Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Speaker Tadarusan

$
0
0

Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ، وَقَالَ: أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ، أَوْ قَالَ: فِي الصَّلَاةِ
Dari Abu Sa'iid, ia berkata : "Rasulullah beri'tikaf di masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al-Qur'an)-nya. Kemudian beliau membuka tirai seraya bersabda : 'Ketahuilah, sesungguhnya kalian semua tengah bermunajat dengan Rabbnya. Oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain, dan jangan pula sebagian orang mengeraskan suaranya terhadap sebagian yang lain dalam bacaan (Al-Qur'an)’ - atau beliau bersabda :dalam shalatnya’" [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/94, Abu Daawud no. 1332, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 7/288-289 no. 8038, Ibnu Khuzaimah 2/190 no. 1162, dan Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/310-311].

عَنْ الْبَيَاضِيِّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ، فَقَالَ: "إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ، فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ، وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ "
Dari Al-Bayaadliy : Bahwasannya Rasulullah pernah keluar menemui orang-orang yang ketika itu mereka sedang shalat, dan suara mereka yang sedang membaca qira’at demikian keras. Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya orang yang shalat itu sedang bermunajat kepada Rabbnya. Perhatikanlah apa yang ia munajatkan itu, dan jangan sebagian kalian mengeraskan bacaan Al-Qur’annya kepada sebagian yang lain” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’1/386-387 no. 185, Ahmad 4/344, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/387-388 no. 3350 & 7/288 no. 8037, dan lain-lain; dishahihkan oleh Saliim Al-Hilaaliy dalam tahqiq dan takhrij-nya terhadap Al-Muwaththa’].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah ketika menjelaskan perincian mengangkat/mengeraskan suara di masjid, beliau berkata:
أحدهما : أن يكون بذكر الله وقراءة القرآن والمواعظ وتعليم العلم وتعلمه ، فما كان من ذلك لحاجة عموم أهل المسجد إليه ، مثل الأذان والإقامة وقراءة الإمام في الصلوات التي يجهر فيها بالقراءة ، فهذا كله حسن مأمور به .وقد كان النبي ﷺ إذا خطب علا صوته واشتد غضبه كأنه منذر جيش ، يقول : (( صبحكم ومساكم )) ، وكان إذا قرأ في الصلاة بالناس تسمع قراءته خارج المسجد ، وكان بلال يؤذن بين يديه ويقيم في يوم الجمعة في المسجد .
.............
وما لا حاجة إلى الجهر فيه ، فإن كان فيه أذى لغيره ممن يشتغل بالطاعات كمن يصلي لنفسه ويجهر بقراءته ، حتى يغلط من يقرأ إلى جانبه أن يصلي ، فإنه منهي عنه .
وقد خرج النبي ﷺ ليلة على أصحابه وهم يصلون في المسجد ويجهرون بالقراءة ، فقال : (( كلكم يناجي ربه ، فلا يجهر بعضكم على بعض بالقرآن .
وفي رواية : (( فلا يؤذ بعضكم بعضا ، ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة .
خرجه الإمام أحمد وأبو داود والنسائي من حديث أبي سعيد .
وكذلك رفع الصوت بالعلم زائدا على الحاجة مكروه عند أكثر العلماء .......
Jenis Pertama, (mengeraskan suara) dengan dzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, nasihat-nasihat, pengajaran ilmu, dan mempelajarinya. Maka mengeraskan suara dalam katagori ini untuk memenuhi kebutuhan umumnya ahli masjid seperti adzan, iqamat, dan qira’at imam dalam shalat-shalat jahr; semua ini bagus lagi diperintahkan. Dulu Nabi apabila berkhuthbah, maka suara beliau meninggi dan kemarahan beliau memuncak seakan-akan keadaannya seperti panglima perang yang memperingatkan pasukannya seraya berkata : ‘Awas kalian akan diserang pagi-pagi, awas kalian akan diserang petang hari.[1]Apabila beliau membaca qira’at dalam shalat mengimami manusia, maka qira’at-nya tersebut terdengar hingga di luar masjid. Dan Bilaal dulu mengumandangkan adzan dan iqamat di hadapan beliau pada hari Jum’at di dalam masjid.
……..
Adapun sesuatu yang tidak ada kebutuhan untuk mengeraskan suara padanya : Apabila menyakiti/mengganggu orang lain yang sedang melakukan amalan ketaatan seperti misal orang yang shalat sendirian seraya mengeraskan qira’at-nya hingga orang yang membaca qira’ah di sampingnya keliru dalam shalatnya; maka ini terlarang.
Nabi pernah keluar pada suatu malam menemui para shahabat yang sedang melaksanakan shalat di masjid seraya mengeraskan qira’at-nya. Maka beliau bersabda : ‘Kalian semua sedang bermunajat kepada Rabbnya. Maka janganlah sebagian kalian mengeraskan qira’atnya kepada sebagian yang lain’.
Dalam sebagian riwayat : ‘Janganlah sebagian kalian menyakiti sebagian yang lain, dan jangan sebagian kalian mengangkat suara qira’atnya kepada sebagian yang lain’.
Diriwayatkan oleh Al-Imaam Ahmad, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy dari hadits Abu Sa’iid.
Begitu juga mengangkat suara dalam perkara ilmu lebih dari kebutuhan adalah makruh menurut jumhur ulama…. [Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 3/397-399].
Beliau rahimahullah melanjutkan :
الوجه الثاني : رفع الصوت بالاختصام ونحوه من أمور الدنيا ، فهذا هو الذي نهى عنه عمر وغيره من الصحابة .
ويشبه : إنشاد الضالة في المسجد ، وفي صحيح مسلم ، عن النبي ﷺ كراهته والزجر عنه ، من رواية أبي هريرة وبريدة .
وأشد منه كراهة : رفع الصوت بالخصام بالباطل في أمور الدين ؛ فإن الله ذم الجدال في الله بغير علم ، والجدال بالباطل ، فإذا وقع ذلك في المسجد ورفعت الأصوات به تضاعف قبحه وتحريمه .
وقد كره مالك رفع الصوت في المسجد بالعلم وغيره . ورخص أبو حنيفة ومحمد بن مسلمة من أصحاب مالك في رفع الصوت في المسجد بالعلم والخصومة وغير ذلك مما يحتاج إليه الناس ؛ لأنه مجمعهم ولا بد لهم منه .
Jenis Kedua, mengangkat suara dengan perdebatan dan semisalnya dari perkara dunia. Maka hal ini adalah perkara yang dilarang ‘Umar[2]dan yang lainnya dari kalangan shahabat.
Dan yang serupa dengannya : mencari barang yang hilang di masjid. Dalam Shahiih Muslim, dari Nabi  tentang penyebutan ketidaksukaan dan celaan beliau terhadap perbuatan tersebut, dari riwayat Abu Hurairah[3]dan Buraidah[4].
Dan kemakruhan yang paling keras : mengangkat suara dengan perdebatan kebathilan dalam perkara agama, karena Allah mencela perdebatan tentang Allah tanpa ilmu dan perdebatan kebathilan. Apabila terjadi perdebatan di masjid dan terangkat (mengeras) suaranya, maka keburukan dan keharamannya menjadi berlipat ganda.
Maalik memakruhkan mengangkat suara dalam urusan ilmu dan yang lainnya. Abu Haniifah dan Muhammad bin Maslamah dari kalangan Maalikiyyah memberikan rukhshah mengangkat suara di masjid untuk urusan ilmu dan perdebatan dalam perkara yang dibutuhkan manusia, karena masjid adalah tempat berkumpul mereka dan hal tersebut tidak dapat dihindari” [idem, 3/399].
Oleh karena itu, bukan termasuk adab dalam membaca Al-Qur’an berlomba-lomba mengeraskan bacaannyanya.
Jika dulu suara qira’at para shahabat yang dilarang Rasulullah adalah suara asli mereka yang hanya terdengar di dalam masjid atau sekitar masjid; lantas bagaimana keadaannya dengan zaman kita sekarang yang suara-suara itu sudah disambung dengan peralatan speaker lengkap dengan amplifier-nya hingga terdengar seantero kampung/desa/kompleks ?.
Banyak orang melakukannya karena niat baik dan semangat menyebarkan syiar-syiar Islam. ‘Tadarusan’, qashidahan, atau bahkan ada yang latihan menjadi penyiar radio dengan alasan membangunkan sahur. Mereka tidak sadar (atau : sadar ?) bahwa apa yang mereka lakukan justru menganggu kaum muslimin yang lain. Dapat Anda bayangkan, betapa meriahnya suara di dalam masjid, sementara mungkin saja ada orang yang sedang membaca dan menghapal Al-Qur’an atau shalat. Atau di luar masjid, banyak orang yang sedang membutuhkan ketenangan di rumahnya karena sedang sakit, belajar, atau aktivitas lainnya.
Ketika qira’at Al-Qur’an diperdengarkan melalui speaker/toa masjid, itu artinya kaum muslimin yang berada di sekitar kompleks masjid tersebut ‘diharuskan’ mendengarkannya karena Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat” [QS Al-A’raaf : 204].
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan:
هذا الأمر عام في كل من سمع كتاب الله يتلى، فإنه مأمور بالاستماع له والإنصات، والفرق بين الاستماع والإنصات، أن الإنصات في الظاهر بترك التحدث أو الاشتغال بما يشغل عن استماعه.
وأما الاستماع له، فهو أن يلقي سمعه، ويحضر قلبه ويتدبر ما يستمع، فإن من لازم على هذين الأمرين حين يتلى كتاب الله، فإنه ينال خيرا كثيرا وعلما غزيرا، وإيمانا مستمرا متجددا، وهدى متزايدا، وبصيرة في دينه، ولهذا رتب الله حصول الرحمة عليهما، فدل ذلك على أن من تُلِيَ عليه الكتاب، فلم يستمع له وينصت، أنه محروم الحظ من الرحمة، قد فاته خير كثير.
“Perintah ini umum terhadap semua orang yang mendengar Kitabullah dibacakan. Maka, ia diperintahkan untuk istimaa’ (mendengarkan/memperhatikan) dan inshaat (diam). Perbedaan antara istimaa’ dengan inshaat adalah : inshaat (diam) secara dhaahir dilakukan dengan meninggalkan pembicaraan dan kesibukan yang dapat menganggu aktivitasnya dalam mendengarkan/memperhatikan (Al-Qur’an). Adapun istimaa’ (mendengarkan/memperhatikan) Al-Qur’an adalah memasang telinganya, menghadirkan hatinya, dan mentadaburi apa yang didengarkannya. Karena termasuk kelaziman dua perkara ini, ketika Al-Qur’an dibacakan, maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, ilmu yang berlimpah, keimanan yang senantiasa diperbaharui, petunjuk yang terus bertambah, dan bashiirahdalam agamanya. Oleh karena itu, Allah menetapkan diperolehnya rahmat pada keduanya (istimaa’ dan inshaat). Hal itu juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang dibacakan kepadanya Al-Qur’an namun ia tidak mendengarkan/memperhatikannya dan diam, maka dirinya tidak mendapatkan kebaikan sehingga luput baginya kebaikan yang banyak” [Tafsiir As-Sa’diy, 1/314 – via Syaamilah].
Ketika suara tadarusan menggema via speaker/toa masjid, kaum muslimin yang ada di rumah-rumah mereka sedang melakukan aktivitas atau hajatnya yang tidak mungkin dirinya multitasking sambil mendengarkan dan diam terhadap qira’at yang terdengar di speaker/toa masjid.
Tadarusan yang banyak dilakukan kaum muslimin di masjid-masjid pada bulan Ramadlan adalah perbuatan yang baik. Baik pembaca atau yang menyimaknya akan mendapatkan limpahan pahala yang banyak.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitabullah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” [QS. Faathir : 29-30].
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ، لَهُ أَجْرَانِ
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Orang yang pandai membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia lagi patuh; sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan mendapatkan kesulitan padanya, baginya dua pahala” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 798].
Allah ta’ala berfirman:
فَبَشِّرْ عِبَادِ (17) الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ (18)
Maka sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Ayat ini menjelaskan bahwa mendengarkan kalaamullah menjadi sebab diberikannya petunjuk.
Oleh karena itu, aktivitas tadarusan hendaknya cukup didengarkan di kalangan mereka (pembaca) saja tanpa perlu dikeraskan suaranya dengan speaker/toa hingga keluar masjid. Jika tujuannya adalah untuk memperbaiki bacaan, maka cukup terdengar dalam halaqah tersebut. Atau jika tujuannya hanya sekedar target mengkhatamkannya saja, maka cukup di dengar oleh Pembacanya saja atau orang di dekatnya yang ingin mendengarkan bacannya.
Bagusnya bacaan Al-Qur'an seseorang, bukan berarti semua orang harus diperdengarkan suaranya. Ada adab di sana yang telah diajarkan Nabi kita. Insyaallah, itu lebih baik dan lebih sempurna.
Apalagi jika sampai dendang qashidahan dan latihan menjadi penyiar, ini malah lebih jelas kemunkaran dab keharamannya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – rnn – 15 Ramadlaan 1439].


[1]   Hadits dimaksud adalah:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: "صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ "، وَيَقُولُ: "بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى "، وَيَقُولُ: "أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ "، ثُمَّ يَقُولُ: "أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ، مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ
 Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Rasulullah apabila berkhuthbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya memuncak hingga seakan-akan keadaannya seperti panglima perang yang memberikan peringatan kepada pasukannya seraya berkata : ‘Awas kalian akan diserang pagi-pagi, awas kalian akan diserang petang hari.’ Beliau bersabda :’Aku diutus sedangkan (jarak) antara aku dengan hari kiamat (adalah) seperti dua hal ini’. Beliau menunjukkan dua jarinya : jari telunjuk dan jari tengah. Beliau melanjutkan : ‘Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang di ada-adakan, dan setiap bid’ah adalah kesesatan’. Kemudian beliau bersabda : ‘Aku lebih berhak terhadap setiap mukmin daripada dirinya sendiri. Oleh karena itu, barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah untuk keluarganya. Dan barangsiapa yang mati dsalam keadaan meningalkan hutang atau keluarga yang terlantar, maka itu adalah tanggungjawabku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 867].
[2]   Yaitu riwayat:
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كُنْتُ قَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ فَحَصَبَنِي رَجُلٌ فَنَظَرْتُ، فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَأْتِنِي بِهَذَيْنِ، فَجِئْتُهُ بِهِمَا، قَالَ: مَنْ أَنْتُمَا أَوْ مِنْ أَيْنَ أَنْتُمَا؟ قَالَا: مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ، قَالَ: "لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ "
Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : Ketika aku berdiri di dalam masjid, tiba-tiba ada seseorang yang melemparku dengan kerikil, yang ternyata orang itu adalah 'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Ia (‘Umar) berkata : “Pergilah dan bawalah dua orang ini kepadaku". Maka aku pun datang dengan membawa dua orang tersebut. ‘Umar berkata : "Siapakah kalian berdua?"– atau ‘Umar berkata : "Dari mana kalian berdua berasal?". Keduanya menjawab : "Kami berasal dari penduduk Thaaif". 'Umar berkata : "Sekiranya kalian dari penduduk negeri ini (Madiinah), niscaya aku akan menghukum kalian berdua, karena kalian berdua telah meninggikan suara di masjid Rasulullah " [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 470].
[3]   Riwayatnya adalah:
عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيَقُلْ: لا رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ، فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa yang mendengar seseorang mencari-cari barang hilang di masjid, maka katakanlah : ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barang itu kepadamu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 568].
[4]   Riwayatnya adalah:
عَنْ بُرَيْدَةَ ، أَنَّ رَجُلًا نَشَدَ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: مَنْ دَعَا إِلَى الْجَمَلِ الأَحْمَرِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "لَا وَجَدْتَ، إِنَّمَا بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ "
Dari Buraidah : Bahwasannya ada seseorang yang mencari-cari (barang hilang) di masjid. Ia berkata : “Siapa yang dapat mendapati onta merah (yang hilang) ?. Maka Nabi bersabda : “Semoga engkau tidak mendapatkannya, karena masjid-masjid dibangun hanyalah tujuan khusus dibangunnya masjid (yaitu berdzikir kepada Allah, shalat, ilmu, mudzakarah, dan yang lainnya – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 569].


Waspadai Syubuhaat

$
0
0

Dari Jaabir bin 'Abdillah radliyallaahu ‘anhu:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ ﷺ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ، فَقَرَأَهُ عَلَّى النَّبِيُّ ﷺ فَغَضِبَ، وَقَالَ: أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا، مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي
Bahwasannya Umar bin Khaththaab pernah mendatangi Nabi sambil membawa kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Kemudian ia membacakan kepada Nabi kitab tersebut. Nabi pun marah dan bersabda : “Apakah engkau merasa bingung dengan apa yang ada di dalamnya, wahai Ibnul-Khaththaab?. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu putih lagi bersih (jelas). Janganlah kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang satu hal, karena mungkin mereka akan memberitahu kalian satu kebenaran namun kalian mendustakannya. Atau mereka menkhabarkan satu kebatilan, akan tetapi kalian membenarkannya. Demi Dzat, yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Muusaa masih hidup, maka wajib baginya untuk mengikutiku” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/387; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil no. 1589].

‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu adalah orang yang cerdas, namun ia tidak diperkenankan Nabi membaca kitab yang berasal dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani). ‘Umar pun dilarang bertanya kepada Ahli Kitab[1], meskipun Nabi tidak mengingkari adanya sebagian kebenaran dari sisi mereka[2]. Nabi mengkhawatirkan ada talbis sehingga yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar. Apa yang ada di hadapan 'Umar dan kaum muslimin (para shahabat) – yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah – telah mencukupi kebenaran yang mereka butuhkan.
Inilah salah satu prinsip Islam dan prinsip umum dalam dakwah. Ketika ulama dan dai Ahlus-Sunnah ada, maka tidak dibutuhkan yang selainnya karena itu sudah mencukupi. Jangan biarkan – atau bahkan menganjurkannya – umat berwisata melancong ke majelis orang-orang yang menyimpang sehingga syubhat menyambar mereka.
Apakah Anda akan menganjurkan keluarga, kolega, dan murid Anda (seandainya Anda mendedikasikan sebagai seorang guru/ustadz) : ‘Ambil yang baik dan buang yang buruk’ ; sedangkan mereka sendiri masih susah membedakan benar – salah, baik – buruk dalam timbangan agama?. Atau selalu kampanye : 'Tuntutlah ilmu ke semua orang, aneka sekte dan pemahaman ?'.
Ada kisah menarik dari Ibnu ‘Aqiil Al-Hanbaliy rahimahullah.
Ibnu 'Aqiil yang nama lengkapnya Abul-Wafaa''Aliy bin 'Aqiil bin Muhammad bin 'Aqiil bin 'Abdillah Al-Baghdaadiy Adh-Dhafariy; adalah seorang ulama yang sangat cerdas, lautan ilmu, dan susah dicari yang sepadan di zamannya.
Pertama kali ia tumbuh di lingkungan Ahlus-Sunnah, melahap dengan semangat berbagai macam perbendaharaan ilmu hingga menjadikannya unggul melebihi kolega-koleganya. Pikirannya yang sangat terbuka menyebabkan dirinya bergaul dengan orang-orang Mu'tazilah yang akhirnya ia terpengaruh dengannya.
Adz-Dzahabiy rahimahullah saat menuliskan biografinya berkata:
كانوا ينهونه عن مجالسة المعتزلة ، ويأبى حتى وقع في حبائلهم ، وتجسر على تأويل النصوص ، نسأل الله السلامة
"Mereka (para ulama di zamannya) melarangnya (Ibnu 'Aqiil) untuk bermajelis dengan Mu'tazilah, namun ia enggan hingga akhirnya terjatuh dalam pemikiran mereka dan mulai berani mena'wilkan nash-nash. Nas-alullahas-salaam wal-'aafiyyah".
Coba kita tengok apa jawaban 'klise' Ibnu 'Aqiil ketika mendapat nasihat dari para ulama untuk menjauhi Mu'tazilah. Adz-Dzahabiy rahimahullah menukil perkataan Ibnu ‘Aqiil rahimahumallah:
وكان أصحابنا الحنابلة يريدون مني هجران جماعة من العلماء ، وكان ذلك يحرمني علما نافعا
"Para ulama Hanabilah menginginkanku menjauhi 'sekelompok ulama'. Dan hal itu bagiku sama saja melarangku untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat".
Ibnu 'Aqiil mulai mengikuti Mu’tazilah setapak demi setapak, hingga akhirnya terang-terangan membela pemikiran mereka, sesuatu yang dulu ia mentahdzirnya ! [lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 19/443-dst. atau klik link ini].
Singkat cerita, setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya Ibnu 'Aqiil menyadari bahwa apa yang ditempuhnya merupakan kekeliruan. Ia pun bertaubat dan menyatakan taubatnya secara tegas, berlepas diri dari pemikiran Mu'tazillah beserta orang-orangnya. Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah menukil kisahnya dalam Tahriimun-Nadhar fii Kutubil-Kalaam (lihat hal. 29-34].
Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah ini, diantaranya:
1.    Syubhat ahlul-bid'ah dan pengikut hawa nafsu sangat halus dan cepat menyambar. Seringkali penebar syubhat ditampakkan di mata orang-orang yang terpedaya sebagai seorang 'alim yang memberikan ilmu bermanfaat.
2.    Jangan terlalu percaya diri dengan apa yang ada dalam diri kita. Jika bukan karena pertolongan Allah ta'ala, niscaya kita susah mendapatkan keistiqamahan dan sikap tsabat/teguh dalam agama.
3.    Menjauhi bid'ah dan pelakunya adalah hukum asal perintah dalam agama karena berdekatan dengan mereka bisa memberikan dampak dalam hati.
Ingatlah firman Allah ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka, hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur: 63]
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
{ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ } أي: في قلوبهم، من كفر أو نفاق أو بدعة
“Firman Allah ta’ala : ‘akan ditimpa fitnah’, yaitu : di hati mereka berupa kekufuran, kemunafikan, atau bid’ah” [Tafsiir Ibni Katsiir, 6/90].
4.    Allah ta'alaMaha membolak-balikkan hati manusia. Yang dulunya lurus, dapat berubah menjadi bengkok. Begitu pula sebaliknya[3].
Oleh karena itu kita senantiasa diperintahkan berdoa:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”.
5.    Seorang muslim harus senantiasa memberikan nasihat kepada saudaranya yang lain jika melihat saudaranya keliru atau mulai berdekat-dekatan dengan bid’ah dan pelakunya.
6.    Segera bertaubat jika melakukan kesalahan.
Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a'lam.
[abul-jauzaa’ – rnn – 15 Ramadlaan 1439].


[1]   Dalam riwayat yang disebutkan:
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْن عَبَّاسٍ، قَالَ: "يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، كَيْفَ تَسْأَلُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ؟ وَكِتَابُكُمُ الَّذِي أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى نَبِيِّكُمْ ﷺ أَحْدَثُ الْأَخْبَارِ بِاللَّهِ مَحْضًا لَمْ يُشَبْ، وَقَدْ حَدَّثَكُمُ اللَّهُ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ بَدَّلُوا مِنْ كُتُبِ اللَّهِ وَغَيَّرُوا، فَكَتَبُوا بِأَيْدِيهِمُ الْكُتُبَ، قَالُوا: هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِذَلِكَ ثَمَنًا قَلِيلًا، أَوَلَا يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنَ الْعِلْمِ عَنْ مَسْأَلَتِهِمْ فَلَا وَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا رَجُلًا مِنْهُمْ يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ "
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata : “Wahai sekalian kaum muslimin, mengapa kalian bertanya kepada ahli kitab tentang sesuatu, padahal kitab kalian yang diturunkan Allah kepada Nabi kalian adalah kabar-kabar yang terbaru tentang Allah, yang murni, tidak tercampur atau ternodai ?. Dan sesungguhnya Allah telah menceritakan kepada kalian bahwa ahli kitab itu telah mengganti Kitabullah dan mereka mengubahnya, kemudian mereka menulis dengan tangan-tangan mereka, kemudian mereka berkata : ‘Ini dari sisi Allah’; yang agar dengan hal itu mereka membeli atau menukarnya dengan harga yang sedikit, atau apa-apa yang datang pada kalian berupa ilmu tidak melarang kalian dari bertanya kepada mereka. Maka sekali-kali jangan! Demi Allah, kami tidak melihat seseorang diantara mereka bertanya kepada kalian tentang apa-apa yang diturunkan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7523].
[2]   Contohnya adalah:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ حَبْرٌ مِنَ الْأَحْبَارِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: "يَا مُحَمَّدُ، إِنَّا نَجِدُ أَنَّ اللَّهَ يَجْعَلُ السَّمَوَاتِ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالْأَرَضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالشَّجَرَ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالْمَاءَ وَالثَّرَى عَلَى إِصْبَعٍ، وَسَائِرَ الْخَلَائِقِ عَلَى إِصْبَعٍ، فَيَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ، فَضَحِكَ النَّبِيُّ ﷺ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ تَصْدِيقًا لِقَوْلِ الْحَبْرِ، ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ "
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Seorang pendeta Yahudi mendatangi Rasulullah , kemudian ia berkata : ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami mendapati bahwa Allah menjadikan langit-langit dengan satu jari, bumi-bumi dengan satu jari, pohon dalam satu jari, air dan tanah dengan satu jari, serta menjadikan seluruh makhluk dengan satu jari. Kemudian Dia berfirman : Aku adalah Malik (Raja)’. Maka Rasulullah tertawa sampai terlihat gigi geraham beliau membenarkan perkataan pendeta itu. Kemudian Rasulullah membaca ayat : ‘Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat, dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan” (QS. Az-Zumar : 67)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4811].
[3]   Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا، وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا، وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah pernah bersabda : “Bersegeralah kalian mengerjakan amal-amal (shalih) sebelum datangnya fitnah yang menyerupai potongan-potongan malam yang gelap gulita. Dimana seseorang di waktu shubuh masih dalam keadaan beriman, namun sore harinya telah kafir; atau sore harinya masih beriman, namun keesokannya telah kafir. Ia menjual agamanya demi secuil (keuntungan) dunia” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 118 & , Ahmad 2/302 & 523, Abu Ya’laa no. 6515, dan yang lainnya].

Penyelesaian Konflik Rumah Tangga Nabi ﷺ

$
0
0

Dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
بَلَغَ صَفِيَّةَ أَنَّ حَفْصَةَ، قَالَتْ: ابْنَةُ يَهُودِيٍّ، فَبَكَتْ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ ﷺ وَهِيَ تَبْكِي، فَقَالَ: "مَا شَأْنُكِ؟ "، فَقَالَتْ: قَالَتْ لِي حَفْصَةُ: إِنِّي ابْنَةُ يَهُودِيٍّ !، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِنَّكِ ابْنَةُ نَبِيٍّ، وَإِنَّ عَمَّكِ لَنَبِيٌّ، وَإِنَّكِ لَتَحْتَ نَبِيٍّ، فَفِيمَ تَفْخَرُ عَلَيْكِ؟، فَقَالَ: اتَّقِي اللَّهَ يَا حَفْصَةُ "
“(Satu ketika), sampai kabar kepada Shafiyyah bahwa Hafshah radliyallaahu ‘anhumaaberkata (tentangnya) : ‘Ia adalah anak Yahudi’. Maka ia pun menangis. Lalu Nabi masuk menemuinya yang ketika itu ia masih menangis. Beliau bersabda : ‘Apa yang membuatmu menangis?’. Shafiyyah menjawab : ‘Hafshah berkata kepadaku bahwa aku adalah anak Yahudi’. Maka Nabi bersabda : ‘Sesungguhnya engkau adalah anak seorang nabi, pamanmu seorang nabi, dan suamimu pun juga seorang nabi. Lalu dengan apa ia menyombongkan diri kepadamu?’. Lalu Nabi bersabda : ‘Bertaqwalah (takutlah) kepada Allah wahai Hafshah!” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3894, Ahmad 3/135, Ibnu Hibbaan 16/193-194 no. 7211, dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : ‘Ini adalah hadits shahih ghariib’].

Beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits ini:
1.    Diperbolehkannya meminta penyelesaian kepada suami jika terjadi perselisihan di antara istri (madu).
2.    Bagi seorang wanita hendaknya janganmudah terpengaruh dengan ucapan yang ditujukan kepada dirinya asalkan ia tetap menjaga dien dan kehormatannya serta tetap percaya diri. Sampai meskipun yang berbicara termasuk orang mulia sekalipun. Karena hal itu hanya akan mengeruhkan pikiran dan kehidupannya. Pada saat yang sama seharusnya masyarakat juga perlu mencari kejelasan berita sebelum membenarkannya.
3.    Bagi suami hendaknya mengatasi kejadian-kejadian semacam ini dengan bijak, penuh wibawa, tenang, dan adil. Nabi telah menjelaskan pada Shafiyyah radliyallaahu ‘anhaa tentang keutamaan dan kedudukannya, yang tidak berkurang dengan ucapan Hafshah. Karena kemuliaan itu berdasarkan pada asas teragung dan termulia yaitu keimanan dan ketaqwaan yang tergabung dalam rumah tangga kenabian. Kemudian beliau menasihati dan mengingatkan Hafshah dengan nama Allah.
4.    Disyari’atkan bagi suami untuk menasihati dan mengingatkan istrinya karena Allah.
5.    Perkataan yang bersumber dari Hafshah boleh jadi terucap pada saat ia sedang marah. Tetapi seorang muslim tetap diperintahkan untuk menjaga lidahnya dari ketergelinciran dalam setiap kondisi. Allah berfirman :
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu : Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaithan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia” [QS. Al-Israa’ : 53].
[Lathaaifu wa Fawaaidu minal-Hayaati Zaujiyyati fii baitin-Nubuwwah (Beberapa kelembutan dan Faidah yang Dapat Diambil dari Kehidupan Rumah Tangga dalam Rumah Kenabian/Edisi Ind : Cermin Kehidupan Rumah Tangga Nabi); yang ditulis oleh Khalid bin Abdirrahman Asy-Syaayi].

Beberapa Adab Pergaulan Islam – Tafsir Al-Hujuraat : 9-13

$
0
0

Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah
Allah berfirman :
 وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُواْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَىَ الاُخْرَىَ فَقَاتِلُواْ الّتِي تَبْغِي حَتّىَ تَفِيَءَ إِلَىَ أَمْرِ اللّهِ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوَاْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ *  إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتّقُواْ اللّهَ لَعَلّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.  Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat” (QS. Al-Hujuraat : 9-10).

Allah berfirman seraya memerintahkan agar mendamaikan antara dua kelompok yang bertikai sesama mereka : 
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُواْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya”.
Allah masih tetap menyebut mereka sebagai orang-orang mukmin meskipun mereka tengah berperang. Dan dengan itu pula, Imam Al-Bukhari dan yang lainnya mengambil kesimpulan bahwa seseorang tidak keluar dari keimanan hanya karena berbuat maksiat meskipun dalam wujud yang besar, tidak seperti apa yang dikemukakan oleh kaum Khawarij dan yang sejalan dengan mereka dari kalangan Mu’tazilah dan yang semisalnya. Demikianlah yang ditetapkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dari hadits Al-Hasan, dari Abu Bakrah radliyallaahu ‘anhu, ia bercerita :
 إن رسول الله ﷺ خطب يوماً, ومعه على المنبر الحسن بن علي radliyallaahu ‘anhuما, فجعل ينظر إليه مرة, وإلى الناس أخرى ويقول: إن ابني هذا سيد ولعل الله ﷻ أن يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين
”Sesungguhnya Rasulullah pernah berkhutbah pada suatu hari di atas mimbar, sedang bersama beliau terdapat Al-Hasan bin ‘Ali radliyallaahu ‘anhumaa , lalu sesekali beliau melihat kepadanya dan pada orang-orang pada kali lainnya seraya bersabda : “Sesungguhnya puteraku ini adalah seorang sayyid. Mudah-mudahan Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin (yang tengah bertikai)
Dan kenyataan yang ada sama seperti yang beliau sabdakan, dimana Allah telah mendamaikan antara penduduk Syam dan penduduk Iraq dengan perantaraan Al-Hasan setelah mengalami masa peperangan yang panjang dan berbagai peristiwa yang mengerikan.
Dan firman Allah :
فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَىَ الاُخْرَىَ فَقَاتِلُواْ الّتِي تَبْغِي حَتّىَ تَفِيَءَ إِلَىَ أَمْرِ اللّهِ
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah”.
Maksudnya, kembali kepada perintah Allah dan Rasul-Nya serta mendengar kebenaran dan mentaatinya, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits shahih, dari Anas radliyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda :
انصر أخاك ظالماً أو مظلوماً» قلت: يا رسول الله, هذا نصرته مظلوماً, فكيف أنصره ظالماً ؟ قال ﷺ: تمنعه من الظلم فذاك نصرك إياه
Tolonglah saudaramu yang berbuat dhalim maupun yang didhalimi”. Lalu kutanyakan : “Ya Rasulullah, menolong orang yang didhalimi itu aku dapat mengerti. Lalu bagaimana aku menolong orang yang berbuat dhalim?”. Beliau menjawab : “Yaitu engkau mencegahnya dari berbuat dhalim, dan itulah pertolonganmu untuknya
Imam Ahmad meriwayatkan : ‘Aarim memberitahu kami, Mu’tamir memberitahu kami, ia bercerita : Aku pernah mendengar ayahku memberitahukan bahwa Anas radliyallaahu ‘anhu bercerita :
 قيل للنبي ﷺ, لو أتيت عبد الله بن أبي, فانطلق إليه النبي ﷺ, وركب حماراً وانطلق المسلمون يمشون, وهي أرض سبخة, فلما انطلق النبي ﷺ إليه قال: «إليك عني فوالله لقد آذاني ريح حمارك» فقال رجل من الأنصار: والله لحمار رسول الله ﷺ أطيب ريحاً منك. قال: فغضب لعبد الله رجال من قومه, فغضب لكل واحد منهما أصحابه, قال: فكان بينهم ضرب بالجريد والأيدي والنعال, فبلغنا أنه أنزلت فيهم {وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما}
Pernah ditanyakan kepada Nabi : “Seandanya engkau mendatangi ‘Abdullah bin Ubay”. Maka beliau pun berangkat menemuinya dengan menaiki keledai,lalu kaum muslimin berjalan kaki di tanah yang bersemak. Setelah Nabi datang menemuinya, Abdullah bin Ubay berkata : “Menjauhlah engkau dariku. Demi Allah, bau keledaimu telah mengganggu hidungku”. Kemudian ada seseorang dari kaum Anshar yang berkata : “Demi Allah, keledai Rasulullah itu lebih wangi daripada baumu”. Hingga banyak orang-orang dari kaum ‘Abdullah bin Ubay yang marah kepadanya, lalu setiap orang dari kedua kelompok marah. Dan diantara mereka telah terjadi pemukulan dengan menggunakan pelepah daun kurma dan juga tangan serta terompah. Perawi hadits melanjutkan : Telah sampai kepada kami berita bahwasannya telah turun ayat yang berkenaan dengan mereka, yaitu : “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya”.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Ash-Shulh (dalam Shahih-nya), dari Musaddad; dan Muslim dalam bab Al-Maghazi (dalam Shahiih-nya) dari Muhammad bin ‘Abdil A’la; keduanya dari Mu’tamir bin Sulaiman dari ayahnya.
Dan firman Allah selanjutnya :
فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوَاْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
Jika golongan itu telah kembali (pada perintah Alah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. 
Maksudnya, bersikap adil dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara keduanya.
 إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhumaa , ia berkata :
 إن رسول الله ﷺ قال: إن المقسطين في الدنيا على منابر من لؤلؤ بين أيدي الرحمن عز وجل بما أقسطوا في الدنيا
Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di dunia, kelak akan berada di atas mimbar yang terbuat dari mutiara di hadapan Ar-Rahman atas keadilan yang pernah dia lakukan di dunia
Dan diriwaytkan oleh An-Nasa’i, dari Muhammad bin Al-Mutsanna, dari ‘Abdul A’la dengan lafadhnya. Dan sanad hadits ini jayyid qawiy, dan para rijalnya berdasarkan pada syarat shahih. Dan Muhammad bin ‘Abdullah bin Zaid memberitahu kami, dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi , beliau bersabda :
المقسطون عند الله ﷻ يوم القيامة على منابر من نور على يمين العرش, الذين يعدلون في حكمهم وأهاليهم وماولوا
Orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah pada hari Kiamat kelak berada di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya di sebelah kanan ‘Arsy, yaitu mereka yang berbuat adil dalam hukum, keluarga, dan semua yang berada di bawah kekuasaan mereka”.
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim dan An-Nasa’i dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah.
Dan firman Allah :
إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara”,
maksudnya : Seluruh kaum muslimin merupakan satu saudara karena agama. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah :
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh mendhalimi dan membiarkannya (didhalimi)” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Dan dalam hadits shahih disebutkan :
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
Allah akan terus menolong seorang hamba selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya
Dan juga dalam hadits yang lain :
إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك آمين ولك مثله
Jika seorang muslim mendoakan saudaranya darikejauhan, maka malaikat akan mengucapkan : Amin, dan bagimu sepertinya
Dan hadits yang membahas masalah ini cukup banyak. Dalam hadits shahih lainnya disebutkan :
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتواصلهم كمثل الجسد الواحد, إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang mereka adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu bagian tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota badan akan merasa demam dan susah tidur
Dalam hadits shahih lain :
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضاً. وشبك بين أصابعه ﷺ
Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya adalah seperti satu bangunan yang sebagian dengan sebagian yang lainnya saling menguatkan”. Dan pada saat itu Rasulullah menjalinkan jari-jemari beliau.
Imam Ahmad meriwayatkan, Ahmad bin Al-Hajjaj memberitahu kami, ‘Abdullah memberitahu kami, Mush’ab bin Tsabit memberitahu kami, Abu Hazim memberitahuku, ia berkata : Aku pernah mendengar Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radliyallaahu ‘anhumenceritakan hadits dari Rasulullah , beliau bersabda :
إن المؤمن من أهل الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد, يألم المؤمن لأهل الإيمان كما يألم الجسد في الرأس
Sesunggunya (hubungan) orang mukmin dengan orang-orang yang beriman adalah seperti (hubungan) kepala dengan seluruh badan. Seorang mukmin akan merasakan sakit karena orang mukmin lainnya sebagaimana badan akan merasa sakit karena sakit pada kepala” (Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Imam Ahmad).
Dan firman-Nya :
فَأَصْلِحُواْ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu”;
yaitu golongan yang saling bertikai.
Firman-Nya :
 وَاتّقُواْ اللّهَ
Dan bertaqwalah kepada Allah
yaitu, dalam seluruh urusan kalian.
Firman-Nya :
لَعَلّكُمْ تُرْحَمُون
Supaya engkau mendapatkan rahmat”.
Hal tersebut merupakan penegasan dari Allah , dimana Dia akan memberikan rahmat kepada orang yang bertaqwa kepadanya.
Firman Allah :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مّن قَوْمٍ عَسَىَ أَن يَكُونُواْ خَيْراً مّنْهُمْ وَلاَ نِسَآءٌ مّن نّسَآءٍ عَسَىَ أَن يَكُنّ خَيْراً مّنْهُنّ وَلاَ تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُواْ بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإَيمَانِ وَمَن لّمْ يَتُبْ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah ssuatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.  Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (QS. Al-Hujuraat : 11)
Allah melarang dari mengolok-olok orang lain, yaitu mencela dan menghinakan mereka. Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits shahih, dari Rasulullah , beliau bersabda :
الكبر بطر الحق وغمص الناس
Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
وغمط الناس
Dan meremehkan manusia
Yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah menghinakan dan merendahkan mereka. Hal itu sudah jelas haram. Karena terkadang orang yang dihina itu lebih terhormat di sisi Allah dan bahkan lebih dicintai-Nya daripada orang yang menghinakan. Oleh karena itu Allah berfirman :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مّن قَوْمٍ عَسَىَ أَن يَكُونُواْ خَيْراً مّنْهُمْ وَلاَ نِسَآءٌ مّن نّسَآءٍ عَسَىَ أَن يَكُنّ خَيْراً مّنْهُنّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah ssuatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olokkan)”. 
Dengan demikian, ayat di atas memberikan larangan terhadap kaum laki-laki yang kemudian disusul dengan larangan terhadap kaum wanita.
Dan firman Allah selanjutnya :
 وَلاَ تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُم
Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri”.
Artinya , dan janganlah kalian mencela orang lain. Orang yang mengolok dan mencela orang lain, baik orang laki-laki dan perempuan, maka mereka itu sangat tercela dan terlaknat, sebagaimana firman Allah  :
ويل لكل همزة لمزة
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela” (QS. Al-Humazah : 1).
Kata al-hamz (الهمز) berarti celaan dalam bentuk perbuatan, sedangkan kata al-lamz (اللمز) berarti celaan dalam bentuk ucapan. Sebagaimana yang difirmankan Allah :
هماز مشاء بنميم
Yang banyak mencela, yang kian kemari menghamburkan fitnah” (QS. Al-Qalam : 11).
Artinya, mencela orang-orang dan menghinakan mereka dengan sewenang-wenang dan berjalan kesana kemari untuk melakukan namimah (mengadu domba), dan adu domba ini berarti celaan dalam bentuk ucapan.  Oleh karena itu, di sini Allah berfirman :
وَلاَ تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُمْ
Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri”,
sebagaimana firman-Nya :
ولا تقتلوا أنفسكم
Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” (QS. An-Nisaa’ : 29).
Maksudnya, janganlah sebagian kalian membunuh sebagian yang lain.
Mengenai firman Allah : { وَلاَ تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُمْ }, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Qatadah, dan Muqatil bin Hayyan mengemukakan : “Artinya, janganlah sebagian kalian menikam sebagian yang lain”.
Dan firman Allah selanjutnya :
وَلاَ تَنَابَزُواْ بِالألْقَابِ
Dan janganlah kamu pangil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”.
Maksudnya, janganlah kalian memanggil dengan menggunakan gelar-gelar buruk yang tidak enak didengar.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Asy-Sya’bi, ia bercerita bahwa Abu Jubairah bin Adl-Dlahhak memberitahunya, ia bercerita : “Ayat ini : ‘Dan janganlah kamu pangil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk’, turun berkenaan dengan Bani Salamah”. Ia mengatakan : Rasulullah pernah tiba di Madinah dan di antara kami tidak seorang pun melainkan mempunyai dua atau tiga nama. Dan jika beliau memanggil salah seorang dari mereka dengan nama-nama tersebut, maka mereka berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia marah dengan pangilan nama tersebut”. Maka turunlah ayat : ‘Dan janganlah kamu pangil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk’.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Musa bin Isma’il, dari Wahb, dari Dawud.
Dan firman Allah :
بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإَيمَانِ
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah beriman”.
Maksudnya, seburuk-buruk sebutan dan nama panggilan adalah pemberian gelar dengan gelar-gelar yang buruk. Sebagaimana orang-orang Jahiliyyah dahulu pernah bertengkar setelah kalian masuk Islam dan kalian memahami keburukan itu.
 وَمَن لّمْ يَتُبْ
Dan barangsiapa yang tidak bertaubat” - dari perbuatan tersebut.
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُون
Maka mereka itulah orang-orang yang dhalim
Allah telah berfirman :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اجْتَنِبُواْ كَثِيراً مّنَ الظّنّ إِنّ بَعْضَ الظّنّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسّسُواْ وَلاَ يَغْتَب بّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتّقُواْ اللّهَ إِنّ اللّهَ تَوّابٌ رّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan memakan bangkai saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahapenerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujuraat : 12).
Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari banyak prasangka, yaitu melakukan tuduhan dan pengkhianatan terhadap keluarga dan kaum kerabat serta keseluruhan yang tidak pada tempatnya, karena sebagian prasangka itu murni menjadi perbuatan dosa. Maka, jauhilah banyak berprasangka sebagai suatu kewaspadaan.
Kami telah meriwayatkan dari Amirul-Mukminin‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya ia pernah berkata :
ولا تظنن بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلا خيراً, وأنت تجد لها في الخير محملاً
”Janganlah kalian berprasangka terhadap ucapan yang keluar dari saydara mukminmu kecuali dengan prasangka yang baik. Sedangkan engkau sendiri mendapati adanya kemungkinan ucapan itu mengandung kebaikan”
Abu Abdillah bin Majah meriwayatkan, Abul-Qasim bin Abi Dlamrah Nadlr bin Muhammad bin Sulaiman Al-Hamshi memberitahu kami, ayahku memberi tahu kami, ayahku memberi tahu kami, ‘Abdullah bin Abi Qais An-Nadlari memberi tahu kami, dari Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia bercerita :
رأيت النبي ﷺ يطوف بالكعبة ويقول: ما أطيبك وأطيب ريحك ما أعظمك وأعظم حرمتك, والذي نفس محمد بيده لحرمة المؤمن أعظم عند الله ﷻ حرمة منك, ماله ودمه وأن يظن به إلا خيراً
Aku pernah melihat Rasulullah melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah seraya berucap : “Sungguh indah dirimu, sangat harum aromamu, dan sungguh agung dirimu, dan agung pula kehormatanmu. Demi Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya kemuliaan seorang mukmin sangat agung di sisi Allah harta dan darahnya daripada dirimu (wahai Ka’bah). Dan ia tidak berprasangka melainkan melainkan prasangka yang baik
Hadits di atas diriwayatkan sendiri oleh Ibnu Majah di sisi ini.
Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia bercerita : “Rasulullah pernah bersabda :
إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث, ولا تجسسوا ولاتحسسوا ولا تنافسوا ولاتحاسدوا, ولا تباغضوا ولا تدابروا, وكونوا عباد الله إخواناً
Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian meneliti rahasia orang lain, mencuri dengar, bersaing yang tidak baik, saling dengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara
Hadits di atas diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, dari Abdullah bin Yusuf, dan Imam Muslim, dari Yahya bin Yahya. Juga Abu Dawud dari Al-‘Atabi, dari Malik dengan lafadhnya.
Sufyan bin ‘Uyainah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia bercerita : Telah bersabda Rasulullah :
لا تقاطعوا ولا تدابروا ولا تباغضوا ولا تحاسدوا, وكونوا عباد الله إخواناً, ولا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام
Janganlah kalian saling memutuskan hubungan, jangan pula saling membelakangi, saling membenci dan saling mendengki. Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidak dibolehkan seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari
Hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim dan At-Tirmidzi serta dishahihkannya dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Dajin, juru tulis ‘Uqbah, ia bercerita : “Aku pernah mengatakan kepada ‘Uqbah : ‘Sesungguhnya kami mempunyai beberapa orang tetangga yang meminum khamr, dan aku memberi syarat kepada mereka dan mereka pun menerimanya’. Maka ‘Uqbah berkata : ‘Jangan lakukan itu, tetapi nasihati dan kecamlah mereka’. Lalu ia pun melakukan hal tersebut, namun mereka tidak juga menghentikan perbuatan itu”.  Kemudian Dajin mendatanginya dan berkata : “Sesungguhnya aku telah melarang mereka, tetapi mereka tidak juga menghentikannya. Dan sesungguhnya aku telah memberikan persyaratan kepada mereka, lalu mereka menerimanya”. Maka ‘Uqbah berkata kepadanya : “Celaka engkau, jangan lakukan itu, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah  bersabda :
من ستر عورة مؤمن فكأنما استحيا موؤدة من قبرها
Barangsiapa menutupi aurat orang mukmin, maka seakan-akan ia telah menghidupkan seorang mayat anak kecil yang dibunuh dari dalam kuburnya
Hadits senada juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’I dari hadits Laits bin Sa’ad dengan lafadhnya.
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Mu’awiyyah, ia bercerita : Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :
إنك إن اتبعت عورات الناس أفسدتهم أو كدت أن تفسدهم
Sesungguhnya jika kamu mengintai aurat orang lain, berarti kamu telah merusak mereka atau hampir merusak mereka
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri, dari hadits Ats-Tsauri.
Firman-Nya :
وَلاَ تَجَسّسُواْ
Dan janganlahkamu mencari-cari kesalahan orang lain”.
Maksudnya, atas sebagian kalian. Kata at-tajassas (التجسس) lebih sering digunakan untuk kejahatan. Dan dari kata itu muncul kata al-jaasuus(الجاسوس) (mata-mata).  Sedangkan kata at-tahassasu (التحسس) seringkali digunakan untuk hal yang baik. Sebagaimana yang difirmankan Allah yang menceritakan tentang Ya’qub, dimana ia berkata :
يا بني اذهبوا فتحسسوا من يوسف وأخيه ولا تيأسوا من روح الله
Wahai anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentangYusuf dan saudaranya dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah” (QS. Yusuf : 87).
Terkadang, kedua istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan hal yang buruk, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits shahih, bahwasannya Rasulullah bersabda :
لا تجسسوا ولا تحسسوا ولا تباغضوا ولا تدابروا, وكونوا عباد الله إخواناً
Janganlah kalian mencari-cari keburukan dan mengintai kesalahan orang lain. Janganlah saling membenci dan juga saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara
Al-Auza’i mengatakan : “Kataالتجسسberarti mencari-cari sesuatu, sedangkan التحسسberarti mencuri dengar terhadap pembicaraan suatu kaum padahal mereka tidak menyukai hal tersebut, atau mendengarkan dari balik pintu-pintu mereka. Adapun at-tadaabaru (التدابر) berarti memutuskan hubungan (الصرم)”.
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.
Dan firman Allah :
وَلاَ يَغْتَب بّعْضُكُم بَعْضاً
Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”.
Pada potongan ayat tersebut terdapat larangan berbuat ghibah. Rasulullah telah menafsirkannya sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
قيل يا رسول الله ما الغيبة ؟ قال ﷺ: ذكرك أخاك بما يكره
قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول ؟ قال ﷺ: إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته, وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته
Ditanyakan : “Ya Rasulullah, apakah ghibah itu ?”. Beliau menjawab : “Engkau menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya”. Ditanyakan lagi : “Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang kukatakan ?”. Rasulullah menjawab : “Bila keadaan saudaramu sesuai dengan yang kau katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Dan jika padanya tidak terdapat apa yang engkau katakan, maka engkau telah berbuat bohong
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Qutaibah, dari Ad-Darawurdi. At-Tirmidzi berkata : “Hadits tersebut hasan shahih”. Demikianlah apa yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, Masruq, Qatadah, Abu Ishaq, dan Mu’awiyyah bin Qurrah. Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia bercerita :
قلت للنبي ﷺ حسبك من صفية كذا وكذا. قال غير مسدد: تعني قصيرة, فقال ﷺ: لقد قلت كلمة لو مزجت بماء البحر لمزجته قالت: وحكيت له إنساناً فقال ﷺ: ما أحب أني حكيت إنساناً وإن لي كذا وكذا
Pernah kukatakan kepada Nabi : “Cukuplah bagimu Shafiyyah seperti demikian”. Yang dimaksud oleh ‘Aisyah di sini adalah bahwa Shafiyyah itu seorang wanita yang pendek. Maka Nabi bersabda : “Sungguh engkau telahmengatakan suatukalimat (yang buruk) yang seandainya dicampurkan dengan air laut, niscaya akan tercampur semuanya (menjadi busuk)”. Lebih lanjut ‘Aisyah berkata : “Lalu kuceritakan tentang seseorang kepada beliau , maka beliau pun bersabda : “Aku tidak suka menceritakan seseorang, sedangkan aku sendiri begini dan begitu
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari hadits Yahya Al-Qaththan, ‘Abdurrahman bin Mahdi, dan Waki’, yang ketiganya meriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa. Dan At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih.
Menurut kesepakatan, ghibah merupakan perbuatan yang diharamkan, dan tidak ada pengecualian dalam hal itu kecuali jika terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti misalnya dalam hal jarh (menilai cacat dalam masalah hadits), ta’dil(menilai baik/peninjauan kembali dalam masalah hadits), dan nasihat. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah ketika ada seorang jahat yang meminta ijin kepada beliau :
ائذنوا له بئس أخو العشيرة!
Berikanlah oleh kalian ijin kepadanya, ia adalah seburuk-buruk teman kabilah” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Dan seperti sabda Rasulullah kepada Fathimah bintu Qais radliyallaahu ‘anhaa, ketika dilamar oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm : ”Adapun Mu’awiyyah adalah orang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abul-Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya ( = ringan tangan)”. (HR. Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Abu Dawud).
Demikianlah yang memang terjadi dan berlangsung. Kemudian selain dari hal di atas, maka haram hukumnya, yang karenanya pelakunya diberikan ancaman keras. Oleh karena itu Allah menyerupakannya dengan memakan daging manusia yang telah mati. Sebagaimana yang difirmankan-Nya :
أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ
”Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik padanya”.
Artinya, sebagaimana kalian membenci hal ini secara naluriah, maka kalian pun harus membencinya berdasarkan syari’at. Karena hukumnya lebih keras dari hanya sekedar melakukannya (memakan daging). Dan hal itu merupakan upaya menjauhkan diri dari perbuatan tersebut dan bersikap waspada terhadapnya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah tentang orang yang mengambil kembali apa yang telah diberikan :
كالكلب يقيء ثم يرجع في قيئه
Seperti anjing yang muntah, lalu ia memakan kembali muntahannya tersebut
Dan beliau juga telah bersabda :
ليس لنا مثل السوء
Kita tidak boleh mempunyai teladan dalam hal keburukan” (HR. Bukhari).
Dan dalam kitab Shahiih, Hasan, dan Musnad telah ditegaskan, bahwa Rasulullah telah bersabda dalam khutbahnya pada haji Wada’ :
إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا
Sesungguhnya darah, harta benda, dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian seperti haramnya hari ini, bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini
‘Utsman bin Abi Syaibah memberitahu kami, dari Abu Burdah Al-Balawi, ia berkata : Rasulullah bersabda :
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان في قلبه, لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم, فإنه من يتبع عوراتهم يتبع الله عورته, ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته
Wahai sekalian orang-orang yang beriman dengan lisannya dan yang imannya tidak masuk dalam hatinya, janganlah kalian berbuat ghibah terhadap orang-orang muslim dan jangan pula kalian mencari aib-aib mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa mencari aib-aib mereka, maka Allah akan mencari aibnya. Dan barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah, maka Dia akan mempermalukan di rumahnya
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Al-Barra’ bin ‘Azib.
Pada suatu hari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pernah mengarahkan pandangannya ke Ka’bah, lalu ia berkata :
ما أعظمك وأعظم حرمتك وللمؤمن أعظم حرمة عند الله منك
Sungguh besar engkau dan agung pula kehormatanmu, dan bagi orang mukmin mempunyai kehormatan di sisi Allah yang lebih agung darimu
Abu Dawud meriwayatkan dari Waqqash bin Rabi’ah, dari Al-Miswar, dimana ia pernah memberitahukan kepadanya, bahwa Nabi bersabda :
من أكل برجل مسلم أكلة فإن الله يطعمه مثلها في جهنم, ومن كسا ثوباً برجل مسلم فإن الله يكسوه مثله في جهنم, ومن قام برجل مقام سمعة ورياء فإن الله ﷻ يقوم به مقام سمعة ورياء يوم القيامة
Barangsiapa memakan seorang muslim, maka sesungguhnya Allah akan memberinya makan seperti itu di Jahannam kelak. Dan barangsiapa yang memakaikan pakaian seorang muslim, maka Allah akan memakaikan pakaian yang sama kepadanya di Jahannam. Barangsiapa yang membantu seseorang karena sum’ah dan riya’, maka sesungguhnya pada hari Kiamat kelak Allah akan menempatkan dirinya pada posisi sum’ah dan riya’”.
Hadits di atas hanya diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Ibnu Mustahafa memberitahu kami, Baqiyyah dan Mughirah memberitahu kami, dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu, ia bercerita, Rasulullah bersabda :
لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخشمون وجوههم وصدورهم, قلت: من هؤلاء يا جبريل ؟ قال: هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم
Ketika aku diangkat (Mi’raj) ke langit, aku melewati kaum yang berkuku tembaga yang mencakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya : ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’. Jibril menjawab : ‘Mereka adalah orangyang selalu memakan daging-daging orang lain dan tenggelam dalam menodai kehormatan mereka” (HR. Abu Dawud).
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ahmad, dari Abul-Mughiirah ‘Abdul-Quddus bin Al-Hajjaj Asy-Syaami dengan lafadhnya.
Diriwayatkan oleh Al-Hafidh Al-Baihaqi dari ‘Ubaid, maula Rasulullah , bahwasannya ada dua orang wanita yang berpuasa pada jaman Rasulullah .  Ada seseorang yang mendatangi beliau seraya berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya di sini terdapat dua orang wanita yang tengah berpuasa, dan sesungguhnya keduanya hampir meninggal karena kehausan”. Aku lihat ia berucap, lalu beliau berpaling darinya atau mendiamkannya. Kemudian ia berkata,”Wahai Nabi Allah, demi Allah, sesungguhnya mereka berdua sudah meninggal atau hampir saja meninggal”. Maka beliau berkata : ”Panggillah keduanya”. Lalu kedua wanita itu pun datang. Kemudian dibawakan gelas besar dan mangkuk besar, lalu beliau berkata : ”Muntahkanlah”. Maka wanita itupun mengeluarkan muntah darah dan nanah sampai mengeluarkannya setengah gelas besar. Kemudian beliau berkata kepada seorang wanita satunya : ”Muntahkanlah”. Maka wanita itupun mengeluarkan muntah darah, nanah, daging, dan darah segar, juga yang lainnya sehingga memenuhi gelas besar. Kemudian beliau bersabda :
إن هاتين صامتا عما أحل الله ﷻ لهما وأفطرتا على ما حرم الله عليهما, جلست إحداهما إلى الأخرى فجعلتا تأكلان لحوم الناس
Sesungguhnya wanita ini berpuasa dari apa yang dihalalkan Allah kepada keduanya dan tidak berpuasa dari apa yang diharamkan Alah bagi keduanya. Lalu salah seorang dari keduanya mendatangi wanita yang lainnya, selanjutnya keduanya memakan daging orang-orang (mengumpat/menggunjing)
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ahmad.
Al-Hafidh Abu Ya’la meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa , ia berkata kepada Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwa Ma’iz pernah datang kepada Rasulullah seraya berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina”. Maka beliau berpaling darinya, sehingga ia mengucapkan empat kali. Dan pada ucapannya yang kelima beliau bertanya : ”Tahukah engkau apa zina itu?”. “Ya, aku telah mencampurinya secara haram sebagaimana seorang suami mencampurinya secara halal”. Kemudian beliau bertanya : ”Apa yang kamu inginkan dari perkataan ini?”. Ia menjawab : “Aku ingin engkau menyucikan diriku”. Maka Rasulullah bersabda : ”Apakah engkau memasukkan kemaluanmu ke dalam kemaluan wanita itu sebagaimana menghilangnya kuas celak ke dalam botol celak atau timba ke dalam sumur?”. Ia menjawab : ”Benar ya Rasulullah”. Maka Rasulullah memerintahkan untuk memberlakukan rajam terhadapnya. Lalu Nabi mendengar dua orang yang salah seorang dari mereka berkata kepada temannya : “Tidakkah engkau melihat orang ini yang telah Allah tutupi kepadanya lalu ia tidak ditinggalkan oleh nyawanya sehingga ia dirajam seperti merajam anjing?”. Kemudian Nabi berjalan sampai akhirnya melewati bangkai seekor keledai, maka beliau bertanya : ”Dimanakah si Fulan dan si Fulan? Berhenti dan makanlah keledai ini”.  Maka kedua orang itu berkata : “Semoga Allah memberikan ampunan kepadamu ya Rasulullah. Mana mungkin bangkai ini dimakan?”. Maka Rasulullah bersabda :
فما نلتما من أخيكما آنفاً أشد أكلاً منه, والذي نفسي بيده إنه الاَن لفي أنهار الجنة ينغمس فيها

Kalau begitu, apa yangtelah kalian peroleh dari saudara kalian adalah lebih menjijikkan daripada bangkai tersebut. Demi Rabb yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya ia (Ma’iz) sekarang telah berada di sungai-sungai surga dan menyelam ke dalamnya” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih).
Dan firman Allah :
وَاتّقُواْ اللّهَ
Dan bertaqwalah kepada Allah”,
yaitu dalam segala perintah dan larangan-Nya yang diberikan kepada kalian. Jadikanlah ia sebagaipengawas kalian dalam hal itu dan takutlah kepada-Nya.
Firman-Nya :
إِنّ اللّهَ تَوّابٌ رّحِيمٌ
”Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 
Jumhur ulama mengatakan : “Jalan taubat yang harus ditempuh orang yang berbuat ghibah adalah dengan melepaskan diri darinya dan berkemauan keras untuk tidak mengulanginya kembali”.
Apakah dalam taubat itu disyaratkan  adanya penyesalan atas segala yang telah berlalu dan meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya itu?  Mengenai hal itu, terdapat perbedaan pendapat. Ada ulama yang mensyaratkan agar meminta maaf kepada orang yang digunjingkan. Ada pula yang berpendapat, tidak disyaratkan baginya meminta maaf kepadanya. Karena jika ia memberitahu apa yang telah digunjingkannya itu kepadanya, barangkali ia akan merasa lebih sakit daripada jika ia tidak diberitahu. Dengan demikian, cara yang ditempuh adalah dengan memberi sanjungan kepada orang yang telah digunjungkannya itu di tempat-tempat dimana ia telah mencelanya. Selanjutnya, ia menghindari gunjingan orang lain atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga gunjingan dibayar dengan pujian. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin Sulaiman, bahwa Isma’il bin Yahya Al-Mu’afiri memberitahukan kepadanya bahwa Sahl bin Mu’adz bin Anas Al-Juhani memberitahunya dari ayahnya radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi , beliau bersabda :
من حمى مؤمناً من منافق يغتابه, بعث الله ﷻ إليه ملكاً يحمي لحمه يوم القيامة من نار جهنم, ومن رمى مؤمناً بشيء يريد سبه حبسه الله ﷻ على جسر جهنم حتى يخرج مما قال
Barangsiapa melindungi orang mukmin dari orang munafik yang menggunjingnya, maka Allah mengutus malaikat yang akan melindungi dagingnya pada hari Kiamat kelak dari neraka Jahannam. Sedangkan barangsiapa melemparkan suatu tuduhan yang dengannya ia bermaksud mencelanya, maka Allah akan menahannya di atas Jahannam sehingga keluarlah apa yang dikatakannya itu”. (Dla’if, didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dla’iiful-Jaami’ nomor 5564).
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Firman Allah :
يَأَيّهَا النّاسُ إِنّا خَلَقْنَاكُم مّن ذَكَرٍ وَأُنْثَىَ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوَاْ إِنّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللّهِ أَتْقَاكُمْ إِنّ اللّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujuraat : 13)
Allah berfirman seraya memberitahukan kepada umat manusia bahwa Dia telah menciptakan mereka dari satu jiwa, dan darinya Dia menciptakan pasangannya, yaitu Adam dan Hawwa’.  Dan selanjutnya Dia menjadikan mereka berbangsa-bangsa. Kata شُعُوباً(berbangsa-bangsa) lebih umum daripada kata القَبَآئِلُ(bersuku-suku). Dan setelah القَبَآئِلُini berurutan tatanan yang lain, seperti الفصائل والعشائر والعمائر والأفخاذ, dan lain-lain.
Ada juga yang menyatakan : “Yang dimaksud dengan الشُعُوبadalah penduduk-penduduk negeri lain, sedangkan القَبَآئِلُ adalah penduduk Arab, sebagaimana الأسباطdimaksudkan sebagai penduduk Bani Isra’il”. Dan mengenai hal ini telah saya ringkas dalam muqaddimah tersendiri yang saya kumpulkan dari kitab Al-Asybaah karya Abu ‘Umar bin Abdil-Barr, juga kitab Al-Qashdu wal-Umam fii Ma’rifati Ansaabil-‘Arab wal-‘Ajam.  Dengan demikian, dalam hal kemuliaan, seluruh umat manusia dipandang dari sisi ketanahannya dengan Adam dan Hawwa’ ‘alaihimas-salaam adalah sama. Hanya saja kemudian mereka itu bertingkat-tingkat jika dilihat dari sisi keagamaan, yaitu ketaatan kepada Allah dan kepatuhan mereka kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, setelah melarang perbuatan ghibah dan mencaci antar sesama, Allah mengingatkan bahwa mereka itu sama dalam hal sisi kemanusiaan.
Firman-Nya :
يَأَيّهَا النّاسُ إِنّا خَلَقْنَاكُم مّن ذَكَرٍ وَأُنْثَىَ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوَاْ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.
Maksudnya, agar saling kenal-mengenal sesama mereka, yang masing-masing kembali ke kabilah mereka.
Mengenai firman Allah : ”Supaya kamu saling kenal-mengenal”, Mujahid berkata,”Sebagaimana yang dikatakan Fulan bin Fulan dari anu dan anu atau dari kabilah anu dan kabilah anu”. Sufyan Ats-Tsauri berkata : “Orang-orang Humair menasabkan diri kepada kampung halaman mereka. Sedangkan Arab Hijaz menasabkan diri kepada kabilah mereka”. Abu ‘Isa At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi , beliau bersabda :
تعلموا من أنسابكم ما تصلون به أرحامكم, فإن صلة الرحم محبة في الأهل مثراة في المال منسأة في الأثر
Pelajarilah silsilah kalian yang dengannya kalian akan menyambung tali kekeluargaan, karena menyambung tali kekeluargaan itu dapat menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, kekayaan dalam harta, dan panjang umur umur
Kemudian At-Tirmidzi mengemukakan : “Hadits tersebut adalah gharib yang kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini saja”.
Dan firman-Nya :
إِنّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللّهِ أَتْقَاكُمْ
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”.
Maksudnya, yang membedakan derajat kalian di sisi Allah hanyalah ketaqwaan, bukan keturunan. Ada beberapa hadits yang menjelaskan hal tersebut yang diriwayatkan langsung dari Nabi . Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
سئل رسول الله ﷺ أي الناس أكرم ؟ قال: «أكرمهم عند الله أتقاهم» قالوا: ليس عن هذا نسألك. قال: فأكرم الناس يوسف نبي الله, ابن نبي الله, ابن نبي الله ابن خليل الله» قالوا: ليس عن هذا نسألك. قال: «فعن معادن العرب تسألوني ؟ قالوا: نعم. قال: فخياركم في الجاهلية خياركم في الإسلام إذا فقهوا
Rasulullah pernah ditanya : “Siapakah orang yang paling mulia?”. Maka beliau menjawab : “Yang paling mulia di antara mereka di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara mereka”. Para shahabat bertanya : “Bukan masalah ini yang kami tanyakan kepadamu”.  Beliau menjawab : “Jadi, orang yang paling mulia adalah Nabi Allah Yusuf putera Nabi Allah, putera Nabi Allah, putera kekasih Allah”. Para shahabat berkata lagi : “Bukan ini yanghendak kami tanyakan kepadamu”. “Kalau begitu, apakah yang kalian tanyakan kepadaku itu tentang orang-orang Arab yang paling mulia?”, tanya beliau .  “Ya”,jawab mereka. Beliau bersabda : “Yang terbaik dari mereka di masa Jahiliyyah adalah yang terbaik dari mereka pada masa Islam, jika mereka benar-benar memahami”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhari di tempat yang lain melalui jalan Abdah bin Sulaiman. Juga diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab At-Tafsiir, dari hadits ‘Ubaidullah, dia adalah Ibnu ‘Umair Al-‘Umari.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah  bersabda:
إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta benda kalian. Akan tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian  (Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ahmad bin Sinan, dari Katsir bin Hisyam).
Imam Ahmad rahimahullahmeriwayatkan dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia menceritakan bahwa Nabi pernah bersabda kepadanya :
انظر فإنك لست بخير من أحمر ولا أسود إلا أن تفضله بتقوى الله
Lihatlah, sesungguhnya engkau tidaklah lebih baik dari (orang berkulit) merah dan hitam kecuali jika engkau melebihkan diri dengan ketaqwaan kepada Allah
Hadits di atas diriwayatkan sendiri oleh Imam Ahmad rahimahullah.
Imam Ahmad rahimahullahjuga meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amirah, suami Darrah binti Abi Lahab, dari Darrah binti Abi Lahab radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
قام رجل إلى النبي ﷺ وهو على المنبر فقال: يا رسول الله أي الناس خير ؟ قال ﷺ: خير الناس أقرأهم وأتقاهم لله عز وجل, وآمرهم بالمعروف وأنهاهم عن المنكر وأوصلهم للرحم
Ada seorang laki-laki yang berdiri menemui Nabi yang ketika itu beliau tengah berada di atas mimbar, lalu ia berkata : “Ya Rasululah, siapakah orang yang paling baik itu?”. Rasulullah menjawab : “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik bacaan (Al-Qur’an)nya, paling bertaqwa kepada Allah , paling gigih menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan paling giat menyambung silaturahim
Dan firman Allah selanjutnya :
إِنّ اللّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Maksudnya, Maha Mengetahui (tentang) kalian semua dan Maha Mengenal semua urusan kalian, sehingga dengan demikian Dia akan memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, menyesatkan siapa yang Dia kehendaki pula, menyayangi siapa yang Dia kehendaki, menimpakan siksaan kepada siapa yang Dia kehendaki, mengutamakan siapa yang Dia kehendaki, dan juga Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, dan Maha Mengenal tentang semuanya itu. Ayat mulia dan hadits-hadits syarif ini telah dijadikan dalil oleh beberapa ulama’ yang berpendapat bahwa kafa-ah(sederajat) di dalam masalah nikah itu tidak dijadikan syarat, dan tidak ada yang dipersyaratkan kecuali agama. Hal itu didasarkan pada firman Allah :
إِنّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”.
Sedangkan ulama lainnya mengambil dalil-dalil lain yang terdapat dalam buku-buku fiqh. Dan kami telah menyebutkan sekilas mengenai hal itu dalam kitab Al-Ahkaam. Segala puji dan sanjungan hanya bagi Allah semata.

