Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Adakah Shalat Sunnah Qabliyyah Jum’at?

$
0
0
Ketika kita berbicara tentang syari’at dan ibadah, tidak bisa tidak, mesti mengikuti dalil, bukan sekedar pendapat. Ada dalil dikerjakan, tidak ada dalil tidak usah dikerjakan. Itulah prinsip dalam syari’at yang begitu mudah, sehingga seseorang tidak dibebani untuk membuat-buat syari’at selain hanya mengikuti syari’at Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.
Shalat sunnah qabliyyah Jum’at yang dimaksudkan adalah shalat sunnah antara adzan dan iqamat dalam rangkaian pelaksanaan shalat Jum’at.Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Namun demikian, beberapa ulama ahli hadits dan peneliti menyatakan tidak ada riwayat shahih yang menetapkan adanya shalat sunnah (rawaatib) qabliyyah Jum’at dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dulu di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, adzan hanya dilaksanakan sekali. Ketika seseorang datang ke masjid, ia mengerjakan shalat tahiyyatul-masjid, shalat sunnah mutlak sesuai kehendaknya atau kemampuannya, mendengarkan adzan, dan diam mendengarkan khuthbah.
Berikut beberapa riwayat yang menjelaskannya:
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلَا يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الْإِمَامُ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى "
Dari Salmaan Al-Faarisiy, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan ia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian ia mendirikan shalat yang sesuai dengan yang telah ditetapkan untuknya (yaitu : sesuai dengan kemampuannya– Abul-Jauzaa’), lalu diam mendengarkan ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara Jum’at tersebut ke Jum’at berikutnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 883].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى، وَفَضْلُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa mandi kemudian menghadiri shalat Jum’at, lalu mengerjakan shalat sesuai kemampuannya, selanjutnya ia diam sehingga imam selesai dari khutbahnya dan kemudian mengerjakan shalat bersamanya, maka akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara Jum’at tersebut ke Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 857].
عَنْ أَبي أَيُّوب الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَمَسَّ مِنْ طِيب إِنْ كَانَ عِنْدَهُ، وَلَبسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابهِ، ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمَسْجِدَ فَيَرْكَعَ إِنْ بدَا لَهُ، وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا، ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يُصَلِّيَ، كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بيْنَهَا وَبيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى "
Dari Abu Ayyuub Al-Anshaariy, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum'at dan memakai wewangian jika ia punyai, kemudian memakai pakaiannya yang paling bagus, kemudian ia keluar hingga tiba di masjid, maka hendaklah ia shalat bila mau dan tidak mengganggu seorang pun. Kemudian ia diam apabila imam keluar hingga melaksanakan shalat. Maka yang demikian itu merupakan penghapus dosa baginya antara Jum’at tersebut ke Jum’at berikutnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/420-421; hasan dengan penguat hadits sebelumnya].
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ إِذَا جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَإِذَا نَزَلَ أَقَامَ، ثُمَّ كَانَ كَذَلِكَ فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : “Dulu Bilaal mengumandangkan adzan apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah duduk di atas mimbarnya pada hari Jum'at. Apabila beliau turun (dari mimbar), ia beriqamat. Begitu juga yang terjadi pada jaman Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1394; shahih].
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Seorang laki-laki datang (masuk masjid) dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhuthbah pada hari Jum’at. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah engkau sudah shalat wahai Fulaan ?”. Ia menjawab : “Belum”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berdiri dan shalatlah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 930 dan Muslim no. 875 (54)].
Dalam riwayat lain, laki-laki yang datang tersebut adalah Sulaik Al-Ghathafaaniy radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ جَابِرٍ أَنَّهُ قَالَ: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَعَدَ سُلَيْكٌ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَكَعْتَ رَكْعَتَيْنِ، قَالَ: لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْهُمَا
Dari Jaabir bahwasannya ia berkata : Sulaik Al-Ghathafaaniy datang (ke masjid) pada hari Jum’at sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas mimbar. Maka Sulaik pun duduk sebelum mengerjakan shalat. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apakah engkau sudah shalat dua raka’at ?”. Ia menjawab : “Belum”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berdiri lalu shalatlah dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 875 (58)].
Beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits-hadits di atas terkait pembahasan yaitu:
1.     Adzan yang dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sekali.
2.     Disunnahkan saat datang pertama kali ke masjid untuk mengerjakan shalat tahiyyatul-masjid sebelum duduk, meskipun imam sedang berkhuthbah.
Hal ini sesuai dengan keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ السَّلَمِيِّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
Dari Abu Qataadah As-Sulamiy, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaklah ia shalat dua raka’at sebelum ia duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 444 & 1167 dan Muslim no. 714].
Catatan penting:
Dalam riwayat Ibnu Maajah disebutkan:
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَا: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ "، قَالَ: لَا، قَالَ: "فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Rusyaid[1] : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats[2], dari Al-A’masy[3], dari Abu Shaalih dari Abu Hurairah, dan dari Abu Sufyaan dari Jaabir, keduanya berkata : “Sulaik Al-Ghathafaaniy datang (ke masjid) sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhuthbah. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum engkau datang?”. Ia berkata : “Belum”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shalatlah dua raka’at, dan cepatkanlah” [Sunan Ibni Maajah no. 1114].
Diriwayatkan juga oleh Abu Ya’laa[4] meriwayatkan dalam Musnad-nya no. 1946dari jalan Daawud bin Rusyaid.
Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini akanmaysru’-nya shalat sunnah rawaatib qabliyyah Jum’at.
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
لَمْ يَذْكُرْ الرَّافِعِيُّ فِي سُنَّةِ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا حَدِيثًا، وَأَصَحُّ مَا فِيهِ مَا رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ عَنْ دَاوُد بْنِ رُشَيْدٍ، عَنْ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرِ قَالَ: «جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ: أَصْلَيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا» . قَالَ الْمَجْدُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي الْمُنْتَقَى: قَوْلُهُ: «قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ» دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُمَا سُنَّةُ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا، لَا تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ. وَتَعَقَّبَهُ الْمَزِيُّ: بِأَنَّ الصَّوَابَ: أَصَلَّيْت رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجْلِسَ؟ فَصَحَّفَهُ بَعْضُ الرُّوَاةِ
“Ar-Raafi’iy tidak menyebutkan hadits tentang shalat sunnah qabliyyah Jum’at. Dan hadits yang paling shahih tentangnya adalah adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Maajah dari Daawud bin Rusyaid, dari Hafsh bin Ghiyaats, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, dan dari Abu Sufyaan, dari Jaabir, keduanya berkata : Sulaik Al-Ghathafaaniy datang (ke masjid) sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhuthbah. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum engkau datang ?”. Ia berkata : “Belum”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shalatlah dua raka’at, dan cepatkanlah”.
Al-Majd bin Taimiyyah berkata dalam Al-Muntaqaa : “Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘sebelum engkau datang’, merupakan dalil bahwa shalat dua raka’at tersebut adalah shalat sunnah qabliyyah Jum’at, bukan tahiyyatul-masjid”. Al-Mizziy mengkritiknya bahwasannya yang benar : ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum engkau duduk ?’. Sebagian perawinya telah melakukan tashhiif (salah menulis)” [At-Talkhiishul-Habiir, 2/149].
Perkataan Al-Mizziy ini dinukil juga oleh Ibnul-Qayyim [Zaadul-Ma’aad, 1/434] dan Al-Mubaarakfuriy [Tuhfatul-Ahwadziy, 2/61] rahimahumullah.
Untuk mengetahui benar tidaknya yang dikatakan Al-Mizziy rahimahullah, perlu kita telusuri jalur-jalur periwayatan, terutama yang berporos pada Al-A’masy.
Daawud bin Rusyaid dalam periwayatan dari Hafsh bin Ghiyats di sini diselelisihi oleh:
a.      Muhammad bin Mahbuub[5] (tsiqah) dan Ismaa’iil bin Ibraahiim[6] (tsiqah lagi ma’muun); sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud[7] no. 1116 dan Ibnu Hazm[8] dalam Al-Muhallaa3/276.
b.      Ibnu Numair[9] (tsiqah, haafidh, lagi faadlil); sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa[10] no. 2276.
c.      Ibnu Abi Syaibah[11] (tsiqah lagi haafidh, dan mempunyai banyak tulisan) dalam Al-Mushannaf[12]2/110 (4/69) no. 5204 & 2/116 (4/85) 5252.
d.      ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyaats[13] (tsiqah); sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy[14] dalam Al-Qiraa’ah no. 157 dan Ath-Thahawiy[15] dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/365 no. 2153.
semuanya meriwayatkan tanpa lafadh ‘sebelum engkau datang’. Lafadh hadits yang mereka bawakan adalah sebagai berikut:
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا سُلَيْكُ، قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ تَجَوَّزْ فِيهِمَا، ثُمَّ قَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ يَتَجَوَّزُ فِيهِمَا
“Sulaik Al-Ghathafaaniy datang (ke masjid) pada hari Jum’at sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhuthbah, lalu ia (Sulaik) langsung duduk. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Sulaik, berdiri, lalu shalatlah dua raka’at yang ringan dan cepatkanlah”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan : “Apabila salah seorang diantara kalian datang (ke masjid) dan imam sedang berkhuthbah, hendaklah ia shalat dua raka’at yang ringan dan mempercepatnya” [lafadh milik Al-Bukhaariy dalam Al-Qiraa’ah no. 157 dari jalan ‘Umar bin Hafsh, dari ayahnya].
‘Umar bin Hafsh ketika membawakan riwayat ayahnya tersebut berkata:
حَدَّثَنَا أَبِي،قَالَ: حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ، يَذْكُرُ حَدِيثَ سُلَيْكٍ الْغَطَفَانِيِّ، ثُمَّ سَمِعْتُ أَبَا سُفْيَانَ، بَعْدُ يَقُولُ: سَمِعْتُ جَابِرًا، يَقُولُ:.............
Telah menceritakan kepada kami ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, ia berkata : Aku mendengar Abu Shallih menyebutkan hadits Sulaik Al-Ghathafaaniy, kemudian aku mendengar Abu Sufyaan setelah itu berkata : Aku mendengar Jaabir berkata : “…..(al-hadits)…..”.
Artinya ‘Umar bin Hafsh hapal dan menguasai periwayatan dari ayahnya yang memberikan perincian lafadh periwayatan Al-A’masy yang berasal dari dua jalur; sementara ashhaab Hafsh yang lain membawakan dengan peringkasan.
Riwayat jumhur ashhaab Hafsh bin Ghiyaats tersebut – terutama yang dibawakan oleh ‘Umar bin Hafsh – menjelaskan bahwa konteks perintah shalat dua raka’at saat masuk masjid ketika imam sedang berkhuthbah adalah shalat sunnah tahiyyatul-masjid, bukan shalat qabliyyah Jum’at. Sama seperti riwayat Al-Bukhaariy dan Muslim yang disebutkan di awal.
Dikuatkan lagi bahwa dalam jalan yang lain, Daawud bin Rusyaid sendiri membawakan riwayat tanpa lafadh ‘sebelum engkau datang’.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، ثنا أَبُو مَعْمَرٍ الْقَطِيعِيُّ، وَدَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ، قَالا: ثنا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، ح وَأَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صَلِّ رَكْعَتَيْنِ تَجَوَّزْ فِيهِمَا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy[16] : Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Qathii’iy[17] dan Daawud bin Rusyaid, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah (ح), dan dari Abu Sufyaan, dari Jaabir, mereka berdua berkata : Sulaik Al-Ghathafaaniy datang sementara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhuthbah. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Shalatlah dua raka’at dan cepatkanlah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir7/192 no. 6698].
Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy dalam periwayatan dari Daawud bin Rusyaid mempunyai mutaba’ah dari Ahmad bin ‘Aliy bin Al-Mutsannaa sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan[18] no. 6/246 2500.
Sanadnya shahih hingga Hafsh bin Ghiyaats.
Namun Abu Ma’mar Al-Qathii’iy dalam jalan riwayat yang lain membawakan dengan lafadh ‘sebelum engkau datang’:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ الْوَاهَّبِ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ هَارُونَ بْنِ سُلَيْمَانَ، ثنا أَبُو مَعْمَرٍ الْقَطِيعِيُّ، ثنا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ لَهُ: "صَلَّيْتَ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ قَالَ: لا، قَالَ: صَلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdil-Wahhaab[19] : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Haaruun bin Sulaimaan[20] : Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Qathii’iy : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah; dan Abu Suyaan, dari Jaabir, ia berkata : Sulaik Al-Ghathafaaniy datang sementara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhuthbah pada hari Jum’at. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apakah engkau shalat sebelum datang ?”. Ia menjawab : “Belum”. Beliau bersabda : “Shalatlah dua raka’at dan cepatkanlah” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 3661].
Sayangnya, sanad Abu Nu’aim ini lemah karena Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdil-Wahhaab, seorang yang majhuul al-haal, sehingga tambahan lafadh ‘sebelum engkau datang’ dalam poros sanad Abu Ma’mar Al-Qathii’iy di sini tidak sah karena menyelisihi riwayat yang dibawakan Ath-Thabaraaniy yang sanadnya jauh lebih shahih.
Hafsh bin Ghiyaats dalam periwayatan dari Al-A’masy mempunyai mutaba’ah dari:
a.      ‘Iisaa bin Yuunus[21]; sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim[22]no. 875 (59), Ibnu Khuzaimah[23] 3/167 no. 1835, Ibnu Hibbaan[24] 6/247-248 no. 2502, Al-Baihaqiy[25]dalam Al-Kubraa 3/194 (275) no. 5692
b.      Abu Mu’aawiyyah Muhammad bin Khaazim[26]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad[27] 3/116, Ath-Thahawiy[28]dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/365 no. 2152, Ad-Daaraquthniy[29] 2/325 no. 1611, Al-Baihaqiy[30]dalam Al-Kubraa 3/194 (275) no. 5692
c.      Sufyaan Ats-Tsauriy[31] dan Ma’mar[32]; sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq[33] no. 5514, Ibnul-Mundzir[34] dalam Al-Ausath no. 1841,  dan Ath-Thabaraaniy[35] dalam Al-Kabiir 7/192 no. 6697
[Catatan : Ibnu Abi ‘Aashim[36] dalam Al-Aahaad wal-Matsaaniy no. 1279 dan Ad-Daaraquthniy[37] 2/325-326 no. 1612 meriwayatkan jalan ‘Abdurrazzaaq, dari Sufyaan, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyaan, dari Jaabir, dari Sulaik]
d.      Syariik bin ‘Abdillah[38]; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa[39]no. 2186
e.      Daawud Ath-Thaaiy[40]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan[41] 6/247 no. 2501
f.      Zaaidah bin Qudaamah[42]; sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid[43] 2/138-139 no. 1022
Semuanya membawakan riwayat dari Al-A’masy tanpalafadh ‘sebelum engkau datang’. Lafadh yang dibawakan Muslim adalah :
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ "يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "، ثُمَّ قَالَ: "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
Sulaik Al-Ghathafaaniy datang (ke masjid) pada hari Jum’at sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhuthbah, lalu ia (Sulaik) langsung duduk. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Wahai Sulaik, berdiri, lalu shalatlah dua raka’at dan cepatkanlah”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan : “Apabila salah seorang diantara kalian datang pada hari Jum’at dan imam sedang berkhuthbah, hendaklah ia shalat dua raka’at dan cepatkanlah” [Shahiih Muslim no. 875 (59)].
Konteks lafadh lafadh ini sama seperti lafadh jama’ah, yaitu perintah untuk tetap shalat dua raka’at ringan sebelum duduk meskipun imam telah berdiri berkhuthbah, yaitu shalat tahiyyatul-masjid, sebagaimana dipahami para ulama.
Tentu saja, riwayat Muslim – apalagi ia dikuatkan dengan banyak jalan – mesti didahulukan daripada selainnya, sehingga lafadh ‘sebelum engkau datang’ adalah syaadz yang boleh jadi merupakan tashhiifsebagaimana ditegaskan oleh Al-Haafidh Al-Mizziy rahimahullah,yang dilakukan oleh Daawud bin Rusyaid atau perawi setelahnya. Yang pasti, lafadh tersebut tidak mahfuudh, karena perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan shalat tahiyyatul-masjid tersebut berlaku bagi mereka yang datang ke masjid meskipun imam telah berkhuthbah, dan tidak digugurkan dengan shalat sunnah dua raka’at yang dilakukan di rumah (sebelum berangkat ke masjid). Para imam hadits yang menulis kitab-kitab hadits – sependek pengetahuan saya – tidak ada yang memasukkan hadits Jaabir ini dalam bab shalat sunnah qabliyyah Jum’at, akan tetapi menuliskannya pada bab orang yang masuk masjid sedangkan imam sedang berkhuthbah di hari Jum’at, yang tidak lain adalah sunnah tahiyyatul-masjid. Al-Bukhaariy meletakkan hadits Jaabir dalam Baab : Idzaa Ra-al-Imaam Rajulan Jaa-a wa Huwa Yakhthubu Amarahu An Yushalli Rak’atain dan Baab : Man Jaa-a wal-Imaamu Yakhthubu Shallaa Rak’ataini Khafiifatain, Muslim dalam Baab : At-Tahiyyatu wal-Imaamu Yakhthubu, dan imam-imam yang lainnya.
Riwayat Daawud Ath-Thaaiy dari Al-A’masy yang dibawakan Ibnu Hibbaan terdapat qariinah yang menguatkan perkataan Al-Mizziy, yaitu seharusnya lafadnya adalah ‘sebelum engkau duduk’.
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُمَيْرِ بْنِ جَوْصَا، بِدِمَشْقَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الصُّوفِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ الطَّائِيُّ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: دَخَلَ رَجُلٌ الْمَسْجِدَ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ لَهُ "صَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجْلِسَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Umair bin Jaushaa[44] di Damaskus : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yahyaa Ash-Shuufiy[45] : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Manshuur[46] : Telah menceritakan kepada kami Daawud Ath-Thaaiy, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyaan, dari Jaabir, ia berkata : “Seorang laki-laki (yaitu Sulaik A;-Ghthafaaniy) datang ke masjid sementara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhuthbah pada hari Jum’at. Maka beliau bersabda kepadanya : “Shalatlah dua raka’at yang ringan sebelum engkau duduk” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 6/247 no. 2501].
Sanadnya shahih sampai Al-A’masy.
3.     Disunnahkan mengerjakan shalat sunnah mutlak sekehendaknya/semampunya hingga imam keluar untuk berkhuthbah.
Inilah yang diamalkan para shahabat sebelum pelaksanaan shalat Jum’at.
عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ أَبِي مَالِكٍ الْقُرَظِيِّ، أَنَّهُمْ كَانُوا فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يُصَلُّونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يَخْرُجَ عُمَرُ، فَإِذَا خَرَجَ عُمَرُ وَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُونَ. قَالَ ثَعْلَبَةُ: جَلَسْنَا نَتَحَدَّثُ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُونَ، وَقَامَ عُمَرُ يَخْطُبُ أَنْصَتْنَا فَلَمْ يَتَكَلَّمْ مِنَّا أَحَدٌ
Dari Tsa’labah bin Abi Maalik Al-Quradhiy : Bahwasannya mereka di jaman ‘Umar bin Al-Khaththaab mengerjakan shalat sunnah hingga ‘Umar keluar. Ketika ‘Umar keluar dan duduk di atas mimbar, muadzdzin mengumandangkan adzan. Tsa’labah berkata : “Kami duduk dan berbincang-bincang. Apabila muadzdzin telah diam (selesai) dan ‘Umar berdiri untuk berkhuthbah, kami pun diam dan tidak ada seorang pun di antara kami yang berbicara” [Diriwayatkan oleh Maalik 1/446 no. 247; shahih].
‘Mereka’ yang dimaksudkan di sini adalah para shahabat dan taabi’iin yang hidup di masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Maksud shalat di sini adalah shalat sunnah mutlak yang dilakukan sebelum imam keluar dan dikumandangkannya adzan, sedangkan adzan di jaman ‘Umar hanya dilakukan sekali.
عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ، وَيُصَلِّي بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
Dari Naafi’, ia berkata : Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalatnya sebelum shalat Jum'at, dan shalat sunnah setelahnya dua raka'at di rumahnya; dan ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallamjuga melakukan yang demikian itu [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1128, Ibnu Khuzaimah 3/168 no. 1836, Ibnu Hibbaan 6/227 no. 2476, dan yang lainnya; shahih].
Memanjangkan shalat di sini dilakukan sebelum imam keluar untuk berkhuthbah.
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُهَجِّرُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَيُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ الْإِمَامُ
Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Mu’aadz, dari Ibnu ‘Aun, dari Naafi’, ia berkata : Dulu Ibnu ‘Umar bergegas-gegas (berangkat ke masjid) pada hari Jum’at, lalu memanjangkan shalatnya sebelum imam keluar (untuk berkhuthbah)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/129 (4/114) no. 5403; sanadnya shahih].
[Catatan : Sebagian orang berhujjah dengan riwayat ini tentang dimasyru’kannya shalat rawatib qabliyyah Jum’at. Ini jelas keliru, karena yang dikerjakan Ibnu ‘Umar adalah shalat sunnah mutlak sebelum imam keluar untuk berkhuthbah. Tidak ada shalat sunnah lain yang dilakukan para shahabat sebelum adzan/imam naik mimbar di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kecuali shalat sunnah mutlak]
Dikarenakan sifatnya mutlak, maka jumlah raka’at dikerjakan salaf sangatlah variatif. Mereka mengerjakannya sesuai dengan keinginan/kemampuan masing-masing. Berikut sebagian riwayat-riwayatnya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: ثنا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، قَالَ: ثنا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ سَالِمِ بْنِ بَشِيرِ بْنِ حَجْلٍ الْعَيْشِيِّ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يَجْلِسُ، فَلا يُصَلِّي شَيْئًا، حَتَّى يَنْصَرِفَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Saliim bin Basyiir bin Hajl Al-‘Aisyiy[47], dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ia biasa shalat sebelum mendatangi shalat Jum’at sebanyak delapan raka’at, kemudian duduk dan tidak shalat (sunnah) lagi hingga ia pulang” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 1844; shahih[48]].
حَدَّثَنَا فَهْدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ زَيْدٍ، عَنْ جَبَلَةَ بْنِ سُحَيْمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا، لا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِسَلامٍ، ثُمَّ بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَرْبَعًا
Telah menceritakan kepada kami Fahd, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ma’bad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Zaid, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya ia biasa mengerjakan shalat sebelum (shalat) Jum’at sebanyak empat raka’at dan tidak memisahnya dengan salam. Kemudian setelah shalat Jum’at sebanyak dua raka’at, kemudian empat raka’at” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/335 no. 1965].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah menukil riwayat lain dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa:
وروى عبد الرزاق، عن معمر، عن أيوب، عن نافع، قال: كان ابن عمر يصلي قبل الجمعة اثنتي عشرة ركعة
Dan ‘Abdurrazzaaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ayyuub, dari Naafi’, ia berkata : “Dulu Ibnu ‘Umar biasa shalat sebelum Jum’at sebanyak duabelas raka’at” [Fathul-Baariy, 8/329].
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ، قَالَ كَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَأْمُرُنَا أَنْ نُصَلِّيَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا، وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا، حَتَّى جَاءَنَا عَلِيٌّ فَأَمَرَنَا أَنْ نُصَلِّيَ بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَرْبَعًا
Dari Ats-Tsauriy, dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, ia berkata : “Dulu ‘Abdullah (bin Mas’uud) menyuruh kami shalat sebelum Jum’at sebanyak empat raka’at dan setelahnya empat raka’at, hingga ‘Aliy datang kepada kami lalu menyuruh kami shalat sebanyak dua raka’at setelahnya, kemudian empat raka’at” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5525; shahih].
Abu Syaamah rahimahullah berkata:
المراد من صلاة عبد الله بن مسعود قبل الجمعة أربعا أنه كان يفعل ذلك تطوعا إلى خروج الإمام كما تقدم ذكره
“Yang dimaksudkan dari shalat ‘Abdullah bin Mas’uud sebelum Jum’at sebanyak empat raka’at, maka ia melakukannya sebagai shalat sunnah (mutlak) hingga keluarnya imam sebagaimana yang telah lalu penyebutannya” [Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawaadits, hal. 97].
An-Nawawiy rahimahullah saat menjelaskan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata:
وَفِيهِ أَنَّ التَّنَفُّل قَبْل خُرُوج الْإِمَام يَوْم الْجُمُعَة مُسْتَحَبّ ، وَهُوَ مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجُمْهُور . وَفِيهِ أَنَّ النَّوَافِل الْمُطْلَقَة لَا حَدَّ لَهَا لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ ) .
“Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa shalat sunnah sebelum keluarnya imam pada hari Jum’at adalah mustahab. Itu adalah madzhab kami dan madzhab jumhur ulama. Dan dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa shalat sunnah mutlak tidak ada batasan (raka’at)-nya berdasarkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘lalu mengerjakan shalat sesuai kemampuannya” [Syarh Shahiih Muslim, 6/146].
4.     Setelah imam keluar dan adzan dikumandangkan, shalat sunnah mutlak tidak lagi dikerjakan.
5.     Ketika imam berkhuthbah, kewajiban yang ada hanyalah mendengarkannya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلَائِكَةُ يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila hari Jum’at tiba, maka di setiap pintu masjid terdapat malaikat yang mencatat siapa saja yang hadir lebih dahulu (untuk menghadiri shalat Jum’at). Apabila imam telah duduk (di atas mimbar), mereka menutup lembaran catatan kitab untuk turut mendengarkan adz-dzikr (khutbah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3211].
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ، أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ كَانَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ، قَلَّمَا يَدَعُ ذَلِكَ إِذَا خَطَبَ: "إِذَا قَامَ الْإِمَامُ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَاسْتَمِعُوا وَأَنْصِتُوا، فَإِنَّ لِلْمُنْصِتِ الَّذِي لَا يَسْمَعُ مِنَ الْحَظِّ مِثْلَ مَا لِلْمُنْصِتِ السَّامِعِ، فَإِذَا قَامَتِ الصَّلَاةُ فَاعْدِلُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بِالْمَنَاكِبِ، فَإِنَّ اعْتِدَالَ الصُّفُوفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ، ثُمَّ لَا يُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَهُ رِجَالٌ، قَدْ وَكَّلَهُمْ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ، فَيُخْبِرُونَهُ أَنْ قَدِ اسْتَوَتْ فَيُكَبِّرُ "
Dari Maalik bin Abi ‘Aamir : Bahwasannya ‘Utsmaan bin ‘Affaan pernah berkata dalam khuthbahnya dan jarang ia meninggalkannya dalam khuthbahnya : "Apabila imam telah berdiri berkhutbah pada hari Jum'at, maka dengarkanlah dan diamlah. Sesungguhnya orang yang diam tetapi tidak mendengarkan, pahalanya tidak sama dengan orang yang diam dan tetap mendengarkan. Apabila shalat hendak ditegakkan, maka luruskanlah shaffdan rapatkan antara bahu dengan bahu. Sesungguhnya lurusnya shaff termasuk bagian dari sempurnanya shalat” [Diriwayatkan oleh Maalik 1/447 no. 248; shahih].
Az-Zuhriy rahimahullah berkata:
فَخُرُوجُ الْإِمَامِ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ وَكَلَامُهُ يَقْطَعُ الْكَلَامَ
“Keluarnya imam menghentikan shalat (sunnah), dan perkataan imam (yang berkhuthbah) menghentikan pembicaraan/obrolan” [Diriwayatkan oleh Maalik 1/446 no. 247].
6.     Tidak ada shalat sunnah rawatib qabliyyah Jum’ah karena tidak ada ruang/waktu untuk mengerjakannya.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَأَمَّا سُنَّة الْجُمُعَة الَّتِي قَبْلهَا فَلَمْ يَثْبُت فِيهَا شَيْء
“Adapun shalat sunnah (rawaatib) qabliyyah Jum’at, maka tidak ada hadits shahih tentangnya sama sekali” [Fathul-Baariy, 2/410].
Jika dikatakan : Lantas bagaimana dengan keumuman hadits :
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ
Antara dua adzan (yaitu antara adzan dan iqamat – Abul-Jauzaa') terdapat shalat (sunnah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 624 dan Muslim no. 838, dari ‘Abdullah bin Al-Mughaffal radliyallaahu ‘anhu].
??
Bukankah ini berlaku juga untuk shalat Jum’at ?
Jawab : Hadits tersebut tetap pada keumumannya hingga ada dalil yang membatasinya, dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang pelaksanaan shalat Jum’at Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membatasi keumuman tersebut.
Untuk memahaminya hadits tersebut, kita perlu memperhatikan bagaimana aplikasi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat di jaman ketika hadits tersebut diucapkan.
Sebagaimana telah dijelaskan, di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, adzan hanya sekali. Ketika imam keluar, muadzin mengumandangkan adzan, kemudianNabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhuthbah. Lantas dimana waktu untuk mengerjakan shalat qabliyyah Jum’at seandainya memang disyari’atkan?. Dapatkah kita bayangkan bagaimana jadinya ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memulai khuthbah para shahabat malah berdiri shalat?. Lantas apa hikmah mendengarkan khuthbah Jum’at apabila semua makmum berdiri melakukan shalat sunnah ?
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
أَمَّا قَوْلُهُ "كَانَ يُطِيلُ اَلصَّلَاة قَبْلَ اَلْجُمُعَة "فَإِنْ كَانَ اَلْمُرَاد بَعْدَ دُخُولِ اَلْوَقْتِ فَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَرْفُوعًا لِأَنَّهُ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ إِذَا زَالَتْ اَلشَّمْسُ فَيَشْتَغِلُ بِالْخُطْبَةِ ثُمَّ بِصَلَاة اَلْجُمُعَةِ ، وَإِنْ كَانَ اَلْمُرَاد قَبْلَ دُخُول اَلْوَقْت فَذَلِكَ مُطْلَق نَافِلَة لَا صَلَاة رَاتِبَة فَلَا حُجَّةَ فِيهِ لِسُنَّة اَلْجُمُعَة اَلَّتِي قَبْلَهَا بَلْ هُوَ تَنَفُّلٌ مُطْلَق
“Adapun perkataannya : ‘Dulu ia (Ibnu ‘Umar) memanjangkan shalat sebelum shalat Jum’at’; apabila yang dimaksudkan setelah masuknya waktu (adzan), maka tidak shahih jika statusnya marfuu’[49] karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar apabila matahari telah tergelincir, lalu beliau sibuk berkhuthbah dan setelah itu mengerjakan shalat Jum’at. Apabila yang dimaksudkan sebelum masuknya waktu, maka itu adalah shalat sunnah mutlak, bukan rawaatib. Maka, tidak ada hujjah padanya akan adanya shalat sunnah qabliyyah Jum’at, namun ia adalah shalat sunnah mutlak” [Fathul-Baariy, 2/426].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
كَانَ إذَا فَرَغَ بِلَالٌ مِنْ الْأَذَانِ أَخَذَ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي الْخُطْبَةِ وَلَمْ يَقُمْ أَحَدٌ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ الْبَتّةَ وَلَمْ يَكُنْ الْأَذَانُ إلّا وَاحِدًا وَهَذَا يَدُلّ عَلَى أَنّ الْجُمُعَةَ كَالْعِيدِ لَا سُنّةَ لَهَا قَبْلَهَا وَهَذَا أَصَحّ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ وَعَلَيْهِ تَدُلّ السّنّةُ فَإِنّ النّبِيّ صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ كَانَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ فَإِذَا رَقِيَ الْمِنْبَرَ أَخَذَ بِلَالٌ فِي أَذَانِ الْجُمُعَةِ فَإِذَا أَكْمَلَهُ أُخِذَ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي الْخُطْبَةِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ وَهَذَا كَانَ رَأْيَ عَيْنٍ فَمَتَى كَانُوا يُصَلّونَ السّنّةَ ؟ وَمَنْ ظَنّ أَنّهُمْ كَانُوا إذَا فَرَغَ بِلَالٌ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ مِنْ الْأَذَانِ قَامُوا كُلّهُمْ فَرَكَعُوا رَكْعَتَيْنِ فَهُوَ أَجْهَلُ النّاسِ بِالسّنّةِ وَهَذَا الّذِي ذَكّرْنَاهُ مِنْ أَنّهُ لَا سُنّةَ قَبْلَهَا هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَحْمَدَ فِي الْمَشْهُورِ عَنْهُ وَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ لِأَصْحَابِ الشّافِعِيّ.
“Dulu apabila Bilaal selesai mengumandangkan adzan, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhuthbah dan tidak ada seorang pun yang melakukan shalat sunnah dua raka’at. Adzan tidak dilakukan (waktu itu) kecuali sekali saja. Hal ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at seperti shalat ‘Ied, tidak ada shalat sunnah qabliyyah-nya. Dan ini merupakan yang paling benar dari dua pendapat yang beredar di kalangan ulama dan yang ditunjukkan oleh sunnah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya, dan apabila beliau telah naik mimbar, Bilaal langsung mengumandangkan adzan. Apabila ia (Bilaal) telah menyempurnakan adzannya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhuthbah tanpa adanya selang waktu. Dan inilah yang disaksikan waktu itu. Lantas, kapan mereka (para shahabat) melakukan shalat sunnah ?. Dan barangsiapa yang menyangka bahwasannya ketika Bilaal radliyallaahu ‘anhu selesai mengumandangkan adzan, mereka semuanya berdiri melakukan shalat sunnah dua raka’at; maka ia adalah orang yang paling jahil terhadap sunnah. Yang kami sebutkan bahwasannya tidak ada shalat sunnah (rawaatib) qabliyyah (Jum’at) merupakan madzhab Maalik, yang masyhur dari pendapat Ahmad, dan salah satu dari dua pendapat dari Ashhaab Asy-Syaafi’iy” [Zaadul-Ma’aad, 1/417].
Al-‘Iraaqiy rahimahullah berkata:
لم ينقل عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم أنه كان يصلي قبل الجمعة لأنه كان يخرج إليها فيؤذن بين يديه ثم يخطب
“Tidak ternukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melakukan shalat sunnah (rawaatib) qabliyyah Jum’at, karena beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar (menuju mimbar), lalu dikumandangkan adzan di hadapan beliau, kemudian beliau berkhuthbah” [Nailul-Authaar, 3/255].
Dari sini diketahui tidak ada shalat sunnah rawaatib qabliyyah Jum’at di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Jika shalat sunnah rawatib qabliyyah Jum’at tidak diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamdan para shahabatnya, apakah mungkin ia baru diketahui oleh orang-orang setelahnya ?. Jika hadits ‘Abdullah bin Al-Mughaffal tersebut tidak dipahami Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya untuk mengadakan shalat rawatib qabliyyah Jum’at, mengapa hadits itu baru dapat dipahami oleh orang-orang setelahnya untuk mengadakannya ?. Apakah ada pemahaman yang hilang dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya waktu itu, dan kemudian pemahaman itu baru dimiliki oleh orang-orang setelahnya ?.
Jika dikatakan : Shalat sunnah rawaatib qabliyyah Jum’at dilakukan di jaman ‘Utsmaan bin ‘Affaan saat adzan Jum’at dilakukan lebih dari sekali dan itu dilakukan antara adzan pertama dan kedua.
Jawab :Tidak ada dalil yang shahih dan sharih yang menunjukkan hal itu, karena apa yang dilakukan para shahabat terkait sunnah-sunnah Jum’at di jaman ‘Utsmaan secara umum sama seperti di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, selain jumlah adzannya. Adzan tambahan dilakukan karena sebab, yaitu ketika manusia bertambah banyak dan rumah-rumah berjauhan, sehingga adzan awal dilakukan di Zauraa’ sebelum zawal.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ "، قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ: الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ
Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : “Dahulu pada jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, adzan pada hari Jum’at pertama kalinya adalah ketika imam sudah duduk di atas mimbar. Ketika ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu (menjadi khalifah) dan orang-orang bertambah banyak, maka ia menambah adzan ketiga di Zauraa". Abu Abdillah (Al-Bukhaariy) berkata : “Az-Zaura’ adalah nama satu tempat di pasar Madinah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 912].
Dalam riwayat lain:
فَأَذَّنَ بِالزَّوْرَاءِ قَبْلَ خُرُوجِهِ، يُعْلِمُ النَّاسَ أَنَّ الْجُمُعَةَ قَدْ حَضَرَتْ
“Maka muadzin mengumandangkan adzan di Zauraa’ sebelum ia (‘Utsmaan) keluar (di atas mimbar), untuk memberitahukan orang-orang bahwa waktu Jum’at telah tiba” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 7/173 no. 6643].
Tentu saja itu berbeda dengan yang dilakukan orang-orang sekarang[50].
Saat adzan pertama dikumandangkan di Zauraa’, orang-orang segera berhenti dari kesibukannya untuk segera mempersiapkan diri berangkat shalat Jum’at. Setelah mereka sampai di masjid, mereka melakukan sunnah-sunnah sebagaimana sunnah-sunnah yang berlaku di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (shalat tahiyyatul-masjid, shalat sunnah mutlak, hingga keluarnya imam).
Oleh karena itu, jika ada orang yang mengerjakan shalat sunnah mutlak antara adzan pertama dan adzan kedua, maka boleh lagi baik (jaaizah hasanah).Ini bukan shalat rawaatib seperti shalat qabliyyahMaghrib. Barangsiapa yang melakukannya tidak diingkari dan barangsiapa yang meninggalkannya tidak diingkari pula [lihat : Majmuu’ Al-Fataawaa li-Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah, 24/194-195].
Persoalannya, banyak orang melakukannya dengan motif/anggapan sebagai shalat rawaatib qabliyyah Jum’at. Waktu dan raka’at mungkin sama, tapi keyakinannya berbeda[51].
Seandainya ada yang berkukuh mengerjakan shalat sunah rawaatib qabliyyah Jum’at dengan cara menggabungkan pendalilan antara hadits ‘Abdullah bin Al-Mughaffaal dan As-Saaib bin Yaziid ini (yaitu masyru’-nya shalat sunnah antara dua adzan, dan dua adzan dalam case ini adalah adzan pertama dan adzan kedua dalam shalat Jum’at), mengapa mereka tidak melakukannya untuk shalat sunnah rawaatib qabliyyah Shubuh dilakukan pada malam hari setelah adzan pertama ?. Bukankah dimasyru’-kan juga – berdasarankan hadits shahih[52]– mengumandangkan adzan pertama di waktu malam sebelum dikumandangkannya adzan Shubuh ?. Kenyataannya, mereka tidak melakukannya. Yang mereka lakukan pada waktu itu adalah shalat malam (tahajjud atau witir), sedangkan shalat sunnah rawaatib qabliyyah Shubuh mereka lakukan setelah adzan masuknya waktu Shubuh.
Kesimpulan : Shalat sunnah rawaatib qabliyyah Jum’at tidak disyari’atkan.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 09052015 – 02:10]. 




