dari Abu Salamah : Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata pada seseorang (yaitu Ibnu ‘Abbaas) : “Wahai anak saudaraku, apabila aku menceritakan hadits kepadamu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, jangan engkau buat untuknya permisal-permisalan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 22; hasan].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ: "اقْتَتَلَتِ امْرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلٍ فَرَمَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى بِحَجَرٍ، فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِي بَطْنِهَا، فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ دِيَةَ جَنِينِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَلِيدَةٌ، وَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ، فَقَالَ حَمَلُ بْنُ النَّابِغَةِ الْهُذَلِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أَغْرَمُ مَنْ لَا شَرِبَ وَلَا أَكَلَ وَلَا نَطَقَ وَلَا اسْتَهَلَّ فَمِثْلُ ذَلِكَ يُطَلُّ؟، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ مِنْ أَجْلِ سَجْعِهِ الَّذِي سَجَعَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Ada dua orang wanita yang saling bunuh dari suku Hudzail. Salah seorang diantara keduanya melempari batu kepada yang lain sehingga membunuhnya dan janin yang ada di perutnya. Maka mereka memperkarakannya ke hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memutuskan diyat bagi janinnya denda berupa budak laki-laki atau budak perempuan. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun memutuskan diyat yang wanita terbunuh itu dibebankan kepada keluarga wanita pembunuh dan mewariskannya kepada anaknya dan keluarga yang bersama mereka. Hamal bin An-Naabighah Al-Hudzaliy berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa aku menanggung denda orang yang tidak bisa minum, tidak bisa makan, tidak bisa berbicara, dan tidak bisa menangis ?. Maka yang semisal itu dibatalkan saja”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang ini hanyalah saudaranya para dukun” – dengan sebab sajaknya yang ia katakan [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6910 dan Muslim no. 1681].
Banyak sekali contoh yang lain dari salaf yang mereka membenci  dan bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak/meremehkan As-Sunnah.
عَنْ عِمْرَان بْن حُصَيْنٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ "فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ: مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ سَكِينَةً، فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ
Dari ‘Imraan bin Hushain, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Malu tidak datang kecuali dengan kebaikan”. Maka Busyair bin Ka’b berkata : “Terulis di dalam buku hikmah bahwa mau itu ada yang merupakan kelemahan, atau pula merupakan ketenangan”. ‘Imraan berkata kepadanya : “Aku menceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan engkau menceritakan kepadamu dari lembaran-lembaranmu ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6117 dan Muslim no. 37].
Ibnu Hajar menukil pendapat ulama bahwa kemarahan ‘Imraan bin Hushain karena perkataan Busyair diucapkan untuk menentang/menyelisihi perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [lihat : Fathul-Baariy, 10/552].
عَنْ أَبِي الْمُخَارِقِ، قَالَ: ذَكَرَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نَهَى عَنْ دِرْهَمَيْنِ بِدِرْهَمٍ "، فَقَالَ فُلَانٌ: مَا أَرَى بِهَذَا بَأْسًا، يَدًا بِيَدٍ، فَقَالَ عُبَادَةُ: أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: لَا أَرَى بِهِ بَأْسًا، وَاللَّهِ لَا يُظِلُّنِي وَإِيَّاكَ سَقْفٌ أَبَدًا
Dari Abul-Mukhaariq, ia berkata : ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu ‘anhupernah menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang dua dirham ditukar dengan satu dirham”. Lalu Fulaan berkata : “Aku berpendapat itu tidak mengapa, asalkan cash tangan dengan tangan”. Maka ‘Ubaadah berkata : “Aku berkata ‘telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’ dan engkau malah berkata : ‘aku berpandapat itu tidak mengapa’. Demi Allah, aku dan engkau tidak akan pernah berada satu atap selama-lamanya (karenanya)” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 443; shahih].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يَخْذِفُ، فَقَالَ لَهُ: لَا تَخْذِفْ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْخَذْفِ، أَوْ كَانَ يَكْرَهُ الْخَذْفَ، وَقَالَ: إِنَّهُ لَا يُصَادُ بِهِ صَيْدٌ، وَلَا يُنْكَى بِهِ عَدُوٌّ، وَلَكِنَّهَا قَدْ تَكْسِرُ السِّنَّ وَتَفْقَأُ الْعَيْنَن "، ثُمَّ رَآهُ بَعْدَ ذَلِكَ يَخْذِفُ، فَقَالَ لَهُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْخَذْفِ أَوْ كَرِهَ الْخَذْفَ، وَأَنْتَ تَخْذِفُ، لَا أُكَلِّمُكَ كَذَا وَكَذَا
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal, bahwasannya ia pernah melihat seseorang yang bermain melempar-lempar kerikil (khadzaf). Ia berkata : “Janganlah melempar-lempar kerikil. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang melempar-lempar kerikil – atau beliau membenci melempar-lempar kerikil. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya melempar kerikil itu tidak dapat membunuh binatang buruan dan tidak dapat melumpuhkan musuh. Akan tetapi hanya mematahkan tulang dan menciderai mata’. Kemudian setelah itu, ia (Abdullah bin Mughaffal) kembali melihat orang itu bermain melempar-lempar kerikil. Lalu ia berkata kepadanya : “Bukankah aku telah menyampaikan kepadamu hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang melempar-lempar kerikil – atau beliau membenci melempar-lempar kerikil, sedangkan engkau masih melakukannya? Sungguh aku tidak akan mengajakmu bicara demikian dan demikian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5479 dan Muslim no. 1954].
عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَ ابْنُ سِيرِينَ رَجُلًا بِحَدِيثٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَجُلٌ: قَالَ فُلَانٌ: كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ: "أُحَدِّثُكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: قَالَ فُلَانٌ وَفُلَانٌ: كَذَا وَكذَا، لَا أُكَلِّمُكَ أَبَدًا "
Dari Qataadah, ia berkata : Ibnu Siiriin pernah menceritakan kepada seseorang satu hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Orang tersebut berkata : “Telah berkata Fulaan begini dan begitu”. Maka Ibnu Siiriin berkata : “Aku menceritakan kepadamu satu hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamdan engkau berkata : ‘telah berkata Fulaan begini dan begitu?. Aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 443; shahih].
أخبرنا أبو بكر محمد بن عبد الله بن محمد بن زكريا الشيباني، أخبرنا أبو العباس محمد بن عبد الرحمن الدغولي، سمعت محمد بن حاتم المظفري يقول: كان أبو معاوية الضرير يحدث هارون الرشيد فحدثه بحديث أبي هريرة "احتج آدم وموسى"، فقال عيسى بن جعفر: كيف هذا وبين آدم وموسى ما بينهما؟ قال فوثب به هارون وقال: يحدثك عن الرسول صلى الله عليه وسلم وتعارضه بكيف؟ قال: فما زال يقول حتى سكت عنه
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad  bin Zakariyyaa Asy-Syaibaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Ad-Daghuuliy : Aku mendengar Muhammad bin Haatim Al-Mudhaffariy berkata : “Dulu Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir pernah menceritakan kepada Haaruun Ar-Rasyiid. Maka ia menceritakan hadits Abu Hurairah : ‘Aadam berdebat dengan Muusaa’. Lalu ‘Iisaa bin Ja’far berkata : “Bagaimana itu terjadi sedangkan antara Aadam dan Muusaa terpaut masa yang cukup jauh”. Mendengar itu, Haarun meloncat berdiri seraya berkata : “Diceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan engkau membantahkan dengan perkataan ‘bagaimana’ ?”. Perawi berkata : “Haaruun senantiasa mengulangnya gingga ia terdiam darinya” [Diriwayatkan oleh ‘Ash-Shaabuhiy dalam ‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 126-127 no. 184; shahih].
Setelah menyebutkan kisah Haaruun Ar-Rasyiid di atas Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuniy rahimahullah berkata:
هكذا ينبغي للمرء أن يعظم أخبار رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويقابلها بالقبول والتسليم والتصديق. وينكر أشد الإنكار على من يسلك فيها غير هذا الطريق الذي سلكه هارون الرشيد رحمه الله مع من اعترض على الخبر الصحيح، الذي سمعه بكيف؟ على طريق الإنكار له، والابتعاد عنه، ولم يتلقه بالقبول كما يجب أن يتلقى جميع ما يرد من الرسول صلى الله عليه وسلم.
“Begitulah yang seharusnya dilakukan oleh seseorang untuk mengagungkan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menerimanya dengan penuh penerimaan, kepasrahan, dan pembenaran. Dan hendaknya ia mengingkari dengan sebesar-besar pengingkaran terhadap orang yang tidak menempuh jalan ini yang ditempuh oleh Haaruun Ar-Rasyiid rahimahullah terhadap orang yang menentang hadits shahih yang ia dengar dengan perkataan ‘bagaimana (kaifa) ?’ dalam rangka pengingkaran dan menjauhkan diri darinya; bukan menerimanya sebagaimana keharusan bagi dirinya untuk menerima semua yang dikhabarkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [idem, hal. 127].
As-Sunnah tidak boleh dipahami dengan akal semata dan hawa nafsu.
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berkata:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ، لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ "
“Seandainya agama ini diukur dengan akal pikiran semata, niscaya bagian bawa khuff(sepatu) lebih berhak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas kedua khuff-nya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 162; shahih].
Bagian bawah khuff yang menginjak tanah pada umumnya lebih kotor daripada bagian atasnya, sehingga secara akal yang perlu dibersihkan adalah bagian bawahnya. Namun ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khuff ketika bersuci, maka ia buang jauh-jauh logika akal tersebut dan hanya mengikuti apa yang ia lihat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Lebih jelas lagi adalah riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berikut:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْ لَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
Dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia pernah mendatangi hajar aswad lalu menciumnya dan berkata : “Sesungguhnya aku tahu bahwasannya engkau hanyalah sebuah batu yang tidak memberikan kemudlaratan dan tidak pula manfaat. Seandainya aku tidak melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tidak sudi menciummu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1597].
Akal sebenarnya mengatakan bahwa batu yang notabene tidak dapat memberikan manfaat maupun mudlarat tidak layak untuk dicium atau diusap-usap. Akan tetapi dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dalam rangkaian ibadah manasik haji (thawaf) untuk mencium hajar aswad, maka ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pun menciumnya semata-mata karena ber-ittibaa’ kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ سَهْل بْن حُنَيْفٍ، قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّهِمُوا رَأْيَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ لَقَدْ رَأَيْتُنِي يَوْمَ أَبِي جَنْدَلٍ وَلَوْ أَسْتَطِيعُ أَنْ أَرُدَّ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ لَرَدَدْتُهُ
Dari Sahl bin Hunaif, ia berkata : “Wahai sekalian manusia, curigailah pendapat kalian terhadap agama kalian. Sungguh aku telah menyaksikan diriku pada peristiwa Abu Jandal, seandainya aku sanggup untuk menolak perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, niscaya aku akan menolaknya....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3181 & 7308].
Maksud perkataan ‘curigailah pendapat kalian terhadap agama kalian’ adalah : Janganlah kalian beramal dalam perkara agama berdasarkan akal pikiran saja tanpa bersandar pada pokok dari agama [Fathul-Baariy, 13/288-289].
Oleh karena itu, orang rasionalis yang menyandarkan agamanya dengan akal pikirannya semata, tidak akan pernah bersatu dengan Ahlus-Sunnah. Bahkan mereka adalah musuh yang keras terhadap sunnah dan orang-orang yang berpegang kepadanya.
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berkata:
أَصْبَحَ أَهْلُ الرَّأْيِ أَعْدَاءَ السُّنَنِ، أَعْيَتْهُمُ الأَحَادِيثُ أَنْ يَعُوهَا، وَتَفَلَّتَتْ مِنْهُمْ أَنْ يَرْوُوهَا فَاسْتَبَقُوهَا بِالرَّأْيِ
Ahlur-ra’yi (= orang-orang yang mengedepankan akal/rasionalis) telah menjadi musuh-musuh sunnah. Hadits-hadits telah menyebabkan mereka tidak mampu untuk menghapalkannya/memahaminya, sehingga mereka pun tidak dapat meriwayatkannya. Lalu mereka bergegas untuk mengambil pendapat dengan akal pikiran mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Al-Jaami’ no. 2001 & 2003 & 2004, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 213, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 201, dan yang lainnya; shahih].
Seperti yang terjadi di negeri kita ini dimana orang-orang Rasionalis sering mengejek orang-orang yang berpegang terhadap sunnah sebagai orang yang beragama dengan agamanya orang Arab.
Tidak boleh menentang sunnah dengan akal, karena sunnah adalah wahyu yang terjaga dari kekeliruan, sedangkan akal diciptakan dengan penuh keterbatasan. Bukankah manusia ketika dilahirkan memiliki kadar akal minimal, kemudian akalnya berkembang dan mencapai batas maksimal ketika dewasa, dan kemudian akhirnya melemah hingga dapat kembali pada keadaan awal seperti ketika ia lahir dari perut ibunya?. Akal pun berbeda-beda kadarnya antara satu orang dengan orang yang lain. Apa yang ditetapkan sunnah sebagai kebenaran dan kebaikan, maka ia pasti benar dan baik. Berbeda halnya dengan akal. Permasalahan keterbatasan akal di sini lebih mudah digambarkan pada 5 orang buta yang disuruh mendeskripsikan seekor gajah yang ada di hadapan mereka. Tentu masing-masing akan berbeda-beda dalam pendeskripsiannya, karena masing-masing mendeskripsikan sebatas bagian tubuh gajah yang dapat dipegang dan kemampuan otaknya untuk membayangkan apa sebenarnya yang mereka pegang. Seperti itulah gambaran akal manusia yang seringkali tidak berhasil dalam melihat hakekat sesuatu secara keseluruhan. Hanya Allah ta’ala yang Maha Mengetahui hakekat apa yang Ia ciptakan secara keseluruhan, mana yang benar mana yang salah, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat, dan seterusnya.
Berbicara masalah agama yang hanya mengandalkan akal semata, dapat menyebabkan seseorang berbicara tentang Allah ta’ala tanpa ilmu sehingga ia terjatuh dalam dosa besar yang paling besar. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" [QS. Al-A’raaf : 33].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
فرتب المحرمات أربع مراتب وبدأ بأسهلها وهو الفواحش ثم ثنى بما هو أشد تحريما منه وهو الإثم والظلم ثم ثلث بما هو أعظم تحريما منهما وهو الشرك به سبحانه ثم ربع بما هو أشد تحريما من ذلك كله وهو القول عليه بلا علم
“Allah ta’ala telah mengklasifikasikan perkara-perkara haram menjadi empat tingkatan. Allah memulainya dengan yang paling ringan, yaitu perbuatan-perbuatan keji (fawaahisy), kemudian Allah ta’ala menyebutkan yang lebih berat darinya, yaitu perbuatan dosa dan aniaya (kedhaliman). Kemudian Allah ta’ala menyebutkan yang ketiga yang lebih haram darinya, yaitu berbuat syirik kepada Allah subhaanahu wa ta’ala. Kemudian menyebutkan yang keempat yang lebih haram dari semuanya, yaitu berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu” [I’laamul-Muwaqqi’iin, 1/38].
Contoh kongkritnya adalah atheis. Keyakinan atheis (peniadaan tuhan) lebih berat daripada kesyirikan, karena atheis ini adalah peniadaan secara total sedangkan kesyirikan adalah peniadaan sebagian (peniadaan pengesaan Allah dalam ‘ubuudiyyah). Dan tidaklah paham atheis ini muncul kecuali karena adanya pengagungan terhadap akal. Mereka hanya percaya pada sesuatu yang dapat diindera. Dikarenakan Allah ta’ala tidak dapat diindera, maka mereka menyimpulkan Allah itu tidak ada. Subhaanallaah.
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى
Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah” [QS. Thaha : 6].
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” [QS. Aali ‘Imraan : 190-191].
Kewajiban yang ada hanyalah ittibaa’.
Allah ta’ala berfirman:
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik” [QS. Al-An’aam : 106].
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” [QS. Al-An’aam : 153].
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Aali ‘Imraan : 31].
Dan meninggalkan hawa nafsu.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” [QS. Al-Baqarah : 120].
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya” [QS. Al-Mukminuun : 71].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika mengomentari perkataan Al-Imaam Ahmad ‘tidak ada qiyaas dalam sunnah, tidak boleh dibuat permisal-permisalan, dan tidak boleh dipahami dengan akal semata’ berkata:
هذا قوله وقول سائر أئمة المسلمين فإنهم متفقون على أن ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم لا تدركه كل الناس بعقولهم ولو أدركوه بعقولهم لاستغنوا عن الرسول
“Ini adalam perkataan beliau dan juga perkataan seluruh imam kaum muslimin, karena mereka bersepakat bahwa segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh dipahami oleh seluruh manusia dengan akal mereka semata. Seandainya mereka dapat memahami dengan akal-akal mereka, niscaya mereka tidak butuh kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam...” [Dar’ut-Ta’aarudl Al-‘Aql wan-Naql, 5/297].
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah……
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 23-05-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq oleh Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 40-42; syarh oleh Rabii’ Al-Madkhaliy, hal. 10-12; syarh oleh Zainul-‘Aabidiin bin Al-Husain, hal. 35-40; syarh oleh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy, hal. 54-56; syarh oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Ar-Raajihiy, hal. 26-27; syarh oleh Khaalid bin Mahmuud Al-Juhaniy hal. 34-36; dan syarh oleh Ibnul-Jibriin, hal. 46-52; dan yang lainnya].