[selesai – repost tulisan lama 12 Juni 2006].

Minum dari Qirbah/Siqaa’/Botol

$
0
0

Kemarin saya sempat dikirimi gambar pesan dakwah dari seseorang via WA dengan judul : ‘Hukum Minum dari Mulut Botol’. Gambarnya ada di samping. Alhamdulillah, bagus. Bentuk partisipasi dakwah dengan menyebarkan pesan-pesan yang bermanfaat. Allah berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” [QS. Aali ‘Imraan : 110].
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” [QS. Luqman: 17].
Gambar itu pula yang mendorong saya hari ini untuk sedikit menulis artikel terkait tema tersebut.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ فَمِ الْقِرْبَةِ أَوِ السِّقَاءِ، وَأَنْ يَمْنَعَ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي دَارِهِ
“Rasulullah melarang minum dari mulut qirbah atau siqaa’ dan melarang seseorang mencegah tetangganya menyandarkan kayu di rumahnya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5627-5628, Ibnu Maajah no. 3420, Ad-Daarimiy no. 2164, dan yang lainnya].
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ اخْتِنَاثِ الْأَسْقِيَةِ "يَعْنِي أَنْ تُكْسَرَ أَفْوَاهُهَا فَيُشْرَبَ مِنْهَا
“Rasulullah melarang minum dari siqaa’ – yaitu menekuk mulutnya dan meminum darinya”.
Dalam riwayat lain:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ اخْتِنَاثِ الْأَسْقِيَةِ أَنْ يُشْرَبَ مِنْ أَفْوَاهِهَا
“Rasulullah melarang minum dari siqaa’ - yaitu minum dari mulut qirbahtersebut”.
Dalam riwayat lain terdapat tambahan lafadh:
وَاخْتِنَاثُهَا أَنْ يُقْلَبَ رَأْسُهَا ثُمَّ يُشْرَبَ مِنْهُ
“Dan meminum langsung darinya, yaitu dengan membalikkan kepalanya (mulut siqaa’), kemudian meminum dari (mulut qirbah) tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5625-5626, Muslim no. 2023, At-Tirmidziy no. 1890, Abu Daawud no. 3720, Ibnu Maajah no. 3418, dan yang lainnya].
Catatan : Perkataan yang menjelaskan kaifiyyah ikhtinaats dalam hadits di atas adalah mudraj dari perkataan Az-Zuhriy sebagaimana dijelaskan Al-Haafidh rahimahumallah dalam Fathul-Baariy, 10/89.
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ فِي السِّقَاءِ
“Nabi melarang minum dari mulut siqaa’
Dalam riwayat lain:
أَنّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنِ الْمُجَثَّمَةِ وَلَبَنِ الْجَلَّالَةِ وَعَنِ الشُّرْبِ مِنْ فِي السِّقَاءِ
“Bahwasannya Nabi melarang al-mujatstsamah[1], susu hewan jalalah (pemakan kotoran), dan minum dari mulut siqaa’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5629, At-Tirmidziy no. 1825, Abu Daawud no. 3719, An-Nasaa’iy no. 4448, Ibnu Maajah no. 3419 & 3421, Ad-Daarimiy no. 2163, dan yang lainnya].
Qirbah dan siqaa’ adalah kantong air yang terbuat dari kulit. Ukuran qirbahada yang besar dan ada yang kecil, namun siqaa’ ukurannya hanya kecil saja (tidak ada yang besar) [Fathul-Baariy, 10/89]. Jika kita qiyaskan di era sekarang, itu seperti botol, poci, teko, dan semisalnya untuk tempat minum.
Beberapa ulama menjelaskan ‘illat pelarangan dalam hadits-hadits tersebut, diantaranya:
1.    Ada kemungkinan serangga atau hewan lain masuk ke dalam air yang ada pada siqaa’/qirbah, sehingga dapat masuk ke mulut orang yang meminumnya tanpa disadari (dan membahayakan dirinya) [Fathul-Baariy, 10/91, Syarh Shahiih Al-Bukhaariy li-Ibni Baththaal 11/76, dan Syarhus-Sunnah lil-Baghawiy 11/377].
Bahkan disebutkan dalam satu riwayat, seekor ular masuk ke dalam siqaa’ saat ada orang yang mau minum air di dalamnya. Setelah Ayyuub As-Sakhtiyaaniy rahimahullah meriwayatkan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu tentang larangan minum di mulut qirbah atau siqaa’, ia berkata:
فَأُنْبِئْتُ أَنَّ رَجُلًا شَرِبَ مِنْ فِي السِّقَاءِ، فَخَرَجَتْ حَيَّةٌ
“Maka aku diberitahu bahwa ada seorang laki-laki yang minum dari mulut siqaa’, lalu keluar darinya seekor ular” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/230; shahih].
2.    Larangan tersebut dikhususkan bagi orang yang bernafas di dalam bejana[2].
Orang yang bernafas dalam bejana/siqaa’/qirbah kemungkinan mengeluarkan air liur yang dapat merubah air yang ada di padanya (menjadi bau/bacin). Ada riwayat yang terkait dengan 'illat pelarangan ini, yaitu:
أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحُسَيْنِ الْقَاضِي، ثَنَا الْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ، ثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، ثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: "أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُشْرَبَ مِنْ فِي السِّقَاءِ، لأَنَّ ذَلِكَ يُنْتِنُهُ "
Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin Al-Husain Al-Qaadliy : Telah menceritakan kepada kami Al-Haarits bin Abi Usaamah : Telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam melarang minum dari mulut siqaa’, karena hal itu menyebabkannya bacin” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/140].
Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 1/757-758 no. 400. Al-Haafidh rahimahullah berkata : “Sanadnya qawiy (kuat)” Fathul-Baariy, 10/91].
Namun yang benar, hadits ini ma’luul karena yang shahih adalah mursal; dan perkataan ‘karena hal itu menyebabkannya bacin’ ini bukan perkataan Nabi , akan tetapi perkataan Hisyaam bin ‘Urwah.[3]
Dalam hal ini, Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَهَذَا يَقْتَضِي أَنْ يَكُون النَّهْي خَاصًّا بِمَنْ يَشْرَب فَيَتَنَفَّس دَاخِل الْإِنَاء أَوْ بَاشَرَ بِفَمِهِ بَاطِن السِّقَاء ، أَمَّا مَنْ صَبَّ مِنْ الْقِرْبَة دَاخِل فَمه مِنْ غَيْر مُمَاسَّة فَلَا
“Dan hadits ini menghendaki bahwa pelarangan tersebut khusus bagi orang yang minum sambil bernafas di dalam bejana atau mulutnya menempel di bagian dalam bejana. Adapun orang yang menuangkan/mengalirkan air dari qirbah dan masuk ke dalam mulutnya tanpa bersentuhan (dengan qirbah), maka tidak termasuk larangan” [Fathul-Baariy, 10/91].
3.    Orang yang minum dari mulut siqaa’ kadang ketumpahan air sehingga mengalir darinya lebih banyak daripada kebutuhan. Akibatnya, ia bisa tersedak atau bajunya menjadi basah [Fathul-Baariy, 10/91].
Selain dalil-dalil yang melarang, ada dalil yang secara dhahir menunjukkan kebolehannya, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ دَخَلَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، وَفِي الْبَيْتِ قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فَاخْتَنَثَهَا وَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi pernah masuk ke rumah seorang wanita Anshar yang di dalamnya ada qirbah yang tergantung. Lalu beliau (mengambil dan) menekuk mulut qirbah tersebut dan meminumnya dalam keadaan berdiri” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/161; dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam Takhriij ‘alal-Musnad 42/165-166].
Menyikapi ini, para ulama berbeda pendapat.
Setelah menyebutkan hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فَهَذَا الْحَدِيث يَدُلّ عَلَى أَنَّ النَّهْي لَيْسَ لِلتَّحْرِيمِ . وَاللَّهُ أَعْلَم
“Hadits ini menunjukkan bahwa larangan tidak bermakna tahriim (pengharaman), wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 13/194].
Akan tetapi makruh tanziih.
Inilah pendapat jumhur ulama. Bahkan An-Nawawiy rahimahullah mengatakan para ulama telah bersepakat tentang hukum makruh tanziih:
وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ النَّهْي عَنْ اِخْتِنَاثهَا نَهْي تَنْزِيه لَا تَحْرِيم
“Para ulama sepakat pelarangan ikhtinaats/minum langsung dari siqaa’adalah pelarangan yang bersifat tanziih, bukan tahriim” [Syarh Shahiih Muslim 13/194 dan Fathul-Baariy 10/91].
Klaim ijmaa’ An-Nawawiy rahimahullah perlu ditinjau kembali, karena ternukil beberapa pendapat lain yang berbeda.
Maalik bin Anas rahimahullah membolehkannya. Al-Haafidh rahimahumallahberkata:
فَقَدْ نَقَلَ اِبْن التِّين وَغَيْره عَنْ مَالِك أَنَّهُ أَجَازَ الشُّرْب مِنْ أَفْوَاه الْقِرَب وَقَالَ : لَمْ يَبْلُغنِي فِيهِ نَهْي
“Ibnut-Tiin dan yang lainnya menukil dari Maalik bahwa ia membolehkan minum dari mulut qirbah seraya berkata : ‘Belum sampai larangan padaku dalam permasalahan itu[4]” [Fathul-Baariy, 10/91].
Ibnu Hazm[5]dan Muhammad bin Abi Hamzah rahimahumallah mengharamkannya [Al-Muhallaa6/228 dan Fathul-Baariy 10/91].
Selain itu, ada juga yang mengatakan hukum kebolehannya telah dihapus (dengan hadits-hadits pelarangan) sebagaimana dikatakan Ibnu Hazm rahimahullah [Al-Muhallaa, 6/229] dan Abu Bakr Al-Atsram sebagaimana dinukil oleh Al-‘Ainiy [‘Umdatul-Qaariy, 31/218-219][6].
Pendapat ini lemah, karena tidak ada hadits marfuu’ yang menerangkan sebab yang menghapus hukum kebolehan. Yang ada dan shahih hanyalah perkataan Ayyuub As-Sakhtiyaaniy rahimahullah dan ini tidak mencukupi.
Ada yang menjamak, bahwa kebolehannya hanya pada kondisi tertentu saja sebagaimana dikatakan Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah :
قُلْت : لَمْ أَرَ فِي شَيْء مِنْ الْأَحَادِيث الْمَرْفُوعَة مَا يَدُلّ عَلَى الْجَوَاز إِلَّا مِنْ فِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَحَادِيث النَّهْي كُلّهَا مِنْ قَوْله . فَهِيَ أَرْجَح إِذَا نَظَرْنَا إِلَى عِلَّة النَّهْي عَنْ ذَلِكَ
..........
قُلْت : وَيُؤَيِّدهُ أَنَّ أَحَادِيث الْجَوَاز كُلّهَا فِيهَا أَنَّ الْقِرْبَة كَانَتْ مُعَلَّقَة وَالشُّرْب مِنْ الْقِرْبَة الْمُعَلَّقَة أَخَصُّ مِنْ الشُّرْب مِنْ مُطْلَق الْقِرْبَة ، وَلَا دَلَالَة فِي أَخْبَار الْجَوَاز عَلَى الرُّخْصَة مُطْلَقًا بَلْ عَلَى تِلْكَ الصُّورَة وَحْدهَا ، وَحَمْلهَا عَلَى حَال الضَّرُورَة جَمْعًا بَيْن الْخَبَرَيْنِ أَوْلَى مِنْ حَمْلهَا عَلَى النَّسْخ وَاَللَّه أَعْلَم
“Aku katakan : Aku tidak melihat satu pun hadits marfuu’ yang menunjukkan kebolehannya kecuali dari perbuatan beliau , sedangkan semua hadits pelarangan merupakan sabda beliau . Pelarangan tersebut lebih kuat apabila kita melihat kepada ‘illat-nya.
……………
Aku katakan :  Dikuatkan lagi bahwa hadits-hadits yang menyatakan kebolehannya semuanya menjelaskan qirbah yang diminum dalam posisi tergantung. Minum dari qirbah yang tergantung lebih khusus daripada minum dari qirbah secara mutlak. Oleh karenanya, tidak ada penunjukan dalam hadits-hadits pembolehannya dalam kasus rukhshahsecara mutlak. Akan tetapi (diperbolehkan) hanya pada kondisi tersebut (yaitu minum dari qirbah yang tergantung). Membawa dua khabar dengan metode penjamakan lebih utama daripada membawanya dengan metode nasakh, wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy, 10-91-92].
Al-Haafidh rahimahullah menjamak hadits-hadits tersebut, bahwa kebolehan minum dari mulut qirbah dan siqaa’ hanya jika keduanya tergantung.
Yang raajih dalam hal ini adalah pendapat jumhur ulama dengan melihat ‘illathukum yang telah disebutkan di atas[7].
Jika seseorang minum dari qirbah, siqaa’, botol, kendi, dan tempat air semisalnya adalah diperbolehkan jika dapat menjaga dari ‘illat pelarangan tersebut. Misalnya dengan menutup rapat-rapat tempat air (supaya higienis), tidak bernafas dalam bejana ketika minum, tidak minum langsung dari mulut qirbah/siqaa’/botol (khususnya tempat minum yang digunakan bersama-sama), dan pelan-pelan dalam meminumnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – rnn –18 Ramadlaan 1439].



[1]   Yaitu, hewan yang dijadikan sasaran bidikan tembahkan atau lemparan hanya untuk membunuhnya [‘Aunul-Ma’buud, 8/222].
[2]   Nabi telah melarang bernafas ketika minum dengan sabdanya:
إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الْإِنَاء
Apabila salah seorang diantara kalian minum, jangan sambil bernafas di dalam bejana” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 153 & 5630 dan Muslim no. 267].
[3]   Hammaad bin Salamah diselisihi oleh:
a.    ‘Abdurrahmaan bin Abi Zinaad, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa7/285 no. 14666
b.    Abu Mu’aawiyyah Muhammad bin Haazim, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Harawiy dalam Ghariibul-Hadiits hal. 363
c.     Ma’mar bin Raasyid, sebagaimana diriwayatkan olehnya dalam Al-Jaami’ 10/429 no. 19598 dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 8/146 no. 5620.
yang meriwayatkan secara mursal dari ‘Urwah bin Az-Zubair.
Selain itu, Rauh bin ‘Ubaadah dalam periwayatan dari Hammaad bin Salamah secara maushuuldiselisihi oleh Al-Hajjaaj bin Minhaal yang meriwayatkan dari Hammaad secara mursalseperti para perawi lainnya. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/276 no. 6869.
Dalam riwayat Ma’mar, perkataan ‘karena hal itu menyebabkannya bacin’ adalah perkataan Hisyaam bin ‘Urwah, bukan sabda Nabi . Inilah yang dishahihkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan8/147.
Adanya penyelisihan ini sebagai bukti kuat Hammaad bin Salamah salah dalam periwayatan jalur maushuul. Meskipun dirinya tsiqah, namun di akhir kehidupannya ia mengalami ikhtilaath yang mempengaruhi akurasi periwayatannya.
Wallaahu a’lam.
[4]   Perkataan Maalik bin Anas rahimahullahini terdapat satu faedah bahwa adakalanya dalil yang masyhur di kalangan jumhur ulama tidak diketahui oleh sebagian ulama yang lain. Maalik bin Anas rahimahullah adalah imam di masanya dari kalangan penduduk Madiinah.
Sebagian ulama memang ada yang menta’wilkan perkataan Maalik ini seperti Ibnul-Munayyir rahimahumallah bahwa yang dimaksud dengannya adalah (ia mengetahui dalilnya namun) tidak membawa pelarangannya kepada makna tahriim [lihat Fathul-Baariy, 10/91]. Namun ta'wiil ini sangat jauh, wallaahu a'lam.
[5]   Ibnu Hazm rahimahullah yang berkata:
وَلَا يَحِلُّ الشُّرْبُ مِنْ فَمِ السِّقَاءِ
“Tidak halal minum dari mulut siqaa’” [Al-Muhallaa, 6/228].
[6]   Al-‘Ainiy berkata ketika memberikan sanggahan atas klaim ijmaa’ dari An-Nawawiy rahimahumallah:
قيل في دعواه الاتفاق نظر لأن أبا بكر الأثرم صاحب أحمد أطلق أن أحاديث النهي ناسخة للإباحة لأنهم كانوا أولا يفعلون ذلك حتى وقع دخول الحية في بطن الذي شرب من فم السقاء فنسخ الجواز
“Dikatakan : dalam klaim adanya kesepakatan (ijmaa’) perlu diteliti kembali, karena Abu Bakr Al-Atsram murid Ahmad (bin Hanbal) memutlakkan hadits-hadits larangan tersebut sebagai penghapus (naasikh) bagi kebolehannya. Hal itu dikarenakan dulu mereka biasa minum dari mulut siqaa’ hingga terjadi peristiwa seekor ular yang masuk ke perut orang yang minum dari siqaa’. Maka kebolehannya dihapus” [‘Umdatul-Qaariy, 31/218-219].
Catatan : Tidak ada hadits shahih dari Nabi tentang  ular yang masuk ke dalam siqaa’sebagaimana disebutkan Al-‘Ainiy rahimahullah.
[7]   Ibnul-‘Arabiy rahimahullah berkata (tentang ketiga sebab pelarangan yang disebutkan sebelumnya):
وواحدة من الثلاثة تكفي في ثبوت الكراهة وبمجموعها تقوى الكراهة جدا
“Dan satu saja diantara tiga sebab di atas sudah cukup dalam penetapan kemakruhannya. Apalagi jika ketiga-tiganya sekaligus semakin menambah kuat kemakruhannya” [Fathul-Baariy, 10/91].

Shalat Tarawih 11 Raka’at adalah Bid’ah ?

$
0
0

Membuka media sosial kadang menjadi hiburan tersendiri jika yang terbaca isinya bermutu, informatif, atau (bahkan) lucu. Tapi tak jarang, membacanya malah bikin kesal karena yang lewat di Beranda kontent fitnah, syubuhat, dan ngaco. Termasuk yang ada di judul artikel ini. Entah ilmu terawangan darimana bisa-bisanya ada yang mengatakan shalat tarawih 11 raka’at itu bid’ah. Hadits ‘Aaisyah yang menjelaskan shalat tarawih 11 raka’at itu dikatakan shalat witir, bukan shalat tarawih. Sekarang, masalah ini lagi menghangat di satu wilayah di Provinsi NAD. Kemarin malah lewat rekaman talkshowyang tak kalah lucu dari dai ‘Holsten’. Katanya Nabi tidak pernah shalat tarawih kecuali hanya 3 malam saja. Hadits riwayat 'Aaisyah 11 raka'at katanya, bukan dalil shalat tarawih, akan tetapi shalat tahajjud. "Salahnya adalah salah banget", igaunya. Ngabodor yeuh….

Riwayat ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa yang dipermasalahkan itu sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: "كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي رَمَضَانَ؟ فَقَالَتْ: مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ، قَالَ: يَا عَائِشَةُ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي "
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Maalik, dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Bagaimana shalat Rasulullah pada bulan Ramadlaan ?”. ‘Aaisyah menjawab : “Rasulullah tidak pernah shalat di bulan Ramadlan maupun di bulan selainnya, lebih dari 11 raka’at. Beliau shalat 4 raka’at, jangan engkau menanyakan bagus dan panjangnya. Setelah itu shalat 4 raka’at dan jangan engkau menanyakan bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 raka’at” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2013 dan Muslim no. 738].
Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah memasukkan hadits 'Aaisyah di atas dalam Al-Jaami’ush-Shahiih (2/61) pada kitab Shalaatut-Taraawiih, terletak persis setelah hadits yang menjelaskan perbuatan Nabi shalat tarawih berjama'ah dengan para shahabat selama 3 malam.[1]
Ini menunjukkan fiqh imam Al-Bukhaariy bahwa 11 raka'at merupakan bagian dari syari'at shalat tarawih di bulan Ramadlaan.
Selain itu, beliau (Al-Bukhaariy) rahimahullah juga meletakkannya dalam bab:
باب قِيَامِ النبي ﷺ بِاللَّيْلِ فِى رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ
Baab : Qiyaamin-Nabiy bil-Laili fii Ramadlaan wa Ghairih (Shalat Malam Nabi pada Bulan Ramadlaan dan Selainnya)” [Al-Jaami’ush-Shahiih, 1/356].
Meski Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah berpendapat shalat taraawih boleh lebih dari 11 raka'at, namun beliau memasukkan atsar ini:
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ
Dari As-Saaib bin Yaziid, bahwasannya ia berkata : ‘Umar bin Al-Khaththahab pernah memerintahkan Ubay bin Ka'b dan Tamiim Ad-Daariy mengimami orang-orang (shalat taraawih) dengan sebelas rakaat". As-Saaib berkata : "Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar"
dalam kitab Al-Muwaththaa' pada Bab : Maa Jaa-a fii Qiyaamir-Ramadlaan. Tepatnya di juz 1 halaman 478 nomor hadits 271 (tahqiq dan takhrij : Saliim bin 'Ied Al-Hilaaliy). Kalau nanti ada yang bilang : "Loh, itu kan qiyaamur-ramadlaan, bukan shalat tarawih ?".
Heloo,... Qiyaamur-ramadlaan itu ya masuk padanya shalat tarawih. Bukankah hadits :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 37 & 2009 dan Muslim no. 759]
sebagai dalil keutamaan melaksanakan shalat tarawih pada bulan Ramadlaan ?. Dalam kitab Shahiih Muslim disebutkan bab:
بَاب التَّرْغِيبِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ وَهُوَ التَّرَاوِيحُ
"Bab Targhiib dalam Qiyaamir-Ramadlaan, yaitu Taraawiih"
Ibnul-Hummaam (Kamaaluddiin bin ‘Abdil-Waahid) Al-Hanafiy rahimahullah berkata:
وَجَمَعَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّهُ وَقَعَ أَوَّلًا ثُمَّ اسْتَقَرَّ الْأَمْرُ عَلَى الْعِشْرِينَ فَإِنَّهُ الْمُتَوَارِثُ ، فَتَحْصُلُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ سُنَّةٌ إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ فِي جَمَاعَةٍ فَعَلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تَرَكَهُ لِعُذْرٍ ، ....، وَكَوْنُهَا عِشْرِينَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ } نَدْبٌ إلَى سُنَّتِهِمْ ، وَلَا يَسْتَلْزِمُ كَوْنَ ذَلِكَ سُنَّتَهُ
“Penjamakan antara keduanya[2], bahwasannya shalat )tarawih( 11 raka’at itu terjadi pada awalnya, kemudian menjadi ketetapan dengan 20 raka’at dan terwarisi hingga sekarang. Maka kesimpulannya dari semua ini bahwasannya qiyaamur-Ramadlaan adalah sunnah dengan 11 raka’at secara berjama’ah, dimana itu dilakukan oleh Nabi lalu beliau tinggalkan karena satu alasan….. Adapun qiyaamur-Ramadlaan dengan 20 raka’at merupakan sunnah Al-Khulafaaur-Raasyidiin. Dan sabda beliau : ‘Wajib bagi kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah al-khulaafur-raasyidiin’ adalah anjuran untuk berpegang kepada sunnah mereka (al-khulafaaur-raasyidiin), dan itu tidak melazimkan hal tersebut merupakan sunnah beliau ” [Fathul-Qadiir, 2/448].
Abul-Hasan ‘Aliy Al-‘Adawiy Al-Maalikiy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya:
وَعَنْهُ الَّذِي يَأْخُذُ بِنَفْسِي فِي ذَلِكَ الَّذِي جَمَعَ عَلَيْهِ عُمَرُ النَّاسَ إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا الْوَتْرُ وَهِيَ صَلَاةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( وَكُلُّ ذَلِكَ ) أَيْ الْقِيَامِ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً أَوْ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً ( وَاسِعٌ ) أَيْ جَائِزٌ
“Dan ternukil darinya (Maalik)[3], ia berkata : Adapun yang aku ambil untuk diriku dalam permasalan tersebut adalah shalat (qiyaamur-ramadlaan/tarawih) yang ‘Umar mengumpulkan orang-orang sebanyak 11 raka’at, termasuk padanya shalat witir. Itulah shalat yang dilakukan Nabi . (Dan semua itu), maksudnya : shalat 20 raka’at atau 36 raka’at. (Luas), yaitu diperbolehkan” [Haasyiyyah Al-‘Adawiy ‘alaa Syarh Kifaayatith-Thaalib, 3/440 – Bab : Qiyaamir-Ramadlaan].
Al-Muzanniy rahimahullah berkata:
قلت أنا في كتاب اختلاف و مالك قلت للشافعي : أيجوز أن يوتر بواحدة ليس قبلها شيء قال : نعم والذي أختاره ما فعل رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة يوتر منها بواحدة والحجة في الوتر بواحدة السنة والاثار روي [ عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال : صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة توتر له ما قد صلى ] وعن عائشة [ أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة يوتر منها بواحدة ]
“Aku berkata dalam kitab Ikhtilaafu (Asy-Syaafi’iy) wa Maalik, aku katakan kepada Asy-Syaafi’iy : ‘Apakah boleh melakukan witir 1 raka’at saja tanpa ada shalat yang dilakukan sebelumnya?’. Ia (Asy-Syaafi’iy) menjawab : ‘Boleh. Dan yang aku pilih adalah apa yang dilakukan Rasulullah . Beliau shalat sebanyak 11 raka’at dan berwitir padanya 1 raka’at. Hujjah shalat witir 1 raka'at adalah sunnah dan atsar. Diriwayatkan dari Rasulullah , beliau bersabda : ‘Shalat malam 2 raka’at 2 raka'at. Apabila salah seorang di antara kalian khawatir tiba waktu Shubuh, shalatlah 1 raka’at sebagai witir baginya untuk shalat yang ia lakukan sebelumnya’. Dan dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Rasulullah shalat 11 raka’at dengan witir darinya 1 raka’at” [Mukhtashaar Al-Muzanniy, hal. 35].
Penjelasan Al-Muzanniy dan Asy-Syaafi’iy rahimahullah ini menunjukkan bahwa 11 raka’at itu bukan hanya witir saja, akan tetapi shalat tarawih/lail yang padanya witir 1 raka’at.
As-Suyuuthiy rahimahullah berkata:
وقال الجوري من أصحابنا : عن مالك أنه قال : الذي جمع عليه الناس عمر بن الخطاب أحب إلي ، وهو إحدى عشرة ركعة ، وهي صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قيل له : إحدى عشرة ركعة بالوتر ؟ قال : نعم وثلاث عشرة قريب ، قال : ولا أدري من أين أحدث هذا الركوع الكثير
“Telah berkata Al-Juuriy dari kalangan ulama Syaafi’iyyah, dari Maalik, ia berkata : Shalat yang ‘Umar mengumpulkan manusia padanya lebih aku sukai, yaitu sebanyak 11 raka’at. Itulah shalat Rasulullah . Dikatakan kepadanya : ’11 raka’at dengan shalat witir?’. Ia menjawab : ‘Ya benar. 13 raka’at pun juga benar’. Ia melanjutkan : ‘Aku tidak tahu darimana asalnya rukuk dalam jumlah banyak ini dilakukan” [Al-Mashaabih fii Shalaatit-Taraawiih, hal. 32 atau dalam Al-Haawiy lil-Fataawaa].
Walhasil,kumpulan perkataan para ulama di atas memberikan penjelasan kepada kita bahwa hadits ‘Aaisyah 11 raka’at terpakai untuk shalat tarawih yang includedi dalamnya shalat witir.
Hadits ‘Aaisyah tersebut di atas juga menunjukkan bahwa sifat shalat Nabi pada waktu Ramadlaan dan selainnya adalah secara umum sama dalam hal jumlah raka’at dan teknis pelaksanaannya.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وفي هذا الحديث البيان بأن صلاة رسول الله صلى الله عليه و سلم في رمضان وغيره كانت سواء
“Dan dalam haditrs ini terdapat penjelasan bahwa shalat Rasulullah pada bulan Ramadlaan dan selainnya adalah sama” [Al-Istidzkaar, 2/98].
Abul-Waliid Al-Baajiy rahimahullah (w. 474 H) berkata:
وَإِنَّمَا قَصَرَ السُّؤَالَ عَلَى رَمَضَانَ لِمَا رَأَى مِنْ الْحَضِّ عَلَى صَلَاةِ رَمَضَانَ فَظُنَّ لِذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخُصُّهُ بِصَلَاةٍ فَأَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ أَنَّ فِعْلَهُ كَانَ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ سَوَاءٌ
“Penanya hanya membatasi pertanyaan pada bulan Ramadlaan saja karena ia melihat kekhususan shalat di bulan Ramadlaan sehingga dirinya menyangka dengannya Nabi mengkhususkannya dengan shalat tertentu (jumlah raka’at dan sifatnya). Maka ‘Aaisyah memberitahukan kepadanya bahwa perbuatan (shalat) beliau di bulan Ramadlaan dan selainnya adalah sama” [Al-Muntaqaa, 1/277].
Al-Mubaarakfuuriy rahimahullah berkata:
فَهَذَا الْحَدِيثُ الصَّحِيحُ نَصٌّ صَرِيحٌ فِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Maka hadits shahih ini merupakan nash yang jelas bahwa Rasulullah tidak menambahkan pada bulan Ramadlaan dan selainnya lebih dari sebelas raka’at” [Tuhfatul-Ahwadziy, 2/349].
Adapun shalat tarawih Nabi selama tiga malam bukan menunjukkan setelah itu beliau libur. Tidak ada kalender akademik libur shalat tarawih. Hadits itu hanya menunjukkan bahwa beliau tidak shalat tarawih berjama’ah bersama para shahabat kecuali hanya 3 malam saja; dan setelah itu beliau tetap shalat tarawih di rumahnya.
Kesimpulannya : Shalat tarawih (bisa) dilakukan 11 raka’at yang masuk di dalamnya shalat witir.[4]Bukan bid’ah – dan memang tidak ada seorang pun ulama yang mengatakan bid’ah kecuali ‘ulama’ Nusantara – sepengetahuan saya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 21 Ramadlan 1439].



[1]   Haditsnya adalah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ، "أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا، فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ، عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ، أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ "
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair : Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihaab : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah : Bahwasannya ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa mengkhabarkan kepadanya : Pada suatu malam, Rasulullah keluar menuju masjid untuk mengerjakan shalat, lalu orang-orang pun shalat (bermakmum) bersama beliau . Pada waktu paginya, orang-orang membicarakan kejadian tersebut sehingga pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan Beliau. Pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah keluar untuk shalat dan mereka ikut shalat bermakmum bersama beliau . Pada malam keempat, masjid sudah penuh dengan jama'ah, tetapi akhirnya beliau keluar hanya untuk mengerjakan shalat Shubuh saja. Setelah selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang-orang, membaca syahadat lalu bersabda : "Amma, ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah – Abul-Jauzaa’), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”. Kemudian Rasulullah wafat dan perkaranya masih tetap seperti itu (yaitu tidak dilakukan shalat tarawih secara berjama’ah – Abul-Jauzaa’) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2012].
Jika hadits ini diakui sebagai dalil pensyari’atan shalat tarawih, bukankah konsekuensinya hadits ‘Aaisyah 11 raka’at yang terletak satu kitab dengannya (yaitu Kitaabu Shalaatit-Taraawiih) dalam Al-Jaam’iush-Shahiih juga sebagai dalil shalat tarawih ?.
[2]   Yaitu riwayat shalat tarawih di zaman ‘Umar bin Al-Khaththaab 11 raka’at (dengan witir) dan 20 raka’at (tanpa witir).
[3]   Yaitu selain dari kitab Al-Mudawwanah.
[4]   Witir dapat dilakukan 3 raka’at terakhir.
Ibnu Baththaal rahimahullah menjelaskan:
أن الوتر منها الركعة الأخيرة مع ركعتين تقدمتها، قالوا: ويدل على صحة حديث عائشة أن الرسول كان لا يزيد فى رمضان ولا غيره على إحدى عشرة ركعة، يصلى أربعًا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلى أربعًا كذلك، ثم يصلى ثلاثًا فدل أن الوتر ثلاث.
“Bahwasannya witir pada shalat malam 1 raka’at terakhir dan dua raka’at sebelumnya (sehingga jumlahnya 3 raka’at – Abul-Jauzaa’). Mereka katakan : ‘Dan yang menunjukkan kebenarannya adalah hadits ‘Aaisyah bahwasannya Rasulullah tidak pernah shalat di bulan Ramadlan maupun di bulan selainnya, lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat 4 raka’at, jangan engkau menanyakan bagus dan panjangnya. Setelah itu shalat 4 raka’at juga seperti itu. Kemudian beliau shalat 3 raka’at. Maka ini menunjukkan shalat witir 3 raka’at” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy, 4/201].
Atau dilakukan 1 raka’at saja berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْهَا، اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الأَيْمَنِ، حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ، فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ "
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Rasulullah shalat malam 11 raka;at dengan witir padanya 1 raka’at. Apabila telah shalat, maka beliau berbaring ke kanan, hingga tiba muadzdzin (mengumandangkan adzan). Lalu beliau shalat dua raka’at ringan [Diriwayatkan oleh Muslim no. 736].

Abu Bakr adalah Imam Orang-Orang yang Bersyukur

$
0
0

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الشَّافِعِيُّ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ: نَا أَحْمَدُ بْنُ بَشِيرٍ الْمَرْثَدِيُّ، قَالَ: نَا أَحْمَدُ بْنُ عِمْرَانَ الأَخْنَسِيُّ، قَالَ: نَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، قَالَ: نَا عَمَّارُ بْنُ زُرَيْقٍ، عَنْ هَاشِمِ بْنِ الْبَرِيدِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ عَلِيٍّ، قَالَ: "أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِمَامُ الشَّاكِرِينَ ثُمَّ قَرَأَ: وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ"
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Asy-Syaafi’iy Muhammad bin ‘Abdillah bin Ibraahiim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Basyiir Al-Martsadiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Imraan Al-Akhnasiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Ammaar bin Ruzaiq, dari Haasyim bin Al-Bariid, dari Zaid bin ‘Aliy, ia berkata : “Abu Bakr Ash-Shiddiiq radliyallaahu ‘anhu adalah imam/pemimpin orang-orang yang bersyukur”. Kemudian ia membaca firman Allah : ‘Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur’ (QS. Aali ‘Imraan : 144) [Diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 56].

Diriwayatkan juga oleh Al-Laalikaa’iy[1] dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 2468, Ibnu ‘Asaakir[2] dalam At-Taariikh 19/460-461 & 30/318, dan Ibnul-‘Adiim[3] dalam Bughyatuth-Thalab fii Taariikh Halab 4/162; dari dua jalan (Ahmad bin ‘Imraan Al-Akhnasiy dan Haarun bin Haatim Al-Bazzaaz), dari Muhammad bin Fudlail.
Riwayatnya ini hasan.
Biografi ringkas para perawinya:
1.    Haaruun bin Haatim Al-Bazzaaz Al-Kuufiy, Abu Bisyr. Abu Zur’ah dan Abu Haatim melarang meriwayatkan darinya. Abu Haatim ditanya tentangnya, ia menjawab : “Aku memohon kepada Allah keselamatan”. Ibnu Hibbaan memasukkan dalam Ats-Tsiqaat. Ad-Daaraquthniy mengatakan : “Dla’iif”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah”. Baqiy in Makhlad mendengar riwayat darinya, dan Baqiy dikenal tidaklah meriwayatkan dari seseorang kecuali dirinya tsiqah. Kesimpulannya : “Dla’iif”. Wafat tahun 249 H [Liisaanul-Miizaan, 8/304 no. 8193].
2.    Ahmad bin ‘Imraan bin ‘Abdil-Malik, Abu ‘Abdillah/Abu Ja’far Al-Akhnasyiy. Al-‘Uqailiy menukil perkataan Al-Bukhaariy : “Ia diperbincangkan, munkarul-hadiits” [Adl-Dlu’afaa’, hal 144 no. 154]. Akan tetapi, penisbatan jarh Al-Bukhaariy terhadap Ahmad bin ‘Imraan ini perlu ditinjau kembali, karena jarhitu tersebut kemungkinan besar tertuju kepada Muhammad bin ‘Imraan Al-Akhnasyiy khusus pada riwayat Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, bukan Ahmad sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil (7/532-533), Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad (5/545), dan Al-Bukhaariy sendiri dalam At-Taariikh Al-Kabiir(1/202 no. 625) yang berkata : “Muhammad bin ‘Imraan Al-Akhnasyiy, orang-orang memperbincangkan dirinya di Baghdaad Munkarul-hadiits dari Abu Bakr bin ‘Ayyaasy”. Seandainya pun dua orang ini sama, maka perkataan Al-Bukhaariy ini ditaqyiid dengan periwayatan Abu Bakr bin ‘Ayyaasy.
Ibnu ‘Adiy berkata : “Tsiqah”.Ibnu Hibbaan berkata : “Mustaqiimul-hadiits”. Abu Haatim berkata : “Aku tidak menulis hadits darinya, sedangkan aku berjumpa dengannya. Ia seorang syaikh”. Abu Zur’ah berkata : “Aku menulis riwayat darinya di Baghdaad. Ia seorang kuufiy (penduduk Kuufah), dan orang-orang meninggalkan haditsnya” (dan Abu Zur’ah dikenal biasa meriwayatkan dari orang-orang tsiqah menurutnya sebagaimana dikatakan Al-Haafidh rahimahullah).Abu ‘Awaanah banyak meriwayatkan darinya dalam Shahiih-nya. Al-‘Ijliy berkata : “Tidak mengapa dengannya”.
Kesimpulan : Ia lebih dekat kepada derajat shaduuq hasanul-hadiits”. Wafat tahun 228 H [Liisaanul-Miizaan, 1/559 no. 679 dan Taariikh Baghdaad 5/544-546 no. 2421].
Apalagi di sini riwayatnya diikuti oleh Haaruun bin Haatim Al-Bazzaaz.
3.    Muhammad bin Fudlail bin Ghazwaan bin Jariir Adl-Dlabbiy, Abu ‘Abdirahmaan Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah (wafat tahun 195 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 889 no. 6267 dan Tahriirut-Taqriib 3/306-307 no. 6227].
4.    Ammaar bin Ruzaiq  Adl-Dlabbiy/At-Tamiimiy, Abul-Ahwash Al-Kuufiy; seseorang yang dikatakan oleh Ibnu Hajar : ‘Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bih)’(wafat tahun 159 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 708 no. 4855].
5.    Haasyim bin Al-Bariid, Abu ‘Aliy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, namun dituduh berpemahaman tasyayyu’ [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1016 no. 7301].
6.    Zaid bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy, Abul-Husain Al-Madiiniy; seorang yang tsiqah, termasuk ahlul-bait Nabi (wafat tahun 122H)[Taqriibut-Tahdziib, hal. 355 no. 2161].
Dari riwayat ini dapat kita petik satu faedah bahwa Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu dalam pandangan Zaid bin ‘Aliy – ahlul-bait Nabi - adalah seorang yang shiddiiq, sangat jujur dan dijuluki pemimpin orang-orang yang bersyukur. Sebuah pujian yang tulus.
Semoga Allah ta’ala meridlai dan merahmati mereka semua.
[abul-jauzaa’ – rnn – 22 Ramadlaan 1439 H].


[1]    Riwayatnya adalah:
أنا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْخَضِرِ، قَالَ: نا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: نا أَحْمَدُ بْنُ بِشْرٍ، قَالَ: نا أَحْمَدُ بْنُ عِمْرَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، قَالَ: نا عَمَّارُ بْنُ رُزَيْقٍ، عَنْ هَاشِمِ بْنِ بَرِيدَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ عَلِيٍّ، قَالَ: أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ إِمَامُ الشَّاكِرِينَ، ثُمَّ قَرَأَ: وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
[2]    Riwayatnya adalah:
19/460-461
أنبأنا أبو الفضل مُحَمَّد بْن عمر بْن يوسف الفقيه، أنا أبو الغنائم بْن المأمون. وأخبرنا أبو عبد الله مُحَمَّد بْن إبراهيم بْن جعفر المقرئ، أنبأ أبو الفضل أَحْمَد بْن عبد المنعم بْن بندار بْن الكريدي، أنبأ أبو الحسن العتيقي، قالا: أنا أبو الحسن عَلِيّ بْن عمر بْن أَحْمَد الدارقطني، نا أبو بكر مُحَمَّد بْن عبد الله بْن إبراهيم الشافعي، نا أَحْمَد بْن بشر، نا أَحْمَد بْن بشر المرثدي، نا أَحْمَد بْن عمران الأخنس، نا مُحَمَّد بْن فضيل، نا عمار بْن رزيق، عن هاشم بْن البريد، عن زيد بْن عَلِيّ، قال: أبو بكر الصديق إمام الشاكرينثم قرأ: وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ.
كتب إلي أبو عبد الله مُحَمَّد بْن أَحْمَد بْن إبراهيم، أخبرنا أبو مُحَمَّد عبد الرحمن بْن أبي الحسن بْن إبراهيم، أنبأ سهل بْن بشر، قالا: أنا عَلِيّ بْن مُحَمَّد الفارسي، أنا مُحَمَّد بْن أَحْمَد الذهلي، نا أبو أَحْمَد بْن عبدوس، نا هارون بْن حاتم البزار، ثنا ابن فضيل، عن عمار بْن رزيق، عن هشام بْن البريد، عن زيد بْن عَلِيّ، في قوله عَزَّ وَجَلَّ: وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ، قال: كان أبو بكر رضي الله عنه إمام الشاكرين، الصواب هاشم كما تقدم في التي قبلها.
30/318
أخبرنا أَبُو الْحَسَنِ الفرضي، نا عَبْد الْعَزِيز بْن أَحْمَدَ، إِمْلاءً، أنا أَحْمَد بْن طَلْحَة بْن هَارُون الْوَاعِظ، نا أَبُو الْحُسَيْنِ عَلِي بْن أَحْمَدَ بْن الأشعث الْمُقْرِئ، نا الْحَسَن بْن عَلِيّ الْفَارِسِي، نا أَبُو جَعْفَر، أنا أَحْمَد بْن عِمْرَانَ الأخنسي، حَدَّثَنِي مُحَمَّد بْن فضيل، وسمعته يَقُول: أَخْبَرَنَا عمار بْن رزيق، عَنْ هِشَام بْن زَيْد، عَنْ زَيْد بْن عَلِيّ، قَالَ: أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ إمام الشاكرين، ثُمَّ قرأ: وَسَيَجْزِي اللَّه الشَّاكِرِينَ.
[3]    Riwayatnya adalah:
أخبرنا أبو منصور عبد الرحمن بن محمد بن الحسن الفقيه بدمشق قال: أخبرنا أبو محمد عبد الرحمن بن أبي الحسن بن إبراهيم الداراني قال: أخبرنا سهل بن بشر قال: أخبرنا علي بن محمد الفارسي قال: أخبرنا محمد بن أحمد الذهلي قال: حدثنا أبو أحمد بن عبدوس قال: قال: حدثنا هارون بن حاتم البزاز قال: حدثنا ابن فضيلعن عمار بن زريق عن هشام بن البرند عن زيد بن علي في قوله: "وسيجزي الله الشاكرين "قال كان أبو بكر رضي الله عنه إمام الشاكرين.
هكذا وقع، وهو من طغيان القلم والصواب: هاشم بن البرند.

Mencontoh Semangat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dalam Mengamalkan Sunnah

$
0
0

Disebutkan dalam riwayat:
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُزَاحِمُ عَلَى الرُّكْنَيْنِ زِحَامًا مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ يَفْعَلُهُ. فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّكَ تُزَاحِمُ عَلَى الرُّكْنَيْنِ زِحَامًا مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ يُزَاحِمُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: إِنْ أَفْعَلْ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "إِنَّ مَسْحَهُمَا كَفَّارَةٌ لِلْخَطَايَا "، وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: "مَنْ طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ أُسْبُوعًا فَأَحْصَاهُ، كَانَ كَعِتْقِ رَقَبَةٍ "، وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: لَا يَضَعُ قَدَمًا وَلَا يَرْفَعُ أُخْرَى إِلَّا حَطَّ اللَّهُ عَنْهُ خَطِيئَةً، وَكَتَبَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً
Dari ‘Ubaid bin ‘Umair : Bahwasannya Ibnu ‘Umar berdesak-desakan untuk mencapai dua rukun (Hajar Aswad dan Rukun Yamani), sesuatu yang tidak aku lihat seorang sahabat Nabi pun melakukannya (seperti dirinya). Aku katakan : “Wahai Abu ‘Abdirrahmaan, sesungguhnya engkau rela berdesak-desakan untuk mencapai dua rukun. Aku tidak melihat seorang sahabat Nabi pun berdesak-desakan untuk mencapainya (seperti dirimu)”. Maka ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Jika itu aku lakukan, maka aku tidak dicela karena aku mendengar Rasulullah bersabda : ‘Sesungguhnya mengusap keduanya dapat menjadi penghapus dosa-dosa’. Aku juga mendengar beliau bersabda : ‘Barangsiapa yang melakukan thawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali dan menyempurnakannya, nilainya seperti membebaskan budak’. Dan akupun mendengar beliau bersabda : ‘Tidaklah seseorang melangkahkan kakinya (untuk melaksanakan thawaf), melainkan Allah akan hapus dosanya dan akan ditulis baginya kebaikan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 959; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/491].

‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhu termasuk diantara sahabat yang paling bersemangat dalam mencontoh Nabi . Bahkan ia sangat semangat mengikuti beliau pada hal-hal yang mubah lagi tidak wajib dilakukan, seperti misal ia (Ibnu ‘Umar) istirahat di bawah pohon yang terletak antara Makkah dan Madinah hanya karena beliau pernah melakukannya[1]. Ia juga pernah menyimpang jalan tidak melewati satu tempat, sebabnya semata-mata hanya karena melihat Nabi melakukannya[2].
Apalagi pada hal-hal yang disyari’atkan yang padanya ada keutamaan dari sudut pandang diin (agama), Ibnu ‘Umar tentu lebih bersemangat lagi – sebagaimana hadits di atas. Ibnu ‘Umar merelakan dirinya berdesak-desakan karena bersemangat melakukan sunnah yang diajarkan Nabinya dalam mengusap Rukun Yamaniy dan Hajar Aswad[3]. Bahkan dalam satu riwayat, hingga hidungnya berdarah !
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ طَلْحَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، عَنِ الزِّحَامِ عَلَى الرُّكْنِ، فَقَالَ: زَاحِمْ يَا ابْنَ أَخِي فَقَدْ رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يُزَاحِمُ حَتَّى يَدْمَى أَنْفُهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Thalhah bin Ishaaq bin Thalhah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Qaasim bin Muhammad tentang berdesak-desakan untuk mencapai rukun. Maka ia menjawab : “Berdesak-desakanlah wahai anak saudaraku. Sungguh aku melihat ‘Abdullah bin ‘Umar berdesak-desakan (untuk mencapai rukun) hingga hidungnya berdarah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 8907, sanadnya hasan. Penyebutan Thalhah bin Ishaaq di sini keliru, karena yang benar Thalhah bin Yahyaa bin Thalhah - syaikh Ibnu ‘Uyainah - sebagaimana diriwayatkan Al-Faakihiy dalam Akhbar Makkah, Al-Azraqiy dalam Akhbar Makkah, dan Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj].
Padahal kondisi penuh sesak yang tidak memungkinkan/susah bagi kita untuk mencapainya, merupakan udzur yang membolehkan kita berisyarat kepadanya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قال: طَافَ النَّبِيُّ ﷺ بالبيت عَلَى بَعِيرٍ، كُلَّمَا أَتَى عَلَى الرُّكْنِ أَشَارَ إِلَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Nabi thawaf di Ka’bah dengan menunggangi ontanya. Setiap kali melewati rukun (Hajar Aswad)[4], beliau berisyarat kepadanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1612].
Apa yang dicintai untuk dirinya, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaamemberikan nasihat serupa kepada orang lain. Ada riwayat menarik sebagai berikut:
عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ عَرَبِيٍّ، قال: سَأَلَ رَجُلٌ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ اسْتِلَامِ الْحَجَرِ، فَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَسْتَلِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ، قَالَ: قُلْتُ: أَرَأَيْتَ إِنْ زُحِمْتُ، أَرَأَيْتَ إِنْ غُلِبْتُ، قَالَ: اجْعَلْ أَرَأَيْتَ بِالْيَمَنِ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَسْتَلِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ
Dari Az-Zubair bin ‘Arabiy, ia berkata : Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tentang menyentuh Hajar Aswad. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Aku melihat Rasulullah menyentuhnya dan juga menciumnya”. Aku berkata : “Bagaimana pendapatmu jika kondisinya berdesak-desakan dan aku susah untuk mencapainya?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Tinggalkan perkataanmu ‘bagaimana pendapatmu’ ke Yaman. Aku melihat Rasulullah menyentuhnya dan menciumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1611].
Perkataan Ibnu ‘Umar ‘ij’al ara-aita bil-Yaman[5]diucapkan karena ia memahami orang itu hanyalah sekedar menolak hadits dengan (perandaian) pendapat/pikirannya. Ibnu ‘Umar lalu mengingkarinya dan memerintahkan kepada orang tersebut apabila mendengar hadits hendaknya ia ambil dan ia tinggalkan pendapatnya [lihat : Fathul-Baariy, 3/476]. Atau, perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tersebut maksudnya dorongan agar tidak merasa lemah atau sulit pada sesuatu yang belum terjadi/dilakukan; karena semua itu hanya akan melemahkan tekad dalam ittbaa’ (kepada sunnah Nabi ) [Al-Waafiy fii Syarh Al-Arba’iin An-Nawawiyyah, hal. 72].
Seandainya kita belum bisa seperti Ibnu ‘Umar – dan bahkan mungkin tidak akan bisa seperti dirinya –, kita dapat meneladani spirit/semangatnya dalam mengamalkan sunnah Rasulullah .
Dan begitulah kondisi umum para shahabat Nabi yang lain. Mereka senantiasa berlomba-lomba dalam melaksanakan sunnah Nabi . Contoh:
1.    Berlomba-lomba dalam bershadaqah
عَنْ أَسْلَمَ، قَال: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ نَتَصَدَّقَ فَوَافَقَ ذَلِكَ عِنْدِي مَالًا، فَقُلْتُ: الْيَوْمَ أَسْبِقُ أَبَا بَكْرٍ إِنْ سَبَقْتُهُ يَوْمًا، قَالَ: فَجِئْتُ بِنِصْفِ مَالِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ؟ "، قُلْتُ: مِثْلَهُ، وَأَتَى أَبُو بَكْرٍ بِكُلِّ مَا عِنْدَهُ، فَقَالَ: "يَا أَبَا بَكْرٍ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ؟ "، قَالَ: أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، قُلْتُ: وَاللَّهِ لَا أَسْبِقُهُ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا
Dari Aslam, ia berkata : Aku mendengar ‘Umar bin Al-Khaththaab berkata : “Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk bersedekah. Ternyata bertepatan aku memiliki harta (untuk dishadaqahkan). Aku berkata : ‘Hari ini aku akan mengalahkan Abu Bakr jika aku mendahuluinya hari ini’. Maka aku pun pergi dengan membawa setengah hartaku. Rasulullah bersabda : ‘Apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?’. Aku jawab : ‘Sebanyak yang aku shadaqahkan ini’. Datanglah Abu Bakr dengan semua harta yang dimilikinya. Beliau bersabda : ‘Wahai Abu Bakar, apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?’. Ia menjawab : ‘Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Demi Allah, aku tidak akan mampu mendahuluinya (Abu Bakr) dalam apapun selamanya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3675, dan ia berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”].
Hal yang sama dengan para sahabiyyat radliyallaahu ‘anhunn. Saat dinasihati Rasulullah agar bershadaqah (karena beliau melihat kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita), maka mereka berlomba-lomba memberikan perhiasan yang kebetulan mereka kenakan.
قَالَ: َجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ، يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Jaabir berkata : “Maka mereka dengan segera bershadaqah dengan perhiasan mereka, dengan melemparkan ke kain Bilal, berupa anting-anting dan cincin mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 885].
Sungguh kontras dengan kondisi sebagian umat yang rakus harta, dimana mereka malah berlomba-lomba dalam menahannya.
2.    Berlomba-lomba dalam meluruskan dan merapatkan shaff tanpa membiarkan ada celah.
عَنْ أَنَسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بَعْدَ أَنْ أُقِيمَتِ الصَّلاةُ قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى الصَّحَابَةِ، فَقَالَ: "سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي ". فَلَقَدْ يَتَبَارَى الرَّجُلُ بِلَزْقِ مَنْكِبِهِ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ إِذَا قَامَ فِي الصَّلاةِ.
Dari Anas : Bahwasannya setelah iqamat dikumandangkan, sebelum bertakbir (memulai shalat) Rasulullah menghadap para shahabat (makmum), lalu bersabda : “Luruskan shaff-shaff kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku”. Dan sungguh, (setelah mendengarnya) seorang laki-laki berlomba-lomba menempelkan pundaknya ke pundak temannya apabila berdiri dalam shalat berjama’ah [Diriwayatkan oleh Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy no. 40; shahih].
Berbeda dengan kondisi sebagian orang zaman sekarang. Ketika ada yang masih lowong di shaff pertama, orang-orang yang ada di shaff kedua bukannya berlomba-lomba untuk menempatinya, namun malah‘saling mempersilakan’ orang lain untuk menempatinya. Sebagian lain, ada yang penuh keluh kesah jika ada yang menempelkan pundak dan kakinya karena merasa terganggu karenanya. Muncul kemudian ungkapan dari sebagian orang bodoh : “Salam tempel’ – kepada orang yang hendak menempelkan bahu dan telapak kakinya karena hendak mengamalkan apa yang diamalkan para sahabat saat bermakmum di belakang Nabi .
3.    Berlomba-lomba mencari sutrah shalat.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: "لَقَدْ رَأَيْتُ كِبَارَ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِيَ عِنْدَ الْمَغْرِبِ "
Dari Anas bin Maalik : “Sungguh aku melihat para pembesar shahabat Nabi saling berlomba untuk mendapatkan tiang masjid (sebagai sutrah) ketika waktu maghrib (untuk melaksanakan shalat sunnah dua raka’at sebelum maghrib – Abul-Jauzaa’)[6]” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 503].
Sebagian orang zaman sekarang malas/tidak mengamalkannya hanya karena alasan klise ‘tidak wajib, menurut jumhur ulama !’. Kebanyakan yang lain, tidak tahu syari’at sutrah dalam shalat.
4.    Berlomba-lomba dalam membebaskan budak.
Ketika Rasulullah menikahi Juwairiyyah radliyallaahu ‘anhaa, maka para shahabat saling berlomba dalam memerdekakan tawanan wanita dari kaumnya, yaitu Bani Musthaliq. Dengan pernikahan tersebut, Bani Musthaliq menjadi besan Rasulullah .
أُعْتِقَ فِي سَبَبِهَا مِائَةُ أَهْلِ بَيْتٍ مِنْ بَنِي الْمُصْطَلِقِ
“Telah dibebaskan seratus orang tawanan keluarga Bani Al-Mushthaliq dengan sebab dirinya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3931; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 2/480-481].
5.    Dan lain-lain.
Hendaknya kita berlomba-lomba dalam mengikuti sunnah. Seandainya kita belum melakukannya, jangan berusaha untuk menggembosinya, menurunkan semangat orang yang melakukannya. Dan seandainya hukum suatu amalan ada dua pendapat yang beredar padanya, yaitu wajib dan tidak wajib atau sunnah (mustahab) dan bukan sunnah; ketika kita mengatakan tidak wajib atau bukan sunnah dan kemudian tidak melakukannya, maka sangat tidak layak kita mengajak orang lain tidak melakukan amalan tersebut seperti kita. Tidak wajib atau tidak sunnah, bukan berarti harus meninggalkan amalan. Apalagi orang yang mendasari amalannya tersebut dengan niat untuk ittbaa’pada Nabi , bukan amalan bid’ah. Justru kita perlu mendorong mereka untuk mengerjakannya.
Semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan petunjuk bagi kita semua.
Semoga ada manfaatnya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – 22 Ramadlaan 1439].