[1]     Daawud bin Rusyaid Al-Haasyimiy Al-Khawaarazmiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10 dan meninggal tahun 239 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 305 no. 1794].
[2]     Hafsh bin Ghiyaats bin Thalq bin Mu’aawiyyah bin Maalik An-Nakha’iy, Abu ‘Umar Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi faqiih, namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-8, meninggal tahun 194/195 H [Taqriibut-Tahdziib , hal. 260 no. 1439].
[3]     Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy – terkenal dengan nama Al-A’masy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aalim terhadap qira’aat, wara’, akan tetapi sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, dan meninggal tahun 147/148 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630].
[4]     Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: جَاءَ سُلَيْكُ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ لَهُ: "أَصَلَّيْتَ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ؟ "، قَالَ: لا، قَالَ: "فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
[5]     Muhammad bin Mahbuub Al-Bunaaniy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10 dan meninggal tahun 223 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 893 no. 6307].
[6]     Ismaa’iil bin Ibraahiim bin Ma’mar bin Al-Hasan Al-Hudzaliy, Abu Ma’mar Al-Qathii’iy Al-Harawiy; seorang yang tsiqah lagi ma’muun. Termasuk thabaqah ke-10, dan meninggal tahun 236 H[Taqriibut-Tahdziib, hal. 136 no. 419].
[7]     Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَحْبُوبٍ، وَإِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْمَعْنَى، قَالَا: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، وَعَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَا: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ "أَصَلَّيْتَ شَيْئًا؟ "قَالَ: لَا، قَالَ: "صَلِّ رَكْعَتَيْنِ تَجَوَّزْ فِيهِمَا "
[8]     Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رُبَيْعٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ السُّلَيْمِ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْأَعْرَابِيِّ، حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ مُحَمَّدُ بْنُ مَحْبُوبٍ، وَإِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَا: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: "جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ عَلَيْهِ السَّلامُ: أَصَلَّيْتَ شَيْئًا؟ قَالَ: لَا، قَالَ: صَلِّ الرَّكْعَتَيْنِ تَجَوَّزْ فِيهِمَا
[9]     Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair Al-Hamdaaniy Al-Khaarifiy Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-10, dan meninggal tahun 234 H[Taqriibut-Tahdziib, hal. 866 no. 6093].
[10]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا حَفْصٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَتَجَوَّزُ فِيهِمَا
[11]    ‘Abdullah bin Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-Khawaasitiy Al-‘Absiy, Abu Bakr bin Abi Syaibah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, shaahibut-tashaanif(mempunyai banyak karangan/tulisan). Termasuk thabaqah ke-10, dan meninggal tahun 235 H[Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3600].
[12]    Riwayatnya adalah:
No. 5201:
حَدَّثَنَا حَفْصٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: "جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: صَلِّ رَكْعَتَيْنِ تَجَوَّزْ فِيهِمَا"
No. 5252:
حَدَّثَنَا حَفْصٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: "جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ لَهُ: صَلَّيْتَ، قَالَ: لَا، قَالَ: صَلِّ رَكْعَتَيْنِ تَجَوَّزْ فِيهِمَا "
[13]    ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyaats bin Thalq Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, namun kadang mengalami keraguan. Termasuk thabaqah ke-10 dan meninggal tahun 222 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 716 no. 4914].
[14]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي،قَالَ: حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ، يَذْكُرُ حَدِيثَ سُلَيْكٍ الْغَطَفَانِيِّ، ثُمَّ سَمِعْتُ أَبَا سُفْيَانَ، بَعْدُ يَقُولُ: سَمِعْتُ جَابِرًا، يَقُولُ: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا سُلَيْكُ، قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ تَجَوَّزْ فِيهِمَا، ثُمَّ قَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ يَتَجَوَّزُ فِيهِمَا "
[15]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا فَهْدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أُبَيٌّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ يَذْكُرُ حَدِيثَ سُلَيْكٍ الْغَطَفَانِيِّ، ثُمَّ سَمِعْتُ أَبَا سُفْيَانَ بَعْدَ ذَلِكَ يَقُولُ: سَمِعْتُ جَابِرًا، يَقُولُ: "جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُمْ، يَا سُلَيْكُ، فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ، تَجَوَّزْ فِيهِمَا، ثُمَّ قَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ، يَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
[16]    Muhammad bin ‘Abdillah bin Sulaimaan Al-Hadlramiy Al-Haafidh, terkenal dengan nama Muthayyan; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-12, dan meninggal tahun 277 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 14/41-42 dan Lisaanul-Miizaan, 7/257-259 no. 7021].
[17]    Ismaa’iil bin Ibraahiim bin Ma’mar bin Al-Hasan Al-Hudzaliy, Abu Ma’mar Al-Qathii’iy Al-Harawiy; seorang yang tsiqah lagi ma’muun. Termasuk thabaqah ke-10, dan meninggal tahun 236 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 136 no. 419].
[18]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وأبي سفيان، عَنْ جَابِرٍ، قَالا: "دَخَلَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ الْمَسْجِدَ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَأَمَرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ "
[19]    Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdil-Wahhaab bi Daawud bin Bihraam As-Sulamiy, Abu Bakr Al-Muqri’ Adl-Dlariir. Abu Nu’aim menyebutkannya dalam Taariikh Ashbahaan (1/313 no. 548) tanpa menyebutkan jarh maupun ta’diil.
[20]    Al-Hasan bin Haaruun bin Sulaimaan Al-Kharaaz; salah seorang perawi tsiqaat yang hasan haditsnya. Meninggal tahun 292 H [Thabaqaatul-Muhadditsiin bi-Ashbahaan li-Abisy-Syaikh, 3/308].
[21]    ‘Iisaa bin Yuunus bin Abi Ishaaq As-Sabii’iy; seorang yang tsiqah lagi ma’muun. Termasuk thabaqah ke-8 dan meninggal tahun 187 H/191 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 773 no. 5376].
[22]    Riwayatnya adalah:
وحَدَّثَنَا إسحاق بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَعَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ، كلاهما، عَنْ عِيسَى بْنِ يُونُسَ، قَالَ ابْنُ خَشْرَمٍ: أَخْبَرَنَا عِيسَى، عَنْ الْأَعْمَشِ،عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ "يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "، ثُمَّ قَالَ: "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
[23]    Riwayatnya adalah:
نا عَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ، أَخْبَرَنَا عِيسَى يَعْنِي ابْنَ يُونُسَ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ: "يَا سُلَيْكُ، قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ". ثُمَّ قَالَ: "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
[24]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ سَعِيدٍ السَّعْدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عِيسَى، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ "يَا سُلَيْكُ، قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "، ثُمَّ قَالَ: "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
[25]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي، ثنا حَاجِبُ بْنُ أَحْمَدَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ حَمَّادٍ، ثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الأَعْمَشِ، ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو صَالِحِ بْنُ أَبِي طَاهِرٍ، أنبأ جَدِّي يَحْيَى بْنُ مَنْصُورٍ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ سَلَمَةَ، ثنا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أنبأ عِيسَى بْنُ يُونُسَ، ثنا الأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ "جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَصَلَّيْتَ الرَّكْعَتَيْنِ؟ "فَقَالَ: لا، قَالَ: "قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "وَقَالَ: "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ".
[26]    Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, dan orang yang paling hapal hadits Al-A’masy, namun sering mengalami keraguan dalam hadits selainnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 113 H, dan meninggal tahun 194/195 H[Taqriibut-Tahdziib, hal. 840 no. 5878].
[27]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيَجْلِسْ "
[28]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خُزَيْمَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِسْكَابَ الْكُوفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةُ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ، ثُمَّ لْيَجْلِسَ
[29]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ حَرْبٍ، ثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ، ثنا الأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ فَجَلَسَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ لِيَجْلِسْ "
[30]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي، ثنا حَاجِبُ بْنُ أَحْمَدَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ حَمَّادٍ، ثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الأَعْمَشِ، ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو صَالِحِ بْنُ أَبِي طَاهِرٍ، أنبأ جَدِّي يَحْيَى بْنُ مَنْصُورٍ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ سَلَمَةَ، ثنا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أنبأ عِيسَى بْنُ يُونُسَ، ثنا الأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ "جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَصَلَّيْتَ الرَّكْعَتَيْنِ؟ "فَقَالَ: لا، قَالَ: "قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "وَقَالَ: "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ".
[31]    Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 97 H, dan meninggal tahun 161 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].
[32]    Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabt, lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-7, meninggal tahun 154 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
[33]    Riwayatnya adalah:
عَنْ مَعْمَرٍ، وَالثَّوْرِيِّ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ يُقَالَ لَهُ: سُلَيْكٌ، مِنْ غَطَفَانَ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا سُلَيْكُ، قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ "
[34]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَرٍ، وَالثَّوْرِيِّ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: سُلَيْكٌ مِنْ غَطَفَانَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قُمْ يَا سُلَيْكُ، فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ "
[35]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّبَرِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَرٍ، وَالثَّوْرِيِّ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ سُلَيْكٌ مِنْ غَطَفَانَ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا سُلَيْكُ، قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ "
[36]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ، نا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، عَنْ  سُلَيْكٍ  الْغَطَفَانِيِّ  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ "
[37]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ صَاعِدٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ زَنْجُوَيْهِ. ح وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو الْغَزِّيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ السُّلَمِيُّ، وَعَبَّاسٌ التَّرْقُفِيُّ، قَالُوا: نا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ الْفِرْيَابِيُّ. ح وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ السُّلَمِيُّ، وَالْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى، قَالا: نا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أنا سُفْيَانُ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، عَنْ  سُلَيْكٍ  الْغَطَفَانِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا "
[38]    Syariik bin ‘Abdillah bin Abi Syariik An-Nakha’iy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy. Termasuk thabaqah ke-8, dan meninggal tahun 177 H/178 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].
[39]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا مَسْرُوقٌ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُلَيْكٌ إِلَى الْمَسْجِدِ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، "فَأَمَرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
[40]    Daawud bin Nushair, Abu Sulaimaan Ath-Thaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi zaahid. Termasuk thabaqah ke-8 dan meninggal tahun 160 H/165 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 309 no. 1825].
[41]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُمَيْرِ بْنِ جَوْصَا، بِدِمَشْقَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الصُّوفِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ الطَّائِيُّ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: دَخَلَ رَجُلٌ الْمَسْجِدَ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ لَهُ "صَلِّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجْلِسَ"
[42]    Zaaidah bin Qudaamah Ats-Tsaqafiy, Abush-Shalt Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabt, lagi shaahibus-sunnah. Termasuk thabaqah ke-7, dan meninggal tahun 160 H atau setelahnya. [Taqriibut-Tahdziib, hal. 333 no. 1993].
[43]    Riwayatnya adalah:
ثنا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُحَارِبِيُّ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: "جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فِيهِمَا جَوَازٌ، فَقُلْتُ لِسُلَيْمَانَ: يَوْمَ الْجُمُعَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ "
[44]    Ahmad bin ‘Umair bin Yuusuf bin Muusaa bin Haaruun bin Jaushaa, Abul-Hasan Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Lahir tahun 230 H dan meninggal tahun 320 H [Zawaaidu Rijaali Shahiih Ibni Hibbaan hal. 113-128 no. 54 dan Irsyaadul-Qaashiy wad-Daaniy, hal. 147-148 no. 158].
[45]    Ahmad bin Yahyaa bin Zakariyyaa Al-Audiy, Abu Ja’far Al-Kuufiy Al-‘Aabid; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-11 dan meninggal tahun 264 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 101no. 125].
[46]    Ishaaq bin Manshuur bin Bahraam Al-Kuusij, Abu Ya’quub At-Taimiy Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah lagi tsabt. Termasuk thabaqah ke-11, dan meninggal tahun 251 H[Taqriibut-Tahdziib, hal. 132 no. 388].
[47]    Yang benar : Salm bin Basyiir bin Hajl Al-Bashriy [lihat : Ats-Tsiqaat, 4/334].
[48]    Ada kekhawatiran keterputusan antara Salm bin Basyiir dengan Abu ‘Awaanah.  Ibnu Hibbaan saat menyebutkan keterangan tentangnya berkata : “Telah meriwayatkan darinya Abu ‘Awaanah, seandainya ia mendengar darinya” [idem].
Hanya saja, Ibnu Hibbaan sendiri tidak memastikan adanya keterputusan tersebut. Abu ‘Awaanah masih memunginkan mendengar hadits dari thabaqah Salm bin Basyiir, wallaahu a’lam.
[49]    Maksudnya jika perbuatan itu disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena diakhir perkataan Naafi’ disebutkan:
......وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
…… Dan ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga melakukan yang demikian itu [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1128, Ibnu Khuzaimah 3/168 no. 1836, Ibnu Hibbaan 6/227 no. 2476, dan yang lainnya; shahih].
Oleh karena itu, jika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin melakukannya setelah masuknya waktu shalat, maka Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa juga tidak melakukannya setelah masuknya waktu shalat (adzan), akan tetapi sebelumnya; sehingga yang ia kerjakan adalah shalat sunnah mutlak, bukan shalat sunnah rawatib. Wallaahu a’lam.
[50]    Banyak orang di jaman sekarang yang melakukan adzan dua kali dengan alasan mencontoh perbuatan ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu. Mereka melakukan adzan awal di masjid secara keras dengan menggunakan pengeras suara sebagaimana adzan-adzan waktu shalat lainnya; akan tetapi untuk adzan kedua dilakukan dengan lirih dan dengan tempo yang lebih cepat.
Dengan adanya pengeras suara dan jam, maka ‘illat dilakukannya adzan tambahan tersebut sudah tidak ada, sehingga adzan shalat Jum’at kembali seperti semula seperti di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sekali.
[51]    Secara dhahir dapat dilihat kenyataannya yang dilakukan orang-orang belakangan. Ketika mereka tiba di masjid, mereka mengerjakan shalat tahiyyatul-masjid, kemudian duduk. Setelah masuk zawal dan selesai adzan pertama dikumandangkan, mereka baru berdiri shalat dua raka’at. Kemudian adzan kedua, dan khuthbah dimulai. Jarak antara adzan pertama dan kedua sangat pendek.
Jika memang mereka niat melakukan shalat sunnah mutlak, mereka tidak harus menunggu adzan pertama dikumandangkan. Kenyataannya, shalat sunnah mutlak ini justru ditinggalkan dan diganti dengan shalat sunnah rawatib qabliyyah Jum’at.
Ironis memang….. yang diperintahkan tidak dikerjakan, yang tidak diperintahkan dikerjakan. Meskipun sebagian ulama Syaafi’iyyah berpendapat disunnahkannya shalat sunnah rawaatib qabliyyah Jum’at – dan ini memang perkara yang dikhilafkan para ulama, meski pendapat ini lemah - , namun mereka tetap menganjurkan dan melakukan shalat sunnah mutlak sebelum imam keluar berkhuthbah.
[52]    Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:
أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Sesungguhnya Bilaal adzan pada waktu malam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena ia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shaadiq” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1918, 1919].

Letak Surga dan Neraka

$
0
0
Allah ta’ala berfirman:
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu” [QS. Adz-Dzaariyaat : 22].
حَدَّثَنِي الْحَارِثُ، قَالَ: ثَنَا الْحَسَنُ، قَالَ: ثَنَا وَرْقَاءُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ: وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ يَقُولُ: الْجَنَّةُ فِي السَّمَاءِ، وَمَا تُوعَدُونَ مِنْ خَيْرٍ أَوْ شَرٍّ.
Telah menceritakan kepadaku Al-Haarits, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Warqaa’, dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid tentang ayat : ‘Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu’ (QS. Adz-Dzaariyaat : 22), ia berkata : “Surga di langit; ‘dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu’ yaitu kebaikan atau kejelekan” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 22/421; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عِمْرَانَ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ، قَالَ: قَالَ سُفْيَانُ فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ، قَالَ: فِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمُ الْغَيْثُ، وَمَا تُوعَدُونَ الْجَنَّةُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Imraan : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Imraan, ia berkata : Telah berkata Sufyaan (bin ‘Uyainah) tentang firman Allah ta’ala : ‘Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu’ (QS. Adz-Dzaariyaat : 22), ia berkata : “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu’, yaitu hujan; ‘dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu’, yaitu surga” [Diriwayatkan oleh Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah 4/1263-1264 no. 747; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَالَوَيْهِ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ غَالِبٍ، ثَنَا عَفَّانُ، وَمُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، قَالا: ثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَعْقُوبَ، عَنْ بِشْرِ بْنِ شَغَافٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلامٍ، قَالَ: وَكُنَّا جُلُوسًا فِي الْمَسْجِدِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: "إِنَّ أَعْظَمَ أَيَّامِ الدُّنْيَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ تَقُومُ السَّاعَةُ، ...... وَإِنَّ الْجَنَّةَ فِي السَّمَاءِ، وَإِنَّ النَّارَ فِي الأَرْضِ.....
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baalawaih : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ghaalib : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan dan Muhammad bin Katsiir, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Maimuun : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Abi Ya’quub, dari Bisyr bin Syaghaaf, dari ‘Abdullah bin Sallaam[1], ia (Bisyr) berkata : Kami pernah duduk-duduk di masjid pada hari Jum’at, lalu ia (‘Abdullah bin Sallaam) berkata : “Sesungguhnya hari-hari di dunia yang paling agung adalah hari Jum’at. Pada hari tersebut diciptakan Aadam, terjadi hari kiamat…… Dan sesungguhnya surga ada di atas langit dan neraka ada di bumi….” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/568-569, dan Al-Haakim berkata : “Hadits ini sanadnya shahih”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abid-Dun-yaa dalam Shifaatun-Naar no. 178-179, Ad-Duulaabiy dalam Al-Kunaa no. 14, dan Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 5/485].
Allah ta’ala juga berfirman:
عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى * عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى
“(Yaitu) di Sidratul-Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal”[QS. An-Najm : 14-15].
Sidratul-Muntahaa letaknya di atas langit ketujuh, sebagaimana hadits:
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ...... ثُمَّ عَرَجَ إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ، فَقِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا، فَإِذَا أَنَا بِإِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلامُ مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ، وَإِذَا هُوَ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ، لَا يَعُودُونَ إِلَيْهِ، ثُمَّ ذَهَبَ بِي إِلَى السِّدْرَةِ الْمُنْتَهَى، وَإِذَا وَرَقُهَا كَآذَانِ الْفِيَلَةِ، وَإِذَا ثَمَرُهَا كَالْقِلَالِ،....
Telah menceritakan kepada kami Syaibaan bin Farruukh : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah : Telah menceritakan kepada kami Tsaabit Al-Bunaaniy, dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “……..Lalu kami naik ke langit ketujuh dan Jibriil meminta agar pintu dibuka. Penjaganyapun bertanya: “Siapakah engkau ini?”.  Ia menjawab : “Aku Jibriil”. Dikatakan kepadanya : “Siapkah orang yang bersamamu?”. Jibriil menjawab : ”Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Dikatakan : “Apakah ia telah diutus?”. Jibriil menjawab : “Sungguh telah diutus kepadanya”. Lalu pintu dibukakan untuk kami.Ternyata aku bersama Ibraahiim ‘alaihis-salaam yang sedang menyandarkan punggungnya  ke  Baitul-Ma’muur. Setiap harinya, tujuhpuluh ribu malaikat masuk ke dalamnya (Baitul-Ma’muur), dan mereka yang telah memasukinya tidak kembali kepadanya untuk kedua kalinya. Kemudian Jibriil membawaku ke Sidratul-Muntahaa yang seperti telinga gajah dan buahnya seperti gerabah….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 162].
Dipahami di sini, letak surga di atas langit ke tujuh.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ، عَنْ هِلَالِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ...... إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Fulaih, dari Hilaal bin ‘Aliy, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “………. Sesungguhnya di surga itu terdapat seratus tingkat derajat (tingkatan) yang Allah persiapkan untuk orang-orang yang berjihad (mujahidin) di jalan Allah. Jarak antara satu derajat dengan yang lainnya seperti jarak antara langit dan bumi. Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus, karena sesungguhnya Firdaus itu adalah surga yang paling baik dan paling tinggi. Aku melihatnya di atasnya adalah ‘Arsy Ar-Rahmaan (Allah), dan dari situlah memancar sungai-sungai surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2790].
Hadits ini memberikan faedah kepada kita bahwa surga berada di atas langit di bawah ‘Arsy Allah ta’ala.
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata:
وَلَمْ نَعْلَمْ أَحَدًا قَالَ: إِنَّ الْجَنَّةَ فِي الأَرْضِ، ثَبَتَ أَنَّ الْجَنَّةَ فَوْقَ السَّمَوَاتِ، وَدُونَ الْعَرْشِ،
“Dan kami tidak mengetahui seorang pun yang mengatakan : ‘Sesungguhnya surga ada di bumi’. Telah tetap bahwasannya surga terletak di atas langit-langit dan di bawah ‘Arsy” [Syu’abul-Iimaan, 1/563].
Adapun neraka, letaknya adalah di bumi sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat ‘Abdullah bin Salaam di atas.
Allah ta’ala berfirman:
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ * إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” [QS. At-Tiin : 5-6].
Banyak salaf yang menafsirkan asfalas-saafiliin (tempat yang serendah-rendahnya) yaitu neraka.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، قَالَ: ثنا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: إِلَى النَّارِ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid, ia berkata (tentang ayat ‘Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya’) : “Ke neraka” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 24/509; shahih].
حَدَّثَنَا ابْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، قَالَ: ثنا ابْنُ ثَوْرٍ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: قَالَ الْحَسَنُ في قوله: ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ. قَالَ: فِي النَّارِ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Tsaur, dari Ma’mar, dari Qataadah, ia berkata : Telah berkata Al-Hasan (Al-Bashriy) tentang firman-Nya : ‘Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya’), ia berkata : “Ke neraka” [idem, shahih].
حَدَّثَنِي يُونُسُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: قَالَ ابْنُ زَيْدٍ في قوله: ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ. قَالَ: إِلَى النَّارِ
Telah menceritakan kepadaku Yuunus, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahbm ia berkata : Telah berkata Ibnu Zaid tentang firman-Nya : ‘Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya’), ia berkata : “Ke neraka” [idem 24/509-510, shahih].
Dari sini diketahui bahwa neraka di sifati dengan tempat yang rendah, dan tempat yang rendah itu adalah di bawah bumi ketujuh sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala:
كَلا إِنَّ كِتَابَ الْفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ
“Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam Sijjiin” [QS. Al-Muthaffifiin : 7].
حَدَّثَنِي يُونُسُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ الأَعْمَشِ، عَنْ شِمْرِ بْنِ عَطِيَّةَ، عَنْ هِلالِ بْنِ يَسَافٍ، قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا إِلَى كَعْبٍ أَنَا وَرَبِيعُ بْنُ خُثَيْمٍ، وَخَالِدُ بْنُ عَرْعَرَةَ، وَرَهْطٌ مِنْ أَصْحَابِنَا، فَأَقْبَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ، فَجَلَسَ إِلَى جَنْبِ كَعْبٍ، فَقَالَ: يَا كَعْبُ، أَخْبِرنِي عَنْ سِجِّينٍ، فَقَالَ كَعْبٌ: أَمَّا سِجِّينٌ: فَإِنَّهَا الأَرْضُ السَّابِعَةُ السُّفْلَى، وَفِيهَا أَرْوَاحُ الْكُفَّارِ تَحْتَ خَدِّ إِبْلِيسَ
Telah menceritakan kepadaku Yuunus, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Jariir bin Haazim, dari Sulaimaan Al-A’masy, dari Syimr bin ‘Athiyyah, dari Hilaal bin Yasaaf, ia berkata : Kami pernah duduk bersama Ka’b, yaitu aku, Rabii’ bin Khutsaim, Khaalid bin ‘Ar’arah, dan beberapa orang shahabat kami yang lain. Lalu Ibnu ‘Abbaas datang dan duduk di samping Ka’b lalu berkata : “Wahai Ka’b, khabarkan kepadaku tentang Sijjiin”. Ka’b menjawab : “Adapun Sijjiin, maka ia adalah bumi ketujuh yang paling bawah. Padanya arwah orang-orang kafir di bawah kelompok Ibliis” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 24/282. Diriwayatkan juga oleh Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd no. 1223 dari jalan Ja’far bin Al-Mughiirah dari Syimr, dari Ka’b. Dua jalan ini saling menguatkan dan dekat dengan derajat hasan, wallaahu a’lam].
حَدَّثَنَا ابْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، قَالَ: ثنا ابْنُ ثَوْرٍ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ قَتَادَةَ: لَفِي سِجِّينٍ.قَالَ: فِي أَسْفَلِ الأَرْضِ السَّابِعَةِ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Tsaur, dari Ma’mar, dari Qataadah tentang ayat : ‘tersimpan dalam Sijjiin’ (QS. Al-Muthaffifiin : 7), ia berkata : “Di bumi ketujuh yang paling rendah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 24/282; shahih].
Dalil lain:
حدثنا أبو معاوية قال ثنا الأعمش عن منهال بن عمرو عن زاذان عن البراء بن عازب عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : .....فَتُفَرَّقُ فِي جَسَدِهِ، فَيَنْتَزِعُهَا كَمَا يُنْتَزَعُ السَّفُّودُ مِنَ الصُّوفِ الْمَبْلُولِ، فَيَأْخُذُهَا، فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَجْعَلُوهَا فِي تِلْكَ الْمُسُوحِ، وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَنْتَنِ رِيحِ جِيفَةٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ، فَيَصْعَدُونَ بِهَا، فَلَا يَمُرُّونَ بِهَا عَلَى مَلَإٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ إِلَّا قَالُوا: مَا هَذَا الرُّوحُ الْخَبِيثُ؟ ! فَيَقُولُونَ: فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ، بِأَقْبَحِ أَسْمَائِهِ الَّتِي كَانَ يُسَمَّى بِهَا فِي الدُّنْيَا، حَتَّى يُنْتَهَى بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيُسْتَفْتَحُ لَهُ، فَلَا يُفْتَحُ لَهُ. ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ، فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: اكْتُبُوا كِتَابَهُ فِي سِجِّينٍ فِي الْأَرْضِ السُّفْلَى، فَتُطْرَحُ رُوحُهُ طَرْحًا.ثُمَّ قَرَأَ: وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Minhaal, dari ‘Amru, dari Zaadzaan, dari Al-Baraa’ bin ‘Aazib, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “………Maka berpencarlah ruhnya (orang kafir) pada jasadnya sehingga Malaikat maut mencabutnya sebagaimana besi untuk memanggang daging yang dicabut dari wol yang basah. Lalu malaikat maut mengambilnya dan ketika dia telah mengambilnya para malaikat itu tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun sehingga mereka menempatkannya pada kain yang sangat kasar itu. Maka keluarlah darinya bau yang sangat busuk bagaikan bangkai yang paling busuk yang ada di muka bumi. Lalu para malaikat itu membawanya naik dan tidaklah mereka melewati rombongan para malaikat melainkan mereka berkata : ‘Ruh siapakah yang buruk ini?. Mereka menjawab : ‘Fulaan bin Fulaan’. Yaitu dengan namanya yang paling buruk ketika di dunia. Mereka membawanya sampai kepada langit dunia lalu dimintakan untuknya agar dibukakan (pintu langit). Maka tidak dibukakan untuknya. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat :'Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga onta masuk ke lubang jarum’ (QS. Al-A’raaf : 40). Lalu Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Tulislah catatannya pada Sijjin, pada bumi yang paling rendah’.  Lalu ruhnya dilemparkan begitu saja, kemudian beliau membaca : ‘Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh’ (QS. Al-Hajj : 31)….” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/287; shahih].
Seandainya neraka ada di langit, nicaya akan dibukakan pintu langit untuknya, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah diperlihatkan neraka dan penduduknya di langit saat Mi’raj.
Al-Barbahaariy rahimahullah berkata ketika menjelaskan diantara pokok-pokok ‘aqidah Ahlus-Sunnah:
والإيمان بالجنة، والنار: أنهما مخلوقتان، الجنة فِي السماء السابعة، وسقفها العرش، والنار تحت الأرض السابعة السفلى وهما مخلوقتان
“Dan beriman kepada neraka dan surga bahwa keduanya adalah makhluk. Surga berada di atas langit yang ketujuh yang atapnya adalah ‘Arsy. Neraka berada di bawah bumi yang ketujuh yang paling bawah, keduanya adalah makhluk” [Syarhus-Sunnah, hal. 48 no. 21].
Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah menulis hal yang serupa:
ومن مذهب أهل السنة: أن الجنة والنار مخلوقتان فِي السماء السابعة وسقفها العرش، والنار تحت الأرض السفلى
“Termasuk madzhab Ahlus-Sunnah : Bahwasannya surga dan neraka adalah makhluk. (Surga) di atas langit yang ketujuh dan atapnya adalah ‘Arsy, sedangkan neraka di bawah bumi yang paling bawah” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 2/432].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Catatan : Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa neraka ada di langit]
[Abul-Jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 09052015 – 23:28]




[1]     Salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, wafat tahun 43 H di Madiinah.

Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (9) – Hubungan antara As-Sunnah dan Al-Qur’an

$
0
0
٧ - والسنة عندنا آثار رسول الله صلى الله عليه وسلم
٨ - والسنة تفسر القرآن وهي دلائل القرآن
7.     Dan As-Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
8.     As-Sunnah menafsirkan Al-Qur’an, dan ia adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an.
Penjelasan:
Jika dikatakan : ‘Apa itu As-Sunnah ?’, maka jawabannya adalah atsar-atsar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berupa perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan taqriir-taqriir belaiu shallallaahu ‘alaihi wa sallam; yang kesemuanya ini diwajibkan Allah bagi kita untuk mengikuti dan berpegang teguh kepadanya.
a.     Contoh dari perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Yaitu nukilan para shahabat terhadap perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang didengarnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Termasuk diantara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2317, Ibnu Maajah no. 3976, Ibnu Hibbaan no. 229, dan yang lainnya].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْمِرَاءُ فِي الْقُرْآنِ كُفْرٌ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Perdebatan dalam Al-Qur’an adalah kekufuran” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4603].
عَنْ عُمَر بْن الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya amal-amal itu hanyalah berdasarkan niat, dan setiap orang hanyalah akan dibalas sesuai apa yang diniatkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1].
b.     Contoh dari perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Yaitu nukilan para shahabat terhadap perbuatan-perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dilihatnya.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ
Dan ‘Utsmaan bin ‘Affaan : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa menyela-nyela jenggotnya (ketika berwudlu) [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 31, dan ia berkata : ‘Ini adalah hadits hasan shahih’].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى بَابَ قَوْمٍ لَمْ يَسْتَقْبِلِ الْبَابَ مِنْ تِلْقَاءِ وَجْهِهِ، وَلَكِنْ مِنْ رُكْنِهِ الْأَيْمَنِ أَوِ الْأَيْسَرِ وَيَقُولُ: السَّلَامُ عَلَيْكُمُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata : “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila mendatangi pintu rumah suatu kaum, maka beliau berdiri  tidak menghadap di depan pintunya, akan tetapi beliau berdiri di samping kanan atau samping kiri seraya berkata : ‘Assalaamu’alaikum, assalaamu’alaikum” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 5186].
Faedah :
Ini adalah diantara adab yang banyak ditinggalkan kaum muslimin di masa sekarang. Tujuan tidak berdiri langsung di depan pintu adalah untuk menghindari terlihatnya aurat atau hal-hal yang tidak seharusnya dilihat oleh yang bertamu dari penghuni rumah. Dan diantara adab yang lainnya, kita dianjurkan untuk mengetuk dengan ketukan pelan dan tidak mengganggu penghuni rumah.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، إِنَّ أَبْوَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تُقْرَعُ بِالأَظَافِيرِ
Dari Anas bin Maalik : “Sesungguhnya pintu-pintu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diketuk dengan kuku-kuku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 1080; shahih].
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: مَا كَانَ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا، لِمَا يَعْلَمُوا مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ
Dari Anas, ia berkata : “Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para shahabat) cintai daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika melihat beliau, mereka tidak pernah berdiri karena mereka mengetahui kebencian beliau atas hal itu” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/132 & 134 & 151 & 250, Al-Bukhariy dalam Al-Adabul-Mufradno. 946, dan yang lainnya; shahih].
c.      Contoh taqriir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yaitu persetujuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap perkataan atau perbuatan sebagian shahabat yang beliau ketahui tanpa adanya pengingkaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin berdiam diri terhadap kemunkaran yang terjadi di hadapan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kaedah ushul disebutkan:
تأخير البيان عن وقت الجاحة لا يجوز
“Mengakhirkan (menunda) penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak diperbolehkan”.
Maksudnya, jika yang dilakukan atau dikatakan para shahabat di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan kemunkaran, tidak mungkin beliau tidak menegurnya atau menunda penjelasannya. Jika itu terjadi (dan itu tidak mungkin), maka kemungkaran tersebut akan dianggap bukan sebagai kemunkaran karena beliu shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendiamkannya.
Contoh:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ: يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata kepada Bilaal ketika selesai shalat Shubuh : “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang paling memberikan harapan yang engkau lakukan di dalam Islam, karena aku mendengar suara sandalmu di hadapanku di dalam surga". Bilaal menjawab : "Tak ada suatu amal yang banyak memberikan harapan di sisiku selain dari amalan bahwa tidaklah aku berwudlu dengan sesuatu wudlu, baik di waktu malam maupun siang, melainkan aku mengerjakan shalat dengan wudlu tersebut sesuai yang ditetapkan kepadaku (yaitu dua raka'at sunnah wudlu)" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1149]. 
Yaitu taqriir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat sunnah wudlu yang dilakukan Bilaal.
Faedah :
Sebagian penggemar bid’ah berdalil dengan hadits ini tentang bolehnya mengada-adakan amalan tanpa contoh sebelumnya, karena shahabat sendiri berbuat bid’ah dan disetujui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ini jelas keliru. Tidak setiap amal yang disangka sebagian shahabat sebagai suatu kebaikan merupakan bagian dari sunnah/syari’at.
عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ، قُلْتُ: إِنِّي أَفْعَلُ ذَلِكَ، قَالَ: فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمَتْ عَيْنُكَ وَنَفِهَتْ نَفْسُكَ، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ حَقٌّ وَلِأَهْلِكَ حَقٌّ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ
Dari Abul-‘Abbaas, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku : “Benarkah apa yang aku dengar bahwa engkau shalat semalam suntuk dan berpuasa di siang harinya (terus-menerus) ?”. Aku berkata : “Sesungguhnya aku memang melakukannya”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya apabila engkau melakukannya (terus-menerus), matamu akan cekung dan badanmu akan letih. Sesungguhnya badanmu memiliki hak dan keluargamu pun memiliki hak. Berpuasalah, dan juga berbukalah. Shalatlah, dan juga tidurlah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1153].
عَنْ أَنَس بْن مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: "أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي "
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Ada tiga orang laki-laki datang ke rumah isteri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mereka menanyakan tentang ibadah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mereka dikhabarkan tentangnya, mereka merasa seakan-akan ibadahnya sedikit (dibandingkan beliau). Kemudian mereka berkata : “Di manakah posisi kita dibanding Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau telah diampuni segala dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?”. Salah seorang di antara mereka berkata : “Aku akan shalat malam selamanya”. Seorang lagi berkata : “Aku akan berpuasa sepanjang tahun tanpa berbuka”. Yang lain berkata : “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya”. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda : “Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5063].
Dapat kita perhatikan dalam hadits-hadits tersebut di atas. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyetujui apa yang dilakukan Bilaal, namun sebaliknya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingkari apa yang dilakukan ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash dan tiga shahabat. Semuanya menyangka apa yang mereka lakukan adalah kebaikan, tapi tidak semua kebaikan yang mereka sangka mendapatkan penetapan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hidup, beliau lah yang menjadi hakim tentang apa yang diamalkan oleh para shahabat. Apa yang beliau tetapkan menjadi bagian dari sunnah, dan apa yang beliau nafikkan/ingkari bukan menjadi bagian dari sunnah. Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, tidak ada lagi yang menjadi hakim kecuali Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’. Perkataan ustadz, kiyai, atau ulama selamanya tidak dapat diqiyaskan kepada diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam penetapan syari’at Islam.
Contoh lain dari taqriir:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ، قَالَ: ......وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ، تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ، فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ، آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ، لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِي بِهَا، فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللَّهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata : “……Aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku ke arah gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu). Namun aku telah menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya ?’. Beliau menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak wanita itu : ‘Dimanakah Allah ?’. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda : ‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang wanita beriman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 537].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam men-taqriir jawaban budak wanita atas pertanyaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Dimanakah Allah ?’.
As-Sunnah menafsirkan Al-Qur’an, dan ia adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an”.
Oleh karena itu, As-Sunnah merupakan penjelas dari Al-Qur’an. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” [QS. An-Nahl : 44].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertugas untuk menerangkan/menjelaskan kepada manusia tentang Al-Qur’an, yaitu melalui sunnah-sunnah beliau.
Allah ta’ala juga berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Maksud mengembalikan kepada Allahadalah mengembalikan kepada Kitaabullah (Al-Qur’an). Adapun maksud mengembalikan kepada Rasul adalah mengembalikan kepada diri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau masih hidup, dan ini hanya dapat dilakukan oleh para shahabat; atau mengembalikan kepada As-Sunnah ketika beliau telah wafat, dan inilah yang dilakukan oleh kaum muslimin sepanjang masa.
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dua tempat kembali dan rujukan kaum muslimin yang memiliki kedudukan sama, karena As-Sunnah juga merupakan wahyu dari Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui” [QS. An-Nisaa’ : 113].
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [QS. Al-Jum’ah : 2].
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، "وَالْحِكْمَةَ، أَيِ: السُّنَّةَ ".
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah : ‘dan Al-Hikmah’, ia berkata : “Maksudnya As-Sunnah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 3/87; sanadnya hasan].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
فَذَكَرَ اللَّهُ الْكِتَابَ وَهُوَ الْقُرْآنُ وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ يَقُولُ: الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Allah menyebutkan Al-Kitaab, maksudnya Al-Qur’an; dan Allah juga menyebutkan Al-Hikmah. Aku mendengar ulama yang diridlai lagi ahli dalam Al-Qur’an mengatakan : ‘Al-Hikmah adalah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ma’rifah, no. 3; sanadnya shahih].
Ahmad bin Hanbalrahimahumallah berkata:
قَالَتْ هَذِهِ الطَّائِفَةُ بَيَّنَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعَلِّمَ النَّاسَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ، فَالْحِكْمَةُ غَيْرُ الْكِتَابِ، وَهِيَ مَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ فِي الْكِتَابِ، وَكُلٌّ فَرْضٌ لا افْتِرَاقَ بَيْنَهُمَا ؛ لأَنَّ مَجِيئَهُمَا وَاحِدٌ
“Kelompok ini mengatakan : Allah tabaaraka wa ta’ala telah menjelaskan bahwasannya Ia memerintahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al-Kitaab dan Al-Hikmah kepada manusia. Al-Hikmah bukanlah Al-Kitab. Ia adalah segala sesuatu yang telah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sunnahkan yang tidak disebutkan dalam Al-Kitaab. Semuanya wajib (diikuti), tidak ada perbedaan antara keduanya, karena tempat kembalinya adalah satu” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah hal. 209-210].
Oleh karena itu, As-Sunnah (yang shahih) pasti benar dan ma’shuum, terjaga dari kesalahan.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” [QS. An-Najm : 3-4].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ، وَقَالُوا: أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا ؟، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ، فَقَالَ: اكْتُبْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, ia berkata : Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Aku hendak menghapalkannya namun orang-orang Quraisy melarangku. Mereka berkata: “Apakah engkau menulis semua yang engkau dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau hanyalah manusia yang berbicara pada saat sedang marah dan senang?”. Kemudian aku berhenti dari menulis. Lalu aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau mengisyaratkan dengan jarinya ke mulutnya seraya bersabda : “Tulislah, Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidaklah keluar darinya kecuali kebenaran” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3646; shahih].
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [QS. Al-Hijri : 9].
Adz-Dzikr dalam ayat tersebut menurut Ibnu Hazm[1]rahimahullah mencakup Al-Qur’an dan As-Sunnah.
As-Sunnah adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an; yaitu menguatkannya, menjelaskan yang masih samar/belum jelas, merinci yang masih mujmal, men-taqyidyang mutlak, mengkhususkan yang umum, atau bahkan memberikan tambahan hukum dari selain yang terdapat dalam Al-Qur’an.
a.     As-Sunnah mengulangi dan menguatkan hukum yang ada di dalam Al-Qur’an.
Oleh karena itu, hukum tersebut mempunyai dua sumber, yaitu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya, dalam Al-Qur’an terdapat nash yang mewajibkan shalat, maka dalam As-Sunnah pun juga terdapat nash yang mewajibkan shalat. Begitu juga dengan zakat, puasa, haji, rukun iman, dan yang lainnya dari syari’at Islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.     As-Sunnah menjelaskan makna nash-nash Al-Qur’an yang masih belum jelas/samar.
Contohnya adalah firman Allah ta’ala :
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ
Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” [QS. Al-Baqarah : 187].
Ketika ada shahabat yang salah paham akan ayat tersebut, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan maksudnya:
إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ
Yang dimaksud dengan (benang) hitam adalah malam, dan (benang) putih adalah siang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1916].
Contoh lain, firman Allah ta’ala:
يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا
Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina"[QS. Maryam : 28].
Perhatikan riwayat berikut:
عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، قال: لَمَّا قَدِمْتُ نَجْرَانَ سَأَلُونِي، فَقَالُوا: إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ يَا أُخْتَ هَارُونَ وَمُوسَى قَبْلَ عِيسَى بِكَذَا وَكَذَا، فَلَمَّا قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلْتُهُ، عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: "إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَمُّونَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِينَ قَبْلَهُمْ "
Dari Mughirah bin Syu’bah ia berkata : Ketika aku tiba di Najraan, orang-orang bertanya kepadaku : ”Apakah engkau memahami ayat ‘Hai Saudara perempuan Harun’ (QS. Maryam : 28) sedangkan Muusaa itu hidup jauh sebelum jaman ’Iisaa. Apakah maksudnya begini dan begini ?”. Setelah aku bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam dan menanyakan tentang hal tersebut, maka beliau menjawab : “Kebiasaan mereka pada waktu itu menyebut nama seseorang dengan menisbatkan kepada para nabi atau orang-orang shalih sebelum mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2135].
Juga firman Allah ta’ala:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedhaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” [QS. Al-An’aam : 82].
Sebagian shahabat dulu ada yang salah paham terhadap ‘kedhaliman’ yang ada dalam ayat tersebut dan kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan makna yang benar darinya sebagaimana riwayat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّنَا لَا يَظْلِمُ نَفْسَهُ، قَالَ: لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ بِشِرْكٍ أَوَ لَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) radliyalaahu ‘anhu, ia berkata : Ketika turun ayat : ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedhaliman’ (QS. Al-An’aam : 82), kami berkata : “Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami yang tidak berbuat dhalim terhadap dirinya?". Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Bukan seperti yang kalian katakan. Maksud dari ayat ‘dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedhaliman’ adalah kesyirikan. Tidakkah kalian mendengar ucapan Luqmaan kepada anaknya : ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar’ (QS. Luqmaan : 13)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3360].
c.      As-Sunnah merinci nash-nash Al-Qur’an yang mujmal.
Contohnya adalah firman Allah ta’ala:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat” [QS. Al-Baqarah : 43].
Rincian penjelasan tentang bagaimana tata cara shalat dan zakat, dijelaskan dalam As-Sunnah.
d.     As-Sunnah men-taqyiid (membatasi) nash-nash Al-Qur’an yang mutlak.
Contohnya adalah firman Allah ta’ala:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” [QS. Al-Maaidah : 38].
As-Sunnah mentaqyid ayat tersebut bahwa potong tangan hanya dilakukan jika barang yang dicuri nilainya mencapai ¼ dinar atau lebih.
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تُقْطَعُ الْيَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ، فَصَاعِدًا
Dari ‘Aaisyah : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Dipotong tangan (seorang pencuri) karena (mencuri) seperempat dinar atau lebih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6789].
Contoh lain adalah firman Allah ta’ala:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya” [QS. An-Nisaa’ : 11].
Lafadh wasiat dalam ayat ini mutlak, namun As-Sunnah mentaqyidnya bahwa kadar wasiat tersebut maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta.
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي وَأَنَا بِمَكَّةَ، وَهُوَ يَكْرَهُ أَنْ يَمُوتَ بِالْأَرْضِ الَّتِي هَاجَرَ مِنْهَا، قَالَ: يَرْحَمُ اللَّهُ ابْنَ عَفْرَاءَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ، قَالَ: لَا، قُلْتُ: الثُّلُثُ، قَالَ: فَالثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ،
Dari Sa’d bin Abi Waqqaash radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang menjengukku (saat aku sakit) ketika aku berada di Makkah”. Dia tidak suka bila meninggal dunia di negeri dimana dia sudah berhijrah darinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Semoga Allah merahmati Ibnu 'Afraa'". Aku katakan: "Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku". Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Jangan". Aku katakan: "Setengahnya". Beliau bersabda : "Jangan". Aku katakan lagi : "Sepertiganya". Beliau bersabda: "Ya, sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu meminta-minta kepada manusia dengan menengadahkan tangan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2742].
Contoh lain adalah firman Allah ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkurban” [QS. Al-Baqarah : 196].
As-Sunnah datang dengan mentaqyid ayat tersebut sebagai berikut:
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَعَلَّكَ آذَاكَ هَوَامُّكَ؟ قَالَ: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: احْلِقْ رَأْسَكَ، وَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوِ انْسُكْ بِشَاةٍ
Dari Ka’b bin ‘Ujrah radliyallaahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,beliau bersabda : “Barangkali engkau terkena kutu di kepalamu?". Ia (Ka’b) menjawab: "Benar, wahai Rasulullah". Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallambersabda: "Cukurlah rambutmu, lalu berpuasalah tiga hari atau berilah makan enam orang miskin atau berqurbanlah dengan seekor kambing” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1814 dan Muslim no. 1201].
Puasa dalam ayat tersebut di-taqyid dengan tiga hari, bershadaqah dengan enam orang miskin, dan berkurban dengan seekor kambing.
e.     As-Sunnah mengkhususkan nash-nash Al-Qur’an yang umum.
Contohnya adalah firman Allah ta’ala:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian watis untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” [QS. An-Nisaa’ : 11].
Ayat ini memberikan pengertian bahwa seseorang berharta yang mempunyai anak jika ia meninggal maka hartanya tersebut akan terwariskan kepada anaknya. Ayat ini sifatnya umum. As-Sunnah datang dengan memberikan pengkhususan (takhshish) terhadap beberapa golongan manusia yang tidak berhak menerima warisan. Misalnya, para nabi tidak mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah shadaqah sebagaimana terdapat dalam hadits :
لاَ نُورَثُ مَا تَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ
Kami (para Nabi) tidak mewariskan. Apa yang kami tinggalkan menjadi shadaqah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1757].
Orang muslim dan kafir juga tidak saling mewarisi, berdasarkan hadits :
لَا يَرِثُ الْمُؤْمِنُ الْكَافِرَ، وَلَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُؤْمِنَ
Orang kafir tidak berhak menerima waris dari seorang muslim, juga (sebaliknya) seorang muslim tidak (berhak menerima warisan) dari orang kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4283 dan Muslim no. 1614].
Orang yang membunuh dengan sengaja karena menginginkan harta warisan juga tidak mendapatkan warisan berdasarkan hadits :
القاتل لا يرث
Seorang pembunuh tidaklah mewarisi” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2109, dan ia berkata : “Ini adalah hadits shahih”].
Contoh lain adalah firman Allah ta’ala:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” [QS. Al-Maaidah : 38].
As-Sunnah diantara mengkhususkan tidak ada hukuman potong tangan terhadap kasus pencurian buah-buahan yang masih tergantung di pohonnya tanpa dipagari.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا قَطْعَ فِي ثَمَرٍ وَلَا كَثَرٍ "
Dari Raafi’ bin Khadiij, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada hukuman potong tangan pada kasus pencurian tsamar (=kurma yang masih tergantung di pohonnya sebelum dipetik) dan tidak pula tandan kurma” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1449, Abu Daawud no. 4388, An-Nasaa’iy no. 4960, dan yang lainnya; shahih].
Contoh lain adalah ketika Allah ta’ala menyebutkan wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi, yang kemudian berfirman:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian” [QS. An-Nuur : 24].
As-Sunnah mengkhususkan keumuman ayat tersebut bahwa seseorang tidak boleh mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا، وَلَا عَلَى خَالَتِهَا "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Seorang wanita tidak boleh dinikahi (digabung) dengan bibi dari ayah dan tidak pula bibi dari ibunya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5109 & 5111 dan Muslim no. 1408].
f.      As-Sunnah memberikan tambahan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Contohnya adalah diharamkannya makan binatang buas yang bertaring dan emas bagi laki-laki.
عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
Dari Abu Tsa’labah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan binatang buas yang memiliki taring [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5530 dan Muslim no. 1932].
Faedah:
Larangan memakan hewan buas ini dikecualikan lagi untuk hyena yang statusnya halal (meskipun memiliki taring). Dalilnya adalah:
عَنْ ابْنِ أَبِي عَمَّارٍ قَالَ: قُلْتُ لِجَابِرٍ: "الضَّبُعُ صَيْدٌ هِيَ "، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ، قُلْتُ: آكُلُهَا، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: قُلْتُ لَهُ: أَقَالَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَعَمْ،
Dari Abu ‘Ammaar ia berkata : Aku bertanya kepada Jaabir : “Apakah hyena (adl-dlabu’) termasuk hewan buruan ?”. Ia menjawab : “Ya”. Aku bertanya : “Bolehkah untuk memakannya ?”. Ia menjawab : “Ya”. Aku kembali bertanya kepadanya : “Apakah (pembolehan) itu dikatakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1791, dan ia berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya beliau melarang cincin emas (bagi laki-laki)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5864 dan Muslim no. 2089].
عَنْ أَبِي مُوسَى، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيرُ لِإِنَاثِ أُمَّتِي، وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُورِهَا "
Dari Abu Muusaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Emas dan sutera dihalalkan untuk kaum wanita dari umatku dan diharamkan untuk laki-lakinya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1720, An-Nasaa’iy no. 5148, dan yang lainnya; shahih].
Faedah:
Sebagian ulama ada yang berpendapat haramnya cincin besi murni bagi laki-laki berdasarkan hadits:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَأَلْقَاهُ، وَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ، قَالَ: فَقَالَ: "هَذَا أَشَرُّ هَذَا حِلْيَةُ أَهْلِ النَّارِ "، فَأَلْقَاهُ، وَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ، فَسَكَتَ عَنْهُ
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat salah seorang shahabatnya memakai cincin dari emas. Maka beliau berpaling darinya. (Melihat hal itu), maka shahabat tersebut membuangnya dan menggantinya dengan cincin dari besi. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ini lebih jelek (dari cincin emas). Ini merupakan perhiasan penduduk neraka”. Shahabat tadi kembali membuang cincinnya dan menggantinya dengan cincin dari perak, sementara itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak berkomentar tentangnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/163 & 2/179, Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 1021, dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/261. Dishahihkan oleh Al-Albaniy dalam Aadaabuz-Zifaafhal. 217 dan Al-Arna’uth dalam Takhrij ‘alal-Musnad 11/69].
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” [QS. Al-Hasyr : 7].
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah……
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 09-05-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarhdan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 39-40, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, dengan beberapa referensi lain sebagai tambahan penjelasan].