Silakan baca pembahasan sebelumnya:
Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal(10) – Para Pengingkar As-Sunnah

Wahabi adalah Golongan Musyabbihah dan Mujassimah

$
0
0
Tanya : Saya sering membaca beberapa tulisan berikut perkataan beberapa orang yang mengatakan Wahabi itu adalah golongan musyabihah dan mujasimah. Sesat. Itu dikarenakan mereka menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Sebagai orang Wahabi, menurut Anda apakah semua hal itu benar?
Jawab : Perkataan-perkataan semacam itu memang banyak dituliskan dan diucapkan oleh orang yang anti terhadap dakwah tauhid yang dibawa oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallahsehingga mereka menyebutnya ‘Wahabi’. Bahkan era sebelum itu, yaitu untuk Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim rahimahumallah, mereka juga dituduh sebagai Wahabi. Ini kan namanya tuduhan yang membabi buta.
‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam sifat-sifat Allah ta’ala adalah beriman kepada sifat-sifat-Nya sebagaimana yang terdapat dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallamtanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tasybih/tamtsil, serta mengimani bahwa Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun. Tanpa tahriif artinya tanpa menyelewengkannya dari makna yang benar. Tanpa ta'thiil artinya tanpa meniadakan/mengingkarinya (sifat-sifat Allah), baik sebagian atau seluruhnya. Tanpa takyiif artinya tanpa menanyakan bagaimana hakekat sebenarnya dari sifat Allah. Tanpa tamtsiil/tasybiihartinya tanpa menyamakan sifat-sifat Allah ta'ala dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab rahimahumallah berkata:
الذي نعتقد وندين الله به، هو مذهب سلف الأمة وأئمتها من الصحابة والتابعين،والتابعين لهم بإحسان من الأئمة الأربعة وأصحابهم رضي الله عنهم.
وهو الإيمان بآيات الصفات وأحاديثها، والإقرار بها وإمرارها كما جاءت من غير تشبيه ولا تمثيل، ولا تعطيل، قال تعالى (وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا) (النساء: 115).
"Sesuatu yang kami yakini dan kami beragama kepada Allah dengannya adalah madzhab salaful-ummah dan para imamnya dari kalangan shahabat, taabi'iin, dan yang mengikuti mereka dengan baik dari imam yang empat dan para pengikutinya radliyallaahu 'anhum.
Yaitu, beriman kepada ayat-ayat dan hadits-hadits sifat, mengakuinya, membiarkannya sebagaimana datangnya, tanpa tasybiih, tamtsiil, dan ta'thiil. Allah ta'ala berfirman : 'Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali' (QS. An-Nisaa' : 115)" [Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaabm 'Aqiidatuhu As-Salafiyyah wa Da'watuhu Al-Ishlaahiyyah oleh Ahmad bin Hajar Aalu Buuthaamiy, hal. 51].
Inilah 'aqidah yang Anda sebut 'aqiidah 'Wahabi'. Lantas, dimanakah gambaran tasybiih dari beliau rahimahullah ". Bagaimana bisa dikatakan musaybbih sedangkan beliau sendiri mengingkari tasybiih ?. Seandainya ada orang yang menuduh beliau rahimahullahpenganut paham musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) hanya dikarenakan menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang ada dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagaimana dhahirnya, maka Allah ta'ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Dalam ayat di atas Allah ta'ala telah menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun Allah pun berfirman bahwa Ia berbeda dengan makhluk-Nya. Artinya, Allah ta'ala mempunyai sifat mendengar dan melihat, namun kedua sifat tersebut berbeda dengan makhluk-Nya; karena sifat-sifat Allah mengandung kesempurnaan tanpa ada aib, cacat, atau kekurangan. Begitu juga dengan sifat-sifat Allah ta'ala  yang lain seperti pengasih, penyayang, mencintai, marah, gembira, mempunyai tangan, mempunyai mata, dan yang lainnya yang disebutkan dalam nash-nash.
Allah ta’ala berfirman:
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
"Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?" [QS. Shaad : 75].
Ayat tersebut sebagai dalil bahwa Allah ta'ala mempunyai tangan dalam makna yang sebenarnya, sedangkan tangan-Nya berbeda dengan tangan makhluk. Tangan dalam ayat tersebut bukan diartikan dengan kekuasaan atau kekuatan. Hal ini sebagaimana yang dipahami kaum salaf, diantaranya 'Abdullah bin 'Umar radliyallaahu 'anhumaa:
خَلَقَ اللَّهُ أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ بِيَدِهِ: الْعَرْشُ، وَالْقَلَمُ، وَعَدْنٌ، وَآدَمُ، ثُمَّ قَالَ لِسَائِرِ الْخَلْقِ: كُنْ فَكَانَ
“Allah menciptakan empat hal dengan tangan-Nya : Al-‘Arsy, Al-Qalam (pena), (surga) Al-‘Adn, dan Aadam. Kemudian Allah berfirman kepada seluruh makhluk : ‘Jadilah’, maka jadilah ia” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy dalam Naqdud-Daarimiy ‘alaa Bisyr Al-Maarisiy no. 44 & 112, Al-Haakim 2/319, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 2/126 no. 693, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 2/130 no. 801, Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah2/578-579 no. 213& 5/1555-1556 no. 1018, dan l-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 729]; shahih.
Hanya saja mungkin sebagian orang salah paham bahwa dengan adanya penetapan sifat-sifat seperti itu dianggap sebagai tasybiih dan orangnya dicap musyabbihah. Jelas, ini kekeliruan fatal dan menunjukkan kebodohan mereka akan makna tasybiih tersebut.
Hanbal bin Ishaaq rahimahumallah berkata:
قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: وَالْمُشَبِّهَةُ مَا يَقُولُونَ؟ قَالَ: بَصَرٌ كَبَصَرِي، وَيَدٌ كَيَدِي، وَقَدَمٌ كَقَدَمِي، فَقَدْ شَبَّهَ اللَّهَ بِخَلْقِهِ وَهَذَا كَلامُ سُوءٍ، وَالْكَلامُ فِي هَذَا لا أُحِبُّهُ، وَأَسْمَاؤُهُ وَصِفَاتُهُ غَيْرُ مَخْلُوقَةٍ، نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الزَّلَلِ، وَالارْتِيَابِ، وَالشَّكِّ، إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah : “Tentang Musyabbihah, apa yang sebenarnya mereka katakan ?”. Ia menjawab : “Penglihatan (Allah) seperti penglihatanku, tangan (Allah) seperti tanganku, telapak kaki seperti telapak kakiku. Mereka telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perkataan ini adalah perkataan yang jelek, dan pembicaraan tentang hal ini tidak aku sukai. Nama-nama dan sifat-sifat-Nya bukanlah makhluk. Kami berlindung kepada Allah dari ketergelinciran dankeraguan. Sesunggahnya Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Fushshilat : 39)”  [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanatul-Kubraa, 3/327].
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata:
والمشبهة يقولون: لله بصر كبصري ويد كيدي،
“Dan orang Musyabbihah berkata : Allah memiliki penglihatan seperti penglihatanku dan (memilik) tangan seperti tanganku…” [Talbiis Ibliis, hal. 31].
Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy rahimahullah:
مَنْ شَبَّهَ اللَّهَ بِشَيْءٍ مِنْ خَلْقِهِ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ أَنْكَرَ مَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ فَقَدْ كَفَرَ، فَلَيْسَ مَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ وَرَسُولُهُ تَشْبِيهٌ
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan sesuatu dari makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu penyerupaan (tasybiih)” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 936. Lihat Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216].
Ishaaq bin Rahawaih rahimahumallah berkata:
إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ، فَإِذَا قَالَ: سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ، وَأَمَّا إِذَا قَالَ: كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: "يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ "وَلَا يَقُولُ كَيْفَ، وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ، فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا، وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)”. Jika ia berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan ’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11)” [Sunan At-Tirmidziy, 2/43].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
ومُحالٌ أن يكون مَن قال عن اللهِ ما هو في كتابه منصوصٌ مُشبهًا إذا لم يُكيّف شيئا، وأقرّ أنه ليس كمثله شيء
"Dan tidaklah mungkin terjadi pada orang yang berbicara tentang Allah sesuatu yang ternashkan dalam kitab-Nya disebut sebagai musyabbih, ketika ia tidak men-takyif-nya sedikitpun dan mengatakan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” [Al-Istidzkaar, 8/150].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
ليس يلزم من إثبات صفاته شيء من إثبات التشبيه والتجسيم، فإن التشبيه إنما يقال: يدٌ كيدنا ... وأما إذا قيل: يد لا تشبه الأيدي، كما أنّ ذاته لا تشبه الذوات، وسمعه لا يشبه الأسماع، وبصره لا يشبه الأبصار ولا فرق بين الجمع، فإن ذلك تنزيه
"Tidaklah penetapan sifat-sifat-Nya mengkonsekuensikan adanya penetapan tasybiih dan tajsiim, karena tasybiih itu hanyalah jika dikatakan : ‘tangan seperti tanganku’...... Adapun jika dikatakan : ‘tangan namun tidak menyerupai tanganku’, sebagaimana Dzaat-Nya tidak menyerupai dzat-dzat makhluk, pendengaran-Nya tidak menyerupai pendengaran-pendengaran makhluk, dan penglihatan tidak menyerupai penglihatan-penglihatan makhluk, maka itulah yang disebut tanziih” [Al-Arba’iin min Shifaati Rabbil-‘Aalamiin, hal. 104].
Apa yang dapat kita simpulkan dari perkataan para imam di atas ?. Tasybiih itu hanya terjadi bagi orang yang berstatement bahwa sifat Allah sama seperti sifat makhluk.
Tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada Ahlus-Sunnah yang menetapkan sifat Allah ta'ala sebagaimana yang disebutkan dalam dhahir nash sebagai musyabbihah atau mujassimah sudah ada semenjak dahulu. Semua itu dilontarkan oleh orang-orang Jahmiyyah dan ahlul-bida'yang sudah dikenal sesatnya.
Ishaaq bin Rahawaih rahimahumallah berkata:
عَلامَةُ جَهْمٍ وَأَصْحَابِهِ دَعْوَاهُمْ عَلَى أَهْلِ الْجَمَاعَةِ، وَمَا أُولِعُوا بِهِ مِنَ الْكَذِبِ، إِنَّهُمْ مُشَبِّهَةٌ، بَلْ هُمُ الْمُعَطِّلَةُ
“Tanda-tanda Jahm dan pengikut-pengikutnya (orang-orang Jahmiyyah) adalah tuduhan mereka terhadap Ahlul-Jamaa’ah, dan betapa senang mereka untuk berdusta, bahwa mereka (Ahlus-Sunnah) adalah Musyabbihah, namun mereka (Jahmiyyah)-lah yang justru Mu’aththilah (orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Allah)….” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 937].
Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:
فصل فِي الرد عَلَى الجهمية الَّذِي أنكروا صفات اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وسموا أهل السنة مشبهة
“Pasal tentang Bantahan terhadap Jahmiyyah yang mengingkari sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla dan menamai Ahlus-Sunnah sebagai Musyabbihah[Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah].
وإذا رأيت الرجل يسمي أهل الحديث حشوية، أو مشبهة، أو ناصبة فأعلم أنه مبتدع
“Apabila engkau melihat seseorang yang menamakan Ahlul-Hadiits sebagai Hasyawiyyah, Musyabbihah, atau Naashibab, maka ketahuilah ia seorang mubtadi’[idem].
فهؤلاء أهل السنة والمتمسكون بالصواب والحق وليس هم بالمشبهة من شبهوا هؤلاء إِنما آمنوا بما جاء به الحديث، هؤلاء مؤمنون مصدقون بما جاء به النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ والكتاب والسنة .
“Mereka, yaitu Ahlus-Sunnah yang berpegang teguh kepada kebenaran dan al-haq, bukanlah Musyabbihahyang melakukan tasybiih. Mereka hanyalah beriman kepada kandungan hadits. Mereka beriman dan membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Al-Kitaab, dan As-Sunnah” [idem].
Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah berkata:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ: الْمشبهة فَاحْذَرُوهُ، فَإِنَّهُ يَرَى رَأْيَ جَهْمٍ
“Apabila seseorang berkata (kepada Ahlus-Sunnah) : ‘Musyabbihah', maka waspadalah, karena ia menganut pendapat Jahm (Jahmiyyah)[Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits no. 12 dan Ibnu ‘Asaakir dalam Jam’ul-Juyuusy no. 85].
Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah berkata:
وَعَلامَةُ أَهْلِ الْبِدَعِ الْوَقِيعَةُ فِي أَهْلِ الأَثَرِ، وَعَلامَةُ الزَّنَادِقَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ حَشْوِيَّةً يُرِيدُونَ إِبْطَالَ الآثَارِ. وَعَلامَةُ الْجَهْمِيَّةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ مُشَبِّهَةً......
“Tanda Ahlul-Bida’ adalah mencela Ahlul-Atsar. Tanda orang-orang Zanaadiqah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah sebagai Hasyawiyyah karena mereka ingin membatalkan atsar-atsar. Tanda orang-orang Jahmiyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Musyabbihah.....” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 321].
Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah berkata:
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة.....
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ahadalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah.....” [‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 102].
Sudah menjadi ketentuan kauniy dari Allah ta'ala bahwa para penganut pemikiran Jahmiyyah ini masih ada dan banyak hingga sekarang, yang menghalangi dakwah sunnah dan ketauhidan. Siapakah mereka ? Bukan terlalu sulit bagi Anda untuk menjawabnya.
Wallaahul-musta'aan.