[1]   Riwayatnya adalah:
عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَر ، أَنَّهُ كَانَ يَأْتِي شَجَرَةً بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، فَيَقِيلُ تَحْتَهَا، وَيُخْبِرُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ.
Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia menghampiri sebuah pohon antara Makkah dan Madiinah, kemudian ia berbaring istirahat di bawahnya. Lalu ia mengkhabarkan bahwa Nabi dulu pernah melakukannya [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 129 dan Al-Bahr no. 5908; sanadnya hasan].
[2]   Riwayatnya adalah:
عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ ابْنِ عُمَرَ فِي سَفَرٍ، فَمَرَّ بِمَكَانٍ، فَحَادَ عَنْهُ، فَسُئِلَ لِمَ فَعَلْتَ؟ فَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَعَلَ هَذَا، فَفَعَلْتُ
Dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Umar; ia (Mujaahid) berkata : “Kami pernah bersama Ibnu ‘Umar dalam safar. Lalu kami melintasi sebuah tempat, dan kemudian ia menghindar/menyimpang darinya. Ditanyakan kepadanya : “Mengapa engkau melakukannya ?”. Ia menjawab : “(Karena) aku melihat Rasulullah melakukanya, sehingga aku melakukannya juga” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/32; shahih].
[3]   Disyari’atkan untuk mencium atau mengusap Hajar Aswad. Adapun Rukun Yamaniy, tidak disyari’atkan untuk menciumnya, namun hanya mengusapnya saja.
[4]   Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahulah berkata:
ويستلم الركن اليماني بيده في كل طوافة ، ولا يقبله ، فإن لم يتمكن من استلامه لم تشرع الإشارة إليه بيده
“Dan (disyari’atkan) mengusap Rukun Yamaniy dengan tangan untuk setiap kali thawaf tanpa menciumnya. Apabila tidak memungkinkan untuk mengusapnya, maka tidak disyari’atkan berisyarat tangan kepadanya” [Manaasikul-Hajj wal-‘Umrah, hal. 22].
[5]   Al-Haafidh rahimahullah menjelaskan bahwa perkataan itu diucapkan Ibnu ‘Umar karena orang  yang bertanya kepadanya adalah seorang Yamaniy (penduduk negeri Yaman).
[6]   Fathul-Baariy oleh Ibnu Rajab, 4/240 – via Syaamilah.


Gigi Palsu dari Emas

$
0
0

Telah jamak diketahui oleh kaum muslimin – kecuali yang tidak – tentang diharamkannya memakai perhiasan emas (bagi seorang laki-laki) atau bejana dan perkakas emas (bagi kaum muslimin secara umum); sebagaimana tertera larangannya di banyak hadits, antara lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فِي يَدِ رَجُلٍ، فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ، وَقَالَ: "يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ "، فَقِيلَ لِلرَّجُلِ بَعْدَ مَا ذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ خُذْ خَاتِمَكَ انْتَفِعْ بِهِ، قَالَ: لَا وَاللَّهِ لَا آخُذُهُ أَبَدًا وَقَدْ طَرَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah pernah melihat seorang laki-laki memakai cincin emas di tangannya. Kemudian beliau mencabut cincin itu lalu membuangnya seraya bersabda : “Apakah salah seorang diantara kamu sudi meletakkan bara api di tangannya ?”. Setelah Rasulullah pergi, ada yang berkata kepada laki-laki itu : ”Ambillah cincinmu! Engkau dapat memanfaatkannya!”. Ia berkata : ”Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengambilnya lagi sebab Rasulullah telah membuangnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2090].

عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِسَبْعٍ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ، نَهَانَا عَنْ: خَاتَمِ الذَّهَبِ، وَلُبْسِ الْحَرِيرِ، وَالدِّيبَاجِ، وَالْإِسْتَبْرَقِ، وَعَنِ الْقَسِّيِّ، وَالْمِيثَرَةِ وَأَمَرَنَا: أَنْ نَتْبَعَ الْجَنَائِزَ، وَنَعُودَ الْمَرِيضَ، وَنُفْشِيَ السَّلَامَ
Dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah memerintahkan kami 7 perkara dan melarang kami 7 perkara. Beliau melarang kami memakai cincin emas, sutera, diibaaj, istabraq, qasiy, dan miitsarah. Beliau memerintahkan kami untuk mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, dan menebarkan salam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5650 & 5863].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi : Bahwasannya beliau melarang memakai cincin emas” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5864].
عَنْ أَبِي مُوسَى، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ ﷻ أَحَلَّ لِإِنَاثِ أُمَّتِي الْحَرِيرَ، وَالذَّهَبَ، وَحَرَّمَهُ عَلَى ذُكُورِهَا
Dari Abu Muusaa (Al-Asy’ariy) : Bahwasannya Rasulullah pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah menghalalkan sutera dan emas bagi kaum wanita dari umatku, dan mengharamkannya bagi laki-lakinya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1720, An-Nasaa’iy no. 5148 & 5265, Ahmad 4/392, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 3/376-377].
عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، قَالَ: كَانَ حُذَيْفَةُ بِالْمَدَايِنِ فَاسْتَسْقَى فَأَتَاهُ دِهْقَانٌ بِقَدَحِ فِضَّةٍ فَرَمَاهُ بِهِ، فَقَالَ: إِنِّي لَمْ أَرْمِهِ إِلَّا أَنِّي نَهَيْتُهُ فَلَمْ يَنْتَهِ وَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَانَا عَنِ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ وَالشُّرْبِ فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَقَالَ: هُنَّ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَهِيَ لَكُمْ فِي الْآخِرَةِ
Dari Ibnu Abi Lailaa, ia berkata : Dulu ketika Hudzaifah ada di Madaain, ia pernah meminta air untuk minum, lalu Dihqan memberinya air minum di dalam gelas yang terbuat dari perak, maka ia membuangnya seraya berkata : "Sesungguhnya aku tidak membuangnya kecuali karena aku pernah melarangnya namun ia tidak mengindahkannya. Dan sesungguhnya Nabi melarang kami memakai sutera serta minum dari bejana emas dan perak. Dan beliau bersabda : ‘Itu semua untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan untuk kalian di akhirat kelak" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5632].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
أَجْمَع الْمُسْلِمُونَ عَلَى إِبَاحَة خَاتَم الذَّهَب لِلنِّسَاءِ ، وَأَجْمَعُوا عَلَى تَحْرِيمه عَلَى الرِّجَال ، إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي بَكْر بْن مُحَمَّد بْن عُمَر بْن مُحَمَّد بْن حَزْم أَنَّهُ أَبَاحَهُ ، وَعَنْ بَعْضٌ أَنَّهُ مَكْرُوه لَا حَرَام ، وَهَذَانِ النَّقْلَانِ بَاطِلَانِ ، فَقَائِلهمَا مَحْجُوج بِهَذِهِ الْأَحَادِيث الَّتِي ذَكَرهَا مُسْلِم مَعَ إِجْمَاع مَنْ قَبْله عَلَى تَحْرِيمه
“Kaum muslimin bersepakat diperbolehkannya cincin emas bagi wanita, dan mereka bersepakat pula diharamkannya cincin emas bagi laki-laki. Kecuali yang dihikayatkan dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Umar bin Muhammad bin Hazm yang memperbolehkannya. Juga dari sebagian ulama yang menyatakan makruh saja, tidak haram. Dua nukilan ini batil, dan yang mengatakannya dihujjahi dengan hadits-hadits yang disebutkan Muslim bersamaan dengan adanya ijmaa’ sebelumnya yang menyatakan keharamannya” [Syarh Shahiih Muslim, 14/65].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:
قَالَ الْقُرْطُبِيّ وَغَيْره : فِي الْحَدِيث تَحْرِيم اِسْتِعْمَال أَوَانِي الذَّهَب وَالْفِضَّة فِي الْأَكْل وَالشُّرْب ، وَيُلْحَق بِهِمَا مَا فِي مَعْنَاهُمَا مِثْل التَّطَيُّب وَالتَّكَحُّل وَسَائِر وُجُوه الِاسْتِعْمَالَات ، وَبِهَذَا قَالَ الْجُمْهُور
“Al-Qurthubiy dan yang lainnya berkata : ‘Dalam hadits ini terdapat pengharaman memakai bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak untuk makan dan minum. Dan yang terkait dengannya dalam maknanya adalah semisal (memakai bejana emas dan perak) untuk wewangian, bercelak, dan seluruh bentuk pemakaian. Inilah pendapat jumhur ulama” [Fathul-Baariy, 10/97].
Lantas bagaimana jika memakai emas untuk gigi palsu ?
Mari kita perhatikan beberapa riwayat berikut:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ طَرَفَةَ، أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ، فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ ".
قَالَ يَزِيدُ: فَقِيلَ لِأَبِي الْأَشْهَبِ: أَدْرَكَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ جَدَّهُ؟ قَالَ: نَعَمْ
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Asyhab, dari ‘Abdurrahmaan bin Tharafah, bahwasannya kakeknya – ‘Arfajah – hidungnya pernah terpotong saat perang Kulaab di masa Jaahiliyyah. Lalu dirinya memakai hidung (palsu) dari perak yang kemudian ternyata membusuk (berbau busuk). Maka Nabi memerintahkannya untuk memakai hidung (palsu) dari emas.
Yaziid berkata : Dikatakan kepada Abul-Asyhab :”Apakah ‘Abdurrahmaan bertemu dengan kakeknya ?”. Ia menjawab : “Iya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/342 (31/344) no. 19006].
Disebutkan pula ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad 5/23 (33/398) no. 20271] dan kemudian diikuti dengan riwayat:
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ، حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ الْكُوفِيِّ، قَالَ: رَأَيْتُ الْمُغِيرَةَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَدْ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِالذَّهَبِ، فَذُكِرَ مِثْلَ ذَلِكَ لِإِبْرَاهِيمَ، فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ، حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ، قَالَ: سَمِعْت أَبِي، يَقُولُ: جَاءَ قَوْمٌ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، فَاسْتَأْذَنُوا عَلَى أَبِي الْأَشْهَبِ، فَأَذِنَ لَهُمْ، فَقَالُوا: حَدِّثْنَا، قَالَ: سَلُوا، فَقَالُوا: مَا مَعَنَا شَيْءٌ نَسْأَلُكَ عَنْهُ، فَقَالَتْ ابْنَتُهُ مِنْ وَرَاءِ السِّتْرِ: سَلُوهُ عَنْ حَدِيثِ عَرْفَجَةَ بْنِ أَسْعَدَ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah : Telah menceritakan kepada kami Syaibaan : Telah menceritakan kepada kami Abul-Asyhab, dari Hammaad bin Abi Sulaimaan Al-Kuufiy, ia berkata : Aku pernah melihat Al-Mughiirah bin 'Abdillah mengencangkan gigi-giginya dengan emas. Maka disebutkan hal semisal itu kepada Ibraahiim (An-Nakhaa'iy), lalu ia berkata : "Tidak mengapa dengannya".
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah Abu 'Abdirrahmaan, ia berkata : Aku mendengar ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkata : "Suatu ketika, sekelompok ahli hadits pernah mendatangi. Mereka meminta izin untuk bertemu dengan Abul-Asyhab dan kemudian ia (Abul-Asyhab) mengizinkan mereka. Mereka berkata : 'Riwayatkanlah kepada kami hadits'. Abul-Asyhab berkata : 'Mintalah'. Mereka berkata : 'Kami tidak punya sesuatu yang mesti kami minta kepadamu'. Maka anak perempuannya berkata di balik tabir : 'Mintalah kepadanya hadits 'Arfajah bin As'ad yang hidungnya terpotong pada perang Kulaab[1]" [idem, 5/23 (33/401) no. 20276; sanadnya hasan].
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مِمَّا قَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي مِثْلِهَا، وَهُوَ شَدُّ الأَسْنَانِ إذَا تَحَرَّكَتْ بِمَا يُحْتَاجُ إلَى شَدِّهَا بِهِ مِنْ وَرِقٍ، وَمِنْ ذَهَبٍ.
فَرُوِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ فِي شَدِّهَا بِالذَّهَبِ قَوْلانِ مُخْتَلِفَانِ، أَحَدُهُمَا: كَرَاهَةُ ذَلِكَ، كَمَا قَدْ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَبَّاسِ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ، عَنْ يَعْقُوبَ، عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ بِذَلِكَ، وَلَمْ يَحْكِ فِيهِ خِلافًا.
وَالآخَرُ مِنْهُمَا: مَا قَدْ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْوَلِيدِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ الْوَلِيدِ الْكِنْدِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا يُوسُفَ، يَقُولُ: قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لا بَأْسَ أَنْ يَشُدَّهَا بِالذَّهَبِ. وَلَمْ يَحْكِ فِي ذَلِكَ خِلافًا.
وَفِي الرِّوَايَتَيْنِ جَمِيعًا عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ، أَنَّهُ لا بَأْسَ أَنْ يَشُدَّهَا بِالذَّهَبِ. وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ فِي رَأْيِهِ، مِنْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ الْعَبَّاسِ: لا بَأْسَ أَنْ يَشُدَّهَا بِالذَّهَبِ.
“Permasalahan ini diperselisihkan para ulama, yaitu (permasalahan) mengencangkan gigi-gigi jika goyang dengan sesuatu yang dapat mengencangkannya dari perak dan emas.
Diriwayatkan dari Abu Haniifah tentang permasalahan mengencangkan gigi dengan emas dua pendapat yang berbeda. Pertama, adalah makruh sebagaimana telah diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin ‘Abbaas, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ma’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan, dari Ya’quub, dari Abu Haniifah tentang hal tersebut, dan tidak disebutkan adanya perbedaan pendapat padanya.
Kedua, adalah apa yang telah diceritakan kepada kami oleh Ja’far bin Ahmad Al-Waliid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Al-Waliid Al-Kindiy, ia berkata : Aku mendengar Abu Yuusuf berkata : Telah berkata Abu Haniifah : ‘Tidak mengapa mengencangkan gigi dengan emas’. Dan tidak disebutkan adanya perbedaan pendapat padanya.
Dalam dua riwayat tersebut dari Abu Haniifah, bahwasannya tidak mengapa mengencangkan gigi dengan emas. Telah berkata Muhammad bin Al-Hasan dalam pandangannya (pada permasalahan tersebut) dari riwayat Muhammad bin Al-‘Abbaas : ‘Tidak mengapa mengencangkan gigi dengan emas” [Syarh Musykiilil-Aatsaar 4/35-36].
Al-Baghawiy rahimahullah setelah menyebutkan hadits ‘Arfajah berkata:
وَقَدْ أَبَاحَ أَهْلُ الْعِلْمِ اتِّخَاذَ الأَنْفِ، وَرَبْطَ الأَسْنَانِ بِالذَّهَبِ، لأَنَّهُ لا يَنْتُنُ. قَالَ شُعْبَةُ: رَأَيْتُ أَبَا حَمْزَةَ نَصْرَ بْنَ عِمْرَانَ، وَأَبَا التَّيَّاحِ، وَأَبَا نَوْفَلِ بْنَ أَبِي عَقْرَبٍ يُضَبِّبُونَ أَسْنَانَهُمْ بِالذَّهَبِ
“Dan para ulama membolehkan memakai hidung (palsu) dan mengikat/meyambung gigi dengan emas karena emas tidak menyebabkan busuk. Syu’bah berkata : ‘Aku melihat Abu Hamzah Nashr bin ‘Imraan, Abut-Tayyaah, dan Abu Naufal bin Abi ‘Aqrab memakai gigi emas[2]” [Syarhus-Sunnah12/115].
Al-Baihaqiy rahimahullah setelah menyebutkan hadits ‘Arfajah berkata:
وَرُوِّينَا عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِذَهَبٍ. وَعَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَمُوسَى بْنِ طَلْحَةَ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، كَذَلِكَ. وَرُوِّينَا عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ لَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَأَمَّا التَّخَتُّمُ بِالذَّهَبِ فَلا يَجُوزُ ذَلِكَ لِلرِّجَالِ
Dan kami meriwayatkan dari Anas bin Maalik bahwasannya ia mengencangkan giginya dengan emas. Begitu juga dari Al-Hasan Al-Bashriy, Muusaa bin Thalhah, dan Ismaa’iil bin Zaid bin Tsaabit (hal yang semisal). Dan kami meriwayatkan dari Ibraahiim (An-Nakha’iy) bahwasannya ia memandang hal tersebut tidak apa-apa. Adapun memakai cincin emas, maka tidak diperbolehkan untuk laki-laki” [Syu’abul-Iimaan, 8/343-344 no. 5917].
Riwayat Anas yang dimaksud dibawakan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubraa 2/426. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 1/104 no. 293, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 1/241 no. 667, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah 1/232 no. 793-794; semuanya dari jalan Muhammad bin Sa’daan, dari ayahnya.
Abul-Yaqdhaan rahimahullah berkata:
لم يكن عُثْمَان بالطويل ولا بالقصير، وكان حسن الوجه، رقيق البشرة، كثير الشعر، عظيم اللحية، أسمر اللون، وكان يشد أسنانه بالذهب
“’Utsmaan (bin ‘Affaan) tidak tinggi, tidak pula pendek. Wajahnya tampan, kulitnya halus, rambutnya banyak, jenggotnya tebal, dan warna kulitnya kemerahan. Ia mengencangkan gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ad-Diinawariy dalam dalam Al-Mujaalasah no. 238 dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq39/19].
Beberapa riwayat yang ternukil dari salaf dalam permasalahan ini antara lain:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ طُعْمَةَ الْجَعْفَرِيِّ، قَالَ: رَأَيْتُ مُوسَى بْنَ طَلْحَةَ قَدْ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِالذَّهَبِ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Tha’mah Al-Ja’fariy, ia berkata : “Aku melihat Muusaa bin Thalhah mengencangkan gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/365 no. 25648; sanadnya shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 5/84 & 6/466].
Muusaa bin Thalhah adalah seorang ulama dari kalangan kibaarut-taabi’iin yang wafat tahun 103 H.
حَدَّثَنَا أَبُو أُمَيَّةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سُوَيْدِ بْنِ مَنْجُوفٍ، قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا رَافِعٍ مُشَبَّكَةً أَسْنَانُهُ بِالذَّهَبِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Umayyah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Suwaid bin Manjuuf, ia berkata : “Aku pernah melihat Abu Raafi’ sedang menjalin gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 4/38; sanadnya hasan].
Abu Raafi’ Al-Madaniy adalah seorang ulama dari kalangan kibaarut-taabi’iin.
حَدَّثَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، عَنْ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: رَأَيْتُ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ مَرْبُوطَةً أَسْنَانُهُ بِخِرْصَانِ الذَّهَبِ
Telah menceritakan kepada kami Ma’n bin ‘Iisaa, dari Tsaabit bin Qais, ia berkata : “Aku melihat Naafi’ bin Jubair giginya terikat dengan ring emas” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25649; sanadnya hasan].
Naafi’ bin Jubair adalah seorang ulama taabi’iin yang wafat tahun 99 H.
حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ حُمَيْدٍ، أَنَّ الْحَسَنَ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِذَهَبٍ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdiy, dari Hammaad bin Salamah, dari Humaid : Bahwasannya Al-Hasan (Al-Bashriy) mengencangkan gigi-giginya dengan emas [idemno. 25650; sanadnya shahih].
Hasan bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy atau lebih dikenal dengan nama Hasan Al-Bashriy adalah seorang ulama taabi’iin yang tsiqah, faqiih, mempunyai banyak keutamaan, lagi masyhuur. Wafat tahun 110 H dalam usia 88/89 tahun.
أخبرنا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ شِهَابٍ يُسْأَلُ عَنْ رَبْطِ الأَسْنَانِ بِالذَّهَبِ، قَالَ: لا بَأْسَ بِهِ، رَبَطَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَرْوَانَ أَسْنَانَهُ بِالذَّهَبِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Hajjaaj bin Muhammad, dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku mendengar Ibnu Syihaab ditanya tentang mengikat gigi dengan emas. Ia menjawab : Tidak mengapa dengannya. ‘Abdul-Malik bin Marwan mengikat gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 5/121; shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Wahb dalam Al-Jaami’ no. 605 dari jalan Muhammad bin ‘Amru dari Ibnu Juraij].
Ibnu Syihaab adalah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang imam dari kalangan taabi’iin yang wafat tahun 125 H.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ، قَالَ: ثَنَا الْخَصِيبُ، قَالَ: "رَأَيْتُ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ الْحَسَنِ قَاضِيَ الْبَصْرَةِ، قَدْ شَدَّ أَسْنَانَهُ بِالذَّهَبِ "
Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Khashiib, ia berkata : “Aku melihat ‘Ubaidullah bin Al-Hasan hakim kota Bashrah mengencangkan gigi-giginya dengan emas” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/259 no. 6751; sanadnya hasan].
‘Ubaidullah bin Al-Hasan adalah ulama kibaaru atbaa’ut-taabi’iin yang wafat tahun 168 H.
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، قال: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، قَالَ: "رَأَيْتُ أَبَا التَّيَّاحِ وَثَابِتَ الْبَنَانِيَّ قَدْ ضَبَّبَا أَسْنَانَهُمَا بِالذَّهَبِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, ia berkata : “Aku pernah melihat Abut-Tayyaah dan Tsaabit Al-Bunaaniy memakai emas pada gigi-giginya” [Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Taariikh-nya no. 1793; sanadnya shahih].
Abut-Tayyaah adalah laqab dari Yaziid bin Humaid Adl-Dluba’iyAl-Bashriy, seorang ulama taabi’iin yangtsiqah lagi tsabat, wafat tahun 126 H. Tsaabit bin Aslam Al-Bunaaniy adalah seorang ulama taabi’iin tsiqahlagi ahli ibadah yang wafat tahun 123 H/127 H.
Ini adalah madzhab jumhur ulama yang membolehkan menggunakan emas untuk gigi palsu atau untuk mengencangkannya, dengan mengambil dalil hadits ‘Arfajah bin Sa’d radliyallaahu ‘anhu.
Setelah menyebutkan riwayat-riwayat dari salaf dalam permasalahan ini, Ath-Thahawiy rahimahullahmemberikan kesimpulan:
وَلا نَعْلَمُ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الْمُتَقَدِّمِينَ خِلافًا لِهَذَا الْقَوْلِ، غَيْرَ مَا ذَكَرْنَاهُ فِيهِ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ مِنْ قَوْلِهِ الَّذِي يُخَالِفُهُ فِيهِ مِنَ الْعُلَمَاءِ، لا سِيَّمَا وَقَدْ كَانَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي ذَلِكَ مِنَ الإِبَاحَةِ لِعَرْفَجَةَ.....
“Dan kami tidak mengetahui seorang pun dari kalangan ulama mutaqaddimiin yang menyelisihi pendapat ini (yaitu pembolehan memakai emas untuk menambal/mengencangkan gigi – Abul-Jauzaa’) selain dari apa yang kami sebutkan dari pendapat Abu Haniifah yang menyelisihi para ulama. Terlebih lagi (menyelisihi) Rasulullah yang membolehkan ‘Arfajah dalam penggunaan emas ……” [Syarh Musykiilil-Aatsaar, 4/39].
Pembolehan inilah yang raajih.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وأما قول المصنف إن اضطر إلى الذهب جاز استعماله فمتفق عليه قال أصحابنا فيباح له الأنف والسن من الذهب ومن الفضة, وكذا شد السن العليلة بذهب وفضة جائز
“Adapun perkataan penulis : ‘Sesungguhnya terpaksa memakai emas, maka boleh menggunakannya’, maka itu disepakati. Para ulama Syaafi’iyyah berkata : ‘Diperbolehkan memakai hidung dan gigi (palsu) dari emas dan perak. Begitu pula mengencangkan gigi sakit/rusak dengan emas dan perak juga diperbolehkan” [Al-Majmuu’, 1/256].
Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata:
فأما الذهب ، فلا يباح إلا في الضرورة ، كأنف الذهب ، لأن النبي (صلى الله عليه وسلم) : رخص لعرفجة بن سعد لما قطع أنفه يوم الكلاب واتخذ أنفاً من ورق فأنتن عليه ، فأمره أن يتخذ أنفاً من الذهب . قال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح . ويباح ربط أسنانه بالذهب إذا خشي سقوطها ، لأنه في معنى أنف الذهب.
“Adapun emas, maka tidak diperbolehkan kecuali darurat, seperti hidung dari emas karena Nabi memberikan keringanan bagi ‘Arfajah bin Sa’d ketika hidungnya terpotong pada perang Kulaab. Ia memakai hidung (palsu) dari emas namun ternyata malah membusuk (mengeluarkan bau busuk). Maka beliau memerintahkannya untuk memakai hidung (palsu) dari emas. At-Tirmidziy berkata : ‘Ini adalah hadits hasan shahih’. Dan diperbolehkan mengikat gigi-gigi dengan emas apabila khawatir tanggap/copot, karena itu masuk dalam cakupan makna hidung emas” [Al-Kaafiy, 1/15].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin memberikan komentar atas perkataan Ibnu Qudaamah rahimahumallah di atas dengan perkataannya:
وأما ما ذكره من اتخاذ الأنف والسن من الذهب للضرورة فهذا صحيح فإذا قال قائل ما الفرق بين التحلي واتخاذ الأنف فالجواب الفرق بينهما ظاهر لأن اتخاذ الأنف من باب تغطية العيب والتحلي من باب التجمل والكمال فهذا هو الفرق ولهذا نقول لو أن الرجل اتخذ سنا من ذهب للتجمل صار هذا حراما لأنه لا يحل له أن يتجمل بالذهب ولو اتخذه للحاجة صار حلالا وهل للمرأة أن تتخذ سنا من الذهب للتجمل؟ نعم لها أن تتخذ هذا لأنها كما تتجمل بالذهب على صدرها وفي أذنها وفي يدها كذلك أيضا في سنها.
“Adapun yang disebutkan oleh Ibnu Qudaamah dengan memakai hidung dan gigi (palsu) dari emas karena darurat, maka ini benar. Ada yang berkata : ‘Lantas apa perbedaan antara berhias dengan menggunakan hidung (palsu) ?’. Maka jawabannya : ‘Perbedaan antara keduanya jelas, karena menggunakan hidung palsu masuk dalam bab menutupi aib, sedangkan masuk dalam bab mempercantik diri dan menyempurnakannya. Inilah perbedaannya. Oleh karena itu kami katakan seandainya ada seorang laki-laki memakai gigi palsu dari emas untuk berhias, maka hukumnya menjadi haram karena tidak halal baginya berhias dengan menggunakan emas. Namun seandainya ia memakainya karena ada hajat/kebutuhan, maka hukumnya menjadi halal. Apakah wanita diperbolehkan memakai gigi emas dalam rangka berhias ?. Iya, diperbolehkan baginya untuk memakainya karena itu hal itu sebagaimana dirinya diperbolehkan berhias dengan emas di dadanya (kalung), telinganya (anting), tangannya (gelang). Maka begitu juga diperbolehkan berhias di giginya” [Ta’liiqaat ‘alal-Kaafiy li-Ibni Qudaamah, 1/53].
Silakan baca pula Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiyyah 21/281.
Jika menggunakan gigi emas (dan perak) diperbolehkan yang asalnya diharamkan, maka menggunakan bahan lain selain emas (dan perak) diperbolehkan lagi. Bahkan, jika memungkinkan menggunakan gigi palsu dari bahan selain emas, maka itu lebih diutamakan – sebagaimana sekarang banyak dipergunakan dalam kedokteran gigi.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
قوله: "ونحوه "أي : مثل السن والأذن.
مثاله: رجل انكسر سنه، واحتاج إلى رباط من الذهب، أو سن من الذهب، فإنه لا بأس به.
ولكن إذا كان يمكن أن يجعل له سناً من غير الذهب ، كالأسنان المعروفة الآن ، فالظاهر أنه لا يجوز من الذهب ؛ لأنه ليس بضرورة ، ثم إن غير الذهب وهي المادة المصنوعة أقرب إلى السن الطبيعي من سن الذهب ، وكذلك إذا اسودّ السن ولم ينكسر، فإنه لا يجوز تلبيسه بالذهب ؛ لأنه لا يعتبر ضرورة ما لم يخش تكسره أو تآكله ، فإنه يجوز.
“Perkataan Al-Hijawiy : ‘dan yang semisalnya’, yaitu semisal gigi dan telinga.
Contohnya : seorang laki-laki yang patah giginya, ia perlu mengikatnya dengan emas atau (memasang) gigi emas, maka tidak mengapa dengannya.
Akan tetapi, apabila memungkinkan baginya untuk menggunakan gigi yang terbuat dari selain emas, seperti gigi-gigi (palsu) yang dikenal zaman sekarang; maka dhahirnya tidak diperbolehkan baginya untuk menggunakan emas karena itu bukan darurat. Selain itu, bahan/material selain emas lebih mirip dengan gigi asli daripada gigi emas. Dan begitu pula apabila gigi menghitam namun tidak patah, maka tidak diperbolehkan memakai emas, karena tidak dianggap darurat kecuali jika dikhawatirkan akan patah dan keropos, maka yang demikian diperbolehkan” [Asy-Syarhul-Mumtii’, 6/117-118].
Wallaahu a’lam.
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ciper – 26 Ramadlaan 1439].


[1]   Di sini dapat kita lihat bagaimana Abul-Asyhab mendidik anak perempuannya sehingga ia mengetahui riwayat yang ada ayahnya.
[2]   Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/259 no. 6750 dan Syarh Musykiilil Aatsaar 4/37 dengan sanad shahih.

Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri

$
0
0

Zakat fithri dapat mulai dikeluarkan sehari atau dua sebelum pelaksanaan shalat ‘Ied. Dalilnya adalah:
عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: فَرَضَ النَّبِيُّ ﷺ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ: رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ ، فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِي التَّمْرَ فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنَ التَّمْرِ فَأَعْطَى شَعِيرًا، فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيرِ، وَالْكَبِيرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Nabi mewajibkan zakat fithri – atau Ibnu ‘Umar berkata : zakat Ramadlaan - bagi setiap laki-laki maupun perempuan, orang merdeka maupun budak, sebesar satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum (sya’iir)". Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah shaa' burr (gandum yang bagus). Adalah Ibnu 'Umar radliyallaahu ‘anhumaa memberikan zakat berupa kurma (tamr). Lalu penduduk Madinah kesulitan mendapatkan kurma (tamr), danakhirnya mereka mengeluarkan gandum (sya’iir). Ibnu 'Umar radliyallaahu ‘anhumaa memberikan zakatnya atas nama anak kecil, orang dewasa, hingga atas nama bayi sekalipun. Ibnu 'Umar radliyallaahu ‘anhumaamemberikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya; dan ia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum ‘Iedul-Fithri[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1511].

Dalam riwayat lain adalah ketika dibentuk ‘aamil zakat:
قَالَ: قُلْتُ: مَتَى كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي الصَّاعَ؟ قَالَ: إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ، قُلْتُ: مَتَى كَانَ الْعَامِلُ يَقْعُدُ؟ قَالَ: قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Perawi (yaitu Ayyuub As-Sakhtiyaaniy) berkata : Aku bertanya (kepada Naafi’) : “Kapan Ibnu ‘Umar memberikan shaa’ (dari zakat fithrinya) ?”. Naafi’ berkata : “Apabila ‘aamil (panitia/petugas zakat) telah melaksanakan tugas”. Aku berkata : “Kapan ‘aamil tersebut melaksanakan tugas ?”. Naafi’ menjawab : “Sehari atau dua hari sebelum ‘Iedul-Fithri” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2397; shahih].
Dalam riwayat lain tiga hari sebelum ‘Ied:
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
Dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar mengutus orang untuk memberikan zakat fithri yang menjadi kewajibannya dua hari atau tiga hari sebelum ‘Iedul-Fithri [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 2/301-302 no. 684; shahih].
Perbuatan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dari penggabungan beberapa jalan riwayat di atas merupakan dalil kebolehan menyegerakan mengeluarkan zakat fithri sehari hingga tiga hari sebelum ’Iedul-Fithri, yaitu ketika ‘aamil zakat sudah dibentuk/bertugas. Itulah yang berlaku di zaman para sahabat radliyallaahu ‘anhum. Tentu – ketika itu –, jika ada orang yang berniat mengeluarkan zakat sebelumnya, tidak ada ‘aamil yang menerimanya (karena belum dibentuk).
Riwayat Ibnu ‘Umar sesuai dengan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhum berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ، وَقُلْتُ: وَاللَّهِ لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ، وَلِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، قَالَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالًا، فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ، فَعَرَفْتُ أَنَّهُ سَيَعُودُ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: إِنَّهُ سَيَعُودُ فَرَصَدْتُهُ، فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ، فَقُلْتُ: لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: دَعْنِي فَإِنِّي مُحْتَاجٌ وَعَلَيَّ عِيَالٌ لَا أَعُودُ، فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالًا فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ، فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ، فَقُلْتُ: لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَهَذَا آخِرُ ثَلَاثِ مَرَّاتٍ أَنَّكَ تَزْعُمُ لَا تَعُودُ ثُمَّ تَعُودُ، قَالَ: دَعْنِي أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا، قُلْتُ: مَا هُوَ؟ قَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ: اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، حَتَّى تَخْتِمَ الْآيَةَ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِي اللَّهُ بِهَا فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: مَا هِيَ؟ قُلْتُ: قَالَ لِي: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ، فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ مِنْ أَوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ الْآيَةَ: اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، وَقَالَ لِي: لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، وَكَانُوا أَحْرَصَ شَيْءٍ عَلَى الْخَيْرِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلَاثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ: لَا، قَالَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah pernah menugaskan aku untuk menjaga zakat Ramadlaan. Lalu ada seseorang yang datang dan mengais-ngais makanan. Aku pun menangkapnya dan berkata kepadanya : ‘Demi Allah, sungguh aku akan hadapkan kamu kepada Rasulullah ’. Ia berkata : ‘Sesungguhnya aku adalah orang yang membutuhkan. Aku mempunyai keluarga yang mempunyai kebutuhan mendesak’. Akupun melepaskan orang itu. Pada pagi harinya, Nabi bersabda : ‘Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan tawananmu tadi malam ?’. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, ia mengeluh bahwa ia mempunyai kebutuhan yang mendesak dan tanggungan keluarga. Aku merasa kasihan padanya dan kemudian aku lepaskan’. Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya ia telah mendustaimu dan ia akan kembali lagi. Maka aku pun mengetahui bahwa ia pasti akan kembali lagi berdasarkan sabda beliau : ‘Ia akan kembali lagi’.  Maka akupun mengintainya. (Ternyata benar), orang itu kembali lagi dan mengais-ngais makanan. Aku pun menangkapnya. Aku katakan : ‘Akan aku hadapkan engkau kepada Rasulullah ’. Ia berkata : ‘Lepaskan aku, sesunguhnya aku orang yang membutuhkan dan mempunyai tanggungan keluarga. Aku berjanji untuk tidak kembali lagi’. Aku pun merasa kasihan kepadanya dan aku melepaskannya. Pada pagi harinya, Rasulullah bersabda : ‘Wahai Abu Hurairah, apa yang telah dilakukan oleh tawananmu ?’. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, ia mengeluh bahwa ia mempunyai kebutuhan yang mendesak dan mempunyai tanggungan keluarga. Akupun merasa kasihan kepadanya dan kemudian aku lepaskan’. Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya ia telah mendustaimu, dan ia akan kembali lagi”. Aku pun kembali mengintainya untuk yang ketiga kalinya, (dan ternyata benar) ia datang mengais-ngais makanan. Aku pun menangkapnya. Aku katakan : ‘Sungguh aku akan menghadapkanmu kepada Rasulullah . Sudah tiga kali, dan ini yang terakhir. Kamu telah berjanji untuk tidak kembali, namun ternyata kamu masih kembali’. Ia berkata : ‘Lepaskanlah aku ! Aku akan mengajarimu beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadamu dengannya’. Aku berkata : ‘Apa itu ?’. Ia berkata : ‘Apabila engkau beranjak menuju tempat tidurmu, maka bacalah ayat Kursi Allaahu laa ilaaha illaa huwal-hayyul-qayyuum, hingga akhir ayat. Sesungguhnya dengan membaca itu, kamu senantiasa dalam perlindungan Allah. Setan tidak akan mendekatimu hingga waktu shubuh’. Maka aku lepaskan ia.
Pada pagi harinya, Rasulullah bersabda kepadaku : ‘Apa yang dilakukan tawananmu semalam ?’. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, ia mengatakan akan mengajariku beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadaku dengannya, sehingga aku pun melepaskannya’. Beliau bertanya : ‘Apa itu ?’. Aku berkata : ‘Ia berkata kepada kepadaku bahwa apabila aku beranjak menuju tempat tidurku, hendaknya aku membaca ayat Kursi dari awal hingga akhir : Allaahu laa ilaaha illaa huwal-hayyul-qayyuum. Ia berkata kepadaku : ‘Kamu akan senantiasa berada dalam lindungan Allah dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu shubuh’ – mereka (para shahabat) adalah orang yang paling menginginkan kebaikan - . Maka Nabi bersabda : ‘Sesungguhnya ia telah jujur kepadamu kali ini, padahal ia seorang pendusta. Tahukah siapa yang telah engkau ajak bicara semenjak tiga hari ini wahai Abu Hurairah ?’. Abu Hurairah menjawab : ‘Tidak’. Beliau bersabda : ‘Ia adalah setan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2311].
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu dalam hadits ini ditugasi oleh Nabi untuk menjaga zakat fithri/zakat Ramadlaan selama tiga malam.
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَفِيهِ جَوَاز جَمْع زَكَاة الْفِطْر قَبْل لَيْلَة الْفِطْر وَتَوْكِيل الْبَعْض لِحِفْظِهَا وَتَفْرِقَتهَا
“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengumpulkan zakat fithri sebelum malam ‘Iedul-Fithri dan memberikan mandat/tugas kepada orang lain untuk menjaganya dan membaginya” [Fathul-Baariy, 4/489-490].
Adapun batas waktu maksimal pengeluaran zakat fithri adalah sebelum pelaksanaan shalat ‘Iedul-Fithri, sebagaimana ditegaskan dalam hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah memerintahkan membayar zakat fithri sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat (‘Ied) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1509, Muslim no. 986, At-Tirmidziy no. 677, dan yang lainnya].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta menjadi makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menyerahkannya sebelum shalat (‘Ied), berarti ia adalah zakat yang diterima.  Dan barangsiapa yang menyerahkan setelah shalat (‘Ied), maka ia hanyalah shadaqah biasa” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1609, Ibnu Majah no. 1827, dan Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/409; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/447 dan Irwaaul-Ghaliil3/332 no. 843].
At-Tirmidziy rahimahullah setelah menyebutkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa di atas berkata:
وَهُوَ الَّذِي يَسْتَحِبُّهُ أَهْلُ الْعِلْمِ أَنْ يُخْرِجَ الرَّجُلُ صَدَقَةَ الْفِطْرِ قَبْلَ الْغُدُوِّ إِلَى الصَّلَاةِ
“Hadits ini sebagai dasar para ulama menyunnahkan/menganjurkan seseorang untuk mengeluarkan zakat fithri sebelum berangkat shalat ‘Ied” [Al-Jaami’ Al-Kabiir (Sunan At-Tirmidziy), 2/56].
Abuth-Thayyib Al-‘Adhiim Aabadiy rahimahullah berkata:
وَالظَّاهِر أَنَّ مَنْ أَخْرَجَ الْفِطْرَة بَعْد صَلَاة كَانَ كَمَنْ لَمْ يُخْرِجْهَا بِاعْتِبَارِ اِشْتِرَاكهمَا فِي تَرْكِ هَذِهِ الصَّدَقَة الْوَاجِبَة . وَقَدْ ذَهَبَ أَكْثَر الْعُلَمَاء إِلَى أَنَّ إِخْرَاجَهَا قَبْل صَلَاة الْعِيد إِنَّمَا هُوَ مُسْتَحَبٌّ فَقَطْ ، وَجَزَمُوا بِأَنَّهَا تُجْزِئُ إِلَى آخِر يَوْم الْفِطْر ، وَالْحَدِيث يَرُدُّ عَلَيْهِمْ
“Dan yang dhaahir bahwa barangsiapa yang mengeluarkan zakat fithri setelah shalat ‘Ied maka ia seperti orang yang tidak mengeluarkannya berdasarkan penyamaan hukum antara keduanya dalam hal meninggalkan shadaqah wajib ini. Jumhur ulama berpendapat mengeluarkan zakat fithri sebelum shalat ‘Ied itu hukumnya mustahab saja, dan mereka menegaskan keabsahan orang yang menunaikannya hingga akhir hari ‘Ied. Namun hadits ini membantah pendapat mereka tersebut” [‘Aunul-Ma’buud, 5/3-4].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
كان من هديه صلى الله عليه و سلم إخراج هذه الصدقة قبل صلاة العيد وفي السنن عنه أنه قال : [ من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات ]
 وفي الصحيحين عن ابن عمر قال : أمر رسول الله صلى الله عليه و سلم بزكاة الفطر أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة ومقتضى هذين الحديثين أنه لا يجوز تأخيرها عن صلاة العيد وأنها تفوت بالفراغ من الصلاة وهذا هو الصواب ..... وكان شيخنا يقوي ذلك وينصره
“Dan termasuk diantara petunjuk Nabi adalah mengeluarkan jenis shadaqah ini (zakat fithri) sebelum shalat ‘Ied. Dalam kitab As-Sunan disebutkan dari beliau : ‘Barangsiapa yang menyerahkannya sebelum shalat (‘Ied), berarti ia adalah zakat yang diterima.  Dan barangsiapa yang menyerahkan setelah shalat (‘Ied), maka ia hanyalah shadaqah biasa’. Dan dalam Shahiihain dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : ‘Rasulullah memerintahkan membayar zakat fithri sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat (‘Ied)’.
Berdasarkan dua hadits ini maka tidak diperbolehkan mengakhirkannya setelah shalat ‘Ied, dan bahwasannya kewajiban zakat tersebut berlalu/hilang dengan selesainya shalat. Inilah pendapat yang benar…… Dan syaikh kami (yaitu : Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah – Abul-Jauzaa’) menguatkan pendapat ini dan membelanya” [Zaadul-Ma’aad, 2/21-22 – melalui perantaraan Al-Ikhtiyaaraat Al-Fiqhiyyah li-Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah ladaa Talaamiidzihi oleh Saamiy bin Muhammad Jaadillah, hal. 282].
Al-Manawiy rahimahullah berkata:
وأخذ بظاهره ابن حزم فقال : لا يجوز تأخيرها عن الصلاة
“Ibnu Hazm mengambil dhahir hadits ini seraya berkata : ‘Tidak boleh mengakhirkannya setelah shalat (‘Ied)” [Faidlul-Qadiir, 4/84].
Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
والصواب في هذا والذي تقتضيه الأدلة، أنها لا تقبل زكاته منه إذا أخرها ولم يخرجها إلا بعد الصلاة من يوم العيد، بل تكون صدقة من الصدقات، ويكون بذلك آثماً.
وذلك بناءً على القاعدة التي دلت عليها النصوص وهي:
"أن كل عبادة مؤقتة إذا تعمد الإنسان إخراجها عن وقتها لم تقبل"
“Dan yang benar dalam permasalahan ini yang ditunjukkan oleh dalil-dalil, bahwasannya zakatnya tidak diterima apabila dikeluarkan setelah shalat pada hari ‘Ied. Bahkan, zakatnya terhitung shadaqah biasa saja, sehingga ia berdosa dengannya.
Hal tersebut dibangun berdasarkan kaidah (fiqhiyyah) yang ditunjukkan oleh nash-nash, yaitu : Bahwasannya setiap ibadah yang telah ditentukan waktunya, apabila seseorang sengaja melakukannya keluar dari waktu yang ditetapkan, maka tidak diterima” [Asy-Syarhul-Mumti’, 6/174].
Kecuali jika seseorang lupa menunaikannya dan dirinya tidak ingat kecuali pada waktu shalat ‘Ied atau setelahnya, maka ia dimaafkan. Allah ta’ala berfirman:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” [QS. Al-Baqarah : 286].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ciper – 26 Ramadlaan 1439 H].

Diantara Makanan Setan

$
0
0

Nabi bersabda :
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ أَنْ لَا يُذْكَرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
Sesungguhnya setan menghalalkan makanan yang tidak disebutkan nama Allah padanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2017].
An-Nawawi rahimahullah berkata :
مَعْنَى ( يَسْتَحِلّ ) يَتَمَكَّن مِنْ أَكْله ، وَمَعْنَاهُ : أَنَّهُ يَتَمَكَّن مِنْ أَكْل الطَّعَام إِذَا شَرَعَ فِيهِ إِنْسَان بِغَيْرِ ذِكْر اللَّه تَعَالَى . وَأَمَّا إِذَا لَمْ يَشْرَع فِيهِ أَحَد فَلَا يَتَمَكَّن . وَإِنْ كَانَ جَمَاعَة فَذَكَرَ اِسْم اللَّه بَعْضهمْ دُون بَعْض لَمْ يَتَمَكَّن مِنْهُ
“Arti dari menghalalkan yaitu dapat menikmati makanan tersebut. Maksudnya, bahwa setan itu mendapatkan bagian makanan jika seseorang memulainya tanpa dzikir kepada Allah . Adapun bila belum ada seseorang yang memulai makan, maka (setan) tidak akan dapat memakannya. Jika sekelompok orang makan bersama-sama dan sebagian mereka menyebut nama Allah sedangkan sebagian lainnya tidak, maka setan pun tidak akan dapat memakannya” [Syarh Shahiih Muslim, 10/172].

Maka dari sini kita ketahui bahwa setan itu pada hakekatnya ‘doyan’ juga dengan makanan yang kita makan. Bakso, lemper, tengkleng, peyek, atau nasi goreng. Hanya saja mereka terhalang dengan dzikir yang kita baca ketika hendak makan.
Sama dengan tulang. Ini juga merupakan makanan jin (muslim), sebagaimana sabda Nabi :
لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ، ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ، يَقَعُ فِي أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا يَكُونُ لَحْمًا
"Makanan untuk kalian (jin) adalah setiap tulang hewan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, di tangan kalian akan menjadi tulang yang berdaging" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 450].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
قَالَ بَعْض الْعُلَمَاء هَذَا لِمُؤْمِنِيهِمْ ، وَأَمَّا غَيْرهمْ فَجَاءَ فِي حَدِيث آخَر أَنَّ طَعَامهمْ مَا لَمْ يُذْكَر اِسْم اللَّه عَلَيْهِ
"Sebagian ulama berkata : Ini untuk jin yang mukmin. Adapun selain mereka (jin kafir), maka dalam hadits lain terdapat penjelasan tentang jenis makanan mereka yaitu setiap makanan yang tidak disebutkan nama Allah padanya" [Syarh Shahiih Muslim, 4/170].
Yaitu, hadits yang saya sebut sebelumnya.
Seandainya tulang menjadi haram hanya karena disebut sebagai makanan jin mukmin (sebagaimana pernah viral beberapa waktu lalu), maka cara pikir ini jadi berlaku pada bakso, lemper, tengkleng, peyek, atau nasi goreng karena jin/setan pun doyan. Tapi para ulama - sependek pengetahuan saya - tidak merekonstruksi kesimpulan hukum dari cara akrobatik ini.
Wallaahu a’lam
[abul-jauzaa’ – catatan FB tertanggal 7 November 2017].

Bismillah atau Bismillaahir-rahmaanir-rahiim ?

$
0
0

Dalam sebagian pembicaraan, kadang terlontar pertanyaan : ‘Yang benar itu bismillaah saja atau bismillaahir-rahmaanir-rahiim ketika hendak makan ?’. Wajar, karena dalam praktek di masyarakat, yang diajarkan di TPA-TPA dan sekolah-sekolah sangat beragam. Sebagian mengajarkan atau memakai yang pertama, sebagian lain yang kedua.
Beberapa ulama menjelaskan perbedaan antara basmalah dengan tasmiyyah. Dalam Kamus Al-Mu’jamul-Wasiith disebutkan:
بَسْمَلَ بَسْمَلَةً : قال : بسم الله الرحمن الرحيم ، أو كتبها
Basmala basmalatan, yaitu mengucapkan bismillaahir-rahmaanir-rahiimatau menuliskannya” [1/120].

Terdapat ‘naht’ (semacam singkatan– Abul-Jauzaa’) dalam istilah-istilah Islamiyyah pada lisan para fuqahaa’ kita, diantaranya adalah al-basmalah (البسملة), yaitu perkataan bismillaahir-rahmaanir-rahiim; al-hauqalah (الحوقلة), yaitu perkataan laa haula wa laa quwwata illaa billaah; al-hai’alah(الحيعلة); dan al-hai’alataan (الحيعلتان), yaitu perkataan hayya ‘alash-shalaah, hayya ‘alal-falaah dalam adzan [Mu’jamu Lughatil-Fuqahaa’, 1/31].
Adapun tasmiyyah, berkata Al-Azhariy dari Al-Laits:
التسمية ذكر الله تعالى على كل شيء
Tasmiyyahadalah penyebutan (nama) Allah ta’ala pada segala sesuatu” [Tahdziibul-Asmaa’ wal-Lughaat, 3/154].
Oleh karena itu, Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahullah menjelaskan perbedaan antara keduanya:
الْبَسْمَلَة عِبَارَة عَنْ قَوْلك : بِسْمِ اللَّه الرَّحْمَن الرَّحِيم بِخِلَافِ التَّسْمِيَة فَإِنَّهَا عِبَارَة عَنْ ذِكْر اللَّه بِأَيِّ لَفْظ كَانَ
Baslamahadalah ungkapan dari perkataanmu : bismillaahir-rahmaanir-rahiim; berbeda halnya dengan tasmiyyah, yaitu ungkapan dari penyebutan (nama) Allah dengan lafadh apapun” [Al-Futuuhaat Ar-Rabbaaniyyah oleh Ibnu ‘Allaan, 1/299. Lihat juga ‘Aunul-Ma’buud 1/121].
Tasmiyyah lebih luas daripada basmalah yang lebih spesifik.
Terkait dengan bahasan ini, ada beberapa hadits yang menjelaskan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى، فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَوَّلِهِ، فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Rasulullah bersabda : “Apabila salah diantara kalian menyantap makanan, sebutlah nama Allah ta’ala. Apabila lupa, menyebut nama Allah ta’ala di awalnya, hendaklah ia mengucapkan : ‘bismillaahi awwalahu wa aakhirahu (dengan menyebut nama Allah di awal dan di akhirnya)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3767; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/441-442].
Dalam riwayat lain:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ "
Apabila salah diantara kalian menyantap makanan, maka ucapkanlah ‘bismillah’ (dengan menyebut nama Allah). Apabila lupa saat di awalnya, maka ucapkanlah : bismillaahi fii awwalihi wa aakhirihi (dengan menyebut nama Allah di awal dan di akhirnya)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1858].
Setelah menyebutkan hadits ini An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَالتَّسْمِيَة فِي شُرْب الْمَاء وَاللَّبَن وَالْعَسَل وَالْمَرَق وَالدَّوَاء وَسَائِر الْمَشْرُوبَات كَالتَّسْمِيَةِ عَلَى الطَّعَام فِي كُلّ مَا ذَكَرْنَاهُ ، وَتَحْصُل التَّسْمِيَة بِقَوْلِهِ : ( بِسْمِ اللَّه ) فَإِنْ قَالَ : بِسْمِ اللَّه الرَّحْمَن الرَّحِيم ، كَانَ حَسَنًا
Tasmiyyahketika minum air, susu, madu, kuah, obat, dan seluruh jenis minuman seperti tasmiyyahterhadap makanan dalam semua hal yang kami sebutkan. Tasmiyyah dapat terpenuhi dengan ucapan ‘bismillah’. Apabila mengucapkan ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim’, maka itu baik” [Syarh Shahiih Muslim, 13/189].
Di tempat lain, An-Nawawiy rahimahullah berkata:
أجمع العلماء على استحباب التسمية على الطعام في أوله ، فإن ترك في أوله عامداً أو ناسياً أو مكرهاً أو عاجزاً لعارض آخر ثم تمكن في أثناء أكله ، استحب أن يسمي للحديث المتقدم ويقول : باسم الله أوله وآخره ،كما في الحديث. والتسمية في شرب الماء واللبن و العسل والمرق وسائر المشروبات كالتسمية في جميع ما ذكرناه....... من أهم ما ينبغي أن يعرف صفة التسمية وقدر المجزئ منها فاعلم أن الأفضل أن يقول بسم الله الرحمن الرحيم ، فإن قال بسم الله كفاه وحصلت السنة
“Para ulama sepakat disunnahkannya (mustahab) mengucapkan tasmiyyahsaat awal waktu makan. Apabila ia meninggalkannya di awal makan dengan sengaja, lupa, terpaksa, atau tidak mampu karena sebab tertentu, kemudian ia dapat melakukannya pada pertengahan makannya, maka disukai untuk ber-tasmiyyah (pada waktu itu) berdasarkan hadits sebelumnya seraya mengucapkan : bismillaahi awwalahu wa aakhirahu (Dengan menyebut nama Allah di awal dan akhirnya), sebagaimana disebutkan dalam hadits. Begitu juga (disukai/mustahab) mengucapkan tasmiyyah saat minum air, susu, madu, kuah, dan seluruh jenis minuman seperti halnya tasmiyyah dalam seluruh kondisi yang kami sebutkan…… Dan diantara hal paling penting yang harus diketahui adalah sifat tasmiyyahdan kadar kecukupannya. Ketahuilah, bahwa yang afdlal (dalam tasmiyyah) adalah mengucapkan ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim’. Apabila hanya mengucapkan ‘bismillah’, sudah mencukupi dan terpenuhi sunnah” [Al-Adzkaar, hal. 197 – tahqiq : Al-Arna’uth].
Mengomentari ini, Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
الْمُرَاد بِالتَّسْمِيَةِ عَلَى الطَّعَام قَوْل بِسْمِ اللَّه فِي اِبْتِدَاء الْأَكْل ....وَأَمَّا قَوْل النَّوَوِيّ فِي أَدَب الْأَكْل مِنْ "الْأَذْكَار " : صِفَة التَّسْمِيَة مِنْ أَهَمّ مَا يَنْبَغِي مَعْرِفَته ، وَالْأَفْضَل أَنْ يَقُول بِسْمِ اللَّه الرَّحْمَن الرَّحِيم ، فَإِنْ قَالَ بِسْمِ اللَّه كَفَاهُ وَحَصَلَتْ السُّنَّة . فَلَمْ أَرَ لِمَا اِدَّعَاهُ مِنْ الْأَفْضَلِيَّة دَلِيلًا خَاصًّا ، وَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ الْغَزَالِيّ فِي آدَاب الْأَكْل مِنْ "الْإِحْيَاء "أَنَّهُ لَوْ قَالَ فِي كُلّ لُقْمَة بِسْمِ اللَّه كَانَ حَسَنًا ، وَأَنَّهُ يُسْتَحَبّ أَنْ يَقُول مَعَ الْأُولَى بِسْمِ اللَّه وَمَعَ الثَّانِيَة بِسْمِ اللَّه الرَّحْمَن وَمَعَ الثَّالِثَة بِسْمِ اللَّه الرَّحْمَن الرَّحِيم ، فَلَمْ أَرَ لِاسْتِحْبَابِ ذَلِكَ دَلِيلًا
“Yang dimaksudkan dengan tasmiyyah ketika menyantap makanan adalah ucapan ‘bismillaah’ saat permulaan makan….. Adapun perkataan An-Nawawiy dalam adab makan pada kitab Al-Adzkaar : ‘Sifat tasmiyyah merupakan hal yang paling penting untuk diketahui. Yang afdlal adalah mengucapkan bismillaahir-rahmaanir-rahiim’. Apabila hanya mengucapkan ‘bismillah’, sudah mencukupi dan terpenuhi sunnah’; maka aku tidak melihat adanya dalil khusus terhadap apa yang diklaimnya sebagai satu keutamaan (afdlaliyyah) tersebut. Adapun yang dikatakan Al-Ghazaaliy dalam adab-adab makan pada kitab Al-Ihyaa’ : ‘Seandainya seseorang mengucapkan pada setiap suapan ‘bismillah’, maka itu baik. Dan disukai (mustahab) untuk mengucapkan pada suapan yang pertama ‘bismillah’, pada yang kedua ‘bismillahir-rahmaan’, dan pada yang ketiga ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim’; maka aku tidak melihat dalil atas mustahabnya amalan tersebut” [Fathul-Baariy, 9/521].
Perkataan Al-Haafidh rahimahullah di atas adalah benar, bahwa yang dimaksud dengan tasmiyyahadalah ucapan bismillah (saja), karena itulah yang tertera di riwayat. Banyak hadits yang menguatkannya, antara lain:
1.    Hadits ‘Umar bin Abi Salamah radliyallaahu ‘anhumaa
عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، قَالَ: كُنْتُ فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَالَ لِي: "يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ "
Dari ‘Umar bin Abi Salamah, ia berkata : “Dulu aku pernah berada di pangkuan Rasulullah sedangkan tanganku berputar di atas piring (untuk mengambil makanan). Maka beliau bersabda kepadaku : ‘Wahai anak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu. Makan dari apa yang dekat denganmu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5376 & 5377, Muslim no. 2022, At-Tirmidziy no. 1857, Abu Daawud no. 3777, Ibnu Maajah no. 3265 & 3267, dan yang lainnya].
Rasulullah memerintahkan ‘Umar bin Abi Salamah untuk ber-tasmiyyah sebelum makan. Dalam riwayat lain Abu ‘Awaanah dalam Al-Musnad 5/165 no. 8256 serta Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 9/14 no. 8304 dan dalam Ad-Du’aa hal. 1212 no. 886 dengan lafadh:
يَا غُلامُ، إِذَا أَكَلْتَ، فَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
Wahai anak, apabila engkau makan, ucapkanlah : ‘bismillah’. Makanlah dengan tangan kananmu, dan makan dari apa yang dengan denganmu”.
Maksud perintah tasmiyyah di sini adalah membaca ‘bismillah’.
2.    Hadits Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu
Rasulullah bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ أَنْ لَا يُذْكَرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَإِنَّهُ جَاءَ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ لِيَسْتَحِلَّ بِهَا، فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا، فَجَاءَ بِهَذَا الْأَعْرَابِيِّ لِيَسْتَحِلَّ بِهِ، فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّ يَدَهُ فِي يَدِي مَعَ يَدِهَا
Sesungguhnya setan mendapatkan bagian makanan yang tidak disebutkan nama Allah padanya. Dan sesungguhnya ia (setan) datang bersama budak perempuan ini untuk mendapatkannya, lalu aku memegang tangannya. Ia juga datang bersama orang badui ini untuk mendapatkannya, lalu aku memegang tangannya. Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tangan setan itu berada di tanganku bersama dengan tangannya (budak perempuan dan orang badui)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2017, Abu Daawud no. 3766, dan Ahmad 5/382].
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَمَّا أَعْيَيْتُمُوهُ، جَاءَ بالْأَعْرَابيِّ وَالْجَارِيَةِ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ إِذَا لَمْ يُذْكَرْ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ، بسْمِ اللَّهِ، كُلُوا
Sesungguhnya setan ketika kalian telah membuatnya lelah, maka ia datang bersama dengan orang Badui dan budak perempuan untuk mendapatkan makanan apabila tidak disebutkan nama Allah padanya. Bismillah, makanlah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/397; shahih].
Tasmiyyah yang menyebabkan setan terhalang ikut makan makanan adalah ucapan bismillahketika seseorang hendak makan.
3.    Hadits Waatsilah bin Al-Asqa’ Al-Laitsiy radliyallaahu ‘anhu
عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ اللَّيْثِيِّ، قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِرَأْسِ الثَّرِيدِ، فَقَالَ: "كُلُوا بِسْمِ اللَّهِ مِنْ حَوَالَيْهَا، وَاعْفُوا رَأْسَهَا فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَأْتِيهَا مِنْ فَوْقِهَا
Dari Waatsilah bin Al-Asqa’ Al-Laitsiy, ia berkata : “Rasulullah mengambil bagian atas bubur sambil bersabda : ‘Makanlah dengan menyebut nama Allah (bismillah) dari sampingnya dan hindarilah (mulai dari) bagian atasnya (tengahnya), sesungguhnya barakah datang dari bagian atasnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 3276; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 5/48 no. 2030].
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda :
اجْلِسُوا اذْكُرُوا اللَّهَ، وَكُلُوا مِنْ أَسْفَلِهَا وَلا تَأْكُلُوا مِنْ أَعْلاهَا، فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهَا مِنْ أَعْلاهَا
Duduklah dan sebutlah (nama) Allah. Makanlah dari bagian bawahnya dan jangan makan dari bagian atasnya, karena barakah turun padanya dari bagian atasnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 8/78-79 no. 5521].
Dzikir (tasmiyyah) sebelum makan dalam hadits ini adalah ucapan bismillah.
4.    Hadits ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr radliyallaahu ‘anhumaa
Yaitu tentang hadits sumpah (yang panjang):
قَالَ: فَجِيء بِالطَّعَامِ فَسَمَّى فَأَكَلَ وَأَكَلُوا، قَالَ: فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا عَلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَرُّوا وَحَنِثْتُ، قَالَ: فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: "بَلْ أَنْتَ أَبَرُّهُمْ وَأَخْيَرُهُمْ "، قَالَ: وَلَمْ تَبْلُغْنِي كَفَّارَةٌ
“….’Abdurrahmaan bin Abi Bakr berkata : “Makanan pun datang. Abu Bakr ber-tasmiyyah, lalu makan, dan mereka (para sahabat yang bertamu) pun makan. Di pagi harinya, Abu Bakr menemui Nabi , lalu berkata : ‘Wahai Rasulullah, mereka (para tamu) telah berbuat kebaikan sedangkan aku melanggar sumpahku’. Kemudian Abu Bakr menceritakan kepada beliau (apa yang terjadi). Maka beliau bersabda : ‘Bahkan engkau adalah orang yang paling baik dan paling utama dari mereka”. ‘Abdurrahmaan berkata : “Tidak sampai kabar kepadaku adanya kaffarah (dalam sumpah Abu Bakr tersebut)” [Diriwayatkan oleh Muslim 2057].
Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadh:
هَاتِ طَعَامَكَ فَجَاءَهُ فَوَضَعَ يَدَهُ، فَقَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ الْأُولَى لِلشَّيْطَانِ فَأَكَلَ وَأَكَلُوا "
…..(Abu Bakr berkata : ) “Berikan makananmu kepadaku”. Lalu diberikanlah makanan tadi kepada Abu Bakr, kemudian ia meletakkan di tangannya dan berkata : "Dengan menyebut nama Allah (bismillah), yang pertama untuk setan[1]." Lalu Abu Bakr memakannya dan mereka pun ikut makan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6140. Diriwayatkan juga oleh Abu ‘Awaanah no. 8401 dan Al-Harbiy dalam Ikraamudl-Dlaif no. 88 dengan lafadh semisal].
Maksud tasmiyyah sebelum memasukkan suapan pertama dari Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu adalah ucapan bismillah. Inilah yang dipahami dari sisi pembawa kisah, yaitu ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr radliyallaahu ‘anhumaa.
Dan memang inilah yang dilakukan oleh Nabi ketika beliau menyantap makanan (bukan hanya sunnah qauliyyah dan taqriiriyyah saja):
عَنْ رَجُلٌ خَدَمَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ ثَمَانِ سِنِينَ أَوْ تِسْعَ سِنِينَ، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبيَّ ﷺ إِذَا قُرِّب لَهُ طَعَامٌ يَقُولُ: "بسْمِ اللَّهِ "، فَإِذَا فَرَغَ مِنْ طَعَامِهِ، قَالَ: "اللهم أَطْعَمْتَ وَأَسْقَيْتَ، وَأَغْنَيْتَ وَأَقْنَيْتَ، وَهَدَيْتَ وَاجْتَبيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا أَعْطَيْتَ "
Dari seorang laki-laki yang pernah melayani Rasulullah selama delapan atau sembilan tahun, bahwasannya ia mendengar Nabi apabila disuguhkan kepada beliau makanan (untuk dimakan), beliau mengucapkan ‘bismillah’. Apabila selesai menyantap makanan, beliau mengucapkan ‘allaahumma ath’amta wa asqaita wa aghnaita wa aqnaita wa hadaita wa-jtabaita, falakal-hamdu ‘alaa maa a’thaita (Ya Allah, Engkau telah memberi makan, memberi minum, memberi kecukupan, memberi keridlaan, memberi petunjuk, dan memberi pilihan (terbaik). Bagi-Mu segala puji atas apa yang telah Engkau berikan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/62 & 4/337 dan An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 6871; shahih].
Ibnul-Hajj Al-Maalikiy rahimahullah berkata:
وكذلك لا يقول بسم الله الرحمن الرحيم لأنه لم يرد ذلك وإنما ورد بسم الله وإن كان ذلك حسنا.
وكذلك ينبغي أن لا يفعل ما قاله بعضهم أنه يقول في أول لقمة بسم الله وفي الثانية بسم الله الرحمن وفي الثالثة بسم الله الرحمن الرحيم ، ثم يسمي بعد ذلك في كل لقمة
“Dan begitu juga tidak mengucapkan ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim, karena hal itu tidak ada dalilnya - yang ada dalam dalilnya hanyalah bismillah– meskipun hal tersebut baik.
Begitu juga selayaknya tidak melakukan apa yang diucapkan sebagian orang saat menyantap suapan pertama ‘bismillah, suapan kedua mengucapkan ‘bismillaahir-rahmaan’, dan suapan ketiga mengucapkan ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim’, kemudian mengucapkan tasmiyyah setelah itu untuk setiap suapan yang dimakan” [Al-Madkhal, 1/329– lihat juga Syarh An-Nashiihah Al-Kaafiyah, 2/345].
Allah ta’ala berfirman:
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya)” [QS. Al-Maaidah : 4].
As-Suyuuthiy rahimahullah menukil perkataan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa saat menjelaskan ayat di atas:
إذا أرسلت جوارحك فقل بسم الله ، وإن نسيت فلا حرج
“Apabila engkau melepas hewan pemburu peliharaanmu, maka ucapkanlah ‘bismillah’. Apabila engkau lupa, maka tidak berdosa” [Ad-Durrul-Mantsuur, 5/194].
Disebutkan juga oleh Ibnu Katsiir rahimahullah, kemudian ia menambahkan:
وقال بعض الناس: المراد بهذه الآية الأمر بالتسمية عند الأكل كما ثبت في الصحيح: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عَلَّم رَبِيبه عمر بن أبي سلمة فقال: "سَمّ الله، وكُل بيمينك، وكل مما يليك". وفي صحيح البخاري: عن عائشة أنهم قالوا: يا رسول الله، إن قوما يأتوننا -حديث عهدهم بكفر-بلُحْمانٍ لا ندري أذكر اسم الله عليها أم لا؟ فقال: "سَمّوا الله أنتم وكلوا."
“Dan sebagian orang mengatakan : Yang dimaksud dengan ayat ini adalah perintah tasmiyyahketika hendak makan sebagaimana ditetapkan dalam Ash-Shahiih : Bahwasannya Rasulullah menganjarkan anak tiri beliau, ‘Umar bin Abi Salamah, dengan sabdanya : ‘Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kanan. Makanlah dari apa yang dengan denganmu’. Dan dalam Shahiih Al-Bukhaariy dari ‘Aaisyah, bahwasannya para sahabat berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada satu kaum mendatangi kami – yang mereka belum lama meninggalkan kekufuran (baru masuk Islam) – dengan membawa daging yang kami tidak mengetahui apakah disembelih dengan menyebut nama Allah ataukah tidak. Maka beliau bersabda : ‘Sebutlah nama Allah, lalu makanlah” [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/37].
Telah berlalu penjelasan maksud tasmiyyah dalam riwayat hadits yang disebutkan Ibnu Katsiir rahimahullah (yaitu membaca bismillah).
Namun sebagian ulama menyamakannya antara basmalah dan tasmiyyah, sebagaimana disebutkan dalam Lisaanul-‘Arab :
بَسْمَلَ إِذا قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ، وَحَوْقَلَ إِذا قَالَ: لَا حَوْلَ وَلَا قوَّة إِلا بِاللَّهِ، وَحَمْدَلَ إِذا قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ
Basmalaadalah apabila mengucapkan bismillah; hauqala adalah apabila mengucapkan laa haula wa laa quwwata illaa billaah; dan hamdalaadalah apabila mengucapkan alhamdulillah…” [2/402].
Jika dikatakan basmalah adalah ucapan bismillaahir-rahmaanir-rahiim, maka tasmiyyah pun sama. Baik tasmiyyah maupun basmalah dapat mempunyai arti ucapan bismillah atau bismillaahir-rahmaanir-rahiimOleh karena itu, perintah atau penyebutan tasmiyyah dalam hadits maknanya mencakup basmalah sebagaimana dikatakan An-Nawawiy rahimahullah di awal. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah termasuk yang menguatkan pendapat ini:
إذا قال عند الأكل بسم الله الرحمن الرحيم كان حسنا فإنه أكمل
“Apabila seseorang mengucapkan ketika hendak makan ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim’, maka itu baik karena lebih sempurna” [Al-Fataawaa Al-Kubraa, 5/477].
Namun demikian, berat rasanya jika dikatakan apa yang tertera di selain hadits Nabi lebih baik dan lebih sempurna daripada yang bersumber dari beliau . Nabi telah mencontohkan lafadh tasmiyyah dalam banyak aktivitas beliau seperti ketika hendak makan, menyembelih[2], masuk jamban/toilet/WC[3], berjimak[4], meruqyah orang sakit[5], meruqyah diri sendiri[6], memasukkan mayit ke kubur/liang lahad[7], keluar rumah[8], kendaraan/tunggangannya tergelincir[9], melepas pasukan[10], dan yang lainnya hanya dengan ucapan bismillah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Hujuraat : 1].
Nabi pernah bersabda:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ ﷺ
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 867].
Ini saja sedikit ringkasan yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – ciper – 28 Ramadlaan 1439 H].