Silakan baca pembahasan sebelumnya:
Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (8) – Meninggalkan Perdebatan dalam Masalah Agama (Lanjutan)



[1]     Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
قال تعالى ( إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ) الحجر/9
وقال تعالى : ( قُلْ إِنَّمَا أُنذِرُكُم بِالْوَحْيِ وَلَا يَسْمَعُ الصُّمُّ الدُّعَاء إِذَا مَا يُنذَرُونَ ) الأنبياء/45
فأخبر تعالى أن كلام نبيه صلى الله عليه وسلم كله وحي ، والوحي بلا خلاف ذِكْرٌ ، والذكر محفوظ بنصِّ القرآن ، فصح بذلك أن كلامه صلى الله عليه وسلم كله محفوظ بحفظ الله عز وجل 
“Allah ta’ala berfirman : ‘Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijri : 9). Allah ta’ala juga berfirman : “Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan" (QS. Al-Anbiyaa’ : 45). Allah ta’ala telah mengkhabarkan bahwasannya semua perkataan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu, dan wahyu tanpa ada perselisihan, adalah Dzikr. Dan Adz-Dzikr terjaga berdasarkan nash Al-Qur’an. Maka benarlah berdasarkan hal itu bahwa semua perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terjaga dengan penjagaan Allah ‘azza wa jalla” [Al-Ihkaam, 1/95].
Diantara dalil penguatnya:
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ:  أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Dari Al-Miqdaam bin Ma’dikarib, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya aku telah diberikan Al-Kitaab dan yang semisal dengannya (As-Sunnah) bersamanya….” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4604; shahih].
Ketika Allah ta’ala berfirman dalam QS. Al-Hijri ayat 9 bahwa Ia akan menjaga Al-Qur’an, maka Allah pun akan menjaga As-Sunnah karena ia semisal dengan Al-Qur’an. Keduanya adalah Adz-Dzikr.

Pembagian Bid’ah Secara Syar’i dan Lughawi Buatan Wahabi

$
0
0
Tanya : Benarkah pembagian bid’ah menjadi lughawi dan syar’i merupakan pembagian yang dilakukan Wahabi, khususnya ketika mereka mengatakan perkataan bid’ah yang diucapkan ‘Umar tentang shalat tarawih maksudnya adalah bid’ah secara lughawi ?.
Jawab : Wahabi– terlepas dari pembicaraan apakah setuju atau tidak setuju dengan istilah ini - , jika yang Anda maksudkan adalah orang-orang yang menokohkan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, dan Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah, maka itu tidak benar. Tidak benar perkataan itu dibuat-buat oleh orang-orang Wahabi.
Pembagian bid’ah dari sisi lughawiy dan syari’iy telah disebutkan oleh para ulama kita, khususnya ketika mereka menjelaskan makna bid’ah secara lughawiy yang secara ringkasnya adalah segala sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencakup yang tercela dan terpuji; sedangkan bid’ah secara syar’iy adalah khusus untuk makna yang tercela. Makna kedua inilah yang terdapat dalam banyak nash yang mencela bid’ah dalam agama[1].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
و "الْمُحْدَثَات "بِفَتْحِ الدَّالّ جَمْع مُحْدَثَة وَالْمُرَاد بِهَا مَا أُحْدِث ، وَلَيْسَ لَهُ أَصْل فِي الشَّرْع وَيُسَمَّى فِي عُرْف الشَّرْع "بِدْعَة "وَمَا كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا
“Dan al-muhdatsaat’ adalah jamak dari kata muhdats. Yang dimaksud dengannya adalah segala sesuatu yang baru/diadakan, tidak ada asalnya dalam syari’at, dan kemudian dinamakan dalam ‘urf syari’at dengan bid’ah. Adapun segala sesuatu yang mempunyai asal yang ditunjukkan oleh syari’at, maka itu bukan bid’ah. Maka, bid’ah dalam ‘urf syar’iy adalah tercela. Berbeda halnya dengan bid’ah secara bahasa, karena segala sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya dinamakan bid’ah, baik terpuji maupun tercela” [Fathul-Baariy, 13/253].
وَأَمَّا "الْبِدَع "فَهُوَ جَمْع بِدْعَة وَهِيَ كُلّ شَيْء لَيْسَ لَهُ مِثَال تَقَدَّمَ فَيَشْمَل لُغَة مَا يُحْمَد وَيُذَمّ ، وَيَخْتَصّ فِي عُرْف أَهْل الشَّرْع بِمَا يُذَمّ وَإِنْ وَرَدَتْ فِي الْمَحْمُود فَعَلَى مَعْنَاهَا اللُّغَوِيّ
“Adapun al-bida’, maka ia adalah jamak dari kata bid’ah, yaitu segala sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Secara bahasa, bid’ah meliputi segala sesuatu, baik yang terpuji maupun yang tercela. Dan dikhususkan dalam ‘urf (peristilahan) ahlusy-syar’i (ulama syari’at) untuk sesuatu yang tercela saja. Seandainya bid’ah digunakan dalam pujian, maka maknanya adalah (bid’ah) lughawiy” [idem, 13/278].
Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
والبدعة على قسمين: تارة تكون بدعة شرعية، كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة. وتارة تكون بدعة لغوية، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارهم: نعْمَتْ البدعةُ هذه
“Dan bid’ah tebagi menjadi dua macam. Kadang ia  menjadi bid’ah yang syar’iyseperti sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ’Sesungguhnya setiap hal yang baru (muhdats) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan’. Dan kadang menjadi bid’ahlughawiyyah (= bid’ah secara bahasa), seperti perkataan Amiirul-Mukminiin ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu dalam usahanya untuk mengumpulkan orang-orang dalam shalat tarawih dan terus menerus melakukannya : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini” [Tafsiir Ibni Katsiir, 1/398].
Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
فقوله صلى الله عليه وسلم : (( كلُّ بدعة ضلالة )) من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ ، وهو أصلٌ عظيمٌ من أصول الدِّين ، وهو شبيهٌ بقوله : (( مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنا ما لَيسَ مِنهُ فَهو رَدٌّ )) ، فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
وأما ما وقع في كلام السَّلف مِنِ استحسان بعض البدع ، فإنَّما ذلك في البدع اللُّغوية ، لا الشرعية ، فمِنْ ذلك قولُ عمر رضي الله عنه لمَّا جمعَ الناسَ في قيامِ رمضان على إمامٍ واحدٍ في المسجد ، وخرج ورآهم يصلُّون كذلك فقال : نعمت البدعةُ هذه .
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Setiap bid’ah adalah kesesatan’ termasuk jawaami’ul-kalim[2], yang tidak keluar dari keumumannya. Dan ia merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok agama, dan menyerupai sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada di dalamnya, maka tertolak’. Maka setiap orang yang mengadakan sesuatu, lalu ia menisbatkannya kepada agama dan perkara tersebut tidak ada asalnya dari agama, maka kembali kepadanya (yaitu : kesesatan) dan agama pun berlepas diri darinya. Baik pada perkara keyakinan maupun amalan, yang dhahir maupun yang batin.
Adapun yang ada dalam perkataan salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah, maka itu hanyalah ada pada bid’ah lughawiyyah (secara bahasa), bukan syar’iyyah (secara syari’at). Yang termasuk dalam bagian tersebut adalah perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu ketika ia mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih di bulan Ramadlaan dengan satu imam di masjid, serta orang-orang setelah mereka pun keluar melakukannya juga : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 597 – tahqiq : Al-Fahl].
Perkataan Ibnu Rajab tersebut juga disitir oleh Al-Mubaarakfuriy dalam Tuhfatul-Ahwadziy 7/439-440.
Jika kita perhatikan, kata bid’ah itu bisa ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan segi syari’at. Perbuatan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu yang mengumpulkan orang-orang dalam shalat tarawih dengan satu imam di masjid bukan termasuk bid’ah, karena ia ada contohnya sebelumnya dari perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti melakukannya karena khawatir shalat tersebut akan diwajibkan kepada mereka, sebagaimana sabdanya:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 882 dan Muslim no. 761].
Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dan syari’at telah sempurna, maka ‘illat tersebut di atas tidak ada. Tidak ada kewajiban selain apa yang diwajibkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya[3]. Oleh karena itu, pensyari’atan pelaksanaan shalat taraawih kembali pada keumuman sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1375, At-Tirmidziy no. 806 dan ia berkata : ‘Hasan shahih’, An-Nasaa’iy no. 1364 & 1605, Ibnu Maajah no. 1327, dan yang lainnya; shahih[4]].
Suata perkara yang ditinggalkan atau tidak ada dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena adanya faktor penghalang, kemudian hal itu dilakukan sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena faktor penghalangnya sudah tidak ada; maka itu bukan termasuk bid’ah secara syari’iy. Contohnya adalah shalat tarawih berjama’ah di masjid sebagaimana dilakukan (kembali) oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Contoh lain adalah pengumpulan mushhaf di jaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu.[5]
Dengan demikian, perkataan ‘Umar : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’, bukan dalam konteks makna syar’iy, namun lughawiy sebagaimana dikatakan para ulama di atas. Bisa dikatakan sebagai bid’ah yang terpuji.
Lain halnya jika ada orang yang melakukan halaqah-halaqah dzikir berjama’ah khusus yang dipimpin oleh orang tertentu, maka ini bid’ah dalam makna syari’iy (tercela) sehingga dicela oleh Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Begitu pula ketika ada orang yang mengucapkan shalawat ketika bersin, maka ini juga bid'ah sehingga diingkari oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Tidak ada faktor penghalang bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan dua perbuatan, namun kenyataannya beliau tidak melakukannya. Tidak ada ruang bid’ah hasanah/mahmuudah dalam perkara ini.
Intinya, pembagian bid’ah menjadi lughawi dan syar’i ini bukan produk orang-orang Wahabi, tapi memang berdasarkan penjelasan para ulama. Dan itu memang tepat sebagaimana konteksnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 13052015 – 00:09].




[1]     Diantaranya hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada di dalamnya, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2697 dan Muslim no. 1718].
dalam riwayat lain dibawakan dengan lafadh:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang beramal dengan satu amalan yang tidak ada keterangannya dari kami, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718].
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ، وَيَقُولُ: بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى ، وَيَقُولُ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sedang berkhutbah, mata beliau memerah, suaranya keras dan kemarahan beliau memuncak, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan (dari musuh). Beliau bersabda : "Hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari tengah)". Kemudian beliau melanjutkan: "Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah kesesatan" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 867].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا هُمَا اثْنَتَانِ: الْكَلَامُ، وَالْهَدْيُ، فَأَحْسَنُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ، وَأَحْسَنُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، أَلَا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya hanya ada dua hal : perkataan dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkataan (kalaam) adalah Kalaamullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (yang diada-adakan), setiap hal baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 46; shahih].
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Irbaadl bin Saariyyah : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Siapa saja yang hidup di antara kalian sepeninggalku nanti, akan menjumpai banyak perselisihan. Wajib atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah dan sunnah para khalifah yang mendapatkan hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham. Waspadalah kalian terhadap hal-hal yang baru, karena setiap hal-hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih].
[2]     Perkataan singkat namun mengandung makna yang banyak dan luas.
[3]     Ibnu ‘Abdil-Barr rahimaullah berkata:
فيه أن قيام رمضان سنة من سنن النبي عليه السلام مندوب إليها مرغب فيها ولم يسن منها عمر إلا ما كان رسول الله يحبه ويرضاه وما لم يمنعه من المواظبة عليه إلا أن يفرض على أمته وكان بالمؤمنين رؤوفا رحيما صلى الله عليه و سلم فلما علم عمر ذلك من رسول الله وعلم أن الفرائض في وقته لا يزاد فيها ولا ينقص منها أقامها للناس وأحياها وأمر بها وذلك سنة أربع عشرة من الهجرة صدر خلافته
“Dalam hadits terdapat faedah bahwa shalat (tarawih) di bulan Ramadlaan termasuk diantara sunnah-sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disunnahkan dan dianjurkan untuk melakukannya. ‘Umar tidaklah men-sunnah-kannya, karena perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dicintai dan diridlai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sehingga ‘Umar sekedar menghidupkannya– Abul-Jauzaa’). Tidak ada halangan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk terus melakukannya, kecuali karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya, sedangkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sayang terhadap kaum mukminiin. Ketika ‘Umar mengetahui hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa kewajiban-kewajiban di masanya tidak akan bertambah dan berkurang (karena Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah wafat), maka ia (‘Umar) mendirikannya, menghidupkannya, dan memerintahkannya melakukan shalat tarawih berjama’ah bersama orang-orang. Peristiwa itu terjadi tahun 14 hijriyyah di masa pemerintahannya” [Al-Istidzkaar, 1/62-63].
[5]     Dulu di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hal ini tidak dilakukan karena masih adanya penghalangnya, yaitu masih banyaknya shahabat yang menghapal Al-Qur’an sehingga Al-Qur’an masih terjaga. Namun ketika terjadi perang Yamaamah dan banyak penghapal Al-Qur’an yang gugur, maka faktor penghalangnya yang sebelumnya eksis menjadi tidak ada. Ada faktor pendorong untuk melakukannya, yaitu menjaga Al-Qur’an. Dapat dibaca artikel terkait : Apakah Setiap Amal yang Tidak Dilakukan di Jaman Nabi Disebut Bid'ah ?.

‘Aqiidah Taabi’iin tentang Tangan Allah ta’ala

$
0
0
Pembahasan ‘klasik’ tentang sifat-sifat dzaatiyyah Allah ta’ala menjadi salah satu trending topic tersendiri yang menyedot perhatian banyak kalangan. Kalangan yang selalu merasa menjadi ‘jumhur’ mengatakan bahwa meyakini dan menetapkan Allah ta’ala mempunyai tangan, mata, kaki, dan yang lainnya dari sifat dzaatiyyahAllah merupakan keyakinan kalangan mujassimah atau musyabbihah. Orang-orang Wahabi yang sesat !
Sekarang, mari kita perhatikan apa dan bagaimana pemahaman ulama taabi’iin karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik ummatku adalah yang orang-orang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka (taabi’iin) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka (atbaa’ut-taabi’iin)" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3650, Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17, Ahmad 4/426-427, dan Abu Dawud no. 4657].
Kita ambil case: ‘tangan Allah’ (يد الله).
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ نَافِعِ بْنِ عُمَرَ الْجُمَحِيِّ، قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ يَدِ اللَّهِ، أَوَاحِدَةٌ أَوِ اثْنَتَانِ، قَالَ: بَلِ اثْنَتَانِ
Telah menceritakan kepadaku Sa’iid bin Abi Maryam, dari Naafi’ bin ‘Umar Al-Jumahiy, ia berkata : Aku bertanya kepada Ibnu Abi Mulaikah[1] tentang tangan Allah : “Apakah ia berjumlah satu ataukah dua ?”. Ia menjawab : “Bahkan (tangan Allah) berjumlah dua” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alaal-Mariisiy 1/286; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ، قال: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ جَابِرٍ، قَالَ: إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَمْ يَمَسَّ بِيَدِهِ مَنْ خَلَقَهُ غَيْرَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: غَرَسَ الْجَنَّةَ بِيَدِهِ، ثُمَّ جَعَلَ تُرَابَهَا الْوَرْسَ وَالزَّعْفَرَانَ وَجِبَالَهَا الْمِسْكَ، وَخَلَقَ آدَمَ بِيَدِهِ، وَكَتَبَ التَّوْرَاةَ لِمُوسَى
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Hakiim bin Jaabir[2], ia berkata : “Sesungguhnya Allah tabaaraka wa ta’ala tidak menyentuh makhluk-Nya dengan tangan-Nya kecuali tiga, yaitu : (1) menanam surga dengan tangan-Nya, lalu menjadikan tanahnya dari wars dan za’faraan serta gunung-gunungnya dari misk; (2) menciptakan Aadam dengan tangan-Nya; dan (3) menulis Taurat untuk Muusaa” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/96; shahih].
حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ عُبَيْدٍ الْمُكْتِبِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: خَلَقَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ بِيَدِهِ: وَخَلَقَ الْقَلَمَ بِيَدِهِ، وَخَلَقَ جَنَّةَ عَدْنٍ بِيَدِهِ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ‘Ubaid Al-Muktib, dari Ibraahiim[3], ia berkata : “Allah tabaaraka wa ta’ala menciptakan empat hal dengan tangan-Nya : (diantaranya) menciptakan qalam (pena) dengan tangan-Nya dan menciptakan surga ‘adn dengan tangan-Nya” [Diriwayatkan oleh Hanaad bin As-Sariy dalam Az-Zuhd no. 45; shahih].
حَدَّثَنِي أَبِي نا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ، نا مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، "أَنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ لَمَّا كَتَبَ التَّوْرَاةَ بِيَدِهِ، قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ هَذَا كِتَابُ اللَّهِ بِيَدِهِ لِعَبْدِهِ مُوسَى يُسَبِّحُنِي وَيُقَدِّسُنِي وَلا يَحْلِفُ بِاسْمِي آثِمًا فَإِنِّي لا أُزَكِّي مَنْ حَلَفَ بِاسْمِي آثِمًا "
Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutharrif, dari Zaid bin Aslam[4] : Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla ketika menulis Taurat dengan tangan-Nya, Ia berfirman : “Bismillah, ini adalah Kitabullah (yang ditulis) dengan tangan-Nya untuk hamba-Nya Muusaa yang telah mensucikan-Ku dan mengagungkan-Ku. Jangan bersumpah dengan nama-Ku untuk perbuatan dosa, karena aku tidak akan menyucikan orang yang bersumpah dengan namaku untuk perbuatan dosa” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 576; shahih].
حَدَّثَنَا أَبُو مَرْوَانَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ حَبِيبٍ الْمِصِّيصِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ الْفَزَارِيُّ، عَنِ الأَوْزَاعِيِّ، قَالَ: كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى ابْنٍ لَهُ كُتُبًا، وَكَانَ فِي أَوَّلِ مَا كَتَبَ: "إِنِّي أَسْأَلُ اللَّهَ الَّذِي بِيَدِهِ الْقُلُوبُ يَصْنَعُ فِيهَا مَا شَاءَ مِنْ هُدًى أَوْ ضَلالَةٍ
Telah menceritakan kepada kami Abu Marwaan ‘Abdul-Malik bin Habiib Al-Mishshiishiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Ishaaq Al-Fazaariy, dari Al-Auzaa’iy, ia berkata : “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz[5] pernah menulis surat kepada anaknya, dimana bagian awal yang ia tulis adalah : ‘Sesungguhnya aku memohon kepada Allah yang hati-hati (manusia) ada di tangan-Nya. Ia melakukan apa saja terhadapnya sesuai dengan kehendak-Nya, berupa petunjuk atau kesesatan” [Diriwayatkan oleh Al-Faryaabiy dalam Al-Qadr no. 410; hasan].
Apa yang Pembaca pahami dari riwayat di atas ?. Apakah mereka (ulama taabi’iin) memahami makna ‘tangan Allah’ dengan nikmat dan kekuasaan ? ataukah mereka memahami sesuai dengan dhahir-nya ?. Benar, mereka memahami dengan makna yang kedua. Jadi, benarlah apa yang dikatakan oleh Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy rahimahullah:
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka dengan hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 102].
Jangan heran apabila kita memahami dan meyakini apa-apa yang diyakini para ulama taabi’iin di atas membuat pusing kepala ahlul-bid’ah sehingga keluarlah umpatan dan cacian mereka kepada kita.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 14052015 – 01:20].




[1]     Ibnu Abi Mulaikah namanya adalah : ‘Abdullah bin ‘Ubaidilah bin Abi Mulaikah – namanya Zuhair – bin ‘Abdillah bin Jud’aan bin ‘Amru Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu Bakr/Muhammad Al-Makkiy Al-Ahwal; seorang ulama dari kalangan taabi’iinpertengahan yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3 dan meninggal tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 524 no. 3477].
[2]     Hakiim bin Jaabir bin Thaaruq bin ‘Auf Al-Ahmasiy Al-Kuufiy; salah seorang ulama taabi’iin pertengahan yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3 dan meninggal tahun 82 H/95 H. Dipakai oleh Abu Daawud dalam Al-Maraasiil, At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 265 no. 1475].
[3]     Ibraahiim bin Yaziid bin Qais bin Al-Aswad bin ‘Amru An-Nakha’iy, Abu ‘Imraan Al-Kuufiy; seorang ulama besar taabi’iin yang tsiqah lagi faqiih. Termasuk thabaqahke-5, lahir tahun 146 H, dan meninggal tahun 196 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 118 no. 272].
[4]     Zaid bin Aslam Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu Usaamah; seorang ulama taabi’iin pertengahan yang tsiqah lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-3 dan meninggal tahun 136 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 350 no. 2129].
[5]     ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Marwaan bin Al-Hakam bin Abil-‘Aash Al-Qurasyiy Al-Umawiy Abu Hafsh Al-Madaniy; amiirul-mukminiin, yang sebagian ulama memasukkannya dalam jajaran Al-Khulaafaur-Raasyidiin. Termasuk thabaqah ke-4, lahir tahun 61 H/63 H, dan meninggal tahun 101 H.Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 724 no. 4974].

Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (10) – Para Pengingkar As-Sunnah

$
0
0
Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa ketika kita akan mengambil suatu hukum, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah membuka Al-Qur’an dan mencarinya di sana. Apabila tidak menemukannya, baru kemudian mencarinya dalam As-Sunnah. Mereka berdalil dengan hadits:
عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ، فَقَالَ: "كَيْفَ تَقْضِي ؟ "فَقَالَ: أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ. قَالَ: "فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ "قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Al-Haarits bin ‘Amru, dari beberapa orang dari kalangan shahabat Mu’aadz : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Mu’aadz ke Yaman, lalu bersabda : “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?”. Mu’aadz menjawab : “Aku akan menghukum dengan apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila tidak terdapat dalam Kitabullah ?”. Mu’aadz menjawab : “Maka (aku akan menghukum) dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kembali : “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan berijtihad dengan pikiranku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1327, Abu Daawud no. 3592, dan yang lainnya].
Sayangnya, hadits ini tidak shahih, terutama karena kelemahan Al-Haarits bin ‘Amru. Ia telah dilemahkan jumhur ulama. Al-Bukhaariy rahimahullah berkata : “Tidak sah haditsnya”.
At-Tirmidziy mengomentari hadits itu dengan perkataannya:
هَذَا حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ، وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ عِنْدِي بِمُتَّصِلٍ، وَأَبُو عَوْنٍ الثَّقَفِيُّ اسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ
“Hadits ini tidak kami ketahui kecuali dari jalan ini. Dan menurut pandangan kami, sanadnya tidaklah muttashil (bersambung). Abu ‘Aun yang dimaksud dalam hadits bernama Muhammad bin ‘Ubaidillah”.
Selain itu, matan hadits ini juga munkar. Bagaimana seseorang dapat mengambil kesimpulan hukum dengan benar seandainya ia mencukupkan diri mencarinya dalam Al-Qur’an tanpa menoleh kepada As-Sunnah ?. Seandainya ia mencari hukum pencurian, lalu ia buka Al-Qur’an dan menemukan ayat:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” [QS. Al-Maaidah : 38].
Apakah ayat ini langsung dapat operasional untuk menghukumi seseorang yang kedapatan melakukan pencurian ?. Tidak, karena As-Sunnah memberikan beberapa penjelasan diantaranya nishab harta yang dicuri yang pelakunya dijatuhi hukum potong tangan adalah ¼ dinar, tidak dijatuhi hukum potong tangan pada kasus pencurian harta yang tidak dijaga atau tidak disimpan pada tempat penyimpanan oleh pemiliknya, dan yang lainnya.
Begitu juga sendainya mencari hukum pembunuhan dan menemukan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” [QS. Al-Baqarah : 178].
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishaashnya” [QS. Al-Maaidah 45].
Dapatkan seorang hakim atau aparat langsung mengqishaash dengan benar berdasarkan dua ayat ini terhadap setiap kasus pembunuhan?. Tidak, karena tidak setiap kasus pembunuhan dijatuhi hukum qishaash bunuh juga. As-Sunnah mengecualikannya bagi orang tua yang membunuh anaknya.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يُقْتَلُ الْوَالِدُ بِالْوَلَدِ "
Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab, ia berkata : Aku mendengar Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang tua tidak dibunuh karena membunuh anaknya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1400, Ibnu Maajah no. 2662, dan yang lainnya; shahih].
Begitu mengecualikan orang muslim yang membunuh orang kafir, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
Seorang muslim tidak dibunuh karena membunuh orang kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3046].
Oleh karena itu, Mak-huul Asy-Syaamiy rahimahullah berkata:
الْقُرْآنُ أَحْوَجُ إِلَى السُّنَّةِ مِنَ السُّنَّةِ إِلَى الْقُرْآنِ
“Al-Qur’an lebih membutuhkan As-Sunnah daripada As-Sunnah membutuhkan Al-Qur’an” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 106, Ibnu Syaahiin dalam Syarh Madzaahibi Ahlis-Sunnah no. 48, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’u Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2352; shahih].
Hal yang sama dikatakan juga oleh Al-Auza’iy rahimahullah.
Bahkan Yahyaa bin Abi Katsiir rahimahullah sampai berkata:
السُّنَّةُ قَاضِيَةٌ عَلَى الْكِتَابِ، وَلَيْسَ الْكِتَابُ قَاضِيًا عَلَى السُّنَّةِ
“As-Sunnah adalah hakim terhadap Al-Kitaab, bukan Al-Kitaab sebagai hakim terhadap As-Sunnah” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 105, Ad-Daarimiy no. 607, dan yang lainnya; shahih].
Namun, Al-Imaam Ahmad bin Hanbalmengomentari perkataan Yahyaa bin Abi Katsiir rahimahumullah tersebut dengan :
مَا أَجْسِرُ عَلَى هَذَا أَنْ أَقُولَهُ، وَلَكِنَّ السُّنَّةَ تُفَسِّرُ الْكِتَابَ، وَتُعَرِّفُ الْكِتَابَ وَتُبَيِّنُهُ
“Aku tidak berani mengatakannya, akan tetapi As-Sunnah itu menafsirkan Al-Qur’an, menerangkannya, dan menjelaskannya” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Al-Kifaayah 1/81 no. 22; shahih].
Meski sebagian ulama menafsirkan perkataan Yahyaa seperti yang dikatakan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah, namun secara lafadh, apa yang dikatakan Ahmad bin Hanbal lebih tepat[1]. Ini sesuai dengan yang dikatakannya dalam kitab Ushuulus-Sunnah yang sedang dibahas ini. Wallaahu a’lam.
Apapun itu, perkataan para ulama di atas menunjukkan betapa agungnya kedudukan As-Sunnah dalam syari’at Islam selain dari Al-Qur’an.
Namun demikian,….. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memperingatkan:
عَنْ أَبِي رَافِعٍ وَغَيْرِهِ، رَفَعَهُ قَالَ: "لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ أَمْرٌ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ: لَا أَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ "
Dari Abu Raafi’ dan yang lainnya dan ia memarfu’kannya (kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam), beliau bersabda : “Jangan sampai aku dapari salah seorang di antara kalian yang bersandar di atas dipannya, kemudian datang kepadanya perkara yang aku perintahkan atau aku larang, lalu ia berkata : ‘Aku tidak tahu. Apa saja yang kami dapati dalam Kitabullah, maka itulah yang kami ikuti” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2663, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”].
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ، يَقُولُ: عَلَيْكُمْ بِالْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلالٍ فَأَحِلُّوهُ، وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ، أَلا لا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِيِّ وَلا كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السَّبُعِ "
Dari Al-Miqdaam bin Ma’diy Karib, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Kitaab dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Qur’an dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya. Ketahuilah, dikhawatirkan akan ada seseorang yang duduk kenyang di atas dipannya seraya berkata : ‘Wajib bagi kalian berpegang pada Al-Qur’an ini. Apa saja yang kalian dapati di dalamnya dari perkara halal, maka halalkanlah, dan apa aja yang kalian dapati di dalamnya dari perkara haram, maka haramkanlah’. Ketahuilah, tidak dihalalkan bagi kalian daging keledai jinak dan binatang buas yang mempunyai taring” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4604, Ibnu Hibbaan no. 12, Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 257, dan yang lainnya; shahih – ini lafadh milik Al-Marwaziy].
Ternyata, apa yang dikhawatirkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kemunculan orang-orang yang menolak memakai As-Sunnah terjadi, baik secara total maupun sebagian:
1.     Di India, ada seorang yang bernama Ahmad Khaan yang hidup di abad 18 M. Ia bekerja untuk penjajah Inggris yang mempunyai pemikiran untuk kembali kepada Al-Qur’an saja dan menjauhkan umat dari As-Sunnah. Penjajah Inggris memberikan penghargaan Knight Commander of Star of Indiakepadanya. Tidaklah Inggris memelihara dan memberikan penghargaan kepada seseorang kecuali keberadaan orang tersebut menguntungkan mereka. Dan bukan rahasia lagi, diantara keuntungan besar yang dipetik orang-orang kafir adalah rusaknya ‘aqidah kaum muslimin sehingga mengokohkan kolonialisme mereka karena keinginan untuk berjihad melawan mereka (orang-orang kafir) melemah.
2.     Di Mesir, ada banyak tokoh yang memusuhi As-Sunnah, seperti Muhammad Abduh, Jamaaluddin Al-Afghaniy, Muhammad Rasyid Ridlaa[2], Taufiq Shiddiiqiy, Muhammad Al-Ghazaliy, Mahmuud Abu Rayyaah, dan yang lainnya.
Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani banyak mempengaruhi Muhammad Rasyid Ridlaa dalam beberapa tulisan di Majalah Al-Manar yang kental dengan pemikiran Mu’tazilah yang menolak As-Sunnah. Taufiq Ash-Shiddiqiy menulis serial artikel Al-Islaamu huwal-Qur’an Wahdah (Islam adalah Al-Qur’an Semata) yang dimuat dalam Majalah Al-Manaar. Mahmuud Abu Rayyaah menulis buku Adlwaa’ ‘alas-Sunnah Al-Muhammadiyyahdan Syaikhul-Madliirah : Abu Hurairah,sedangkan Muhammad Al-Ghazaliy menulis buku As-Sunnah An-Nabawiyyah baina Ahlil-Fiqh wa Ahlil-Hadits; dimana kedua buku tersebut memuat syubhat-syubhat yang menimbulkan keraguan terhadap As-Sunnah.
3.     Kelompok Syi’ah Raafidlah yang menolak memakai As-Sunnah yang dipakai kaum muslimin, kecuali yang diriwayatkan oleh kalangan mereka yang dinisbatkan kepada Ahlul-Bait.
4.     Kelompok Hizbut-Tahriir yang menolak memakai As-Sunnah, yaitu hadits ahad, dalam masalah ‘aqidah.
5.     Di Indonesia, ada macam-macam kelompok atau individu yang menolak As-Sunnah, baik secara total maupun sebagian:
a.      Kelompok Minardi Mursyid di Surakarta (Solo) dan sekitarnya dengan Yayasan Tauhid Indonesia (Yatain) dan Lembaga Pengkajian dan Pendalaman Al-Qur’an Tauhid (LPPAT)-nya. Mereka menolak penggunaan As-Sunnah dan hanya menggunakan Al-Qur’an yang dipahami sesuai tafsir ketuanya, Minardi. Mereka aktif mengadakan pengajian dan menguploadnya di internet (Youtube).
b.      Kelompok Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) pimpinan Ahmad Sukina yang berpusat di Surakarta (Solo) yang menolak beberapa hadits shahih karena dianggap bertentangan dengan Al-Qur’anyang mereka pahami (misalnya : hadits tentang keharaman binantang bertaring, kesurupan jin, syafa’at, peristiwa akhir jaman, dll.).
c.      Marinus Taka dan Irham Sutarto, pentolan kelompok Inkarus-Sunnah di Indonesia generasi awal.
d.      Irene Handono, mantan biarawati yang menolak As-Sunnah yang mengkhabarkan tentang kedatangan ‘Iisaa ‘alaihis-salaam di akhir jaman karena ia anggap bertentangan dengan Al-Qur’an. Ia bahkan menulis buku berjudul : ‘Mempertanyakan Kebangkitan dan Kenaikan ‘Iisaa Al-Masih.Begitulah baik sangkanya terhadap pemahamannya.
Siapakah yang lebih mengerti tentang Al-Qur’an daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?. As-Sunnah yang mengkhabarkan tentang kedatangan ‘Iisaa di akhir jaman adalah mutawatir.
e.      Dan lain-lain.
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur’an tanpa ilmu, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2950, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’].
Ayyuub As-Sakhtiyaaniy rahimahullah:
إِذَا حَدَّثْتَ الرَّجُلَ بِالسُّنَّةِ فَقَالَ: دَعْنَا مِنْ هَذَا وَحَدِّثْنَا مِنَ الْقُرْآنِ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ ضَالٌّ مُضِلٌّ
“Apabila engkau menceritakan sunnah kepada seseorang, lalu ia berkata : ‘Tinggalkan kami dari ini dan ceritakan kepada kami sesuatu yang berasal dari Al-Qur’an’. Maka ketahuilah, sesungguhnya ia sesat dan menyesatkan” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Al-Kifaayah 1/85-85 no. 26; shahih].
Kita mesti waspada dan hati-hati. Tidak setiap suara mesti kita dengar meski suara-suara itu dibungkus dengan kemasan agama.
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah……
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 16-05-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 39-40, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, Miftaahul-Jannah fil-Ihtijaaj bis-Sunnah oleh As-Suyuuthiy, dengan beberapa referensi lain sebagai tambahan penjelasan].