[abul-jauzaa'– senayan, Jakarta – 27052015 – 13:18].

Khabar Ahad adalah Hujjah dalam ‘Aqiidah dan Hukum

$
0
0
Sebagian orang-orang yang menyimpang dari jalan yang ditempuh salaful-ummahmengambil dalih sebagian pendapat ushuuliyyuun bahwa khabar ahad hanya memberikan faedah dhann, bukan ilmu (keyakinan); untuk menolak penggunaan khabar ahad tersebut untuk masalah aqidah, karena ‘aqiidah – menurut mereka – tidak boleh menggunakan dhann. Dalil dhann hanya wajib diamalkan dalam masalah hukum saja.
Ini adalah kesalahan dan sekaligus kesesatan. Telah lewat pembahasan di dalam Blog ini artikel berjudul Hadits Ahad dan Hadits Mutawatir. Artikel tersebut setidaknya memberikan gambaran pengertian hadits ahad dan hadits mutawatir, kedudukannya dalam syari’at Islam, serta bantahan ringkas kepada mereka yang menolak penggunaan hadits ahad dalam masalah ‘aqiidah. Berikut akan sedikit disambung dengan penyebutan beberapa dalil yang menunjukkan hadits ahad merupakan hujjah dalam masalah ‘aqiidah dan hukum, serta memberikan faedah ilmu (yakin).
1.     Firman Allah ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
Sisi pendalilan : Kata ‘amrihi (أَمْرِهِ– perintah Rasul)’ adalah umum, mencakup perkara ‘aqidah maupun hukum, baik yang diterima melalui jalan mutawatir maupun ahad.
2.     Firman Allah ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti" [QS. Al-Hujuraat : 6].
Dalam qira'at yang lain disebutkan dengan lafadh فَتَثَبَّتُوا . Ayat ini mempunyai mafhum bahwa khabar yang dibawa oleh orang yang terpercaya (tsiqah)wajib untuk diterima, baik dalam masalah 'aqiidah maupun hukum.
3.     Firman Allah ta’ala:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui” [QS. An-Nisaa’ : 113].
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [QS. Al-Jum’ah : 2].
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، "وَالْحِكْمَةَ، أَيِ: السُّنَّةَ ".
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah : ‘dan Al-Hikmah’, ia berkata : “Maksudnya As-Sunnah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 3/87; sanadnya hasan].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
فَذَكَرَ اللَّهُ الْكِتَابَ وَهُوَ الْقُرْآنُ وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ يَقُولُ: الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Allah menyebutkan Al-Kitaab, maksudnya Al-Qur’an; dan Allah juga menyebutkan Al-Hikmah. Aku mendengar ulama yang diridlai lagi ahli dalam Al-Qur’an mengatakan : ‘Al-Hikmah adalah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ma’rifah, no. 3; sanadnya shahih].
Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkata:
قَالَتْ هَذِهِ الطَّائِفَةُ بَيَّنَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعَلِّمَ النَّاسَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ، فَالْحِكْمَةُ غَيْرُ الْكِتَابِ، وَهِيَ مَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ فِي الْكِتَابِ، وَكُلٌّ فَرْضٌ لا افْتِرَاقَ بَيْنَهُمَا ؛ لأَنَّ مَجِيئَهُمَا وَاحِدٌ
“Kelompok ini mengatakan : Allah tabaaraka wa ta’ala telah menjelaskan bahwasannya Ia memerintahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al-Kitaab dan Al-Hikmah kepada manusia. Al-Hikmah bukanlah Al-Kitab. Ia adalah segala sesuatu yang telah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sunnahkan yang tidak disebutkan dalam Al-Kitab. Semuanya wajib (diikuti), tidak ada perbedaan antara keduanya, karena tempat kembalinya adalah satu” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah hal. 209-210].
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ،
Dari Al-Miqadaad bin Ma’diy Karib, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau pernah bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Kitaab dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya...” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4604, Ibnu Hibbaan no. 12, Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 257, dan yang lainnya; shahih].
Sisi pendalilan : Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan dua sumber hukum yang berasal dari Allah ta’ala. Seandainya Al-Qur’an merupakan hujjah dalam permasalahan hukum dan ‘aqiidah, begitu juga dengan As-Sunnah, karena As-Sunnah semisal dengan Al-Qur’an.
4.     Firman Allah ta’ala:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan) tentangnya” [QS. Al-Israa’ : 36].
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui"[QS. Al-A’raaf : 33].
قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا تَخْرُصُونَ
Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta” [QS. Al-An’aam : 148].
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dhann (persangkaan) belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” [QS. Al-An’aam : 116].
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dhann (persangkaan), dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” [QS. An-Najm : 23].
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dhann (persangkaan) sedang sesungguhnya dhann itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” [QS. An-Najm : 28].
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran” [QS. Yuunus : 36].
Ayat-ayat di atas berisi celaan orang yang mengikuti dhann dan melakukan sesuatu tanpa ilmu. Celaan Allah ta’ala ini tidak membedakan antara perkara ‘aqidah (keyakinan) dan hukum. Seandainya orang-orang itu mengatakan hadits ahad hanya menghasilkan dhann  (bukan ilmu/keyakinan) dan hanya wajib diamalkan dalam masalah hukum, itu mengkonsekuensikan perkataan bahwa Allah ta’ala memerintahkan sesuatu yang Ia larang, dan ini mustahil.
Oleh karena itu, baik masalah ‘aqidah dan hukum, keduanya harus ditetapkan berdasarkan ilmu, bukan sekedar dhann; dan itu tercukupi dengan As-Sunnah baik yang diperoleh dari jalan ahad maupun mutawatir.
5.     Firman Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43].
Sisi pendalilan : Melalui ayat ini Allah ta’ala memerintahkan kita untuk bertanya kepada ulama terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui dalam permasalahan agama, baik hukum maupun ‘aqidah. Allah ta’ala tidak mempersyaratkan agar kita bertanya kepada banyak ahli ilmu sehingga memenuhi persyaratan mutawatir sehingga jawaban atas pertanyaan kita diterima dan diamalkan. Cukup bagi kita bertanya kepada seorang ahli ilmu yang kita percayai atas keilmuannya, maka jawabannya (yang disertai dalil) dapat kita terima dan amalkan. Dan pada kenyataannya, memang seperti itulah yang diamalkan oleh kaum muslimin sepanjang masa.
Mereka yang mempersyaratkan ‘aqidah hanya dapat diterima melalui riwayat yang mutawatir saja, pada prakteknya mayoritas mereka hanyalah bertaqlid kepada penghukuman satu atau dua orang ahli ilmu (atau bahkan hanya level pengajar biasa atau buku bacaan) apakah hadits itu ahad atau mutawatir, karena mereka tidak menguasai ilmu riwayat dan takhrij hadits. Meskipun dikatakan sebuah hadits mutawatir, maka sampainya khabar tersebut kepada pendengar atau si peminta fatwa adalah ahad. Mensyaratkan kemutawatiran khabar adalah kesulitan tersendiri bagi mereka dan pengikut mereka untuk mempraktekkannya.
6.     Firman Allah ta’ala:
فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌلِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” [QS. At-Taubah : 122].
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa dikatakan ‘thaaifah’ itu jika jumlahnya minimal 3 orang, karena itu adalah jumlah minimal bilangan jamak. Namun yang benar, ‘thaaifah’ juga dimutlakkan untuk 1 orang berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَإِنْ طَائِفَتَانِمِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya” [QS. Al-Hujuraat : 9].
Yang berpendapat jumlah minimal dari ‘thaaifah’ adalah 1 orang adalah Mujaahid[1], Qataadah[2], Abu Maalik[3], Al-Bukhaariy[4], Ibnul-Mandhuur[5], Ibnul-Atsiir[6], Ibnu Hajar[7], dan yang lainnya.
Sisi pendalilan : Seandainya khabar ahad tidak mengandung ilmu dan menjadi hujjah dalam masalah ‘aqidah/keimanan, maka tidak ada faedahnya Allah ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu dan kemudian kembali ke kaumnya untuk memberikan peringatan jika ujungnya peringatan mereka boleh ditolak hanya dengan alasan jumlah mereka tidak mencapai derajat mutawatir.
7.     Firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya” [QS. Al-Maaidah : 67].
Telah dimaklumi bahwasannya sampainya nash merupakan persyaratan tegaknya hujjah kepada orang yang disampaikan. Seandainya khabar ahad tidak menghasilkan ilmu, niscaya hujjah Allah ta’ala tidak dikatakan tegak dengan adanya tabliigh tersebut, dan ini jelas kebathilannya.
Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus individu-individu shahabat dan mengirimkan surat ke beberapa negeri untuk menyampaikan Islam, sehingga hujjah pun dikatakan tegak bagi orang yang telah sampai utusan tersebut kepadanya.
8.     Hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ مُعَاذًا، قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ .....
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Mu’aadz pernah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutusku seraya bersabda : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahloi Kitaab, maka ajaklah mereka kepada persaksian LA ILAHA ILLALLAH (tidak ada ilah yang berhak untuk disembah melainkan Allah). Apabila mereka mentaatimu terhadap hal tersebut, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali dalam sehari semalam.....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 19].
Sisi pendalilan : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan diri untuk mengutus Mu’’adz seorang diri untuk berdakwah masalah ‘aqidah dan hukum sekaligus kepada penduduk Yaman yang masih memeluk agama Ahli Kitaab. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan sekaligus menjadi hujjah bagi penduduk Yaman, niscaya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengutusnya seorang diri.
9.     Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ بِكِتَابِهِ رَجُلًا وَأَمَرَهُ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى عَظِيمِ الْبَحْرَيْنِ، فَدَفَعَهُ عَظِيمُ الْبَحْرَيْنِ إِلَى كِسْرَى، فَلَمَّا قَرَأَهُ مَزَّقَهُ، فَحَسِبْتُ أَنَّ ابْنَ الْمُسَيَّبِ، قَالَ: فَدَعَا عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُمَزَّقُوا كُلَّ مُمَزَّقٍ
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus seseorang dengan membawa surat  dan memerintahkannya agar memberikan surat itu kepada penguasa Bahrain. (Setelah diterima), penguasa Bahrain tersebut memberikannya kepada Kisraa. Ketika dibaca, surat itu dirobeknya. – (Perawi berkata: ) Aku mengira Ibnul-Musayyib berkata : - Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdoa agar kekuasaannya dihancurkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 64 & 4424 & 7264].
Sisi pendalilan : Seandainya khabar ahad tidak mengandung ilmu dan tidak menjadi hujjah dalam masalah ‘aqiidah – dan surat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu berisi tentang ‘aqiidah, yaitu ajakan kepada ketauhidan Allah ta’ala– niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendoakan kehancuran bagi Kisraa atas penghinaannya terhadap surat yang dikirimkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
10.   Hadits:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَوَصِيَّتُهُ إِلَى أُمَّتِهِ، فَلْيُبْلِغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ، لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
Ibnu 'Abbas radliyallaahu ‘anhumaa berkata : "Maka demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh itu suatu wasiat dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya”. (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda): "Maka hendaklah yang hadir menyampaikannya kepada yang tidak hadir, dan janganlah kalian kembali menjadi kafir sepeninggalku. Sebagian kalian membunuh sebagian yang lain"[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1739].