[1]   Yaitu : suapan pertama untuk pelangaran sumpah yang diucapkan Abu Bakr, karena sebelumnya ia bersumpah tidak akan memakannya (karena marah). Sehingga maksudnya : aku halalkan dengannya sumpahku, aku langgar sumpahku, dan aku ridla kepada para tamuku untuk menolak/mengecam setan yang menjadi sebab kemarahanku dan sumpahku [Masyaariqul-Anwaar, 1/97].
[2]   Tasmiyyah dalam penyembelihan dijelaskan dalam hadits Anas radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِكَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، وَوَضَعَ قَدَمَيْهِ عَلَى صِفَاحِهِمَا، وَقَالَ: "بِسْمِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ
Dari Anas, ia berkata : “Rasulullah menyembelih dua ekor domba yang bertanduk. Beliau meletakkan kedua kakinya di lambung kedua domba tersebut seraya mengucapkan : ‘Bismillah wallaahu akbar. Allaahumma minka wa laka (Dengan menyebut nama Allah dan Allah Maha Besar. Ya Allah, ini dari-Mu dan hanya untuk-Mu” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah dalam Musnad-nya no. 7798, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 7074, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/285 no. 19174; shahih].
Al-Baihaqiy memasukkannya dalam Bab : At-Tasmiyyah ‘aladz-Dzabiihah.
[3]   Tasmiyyah-nya dijelaskan dalam hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ، أَنْ يَقُولَ: بِسْمِ اللَّهِ
Dari ‘Aliy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Tirai penghalang antara pandangan mata jin dan auratnya manusia apabila ia masuk ke toilet/kamar kecil adalah ucapannya bismillah” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 606, Ibnu Maajah no. 297, dan Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 484; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/332-333].
[4]   Tasmiyyah-nya dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "أَمَا إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ، وَقَالَ: بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ "
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi , beliau bersabda : “Adapun jika salah seorang diantara kalian mendatangi istrinya dengan mengucapkan ‘bismillah, allaahumma jannibnasy-syaithaana wa jannibisy-syaithaana maa razaqtanaa (dengan menyebut nama Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah pula dari anak yang kelak Engkau karuniakan kepada kami), lalu bila keduanya dikaruniai anak (dari hubungan tersebut), maka setan tidak akan dapat mencelakakan anak itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3271 & 5165 & 6388 & 7396 dan Muslim no. 1434].
[5]   Tasmiyyah-nya dijelaskan dalam hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَقُولُ لِلْمَرِيضِ: بِسْمِ اللَّهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا يُشْفَى سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi mengucapkan (doa) kepada orang yang sakit : ‘Bismillahi, turbatu ardlinaa bi-riiqati ba’dlinaa yusyfaa saqiiminaa bi-idzni rabbinaa (dengan menyebut nama Allah, (debu) tanah bumi ini dengan air ludah sebagian di antara kami semoga dapat menyembuhkan penyakit di antara kami dengan seizin Rabb kami)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5745 dan Muslim no. 2194].
[6]   Tasmiyyah-nya dijelaskan dalam hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سَالِمٍ، حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ، قَالَ: قَالَ لِي: يَا مُحَمَّدُ إِذَا اشْتَكَيْتَ فَضَعْ يَدَكَ حَيْثُ تَشْتَكِي، وَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ، أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ مِنْ وَجَعِي هَذَا، ثُمَّ ارْفَعْ يَدَكَ ثُمَّ أَعِدْ ذَلِكَ وِتْرًا، فَإِنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَنِي، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ حَدَّثَهُ بِذَلِكَ
Dari Muhammad bin Saalim : Telah menceritakan kepada kami Tsaabit Al-Bunaaniy, ia berkata kepadaku : “Wahai Muhammad, apabila engkau sakit, maka letakkan tangnmu pada anggota badanmu yang sakit, lalu ucapkanlah : ‘Bismillah, a’uudzu bi-‘izzatillahi wa qudratihi min syarri maa ajidu min waja’ii hadzaa (dengan menyebut nama Allah, aku berlindung dengan kemuliaan Allah dan kekuasaan-Nya dari sakit yang aku derita ini)’. Kemudian angkat tanganmu lalu ulangilah hal itu secara witir (ganjil). Hal itu dikarenakan Anas bin Maalik pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah pernah mengatakan hal itu kepadanya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3588 dan hasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 3/472].
[7]   Tasmiyyah-nya dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا وَضَعَ الْمَيِّتَ فِي الْقَبْرِ، قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ، وَعَلَى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi apabila meletakkan mayit dalam kubur mengucapkan : “Bismillah, wa ‘alaa sunnati Rasuulillah (dengan menyebut nama Allah dan di atas sunnah Rasulullah )” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1046, Abu Daawud no. 3213, dan Ibnu Maajah no. 1550; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/303].
[8]   Tasmiyyah-nya dijelaskan dalam hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ قَالَ يَعْنِي إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ: بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، يُقَالُ لَهُ كُفِيتَ وَوُقِيتَ وَتَنَحَّى عَنْهُ الشَّيْطَانُ
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa yang mengucapkan keltika keluar dari rumahnya ‘bismillaahi tawakkaltu ‘alallaahi laa haula wa laa quwwata illaa billaah (dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah semata), maka akan dikatakan kepadanya : ‘Engkau telah diberikan kecukupan dan perlindungan, serta setan akan menjauh darimu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3426, Abu Daawud no. 5095, dan Ibnu Hibbaan no. 822; At-Tirmidziy berkata : ‘Ini adalah hadits hasan shahih ghariib’].
[9]   Tasmiyyah-nya dijelaskan dalam hadits salah seorang shahabat Nabi radliyallaahu ‘anhu (mubham):
عَنْ رَجُلٍ، قَالَ: "كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ ﷺ فَعَثَرَتْ دَابَّةٌ، فَقُلْتُ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ، فَقَالَ: لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ، فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ، وَيَقُولُ: بِقُوَّتِي، وَلَكِنْ قُلْ: بِسْمِ اللَّهِ، فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّباب "
Dari seorang laki-laki (shahabat Nabi ), ia berkata : “Aku pernah membonceng di belakang Nabi , lalu tiba-tiba hewan tunggangan beliau tergelincir. Aku berkata :  'Celakalah setan’. Maka beliau bersabda : ‘Jangan katakan : ‘Celakalah setan’. Jika engkau mengatakan demikian, maka setan akan membesar hingga eperti rumah seraya berkata : 'Demi kekuatanku'. Akan tetapi ucapkanlah : ‘Bismillah (dengan menyebut nama Allah). Jika engkau mengucapkannya, maka setan akan semakin kecil hingga seperti lalat” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4982, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 10308, dan Ahmad 5/59 & 5/79 & 5/365; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/224].
[10]  Tasmiyyah-nya dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا بَعَثَ جُيُوشَهُ، قَالَ: "اخْرُجُوا بِسْمِ اللَّهِ تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ، لَا تَغْدِرُوا، وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تُمَثِّلُوا، وَلَا تَقْتُلُوا الْوِلْدَانَ، وَلَا أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah apabila mengutus pasukannya, beliau bersabda : ‘Berangkatlah dengan menyebut nama Allah (bismillah), berperanglah di jalan Allah melawan orang-orang yang kufur kepada Allah, jangan berkhianat, jangan melampaui batas, jangan mencincang, serta jangan membunuh anak-anak serta penghuni-penghuni gereja (orang-orang yang sedang beribadah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/300, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 4806, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/90 no. 18154; dihasankan oleh Al-Arna’uth].

Shalat Sunnah Quduum di Masjid

$
0
0

Salah satu sunnah beliau yang banyak ditinggalkan kaum muslimin – dan bahkan banyak diantara mereka yang tidak mengetahuinya sama sekali – adalah shalat sunnah quduum. Yaitu, shalat sunnah dua raka’at yang dilakukan di masjid sepulang dari safar sebelum seseorang tiba di rumah dan bertemu dengan keluarganya. Dalilnya adalah:
عَنْ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
Dari Ka’b radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi apabila pulang dari safar di waktu Dluha, beliau masuk masjid dan shalat dua raka’at sebelum duduk [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3088 & 4418 dan Muslim no. 2769].

Al-Bukhaariy rahimahullah menempatkan hadits di atas (no. 3088) dalam Bab:
الصَّلاة إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ
“Shalat apabila datang/tiba dari safar” [Al-Jaami’ush-Shahiih, 2/383].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
وقد صرح الشافعية بأن صلاتهم في المسجد سنة ، وهذا حق لا توقف فيه .
وقد بوب أبو بكر الخلال في ((كتاب الجامع)) في آخر الجهاد : ((باب سجدة الشكر للسلامة)) . ولم يورد في ذلك أثرا ولا نصا عن أحمد ، ولا غيره في القدوم بخصوصه ، وسجود الشكر للقدوم من الجهاد أو غيره سالما لا يعلم فيه شيء عن سلف ، إنما الذي جاءت به السنة . صلاة ركعتين في المسجد عند القدوم
“Ulama Syaafi’iyyah menyatakan bahwa shalat mereka di masjid (ketika datang dari safar) adalah sunnah. Ini adalah kebenaran yang tidak boleh tawaqquf padanya.
Abu Bakr Al-Khallaal membuat bab dalam Kitaabul-Jaami’ di bagian akhir kitabul-jihad : Bab Sujud Syukur untuk Keselamatan. Tidak ada atsar dan nash yang ternukil dari Ahmad dan yang lainnya tentang permasalahan quduum secara khusus. Dan sujud syukur karena tiba dari jihad atau selainnya dalam keadaan selamat, tidak diketahui sedikitpun dari kalangan salaf. Yang ada dalam sunnah hanyalah shalat dua raka’at di masjid ketika quduum (tiba dari safar)” [Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 3/269].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
قَالَ النَّوَوِيّ : هَذِهِ الصَّلَاة مَقْصُودَةٌ لِلْقُدُومِ مِنْ السَّفَر يَنْوِي بِهَا صَلَاة الْقُدُوم ، لَا أَنَّهَا تَحِيَّة الْمَسْجِد الَّتِي أُمِرَ الدَّاخِل بِهَا قَبْل أَنْ يَجْلِس ، لَكِنْ تَحْصُل التَّحِيَّة بِهَا
“An-Nawawiy berkata : ‘Shalat ini maksudnya adalah ketika tiba dari safar dengan niat shalat quduum, bukan shalat tahiyyatul-masjid yang diperintahkan saat masuk masjid sebelum duduk. Akan tetapi shalat tahiyyatul-masjid tercapai juga dengan melakukan shalat tersebut” [Fathul-Baariy, 1/537].
Dikuatkan lagi oleh riwayat Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ، قَالَ مِسْعَرٌ: أُرَاهُ قَالَ: ضُحًى، فَقَالَ: "صَلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي "
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Aku menemui Nabi yang sedang berada di masjid - Mis’ar (perawi) berkata : ‘Aku mengira Jaabir berkata : ‘Pada waktu Dluhaa - . Lalu Nabi bersabda : ‘Shalatlah dua raka’at’. Beliau waktu itu mempunyai hutang kepadaku, kemudian beliau membayarnya dan memberi tambahan kepadaku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 443].
Dalam riwayat lain Jaabir berkata :
اشْتَرَى مِنِّي النَّبِيُّ ﷺ بَعِيرًا بِوَقِيَّتَيْنِ وَدِرْهَمٍ أَوْ دِرْهَمَيْنِ فَلَمَّا قَدِمَ صِرَارًا أَمَرَ بِبَقَرَةٍ فَذُبِحَتْ فَأَكَلُوا مِنْهَا، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ أَمَرَنِي أَنْ آتِيَ الْمَسْجِدَ فَأُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ، وَوَزَنَ لِي ثَمَنَ الْبَعِيرِ
“Nabi membeli seeekor unta dariku seharga dua ‘uqiyah dan satu dirham atau seharga dua dirham. Ketika tiba di Shiraar, beliau memerintahkan agar sapi disembelih dan mereka (para shahabat) makan darinya. (Setelah melanjutkan perjalanan) dan tiba di Madiinah, beliau memerintahkan untuk masuk masjid, lalu aku shalat dua raka'at. Kemudian, beliau mengembalikan uang harga pembelian unta tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3089].
Dalam riwayat lain Jaabir berkata :
بِعْتُ مِنَ النَّبِيِّ ﷺ بَعِيرًا فِي سَفَرٍ، فَلَمَّا أَتَيْنَا الْمَدِينَةَ، قَالَ: ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ فَوَزَنَ. قَالَ شُعْبَةُ: أُرَاهُ فَوَزَنَ لِي فَأَرْجَحَ
“Aku pernah menjual seekor unta kepada Nabi dalam satu safar (perjalanan). Ketika kami tiba di Madinah, beliau berkata : ‘Pergilah ke masjid lalu shalatlah dua raka’at’. Lalu beliau menaksir harga (unta yang beliau beli)”. Syu'bah (perawi) berkata : “Aku mengira Jaabir berkata : ‘Lalu beliau menaksir harganya untukku dan melebihkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2064].
Dalam riwayat lain Jaabir berkata :
خَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي غَزَاةٍ، فَأَبْطَأَ بِي جَمَلِي وَأَعْيَا، ثُمَّ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَبْلِي، وَقَدِمْتُ بِالْغَدَاةِ، فَجِئْتُ الْمَسْجِدَ فَوَجَدْتُهُ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ، قَالَ: الْآنَ حِينَ قَدِمْتَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: فَدَعْ جَمَلَكَ، وَادْخُلْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، قَالَ: فَدَخَلْتُ فَصَلَّيْتُ، ثُمَّ رَجَعْتُ "
“Aku pernah pergi bersama Rasulullah dalam satu peperangan. Ternyata untaku berjalan sangat pelan karena keletihan. Rasululullah tiba sebelumku, sedang aku tiba di waktu pagi. Lalu aku mendatangi beliau di masjid dan aku dapati beliau ada di pintu masjid. Beliau bersabda : ‘Apakah engkau baru datang?’. Aku berkata : ‘Benar’. Beliau bersabda : ‘Tinggalkanlah untamu, masuklah ke masjid, dan shalat lah dua rakaat’”. Jaabir berkata : "Maka aku masuk masjid, lalu aku shalat dan baru kemudian pulang (ke rumah)" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 715].
Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy menukil perkataan Ibnul-Qayyim rahimahumallah:
(ومنها أن السنة للقادم من السفر أن يدخل البلد على وضوء وأن يبدأ ببيت الله قبل بيته فيصلي فيه ركعتين ثم يجلس للمسلمين عليه ثم ينصرف إلى أهله)
“Dan diantaranya bahwa sunnah yang hendaknya dilakukan oleh orang yang baru datang dari safar adalah masuk ke negerinya dalam keadaan berwudlu’ dan memulainya dengan masjid sebelum masuk ke rumahnya. Ia shalat dua raka’at di masjid, kemudian duduk untuk kaum muslimin. Setelah itu baru ia pulang menemui keluarganya”.
Kemudian beliau rahimahullah berkata:
وقد أمر ﷺ بذلك فينبغي الاهتمام به فقال جابر بن عبد الله رضي الله عنه: (كنا في سفر مع رسول الله ﷺ فلما قدمنا المدينة قال لي: ائت المسجد فصل فيه ركعتين [قال: فدخلت فصليت ثم رجعت]).
..........
وظاهر الأمر يفيد وجوب صلاة القدوم من السفر في المسجد لكني لا أعلم أحدا من العلماء ذهب إليه فإن وجد من قال به صرنا إليه. والله أعلم.
“Dan Nabi telah memerintahkannya (shalat dua raka’at di masjid) sehingga perlu perhatian padanya. Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata : ‘Kami pernah bersama Rasulullah dalam satu safar. Ketika kami tiba di Madiinah, beliau bersabda kepadaku : ‘Pergilah ke masjid lalu shalatlah dua raka’at’. Jaabir berkata : ‘Maka aku pun masuk masjid, mengerjakan shalat, lalu aku kembali/pulang’.
……..
Dhahir perintah tersebut[1]memberikan faedah wajibnya shalat ketika tiba dari safar di masjid. Akan tetapi aku tidak mendapatkan seorangpun ulama yang berpendapat seperti itu. Apabila didapatkan ulama (dahulu) yang pernah berpendapat seperti itu kami akan berpegang terhadapnya, wallaahu a'lam" [Ats-Tsamarul-Mustathaab, hal. 628].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya dan menjadikan kita mengamalkannya.
[abul-jauzaa’ – ciper – akhir Ramadlaan 1439].


[1]   Yaitu perintah Nabi kepada Jaabir untuk pergi ke masjid mengerjakan shalat dua raka’at.

Takbir Jama’iy

$
0
0

Takbir jama’iy yang dimaksudkan di sini adalah takbir secara bersama-sama dengan satu suara yang dikomandoi/dipimpin oleh seseorang (imam/mudzdzin/petugas yang ditunjuk). Tata cara takbir seperti ini telah banyak dibicarakan para ulama kita. Diantaranya adalah Ibnul-Hajj Al-Maalikiy rahimahullah (w. 737 H) yang berkata:
السنة أن يكبر الإمام في أيام التشريق دبر كل صلاة تكبيراً يسمع نفسه ومن يليه , ويكبر الحاضرون بتكبيره , كل واحد يكبر لنفسه ولا يمشي على صوت غيره على ما وصف من أنه يسمع نفسه ومن يليه فهذه هي السنة . أما ما يفعله بعض الناس اليوم من أنه إذا سلم الإمام من صلاته كبر المؤذنون على صوت واحد , والناس يستمعون إليهم ولا يكبرون في الغالب , و إن كبر أحد منهم فهو يمشي على أصواتهم فذلك كله من البدع إذ أنه لم ينقل أن النبي ﷺ فعله ولا أحد من الخلفاء الراشدين بعده
"Yang disunnahkan agar imam bertakbir pada hari-hari tasyriiq di akhir setiap shalat (fardlu)[1] dengan takbir yang dapat didengar oleh dirinya sendiri dan orang lain, dan orang-orang yang hadir (makmum/jama'ah) bertakbir dengan takbirnya. Setiap orang bertakbir untuk dirinya sendiri tanpa mengikuti suara (takbir) orang lain dengan sifat bahwa (takbirnya itu) dapat didengar oleh dirinya sendiri dari orang lain. Inilah sunnah.

Adapun yang dilakukan sebagian orang saat ini apabila imam selesai salam dari shalatnya, para mu'adzdzin bertakbir dengan satu suara sedangkan kebanyakan orang mendengarkan mereka tanpa bertakbir. Apabila salah seorang dari mereka bertakbir, maka ia mengikuti suara mereka (para muadzdzin). Ini semua adalah bid'ah karena tidak ternukil bahwa Nabi melakukannya. Begitu pula para Khulafaa’ Rasyidiin setelahnya" [Al-Madkhal, 2/440].
Setelah menjelaskan tentang definisi bid’ah dan macam-macamnya, Asy-Syaathibiy rahimahullahmencontohkan:
ومنها : التزام الكيفيات والهيئات المعينة , كالذكر بهيئة الاجتماع على صوت واحد
“Dan diantaranya : iltizaam/menetapi kaifiyyah dan bentuk tertentu (tanpa landasan dalil), seperti dzikir dengan bentuk bersatu dalam satu suara” [Al-I’tishaam, 1/46 – tahqiq : Asy-Syaikh Masyhuur bin Hasan Aalu Salmaan hafidhahullah].
Maksud sebagian ulama mutaqaddimiin disyari'atkannya takbir secara sendiri-sendiri maupun berjama'ah ketika ‘Ied, maka itu seperti tergambar dalam riwayat berikut:
ثنا أَبُو هَمَّامٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ يَجْهَرُ بِالتَّكْبِيرِ يَوْمَ الْفِطْرِ إِذَا غَدَا إِلَى الْمُصَلَّى حَتَّى يَخْرُجَ الإِمَامُ فَيُكَبِّرُ بِتَكْبِيرِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Hammaam : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin ‘Umar dan Usaamah bin Zaid, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia mengeraskan takbir pada hari ‘Iedul-Fithri apabila berangkat di pagi hari menuju mushallaa (tanah lapangan) hingga imam keluar. Ibnu ‘Umar bertakbir dengan takbirnya [Diriwayatkan oleh Al-Faryaabiy dalam Ahkaamul-‘Iedain hal. 116 no. 53; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: كَانَ النَّاسُ يُكَبِّرُونَ فِي الْعِيدِ حِينَ يَخْرُجُونَ مِنْ مَنَازِلِهِمْ حَتَّى يَأْتُوا الْمُصَلَّى، وَحَتَّى يَخْرُجَ الْإِمَامُ، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ سَكَتُوا، فَإِذَا كَبَّرَ كَبَّرُوا
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, dari Ibnu Abi Dzi'b, dari Az-Zuhriy, ia berkata : "Orang-orang bertakbir ketika 'Ied dimulai ketika mereka keluar dari rumah-rumah mereka hingga sampai di tanah lapang, hingga imam keluar. Apabila imam telah keluar, mereka diam. Apabila ia bertakbir, mereka pun bertakbir” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/13 no. 5672; sanadnya shahih].
Orang-orang yang dimaksudkan Az-Zuhriy[2]adalah kaum muslimin di zamannya dari kalangan sahabat dan taabi'iin.
Maksud takbir secara berjama'ah bukan takbir jama'iy dengan koor satu suara yang dipimpin oleh seseorang.
Ketika berangkat dari rumah-rumah mereka, masing-masing orang bertakbir hingga mushallaa (tanah lapang). Dan ketika sampai di mushallaa, orang-orang mengikuti takbir imam dengan suara masing-masing. Hal ini sama seperti hadits:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَلَا تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ
"Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan kalian jangan bertakbir sampai ia bertakbir. Apabila ia rukuk, maka rukuklah, dan kalian jangan rukuk sampai ia rukuk. Apabila ia mengatakan ‘sami’allaahu liman hamidah’, maka ucapkanlah ‘Rabbana walakal-hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah, dan kalian jangan sujud sampai ia sujud" [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 601; shahih].
Maksud 'faidzaa kabbara fakabbiruu' (apabila imam bertakbir, maka bertakbirlah) dalam hadits ini adalah masing-masing makmum/jama'ah mengikuti takbir imam dengan bacaan takbir masing-masing. Para makmum tidak terkomando dalam satu suara pada takbir-takbir mereka (baik takbiratul-ihram maupun takbir intiqal). Mereka hanya mengikuti takbir imam dalam sifatnya.
Begitu pula takbir dalam 'Ied. Orang-orang mengikuti takbir imam saling bersahut-sahutan dan bergemuruh.
سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ جَرِيرٌ: لَمْ أَسْمَعْ مِنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ شَيْئًا، إِلا أَنِّي رَأَيْتُهُ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْحَسَنِ يُكَبِّرَانِ يَوْمَ الْعِيدِ، وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمَا أَصْوَاتَ النَّاسِ "
Aku mendengar ‘Utsmaan bin Abi Syaibah berkata : Telah berkata Jariir : Aku tidak mendengar sedikitpun suara Ja’far bin Muhammad kecuali aku melihatnya dan ‘Abdullah bin Al-Hasan bertakbir di hari ‘Ied. Suara keduanya mengeras di antara (gemuruh) suara orang-orang” [Diriwayatkan oleh Al-Faryaabiy dalam Ahkaamul-‘Iedainhal. 121 no. 66].
Jariir bin ‘Abdil-Hamiid[3](w. 188 H) sedang menceritakan kondisi ‘takbiran’ di zamannya yang diikuti oleh pembesar ahli bait Nabi . Ia tidak tahu keberadaan Ja’far bin Muhammad[4](w. 148 H) dan ‘Abdullah bin Al-Hasan[5](w. 145 H) rahimahumullah kecuali dengan suara takbir mereka yang lebih keras daripada suara takbir kaum muslimin yang hadir dalam shalat ‘Ied. Kondisi itu lebih mungkin dibayangkan bahwa masing-masing bertakbir dengan suaranya sehingga jika ada suara yang berbeda lebih mudah untuk diketahui. Jika dilakukan dalam satu suara koor sebagaimana takbir jama’iy yang lazim dilakukan sebagian kaum muslimin, suara mereka akan tenggelam bersama mereka.
Begitu pula dengan atsar:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا
“Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah keluar menuju pasar pada 10 hari bulan Dzulhijjah. Mereka berdua bertakbir dan orang-orang ikut bertakbir dengan takbir mereka berdua” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq dalam Al-Jaami’ush-Shahiih, 1/306].
وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الْأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا
“’Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu bertakbir di kubbahnya di Mina, lalu orang-orang yang ada di dalam masjid mendengarnya lalu mereka ikut bertakbir. Orang-orang di pasar juga bertakbir hingga Mina berguncang dengan takbir” [idem, 1/307].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah menjelaskan makna frase ‘hattaa tartajja Mina takbiiran’ :
وَهِيَ مُبَالَغَةٌ فِي اِجْتِمَاعِ رَفْعِ الْأَصْوَاتِ
 “Yaitu mubaalaghah dalam berkumpulnya suara keras dari orang-orang” [Fathul-Baariy, 2/426].
Bagaimana dapat dilakukan – yang ketika itu belum ada sarana pengeras suara – orang-orang yang ada masjid, pasar-pasar, dan tempat-tempat lainnya takbir serentak secara jama’iy dengan (komando) satu suara ?. Yang benar – wallaahu a’lam– adalah mereka ikut bertakbir mengeraskan suara mereka mereka masing-masing ketika mendengar suara temannya bertakbir, berantai, sehingga seluruh penjuru bergemuruh dengan suara takbir karenanya.
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ مِسْكِينٍ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ مُجَاهِدًا، وَكَبَّرَ رَجُلٌ أَيَّامَ الْعَشْرِ، فَقَالَ مُجَاهِدٌ: "أَفَلَا رَفَعَ صَوْتَهُ فَلَقَدْ أَدْرَكْتُهُمْ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُكَبِّرُ فِي الْمَسْجِدِ فَيَرْتَجُّ بِهَا أَهْلُ الْمَسْجِدِ، ثُمَّ يَخْرُجُ الصَّوْتُ إلَى أَهْلِ الْوَادِي حَتَّى يَبْلُغَ الْأَبْطُحَ، فَيَرْتَجُّ بِهَا أَهْلُ الْأَبْطُحِ، وَإِنَّمَا أَصْلُهَا مِنْ رَجُلٍ وَاحِدٍ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Miskiin Abu Hurairah[6], ia berkata : Aku mendengar Mujaahid – yang ketika itu ada seorang laki-laki bertakbir pada 10 hari bulan Dzulhijjah - , lalu ia berkata : “Tidakkah ia mengeraskan suaranya, karena aku telah menjumpai mereka (para shahabat). Sesungguhnya ada seseorang yang bertakbir di masjid, lalu bergemalah orang-orang yang ada di masjid (dengan takbir mengikuti orang tersebut). Kemudian suara mereka keluar terdengar oleh penduduk yang ada di lembah hingga sampai di Abthah (tempat yang terletak antara Makkah dan Mina). Maka bergemalah penduduk Abthah (dengan takbir). Padahal, (takbir itu) asalnya dari satu orang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/342 no. 14094; sanadnya hasan].
Wallaahu a'lam bish-shawwaab.
Semoga yang singkat ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ciper – 1 Syawwal 1439 H].


[1]   Pembatasan sunnah dalam takbir hanya ketika selesai shalat fardlu tidaklah benar. Yang benar, wallaahu a’lam, takbir di hari-hari tasyriiq setiap waktu, baik ketika selesai shalat maupun yang lainnya. Al-Qaadliy Abu Ya’laa rahimahullah berkata :
التكبير في الأضحى مطلق ومقيد؛ فالمقيد عقيب الصلوات، والمطلق في كل حال في الأسواق وفي كل زمان
“Takbir pada hari Adlhaa itu ada yang muthlaq dan muqayyad. Takbir muqayyaddiucapkan setelah shalat-shalat, dan takbir muthlaq diucapkan pada setiap keadaan, di pasar-pasar dan di semua waktu yang ada” [Al-Mughniy, 3/256].
Selengkapnya silakan baca artikel : Takbir di Awal Bulan Dzulhijjah.
[2]   Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-Madaniy; seorang ulama taabi’iy yang tsiqah, faqiih, hafiidh, lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-4, meninggal tahun 125 H, atau dikatakan sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 896 no. 6336].
[3]   Jariir bin ‘Abdil-Hamiid bin Qurth Adl-Dlabbiy; seorang yang tsiqah shahiihul-kitaab (107/110-188 H). Termasuk thabaqah ke-8, dan meninggal tahun 188 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 196 no. 924].
[4]   Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah; seorang yang shaduuq, faqiih, lagi imam. Termasuk thabaqah ke-6, dan meninggal tahun 148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 200 no. 958].
[5]   ‘Abdullah bin Al-Hasan bin Al-Hasan bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi agung kedudukannya. Termasuk thabaqah ke-5, lahir tahun 70 H, dan meninggal tahun 145 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 499-500 no. 3292].
[6]   Miskiin bin Diinaar Abu Hurairah At-Taimiy; seorang yang tsabt sebagaimana dikatakan oleh Wakii’ bin Al-Jarraah. Abu Haatim berkata : “Shaalih, ditulis haditsnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 8/328-329 no. 1520].

IslAm NUSantara

$
0
0

Saya terus terang masih bingung mendefinisikan islAm NUSantara. Sebagian tokoh lokal menjelaskan ide baru ini sebagai identitas keislaman orang Indonesia yang ‘moderat’ dan penuh ‘rahmat’; mesti diinternasionalisasikan ke manca negara. Islam yang dalam pikiran sebagian tokoh tergambarkan sebagai Islam yang mengadopsi budaya lokal, nggak mau kearab-araban (atau bahkan anti Arab?), tapi sangat hobi – kalau tidak mau dikatakan rakus – mengadopsi style kebarat-baratan. Islam yang menjadi opisisi ‘Islam Arab’ (?). Islam yang pemahaman nash-nashnya mesti di-reinterpretasi sesuai kondisi dan kebutuhan, sebagaimana diskusi naas belum lama ini yang berhasil membuat girang Benyamin Netanyahu.[1] 

Saya menjadi bertanya-tanya, apakah Islam yang ada sekarang ini tidak mencukupi kebutuhan para pengusung ide islAm NUSantara?
‘Islam Arab’ – katakanlah untuk sementara begitu – telah mengajarkan sikap pertengahan (moderat) dalam beragama. Versi yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya adalah sikap pertengahan antara tafriith (meremehkan)dan ifrath (melampaui batas). Contoh mudah tergambar dalam ayat yang minimal 17 kali kita ucapkan:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” [QS. Al-Faatihah : 6-7].
Jalan pertengahan berupa ash-shiraathul-mustaqiim adalah jalan yang senantiasa kita mohonkan. Tidaklah kita diperintahkan untuk memohon suatu jalan kecuali jalan tersebut pasti membawa keselamatan dunia dan di akhirat. Ash-Shiraathul-Mustaqiim adalah jalan kehidupan yang ditempuh Rasulullah dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum.
‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa ketika menjelaskan makna ash-shiraathul-mustaqiimberkata:
هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَاهُ "، قَالَ: فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلْحَسَنِ، فَقَالَ: "صَدَقَ وَاللَّهِ وَنَصَحَ وَاللَّهِ هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
“(Ash-shiraathul-mustaqiim) adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan para shahabatnya”. Perawi (yaitu ‘Aashim) berkata : “Kemudian kami menyebutkan hal tersebut kepada Al-Hasan (Al-Bashriy), lalu ia menjawab : ‘Ia benar, demi Allah, ia telah memberikan nasihat, demi Allah. (Ash-shiraathul-mustaqiim) adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, 2/259; dan ia menshahihkannya].
‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, bukan orang ecek-ecek jebolan STAIN atau Leiden, tapi ia adalah pakar tafsir yang direkomendasikan Nabi dengan doanya:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
Ya Allah, faqihkan ia dalam agama dan ajarkanlah ilmu ta’wil (tafsir) kepadanya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/266 & 1/314 & 1/335, Ibnu Hibbaan 15/531 no. 7055, dan yang lainnya; shahih[2]].
Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah adalah ulama besar generasi taabi’iin negeri Bashrah. Anak pesantren hampir semua tahu nama besar beliau.
Lantas mengapa dikatakan kehidupan Rasulullah dan para shahabatnya dulu dianggap sebagai jalan pertengahan (moderat) yang membawa kepada keselamatan ?. Tidak lain karena Nabi adalah orang yang paling tahu kebaikan yang diinginkan Allah bagi manusia, paling tahu maksud dan implementasi Al-Qur’an yang menjadi pedoman kehidupan manusia, dan paling kasih sayang terhadap orang-orang yang beriman. Allah telah menjadikan beliau sebagai sosok teladan sepanjang masa bagi orang-orang beriman.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].
Adapun para shahabat radliyallaahu ‘anhum secara komunitas, mereka adalah orang-orang pilihan yang telah Allah ridlai jalan kehidupannya sebagaimana dalam firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshaar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun ridla kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100].
Allah telah menegaskan mereka adalah golongan orang yang diridlai oleh-Nya, sudah pasti perikehidupan mereka adalah yang terbaik, meski secara individu (para shahabat) tidak lepas dari kekeliruan, dan mereka adalah orang yang paling cepat rujuk/taubat dari kekeliruan.
Kembali ke Surat Al-Fatihah ayat 6-7…
Ketika Allah memerintahkan kita memohon petunjuk agar dapat meniti ashi-shiraathul-mustaqiim, maka Allah memberikan clue bahwa jalan tersebut bukan jalan yang ditempuh dua golongan orang:
1.    (jalan) mereka yang dimurkai, yaitu Yahudi
2.    (jalan) mereka yang sesat, yaitu Nashara.
Dari salah seorang shahabat Nabi , ia meriwayatkan:
وَسَأَلَهُ رَجُلٌ مِنْ بُلْقِينٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: "هَؤُلَاءِ الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمْ "، فَأَشَارَ إِلَى الْيَهُودِ، فَقَالَ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: "هَؤُلَاءِ الضَّالُّونَ "يَعْنِي النَّصَارَى
Ada seorang laki-laki dari Bulqiin yang bertanya kepada Nabi : “Wahai Rasulullah, siapakah mereka ?”. Beliau menjawab : “Mereka adalah al-maghdluub ‘alaihim (orang-orang yang dimurkai)”. Lalu beliau berisyarat kepada Yahudi. Laki-laki itu kembali bertanya : “Siapakah mereka ?”. Beliau menjawab : “Mereka adalah adl-dlaalluun(orang-orang yang sesat)” - yaitu Nashara [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/77; shahih].
Dalam riwayat ‘Adiy bin Haatim, Nabi bersabda:
فَإِنَّ الْيَهُودَ مَغْضُوبٌ عَلَيْهِمْ وَإِنَّ النَّصَارَى ضُلَّالٌ
“Sesungguhnya Yahudi adalah maghdluubun ‘alaihim (orang-orang yang dimurkai), sedangkan Nashara adalah dlullaal(orang-orang yang sesat)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2954 dan dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/183].
Yahudi disebut sebagai orang-orang yang dimurkai karena mereka melakukan tafriith (peremehan). Mereka mengetahui kebenaran, namun:
1.    Enggan mengerjakannya.
Allah ta’ala berfirman:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” [QS. Al-Baqarah : 44].
2.    Menutupinya.
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 146].
3.    Mengubah-ubahnya.
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا
"Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa’ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis" [QS. An-Nisaa' : 46].
4.    Menentangnya
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
Dan setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu” [QS. Al-Baqarah : 86].
5.    Memusuhinya (kebenaran) dan orang-orang yang berpegang kepadanya.
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
Lalu ditimpakanlah kepada mereka (orang-orang Yahudi) nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas” [QS. Al-Baqarah: 61].
Inilah karakter-karakter Yahudi yang banyak dicela dalam Al-Qur’an.
Adapun Nashara disebut sebagai orang-orang sesat, karena mereka berani beramal tanpa ilmu dan berbicara tentang Allah dengan sesuatu yang mereka tidak ketahui. Lihatlah bagaimana kelancangan mereka dalam:
1.    Mempertuhankan ‘Iisaa
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?" Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib” [QS. Al-Maaidah : 116].
2.    Membuat-buat konsep Trinitas
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih” [QS. Al-Maaidah : 73].
3.    Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal
Ini adalah konsep beragama yang lahir dari buah pikir para pendeta/rahib mereka, sebagaimana firman Allah ta’ala:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” [QS. At-Taubah : 31].
Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang ayat ini : “Apakah mereka (orang-orang Nashara) menyembah (shalat) kepada mereka (para pendeta/rahib) ?. Ia (Hudzaifah menjawab:
لا، وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا يُحِلُّونَ لَهُمْ مَا حُرِّمَ عَلَيْهِمْ، فَيَسْتَحِلُّونَهُ، وَيُحَرِّمُونَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَهُمْ، فَيُحَرِّمُونَهُ، فَصَارُوا بِذَلِكَ أَرْبَابًا
“Tidak, akan tetapi mereka (para pendeta/rahib) menghalalkan apa yang diharamkan Allah atas mereka, dan kemudian orang-orang Nashara itu juga menghalalkannya. Dan mereka (para pendeta/rahib) mengharamkan apa yang dihalalkan Allah atas mereka, dan kemudian orang-orang Nashara itu juga mengharamkannya. Maka dengan sebab itu para pendeta/rahib itu seperti rabb-rabb (bagi orang Nashara)” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 1325, ‘Abdurrazzaaq dalam Tafsiir-nya no. 1073, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 10/116 no. 20351 dan dalam Al-Madkhal no. 258-259; shahih].
‘Islam Arab’ yang dibawa Nabi memberi tatanan kehidupan yang sempurna, paripurna, dan pertengahan (moderat) antara dua karakter jelek Yahudi dan Nashara di atas. Yaitu : mengamalkan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya , berhenti dari apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya , tidak membuat aturan/syari’at baru dan/atau yang bertentangan dengan aturan/syari’at Allah dan Rasul-Nya , mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya , serta membenci apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya . Apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sudah pasti baik dan memberikan kemaslahatan bagi manusia. Allah ta’ala yang menciptakan manusia dan Ia lebih tahu kebaikan hakiki yang bermanfaat bagi umat manusia.
Inilah diantara sifat pertengahan (moderat) ‘Islam Arab’.
‘Islam Arab’ mengajarkan sikap pertengahan (moderat) dalam takfir.[3]Tidak bermudah-mudah dalam mengkafirkan kaum muslim yang berbuat dosa, namun sebaliknya; (harus) tidak ragu dan pelo untuk mengatakan kafir orang yang jelas-jelas kekafirannya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ"
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah pernah bersabda : “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya ‘wahai kafir’, sungguh akan kembali pada salah seorang di antara keduanya. Apabila saudaranya itu seperti yang ia katakan (yaitu kafir), maka perkataan itu akan tertuju padanya. Jika tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada pengucapnya[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6104 dan Muslim no. 60].
Seandainya pun ada orang yang (secara dhahir) melakukan perbuatan kekufuran – seperti misal minta tolong ke dukun, ber-istighatsah kepada orang shalih yang telah mati, dan yang lainnya – tidak boleh langsung dikafirkan sebelum terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang berbagai penghalangnya.[4] Namun demian, tidak juga berkonsekuensi kita jadi anti takfir. Orang yang jelas dikafirkan Allah dan Rasul-Nya harus kita katakan kafir seperti orang kafir asli yang tidak pernah masuk agama Islam dari kalangan Yahudi[5], Nashrani[6], orang-orang musyrik[7], Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, Tao, dan yang semisalnya yang kekufurannya ditegaskan Allah dan Rasul-Nya tanpa ada perselisihan. Begitu juga atheis dan orang murtad yang menyatakan dirinya keluar dari agama Islam menjadi selain Islam, harus kita nyatakan kafir juga.[8]
Jangan seperti contoh kasus Pilkada DKI tempo hari dimana ada segerombolan manusia yang tidak rela dan tidak mau mengatakan Ah*k kafir. Gimana tidak kafir, lha wong dianya sendiri mengaku tidak beragama Islam serta tidak mau mengatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya . KBBI sudah menjelaskan definisi ‘kafir’:
ka.fir
n orang yang tidak percaya kepada Allah Swt. dan rasul-Nya[9]
Alhamdulillah, para pakar bahasa kita di Kemendikbud lebih jernih pikirannya daripada gerombolan tersebut.
Inilah ajaran ‘Islam Arab’ yang sangat masuk akal dan sangat ilmiah. Pertengahan (moderat) antara dua sekte sampah : Khawaarij yang mudah sekali mengkafirkan dan Murji’ah yang tidak mau mengkafirkan.
Jangan karena adanya fakta ekstrimitas ISIS (yang kebetulan media kita senang sekali mem-blow up-nya) – kelompok minoritas Islam – digunakan untuk generalisasi sifat bagi seluruh kaum muslimin. Saya yakin, banyak orang Kristen tidak senang agama mereka direpresentasikan oleh Ku Klux Klan (KKK) dan Army of God (AOG).
‘Islam Arab’ mengajarkan sikap pertengahan (moderat) dalam masalah muamalah terhadap para pemimpin muslim. Taat kepada mereka hanya dalam perkara yang ma’ruuf dan tidak bertentangan dengan syari’at dalam rangka mewujudkan persatuan, stabilitas, dan kemaslahatan yang lebih besar. Ssenantiasa sabar atas kedhaliman mereka dan menasihati mereka dalam kebaikan.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Nabi bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2955 & 7144, Muslim no. 1839, At-Tirmidziy no. 1707, dan Ibnu Majah no. 2864].
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf (kebajikan)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7257, Muslim no. 1840; Abu Dawud no. 2625; dan lain-lain].
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat – AbuAl-Jauzaa’). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl”  [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7057 dan Muslim no. 1845].
الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ، وَعَامَّتِهِمْ
Agama adalah nasihat”. Kami bertanya : “Untuk siapa ?”. Beliau menjawab : “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 55].
Pertengahan antara sikap:
1.    ‘Menjilat’ dan ABS (Asal Bapak Senang)
Nabi bersabda:
إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نُقَاتِلُهُمْ، قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا، أَيْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ
Akan diangkat para penguasa untuk kalian. Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau mengingkarinya (karena ia telah berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas diri (darinya). Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, (lain halnya dengan) orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut. Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat”. Yaitu barangsiapa yang membenci dan mengingkari dengan hatinya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1854].
Oleh karena itu, tidak boleh menyebarkan hoax - meski membangun – dalam rangka menjilat asal bapak senang, serta membenarkan dan mendukung kebijakan pemimpin/pemerintah yang merugikan kaum muslimin.
2.    Konfrontatif, provokatif, dan waton suloyo (asal beda).
Bahasa politik asal beda dan harus jadi opisisi ketika tidak kebagian roti sudah menjadi trend di negara kita. Sudah buncit perut rakyat kenyang tersumpal aksi teatrikal para pelawak. Sebagian orang lebih suka menggunakan bahasa provokatif yang menyulut kemarahan dan aksi masyarakat. Setiap rezim pemerintahan seakan dijadikan common enemy. Tinggal menunggu giliran, siapa yang dilawan dan yang melawan.
Sungguh, seandainya kita mampu menahan diri dan senantiasa berdoa dengan doa yang diucapkan Nabi Ibraahiim ‘alaihis-salaam:
رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Wahai, Rabbku, jadikanlah negeri ini negeri aman sentausa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian” [QS. Al-Baqarah : 126]
dan berdoa:
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ
“Ya Allah, jadikanlah pemimpin kami orang yang baik. Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka, bagi Islam, dan kaum muslimin. Ya Allah, bantulah mereka untuk menunaikan tugasnya, sebagaimana yang Engkau perintahkan, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah mereka dari teman dekat yang jelek dan teman yang merusak. Juga dekatkanlah orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang baik kepada mereka, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jadikanlah pemimpin kaum muslimin sebagai orang yang baik, di mana pun mereka berada”
niscaya lebih baik.
Jadi, ajaran ‘Islam Arab’ yang tertera dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan penjelasan para ulama Ahls-Sunnah dari mulai generasi salaf hingga khalaf sudah sangat memadai. Benar, tepat, akurat, dan solutif.
Kemudian masalah ‘rahmah’. Katanya, islAm NUSantara adalah bentukan Islam yang penuh kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama.
Yang jadi pertanyaan saya : Apakah selama ini ‘Islam Arab’ yang dibawa Nabi serta yang dipraktekkan para shahabat dan para ulama - yang notabene mereka orang Arab - kurang menggambarkan ajaran ‘rahmah’ alias kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama yang dimaui islAm NUSantara?. Bener dah…. pingin ketawa saya membaca ajaran islAm NUSantara yang ini ….
Saya contohkan beberapa gambaran ‘rahmah’ yang diajarkan dan dipraktekkan Nabi Muhammad - yang berasal dari Arab – agar diteladani kaum muslimin secara universal baik di Timur dan di Barat:
1.    Kasih sayang kepada binatang saat menyembelih
Diantara bentuk ‘rahmah’ atau kasih sayang tersebut menjauhkan pandangan hewan sembelihan ketika menajamkan pisau.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى رَجُلٍ وَاضِعٍ رِجْلَهُ عَلَى صَفْحَةِ شَاةٍ وَهُوَ يُحِدُّ شَفْرَتَهُ وَهِيَ تَلْحَظُ إِلَيْهِ بِبَصَرِهَا، فَقَالَ: "أَفَلا قَبْلَ هَذَا تُرِيدُ أَنْ تُمِيتَهَا مَوْتَتَيْنِ
Dari Ibnu ’Abbaas, ia berkata : ”Rasulullah melewati seorang laki-laki yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Maka beliau berkata : ‘Apakah sebelum ini engkau hendak mematikan dengan dua kali?” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 3590 dan dalam Al-Kabiir 11/332-333 no. 11916HR. Al-Baihaqiy 9/280 no. 19141, dan Al-Haakim 4/231 & 4/233; shahih].
Konsep ‘rahmah’ dalam adab penyembelihan yang mungkin banyak tidak diketahui para pegiat islAm NUSantara.
2.    Mengutamakan kebutuhan orang lain daripada diri sendiri.
Allah ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” [QS. Al-Hasyr : 9].
Ayat ini mempunyai sababun-nuzuul-nya, sebagaimana diceritakan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu:
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ، فَقُلْنَ: مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا "، فَقَالَ: رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ، فَقَالَ: أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَتْ: مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي، فَقَالَ: هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً، فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا، ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ، فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ، فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: "ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا "، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi , lalu beliau menghubungi istri-istri beliau. Mereka berkata : "Kami tidak punya apa-apa selain air". Lalu Rasulullah bersabda (kepada para shahabat) : "Siapakah yang mau mengajak atau menjamu orang ini?". Maka ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar yang berkata : "Aku". Kemudian shahabat Anshar itu pulang bersama laki-laki tadi menemui istrinya lalu berkata : "Muliakanlah tamu Rasulullah ini". Istrinya berkata : "Kita tidak memiliki apa-apa kecuali sepotong roti untuk anakku". Shahabat Anshaar itu berkata : “Suguhkanlah makananmu itu lalu matikanlah lampu dan tidurkanlah anakmu". Ketika mereka hendak menikmati makan malam, maka istrinya menyuguhkan makanan itu lalu mematikan lampu dan menidurkan anaknya. Lalu ia berdiri seakan hendak memperbaiki lampunya, lalu dimatikannya kembali. Suami-istri tersebut hanya menggerak-gerakkan mulutnya (seperti mengunyah sesuatu) seolah keduanya ikut menikmati hidangan. Kemudian keduanya tidur dalam keadaan lapar karena tidak makan malam. Ketika pagi harinya, pasangan suami istri itu menemui Rasulullah . Beliau bersabda : "Malam ini Allah tertawa atau terkagum-kagum atas apa yang kalian berdua lakukan". Kemudian Allah menurunkan firman-Nya : “Dan mereka lebih mengutamakan orang lain (Muhajirin) dari pada diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr : 9) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3798 & 4889].
Akhlaq dan keikhlasan orang Anshaar ini tidak akan dapat disamai pegiat islAm NUSantara dimanapun. Sifat kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama yang dipersaksikan Allah di atas langit.
Please, jangan disamakan dengan acara bagi-bagi sembako dalam kresek yang diberi foto dua orang sambil dikasih stiker bertulis : ‘Adil, Merakyat, Kasih Sayang, dan Peduli terhadap Sesama’. Jauh sekali antara dasar bumi dan langit ketujuh.
3.    Memperhatikan dan peduli terhadap tetangga
Memberikan makanan kepada tetangga kafir:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّهُ ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ، فَجَعَلَ يَقُولُ لِغُلامِهِ: أَهْدَيْتَ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ ؟ أَهْدَيْتَ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ "
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru : Bahwasannya ia pernah disembelihkan kambing untuknya. Lalu ia berkata kepada pembantunya : “Sudahkah engkau hadiahkan kepada tetangga Yahudi kita ? Sudahkah engkau hadiahkan kepada tetangga Yahudi kita ? Aku mendengar Rasulullah bersabda : ‘Jibriil senantiasa berwasiat kepadaku terhadap tetangga, hingga aku mengira mereka akan mewarisinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 105 dan At-Tirmidziy no. 1943; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad hal. 66].
Menjenguk tetangga kafir yang sedang sakit:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ ﷺ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ ﷺ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ، وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ ﷺ فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ ﷺ وَهُوَ يَقُولُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ "
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Ada anak laki-laki Yahudi yang bekerja membantu Nabi sedang sakit. Maka Nabi datang menjenguknya. Lalu beliau duduk di dekat kepalanya seraya bersabda : “Masuk Islamlah”. Anak laki-laki memandang bapaknya yang kebetulan ada di dekatnya. Lalu bapaknya tersebut berkata : "Taatilah Abul-Qaasim ”. Maka anak laki-laki itu pun masuk Islam. Setelah itu Nabi keluar dan mengucapkan : "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1356, Abu Daawud no. 3095, Ahmad 3/175, dan yang lainnya].
Menerima titipan orang kafir dan menjaganya dengan penuh amanat.
Saat di Makkah, Rasulullah banyak dititipi barang oleh orang-orang kafir. Mereka percaya karena sifat amanah beliau - dan beliau adalah orang Arab – . Ketika hendak hijrah ke Madiinah, maka beliau menyuruh ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu mengembalikan semua barang titipan yang ada pada beliau kepada pemiliknya masing-masing [Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyaam 2/142 dan Ath-Thabariy dalam Taariikh-nya 2/378 – melalui perantaraan As-Siirah An-Nabawiyyah fii Dlauil-Mashaadiril-Ashliyyah hal. 268]. Nabi melarang segala bentuk khianat, termasuk khianat dalam masalah titipan:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakannya kepadamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1264 dan Abu Daawud no. 3535; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/36].
4.    Kasih sayang terhadap tawanan perang
Sedikit diantara banyak yang dapat dicontohkan adalah memberi mereka (para tawanan) makan dan pakaian.
Allah  berfirman:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan” [QS. Al-Insaan : 8].
عَنْ أَبِي رَزِينٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ فَمَرَّ عَلَيْهِ أُسَارَى مِنَ الْمُشْرِكِينَ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَتَصَدَّقَ عَلَيْهِمْ، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ: وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Dari Abu Raziin, ia berkata : “Aku pernah bersama Syaqiiq bin Salamah. Lalu ada beberapa orang tawanan dari kalangan musyrikin melewatinya. Ia pun memerintahkanku agar bershadaqah kepada mereka, kemudian ia membaca ayat : ‘Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan’ (QS. Al-Insaan : 8)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/68 no. 10494].
عَنْ جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: "لَمَّا كَانَ يَوْمَ بَدْرٍ أُتِيَ بِأُسَارَى، وَأُتِيَ بِالْعَبَّاسِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ ثَوْبٌ، فَنَظَرَ النَّبِيُّ ﷺ لَهُ قَمِيصًا فَوَجَدُوا قَمِيصَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ يَقْدُرُ عَلَيْهِ فَكَسَاهُ النَّبِيُّ ﷺ إِيَّاهُ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Ketika terjadi perang Badr, para tawanan perang didatangkan dan diantaranya Al-'Abbaas yang tidak mengenakan pakaian. Kemudian Nabi memandang perlu dicarikan baginya gamis (baju), lalu mereka (para shahabat) pun mendapatkan gamis 'Abdullah bin Ubay yang cocok buat ukuran badannya. Kemudian Nabi memberikan gamis tersebut kepadanya (Al-'Abbaas)….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3008].
Beliau juga melarang memisahkan antara antara ibu dan anak yang ditawan.
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ: أَنَّ أَبَا أَيُّوبَ كَانَ فِي جَيْشٍ فَفُرِّقَ بَيْنَ الصِّبْيَانِ وَبَيْنَ أُمَّهَاتِهِمْ، فَرَآهُمْ يَبْكُونَ، فَجَعَلَ يَرُدُّ الصَّبِيَّ إِلَى أُمِّهِ.وَيَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا، فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْأَحِبَّاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ "
Dari Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hubuliy : Bahwasannya Abu Ayyuub pernah berada dalam sebuah pasukan. Ada anak-anak yang dipisahkan dengan ibu-ibu mereka. Ia (Abu Ayyuub) melihat anak-anak tersebut menangis, sehingga mengembalikan masing-masing ke ibunya seraya berkata : “Rasulullah pernah bersabda : ‘Barangsiapa yang memisahkan apntara anak dengan orang tuanya, niscaya Allah akan memisahkannya dengan orang-orang yang ia cintai pada hari kiamat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1283 & 1566, Ad-Daarimiy no. 2522, dan Ahmad 5/414; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/45].
5.    Dan lain-lain.
Saya kira akan terlalu banyak untuk menyebutkan kebaikan Islam asli (baca : ‘Islam Arab’) yang diajarkan Nabi . Jika di atas dicontohkan bagaimana baiknya muamalah Nabi dan para shahabat radliyallaahu ‘anhum terhadap orang kafir, maka terhadap orang Islam (muslim) terlebih lagi.  [10]
Semua terbingkai dalam ayat :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِي
 Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Fath : 29].
Selagi orang-orang kafir tidak berbuat aniaya kepada kita, maka kita dilarang berbuat aniaya terhadap mereka. Kita diperbolehkan bermuamalah dan berbuat baik kepada mereka dalam urusan dunia.
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tidak melarangkamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].
Meski demikian, kita tetap harus membenci mereka karena kekafiran mereka, serta tidak boleh menjadikan mereka pemimpin dan teman dekat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” [QS. An-Nisaa’ : 144].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 51].
Bagi mereka yang berlaku aniaya atau dhalim, seperti kelakuan Yahudi Israel, harus tegas, nggak boleh cengengas-cengenges dan cengar-cengir menjilat untuk riuh tepuk tangan audiens dan akomodasi PP.
Al-walaa’ dan al-baraa’harus tetap jelas.[11]
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka” [QS. Al-Mujaadilah : 22].
Semua aturan ini bukan buatan orang Arab, akan tetapi buatan Allah , Tuhan yang menciptakan manusia, yang kelak akan memasukkan mereka ke dalam surga atau neraka. Barangsiapa yang mematuhi aturan-Nya, akan masuk surga; sebaliknya barangsiapa yang berpaling dari aturan-Nya, akan masuk neraka. Begitu simple….
Apakah agama Islam perlu di-reinterpretasi sesuai RPJMN 2014-2019, renstra Kemenag, kurikulum utan kayu[12], atau ide islAm NUSantara ? Tentu tidak, karena agama Islam sudah sempurna, lengkap, dan paripurna. Allah ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
Mengomentari ayat di atas, Ibnu Katsiir rahimahullahberkata:
هذه أكبر نعم الله ، عز وجل، على هذه الأمة حيث أكمل تعالى لهم دينهم ، فلا يحتاجون إلى دين غيره، ولا إلى نبي غير نبيهم، صلوات الله وسلامه عليه؛ ولهذا جعله الله خاتم الأنبياء، وبعثه إلى الإنس والجن، فلا حلال إلا ما أحله، ولا حرام إلا ما حرمه، ولا دين إلا ما شرعه
“Ini adalah nikmat Allah ‘azza wa jallayang paling besar terhadap umat ini ketika Allah ta’ala menyempurnakan bagi mereka agama mereka. Maka, mereka tidak lagi butuh kepada agama selain Islam, tidak butuh nabi selain nabi mereka (yaitu Muhammad shalawaatullahu wa salaamuhu ‘alaih). Oleh karena itu, Allah menjadikan beliau sebagai penutup para nabi serta mengutus beliau kepada manusia dan jin, sehingga tidak ada kehalalan kecuali apa yang dihalalkannya, tidak ada keharaman kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali apa yang disyari’atkan olehnya” [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/26].
Rasulullah sudah menjelaskan segala sesuatu yang dapat mendekatkan manusia ke surga dan menjauhkan mereka dari neraka. Baik ‘aqidah, ibadah, muamalah, adab/akhlaq, dan semua hal yang terdefinisi masuk dalam perkara agama (syari’at).
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ: فَقَالَ ﷺ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Dari Abu Dzarr, ia berkata : “Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tudak ada burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Lalu Nabi bersabda : ‘Tidak tersisa sesuatupun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir2/155-156 no. 1647; sanadnya shahih].
Jika ada ribut-ribut saling klaimkebenaran, maka kembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Mengembalikan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman dan praktek di zaman Nabi dan para shahabat masih hidup. Nabi bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ.....
“Karena siapa saja di antara kalian yang hidup setelahku akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Wajib atas kalian berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Peganglah erat dan gigitlah ia dengan gigi geraham….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, Ahmad 4/126-127, dan yang lainnya; shahih].
Beliau juga bersabda:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَاللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu (yang masuk surga)”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Haakim 1/218-219, Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 85, Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah1/127-128 no. 23-24, dan yang lainnya].
Dalam riwayat lain:
مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“Siapa saja yang berada di atas jalan yang aku dan para shahabatku berada di atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir 2/29-30 no. 724 dan Al-Ausath 5/137 no. 4886].
Karena di masa mereka lah Islam yang murni sepanjang zaman eksis. Apabila ada yang keliru dalam memahami ayat, maka Allah dan/atau Rasul-Nya akan segera mengoreksinya dengan ayat ataupun sunnah (hadits). Oleh karena itu, merekalah (para shahabat) generasi terbaik dalam Islam. Nabi bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik ummatku adalah yang orang-orang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3650, Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17, Ahmad 4/426-427, dan Abu Dawud no. 4657].
Jadi jangan sampai ada yang bilang :
a.    Makna jilbab harus direinterpretasi sesuai dengan kearifan lokal. Cukup pakai handuk 15 ribuan yang ditaruh di kepala, itu sudah dikatakan jilbab.
b.    Keharaman riba mesti ditinjau kembali karena ada kebutuhan investasi. Haramnya jika berlebihan atau tanpa ada kerelaan orang yang berhutang.
c.    Pemahaman kebencian Islam terhadap orang-orang kafir dan kekafirannya sudah selayaknya disingkirkan untuk memantapkan kebhinekaan.
d.    Syari’at Islam dan pengamalannya 1400 tahun yang lalu (oleh Nabi dan para shahabatnya) di sejengkal tanah purba – katanya – sudah tidak relevan, dan orang yang ingin menerapkan Islam secara kaaffah dianggap tidak waras.
e.    Dan semisalnya
Semua ini adalah perkataan kufur yang dapat mengeluarkan seseorang dari wilayah Islam.
Setelah sedikit kita tuliskan pemahaman ‘Islam Arab’, ternyata memang induknya dari Nabi dan para shahabat. Ajaran Islam itu sendiri, Islam yang universal. Islam yang dipahami para ulama Ahlus-Sunnah di seluruh penjuru dunia. Penyebutan ’Islam Arab’ hanyalah cara pendikotomian syari’at Islam oleh segelintir orang idiot yang mengatasnamakan Islam. Tak ada konsep Islam secara geografis.
Saya khawatir, penyebutan ‘Islam Arab’ ini muncul karena ada angapan Islam (baca : Arab) ‘menginvasi’ Nusantara seperti mirip cerita orang-orang Majapahit yang merasa diinvasi orang-orang Islam (lalu lahirlah Mataram Islam) sehingga mereka berhijrah menepi ke wilayah Dieng, Bromo, Semeru, dan Bali untuk mempertahankan agama dan budaya mereka. Seandainya benar demikian, konsep Islam geografis Indonesia – yaitu islAm NUSantara – dikhawatirkan justru ingin menghidupkan kembali budaya klenik dan pagan yang memang dulunya menjadi platform budaya Nusantara dengan baju Islam. Bahaya banget gan !!
So, para pegiat islAm NUSantara yang menyuarakan sentiment anti Arab (baik langsung maupun tidak langsung) dengan jargon-jargon menghidupkan budaya lokal, jangan nanggung-nanggung lah yang ujungnya cuma bikin marah umat Islam. Bikin saja yang lebih jelas. Lebaran jangan pakai penanggalan Islam, pakai saja penanggalan Masehi. Pilih 17 Agustus misalnya, pas hari kemerdekaan RI dan lomba makan krupuk. Pasti ramai. Buka puasa, makanlah petai dan jengkol yang asli spesies Indonesia – bukan kurma, makanan Arab. Setelah penciptaan tilawah Al-Qur’an langgam Jawa, apa nggak sekalian dicoba pembacaan serat Darmo Gandhul dengan nada ala murattal Su’uud Asy-Syuraim dan Misyari Rasyid Al-‘Affasiy biar semakin nge-blend ajaran gado-gadonya?. Hewan kurban, carilah yang murah meriah yang banyak tersedia di masyarakat kita : ayam kampung, lebih legit. Shalat dengan bahasa daerah, yang penting artinya sama. Muatan lokal (mulok). Dan lain-lain. Biar nanti lebih jelas garis pembeda antara ajaran islAm NUSantara dengan Islam yang dibawa Nabi yang notabene orang Arab.
Btw,…. sudah cukup untuk sementara sebagian uneg-uneg dituliskan.
Pesan saya, jauhi paham islAm NUSantara dan orang-orangnya. Doakan saja agar mereka mendapat hidayah, atau kalau tidak, kita berdoa agar kita dapat beristirahat dari gangguan mereka.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – 3 Syawwaal 1439 H di Ciper].