[1]     Selain Yahyaa bin Abi Katsiir, perkataan serupan juga diucapkan oleh Al-Auzaa’iy dan Ad-Daarimiy rahimahumullah.

Kunci-Kunci Semua yang Ghaib

$
0
0
Allah ta’ala berfirman:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuudh)” [QS. Al-An’aam : 59].
Kata (عِنْدَهُ), maknanya adalah ‘di sisi Allah’, yaitu khabaryang didahulukan. Adapun kata (مَفَاتِحُ), yaitu mubtada’ yang diakhirkan.
Susunan kata ini memberikan faedah pembatasan dan pengkhususan, yaitu kunci-kunci yang ghaib hanya ‘di sisi-Nya’ bukan selain-Nya. Pembatasan ini ditegaskan lagi dengan firman-Nya:
لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ
Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri”.
Dalam kalimat tersebut, adanya pembatasan bahwasannya pengetahuan terhadap kunci-kunci yang ghaib di sisi Allah melalui dua jalan, yaitu : (1) mendahulukan khabar dan mengakhirkan mubtada’, serta (2) penafikan dan penetapan.
Kata (مَفَاتِحُ), dikatakan : ia adalah jamak (plural) dari kata miftah (مِفْتَح) dengan kasrah huruf miim dan fat-hah huruf taa’ yang artinya kunci. Atau ia adalah jamakdari kata miftaah (مِفْتَاح), akan tetapi dengan membuang huruf yaa’ darinya dan ini jarang. Kita mengetahui bahwasannya kunci (al-miftaah) adalah sesuatu yang digunakan untuk membuka pintu. Dan dikatakan juga, ia adalah jamak dari maftih (مَفْتِح), dengan fat-hah huruf miim dan kasrah huruf taa’, yang artinya adalah tempat-tempat penyimpanan (khazaain). Maka, kata mafaatihul-ghaib (مَفَاتِحُ الْغَيْبِ) artinya : tempat penyimpanannya (hal yang ghaib). Dikatakan juga kata mafaatihul-ghaib (مَفَاتِحُ الْغَيْبِ) artinya : dasar-dasarnya, karena kunci segala sesuatu berada di awalnya; sehingga kata mafaatihul-ghaib, artinya : dasar-dasar yang ghaib, karena hal-hal yang disebutkan ini merupakan dasar bagi sesudahnya.
Kata (الْغَيْبُ) adalah mashdar dari kata : ghaaba, yaghiibu, ghaiban (غَابَ - يَغِيْبُ - غَيْباً). Yang dimaksud dengan ghaib adalah segala sesuatu yang tidak hadir/tersembunyi. Ghaib adalah perkara nisbiy (realtif), akan tetapi keghaiban yang mutlak pengetahuan tentangnya khusus di sisi Allah.
Kata (مَفَاتِحُ) ini – baik kita katakan maknanya dasar-dasar, tempat penyimpanan, atau kunci-kunci – tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah ‘azza wa jalla. Tidak ada malaikat yang mengetahuinya, tidak pula Rasul, hingga malaikat yang paling mulia – yaitu Jibriil – bertanya kepada manusia yang paling mulia – yaitu Muhammad ‘alaihish-shalaatu was-salaam - : “Khabarkan kepadaku tentang hari kiamat”, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Yang ditanya tidaklah lebih mengetahui daripada yang bertanya[1]. Maknanya : Sebagaimana hal itu tidak engkau ketahui, maka akupun tidak mengetahuinya juga. Barangsiapa yang mengklaim mengetahui kapan hari kiamat, maka ia pendusta lagi kafir. Barangsiapa yang membenarkannya, maka ia juga kafir, karena ia mendustakan Al-Qur’an.
Kata (مَفَاتِحُ) ini telah ditafsirkan/dijelaskan oleh makhluk yang paling mengetahui tentang firman Allah, yaitu Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ketika ia membaca ayat:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS. Luqmaan : 34][2]
yaitu ada lima perkara:
1.     Ilmu tentang Hari Kiamat (As-Saa’ah).
Ilmu tentang hari kiamat adalah asas/dasar kunci bagi kehidupan akhirat. Dan hari kiamat dinamakan as-saa’ah (waktu) karena ia adalah waktu yang sangat besar yang mengancam seluruh manusia. Ia disebut juga al-haaqqah dan al-waaqi’ah. Ilmu tentang hari kiamat hanya ada di sisi Allah, tidak diketahui oleh seorang pun kapan terjadinya kecuali Allah ‘azza wa jalla.
2.     Ilmu tentang Turunnya Hujan (Al-Ghaits).
Hal ini berdasarkan firman-Nya:
وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ
Dialah yang menurunkan hujan (al-ghaits)”.
Al-Ghaits (الْغَيْثُ) adalah mashdar, maknanya : melenyapkan kesempitan/kesulitan, dan yang dimaksudkan di sini adalah hujan (الْمَطَرُ), karena dengan adanya hujan hilanglah kesulitan kemarau dan kegersangan. Apabila Allah ta’alayang menurunkan hujan, maka Ia lah yang mengetahui waktu turunnya hujan.
Turunnya hujan merupakan kunci bagi kehidupan di muka bumi dengan tumbuh-tumbuhan, dan dengan hidupnya tumbuh-tumbuhan timbullah kebaikan di padang penggembalaan dan semua yang berkaitan dengan kebaikan manusia.
Ada satu hal tentang firman-Nya:
وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ
Dialah yang menurunkan hujan (al-ghaits)”.
Allah ta’ala tidak berfirman:
وَيُنَزِّلُ الْمَطَرَ
Dialah yang menurunkan al-mathar”.
Hal itu dikarenakan al-mathar kadang turun namun tidak menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, sehingga ia bukanlah al-ghaits, dan bumi tidak tumbuh dengannya. Oleh karena itu, terdapat satu hadits dalam Shahiih Muslim:
لَيْسَتِ السَّنَةُ أَلَا تُمْطَرُوا، إِنَّمَا السَّنَةُ أَنْ تُمْطَرُوا وَلَا تُنْبِتُ الْأَرْضُ شَيْئًا
Kemarau (as-sanah) bukanlah karena kalian tidak diberikan hujan, akan tetapi kemarau itu itu kalian diberikan hujan namun bumi tidak menumbuhkan apapun”.[3]
Makna as-sanah (السَّنَةُ) adalah kemarau.
3.     Ilmu tentang Apa yang Ada di dalam Rahim.
Hal ini berdasarkan firman-Nya:
وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ
Dan mengetahui apa yang ada dalam rahim”.
Yaitu rahim wanita. Allah ‘azza wa jalla mengetahui apa yang ada di dalam rahim-rahim, yaitu apa yang ada di dalam di perut para ibu dari Bani Aadam atau selainnya. Dan yang terkait dengan ilmu bersifat umum yang meliputi segala sesuatu. Maka, tidak ada yang mengetahui apa yang ada di dalam Rahim kecuali Yang menciptakannya ‘azza wa jalla.
Jika engkau berkata : Sekarang mereka dapat mengetahui jenis kelamin laki-laki atau perempuan ketika masih di dalam rahim, apakah ini benar ?.
Kami katakan : Ini memang kenyataannya tanpa diingkari. Akan tetapi mereka tidak mengetahuinya kecuali setelah janin terbentuk dan nampak jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan. Namun janin mempunyai hal-hal lainnya yang tidak mereka ketahui. Mereka tidak mengetahui kapan ia lahir, tidak mengetahui apabila ia lahir sampai kapan ia bertahan hidup, tidak mengetahui apakah ia bahagia atau sengsara, tidak mengetahui apakah ia nanti kaya atau miskin, dan hal-hal lainnya yang tidak diketahui.
Jadi, kebanyakan ilmu yang berkaitan dengan janin tidak diketahui oleh manusia, sehingga benarlah keumuman firman Allah ta’ala:
وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ
Dan Dia mengetahui apa yang ada dalam rahim”.
4.     Ilmu tentang Apa yang akan Terjadi Besok.
Yaitu, hari setelah hari ini, berdasarkan firman-Nya:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok”.
Ini adalah kunci usaha masa yang akan datang. Apabila manusia tidak mengetahui apa yang ia usahakan untuk dirinya sendiri (di masa yang akan datang), maka ia akan lebih tidak mengetahui apa yang diusahakan oleh orang lain.
Akan tetapi seandainya ada orang yang berkata : Aku mengetahui apa yang terjadi besok, yaitu aku akan pergi ke tempat Fulaan, atau aku akan membaca, atau aku akan mengunjungi kerabat-kerabatku.
Maka kami katakan : Ia memang telah memastikan akan melakukan sesuatu, akan tetapi mungkin akan muncul penghalang sehingga ia tidak jadi melakukannya.
5.     Ilmu tentang Tempat akan Mati.
Hal ini berdasarkan firman-Nya:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati”.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui apakah ia akan mati di tempatnya  atau tempat yang lain, di negeri Islam atau negeri kafir, di darat atau di lautan atau di udara. Ini adalah kenyataan.
Seseorang tidak mengetahui kapan akan mati, karena apabila ia tidak mungkin mengetahui di bumi mana akan mati sehingga ia dapat menentukan tempatnya, maka begitu juga ia tidak mengetahui kapan ia akan mati.
Kelima hal ini adalah kunci-kunci hal yang ghaib yang tidak mengetahuinya kecuali Allah. Dinamakan kunci-kunci keghaiban (مَفَاتِحُ الْغَيْبِ) karena ilmu tentang apa yang ada di dalam rahim adalah kunci bagi kehidupan dunia.
Firman Allah ta’ala:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok
adalah kunci bagi perbuatan yang dilakukan di masa yang akan datang.
Firman Allah ta’ala:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati”.
adalah kunci bagi kehidupan akhirat, karena manusia apabila mati, ia masuk ke alam akhirat. Telah lewat penjelasan tentang ilmu tentang hari kiamat dan turunnya hujan. Maka, jelaslah bahwa semua kunci ini merupakan dasar bagi semua yang ada di belakangnya.
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS. Luqmaan : 34]
Kemudian Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan” [QS. Al-An’aam : 59].
Ini adalah global. Siapakah yang dapat menghitung jenis-jenis yang ada di daratan ?. Berapa jumlah hewan, serangga, gunung, pepohonan, dan sungai; maka tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah ‘azza wa jalla. Begitu juga dengan lautan, tidak ada yang mengetahui isinya kecuali Penciptanya ‘azza wa jalla. Mereka berkata : Sesungguhnya lautan jumlah jenis di lautan tiga kali lipat dari daratan, karena lautan lebih luas.
Firman Allah ta’ala:
وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا
Dan tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula)” [QS. Al-An’aam : 59].
Ini adalah rinci. Daun apapun yang gugur dari pohon kecil atau besar, dekat atau jauh; maka Allah ta’ala mengetahuinya. Oleh karena itu ayat mengunakan maa (مَا) naafi’ahdan min (مِنْ) zaaidah sehingga menjadi nash yang bersifat umum. Jika daun yang gugur diketahui oleh Allah, maka tentu Ia ‘azza wa jalla lebih mengetahui tentang apa yang diciptakan.
Lihatlah pada luasnya ilmu Allah ‘azza wa jalla, segala sesuatu yang terjadi, Allah mengetahuinya, hingga pada sesuatu yang belum terjadi dan yang akan terjadi, Allah ta’ala mengetahuinya juga.
Firman Allah ta’ala:
وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ
Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi” [QS. Al-An’aam : 59].
yaitu : biji kecil yang tidak tidak dapat dijangkau oleh mata, berada dalam kegelapan bumi; maka itu pun diketahui oleh Allah ‘azza wa jalla.
Kata dhulumaat (ظُلُمَاتِ) adalah jamak dari dhulmah (ظُلْمَةٌ). Kita bayangkan saja ada biji kecil yang tenggelam di dasar lautan di kegelapan malam dan turunnya hujan. Maka kegelapan-kegelapan itu terdiri dari : pertama, lumpur laut; kedua, air laut; ketiga, hujan; keempat, mendung; dan kelima, malam. Kelima kegelapan ini termasuk kegelapan-kegelapan bumi. Mskipun demikian, Allah subhaanahu wa ta’ala mengetahuinya dan melihatnya.
Firman Allah ta’ala:
وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ
Dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering” [QS. Al-An’aam : 59].
Ini adalah umum. Tidak ada sesuatu pun kecuali ia basah atau kering.
Firman Allah ta’ala:
إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuudh)” [QS. Al-An’aam : 59].
Kata kitaab (كِتَابٍ) bermakna maktuub (yang tertulis). Adapun kata mubiin (مُبِينٍ) maknanya nampak dan jelas, karena kata abaana (أَبَانَ) adalah digunakan sebagai fi’il muta’addi (transitif) dan laazim (intransitif). Maka dikatakan : abaanal-fajr, maknanya : fajar telah nampak. Dan dikatakan : abaanal-haqq, makanya : menampakkan kebenaran. Dan yang dimaksudkan dengan Al-Kitaab di sini adalah Lauh Mahfuudh.
Semua perkara ini diketahui oleh Allah subhaanahu wa ta’ala, tertulis di sisi-Nya di Lauh Mahfuudh. Hal itu dikarenakan ketika Allah ta’ala ketika menciptakan pena (al-qalam), Ia berfirman: “Tulislah!”. Pena berkata : “Apa yang harus aku tulis?”. Allah berfirman : “Tulislah apa yang akan terjadi hingga hari kiamat[4]. Maka pena seketika itu menulis apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. Kemudian Allah subhaanahu wa ta’ala memberikan buku catatan di hadapan para malaikat agar ditulis apa yang diperbuat manusia, karena yang ada di dalam Lauh Mahfuudh telah ditulis (oleh pena) apa yang diinginkan manusia ataupun yang diperbuat manusia. Buku catatan yang ditulis para malaikat tersebut berisi balasan terhadap apa yang diperbuat manusia. Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ
Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu” [QS. Muhammad : 31].
Adapun yang ilmu-Nya bahwa si Fulaan apakah akan bersabar ataukah tidak, maka ini telah ada sebelumnya, hanya saja tidak berisi pahala dan siksa.
[selesai – dari Syarh Al-‘Aqiidah Al-Wasiithiyyah oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, 1/193-199; Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 6/1421 H – abul-jauzaa’, perumahan ciomas permai – 17052015 – 22:13].




[1]     Diriwayatkan oleh Muslim no. 8 dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
[2]     Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4778 dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
[3]     Diriwayatkan oleh Muslim no. 2905 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
[4]     Diriwayatkan oleh Ahmad 5/317, Abu Daawud no. 4700, At-Tirmidziy no. 2155, Al-Haakim 2/498 dan ia menshahihkannya, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 804, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 178, dan Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 105. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 133 dan dalam As-Sunnah oleh Ibnu Abi ‘Aashim 1/48-49.

Hukum At-Tark

$
0
0
Telah dimaklumi bersama bahwa sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ditinjau dari segi dzatnya terdiri dari perkataan, perbuatan, dan persetujuan (taqriir) beliau [Syarh Mukhtashar Ar-Raudlah 2/62 dan Mukhtashar Ibnul-Lahaam hal. 74]. Termasuk padanya tulisan, isyarat, kehendak, dan juga apa yang ditinggalkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena semuanya ini masuk dalam perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam[1] [lihat : Syarh Kaukabil-Muniir, 2/160-166].
At-Tark adalah ketiadaan perbuatan yang mampu untuk dilakukan dengan disertai kesengajaan. Oleh karena itu, tidak dikatakan : ‘Fulaan meninggalkan menciptakan langit’.  Begitu juga tidak dikatakan : ‘Orang yang tidur itu telah meninggalkan makan dan minum’. Maka, dengan adanya faktor kemampuan dan kesengajaan dalam at-tark, di sini berputar beberapa konsekuensi seperti pujian atau celaan, dan pahala atau dosa/hukuman.
Ada beberapa bentuk/macam at-tark dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
1.     Sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena faktor tabi’at atau adat/kebiasaan.
Contohnya adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan memakan dlabb (kadal gurun) karena hewan itu tidak ada di daerah kaum beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ، قَالَ: "أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ، فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ، فَقِيلَ لَهُ: إِنَّهُ ضَبٌّ، فَأَمْسَكَ يَدَهُ، فَقَالَ خَالِدٌ: أَحَرَامٌ هُوَ؟ قَالَ: لَا، وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ بِأَرْضِ قَوْمِي، فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ، فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
Dari Khaalid bin Al-Waliid, ia berkata : “Pernah disuguhkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam daging dlabb panggang. (Ketika melihatnya), maka beliau berselera untuk memakannya. Dikatakan kepada beliau : “Daging itu adalah daging dlabb”. Maka, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menahan tangan beliau (tidak jadi mengambilnya ). Khaalid berkata : “Apakah ia diharamkan ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Tidak, akan tetapi hewan itu tidak ada di daerah kaumku, sehingga aku tidak suka memakannya”. Lalu Khaalid pun memakan daging dlabb tersebut, sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihatnya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5400].
Melakukan apa yang ditinggalkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan dan tidak ada tuntutan dalam hal ini untuk mencontoh/meneladani beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara ini.
2.     Sesuatu yang ditinggalkan khusus bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena adanya dalil yang menunjukkan kekhususan ini.
Contohnya adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan memakan bawang yang telah dimasak.
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ إِلَيْهِ بِطَعَامٍ مِنْ خَضِرَةٍ فِيهِ بَصَلٌ أَوْ كُرَّاثٌ، فَلَمْ يَرَ فِيهِ أَثَرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْكُلَ؟ "، فَقَالَ: لَمْ أَرَ أَثَرَكَ فِيهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَسْتَحِي مِنْ مَلائِكَةِ اللَّهِ، وَلَيْسَ بِمُحَرَّمٍ"
Dari Abu Ayyuub Al-Anshaariy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengiriminya makanan dari sayuran yang di dalamnya terdapat bawang merah atau bawang bakung, namun ia tidak melihat bekas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (memakannya), sehingga ia enggan untuk memakannya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda kepadanya : “Apa yang menghalangimu untuk memakannya ?”. Ia menjawab : “Aku tidak melihat bekasmu padanya wahai Rasulullah”. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda : “Aku malu kepada malaikat, namun makanan itu tidak haram” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 3/85-86 no. 1670, Ibnu Hibbaan 5/445-446 no. 2092, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 4/157 no. 3996; shahih].
Ibnu Khuzaimah menjelaskan bahwa hadits Abu Ayyuub ini merupakan pengkhususan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammeninggalkan memakan bawang putih, bawang merang, dan bawang bakung yang telah dimasak [Shahiih Ibni Khuzaimah, 3/85].
3.     Sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena adanya faktor kemaslahatan syar’iy.
Contohnya adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid karena rasa sayang terhadap umatnya.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 882 dan Muslim no. 761].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimaullah menjelaskan:
فيه أن قيام رمضان سنة من سنن النبي عليه السلام مندوب إليها مرغب فيها ولم يسن منها عمر إلا ما كان رسول الله يحبه ويرضاه وما لم يمنعه من المواظبة عليه إلا أن يفرض على أمته وكان بالمؤمنين رؤوفا رحيما صلى الله عليه و سلم فلما علم عمر ذلك من رسول الله وعلم أن الفرائض في وقته لا يزاد فيها ولا ينقص منها أقامها للناس وأحياها وأمر بها وذلك سنة أربع عشرة من الهجرة صدر خلافته
“Dalam hadits terdapat faedah bahwa shalat (tarawih) di bulan Ramadlaan termasuk diantara sunnah-sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disunnahkan dan dianjurkan untuk melakukannya. ‘Umar tidaklah men-sunnah-kannya, karena perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dicintai dan diridlai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sehingga ‘Umar sekedar menghidupkannya– Abul-Jauzaa’). Tidak ada halangan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk terus melakukannya, kecuali karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya, sedangkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sayang terhadap kaum mukminiin. Ketika ‘Umar mengetahui hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambahwa kewajiban-kewajiban di masanya tidak akan bertambah dan berkurang (karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat– Abul-Jauzaa’), maka ia (‘Umar) mendirikannya, menghidupkannya, dan memerintahkannya melakukan shalat tarawih berjama’ah bersama orang-orang. Peristiwa itu terjadi tahun 14 hijriyyah di masa pemerintahannya” [Al-Istidzkaar, 1/62-63].
Contoh lain adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan untuk merobohkan Ka’bah dan membangunannya sesuai dengan yang dibangun Ibraahiim ‘alaihis-salaam pertama kali, dalam rangka ta’liiful-quluub penduduk Makkah yang baru saja terlepas dari kekufuran.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا: "يَا عَائِشَةُ، لَوْ لَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ، لَأَمَرْتُ بالبيت فَهُدِمَ، فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ وَأَلْزَقْتُهُ بِالْأَرْضِ، وَجَعَلْتُ لَهُ بَابَيْنِ بَابًا شَرْقِيًّا وَبَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيمَ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya : “Wahai ‘Aaisyah, seandainya bukanlah karena kaummu baru saja lepas dari Jaahiliyyah, niscaya aku akan perintahkan merobohkan Ka’bah, lalu aku masukkan ke dalamnya apa yang pernah dikeluarkan daripadanya, dan niscaya aku akan tempelkan (pintunya) ke tanah, lalu aku buat pintu timur dan pintu barat. Dengan begitu aku membangunnya di atas pondasi yang telah dibangun oleh Ibraahiim ‘alaihis-salaam..…” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1586 dan Muslim no. 1333].
Contoh lain adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan membunuh orang-orang munafik untuk menghindari dari membuat lari orang-orang yang akan masuk Islam.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: ..... وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ: أَقَدْ تَدَاعَوْا عَلَيْنَا لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ، فَقَالَ عُمَرُ: أَلَا نَقْتُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا الْخَبِيثَ لِعَبْدِ اللَّهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّهُ كَانَ يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ "
Dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “……..Dan 'Abdullah bin Ubay bin Saluul berkata : ‘Apakah mereka (orang-orang Muhaajiriin) menantang kita ? Jika kita sudah kembali ke Madiinah, pasti kelompok yang kuat akan mengusir kelompok yang lemah dari Madinah. ‘Umar berkata : ‘Wahai Rasulullah, mengapa tidak kita bunuh saja orang jahat ini ?’ - maksudnya : ’Abdullah (bin ’Ubay bin Saluul) - . Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ’Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh shahabatnya sendiri” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3518].
Contoh lain adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan untuk menyalatkan jenazah orang yang bunuh diri, memiliki tanggungan hutang, dan melakukan perbuatan ghuluul sebagai hukuman dan tarhiib(upaya menakuti) atas perbuatan mereka, dan juga peringatan kepada umat agar menjauhi perbuatan yang mereka lakukan.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Pernah didatangkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jenazah seorang laki-laki yang bunuh diri dengan tombak, namun beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 978].
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ ؟ قَالُوا: لَا، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ
Dari Salamah bin Al-Akwa’ radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya pernah didatangkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jenazah untuk dishalatkan. Maka beliau shallallaahu‘alaihi wa sallam bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Mereka berkata: "Tidak". Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menyalatkannya. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain.Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallan bertanya: "Apakah orang ini punya hutang?".Mereka menjawab: "Ya". Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Shalatilah saudaramu ini". Abu Qataadah berkata : "Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah". Maka beliau shallallaahu 'alaihi wasallammenyalatkannya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2295].
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ، قال: مَاتَ رَجُلٌ بِخَيْبَرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ إِنَّهُ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ "، فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا فِيهِ خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
Dari Zaid bin Khaalid, ia berkata : “Seseorang meninggal di Khaibar. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shalatilah shahabat kalian ini. Sesungguhnya ia telah berbuat ghuluul di jalan Allah”.[2]Maka kami pun memeriksa perbekalan yang ia bawa dan kami dapati padanya batu mulia dari perhiasan orang-orang Yahudi yang tidak mencapai dua dirham [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1959; dilemahkan oleh Al-Albaaniy dalam Dla’iif Sunan An-Nasaa’iy hal. 66-67, namun dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam takhriij Sunan Abi Daawud 4/344].
Masyru’ tidaknya mencontoh perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tergantung pada keberadaan ‘illat dan/atau pertimbangan maslahat-mafsadat (syar’iy)yang ada.
4.     Sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena ketiadaan kemampuan atau ketiadaan kemungkinan untuk melakukannya.
Contohnya adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan permasalahan-permasalahan yang muncul sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, seperti memerangi orang-orang yang mengingkari kewajiban zakat dan tidak menunaikannya yang baru muncul di jaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu. Seandainya perkara itu muncul di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, pasti beliau akan melakukan seperti yang dilakukan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu.
Bagian ini bukan merupakan at-tark secara istilah yang dimaksudkan dalam bahasan ini sebagaimana disinggung di awal.
5.     Sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelasan atau pensyari’atan (tasyrii’iy) terhadap umatnya secara umum.
Contohnya adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan adzan dan iqamat dalam shalat ‘Iedain, meninggalkan shalat tahiyyatul-masjid berjama’ah, dan meninggalkan perayaan Maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Bagian inilah yang merupakan sunnah tarkiyyah yang mengandung tuntutan untuk melakukannya, yaitu meninggalkan apa yang ditinggalkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila :
a.      terdapat sebab yang menuntut dilakukannya perbuatan tersebut di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,dan
b.      tidak adanya penghalang untuk melakukan perbuatan tersebut di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, sunnah tarkiyyah ini adalah sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya bersamaan dengan adanya faktor pendorong dan ketiadaan penghalang untuk melakukannya, sebagai penjelasan atau pensyari’atan kepada umatnya.
Sunnah tarkiyyah dapat diketahui melalui:
a.      Adanya nash yang jelas dari shahabat radliyallaahu ‘anhum yang menegaskan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian dan demikian, atau meninggalkan demikian dan demikian.
Contohnya:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
Dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Aku pernah shalat ‘Iedain bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beberapa kali tanpa adzan dan iqamat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 887].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعِيدَ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammelakukan shalat ‘Ied tanpa adzan dan iqamat [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1147; shahih].
عَنْ ابْن عُمَرَ: وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَيُوتِرُ عَلَيْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
Dari Ibnu ‘Umar : Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya ke arah mana saja menghadap dan juga melakukan shalat witir di atasnya. Hanya saja beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melaksanakan yang demikian itu untuk shalat wajib” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1098 dan Muslim no. 700].
b.      Berkumpulnya qarinah-qarinah yang menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara teratur/rutin meninggalkan perbuatan tersebut.
Seandainya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, niscaya para shahabat akan menukilnya, karena mereka adalah kaum yang sangat bersemangat dalam menukil dan menyampaikan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ketiadaan penukilan dan pembicaraan di kalangan shahabat tentang perbuatan tersebut menunjukkan perbuatan tersebut memang tidak pernah ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Contohnya adalah melafadhkan niat ketika hendak shalat. Amalan shalat adalah diantara amalan mutawatir dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak ternukil sedikitpun dari para shahabat bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya.
[bagian kelima ini yang menjadi pokok bahasan selanjutnya dalam tulisan]
Dalam sunnah tarkiyyah ini, apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perkara, maka hal tersebut perlu diteladani dan diikuti, karena sesuatu yang beliau tinggalkan termasuk bagian dari sunnah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].
Ibnun-Najaar rahimahullah berkata:
إذا نقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه ترك كذا كان أيضاً من السنة الفعلية
“Apabila dinukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau meninggalkannya, maka hal itu juga termasuk sunnah fi’liyyah” [Syarh Kaukabil-Muniir, 2/165].
As-Sam’aaniy rahimahullah berkata:
إذا ترك النبي صلى الله عليه وسلم شيئاً من الأشياء وجب علينا متابعته فيه
“Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perkara, maka wajib bagi kita untuk mengikuti beliau dalam hal tersebut” [Qawaathi’ul-Adillah, 2/190].
Kewajiban mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam at-tark tidaklah dalam kemutlakannya, akan tetapi mesti memenuhi dua persyaratan, yaitu  adanya sebab yang menuntut dilakukannya perbuatan yang ditinggalkan tersebut di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,dantidak adanya penghalang untuk melakukan perbuatan yang ditinggalkan tersebut di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam– sebagaimana telah disebutkan.
Perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang meninggalkan suatu perkara, menunjukkan adanya pensyari’atan untuk meninggalkan perkara tersebut, dan minimal menunjukkan perkara tersebut hukumnya tidak wajib untuk dilakukan – sebagaimana perkara yang dilakukan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam minimal menunjukkan perkara tersebut hukumnya tidak haram dilakukan [lihat : Miftaahul-Wushuul oleh At-Tilmisaaniy, hal. 580].
Apalagi diperkuat jika salaf (para shahabat, taabi’iin, dan atbaa’ut-taabi’iin) sepakat meninggalkan perbuatan tersebut.
Oleh karena itu, suatu perbuatan yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, taabi’iin, dan atbaa’ut-taabi’iin sepakat untuk meninggalkannya, tidak pernah menukilnya, tidak pernah menuliskannya dalam kitab-kitab mereka, tidak pernah menyinggungnya dalam majelis-majelis mereka, maka perbuatan tersebut berstatus bid’ah (jika dilakukan) dengan syarat : faktor yang mendorong dilakukannya perbuatan tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak ada.
Diantara contoh perkataan para ulama yang menegaskan kaedah ini antara lain adalah Al-‘Izz bin ‘Abdis-Salaam rahimahullah saat membicarakan bid’ahnya shalat raghaaib:
ومما يدل على ابتداع هذه الصلاة أن العلماء الذين هم أعلام الدين وأئمة المسلمين من الصحابة والتابعين وتابعي التابعين وغيرهم ممن دوَّن الكتب في الشريعة مع شدة حرصهم على تعليم الناس الفرائض والسنن لم ينقل عن أحد منهم أنه ذكر هذه الصلاة ، ولا دوَّنها في كتابة ، ولا تعرَّض لها في مجالسه .
والعادة تحيل أن تكون مثل هذه سنة وتغيب عن هؤلاء الذين هم أعلام الدين وقدوة المؤمنين ، وهم الذين إليهم الرجوع في جميع الأحكام من الفرائض والسنن والحلال والحرام
“Dan yang termasuk yang menunjukkan bid’ahnya shalat ini bahwasannya para ulama yang notabene termasuk orang-orang yang paling mengetahui tentang agama dari kalangan shahabat, taabi’iin, taabi’ut-taabi’iin, dan ulama lainnya yang menyusun kitab-kitab dalam syari’at ini – dengan besarnya semangat mereka dalam mengajarkan manusia tentang hal-hal yang fardlu dan sunnah – , tidak pernah ternukil dari salah seorang pun dari mereka yang menyebutkan shalat ini, tidak pernah menuliskannya dalam kitab-kitab mereka, dan tidak pula menyinggungnya dalam majelis-majelis mereka.
Adat kebiasaan menganggap mustahil hal ini menjadi sunnah serta tidak diketahui oleh mereka yang merupakan orang-orang yang paling mengerti akan agama dan teladan bagi kaum mukminiin. Mereka adalah tempat rujukan bagi seluruh hukum-hukum agama baik yang fardlu, sunnah, halal, dan haram” [At-Targhiib ‘an Shalaatir-Raghaaib Al-Maudluu’ah hal. 9. Lihat pula Al-Baa’its, hal. 47].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang maulid nabi:
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير أحرص .  وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته وإتباع أمره ، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان . فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم  بإحسان
”Sesungguhnya ini (perayaan maulid) tidak pernah dilakukan oleh salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor penghalangnya tidak ada. Seandainya ini murni baik atau kuat, tentu salaf lebih berhak (melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam lebih dari yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala kebaikan. Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya terdapat pada kesetiaan mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya, serta berjihad demi semua itu dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan yang ditempuh oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan” [Iqtidlaa’ Shirathil-Musthaqiim, 2/615].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وأما أهل السنة والجماعة فيقولون في كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة: هو بدعة؛ لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه، لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها
“Adapun Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengatakan bahwa setiap perbuatan dan ucapan yang tidak berasal dari shahabat, maka statusnya bid’ah. Seandainya hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita, karena mereka tidak pernah meninggalkan satu kebaikan pun, kecuali mereka telah lebih dahulu melakukannya” [Tafsiir Ibni Katsiir, 7/278-279].
Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahumallah berkata:
كل من تكلم بكلام في الدين أو في شيء من هذه الأهواء ليس له فيه إمام متقدم من النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه فقد أحدث في الإسلام حدثًا
“Setiap orang mengatakan satu perkataan dalam perkara agama atau sesuatu dari urusan hawa nafsu yang tidak memiliki imam pendahulunya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat, sungguh ia telah membuat-buat perkara baru dalam Islam” [Shaunul-Manthiq wal-Kalaam, hal. 150].
Taqiyyuddiin As-Subkiy rahimahullah pernah ditanya tentang sebagian perkara bid’ah, ia berkata:
الحمد لله ، هذه بدعة لا يشك فيها أحد ، ولا يرتاب في ذلك ، ويكفي أنها لم تُعرف في زمن النبي صلى الله عليه وسلم ، ولا في زمن أصحابه ، ولا عن أحد من علماء السلف
“Segala puji bagi Allah, ini adalah bid’ah, tidak seorang pun ragu dan bimbang akan hal itu. Dan cukuplah bahwasannya hal itu tidak pernah diketahui di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak di jaman para shahabatnya, dan tidak pula seorang pun dari ulama salaf” [Fataawaa As-Subkiy, 2/549].
As-Suyuuthiy rahimahullah menukil perkataan Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu:
كل عبادة لم يتعبد بها أصحاب رسول الله فلا تتعبدوا بها؛ فإن الأول لم يدع للآخر مقالاً؛ فاتقوا الله يا معشر القراء، خذوا طريق من كان قبلكم
“Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan engkau lakukan, karena generasi awal tidaklah menyisakan satu perkataan pun bagi generasi berikutnya. Bertaqwalah wahai orang-orang yang rajin beribadah, ambillah jalan orang-orang sebelum kalian” [Al-Amru bil-Ittibaa’, hal. 62].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ لا يُصَلِّي الضُّحَى، حَتَّى أَدْخَلَنَاهُ عَلَى أُمِّ هَانِئٍ، فَقُلْتُ لَهَا: أَخْبِرِي ابْنَ عَبَّاسٍ بِمَا أَخْبَرْتِينَا بِهِ، فَقَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ: "دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي، فَصَلَّى صَلاةَ الضُّحَى ثَمَانِ رَكَعَاتٍ، فَخَرَجَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ، فَمَا عَرَفْتُ صَلاةَ الإِشْرَاقِ إِلا السَّاعَةَ، يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإِشْرَاقِ، ثُمَّ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: هَذِهِ صَلاةُ الإِشْرَاقِ "
Dari ‘Abdullah bin Al-Haarits : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas dulu tidak mengerjakan shalat Dluhaa, hingga kami mempertemukannya dengan Ummu Haani’. Aku berkata kepadanya : “Khabarkanlah kepada Ibnu ‘Abbaas dengan apa yang telah engkau khabarkan kepada kami”. Kemudian Ummu Haani’ berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pernah masuk ke rumahku, lalu beliau mengerjakan shalat Dluhaa sebanyak 8 raka’at”. Kemudian Ibnu ‘Abbaas keluar seraya berkata : “Sungguh, aku telah membaca mushhaf, dan aku tidaklah mengetahui shalat isyraaq kecuali saat ini. (Allah ta’ala berfirman : ) ‘untuk bertasbih di waktu petang dan pagi(isyraaq)’ (QS. Shaad: 18)”. Kemudian Ibnu ‘Abbaas berkata : Ini adalah shalat isyraaq” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/53].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa meninggalkan shalat Dluhaa karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya juga (= tidak mengerjakannya). Setelah tahu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya, maka ia baru mengerjakannya.
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا، أَنْ نَقُولَ: "الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
Dari Naafi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammengajari kami. Akan tetapi beliau mengajari kami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2738; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/93-94].
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa mengingkari dan menyuruh orang meninggalkan bacaan shalawat ketika bersin karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa meninggalkan apa yang ditinggalkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Syari’at Islam telah sempurna. Segala kebaikan telah diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada yang tersisa. Apa yang tidak menjadi bagian dari agama waktu itu (di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya), maka tidak pula menjadi bagian dari agama di waktu sekarang.
Allah ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Dari Abu Dzarr, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami dalam keadaan tudak ada burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak tersisa sesuatupun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 2/155-156 no. 1647; sanadnya shahih].
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Irbaadl bin Saariyyah : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Siapa saja yang hidup di antara kalian sepeninggalku nanti, akan menjumpai banyak perselisihan. Wajib atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah dan sunnah para khalifah yang mendapatkan hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham. Waspadailah kalian terhadap hal-hal yang baru, karena setiap hal-hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada di dalamnya, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2697 dan Muslim no. 1718].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Barangsiapa yang beramal dengan satu amalan yang tidak ada keterangannya dari kami, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718].
قال ابن الماجشون سمعت مالكا يقول من ابتدع في الاسلام بدعه يراها حسنه فقد زعم ان محمدا ( صلى الله عليه وسلم ) خان الرسالة لان الله يقول ( اليوم أكملت لكم دينكم ) فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا
Ibnul-Maajisyuun berkata : Aku mendengar Maalik (bin Anas) berkata : “Barangsiapa yang berbuat bid’ah dalam Islam lantas memandangnya sebagian kebaikan, sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah, Hal itu dikarenakan Allah ta’ala telah berfirman : ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu’ (QS. Al-Maaidah : 3). Maka apa saja yang bukan merupakan perkara agama pada waktu itu (yaitu jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat), maka itu juga bukan perkara agama pada hari ini” [Al-I’tishaam, 1/49].
Perkara bid’ah timbul karena melakukan apa yang dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat meninggalkannya.
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 19052015 – 00:34 – mengambil faedah dari buku Qawaa’idu Ma’rifatil-Bida’ dan Sunnatut-Tark, keduanya tulisan Dr. Muhammad bin Husain Al-Jizaaniy hafidhahullah].




[1]     Dalil bahwasannya at-tark termasuk bagian dari perbuatan adalah firman Allah ta’ala:
كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu [QS. Al-Maaidah : 79].
Allah ta’ala telah menamakan ketiadaan melarang perbuatan kemungkaran sebagai ‘satu perbuatan’ dan mencela perbuatan ini dengan firman-Nya : ‘Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu’.
Dalil lain adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari (keburukan) lisan dan tangannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 10 & 6484 dan Muslim no. 41].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakan ‘meninggalkan suatu gangguan’ dengan Islam menunjukkan at-tark merupakan bentuk ‘perbuatan’.
[2]     Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata :
ما نعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم ترك الصلاة على أحد إلا على الغال وقاتل نفسه
“Kami tidak mengetahui bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan untuk menyalati seseorang kecuali orang yang berbuat ghuluul dan bunuh diri” [Al-Kabaair, hal. 56].