Wasiat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut diucapkan pada waktu haji wada’ yang dihadiri oleh para shahabat dari berbagai pelosok negeri. Wasiat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut dalam berbagai jalan riwayat berisi ‘aqidah dan hukum sekaligus. Oleh karena itu, perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada semua orang yang hadir menyaksikan dan mendengar wasiat beliau agar menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir menunjukkan apa khabar ahad yang dibawa masing-masing shahabat saat kembali ke negerinya mengandung ilmu.
11.   Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat…” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3461].
Perintah untuk menyampaikan semua hal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu itu umum, yaitu kepada seorang shahabat atau lebih, meliputi perkara ‘aqidah maupun hukum. Hal ini menunjukkan wajibnya untuk beramal bagi orang yang sampai kepadanya khabar tersebut, sehingga khabar itu memberikan faedah ilmu, bukan sekedar dhann.
12.   Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ
Dari 'Abdullah bin Mas'uud, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Semoga Allah mencerahkan wajah seorang yang mendengar sebuah hadits dariku lalu dia menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar…."[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2657; dan ia berkata : 'Hadits hasan shahih'].
Sisi pendalilannya : Hadits ini seperti dua hadits sebelumnya. Hanya saja dalam hadits ini, dikuatkan lagi dengan adanya pujian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang menyampaikan hadits kepada orang lain sebagaimana yang ia dengar dari beliau. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu kepada orang yang sampai kepadanya hadits tersebut, niscaya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak akan memberikan pujian kepada orang yang menyampaikan hadits kepadanya.
13.   Hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ بَيْنَمَا النَّاسُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ بِقُبَاءٍ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبَلُوهَا وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ 
Dari Ibnu 'Umar, ia berkata :"Ketika orang-orang shalat Shubuh di Qubaa', tiba-tiba ada seseorang mendatangi mereka seraya berkata : 'Sesungguhnya telah diturunkan ayat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam, dan beliau telah diperintahkan untuk menghadap Ka'bah (ketika shalat). Maka menghadaplah ke Ka'bah'. Waktu itu mereka shalat menghadap ke Syaam, maka mereka memutar menghadap Ka'bah"[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4494 dan Muslim no. 526].
Sisi pendalilannya : Apabila khabar ahad tidak menjadi hujjah dalam masalah 'aqiidah, niscaya para shahabat yang ketika itu sedang shalat tidak akan langsung memutar menghadap Kiblat saat mendengar perkataan seorang shahabat yang mengkhabarkan telah turun ayat yang memerintahkan mereka untuk menghadap Ka'bah ketika shalat.
14.   Hadits:
عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ ، أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي ، فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا ، فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا ، قَالَ : " ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ "
Dari Maalik bin Al-Huwairits, ia berkata : Aku mendatangi Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal disisi beliau selama 20 malam/hari. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat lemah lembut. Ketika beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, maka beliau bersabda : 'Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka. Ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila hadir waktu shalat, maka hendaklah salah seorang diantara kalian mengumandangkan adzan dan orang yang paling tua lah yang mengimami shalat kalian" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 628].
Sisi pendalilan : Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Maalik bin Al-Huwairits dan rekan-rekannya untuk pulang mengajari keluarga mereka masing-masing tentang syari'at Islam. Dan telah diketahui bahwa syari'at Islam yang mereka pelajari dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam meliputi 'aqidah dan hukum. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan tidak dapat dipakai sebagai hujjah dalam masalah 'aqiidah, maka tidak ada faedahnya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mengajari keluarga mereka masing-masing.
15.   Hadits:
عن عمر رضي الله عنه قال : وَكَانَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ إِذَا غَابَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَهِدْتُهُ أَتَيْتُهُ بِمَا يَكُونُ وَإِذَا غِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَهِدَ أَتَانِي بِمَا يَكُونُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari 'Umar radliyallaahu 'anhu : "Dan dulu seorang shahabat dari kalangan Anshaar, apabila ia tidak hadir dari sisi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sementara aku hadir, maka aku menemuinya dan memberitahukannya sesuatu yang aku dapat dari beliau. Begitu juga sebaliknya, bila aku tidak hadir dari sisi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sedangkan dia hadir, maka ia akan menemuiku dan menyampaikan apa yang ia dapat dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5843]. 
Sisi pendalilan : Semua yang berasal dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam baik 'aqiidah dan hukum, menjadi hujjah bagi para shahabat yang tidak hadir di sisi beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berdasarkankan khabar yang disampaikan shahabat lain yang hadir menyaksikan.
16.   Hadits:
عَنْ فَاطِمَةَ بنت قَيْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّهَا سَمِعَتْ نِدَاءَ الْمُنَادِي مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَادِي الصَّلَاةَ جَامِعَةً، فَخَرَجْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ فِي صَفِّ النِّسَاءِ الَّتِي تَلِي ظُهُورَ الْقَوْمِ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَضْحَكُ، فَقَالَ: "لِيَلْزَمْ كُلُّ إِنْسَانٍ مُصَلَّاهُ "، ثُمَّ قَالَ: "أَتَدْرُونَ لِمَ جَمَعْتُكُمْ؟ "، قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: "إِنِّي وَاللَّهِ مَا جَمَعْتُكُمْ لِرَغْبَةٍ وَلَا لِرَهْبَةٍ، وَلَكِنْ جَمَعْتُكُمْ لِأَنَّ تَمِيمًا الدَّارِيَّ كَانَ رَجُلًا نَصْرَانِيًّا، فَجَاءَ فَبَايَعَ وَأَسْلَمَ، وَحَدَّثَنِي حَدِيثًا وَافَقَ الَّذِي كُنْتُ أُحَدِّثُكُمْ عَنْ مَسِيحِ الدَّجَّالِ، حَدَّثَنِي أَنَّهُ رَكِبَ فِي سَفِينَةٍ بَحْرِيَّةٍ مَعَ ثَلَاثِينَ رَجُلًا مِنْ لَخْمٍ وَجُذَامَ، فَلَعِبَ بِهِمُ الْمَوْجُ شَهْرًا فِي الْبَحْرِ....
Dari Faathimah binti Qais, bahwasannya ia pernah mendengar seruan seorang shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; ‘Ash-shalaatu jaami’ah’.   Maka aku pergi ke masjid dan shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Aku berada di shaff wanita yang berada dekat dengan punggung kaum laki-laki. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menyelesaikan shalatnya, maka beliau duduk di atas mimbar sambil tertawa. Beliau bersabda : “Hendaknya setiap orang tetap di tempatnya”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Tahukah kalian mengapa aku mengumpulkan kalian?”. Para shahabat menjawab : “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allah, sesungguhnya aku tidaklah mengumpulkan kalian karena keinginan (untuk membagi ghanimah) dan tidak pula karena takut (terhadap musuh). Akan tetapi aku kumpulkan kalian, karena Tamiim Ad-Daariy. Ia dulu seorang yang beragama Nashrani, kemudian datang berbai’at dan masuk Islam. Ia menceritakan kepadaku sebuah kisah yang sesuai dengan kisah yang pernah aku ceritakan kepada kalian tentang Al-Masiih Ad-Dajjaal. Ia menceritakan kepadaku bahwa ia telah berlayar dalam dengan sebuah kapal/perahu besar bersama 30 orang laki-laki dari suku Lakhm dan Judzaam. Mereka dipermainkan oleh ombak selama sebulan di lautan…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2942].
Sisi pendalilannya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan diri dengan khabar yang dibawa oleh Tamiim Ad-Daariy radliyallaahu ‘anhu tentang Dajjaal dan membenarkannya, padahal bersamanya ada 30 orang lain yang menyaksikannya. Seandainya khabar ahad tidak menjadi hujjah, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan membenarkan apa yang disampaikan oleh Tamiim seorang diri dan besar kemungkinan akan mengecek apa yang disampaikannya dengan 30 orang yang bersamanya.
17.   Hadits:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَسْقِي أَبَا عُبَيْدَةَ وَأَبَا طَلْحَةَ وَأُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ مِنْ فَضِيخِ زَهْوٍ وَتَمْرٍ فَجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ قُمْ يَا أَنَسُ فَأَهْرِقْهَا فَأَهْرَقْتُهَا
Dari Anas bin Malik radliallaahu 'anhu dia berkata : Aku pernah menuangkan minuman dari fadlih (minuman keras dari perasan kurma muda) dan tamr (minuman keras dari perasan kurma kering) kepada Abu 'Ubaidah, Abu Thalhah, Ubay bin Ka'b. Tiba-tiba seseorang datang sambil berkata : "Sesungguhnya khamr telah diharamkan". Lantas Abu Thalhah berkata : "Wahai Anas, bangunlah dan tumpahkanlah!". Maka aku pun menumpahkan khamr tersebut [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5580].
Sisi pendalilan : Hadits ini berkenaan dengan turunnya ayat pengharaman khamr. Abu Thalhah tidak menunggu persaksian banyak orang sebelum ia menumpahkan khamrnya. Tidaklah Abu Thalhah melakukannya kecuali ia berkeyakinan (beri'tiqad) bahwa khamr memang benar-benar telah diharamkanoleh Allah dan Rasul-Nya berdasarkan pengkhabaran seorang shahabat radliyallaahu 'anhumaa kepadanya.
18.   Hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Dari Ibnu 'Umar dan‘Aaisyahradliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Bilaal adzan di waktu malam, lalu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan (Shubuh) kecuali setelah terbitnya fajar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1918-1919].
Sisi pendalilan : Para shahabat radliyallaahu 'anhum dulu berhenti dari makan dan minum dengan adzan yang dikumandangkan Bilaal. Maknanya, mereka (para shahabat) meyakini masuknya waktu fajar sekedar mendengar adzan seseorang. Ini adalah masalah 'aqidah yang disetujui oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tanpa ada pengingkaran. Yang beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ingkari hanyalah bahwa mereka masih boleh makan dan minum karena Bilaal mengumandangkan adzan di waktu malam dan belum memasuki waktu fajar (Shubuh).
19.   Akal:
Setiap hukum amaliy, tidak bisa tidak mesti diikuti dengan 'aqiidah; yaitu 'aqidah bahwa Allah memerintahkan atau melarang kita untuk melakukannya. Seperti halnya perkataan seseorang : "Air ini suci, bisa Anda pergunakan untuk berwudlu". Ketika kita membenarkannya dan kemudian mengamalkannya (berwudlu dengan air itu), maka bersamaan dengan itu pula kita berkeyakinan (beraqidah) bahwa air itu adalah suci.
Begitu juga ketika kita melakukan shalat. Saat melakukannya pasti kita meyakini bahwa shalat yang kita lakukan adalah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya – baik yang hukumnya wajib maupun sunnah - .
Bagaimana bisa dibayangkan seseorang yang melakukan sesuatu amalan ibadah yang rutin berdasarkan hadits ahad tanpa meyakini ibadah yang ia lakukan merupakan perintah dari agama ?. Ini adalah satu pemikiran yang mengherankan......
Maalik bin Anas rahimahumallah ketika beliau membawakan hadits :
الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