[1]   Sebagaimana kicauan Twitter-nya tertanggal 14 Juni 2018.
[2]   Takhrij selengkapnya dilakan baca artikel : Shahih Atsar Ibnu ‘Abbas.
[3]   Mumpung lagi hangat (kembali) masalah takfir pasca bom pra-Ramadlaan di Jawa Timur dan beberapa tempat lainnya dari kaum ekstrimis Islam (baca : Khawaarij).
[4]   Silakan baca artikel Kaidah-Kaidah dalam Pengkafiran.
[5]     Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
[6]     Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam" [QS. Al-Maaidah : 17].
[7]     Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” [QS. Al-Bayyinah : 6].
[8]   Silakan baca : Mengkafirkan Orang Kafir.
Semoga smartphone mereka segera diinstal aplikasi KBBI. Sia-sia HP berlabel smartphone, jika pemiliknya tidak smart.
[10]  Bagaimana menurut Anda jika dibandingkan gerakan kasih sayang pasukan akar rumput : bubarkan pengajian dan siap jaga gereja ?
[11]  Silakan baca artikel : Al-Walaa’ wal-Baraa’ dalam Islam.
[12]  Islam Liberal.


Tashniifun-Naas

$
0
0

Tashniifun-Naasyang dimaksudkan di sini adalah pengklasifikasian manusia dengan menisbatkan seorang pelaku bid’ah kepada kebid’ahannya, menisbatkan pendusta kepada kedustaannya, dan yang semisalnya. Bab ini sangat terkait dengan al-jarh wat-ta’diil yang diamalkan para ulama dari generasi ke generasi tanpa ada pengingkaran. Tashniif merupakan bagian dari agama yang kita beragama di atasnya.
Barangsiapa dikenal dengan bid’ah qadar, maka dikatakan kepadanya ‘qadariy. Barangsiapa dikenal dengan bid’ah Khaawarij, maka dikatakan kepadanya Khaarijiy; Murji’ah dikatakan Murji’; Raafidlah dikatakan Raafidliy, Mu’tazilah dikatakan Mu’taziliy, Asy’ariyyah dikatakan Asy’ariy, dan seterusnya. Nabi telah bersabda:

إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ، إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Sesungguhnya Bani Israaiil terpecah menjadi 71 golongan/kelompok. Dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 72 golongan kelompok yang semuanya akan masuk neraka kecuali satu saja, yaitu Al-Jamaa’ah (Ahlus-Sunnah)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 3993, Ahmad 3/120 & 3/145, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 12/337-338 no. 6214, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Ibni Maajah 3/308].
Dalam hadits ini terdapat dalil keberadaan kelompok-kelompok yang menyimpang dalam Islam. Kelompok-kelompok tersebut tidaklah tergambar wujudnya kecuali dengan keberadaan orang yang mempunyai ‘aqidah yang merepresentasikan penyimpangan/kebid'ahan masing-masing kelompok. Rasulullah sendiri telah menyebutkan penamaan kelompok-kelompok tersebut dalam beberapa hadits. Maka, setiap orang yang beragama dengan ‘aqidah masing-masing kelompok ini, dinisbatkan kepadanya. Dari sinilah tashniifun-naas tegak.
Contoh:
1.    Qadariyyah
Nabi bersabda:
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تَشْهَدُوهُمْ
Al-Qadariyyah adalah majusi umat ini. Apabila mereka sakit, jangan kalian tengok, dan apabila mereka meninggal, jangan engkau hadiri jenazahnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4691; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/143].
Qadariyyah, individu mereka disebut qadariy. Nabi  menisbatkan sebagian umatnya yang akan muncul sepeninggal beliau kepada bid’ah qadar(Qadariyyah). Beliau mengklasifikasikan berdasarkan kebid’ahan mereka, yaitu pengingkaran terhadap qadar.  Oleh karena itu, para ulama sepeninggal beliau senantiasa memperingatkan umat tentang keberadaan mereka dan menasihati agar menjauhi mereka.
عَنْ طَاوُسٍ، قَالَ: ذَكَرْتُ الْقَدَرِيَّةَ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: "هَاهُنَا مِنْهُمْ أَحَدٌ؟ "فَقُلْتُ: لَوْ كَانَ مَا كُنْتَ تَصْنَعُ؟ قَالَ: "كُنْتُ آخُذُ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ أَقْرَأُ عَلَيْهِ آيَةَ كَذَا وَكَذَا ".قَالَ طَاوُسٌ: فَتَمَنَّيْتُ أَنَّ كُلَّ قَدَرِيٍّ كَانَ عِنْدَنَا
Dari Thaawus, ia berkata : “Aku menyebutkan qadariyyah di sisi Ibnu ‘Abbaas, lalu ia berkata : ‘Apakah di sini ada salah seorang di antara mereka ?’. Aku katakan : ‘Seandainya ada, apa yang akan engkau lakukan ?’. Ibnu ‘Abbaas berkata : ‘Akan aku pegang kepalanya, kemudian aku bacakan kepadanya ayat ini dan itu’. Thaawus berkata : “Maka aku berharap setiap orang qadariy ada di sisi kami” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Qadlaa’ wal-Qadar hal. 753-754 no. 397; shahih].
عَنْ مُعَاذ بْن مُعَاذٍ، قَالَ: "صَلَّيْتُ خَلْفَ رَجُلٍ مِنْ بَنِي سَعْدٍ، ثُمَّ بَلَغَنِي أَنَّهُ قَدَرِيُّ، فَأَعَدْتُ الصَّلاةَ بَعْدَ أَرْبَعِينَ سَنَةً، أَوْ ثَلاثِينَ سَنَةً "
Dari Mu’aadz bin Mu’aadz, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang laki-laki Bani Sa’d. Kemudian sampai kepadaku bahwa dirinya seorang qadariy. Maka aku ulangi shalatku tersebut setelah 40 atau 30 tahun (kemudian)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah 2/386 no. 839; shahih].
عَنْ عَمْرو، قَالَ لَنَا طَاوُسٌ: "أَخْزُوا مَعْبَدًا الْجُهَنِيَّ فَإِنَّهُ قَدَرِيٌّ "
Dari ‘Amru : Thaawus berkata kepadaku : “Aku hinakan/rendahkan Ma’bad Al-Juhhaniy, karena ia seorang qadariy” [idem, 2/390 no. 847; shahih].
عَنْ مَرْوَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ الطَّاطَرِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، يُسْأَلُ عَنْ تَزْوِيجِ الْقَدَرِيِّ، فَقَرَأَ: وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
Dari Marwaan bin Muhammad Ath-Thaathariy, ia berkata : Aku mendengar Maalik bin Anas ditanya tentang pernikahan seorang qadariy, maka ia membaca ayat ‘Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik’ (QS. Al-Baqarah : 221)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 198; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Dhilaalul-Jannah 1/88].
عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، قَالَ: أَنَا رَأَيْتُ غَيْلَانَ يَعْنِي الْقَدَرِيَّ مَصْلُوبًا عَلَى بَابِ دِمَشْقَ
Dari Ibnu ‘Aun, ia berkata : “Aku melihat Ghailaan Al-Qadariy[1]disalib di pintu Damaskus” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid ‘alal-Musnad 2/109; shahih].
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الأَسْوَدِ، قَالَ: قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ: يَا أَبَا الْحَجَّاجِ، أَشَعَرْتَ أَنَّ وَهْبًا مَوْلَى سَلامَةَ قَدَرِيُّ ؟ قَالَ: ثُمَّ رَآنِي بَعْدَ ذَلِكَ مَعَهُ، قَالَ: ثُمَّ لَقِيتُ مُجَاهِدًا، فَإِذَا هُوَ كَالْمُعْرِضِ عَنِّي، قَالَ: "أَلَيْسَ قُلْتَ وَهْبٌ قَدَرِيُّ، ثُمَّ رَأَيْتُكَ مَعَهُ
Dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad, ia berkata : Aku berkata kepada Mujaahid : “Wahai Abul-Hajjaaj, apakah engkau menyadari bahwa Wahb maulaa Salaamah itu qadariy ?”. Beberapa waktu kemudian ia melihatku bersama dengannya (Wahb). Lalu suatu hari aku bertemu dengan Mujaahid yang seakan-akan ia menghindariku. Mujaahid berkata : “Bukankah dulu engkau berkata Wahb itu qadariy, kemudian aku melihatmu bersama dengannya” [Diriwayatkan oleh Al-Faryaabiy dalam Al-Qadar no. 404].
2.    Khawaarij[2]
Rasulullah bersabda:
الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ
Khawaarij adalah anjing-anjing neraka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 173, Ahmad 4/355 & 4/382, Ath-Thayaalisiy no. 860, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Ibni Maajah 1/75].
Dalam hadits ini beliau secara jelas menyebutkan nama sekelompok umatnya sebagai Khawaarij yang kelak menjadi anjing-anjing neraka. Orang yang beraqidah Khawaarij atau terjatuh pada bid’ah Khawaarij disebut Khaarijiy. Diantara pokok bid’ah ‘aqidah Khawaarij adalah pengkafiran para pelaku dosa besar dan penghalalan darah kaum kaum muslimin dengan sebab tersebut.
عَنْ عِيسَى بْنِ الْمُغِيرَةِ، قَالَ: خَرَجَ خَارِجِيٌ بِالسَّيْفِ بِخُرَاسَانَ فَأُخِذَ، فَكُتِبَ فِيهِ إِلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، فَكَتَبَ فِيهِ: "إِنْ كَانَ جَرَحَ أَحَدًا فَاجْرَحُوهُ، وَإِنْ قَتَلَ أَحَدًا فَاقْتُلُوهُ، وَإِلا فَاسْتَوْدِعُوهُ السِّجْنَ، وَاجْعَلُوا أَهْلَهُ قَرِيبًا مِنْهُ، حَتَّى يَتُوبَ مِنْ رَأْيِ السُّوءِ "
Dari ‘Iisaa bin Al-Mughiirah, ia berkata : Ada seorang khaarijiy memberontak angkat senjata di Khurasaan, lalu ia ditangkap. Dituliskan surat kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz tentangnya, lalu ia (‘Umar) menuliskan jawabannya: “Apabila ia melukai seseorang, lukailah ia (sebagai qishaash). Apabila membunuh seseorang, bunuhlah ia. Jika tidak, maka jebloskanlah ke dalam penjara dan taruh keluarganya dekat dengan dirinya, sampai ia bertaubat dari pandangan/pemikiran buruknya tersebut” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf10/118 no. 18576].
عَن الْمُعَلَّى بْن زِيَادٍ، قَالَ: قِيلَ لِلْحَسَنِ: يَا أَبَا سَعِيدٍ، خَرَجَ خَارِجِيٌّ بِالْخُرَيْبَةِ، فَقَالَ: الْمِسْكِينُ رَأَى مُنْكَرًا فَأَنْكَرَهُ، فَوَقَعَ هُوَ أَنْكَرَ مِنْهُ
Dari Al-Mu’allaa bin Ziyaad, ia berkata : Dikatakan kepada Al-Hasan (Al-Bashriy) : “Wahai Abu Sa’iid, seorang khaarijiy memberontak di Khuraibah”. Lalu ia berkata : “Seorang miskin melihat kemunkaran, lalu ia mengingkarinya. Kemudian ia terjatuh pada kemunkaran yang besar daripada yang diingkarinya” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 1/145 no. 150; sanadnya hasan].
Khawaarij disebut juga Haruuriyyah.
عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: "سَأَلْتُ عَائِشَةَ، فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ، تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ؟ فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ، قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ "
Dari Mu’aadzah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Aaisyah. Aku katakan : ”Bagaimana dengan wanita haidl, ia mengqadla puasa namun tidak mengqadla shalat?”. Aaisyah menjawab : ”Apakah kamu seorang Haruuriyyah (Khaawarij)?[3]”. Aku menjawab : ”Aku bukan Haruuriyyah, tapi aku sekedar bertanya”. Aisyah berkata : ”Kami pernah mengalami begitu. Lalu kami diperintahkan untuk mengqadla puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadla shalat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 335].
عَنْ عَاصِمٍ، قَالَ: كَانَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِذَا ابْتَدَأَ مَجْلِسَهُ، قَالَ: "لا يُجَالِسْنَا رَجُلٌ جَالَسَ شَقِيقًا الضَّبِّيَّ، وَلا يُجَالِسْنَا حَرُورِيٌّ، وَإِيَّايَ وَالْقُصَّاصَ إِلا أَبُو الأَحْوَصِ "
Dari ‘Aashim, ia berkata : Abu ‘Abdirrahmaan (As-Sulamiy) apabila memulai majelisnya, ia berkata : “Jangan bermajelis dengan kami orang yang bermajelis dengan Syaqiiq Adl-Dlabbiy, dan jangan bermajelis dengan kami orang haruuriy. Dan jauhilah kalian para pendongeng, kecuali Abul-Ahwash” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 4/192-193; sanadnya hasan].
3.    Murji’ah
Nabi bersabda:
مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا قَبْلِي قَطُّ فَاجْتَمَعَتْ لَهُ أُمَّتُهُ إِلا كَانَ فِيهِمْ مُرْجِئَةٌ وَقَدَرِيَّةٌ يُشَوِّشُونَ عَلَيْهِ أَمْرَ أُمَّتِهِ مِنْ بَعْدِهِ، أَلا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَعَنَ الْمُرْجِئَةَ وَالْقَدَرِيَّةَ عَلَى لِسَانِ سَبْعِينَ نَبِيًّا أَنَا آخِرُهُمْ
Allah tidak mengutus seorang nabi pun sebelumku lalu umatnya berkumpul untuknya, kecuali ada pada mereka kelompok Murji’ah dan Qadariyyah yang mengacaukan perkara umatnya sepeninggalnya. Ketahuilah, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla melaknat Murji’ah dan Qadariyyah melalui lisan tujuh puluh orang nabi dan aku yang terakhir dari mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 1219 (Al-Iimaan)  &  no. 1530 (Al-Qadar)– ini lafadh no. 1530; sanadnya hasan[4]].
Kelompok Murji’ah eksis sepanjang zaman dan para Nabi senantiasa memperingat keburukan mereka. Para ulama sepeninggal beliau mengklasifikasikan manusia yang terjatuh dalam bid’ah Murji’ah sebagai Murji’.
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الْمَرُّوذِيُّ، أَنَّ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، قِيلَ لَهُ مَنِ الْمُرْجِئُ؟ قَالَ: الْمُرْجِئُ الَّذِي يَقُولُ: الإِيمَانُ قَوْلٌ "
Dari Abu Bakr Al-Marruudziy : Bahwasannya pernah dikatakan kepadanya : “Siapakah Murji’itu ?”. Ia menjawab : “Murji’ adalah orang yang mengatakan iman adalah perkataan (saja)” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah 3/565 no. 960; shahih].
عَنْ مَحْمُود بْن غَيْلانَ أَبِي أَحْمَدَ، قَالَ: سَمِعْتُ مُؤَمَّلَ بْنَ إِسْمَاعِيلَ، يَقُولُ فِي غَيْرِ مَجْلِسٍ يُقْبِلُ عَلَيْنَا، أُحَرِّجُ عَلَى كُلِّ مُبْتَدَعٍ جَهْمِيٍّ، أَوْ رَافِضِيٍّ، أَوْ قَدَرِيٍّ، أَوْ مُرْجِئٍ سَمِعَ مِنِّيَ، وَاللَّهِ لَوْ عَرَفْتُكُمْ لَمْ أُحَدِّثْكُمْ
Dari Mahmuud bin Ghailaan Abu Ahmad, ia berkata : Aku mendengar Muammal bin Ismaa’iil di luar majelisnya berkata sambil menghadap kami : “Aku melarang setiap mubtadi’ dari kalangan jahmiy, raafidliy, qadariy, atau murji’mendengarkan (meriwayatkan) hadits dariku. Demi Allah, seandainya aku mengenal kalian (satu persatu), niscaya aku tidak meriwayatkan hadits kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah hal. 638 no. 1148; sanadnya shahih].
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ: كَانَ أَبُو حَنِيفَةَ مُرْجِئًا يَرَى السَّيْفَ
Dari Abu Ishaaq (Al-Fazzaariy), ia berkata : “Abu Haniifah seorang murji’ yang berpendapat bolehnya mengangkat pedang” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah hal. 207 no. 325; shahih].
4.    Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah paham yang dicetuskan oleh Waashil bin ‘Atha’ yang didukung ‘Amru bin ‘Ubaid. Bid’ah mereka berkembang hingga puncaknya adalah fitnah yang terjadi di masa Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Para ulama secara terang dan jelas menyebut kelompok Mu’tazilah dan yang berafiliasi dengan mereka sebagai Mu’taziliy. Keras pengingkaran para ulama kita sepanjang masa terhadap kelompok ini karena pengingkaran dan penolakan mereka terhadap nash.
عَنْ مُوسَى بْن دَاوُدَ، قَالَ: قَالَ لِي عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، "قَدِمَ عَلَيْنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ مُنْذُ نَحْوِ خَمْسِينَ سَنَةً، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ إِنَّ عِنْدَنَا قَوْمًا مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ يُنْكِرُونَ هَذِهِ الأَحَادِيثَ، قَالَ: فَحَدَّثَنِي بِنَحْو مِنْ عَشَرَةِ أَحَادِيثَ فِي هَذَا، وَقَالَ: أَمَّا نَحْنُ فَقَدْ أَخَذْنَا دِينَنَا عَنِ التَّابِعِينَ عَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَهُمْ عَمَّنْ أَخَذُوا "
Dari Muusaa bin Daawud, ia berkata : ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam pernah berkata kepadaku : "Syariik bin ‘Abdillah datang kepada kami sejak sekitar 50 tahun lalu. Aku berkata kepadanya : ‘Wahai Abu ‘Abdillah, di sisi kami ada satu kaum dari kalangan Mu’tazilah yang mengingkari hadits-hadits ini (yaitu hadits nuzuul– Abul-Jauzaa’)". 'Abbaad melanjutkan : "Lalu ia (Syariik) meriwayatkan sekitar 10 hadits tentang hal ini kepadaku, seraya berkata : 'Kami mengambil agama kami dari taabi’iin, dari para shahabat Rasulullah . Sedangkan mereka, dari mana (mengambil agamanya)?” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam as-Sunnahhal. 273 no. 509 dan Ad-Daaraquthniy dalam An-Nuzuul no. 65; hasan[5]].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
أحمد بن محمد بن ذر الأصبهاني الواعظ. له عن الطبراني. معتزلي غال، وهو والد أبى الخير.
“Ahmad bin Muhammad bin Dzarr Al-Ashbahaaniy Al-Waa’idh. Ia mempunyai riwayat dari Ath-Thabaraaniy. Mu’taziliy ekstrem. Ia adalah orang tua dari Abul-Khair” [Miizaanul-I’tidaal, 1/155 no.612].
عَنْ عَبْد الرَّزَّاقِ، قَالَ: قَالَ لِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي يَحْيَى: "إِنِّي أَرَى الْمُعْتَزِلَةَ عِنْدَكُمْ كَثِيرًا ". قُلْتُ: "نَعَمْ، وَهُمْ يَزْعُمُونَ أَنَّكَ مِنْهُمْ ". قَالَ: "أَفَلا تَدْخُلُ مَعِي هَذَا الْحَانُوتَ حَتَّى أُكَلِّمَكَ؟ ". قُلْتُ: "لا ". قَالَ: "لِمَ؟ ". قُلْتُ: "لأَنَّ الْقَلْبَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّ الدِّينَ لَيْسَ لِمَنْ غَلَبَ
Dari ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : Telah berkata kepadaku Ibraahiim bin Abi Yahyaa : “Sesungguhnya aku banyak memegang pendapat Mu’tazilah di sisi kalian”. Aku berkata : “Benar. Bahkan orang-orang menyangka engkau termasuk dari kalangan mereka”. Ia berkata : “Tidakkah engkau mau masuk bersamaku di warung ini hingga aku dapat berbincang denganmu ?”. Aku katakan : “Tidak”. Ia berkata : “Mengapa?”. Aku berkata : “Karena hati itu lemah, dan sesungguhnya agama bukan milik orang yang menang perdebatan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah hal. 135 no. 249 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Qadar hal. 817 no. 462; shahih].
عَنْ يَحْيَى بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: لَقِيَنِي رَجُلٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ فَقَامَ فَقُمْتُ، فَقُلْتُ: "إِمَّا أَنْ تَمْضِيَ، وَإِمَّا أَنْ أَمْضِيَ ؛ فَإِنِّي إِنْ أَمْشِ مَعَ نَصْرَانِيٍّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِيَ مَعَكَ "
Dari Yahyaa bin ‘Ubaid, ia berkata : “Ada seorang laki-laki dari kalangan Mu’tazilah menemuiku. Ia berdiri, lalu aku pun berdiri. Aku berkata : “Engkau yang pergi atau aku yang pergi. Sungguh seandainya aku berjalan bersama Nashrani lebih aku sukai daripada berjalan bersamamu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 100 no. 140; shahih].
5.    Raafidlah[6]
Raafidlah adalah kelompok sesat yang bertindak ghulluw terhadap ahli bait Nabi . Mereka dinamakan dengan Raafidlah (kaum yang meninggalkan) karena mereka meninggalkan Zaid bin ‘Aliy, ketika mereka memintanya untuk menyatakan putus hubungan dengan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, akan tetapi ia justru mendoakan rahmat untuk mereka berdua. Maka mereka mengatakan : ”Jika demikian, kami akan meninggalkanmu”. Maka Zaid bin ‘Aliy berkata : ”Pergilah ! Sesungguhnya kalian adalah Raafidlah (orang-orang yang meninggalkan)”.[7]
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْن أَحْمَدَ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي: "مَنِ الرَّافِضَةُ ؟ قَالَ: الَّذِي يَشْتِمُ، وَيَسُبُّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ "
Dari ‘Abdullah bin Ahmad, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (Ahmad bin Hanbal) : “Siapakah Raafidlah ?”. Ia berkata : “Orang yang menghina dan mencaci Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa’ [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah 3/492 no. 777; shahih].
عَنْ فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ حَسَنَ بْنَ حَسَنٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: مَرَقَتْ عَلَيْنَا الرَّافِضَةُ كَمَا مَرَقَتِ الْحَرُورِيَّةُ عَلَى عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Dari Fudlail bin Marzuuq, ia berkata : Aku mendengar Hasan bin Hasan radliyallaahu ‘anhumaa berkata : “Raafidlah lepas/keluar ketaatan terhadap kami sebagaimana Haruuriyyah lepas/keluar ketaatan terhadap ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 3/462 no. 1923; sanadnya hasan].
Raafidlah eksis dan menjadi salah satu kelompok yang paling merusak Islam dan kaum muslimin.
عَنْ حَرْمَلَة، قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ، يَقُولُ: "لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ "
Dari Harmalah, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih dipersaksikan kedustaannya daripada Raafidlah” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 10/208 no. 20905; shahih].
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ الْعَبَّاسِ الْمِصْرِيَّ، قَالَ: سَمِعْتُ هَارُونَ الرَّشِيدَ، يَقُولُ: "طَلَبْتُ أَرْبَعَةً فَوَجَدْتُهَا فِي أَرْبَعَةٍ: طَلَبْتُ الْكُفْرَ فَوَجَدْتُهُ فِي الْجَهْمِيَّةِ، وَطَلَبْتُ الْكَلامَ وَالشَّغَبَ فَوَجَدْتُهُ فِي الْمُعْتَزِلَةِ، وَطَلَبْتُ الْكَذِبَ فَوَجَدْتُهُ عِنْدَ الرَّافِضَةِ، وَطَلَبْتُ الْحَقَّ فَوَجَدْتُهُ مَعَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ "
Dari Abu ‘Abdillah Muhammad bin Al-‘Abbaas Al-Mishriy, ia berkata : Aku mendengar Haaruun bin Ar-Rasyiid berkata : “Aku mencari 4 hal dan aku mendapatinya pada 4 jenis. Aku mencari kekufuran, maka aku mendapatinya ada pada Jahmiyyah. Aku mencari ilmu kalam dan kekacauan, maka aku mendapatinya ada pada Mu’tazilah. Aku mencari kedustaan, maka aku mendapatinya ada pada Raafidlah. Dan aku mencari kebenaran, maka aku mendapatinya ada pada ashaabul-hadiits (ahli hadits)” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Syaraf Ashhaabil-Hadiits hal. 108 no. 104].
Abu ‘Ubaid Al-Aajuriiy rahimahullah berkata:
سالت أبا داود عن تليد بن سليمان ، فقال : رافضي خبيث ، قال : وسمعت أبا داود يقول : تليد رجل سوء ، يشتم أبا بكر وعمر
Aku bertanya kepada Abu Daawud tentang Taliid bin Sulaimaan, lalu ia menjawab : “Raafidliy, khabiits (busuk)”. Dan aku juga mendengarnya berkata : “Taliid seorang yang buruk, mencaci Abu Bakr dan ‘Umar” [As-Suaalaat no. 1871].
Selain kelima kelompok di atas, tashniif tersebut juga dinisbatkan terhadap bid’ah pencetus atau tokoh utamanya, seperti Jahmiyyah yang dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwaan (pewaris Ja’d bin Dirham). Yaitu, ketika fitnah khalqul-qur’aan dan pengingkaran ayat-ayat sifat. Pengikutnya disebut Jahmiy.
Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy berkata ketika menjelaskan makna perkataan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah:
لَمْ يَخْتَلِفْ أَهْلُ الإِيمَانِ أَنَّ الْقُرْآنَ كَلامُ اللَّهِ تَعَالَى. فَلَمَّا جَاءَ جَهْمُ بْنُ صَفْوَانَ فَأَحْدَثَ الْكُفْرَ بِقَوْلِهِ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ لَمْ يَسَعِ الْعُلَمَاءَ إِلا الرَّدُّ عَلَيْهِ بِأَنَّ الْقُرْآنَ كَلامُ اللَّهِ غَيْرَ مَخْلُوقٍ بِلا شَكٍّ، وَلا تَوَقُّفٍ فِيهِ، فَمَنْ لَمْ يَقُلْ غَيْرَ مَخْلُوقٍ سُمِّيَ وَاقِفِيًّا، شَاكًّا فِي دِينِهِ
“Ahlul-iman tidak berselisih pendapat Al-Qur’an adalah kalaamullahta’ala. Ketika datang Jahm bin Shafwaan, ia mengadakan kekufuran dengan perkataannya ‘Al-Qur’an adalah makhluk’. Para ulama tidak membiarkannya kecuali membantahnya bahwa Al-Qur’an adalah kalaamullah bukan makhluk tanpa ada keraguan dan tidak boleh abstain padanya. Barangsiapa yang tidak mengatakan ‘bukan makhluk’, ia dinamakan waaqifiy (orang yang abstain), ragu terhadap agamanya” [Asy-Syaari’ahhal. 1/232].
Abu Ja’far Ad-Daqiiqiy rahimahullah berkata:
مَنْ رَدَّهَا فَهُوَ عِنْدَنَا جَهْمِيُّ، وَحُكْمُ مَنْ رَدَّ هَذَا أَنْ يُتَّقَى
“Barangsiapa yang menolaknya (yaitu riwayat Mujaahid tentang penafsiran ayat sifat)[8], maka ia di sisi kami adalah Jahmiy, dan hukum bagi orang yang menolak riwayat ini adalah dijauhi/dikucilkan” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnahno. 257].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
إبراهيم بن أبى صالح. قال أبو الحسين: مسلم جهمى، لا يكتب حديثه
“Ibraahiim bin Abi Shaalih. Abul-Husain berkata (tentangnya) : ‘Muslim jahmiy’, tidak ditulis haditsnya” [Miizaanul-I’tidaal, 1/37 no. 113].
Begitu juga Asyaa’irah yang dinisbatkan kepada bid’ah Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah (sebelum ia bertaubat kepada pemahaman Ahlus-Sunnah), Maaturidiyyah yang dinisbatkan kepada bid’ah Abu Manshuur Al-Maaturidiy, Ahmadiyyah yang dinisbatkan kepada Mirza Ghulam Ahmad, dan yang lainnya.
Tashniif semacam ini tidak pernah diingkari para ulama dari zaman ke zaman, terlepas apakah kemudian penisbatan tersebut kepada seseorang tepat/benar ataukah tidak. Jika penisbatan tersebut benar, maka tercapailah maksud dalam rangka nasihat terhadap umat. Jika tidak, maka orang yang dinisbati tersebut berlepas diri darinya.
Contohnya, Abu Haniifah dituduh berpemikiran Jahmiyyah dalam masalah Khalqul-Qur’aan. Banyak riwayat dari Abu Haniifah yang membantah tuduhan ini. As-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mengklarifikasi[9]:
وهذا هو الظن بالإمام أبي حنيفة رحمه الله وعلمه، فإن صح عنه خلافه، فلعل ذلك كان قبل أن يناظره أيو يوسف، كما في الرواية الثابتة عنه في الكتاب، فلما ناظره، ولأمر ما استمر في مناظرته ستة أشهر، اتفق معه أخيرا على أن القرآن غير مخلوق، وأن من قال: "القرآن مخلوق"فهو كافر
“Dan ini adalah dugaan terhadap Al-Imaam Abu Haniifah rahimahullah dan ilmunya. Apabila hal itu shahih darinya, maka kemungkinan itu terjadi sebelum perdebatan dengan Abu Yuusuf, sebagaimana ada dalam riwayat shahih darinya dalam kitab ini (yaitu Mukhtashar Al-‘Ulluw– Abul-Jauzaa’). Setelah terjadi perdebatan dengan Abu Yuusuf selama enam bulan, akhirnya Abu Haniifah sepakat dengannya bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk, dan barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir” [Mukhtashar Al-‘Ulluw hal. 156].
Tsaur bin Yaziid Al-Himshiy (w. 250 H) dituduh berpemikiran qadariy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 190 no. 869]. Adz-Dzahabiy rahimahullah mengklarifikasi:
 كان ثور عابدا، ورعا، والظاهر أنه رجع، فقد روى أبو زرعة عن منبه بن عثمان، أن رجلا قال لثور: يا قدري.
قال: لئن كنت كما قلت إني لرجل سوء، وإن كنت على خلاف ما قلت إنك لفي حل
“Tsaur adalah seorang ahli ibadah yang wara’. Dan yang nampak, dirinya telah rujuk (dari bid’ah qadariy). Abu Zur’ah meriwayatkan dari Munabbih bin ‘Utsmaan, bahwasannya ada seorang laki-laki berkata kepada Tsaur : ‘Wahai qadariy’. Tsaur berkata : ‘Apabila aku sebagaimana yang engkau katakan, sungguh aku adalah orang yang buruk. Namun apabila aku tidak seperti yang engkau katakan, sungguh engkau wajib membebaskan tuduhanmu itu” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 6/345].
Al-Qaadliy Abu Ya’laa Al-Hanbaliy rahimahullah (w. 458 H) dituduh berpemahaman mujassimah, dan (tentu) ini tidak benar.[10]
Dan yang lainnya.
Sedikit antitesis dari contoh di atas, masyhur pandangan Ahlul-Bid'ah terhadap Ahlus-Sunnah (yang kemudian menjadi ciri khas mereka) sebagaimana dikatakan Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah[11]:
وَعَلامَةُ أَهْلِ الْبِدَعِ الْوَقِيعَةُ فِي أَهْلِ الأَثَرِ، وَعَلامَةُ الزَّنَادِقَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ حَشْوِيَّةً يُرِيدُونَ إِبْطَالَ الآثَارِ. وَعَلامَةُ الْجَهْمِيَّةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ مُشَبِّهَةً،  وَعَلامَةُ الْقَدَرِيَّةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ الأَثَرِ مُجَبِّرَةً. وَعَلامَةُ الْمُرْجِئَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ مُخَالِفَةً وَنُقْصَانِيَّةً. وَعَلامَةُ الرَّافِضَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ نَاصِبَةً. وَلا يَلْحَقُ أَهْلَ السُّنَّةِ إِلا اسْمٌ وَاحِدٌ وَيَسْتَحِيلُ أَنْ تَجْمَعَهُمْ هَذِهِ الأَسْمَاءُ "
“Tanda-tanda Ahlul-Bid’ah adalah mencela Ahlul-Atsar. Tanda orang-orang Zanaadiqah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah sebagai Hasyawiyyah karena mereka ingin membatalkan atsar-atsar. Tanda orang-orang Jahmiyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Musyabbihah. Tanda orang-orang Qadariyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Mujabbirah. Tanda orang-orang Murji’ah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Mukhaalifah (orang yang selalu mempertentangkan) dan Nuqshaaniyyah (orang yang kurang dalam imannya). Tanda orang-orang Raafidlah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Naashibah (pembenci ahlul-bait Nabi ). Dan tidaklah didapatkan pada Ahlus-Sunnah kecuali hanya satu nama, sehingga mustahil nama-nama ini terkumpul pada mereka (Ahlus-Sunnah)” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah hal. 179].
Penamaan apabila berkesesuaian dengan yang dinamakan, maka itulah yang dikehendaki. Namun apabila tidak berkesesuaian, tidak ada faedahnya sama sekali seperti contoh di atas. Seandainya kelompok Asyaa’irah mengklaim diri sebagai Aswaja alias Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah tanpa berpegang pada pokok-pokok ‘aqidah dan manhaj Ahlus-Sunnah sebagaimana dipahami salafunash-shaalih, itu hanyalah pepesan kosong. Meskipun mereka mematenkan nama (Aswaja) tersebut ke Kemenkumham, tak menjadikan mereka sebagai Ahlus-Sunnah.
Perlu juga digarisbawahi juga : Dikarenakan tashniif lazimnya diikuti dengan (tujuan) tahdzir[12], maka dibutuhkan sifat taqwa, wara’, dan ketelitian. Bukan dengan hawa nafsu atau sekedar ikut-ikutan trend. Tashniifun-naas sebagai upaya untuk menyingkap hakekat ahlul-bid’ah dan kebid’ahan mereka kepada kaum muslimin sehingga dapat lebih berhati-hati darinya. Juga sebagai bentuk pengamalan hadits:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Agama adalah nasihat”. Kami berkata : “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”. Beliau bersabda : “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, imam/pemimpin kaum muslimin, dan orang-orang kebanyakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 55, At-Tirmidziy no. 1926, dan yang lainnya].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
Saya banyak mengambil faedah dari buku Tashniifun-Naas aw Ar-Radd ‘alaa Munkirit-Tashniif oleh Asy-Syaikh Dr. ‘Abdus-Salaam bin Barjas rahimahullah, Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1433 H.
[abul-jauzaa’ – ciper, 5 Syawwaal 1439 H].


[1]   Ghailaan bin Abi Ghailaan, Abu Marwaan. Ia seorang da’i qadariyyah sehingga terkenal dengan nama Ghailaan Al-Qadariy. Saat pertama kali bid’ah qadarnya muncul dan menyebar, ia dihadapkan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah. Setelah ditahan beberapa hari, ia menyatakan taubat. Sepeninggal ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah, ia kembali kepada bid’ah qadarnya. Akhirnya ditangkap dan dibunuh oleh khalifah Hisyaam bin ‘Abdil-Malik rahimahumullah karena kesesatannya.
[2]   Penjelasan lebih lanjut tentang Khawaarij, silakan baca artikel : Khawaarij.
[3]   An-Nawawiy rahimahullah berkata :
فمعنى قول عائشة رضي الله عنها أن طائفة من الخوارج يوجبون على الحائض قضاء الصلاة الفائتة في زمن الحيض وهو خلاف إجماع المسلمين،
“Makna perkataan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa (yaitu : ‘apakah kamu seorang Haruuriyyah ?’ – Abul-Jauzaa’) bahwasannya satu kelompok dari Khawaarij mewajibkan wanita haidl untuk mengqadlaa’ shalat yang ditinggalkan saat datang haidl. Dan hal itu menyelisihi ijma’ kaum muslimin” [Syarh Shahiih Muslim, 4/27].
[4]   Takhrij hadits selengkapnya, silakan baca artikel : Apakah Murji’ah Sudah Ada Semenjak Jaman Nabi ?.
[5]   Dalam sanad yang dibawakan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah disebutkan perawi : Aslam bin Qaadim. Ini keliru, karena yang benar adalam Muslim bin Qaadim (tsiqah) sebagaimana disebutkan dalam sanad Ad-Daaraquthniy rahimahumullah, wallaahu a’lam.
[6]   Blog ini memuat banyak artikel yang membahas tentang Syi’ah dan Raafidlah. Silakan baca Label : Syi’ah.
[7]   Lebih lanjut, silakan baca artikel : Sekilas tentang Raafidlah dan Pendirinya.
[8]   Allah ta’ala berfirman:
عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
"Mudah-mudahan Rabbmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" [QS : Al-Israa’ : 79].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، ثنا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ: عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا قَالَ: يُقْعِدُهُ مَعَهُ عَلَى الْعَرْشِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari Laits, dari Mujaahid tentang firman Allah ta’ala : ‘Mudah-mudahan Rabbmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" (QS : Al-Israa’ : 79), ia (Mujaahid) berkata : “Allah mendudukkan beliau (Nabi ) bersama-Nya di atas ‘Arsy” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 695].
Diriwayatkan juga oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 255 (Ibnu Abi syaibah) & 256 Ibnu Mandah dalam Adz-Dzikr hal. 99-100 no. 70 dari jalan Abu Bakr bin Abi Syaibah.
Pembahasan selengkapnya silakan baca artikel : Sifat Duduk (Juluus) – 1 dan Sifat Duduk (Juluus) – 2.
[9]   Selengkapnya silakan baca artikel : Abu Haniifah Bukan Penganut Paham Jahmiyyah.
[10]  Selengkapnya silakan baca artikel : Al-Qaadliy Abu Ya’laa Bukan Seorang Mujassim !!.
[11]  Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuniy rahimahullahberkata:
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني ﷺ، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran akal-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 102].
[12]  Sebagai pelengkap, silakan baca artikel : Hajr (Pemboikotan).

Takbir Jama’iy (2)

$
0
0

Al-Baihaqiy rahimahullah membawakan riwayat sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: فَحَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ "كَانَ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ، فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ السُّوقِ فَيُكَبِّرُونَ، حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا وَاحِدًا "،
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh[1]: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq[2], ia berkata : Telah berkata Abu ‘Ubaid[3]: Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Sa’iid[4], dari Ibnu Juraij[5], dari ‘Athaa’[6], dari ‘Ubaid bin ‘Umair[7], dari ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia pernah bertakbir di kubbahnya di Minaa, lalu orang-orang yang ada di masjid mendengarnya dan kemudian ikut bertakbir. Orang yang ada di pasar pun mendengarnya dan mereka ikut bertakbir, hingga Minaa bergemuruh oleh takbir yang satu [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 3/312 no. 6267].

Para perawinya tsiqaat.Hanya saja ada keterputusan antara Abu Bakr bin Ishaaq dan Abu ‘Ubaid Al-Qaasim bin Sallaam. Abu Bakr bin Ishaaq lahir tahun 258 H dan meninggal tahun 342 H; sedangkan Abu ‘Ubaid meninggal tahun 224 H. Selain itu, lafadh "waahidan" (takbir yang satu), tidak dibawakan kecuali oleh Al-Baihaqiy rahimahullah di sini.
Al-Bukhaariy membawakannya secara mu'allaq:
وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الْأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا
“’Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu bertakbir di kubbahnya di Mina, lalu orang-orang yang ada di dalam masjid mendengarnya kemudian ikut bertakbir. Orang-orang di pasar juga bertakbir hingga Mina berguncang dengan takbir” [Al-Jaami'ush-Shahiih, 1/307]. 👉hatta tartajja mina takbiiran (tanpa waahidan)
Al-Haafidh menyambungkan sanad yang dibawakan Al-Bukhaariy tersebut dalam Taghliiqut-Ta'liiq(2/379) dengan mengutip riwayat Al-Baihaqiy dengan sanad dan matannya:
أما أثر عمر، فقال البيهقي: أَخْبَرَنَا أبو عبد الله الحافظ، ثنا أبو بكر بن إسحاق، ثنا علي بن عبد العزيز، قال: قال أبو عبيد فحَدَّثَني يحيى بن سعيد، عن ابن جريج، عن عطاء، عن عبيد بن عمير، كان يكبر في قبته بمنى فيسمعه أهل المسجد، فيكبرون فيسمعه أهل السوق فيكبرون حتى ترتج منى تكبيرا.
“Adapun atsar ‘Umar, maka Al-Baihaqiy berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz, ia berkata : Telah berkata Abu ‘Ubaid : Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Sa’iid, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, dari ‘Ubaid bin ‘Umair (dari ‘Umar bin Al-Khaththaab) : Bahwasannya ia (‘Umar) pernah bertakbir di kubbahnya di Minaa, lalu orang-orang yang ada di masjid mendengarnya dan kemudian ikut bertakbir. Orang yang ada di pasar pun mendengarnya dan mereka ikut bertakbir, hingga Minaa bergemuruh oleh takbir" [selesai].
Di sini Al-Haafidh rahimahullahberkata : Qaala Al-Baihaqiy : Akhbaranaa Abu 'Abdillah Al-Haafidh....dst.... sampai dengan : "hatta tartajja mina takbiiran (tanpa waahidan)".
Al-Haafidh hafidhahullahmenambahkan ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz antara Abu Bakr bin Ishaaq dan Abu ‘Ubaid Al-Qaasim bin Sallaam. ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz adalah murid dari Abu ‘Ubaid, dan ia seorang yang shaduuq atau tsiqah.[8]Oleh karena itu, sanadnya menjadi shahih.
Kemudian Al-Haafidh melanjutkan:
رواه سعيد بن منصور في السنن، عن سفيان، عن عمرو، عن عبيد بن عمير، به
"Diriwayatkan pula oleh Sa'iid bin Manshuur dalam As-Sunan dari Sufyaan (bin 'Uyainah), dari 'Amru (bin Dinaar), dari 'Ubaid bin 'Umair dengan matan seperti yang dibawakan Al-Baihaqiy sebelumnya [Taghliiqut-Ta'liiq, 2/379].
Dalam Fathul-Baariy(2/462), Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan lafadh yang dibawakan Sa’iid bin Manshuur:
وَصَلَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مِنْ رِوَايَةِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ "كَانَ عُمَرُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى ، وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ السُّوقِ ، حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا "وَوَصَلَهُ أَبُو عُبَيْدٍ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ بِلَفْظِ التَّعْلِيقِ ، وَمِنْ طَرِيقِهِ الْبَيْهَقِيُّ
"Dan (riwayat mu'allaqAl-Bukhaariy) disambungkan oleh Sa'iid bin Manshuur dari riwayat 'Ubaid bin 'Umair, ia berkata : "'Umar bertakbir di kubbahnya di Mina, lalu orang-orang yang ada di dalam masjid bertakbir, dan begitu pula orang-orang di pasar juga ikut bertakbir hingga Mina berguncang dengan takbir". Abu 'Ubaid juga menyambungkannya dari sisi lain dengan lafadh ta'liiq. Dan Al-Baihaqiy meriwayatkan dari jalannya (Abu ‘Ubaid)" [selesai].
Perhatikan, di sini tanpa lafadh "waahidan". Di situ disebutkan keterangan bahwa Abu 'Ubaid (Al-Qaasim bin Sallaam) juga meriwayatkan atsar tersebut.
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy mengutip riwayat Abu 'Ubaid rahimahumallah sebagai berikut:
وقد روى أبو عبيد : حدثني يحيى بن سعيد ، عن ابن جريج ، عن عطاء ، عن عبيد بن عمير ، أن عمر كان يكبر في قبته بمنى ، فيسمعه أهل المسجد فيكبرون ، فيسمعه أهل السوق فيكبرون حتى ترتج منى تكبيراً .
"Dan Abu 'Ubaid meriwayatkan : Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Sa'iid, dari Ibnu Juraij, dari 'Athaa', dari 'Ubaid bin 'Umair : Bahwasannya 'Umar bertakbir di kubbahnya di Mina, lalu orang-orang yang ada di dalam masjid mendengarnya dan kemudian ikut bertakbir. Orang-orang di pasar juga mendengarnya dan kemudian ikut bertakbir hingga Mina berguncang dengan takbir (hattaa tartajja Minaa takbiiran)" [Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 9/28-29].
Riwayat Abu 'Ubaid yang dibawakan Ibnu Rajab tanpa lafadh "waahidan".
Al-Baghawiy juga mengutip riwayat 'Umar ini tanpa "waahidan":
وَكَانَ عُمَرُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى، فَيَسْمَعُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ، فَيُكَبِّرُونَ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الأَسْوَاقِ، حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا ".
“Dan ’Umar bertakbir di kubbahnya di Mina, lalu orang-orang yang ada di dalam masjid mendengarnya kemudian ikut bertakbir. Orang-orang di pasar juga bertakbir hingga Mina berguncang dengan takbir (hattaa tartajja Minaa takbiiran)” [Syarhus-Sunnah, 4/301].
Riwayat Sa'iid bin Manshuur dari jalan Sufyaan (bin 'Uyainah) yang dinukil Al-Haafidh juga diriwayatkan oleh Al-Faakihiy rahimahumullah sebagai berikut:
وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَرَ، قَالَ: ثنا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، قَالَ: "إِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيُكَبِّرُ أَهْلُ السُّوقِ بِتَكْبِيرِهِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi 'Umar[9], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan[10], dari 'Amru bin Diinaar[11], dari 'Athaa', dari 'Ubaid bin 'Umair : Bahwasannya 'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu bertakbir di kubbahnya di Mina, lalu orang-orang di pasar bertakbir dengan takbirnya hingga Mina berguncang dengan takbir (hattaa tartajja Minaa takbiiran) [Akhbaar Makkah no. 2575]. 👉 tanpa "waahidan".
Sanad riwayat ini shahih yang merupakan rantai periwayatan penduduk Makkah.
Muhammad bin ‘Abi ‘Umar adalah orang yang melazimi Sufyaan bin ‘Uyainah [Taqriibut-Tahdziib hal. 907 no. 6431], Sufyaan bin ‘Uyainah adalah orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits ‘Amru bin Diinaar [Tahdziibut-Tahdziib, 4/122], dan ‘Amru bin Diinaar adalah orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits ‘Athaa’ (bin Abi Rabbaah)” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/231 no. 1280].
Artinya apa ? Artinya, riwayat 'Athaa' dari 'Ubaid bin 'Umair yang dibawakan oleh Al-Baihaqiy "versi" Ibnu Hajar dalam Taghliiqut-Ta’liiq dan Abu 'Ubaid yang dibawakan Ibnu Rajab tanpa lafadh "waahidan" divalidkan dan dikuatkan dengan riwayat dari jalan 'Amru bin Diinaar.
Yang lebih menguatkan lagi, riwayat tanpa lafadh ‘waahidan’ tersebut dibawakan oleh 'Abdul-Majiid bin Abi Rawwaad dari Ibnu Juraij:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: ثنا عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ أَبِي رَوَّادٍ: قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: فَقَالَ عَطَاءٌ، سَمِعْتُ عُبَيْدَ بْنَ عُمَيْرٍ، يَقُولُ: "كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى تِلْكَ الأَيَّامِ فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ، فَيُكَبِّرُونَ فَيَسْمَعُهُمْ أَهْلُ الأَسْوَاقِ أَيْضًا، فَيُكَبِّرُونَ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا "
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan[12], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Majiid bin Abi Rawwaad[13]: Telah berkata Ibnu Juraij : Telah berkata ‘Athaa’ : Aku mendengar ‘Ubaid bin ‘Umair berkata : “’Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu bertakbir di kubbahnya di Mina pada hari-hari tersebut, lalu orang-orang yang ada di dalam masjid mendengarnya dan kemudian ikut bertakbir. Orang-orang di pasar mendengarnya lalu mereka pun ikut bertakbir, hingga Mina berguncang dengan takbir (hattaa tartajja Minaa takbiiran) [Akhbaar Makkah no. 2579].
Sanad riwayat ini shahih.
Perhatikan, di sini juga hanya dibawakan dengan lafadh hatta tartajja mina takbiiran (tanpa waahidan).
Ada kemungkinan lafadh ‘waahidan’ yang dibawakan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa di awal merupakan kesalahan tulis atau idraajdari perawi atau penulis naskah (manuskrip) Sunan Al-Baihaqiy. Dibuktikan dengan kutipan Al-Haafidh dari Al-Baihaqiy dalam Taghliiqut-Ta’liiq tidak menyebutkan "(takbiiran) waahidan". Ini sesuai dengan riwayat 'Abdul-Majiid bin Abi Rawwaad dari Ibnu Juraij dan ‘Amru bin Diinaar dari ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah yang dibawakan Al-Faakihiy dalam Akhbaar Makkah yang merupakan rantai periwayatan penduduk Makkah.
Riwayat ini perlu dibahas karena lafadh ‘takbiiran waahidan’ digunakan sebagian orang sebagai hujjah takbir jama’iy, takbir dengan satu suara yang dikomandoi seseorang. Ini adalah bid'ah yang tidak ada salafnya.
Adapun jika kebetulan bertakbir berbarengan, tak masalah. Sama seperti misalnya saya ikuti takbir bapak saya ketika saya jalan bersama menuju tanah lapang untuk shalat ‘Ied. Orang sebelah saya dengan bertakbir dengan takbirnya sendiri atau dengan keluarganya, ini juga tak mengapa. Jadi ini pointnya. Bukan kemudian diatur serempak dengan komando.
Ibnu Umar dan Abu Hurairah radliallaahu 'anhum keluar bertakbir[14]melewati jalanan, lalu orang-orang mengikuti mereka dengan bertakbir di jalanan, pasar, dan di tempat lainnya hingga bergemuruh suara takbir; apakah masuk akal itu dilakukan komando satu suara?. Semua orang tidak bertakbir kecuali ikut berbarengan dengan takbir mereka berdua?. Seandainya pun ada orang-orang yang dilewati mereka berdua mengikuti takbir mereka dengan satu takbir, maka ini sangat mungkin, sebagaimana kita juga melakukannya. Tapi bukan ini yang sedang menjadi pembahasan.
Coba kita takbir di sebagian masjid yang biasa takbir jama'iy yang dipimpin oleh seseorang. Jika kita kencangkan suara takbir tak sesuai komando, bisa kena ‘marah’.... 😁 Harus sesuai dengan komando pemegang mikrofon.
Selain itu, sudah masyhur di zaman shahabat bahwa lafadh takbir hari raya itu ada bermacam-macam.
1.    Lafadh 'Abdullah bin Mas'uud radliyallaahu ‘anhu:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Takbir ini ia ucapkan setelah selesai mengerjakan shalat Shubuh di ‘Arafah di hadapan orang-orang, dan kemudian orang-orang pun bertakbir dengan takbirnya tersebut hingga shalat ‘Ashar di akhir hari tasyriiq.
2.    Lafadh 'Abdullah bin 'Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللَّهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
Sama seperti Ibnu Mas’uud, Ibnu ‘Abbaas mengucapkan takbir ini setelah shalat Shubuh di ‘Arafah hingga akhir hari tasyriiq.
3.    Lafadh Salmaan Al-Faarisiy radliyallaahu ‘anhu:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْراً
اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَى وَأَجَلُّ مِنْ أَنْ تَكُونَ لَكَ صَاحِبَةٌ، أَوْ يَكُونَ لَكَ وَلَدٌ، أَوْ يَكُونَ لَكَ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ، أَوْ يَكُونَ لَكَ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا، اللَّهُمَّ ارْحَمْنَا
Salmaan mengajarkan lafadh takbir ini kepada para shahabat dan taabi’iin.
Bagaimana dapat dibayangkan Mina terguncang dengan satu lafadh takbir jama’iy yang diucapkan ‘Umar, sementara para shahabat dan para taabi’iin yang hadir di sana bertakbir dengan beberapa lafadh ?.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – ciper, menjelang balik ke rnn – 6 Ramadlaan 1439 - baca sebelumnya artikel Takbir Jama'iy (1)].