Hukum Belajar di Sekolah yang Ada Ikhtilath-nya

$
0
0
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum belajar di sekolah yang terdapat ikhtilaath di dalamnya. Maka beliau menjawab :
فعلى كلِّ حالٍ نقول -أيها الأخ- يجب عليك أن تطلب مدرسةً ليس هذا وضعها، فإن لم تجد مدرسةً إلاَّ بهذا الوضع وأنت محتاجٌ إلى الدراسة فإنك تقرأ وتدرس وتحرص بقدر ما تستطيع على البعد عن الفاحشة والفتنة، بحيث تغضُّ بصرَك وتحفظ لسانَك، ولا تتكلَّم مع النساء، ولا تمرُّ إليهنَّ
’Alaa kulli haal kami katakan – wahai saudaraku – : tetap wajib bagimu untuk mencari sekolah yang bukan di tempat itu. Namun jika engkau tidak mendapati sekolah lain kecuali di tempat tersebut, sedangkan dirimu membutuhkan untuk belajar padanya, maka hendaknya engkau membaca, belajar, dan senantiasa bersemangat sesuai dengan kemampuanmu untuk menjauhi kekejian dan fitnah dengan menundukkan pandanganmu, menjaga lisanmu, dan janganlah engkau berbicara dengan wanita dan berjalan menuju mereka” [Fataawaa Mar-atil-Muslimah, 6/576].
Adapun Asy-Syaikh‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Al-Jibriin rahimahullah menjawab:
لا يجوز بالنسبة للنساء أن يدرسنَ في المدرسة التي يحصل فيها الاختلاط بالرجال، سواء كان ذلك في حقِّ الطالبات أو المُدرِّسات؛ لما في ذلك من الفتنة.
وأمَّا الرجال والطُلاَّب فلهم الدراسة مع الحرص على غضِّ البصر والبُعد عن الاحتكاك بالنساء المُتكشفات، أو القُرب منهنَّ. والله أعلم
“Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk belajar di sekolah yang terjadi padanya ikhtilaath dengan laki-laki. Larangan itu berlaku baik untuk sisiwinya maupun pengajar wanitanya, karena dapat menimbulkan fitnah.
Adapun bagi laki-laki dan para siswanya, maka mereka boleh belajar di tempat tersebut dengan tetap senantiasa menjaga pandangan, menjauhi interaksi dengan wanita yang ditemui atau berdekatan dengan mereka, wallaahu a’lam” [Al-Fataawaa no. 2718 – dari website beliau].

[abul-jauzaa – perumahan ciomas permai – 19052015 – 22:34 – silakan baca artikel terkait : Dalil-Dalil Larangan Ikhtilaath].

Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (11) – As-Sunnah dan Akal

$
0
0
٩ - ليس في السنة قِيَاسٌ
9.     Tidak ada qiyaas dalam As-Sunnah.
Penjelasan:
Para ulama berbeda perkataan dalam menjelaskan maksud ucapan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah di sini.
1.     Dikatakan maksudnya adalah tidak boleh menyertakan sesuatu terhadap sunnah yang bukan termasuk darinya yang kemudian menjadikannya sebagai sunnah dan kita katakan sesuatu tersebut dinashkan dalam sunnah.
2.     Dikatakan juga, maksud qiyas di sini adalah qiyaasfaasid (qiyas yang rusak), yaitu qiyas yang bertentangan dengan nash dan ijmaa’. Ini adalah qiyas yang terlarang. Apabila didapatkan satu nash dalam satu permasalahan, maka tidak boleh menentangnya dengan qiyas, karena pertentangan nash dengan qiyas menyebabkan qiyas tersebut rusak.
Misalnya qiyas riba yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap jual-beli. Allah ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” [QS. Al-Baqarah : 275].
Ini adalah qiyas yang rusak karena dilakukan untuk menentang firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman” [QS. Al-Baqarah : 278].
Contoh lain adalah qiyas yang dilakukan Ibliis ketika ia mengatakan:
أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah” [QS. Al-A’raaf : 12].
Ini adalah qiyas yang rusak karena dilakukan untuk menentang firman Allah ta’ala:
اسْجُدُوا لآدَمَ
Sujudlah kalian kepada Adam” [QS. Al-Baqarah : 34].
Contoh lain adalah seseorang meninggalkan shalat ketika safar karena mengqiyaskan kebolehan tidak berpuasa (berbuka) bagi seorang musafir.
Apabila telah ada nash, maka tidak boleh menentangnya/membantahnya dengan qiyas, tidak dengan akal, tidak dengan pendapat, dan tidak dengan apapun. Kewajiban kita hanyalah tasliim (menerima). Allah ta’ala berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
3.     Dikatakan juga maksudnya tidak ada qiyas dalam perkara ‘aqidah dan ibadah mahdlah (murni), karena keduanya bersifat tauqifiyyah, (ditetapkan berdasarkan nash).
‘Aqidah dan ibadah mahdlah ditetapkan tidak berdasarkan ‘illat, karena Allah ta’ala berfirman:
لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, namun merekalah yang (kelak) akan ditanyai” [QS. Al-Anbiyaa’ : 23].
Padahal qiyas sendiri ditetapkan berdasarkan ‘illat, dan ‘illat tersebut termasuk diantara rukun-rukunnya. Adapun qiyas antara perkara cabang dengan perkara pokok dalam suatu hukum karena ada kesamaan ‘illat– sebagaimana masyhur dalam bahasan fiqh/ushul fiqh - , maka ini diperbolehkan.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
كان أحمد و غيره من فقهاء أهل الحديث يقولون إن الأصل فى العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله تعالى و إلا دخلنا في معنى قوله أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Ahmad dan yang lainnya dari kalangan fuqahaa’ ahli hadits berkata : Sesungguhnya pokok dalam ibadah-ibadah adalah tauqiif, sehingga tidak disyari’atkan darinya kecuali apa-apa yang disyari’atkan oleh Allah ta’ala. Jika tidak demikian, kita akan masuk dalam makna firman-Nya ta’ala : ‘Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?’ (QS. Asy-Syuuraa : 21)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 29/17].
Contoh qiyas yang diperbolehkan adalah qiyas antara haramnya narkoba dengan (haramnya) khamr karena mempunyai ‘illat yang sama, yaitu memabukkan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2003].
Yang menjadi cabang dalam hal ini adalah narkoba, sedangkan yang pokok adalah khamr.
Contoh qiyas yang tidak dipebolehkan adalah qiyas antara batalnya wudlu karena makan daging burung onta (an-na’aamah) dengan batalnya wudlu karena makan daging onta. Hukum pada perkara pokoknya (yaitu batalnya wudlu karena makan daging onta) tidak memiliki ‘illat yang diketahui, akan tetapi ini adalah perkara murni ta’abbduiy (ibadah mahdlah) berdasarkan pendapat yang masyhur.
Begitu juga dalam perkara aqidah, maka tidak ada qiyas, yaitu qiyas syumul dan qiyas tamtsil. Adapun aulawiyyah, maka diperbolehkan.
a.      Qiyas asy-syumuul : mengqiyaskan satu bagian kepada sesuatu yang umum yang mencakup seluruh bagian-bagiannya, sehingga setiap bagian tersebut masuk dalam yang umum baik lafadh maupun maknanya.
Qiyas ini seperti silogisme berikut:
PMy  :   Semua mamalia berkaki empat.
PMn  :   Sapi adalah mamalia.
K    :   Sapi berkaki empat.
Qiyas ini boleh dan benar.
PMy  :   Semua yang memiliki tangan adalah makhluk.
PMn  :   Allah memiliki tangan.
K    :   Allah adalah makhluk.
Qiyas ini tidak boleh dan tidak benar. Akibat penggunakan logika qiyas ini, ahlul-bida’ telah terjerumus dalam kesesatan dalam menolak nash dan kemudian mentahrifnya (menyelewengkannya) kepada makna-makna yang menyimpang. Mereka katakan bahwa dikarenakan semua yang memiliki tangan adalah makhluk, maka setiap orang yang mengatakan Allah memiliki tangan mengkonsekuensikan anggapan bahwa Allah adalah makhluk. Ini tidak benar, kata mereka. Oleh karena itu, ‘tangan’ di situ mesti ditakwilkan kepada makna lain seperti kekuasaan, kehendak, dan yang lainnya untuk menghindari penyerupaan terhadap makhluk-Nya. Akibat dari logika qiyas ini, mereka menuduh Ahlus-Sunnah yang menetapkan sifat tangan bagi Allah ta’alasebagaimana dhahirnya sebagai musyabbihah dan mujassimah.
Logika qiyas yang mereka lakukan untuk menolak nash itu tidak benar karena Allah ta’ala telah menetapkan bagi diri-Nya mempunyai tangan, namun tangan-Nya berbeda dengan tangan makhluk-Nya; sebagaimana Allah ta’ala menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun kedua sifat ini berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Allah ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
b.      Qiyaas at-tamtsiil : menyamakan sesuatu dengan yang semisalnya, dengan menjadikan apa yang tetap bagi Allah seperti apa yang tetap bagi makhluk-Nya.
Allah mempunyai tangan, makhluk juga mempunyai tangan. Jadi, tangan Allah sama seperti tangan makhluk. Qiyas ini jelas tidak benar dengan dalil QS. Asy-Syuuraa ayat 11 di atas.
c.      Qiyas al-aulawiyyah : qiyas dimana perkara cabangnya lebih kuat dan lebih berhak terhadap hukumnya daripada pokoknya. Qiyas seperti ini diperbolehkan untuk Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأعْلَى
Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi” [QS. An-Nahl : 60].
Maknanya, semua sifat sempurna (dari makhluk-Nya – jika ada), maka Allah ta’ala memiliki sifat-sfat tersebut yang paling tinggi dan paling sempurna [Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, 1/130].
Contohumumnya adalah mengqiyaskan larangan memukul dengan larangan perkataan ‘ah’ dan bentakan terhadap orang tua dalam firman Allah ta’ala:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” [QS. Al-Israa’ : 23].
Maksudnya, jika perkataan ‘ah’ dan hardikan saja dilarang (ini perkara pokoknya), maka memukul (perkara cabang) tentu lebih kuat larangan dan pengharamannya.
Adapun contoh penggunaan qiyas ini untuk hak Allah adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ
“Allah jauh lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya, daripada salah seorang di antara kalian yang berada di atas hewan tunggangannya di tanah yang tandus....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2747].
Hadits ini menetapkan sifat gembira.
Juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
أَتُرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا: لَا، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لَا تَطْرَحَهُ فَقَالَ: لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
Apakah menurut kalian ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam api ?”. Kami (para shahabat) menjawab : “Tidak. Ia tidak akan tega melemparkannya”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah lebih sayang terhadap hamba-Nya daripada (kasih sayang) ibu ini terhadap anaknya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5999].
Hadits ini menetapkan sifat rahiim (penyayang).
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
١٠ - وَلَا تُضْرَبُ لَهَا الْأَمْثَالُ، وَلَا تُدْرَكُ بِالْعُقُولِ وَلَا الْأَهْوَاءِ، وَإِنَّمَا هُوَ الْاتِّبَاعُ وَتَرْكُ الْهَوَى
10.   As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan-permisalan dan tidak boleh dipahami dengan akal semata dan hawa nafsu. Kewajiban yang ada hanyalah ittibaa’ dan meninggalkan hawa nafsu.
Penjelasan:
As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan-permisalan, sehingga dikatakan ini seperti ini sehingga hukumnya demikian dan demikian. Ini dilakukan dalam rangka membantah As-Sunnah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "تَوَضَّئُوا مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ "، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتَوَضَّأُ مِنَ الْحَمِيمِ؟ فَقَالَ لَهُ: يَا ابْنَ أَخِي إِذَا سَمِعْتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا فَلَا تَضْرِبْ لَهُ الْأَمْثَالَ
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernha bersabda : “Berwudlulah karena makan sesuatu yang dimasak oleh api”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Apakah mesti juga berwudlu karena minum air panas ?”. Maka Abu Hurairah berkata : “Wahai anak saudaraku, apabila engkau mendengar hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan engkau buat permisalan-permisalan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 485; hasan].
Ibnu Maajah membawakan riwayat di atas secara lebih singkat dalam Bab : ‘Pengagungan terhadap Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Teguran terhadap Orang yang Menentangnya’ :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ لِرَجُلٍ: "يَا ابْنَ أَخِي، إِذَا حَدَّثْتُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا، فَلَا تَضْرِبْ لَهُ الْأَمْثَالَ "
Dari Abu Salamah : Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata pada seseorang (yaitu Ibnu ‘Abbaas) : “Wahai anak saudaraku, apabila aku menceritakan hadits kepadamu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, jangan engkau buat untuknya permisal-permisalan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 22; hasan].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ: "اقْتَتَلَتِ امْرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلٍ فَرَمَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى بِحَجَرٍ، فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِي بَطْنِهَا، فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ دِيَةَ جَنِينِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَلِيدَةٌ، وَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ، فَقَالَ حَمَلُ بْنُ النَّابِغَةِ الْهُذَلِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أَغْرَمُ مَنْ لَا شَرِبَ وَلَا أَكَلَ وَلَا نَطَقَ وَلَا اسْتَهَلَّ فَمِثْلُ ذَلِكَ يُطَلُّ؟، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ مِنْ أَجْلِ سَجْعِهِ الَّذِي سَجَعَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Ada dua orang wanita yang saling bunuh dari suku Hudzail. Salah seorang diantara keduanya melempari batu kepada yang lain sehingga membunuhnya dan janin yang ada di perutnya. Maka mereka memperkarakannya ke hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memutuskan diyat bagi janinnya denda berupa budak laki-laki atau budak perempuan. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun memutuskan diyat yang wanita terbunuh itu dibebankan kepada keluarga wanita pembunuh dan mewariskannya kepada anaknya dan keluarga yang bersama mereka. Hamal bin An-Naabighah Al-Hudzaliy berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa aku menanggung denda orang yang tidak bisa minum, tidak bisa makan, tidak bisa berbicara, dan tidak bisa menangis ?. Maka yang semisal itu dibatalkan saja”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang ini hanyalah saudaranya para dukun” – dengan sebab sajaknya yang ia katakan [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6910 dan Muslim no. 1681].
Banyak sekali contoh yang lain dari salaf yang mereka membenci  dan bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak/meremehkan As-Sunnah.
عَنْ عِمْرَان بْن حُصَيْنٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ "فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ: مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ سَكِينَةً، فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ
Dari ‘Imraan bin Hushain, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Malu tidak datang kecuali dengan kebaikan”. Maka Busyair bin Ka’b berkata : “Terulis di dalam buku hikmah bahwa mau itu ada yang merupakan kelemahan, atau pula merupakan ketenangan”. ‘Imraan berkata kepadanya : “Aku menceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan engkau menceritakan kepadamu dari lembaran-lembaranmu ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6117 dan Muslim no. 37].
Ibnu Hajar menukil pendapat ulama bahwa kemarahan ‘Imraan bin Hushain karena perkataan Busyair diucapkan untuk menentang/menyelisihi perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [lihat : Fathul-Baariy, 10/552].
عَنْ أَبِي الْمُخَارِقِ، قَالَ: ذَكَرَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نَهَى عَنْ دِرْهَمَيْنِ بِدِرْهَمٍ "، فَقَالَ فُلَانٌ: مَا أَرَى بِهَذَا بَأْسًا، يَدًا بِيَدٍ، فَقَالَ عُبَادَةُ: أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: لَا أَرَى بِهِ بَأْسًا، وَاللَّهِ لَا يُظِلُّنِي وَإِيَّاكَ سَقْفٌ أَبَدًا
Dari Abul-Mukhaariq, ia berkata : ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu ‘anhupernah menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang dua dirham ditukar dengan satu dirham”. Lalu Fulaan berkata : “Aku berpendapat itu tidak mengapa, asalkan cash tangan dengan tangan”. Maka ‘Ubaadah berkata : “Aku berkata ‘telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’ dan engkau malah berkata : ‘aku berpandapat itu tidak mengapa’. Demi Allah, aku dan engkau tidak akan pernah berada satu atap selama-lamanya (karenanya)” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 443; shahih].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يَخْذِفُ، فَقَالَ لَهُ: لَا تَخْذِفْ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْخَذْفِ، أَوْ كَانَ يَكْرَهُ الْخَذْفَ، وَقَالَ: إِنَّهُ لَا يُصَادُ بِهِ صَيْدٌ، وَلَا يُنْكَى بِهِ عَدُوٌّ، وَلَكِنَّهَا قَدْ تَكْسِرُ السِّنَّ وَتَفْقَأُ الْعَيْنَن "، ثُمَّ رَآهُ بَعْدَ ذَلِكَ يَخْذِفُ، فَقَالَ لَهُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْخَذْفِ أَوْ كَرِهَ الْخَذْفَ، وَأَنْتَ تَخْذِفُ، لَا أُكَلِّمُكَ كَذَا وَكَذَا
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal, bahwasannya ia pernah melihat seseorang yang bermain melempar-lempar kerikil (khadzaf). Ia berkata : “Janganlah melempar-lempar kerikil. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang melempar-lempar kerikil – atau beliau membenci melempar-lempar kerikil. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya melempar kerikil itu tidak dapat membunuh binatang buruan dan tidak dapat melumpuhkan musuh. Akan tetapi hanya mematahkan tulang dan menciderai mata’. Kemudian setelah itu, ia (Abdullah bin Mughaffal) kembali melihat orang itu bermain melempar-lempar kerikil. Lalu ia berkata kepadanya : “Bukankah aku telah menyampaikan kepadamu hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang melempar-lempar kerikil – atau beliau membenci melempar-lempar kerikil, sedangkan engkau masih melakukannya? Sungguh aku tidak akan mengajakmu bicara demikian dan demikian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5479 dan Muslim no. 1954].
عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَ ابْنُ سِيرِينَ رَجُلًا بِحَدِيثٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَجُلٌ: قَالَ فُلَانٌ: كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ: "أُحَدِّثُكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: قَالَ فُلَانٌ وَفُلَانٌ: كَذَا وَكذَا، لَا أُكَلِّمُكَ أَبَدًا "
Dari Qataadah, ia berkata : Ibnu Siiriin pernah menceritakan kepada seseorang satu hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Orang tersebut berkata : “Telah berkata Fulaan begini dan begitu”. Maka Ibnu Siiriin berkata : “Aku menceritakan kepadamu satu hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamdan engkau berkata : ‘telah berkata Fulaan begini dan begitu?. Aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 443; shahih].
أخبرنا أبو بكر محمد بن عبد الله بن محمد بن زكريا الشيباني، أخبرنا أبو العباس محمد بن عبد الرحمن الدغولي، سمعت محمد بن حاتم المظفري يقول: كان أبو معاوية الضرير يحدث هارون الرشيد فحدثه بحديث أبي هريرة "احتج آدم وموسى"، فقال عيسى بن جعفر: كيف هذا وبين آدم وموسى ما بينهما؟ قال فوثب به هارون وقال: يحدثك عن الرسول صلى الله عليه وسلم وتعارضه بكيف؟ قال: فما زال يقول حتى سكت عنه
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad  bin Zakariyyaa Asy-Syaibaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Ad-Daghuuliy : Aku mendengar Muhammad bin Haatim Al-Mudhaffariy berkata : “Dulu Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir pernah menceritakan kepada Haaruun Ar-Rasyiid. Maka ia menceritakan hadits Abu Hurairah : ‘Aadam berdebat dengan Muusaa’. Lalu ‘Iisaa bin Ja’far berkata : “Bagaimana itu terjadi sedangkan antara Aadam dan Muusaa terpaut masa yang cukup jauh”. Mendengar itu, Haarun meloncat berdiri seraya berkata : “Diceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan engkau membantahkan dengan perkataan ‘bagaimana’ ?”. Perawi berkata : “Haaruun senantiasa mengulangnya gingga ia terdiam darinya” [Diriwayatkan oleh ‘Ash-Shaabuhiy dalam ‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 126-127 no. 184; shahih].
Setelah menyebutkan kisah Haaruun Ar-Rasyiid di atas Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuniy rahimahullah berkata:
هكذا ينبغي للمرء أن يعظم أخبار رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويقابلها بالقبول والتسليم والتصديق. وينكر أشد الإنكار على من يسلك فيها غير هذا الطريق الذي سلكه هارون الرشيد رحمه الله مع من اعترض على الخبر الصحيح، الذي سمعه بكيف؟ على طريق الإنكار له، والابتعاد عنه، ولم يتلقه بالقبول كما يجب أن يتلقى جميع ما يرد من الرسول صلى الله عليه وسلم.
“Begitulah yang seharusnya dilakukan oleh seseorang untuk mengagungkan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menerimanya dengan penuh penerimaan, kepasrahan, dan pembenaran. Dan hendaknya ia mengingkari dengan sebesar-besar pengingkaran terhadap orang yang tidak menempuh jalan ini yang ditempuh oleh Haaruun Ar-Rasyiid rahimahullah terhadap orang yang menentang hadits shahih yang ia dengar dengan perkataan ‘bagaimana (kaifa) ?’ dalam rangka pengingkaran dan menjauhkan diri darinya; bukan menerimanya sebagaimana keharusan bagi dirinya untuk menerima semua yang dikhabarkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [idem, hal. 127].
As-Sunnah tidak boleh dipahami dengan akal semata dan hawa nafsu.
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berkata:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ، لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ "
“Seandainya agama ini diukur dengan akal pikiran semata, niscaya bagian bawa khuff(sepatu) lebih berhak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas kedua khuff-nya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 162; shahih].
Bagian bawah khuff yang menginjak tanah pada umumnya lebih kotor daripada bagian atasnya, sehingga secara akal yang perlu dibersihkan adalah bagian bawahnya. Namun ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khuff ketika bersuci, maka ia buang jauh-jauh logika akal tersebut dan hanya mengikuti apa yang ia lihat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Lebih jelas lagi adalah riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berikut:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْ لَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
Dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia pernah mendatangi hajar aswad lalu menciumnya dan berkata : “Sesungguhnya aku tahu bahwasannya engkau hanyalah sebuah batu yang tidak memberikan kemudlaratan dan tidak pula manfaat. Seandainya aku tidak melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tidak sudi menciummu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1597].
Akal sebenarnya mengatakan bahwa batu yang notabene tidak dapat memberikan manfaat maupun mudlarat tidak layak untuk dicium atau diusap-usap. Akan tetapi dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dalam rangkaian ibadah manasik haji (thawaf) untuk mencium hajar aswad, maka ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pun menciumnya semata-mata karena ber-ittibaa’ kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ سَهْل بْن حُنَيْفٍ، قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّهِمُوا رَأْيَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ لَقَدْ رَأَيْتُنِي يَوْمَ أَبِي جَنْدَلٍ وَلَوْ أَسْتَطِيعُ أَنْ أَرُدَّ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ لَرَدَدْتُهُ
Dari Sahl bin Hunaif, ia berkata : “Wahai sekalian manusia, curigailah pendapat kalian terhadap agama kalian. Sungguh aku telah menyaksikan diriku pada peristiwa Abu Jandal, seandainya aku sanggup untuk menolak perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, niscaya aku akan menolaknya....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3181 & 7308].
Maksud perkataan ‘curigailah pendapat kalian terhadap agama kalian’ adalah : Janganlah kalian beramal dalam perkara agama berdasarkan akal pikiran saja tanpa bersandar pada pokok dari agama [Fathul-Baariy, 13/288-289].
Oleh karena itu, orang rasionalis yang menyandarkan agamanya dengan akal pikirannya semata, tidak akan pernah bersatu dengan Ahlus-Sunnah. Bahkan mereka adalah musuh yang keras terhadap sunnah dan orang-orang yang berpegang kepadanya.
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berkata:
أَصْبَحَ أَهْلُ الرَّأْيِ أَعْدَاءَ السُّنَنِ، أَعْيَتْهُمُ الأَحَادِيثُ أَنْ يَعُوهَا، وَتَفَلَّتَتْ مِنْهُمْ أَنْ يَرْوُوهَا فَاسْتَبَقُوهَا بِالرَّأْيِ
Ahlur-ra’yi (= orang-orang yang mengedepankan akal/rasionalis) telah menjadi musuh-musuh sunnah. Hadits-hadits telah menyebabkan mereka tidak mampu untuk menghapalkannya/memahaminya, sehingga mereka pun tidak dapat meriwayatkannya. Lalu mereka bergegas untuk mengambil pendapat dengan akal pikiran mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Al-Jaami’ no. 2001 & 2003 & 2004, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 213, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 201, dan yang lainnya; shahih].
Seperti yang terjadi di negeri kita ini dimana orang-orang Rasionalis sering mengejek orang-orang yang berpegang terhadap sunnah sebagai orang yang beragama dengan agamanya orang Arab.
Tidak boleh menentang sunnah dengan akal, karena sunnah adalah wahyu yang terjaga dari kekeliruan, sedangkan akal diciptakan dengan penuh keterbatasan. Bukankah manusia ketika dilahirkan memiliki kadar akal minimal, kemudian akalnya berkembang dan mencapai batas maksimal ketika dewasa, dan kemudian akhirnya melemah hingga dapat kembali pada keadaan awal seperti ketika ia lahir dari perut ibunya?. Akal pun berbeda-beda kadarnya antara satu orang dengan orang yang lain. Apa yang ditetapkan sunnah sebagai kebenaran dan kebaikan, maka ia pasti benar dan baik. Berbeda halnya dengan akal. Permasalahan keterbatasan akal di sini lebih mudah digambarkan pada 5 orang buta yang disuruh mendeskripsikan seekor gajah yang ada di hadapan mereka. Tentu masing-masing akan berbeda-beda dalam pendeskripsiannya, karena masing-masing mendeskripsikan sebatas bagian tubuh gajah yang dapat dipegang dan kemampuan otaknya untuk membayangkan apa sebenarnya yang mereka pegang. Seperti itulah gambaran akal manusia yang seringkali tidak berhasil dalam melihat hakekat sesuatu secara keseluruhan. Hanya Allah ta’ala yang Maha Mengetahui hakekat apa yang Ia ciptakan secara keseluruhan, mana yang benar mana yang salah, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat, dan seterusnya.
Berbicara masalah agama yang hanya mengandalkan akal semata, dapat menyebabkan seseorang berbicara tentang Allah ta’ala tanpa ilmu sehingga ia terjatuh dalam dosa besar yang paling besar. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" [QS. Al-A’raaf : 33].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
فرتب المحرمات أربع مراتب وبدأ بأسهلها وهو الفواحش ثم ثنى بما هو أشد تحريما منه وهو الإثم والظلم ثم ثلث بما هو أعظم تحريما منهما وهو الشرك به سبحانه ثم ربع بما هو أشد تحريما من ذلك كله وهو القول عليه بلا علم
“Allah ta’ala telah mengklasifikasikan perkara-perkara haram menjadi empat tingkatan. Allah memulainya dengan yang paling ringan, yaitu perbuatan-perbuatan keji (fawaahisy), kemudian Allah ta’ala menyebutkan yang lebih berat darinya, yaitu perbuatan dosa dan aniaya (kedhaliman). Kemudian Allah ta’ala menyebutkan yang ketiga yang lebih haram darinya, yaitu berbuat syirik kepada Allah subhaanahu wa ta’ala. Kemudian menyebutkan yang keempat yang lebih haram dari semuanya, yaitu berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu” [I’laamul-Muwaqqi’iin, 1/38].
Contoh kongkritnya adalah atheis. Keyakinan atheis (peniadaan tuhan) lebih berat daripada kesyirikan, karena atheis ini adalah peniadaan secara total sedangkan kesyirikan adalah peniadaan sebagian (peniadaan pengesaan Allah dalam ‘ubuudiyyah). Dan tidaklah paham atheis ini muncul kecuali karena adanya pengagungan terhadap akal. Mereka hanya percaya pada sesuatu yang dapat diindera. Dikarenakan Allah ta’ala tidak dapat diindera, maka mereka menyimpulkan Allah itu tidak ada. Subhaanallaah.
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى
Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah” [QS. Thaha : 6].
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” [QS. Aali ‘Imraan : 190-191].
Kewajiban yang ada hanyalah ittibaa’.
Allah ta’ala berfirman:
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik” [QS. Al-An’aam : 106].
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” [QS. Al-An’aam : 153].
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Aali ‘Imraan : 31].
Dan meninggalkan hawa nafsu.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” [QS. Al-Baqarah : 120].
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya” [QS. Al-Mukminuun : 71].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika mengomentari perkataan Al-Imaam Ahmad ‘tidak ada qiyaas dalam sunnah, tidak boleh dibuat permisal-permisalan, dan tidak boleh dipahami dengan akal semata’ berkata:
هذا قوله وقول سائر أئمة المسلمين فإنهم متفقون على أن ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم لا تدركه كل الناس بعقولهم ولو أدركوه بعقولهم لاستغنوا عن الرسول
“Ini adalam perkataan beliau dan juga perkataan seluruh imam kaum muslimin, karena mereka bersepakat bahwa segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh dipahami oleh seluruh manusia dengan akal mereka semata. Seandainya mereka dapat memahami dengan akal-akal mereka, niscaya mereka tidak butuh kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam...” [Dar’ut-Ta’aarudl Al-‘Aql wan-Naql, 5/297].
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah……
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 23-05-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq oleh Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 40-42; syarh oleh Rabii’ Al-Madkhaliy, hal. 10-12; syarh oleh Zainul-‘Aabidiin bin Al-Husain, hal. 35-40; syarh oleh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy, hal. 54-56; syarh oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Ar-Raajihiy, hal. 26-27; syarh oleh Khaalid bin Mahmuud Al-Juhaniy hal. 34-37; dan syarh oleh Ibnul-Jibriin, hal. 46-52; dan yang lainnya].


Silakan baca pembahasan sebelumnya:
Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal(10) – Para Pengingkar As-Sunnah

Wahabi adalah Golongan Musyabbihah dan Mujassimah

$
0
0
Tanya : Saya sering membaca beberapa tulisan berikut perkataan beberapa orang yang mengatakan Wahabi itu adalah golongan musyabihah dan mujasimah. Sesat. Itu dikarenakan mereka menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Sebagai orang Wahabi, menurut Anda apakah semua hal itu benar?
Jawab : Perkataan-perkataan semacam itu memang banyak dituliskan dan diucapkan oleh orang yang anti terhadap dakwah tauhid yang dibawa oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallahsehingga mereka menyebutnya ‘Wahabi’. Bahkan era sebelum itu, yaitu untuk Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim rahimahumallah, mereka juga dituduh sebagai Wahabi. Ini kan namanya tuduhan yang membabi buta.
‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam sifat-sifat Allah ta’ala adalah beriman kepada sifat-sifat-Nya sebagaimana yang terdapat dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallamtanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tasybih/tamtsil, serta mengimani bahwa Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun. Tanpa tahriif artinya tanpa menyelewengkannya dari makna yang benar. Tanpa ta'thiil artinya tanpa meniadakan/mengingkarinya (sifat-sifat Allah), baik sebagian atau seluruhnya. Tanpa takyiif artinya tanpa menanyakan bagaimana hakekat sebenarnya dari sifat Allah. Tanpa tamtsiil/tasybiihartinya tanpa menyamakan sifat-sifat Allah ta'ala dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab rahimahumallah berkata:
الذي نعتقد وندين الله به، هو مذهب سلف الأمة وأئمتها من الصحابة والتابعين،والتابعين لهم بإحسان من الأئمة الأربعة وأصحابهم رضي الله عنهم.
وهو الإيمان بآيات الصفات وأحاديثها، والإقرار بها وإمرارها كما جاءت من غير تشبيه ولا تمثيل، ولا تعطيل، قال تعالى (وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا) (النساء: 115).
"Sesuatu yang kami yakini dan kami beragama kepada Allah dengannya adalah madzhab salaful-ummah dan para imamnya dari kalangan shahabat, taabi'iin, dan yang mengikuti mereka dengan baik dari imam yang empat dan para pengikutinya radliyallaahu 'anhum.
Yaitu, beriman kepada ayat-ayat dan hadits-hadits sifat, mengakuinya, membiarkannya sebagaimana datangnya, tanpa tasybiih, tamtsiil, dan ta'thiil. Allah ta'ala berfirman : 'Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali' (QS. An-Nisaa' : 115)" [Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaabm 'Aqiidatuhu As-Salafiyyah wa Da'watuhu Al-Ishlaahiyyah oleh Ahmad bin Hajar Aalu Buuthaamiy, hal. 51].
Inilah 'aqidah yang Anda sebut 'aqiidah 'Wahabi'. Lantas, dimanakah gambaran tasybiih dari beliau rahimahullah ". Bagaimana bisa dikatakan musaybbih sedangkan beliau sendiri mengingkari tasybiih ?. Seandainya ada orang yang menuduh beliau rahimahullahpenganut paham musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) hanya dikarenakan menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang ada dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagaimana dhahirnya, maka Allah ta'ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Dalam ayat di atas Allah ta'ala telah menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun Allah pun berfirman bahwa Ia berbeda dengan makhluk-Nya. Artinya, Allah ta'ala mempunyai sifat mendengar dan melihat, namun kedua sifat tersebut berbeda dengan makhluk-Nya; karena sifat-sifat Allah mengandung kesempurnaan tanpa ada aib, cacat, atau kekurangan. Begitu juga dengan sifat-sifat Allah ta'ala  yang lain seperti pengasih, penyayang, mencintai, marah, gembira, mempunyai tangan, mempunyai mata, dan yang lainnya yang disebutkan dalam nash-nash.
Allah ta’ala berfirman:
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
"Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?" [QS. Shaad : 75].
Ayat tersebut sebagai dalil bahwa Allah ta'ala mempunyai tangan dalam makna yang sebenarnya, sedangkan tangan-Nya berbeda dengan tangan makhluk. Tangan dalam ayat tersebut bukan diartikan dengan kekuasaan atau kekuatan. Hal ini sebagaimana yang dipahami kaum salaf, diantaranya 'Abdullah bin 'Umar radliyallaahu 'anhumaa:
خَلَقَ اللَّهُ أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ بِيَدِهِ: الْعَرْشُ، وَالْقَلَمُ، وَعَدْنٌ، وَآدَمُ، ثُمَّ قَالَ لِسَائِرِ الْخَلْقِ: كُنْ فَكَانَ
“Allah menciptakan empat hal dengan tangan-Nya : Al-‘Arsy, Al-Qalam (pena), (surga) Al-‘Adn, dan Aadam. Kemudian Allah berfirman kepada seluruh makhluk : ‘Jadilah’, maka jadilah ia” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy dalam Naqdud-Daarimiy ‘alaa Bisyr Al-Maarisiy no. 44 & 112, Al-Haakim 2/319, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 2/126 no. 693, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 2/130 no. 801, Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah2/578-579 no. 213& 5/1555-1556 no. 1018, dan l-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 729]; shahih.
Hanya saja mungkin sebagian orang salah paham bahwa dengan adanya penetapan sifat-sifat seperti itu dianggap sebagai tasybiih dan orangnya dicap musyabbihah. Jelas, ini kekeliruan fatal dan menunjukkan kebodohan mereka akan makna tasybiih tersebut.
Hanbal bin Ishaaq rahimahumallah berkata:
قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: وَالْمُشَبِّهَةُ مَا يَقُولُونَ؟ قَالَ: بَصَرٌ كَبَصَرِي، وَيَدٌ كَيَدِي، وَقَدَمٌ كَقَدَمِي، فَقَدْ شَبَّهَ اللَّهَ بِخَلْقِهِ وَهَذَا كَلامُ سُوءٍ، وَالْكَلامُ فِي هَذَا لا أُحِبُّهُ، وَأَسْمَاؤُهُ وَصِفَاتُهُ غَيْرُ مَخْلُوقَةٍ، نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الزَّلَلِ، وَالارْتِيَابِ، وَالشَّكِّ، إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah : “Tentang Musyabbihah, apa yang sebenarnya mereka katakan ?”. Ia menjawab : “Penglihatan (Allah) seperti penglihatanku, tangan (Allah) seperti tanganku, telapak kaki seperti telapak kakiku. Mereka telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perkataan ini adalah perkataan yang jelek, dan pembicaraan tentang hal ini tidak aku sukai. Nama-nama dan sifat-sifat-Nya bukanlah makhluk. Kami berlindung kepada Allah dari ketergelinciran dankeraguan. Sesunggahnya Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Fushshilat : 39)”  [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanatul-Kubraa, 3/327].
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata:
والمشبهة يقولون: لله بصر كبصري ويد كيدي،
“Dan orang Musyabbihah berkata : Allah memiliki penglihatan seperti penglihatanku dan (memilik) tangan seperti tanganku…” [Talbiis Ibliis, hal. 31].
Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy rahimahullah:
مَنْ شَبَّهَ اللَّهَ بِشَيْءٍ مِنْ خَلْقِهِ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ أَنْكَرَ مَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ فَقَدْ كَفَرَ، فَلَيْسَ مَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ وَرَسُولُهُ تَشْبِيهٌ
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan sesuatu dari makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu penyerupaan (tasybiih)” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 936. Lihat Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216].
Ishaaq bin Rahawaih rahimahumallah berkata:
إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ، فَإِذَا قَالَ: سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ، وَأَمَّا إِذَا قَالَ: كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: "يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ "وَلَا يَقُولُ كَيْفَ، وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ، فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا، وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)”. Jika ia berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan ’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11)” [Sunan At-Tirmidziy, 2/43].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
ومُحالٌ أن يكون مَن قال عن اللهِ ما هو في كتابه منصوصٌ مُشبهًا إذا لم يُكيّف شيئا، وأقرّ أنه ليس كمثله شيء
"Dan tidaklah mungkin terjadi pada orang yang berbicara tentang Allah sesuatu yang ternashkan dalam kitab-Nya disebut sebagai musyabbih, ketika ia tidak men-takyif-nya sedikitpun dan mengatakan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” [Al-Istidzkaar, 8/150].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
ليس يلزم من إثبات صفاته شيء من إثبات التشبيه والتجسيم، فإن التشبيه إنما يقال: يدٌ كيدنا ... وأما إذا قيل: يد لا تشبه الأيدي، كما أنّ ذاته لا تشبه الذوات، وسمعه لا يشبه الأسماع، وبصره لا يشبه الأبصار ولا فرق بين الجمع، فإن ذلك تنزيه
"Tidaklah penetapan sifat-sifat-Nya mengkonsekuensikan adanya penetapan tasybiih dan tajsiim, karena tasybiih itu hanyalah jika dikatakan : ‘tangan seperti tanganku’...... Adapun jika dikatakan : ‘tangan namun tidak menyerupai tanganku’, sebagaimana Dzaat-Nya tidak menyerupai dzat-dzat makhluk, pendengaran-Nya tidak menyerupai pendengaran-pendengaran makhluk, dan penglihatan tidak menyerupai penglihatan-penglihatan makhluk, maka itulah yang disebut tanziih” [Al-Arba’iin min Shifaati Rabbil-‘Aalamiin, hal. 104].
Apa yang dapat kita simpulkan dari perkataan para imam di atas ?. Tasybiih itu hanya terjadi bagi orang yang berstatement bahwa sifat Allah sama seperti sifat makhluk.
Tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada Ahlus-Sunnah yang menetapkan sifat Allah ta'ala sebagaimana yang disebutkan dalam dhahir nash sebagai musyabbihah atau mujassimah sudah ada semenjak dahulu. Semua itu dilontarkan oleh orang-orang Jahmiyyah dan ahlul-bida'yang sudah dikenal sesatnya.
Ishaaq bin Rahawaih rahimahumallah berkata:
عَلامَةُ جَهْمٍ وَأَصْحَابِهِ دَعْوَاهُمْ عَلَى أَهْلِ الْجَمَاعَةِ، وَمَا أُولِعُوا بِهِ مِنَ الْكَذِبِ، إِنَّهُمْ مُشَبِّهَةٌ، بَلْ هُمُ الْمُعَطِّلَةُ
“Tanda-tanda Jahm dan pengikut-pengikutnya (orang-orang Jahmiyyah) adalah tuduhan mereka terhadap Ahlul-Jamaa’ah, dan betapa senang mereka untuk berdusta, bahwa mereka (Ahlus-Sunnah) adalah Musyabbihah, namun mereka (Jahmiyyah)-lah yang justru Mu’aththilah (orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Allah)….” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 937].
Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:
فصل فِي الرد عَلَى الجهمية الَّذِي أنكروا صفات اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وسموا أهل السنة مشبهة
“Pasal tentang Bantahan terhadap Jahmiyyah yang mengingkari sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla dan menamai Ahlus-Sunnah sebagai Musyabbihah[Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah].
وإذا رأيت الرجل يسمي أهل الحديث حشوية، أو مشبهة، أو ناصبة فأعلم أنه مبتدع
“Apabila engkau melihat seseorang yang menamakan Ahlul-Hadiits sebagai Hasyawiyyah, Musyabbihah, atau Naashibab, maka ketahuilah ia seorang mubtadi’[idem].
فهؤلاء أهل السنة والمتمسكون بالصواب والحق وليس هم بالمشبهة من شبهوا هؤلاء إِنما آمنوا بما جاء به الحديث، هؤلاء مؤمنون مصدقون بما جاء به النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ والكتاب والسنة .
“Mereka, yaitu Ahlus-Sunnah yang berpegang teguh kepada kebenaran dan al-haq, bukanlah Musyabbihahyang melakukan tasybiih. Mereka hanyalah beriman kepada kandungan hadits. Mereka beriman dan membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Al-Kitaab, dan As-Sunnah” [idem].
Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah berkata:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ: الْمشبهة فَاحْذَرُوهُ، فَإِنَّهُ يَرَى رَأْيَ جَهْمٍ
“Apabila seseorang berkata (kepada Ahlus-Sunnah) : ‘Musyabbihah', maka waspadalah, karena ia menganut pendapat Jahm (Jahmiyyah)[Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits no. 12 dan Ibnu ‘Asaakir dalam Jam’ul-Juyuusy no. 85].
Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah berkata:
وَعَلامَةُ أَهْلِ الْبِدَعِ الْوَقِيعَةُ فِي أَهْلِ الأَثَرِ، وَعَلامَةُ الزَّنَادِقَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ حَشْوِيَّةً يُرِيدُونَ إِبْطَالَ الآثَارِ. وَعَلامَةُ الْجَهْمِيَّةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ مُشَبِّهَةً......
“Tanda Ahlul-Bida’ adalah mencela Ahlul-Atsar. Tanda orang-orang Zanaadiqah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah sebagai Hasyawiyyah karena mereka ingin membatalkan atsar-atsar. Tanda orang-orang Jahmiyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Musyabbihah.....” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 321].
Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah berkata:
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة.....
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ahadalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah.....” [‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 102].
Sudah menjadi ketentuan kauniy dari Allah ta'ala bahwa para penganut pemikiran Jahmiyyah ini masih ada dan banyak hingga sekarang, yang menghalangi dakwah sunnah dan ketauhidan. Siapakah mereka ? Bukan terlalu sulit bagi Anda untuk menjawabnya.
Wallaahul-musta'aan.