"Mimpi yang baik dari seorang laki-laki shalih adalah salah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian".
maka, ada seseorang yang berkata kepada beliau : "Apakah itu berlaku bagi mimpi setiap orang ?". Beliau berkata : "Apakah dengan perkara nubuwaah dapat untuk bersenda-gurau ?" [Fathul-Maalik bi-Tabwiibit-Tamhiid li-Ibni 'Abdil-Barr 'alaa Muwaththa' Maalik, 10/224].
Perkataan ini dapat dipahami bahwa beliau rahimahullah membenarkan dan meyakini hadits tentang ru'yaa (mimpi) tersebut - dan hadits itu masuk dalam katagori ahad yang berkaitan dengan ‘aqiidah.
Madzhab Maalik ini dijelaskan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah:
وقال قوم كثير من أهل الأثر وبعض أهل النظر: أنه يوجب العلم الظاهر والعمل جميعا منهم الحسين الكرابيسي وغيره.وذكر ابن خوازمنداد أن هذا القول يخرج على مذهب مالك
“Banyak orang dari kalangan ahlul-atsar dan sebagian ahlun-nadharyang mengatakan bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu dhahir dan amal sekaligus. Diantara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Al-Husain Al-Karaabiisiy dan yang lainnya. Ibnu Khuwaazmindaad menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan madzhab Maalik” [At-Tamhiid, 1/8].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
وبعث رسول الله أبا بكر واليا على الحج في سنة تسع وحضره الحج من أهل بلدان مختلفة وشعوب متفرقة فأقام لهم مناسكهم وأخبرهم عن رسول الله بما لهم وما عليهم. وبعث علي بن أبي طالب في تلك السنة فقرأ عليهم في مجمعهم يوم النحر آيات من { سورة براءة }  ونبذ إلى قوم على سواء وجعل لهم مددا ونهاهم عن أمور. فكان أبو بكر وعلي معروفين عند أهل مكة بالفضل والدين والصدق وكان من جهلهما أو أحدهما من الحاج وجد من يخبره عن صدقهما وفضلهما. ولم يكن رسول الله ليبعث إلا واحدا الحجة قائمة بخبره على من بعثه إليه إن شاء الله. وقد فرق النبي عمالا على نواحي عرفنا أسماءهم والمواضع التي فرقهم عليها. فبعث قيس بن عاصم والزبرقان بن بدر وابن نويرة إلى عشائرهم بعلمهم بصدقهم عندهم. وقدم عليهم وفد البحرين فعرفوا من معه فبعث معهم بن سعيد بن العص. وبعث معاذ بن جبل إلى اليمن وأمره أن يقاتل بمن أطاعه من عصاه ويعلمهم ما فرض الله عليهم ويأخذ منهم ما وجب عليهم لمعرفتهم بمعاذ ومكانه منهم وصدقه. وكل من ولى فقد امره بأخذ ما أوجب الله على من ولاه عليه. ولم يكن لأحد عندنا في أحد مما قدم عليه من أهل الصدق ان يقول أنت واحد وليس لك أن تأخذ منا ما لم نسمع رسول الله يذكر انه علينا
“Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Bakr sebagai waliyul-hajj pada tahun ke-9 H yang dihadiri oleh penduduk dari berbagai negeri. Abu Bakr menjalankan manasik haji bersama mereka dan mengkhabarkan kepada mereka apa yang diperintah dan dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus ‘Aliy bin Abi Thaalib pada tahun tersebut untuk membacakan kepada mereka pada hari Nahr ayat-ayat dari surat Al-Baraa’ah, dan memperingatkan apabila orang kafir melanggar perjanjian, maka kaum muslimin pun akan melakukan hal yang sama. ‘Aliy pun melarang kepada mereka beberapa perkara. Abu Bakr dan ‘Aliy dikenal bagi penduduk Makkah dengan keutamaan, agama, dan kejujurannya; sedangkan jama’ah haji yang tidak mengetahui keduanya atau salah seorang dari keduanya, maka orang yang mengetahui memberitahukan kepadanya tentang kejujuran dan keutamaan mereka sehingga mengetahui. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengutus kecuali hanya seorang saja sehingga hujjah pun dikatakan tegak kepada orang-orang tersebut dengannya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus para shahabat ke berbagai negeri yang nama dan tempat mereka diutus masing-masing telah kita ketahui. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Qais bin ‘Aashim, Az-Zibriqaan bin Badr, dan Ibnu Nuwairah kepada kabilah mereka masing-masing dikarenakan telah diketahui kejujurannya di sisi mereka. Datanglah kepada mereka utusan Bahrain, lalu mereka mengetahui orang yang ada dalam rombongan tersebut, kemudian beliau mengutus Ibnu Sa’iid bin Al-‘Aash bersama mereka.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’aadz bin Jabal ke negeri Yaman dan memerintahkannya bersama orang yang mentaatinya untuk memerangi orang yang membangkangnya, dan mengajarkan kepada mereka (penduduk Yaman) apa saja yang diwajibkan Allah ta’ala terhadap mereka, serta mengambil zakat yang yang harus mereka bayarkan; dikarenakan mereka (penduduk Yaman) telah mengenal kedudukan Mu’aadz dan kejujurannya.
Setiap orang yang diberikan tugas menjadi waliy diperintahkan untuk mengambil apa yang diwajibkan Allah kepada mereka. Kami tidak mengetahui ada seorang pun dari mereka ketika datang seorang yang jujur kepada mereka berkata : ‘Engkau hanya seorang, sehingga engkau tidak boleh mengambil dari kami sesuatu yang kami tidak mendengar (secara langsung) bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkannya kepada kami” [Ar-Risaalah, 414-417].
Abu Ya’laa rahimahullah menukil perkataan Ahmad bin Hanbal rahimahumullahketika mengomentari hadits-hadits ahad dalam permasalahan ‘aqiidah:
إِنَّ اللَّهَ، تَبَارَكَ وَتَعَالَى، يَنْزِلُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا "وَاللَّهُ يُرَى "وَأَنَّهُ يَضَعُ قَدَمَهُ "وَمَا أَشْبَهُ بِذَلِكَ، نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا وَلا كَيْفَ وَلا مَعْنَى ! وَلا نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا، وَنَعْلَمُ أَنَّ مَا قَالَهُ الرَّسُولُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ إِذَا كَانَتْ بِأَسَانِيدَ صِحَاحٍ.
“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta'ala turun ke langit dunia, Allah kelak akan dilihat (di akhirat), Allah meletakkan kaki-Nya, dan yang semisalnya dari hadits-hadits; maka kami mengimaninya, membenarkannya, tidak menanyakan kaifiyatnya, tidak memaknainya (dengan makna-makna yang bathil), dan tidak menolak satu pun darinya. Kami mengetahui bahwa apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah benar jika berasal dari sanad yang shahih” [Ibthaalut-Ta’wiilaat].
Al-Khathiib Al-Baghdaadiy rahimahullah berkata:
وَعَلَى الْعَمَلِ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ كَانَ كَافَّةُ التَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْفُقَهَاءِ الْمُخَالِفِيْنَ فِي سَائِرِ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى وَقْتِنَا هَذَا، وَلَمْ يَبْلُغْنَا عَنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ إِنْكَارٌ لِذَلِكَ، وَلا اعْتِرَاضٌ عَلَيْهِ
“Dan keharusan untuk beramal dengan khabar waahid adalah pendapat seluruh taabi’iindan orang-orang setelah mereka dari kalangan fuqahaa’ di seluruh penjuru negeri Islam hingga saat ini. Tidak ada keterangan yang sampai kepada kami seorang pun dari mereka yang mengingkarinya dan menolaknya….” [Al-Kifaayah, hal. 129].
Al-Futuuhiy rahimahullah berkata:
قال ابن عقيل وابن الجوزي والقاضي وأبو بكر بن الباقلاني وأبو حامد وابن برهان والفخر الرازي والآمدي وغيرهم: يفيد العلم ما نقله آحاد الأمة المتفق عليهم إذا تلقي بالقبول
أما المشهور والمستفيض فمن العلماء من قال: يفيد علما نظريا، ومنهم من قال: يفيد القطع
“Ibnu ‘Aqiil, Ibnul-Jauziy, Al-Qaadliy, Abu Bakr bin Al-Baaqilaaniy, Abu Haamid, Ibnu Burhaan, Al-Fakhrur-Raaziy dan yang lainnya berpendapat bahwa apa yang diriwayatkan oleh individu-individu yang telah disepakati dan diterima oleh umat memberikan faedah ilmu. Adapun riwayat masyhuur dan mustafiidl, diantara ulama ada yang berpendapat memberikan faedah ilmu nadhariy, dan diantara mereka ada yang berpendapat memberikan faedah ilmu yang qath’iy (pasti/aksiomatik)” [Syarh Kaukabil-Muniir, 2/248-249].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وكلهم يدين بخبر الواحد العدل في الاعتقادات ، ويعادي ويوالي عليها ، ويجعلها شرعاً وديناً في معتقده ، على ذلك جماعة أهل السنة
“….Dan semuanya berpegang kepada riwayat satu orang yang adil dalam hal ‘aqidah; membela, mempertahankannya, serta menjadikannya sebagai syari’at dan agama. Jama’ah Ahlus-Sunnah berada di atas pendapat tersebut” [At-Tamhiid oleh Ibnu ‘Abdil-Barr 1/8].
وأجمع أهل العلم من أهل الفقه والأثر في جميع الأمصار فيما علمت على قبول خبر الواحد العدل وايجاب العمل به إذا ثبت ولم ينسخه غيره من أثر أو أجماع على هذا جميع الفقهاء في كل عصر من لدن الصحابة الى يومنا هذا الا الخوارج وطوائف من أهل البدع شرذمة لا تعد خلافا
“Para ulama dari kalangan ahli fiqh dan ahli hadits di seluruh penjuru (negeri-negeri Islam) – sepanjang saya ketahui – telah bersepakat untuk menerima hadits ahad (hadits riwayat satu orang) yang adil (shalih dan terpercaya). Begitu pula (telah ijma’) untuk wajib mengamalkannya, jika ia telah shahih dan tidak dinasakh (dihapus) oleh yang lainnya, baik dari atsar atau ijma’.  Inilah prinsip seluruh fuqahaa di setiap negeri, sejak jaman shahabat hingga hari ini, kecuali Khawarij dan Ahli Bid’ah, yaitu sekelompok kecil yang (ketidaksepakatannya) tidak sebagai perbedaan pendapat” [idem 1/11].
Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah berkata:
وخبر الواحد إذا تلقته الأمة بالقبول ، عملاً به وتصديقاً له - : يفيد العلم [اليقيني] عند جماهير الأمة ، وهو أحد قسمي المتواتر . ولم يكن بين سلف الأمة في ذلك نزاع
“Dan khabar waahid apabila diterima oleh umat dengan penuh penerimaan, baik dalam amalan (hukum) maupun pembenaran (‘aqiidah); menghasilkan ilmu yakin menurut mayoritas umat. Ia adalah salah satu bagian mutawatir. Tidak ada perselisihan di kalangan salaful-ummah tentang hal itu” [Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, hal. 355].
As-Safaariiniy rahimahullah berkata:
يعمل بخبر الآحاد في أصول الدين وحكى ابن عبد البر الإجماع على ذلك
“Khabar ahad diamalkan dalam perkara ushuuluddiin, dan Ibnu ‘Abdil-Barr menghikayatkan adanya ijmaa’ atas hal tersebut” [Lawaami’ul-Anwaar Al-Baahiyyah, 1/19].
Muhammad Al-Amiin Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata:
اعلم أن التحقيق الذي لا يجوز العدول عنه أن أخبار الآحاد الصحيحة كما تقبل في الفروع تقبل في الأصول . فما ثبت عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم بأسانيد صحيحة من صفات الله يجب اثباته واعتقاده على الوجه اللائق بكمال الله وجلاله على نحو لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ .
وبهذا تعلم أن ما أطبق عليه أهل الكلام ومن تبعهم ن أن أخبار الآحاد لا تقبل في العقائد ولا يثبت بها شئ من صفات الله زاعمين أن أخبار الآحاد لا تفيد اليقين وأن العقائد لا بد فيها من اليقين باطل لا يعول عليه . ويكفي من ظهور بطلانه أنه يستلزم رد الروايات الصحيحة الثابتة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم بمجرد تحكيم العقل
“Ketahuilah, bahwa penelitian yang hasilnya tidak diperbolehkan untuk menyimpang darinya adalah : hadits-hadits ahad yang shahih sebagaimana diterima dalam masalah furuu’ juga diterima dalam masalah ushuul. Maka apa saja yang telah sah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallamdengan sanad yang shahih tentang sifat-sifat Allah, wajib untuk menetapkannya dan diyakini sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan Allah, sebagaimana firman-Nya: ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ (QS. Asy-Syuuraa : 11).
Dengan demikian, engkau akan mengetahui bahwa apa yang ditetapkan oleh ahli kalam dan yang mengikuti mereka bahwa hadits ahad tidak diterima dalam masalah ‘aqiidah dan tidak boleh ditetapkan sifat-sifat Allah dengannya, karena persangkaan mereka bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah keyakinan – padahal ‘aqidah harus ditetapkan berdasarkan keyakinan – ; adalah perkataan yang bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti kebathilannya bahwa pendapat ini mengkonsekuensikan untuk menolak riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallamberdasarkan penghukuman akal semata” [Mudzakarah fii Ushuulil-Fiqh, hal. 124-125].
Setelah kita memperhatikan dalil-dalil dan perkataan ulama di atas, maka akan nampak – insya Allah – kebathilan orang-orang yang menolak penggunaan hadits ahad dalam permasalahan ‘aqiidah.
Semoga artikel ini ada manfaatnya....
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 02062015 – 02:17].