[1]   Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al-Hakam Adl-Dlabbiy Ath-Thuhmaaniy An-Naisaabuuriy, Al-Haafidh Abu ‘Abdillah Al-Haakim; seorang imam, tsiqah, pemilik banyak tulisan. Lahir tahun 321 H dan wafat tahun 405 H [lihat : Ittihaaful-Murtaqiy bi-Taraajimi Syuyuukh Al-Baihaqiy, hal. 460-462 no. 161]..
[2]   Abu Bakr Ahmad bin Ishaaq bin Ayyuub bin Yaziid An-Naisaabuuriy Asy-Syaafi’iy Ash-Shibghiy; seorang imam, mufti, muhaddits, syaikhul-Islaam, lagi tsiqah. Termasuk thabaqah ke-14, lahir tahun 258 H, dan wafat tahun 342 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/483-489 no. 274].
[3]   Al-Qaasim bin Sallaam Al-Baghdaadiy Al-Harawiy, Abu ‘Ubaid Al-Faqiih Al-Qaadliy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 224 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Abu Daawud, dan At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 791 no. 5497].
[4]   Yahyaa bin Sa’iid bin Farruukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah, mutqin, haafidh, imaam, lagi qudwah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].
[5]   ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid; seorangyang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai keutamaan; namun banyak melakukan tadliis dan irsaal. Termasuk thabaqah ke-6, lahir tahun 76 H, dan wafat tahun 149 H/150 H/151 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 624 no. 4221].
[6]   ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai banyak keutamaan. Termasuk thabaqah ke-3, lahir tahun 88 H, dan wafat tahun 114 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 677 no. 4623].
[7]   ‘Ubaid bin ‘Umair bin Qataadah bin Sa’d Al-Laitsiy, Abu ‘Aashim Al-Makkiy; seorang yang disepakati akan ketsiqahannya. Termasuk thabaqahke-2, dan wafat tahun 68 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 651 no. 4416].
[8]   ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Marzabaan bin Saabuur, Abul-Hasan Al-Baghawiy. Adz-Dzahabiy mengatakan ia seorang imam yang haafidh lagi shaduuq. Ad-Daaraquthniy berkata : “Tsiqah ma’muun”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Lahir tahun 190-an H dan meninggal tahun 286 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13/348-349 no. 164].
[9]   Muhammad bin Yahyaa bin Abi ‘Umar Al-‘Adaniy, Abu ‘Abdillah; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-10 dan meninggal tahun 243 H di Makkah. Dipakai oleh Muslim, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 907 no. 6431].
[10]  Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-KuufiyAl-Makkiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 107 H, dan meninggal tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].
[11]  ‘Amru bin Diinaar Al-Makkiy, Abu Muhammad Al-Atsram Al-Jumahiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-4, dan meninggal tahun 126 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 734 no. 5059].
[12]  Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Hassaan – atau dikatakan : Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Sa’iid Al-Qurasyiy, Abu ‘Ubaidillah Al-Makhzuumiy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10 dan meninggal tahun 249 H di Makkah. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 382 no. 2361].
[13]  ‘Abdul-Majiid bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Abi Rawwaad Al-Azdiy, Abu ‘Abdil-Hamiid Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, dan adalah orang yang tsabt periwayatannya dalam hadits Ibnu Juraij. Termasuk thabaqah ke-9 dan meninggal tahun 206 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 620 no. 4188 dan Tahriirut-Taqriib 2/379 no. 4160].
[14]  Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ، عَنْ عَفَّانَ بْنِ مُسْلِمٍ، قَالَ: ثنا سَلامُ بْنُ سُلَيْمَانَ أَبُو الْمُنْذِرِ الْقَارِئُ، قَالَ: ثنا حُمَيْدٌ الأَعْرَجُ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ، وَابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَخْرُجَانِ أَيَّامَ الْعَشْرِ إِلَى السُّوقِ، فَيُكَبِّرَانِ، فَيُكَبِّرُ النَّاسُ مَعَهُمَا، لا يَأْتِيَانِ السُّوقَ إِلا لِذَلِكَ
Telah mengkhabarkan kepadaku Ibraahiim bin Ya’quub , dari ‘Affaan bin Muslim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sallaam bin Sulaimaan Abul-Mundzir Al-Qaariy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Humaid Al-A’raj , dari Mujaahid , ia berkata : “Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pernah keluar pada waktu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah menuju pasar. Kemudian mereka bertakbir, lalu bertakbirlah orang-orang bersama mereka berdua. Keduanya tidak mendatangi pasar kecuali untuk hal tersebut (bertakbir)” [Diriwayatkan oleh Al-Faakihiy dalam Akhbaar Makkah no. 1643; hasan].

Ambil yang Baik, Buang yang Buruk

$
0
0

Muhammad bin Siiriin rahimahullah berkata:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian”.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah Shahiih-nya hal. 24, Ad-Daarimiy no. 433 & 438, Ibnu Abi Syaibah 8/617 no. 27047, Al-‘Uqaliliy dalam Adl-Dlu’afaa’hal. 24, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 1/253 & 5/287-288, Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil 2/15, Ibnul-A’raabiy dalam Mu’jam-nya no. 1613, Ibnul-Muqri’ dalam Mu’jam-nya no. 107 & 179 & 511, Khaitsamah bin Sulaimaan dalam Hadiits-nya no. 167, ‘Affaan bin Muslim dalam Hadiits-nya no. 235, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 7/100, Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin 1/21, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 2/278, Al-Khathiib dalam Al-Jaami’ li-Akhlaaqir-Raawiy 1/195 no. 141, dan yang lainnya.

Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadh:
إِنَّمَا هَذَا الْحَدِيثُ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَهُ
“Hadits ini hanyalah ilmu agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambilnya”.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail no. 417, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 1/254, Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil 2/15, Al-Baihaqiy dalam Al-Qiraa’atu Khalfal-Imaam hal. 159, dan Al-Khathiib dalam Al-Kifaayah1/371 no. 322.
Atsar ini shahih.
Muhammad bin Siiriin Al-Anshaariy, Abu Bakr bin Abi ‘Amrah Al-Bashriy – maulaa Anas bin Maalik; seorang tabi’iy masyhur yang tsiqah lagi tsabat.[1]Termasuk thabaqah ke-3, dan meninggal tahun 110 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 853 no. 5985].
Ia meriwayatkan hadits dari beberapa orang shahabat antara lain Abu Hurairah, ‘Imraan bin Hushain, Ibnu ‘Umar, Anas bin Maalik, ‘Adiy bin Haatim, dan Ibnuz-Zubair radliyallaahu ‘anhum.
Perkataan Ibnu Siiriin di atas, diucapkan pula oleh ulama lain dengan inti pesan yang semisal.
أنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ الْقَاسِمِ التَّمِيمِيُّ، بِدِمَشْقَ، أنا الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ يُوسُفُ بْنُ الْقَاسِمِ الْمَيَانِجِيُّ، نا أَبُو خَلِيفَةَ الْفَضْلُ بْنُ الْحُبَابِ، قَالَ: نا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ حَمَّادٍ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، قَالَ: إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرْ عَمَّنْ تَأْخُذُ دِينَكَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Utsmaan bin Al-Qaasim At-Tamiimiy di Damaskus : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaadliy Abu Bakr Yusuuf bin Al-Qaasim Al-Mayaanijiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaliifah Al-Fadhl bin Al-Hubbaab, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Harb, dari Hammaad, dari Ibnu ‘Aun, ia berkata : “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa engkau ambil agamamu” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Al-Faqiih wal-Mutafaqqih 2/378 no. 1134; sanadnya shahih].
أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عُمَرَ الْمِقَّرِيُّ، قَالَ: ثنا أَحْمَدُ بْنُ كَامِلٍ الْقَاضِي، قَالَ: ثنا أَبُو إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي أُوَيْسٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ خَالِيَ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، يَقُولُ: "إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ، لَقَدْ أَدْرَكْتُ سَبْعِينَ عِنْدَ هَذِهِ الأَسَاطِينِ، وَأَشَارَ إِلَى مَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُونَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَمَا أَخَذْتُ عَنْهُمْ شَيْئًا، وَإِنَّ أَحَدَهُمْ لَوِ ائْتُمِنَ عَلَى بَيْتِ مَالٍ لَكَانَ بِهِ أَمِينًا، إِلا أَنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ هَذَا الشَّأْنِ، وَيَقْدَمُ عَلَيْنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شِهَابٍ، وَهُوَ شَابٌّ، فَيُزْدَحَمُ عَلَى بَابِهِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Ahmad bin ‘Umar Al-Miqqariy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Kaamil Al-Qaadliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Ismaa’iil At-Tirmidziy, ia berkata : Aku mendengar Ibnu Abi Uwais berkata : Aku mendengar pamanku, Maalik bin Anas berkata : “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian. Sungguh aku telah bertemu dengan 70 orang yang duduk bermajelis di sisi tiang-tiang ini – dan ia berisyarat ke Masjid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam– dimana mereka berkata : ‘Telah bersabda Rasulullah ’. Namun aku tidak mengambil sedikitpun ilmu dari mereka. Dan sesungguhnya jika salah seorang diantara mereka dipercaya untuk mengurusi baitul-maal, maka ia terpercaya. Namun demikian, mereka bukan ahlinya dalam ilmu ini. Lalu datanglah kepada kami Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab (Az-Zuhriy), dan ia seorang pemuda. Orang-orang pun berbondong-bondong berkerumun di pintu/majelisnya (untuk mengambil ilmu darinya)” [idem, 2/194-195 no. 851; sanadnya shahih].
نا أبي، نا أحمد بن أبي العباس الرملي، نا ضمرة، قال: قال الأوزاعي: "خذ دينك عمن تثق به وترضى به
Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abil-‘Abbaas Ar-Ramliy : Telah menceritakan kepada kami Dlamrah, ia berkata : Telah berkata Al-Auzaa’iy : “Ambil agamamu dari orang dipercaya dan diridlai agamanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil2/29; sanadnya hasan].
Perkataan Muhammad bin Siiriin rahimahullah tersebut di atas apabila kita perhatikan, substansinya terambil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan perkataan para shahabat. Secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sesungguhnya ilmu ini adalah agama’.
Ilmu adalah agama.
Allah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam” [QS. Aali ‘Imraan : 19].
Allah menamakan petunjuk dan ilmu naafi’ (bermanfaat) yang Rasulullah diutus dengannya sebagai agama (diin). Beliau bersabda:
إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ ﷻ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ، وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوا مِنْهَا، وَسَقَوْا، وَرَعَوْا، وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً، وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ، فَعَلِمَ، وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
Perumpamaan agama yang Allah mengutusku dengannya berupa petunjuk dan ilmu adalah seperti hujan yang jatuh ke bumi. Diantaranya ada yang jatuh ke tanah subur yang dapat menyerap air, maka tumbuhlah padang rumput yang subur. Diantaranya pula ada yang jatuh ke tanah keras sehingga air tergenang karenanya. Lalu Allah jadikan air untuk dimanfaatkan orang banyak untuk minum, menyirami kebun, dan beternak. Dan ada pula yang jatuh ke tanah tandus, tidak menggenangkan air dan tidak pula menumbuhkan rerumputan/tanaman. Seperti itulah perumpamaan orang yang mempelajari agama Allah dan mengambil manfaat darinya, dimana dirinya belajar dan mengajarkannya.  Dan juga perumpamaan orang yang tidak mau tahu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 79 dan Muslim no. 2282].
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesunguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, namun mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang sangat banyak/berlimpah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/196, At-Tirmidziy no. 2682, Abu Daawud no. 3641, Ibnu Maajah no. 223, dan yang lainnya; shahih].
Ibnu Hibbaan rahimahullah menjelaskan : “Ulama adalah pewaris para nabi, para nabi tidak mewariskan kecuali ilmu, dan ilmu Nabi kita adalah sunnahnya . Maka barangsiapa yang menanggalkan jalan untuk mengetahuinya, maka ia bukan termasuk pewaris para nabi” [Shahiih Ibni Hibbaan, 1/291].
Maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian’.
Perkataan ini didasarkan oleh:
1.    Firman Allah :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43 dan Al-Anbiyaa’ : 7].
Allah memerintahkan kita untuk bertanya kepada para ulama rabbaniy. Pengkhususan untuk bertanya kepada ulama terdapat larangan untuk bertanya kepada selain mereka. Tidak bertanya kepada semua orang. Oleh karena itu, di sini terdapat perintah untuk memilih/menyeleksi guru.
2.    Hadits ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ...وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “…Dan akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2642; dishahihkan[2] oleh Al-Albaaniy dalam Shahiihul-Jaami’ 5/80].
Masih berkaitan dengan ayat sebelumnya, sabda Nabi ini memberikan petunjuk kepada kita keberadaan al-firqatun-naajiyyah, yaitu kelompok/golongan yang selamat. Mereka beragama di atas pemahaman salaf. Di situ ada ulamanya, tokoh-tokohnya, tempat kita bertanya dan menimba ilmu agama agar selamat.
3.    Hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: تَلَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ هَذِهِ الْآيَةَ هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الأَلْبَابِ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "فَإِذَا رَأَيْتِ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكِ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Rasulullah membaca ayat ini : ‘Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal’ (QS. Aali ‘Imraan : 7). ‘Aaisyah melanjutkan : “Kemudian Rasulullah bersabda : ‘Apabila engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyaabihaat, mereka itulah yang dimaksud oleh Allah. Maka waspadalah terhadap mereka!” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4547, Muslim no. 2665, dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/605 no. 780].
Setelah membawakan riwayat di atas, Ayyuub As-Sakhtiyaaniy rahimahullah berkata:
وَلا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الأَهْوَاءِ يُجَادِلُ إِلا بِالْمُتَشَابِهِ
“Aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah) yang berdebat kecuali dengan menggunakan ayat mutasyaabihat” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/605 no. 780. Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Tafsiir-nya no. 237; shahih].
An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث التَّحْذِير مِنْ مُخَالَطَة أَهْل الزَّيْغ ، وَأَهْل الْبِدَع ، وَمَنْ يَتَّبِع الْمُشْكِلَات لِلْفِتْنَةِ
“Dalam hadits ini terdapat dalil peringatan bergaul dengan orang-orang yang menyimpang, ahli bid’ah, dan orang yang mengikuti musykilaat untuk menimbulkan fitnah” [Syarh Shahiih Muslim, 16/217].
Al-‘Adhiim ‘Aabaadiy rahimahullah berkata:
( فَاحْذَرُوهُمْ )
يَعْنِي لَا تُجَالِسُوهُمْ وَلَا تُكَالِمُوهُمْ فَإِنَّهُمْ أَهْل الزَّيْغ وَالْبِدَع
“Sabda Nabi : ‘Maka waspadalah terhadap mereka’, yaitu jangan bermajelis dengan mereka dan jangan pula berbicara dengan mereka, karena mereka adalah orang yang menyimpang dan ahli bid’ah” [‘Aunul-Ma’buud, 12/227].
4.    Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Seseorang itu menurut agama teman dekatnya. Maka hendaklah masing-masing kalian memperhatikan siapa yang hendak ia jadikan teman” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2378, Abu Daawud no. 4833, Ahmad 2/303 & 2/334, dan yang lainnya; shahih].
Dalam hadits ini, Nabi memerintahkan seorang muslim untuk memilih/menyeleksi orang yang hendak dijadikan teman/sahabat (dan guru), karena dirinya sangat berpotensi mengikuti jalan temannya tersebut.
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata:
قَوْلُهُ: "الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ "، مَعْنَاهُ لا تُخَالِلْ إِلا مَنْ رَضِيتَ دِينَهُ وَأَمَانَتَهُ فَإِنَّكَ إِذَا خَالَلْتَهُ قَادَكَ إِلَى دِينِهِ وَمَذْهَبِهِ، وَلا تُغَرِّرْ بِدِينِكَ، وَلا تُخَاطِرْ بِنَفْسِكَ، فَتُخَالِلْ مَنْ لَيْسَ مَرْضِيًّا فِي دِينِهِ وَمَذْهَبِهِ
“Sabda beliau : ‘Seseorang di atas agama teman dekatnya; maknanya adalah : janganlah berteman dekat kecuali dengan orang yang engkau ridlai agama dan amanatnya. Karena apabila engkau bergaul dekat dengannya, maka ia akan menuntunmu kepada agama dan madzhabnya. Jangan engkau terpedaya dengan agamamu dan jangan pula mempertaruhkan dirimu sehingga engkau berteman dekat dengan orang yang tidak diridlai agama dan madzhabnya” [Al-‘Uzlah hal. 46].
Tidakkah kita perhatikan Fir’aun yang bersamanya Haamaan ?. Perhatikanlah Al-Hajjaaj yang bersamanya Yaziid bin Abi Muslim (sekretarisnya), yang akhirnya Hajjaaj lebih buruk darinya. Perhatikan Khalifah Al-Watsiiq yang bersamanya Ibnu Abi Duad. Namun….. perhatikan pula Khalifah Sulaimaan bin ‘Abdil-Malik dengan temannya Rajaa’ bin Haiwah[3] yang ia menasihati dan meluruskannya……
Al-‘Adhiim Al-Aabaadiy rahimahullah berkata:
( الرجل ) يعني الإنسان ( على دين خليله ) أي على عادة صاحبه وطريقته وسيرته ( فلينظر ) أي يتأمل ويتدبر ( من يخالل ) فمن رضي دينه وخلقه خَالَلَهُ ومن لا تجنبه فإن الطباع سراقة
“(Seseorang), maksudnya manusia; (di atas/menurut agama teman dekatnya), yaitu di atas/menurut kebiasaan, jalan, dan perilaku temannya; (maka perhatikanlah), yaitu telitilah dan pertimbangkanlah; (siapa yang hendak ia jadikan teman), maksudnya siapa saja yang diridlai agama dan akhlaqnya, hendaklah ia jadikan teman dekat. Dan siapa saja yang tidak seperti itu, hendaklah dijauhi karena tabiat (manusia) suka meniru” [‘Aunul-Ma’buud, 13/123].
Hadits ini sesuai dengan hadits lain:
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
Ruh-ruh itu bagaikan tentara yang berkelompok-kelompok. Jika saling mengenal (mempunyai kesesuaian) di antara mereka, akan bersatu. Namun jika saling mengingkari (tidak ada kesesuaian), akan berselisih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3336, Muslim no. 2638, Abu Daawud no. 4834, dan yang lainnya].
Maalik bin Diinar rahimahullah berkata:
النَّاسُ أَجْنَاسٌ كَأَجْنَاسِ الطَّيْرِ الْحَمَامُ مَعَ الْحَمَامِ، وَالْغُرَابُ مَعَ الْغُرَابِ، وَالْبَطُّ مَعَ الْبَطِّ، وَالصَّعْوُ مَعَ الصَّعْوِ، وَكُلُّ إِنْسَانٍ مَعَ شَكْلِهِ
“Manusia bermacam-macam seperti jenis-jenis burung. Merpati akan bersama merpati, gagak bersama gagak, bebek bersama bebek, dan sha’wu bersama sha’wu. Maka, setiap orang akan bersama dengan orang yang setipe dengannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah hal. 480 no. 512; shahih].
An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan:
قَالَ الْعُلَمَاء : مَعْنَاهُ جُمُوع مُجْتَمَعَة ، أَوْ أَنْوَاع مُخْتَلِفَة . وَأَمَّا تَعَارَفهَا فَهُوَ لِأَمْرٍ جَعَلَهَا اللَّه عَلَيْهِ ، وَقِيلَ : إِنَّهَا مُوَافَقَة صِفَاتهَا الَّتِي جَعَلَهَا اللَّه عَلَيْهَا ، وَتَنَاسُبهَا فِي شِيَمهَا . وَقِيلَ : لِأَنَّهَا خُلِقَتْ مُجْتَمِعَة ، ثُمَّ فُرِّقَتْ فِي أَجْسَادهَا ، فَمَنْ وَافَقَ بِشِيَمِهِ أَلِفَهُ ، وَمَنْ بَاعَدَهُ نَافَرَهُ وَخَالَفَهُ . وَقَالَ الْخَطَّابِيُّ وَغَيْره : تَآلُفهَا هُوَ مَا خَلَقَهَا اللَّه عَلَيْهِ مِنْ السَّعَادَة أَوْ الشَّقَاوَة فِي الْمُبْتَدَأ ، وَكَانَتْ الْأَرْوَاح قِسْمَيْنِ مُتَقَابِلَيْنِ . فَإِذَا تَلَاقَتْ الْأَجْسَاد فِي الدُّنْيَا اِئْتَلَفَتْ وَاخْتَلَفَتْ بِحَسَبِ مَا خُلِقَتْ عَلَيْهِ ، فَيَمِيل الْأَخْيَار إِلَى الْأَخْيَار ، وَالْأَشْرَار إِلَى الْأَشْرَار . وَاَللَّه أَعْلَم
“Para ulama berkata : Maknanya adalah manusia/makhluk akan berkelompok berkumpul bersama, atau jenis/individu-individu yang berlainan. Adapun mereka yang saling mengenal, maka itu terjadi karena adanya kesamaan yang Allah ciptakan padanya. Dan dikatakan : Hal tersebut terjadi karena adanya kesesuaian sifat dan karakter yang Allah ciptakan padanya. Dikatakan pula : Karena mereka awalnya diciptakan berkelompok yang kemudian berpisah jasad-jasadnya. Maka barangsiapa berkesesuaian karakteristiknya, akan saling menyukai; dan barangsiapa yang berbeda karakteristiknya, akan saling menjauh/menghindar dan menyelisihi. Al-Khaththaabiy dan yang lainnya berkata : ‘Kebersamaan mereka terjadi karena sesuatu yang Allah ciptakan padanya sejak awal penciptaan berupa kebahagiaan (di surga) atau kesengsaraan (di neraka)[4]. Arwah/jiwa terdiri dari dua jenis yang saling bertolak-belakang. Apabila jasad-jasad saling bertemu di dunia, mereka akan bersepakat atau berselisihan sesuai kadar yang Allah ciptakan atas mereka. Jiwa-jiwa yang baik akan condong kepada jiwa-jiwa yang baik, sedangkan jiwa-jiwa yang buruk akan condong kepada jiwa-jiwa yang buruk juga. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 16/185].
‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berkata:
إِنَّمَا يُمَاشِي الرَّجُلُ وَيُصَاحِبُ مَنْ يُحِبُّهُ، وَمَنْ هُوَ مِثْلُهُ
“Sesungguhnya seseorang berjalan dan bersahabat hanyalah dengan orang yang ia cintai dan orang yang semisal dirinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah hal. 476 no. 499].
Banyak ulama kita terdahulu menilai dan mengenali seseorang berdasarkan teman dekatnya dan orang-orang yang ada di sekelilingnya.
‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berkata:
اعْتَبِرُوا النَّاسَ بِأَخْدَانِهِمْ، فَإِنَّ الْمَرْءَ لا يُخَادِنُ إِلا مَنْ يُعْجِبُهُ
“Nilailah manusia berdasarkan teman dekatnya, karena seseorang itu tidak akan berteman kecuali dengan orang yang membuatnya kagum”
Dalam riwayat lain:
اعْتَبِرُوا النَّاسَ بِأَخْدَانِهِمْ، الْمُسْلِمُ يَتْبَعُ الْمُسْلِمَ، وَالْفَاجِرُ يَتْبَعُ الْفَاجِرَ
“Nilailah manusia berdasarkan teman dekatnya. Seorang muslim akan mengikuti muslim lainnya, dan seorang fajir akan mengikuti orang fajir lainnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah hal. 439 no. 376 & hal. 477-478 no. 501-503, Ibnu Abid-Dunyaa dalam Al-Ikhwaanhal. 89 no. 38, Ibnu Abi Syaibah 8/423 no. 25984, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir9/209-210 no. 8919; shahih].
Mu’aadz bin Mu’aadz rahimahullah berkata:
يَا أَبَا سَعِيدٍ، الرَّجُلُ وَإِنْ كَتَمَ رَأْيَهُ لَمْ يَخْفَ ذَاكَ فِي ابْنِهِ، وَلا صَدِيقِهِ، وَلا فِي جَلِيسِهِ
“Wahai Abu Sa’iid, seandainya seseorang dapat menyembunyikan pemikirannya namun ia tidak akan dapat menyembunyikannya pada anaknya, teman dekatnya, dan teman duduknya” [idem, hal. 479 no. 509; shahih].
Al-Auzaa’iy rahimahullah berkata:
يُعْرَفُ الرَّجُلُ فِي ثَلاثَةِ مَوَاطِنَ: بِأُلْفَتِهِ، وَيُعْرَفُ فِي مَجْلِسِهِ، وَيُعْرَفُ فِي مَنْطَقِهِ
“Seseorang dikenali dari 3 tempat : pertemanannya, majelisnya, dan perkataannya” [idem, hal. 480 no. 512; shahih].
Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah berkata:
وَقَدِمَ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ الصُّورِيُّ بَغْدَادَ، فَذُكِرَ لأَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، فَقَالَ: انْظُرُوا عَلَى مَنْ نَزَلَ، وَإِلَى مَنْ يَأْوِي
“Muusaa bin 'Uqbah Ash-Shuuriy datang ke Baghdaad, dan kemudian hal itu disebutkan kepada Ahmad bin Hanbal. Maka ia (Ahmad) berkata : ‘Lihatlah kepada siapa ia singgah dan kepada siapa ia berlindung" [idem].
Para ulama membahas dan memperhatikan permasalahan ini dengan sungguh-sungguh karena munculnya fitnah yang merusak agama (dan dunia) seseorang berupa kesyirikan, bid’ah, kejahilan, dan berbagai bentuk kemaksiatan.
Muhammad bin Siiriin rahimahullah berkata:
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ، فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ، فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Dulu mereka (para shahabat) tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun ketika terjadi fitnah, mereka berkata : ‘Sebutkan pada kami rijaal kalian’. Maka dilihat jika orang-orang (rijaal)-nyadari kalangan Ahlus-Sunnah, diterima hadits mereka; namun jika dari kalangan ahli-bid’ah, tidak diterima” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahiih-nya hal. 24].
Mulai bermunculan ulama’/da’i suu’ yang berfatwa tanpa ilmu, sebagaimana sabda Nabi :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari manusia. Namun Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu (di tengah mereka), manusia mengangkat para pemimpin yang jahil. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 100 dan Muslim no. 2673].
Begitu da’i-da’i yang menyeru kepada pintu Jahannam:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ عَنِ الْخَيْرِ وَ كُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرِّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرِّ قَالَ نَعَمْ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرِ قَالَ نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ قَلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَسْتَنُّوْنَ بِغَيْرِ سُنَّتِي وَيَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرِّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قثلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ فَمَا تَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ فَقُلْتُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلُ تِلكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Dari Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir aku akan menimpaku”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dulu kami berada dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan, lalu Allah mendatangkan kebaikan (Islam) kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku bertanya : “Apakah setelah kejelekan tersebut akan datang kebaikan?”. Beliau menjawab : “Ya, tetapi padanya ada asap”. Aku bertanya : “Apa asapnya itu ?”. Beliau menjawab : “Suatu kaum yang mengambil sunnah bukan dengan sunnahku, dan memberikan petunjuk (kepada manusia) kepada selain petunjukku. Engkau akan mengenal mereka dan engkau akan mengingkarinya”. Aku bertanya : “Apakah setelah kebaikan tersebut akan datang kejelekan lagi?”. Beliau menjawab : ”Ya, para dai yang menyeru ke pintu neraka Jahannam. Barangsiapa yang menyambut seruan mereka, maka mereka akan menjerumuskannya ke dalamnya (Jahannam)”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, sebutkan ciri-ciri mereka kepada kami ?”. Beliau menjawab : “Ya. Mereka adalah satu kaum yang berasal dari kulit-kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita”. Aku bertanya : “Lantas, apa saranmu seandainya aku menemui hal itu ?”. Beliau menjawab : “Berpegang teguhlah kepada jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”. Aku bertanya : “Apabila mereka tidak memiliki jama’ah dan imam?”. Beliau menjawab : ”Tinggalkan semua kelompok-kelompok (sesat) itu, meskipun engkau harus menggigit akar pohon hingga kematian mendatangimu sedangkan engkau masih dalam keadaan seperti itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3606 & 7084 dan Muslim no. 1847].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
( دُعَاة عَلَى أَبْوَاب جَهَنَّم مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا )
قَالَ الْعُلَمَاء : هَؤُلَاءِ مَنْ كَانَ مِنْ الْأُمَرَاء يَدْعُو إِلَى بِدْعَة أَوْ ضَلَال آخَر كَالْخَوَارِجِ وَالْقَرَامِطَة وَأَصْحَاب الْمِحْنَة
“Sabda Nabi : ‘Para dai yang menyeru ke pintu neraka Jahannam. Barangsiapa yang menyambut seruan mereka, maka mereka akan menjerumuskannya ke dalamnya (Jahannam)’. Para ulama berkata : ‘Mereka berasal dari kalangan umaraa’ yang mengajak kepada bid’ah atau kesesatan lain seperti Khawaarij, Qaraamithah, dan ashhaabul-mihnah” [Syarh Shahiih Muslim, 12/237].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullahberkata:
قوله دعاة على أبواب جهنم أي يدعون الناس إلى العمل بما يولج
“Sabda Nabi : ‘Para dai yang menyeru ke pintu neraka Jahannam’, yaitu menyeru manusia untuk melakukan amalan yang menyebabkan masuk ke dalamnya (Jahannam)” [Fathul-Baariy, 1/117].
………………………………………………….
Kembali pada perkataan Muhammad bin Siiriin rahimahullah:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian”.
Apa yang dimaksudkan dengan ilmu dalam ucapan beliau rahimahullah tersebut?
Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’iy yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah ; ilmu yang bermanfaat; ilmu yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful-ummah.
Sufyaan Ats-Tsauriy rahimahullah berkata:
إِنَّمَا الْعِلْمُ كُلَّهُ الْعِلْمُ بِالآثَارِ
“Bahwasannya seluruh ilmu itu hanyalah ilmu tentang atsar-atsar” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 235].
Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
كل العلوم سوى القرآن مشغلة         إلا الحديث وإلا الفقه فِي الدين
 العلم ما كان فيه قَالَ حدثنا         وما سوى ذاك وسواس الشياطين
“Setiap ilmu selain Al-Qur’an menyibukkan, kecuali hadits dan ilmu fiqh dalam agama
Ilmu itu adalah yang pada terdapat qaala haddatsanaa, adapun selainnya adalah waswas setan” [Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa, 1/208].
Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah berkata:
الْعِلْمُ عِنْدَنَا مَا كَانَ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ كِتَابٍ نَاطِقٍ، نَاسِخٍ غَيْرِ مَنْسُوخٍ، وَمَا صَحَّتِ الأَخْبَارُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِمَّا لا مُعَارِضَ لَهُ، وَمَا جَاءَ عَنِ الأَلِبَّاءِ مِنَ الصَّحَابَةِ مَا اتَّفَقُوا عَلَيْهِ، فَإِذَا اخْتَلَفُوا لَمْ يَخْرُجْ مِنَ اخْتِلافِهِمْ فَإِذَا خَفِي ذَلِكَ وَلَمْ يُفْهَمْ فَعَنِ التَّابِعِينَ، فَإِذَا لَمْ يُوجَدْ عَنِ التَّابِعِينَ، فَعَنْ أَئِمَّةِ الْهُدَى مِنْ أَتْبَاعِهِمْ
“Ilmu di sisi kami adalah apa saja yang berasal dari Allah ta’ala dalam Kitabullah, yang naasikh (menghapus) dan bukan yang mansuukh (terhapus); apa saja yang shahih dari hadits-hadits Rasulullah yang tidak ada perselisihan; serta apa saja yang datang dari para ulama kalangan sahabat, yang disepakati oleh mereka. Apabila mereka berselisih pendapat, maka tidak boleh keluar dari perselisihan mereka (menuju pendapat yang lain). Apabila kebenaran tidak nampak dan tidak dapat dipahami, maka kami ambil pendapat dari kalangan taabi’iin (dalam perselisihan mereka tersebut). Apabila tidak didapatkan dari kalangan taabi’iin, maka dari para imam yang berada di atas petunjuk Allah yang mengikuti mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Al-Faqiih wal-Mutafaqqih, 1/432-433 no. 454; sanadnya shahih].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وَاعْلَمْ يَا أَخِي أَنَّ السُّنَنَ وَالْقُرْآنَ هُمَا أَصْلُ الرَّأْيِ وَالْعِيَارُ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ الرَّأْيُ بِالْعِيَارِ عَلَى السُّنَّةِ بَلِ السُّنَّةُ عِيَارٌ عَلَيْهِ، وَمَنْ جَهِلَ الأَصْلَ لَمْ يُصِبِ الْفَرْعَ أَبَدًا
“Dan ketahuilah wahai saudaraku, bahwasannya sunnah dan Al-Qur’an adalah pokok/sumber dari pemikiran dan timbangan terhadapnya (pemikiran). Bukannya pemikiran yang menjadi timbangan terhadap sunnah, akan tetapi sunnah lah yang menjadi timbangan terhadapnya. Barangsiapa yang jahil terhadap pokok (ilmu), maka ia tidak akan mendapatkan cabangnya selamanya” [Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih, 2/1140].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
من بنى الكلام فى العلم الاصول والفروع على الكتاب والسنة والاثار المأثورة عن السابقين فقد أصاب طريق النبوة وكذلك من بنى الارادة والعبادة والعمل والسماع المتعلق باصول الاعمال وفروعها من الأحوال القلبية والاعمال البدنية على الايمان والسنة والهدى الذي كان عليه محمد واصحابه فقد اصاب طريق النبوة وهذه طريق ائمة الهدى
“Barangsiapa yang membangun perkataannya dalam ilmu yang pokok maupun yang cabang di atas Al-Qur’an, As-Sunnah, dan atsar-atsar yang ma’tsuur dari para ulama terdahulu, sungguh ia mencocoki jalan kenabian. Begitu juga dengan orang yang membangun keinginan, peribadahan, amalan, dan pendengarannya yang terkait dengan pokok amalan dan cabangnya berupa kondisi hati dan amalan-amalam jasmani di atas keimanan, sunnah dan petunjuk yang ditempuh Muhammad dan para shahabatnya, sungguh ia telah mencocoki jalan kenabian. Inilah jalan yang ditempuh para imam yang mendapatkan petunjuk (dari Allah)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 10/363].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
العلم النافع يدل على أمرين : أحدهما : على معرفة الله وما يستحقه من الأسماء الحسنى والصفات العلى والأفعال الباهرة ، وذلك يستلزم إجلاله وإعظامه وخشيته ومهابته ، ومحبته ، ورجاءه والتوكل عليه والرضاء بقضائه والصبر على بلائه ، والأمر الثاني : المعرفة بما يحبه ويرضاه ، وما يكرهه وما يسخطه من الاعتقادات والأعمال الظاهرة والباطنة والأقوال ، فيوجب ذلك لمن علمه المسارعة إلى ما فيه محبة الله ورضاه والتباعد عما يكرهه ويسخطه فإذا أثمر العلم لصاحبه هذا فهو علم نافع ، فمتى كان العلم نافعاً ووقر في القلب فقد خشع القلب لله وانكسر له ، وذل هيبة وإجلالا وخشية ومحبة وتعظيما
“Ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua perkara. Pertama, menunjukkan pengetahuan terhadap Allah dan apa saja yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang baik, sifat-sifat yang tinggi, dan perbuatan-perbuatan yang mengagumkan. Hal itu berkonsekuensi untuk mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, mencinta-Nya, berharap dan tawakal kepada-Nya, ridla terhadap segala ketentuan-Nya, serta sabar atas segala musibah yang diberikan oleh-Nya. Kedua, mengetahui apa yang dicintai dan diridlai-Nya, serta apa yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan (i’tiqad), perbuatan yang lahir dan yang batin, serta perkataan. Hal tersebut mewajibkan orang yang mengetahuinya untuk bersegera menuju apa yang dicintai dan diridlai Allah, serta menjauhi apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu membuahkan semua itu kepada pemiliknya, maka itulah ilmu yang bermanfaat. Ketika ilmu bermanfaat dan menancap di hati, maka hati akan khusyu’ kepada Allah, tunduk dan takut kepada-Nya, serta mencintai dan mengangungkan-Nya” [Fadhlu ‘Ilmis-Salaf, hal 26-27].
Oleh karena itu, tujuan ilmu yang bermanfaat adalah agar seseorang dapat beribadah kepada Allah semata di atas bashiirah, menghasilkan rasa takut dan harap kepada Allah sehingga menggerakkan dirinya untuk mengikuti syari’at yang Nabi dan para shahabatnya berada di atasnya.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
فالعلم النافع ما عَّرف العبد بربِّه ، ودلَّ عليه حتى عرفه ووحَّده وأنس به واستحا من قربه وعَبَده كأنه يراه
“Maka ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menjadikan seorang hamba mengenal Rabbnya, menunjukkannya untuk kepada-Nya hingga ia benar-benar mengenal-Nya, mentauhidkan-Nya, menyukai-Nya, merasa malu karena kedekatan-Nya (yang senantiasa mengawasi), dan beribadah kepada-Nya seakan-akan ia melihat-Nya” [idem, hal. 28].
Maka, yang dimaksudkan meraih/mencari ilmu yang bermanfaat bukan memperbanyak pengetahuan dan berbangga dengannya. Tidak pula yang dimaksud ilmu yang bermanfaat adalah ilmu secara dzatnya, akan tetapi ilmu yang digunakan sebagai wasilah mendekatkan diri kepada Allah .
‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berkata:
لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ، وَلَكِنَّ الْعِلْمَ الْخَشْيَةُ
“Ilmu itu bukanlah dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu (yang hakiki) adalah rasa takut (kepada Allah)” [Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Az-Zuhd no. 866, Ibnu Baththah dalam Ibthaalul-Hiil hal. 78-79 no. 29, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 1/131, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’u Bayaanil-‘Ilmi no. 1401].
Rasa takut yang dikehendaki adalah rasa takut yang mewariskan ilmu dan pemahaman yang benar tentang syari’at-syari’at Allah beserta hukum-hukumnya. Bukan sekedar rasa takut semata seperti yang ada pada sebagian ahli ibadah. Oleh karena itu, Allah memuji para ulama dengan firman-Nya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” [QS. Faathir : 28].
Tidak ada jalan lain untuk mencapainya kecuali dengan keikhlasan dan ittibaa’ kepada jalan Rasulullah dan para shahabat, serta menjauhi bid’ah.
Qawwaamus-Sunnah Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:
وليس العلم بكثرة الرواية، وإنما هو الإتباع، والاستعمال.
يقتدي بالصحابة، والتابعين وإن كان قليل العلم، ومن خالف الصحابة والتابعين فهو ضال، وإن كان كثير العلم
“Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu itu hanyalah ittibaa’ dan pengamalan, serta meneladani para shahabat dan taabi’iin, meskipun sedikit ilmu. Barangsiapa yang menyimpang dari shahabat dan taabi’iin, maka ia sesat meskipun banyak ilmu” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 2/437-438].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
العلم ليس هو بكثرة الرواية، ولكنه نور يقذفه الله في القلب، وشرطه الاتباع، والفرار من الهوى والابتداع.
“Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah cahaya yang letakkan ke dalam hati, dan syaratnya adalah ittibaa’ dan menjauhkan/melepaskan diri hawa nafsu dan kebid’ahan” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13/323].
Barangsiapa yang jauh dari sikap ittibaa’ dan berdekat-dekat dengan bid’ah dan sumbernya, maka jauh pula dirinya dari ilmu bermanfaat yang diinginkan syari’at. Dirinya terjerumus dalam fitnah dan menjadi sumber fitnah bagi orang lain. Maka, ilmu yang bermanfaat hanya dicari dan digali dari para ulama Ahlus-Sunnah yang mengikatkan dirinya pada ittibaa’. Bukan pada ahli bid’ah, pengikut hawa nafsu, dan para khuthabaa’.
Maka sekali lagi, perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian !!
Nabi bersabda:
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
Keberkahan bersama akaabir (pembesar/ulama) kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 1954, Ibnu Hibbaan no. 559, Al-Haakim 1/62, dan yang lainnya; shahih].
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ ثَلاثًا: إِحْدَاهُنَّ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الأصَاغِرِ
Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd hal. 64 no. 61, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad 1/85 no. 102, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’u Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih 1/612 no. 1051-1052; shahih].
‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berkata:
لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ ﷺ وَأَكَابِرِهِمْ، فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ، فَذَلِكَ حِينَ هَلَكُوا
“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama ilmu datang kepada mereka dari kalangan para shahabat Muhammad dan para pembesar (ulama) mereka. Apabila ilmu datang kepada mereka dari kalangan Ashaaghirmereka, maka itulah saat kebinasaan mereka”.
Dalam riwayat lain:
لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ وَعَنْ أُمَنَائِهِمْ وَعُلَمَائِهِمْ، فَإِذَا أَخَذُوهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَشِرَارِهِمْ هَلَكُوا
“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para pembesar, kalangan terpercaya, dan ulama mereka. Apabila mereka mengambilnya dari kalangan Ashaaghir dan orang-orang yang jelek diantara mereka, binasalah mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd hal. 247 no. 815, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 1/260, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 9/120-121 no. 8589-8592, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 275; shahih].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
قَالَ نُعَيْمٌ: قِيلَ لابْنِ الْمُبَارَكِ: مَنِ الأَصَاغِرُ؟ قَالَ: الَّذِينَ يَقُولُونَ بِرَأْيِهِمْ، فَأَمَّا صَغِيرٌ يَرْوِي عَنْ كَبِيرٍ فَلَيْسَ بِصَغِيرٍ.
وَذَكَرَ أَبُو عُبَيْدٍ فِي تَأْوِيلِ هَذَا الْخَبَرِ، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ كَانَ يَذْهَبُ بِالأَصَاغِرِ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ وَلا يَذْهَبُ إِلَى السِّنِّ، قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: وَهَذَا وَجْهٌ، قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: وَالَّذِي أَرَى أَنَا فِي الأَصَاغِرِ أَنْ يُؤْخَذَ الْعِلْمُ عَمَّنْ كَانَ بَعْدَ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَذَاكَ أَخْذُ الْعِلْمِ عَنِ الأَصَاغِرِ
“Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir ?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil (muda usia) yang meriwayatkan hadits dari orang yang tua, maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghiritu”.
Abu ‘Ubaid menyebutkan tentang penafsiran hadits ini dari Ibnul-Mubaarak, maka ia berpendapat bahwa maksud Al-Ashaaghir adalah para ahli bid’ah[5]; dan ia tidak berpendapat tentang makna tersebut berkaitan dengan usia (muda)”[6] [Al-Jaami’, 1/612].
Apabila sifat keberkahan dan kebaikan dalam ilmu ada pada ulama Ahlus-Sunnah sedangkan kebinasaan ada pada ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu; adakah bagi kita udzur ini dan itu memilih selain mereka (ulama Ahlus-Sunnah) dalam kebaikan seandainya Nabi mengucapkannya di hadapan kita ?.
Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah berkata:
فلا يجوز الأخذ عن الجُهّال ولو كانوا متعالمين، ولا الأخذ عن المنحرفين في العقيدة بشرك أو تعطيل، ولا الأخذ عن المبتدعة والمنحرفين وإن سُمّوا علماء.
فالأصناف ثلاثة : أهل العلم النافع والعمل الصالح، وأهل العلم بدون عمل، وأهل العمل بدون علم.
وقد ذكر الله – تعالى – هذه الأصناف في آخر سورة الفاتحة، وأمرنا أن نسأله أن يهدينا إلى طريق الصنف الأول، وأن يجنّبنا طريق الصنفين الآخرين، قال – تعالى - :اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ.
فجعل الصنف الأول مُنْعَمًا عليه، والصنف الثاني مغضوبًا عليه، والصنف الثالث ضالاً.
وهذان الصنفان الأخيران يمثلان الفِرق المنحرفة اليوم، وإن كانت تنتسب إلى الإسلام.
“Tidak boleh mengambil ilmu (agama) dari orang-orang bodoh meskipun mereka mengaku pandai. Begitu juga tidak boleh mengambil ilmu dari orang-orang yang menyimpang dalam ‘aqidah berupa kesyirikan atau ta’thiil(menafikkan/menolak sifat Allah – Abul-Jauzaa’). Begitu juga dari kalangan ahli bid’ah dan menyimpang meskipun mereka disebut ulama.
Ada tiga golongan orang, yaitu ulama yang mengajarkan ilmu bermanfaat dan beramal shalaih, ulama yang tidak mengamalkan ilmunya, dan ulama yang tidak memiliki ilmu.
Allah menyebutkan tiga golongan orang ini dalam surat Al-Faatihah, dan Allah ta’alamemerintahkan kita agar memohon kepada-Nya memberikan petunjuk kepada kita kepada jalan golongan pertama. ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka’ (QS. Al-Faatihah : 6-7). Dan (memerintahkan kita memohon kepada-Nya) agar menjauhkan kita dari jalan dua golongan yang lainnya. Allah ta’ala berfirman : ‘bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat’ (QS. Al-Faatihah : 7).
Allah menjadikan golongan pertama sebagai golongan yang dianugerahkan nikmat, golongan kedua adalah golongan yang dimurkai, dan golongan ketiga adalah golongan yang sesat.
Dua golongan terakhir seperti kelompok-kelompok menyimpang pada hari ini, meskipun mereka menisbatkan diri pada Islam” [Al-Ajwibatul-Mufiidah, hal 251-254].
Para ulama Ahlus-Sunnah adalah jalan titian keselamatan, merekalah pewaris para nabi.
Jangan terpedaya dengan kemahiran sebagian ahlul-bid’ah dalam panjangnya kalimat dan bagusnya retorika.
عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ: خَطَبَنَا  عَمَّارٌ  فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ، فَلَمَّا نَزَلَ، قُلْنَا: يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ، فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ، فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ، مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ، وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ، وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ سِحْرًا "
Dari Abu Waail, ia berkata : ‘Ammaar pernah memberi khuthbah kepada kami dengan singkat dan padat isinya. Ketika turun (dari mimbar), kami berkata : “Wahai Abu Yaqdhaan, sesungguhnya engkau telah memendekkan dan memadatkan khuthbahmu. Seandainya saja engkau memanjangkannya”. Maka ia menjawab : “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : ‘Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khuthbah seseorang merupakan tanda dari kedalaman fiqh (pemahaman)-nya (dalam agama). Maka, panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah. Dan sesungguhnya sebagian dari bayan (penjelasan dengan kata-kata indah) adalah sihir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 869, Ahmad 4/263, Ibnu Khuzaimah no. 1782, dan yang lainnya].
Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu berkata:
خَطَبَ رَجُلٌ عِنْدَ عُمَرَ فَأَكْثَرَ الْكَلامَ، فَقَالَ عُمَرُ: "إِنَّ كَثْرَةَ الْكَلامِ فِي الْخُطَبِ مِنْ شَقَاشِقِ الشَّيْطَانِ "
“Ada seseorang yang berkhuthbah di hadapan ‘Umar, lalu ia memperbanyak perkataannya. ‘Umar lantas berkata : ‘Sesungguhnya banyaknya perkataan dalam khuthbah termasuk kefasihan setan” [Diriwayatkan Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 876; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad hal. 325].
Banyak orang awam menyangka siapapun yang naik mimbar dianggap ulama. Tukang cerita alias pendongeng pun dianggap ulama. Itulah ulama versi orang awam, sebagaimana dikatakan Ibnul-Jauziy rahimahullah:
العالم عند العوام من صعد المنبر
“Orang ‘aalim versi orang awam adalah orang yang naik di atas mimbar” [Al-Qashshaash wal-Mudzakkiriin, hal. 318].
Fenomena ini sudah diisyaratkan ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu dalam perkataannya:
إنَّكُمْ فِي زَمَانٍ كَثِيرٌ عُلَمَاؤُهُ، قَلِيلٌ خُطَبَاؤُهُ، وَإنَّ بَعْدَكُمْ زَمَانًا كَثِيرٌ خُطَبَاؤُهُ، وَالْعُلَمَاءُ فِيهِ قَلِيلٌ
“Sesungguhnya kalian berada di zaman yang banyak ulamanya namun sedikit khuthabaa’ (para penceramah)-nya. Dan sesungguhnya zaman setelah kalian nanti akan banyak khuthabaa’-nya namun sedikit ulamanya” [Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb dalam Kitaabul-‘Ilm hal. 45 no. 109; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam tahqiq dan takhrij-nya terhadap kitab tersebut].
Da’i tukang cerita/dongeng (Islami?) yang muncul untuk pertama kalinya adalah dari kalangan Khawaarij.
Muhammad bin Siiriin rahimahullah berkata:
أول من قص الخوارج
“Orang yang pertama kali mendongeng (dalam dakwah Islam) adalah Khawaarij”.
dalam riwayat lain:
أنه سأله رجل عن القصص ؟ فقال بدعة ! إن أول ما أحدث الحرورية القصص
Bahwasannya ia (Ibnu Siiriin) pernah ditanya seseorang tentang cerita/dongeng. Maka ia berkata : “Ini bid’ah, sesungguhnya hal yang pertama kali diada-adakan Haruuriyyah adalah cerita/dongeng” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Al-Qashshaash, hal. 177 & 343 no. 26 & 196].
Kemudian Ibnul-Jauziy rahimahullah memberikan komentar : “Orang-orang Haruuriyyah menyibukkan diri dengan cerita/dongeng daripada mempelajari dan memahami hukum-hukum Al-Qur’an. Lalu mereka condong kepada pemikiran-pemikiran mereka (yang menyimpang) sehingga mereka pun dicela karenanya” [Al-Qashshaash hal. 344].
Para ulama tidak mengambil ilmu dari orang-orang yang punya pemikiran ‘tak beres’ dan menjauhinya. Mereka mempunyai sikap yang jelas dan tegas dalam permasalahan ini sebagai implementasi pengamalan nash-nash.
Rasulullah bersabda:
سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِى، أُنَاسٌ يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ
Akan ada sekelompok manusia di akhir umatku yang akan berbicara kepada kalian dengan sesuatu yang tidak pernah kalian dengar sebelumnya tidak pula oleh bapak-bapak kalian, maka berhati-hatilah kalian dan hindarilah mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 6 dan Ahmad 2/321].
Al-Manawiy rahimahullah menjelaskan:
(سيكون في آخر الزمان أناس من أمتي) يزعمون أنهم علماء (يحدثونكم بما لم تسمعوا به أنتم ولا آباؤكم) من الأحاديث الكاذبة والأحكام المبتدعة والعقائد الزائفة (فإياكم وإياهم) أي احذروهم وبعدوا أنفسكم عنهم وبعدوهم عن أنفسكم
“(Sabda Nabi :  Akan ada sekelompok manusia di akhir umatku’), yang menyangka diri mereka ulama. (‘yang akan berbicara kepada kalian dengan sesuatu yang tidak pernah kalian dengar sebelumnya tidak pula oleh bapak-bapak kalian’), berupa hadits-hadits dusta, hukum-hukum yang diada-adakan (bid’ah), dan ‘aqidah-‘aqidah palsu. (‘maka berhati-hatilah kalian dan hindarilah mereka’), yaitu waspadalah terhadap mereka, serta jauhkanlah diri kalian dari mereka dan jauhkanlah mereka dari diri kalian” [Faidlul-Qadiir, 4/174].
Berikut wejangan beberapa ulama tempo doeloe terkait hal ini:
‘Abdullah Ad-Daanaj rahimahullah berkata:
شَهِدْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، وَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: إِنَّ قَوْمًا يُكَذِّبُونَ بِالشَّفَاعَةِ، فَقَالَ: "لا تُجَالِسُوهُمْ "، فَسَأَلَهُ آخَرُ، فَقَالَ: إِنَّ قَوْمًا يُكَذِّبُونَ بِعَذَابِ الْقَبْرِ فَقَالَ: "لا تُجَالِسُوهُمْ "
“Aku menyaksikan Anas bin Maalik yang ketika itu ada seorang laki-laki berkata kepadanya : ‘Sesungguhnya ada satu kaum yang mendustakan syafa’at’. Maka ia (Anas) berkata : ‘Jangan bermajelis dengan mereka’. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi yang lain seraya berkata : ‘Sesungguhnya ada satu kaum yang mendustakan adzab kubur’. Maka ia berkata : ‘Jangan bermajelis dengan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaadhal. 1137-1138 no. 2143 dan Ibnu Hajar dalam Al-Mathaalibul-‘Aaliyyah no. 4534; shahih].
Al-Hasan Al-Bashriy dan Ibnu Siiriin rahimahumallah berkata:
لَا تُجَالِسُوا أَصْحَابَ الْأَهْوَاءِ، وَلَا تُجَادِلُوهُمْ، وَلَا تَسْمَعُوا مِنْهُمْ
“Jangan bermajelis dengan pengikut hawa nafsu. Jangan berdebat dengan mereka dan jangan pula mendengar (perkataan/ilmu/hadits) dari mereka” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy hal. 391 no. 415; shahih].
Maalik bin Anas rahimahullah berkata:
لقد تركت جماعة من أهل المدينة ما أخذت عنهم من العلم شيئا، وإنهم لممن يؤخذ عنهم العلم، وكانوا أصنافا، فمنهم من كان كذابا في غير علمه، تركته لكذبه، ومنهم من كان جاهلا بما عنده، فلم يكن عندي موضعا للأخذ عنه لجهله، ومنهم من كان يدين برأي سوء
“Sungguh aku meninggalkan sekelompok penduduk Madinah yang tidak aku ambil ilmunya sama sekali, dan mereka bukan termasuk orang yang diambil ilmunya. Mereka terdiri dari beberapa jenis. Diantara mereka adalah pendusta selain dari penyampaian ilmunya, maka aku tinggalkan karena kedustaannya. Diantara mereka adalah orang jahil (bodoh), sehingga ia tidak mempunyai tempat bagiku untuk diambil ilmunya karena kejahilannya. Dan diantara mereka adalah orang yang beragama dengan pemikiran/pandangan yang jelek” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 1/65; sanadnya hasan].
لا يؤخذ العلم من أربعة، رجل معلن بالسفه وإن كان أروى الناس، ورجل يكذب في أحاديث الناس إذا حدث بذلك، وإن كنت لا تتهمه أن يكذب على رسول الله ﷺ وصاحب هوى يدعو الناس إلى هواه، وشيخ له فضل وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث به
“Ilmu tidak diambil dari empat jenis orang, yaitu orang yang menampakkan kebodohannya meskipun ia meriwayatkan dari banyak orang; orang yang berdusta dalam pembicaraan manusia apabila berbicara meskipun ia tidak dituduh berdusta terhadap Rasulullah ; pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah dan orang fasiq) yang mengajak manusia manusia kepada hawa nafsunya; serta syaikh yang memiliki keutamaan dan keshalihan ibadah apabila ia tidak menguasai/mengetahui apa yang ia bicarakan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil, 2/32].
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
أَهْلُ الْبِدَعِ مَا يَنْبَغِي لأَحَدٍ أَنْ يُجَالِسَهُمْ، وَلا يُخَالِطَهُمْ، وَلا يَأْنَسَ بِهِمْ
“Ahli bid’ah, tidak boleh bagi seorang pun untuk bermajelis dengan mereka, bergaul dengan mereka, dan beramah-tamah dengan mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/475 no. 495].
Mengapa tidak boleh ? Biarlah para ulama yang menjawab tentang sebab ketidakbolehannya:
1.    Merusak hati
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لا تُجَالِسْ أَهْلَ الأَهْوَاءِ، فَإِنَّ مُجَالَسَتَهُمْ مَمْرَضَةٌ لِلْقُلُوبِ
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Jangan bermajelis dengan pengikut hawa nafsu, karena bermajelis dengan mereka menyebabkan hati menjadi sakit” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/196 no. 139; shahih].
عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: كَانَ يُقَالُ: لا تُجَالِسْ صَاحِبَ زَيْغٍ، فَيُزِيغَ قَلْبَكَ
Dari ‘Amru bin Qais (w. 146 H), ia berkata : “Dulu dikatakan : Jangan kalian bermajelis dengan orang-orang sesat sehingga menyesatkan hati kalian” [Diriwayatkan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/436 no. 366 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/103; shahih].
Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah berkata:
اعْلَمُوا إِخْوَانِي أَنِّي فَكَّرْتُ فِي السَّبَبِ الَّذِي أَخْرَجَ أَقْوَامًا مِنَ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَاضْطَرَّهُمْ إِلَى الْبِدْعَةِ وَالشَّنَاعَةِ وَفَتَحَ بَابَ الْبَلِيَّةِ عَلَى أَفْئِدَتِهِمْ وَحَجَبَ نُورَ الْحَقِّ عَنْ بَصِيرَتِهِمْ فَوَجَدْتُ ذَلِكَ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: الْبَحْثُ وَالتَّنْقِيرُ وَكَثْرَةُ السُّؤَالُ عَمَّا لا يَعْنِي وَلا يَضُرُّ الْعَاقِلَ جَهْلُهُ وَلا يَنْفَعُ الْمُؤْمِنَ فَهْمُهُ.
وَالآخَرُ: مُجَالَسَةَ مَنْ لا تُؤْمَنُ فِتْنَتُهُ وَتُفْسِدُ الْقُلُوبَ صُحْبَتُهُ.
“Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya aku telah berpiikir tentang penyebab yang mengeluarkan satu kaum dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan mendorong mereka kepada bid’ah dan keburukan, serta membuka pintu bencana bagi hati-hati mereka dan menutup cahaya kebenaran terhadap bashirah mereka. Maka aku dapati hal itu disebabkan oleh dua faktor:
Pertama; membahas, mendalami, dan banyak bertanya terhadap sesuatu yang tak penting dan tidak pula membahayakan seseorang apabila ia tidak mengetahuinya, dan tidak memberikan manfaat bagi seorang mukmin jika memahaminya.
Kedua; bermajelis dengan orang yang dikhawatirkan fitnahnya dan merusak hati dengan sebab persahabatannya” [Al-Ibaanah, 1/390].
2.    Mengaburkan kebenaran
عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ: "لَا تُجَالِسُوا أَهْلَ الْأَهْوَاءِ وَلَا تُجَادِلُوهُمْ، فَإِنِّي لَا آمَنُ أَنْ يَغْمِسُوكُمْ فِي ضَلَالَتِهِمْ، أَوْ يَلْبِسُوا عَلَيْكُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْرِفُونَ "
Dari Abu Qilaabah (w. 104 H), ia berkata : “Jangan kalian bermajelis dengan pengikut hawa nafsu dan jangan pula berdebat dengan mereka, karena aku khawatir mereka akan menenggelamkan kalian ke dalam kesesatan mereka atau mengaburkan kepada kalian hal-hal yang telah kalian ketahui sebelumnya (sebagai kebenaran)” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy hal. 387 no. 405, Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/435 & 2/437 no. 363-364 & 367 & 369, dan Al-Faryaabiy dalam Al-Qadar hal. 212 & 213-214 no. 366 & 370; shahih].
Akhirnya yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar.
Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu berkata:
فَاعْلَمْ أَنَّ الضَّلالَةَ حَقَّ الضَّلالَةِ أَنْ تَعْرِفَ مَا كُنْتَ تُنْكِرُ، وَأَنْ تُنْكِرَ مَا كُنْتَ تَعْرِفُ، وَإِيَّاكَ وَالتَّلَونَ، فَإِنَّ دِينَ اللَّهِ وَاحِدٌ
“Ketahuilah bahwasannya kesesatan yang benar-benar kesesatan adalah menganggap ma’ruf yang sebelumnya engkau ingkari, dan mengingkari yang sebelumnya engkau anggap ma’ruf. Jauhilah engkau bersikap berubah-ubah, karena agama Allah itu satu” [Diriwayatkan oleh Ma’mar bin Rasyid dalam Jaami’-nya no. 20454, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 10/42 no. 19896, Al-Haitsamiy dalam Bughyatul-Baahits hal. 527-528 no. 470, dan Ibnu Hajar dalam Al-Mathaalibul-‘Aaliyah no. 3293; shahih].
3.    Menumbuhkan benih kesesatan dalam hati tanpa disadari
عَنْ أَسْمَاءَ بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: دَخَلَ رَجُلَانِ مِنْ أَصْحَابِ الْأَهْوَاءِ عَلَى ابْنِ سِيرِينَ، فَقَالَا: يَا أَبَا بَكْرٍ، نُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ؟، قَالَ: لَا، قَالَا: فَنَقْرَأُ عَلَيْكَ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ؟، قَالَ: لَا، لِتَقُومَانِ عَنِّي أَوْ لَأَقُومَنَّ، قَالَ: فَخَرَجَا، فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: يَا أَبَا بَكْرٍ، وَمَا كَانَ عَلَيْكَ أَنْ يَقْرَآ عَلَيْكَ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تعَالَى قَالَ: "إِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْرَآ عَلَيَّ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَيُحَرِّفَانِهَا، فَيَقِرُّ ذَلِكَ فِي قَلْبِي "
Dari Asmaa’ bin ‘Ubaid, ia berkata : Ada dua orang dari kalangan pengikut hawa nafsu yang masuk menemui Ibnu Siiriin. Mereka berkata : “Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menceritakan satu hadits kepadamu?”. Ibnu Siirin menjawab : “Tidak”. Mereka berkata : “Kalau begitu, akan kami bacakan kepadamu satu ayat dari Kitabullah”. Ibnu Siiriin menjawab : “Tidak. Sungguh, kalian yang pergi dariku atau aku yang akan pergi dari kalian !!”. Lalu mereka berdua pergi. Sebagian orang ada yang bertanya : “Wahai Abu Bakr, mengapa engkau tidak membiarkan mereka membacakan sebuah ayat dari Kitabullah?”. Ibnu Siiriin menjawab : “Aku khawatir akan dibacakan satu ayat dari Kitabullah kepadaku, lalu mereka mengubah-ubah maknanya yang kemudian pemahaman itu mendekam dalam hatiku” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy 1/389-400 no. 411; shahih].
4.    Menimbulkan permusuhan
عَنِ الأَعْمَشِ، قَالَ: قَالَ إِبْرَاهِيمُ: لا تُجَالِسُوا أَهْلَ الأَهْوَاءِ، فَإِنَّ مُجَالَسَتَهُمْ تَذْهَبُ بِنُورِ الإِيمَانِ مِنَ الْقُلُوبِ، وَتُسْلِبُ مَحَاسِنَ الْوُجُوهِ، وَتُورِثُ الْبِغْضَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ
Dari Al-A’masy, ia berkata : Telah berkata Ibraahiim (An-Nakha’iy) (w. 196 H) : “Jangan bermajelis dengan pengikut hawa nafsu, karena bermajelis dengan mereka akan memadamkan cahaya keimanan dalam hati, merenggut kebaikan wajah, dan mewariskan kebencian/permusuhan di hati orang-orang beriman” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/439 no. 375; sanadnya hasan].
5.    Menjadikan orang-orang condong membenarkan kebid’ahan dan penyimpangan mereka (ahlul-bid’ah).
Apalagi jika ahli bid’ah mayoritas. Apalagi jika orang yang duduk dengan ahli bid’ah adalah figur masyarakat.
Asy-Syaathibiy rahimahullah berkata:
فإن توقير صاحب البدعة مظنة لمفسدتين تعودان بالهدم على الإسلام:
أحدهما: التفات الجهال والعامة إلى ذلك التوقير ، فيعتقدون في المبتدع أنه أفضل الناس ، وأن ما هو عليه خير مما عليه غيره ، فيؤدي ذلك إلى اتباعه على بدعته دون اتباع أهل السنة على سنتهم.
والثانية: أنه إذا وقر من أجل بدعته صار ذلك كالحادي المحرض له على انشاء الابتداع في كل شيء.
وعلى كل حال ؛ فتحيا البدع ، وتموت السنن ، وهو هدم الإسلام بعينه.
“Sesungguhnya penghormatan[7]kepada ahli bid’ah merupakan sumber dari dua kerusakan yang berhubungan dengan hancurnya Islam. Pertama, berpalingnya orang-orang bodoh dan masyarakat awam kepada penghormatan itu dan berkeyakinan bahwa ahli bid’ah tersebut adalah seutama-utama manusia. Selain itu, apa yang ada pada ahli bid’ah dianggap lebih baik daripada yang ada pada selainnya (dari kalangan Ahlus-Sunnah). Akibatnya, mereka malah mengikuti bid’ahnya, bukan mengikuti sunnah yang ditempuh Ahlus-Sunnah. Kedua, apabila orang tersebut menghormatinya (ahli bid’ah) karena bid’ah yang dilakukannya, maka ini menjadi faktor pendorong baginya (ahli bid’ah) untuk membuat bid’ah di semua perkara.
Bagaimanapun juga, hidupnya bid’ah akan menyebabkan matinya sunnah. Inilah maksud kehancuran Islam itu sendiri” [Al-I’tishaam, 1/202].
Perkara ini merupakan multiplier effect berupa kerusakan komunitas yang lebih lebih luas. Karenanya, Ibnu ‘Aun rahimahullah sampai berkata:
مَنْ يُجَالِسُ أَهْلَ الْبِدَعِ أَشَدُّ عَلَيْنَا مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ
“Orang yang bermajelis dengan ahli bid’ah lebih berbahaya daripada ahli bid’ah itu sendiri” [idem, 2/473 no. 486].
Dan untuk kemaslahatan memproteksi kaum muslimin agar supaya mereka tidak tertipu dengan bermajelisnya seorang tokoh dengan ahli bid’ah, sebagian ulama dahulu menstigma orang-orang seperti ini sebagai ahli bid’ah juga.
عَنْ أَبي دَاوُدَ السِّجِسْتَانِيَّ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ: أَرَى رَجُلا مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ، مَعَ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْبِدْعَةِ، أَتْرُكُ كَلامَهُ؟ قَالَ: لا، أَوَتَعْلَمُهُ أَنَّ الرَّجُلَ الَّذِي رَأَيْتَهُ مَعَهُ صَاحِبُ بِدْعَةٍ، فَإِنْ تَرَكَ كَلامَهُ، فَكَلِّمْهُ، وَإِلا، فَأَلْحِقْهُ بِهِ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ "الْمَرْءُ بِخِدْنِهِ "
Dari Abu Daawud As-Sijistaaniy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal : “Aku melihat seseorang dari kalangan Ahlus-Sunnah bersama dengan ahli bid’ah. Apakah aku mesti meninggalkan berbicara dengannya?”. Abu ‘Abdillah menjawab : “Tidak. Atau hendaknya engkau memberitahunya bahwa orang yang engkau lihat bersamanya itu adalah ahli bid’ah. Apabila ia meninggalkan tidak berbicara dengan ahli bid’ah tersebut, maka berbicaralah dengannya. Apabila tidak, maka gabungkanlah ia bersamanya (ahli bid’ah)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ya’laa dalam Thabaqaatul-Hanaabilah, 1/429; sanadnya shahih].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang memuji dan menyanjung ahli bid’ah, apakah ia dikelompokkan/digabungkan dengan mereka (ahli bid’ah) ?. Beliau rahimahullah menjawab :
نعم، ما فيه شك، من أثنى عليهم ومدحهم هو داع إليهم، هو من دعاتهم، نسأل الله العافية
“Ya, tidak ada keraguan lagi. Barangsiapa yang memuji dan menyanjung mereka, maka ia menyeru kepada mereka. Ia termasuk du’at mereka. Nas-alullaahal-‘aafiyah” [Syarh Fadhlil-Islaam, hal. 10].
Ambil yang Baik, Buang yang Buruk……
Begitulah yang dikatakan sebagian orang. Kata mereka pula,”Hendaknya kita bersikap terbuka terhadap semua orang. Ambillah guru banyak-banyak, jangan batasi hanya kelompok Anda saja. Kita ambil yang baik, buang yang buruk…..”.😴😴😴😴 (bikin ngantuk).
Katanya, setan saja kalau menyampaikan kebenaran wajib kita terima. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu yang diberitahu setan fadlilah ayat Kursi. Tambahnya lagi, orang kafir kalau menyampaikan kebenaran, wajib kita terima…..
Inilah doktrinasi usang yang ingin dibangun kembali untuk melariskan dagangan basi.
O iya, sengaja saya tuliskan uraian agak panjang di atas untuk masuk di bab ini.
Untuk bantahan singkatnya, saya ilustrasikan dalam separagraf berikut:
Bisa jadi di tempat sampah Anda akan menemukan emas. Meski terbalut kotoran, ia tetaplah emas yang laku dijual. Adalah kebodohan ketika Anda tahu barang temuan itu emas, tapi Anda buang hanya karena berasal dari tempat sampah. Tapi sebaliknya, merupakan kekonyolan jika Anda kemudian menganjurkan masyarakat mengais-ngais sampah di TPA hanya untuk mendapatkan emas. Emas hanya ditambang di lokasi tambang emas. Anda bisa bertanya kepada ahli geologi atau Dinas ESDM dimana titik-titik potensialnya.
Insyaallah clear perbedaannya….
Ambil yang baik, buang yang buruk tidak dalam kemutlakannya. Seperti ilustrasi di atas, kebenaran harus diterima dari siapapun. Emas tetap dikatakan emas meski nemu di tempat sampah. Ia tidak akan berubah menjadi tembaga. Nabi pun membenarkan perkataan pendeta Yahudi ketika ia berkata benar, berkesesuaian dengan nash[8]. Begitu juga ketika kita mendengar teman kita yang Kristen mengatakan bahwa Musa dengan tongkatnya membelah lautan, apakah akan kita dustakan hanya karena dirinya beragama Kristen ?. Justru harus kita benarkan, karena apa yang ia katakan memang disebutkan dalam Al-Qur’an:
فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu". Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar” [QS. Asy-Syu’araa’ : 63].
Kita benarkan setelah kita verifikasi dengan dalil bahwa itu kebenaran.
Akan tetapi, ketika Nabi membenarkan perkataan pendeta Yahudi, sama sekali tidak pernah memerintahkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu agama kepada mereka dan bermajelis dengan mereka. Ketika kita benarkan perkataan teman Kristen kita, tidak lantas kita harus hadir dalam acara mingguan mereka di gereja agar memperoleh pencerahan.
Menerima kebenaran berbeda dengan mencari kebenaran. Kebenaran diterima darimana saja ia datang, sedangkan kebenaran hanya dicari dari orang-orang yang kita ridlai agama dan amanatnya.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْجَاهِلِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ وَتَأْوِيلَ الْغَالِينَ
Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang bodoh, pemalsuan orang-orang bathil, dan penakwilan orang-orang yang melampaui batas”.
Meskipun hadits ini diperselisihkan ulama tentang keshahihannya, namun maknanya benar. Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah termasuk yang menshahihkannya [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Syaraf Ashhaabil-Hadiits, hal 67 no. 51].
Jika mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu[9] untuk membenarkan apa yang mereka katakan itu (yaitu : ngaji harus terbuka, kepada siapa saja, antar harakah, jangan hanya pada satu kelompok saja/salafi), kenapa tidak sekalian berguru kepada anak buah setan – karena mereka berdalil dengan kasus setan - , dari kalangan orang-orang liberal untuk menambah wawasan mereka ?. Ul*l Abs**r punya kajian kitab Ihyaa’ ‘Ulumiddiin karya Al-Ghazaliy rahimahullah yang disiarkan live di FB. Anak buah setan lebih ringan daripada boss-nya (yaitu setan).
Atau tokoh lain seperti Om Staq** yang punya pengajian tafsir kitab karya kakeknya tiap hari Jum’at di Rembang sana. SAS menggelar pengajian rutin kitab Nashaaihul-‘Ibaad karya An-Nawawiy Al-Bantaniy rahimahullah. Kolega Aman Abdurrahman di luar penjara banyak yang bikin halaqahpengajian kitab. Sampai Raja Dangdut gaek tanah air pun sering ngisi pengajian dan diundang tabligh akbar di berbagai daerah.
Tidak mungkin semua yang disampaikannya salah. Pasti ada yang benar. Ambil yang baik, buang yang buruk…..
Jika mereka ingin minum dari semua sumber/tampungan air di muka bumi – baik itu sumur zamzam, laut, sungai, got, septic tank, dan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) – silakan saja. Namun kita hanya akan minum dari sumber yang menyehatkan dan tidak berbahaya bagi tubuh kita.
Bukankah para imam dahulu menerima hadits dari kalangan ahli bid’ah ?.
Benar, dan itu fakta. Namun sebelumnya, silakan refresh kembali uraian di atas tentang larangan bermajelis dan mengambil ilmu dari ahli bid’ah dan sebab ketidakbolehan (dampak)-nya. OK? Sudah?
Pertama, ini seperti perkataan sebagian orang : ‘hum rijaal wa nahnu rijaal’ ketika mengambil posisi kontra dengan para imam, ‘berijtihad’ tanpa memperhatikan apa yang ternukil dari kalangan salaf. Mereka mengutip perkataan Abu Haniifah rahimahullah:
ما جاء عن الرسول ﷺ، فعلى الرأس والعين، وما جاء عن الصحابة اخترنا، وما كان من غير ذلك، فهم رجال ونحن رجال
“Apa saja yang datang dari Rasulullah , maka kita terima dengan penuh penghormatan. Apa saja yang datang dari para shahabat, maka kami memilihnya. Adapun yang datang dari selain mereka, maka mereka adalah laki-laki dan kami pun laki-laki” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 6/401].
Mereka kira diri mereka seperti Abu Haniifah rahimahullah yang statusnya ulama taabi’iin. Mereka lupa kedudukan Abu Haniifah dalam ilmu.
Oleh karena itu, ketika orang-orang yang menyerukan ‘ngaji merdeka’ berdalil dengan perbuatan ahli hadits yang mengambil riwayat dari ahli bid’ah, apakah mereka tidak sedang memposisikan diri seperti kasus penggunaan ucapan Abu Haniifah rahimahullah di atas – yang notabene sering mereka gunakan untuk mengkritik salafi - ?. Amnesia ?. Ada kaca di rumah ?.
Kedua, para ulama ahli hadits membuat persyaratan ketat dalam penerimaan riwayat dari kalangan ahli bid’ah atau terindikasi bid’ah, yaitu : bid’ahnya bukan termasuk bid’ah mukaffirah, ia seorang yang jujur, bukan termasuk dari kalangan dainya, dan riwayat yang dibawakan tidak menguatkan bid’ahnya. Sebenarnya, panjang pembahasan persyaratan ini. Maka, periwayatan dari mereka masuk dalam bab irtikaabu akhaffidl-dlararain– memilih mudlarat yang paling ringan. Apabila hadits-hadits mereka ditolak, niscaya banyak hadits Nabi dan atsar para shahabat setelahnya hilang tidak sampai kepada kita. Maka ini merupakan kerusakan yang nyata.
Apakah mereka, penganut madzhab ‘ngaji merdeka’ mengikuti rule ini ? Ndak juga sepertinya…..
Kenyataan : meskipun personnya tidak (belum) dikafirkan secara mu’ayyan, bid’ah sebagian orang yang kita ‘dituntut’ mereka munduk-mundukngaji di hadapannya secara dzatnya termasuk bid’ah mukaffirah atau bid’ah kelas (sangat) berat. Diantara bentuknya:
a.    Mengingkari sifat ‘ulluw atau ketinggian Allah ta’ala di atas ‘Arsy.
Abu ‘Abdillah Al-Haakim rahimahullah berkata:
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ صَالِحِ بْنِ هَانِئٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ، يَقُولُ: مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ قَدِ اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ
Aku mendengar Muhammad bin Shaalih bin Haani’ berkata : Aku mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata : “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiitshal. 84].
b.    Membolehkan sebagian praktek kesyirikan seperti beristighatsah kepada mayit.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فإنا بعد معرفة ما جاء به الرسول نعلم بالضرورة انه لم يشرع لأمته أن تدعو أحدا من الأموات لا الأنبياء ولا الصالحين ولا غيرهم لا بلفظ الاستغاثة ولا يغيرها ولا بلفظ الاستعاذة ولا يغيرها كما أنه لم يشرع لأمته السجود لميت ولا لغير ميت ونحو ذلك بل نعلم أنه نهى عن كل هذه الأمور وأن ذلك من الشرك الذي حرمه الله تعالى ورسوله
“Maka setelah kita mengetahui risalah yang dibawa Rasulullah , kita mengetahui dengan pasti bahwa tidaklah disyari’atkan bagi umatnya untuk berdoa kepada orang mati, baik para Nabi, orang shaalih, dan yang lainnya; tidak dengan lafadh istighatsah, istiadzah, atau yang lainnya. Sebagaimana juga tidak disyari’atkan bagi umatnya untuk sujud kepada mayit atau selain mayit, dan yang lainnya. Bahkan kita mengetahui beliau melarang semua perkara itu, karena termasuk kesyirikan yang diharamkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya” [Ar-Radd ‘alal-Bakriy, 2/731].
NB : Anehnya orang-orang di zaman sekarang, ada orang yang anti kesyirikan dan anti udzur kejahilan, namun malah sering mem-promote tokoh-tokoh pelaku kesyirikan ini karena latar belakang politik.
Kenyataan lain : sebagian pelaku bid’ah atau pelaku penyimpangan itu adalah da’inya yang mendakwahkan kebid’ahan dan penyimpangannya, serta dikenal keras permusuhannya terhadap dakwah salaf dan para pengembannya. ‘Mereka’ nampaknya tenang-tenang saja dengan permusuhan tersebut. Mereka pun nyaman dengan dai yang terindikasi qadariyyah dan dai yang ‘menjiplak’ perkataan Khomeini dalam celaannya terhadap Nabi Ndak percaya sampeyan?.
Ketiga, para ulama ahli hadits dahulu ketika mengambil riwayat dari kalangan ahli bid’ah atau mereka yang condong kepada bid’ah – dengan persyaratannya – tetap menjelaskan kebid’ahan dan penyimpangan mereka, tegas tidak loyo. Mereka memberitahukan hal tersebut kepada khalayak.
1.    Al-Hasan bin Shaalih bin Shaalih bin Hay Al-Hamdaaniy Ats-Tsauriy
Ia seorang perawi yang punya pemikiran jelek bolehnya mengangkat pedang terhadap penguasa. Ahmad bin Yuunus (At-Tamiimiy Al-Yarbuu’iy) mengambil hadits darinya sebagaimana ada dalam Sunan Abi Daawud. Ketika ia mengambil hadits darinya, apakah ia diam dan bengong saja tanpa menjelaskan hakekat ‘aqidah jelek Al-Hasan ?. Tidak. Ahmad bin Yuunus berkata : “Seandainya Al-Hasan bin Shaalih tidak lahir, niscaya lebih baik baginya. Ia meninggalkan shalat Jum’at dan berpendapat bolehnya mengangkat pedang. Aku bermajelis dengannya selama 20 tahun, namun aku belum pernah melihatnya mengangkat kepalanya ke langit dan menyebut tentang dunia”.
‘Abdullah bin Daawud (Al-Hamdaaniy Asy-Sya’biy) juga meriwayatkan hadits darinya sebagaimana ada dalam Sunan At-Tirmidziy. Apakah ia diam saja tidak menjelaskan kejelekan Al-Hasan bin Shaalih ?. Tidak. Ketika Abu Ahmad Az-Zubairiy memuji Al-Hasan, ‘Abdullah bin Daawud menyergahnya dengan mengatakan dirinya lebih tahu tentang Al-Hasan daripada Abu Ahmad, dengan mengatakan ia (Al-Hasan) seorang ahmaq (pandir) [Tahdziibul-Kamaal, 6/177-191 no. 1238].
2.    ‘Ubaidullah bin Muusaa Al-‘Absiy
Ia perawi yang terindikasi berpemahaman tasyayyu’ [Taqriibut-Tahdziib, hal. 645-646 no. 4376]. Sebagai informasi, tasyayyu’ yang dimaksud di sini adalah mengutamakan ‘Aliy bin Abi Thaalib di atas ‘Utsmaan, bukan tasyayyu’-nya Raafidlah pendusta muta’akhkhiriin.
Ibraahiim bin Ya’quub Al-Juuzajaaniy rahimahulah meriwayatkan hadits darinya sebagaimana disebutkan dalam Sunan At-Tirmidziy [Tahdziibul-Kamaal, 19/166]. Meskipun demikian, ia menjelaskan kepada khalayak dan tertulis dalam kitabnya berjudul Ahwaalur-Rijaal (hal. 81 no. 107) bahwa Ubaidullah bin Muusaa mempunyai madzhab yang ekstrem dan jelek. Beberapa muhaqqiq mengkritisi perkataan Al-Juuzajaaniy karena dianggap berlebihan. Telah ma’ruuf bahwa ia tertuduuh naashibiy yang mempunyai pandangan jelek terhadap penduduk Kuufah. Namun di sini ia tidak sendirian. Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan hadits darinya. Sama seperti Al-Juuzajaaniy, ia juga menjelaskan perihal ‘Ubaidullah. Ketika ayah Muhammad bin Ismaa’iil (Al-Bukhaariy) ingin pergi ke Makkah, maka ia dinasihati oleh Ahmad bin Hanbal agar jangan mendatangi ‘Ubaidullah bin Muusaa karena madzhabnya yang ghulluw [Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir lil-‘Uqailiy, hal. 876 no. 1112].
3.    ‘Abdul-Malik bin A’yan Al-Kuufiy
Ia seorang perawi shaduuq yang terindikasi syii’iy, dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 621 no. 4192]. Sufyaan bin ‘Uyainah meriwayatkan darinya, dan riwayatnya tersebut dimasukkan oleh para imam penulis Al-Kutubus-Sittah. Namun apa kata Sufyaan tentangnya ?. Ia berkata : “Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin A’yan, syii’iy. Ia di sisi kami adalah Raafidliy, shaahibur-ra’yi” [selengkapnya : Tahdziibul-Kamaal, 18/282-286]. Al-Bukhaariy membawakan 1 hadits darinya maqruunan dalam Al-Jaami’ush-Shahiih (no. 7445). Tapi ia tahu dan menerangkannya bahwa ‘Abdul-Malik seorang syii’iy[Adl-Dlu’afaa’ Ash-Shaghiir, hal. 76 no. 217].
4.    ‘Auf bin Abi Jamiilah
Ia seorang perawi yang tsiqah, namun dituduh berpemahaman qadariy dan tasyayyu’[Taqriibut-Tahdziib, hal. 757 no. 5250]. ‘Abdullah bin Al-Mubaarak meriwayatkan darinya, dan riwayatnya tersebut disebutkan Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya dan An-Nasaa’iy dalam Sunan-nya. Ibnul-Mubaarak secara terang-terangan menjelaskan dan mencela madzhab gurunya. Ia begitu mengenal madzhab ‘Auf yang jelek sehingga menasihati Ja’far bin Sulaimaan dengan perkataannya : “Engkau melihat Ayyuub, Ibnu ‘Aun, dan Yuunus. Bagaimana bisa engkau tidak bermajelis dengan mereka sementara engkau bermajelis dengan ‘Auf ?. Demi Allah, ‘Auf tidak ridla dengan hanya satu bid’ah saja, hingga padanya ada dua bid’ah sekaligus : ia seorang qadariy dan juga syii’iy” [Adl-Dlu’afaa’ lil-‘Uqailiy, 3/1120 no. 1474 dan Al-‘Ilal 1/414 no. 2913].
5.    Maalik bin Ismaa’iil bin Dirham, Abu Ghassaan Al-Kuufiy
Ia seorang perawi yang tsiqah, mutqin, ahli ibadah, namun terindikasi tasyayyu’[Taqriibut-Tahdziib, hal. 913 no. 6464]. Al-Juuzajaaniy meriwayatkan hadits darinya sebagaimana dibawakan oleh An-Nasaa’iy [Tahdziibul-Kamaal, 27/88], namun ia menjelaskan kepada orang-orang madzhab jelek yang dianut Abu Ghassaan dengan perkataannya : “Maalik bin Ismaa’iil Abu Ghassaan, seorang Hasaniy, yaitu Al-Hasan bin Shaalih (bin Hay) dalam ketekunan ibadahnya dan kejelekan madzhabnya” [Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’, 8/118]. Tasyayyu’ Abu Ghassaan ini dikatakan juga Ibnu Sa’d, Abu Daawud, dan ‘Utsmaan bin Abi Syaibah rahimahumullah.
6.    Jaabir Al-Ju’fiy.
Ia seorang perawi yang terindikasi sebagai raafidliy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 192 no. 886]. Sufyaan bin ‘Uyainah pernah meriwayatkan hadits darinya. Menurut Sa’iid bin Manshuur sekitar 60 hadits [Tahdziibul-Kamaal, 4/465-472 beserta catatan kaki muhaqqiq-nya]. Namun demikian, Ibnu ‘Uyainah berkata : “Ia beriman terhadap raj’ah”. Kemudian Sufyaan mencela dan mendustakannya karena pemikiran jeleknya tentang raj’ah tersebut [Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’, 2/331].
7.    Abbaad bin Ya’quub Al-Asadiy Ar-Rawaajiniy, Abu Sa’iid Al-Kuufiy
Ia seorang perawi yang mendapatkan kritikan paling keras karena kesyi’ahannya. Satu saja saya contohkan, Ibnu Khuzaimah. Meskipun ia meriwayatkan hadits darinya [Tahdziibul-Kamaal, 14/177], namun ia berkata : “Telah menceritakan kepada kami seorang yang shaduuq (sangat jujur) dalam riwayatnya, namun tertuduh dalam agamanya, yaitu ‘Abbaad bin Ya’quub” [Al-Madkhal ilaa Kitaabil-Ikliil hal. 120 dan Al-Kifaayah 1/392 no. 360]. Kemudian ia tak sabar hingga akhirnya meninggalkan riwayatnya karena kejelekan madzhabnya. Al-Khathiib Al-Baghdaadiy berkata : “Ibnu Khuzaimah pada akhirnya meninggalkan riwayat dari ‘Abbaad, dan ia (Ibnu Khuzaimah) seorang yang ahli ketika tidak meriwayatkan darinya” [Al-Kifaayah, 1/392 no. 360].
8.    ‘Abdul-Hamiid bin ‘Abdirrahmaan Al-Himmaaniy
Ia perawi yang dipakai Abu Daawud dalam Sunan-nya melalui perantara ‘Utsmaan bin Abi Syaibah dan Al-Hasan bin ‘Aliy. Abu Daawud tetap mengatakan bahwa dirinya termasuk dai/tokoh irjaa’ [Tahdziibul-Kamaal, 16/454].
9.    Dan lain-lain – masih banyak.
Para ulama ahli hadits mengambil riwayat mereka sambil menjelaskan identitas mereka agar orang lain tahu dan berhati-hati. Tak segan memberikan tahdzir.
Bandingkan dengan penyeru ‘ngaji merdeka’. Jauh….
Malah seruan utama mereka adalah ‘persatuan’[10]. Kritik terhadap kesyirikan, kebid’ahan, dan berbagai penyimpangan tokoh lintas kelompok dan harakah terutama yang terkait dalam masalah ‘aqidah dan manhaj menjadi sepi dan mlempem. Yang nyaring adalah kritik terhadap ‘salafi. Ewuh pekewuh.[11]
Orang berdagang tentu banyak trik-nya….
Sanggupkah mereka bersikap seperti para imam ?.
Jangan terlalu berkhayal bahwa kita akan menjadi seperti lebah yang ketika ada onggokan sampah dan sekuntum bunga, ia hanya hinggap di atas bunga. Selain mungkin tidak memahami secara ilmiah animal behaviour[12], apakah dalil dan perkataan ulama di atas kurang cukup ?. Lebah, Anda kasih sebakul nasi plus ayam goreng, tak akan dimakannya karena memang bukan makanannya. Dia hanya mau sari bunga saja. Beda dengan manusia. Manusia, Anda kasih dekat sepuluh orang yang berbeda-beda karakteristiknya, dapat menyerap dari keseluruhannya. Yang paling banyak berpengaruh adalah yang paling dekat dan paling sering interaksi.
Orang yang pertama kali melihat maksiat, mungkin akan risih dan jijik. Jika saban hari - pagi, siang, dan sore - pemandangan itu nampak di pelupuk mata, rasa risih dan jijik akan berangsur-angsur hilang. Akhirnya menjadi biasa saja.
Allah berfirman tentang orang-orang Yahudi:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ
(Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya” [QS. Al-Maaidah : 41].
Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan ayat di atas:
مما يدل على أن العبد إذا اعتاد سماع الباطل وقبوله أكسبه ذلك تحريفا للحق عن مواضعه فإنه إذا قبل الباطل أحبه ورضيه فإذا جاء الحق بخلافه رده وكذبه إن قدر على ذلك وإلا حرفه كما تصنع الجهمية بآيات الصفات وأحاديثها يردون هذه بالتأويل الذي هو تكذيب بحقائقها
“Ayat ini menunjukkan bahwa seorang hamba yang membiasakan diri mendengar sesuatu yang bathil dan menerimanya, hal itu akan menjadikannya mengubah kebenaran dari tempat yang semestinya. Jika ia telah menerima kebathilan, ia akan mencintainya dan meridhainya. Seandainya datang kepadanya kebenaran yang menyelisihi kebathilan yang diterima tadi, ia akan menolaknya dan mendustakannya, jika mampu. Jika tidak mampu, maka ia akan mengubahnya sebagaimana yang dilakukan oleh Jahmiyyah terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah . Mereka menolaknya dengan melakukan ta’wil yang sama saja mendustakan hakekatnya” [Ighaatsatul-Lahafaan, 1/55].
Kemaksiatan dan bid’ah apabila biasa didengar dan dilihat, maka akan menancap di hati. Bermula dari anggapan semua serba khilafiyyah, termasuk perkara ‘aqidah dan manhaj. Lambat laun, yang dulunya dianggap salah menjadi benar. Ketergelinciran ulama yang menjadi kesukaan ahli bid’ah dalam menguatkan bid’ahnya, terbenam bersama bid’ah dan kesesatan mereka dalam hati dan pikiran kita.
حَدَّثَنِي زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى الْبَلْخِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ، عَنْ أَبِي حُصَيْنٍ، عَنْ زِيَادِ بْنِ حُدَيْرٍ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ "يَهْدِمُ الْإِسْلَامَ ثَلَاثَةٌ: زَلَّةُ عَالِمٍ، وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ، وَأَئِمَّةٌ مُضِلُّونَ "
Telah menceritakan kepadaku Zakariyyaa bin Yahyaa Al-Balkhiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Maalik bin Mighwal, dari Abu Hushain, dari Ziyaad bin Hudair, ia berkata : Telah berkata ‘Umar bin Al-Khaththaab : “Islam hancur dengan sebab tiga perkara : ketergelinciran ulama, perdebatan orang munafiq tentang Al-Qur’an, dan para imam yang menyesatkan” [Diriwayatkan oleh Al-Faryaabiy dalam Shifaun-Nifaaq no. 31; sanadnya shahih].
Apakah ini ending kita menuntut ilmu dari semua entitas manhaj dan ‘aqidah (yang meminjam bahasa ‘mereka’ : ngaji merdeka antar kelompok/harakah).
Jangan terlalu yakin bahwa diri Anda/kita sama seperti para imam di atas.
Ketika Ibnu ‘Aqiil Al-Hanbaliy rahimahullah mulai membaca kitab-kitab Mu’tazilah dan berinteraksi dengan ulamanya, koleganya dari kalangan Ahlus-Sunnah sudah memperingatkannya. Ia enggan dengan alasan ingin menuntut ilmu, dan akhirnya ia jatuh kepada kebid’ahan mereka. Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
كانوا ينهونه عن مجالسة المعتزلة ، ويأبى حتى وقع في حبائلهم ، وتجسر على تأويل النصوص ، نسأل الله السلامة
"Mereka (para ulama di zamannya) melarangnya (Ibnu 'Aqiil) untuk bermajelis dengan Mu'tazilah, namun ia enggan hingga akhirnya terjatuh dalam pemikiran mereka dan mulai berani mena'wilkan nash-nash. Nas-alullahas-salaam wal-'aafiyyah"[13] [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 19/447].
Begitu juga ‘Imraan bin Hiththaan[14], seorang (yang awalnya) Ahlus-Sunnah dari generasi taabi’iin yang berubah menjadi tokoh Khawaarij. Teman-temannya telah mengingatkan dirinya, namun ‘Imraan berkilah bahwa ia akan menasihatinya dan mengembalikannya kepada pemahaman Ahlus-Sunnah. Kenyataannya, bukan istrinya yang berubah, namun dirinya yang malah ikut pada pemahaman istrinya. Innaa lillaahi wa innaa iliahi raaji’uun. Ibnu Katsiir rahimahullahberkata:
عمران بن حطان الخارجي، كان أولا من أهل السنة والجماعة فتزوج امرأة من الخوارج حسنة جميلة جدا فأحبها. وكان هو دميم الشكل، فأراد أن يردها إلى السنة فأبت فارتد معها إلى مذهبها
“’Imraan bin Hiththaan Al-Khaarijiy. Awalnya ia termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Ia menikahi seorang wanita Khawaarij cantik jelita, lalu ia pun jatuh cinta kepadanya – padahal ia (‘Imraan) seorang yang cebol lagi buruk rupa. ‘Imraan (menikahinya karena) hendak mengembalikannya kepada sunnah, namun wanita itu enggan dan malah ‘Imraan murtad (dari sunnah) bersama wanita itu kepada madzhabnya (Khawaarij)” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 9/64].
Dua orang di atas bukan orang-orang ecek-ecek, namun akhirnya berubah karena intens berinteraksi dengan orang-orang yang menyimpang.
Lihat, para ulama…. mereka meneliti kitab orang-orang non Ahlus-Sunnah, lalu mereka mengambil faedahnya dan kemudian tersampaikan kepada kita. Ambil yang baik, buang yang buruk !! - kata mereka (lagi).
Apakah dengan perkataan ini ‘mereka’ menganjurkan kaum muslimin membaca buku-buku ahli bid’ah dengan prinsip ‘ambil yang baik, buang yang buruk’ ?. Allaahul-musta’aan…. Ini adalah pintu kejelekan yang nyata.
Dari Jaabir bin 'Abdillah radliyallaahu ‘anhu:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ ﷺ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ، فَقَرَأَهُ عَلَّى النَّبِيُّ ﷺ فَغَضِبَ، وَقَالَ: أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا، مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي
Bahwasannya Umar bin Khaththaab pernah mendatangi Nabi sambil membawa kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Kemudian ia membacakan kepada Nabi kitab tersebut. Nabi pun marah dan bersabda : “Apakah engkau merasa bingung dengan apa yang ada di dalamnya, wahai Ibnul-Khaththaab?. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu putih lagi bersih (jelas). Janganlah kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang satu hal, karena mungkin mereka akan memberitahu kalian satu kebenaran namun kalian mendustakannya. Atau mereka menkhabarkan satu kebatilan, akan tetapi kalian membenarkannya. Demi Dzat, yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Muusaa masih hidup, maka wajib baginya untuk mengikutiku” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/387; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliilno. 1589].
Buku ahli kitab tidak semuanya jelek, namun Nabi tidak memerintahkan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : ‘ambil yang baik, buang yang buruk’.[15]
Hukum asalnya adalah terlarang membaca kitab-kitab ahli bid’ah, karena Nabi memerintahkan kita untuk menjauhinya. Kok malah ada yang menganjurkan untuk membacanya. Biar dagangan (bid’ah dan kesesatan) situ laku ?.
Muhammad bin Al-Husain, Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy rahimahullah berkata:
رَأَيْتُ بِخَطِّ أَبِي عَمْرِو بْنِ مَطَرٍ، يَقُولُ: سُئِلَ ابْنُ خُزَيْمَةَ عَنِ الْكَلامِ فِي الأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ، فَقَالَ: بِدْعَةٌ ابْتَدَعُوهَا، وَلَمْ يَكُنْ أَئِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَأَرْبَابُ الْمَذَاهِبِ وَأَئِمَّةُ الدِّينِ مِثْلَ مَالِكٍ، وَسُفْيَانَ، وَالأَوْزَاعِيِّ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ، وَيَحْيَى بْنِ يَحْيَى، وَابْنِ الْمُبَارَكِ، وَمُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى، وَأَبِي حَنِيفَةَ، وَمُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ، وَأَبِي يُوسُفُ، يَتَكَلَّمُونَ فِي ذَلِكَ، وَيَنْهُونَ عَنِ الْخَوْضِ فِيهِ، وَيَدُلُّونَ أَصْحَابَهُمْ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَإِيَّاكَ وَالْخَوْضَ فِيهِ، وَالنَّظَرَ فِي كُتُبِهِمْ بِحَالٍ
“Aku melihat tulisan tangan Abu ‘Amru bin Mathar : Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah pernah ditanya tentang ilmu kalam dalam permasalahan al-asmaa’ wash-shifaat. Maka ia menjawab : ‘Bid’ah yang dibuat-buat. Para imam kaum muslimin, ulama madzhab, dan imam di bidang agama seperti Maalik (bin Anas), Sufyaan (Ats-Tsauriy), Al-Auzaa’iy, Asy-Syaafi’iy, Ahmad (bin Hanbal), Ishaaq (bin Rahawaih), Yahyaa bin Yahyaa, Ibnul-Mubaarak, Muhammad bin Yahyaa, Abu Haniifah, Muhammad bin Al-Hasan, dan Abu Yuusuf tidak pernah berbicara tentang hal tersebut dan melarang menceburkan diri ke dalamnya. Mereka mengarahkan murid-muridnya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jauhilah kalian masuk ke dalam ilmu kalam dan jangan melihat kitab-kitab mereka sama sekali” [Jam’ul-Juyuusy wad-Dasaakir no. 98. Juga dalam Ahaadiits fii Dzammil-Kalaam oleh Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy hal. 99-101].
Al-Haafidh Sa’iid bin ‘Amru Al-Bardza’iy rahimahullah berkata:
شهدت أبا زرعة - وقد سئل عن الحارث المحاسبى وكتبه - فقال للسائل: إياك وهذه الكتب، هذه [ كتب ] بدع وضلالات، عليك بالاثر، فإنك تجد فيه ما يغنيك. قيل له: في هذه الكتب عبرة. فقال: من لم يكن له في كتاب الله عبرة فليس له في هذه الكتب عبرة، بلغكم أن سفيان ومالكا والاوزاعي صنفوا هذه الكتب في الخطرات والوساوس، ما أسرع الناس إلى البدع !
“Aku pernah melihat Abu Zur’ah yang ditanya tentang Al-Haarits Al-Muhaasibiy dan kitab-kitabnya. Maka ia berkata kepada si penanya : ‘Jauhilah kitab-kitab ini berisi bid’ah dan kesesatan. Wajib bagimu berpegang pada atsar, karena engkau akan mendapati di dalamnya apa yang akan membuatmu cukup (sehingga tidak membutuhkan selainnya)’. Dikatakan kepadanya : ‘Dalam kitab ini terdapat ‘ibrah (pelajaran)’. Maka Abu Zur’ah menjawab : ‘Barangsiapa yang tidak dapat mengambil ‘ibrah dari Kitabullah, maka ia tidak bisa mendapatkan ‘ibrah dari kitab-kitab tersebut. Telah sampai kepada kalian bahwa Sufyaan, Maalik, dan Al-Auzaa’iy mengklasifikasikan kitab-kitab ini dalam kitab berbahaya dan mengandung waswas. Betapa cepat manusia menuju kepada kebid’ahan” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 1/431].
Masyaallah,…. sungguh nasihat Abu Zur’ah rahimahullah ini sangat realistis, sesuai dengan kenyataan di hari ini. Alasan si penanya sama dengan alasan ‘mereka’ yang ingin menjerumuskan kita ke dalam bid’ah dan kesesatan mereka : ‘ada ‘ibrah’.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
ولهذا كره لمن لا يكون له نقد وتمييز النظر في الكتب التي يكثر فيها الكذب في الرواية والضلال في الآراء ككتب أهل البدع وكره تلقى العلم من القصاص وأمثالهم الذين يكثر الكذب في كلامهم وإن كانوا يقولون صدقا كثيرا
“Oleh karena itu, dibenci/makruhkan bagi orang yang tidak memiliki kritikan dan kemampuan membedakan (yang benar dan yang salah) untuk melihat buku-buku yang terdapat di dalamnya kedustaan riwayat dan kesesatan pemikiran seperti buku-buku ahli bid’ah. Begitu pula dibenci mencari ilmu dari para pendongeng dan yang semisal mereka yang melakukan banyak kedustaan dalam perkataannya, meskipun mereka berkata jujur lagi banyak” [Minhaajus-Sunnah, 2/468].
Asy-Syaikh Muhammad Khaliil Harraas berkata hal yang semisal dengan Ibnu Taimiyyah rahimahumallah :
ولا يظنن أحد أننا نتجنى على القوم أو نتهمهم بغير الحق، فتلك كتبهم تخبر عنهم كل من ينظر فيها وتشهد عليهم شهادة صدق، فليقرأها من شاء ليتأكد من صحة ما نسبناه إليهم، لكنا مع ذلك ننصح كل أحد أن لا يقرأ هذه الكتب حتى لا يقع في حبائلها ويغره ما فيها من تزويق المنطق وتنميق الأفكار، لا سيما إذا لم يكن ممن رسخ في علوم الكتاب والسنة قدمه ولا تمكن منهما فهمه، فهذا لا يلبث أن يقع أسير شباكها، تبكيه نائحة الدوح على غصنها، وهو يجتهد في طلب الخلاص فلا يستطيع، وذنب ذنبه هو، حيث ترك أطيب الثمرات على أغصانها العالية حلوة المجتنى طيبة المأكل، وهبط إلى المزابل وأمكنة القذارة يتقمّم الفضلات كما تفعل الديدان والحشرات.
“Dan jangan sampai ada seorang pun yang menyangka bahwa kami menyakiti orang lain dan menuduh tanpa haq. Kitab-kitab mereka lah (ahli bid’ah) yang mengkhabarkan tentang diri mereka kepada setiap orang yang membacanya dan bersaksi atas mereka secara jujur. Maka bacalah kitab tersebut jika ingin untuk membuktikan kebenaran atas perkataan kami terhadap mereka. Namun demikian, kami menasihatkan kepada setiap orang agar tidak membaca kitab-kitab tersebut sehingga dirinya tidak masuk dalam jebakannya dan terpedaya dengan apa yang ada di dalamnya berupa rekayasa logika dan hiasan-hiasan pemikiran. Khususnya mereka yang tidak memiliki ilmu yang kokoh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah serta belum mapan pemahamannya terhadap keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Orang yang demikian akan cepat sekali masuk ke dalam jaring perangkapnya, yang membuatnya menangis karena dirinya berusaha melepaskan diri namun tidak bisa. Itu adalah dosanya sendiri karena meninggalkan buah paling baik, manis, dan lezat yang berada di dahan pohon yang atas/tinggi. Ia memilih turun ke tong sampah dan tempat kotor mengais sisa-sisa seperti yang dilakukan cacing dan serangga” [Syarh Nuuniyyah li-Ibnil-Qayyim, 1/360-361].
Seandainya pun ingin berwisata kitab tulisan orang-orang yang dikenal bukan dari kalangan Ahlus-Sunnah, maka dirinya harus seorang berilmu yang mantap dan kokoh keilmuannya. Harus memahami mana yang benar dan yang salah. Harus ada hajat yang mendorongnya untuk melakukannya, bukan sekedar iseng.
Jika tidak demikian, bagaimana bisa kita patuhi anjuran untuk membaca semua kitab dan mendengarkan semua ocehan orang-orang lintas ‘aqidah dan manhaj?. Apakah kita ingin membiarkan saudara-saudara kita masuk di hutan belantara yang dirinya tidak bisa membedakan mana rusa yang dapat dimakan dan mana pula singa yang dapat memakannya ?. Benar-benar sebuah usaha membuka pintu kerusakan !
Orang yang berilmu saja dapat terjerumus jika tidak hati-hati ketika membaca buku-buku ahli bid’ah. Itupun tidak semua orang berilmu harus melakukannya.
Alhamdulillah, banyak ulama yang telah melakukan penyeleksian kitab. Misalnya, Ibnu Qudaamah yang meringkas kitab Minhaajul-Qaashidiin karya Ibnul-Jauziy menjadi Mukhtashar Minhaajil-Qaashidiin. Ibnul-Jauziy menulis buku tersebut juga merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumiddiin karya Abu Haamid Al-Ghazaaliy yang sarat kritikan para ulama rahimahumullah.
Anda mau mengqiyaskan mereka dengan diri Anda atau kaum muslimin pada umumnya untuk mencari faedah dengan membaca langsung kitab Syifaaus-Saqaam fii Ziyaarati Khairil-Anaam karya Taqiyyuddiin As-Subkiy, Al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah, dan Fushuushul-Hikam karya Ibnu ‘Arabiy ?. Hum rijaal wa nahnu rijaal ? 🤣😂😄😄…….
Terakhir, dalam tataran praktis memang kadang kita berhubungan dengan orang-orang yang kita ketahui dirinya belum menetapi manhaj salaf. Seperti misal, ketika kita ingin belajar membaca Al-Qur'an dan tajwid. Kadang tidak didapati di sekitar kita ustadz atau teman yang mahir dan bersedia mengajari kita. Maka, saat itu kita boleh belajar kepada orang-orang tersebut, dengan syarat : dirinya jujur dan hanya mengajarkan apa yang kita butuhkan saja. Sebab, seringkali didapati orang mengajar baca Al-Qur'an dan tajwid namun menyisipkan hal lain dari pemahamannya yang menyimpang, seperti mengajari amalan-amalan bid’ah atau ‘aqidah yang menyimpang. Ini realita. Selain itu, tetap beda antara pengajarnya yang datang ke tempat/rumah kita dengan kita yang datang ke tempat/pesantrennya. Syubhat lebih dapat diminimalisasi jika mereka yang datang ke tempat kita[16].  Beda ‘power’. Belajar bahasa Arab dan fiqh pun demikian. Jika ada ustadz yang terpercaya dan kita ridlai agamanya, maka belajar ke dirinya jauh lebih baik. Intinya, harus ekstra hati-hati.
Tapi untuk belajar ‘aqidah dan manhaj, harus kepada orang yang ‘aqidah dan manhajnya lurus. Tidak ada dispensasi belajar lintas pemahaman.[17]
Tak masalah kita dicela kurang wawasan tidak kaya pengetahuan ‘ikhtilaaf ulama’ hanya karena mengaji di tempat ustadz atau ulama yang ‘aqidahnya lurus. EKP (emang kita pikirin) ?!. Agama bukan buat gaya-gayaan dan memperkaya wawasan, akan tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meraih keridlaannya.
رضا الناس غاية لا تدرك ورضا الله غاية لا تترك ، فاترك ما لا يدرك ، وأدرك ما لا يترك
"Ridla manusia adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai, sedangkan ridlaa Allah adalah tujuan yang tidak boleh ditinggalkan. Maka, tinggalkan apa yang tidak dapat dicapai dan gapailah apa yang tidak boleh ditinggalkan”.
Wallaahu a’lam.
Banyak mengambil faedah dari kitab Al-Mu’iin li-Taudliihi Ma’aaniy Atsar Ibni Siiriin oleh Dr. Ahmad Bazmuul dan Ijmaa’ul-‘Ulamaa’ ‘alal-Hajr wat-Tahdziir min Ahlil-Ahwaa’ oleh Khaalid bin Dlahawi Adh-Dhafiiriy, dan beberapa artikel internet lainnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 11 Syawwal 1439 H].