[abul-jauzaa'– senayan, Jakarta – 27052015 – 13:18].

Khabar Ahad adalah Hujjah dalam ‘Aqiidah dan Hukum

$
0
0
Sebagian orang-orang yang menyimpang dari jalan yang ditempuh salaful-ummahmengambil dalih sebagian pendapat ushuuliyyuun bahwa khabar ahad hanya memberikan faedah dhann, bukan ilmu (keyakinan); untuk menolak penggunaan khabar ahad tersebut untuk masalah aqidah, karena ‘aqiidah – menurut mereka – tidak boleh menggunakan dhann. Dalil dhann hanya wajib diamalkan dalam masalah hukum saja.
Ini adalah kesalahan dan sekaligus kesesatan. Telah lewat pembahasan di dalam Blog ini artikel berjudul Hadits Ahad dan Hadits Mutawatir. Artikel tersebut setidaknya memberikan gambaran pengertian hadits ahad dan hadits mutawatir, kedudukannya dalam syari’at Islam, serta bantahan ringkas kepada mereka yang menolak penggunaan hadits ahad dalam masalah ‘aqiidah. Berikut akan sedikit disambung dengan penyebutan beberapa dalil yang menunjukkan hadits ahad merupakan hujjah dalam masalah ‘aqiidah dan hukum, serta memberikan faedah ilmu (yakin).
1.     Firman Allah ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
Sisi pendalilan : Kata ‘amrihi (أَمْرِهِ– perintah Rasul)’ adalah umum, mencakup perkara ‘aqidah maupun hukum, baik yang diterima melalui jalan mutawatir maupun ahad.
2.     Firman Allah ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti" [QS. Al-Hujuraat : 6].
Dalam qira'at yang lain disebutkan dengan lafadh فَتَثَبَّتُوا . Ayat ini mempunyai mafhum bahwa khabar yang dibawa oleh orang yang terpercaya (tsiqah)wajib untuk diterima, baik dalam masalah 'aqiidah maupun hukum.
3.     Firman Allah ta’ala:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui” [QS. An-Nisaa’ : 113].
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [QS. Al-Jum’ah : 2].
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، "وَالْحِكْمَةَ، أَيِ: السُّنَّةَ ".
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah : ‘dan Al-Hikmah’, ia berkata : “Maksudnya As-Sunnah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 3/87; sanadnya hasan].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
فَذَكَرَ اللَّهُ الْكِتَابَ وَهُوَ الْقُرْآنُ وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ يَقُولُ: الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Allah menyebutkan Al-Kitaab, maksudnya Al-Qur’an; dan Allah juga menyebutkan Al-Hikmah. Aku mendengar ulama yang diridlai lagi ahli dalam Al-Qur’an mengatakan : ‘Al-Hikmah adalah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ma’rifah, no. 3; sanadnya shahih].
Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkata:
قَالَتْ هَذِهِ الطَّائِفَةُ بَيَّنَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعَلِّمَ النَّاسَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ، فَالْحِكْمَةُ غَيْرُ الْكِتَابِ، وَهِيَ مَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ فِي الْكِتَابِ، وَكُلٌّ فَرْضٌ لا افْتِرَاقَ بَيْنَهُمَا ؛ لأَنَّ مَجِيئَهُمَا وَاحِدٌ
“Kelompok ini mengatakan : Allah tabaaraka wa ta’ala telah menjelaskan bahwasannya Ia memerintahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al-Kitaab dan Al-Hikmah kepada manusia. Al-Hikmah bukanlah Al-Kitab. Ia adalah segala sesuatu yang telah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sunnahkan yang tidak disebutkan dalam Al-Kitab. Semuanya wajib (diikuti), tidak ada perbedaan antara keduanya, karena tempat kembalinya adalah satu” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah hal. 209-210].
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ،
Dari Al-Miqadaad bin Ma’diy Karib, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau pernah bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Kitaab dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya...” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4604, Ibnu Hibbaan no. 12, Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 257, dan yang lainnya; shahih].
Sisi pendalilan : Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan dua sumber hukum yang berasal dari Allah ta’ala. Seandainya Al-Qur’an merupakan hujjah dalam permasalahan hukum dan ‘aqiidah, begitu juga dengan As-Sunnah, karena As-Sunnah semisal dengan Al-Qur’an.
4.     Firman Allah ta’ala:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan) tentangnya” [QS. Al-Israa’ : 36].
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui"[QS. Al-A’raaf : 33].
قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا تَخْرُصُونَ
Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta” [QS. Al-An’aam : 148].
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dhann (persangkaan) belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” [QS. Al-An’aam : 116].
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dhann (persangkaan), dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” [QS. An-Najm : 23].
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dhann (persangkaan) sedang sesungguhnya dhann itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” [QS. An-Najm : 28].
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran” [QS. Yuunus : 36].
Ayat-ayat di atas berisi celaan orang yang mengikuti dhann dan melakukan sesuatu tanpa ilmu. Celaan Allah ta’ala ini tidak membedakan antara perkara ‘aqidah (keyakinan) dan hukum. Seandainya orang-orang itu mengatakan hadits ahad hanya menghasilkan dhann  (bukan ilmu/keyakinan) dan hanya wajib diamalkan dalam masalah hukum, itu mengkonsekuensikan perkataan bahwa Allah ta’ala memerintahkan sesuatu yang Ia larang, dan ini mustahil.
Oleh karena itu, baik masalah ‘aqidah dan hukum, keduanya harus ditetapkan berdasarkan ilmu, bukan sekedar dhann; dan itu tercukupi dengan As-Sunnah baik yang diperoleh dari jalan ahad maupun mutawatir.
5.     Firman Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43].
Sisi pendalilan : Melalui ayat ini Allah ta’ala memerintahkan kita untuk bertanya kepada ulama terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui dalam permasalahan agama, baik hukum maupun ‘aqidah. Allah ta’ala tidak mempersyaratkan agar kita bertanya kepada banyak ahli ilmu sehingga memenuhi persyaratan mutawatir sehingga jawaban atas pertanyaan kita diterima dan diamalkan. Cukup bagi kita bertanya kepada seorang ahli ilmu yang kita percayai atas keilmuannya, maka jawabannya (yang disertai dalil) dapat kita terima dan amalkan. Dan pada kenyataannya, memang seperti itulah yang diamalkan oleh kaum muslimin sepanjang masa.
Mereka yang mempersyaratkan ‘aqidah hanya dapat diterima melalui riwayat yang mutawatir saja, pada prakteknya mayoritas mereka hanyalah bertaqlid kepada penghukuman satu atau dua orang ahli ilmu (atau bahkan hanya level pengajar biasa atau buku bacaan) apakah hadits itu ahad atau mutawatir, karena mereka tidak menguasai ilmu riwayat dan takhrij hadits. Meskipun dikatakan sebuah hadits mutawatir, maka sampainya khabar tersebut kepada pendengar atau si peminta fatwa adalah ahad. Mensyaratkan kemutawatiran khabar adalah kesulitan tersendiri bagi mereka dan pengikut mereka untuk mempraktekkannya.
6.     Firman Allah ta’ala:
فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌلِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” [QS. At-Taubah : 122].
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa dikatakan ‘thaaifah’ itu jika jumlahnya minimal 3 orang, karena itu adalah jumlah minimal bilangan jamak. Namun yang benar, ‘thaaifah’ juga dimutlakkan untuk 1 orang berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَإِنْ طَائِفَتَانِمِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya” [QS. Al-Hujuraat : 9].
Yang berpendapat jumlah minimal dari ‘thaaifah’ adalah 1 orang adalah Mujaahid[1], Qataadah[2], Abu Maalik[3], Al-Bukhaariy[4], Ibnul-Mandhuur[5], Ibnul-Atsiir[6], Ibnu Hajar[7], dan yang lainnya.
Sisi pendalilan : Seandainya khabar ahad tidak mengandung ilmu dan menjadi hujjah dalam masalah ‘aqidah/keimanan, maka tidak ada faedahnya Allah ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu dan kemudian kembali ke kaumnya untuk memberikan peringatan jika ujungnya peringatan mereka boleh ditolak hanya dengan alasan jumlah mereka tidak mencapai derajat mutawatir.
7.     Firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya” [QS. Al-Maaidah : 67].
Telah dimaklumi bahwasannya sampainya nash merupakan persyaratan tegaknya hujjah kepada orang yang disampaikan. Seandainya khabar ahad tidak menghasilkan ilmu, niscaya hujjah Allah ta’ala tidak dikatakan tegak dengan adanya tabliigh tersebut, dan ini jelas kebathilannya.
Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus individu-individu shahabat dan mengirimkan surat ke beberapa negeri untuk menyampaikan Islam, sehingga hujjah pun dikatakan tegak bagi orang yang telah sampai utusan tersebut kepadanya.
8.     Hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ مُعَاذًا، قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ .....
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Mu’aadz pernah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutusku seraya bersabda : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahloi Kitaab, maka ajaklah mereka kepada persaksian LA ILAHA ILLALLAH (tidak ada ilah yang berhak untuk disembah melainkan Allah). Apabila mereka mentaatimu terhadap hal tersebut, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali dalam sehari semalam.....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 19].
Sisi pendalilan : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan diri untuk mengutus Mu’’adz seorang diri untuk berdakwah masalah ‘aqidah dan hukum sekaligus kepada penduduk Yaman yang masih memeluk agama Ahli Kitaab. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan sekaligus menjadi hujjah bagi penduduk Yaman, niscaya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengutusnya seorang diri.
9.     Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ بِكِتَابِهِ رَجُلًا وَأَمَرَهُ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى عَظِيمِ الْبَحْرَيْنِ، فَدَفَعَهُ عَظِيمُ الْبَحْرَيْنِ إِلَى كِسْرَى، فَلَمَّا قَرَأَهُ مَزَّقَهُ، فَحَسِبْتُ أَنَّ ابْنَ الْمُسَيَّبِ، قَالَ: فَدَعَا عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُمَزَّقُوا كُلَّ مُمَزَّقٍ
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus seseorang dengan membawa surat  dan memerintahkannya agar memberikan surat itu kepada penguasa Bahrain. (Setelah diterima), penguasa Bahrain tersebut memberikannya kepada Kisraa. Ketika dibaca, surat itu dirobeknya. – (Perawi berkata: ) Aku mengira Ibnul-Musayyib berkata : - Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdoa agar kekuasaannya dihancurkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 64 & 4424 & 7264].
Sisi pendalilan : Seandainya khabar ahad tidak mengandung ilmu dan tidak menjadi hujjah dalam masalah ‘aqiidah – dan surat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu berisi tentang ‘aqiidah, yaitu ajakan kepada ketauhidan Allah ta’ala– niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendoakan kehancuran bagi Kisraa atas penghinaannya terhadap surat yang dikirimkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
10.   Hadits:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَوَصِيَّتُهُ إِلَى أُمَّتِهِ، فَلْيُبْلِغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ، لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
Ibnu 'Abbas radliyallaahu ‘anhumaa berkata : "Maka demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh itu suatu wasiat dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya”. (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda): "Maka hendaklah yang hadir menyampaikannya kepada yang tidak hadir, dan janganlah kalian kembali menjadi kafir sepeninggalku. Sebagian kalian membunuh sebagian yang lain"[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1739].
Wasiat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut diucapkan pada waktu haji wada’ yang dihadiri oleh para shahabat dari berbagai pelosok negeri. Wasiat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut dalam berbagai jalan riwayat berisi ‘aqidah dan hukum sekaligus. Oleh karena itu, perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada semua orang yang hadir menyaksikan dan mendengar wasiat beliau agar menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir menunjukkan apa khabar ahad yang dibawa masing-masing shahabat saat kembali ke negerinya mengandung ilmu.
11.   Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat…” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3461].
Perintah untuk menyampaikan semua hal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu itu umum, yaitu kepada seorang shahabat atau lebih, meliputi perkara ‘aqidah maupun hukum. Hal ini menunjukkan wajibnya untuk beramal bagi orang yang sampai kepadanya khabar tersebut, sehingga khabar itu memberikan faedah ilmu, bukan sekedar dhann.
12.   Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ
Dari 'Abdullah bin Mas'uud, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Semoga Allah mencerahkan wajah seorang yang mendengar sebuah hadits dariku lalu dia menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar…."[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. …..; dan ia berkata : 'Hadits hasan shahih'].
Sisi pendalilannya : Hadits ini seperti dua hadits sebelumnya. Hanya saja dalam hadits ini, dikuatkan lagi dengan adanya pujian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang menyampaikan hadits kepada orang lain sebagaimana yang ia dengar dari beliau. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu kepada orang yang sampai kepadanya hadits tersebut, niscaya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak akan memberikan pujian kepada orang yang menyampaikan hadits kepadanya.
13.   Hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ بَيْنَمَا النَّاسُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ بِقُبَاءٍ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبَلُوهَا وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ 
Dari Ibnu 'Umar, ia berkata :"Ketika orang-orang shalat Shubuh di Qubaa', tiba-tiba ada seseorang mendatangi mereka seraya berkata : 'Sesungguhnya telah diturunkan ayat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam, dan beliau telah diperintahkan untuk menghadap Ka'bah (ketika shalat). Maka menghadaplah ke Ka'bah'. Waktu itu mereka shalat menghadap ke Syaam, maka mereka memutar menghadap Ka'bah"[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4494 dan Muslim no. 526].
Sisi pendalilannya : Apabila khabar ahad tidak menjadi hujjah dalam masalah 'aqiidah, niscaya para shahabat yang ketika itu sedang shalat tidak akan langsung memutar menghadap Kiblat saat mendengar perkataan seorang shahabat yang mengkhabarkan telah turun ayat yang memerintahkan mereka untuk menghadap Ka'bah ketika shalat.
14.   Hadits:
عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ ، أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي ، فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا ، فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا ، قَالَ : " ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ "
Dari Maalik bin Al-Huwairits, ia berkata : Aku mendatangi Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal disisi beliau selama 20 malam/hari. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat lemah lembut. Ketika beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, maka beliau bersabda : 'Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka. Ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila hadir waktu shalat, maka hendaklah salah seorang diantara kalian mengumandangkan adzan dan orang yang paling tua lah yang mengimami shalat kalian" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 628].
Sisi pendalilan : Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Maalik bin Al-Huwairits dan rekan-rekannya untuk pulang mengajari keluarga mereka masing-masing tentang syari'at Islam. Dan telah diketahui bahwa syari'at Islam yang mereka pelajari dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam meliputi 'aqidah dan hukum. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan tidak dapat dipakai sebagai hujjah dalam masalah 'aqiidah, maka tidak ada faedahnya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mengajari keluarga mereka masing-masing.
15.   Hadits:
عن عمر رضي الله عنه قال : وَكَانَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ إِذَا غَابَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَهِدْتُهُ أَتَيْتُهُ بِمَا يَكُونُ وَإِذَا غِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَهِدَ أَتَانِي بِمَا يَكُونُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari 'Umar radliyallaahu 'anhu : "Dan dulu seorang shahabat dari kalangan Anshaar, apabila ia tidak hadir dari sisi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sementara aku hadir, maka aku menemuinya dan memberitahukannya sesuatu yang aku dapat dari beliau. Begitu juga sebaliknya, bila aku tidak hadir dari sisi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sedangkan dia hadir, maka ia akan menemuiku dan menyampaikan apa yang ia dapat dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5843]. 
Sisi pendalilan : Semua yang berasal dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam baik 'aqiidah dan hukum, menjadi hujjah bagi para shahabat yang tidak hadir di sisi beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berdasarkankan khabar yang disampaikan shahabat lain yang hadir menyaksikan.
16.   Hadits:
عَنْ فَاطِمَةَ بنت قَيْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّهَا سَمِعَتْ نِدَاءَ الْمُنَادِي مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَادِي الصَّلَاةَ جَامِعَةً، فَخَرَجْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ فِي صَفِّ النِّسَاءِ الَّتِي تَلِي ظُهُورَ الْقَوْمِ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَضْحَكُ، فَقَالَ: "لِيَلْزَمْ كُلُّ إِنْسَانٍ مُصَلَّاهُ "، ثُمَّ قَالَ: "أَتَدْرُونَ لِمَ جَمَعْتُكُمْ؟ "، قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: "إِنِّي وَاللَّهِ مَا جَمَعْتُكُمْ لِرَغْبَةٍ وَلَا لِرَهْبَةٍ، وَلَكِنْ جَمَعْتُكُمْ لِأَنَّ تَمِيمًا الدَّارِيَّ كَانَ رَجُلًا نَصْرَانِيًّا، فَجَاءَ فَبَايَعَ وَأَسْلَمَ، وَحَدَّثَنِي حَدِيثًا وَافَقَ الَّذِي كُنْتُ أُحَدِّثُكُمْ عَنْ مَسِيحِ الدَّجَّالِ، حَدَّثَنِي أَنَّهُ رَكِبَ فِي سَفِينَةٍ بَحْرِيَّةٍ مَعَ ثَلَاثِينَ رَجُلًا مِنْ لَخْمٍ وَجُذَامَ، فَلَعِبَ بِهِمُ الْمَوْجُ شَهْرًا فِي الْبَحْرِ....
Dari Faathimah binti Qais, bahwasannya ia pernah mendengar seruan seorang shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; ‘Ash-shalaatu jaami’ah’.   Maka aku pergi ke masjid dan shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Aku berada di shaff wanita yang berada dekat dengan punggung kaum laki-laki. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menyelesaikan shalatnya, maka beliau duduk di atas mimbar sambil tertawa. Beliau bersabda : “Hendaknya setiap orang tetap di tempatnya”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Tahukah kalian mengapa aku mengumpulkan kalian?”. Para shahabat menjawab : “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allah, sesungguhnya aku tidaklah mengumpulkan kalian karena keinginan (untuk membagi ghanimah) dan tidak pula karena takut (terhadap musuh). Akan tetapi aku kumpulkan kalian, karena Tamiim Ad-Daariy. Ia dulu seorang yang beragama Nashrani, kemudian datang berbai’at dan masuk Islam. Ia menceritakan kepadaku sebuah kisah yang sesuai dengan kisah yang pernah aku ceritakan kepada kalian tentang Al-Masiih Ad-Dajjaal. Ia menceritakan kepadaku bahwa ia telah berlayar dalam dengan sebuah kapal/perahu besar bersama 30 orang laki-laki dari suku Lakhm dan Judzaam. Mereka dipermainkan oleh ombak selama sebulan di lautan…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2942].
Sisi pendalilannya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan diri dengan khabar yang dibawa oleh Tamiim Ad-Daariy radliyallaahu ‘anhu tentang Dajjaal dan membenarkannya, padahal bersamanya ada 30 orang lain yang menyaksikannya. Seandainya khabar ahad tidak menjadi hujjah, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan membenarkan apa yang disampaikan oleh Tamiim seorang diri dan besar kemungkinan akan mengecek apa yang disampaikannya dengan 30 orang yang bersamanya.
17.   Hadits:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَسْقِي أَبَا عُبَيْدَةَ وَأَبَا طَلْحَةَ وَأُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ مِنْ فَضِيخِ زَهْوٍ وَتَمْرٍ فَجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ قُمْ يَا أَنَسُ فَأَهْرِقْهَا فَأَهْرَقْتُهَا
Dari Anas bin Malik radliallaahu 'anhu dia berkata : Aku pernah menuangkan minuman dari fadlih (minuman keras dari perasan kurma muda) dan tamr (minuman keras dari perasan kurma kering) kepada Abu 'Ubaidah, Abu Thalhah, Ubay bin Ka'b. Tiba-tiba seseorang datang sambil berkata : "Sesungguhnya khamr telah diharamkan". Lantas Abu Thalhah berkata : "Wahai Anas, bangunlah dan tumpahkanlah!". Maka aku pun menumpahkan khamr tersebut [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5580].
Sisi pendalilan : Hadits ini berkenaan dengan turunnya ayat pengharaman khamr. Abu Thalhah tidak menunggu persaksian banyak orang sebelum ia menumpahkan khamrnya. Tidaklah Abu Thalhah melakukannya kecuali ia berkeyakinan (beri'tiqad) bahwa khamr memang benar-benar telah diharamkanoleh Allah dan Rasul-Nya berdasarkan pengkhabaran seorang shahabat radliyallaahu 'anhumaa kepadanya.
18.   Hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Dari Ibnu 'Umar dan‘Aaisyahradliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Bilaal adzan di waktu malam, lalu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan (Shubuh) kecuali setelah terbitnya fajar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1918-1919].
Sisi pendalilan : Para shahabat radliyallaahu 'anhum dulu berhenti dari makan dan minum dengan adzan yang dikumandangkan Bilaal. Maknanya, mereka (para shahabat) meyakini masuknya waktu fajar sekedar mendengar adzan seseorang. Ini adalah masalah 'aqidah yang disetujui oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tanpa ada pengingkaran. Yang beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ingkari hanyalah bahwa mereka masih boleh makan dan minum karena Bilaal mengumandangkan adzan di waktu malam dan belum memasuki waktu fajar (Shubuh).
19.   Akal:
Setiap hukum amaliy, tidak bisa tidak mesti diikuti dengan 'aqiidah; yaitu 'aqidah bahwa Allah memerintahkan atau melarang kita untuk melakukannya. Seperti halnya perkataan seseorang : "Air ini suci, bisa Anda pergunakan untuk berwudlu". Ketika kita membenarkannya dan kemudian mengamalkannya (berwudlu dengan air itu), maka bersamaan dengan itu pula kita berkeyakinan (beraqidah) bahwa air itu adalah suci.
Begitu juga ketika kita melakukan shalat. Saat melakukannya pasti kita meyakini bahwa shalat yang kita lakukan adalah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya – baik yang hukumnya wajib maupun sunnah - .
Bagaimana bisa dibayangkan seseorang yang melakukan sesuatu amalan ibadah yang rutin berdasarkan hadits ahad tanpa meyakini ibadah yang ia lakukan merupakan perintah dari agama ?. Ini adalah satu pemikiran yang mengherankan......
Maalik bin Anas rahimahumallah ketika beliau membawakan hadits :
الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
"Mimpi yang baik dari seorang laki-laki shalih adalah salah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian".
maka, ada seseorang yang berkata kepada beliau : "Apakah itu berlaku bagi mimpi setiap orang ?". Beliau berkata : "Apakah dengan perkara nubuwaah dapat untuk bersenda-gurau ?" [Fathul-Maalik bi-Tabwiibit-Tamhiid li-Ibni 'Abdil-Barr 'alaa Muwaththa' Maalik, 10/224].
Perkataan ini dapat dipahami bahwa beliau rahimahullah membenarkan dan meyakini hadits tentang ru'yaa (mimpi) tersebut - dan hadits itu masuk dalam katagori ahad yang berkaitan dengan ‘aqiidah.
Madzhab Maalik ini dijelaskan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah:
وقال قوم كثير من أهل الأثر وبعض أهل النظر: أنه يوجب العلم الظاهر والعمل جميعا منهم الحسين الكرابيسي وغيره.وذكر ابن خوازمنداد أن هذا القول يخرج على مذهب مالك
“Banyak orang dari kalangan ahlul-atsar dan sebagian ahlun-nadharyang mengatakan bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu dhahir dan amal sekaligus. Diantara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Al-Husain Al-Karaabiisiy dan yang lainnya. Ibnu Khuwaazmindaad menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan madzhab Maalik” [At-Tamhiid, 1/8].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
وبعث رسول الله أبا بكر واليا على الحج في سنة تسع وحضره الحج من أهل بلدان مختلفة وشعوب متفرقة فأقام لهم مناسكهم وأخبرهم عن رسول الله بما لهم وما عليهم. وبعث علي بن أبي طالب في تلك السنة فقرأ عليهم في مجمعهم يوم النحر آيات من { سورة براءة }  ونبذ إلى قوم على سواء وجعل لهم مددا ونهاهم عن أمور. فكان أبو بكر وعلي معروفين عند أهل مكة بالفضل والدين والصدق وكان من جهلهما أو أحدهما من الحاج وجد من يخبره عن صدقهما وفضلهما. ولم يكن رسول الله ليبعث إلا واحدا الحجة قائمة بخبره على من بعثه إليه إن شاء الله. وقد فرق النبي عمالا على نواحي عرفنا أسماءهم والمواضع التي فرقهم عليها. فبعث قيس بن عاصم والزبرقان بن بدر وابن نويرة إلى عشائرهم بعلمهم بصدقهم عندهم. وقدم عليهم وفد البحرين فعرفوا من معه فبعث معهم بن سعيد بن العص. وبعث معاذ بن جبل إلى اليمن وأمره أن يقاتل بمن أطاعه من عصاه ويعلمهم ما فرض الله عليهم ويأخذ منهم ما وجب عليهم لمعرفتهم بمعاذ ومكانه منهم وصدقه. وكل من ولى فقد امره بأخذ ما أوجب الله على من ولاه عليه. ولم يكن لأحد عندنا في أحد مما قدم عليه من أهل الصدق ان يقول أنت واحد وليس لك أن تأخذ منا ما لم نسمع رسول الله يذكر انه علينا
“Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Bakr sebagai waliyul-hajj pada tahun ke-9 H yang dihadiri oleh penduduk dari berbagai negeri. Abu Bakr menjalankan manasik haji bersama mereka dan mengkhabarkan kepada mereka apa yang diperintah dan dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus ‘Aliy bin Abi Thaalib pada tahun tersebut untuk membacakan kepada mereka pada hari Nahr ayat-ayat dari surat Al-Baraa’ah, dan memperingatkan apabila orang kafir melanggar perjanjian, maka kaum muslimin pun akan melakukan hal yang sama. ‘Aliy pun melarang kepada mereka beberapa perkara. Abu Bakr dan ‘Aliy dikenal bagi penduduk Makkah dengan keutamaan, agama, dan kejujurannya; sedangkan jama’ah haji yang tidak mengetahui keduanya atau salah seorang dari keduanya, maka orang yang mengetahui memberitahukan kepadanya tentang kejujuran dan keutamaan mereka sehingga mengetahui. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengutus kecuali hanya seorang saja sehingga hujjah pun dikatakan tegak kepada orang-orang tersebut dengannya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus para shahabat ke berbagai negeri yang nama dan tempat mereka diutus masing-masing telah kita ketahui. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Qais bin ‘Aashim, Az-Zibriqaan bin Badr, dan Ibnu Nuwairah kepada kabilah mereka masing-masing dikarenakan telah diketahui kejujurannya di sisi mereka. Datanglah kepada mereka utusan Bahrain, lalu mereka mengetahui orang yang ada dalam rombongan tersebut, kemudian beliau mengutus Ibnu Sa’iid bin Al-‘Aash bersama mereka.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’aadz bin Jabal ke negeri Yaman dan memerintahkannya bersama orang yang mentaatinya untuk memerangi orang yang membangkangnya, dan mengajarkan kepada mereka (penduduk Yaman) apa saja yang diwajibkan Allah ta’ala terhadap mereka, serta mengambil zakat yang yang harus mereka bayarkan; dikarenakan mereka (penduduk Yaman) telah mengenal kedudukan Mu’aadz dan kejujurannya.
Setiap orang yang diberikan tugas menjadi waliy diperintahkan untuk mengambil apa yang diwajibkan Allah kepada mereka. Kami tidak mengetahui ada seorang pun dari mereka ketika datang seorang yang jujur kepada mereka berkata : ‘Engkau hanya seorang, sehingga engkau tidak boleh mengambil dari kami sesuatu yang kami tidak mendengar (secara langsung) bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkannya kepada kami” [Ar-Risaalah, 414-417].
Abu Ya’laa rahimahullah menukil perkataan Ahmad bin Hanbal rahimahumullahketika mengomentari hadits-hadits ahad dalam permasalahan ‘aqiidah:
إِنَّ اللَّهَ، تَبَارَكَ وَتَعَالَى، يَنْزِلُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا "وَاللَّهُ يُرَى "وَأَنَّهُ يَضَعُ قَدَمَهُ "وَمَا أَشْبَهُ بِذَلِكَ، نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا وَلا كَيْفَ وَلا مَعْنَى ! وَلا نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا، وَنَعْلَمُ أَنَّ مَا قَالَهُ الرَّسُولُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ إِذَا كَانَتْ بِأَسَانِيدَ صِحَاحٍ.
“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta'ala turun ke langit dunia, Allah kelak akan dilihat (di akhirat), Allah meletakkan kaki-Nya, dan yang semisalnya dari hadits-hadits; maka kami mengimaninya, membenarkannya, tidak menanyakan kaifiyatnya, tidak memaknainya (dengan makna-makna yang bathil), dan tidak menolak satu pun darinya. Kami mengetahui bahwa apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah benar jika berasal dari sanad yang shahih” [Ibthaalut-Ta’wiilaat].
Al-Khathiib Al-Baghdaadiy rahimahullah berkata:
وَعَلَى الْعَمَلِ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ كَانَ كَافَّةُ التَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْفُقَهَاءِ الْمُخَالِفِيْنَ فِي سَائِرِ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى وَقْتِنَا هَذَا، وَلَمْ يَبْلُغْنَا عَنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ إِنْكَارٌ لِذَلِكَ، وَلا اعْتِرَاضٌ عَلَيْهِ
“Dan keharusan untuk beramal dengan khabar waahid adalah pendapat seluruh taabi’iindan orang-orang setelah mereka dari kalangan fuqahaa’ di seluruh penjuru negeri Islam hingga saat ini. Tidak ada keterangan yang sampai kepada kami seorang pun dari mereka yang mengingkarinya dan menolaknya….” [Al-Kifaayah, hal. 129].
Al-Futuuhiy rahimahullah berkata:
قال ابن عقيل وابن الجوزي والقاضي وأبو بكر بن الباقلاني وأبو حامد وابن برهان والفخر الرازي والآمدي وغيرهم: يفيد العلم ما نقله آحاد الأمة المتفق عليهم إذا تلقي بالقبول
أما المشهور والمستفيض فمن العلماء من قال: يفيد علما نظريا، ومنهم من قال: يفيد القطع
“Ibnu ‘Aqiil, Ibnul-Jauziy, Al-Qaadliy, Abu Bakr bin Al-Baaqilaaniy, Abu Haamid, Ibnu Burhaan, Al-Fakhrur-Raaziy dan yang lainnya berpendapat bahwa apa yang diriwayatkan oleh individu-individu yang telah disepakati dan diterima oleh umat memberikan faedah ilmu. Adapun riwayat masyhuur dan mustafiidl, diantara ulama ada yang berpendapat memberikan faedah ilmu nadhariy, dan diantara mereka ada yang berpendapat memberikan faedah ilmu yang qath’iy (pasti/aksiomatik)” [Syarh Kaukabil-Muniir, 2/248-249].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وكلهم يدين بخبر الواحد العدل في الاعتقادات ، ويعادي ويوالي عليها ، ويجعلها شرعاً وديناً في معتقده ، على ذلك جماعة أهل السنة
“….Dan semuanya berpegang kepada riwayat satu orang yang adil dalam hal ‘aqidah; membela, mempertahankannya, serta menjadikannya sebagai syari’at dan agama. Jama’ah Ahlus-Sunnah berada di atas pendapat tersebut” [At-Tamhiid oleh Ibnu ‘Abdil-Barr 1/8].
وأجمع أهل العلم من أهل الفقه والأثر في جميع الأمصار فيما علمت على قبول خبر الواحد العدل وايجاب العمل به إذا ثبت ولم ينسخه غيره من أثر أو أجماع على هذا جميع الفقهاء في كل عصر من لدن الصحابة الى يومنا هذا الا الخوارج وطوائف من أهل البدع شرذمة لا تعد خلافا
“Para ulama dari kalangan ahli fiqh dan ahli hadits di seluruh penjuru (negeri-negeri Islam) – sepanjang saya ketahui – telah bersepakat untuk menerima hadits ahad (hadits riwayat satu orang) yang adil (shalih dan terpercaya). Begitu pula (telah ijma’) untuk wajib mengamalkannya, jika ia telah shahih dan tidak dinasakh (dihapus) oleh yang lainnya, baik dari atsar atau ijma’.  Inilah prinsip seluruh fuqahaa di setiap negeri, sejak jaman shahabat hingga hari ini, kecuali Khawarij dan Ahli Bid’ah, yaitu sekelompok kecil yang (ketidaksepakatannya) tidak sebagai perbedaan pendapat” [idem 1/11].
Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah berkata:
وخبر الواحد إذا تلقته الأمة بالقبول ، عملاً به وتصديقاً له - : يفيد العلم [اليقيني] عند جماهير الأمة ، وهو أحد قسمي المتواتر . ولم يكن بين سلف الأمة في ذلك نزاع
“Dan khabar waahid apabila diterima oleh umat dengan penuh penerimaan, baik dalam amalan (hukum) maupun pembenaran (‘aqiidah); menghasilkan ilmu yakin menurut mayoritas umat. Ia adalah salah satu bagian mutawatir. Tidak ada perselisihan di kalangan salaful-ummah tentang hal itu” [Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, hal. 355].
As-Safaariiniy rahimahullah berkata:
يعمل بخبر الآحاد في أصول الدين وحكى ابن عبد البر الإجماع على ذلك
“Khabar ahad diamalkan dalam perkara ushuuluddiin, dan Ibnu ‘Abdil-Barr menghikayatkan adanya ijmaa’ atas hal tersebut” [Lawaami’ul-Anwaar Al-Baahiyyah, 1/19].
Muhammad Al-Amiin Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata:
اعلم أن التحقيق الذي لا يجوز العدول عنه أن أخبار الآحاد الصحيحة كما تقبل في الفروع تقبل في الأصول . فما ثبت عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم بأسانيد صحيحة من صفات الله يجب اثباته واعتقاده على الوجه اللائق بكمال الله وجلاله على نحو لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ .
وبهذا تعلم أن ما أطبق عليه أهل الكلام ومن تبعهم ن أن أخبار الآحاد لا تقبل في العقائد ولا يثبت بها شئ من صفات الله زاعمين أن أخبار الآحاد لا تفيد اليقين وأن العقائد لا بد فيها من اليقين باطل لا يعول عليه . ويكفي من ظهور بطلانه أنه يستلزم رد الروايات الصحيحة الثابتة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم بمجرد تحكيم العقل
“Ketahuilah, bahwa penelitian yang hasilnya tidak diperbolehkan untuk menyimpang darinya adalah : hadits-hadits ahad yang shahih sebagaimana diterima dalam masalah furuu’ juga diterima dalam masalah ushuul. Maka apa saja yang telah sah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallamdengan sanad yang shahih tentang sifat-sifat Allah, wajib untuk menetapkannya dan diyakini sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan Allah, sebagaimana firman-Nya: ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ (QS. Asy-Syuuraa : 11).
Dengan demikian, engkau akan mengetahui bahwa apa yang ditetapkan oleh ahli kalam dan yang mengikuti mereka bahwa hadits ahad tidak diterima dalam masalah ‘aqiidah dan tidak boleh ditetapkan sifat-sifat Allah dengannya, karena persangkaan mereka bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah keyakinan – padahal ‘aqidah harus ditetapkan berdasarkan keyakinan – ; adalah perkataan yang bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti kebathilannya bahwa pendapat ini mengkonsekuensikan untuk menolak riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallamberdasarkan penghukuman akal semata” [Mudzakarah fii Ushuulil-Fiqh, hal. 124-125].
Setelah kita memperhatikan dalil-dalil dan perkataan ulama di atas, maka akan nampak – insya Allah – kebathilan orang-orang yang menolak penggunaan hadits ahad dalam permasalahan ‘aqiidah.
Semoga artikel ini ada manfaatnya....
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 02062015 – 02:17].




[1]     Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya (19/93 & 94) dan ‘Abdurrazzaaq no. 13504-13505.
[2]     Idem (22/295).
[3]     Idem (22/93).
[4]     Shahiih Al-Bukhaariy di atas hadits no. 7246.
[5]     Lisaanul-‘Arab, 9/226.
[6]     An-Nihaayah, 4/153.
[7]     Fathul-Baariy, 13/231.

Mencegah Kemunkaran dengan Tangan

$
0
0
Tanya : Apakah mencegah kemunkarandengan memakai tangan adalah hak setiap orang ? Atau merupakan hak bersyarat, yaitu bagi umaraa’ (pemerintah/penguasa) dan orang-orang yang diberi wewenang oleh mereka ?
Jawab : Kami ambilkan dari jawaban Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziiz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah :
”Mengubahkemunkaran adalah hak bagi setiap orang. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallambersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرا فَلْيُغَيّرْهُ بِيَدِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ. وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
”Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka hendaknya ia mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya. Bila tidak mampu (juga), maka hendaklah dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” [Diriwayatkan olehMuslim, Ahmad, dan Ahlus-Sunan][1].
Akan tetapi, mengubah kemunkaran dengan tangan diperuntukkan bagi seseorang yang mempunyai qudrah(kekuasaan) yang tidak akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar atau kejelekan yang semakin banyak. Hendaknya seseorang mengubahkemunkaran dengan menggunakan tangan dalam rumahnya, seperti pada anak-anaknya, istrinya, atau pembantunya.[2] Dan bagi seorang pegawai pada haiah(instansi) khusus yang diberi wewenang untuk perbaikan, ia boleh menggunakan tangannya.[3]Jika tidak demikian, maka tidak boleh mengubahkemunkaran dengan menggunakan tangan bagi orang yang tidak memiliki wewenang. Sebab jika orang yang tidak memiliki wewenang menggunakan tangannya, akan menyebabkan kejelekan yang semakin banyak, musibah yang tidak sedikit, keburukan yang semakin besar antara ia dan orang lain, atau antara ia dan negara. Seharusnya ia mengubah kemunkaran dengan mengatakan (misalnya) : ”Takutlah pada Allah wahai Fulan, ini tidak boleh”. (Atau :) ”Ini haram ! Ini wajib ! ; dengan dalil-dalil syar’iymelalui lisannya. Adapun menggunakan tangan, maka pada tempat yang ia mampu, seperti di rumahnya, kepada orang yang berada di bawahnya, atau orang yang memang diberikan ijin dari pihak sulthan (penguasa) agar memerintahkan yang bijak, seperti instansi-instansi yang ditunjuk (diperintahkan) penguasa dan diberi wewenang untuk perbaikan. Maka, mereka mengubahnya sesuai dengan wewenang yang diberikan dengan ketentuan syar’iy yang disyari’atkan oleh Allah dengan tidak menambah-nambah.”
Wallaahu a’lam.
[Al-Ma’lum min Wajib Al-Allaqah Bainal-Haakim wal-Mahkum. Jum’iyyah Ihyaa’ At-Turaats– catatan 2008 – abul-jauzaa’].