[1]     Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya (19/93 & 94) dan ‘Abdurrazzaaq no. 13504-13505.
[2]     Idem (22/295).
[3]     Idem (22/93).
[4]     Shahiih Al-Bukhaariy di atas hadits no. 7246.
[5]     Lisaanul-‘Arab, 9/226.
[6]     An-Nihaayah, 4/153.
[7]     Fathul-Baariy, 13/231.

Mencegah Kemunkaran dengan Tangan

$
0
0
Tanya : Apakah mencegah kemunkarandengan memakai tangan adalah hak setiap orang ? Atau merupakan hak bersyarat, yaitu bagi umaraa’ (pemerintah/penguasa) dan orang-orang yang diberi wewenang oleh mereka ?
Jawab : Kami ambilkan dari jawaban Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziiz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah :
”Mengubahkemunkaran adalah hak bagi setiap orang. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallambersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرا فَلْيُغَيّرْهُ بِيَدِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ. وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
”Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka hendaknya ia mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya. Bila tidak mampu (juga), maka hendaklah dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” [Diriwayatkan olehMuslim, Ahmad, dan Ahlus-Sunan][1].
Akan tetapi, mengubah kemunkaran dengan tangan diperuntukkan bagi seseorang yang mempunyai qudrah(kekuasaan) yang tidak akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar atau kejelekan yang semakin banyak. Hendaknya seseorang mengubahkemunkaran dengan menggunakan tangan dalam rumahnya, seperti pada anak-anaknya, istrinya, atau pembantunya.[2] Dan bagi seorang pegawai pada haiah(instansi) khusus yang diberi wewenang untuk perbaikan, ia boleh menggunakan tangannya.[3]Jika tidak demikian, maka tidak boleh mengubahkemunkaran dengan menggunakan tangan bagi orang yang tidak memiliki wewenang. Sebab jika orang yang tidak memiliki wewenang menggunakan tangannya, akan menyebabkan kejelekan yang semakin banyak, musibah yang tidak sedikit, keburukan yang semakin besar antara ia dan orang lain, atau antara ia dan negara. Seharusnya ia mengubah kemunkaran dengan mengatakan (misalnya) : ”Takutlah pada Allah wahai Fulan, ini tidak boleh”. (Atau :) ”Ini haram ! Ini wajib ! ; dengan dalil-dalil syar’iymelalui lisannya. Adapun menggunakan tangan, maka pada tempat yang ia mampu, seperti di rumahnya, kepada orang yang berada di bawahnya, atau orang yang memang diberikan ijin dari pihak sulthan (penguasa) agar memerintahkan yang bijak, seperti instansi-instansi yang ditunjuk (diperintahkan) penguasa dan diberi wewenang untuk perbaikan. Maka, mereka mengubahnya sesuai dengan wewenang yang diberikan dengan ketentuan syar’iy yang disyari’atkan oleh Allah dengan tidak menambah-nambah.”
Wallaahu a’lam.
[Al-Ma’lum min Wajib Al-Allaqah Bainal-Haakim wal-Mahkum. Jum’iyyah Ihyaa’ At-Turaats– catatan 2008 – abul-jauzaa’].



[1]    Diriwayatkan oleh Muslim no. 49, Ahmad 3/10& 20& 49& 50, Abu Daawud no. 1140& 4340; At-Tirmidziyno. 2172; An-Nasaa’iy no. 5008-5009, dan Ibnu Maajah no. 1275& 4013.
[2]    Seperti seorang ayah terhadap istri dan anaknya. Allah ta’ala telah berfirman :
وَاللاّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنّ فَعِظُوهُنّ وَاهْجُرُوهُنّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنّ سَبِيلاً
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” [QS. An-Nisaa’ : 34].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَرُّوا الصِّبْيَانَ بِالصَّلاةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا فِيْ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي اْلمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak (kalian) untuk shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (bila tidak mau shalat) pada usia sepuluh tahun. Dan pisahkan di antara mereka (anak laki-laki dan perempuan) pada tempat tidurnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 494 dan Al-Haakim no. 708; shahih].
[3]    Kalau di negeri kita (Indonesia) seperti aparat kepolisian dan yang semisalnya.

Keutamaan Miskin

$
0
0
Mengenai si miskin dan si kaya, maka dalam hal ini ada perinciannya. Dalam beberapa nash memang disebutkan tentang keutamaan kaum lemah (mustadl’afiin), fakir, dan miskin. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru kepada Tuhan-Nya di pagi hari dengan mengharap keridlaan-Nya dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka” [QS. Al-Kahfi : 28].
Ibnu Katsiir rahimahullah menjelaskan maksud dari ayat tersebut adalah :
اجلس مع الذين يذكرون الله ويهللونه، ويحمدونه ويسبحونه ويكبرونه، ويسألونه بكرة وعشيًا من عباد الله، سواء كانوا فقراء أو أغنياء أو أقوياء أو ضعفاء. يقال: إنها نزلت في أشراف قريش، حين طلبوا من النبي صلى الله عليه وسلم أن يجلس معهم وحده ولا يجالسهم بضعفاء أصحابه كبلال وعمار وصهيب [وخباب] (4) وابن مسعود، وليفرد أولئك بمجلس على حدة. فنهاه الله عن ذلك، فقال: { وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ } الآية [الأنعام:52] الآية، وأمره أن يصبر نفسه في الجلوس (6) مع هؤلاء، فقال: { وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ }
وقال مسلم في صحيحه: حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة، حدثنا محمد بن عبد الله الأسدي، عن إسرائيل، عن المقدام بن شُرَيْح، عن أبيه، عن سعد -هو ابن أبي وقاص-قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم ستة نفر، فقال المشركون للنبي صلى الله عليه وسلم: اطرد هؤلاء لا يجترئون علينا!. قال: وكنت أنا وابن مسعود، ورجل من هذيل، وبلال ورجلان نسيت اسميهما فوقع في نفس رسول الله صلى الله عليه وسلم ما شاء الله أن يقع، فحدّث نفسه، فأنزل الله عز وجل: { وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ } انفرد بإخراجه مسلم دون البخاري
“Duduklah bersama hamba-hamba Allah yang berdzikir kepada Allah, bertahlil, bertahmid, bertasbih, dan bertakbir, serta berdoa kepada-Nya di pagi dan sore hari, baik mereka yang miskin maupun yang kaya, kuat, maupun lemah. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang terhormat dari kalangan kaum Quraisy, ketika mereka meminta kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamuntuk duduk sendiri saja bersama mereka dan tidak mengajak para shahabatnya yang lemah, seperti Bilaal, ‘Ammaar, Shuhaib, Khabbaab, dan Ibnu Mas’uud. Mereka meminta supaya mereka diberi majelis khusus. Maka Allah melarang beliau memenuhi permintaan mereka itu, dimana Dia berfirman : ‘Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabb-nya pada pagi hari dan petang hari’ (QS. Al-An’am : 52).Allah menyuruh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabar dalam duduk bersama mereka. Allah ta’ala berfirman : ‘Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan petang hari’. 
Muslim dalam Shahiih-nya berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Asadiy, dari Israaiil, dari Al-Miqdaam bin Syuraih, dari ayahnya, dari Sa’d bin Abi Waqqaash, ia berkata : Kami enam orang pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kaum musyrik berkata kepada Nabi,”Usirlah mereka. Mereka tidak akan berani melawan kami”. Lebih lanjut Sa’ad berkata : Ketika itu aku bersama Ibnu Mas’ud serta seseorang dari Hudzail, Bilal, dan dua orang yang aku lupa namanya. Maka timbullah dalam diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apa yang telah menjadi kehendak Allah, lalu beliau berbicara pada diri sendiri. Hingga akhirnya, Allah ‘azza wa jallamenurunkan firman-Nya :Danjangnlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya pada pagi hari dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridlaan-Nya (QS. Al-An’aam : 52)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 5/152].
Selain ayat di atas, diantara hadits yang menunjukkan “keutamaan” orang miskin adalah hadits yang diriwayatkan dari Haritsah bin Wahb radliyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ، أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
Maukah engkau aku beritahukan tentang penduduk surga? (yaitu) setiap (muslim) yang lemah dan diremehkan, seandainya dia bersumpah atas Allah niscaya Dia meluluskannya. Maukah engkau aku beritahukan tentang penduduk neraka? (yaitu) setiap orang yang keras, kasar, penumpuk harta, dan sombong[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4918 & 6072 & 6657 dan Muslim no. 2853].
Dan hadits-hadits lain yang menunjukkan “keutamaan” orang miskin.
Apakah keutamaan itu bersifat mutlak?? Jawabannya adalah tidak; karena kemiskinan padahakikatnya merupakan ujian dan cobaan Allah di dunia, yang apabila seorang muslim bersabar atas ujian dan cobaan Allah tersebut, maka Allah memberinya keutamaan ganjaran dan pahala yang besar di akhirat kelak (dibandingkan dengan orang yang kaya). Jadi, keutamaan itu terkait dengan kesabaran dan keimanannya kepada Allahta’ala, bukan pada dzat “kemiskinan” itu sendiri. Dan tidak diragukan lagi bahwa kesabaran dan keimanan itu mempunyai keutamaan yang bersifat umum.
Apabiladzat kemiskinan mempunyai keutamaan yang mutlak, tentu Allah akan menganjurkan kaum muslimin untuk menjadi miskin yang kemudian disebutkan dalam ayat-ayat-Nya dan hadits Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallamyang shahih. Justru yang ada, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa agar dijauhkan dari kemiskinan dan kefaqiran, dan diantara doa yang sering beliau baca adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefaqiran, dan ‘adzaab kubur” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1347 & 5465; shahih].
Allah ta’alamemerintahkan manusia bekerja dan mencari harta yang halal, sebagaimana firman-Nya :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”[QS. Al-Jumu’ah : 10].
Ibnu Katsiir rahimahullah menjelaskan :
وقوله: { فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ } أي: فُرغ منها، { فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ } لَمَّا حَجَر عليهم في التصرف بعد النداء وأمرهم بالاجتماع، أذن لهم بعد الفراغ في الانتشار في الأرض والابتغاء من فضل الله. ...... وقوله: { وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ } أي: حال بيعكم وشرائكم، وأخذكم وعَطَائكم، اذكروا الله ذكرا كثيرا، ولا تشغلكم الدنيا عن الذي ينفعكم في الدار الآخرة
“Makna firman Allah : ‘Apabila telah ditunaikan shalat’, yaitu : telah selesai mengerjakannya. ‘Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah’. (Maksudnya), ketika Allah ta’ala melarang mereka berjual beli setelah mendengar suara adzan dan memerintahkan mereka untuk berkumpul, maka Allah mengizinkan mereka setelah selesai menunaikan shalat untuk bertebaran di muka bumi dan mencari karunia Allah ta’ala…… Dan firman Allah ta’ala : ‘dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung’; yaitu ketika kalian sedang berjual beli, dan pada saat kalian mengambil dan memberi, hendaklah kalian berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya dan janganlah kesibukan dunia melupakan kalian dari hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat” [Tafsiir Ibni Katsiir, 8/122-123].
Juga firman Allah ta’ala :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabb-mu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat” [QS. Al-Baqarah : 198].
Orang-orang fakir, miskin, dan banyak hutang (al-ghaarimiin) termasuk dalam katagori delapan golongan yang berhak mendapatkan bagian dari zakat maal, sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir. Orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutan, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan; sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [QS. At-Taubah : 60].
Sebagaimana kita ketahui bersama, yang memberi tentu lebih utama lebih utama dari yang menerima/meminta atau tangan di atas lebih mulia/utama daripada tangan di bawah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَالْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى السَّائِلَةُ
Tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan tangan di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1429, Muslim no. 1033, Abu Daawud no. 4947, dan yang lainnya].
Dan hal tersebut sejalan pula dengan firman Allah ta’ala :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka berserah diri” [QS. Al-Baqarah : 274].
Tentu saja, yang dapat/mampu memberi harta hanyalah orang yang mempunyai harta.
Allah ta’ala tidak pernah menyuruh kaum muslimin menjadi faqir dan miskin tak berharta, karena sebagian syari’at-Nya membutuhkan pengorbanan harta. Diantaranya : Allah ta’ala mewajibkan haji bagi kaum muslimin[1], dan bahkan menjadi salah satu rukun Islam[2]. Haji dan berbagai keutamaannya tentu hanya dapat diperoleh secara hakiki oleh orang yang berharta. Allah ta’ala juga telah mewajibkan zakat - bahkan perintah zakat ini sering sekali beriringan dengan perintah shalat[3] -, menganjurkan berinfaq[4], menyembelih hewan kurban[5], mengadakan aqiqah/nasikahpada hari ketujuh setelah kelahiran anak[6], dan yang semisalnya. Semua itu dilakukan oleh orang-orang yang berharta. Maka sungguh benarlah apa yang dikatakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ مَعَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ
Sebaik-baik harta yang baik adalah dimiliki oleh laki-laki yang shalih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 299, Ibnu Hibbaan no. 3210, dan yang lainnya; shahih].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ
Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan menengadahkan tangan-tangan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1296 & 2742 & 3936].
Hadits ini menunjukkan orang yang berkecukupan lebih utama daripada orang miskin tak berharta yang hidupnya menggantungkan uluran bantuan orang lain; karena dengan harta yang dimiliki ia dapat menjaga kehormatan diri dan agamanya.
Orang kaya jika ia bersyukur atau orang miskin yang ia bersabar, keduanya mempunyai kebaikan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda saat mensifat keadaan seorang mukmin:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, semua urusannya baik; dan itu tidak akan dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Ketika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan ketika ia mendapatkan musibah, ia bersabar, dan itu baik baginya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2999].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[catatan 2006 – abul-jauzaa’]