[1]   Banyak pujian para ulama yang teralamatkan kepadanya, diantaranya:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، قال: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ عَاصِمٍ الْأَحْوَلِ، قَالَ: سَمِعْتُ مُوَرِّقًا الْعِجْلِيَّ، يَقُولُ: "مَا رَأَيْتُ رَجُلًا أَفْقَهَ فِي وَرَعِهِ وَلَا أَوْرَعَ فِي فِقْهِهِ مِنْ مُحَمَّدٍ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari ‘Aashim Al-Ahwal, ia berkata : Aku mendengar Muwarraq Al-‘Ijliy berkata : “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih faqih dalam wara’-nya dan lebih wara’ dalam kefaqihannya dibandingkan Muhammad (bin Siiriin)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 12/349 no. 36158; shahih].
Ibnu Hibbaan rahimahullah berkata:
وكان محمد بن سيرين من اورع التابعين وفقهاء أهل البصرة وعبادهم وكان يعبر الرؤيا رأى ثلاثين من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Muhammad bin Siiriin adalah orang yang paling wara’ dari kalangan taabi’iindan fuqahaa penduduk Bashrah, dan termasuk ahli ibadahnya. Ia ahli menta’birkan mimpi dan pernah melihat 30 orang shahabat Nabi ” [Masyaahiru ‘Ulamaa Al-Amshaar hal. 113 no. 643].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
محمد بن سيرين الامام الرباني... وكان فقيها اماما غزير العلم ثقة ثبتا علامة في التعبير رأسا في الورع
“Muhammad bin Siiriin, imam rabbaaniy…. Ia seorang yang imam yang faqih, banyak ilmunya, tsiqah, tsabt, sangat ‘aliim dalam ta’biir (mimpi), dan penghulu dalam sifat wara’” [Tadzkiratul-Huffaadh, 1/77-78 no. 74].
[3]   Rajaa’ bin Haiwah, Abu Nashr Al-Kindiy Al-Azdiy adalah seorang imam yang tsiqah lagi faqih. Mempunyai kedudukan yang istimewa di sisi Khaliifah Sulaimaan bin ‘Abdil-Malik dan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 4/557-560].
[4]   Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُرَاقَةُ بْنُ مَالِكِ بْنِ جُعْشُمٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَيِّنْ لَنَا دِينَنَا كَأَنَّا خُلِقْنَا الْآنَ، فِيمَا الْعَمَلُ الْيَوْمَ؟ أَفِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ؟ أَمْ فِيمَا نَسْتَقْبِلُ؟ قَالَ: لَا، بَلْ فِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ، قَالَ: فَفِيمَ الْعَمَلُ، فَقَالَ: اعْمَلُوا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ
Dari Jaabir, ia berkata : Suraaqah bin Maalik bin Ju’syum datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, berikanlah penjelasan kepada kami tentang agama kami, seakan-akan kami baru diciptakan sekarang. Untuk apakah kita beramal hari ini?. Apakah itu terjadi pada hal-hal yang pena telah kering dan takdir yang berjalan, ataukah untuk yang akan datang?”. Beliau menjawab : “Bahkan pada hal-hal yang dengannya pena telah kering dan takdir yang berjalan”. Ia bertanya : “Lalu apa gunanya beramal?”. Beliau bersabda : “Beramallah kalian, karena masing-masing dimudahkan (untuk melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2648].
عَنْ عِمْرَانَ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فِيمَا يَعْمَلُ الْعَامِلُونَ؟، قَالَ: كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
Dari ‘Imraan, ia berkata : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, lantas untuk apa orang-orang yang beramal melakukan amalan mereka ?”. Beliau : “Setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7551].
[5]   Lihat pula perkataan Ibnul-Mubaarak rahimahullahdalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad 1/85 no. 102.
[6]   Sebagai tambahan, silakan baca artikel : Al-Akaabir dan Al-Ashaaghir – Siapakah Mereka ?.
[7]   Diantaranya dengan bermajelis dengannya.
[8]   Yaitu hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ حَبْرٌ مِنَ الْأَحْبَارِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: "يَا مُحَمَّدُ، إِنَّا نَجِدُ أَنَّ اللَّهَ يَجْعَلُ السَّمَوَاتِ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالْأَرَضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالشَّجَرَ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالْمَاءَ وَالثَّرَى عَلَى إِصْبَعٍ، وَسَائِرَ الْخَلَائِقِ عَلَى إِصْبَعٍ، فَيَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ، فَضَحِكَ النَّبِيُّ ﷺ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ تَصْدِيقًا لِقَوْلِ الْحَبْرِ، ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ"
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Seorang pendeta Yahudi mendatangi Rasulullah , kemudian ia berkata : ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami mendapati bahwa Allah menjadikan langit-langit dengan satu jari, bumi-bumi dengan satu jari, pohon dalam satu jari, air dan tanah dengan satu jari, serta menjadikan seluruh makhluk dengan satu jari. Kemudian Dia berfirman : Aku adalah Malik (Raja)’. Maka Rasulullah tertawa sampai terlihat gigi geraham beliau membenarkan perkataan pendeta itu. Kemudian Rasulullah membaca ayat : ‘Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat, dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan” (QS. Az-Zumar : 67)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4811].
[9]   Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ، وَقُلْتُ: وَاللَّهِ لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ، وَلِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، قَالَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالًا، فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ، فَعَرَفْتُ أَنَّهُ سَيَعُودُ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: إِنَّهُ سَيَعُودُ فَرَصَدْتُهُ، فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ، فَقُلْتُ: لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: دَعْنِي فَإِنِّي مُحْتَاجٌ وَعَلَيَّ عِيَالٌ لَا أَعُودُ، فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالًا فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ، فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ، فَقُلْتُ: لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَهَذَا آخِرُ ثَلَاثِ مَرَّاتٍ أَنَّكَ تَزْعُمُ لَا تَعُودُ ثُمَّ تَعُودُ، قَالَ: دَعْنِي أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا، قُلْتُ: مَا هُوَ؟ قَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ: اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، حَتَّى تَخْتِمَ الْآيَةَ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِي اللَّهُ بِهَا فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: مَا هِيَ؟ قُلْتُ: قَالَ لِي: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ، فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ مِنْ أَوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ الْآيَةَ: اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، وَقَالَ لِي: لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، وَكَانُوا أَحْرَصَ شَيْءٍ عَلَى الْخَيْرِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلَاثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ: لَا، قَالَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah pernah menugaskan aku untuk menjaga zakat Ramadlaan. Lalu ada seseorang yang datang dan mengais-ngais makanan. Aku pun menangkapnya dan berkata kepadanya : ‘Demi Allah, sungguh aku akan hadapkan kamu kepada Rasulullah . Ia berkata : ‘Sesungguhnya aku adalah orang yang membutuhkan. Aku mempunyai keluarga yang mempunyai kebutuhan mendesak’. Akupun melepaskan orang itu. Pada pagi harinya, Nabi bersabda : ‘Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan tawananmu tadi malam ?’. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, ia mengeluh bahwa ia mempunyai kebutuhan yang mendesak dan tanggungan keluarga. Aku merasa kasihan padanya dan kemudian aku lepaskan’. Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya ia telah mendustaimu dan ia akan kembali lagi’. Maka aku pun mengetahui bahwa ia pasti akan kembali lagi berdasarkan sabda beliau : ‘Ia akan kembali lagi’.  Maka akupun mengintainya. (Ternyata benar), orang itu kembali lagi dan mengais-ngais makanan. Aku pun menangkapnya. Aku katakan : ‘Akan aku hadapkan engkau kepada Rasulullah . Ia berkata : ‘Lepaskan aku, sesunguhnya aku orang yang membutuhkan dan mempunyai tanggungan keluarga. Aku berjanji untuk tidak kembali lagi’. Aku pun merasa kasihan kepadanya dan aku melepaskannya. Pada pagi harinya, Rasulullah bersabda : ‘Wahai Abu Hurairah, apa yang telah dilakukan oleh tawananmu ?’. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, ia mengeluh bahwa ia mempunyai kebutuhan yang mendesak dan mempunyai tanggungan keluarga. Akupun merasa kasihan kepadanya dan kemudian aku lepaskan’. Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya ia telah mendustaimu, dan ia akan kembali lagi”. Aku pun kembali mengintainya untuk yang ketiga kalinya, (dan ternyata benar) ia datang mengais-ngais makanan. Aku pun menangkapnya. Aku katakan : ‘Sungguh aku akan menghadapkanmu kepada Rasulullah . Sudah tiga kali, dan ini yang terakhir. Kamu telah berjanji untuk tidak kembali, namun ternyata kamu masih kembali’. Ia berkata : ‘Lepaskanlah aku ! Aku akan mengajarimu beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadamu dengannya’. Aku berkata : ‘Apa itu ?’. Ia berkata : ‘Apabila engkau beranjak menuju tempat tidurmu, maka bacalah ayat Kursi Allaahu laa ilaaha illaa huwal-hayyul-qayyuum, hingga akhir ayat. Sesungguhnya dengan membaca itu, kamu senantiasa dalam perlindungan Allah. Setan tidak akan mendekatimu hingga waktu shubuh’. Maka aku lepaskan ia.
Pada pagi harinya, Rasulullah bersabda kepadaku : ‘Apa yang dilakukan tawananmu semalam ?’. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, ia mengatakan akan mengajariku beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadaku dengannya, sehingga aku pun melepaskannya’. Beliau bertanya : ‘Apa itu ?’. Aku berkata : ‘Ia berkata kepada kepadaku bahwa apabila aku beranjak menuju tempat tidurku, hendaknya aku membaca ayat Kursi dari awal hingga akhir : Allaahu laa ilaaha illaa huwal-hayyul-qayyuum. Ia berkata kepadaku : ‘Kamu akan senantiasa berada dalam lindungan Allah dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu shubuh’ – mereka (para shahabat) adalah orang yang paling menginginkan kebaikan - . Maka Nabi bersabda : ‘Sesungguhnya ia telah jujur kepadamu kali ini, padahal ia seorang pendusta. Tahukah siapa yang telah engkau ajak bicara semenjak tiga hari ini wahai Abu Hurairah ?’. Abu Hurairah menjawab : ‘Tidak’. Beliau bersabda : ‘Ia adalah setan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2311].
[10]  Silakan baca artikel suplemen : Persatuandan Persatuan (Lagi).
[11]  Ada yang awalnya mengaku dirinya salafi. Dikarenakan ingin aktif dalam beberapa kegiatan, ia banyak bersinggungan secara langsung atau tidak langsung dengan orang-orang haraki. Ia tahu dan mengakui – awalnya – orang-orang haraki ini menyimpang dalam ‘aqidah dan manhaj. Karena sudah biasa bergaul dengan mereka, tulisan-tulisannya yang muncul lebih banyak mem-blow up ‘orang-orang tak jelas’ dari mereka atau semisalnya (anggaplah Pembaca sekalian untuk sementara setuju dengan istilah ini). Jadi sungkan dan jarang mengutip para masyayikh Ahlus-Sunnah kontemporer, apalagi para duatnya. Diberikan nasihat dan kritikan, mengeluh – yang akhirnya malah lebih senang jika ada yang mengkritik salafi dan ahlus-sunnah.
Ada yang motifnya sakit hati karena tidak ‘terpakai’ lagi di komunitas salafi, akhirnya menyeberang ke komunitas haraki. Jadilah ia pembelanya dan memusuhi dakwah salaf(i).
Ada yang motifnya ingin cari popularitas agar diterima di semua kalangan.
Ada yang motifnya ingin cari beda saja….. dan yang lainnya.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”.
[12]  Hewan di kelas insekta jauh berbeda dengan mamalia, apalagi manusia. Kita dapat melatih monyet untuk pertunjukan sirkus, tapi jangan harap dapat melatih semut dan kumbang. Insekta akan bergerak dan berperilaku berdasarkan insting yang Allah berikan tanpa bisa menerima input dari luar. Otak dan sarafnya jauh berbeda.
[13]  Setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya Ibnu 'Aqiil rahimahullah menyadari bahwa apa yang ditempuhnya merupakan kekeliruan. Ia bertaubat dan menyatakan taubatnya secara tegas, berlepas diri dari pemikiran Mu'tazillah beserta orang-orangnya. Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah menukil kisahnya dalam Tahriimun-Nadhar fii Kutubil-Kalaam (lihat hal. 29-34).
[14]  Silakan baca cuplikan kisah tentangnya di sini : The Sad Ending of ‘Imraan bin Hiththaan.
[15]  Silakan baca bahasannya di sini : Waspadai Syubuhaat.
[16]  Misal dengan mengupah mereka.
[17]  Suplemen, silakan baca artikel di : https://islamqa.info/ar/223300. Sebagiannya sudah diterjemahkan di sini.

Jangan Mendahului Allah dan Rasul-Nya

$
0
0

Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" [QS. Al-Hujuraat : 1].
Ayat ini merupakan pokok dalam agama kita yang mengandung adab terhadap Allah dan Rasul-Nya . Membangun manhaj ‘aqidah dan cara pandang seorang muslim dalam menyikapi nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengagungkannya, mengutamakannya, tunduk kepadanya, dan tidak pernah menomorduakannya di bawah perkataan/pendapat selainnya.