[1]    Diriwayatkan oleh Muslim no. 49, Ahmad 3/10& 20& 49& 50, Abu Daawud no. 1140& 4340; At-Tirmidziyno. 2172; An-Nasaa’iy no. 5008-5009, dan Ibnu Maajah no. 1275& 4013.
[2]    Seperti seorang ayah terhadap istri dan anaknya. Allah ta’ala telah berfirman :
وَاللاّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنّ فَعِظُوهُنّ وَاهْجُرُوهُنّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنّ سَبِيلاً
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” [QS. An-Nisaa’ : 34].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَرُّوا الصِّبْيَانَ بِالصَّلاةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا فِيْ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي اْلمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak (kalian) untuk shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (bila tidak mau shalat) pada usia sepuluh tahun. Dan pisahkan di antara mereka (anak laki-laki dan perempuan) pada tempat tidurnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 494 dan Al-Haakim no. 708; shahih].
[3]    Kalau di negeri kita (Indonesia) seperti aparat kepolisian dan yang semisalnya.

Keutamaan Miskin

$
0
0
Mengenai si miskin dan si kaya, maka dalam hal ini ada perinciannya. Dalam beberapa nash memang disebutkan tentang keutamaan kaum lemah (mustadl’afiin), fakir, dan miskin. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru kepada Tuhan-Nya di pagi hari dengan mengharap keridlaan-Nya dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka” [QS. Al-Kahfi : 28].
Ibnu Katsiir rahimahullah menjelaskan maksud dari ayat tersebut adalah :
اجلس مع الذين يذكرون الله ويهللونه، ويحمدونه ويسبحونه ويكبرونه، ويسألونه بكرة وعشيًا من عباد الله، سواء كانوا فقراء أو أغنياء أو أقوياء أو ضعفاء. يقال: إنها نزلت في أشراف قريش، حين طلبوا من النبي صلى الله عليه وسلم أن يجلس معهم وحده ولا يجالسهم بضعفاء أصحابه كبلال وعمار وصهيب [وخباب] (4) وابن مسعود، وليفرد أولئك بمجلس على حدة. فنهاه الله عن ذلك، فقال: { وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ } الآية [الأنعام:52] الآية، وأمره أن يصبر نفسه في الجلوس (6) مع هؤلاء، فقال: { وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ }
وقال مسلم في صحيحه: حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة، حدثنا محمد بن عبد الله الأسدي، عن إسرائيل، عن المقدام بن شُرَيْح، عن أبيه، عن سعد -هو ابن أبي وقاص-قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم ستة نفر، فقال المشركون للنبي صلى الله عليه وسلم: اطرد هؤلاء لا يجترئون علينا!. قال: وكنت أنا وابن مسعود، ورجل من هذيل، وبلال ورجلان نسيت اسميهما فوقع في نفس رسول الله صلى الله عليه وسلم ما شاء الله أن يقع، فحدّث نفسه، فأنزل الله عز وجل: { وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ } انفرد بإخراجه مسلم دون البخاري
“Duduklah bersama hamba-hamba Allah yang berdzikir kepada Allah, bertahlil, bertahmid, bertasbih, dan bertakbir, serta berdoa kepada-Nya di pagi dan sore hari, baik mereka yang miskin maupun yang kaya, kuat, maupun lemah. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang terhormat dari kalangan kaum Quraisy, ketika mereka meminta kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamuntuk duduk sendiri saja bersama mereka dan tidak mengajak para shahabatnya yang lemah, seperti Bilaal, ‘Ammaar, Shuhaib, Khabbaab, dan Ibnu Mas’uud. Mereka meminta supaya mereka diberi majelis khusus. Maka Allah melarang beliau memenuhi permintaan mereka itu, dimana Dia berfirman : ‘Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabb-nya pada pagi hari dan petang hari’ (QS. Al-An’am : 52).Allah menyuruh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabar dalam duduk bersama mereka. Allah ta’ala berfirman : ‘Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan petang hari’. 
Muslim dalam Shahiih-nya berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Asadiy, dari Israaiil, dari Al-Miqdaam bin Syuraih, dari ayahnya, dari Sa’d bin Abi Waqqaash, ia berkata : Kami enam orang pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kaum musyrik berkata kepada Nabi,”Usirlah mereka. Mereka tidak akan berani melawan kami”. Lebih lanjut Sa’ad berkata : Ketika itu aku bersama Ibnu Mas’ud serta seseorang dari Hudzail, Bilal, dan dua orang yang aku lupa namanya. Maka timbullah dalam diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apa yang telah menjadi kehendak Allah, lalu beliau berbicara pada diri sendiri. Hingga akhirnya, Allah ‘azza wa jallamenurunkan firman-Nya :Danjangnlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya pada pagi hari dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridlaan-Nya (QS. Al-An’aam : 52)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 5/152].
Selain ayat di atas, diantara hadits yang menunjukkan “keutamaan” orang miskin adalah hadits yang diriwayatkan dari Haritsah bin Wahb radliyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ، أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
Maukah engkau aku beritahukan tentang penduduk surga? (yaitu) setiap (muslim) yang lemah dan diremehkan, seandainya dia bersumpah atas Allah niscaya Dia meluluskannya. Maukah engkau aku beritahukan tentang penduduk neraka? (yaitu) setiap orang yang keras, kasar, penumpuk harta, dan sombong[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4918 & 6072 & 6657 dan Muslim no. 2853].
Dan hadits-hadits lain yang menunjukkan “keutamaan” orang miskin.
Apakah keutamaan itu bersifat mutlak?? Jawabannya adalah tidak; karena kemiskinan padahakikatnya merupakan ujian dan cobaan Allah di dunia, yang apabila seorang muslim bersabar atas ujian dan cobaan Allah tersebut, maka Allah memberinya keutamaan ganjaran dan pahala yang besar di akhirat kelak (dibandingkan dengan orang yang kaya). Jadi, keutamaan itu terkait dengan kesabaran dan keimanannya kepada Allahta’ala, bukan pada dzat “kemiskinan” itu sendiri. Dan tidak diragukan lagi bahwa kesabaran dan keimanan itu mempunyai keutamaan yang bersifat umum.
Apabiladzat kemiskinan mempunyai keutamaan yang mutlak, tentu Allah akan menganjurkan kaum muslimin untuk menjadi miskin yang kemudian disebutkan dalam ayat-ayat-Nya dan hadits Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallamyang shahih. Justru yang ada, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa agar dijauhkan dari kemiskinan dan kefaqiran, dan diantara doa yang sering beliau baca adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefaqiran, dan ‘adzaab kubur” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1347 & 5465; shahih].
Allah ta’alamemerintahkan manusia bekerja dan mencari harta yang halal, sebagaimana firman-Nya :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”[QS. Al-Jumu’ah : 10].
Ibnu Katsiir rahimahullah menjelaskan :
وقوله: { فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ } أي: فُرغ منها، { فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ } لَمَّا حَجَر عليهم في التصرف بعد النداء وأمرهم بالاجتماع، أذن لهم بعد الفراغ في الانتشار في الأرض والابتغاء من فضل الله. ...... وقوله: { وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ } أي: حال بيعكم وشرائكم، وأخذكم وعَطَائكم، اذكروا الله ذكرا كثيرا، ولا تشغلكم الدنيا عن الذي ينفعكم في الدار الآخرة
“Makna firman Allah : ‘Apabila telah ditunaikan shalat’, yaitu : telah selesai mengerjakannya. ‘Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah’. (Maksudnya), ketika Allah ta’ala melarang mereka berjual beli setelah mendengar suara adzan dan memerintahkan mereka untuk berkumpul, maka Allah mengizinkan mereka setelah selesai menunaikan shalat untuk bertebaran di muka bumi dan mencari karunia Allah ta’ala…… Dan firman Allah ta’ala : ‘dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung’; yaitu ketika kalian sedang berjual beli, dan pada saat kalian mengambil dan memberi, hendaklah kalian berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya dan janganlah kesibukan dunia melupakan kalian dari hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat” [Tafsiir Ibni Katsiir, 8/122-123].
Juga firman Allah ta’ala :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabb-mu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat” [QS. Al-Baqarah : 198].
Orang-orang fakir, miskin, dan banyak hutang (al-ghaarimiin) termasuk dalam katagori delapan golongan yang berhak mendapatkan bagian dari zakat maal, sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir. Orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutan, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan; sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [QS. At-Taubah : 60].
Sebagaimana kita ketahui bersama, yang memberi tentu lebih utama lebih utama dari yang menerima/meminta atau tangan di atas lebih mulia/utama daripada tangan di bawah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَالْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى السَّائِلَةُ
Tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan tangan di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1429, Muslim no. 1033, Abu Daawud no. 4947, dan yang lainnya].
Dan hal tersebut sejalan pula dengan firman Allah ta’ala :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka berserah diri” [QS. Al-Baqarah : 274].
Tentu saja, yang dapat/mampu memberi harta hanyalah orang yang mempunyai harta.
Allah ta’ala tidak pernah menyuruh kaum muslimin menjadi faqir dan miskin tak berharta, karena sebagian syari’at-Nya membutuhkan pengorbanan harta. Diantaranya : Allah ta’ala mewajibkan haji bagi kaum muslimin[1], dan bahkan menjadi salah satu rukun Islam[2]. Haji dan berbagai keutamaannya tentu hanya dapat diperoleh secara hakiki oleh orang yang berharta. Allah ta’ala juga telah mewajibkan zakat - bahkan perintah zakat ini sering sekali beriringan dengan perintah shalat[3] -, menganjurkan berinfaq[4], menyembelih hewan kurban[5], mengadakan aqiqah/nasikahpada hari ketujuh setelah kelahiran anak[6], dan yang semisalnya. Semua itu dilakukan oleh orang-orang yang berharta. Maka sungguh benarlah apa yang dikatakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ مَعَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ
Sebaik-baik harta yang baik adalah dimiliki oleh laki-laki yang shalih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 299, Ibnu Hibbaan no. 3210, dan yang lainnya; shahih].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ
Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan menengadahkan tangan-tangan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1296 & 2742 & 3936].
Hadits ini menunjukkan orang yang berkecukupan lebih utama daripada orang miskin tak berharta yang hidupnya menggantungkan uluran bantuan orang lain; karena dengan harta yang dimiliki ia dapat menjaga kehormatan diri dan agamanya.
Orang kaya jika ia bersyukur atau orang miskin yang ia bersabar, keduanya mempunyai kebaikan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda saat mensifat keadaan seorang mukmin:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, semua urusannya baik; dan itu tidak akan dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Ketika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan ketika ia mendapatkan musibah, ia bersabar, dan itu baik baginya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2999].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[catatan 2006 – abul-jauzaa’]




[1]       Allah ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” [QS. Aali ‘Imraan : 97].
[2]       Dalam hadits disebutkan:
الإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadlaan, dan mengerjakan haji bagi yang mampu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8].
[3]       Allah ta’ala berfirman:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk’ [QS. Al-Baqarah : 43].
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لا تَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israel (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat” [QS. Al-Baqarah : 83].
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah” [QS. Al-Baqarah : 110].
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!" [QS. An-Nisaa’ : 77].
Dan yang lainnya.
[4]       Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لا بَيْعٌ فِيهِ وَلا خُلَّةٌ وَلا شَفَاعَةٌ
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at” [QS. Al-Baqarah : 254].
وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لأنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” [QS. At-Taghaabun : 16].
وَمَا لَكُمْ أَلا تُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi?” [QS. Al-Hadiid : 10].
[5]       Allah ta’ala berfirman :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah[QS. Al-Kautsar : 2].
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ
Dan bagi setiap umat, Kami telah mensyari’atkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan oleh Allah kepada mereka”[QS. Al-Hajj : 34].
[6]       Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
Setiap anak tergadai dengan ’aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan diberi nama” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2837-2838, At-Tirmidziy no. 1522. An-Nasaa’iy no. 4220, Ibnu Majah no. 3165, dan yang lainnya; shahih].



Artikel terkait:
b.      Bekerja.

Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (12) – Beriman kepada Taqdir

$
0
0
١١ - وَمِنَ السُّنَةِ اللَّازِمةِ الَّتِي مَنْ تَرَكَ مِنهَا خَصْلَةً، وَلَمْ يَقْبَلْهَا وَيُؤْمِنْ بِهَا، لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِهَا :
11.      Dan termasuk diantara sunnah yang harus diyakini dan diimani, yang barangsiapa meninggalkan satu perkara darinya serta tidak menerimanya dan tidak pula mengimaninya; maka ia bukan termasuk ahlinya:
Penjelasan:
Makna ‘as-sunnah’ dalam perkataan beliau adalah jalan, metode, dan ‘aqiidah.
Perkataan beliau rahimahullah : ‘maka ia bukan termasuk ahlinya’, yaitu bukan termasuk Ahlus-Sunnah. Jika seseorang bukan termasuk Ahlus-Sunnah, maka konsekuensinya ia termasuk Ahlul-Bid’ah.
١٢ - الْإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، وَالتَّصْدِيقُ بِالْأَحَادِيثِ فِيهِ، وَالْإِيْمَانُ بِهَا، لَا يُقَالُ : ((لِمَ؟)) وَلَا ((كَيْفَ؟))، إِنَّمَا هُوَ التَّصْدِيقُ وَالإِيْمَانُ بِهَا. وَمَنْ لَمْ يَعْرِفْ تَفْسِيرَ الْحَدِيثِ، وَيَبْلُغْهُ عَقْلُهُ، فَقَدْ كُفِيَ ذَلِكَ وَإُحْكِمَ لَهُ، فَعَلَيْهِ الإِيمَانُ بِهِ وَالتَّسْلِيمُ لَهُ، مِثْلُ حَدِيْثِ ((الصَّادِقِ الْمَصْدُوقِ))، وَمِثْلُ مَا كَانَ مِثْلُهُ فِي الْقَدَرِ، وَمِثْلُ أَحَادِيثِ الرُّؤْيَةِ كُلِّهَا، وَإِنْ نَبَتْ عَنِ الْأَسْمَاعِ وَاسْتَوْحَشَ مِنْهَا الْمُسْتَمِعُ، وَإِنَّمَا عَلَيْهِ الْإِيْمَانُ بِهَا، وَأَنْ لَا يُرَدَّ مِنْهَا حَرْفاً وَاحِداً، وَغَيْرِهَا مِنَ الْأَحَادِيْثِ الْمَأْثُورَاتِ عَنِ الثِّقَاتِ.
12.      Beriman kepada al-qadar (takdir) yang baik dan yang buruk, membenarkan hadits-hadits tentangnya dan mengimaninya, tanpa mengatakan : ‘mengapa?’ dan ‘bagaimana?’; akan tetapi kewajiban kita hanyalah membenarkannya dan mengimaninya. Barangsiapa yang tidak mengetahui penafsiran hadits dan tidak dapat dicapai akalnya, maka hal itu telah cukup dan kokoh baginya (sehingga tidak perlu berdalam-dalam lagi). Yang wajib baginya hanyalah beriman dan tunduk kepadanya, seperti hadits Ash-Shaadiqul-Mashduuq dan hadits-hadits yang semisalnya dalam masalah takdir dan seperti semua hadits tentang masalah ar-ru’yah (melihat Allah di akhirat); meskipun jarang terdengar  dan terasa berat bagi orang yang mendengarnya. Yang wajib baginya hanyalah mengimaninya dan tidak boleh menolaknya satu hurufpun, dan hadits-hadits lainnya yang diriwayatkan dari para perawi tsiqaat (terpercaya).
Penjelasan:
Al-qadar secara bahasa artinya adalah keputusan dan hukum, yaitu segala sesuatu yang Allah ‘azza wa jalla tentukan dari keputusan dan hukum dalam berbagai perkara. Adapun secara istilah, al-qadar maknanya adalah:
تقدير الله للكائنات حسبما سبق به علمُه، واقتضته حكمته
“Ketetapan Allah bagi semua makhluk sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan yang dikehendaki oleh hikmah-Nya” [Rasaail fil-‘Aqiidah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, hal. 37].
Beriman kepada takdir merupakan salah satu diantara rukun-rukun iman yang barangsiapa tidak beriman kepadanya, maka ia tidak disebut mukmin atau Ahlus-Sunnah. Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang menetapkan adanya takdir Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu berdasarkan takdir” [QS. Al-Qamar : 49].
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” [QS. At-Taubah : 51].
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” [QS. Al-Furqaan : 2].
مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا
“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku” [QS. Al-Ahzaab : 38].
Adapun dalam hadits:
عَنْ عُمَر بْن الْخَطَّابِ، أنَّ جِبْريْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيمَانِ، قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab : Bahwasannya Jibriil ‘alaihis-salaam pernah berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Lalu khabarkanlah kepadaku tentang iman”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada taqdir yang baik maupun yang buruk” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Orang mukmin yang kuat lebih baik daripada orang mukmin, dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah pada apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah lemah. Apabila engkau tertimpa sesuatu (musibah), maka jangan katakan : ‘Seandainya aku melakukan demikian, niscaya akan begini dan begitu’. Akan tetapi ucapkanlah : ‘(Ini adalah) takdir Allah. Apa saja yang Ia kehendaki, niscaya Ia akan melakukannya. Sesungguhnya perkataan ‘seandainya’ membuka pintu setan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2664].
عَنْ طَاوُسٍ، أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُونَ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ، قَالَ: وَسَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ، أَوِ الْكَيْسِ وَالْعَجْزِ
Dari Thaawus, ia berkata : Aku berjumpa dengan orang-orang dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka berkata : “Segala sesuatu berdasarkan takdir”. Thaawus melanjutkan : Dan aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Segala sesuatu berdasarkan takdir hingga orang yang lemah dan orang yang cerdas, atau orang yang cerdas dan orang yang lemah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2655].
An-Nawawiy rahimahullah berkata menjelaskan makna hadits di atas:
وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْعَاجِز قَدْ قَدَّرَ عَجْزه ، وَالْكَيِّس قَدْ قَدَّرَ كَيْسه
“Maknanya, bahwa orang yang lemah telah ditakdirkan kelemahannya dan orang yang cerdas telah ditakdirkan kecerdasannya” [Syarh Shahiih Muslim, 16/205].
Beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk merupakan ciri khas Ahlus-Sunnah sepanjang masa dan merupakan salah satu diantara ciri mereka yang paling menonjol.
Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim rahimahumallah berkata :
سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا: أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ: الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، وَالْقُرْآنُ كَلامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ بِجَمِيعِ جِهَاتِهِ، وَالْقَدَرُ خَيْرُهُ وَشَرُّهُ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam ushuuluddiin dan apa yang mereka temui tentang hal tersebut dari kalangan ulama di seluruh kota, serta apa yang mereka yakini dalam hal tersebut. Mereka berdua berkata : “Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh kota baik di Hijaaz, ‘Iraaq, Syam, dan Yaman, maka diantara madzhab yang mereka anut adalah : iman itu perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang; Al-Qur’an adalah Kalaamullah, bukan makhluk dari semua sisinya; takdir yang baik dan yang buruk berasak dari Allah ‘azza wa jalla…” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 321].
‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy rahimahullah berkata:
وأجمع أئمة السلف من أهل الإسلام على الإيمان بالقدر خيره وشره، حلوه ومره....
“Para imam salaf dari kaum muslimin telah bersepakat tentang keimanan terhadap takdir yang baik dan yang buruk, yang manis dan yang pahit….” [Al-Iqtishaad fil-I’tiqaad, hal. 151].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الْأَدِلَّة الْقَطْعِيَّات مِنْ الْكِتَاب وَالسُّنَّة وَإِجْمَاع الصَّحَابَة وَأَهْل الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف عَلَى إِثْبَات قَدَر اللَّه سُبْحَانه وَتَعَالَى
“Dan telah nampak jelas dalil-dalil yang pasti dari Al-Qur’an, As-Sunnah, serta ijmaa’para shahabat dan ahlul-halli wal-‘aqdiy (para ulama) dari kalangan salaf dan khalaf tentang penetapan takdir Allah subhaanahu wa ta’ala” [Syarh Shahiih Muslim, 1/155].
Ungkapan : ‘beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk' ; tidaklah bertentangan dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ
Dan semua kebaikan ada di kedua tangan-Mu, sedangkan kejelekan tidak disandarkan kepada-Mu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 771].
Hadits ini tidak menunjukkan adanya kejelekan/keburukan pada perbuatan Allah ta’ala yang mentakdirkan sesuatu, karena takdir Allah itu pasti baik dan mengandung hikmah. Hanya saja, kejelekan/keburukan itu muncul dari sisi manusia. Seperti halnya ketika seseorang tertimpa musibah sakit sehingga tangannya mesti diamputasi. Ia menganggap musibah yang menimpanya itu sebagai satu keburukan sehingga ia tidak menyukainya. Padahal, ketika Allah ta’ala mentakdirkan sakit kepadanya, padanya terdapat kebaikan yang banyak diantaranya:
a.     Sebagai ujian terhadap keimanannya, karena Allah ta’ala berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” [QS. Al-Ankabuut : 2].
b.     Dosa-dosanya dihapuskan dengan sebab sakit yang dideritanya, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى مَرَضٌ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللَّهُ لَهُ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu yang menyusahkan berupa sakit atau yang lainnya, kecuali Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daunnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5660 & 5667 dan Muslim no. 2571].
c.      Agar orang tersebut ingat kepada Allah ta’aladari kelalaiannya.
d.     Dan yang lainnya.
Juga sebagaimana firman Allah ta’ala:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”[QS. Ar-Ruum : 41].
Adanya kerusakan di darat dan lautan adalah sesuatu yang buruk/jelek, akan tetapi hasil adalah baik, yaitu kembali kepada jalan yang benar. Oleh karenanya, keburukan pada apa yang ditakdirkan bersifat nisbi - bukan hakiki – karena akibat yang ditimbulkan adalah baik.
Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa keimanan terhadap takdir tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani empat tingkatan takdir atau disebut juga rukun takdir. Keempat tingkatan tersebut adalah:
1.     Al-‘Ilmu (الْعِلْمُ)
Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu yang ada maupun yang tidak ada; yang mungkin maupun yang tidak mungkin (mustahil); yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang belum terjadi; serta mengetahui bagaimana terjadinya.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”[QS. Ath-Thalaq : 12].
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. At-Taubah : 115].
ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَى
“Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” [QS. An-Najm : 30].
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS. Luqmaan : 30].
وَلَوْ تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى النَّارِ فَقَالُوا يَا لَيْتَنَا نُرَدُّ وَلا نُكَذِّبَ بِآيَاتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ * بَلْ بَدَا لَهُمْ مَا كَانُوا يُخْفُونَ مِنْ قَبْلُ وَلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: "Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman", (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan). Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka” [QS. Al-An’aam : 27-28].
Dalam QS. Al-An’aam ayat 27-28 di atas bahkan menunjukkan Allah ta’ala mengetahui apa yang akan terjadi seandainya terjadi (padahal hal itu tidak terjadi). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang anak-anak orang musyrik yang meninggal dunia sewaktu kecil. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ
Allah lebih mengetahui apa yang akan mereka lakukan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1384 & 6598 & 6599 dan Muslim no. 2658 & 2659].
Maksudnya : Allah ta’ala mengetahui apa yang akan mereka lakukan seandainya mereka hidup dan tidak meninggal meninggal dunia sewaktu masih kecil.
2.     Al-Kitaabah (الْكِتَابَةُ)
Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala telah menuliskan segala sesuatu di sisi-Nya, di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun sebelum Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi. Maka, tidak ada sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi luput dari Lauh Mahfuudh.
Allah ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuudh) sebelum Kami menciptakannya” [QS. Al-Hadiid : 22].
وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuudh)” [QS. Yaasiin : 12].
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuudh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”[QS. Al-Hajj : 70].
وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ * وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ
“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis” [QS. Al-Qamar : 52-53].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah menulis seluruh takdir makhluk-makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653].
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
Sesungguhnya makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Allah ta’ala berfirman kepadanya : ‘Tulislah’. Pena bertanya : ‘Wahai Rabbku, apa yang mesti aku tuliskan?’. Allah ta’ala berfirman : ‘Tulislah takdir segala sesuatu hingga datang hari kiamat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2155 & 3319, Abu Daawud no. 4700; dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/148].
3.     Al-Iraadah wal-Masyii-ah (الْإِرَادَةُ وَالْمَشِيْئَةُ)
Yaitu beriman bahwa segala sesuatu yang ada hanya terjadi dengan keinginan dan kehendak Allah ta’ala. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan apa yang telah dikehendaki Allah. Apa yang dikehendaki Allah ta’ala pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki Allah ta’ala tidak akan terjadi.
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia” [QS. Yaasiin : 82].
وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”[QS. At-Takwiir : 29].
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya” [QS. Al-Qashshaash : 68].
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ
“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya” [QS. Aali ‘Imraan : 6].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ
Sesungguhnya hati-hati Bani Adam (manusia) semuanya berada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahmaan, seperti satu hati yang dapat dipalingkannya sesuai kehendak-Nya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2654].
Keinginan dan kehendak Allah ta’ala berporos pada rahmat dan hikmah-Nya. Allah ta’ala memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan menyesatkan siapa saja yang Ia kehendaki.
Allah ta’ala tidak ditanya tentang apa yang dilakukannya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, namun para hamba-Nya lah yang (kelak) akan ditanya untuk dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya semasa di dunia.
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” [QS. An-Nahl : 93].
لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai [QS. Al-Anbiyaa’ : 23].
4.     Al-Khalq (الْخَلْقُ)
Beriman bahwa Allah ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu, baik dzat maupun perbuatannya; semua yang bergerak dan gerakannya; serta yang ada, yang pernah ada, maupun yang belum ada. Oleh karena itu, tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi kecuali Allah ta’ala adalah Penciptanya.
Allah ta’ala berfirman:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” [QS. Az-Zumar : 62].
أَوَلَيْسَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُمْ بَلَى وَهُوَ الْخَلاقُ الْعَلِيمُ
“Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui” [QS. Yaasiin : 81].
Dua tingkatan pertama (al-‘ilmu dan al-kitaabah) diingkari oleh kelompok Qadariyyah awal yang muncul di jaman shahabat radliyallaahu ‘anhum. Para shahabat radliyallaahu ‘anhum mengkafirkan mereka, karena mereka menisbatkan kepada Allah ta’ala sifat bodoh (al-jahl). Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaapernah berkata tentang mereka:
فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ، مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ، حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Apabila engkau berjumpa dengan mereka, beritahukanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang ‘Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengannya, seandainya salah seorang diantara mereka memiliki emas sebesar Uhud lalu ia menginfakkannya, Allah tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada takdir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8].
Dikatakan para ulama bahwa kelompok Qadariyyah jenis ini sudah punah. Namun sayangnya, di jaman sekarang pemikiran ini dihidupkan kembali – diantaranya – oleh kelompok Islam Liberal[1].
Kelompok Qadariyyah kedua – dan ini adalah keumuman Qadariyyah yang ada hingga sekarang - adalah mereka yang beriman pada dua tingkatan pertama (al-‘ilmu dan al-kitaabah), dan juga beriman kepada kehendak (al-iraadah)dan al-khalq (penciptaan), namun mereka mengingkari keumuman kehendak dan keumanan penciptaan, sehingga mereka mengeluarkan perbuatan para hamba darinya.
Kelompok Qadariyyah ketiga adalah Qadariyyah Mujbirah atau yang lebih dikenal dengan Jabriyyah. Mereka berkata : Sesungguhnya para hamba dipaksa dalam perbuatan-perbuatan mereka, dan mereka tidak mempunyai pilihan. Apabila suatu perbuatan disandarkan kepada makhluk, maka itu hanyalah majaziy saja, karena yang berbuat secara hakiki adalah Allah. Hamba tidak ubahnya seperti kayu yang hanyut di air atau daun yang tertiup angin.
Kelompok Qadariyyah keempat adalah Qadariyyah Musyrikiyyah, yaitu mereka yang berhujjah dengan takdir terhadap kemaksiatan yang mereka lakukan, seperti perkataan orang-orang musyrik dalam firman Allah ta’ala:
لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ
“Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun” [QS. Al-An’aam : 148].
Berhujjah dengan takdir atas pelanggaran terhadap syari’at adalah bathil. Barangsiapa yang melakukan perbuatan maksiat yang telah ditentukan hukumannya dalam syari’at, lalu ia berhujjah dengan takdir, maka ia tetap dihukum dengan hukuman tersebut dan dikatakan kepadanya : ‘Sesungguhnya balasanmu dengan hukuman ini juga berdasarkan takdir’[2].
Akan tetapi jika seseorang beralasan dengan takdir atas kemaksiatan dan pelanggaran yang ia telah bertaubat darinya, maka ini diperbolehkan. Hal ini dikarenakan pengaruh akibat perbuatan maksiat tersebut telah hilang dengan taubat. Ia berhujjah dengan takdir bukan untuk tujuan membenarkan perbuatan maksiat dan pelanggaran yang dilakukan. Dalil atas pembolehan ini adalah kisah perdebatan antara Adam dan Muusaa ‘alaihimas-salaam:
احْتَجَّ آدَمُ، وَمُوسَى، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: يَا آدَمُ، أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الْجَنَّةِ، قَالَ لَهُ آدَمُ: يَا مُوسَى، اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ، أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلَاثًا
Aadam dan Muusaa saling berhujjah (berdebat). Muusaa berkata kepadanya (Aadam) : “Wahai Aadam, engkau adalah ayah kami, engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga”. Aadam berkata kepadanya : “Wahai Muusaa, Allah telah memilihmu dengan firman-Nya dan telah menuliskan (Taurat) dengan tangan-Nya untukmu. Apakah engkau mencelaku atas perkara yang Allah telah mentakdirkannya untukku 40 tahun sebelum Allah menciptakanku ?”. Maka Aadam mengalahkan Muusaa, Aadam mengalahkan Muusaa” – sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6614 dan Muslim no. 2652].
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah……
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 06-06-2015 – Abul-Jauzaa’ – referensi : Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq oleh Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 42-49; syarh oleh Rabii’ Al-Madkhaliy, hal. 12-15; syarh oleh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy, hal. 57-60; syarh oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Ar-Raajihiy, hal. 28-35; syarh oleh Khaalid bin Mahmuud Al-Juhaniy hal. 36-40; dan syarh oleh Ibnul-Jibriin, hal. 53-54; Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah lil-‘Utsaimiin 1/69-72; Manhaj Al-Imaam Asy-Syaafi’iy fii Itsbaatil-‘Aqiidah hal. 429-438; Syarh Hadiits Jibriil fii Ta’liimid-Diin hal. 59-69; dan yang lainnya].


Silakan baca pembahasan sebelumnya:




[1]     Salah satunya oleh orang yang bernama Zulfan Baron, semoga Allah ta’ala memberikan petunjuk kepadanya dan juga kita semua.
[2]     Adapun kisah masyhuur tentang pencuri yang berhujjah dengan takdir yang dihadapkan kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, lalu ia (‘Umar)menjawab: ‘Kami memotong tanganmu juga karena takdir Allah’ ; maka riwayatnya tidak shahih. Diriwayatkan oleh Ar-Raamahurmuziy dalam Al-Muhaddits Al-Faashil hal. 317 no. 215 dan Al-Khathiib dalam Al-Jaami’ li-Akhlaaqir-Raawiy wa Adabis-Saami’ 2/243 no. 1556. Hammaad Al-Anmaathiy, perawi dalam sanad riwayat ini, adalah seorang pendusta.
Sekaligus ini sebagai koreksi atas materi yang disampaikan pada hari Sabtu pagi, 06-06-2015.

Buluughul-Maraam Hadits No. 650-651 : Larangan Mendahului Berpuasa Menjelang Ramadlaan

$
0
0
٦٥٠ - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ))  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
650. Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian mendahului Ramadlaan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya), kecuali bagi orang yang biasa berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa”. Muttafaqun ‘alaih.
Penjelasan ringkas:
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1914 dan Muslim no. 1082, dan ini adalah lafadh Muslim. Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud no. 2335, At-Tirmidziy no. 684-685, An-Nasaa’iy no. 2172 & 2190, Ibnu Maajah no. 1650, Ahmad 2/234 & 347 & 408 & 438 & 477 & 497 & 513 & 521, dan yang lainnya.
Beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits ini:
1.     Larangan mendahului puasa Ramadlaan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian ulama ada yang menghukumi haram berdasarkan dhahir larangan, karena asal dari sebuah larangan menunjukkan keharaman. Adapun sebagian ulama lain ada yang menghukumi makruh berdasarkan istitsnaa’ (pengecualian) dalam hadits tersebut. Maksudnya, istitsnaa’ adalah bagi orang yang biasa puasa sunnah sehingga seandainya larangan tersebut bermakna haram, maka ia mesti didahulukan daripada puasa sunnah. Oleh karena itu. Larangan di sini bermakna makruuh.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا أَنْ يَتَعَجَّلَ الرَّجُلُ بِصِيَامٍ قَبْلَ دُخُولِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِمَعْنَى رَمَضَانَ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يَصُومُ صَوْمًا فَوَافَقَ صِيَامُهُ ذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ عِنْدَهُمْ
“Para ulama mengamalkan hadits ini, dan mereka memakruhkan orang yang mempercepat/mendahulukan puasa sebelum masuknya bulan Ramadlaan karena makna Ramadlaan. Namun apabila seseorang biasa berpuasa lalu puasanya itu bertepatan dengan hari tersebut, maka tidak mengapa menurut mereka” [Al-Jaami’ul-Kabiir, 2/64].
2.     Diperbolehkan berpuasa sunnah bagi orang yang terbiasa puasa meskipun kebetulan bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadlaan, seperti puasa Daawud, Senin-Kamis, dan yang lainnya. Kebolehan ini merupakan ijmaa’ ulama.
Adapun orang yang berpuasa wajib seperti puasa qadla’ dan puasa nadzar, maka lebih utama untuk diperbolehkan karena itu merupakan ‘aziimah baginya.
3.     Anjuran melaksanakan amal ibadah dan amal kebaikan yang biasa dilakukan seseorang secara berkesinambungan.
Amal kebaikan yang konsisten dilakukan meski sedikit mempunyai keutamaan yang sangat besar sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
Wahai sekalian manusia, hendaknya kalian melakukan amalan yang kalian sanggupi karena Allah tidak bosan hingga kalian sendiri yang bosan. Dan sesungguhnya sebaik-baik amalan di sisi Allah adalah yang terus-menerus dilakukan, meskipun sedikit” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1970 & 5862 & 6465 dan Muslim no. 782].
4.     Diantara hikmah larangan tersebut adalah untuk membedakan antara ibadah fardlu dengan ibadah sunnah, serta untuk mempersiapkan diri menghadapi Ramadlaan sehingga puasa di bulan tersebut menjadi syi’ar tersendiri.
Hal yang semisal adalah seperti larangan menyambung shalat fardlu dan shalat sunnah tanpa ada pemisah. Mu’aawiyyah radliyallaahu ‘anhu pernah berkata:
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami hal tersebut, yaitu agar tidak menyambung shalat dengan shalat lainnya hingga kami berbicara atau keluar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 883].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
فيه دليل لما قاله أصحابنا أن النافلة الراتبة وغيرها يستحب أن يتحول لها عن موضع الفريضة إلى موضع آخر وأفضله التحول إلى بيته، وإلا فموضع آخر من المسجد أو غيره ليكثره مواضع سجوده، ولتنفصل صورة النافلة عن صورة الفريضة. وقوله: "حتى نتكلم"دليل على أن الفصل بينهما يحصل بالكلام أيضاً ولكن بالانتقال أفضل لما ذكرناه والله أعلم
“Padanya terdapat dalil tentang apa yang dikatakan shahabat-shahabat kami (yaitu fuqahaa’ Syaafi’iyyah) bahwasannya shalat sunnah rawatib dan yang lainnya disunnahkan agar dialihkan pelaksanaannya dari tempat shalat fardlu ke tempat yang lainnya. Berpindah yang paling utama adalah di rumahnya. Dan jika tidak, maka cukup di tempat lain dari masjid atau yang lainnya untuk memperbanyak tempat sujudnya, dan untuk membedakan antara shalat sunnah dengan shalat fardlu. Dan perkataan Mu’aawiyyah : ‘hingga kami berbicara’, merupakan dalil bahwasannya pemisahan antara keduanya (shalat sunnah dengan shalat fardlu) dapat dilakukan dengan berbicara. Akan tetapi berpindah tempat lebih utama dilakukan sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, wallaahu a’lam” [Syarh Shahih Muslim, 6/170-171].
عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَاب النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعَصْرَ، فَقَامَ رَجُلٌ يُصَلِّي فَرَآهُ عُمَرُ، فَقَالَ لَهُ: اجْلِسْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَاب أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلَاتِهِمْ فَصْلٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَحْسَنَ ابنُ الْخَطَّاب "
Dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Bahwasannya ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat ‘Ashar, berdirilah seorang laki-laki untuk melanjutkan shalatnya. Lalu ‘Umar melihat orang tersebut dan berkata kepadanya : “Duduklah ! Ahlul-Kitab telah binasa hanyalah dikarenakan mereka tidak membuat pemisah untuk shalat-shalat mereka”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Sungguh baik apa yang dikatakan Ibnul-Khaththaab” [Al-Musnad, 5/368; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah, 6/105-106 no. 2549].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mengomentari hadits ini dengan perkataannya :
و الحديث نص صريح في تحريم المبادرة إلى صلاة السنة بعد الفريضة دون تكلم أو خروج
“Dan hadits tersebut merupakan nash yang jelas tentang pengharaman untuk langsung melanjutkan shalat sunnah setelah shalat fardlu tanpa berbicara atau keluar” [Silsilah Ash-Shahiihah, 6/105].
5.     Banyak ulama Syaafi’iyyah berpendapat bahwa larangan berpuasa tersebut dimulai dari tanggal 16 Sya’baan berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلَا صَوْمَ حَتَّى يَجِيءَ رَمَضَانُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila tiba pertengahan bulan Sya’baan, janganlah berpuasa hingga tiba bulan Ramadlan”[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2337, At-Tirmidziy no. 738, Ibnu Maajah no. 1651, Ahmad 2/442, ‘Abdurrazzaaq no. 7325, dan yang lainnya; shahih].
Sebagian ulama ada yang mendla’ifkan hadits ini dan sebagian yang lain menshahihkannya; dan pendapat yang menshahihkannya itu menurut kami yang lebih kuat, wallaahu a’lam. At-Tirmidziy mengatakan : "Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih". Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/392.
At-Tirmidziy rahimahullah menjelaskan hadits tersebut sebagai berikut :
وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ مُفْطِرًا فَإِذَا بَقِيَ مِنْ شَعْبَانَ شَيْءٌ أَخَذَ فِي الصَّوْمِ لِحَالِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يُشْبِهُ قَوْلَهُمْ حَيْثُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقَدَّمُوا شَهْرَ رَمَضَانَ بِصِيَامٍ إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَقَدْ دَلَّ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّمَا الْكَرَاهِيَةُ عَلَى مَنْ يَتَعَمَّدُ الصِّيَامَ لِحَالِ رَمَضَانَ
“Makna hadits tersebut menurut sebagian ulama adalah : Jika seseorang tidak terbiasa berpuasa, kemudian ketika masuk pada pertengahan bulan Sya'ban, ia baru mulai berpuasa karena (menyambut) bulan Ramadlaan. Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam (satu hadits) yang semisal makna yang diterangkan oleh mereka, yaitu beliau shalallaahu 'alaihi wa salam bersabda : ‘Janganlah kalian berpuasa mendahului bulan Ramadlaan dengan puasa, kecuali jika bertepatan hari yang kalian biasa berpuasa’. Hadits ini menunjukan larangan bagi orang yang sengaja berpuasa menjelang datangnya puasa Ramadlan” [Dinukil melalui perantaraan Jaami’ Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah fish-Shiyaam wal-Qiyaam wal-I’tikaaf oleh Hamdiy Haamid Shubh, hal. 37, muraja’ah : ‘Aliy Al-Halabiy].
Maka, jika seseorang berniat untuk puasa bulan Sya’ban dan ia telah memulainya sebelum pertengahan Sya’ban, maka tidak mengapa ia berpuasa hingga pada pertengahan kedua bulan Sya’ban. Namun ketika sampai sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadlaan, hendaklah ia berhenti karena ada larangan yang tercantum pada hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu dalam bab ini.
**********
٦٥١ - وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ [قَالَ]: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : ((مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)).
وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ.
651. Dari ‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa di hari yang diragukan padanya, sungguh ia telah durhaka kepada Abul-Qaasim shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, dan disambungkan sanadnya oleh imam yang lima serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan.
Penjelasan ringkas:
Al-Bukhaariy menyebutkannya secara mu’allaq (4/119 - Fathul-Baariy) dengan shighah jazm (pasti). Disambungkan sanadnya oleh Abu Daawud no. 2334, At-Tirmidziy no. 686, An-Nasaa’iy no. 2188, Ibnu Maajah no. 1645, Ad-Daarimiy no. 1724, oleh Ibnu Abi Syaibah 3/73, Ibnu Khuzaimah no. 1914, Ibnu Hibbaan 8/351 no. 3585 & 8/360-361 no. 3595 dan dalam Al-Mawaarid 3/179 no. 878, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 1394, Ad-Daaraquthniy no. 2150, Al-Haakim 1/423-424, dan Al-Baihaqiy 4/208 (350) no. 7952.
Selain Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan, hadits ini juga dishahihkan para imam yang lain.
At-Tirmidziy berkata : “Hadits ‘Ammaar adalah hadits hasan shahih”. Ad-Daaraquthniy berkata : “Sanad hadits ini hasan shahih, para perawinya tsiqaat”. Al-Haakim berkata : “Ini adalah hadits shahih sesuai persyaratan Shahihain, namun keduanya tidak meriwayatkannya”. Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar 3/353 berkata : “Hadits ini sanadnya shahih”.
Beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits ini:
1.     Larangan berpuasa di hari syakk (meragukan).
Para ulama berbeda perkataan dalam mendefinisikan hari syakk.Sebagian ulama berkata bahwa ia adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya gelap atau langit diliputi mendung sehingga hilal tidak tampak. Sebagian ulama lain berpendapat : hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya langit dalam keadaan cerah atau berawan, kemudian diberitahukan adanya ru’yah hilal dari orang yang tidak diterima persaksiannya seperti budak, wanita, atau orang fasik. Sebagian lagi berpendapat ia adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya hilal tidak nampak dalam keadaan langit cerah tanpa ada faktor yang menghalangi tampaknya hilal seperti mendung, gelap, atau yang lainnya. Yang kesemuanya itu menimbulkan keraguan : apakah hari tersebut masih bulan Sya’baan ataukah telah masuk bulan Ramadlaan.
[Catatan : semua pendapat itu bersatu dalam definisi : hari ke-30 bulan Sya’ban dan hilaaldi malam harinya tidak tampak; karena jika hilaal telah tampak maka tidak ada keraguan bahwa telah masuk bulan Ramadlaan].
Hadits ini sebagai sanggahan terhadap pendapat Hanaabilah[1] yang mengatakan wajib berpuasa dalam rangka kehati-hatian jika hilal di malam tigapuluh tidak nampak padahal langit tidak berawan atau tidak gelap (cerah).
2.     Hadits ini menunjukkan kaedah syar’iyyah:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum asal suatu perkara tetap pada asalnya”.
الرجوع للأصل عند الشك
“Hukum kembali pada asalnya ketika ada keraguan”.
Maksudnya, jika ada keraguan pada hari ke-30 bulan Sya’ban apakah ia telah masuk bulan Ramadlaan ataukah belum, maka hari itu tetap dihukumi sebagai bulan Sya’baan.
Sama halnya seperti ketika seorang shahabat ragu dalam shalatnya apakah ia telah batal ataukah belum dikarenakan sesuatu di dalam perutnya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Tidak (batal), hingga ia mendengar suaranya (kentut) atau mencium baunya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 137 & 177 & 2056 dan Muslim no. 361].
Secara umum, ini dapat diqiyaskan dalam hal-hal yang lainnya.
3.     Puasa Ramadlaan tidak dimulai kecuali dengan satu keyakinan akan masuknya bulan Ramadlaan, yaitu dengan terlihatnya hilaal atau setelah menggenapkan bulan Sya’ban 30 hari.
4.     Masyru’-nya menggunakan kun-yah bagi laki-laki maupun wanita
Sudah menjadi kebiasaan semenjak pra-Islam hingga kemudian ditetapkan oleh syari’at Islam, orang-orang menggunakan kun-yah bagi dirinya. Nama kun-yah ini dapat dinisbatkan kepada anaknya seperti yang digunakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu Abul-Qaasim), kepada ayahnya seperti ‘Abdullah bin ‘Umar yang berkunyah Ibnu ‘Umar, atau yang lainnya seperti ‘Aliy bin Abi Thaalib yang ber-kun-yah Abu Turaab[2].
Bahkan anak-anak pun boleh memakai nama kun-yah[3].
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memakai kun-yah Abul-Qaasim bagi selain diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat yang raajihwallaahu a’lam– adalah pendapat ulama yang mengatakan kun-yahAbul-Qaasim dilarang khusus bagi mereka yang bernama Muhammad atau Ahmad saja. Bagi yang tidak bernama ini, maka boleh baginya ber-kun-yah Abul-Qaasim. Hal ini berdasarkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَجْمَعُوا بَيْنَ اسْمِي وَكُنْيَتِي، فَإِنِّي أَنَا أَبُو الْقَاسِمِ، اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي، وَأَنَا أَقْسِمُ
Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku dan kunyahku. Karena sesungguhnya akulah Abul-Qasim. Allah ‘azza wa jalla lah yang memberi dan akulah yang membagi” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/433 no. 9596, Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 1275, Ibnu Hibbaan no. 5814 & 5817, dan yang lainnya; shahih].
Hadits ini memberikan mafhum bahwa jika tidak mengumpulkan antara nama dan kunyah adalah diperbolehkan.
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah.
[abul-jauzaa’ – perumahan bukit asri ciomas indah, sabtu, 06062015 – Buluughul-Maraam dengan penomoran sesuai tahqiq Samiir bin Amiin Az-Zuhairiy].