[1]       Allah ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” [QS. Aali ‘Imraan : 97].
[2]       Dalam hadits disebutkan:
الإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadlaan, dan mengerjakan haji bagi yang mampu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8].
[3]       Allah ta’ala berfirman:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk’ [QS. Al-Baqarah : 43].
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لا تَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israel (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat” [QS. Al-Baqarah : 83].
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah” [QS. Al-Baqarah : 110].
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!" [QS. An-Nisaa’ : 77].
Dan yang lainnya.
[4]       Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لا بَيْعٌ فِيهِ وَلا خُلَّةٌ وَلا شَفَاعَةٌ
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at” [QS. Al-Baqarah : 254].
وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لأنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” [QS. At-Taghaabun : 16].
وَمَا لَكُمْ أَلا تُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi?” [QS. Al-Hadiid : 10].
[5]       Allah ta’ala berfirman :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah[QS. Al-Kautsar : 2].
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ
Dan bagi setiap umat, Kami telah mensyari’atkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan oleh Allah kepada mereka”[QS. Al-Hajj : 34].
[6]       Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
Setiap anak tergadai dengan ’aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan diberi nama” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2837-2838, At-Tirmidziy no. 1522. An-Nasaa’iy no. 4220, Ibnu Majah no. 3165, dan yang lainnya; shahih].



Artikel terkait:
b.      Bekerja.

Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (12) – Beriman kepada Taqdir

$
0
0
١١ - وَمِنَ السُّنَةِ اللَّازِمةِ الَّتِي مَنْ تَرَكَ مِنهَا خَصْلَةً، وَلَمْ يَقْبَلْهَا وَيُؤْمِنْ بِهَا، لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِهَا :
11.      Dan termasuk diantara sunnah yang harus diyakini dan diimani, yang barangsiapa meninggalkan satu perkara darinya serta tidak menerimanya dan tidak pula mengimaninya; maka ia bukan termasuk ahlinya:
Penjelasan:
Makna ‘as-sunnah’ dalam perkataan beliau adalah jalan, metode, dan ‘aqiidah.
Perkataan beliau rahimahullah : ‘maka ia bukan termasuk ahlinya’, yaitu bukan termasuk Ahlus-Sunnah. Jika seseorang bukan termasuk Ahlus-Sunnah, maka konsekuensinya ia termasuk Ahlul-Bid’ah.
١٢ - الْإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، وَالتَّصْدِيقُ بِالْأَحَادِيثِ فِيهِ، وَالْإِيْمَانُ بِهَا، لَا يُقَالُ : ((لِمَ؟)) وَلَا ((كَيْفَ؟))، إِنَّمَا هُوَ التَّصْدِيقُ وَالإِيْمَانُ بِهَا. وَمَنْ لَمْ يَعْرِفْ تَفْسِيرَ الْحَدِيثِ، وَيَبْلُغْهُ عَقْلُهُ، فَقَدْ كُفِيَ ذَلِكَ وَإُحْكِمَ لَهُ، فَعَلَيْهِ الإِيمَانُ بِهِ وَالتَّسْلِيمُ لَهُ، مِثْلُ حَدِيْثِ ((الصَّادِقِ الْمَصْدُوقِ))، وَمِثْلُ مَا كَانَ مِثْلُهُ فِي الْقَدَرِ، وَمِثْلُ أَحَادِيثِ الرُّؤْيَةِ كُلِّهَا، وَإِنْ نَبَتْ عَنِ الْأَسْمَاعِ وَاسْتَوْحَشَ مِنْهَا الْمُسْتَمِعُ، وَإِنَّمَا عَلَيْهِ الْإِيْمَانُ بِهَا، وَأَنْ لَا يُرَدَّ مِنْهَا حَرْفاً وَاحِداً، وَغَيْرِهَا مِنَ الْأَحَادِيْثِ الْمَأْثُورَاتِ عَنِ الثِّقَاتِ.
12.      Beriman kepada al-qadar (takdir) yang baik dan yang buruk, membenarkan hadits-hadits tentangnya dan mengimaninya, tanpa mengatakan : ‘mengapa?’ dan ‘bagaimana?’; akan tetapi kewajiban kita hanyalah membenarkannya dan mengimaninya. Barangsiapa yang tidak mengetahui penafsiran hadits dan tidak dapat dicapai akalnya, maka hal itu telah cukup dan kokoh baginya (sehingga tidak perlu berdalam-dalam lagi). Yang wajib baginya hanyalah beriman dan tunduk kepadanya, seperti hadits Ash-Shaadiqul-Mashduuq dan hadits-hadits yang semisalnya dalam masalah takdir dan seperti semua hadits tentang masalah ar-ru’yah (melihat Allah di akhirat); meskipun jarang terdengar  dan terasa berat bagi orang yang mendengarnya. Yang wajib baginya hanyalah mengimaninya dan tidak boleh menolaknya satu hurufpun, dan hadits-hadits lainnya yang diriwayatkan dari para perawi tsiqaat (terpercaya).
Penjelasan:
Al-qadar secara bahasa artinya adalah keputusan dan hukum, yaitu segala sesuatu yang Allah ‘azza wa jalla tentukan dari keputusan dan hukum dalam berbagai perkara. Adapun secara istilah, al-qadar maknanya adalah:
تقدير الله للكائنات حسبما سبق به علمُه، واقتضته حكمته
“Ketetapan Allah bagi semua makhluk sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan yang dikehendaki oleh hikmah-Nya” [Rasaail fil-‘Aqiidah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, hal. 37].
Beriman kepada takdir merupakan salah satu diantara rukun-rukun iman yang barangsiapa tidak beriman kepadanya, maka ia tidak disebut mukmin atau Ahlus-Sunnah. Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang menetapkan adanya takdir Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu berdasarkan takdir” [QS. Al-Qamar : 49].
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” [QS. At-Taubah : 51].
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” [QS. Al-Furqaan : 2].
مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا
“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku” [QS. Al-Ahzaab : 38].
Adapun dalam hadits:
عَنْ عُمَر بْن الْخَطَّابِ، أنَّ جِبْريْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيمَانِ، قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab : Bahwasannya Jibriil ‘alaihis-salaam pernah berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Lalu khabarkanlah kepadaku tentang iman”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada taqdir yang baik maupun yang buruk” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Orang mukmin yang kuat lebih baik daripada orang mukmin, dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah pada apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah lemah. Apabila engkau tertimpa sesuatu (musibah), maka jangan katakan : ‘Seandainya aku melakukan demikian, niscaya akan begini dan begitu’. Akan tetapi ucapkanlah : ‘(Ini adalah) takdir Allah. Apa saja yang Ia kehendaki, niscaya Ia akan melakukannya. Sesungguhnya perkataan ‘seandainya’ membuka pintu setan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2664].
عَنْ طَاوُسٍ، أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُونَ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ، قَالَ: وَسَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ، أَوِ الْكَيْسِ وَالْعَجْزِ
Dari Thaawus, ia berkata : Aku berjumpa dengan orang-orang dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka berkata : “Segala sesuatu berdasarkan takdir”. Thaawus melanjutkan : Dan aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Segala sesuatu berdasarkan takdir hingga orang yang lemah dan orang yang cerdas, atau orang yang cerdas dan orang yang lemah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2655].
An-Nawawiy rahimahullah berkata menjelaskan makna hadits di atas:
وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْعَاجِز قَدْ قَدَّرَ عَجْزه ، وَالْكَيِّس قَدْ قَدَّرَ كَيْسه
“Maknanya, bahwa orang yang lemah telah ditakdirkan kelemahannya dan orang yang cerdas telah ditakdirkan kecerdasannya” [Syarh Shahiih Muslim, 16/205].
Beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk merupakan ciri khas Ahlus-Sunnah sepanjang masa dan merupakan salah satu diantara ciri mereka yang paling menonjol.
Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim rahimahumallah berkata :
سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا: أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ: الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، وَالْقُرْآنُ كَلامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ بِجَمِيعِ جِهَاتِهِ، وَالْقَدَرُ خَيْرُهُ وَشَرُّهُ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam ushuuluddiin dan apa yang mereka temui tentang hal tersebut dari kalangan ulama di seluruh kota, serta apa yang mereka yakini dalam hal tersebut. Mereka berdua berkata : “Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh kota baik di Hijaaz, ‘Iraaq, Syam, dan Yaman, maka diantara madzhab yang mereka anut adalah : iman itu perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang; Al-Qur’an adalah Kalaamullah, bukan makhluk dari semua sisinya; takdir yang baik dan yang buruk berasak dari Allah ‘azza wa jalla…” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 321].
‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy rahimahullah berkata:
وأجمع أئمة السلف من أهل الإسلام على الإيمان بالقدر خيره وشره، حلوه ومره....
“Para imam salaf dari kaum muslimin telah bersepakat tentang keimanan terhadap takdir yang baik dan yang buruk, yang manis dan yang pahit….” [Al-Iqtishaad fil-I’tiqaad, hal. 151].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الْأَدِلَّة الْقَطْعِيَّات مِنْ الْكِتَاب وَالسُّنَّة وَإِجْمَاع الصَّحَابَة وَأَهْل الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف عَلَى إِثْبَات قَدَر اللَّه سُبْحَانه وَتَعَالَى
“Dan telah nampak jelas dalil-dalil yang pasti dari Al-Qur’an, As-Sunnah, serta ijmaa’para shahabat dan ahlul-halli wal-‘aqdiy (para ulama) dari kalangan salaf dan khalaf tentang penetapan takdir Allah subhaanahu wa ta’ala” [Syarh Shahiih Muslim, 1/155].
Ungkapan : ‘beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk' ; tidaklah bertentangan dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ
Dan semua kebaikan ada di kedua tangan-Mu, sedangkan kejelekan tidak disandarkan kepada-Mu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 771].
Hadits ini tidak menunjukkan adanya kejelekan/keburukan pada perbuatan Allah ta’ala yang mentakdirkan sesuatu, karena takdir Allah itu pasti baik dan mengandung hikmah. Hanya saja, kejelekan/keburukan itu muncul dari sisi manusia. Seperti halnya ketika seseorang tertimpa musibah sakit sehingga tangannya mesti diamputasi. Ia menganggap musibah yang menimpanya itu sebagai satu keburukan sehingga ia tidak menyukainya. Padahal, ketika Allah ta’ala mentakdirkan sakit kepadanya, padanya terdapat kebaikan yang banyak diantaranya:
a.     Sebagai ujian terhadap keimanannya, karena Allah ta’ala berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” [QS. Al-Ankabuut : 2].
b.     Dosa-dosanya dihapuskan dengan sebab sakit yang dideritanya, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى مَرَضٌ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللَّهُ لَهُ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu yang menyusahkan berupa sakit atau yang lainnya, kecuali Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daunnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5660 & 5667 dan Muslim no. 2571].
c.      Agar orang tersebut ingat kepada Allah ta’aladari kelalaiannya.
d.     Dan yang lainnya.
Juga sebagaimana firman Allah ta’ala:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”[QS. Ar-Ruum : 41].
Adanya kerusakan di darat dan lautan adalah sesuatu yang buruk/jelek, akan tetapi hasil adalah baik, yaitu kembali kepada jalan yang benar. Oleh karenanya, keburukan pada apa yang ditakdirkan bersifat nisbi - bukan hakiki – karena akibat yang ditimbulkan adalah baik.
Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa keimanan terhadap takdir tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani empat tingkatan takdir atau disebut juga rukun takdir. Keempat tingkatan tersebut adalah:
1.     Al-‘Ilmu (الْعِلْمُ)
Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu yang ada maupun yang tidak ada; yang mungkin maupun yang tidak mungkin (mustahil); yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang belum terjadi; serta mengetahui bagaimana terjadinya.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”[QS. Ath-Thalaq : 12].
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. At-Taubah : 115].
ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَى
“Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” [QS. An-Najm : 30].
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS. Luqmaan : 30].
وَلَوْ تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى النَّارِ فَقَالُوا يَا لَيْتَنَا نُرَدُّ وَلا نُكَذِّبَ بِآيَاتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ * بَلْ بَدَا لَهُمْ مَا كَانُوا يُخْفُونَ مِنْ قَبْلُ وَلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: "Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman", (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan). Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka” [QS. Al-An’aam : 27-28].
Dalam QS. Al-An’aam ayat 27-28 di atas bahkan menunjukkan Allah ta’ala mengetahui apa yang akan terjadi seandainya terjadi (padahal hal itu tidak terjadi). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang anak-anak orang musyrik yang meninggal dunia sewaktu kecil. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ
Allah lebih mengetahui apa yang akan mereka lakukan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1384 & 6598 & 6599 dan Muslim no. 2658 & 2659].
Maksudnya : Allah ta’ala mengetahui apa yang akan mereka lakukan seandainya mereka hidup dan tidak meninggal meninggal dunia sewaktu masih kecil.
2.     Al-Kitaabah (الْكِتَابَةُ)
Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala telah menuliskan segala sesuatu di sisi-Nya, di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun sebelum Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi. Maka, tidak ada sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi luput dari Lauh Mahfuudh.
Allah ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuudh) sebelum Kami menciptakannya” [QS. Al-Hadiid : 22].
وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuudh)” [QS. Yaasiin : 12].
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuudh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”[QS. Al-Hajj : 70].
وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ * وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ
“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis” [QS. Al-Qamar : 52-53].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah menulis seluruh takdir makhluk-makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653].
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
Sesungguhnya makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Allah ta’ala berfirman kepadanya : ‘Tulislah’. Pena bertanya : ‘Wahai Rabbku, apa yang mesti aku tuliskan?’. Allah ta’ala berfirman : ‘Tulislah takdir segala sesuatu hingga datang hari kiamat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2155 & 3319, Abu Daawud no. 4700; dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/148].
3.     Al-Iraadah wal-Masyii-ah (الْإِرَادَةُ وَالْمَشِيْئَةُ)
Yaitu beriman bahwa segala sesuatu yang ada hanya terjadi dengan keinginan dan kehendak Allah ta’ala. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan apa yang telah dikehendaki Allah. Apa yang dikehendaki Allah ta’ala pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki Allah ta’ala tidak akan terjadi.
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia” [QS. Yaasiin : 82].
وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”[QS. At-Takwiir : 29].
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya” [QS. Al-Qashshaash : 68].
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ
“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya” [QS. Aali ‘Imraan : 6].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ
Sesungguhnya hati-hati Bani Adam (manusia) semuanya berada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahmaan, seperti satu hati yang dapat dipalingkannya sesuai kehendak-Nya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2654].
Keinginan dan kehendak Allah ta’ala berporos pada rahmat dan hikmah-Nya. Allah ta’ala memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan menyesatkan siapa saja yang Ia kehendaki.
Allah ta’ala tidak ditanya tentang apa yang dilakukannya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, namun para hamba-Nya lah yang (kelak) akan ditanya untuk dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya semasa di dunia.
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” [QS. An-Nahl : 93].
لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai [QS. Al-Anbiyaa’ : 23].
4.     Al-Khalq (الْخَلْقُ)
Beriman bahwa Allah ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu, baik dzat maupun perbuatannya; semua yang bergerak dan gerakannya; serta yang ada, yang pernah ada, maupun yang belum ada. Oleh karena itu, tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi kecuali Allah ta’ala adalah Penciptanya.
Allah ta’ala berfirman:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” [QS. Az-Zumar : 62].
أَوَلَيْسَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُمْ بَلَى وَهُوَ الْخَلاقُ الْعَلِيمُ
“Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui” [QS. Yaasiin : 81].
Dua tingkatan pertama (al-‘ilmu dan al-kitaabah) diingkari oleh kelompok Qadariyyah awal yang muncul di jaman shahabat radliyallaahu ‘anhum. Para shahabat radliyallaahu ‘anhum mengkafirkan mereka, karena mereka menisbatkan kepada Allah ta’ala sifat bodoh (al-jahl). Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaapernah berkata tentang mereka:
فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ، مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ، حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Apabila engkau berjumpa dengan mereka, beritahukanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang ‘Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengannya, seandainya salah seorang diantara mereka memiliki emas sebesar Uhud lalu ia menginfakkannya, Allah tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada takdir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8].
Dikatakan para ulama bahwa kelompok Qadariyyah jenis ini sudah punah. Namun sayangnya, di jaman sekarang pemikiran ini dihidupkan kembali – diantaranya – oleh kelompok Islam Liberal[1].
Kelompok Qadariyyah kedua – dan ini adalah keumuman Qadariyyah yang ada hingga sekarang - adalah mereka yang beriman pada dua tingkatan pertama (al-‘ilmu dan al-kitaabah), dan juga beriman kepada kehendak (al-iraadah)dan al-khalq (penciptaan), namun mereka mengingkari keumuman kehendak dan keumanan penciptaan, sehingga mereka mengeluarkan perbuatan para hamba darinya.
Kelompok Qadariyyah ketiga adalah Qadariyyah Mujbirah atau yang lebih dikenal dengan Jabriyyah. Mereka berkata : Sesungguhnya para hamba dipaksa dalam perbuatan-perbuatan mereka, dan mereka tidak mempunyai pilihan. Apabila suatu perbuatan disandarkan kepada makhluk, maka itu hanyalah majaziy saja, karena yang berbuat secara hakiki adalah Allah. Hamba tidak ubahnya seperti kayu yang hanyut di air atau daun yang tertiup angin.
Kelompok Qadariyyah keempat adalah Qadariyyah Musyrikiyyah, yaitu mereka yang berhujjah dengan takdir terhadap kemaksiatan yang mereka lakukan, seperti perkataan orang-orang musyrik dalam firman Allah ta’ala:
لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ
“Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun” [QS. Al-An’aam : 148].
Berhujjah dengan takdir atas pelanggaran terhadap syari’at adalah bathil. Barangsiapa yang melakukan perbuatan maksiat yang telah ditentukan hukumannya dalam syari’at, lalu ia berhujjah dengan takdir, maka ia tetap dihukum dengan hukuman tersebut dan dikatakan kepadanya : ‘Sesungguhnya balasanmu dengan hukuman ini juga berdasarkan takdir’[2].
Akan tetapi jika seseorang beralasan dengan takdir atas kemaksiatan dan pelanggaran yang ia telah bertaubat darinya, maka ini diperbolehkan. Hal ini dikarenakan pengaruh akibat perbuatan maksiat tersebut telah hilang dengan taubat. Ia berhujjah dengan takdir bukan untuk tujuan membenarkan perbuatan maksiat dan pelanggaran yang dilakukan. Dalil atas pembolehan ini adalah kisah perdebatan antara Adam dan Muusaa ‘alaihimas-salaam:
احْتَجَّ آدَمُ، وَمُوسَى، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: يَا آدَمُ، أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الْجَنَّةِ، قَالَ لَهُ آدَمُ: يَا مُوسَى، اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ، أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلَاثًا
Aadam dan Muusaa saling berhujjah (berdebat). Muusaa berkata kepadanya (Aadam) : “Wahai Aadam, engkau adalah ayah kami, engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga”. Aadam berkata kepadanya : “Wahai Muusaa, Allah telah memilihmu dengan firman-Nya dan telah menuliskan (Taurat) dengan tangan-Nya untukmu. Apakah engkau mencelaku atas perkara yang Allah telah mentakdirkannya untukku 40 tahun sebelum Allah menciptakanku ?”. Maka Aadam mengalahkan Muusaa, Aadam mengalahkan Muusaa” – sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6614 dan Muslim no. 2652].
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah……
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 06-06-2015 – Abul-Jauzaa’ – referensi : Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq oleh Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 42-49; syarh oleh Rabii’ Al-Madkhaliy, hal. 12-15; syarh oleh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy, hal. 57-60; syarh oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Ar-Raajihiy, hal. 28-35; syarh oleh Khaalid bin Mahmuud Al-Juhaniy hal. 36-40; dan syarh oleh Ibnul-Jibriin, hal. 53-54; Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah lil-‘Utsaimiin 1/69-72; Manhaj Al-Imaam Asy-Syaafi’iy fii Itsbaatil-‘Aqiidah hal. 429-438; Syarh Hadiits Jibriil fii Ta’liimid-Diin hal. 59-69; dan yang lainnya].


Silakan baca pembahasan sebelumnya:




[1]     Salah satunya oleh orang yang bernama Zulfan Baron, semoga Allah ta’ala memberikan petunjuk kepadanya dan juga kita semua.
[2]     Adapun kisah masyhuur tentang pencuri yang berhujjah dengan takdir yang dihadapkan kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, lalu ia (‘Umar)menjawab: ‘Kami memotong tanganmu juga karena takdir Allah’ ; maka riwayatnya tidak shahih. Diriwayatkan oleh Ar-Raamahurmuziy dalam Al-Muhaddits Al-Faashil hal. 317 no. 215 dan Al-Khathiib dalam Al-Jaami’ li-Akhlaaqir-Raawiy wa Adabis-Saami’ 2/243 no. 1556. Hammaad Al-Anmaathiy, perawi dalam sanad riwayat ini, adalah seorang pendusta.
Sekaligus ini sebagai koreksi atas materi yang disampaikan pada hari Sabtu pagi, 06-06-2015.
Viewing all 594 articles
Browse latest View live