[1]     Lihat: Al-Hidaayah ‘alaa Madzhab Al-Imaam Abi ‘Abdillah oleh Abul-Khaththaab, hal. 153-154, tahqiq & takhrij & ta’liq : Maahir bin Yaasiin Al-Fakhl; Penerbit Ghiraasy, Cet. 1/1425, Kuwait.
[2]     Turaab artinya tanah. Abu Turaab adalah kun-yah yang diberikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: "جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَجِدْ عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ، فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ؟ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ، فَجَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ وَأَصَابَهُ تُرَابٌ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ "
Dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Faathimah namun tidak mendapatkan ‘Aliy dalam rumah tersebut. Beliau bertanya : “Dimanakah anak pamanmu ?”. Faathimah menjawab : “Telah terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu marah kepadaku kemudian ia keluar dan tidak tidur siang bersamaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang : “Carilah, dimanakah ia berada !”. Lalu orang tersebut datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, ia sedang tiduran di masjid “. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mendatanginya, dimana waktu itu ‘Aliy sedang berbaring, dan selendangnya terjatuh dari sisinya dan terkena tanah. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membersihkan tanah tersebut darinya dan berkata : “Bangunlah Abu Turaab, bangunlah Abu Turaab !” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 441].
[3]     Seperti salah seorang shahabat kecil yang ber-kun-yah Abu ‘Umair.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قال: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ، قَالَ: أَحْسِبُهُ، قَالَ: كَانَ فَطِيمًا، قَالَ: فَكَانَ إِذَا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَآهُ، قَالَ أَبَا عُمَيْرٍ: مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ ؟، قَالَ: فَكَانَ يَلْعَبُ بِهِ
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yang dipanggil Abu ‘Umair yang aku kira waktu itu sedang disapih. Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan melihatnya, beliau menyapanya : “Wahai Abu ‘Umair, apa yang terjadi pada An-Nughair (si burung pipit kecil) ?”. Waktu itu ia sedang bermain dengan nughair” [Diriwayatkanb oleh Al-Bukhaariy no. 6129 & 6203, Muslim no. 2150, Abu Daawud no. 4969, At-Tirmidziy no. 333 & 1989, dan yang lainnya].

Daging Sapi adalah Penyakit ?

$
0
0
Dalam riwayat dikatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
أَلْبَانُهَا شِفَاءٌ، وَسَمْنُهَا دَوَاءٌ، وَلَحْمُهَا دَاءٌ
Susunya (sapi) adalah penyembuh, lemaknya adalah obat, sedangkan dagingnya adalah penyakit”.
Diriwayatkan oleh ‘Aliy bin Al-Ja’d dalam Musnad-nya no. 2776, Abu Daawud dalam Al-Maraasiil hal. 221 no. 8, Ath-Thabaraaniy 25/42 no. 79, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa9/345 (580) no. 19572, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 7893, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 35/310; semuanya dari jalan Zuhair Abu Khaitsamah, dari istrinya - dan ia menyebutkan bahwa istrinya tersebut seorang yang shaduuqah - , bahwasannya ia (istri Zuhair) mendengar Mulaikah bintu ‘Amr, dan ia menyebutkan hadits tersebut secara marfuu’.
Sanad riwayat ini lemah terutama karena mubham-nya istri Zuhair Abu Khaitsamah. Meskipun Zuhair mengatakan ia seorang yang shaduuqah, namun belum tentu bagi selain dirinya. Oleh karena itu, tautsiq yang diberikan kepada orang yang mubham tidaklah diterima menurut pendapat yang kuat di kalangan ahli hadits.
Mulaikah bintu ‘Amru diperselisihkan status kebersahabatannya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Abu Daawud memasukkan riwayatnya tersebut dalam Al-Maraasiilsehingga mengindikasikan ada keterputusan antara dirinya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 5555 menyebutkan sanad yang sama dengan yang disebutkannya dalam Al-Kubraa 9/345 (580) no. 19572, hanya saja di sini ia menyebutkan tambahan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa antara Mulaikah bintu ‘Amru dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Namun, tambahan ini syaadz lagi tidak shahih karena menyelisihi riwayat jama’ah.
Mulaikah mempunyai syawaahiddari:
1.     ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 4/404 dan Ibnu Basykawal dalam Al-Ath’imah no. 29; keduanya dari jalan Mu’aadz bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Saif bin Miskiin, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Mas’uudiy, dari Al-Hasan bin Sa’d, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdillah bin Mas’uud, dari ayahnya, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
عَلَيْكُمْ بِأَلْبَانِ الْبَقَرِ وَسمْنَانِهَا وَإِيَّاكُمْ وَلُحُومَهَا، فَإِنَّ أَلْبَانَهَا دَوَاءٌ وَسمْنَهَا شِفَاءٌ وَلُحُومَهَا دَاءٌ
“Hendaklah kalian minum susu sapi dan memakan lemaknya, karena susunya adalah obat dan lemaknya adalah penyembuh. Adapun dagingnya adalah penyakit”.
Sanad riwayat keliru.
Saif bin Miskiin As-Sulamiy Al-Bashriy, dikatakan Ibnu Hibbaan sebagai perawi yang meriwayatkan hadits yang terbolak balik dan hadits-hadits palsu, sehingga tidak boleh berhujjah dengannya karena penyelisihannya terhadap para perawi yang tsabt. Ad-Daaraquthniy berkata : “Tidak kuat” [Al-Majruuhiin, 1/441 no. 440 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun li-Ibnil-Jauziy 2/35-36 no. 1597].
Al-Mas’uudiy – namanya adalah : ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin ‘Abdillah bin Mas’uud Al-Kuufiy Al-Mas’uudiy – adalah seorang yang shaduuq, namun mengalami ikhtilaath sebelum wafatnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 586 no. 3944].
Saif bin Miskiin diselisihi oleh Ja’far bin ‘Aun dan Abu ‘Abdirrahmaan Al-Muqri’ yang keduanya meriwayatkan dari Al-Mas’uudiy, dari Qais bin Muslim Al-Jadaliy, dari Thaariq bin Syihaab, dari ‘Abdullah bin Mas’uud secara marfuu’ tanpa tambahan penyebutan lemak dan daging sapi:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يُنْزِلْ دَاءً، إِلا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، إِلا الْهَرَمَ، فَعَلَيْكُمْ بِأَلْبَانِ الْبَقَرِ، فَإِنَّهَا تَرُمُّ مِنْ كُلِّ شَجَرٍ
Sesungguhnya Allah ta’ala tidak menurunkan penyakit kecuali Ia menurunkan juga untuknya penyembuhnya/obatnya, kecuali penyakit tua. Maka hendaklah kalian minum susu sapi, karena ia makan semua jenis pepohonan” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 4/196 dan Al-Baihaqiy 9/345 (580) no. 19571 – lafadhnya milik Al-Haakim].
Ja’far bin ‘Aun adalah perawi yang meriwayatkan dari Al-Mas’uudiy sebelum masa ikhtilaath-nya [Al-Mukhtalithiin – beserta komentar muhaqqiq-nya – hal. 72-73 no. 28].
Sanad dan matan riwayat inilah yang benar dari Al-Mas’uudiy.
Al-Mas’uudiy dalam periwayatan dari Qais bin Muslim seperti di atas mempunyai mutaba’ah dari Ats-Tsauriy, Ar-Rabii’ bin Luuth, Abu Daawud Ath-Thayaalisiy, Jarraah bin Maliih, Ar-Rabii’ bin Rukain, Ibraahiim bin Muhaajir, dan Abu Haniifah An-Nu’maan bin Tsaabit.
Oleh karena itu, riwayat yang dibawakan Saif bin Miskiin di sini tidak dapat dipakai sebagai penguat.
2.     ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 7/298 : ‘Abdullah bin Muhammad bin Yaasiin : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mu’aawiyyah Al-Anmathiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyaad Ath-Thahhaan, dari Maimuun, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
سَمْنُ الْبَقَرِ وَأَلْبَانُهَا شِفَاءٌ وَلُحُومُهَا دَاءٌ
Lemak dan susu sapi adalah penyembuh, sedangkan dagingnya adalah penyakit”.
Riwayat ini palsu, karena Muhammad bin Ziyaad Ath-Thahhaan adalah pendusta yang meriwayatkan hadits-hadits palsu dari Maimuun bin Mihraan dan yang lainnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 845 no. 5927 dan Tahdziibut-Tahdziib9/170-172 no. 253].
3.     Shuhaib bin Sinaan radliyallaahu ‘anhu.
Ibnul-Qayyim rahimahullah menukilnya dalam Zaadul-Ma’aad(4/293):
روى محمد بن جرير الطبري بإسناده من حديث صهيب يرفعه : [ عليكم بألبان البقر فإنها شفاء وسمنها دواء ولحومها داء ] رواه عن أحمد بن الحسن الترمذي حدثنا محمد بن موسى النسائي حدثنا دفاع بن دغفل السدوسي عن عبد الحميد بن صيفي بن صهيب عن أبيه عن جده ولا يثبت ما في هذا الإسناد
“Diriwayatkan oleh Muhammad bin Jariir Ath-Thabariy dengan sanadnya dari hadits Shuhaib secara marfuu’ : ‘Hendaklah kalian minum susu sapi, karena ia adalah penyembuh dan lemaknya adalah obat. Adapun dagingnya adalah penyakit’. Diriwayatkan dari Ahmad bin Al-Hasan At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muusaa An-Nasaa’iy : Telah menceritakan kepada kami Daffaa’ bin Daghfal As-Saduusiy, dari ‘Abdul-Hamiid bin Shaifiy bin Shuhaib, dari ayahnya, dari kakeknya. Namun sanad ini tidak shahih”.
Abu Nu’aim juga meriwayatkannya dalam Kitaabuth-Thibbno. 8 dari jalan Muhammad bin Jariir Ath-Thabariy, dari Ahmad bin Hasan, dan selanjutnya seperti di atas.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul-Qayyim, sanad riwayat ini tidak shahih karena keberadaan Daffaa’ bin Daghfal, seorang yang dla’iiful-hadiits [Taqriibut-Tahdziib hal. 310 no. 1836 dan Tahdziibut-Tahdziib3/211-212 no. 400]. Begitu juga dengan ‘Abdul-Hamiid bin Shaifiy, seorang yang maqbuul. Abu Haatim berkata : “Syaikh”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat [Tahdziibut-Tahdziib, 6/114-115 no. 230].
Semua jalan riwayat di atas ada kelemahan, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Yang lebih penting dari itu, riwayat-riwayat ini bertentangan dengan nash-nash mutawatir tentang halal dan baiknya daging sapi:
1.     Bolehnya berkurban dengan sapi.
Allah ta’ala berfirman:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” [QS. Al-Hajj : 28].
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [QS. Al-Hajj : 34].
Bahiimatul-an’aam (binatang ternak) dalam ayat tersebut maknanya (dalam bahasa ‘Arab) adalah domba, sapi, atau onta. Udlhiyyah tidaklah sah kecuali dengan tiga jenis binatang in. Ini adalah pendapat jumhur ulama [lihat Al-Mughniy11/99, Al-Ma’uunah 1/658, dan Mukhtashar Ikhtilafil-‘Ulamaa’ oleh Ath-Thahawiy 3/224]. Bahkan Ibnu Rusyd dalam Bidaayatul-Mujtahid 2/435 dan Ash-Shan’aniy dalam Subulus-Salaam 4/176 menukil adanya ijma’ akan hal tersebut.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: ..... وَضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِسَائِهِ بِالْبَقَرِ
Dari ‘AAisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “…..Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkurban sapi untuk istri-istrinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 294 & 5559 dan Muslim no. 1211].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَ الْأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةً، وَفِي الْجَزُورِ عَشَرَةً
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Tibalah hari ‘Iedul-Adhlaa. Lalu kami berserikat sebanyak tujuh orang untuk seekor sapi dan sepuluh orang untuk seekor onta” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 905 & 1501, Ahmad 1/275, Ibnu Maajah no. 3131, An-Nasaa’iy 7/222, Ibnu Khuzaimah no. 2908, Ibnu Hibbaan no. 4007, dan yang lainnya; shahih].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memakan dan membagikannya kepada kaum muslimin (agar mereka dapat turut memakannya).
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلَا يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ، وَبَقِيَ فِي بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْءٌ "، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِي، قَالَ: كُلُوا، وَأَطْعِمُوا، وَادَّخِرُوا، فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا
Dari Salamah bin Al-Akwa’, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa di antara kalian yang berkurban, maka janganlah ada sisa daging kurban di rumahnya pada hari ketiga”. Pada tahun selanjutnya para shahabat bertanya : Ya Rasulullah, apakah kami akan lakukan seperti tahun lalu ?”. Beliau menjawab : “Sekarang, makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah. Tahun lalu aku melarangnya karena pada saat itu orang-orang dalam keadaan sulit dan aku ingin membantu mereka dengan daging kurban tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5569].
2.     Daging sapi merupakan hidangan istimewa yang sudah dikenal semenjak dulu.
Allah ta’ala berfirman:
إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلامًا قَالَ سَلامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلا تَأْكُلُونَ
“(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaaman", Ibraahiim menjawab: "Salaamun" (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibraahiim berkata: "Silakan kamu makan"[QS. Adz-Dzaariyyaat : 25-27].
وَلَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَى قَالُوا سَلامًا قَالَ سَلامٌ فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ بِعِجْلٍ حَنِيذٍ
“Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Salaman" (Selamat). Ibrahim menjawab: "Salamun" (Selamatlah), maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang” [QS. Huud : 69].
3.     Sapi halal untuk dimakan, dan Allah ta’ala hanya menghalalkan sesuatu yang baik bagi manusia.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [QS. Al-A’raaf : 154].
Seandainya daging sapi mengandung penyakit dan memberikan mudlarat bagi siapa saja yang memakannya, niscaya Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menjadikannya sebagai hewan kurban dan melarang manusia untuk memakannya. Adanya kontradiksi dengan nash-nash di atas sebagai penguat kelemahan hadits daging sapi merupakan penyakit.
Oleh karena itu, hadits daging sapi merupakan penyakit adalah hadits munkar yang tidak boleh disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
As-Sakhawiy rahimahullah menyebutkannya dalam Al-Maqaashidul-Hasanah no. 713 & 854.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.

[abul-jauzaa – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 09062015 – 23:07]

Mengunci Masjid

$
0
0
Tanya : Bolehkah pengurus masjid mengunci masjid dan hanya membukanya pada waktu-waktu shalat yang lima?
Jawab : Tujuan utama dibangunnya masjid adalah sebagai tempat beribadah kaum muslimin berupa shalat, berdzikir, i’tikaf, dan ibadah-ibadah yang lainnya.
Allah ta’ala berfirman:
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih” [QS. At-Taubah : 108].
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang” [QS. An-Nuur : 36].
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam masjid” [QS. Al-Baqarah : 187].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2699].
Semua aktivitas peribadahan yang dilakukan di masjid tersebut di atas merupakan aktivitas memakmurkan masjid Allah yang sangat dianjurkan oleh syari’at.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”[QS. At-Taubah : 18].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وليس المراد من عمارتها زخرفتها وإقامة صورتها فقط، إنما عمارتها بذكر الله فيها وإقامة شرعه فيها، ورفعها عن الدنس والشرك.
“Yang dimaksudkan dengan memakmurkan masjid bukan sekedar menghiasi dan membangunnya secara fisik saja, akan tetapi memakmurkannya dengan berdzikir kepada Allah di dalamnya, menegakkan syari’at Allah di dalamnya, serta menjauhkan dari kotoran dan kesyirikan” [Tafsiir Ibni Katsiir, 1/388].
Masjid itu adalah milik Allah ta’ala, sehingga tidak boleh seorang pun menghalang-halangi seorang muslim yang akan beribadah di dalamnya. Allah ta’ala berfirman:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah” [QS. Al-Jin : 18].
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya?” [QS. Al-Baqarah : 114].
Bentuk menghalang-halangi di sini umum, baik dalam bentuk pelarangan, pensegelan, pemblokiran, atau membuat sesuatu hal yang tidak nyaman di masjid dengan tujuan agar kaum muslimin tidak shalat di dalamnya[1].
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi pengurus masjid mengunci masjid sehingga menghalang-halangi kaum muslimin untuk masuk beribadah di dalamnya. Mengunci masjid dapat menghilangkan fungsi masjid.
Apabila dikhawatirkan terjadi pencurian, maka tidak mengapa untuk menutup dan menguncinya di luar waktu-waktu shalat berjama’ah menurut pendapat sebagian ulama. Ibnu Muflih rahimahullah menukil:
وقال مشايخنا : لا بأس به في زماننا في غير أوان الصلاة، لأنه يخاف على ما فيه من السرقة
“Dan telah berkata guru-guru kami : Tidak mengapa menutup pintu-pintu masjid di jaman kita[2]di luar waktu-waktu shalat, karena dikhawatirkan adanya pencurian” [Al-Aadaabusy-Syar’iyyah, 3/384].
Namun demikian, ada beberapa alternatif yang dapat diambil untuk mengkondisikan masjid agar selalu dalam keadaan terbuka, yaitu : mengupah marbot masjid yang mengurus dan tinggal di komplek masjid, atau menyimpan barang-barang berharga di ruang khusus dan menguncinya tanpa mengunci pintu masjid.
Kalaupun lingkungan masjid rawan pencurian sehingga mengharuskan pintu masjid ditutup/dikunci di luar waktu-waktu shalat (berjama’ah), maka diusahakan masjid mempunyai serambi sehingga ketika masjid ditutup, orang-orang masih dapat memanfaatkan serambi masjid untuk aktivitas shalat dan yang lainnya dan mereka pun masih mendapatkan keutamaan masjid[3].
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 14062015 – 19:39].




[1]     Ath-Thabariy rahimahullah membawakan riwayat:
وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ: ثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، قَالَ: ثَنَا عِيسَى، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، فِي قَوْلِ اللَّهِ: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا: النَّصَارَى، كَانُوا يَطْرَحُونَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ الأَذَى، وَيَمْنَعُونَ النَّاسَ أَنْ يُصَلُّوا فِيهِ "
Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa, dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid tentang firman Allah ta’ala : ‘Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya?’ (QS. Al-Baqarah : 114); (ia berkata) : Yaitu orang-orang Nashrani. Mereka membuang kotoran di Baitul-Maqdis dan menghalang-halangi orag agar tidak shalat di dalamnya” [Tafsir Ath-Thabariy, 2/520].
[2]     Dan di jaman kita sekarang justru muncul para pencuri yang mempunyai spesialisasi menggasak barang-barang milik masjid seperti karpet, jam dinding, kipas angin, AC, sound system,dan yang lainnya.
[3]     Karena serambi masjid masih masuk wilayah masjid.

Pernikahan di Usia Muda – Perspektif Non-Islam

$
0
0
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhu pernah berkata:
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada saat usiaku 6 tahun, dan beliau membina rumah tangga (serumah) denganku  pada saat usiaku 9 tahun” [Muttafaqun ‘alaih].
Kita sering mendengar cemoohan dan ejekan dari orang-orang kafir – dan naasnya sebagian kaum muslimin yang bodoh terhadap agamanya mengekor mereka – bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengidap penyakit pedofilia karena beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi ‘Aaisyah di usia muda. Tentu saja ini tidak benar, karena pelabelan pedofilia kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya karena beliau menikahi gadis di bawah usia 13 tahun, tidaklah tepat. Pembatasan usia 13 tahun dalam Islam tidaklah dikenal sama sekali, apalagi kemudian menganggapnya sebagai satu penyakit. Tidak ada yang salah menikah dengan wanita muda, dewasa, setengah baya, atau nenek-nenek tua renta sekalipun. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikah dan serumah dengan ‘Aaisyah pada usianya 9 tahun adalah karena ia telah berusia baligh dan siap secara fisik untuk menjalankan pernikahan yang hakiki, termasuk jimaa’.
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa sendiri diriwayatkan mengatakan:
إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِينَ فَهِيَ امْرَأَةٌ
“Apabila telah mencapai usia sembilan tahun, maka ia seorang wanita dewasa/baligh” [Sunan At-Tirmidziy, 2/402 dan As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqiy 1/320 (476)].
Al-Baihaqiy rahimahullah menjelaskan:
تَعْنِي وَاللَّهُ أَعْلَمُ، فَحَاضَتْ فَهِيَ امْرَأَةٌ
“Yaitu – wallaahu a’lam - ia mengalami haidl, maka statusnya wanita dewasa”.
Tentu saja, apa yang dikatakan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa di atas berdasarkan apa yang ia alami dalam pernikahannya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Pernikahan di usia tersebut di kalangan bangsa ‘Arab atau selainnya bukan menjadi sesuatu hal yang luar biasa. Itu lumrah terjadi, dipersaksikan para ulama kita sepanjang jaman.
Asy-Syaafi'iy rahimahullah berkata:
رأيت باليمن بنات تسع يحضن كثيرا
“Aku melihat di negeri Yaman, banyak anak wanita berusia 9 tahun telah mendapatkan haidl” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/91].
رَأَيْتُ بِصَنْعَاءَ، جَدَّةً بِنْتَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ سَنَةً حَاضَتِ ابْنَةَ تِسْعٍ وَوَلَدَتِ ابْنَةَ عَشْرٍ، وَحَاضَتِ الْبِنْتُ ابْنَةَ تِسْعٍ وَوَلَدَتِ ابْنَةَ عَشْرٍ
“Aku pernah melihat di Shan’aa seorang nenek berusia 21 tahun. Ia mengalami haidl pada usia 9 tahun dan melahirkan (anak perempuan) pada usia 10 tahun. Lalu anak perempuannya itu juga mengalami haidl pada usia 9 tahun dan melahirkan pada usia 10 tahun” [As-Sunan Al-Kubraa, 1/319].
Al-Hasan bin Shaalih rahimahumallah berkata:
أَدْرَكْتُ جَارَةً لَنَا صَارَتْ جَدَّةً بِنْتِ إِحْدَى وَعِشْرِينَ سَنَةً
“Aku mendapati tetangga kami telah menjadi nenek pada usia 21 tahun” [As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqiy 1/320 (476)].
Saya tidak akan membahas hal tersebut dari perspektif Islam dan para ulama kita, akan tetapi bagaimana perspektif non-Islam memandang hal ini dalam referensi-referensi mereka sendiri. Saya rangkum dalam beberapa point:
1.     Pernikahan di usia muda adalah sesuatu yang sangat lumrah terjadi di kalangan bangsawan dan kaisar Kristen Bizantium, akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengecap mereka pengidap Pedofilia.
Sumber :

2.     Gereja sendiri pernah menetapkan batas minimal usia pernikahan adalah 7 – 14 tahun. Tidak ada seorang kafir pun mengecap keputusan gereja ini sebagai keputusan orang-orang Pedofilis.

3.     Catholic Encyclopedia menyebutkan bahwa Joseph (Yusuf) yang berusia 90 tahun menikahi Maria yang berusia 12-14 tahun. Jika orang-orang kafir itu tidak mempermasalahkan hal ini, lantas mengapa mereka meributkan pernikahan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa ?

4.     Batasan pernikahan 13 tahun adalah batasan yang dibuat belakangan, karena dulu banyak negara Amerika dan Eropa menetapkan batasan minimum pernikahan lebih rendah daripada itu.




Intinya, batasan ini adalah permasalahan kesepakatan, budaya, dan cara pandang, bukan masalah ‘penyakit’ itu sendiri.
5.     Kriteria dalam pernikahan adalah pubertas, bukan usia.
Dalam Bible, Ezekiel 16:7-8 disebutkan:
16:7  :   dan jadilah besar seperti tumbuh-tumbuhan di ladang! Engkau menjadi besar dan sudah cukup umur, bahkan sudah sampai pada masa mudamu. Maka buah dadamu sudah montok, rambutmu sudah tumbuh, tetapi engkau dalam keadaan telanjang bugil.
16:8    :   Maka Aku lalu dari situ dan Aku melihat engkau, sungguh, engkau sudah sampai pada masa cinta berahi. Aku menghamparkan kain-Ku kepadamu dan menutupi auratmu. Dengan sumpah Aku mengadakan perjanjian dengan engkau, demikianlah firman Tuhan ALLAH, dan dengan itu engkau Aku punya”.
[maaf jika kalimatnya sedikit vulgar, karena yang tertulis dalam Bible memang seperti itu : sabdadotorg].
Menurut Bible, dengan tumbuhnya buah dada dan rambut kemaluan, maka seorang wanita telah siap untuk dinikahi. Tentu saja ini tidak dibatasi usia tertentu.
Pubertas seorang wanita:
The onset of puberty varies among individuals. Puberty usually occurs in girls between the ages of 10 and 14, while in boys it generally occurs later, between the ages of 12 and 16. In some African-American girls, puberty begins earlier, at about age 9, meaning that puberty occurs from ages 9 to 14.
“Pemulaan usia pubertas bervariasi untuk setiap individu. Pubertas biasanya terjadi pada anak wanita antara usia 10 – 14 tahun, sementara untuk anak laki-laki umumnya terjadi setelah itu, yaitu antara usia 12 – 16 tahun. Pada sebagian anak wanita Afrika-Amerika, pubertas dimulai lebih awal, yaitu sekitar usia 9 tahun. Hal itu berarti pubertas terjadi mulai usia 9 tahun hingga 14 tahun.....”
A study published in Pediatrics in 2010 found that among a population of 1,200 American girls, about 23 percent of African-Americans,15 percent of Latinas and 10 percent of Caucasian girls had begun puberty (marked by breast development) at age 7.
“Sebuah studi/penelitian yang dipblikasikan di Pediatrik tahun 2010 menemukan bahwa diantara populasi 1.200 anak wanita Amerika, sekitar 23 persen anak wanita Afrika-Amerika, 15 persen anak wanita Latin, dan 10 persen anak wanita Kaukasia mulai mengalami pubertas (ditandai dengan tumbuhnya buah dada) pada usia 7 tahun”
[selengkapnya : health.usnews].
Dan banyak tulisan lainnya.
6.     Sudah mutawatir fakta seorang ibu muda melahirkan anaknya dari pernikahan yang sah. Gambar di bawah adalah reportase tentang ibu muda dari Thailand yang melahirkan anaknya pada usia 9 tahun.

Ini menunjukkan bahwa secara fisik wanita memang mampu untuk menikah dan melahirkan di usia muda bukan sesuatu yang mengada-ada.
Baca juga : washingtonpostdotcom(Mom in Spain happy that her 10-year-old gave birth).
Jika demikian, apakah terlalu sulit memahami pernikahan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa sebagai sesuatu yang normal dan biasa ?.
Kaum muslimin tidak butuh ke-6 point tersebut untuk mengatakan bahwa pernikahan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘Aaisyah bukan sesuatu yang tercela atau aneh, karena perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu sendiri merupakan dalil akan kebolehannya dan tidak tercelanya. Apapun yang dilakukan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan kebaikan, karena Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" [QS. Al-Ahzaab : 21].
Semoga sedikit tulisan ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 15062015 – 00:59].

Menempelkan Pundak dan Kaki dalam Shaff

$
0
0
Dikatakan, ini adalah sunnah yang dibuat-buat oleh Al-Albaaniy rahimahullah yang baru hidup di abad 14 H. Ini jelas tidak benar. Insya Allah, berikut akan dijelaskan secara ringkas tentang sunnah dalam shalat berjama’ah ini.
Al-Bukhaariy rahimahullah membuat bab:
بَاب إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ
وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
“Bab : Menempelkan pundak dengan pundak, kaki dengan kaki dalam shaff.
An-Nu’maan bin Basyiir berkata : Aku melihat seorang laki-laki dari kami menempelkan bahunya dengan bahu rekannya.
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Khaalid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Zuhair, dari Humaid, dari Anas bin Maalik, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Tegakkanlah shaff-shaff kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku”. Ada seorang diantara kami yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki temannya [Shahiih Al-Bukhaariy, 1/238].
Hadits An-Nu’man bin Basyiir dibawakan Al-Bukhaariy secara mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Abu Daawud:
عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجُدَلِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِير، يَقُولُ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: "أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثَلَاثًا، وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ "، قَالَ: فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ
Dari Abul-Qaasim Al-Judaliy, ia berkata : Aku mendengar An-Nu’maan bin Basyiir berkata : Rasulullah  shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menghadap ke arah jama’ah shalat dan bersabda : “Tegakkanlah shaff-shaff kalian, tegakkanlah shaff-shaff kalian, tegakkanlah shaff-shaff kalian.  Demi Allah, kalian tegakkan shaff-shaff kalian atau Allah akan mencerai-beraikan hati-hati kalian”. An-Nu’man berkata : “Maka aku menyaksikan seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 662; shahih].
Perkataan Al-Bukhaariy rahimahullahdi atas menunjukkan fiqh (pemahaman) beliau terhadap hadits tersebut, yaitu cara menegakkan shaff adalah dengan menempelkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki. Sama seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah:
قوله : ( باب إلزاق المنكب بالمنكب والقدم بالقدم في الصف ) المراد بذلك المبالغة في تعديل الصف وسد خلله
“Dan perkataan Al-Bukhaariy : Bab Menempelkan Pundak dengan Pundak dan Kaki dengan Kaki dalam Shaff; maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaff dan menutup celah” [Fathul-Baariy, 2/211].
Yaitu : cara berlebih-lebihan dalam meluruskan dan menutup celah dalam shaff adalah dengan menempelkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki. Jika tidak menempel, tentu akan ada celah sebagaimana hal itu telah ma’ruuf.
Dalam riwayat Abu Ya’laa ada tambahan dari perkataan Anas:
وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ
“Dan seandainya engkau melakukan yang demikian itu pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal yang melawan” [Musnad Abi Ya’laa no. 3720].
Perkataan Anas radliyallaahu ‘anhu ini merupakan pembenaran terhadap apa yang dilakukan oleh salah seorang shahabat yang menempelkan pundaknya dengan pundak temannya dan kakinya dengan kaki temannya. Selain itu juga perkataan Anas tersebut menunjukkan perbuatan tersebut adalah sesuatu yang lazim dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian banyak ditinggalkan oleh orang-orang sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ بُشَيْرِ بْنِ يَسَارٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَقِيلَ لَهُ: مَا أَنْكَرْتَ مِنَّا مُنْذُ يَوْمِ عَهِدْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا أَنْكَرْتُ شَيْئًا، إِلَّا أَنَّكُمْ لَا تُقِيمُونَ الصُّفُوفَ
Dari Busyair bin Yasaar Al-Anshaariy, dari Anas bin Maalik, bahwasannya ia datang ke Madinah, lalu dikatakan kepadanya : "Apakah ada sesuatu yang engkau ingkari dari kami sejak engkau hidup bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?". Anas bin Maalik menjawab : "Tidak ada sesuatu yang aku ingkari, kecuali kalian tidak meluruskan shaff-shaff” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 724].
Ibnu Hajar rahimahullahmengomentari lebih lanjut hadits Anas yang awal dengan perkataannya:
وَأَفَادَ هَذَا التَّصْرِيحُ أَنَّ الْفِعْلَ الْمَذْكُورَ كَانَ فِي زَمَنِ اَلنَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ، وَبِهَذَا يَتِمُّ الِاحْتِجَاجُ بِهِ عَلَى بَيَان الْمُرَاد بِإِقَامَةِ الصَّفِّ وَتَسْوِيَتِهِ ، وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ "وَلَوْ فَعَلْت ذَلِكَ بِأَحَدِهِمْ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بَغْل شُمُوس "
“Hadits ini memberikan faidah bahwa perbuatan yang disebutkan dalam hadits (yaitu perbuatan shahabat yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan kakinya dengan kaki temannya) berlangsung di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan dengan hadits tersebut sempurnalah hujjah untuk  menjelaskan maksud meluruskan dan merapatkan shaff. Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya : ‘Dan seandainya engkau melakukannya dengan salah seorang diantara mereka pada hari ini, niscaya ia akan lari seperti bighal yang melawan” [Fathul-Baariy, 2/211].
Syamsul-Haqq Al-‘Aadhiim Aabaadiy rahimahullah berkata:
قَالَ فِي التَّعْلِيق الْمُغْنِي : فَهَذِهِ الْأَحَادِيث فِيهَا دَلَالَة وَاضِحَة عَلَى اِهْتِمَام تَسْوِيَة الصُّفُوف وَأَنَّهَا مِنْ إِتْمَام الصَّلَاة ، وَعَلَى أَنَّهُ لَا يَتَأَخَّر بَعْض عَلَى بَعْض وَلَا يَتَقَدَّم بَعْضه عَلَى بَعْض ، وَعَلَى أَنَّهُ يُلْزِق مَنْكِبه بِمَنْكِبِ صَاحِبه وَقَدَمه بِقَدَمِهِ وَرُكْبَته بِرُكْبَتِهِ ، لَكِنْ الْيَوْم تُرِكَتْ هَذِهِ السُّنَّة ، وَلَوْ فُعِلَتْ الْيَوْم لَنَفَرَ النَّاس كَالْحُمُرِ الْوَحْشِيَّة . فَإِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Al-Haafidh berkata dalam At-Ta’liiq Al-Mughniy : Hadits-hadits ini terdapat petunjuk yang jelas untuk memperhatikan kelurusan shaff, dan ia merupakan kesempurnaan shalat. Tidak boleh sebagian makmum mundur atau maju dari yang lain. Dan hendaknya menempelkan pundaknya ke pundak temannya dan kakinya ke kaki temannya. Akan tetapi pada hari ini sunnah ini telah ditinggalkan. Apabila sunnah ini dilakukan pada hari ini, niscaya orang-orang akan lari seperti keledai liar. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” [‘Aunul-Ma’buud, 2/256].
Tentu saja, sunnah ini diamalkan tanpa berlebihan dengan berdesak-desakan sehingga membuat sulit bergerak dalam shalat. Mudah dilakukan bagi yang mau dan terbiasa.
Kembali ke paragraph awal, benarkah ini sunnah yang dibuat-buat oleh Al-Albaaniy ?. Benarkah ini hanya pemahaman Al-Albaaniy dan kaum Wahabiy semata ?
Dapatkan Anda membuat shaff yang rapat tanpa celah, dengan tanpa menempelkan bahu, kaki, atau bagian lain dari tubuh Anda ?.
Gambar di awal adalah ilustrasi yang dibuat oleh orang yang lemah semangatnya dalam mengamalkan sunnah. Siapakah kreatornya ?. Anda mudah untuk menebaknya.
Wallaahu a’lam.

[abul-jauzaa’ – senayan Jakarta – 15062015 – 11:14].
Viewing all 594 articles
Browse latest View live