Ada beberapa penjelasan dari kalangan ulama mengenai ayat ini, diantara :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: قَالَ سُفْيَانُ فِي قَوْلِهِ: لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ لا تَقْضُوا أَمْرًا دُونَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa (Adz-Dzuhliy) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yuusuf (Al-Faryaabiy), ia berkata : Telah berkata Sufyaan (Ats-Tsauriy, w. 161 H) tentang ayat ‘janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1) : “Jangan memutuskan perkara tanpa (sunnah) Rasulullah ” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, hal. 669 no. 730; shahih].
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ، ثنا أَبُو وَهْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ مُزَاحِمٍ، ثنا بُكَيْرُ بْنُ مَعْرُوفٍ، عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ، فِي قَوْلِهِ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ يَعْنِي بِذَلِكَ فِي شَأْنِ الْقِتَالِ، وَمَا يَكُونُ مِنْ شَرَائِعِ دِينِهِمْ، يَقُولُ: لا تَقْضُوا فِي ذَلِكَ شَيْئًا إِلا بِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَلا تَقْطَعُوا دُونَهُ أَمْرًا
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdah : Telah menceritakan kepada kami Abu Wahb Muhammad bin Muzaahim : Telah menceritakan kepada kami Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan tentang firman-Nya : ‘janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1) : “Yaitu dalam urusan perang dan semua hal yang ada dalam syari’at agama mereka”. Ia melanjutkan : “Jangan memutuskan sesuatupun dalam perkara tersebut kecuali dengan perintah Rasulullah , dan jangan menetapkan satu perkara tanpanya” [idem, hal. 666-667 no. 727; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَوْلُهُ: لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ: لا تَقُولُوا خِلافَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Shaalih : Telah menceritakan kepadaku Mu’aawiyyah bin Shaalih : Telah menceritakan kepadaku ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman-Nya : ‘janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1), ia berkata : “Jangan mengatakan sesuatu yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah” [idem, hal. 661 no. 715].
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ: ثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، قَالَ: ثَنَا عِيسَى، وَحَدَّثَنِي الْحَارِثُ قَالَ: ثَنَا الْحَسَنُ قَالَ: ثَنَا وَرْقَاءُ، جَمِيعًا عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، قَالَ: لا تَفْتَاتُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِشَيْءٍ حَتَّى يَقْضِيَهُ اللَّهُ عَلَى لِسَانِهِ.
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa (ح). Dan telah menceritakan kepadaku Al-Haarits (bin Muhammad bin Abi Usaamah), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan (bin Muusaa Al-Asyyab), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Warqaa’; keduanya dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid (w. 101 H). tentang firman-Nya : ‘janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1), ia berkata : “Jangan memotong pembicaraan Rasulullah dengan sesuatu hingga Allah memutuskan hal tersebut pada lisannya ” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 21/336 – tahqiq At-Turkiy; shahih].
حَدَّثَنِي يُونُسُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: قَالَ ابْنُ زَيْدٍ فِي قَوْلِ اللَّهِ ﷻ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ: لا تَقْطَعُوا الأَمْرَ دُونَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ.
Telah menceritakan kepadaku Yuunus, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah berkata Ibnu Zaid (w. 153 H) tentang firman Allah : ‘janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1) : “Jangan memutuskan satu perkara tanpa (nash) Allah dan Rasul-Nya” [idem, 21/337; shahih].
Ath-Thabariy rahimahullah (w. 310 H) menafsirkan:
( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ) : يا أيها الذين أقرّوا بوحدانية الله، وبنبوّة نبيه محمد ﷺ( لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ) يقول: لا تعجلوا بقضاء أمر في حروبكم أو دينكم، قبل أن يقضي الله لكم فيه ورسوله، فتقضوا بخلاف أمر الله وأمر رسوله
“(Hai orang-orang yang beriman), maksudnya : wahai orang-orang yang mengakui keesaan Allah dan kenabian nabinya Muhammad ; (janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya), yaitu jangan tergesa-gesa untuk memutuskan perkara dalam peperangan atau agama kalian sebelum Allah dan Rasul-Nya memutuskan padanya, sehingga kalian memutuskannya menyelisihi perkara/hukum Allah dan Rasul-Nya” [idem, 21/335].
Abu Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah (w. 543 H) berkata:
قوله تعالى: "لا تقدموا بين يدي الله "أصل في ترك التعرض لاقوال النبي صلى الله عليه وسلم، وإيجاب اتباعه والاقتداء به
“Firman-Nya : ‘janganlah kamu mendahului Allah’ (QS. Al-Hujuraat : 1) merupakan dasar/pokok untuk meninggalkan sikap pertentangan dengan sabda Nabi serta wajibnya ber-ittibaa’ kepada beliau dan meneladaninya” [Ahkaamul-Qur’aan, 4/145; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
Ibnu Katsiir rahimahullah (w. 774 H) berkata:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ [وَاتَّقُوا اللَّهَ ] }، أي:  لا تسرعوا في الأشياء بين يديه، أي: قبله، بل كونوا تبعا له في جميع الأمور، حتى يدخل في عموم هذا الأدب الشرعي.
“Firman Allah : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah’ (QS. Al-Hujuraat : 1), yaitu jangan tergesa-gesa dalam sesuatu sebelum Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi jadilah orang yang mengikutinya dalam segala perkara, hingga masuk dalam keumuman adab syar’iy ini” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 13/137; Muassasah Qurthubah].
Al-Khaazin rahimahullah (w. 725 H) berkata:
قوله عز وجل : { يا أيها الذين آمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله } من التقديم أي لا ينبغي لكم أن يصدر منكم تقديم أصلاً . وقيل : لا تقدموا فعلاً بين يدي الله ورسوله . والمعنى : لا تقدموا بين يدي أمر الله ورسوله ولا نهيهما . وقيل : لا تجعلوا لأنفسكم تقدماً عند النبي ﷺ وفيه إشارة إلى احترام رسول الله ﷺ والانقياد لأوامره ونواهيه. والمعنى : لا تعجلوا بقول أو فعل قبل أن يقول رسول الله ﷺ أو قبل أن يفعله . وقيل : لا تقولوا بخلاف الكتاب والسنة
“Dan firman-Nya : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Hujuraat : 1), dalam hal taqdiim (mendahulukan); yaitu : tidak boleh bagi kalian untuk memunculkan sikap taqdiim (terhadap Allah dan Rasul-Nya). Dikatakan : ‘Janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam hal perbuatan’. Dan maknanya : ‘Janganlah kalian mendahului perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya’. Dikatakan juga : ‘Jangan jadikan diri kalian maju di hadapan Nabi ’. Dalam ayat ini terdapat isyarat penghormatan terhadap Rasulullah dan tundk-patuh terhadap segala perintah dan larangan. Maknanya : Jangan kalian tergesa-gesa dengan sebuah perkataan dan perbuatan sebelum dikatakan atau dilakukan oleh Rasulullah . Dikatakan juga (maknanya) : ‘Jangan berkata dengan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Tafsiir Al-Khaazin, 4/175; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah (w. 1376 H) berkata:
هذا متضمن للأدب، مع الله تعالى، ومع رسول الله صلى الله عليه وسلم، والتعظيم له ، واحترامه، وإكرامه، فأمر [الله] عباده المؤمنين، بما يقتضيه الإيمان، بالله وبرسوله، من امتثال أوامر الله، واجتناب نواهيه، وأن يكونوا ماشين، خلف أوامر الله، متبعين لسنة رسول الله ﷺ، في جميع أمورهم، و [أن] لا يتقدموا بين يدي الله ورسوله، ولا يقولوا، حتى يقول، ولا يأمروا، حتى يأمر، فإن هذا، حقيقة الأدب الواجب، مع الله ورسوله، وهو عنوان سعادة العبد وفلاحه، وبفواته، تفوته السعادة الأبدية، والنعيم السرمدي، وفي هذا، النهي [الشديد] عن تقديم قول غير الرسول صلى الله عليه وسلم، على قوله، فإنه متى استبانت سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وجب اتباعها، وتقديمها على غيرها، كائنا ما كان
“Ayat ini mengandung adab terhadap Allah dan terhadap Rasulullah , pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan terhadapnya. Maka, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya yang mukmin dengan sesuatu yang dituntut oleh keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya berupa:
1.    mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya;
2.    agar mereka berjalan di belakang perintah-perintah Allah dan mengikuti (ittibaa’) terhadap sunnah Rasulullah dalam semua urusan mereka;
3.    agar mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dimana ia tidak berkata (tentang agama) hingga beliau berkata, tidak memerintahkan sesuatu hingga beliau memerintahkannya.
Inilah hakekat adab wajib (bagi setiap muslim) kepada Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan tanda kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba. Jika hal ini hilang, maka akan hilang pula kebahagiaan abadi dan kenikmatan yang abadi. Dalam ayat ini juga terdapat larangan yang keras untuk mendahulukan perkataan selain Rasulullah atas perkataan perkataan beliau . Karena, ketika telah jelas sunnah Rasulullah , maka wajib bagi kita untuk mengikutinya, mendahulukannya daripada selainnya, siapapun dia” [Taisiirul-Kariimir-Rahmaan, hal. 943; Daarus-Salaam].
Setelah kita memahami inti kandungan makna dari ayat di atas, berikut akan saya contohkan beberapa aplikasi yang ada di kalangan salaf rahimahumullah.
1.    ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa
أَخْبَرَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: "أَمَا تَخَافُونَ أَنْ تُعَذَّبُوا، أَوْ يُخْسَفَ بِكُمْ أَنْ تَقُولُوا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ، وَقَالَ فُلَانٌ؟
Telah mengkhabarkan kepada kami Shadaqah bin Al-Fadhl : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, dari ayahnya, ia berkata : “Tidakkah kalian takut Allah timpakan kepada kalian adzab atau menjungkir-balikkan (bumi) kepada kalian[1]ketika kalian mengatakan : ‘Telah berkata Rasulullah dan telah berkata Fulaan?” [Diriwayatkan Ad-Daarimiy hal. 401 no. 445].
Sanad riwayat ini lemah karena keterputusan antara Sulaimaan bin Tharkhaan (ayah Mu’tamir) dengan Ibnu ‘Abbaas radliyalaahu ‘anhumaa [It-haaful-Maharah, 7/232-233 no. 60]. Riwayat ini dikuatkan beberapa riwayat lain yang semakna :
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، قَالَ: قَالَ عُرْوَة، لِابْنِ عَبَّاسٍ حَتَّى مَتَى تُضِلُّ النَّاسَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ؟ ! قَالَ: مَا ذَاكَ يَا عُرَيَّةُ ؟ قَالَ: "تَأْمُرُنَا بِالْعُمْرَةِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ، وَقَدْ نَهَى أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ ! فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَدْ فَعَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ عُرْوَةُ: هما كَانَا هُمَا أَتْبَعَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَعْلَمَ بِهِ مِنْكَ"
Telah menceritakan kepada kami 'Affaan : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata : 'Urwah pernah berkata kepada Ibnu 'Abbaas : "Hingga kapan engkau menyesatkan manusia wahai Ibnu 'Abbaas ?". Ibnu 'Abbaas berkata : "Ada apa wahai 'Urayyah. 'Urwah berkata : "Engkau menyuruh kami melakukan 'umrah di bulan haji, padahal Abu Bakr dan 'Umar melarangnya !". Ibnu 'Abbaas berkata : "Sungguh, hal tersebut ('umrah di bulan-bulan haji) dilakukan oleh Rasulullah ". 'Urwah berkata : "Mereka berdua (Abu Bakr dan 'Umar) lebih ber-ittiba'kepada Rasululah dan lebih memahaminya daripada engkau" [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/252; sanadnya shahih].
Penisbatan larangan ‘umrah pada bulan-bulan haji oleh ‘Urwah kepada Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa perlu diteliti kembali, karena dalam (banyak) riwayat lain yang dimaksudkan adalah larangan melakukan haji tamattu’ :
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنِ الْفُضَيْلِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: أُرَاهُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ "تَمَتَّعَ النَّبِيُّ ﷺ ". فَقَالَ: عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنِ الْمُتْعَةِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مَا يَقُولُ عُرَيَّةُ؟ قَالَ: يَقُولُ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنِ الْمُتْعَةِ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أُرَاهُمْ سَيَهْلِكُونَ ! أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ وَيَقُولُ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَر
Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj : Telah menceritakan kepada kami Syariik, dari Al-A’masy, dari Al-Fudlail bin ‘Amru. (Al-A’masy) berkata : Aku berpandangan (Al-Fudlail) dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Nabi pernah melakukan haji tamattu’”. ‘Urwah bin Az-Zubair berkata : “Abu Bakr dan ‘Umar melarang haji tamattu’”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Apa yang dikatakan ‘Urayyah[2]?”. Dijawab : “Ia (‘Urwah) mengatakan : ‘Abu Bakr dan ‘Umar’ melarang haji tamattu’”. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata : “Aku berpendapat mereka akan binasa. Aku katakan : ‘Telah bersabda Nabi ’, namun ia berkata : ‘Abu Bakr dan ‘Umar telah melarangnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/337; sanadnya lemah karena faktor Syariik[3]]. 
قَالَ إِسْحَاقُ: أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ حَمَّادٍ بْن زيد، عَنْ أَيُّوبَ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، قَالَ: قَالَ عُرْوَةُ لابْنِ عَبَّاسٍ: وَيْحَكَ، أَضْلَلْتَ ! تَأْمُرُ بِالْعُمْرَةِ فِي الْعَشْرِ، وَلَيْسَ فِيهِنَّ عُمْرَةٌ؟ فَقَالَ: يَا عَرِيُّ، فَسَلْ أُمَّكَ. قَالَ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ لَمْ يَقُولا ذَلِكَ، وكانا أَعْلَمُ بِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَتْبِعُ لَهُ مِنْكَ، فَقَالَ: مِنْ هَهُنَا تُرْمَوْنَ، نَجِيئُكُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتَجِيئُونَ بِأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ 
Telah berkata Ishaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan bin Harb, dari Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata : ‘Urwah berkata kepada Ibnu ‘Abbaas : “Celaka engkau, engkau telah sesat. Engkau memerintahkan ‘umrah pada 10 hari awal bulan Dzulhijjah, padahal tidak ada syari’at ‘umrah di waktu tersebut”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Wahai ‘Ariy, bertanyalah kepada ibumu”. ‘Urwah berkata : “Sesungguhnya Abu Bakr dan ‘Umar tidak mengatakan demikian, dan mereka berdua lebih mengetahui (sunnah) Rasulullah dan lebih ber-ittibaa’ kepadanya daripada engkau”. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata : “Dari sinilah kalian akan dihukum. Aku datangkan dalil dari Rasulullah kepada kalian, akan tetapi kalian datangkan (sanggahannya) dari perkataan Abu Bakr dan ‘Umar” [Dibawakan Ibnu Hajar dalam Al-Mathaalibul-‘Aaliyyah no. 1287; dan Ibnu Hajar berkata : “Sanadnya shahih”].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hazm dalam Hajjatul-Wadaa’ hal. 353 no. 392 dari jalan Ayyuub[4], dengan jawaban Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
وَاللَّهِ مَا أَرَاكُمْ مُنْتَهِينَ حَتَّى يُعَذِّبَكُمُ اللَّهُ، أُحَدِّثُكُمْ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتُحَدِّثُونَنَا عَنْ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، فَقَالَ عُرْوَةُ هُمَا أَعْلَمُ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَتْبَعُ لَهَا مِنْكَ
“Demi Allah, tidaklah aku melihat kalian berhenti hingga Allah mengadzab kalian. Aku mengatakan kepada kalian (hadits) dari Rasulullah , lalu kalian mengatakan kepada kami (perkataan) dari Abu Bakr dan ‘Umar”. ‘Urwah berkata : “Keduanya lebih mengetahui sunnah Rasulullah dan lebih ber-ittibaa’ kepadanya daripada engkau” [selesai].
Diriwayatkan oleh Al-Khathiib Al-Baghdaadiy dalam Al-Faqiih wal-Mutafaqqih 1/377-378 no. 380 dari jalan Ayyuub, dengan jawaban Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
هَذَا الَّذِي أَهْلَكَكُمْ، وَاللَّهِ مَا أَرَى إِلا سَيُعَذِّبُكُمْ، إِنِّي أُحَدِّثُكُمْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ وَتَجِيئُونِي بِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. فَقَالَ عُرْوَةُ: هُمَا وَاللَّهِ كَانَا أَعْلَمَ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَاتْبَعَ لَهَا مِنْكَ،
“Inilah yang membinasakan kalian. Demi Allah, tidaklah aku melihat kecuali kalian akan diadzab Allah (dengan sebab itu). Aku mengatakan kepada kalian (hadits) dari Nabi , sementara kalian membawakan kepadaku (perkataan) Abu Bakr dan ‘Umar”. ‘Urwah berkata : “Keduanya – demi Allah – lebih mengetahui sunnah Rasulullah dan lebih ber-ittibaa’ kepadanya daripada engkau” [selesai].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 1/139 no. 21 dari jalan Ibraahiim bin Abi ‘Ablah dari Ibnu Abi Mulaikah, dengan jawaban Ibnu ‘Abbaas:
 أَهُمَا، وَيْحَكَ، آثَرُ عِنْدَكَ أَمْ مَا فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَمَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي أَصْحَابِهِ وَفِي أُمَّتِهِ؟ "فَقَالَ عُرْوَةُ: هُمَا كَانَا أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللَّهِ، وَمَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنِّي وَمِنْكَ، قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: فَخَصَمَهُ عُرْوَةُ،
“Apakah mereka berdua – celaka engkau (wahai ‘Urwah) - lebih engkau utamakan, ataukah nash yang ada dalam Kitabullah dan apa yang disunnahkan Rasulullah kepada para shahabatnya dan umatnya ?”. ‘Urwah menjawab : “Mereka berdua lebih mengetahui Kitabullah dan apa yang disunnahkan Rasulullah daripadaku dan dirimu”. Ibnu Abi Mulaikah berkomentar : “Maka ’Urwah tetap mendebatnya (Ibnu ‘Abbaas)” [selesai].
Al-Khathiib Al-Baghdaadiy rahimahullah setelah membawakan riwayat dialog antara ‘Urwah dan Ibnu ‘Abbaas berkomentar:
قُلْتُ: قَدْ كَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَلَى مَا وَصَفَهُمَا بِهِ عُرْوَةُ، إِلا أَنَّهُ لا يَنْبَغِي أَنْ يُقَلَّدَ أَحَدٌ فِي تَرْكِ مَا ثَبَتَتْ بِهِ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
“Aku katakan : Sungguh, Abu Bakr dan ‘Umar seperti apa yang disifatkan oleh ‘Urwah (yaitu lebih utama dan berilmu). Namun tidak selayaknya bertaqlid kepada seseorang dengan meninggalkan apa yang telah tetap/shahih dalam sunnah Rasulullah ” [Al-Faqiih wal-Mutafaqqih, 1/378].
Maka, sekedar husnudhdhan berdasarkan pandangan umum bahwa Fulaan lebih berilmu daripada ‘Alaan (tanpa mengetahui dalil yang dibawakan Fulaan) tidak cukup untuk membantah hujjah orang yang menyampaikan dalil/nash. Oleh karena itu, Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
وَنَحْنُ نَقُولُ لِعُرْوَةَ: ابْنُ عَبَّاسٍ أَعْلَمُ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَبِأَبِي بَكْرٍ وَبِعُمَرَ مِنْكَ، وَأَوْلَى بِهِمْ ثَلاثَتِهِمْ مِنْكَ، لا يَشُكُّ فِي ذَلِكَ مُسْلِمٌ،
“Dan kami katakan kepada ‘Urwah : ‘Ibnu ‘Abbaas lebih mengetahui sunnah Rasulullah , Abu Bakr, dan ‘Umar daripadamu. Ia (Ibnu ‘Abbaas) lebih dikedepankan terhadap ketiganya daripadamu. Tidak ada keraguan tentang hal tersebut bagi seorang muslim[5]” [Hajjatul-Wadaa’, hal. 354].
Perkataan seseorang – siapapun dia – yang digunakan untuk menyaingi perkataan Nabi merupakan serangan terhadap kedudukan beliau . Mengedepankan perkataan seseorang selain Nabi merupakan kedhaliman, karena kedhaliman adalah meletakkan sesuatu yang bukan pada tempat semestinya.
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu mengatakan bahwa mengutamakan perkataan seseorang daripada Allah dan Rasul-Nya dapat mewariskan adzab. Ini sesuai dengan firman Allah :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
2.    ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ، قَالَ: "شَهِدْتُ عُثْمَانَ، وَعَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَعُثْمَانُ يَنْهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَأَنْ يُجْمَعَ بَيْنَهُمَا، فَلَمَّا رَأَى عَلِيٌّ أَهَلَّ بِهِمَا لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجَّةٍ، قَالَ: مَا كُنْتُ لِأَدَعَ سُنَّةَ النَّبِيِّ ﷺ لِقَوْلِ أَحَدٍ "
Dari Marwaan bin Al-Hakam, ia berkata : Aku menyaksikan ‘Utsmaan dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa. ‘Utsmaan melarang tamattu’ dan menggabung antara keduanya (haji dan ‘umrah). Ketika ‘Aliy melihatnya, maka ia berniat ihram untuk keduanya dengan mengucapkan : “Labbaika bi-‘umratin wa hajjatin”. Kemudian ia berkata : “Aku tidak akan meninggalkan sunnah Nabi karena perkataan seseorang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1562].
Tidak dipungkiri, ‘Utsmaan bin ‘Affaan lebih utama dibandingkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahumaa. Namun ketika tidak ada alasan kuat pelarangan tamattu’ berdasarkan sunnah dari Nabi , maka ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu tidak bertaqlid kepada ‘Utsmaan dan meninggalkan sunnah Nabi yang ia ketahui.
Faedah:
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَفِي قِصَّة عُثْمَان وَعَلِيّ مِنْ الْفَوَائِد إِشَاعَة الْعَالِم مَا عِنْده مِنْ الْعِلْم وَإِظْهَاره ، وَمُنَاظَرَة وُلَاة الْأُمُور وَغَيْرهمْ فِي تَحْقِيقه لِمَنْ قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ لِقَصْدِ مُنَاصَحَة الْمُسْلِمِينَ ، وَالْبَيَان بِالْفِعْلِ مَعَ الْقَوْل ، وَجَوَاز الِاسْتِنْبَاط مِنْ النَّصّ لِأَنَّ عُثْمَان لَمْ يَخْفَ عَلَيْهِ أَنَّ التَّمَتُّع وَالْقِرَان جَائِزَانِ ، وَإِنَّمَا نَهَى عَنْهُمَا لِيُعْمَلَ بِالْأَفْضَلِ كَمَا وَقَعَ لِعُمَر ، لَكِنْ خَشِيَ عَلِيّ أَنْ يَحْمِل غَيْره النَّهْي عَلَى التَّحْرِيم فَأَشَاعَ جَوَاز ذَلِكَ ، وَكُلّ مِنْهُمَا مُجْتَهِد مَأْجُور
“Dalam kisah ‘Utsmaan dan ‘Aliy terdapat beberapa faedah, yaitu : (a) bolehnya seorang ‘aalim menyebarkan ilmu yang ia miliki dan menampakkannya; (b) bolehnya perdebatan/diskusi dengan penguasa dan selainnya untuk mewujudkannya bagi orang yang mampu melakukkanya dengan tujuan menasihati kaum muslimin, serta penjelasan (satu permasalahan) melalui perkataan dan perbuatan sekaligus; (c) bolehnya beristinbaath dari nash karena tidak samar bagi ‘Utsmaan bahwa haji tamattu’ dan qiraandiperbolehkan dalam syari’at, namun dirinya hanyalah melarang untuk melakukan yang lebih utama sebagaimana dilakukan juga oleh ‘Umat. ‘Aliy khawatir pelarangan tersebut dipahami orang lain sebagai pengharaman, sehingga ia (‘Aliy) menyiarkan (kepada khalayak) tentang kebolehannya. Dan keduanya (‘Utsmaan dan ‘Aliy) adalah mujtahid yang diberikan pahala (dengan ijtihadnya)[6]” [Fathul-Baariy, 3/425].
3.    ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
عَنْ سَالِم بْن عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا "، قَالَ: فَقَالَ بِلَالُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ: وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ، قَالَ: فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ، فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئًا، مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ، وَقَالَ: أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتَقُولُ: وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ
Dari Saalim bin ‘Abdillah : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid apabila mereka meminta izin kalian pergi ke sana”. Saalim berkata : “Bilaal bin ‘Abdillah berkata : ‘Demi Allah, kami akan melarang mereka (pergi ke masjid)”. Saalim berkata : “Maka ‘Abdullah menghadap kepadanya, lalu mencacinya dengan cacian yang jelek yang belum pernah aku mendengarnya seperti itu sedikitpun. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : ‘Aku mengkhabarkan kepadamu dari Rasulullah , sedangkan engkau mengatakan ‘demi Allah, sungguh kami akan melarangnya’!!” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 442].
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa mengingkari anaknya (Bilaal) dengan pengingkaran yang sangat keras karena perkataannya yang sangat cepat dalam menyanggah/menentang sabda Nabi yang disampaikannya dengan ra’yu/pendapatnya. Padahal alasan Bilaal bisa dikatakan ‘masuk akal’, sebagaimana riwayat Muslim yang lain:
لَا نَدَعُهُنَّ يَخْرُجْنَ فَيَتَّخِذْنَهُ دَغَلًا
“Kami tidak akan membiarkan mereka keluar, sehingga kesempatan itu mereka pergunakan untuk melakukan dosa[7]” [selesai].
Al-‘Adhiim Al-Aabaadiy rahimahullah menjelaskan:
وَإِنَّمَا أَنْكَرَ عَلَيْهِ اِبْن عُمَر لِتَصْرِيحِهِ بِمُخَالَفَةِ الْحَدِيث . وَأُخِذَ مِنْ إِنْكَار عَبْد اللَّه عَلَى وَلَده تَأْدِيب الْمُعْتَرِض عَلَى السُّنَن بِرَأْيِهِ وَعَلَى الْعَالِم بِهَوَاهُ ، وَتَأْدِيب الرَّجُل وَلَده ، وَإِنْ كَانَ كَبِيرًا إِذَا تَكَلَّمَ بِمَا لَا يَنْبَغِي لَهُ ، وَجَوَاز التَّأْدِيب بِالْهِجْرَانِ
“Ibnu ‘Umar hanyalah mengingkarinya (Bilaal) karena perkataannya yang terang-terangan menyelisihi hadits. Diambil faedah dari pengingkaran ‘Abdullah terhadap anaknya tersebut : (a) (disyari’atkannya) pemberian pengajaran/adab terhadap orang yang menolak/menentang sunnah dengan ra’yu/pendapatnya semata dan (yang menentang) seorang ‘aalim dengan hawa nafsunya; (b) pengajaran/adab seseorang kepada anaknya, meskipun anaknya tersebut telah dewasa jika ia berbicara dengan sesuatu yang tidak seharusnya (tidak sopan/beradab); serta (c) bolehnya pengajaran/adab (terhadap seseorang) dengan cara hajr (boikot)” [‘Aunul-Ma’buud, 2/193].
NB : Bilaal bin ‘Abdillah bin ‘Umar adalah salah seorang ulama dan fuqahaa’ yang tsiqahgenerasi taabi’iin. Ia dimasukkan Yahyaa Al-Qaththaan diantara fuqahaa’ penduduk Madiinah [Tahdziibut-Tahdziib, 1/504].
4.    ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu
عَنْ أَبِي السَّوَّارِ الْعَدَوِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ "فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ: مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ سَكِينَةً، فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ
Dari Abis-Sawwaar Al-‘Adawiy, ia berkata : Aku mendengar ‘Imraan bin Hushain berkata : Telah bersabda Nabi : “Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan”. (Mendengar itu), lalu Busyair bin Ka’b berkata : “Tertulis di dalam lembaran ahli hikmah : ‘Sesungguhnya sebagian dari malu adalah kewibaan dan sebagian dari malu adalah ketenangan”. ‘Imraan berkata kepadanya : “Aku mengatakan kepadamu hadits dari Rasulullah , namun engkau malah mengatakan kepadaku dari lembaranmu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6117].
Ketika ‘Imraan bin Hushain menyebutkan hadits Nabi tentang keutamaan sifat malu, Busyair bin Ka’b hanya menyebutkan keutamaan lain tambahan dari sifat malu dari lembaran hikmah yang ia baca. Tidak ada yang salah darinya, dan bahkan perkataan hikmah tersebut baik. Namun bagaimana sikap ‘Imraan ?.
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:
وَقَالَ الْقُرْطُبِيّ : .... وَإِنَّمَا أَنْكَرَهُ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ إنَّهُ سَاقَهُ فِي مَعْرِض مَنْ يُعَارِض كَلَام الرَّسُول بِكَلَامِ غَيْره ، وَقِيلَ إِنَّمَا أَنْكَرَ عَلَيْهِ كَوْنه خَافَ أَنْ يَخْلِط السُّنَّة بِغَيْرِهَا
“Al-Qurthubiy berkata : ‘…. Perkataan tersebut hanyalah diingkari ketika ia dibawakan pada waktu orang menentang perkataan Rasulullah dengan perkataan selainnya. Dan dikatakan : Perkataan tersebut diingkari karena dikhawatirkan tercampurnya sunnah dengan selainnya” [Fathul-Baariy, 10/522].
Dan bagaimana pula seandainya perkataan selain dari Nabi itu nyata-nyata berlawanan dengan hadits Nabi ?.
Hadits ini juga dapat diambil faedah bahwa satu hukum apabila telah shahih dan jelas maksud/maknanya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka asalnya tidak membutuhkan selain keduanya karena telah mencukupi.[8]
5.    ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْتَشِرِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ: لَأَنْ أُصْبِحَ مُطَّلِيًا بِقَطِرَانٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُصْبِحَ مُحْرِمًا أَنْضَخُ طِيبًا، قَالَ: فَدَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَأَخْبَرْتُهَا بِقَوْلِهِ، فَقَالَتْ: "طَيَّبْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَطَافَ فِي نِسَائِهِ، ثُمَّ أَصْبَحَ مُحْرِمًا "
Dari Muhammad bin Al-Muntasyir, ia berkata : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : “Sungguh, aku berlumuran dengan ter lebih aku sukai daripada aku berihram dalam keadaan dengan memakai wewangian". Muhammad bin Muntasyir berkata : Lalu aku menemui ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, kemudian aku memberitahukannya tentang perkataan Ibnu ‘Umar tersebut. ‘Aaisyah berkata : "Aku pernah memakaikan wewangian kepada Rasulullah , lalu beliau menemui istri-istrinya, dan kemudian setelah itu pada pagi harinya beliau berihram” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1192].
Dalam riwayat lain disebutkan lafadh jawaban ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:
يَرْحَمُ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَيَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ، ثُمَّ يُصْبِحُ مُحْرِمًا يَنْضَخُ طِيبًا
“Semoga Allah merahmati Abu ‘Abdirrahmaan. Dulu aku pernah memakaikan wewangian kepada Rasulullah , lalu beliau menemui istri-istrinya. Kemudian di pagi harinya beliau dalam keadaan berihram dengan memerciki wewangian (di tubuhnya)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 267, Ahmad 6/175, dan Ibnu Khuzaimah no. 2588].
Dalam riwayat lain ditambahkan lafadh:
فَسَكَتَ ابْنُ عُمَرَ
“Maka Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pun terdiam” [Diriwayatkan oleh Al-Humaidiy 1/264 no. 218 dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/132 no. 3613; shahih].
Dulu, ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah melarang orang yang berihram memakai wewangian sebelum niat ihram dan sebelum thawaf ifadlah setelah melempar jumrah. Belum sampai kepada ‘Umar hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa sebagaimana di atas yang menjelaskan bahwa ‘Aaisyah pernah memberikan wewangian kepada Rasulullah sebelum berihram untuk ihram beliau dan sebelum thawaf ifadlah[9]. Dan begitu juga hal itu belum diketahui oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Ketika sampai khabar bahwa keduanya melarangnya, maka ‘Aaisyah menjelaskan haditsnya. Dan dalam riwayat lain, ia merespon dengan jawaban:
أَنَا طَيَّبْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَسُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَقُّ أَنْ تُتَّبَعَ
“Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah , dan sunnah Rasulullah lebih berhak untuk diikuti” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2938; shahih].
فَسُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَقُّ أَنْ يُؤْخَذَ بِهَا مِنْ سُنَّةِ عُمَر
“Maka sunnah Rasulullah lebih berhak untuk diambil daripada sunnah ‘Umar radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aani;-Aatsaar, 2/231 no. 4044; shahih].
Perkataan ini selaras dengan firman Allah :
قُلْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ قُلِ اللَّهُ يَهْدِي لِلْحَقِّ أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمْ مَنْ لا يَهِدِّي إِلا أَنْ يُهْدَى فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah: "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” [QS. Yuunus : 35].
Tidak ada seorang pun setelah Rasulullah yang terkumpul padanya semua pengetahuan tentang sunnah-sunnah Rasulullah . Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وليس أحد بعد رسول الله ﷺ إلاّ وقد خفيت عليه بعض سُنة رسول الله من الصحابة فمن بعدهم
“Tidak ada seorang pun sepeninggal Rasulullah dari kalangan shahabat dan orang-orang setelah mereka, kecuali pasti akan tersembunyi padanya sebagian sunnah Rasulullah ”.
Kemudian Ibnul-Qayyim rahimahullah mengomentarinya sebagai berikut:
وصدق أبو عمر رضي الله عنه ؛ فإن مَجموع سُنة رسول الله مِن أقواله وأفعاله وإقراره لا يوجد عند رجل واحد أبدا ، ولو كان أعلم أهل الأرض
“Dan benarlah Abu ‘Umar (yaitu : Ibnu ‘Abdil-Barr – Abul-Jauzaa’) radliyallaahu ‘anhu, karena seluruh sunnah Rasulullah berupa perkataan, perbuatan, dan iqraar(pengakuan) tidak akan didapatkan pada satu orang selamanya, meskipun dirinya orang yang paling ‘alim dari penduduk bumi” [Ash-Shawaa’iqul-Mursalah, 2/553].
Dengan demikain, sangat mungkin satu sunnah tidak diketahui/luput dari seorang ulama namun didapatkan pada selain dirinya.
Contoh : Terluput dari Asy-Syaafi’iy rahimahullah hadits sutrah Nabi dengan binatang. Ketika membahas perkataan Asy-Syaafi’iy : ‘tidak boleh bersutrah dengan wanita dan binatang’, maka An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وأما الدابة ففى الصحيحين عن ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي ﷺ كان يعرض راحلته فيصلي إليها "زاد البخاري في روايته "وكان ابن عمر يفعله "ولعل الشافعي رحمه الله لم يبلغه هذا الحديث وهو حديث صحيح لا معارض له فيتعين العمل به لاسيما وقد أوصانا الشافعي رحمه الله بأنه إذا صح الحديث فهو مذهبه
“Adapun binatang, maka dalam Shahiihaindari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : ‘Bahwasannya Nabi melintangkan hewan kendaraannya di hadapannya dan kemudian shalat menghadapnya’. Al-Bukhaariy menambahkan dalam riwayatnya : ‘’Ibnu ‘Umar juga pernah melakukannya’. Kemungkinan belum sampai hadits tersebut kepada Asy-Syaafi’iy, dan hadits tersebut adalah hadits shahih yang tidak pertentangan padanya sehingga mesti diamalkan. Terlebih lagi, Asy-Syaafi’iy rahimahulah pernah berwasiat kepada kita bahwa apabila telah shahih sebuah hadits, maka itu adalah madzhabnya” [Al-Majmuu’, 3/248].
Terluput dari Maalik bin Anas rahimahullah hadits larangan minum minum langsung dari siqaa’/qirbah[10], sebagaimana disitir oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah:
فَقَدْ نَقَلَ اِبْن التِّين وَغَيْره عَنْ مَالِك أَنَّهُ أَجَازَ الشُّرْب مِنْ أَفْوَاه الْقِرَب وَقَالَ : لَمْ يَبْلُغنِي فِيهِ نَهْي
“Ibnut-Tiin dan yang lainnya menukil dari Maalik bahwa ia membolehkan minum dari mulut qirbah seraya berkata : ‘Belum sampai larangan padaku dalam permasalahan itu” [Fathul-Baariy, 10/91].
6.    ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah
أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ بِشْرٍ، حَدَّثَنَا الْمُعَافَى، عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ: كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَحِمَهُ الله تَعالَيَ: "إِنَّهُ لَا رَأْيَ لِأَحَدٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَإِنَّمَا رَأْيُ الْأَئِمَّةِ فِيمَا لَمْ يَنْزِلْ فِيهِ كِتَابٌ، وَلَمْ تَمْضِ بِهِ سُنَّةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَلَا رَأْيَ لِأَحَدٍ فِي سُنَّةٍ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Bisyr : Telah menceritakan kepada kami Al-Mu’aafaa, dari Al-Auzaa’iy, ia berkata : ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah ta’ala pernah menulis : 'Tidak boleh ada pendapat seseorang tentang perkara yang telah ditetapkan dalam Kitabullah. Pendapat para imam hanyalah pada perkara yang tidak ada ketetapannya dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah . Dan tidak ada pendapat seorang pun dalam perkara yang telah ditetapkan dalam sunnah yang telah disunnahkan oleh Rasullah ” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy hal. 401 no. 446; sanadnya hasan].
7.    Maalik bin Anas rahimahullah
عَنْ عُثْمَان بْن عُمَرَ، : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى مَالِكٍ فَسَأَلَهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ، فَقَالَ لَهُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ؟ فَقَالَ مَالِكٌ: فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dari ‘Utsmaan bin ‘Umar : Datang seorang laki-laki kepada Maalik (bin Anas) untuk bertanya kepadanya satu permasalahan. Lalu Maalik berkata kepadanya : “Telah bersabda Rasulullah begini dan begitu”. Laki-laki itu berkata : “Bagaimana pendapatmu ?”. Maka Maalik menjawab : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An-Nuur : 63)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 236, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’6/326, dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 294].
Maalik tidak mau dan marah ketika perkataannya ingin dihadapkan dengan sabda Nabi .[11]Tidak boleh ada pendapat seorang pun sejajar dengan sabda beliau .
إذا ورد الأثر بطل النظر
“Apabila telah tetap nash, batallah segala pendapat”.
8.    Wakii’ bin Al-Jarraah rahimahullah
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وسَمِعْت أَبَا السَّائِبِ، يَقُولُ: كُنَّا عِنْدَ وَكِيعٍ، فَقَالَ لِرَجُلٍ عِنْدَهُ مِمَّنْ يَنْظُرُ فِي الرَّأْيِ: أَشْعَرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَيَقُولُ أَبُو حَنِيفَةَ هُوَ مُثْلَةٌ، قَالَ الرَّجُلُ: فَإِنَّهُ قَدْ رُوِيَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: الْإِشْعَارُ مُثْلَةٌ، قَالَ: فَرَأَيْتُ وَكِيعًا غَضِبَ غَضَبًا شَدِيدًا، وَقَالَ: أَقُولُ لَكَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَتَقُولُ: قَالَ إِبْرَاهِيمُ: مَا أَحَقَّكَ بِأَنْ تُحْبَسَ، ثُمَّ لَا تَخْرُجَ حَتَّى تَنْزِعَ عَنْ قَوْلِكَ هَذَا
Dan Aku mendengar Abus-Saaib, ia berkata : “Ketika kami bersama Waki', ia berkata kepada seorang laki-laki di sisinya yang berpegang pada ra’yu[12]: ‘Rasulullah pernah memberi tanda pada hewan, sedangkan Abu Haniifah mengatakannya perbuatan itu termasuk mutslah (penganiayaan terhadap hewan)’. Orang itu berkata : ‘Sesungguhnya hal tersebut telah diriwayatkan dari Ibraahiim An-Nakha’iy bahwa ia mengatakan memberi tanda pada hewan termasuk mutslah’. Abus-Saaib berkata : Maka aku melihat Wakii’ sangat marah seraya berkata : ‘Aku katakan padamu ‘telah bersabda Rasulullah, dan engkah katakan ‘telah berkata Ibraahiim’ ?. Sungguh engkau pantas untuk dipenjara dan tidak dikeluarkan sampai engkau menarik ucapanmu itu" [Al-Jaami’ Al-Kabiir/Sunan At-Tirmidziy, 2/239-240].
9.    Dan lain-lain.
Sikap para imam di atas perlu diteladani oleh kaum muslimin semuanya sebagai bentuk pengagungan terhadap nash. Apabaila datang kepadanya pilihan : ‘Al-Qur’an dan As-Sunnah, ataukah pendapat Fulaan ?’; tentu kita akan memilih Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana sikap yang tergambar dari para imam dalam riwayat-riwayat di atas. Tidak mungkin dan tidak akan sanggup kita mengatakan ‘aku pilih pendapat Fulaan dan aku tinggalkan nash’.
Oleh karena itu, ketika seorang yang awam hendaknya bertanya kepada seorang hakim/ustadz yang ia percayai jika ada perkara agama yang tidak ia ketahui sebagai implementasi firman Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43 dan Al-Anbiyaa’ : 7].
Apabila si hakim/ustadz telah menjelaskan hukum beserta dalil-dalilnya, maka jawaban tersebut hendaknya ia ambil.
Jika setelah itu datang kepadanya orang yang membantah bahwa ulama/kiyai Fulaan berpendapat begini dan begitu tanpa menyertakan dalil, maka tidak patut baginya berpegang pada pendapat yang tidak menyertakan dalil.
Ulama/kiyai Fulaan lebih memahami dalil daripada ustadz Anda serta lebih ‘alim daripada Anda dan ustadz Anda’.
Ini perkataan satir yang sering diucapkan kepada orang yang beramal dengan dalil.
Pertanyaannya adalah : Apakah Anda mengetahui dalil yang dipakai ulama Fulaan tersebut?. Jika tidak, lantas bagaimana si orang awam dapat yakin bahwa dalam hal ini ulama Fulaan – misalnya saja Asy-Syaafi’iy rahimahullah– berada dalam kebenaran tanpa tahu dasar dalilnya dari si penyanggah ?. Sementara kita ketahui dari contoh di atas, ada sebagian sunnah yang tidak sampai kepada ulama. Jika si penyanggah bisa berhusnudhdhan pada Asy-Syaafi’iy rahimahullah, bukankah orang awam tersebut juga bisa berhusnudhdhan kepada ustadz/hakim yang ia tanya bahwa ustadznya lebih ‘alim terhadap Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pendapat Asy-Syaafi’iy daripada si penyanggah ?. Ketika Ibnu Hazm berkomentar terhadap ‘Urwah yang menyanggah Ibnu ‘Abbaas :
وَنَحْنُ نَقُولُ لِعُرْوَةَ: ابْنُ عَبَّاسٍ أَعْلَمُ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَبِأَبِي بَكْرٍ وَبِعُمَرَ مِنْكَ، وَأَوْلَى بِهِمْ ثَلاثَتِهِمْ مِنْكَ، لا يَشُكُّ فِي ذَلِكَ مُسْلِمٌ،
“Dan kami katakan kepada ‘Urwah : ‘Ibnu ‘Abbaas lebih mengetahui sunnah Rasulullah , Abu Bakr, dan ‘Umar daripadamu. Ia (Ibnu ‘Abbaas) lebih dikedepankan terhadap ketiganya daripadamu”
maka hal yang sama dapat dikatakan kepada si penyanggah:
“Si hakim/ustadz lebih mengetahui sunnah Rasulullah dan Asy-Syaafi’iy daripadamu. Ia lebih dikedepankan terhadap keduanya daripadamu”
Ya,… sangat logis karena orang awam tersebut bertanya kepada orang yang ia percayai, ia anggap berilmu dalam masalah agama. Ini sudah cukup baginya.
Kecualidirinya mampu melakukan penelaahan lanjutan atau bertanya kepada hakim/ustadz lain untuk membandingkannya dan kemudian mengambil apa yang membuat hatinya lebih dari jawaban yang diberikan, maka ini lebih utama[13]
Satu catatan penting, ittibaa’ kepada dalil bukan berarti meninggalkan perkataan ulama. Banyak orang yang memberikan tuduhan kosong bahwa ketika kita mengutamakan pendalilan, kita meninggalkan perkataan ulama. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah telah membantahnya dengan jawaban yang sangat bagus sebagai berikut :
إن هذا الزعم أبعد ما يكون عن الصواب بل هو باطل ظاهر البطلان كما يبدو ذلك جليا من الكلمات السابقات فإنها كلها تدل على خلافه وأن كل الذي ندعو إليه إنما هو ترك اتخاذ المذاهب دينا ونصبها مكان الكتاب والسنة بحيث يكون الرجوع إليها عند التنازع أو عند إرادة استنباط أحكام لحوادث طارئة كما يفعل متفقهة هذا الزمان وعليه وضعوا الأحكام الجديدة للأحوال الشخصية والنكاح والطلاق وغيرها دون أن يرجعوا فيها إلى الكتاب والسنة ليعرفوا الصواب منها من الخطأ والحق من الباطل وإنما على طريقة ( اختلافهم رحمة ) وتتبع الرخص والتيسير أو المصلحة - زعموا - وما أحسن قول سليمان التيمي رحمه الله تعالى:
(إن أخذت برخصة كل عالم اجتمع فيك الشر كله)
رواه ابن عبد البر (٢/٩١-٩٢) وقال عقبة :
( هذا إجماع لا أعلم فيه خلافا )
فهذا الذي ننكره وهو وفق الإجماع كما ترى
وأما الرجوع إلى أقوالهم والاستفادة منها والاستعانة بها على تفهم وجه الحق فيما اختلفوا فيه مما ليس عليه نص في الكتاب والسنة أو ما كان منها بحاجة إلى توضيح فأمر لا ننكره بل نأمر به ونحض عليه لأن الفائدة منه مرجوة لمن سلك سبيل الاهتداء بالكتاب والسنة.
قال العلامة ابن عبد البر رحمه الله تعالى (٢/١٧٢):
( فعليك يا أخي بحفظ الأصول والعناية بها واعلم أن من عني بحفظ السنن والأحكام المنصوصة في القرآن ونظر في أقاويل الفقهاء - فجعله عونا له على اجتهاده ومفتاحا لطرائق النظر وتفسيرا لجمل السنن المحتملة للمعاني - ولم يقلد أحدا منهم تقليد السنن التي يجب الانقياد إليها على كل حال دون نظر ولم يرح نفسه مما أخذ العلماء به أنفسهم من حفظ السنن وتدبرها واقتدى بها في البحث والتفهم والنظر وشكر لهم سعيهم فيما أفادوه ونبهوا عليه وحمدهم على صوابهم الذي هو أكثر أقوالهم ولم يبرئهم من الزلل كما لم يبرؤوا أنفسهم منه فهذا هو الطالب المتمسك بما عليه السلف الصالح وهو المصيب لحظه والمعاين لرشده والمتبع لسنة نبيه صلى الله عليه وسلم وهدي صحابته رضي الله عنهم
ومن أعف نفسه من النظر وأضرب عما ذكرنا وعارض السنن برأيه ورام أن يردها إلى مبلغ نظره فهو ضال مضل ومن جهل ذلك كله أيضا وتقحم في الفتوى بلا علم فهو أشد عمى وأضل سبيلا).
“Anggapan ini jauh sekali dari kebenaran. Bahkan ia merupakan kebathilan yang sangat nyata, sebagaimana hal itu tampak jelas dari kalimat-kalimat yang telah lalu. Semuanya itu menunjukkan kebalikannya. Sesungguhnya semua yang kami serukan hanyalah ajakan meningalkan madzhab-madzhab untuk dijadikan sebuah dien yang menggantikan kedudukan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta menjadikannya tempat kembali ketika ada perselisihan atau tempat ber-istinbath (menyimpulkan hukum) terhadap berbagai peristiwa yang baru, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar fiqh (pemula) di jaman ini. Mereka bersandar kepada madzhab-madzhab tersebut dalam meletakkan berbagai hukum baru yang terkait dengan ahwaal syakhsiyyah (perkara perdata), nikah, thalaq, dan yang lainnya; tanpa mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengetahui yang benar dan yang salah, atau yang haq dan yang bathil. Mereka hanya mendasarkan perbuatan mereka dengan teori “ikhtilaaf itu adalah rahmat”. Lalu mereka mengikuti berbagai rukhshah (keringanan), taisir(kemudahan), atau mashlahat – yang mereka anggap. Oleh karena itu, sungguh tepat apa yang dikatakan Sulaiman At-Taimiy rahimahullahu ta’ala :
‘Apabila engkau mengambil keringanan (rukhshah) dari setiap orang ‘alim, maka terkumpullah padamu setiap keburukan’.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr (2/91-92). Kemudian ia berkomentar :
‘Ini adalah satu ijma’ yang tidak aku ketahui adanya perselisihan di dalamnya’.
Inilah yang kami ingkari, dimana hal itu berkesesuaian dengan ijma’ sebagaimana yang engkau lihat.
Adapun ruju’ (kembali) kepada perkataan mereka (para ulama), mengambil faedah dalam memahami sisi kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan yang tidak ada nash-nya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau dalam rangka memahami sesuatu yang membutuhkan penjelasan; maka hal itu sama sekali tidak kami ingkari. Bahkan kami turut memerintahkannya dan menganjurkannya, karena faedah yang ada padanya diharapkan oleh orang yang menempuh jalan petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-‘AllamahIbnu ‘Abdil-Barr rahimahullahu ta’ala berkata (2/172) :
‘Wajib bagimu - wahai saudaraku - untuk menjaga dan memperhatikan ushul (prinsip) ini. Ketahuilah, bahwa orang-orang yang menjaga sunnah-sunnah dan hukum-hukum yang di-nash-kan dalam Al-Qur’an, dan melihat berbagai perkataan fuqahaa’– yang kemudian ia jadikan sebagai penolong dalam ijtihadnya, pembuka jalan-jalan penelitiannya, dan penjelas sunnah-sunnah yang mempunyai berbagai kemungkinan makna – tanpa bersikap taqlid kepada seorang pun di antara mereka sebagaimana layaknya ia ‘bertaqlid’ kepada nash-nash As-Sunnah yang memang wajib diikuti dalam segala keadaan tanpa banyak pertimbangan/penelitian; tidak merasa puas dengan apa yang telah diambil, dihafal, dan diperhatikan para ulama; mengikuti mereka (para ulama) dalam pemahaman, pembahasan, dan penelitian; berterima kasih kepada mereka atas berbagai faedah yang diberikan dan berbagai peringatan mereka; serta memuji mereka atas kebenaran yang mendominasi perkataan mereka; serta tidak membebaskan mereka dari segala kesalahan/ketergelinciran sebagaimana mereka tidak membebaskan hal itu pada diri mereka sendiri; maka dia adalah penuntut ilmu yang berpegang teguh dengan apa yang as-salafush-shaalih berada di atasnya. Dia adalah orang yang benar dalam hal penjagaannya (terhadap agama), saksi atas petunjuk Allah bagi dirinya, dan muttabi’ (orang yang mengikuti) atas sunnah Nabinya serta para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum.
Barangsiapa memaafkan dirinya untuk melakukan penelitian, menyimpang dari apa yang telah kami sebutkan, serta berpaling dari sunnah-sunnah kepada akalnya dan bermaksud mengembalikannya kepada kadar pandangannya; maka ia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui semua itu dan mencela fatwa tanpa ada pengetahuan, maka ia adalah orang yang lebih buta dan lebih sesat jalannya’.
[Shifat Shalat Nabi minat-Takbiiri ilat-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, hal. 69-70].
Semua perkataan tentang syari’at, tidak boleh keluar dari pemahaman salaf dan para ulama terdahulu, baik yang mereka sepakati maupun yang mereka perselisihkan.
Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
إِذَا اجْتَمَعُوا أَخَذْنَا بِاجْتِمَاعِهِمْ، وَإِنْ قَالَ وَاحِدُهُمْ وَلَمْ يُخَالِفْهُ غَيْرُهُ أَخَذْنَا بِقَوْلِهِ، فَإِنِ اخْتَلَفُوا أَخَذْنَا بِقَوْلِ بَعْضِهِمْ وَلَمْ نُخَرِّجْ مِنْ أَقَاوِيلِهِمْ كُلِّهِمْ
“Apabila para shahabat bersepakat, maka kami ambil kesepakatan mereka tersebut. Apabila salah seorang di antara mereka berpendapat tanpa ada yang menyelisihi, kami pun mengambil pendapatnya. Apabila mereka berselisih, maka kami mengambil perkataan sebagian di antara mereka dan kami tidak keluar dari perkataan-perkataan mereka itu semuanya” [Al-Madkhal ilas-Sunan Al-Kubraa, 1/45].
Kita rujuk seperti rujuknya para ulama yang mengikuti dalil yang lebih kuat, tidak terbelenggu dalam kotak (ta'ashshub) madzhab. Tidak mungkin kebenaran selamanya ada di lisan satu orang ulama dan menetap pada satu madzhab. Sebagaimana Zufar bin Al-Hudzail Al-Kuufiy Al-Hanafiy – pembesar madzhab Hanafiyyah – yang pernah rujuk dan keluar dari pendapat madzhabnya dalam masalah muslim yang membunuh orang kafir.
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَذَكَرَ أَبُو عُبَيْد بِسَنَدٍ صَحِيح عَنْ زُفَرَ أَنَّهُ رَجَعَ عَنْ قَوْل أَصْحَابه فَأَسْنَدَ عَنْ عَبْد الْوَاحِد بْن زِيَاد قَالَ : قُلْت لِزُفَرَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ تُدْرَأُ الْحُدُود بِالشُّبُهَاتِ فَجِئْتُمْ إِلَى أَعْظَمِ الشُّبُهَات فَأَقْدَمْتُمْ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ يُقْتَل بِالْكَافِرِ ، قَالَ : فَاشْهَدْ عَلَى أَنِّي رَجَعْت
“Abu ‘Ubaid menyebutkan riwayat dengan sanad shahih dari Zufar, bahwasannya ia rujuk dari perkataan ulama Hanafiyyah. Ia (Abu ‘Ubaid) menyebutkan sanadnya dari ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad, ia berkata : Aku berkata kepada Zufar : ‘Sesungguhnya engkau mengatakan huduud dibatalkan karena syubuhaat, lalu engkau datang dengan sebesar-besar syubuhaat. Engkau tuntut seorang muslim untuk dibunuh dengan sebab membunuh orang kafir’. Zufar berkata : ‘Persaksikanlah bahwa sesungguhnya aku rujuk (dari pendapatku semula)[14]” [Fathul-Baariy, 12/262].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab. Semoga ada manfaatnnya.
[abul-jauzaa’ – 14 Syawwal 1439]. 



[1]   Allah berfirman:
أَفَأَمِنَ الَّذِينَ مَكَرُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ يَخْسِفَ اللَّهُ بِهِمُ الأرْضَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لا يَشْعُرُونَ
Maka apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari” [QS. An-Nahl : 45].
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?” [QS. Al-Mulk : 16].
أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ أَوْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا ثُمَّ لا تَجِدُوا لَكُمْ وَكِيلا
Maka apakah kamu merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkir balikkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia meniupkan (angin keras yang membawa) batu-batu kecil? dan kamu tidak akan mendapat seorang pelindung pun bagi kamu” [QS. Al-Israa’ : 68].
[2]    Dengan tashghiir, maksudnya 'Urwah.
[3]   Syariik bin ‘Abdillah bin Abi Syariik An-Nakha’iy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy. Termasuk thabaqah ke-8, dan meninggal tahun 177 H/178 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].
[4]   Ibnu Hazm rahimahullah membawakan sanadnya dari Ayyuub langsung kepada ‘Urwah, tanpa melalui perantaraan Ibnu Abi Mulaikah. Ini keliru, karena yang benar adalah melalui perantaraan Ibnu Abi Mulaikah sebagaimana riwayat-riwayat yang lain. Wallaahu a’lam.
[5]   Adz-Dzahabiy rahimahullah memberikan ‘udzur kepada ‘Urwah dengan perkataannya:
قلت: ما قصد عروة معارضة النبي صلى الله عليه وسلم بهما، بل رأى أنهما ما نهيا عن المتعة إلا وقد اطلعا على ناسخ.
“Aku katakan : ‘Urwah tidak bermaksud menolak/membantah Nabi , akan tetapi dirinya memandang keduanya (Abu Bakr dan ‘Umar) tidak melarang tamattu’kecuali keduanya melihat/mengetahui adanya naasikh” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/243].
[6]   Nabi bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7352 dan Muslim no. 1716 dari hadits ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu].
[7]   Berupa kerusakan, penipuan, dan timbulnya keragu-raguan (suami terhadap istrinya) [lihat : Syarh Shahiih Muslim lin-Nawawiy, 4/162].
[8]   Begitu juga seandainya ada kebaikan atau faedah yang terdapat pada ulama Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Bid’ah, maka kita hanya mencukupkan diri pada ulama Ahlus-Sunnah.
[9]   ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata:
كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ
“Aku pernah memakaikan wewangian kepada Rasulullah untuk ihramnya ketika berihram, dan (memakaikan wewangian) untuk tahallulbeliau sebelum thawaf (ifadlah) di Ka’bah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1539].
طَيَّبْتُ النَّبِيَّ ﷺ بِيَدِي لِحُرْمِهِ، وَطَيَّبْتُهُ بِمِنًى قَبْلَ أَنْ يُفِيضَ
“Aku pernah memakaikan wewangian kepada Nabi dengan tanganku untuk ihramnya, dan aku pun memakaikan wewangian kepada beliau di Mina sebelum thawaf ifadlah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5922].
[10]  Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ فَمِ الْقِرْبَةِ أَوِ السِّقَاءِ، وَأَنْ يَمْنَعَ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي دَارِهِ
“Rasulullah melarang minum dari mulut qirbah atau siqaa’ dan melarang seseorang mencegah tetangganya menyandarkan kayu di rumahnya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5627-5628, Ibnu Maajah no. 3420, Ad-Daarimiy no. 2164, dan yang lainnya].
Pembahasan selengkapnya silakan baca artikel : Minum dari Qirbah/Siqaa’/Botol.
[11]  Sebagai suplemen, silakan baca artikel : Atsar Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahumallah tentang Bid’ah.
[12]  Ahlur-ra’yi, yaitu madzhab penduduk Kuufah (Hanafiyyah).
[13]  Jika ada orang awam meminta fatwa kepada dua orang 'alim, dan ternyata dua orang 'alim ini memberikan fatwa yang berbeda; maka bagaimana yang seharusnya dilakukan orang awam tersebut ?. Dalam hal ini ada 2 kondisi.
Pertama, jika orang awam itu punya nalar yang cerdas dan sempurna/dalam pemahamannya, maka wajib baginya untuk bertanya kepada orang lain pendapat mereka tentang jawaban 2 mufti tersebut dan hujjah mereka terhadap masing-masingnya. Lalu orang awam tersebut mengambil yang RAJIH (menurutnya). (Kedua) apabila nalarnya tidak kurang dari ini, hanya saja dari segi pemahamannya ia belum sempurna/memadai, maka boleh baginya untuk bertaqlid terhadap orang yang lebih utama diantara 2 mufti tersebut (menurutnya).
Dikatakan : dirinya bebas mengambil fatwa dari 2 orang mufti itu. Ini (pun) pendapat yang benar, karena ia bukan seorang ahli ijtihad (mujtahid). Yang wajib baginya hanyalah mengembalikannya kepada pendapat seorang 'alim yang terpercaya (menurutnya), dan ia pun telah melakukannya sehingga itu telah mencukupi.
Inilah ringkasan penjelasan dari Abu 'Abdillah Az-Zubair bin Ahmad Az-Zubairiy yang dibawakan Al-Khathiib Al-Baghdaadiy rahimahumullah dalam Al-Faqiih wal-Mutafaqqih (2/431-432). Atsar terakhir dalam kitabnya tersebut.
[14]  Jumhur ulama berpendapat dengan hadits tentang tidak dibunuhnya muslim (sebagai qishash) karena membunuh orang kafir. Masyhur dalam madzhab Hanafiyyah penyelisihan terhadap jumhur dimana mereka berpendapat seorang muslim yang membunuh kafir dzimmiy mesti dibunuh juga. Dalil yang dipakai jumhur adalah hadits:
عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قُلْتُ: لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ مِنَ الْوَحْيِ إِلَّا مَا فِي كِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا فَهْمًا يُعْطِيهِ اللَّهُ رَجُلًا فِي الْقُرْآنِ، وَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ، قُلْتُ: وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ؟ قَالَ: الْعَقْلُ وَفَكَاكُ الْأَسِيرِ، وأن لا يقتل مسلم بكافر
Dari Abu Juhaifah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku berkata kepada ‘Aliy (bin Abi Thaalib) : “Apakah kalian menyimpan wahyu lain selain yang ada dalam Kitabullah?". Ia menjawab : "Demi Dzat Yang telah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan Yang menciptakan jiwa, aku tidak mengetahuinya kecuali pemahaman yang Allah telah berikan kepada seseorang tentang Al-Qur'an dan yang terdapat dalam lembaran ini". Aku bertanya : "Apa yang ada dalam shahifah tersebut?". Ia menajwab : "Pembayaran diyat, pembebasan tawanan, dan tidak dibunuhnya seorang muslim karena membunuh orang kafir" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3046].

Dikotomi

$
0
0

Di negeri kita lagi musim istilah ‘senior-yunior’ – ‘doktor-bukan doktor’. Entah apa tujuannya. Yang jelas, jika tujuannya mau bikin sentralisasi atau otorisasi agama, salah. “Ini pendapat ustadz senior, ustadz senior lebih mumpuni,”kata seseorang. Di seberang jalan berbalas,”Ini pendapat ustadz doktor. Ustadz doktor lebih cerdas dan berwawasan”. Dunia dakwah kita memang lagi bising dengan labelisasi. Apalagi pra dan pasca Pilkada seperti sekarang. Bukan substansi argumen yang dilihat, akan tetapi malah adu otorisasi – mana yang lebih layak didengar.

Pada kenyataannya, jika penilaian kita mau fair dan sehat, dikotomi pendapat/nasihat berdasarkan usia dan jenjang pendidikan bersifat nisbi.
Pendapat Ustadz Fulaan tentang permasalahan A lebih pantas diikuti karena beliau termasuk 'sepuh'. Jika demikian, kita mungkin akan dapatkan banyak ulama yang berusia (jauh) lebih 'sepuh' yang mempunyai pendapat dalam masalah A bertentang dengan Fulaan yang sepuh tersebut.
Pendapat Ustadz 'Alaan tentang permasalahan B lebih pantas diikuti karena beliau bergelar 'doktor'. Jika demikian, kita mungkin akan dapatkan banyak (ulama) profesor yang mempunyai pendapat dalam masalah B bertentangan dengan 'Alaan yang doktor tersebut.
Mudah sekali memberikan contoh, tanpa perlu saya tulis satu per satu di sini.
Senioritas usia memang mempunyai keutamaan sebagaimana sabda Nabi :
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
Keberkahan bersama akaabir (pembesar/ulama) kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 1954, Ibnu Hibbaan no. 559, Al-Haakim 1/62, dan yang lainnya; shahih].
Cakupan akaabiir dalam hadits ini masuk dalam hal senioritas usia, sebagaimana dijelaskan Asy-Syaikh Sulaimaan Ar-Ruhailiy hafidhahullah. Senioritas minimal menggambarkan pengalaman hidup. Apalagi jika hari-harinya diisi dengan kegiatan belajar-mengajar dan penelaahan, akan menjadikannya semakin matang. Di sanalah berdiri para ulama sepuh dari zaman ke zaman, seperti Maalik bin Anas (wafat usia 86 tahun), Ahmad bin Hanbal (wafat usia 77 tahun), Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat usia 67 tahun), Adz-Dzahabiy (wafat usia 75 tahun), Al-Haafidh Ibnu Hajar (wafat usia 79 tahun), Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin (wafat usia 74 tahun), Asy-Syaikh Al-Albaaniy (wafat usia 87 tahun), Asy-Syaikh Ibnu Baaz (wafat usia 89 tahun) rahimahumullah.
Tapi harus dicatat juga, akaabiir secara substantif adalah dalam hal ilmu. Meski muda usia jika berilmu, maka disebut akaabiir. Banyak contohnya, diantaranya : Mu’aadz bin Jabal (wafat usia 36 tahun), Khaliifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz (wafat usia 40 tahun), Ibnul-Muqaffa’ (wafat usia 36 tahun), Sibawaih (wafat usia 32 tahun), Al-Humaidiy (wafat usia 49 tahun), Al-Haafidh Al-Haazimiy (wafat usia 36 tahun), An-Nawawiy (wafat usia 45 tahun), Ibnu ‘Abdil-Haadiy (wafat usia 40 tahun), Asy-Syaikh Haafidh Al-Hakamiy (wafat usia 35 tahun), Asy-Syaikh ‘Abdus-Salaam bin Barjas (wafat usia 38 tahun), dan yang lainnya rahimahumullah. Tak ada yang meragukan keilmuan dan sumbangan mereka kepada Islam dan kaum muslimin.
Usia dan jenjang pendidikan agama memang dapat dijadikan (salah satu) tolok ukur pemahaman agama, akan tetapi keduanya bukan parameter kebenaran. Yang benar tetaplah benar meskipun dikatakan oleh yunior atau tidak menyandang titel doktor. Begitu juga yang salah tetaplah salah meskipun dikatakan oleh senior atau yang menyandang titel doktor.
Kita mencintai guru kita yang sepuh dan doktor[1], yang tidak sepuh dan tidak doktor. SEMUANYA. Kita mencintai mereka karena ‘aqidah dan manhaj. Kita mengikuti nasihat mereka bukan tua usia dan lama sekolahnya, akan tetapi karena hujjah yang mereka sampaikan. Bukankah kita sering diajari, diperdengarkan, dan membaca firman Allah :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" [QS. An-Nisaa' : 59].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” [QS. Muhammad: 33].
Juga firman Allah :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" [QS. An-Nahl : 43].
Jangan jadikan diri kita jadi agen perpecahan dengan pendikotomian guru-guru kita berdasarkan usia dan jenjang pendidikan. Lebih baik perbanyak muhasabah atau ngaca diri. Dakwah ini berat, dan jangan diperberat dengan sikap kita yang tak patut mendapat pujian.
NB : Diantara ulama sepuh/kibaar Ahlus-Sunnah kita adalah Asy-Syaikh Rabii' Al-Madkhaliy, Asy-Syaikh 'Abdul-Muhsin Al-'Abbaad Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan, Asy-Syaikh 'Ubaid Al-Jaabiriy, Asy-Syaikh 'Abdul-'Aziiz Aalusy-Syaikh, dan yang lainnya hafidhahumullah. Diantara (ulama) profesor Ahlus-Sunnah kita adalah Asy-Syaikh Shaalih As-Suhaimiy, Asy-Syaikh Falaah Al-Mandakaar, Asy-Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy, Asy-Syaikh Sulaimaan Ar-Ruhailiy, dan yang lainnya hafidhahumullah.
[dari catatan ringan di FB]


[1]   Ada sebagian orang yang meremehkan term 'doktor' lalu mengatakan : "Belum tentu doktor lurus manhajnya..... bla... bla... bla...". Lalu dikasihlah contoh SAS, ulama suu’ penggagas islAm NUSantara. Kalau doktor bukan jaminan, maka yang bukan doktor lebih pantas dikatakan bukan jaminan. Apalagi yang baru ngaji kemarin sore, bahasa Arab tidak bisa, dan baca Al-Qur’an masih ‘grothal-grathul’,tapi ‘lagak’-nya seperti Yahyaa bin Ma'iin, Ibnul-Qaththaan, dan Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahumulah. Belasan tahun belajar di universitas Islam di bawah bimbingan dan syahaadah para ulama Ahlus-Sunnah bukan hal yang sepele dan gampang. Bukankah ‘Abdullah bin ‘Aun Al-Muzanniy (w. 151 H) dan ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir (w. 153 H) rahimahumallah pernah berkata:
لا يؤخذ هذا العلم إلا ممن شُهد له بالطلب
“Ilmu ini tidak diambil kecuali dari orang yang dipersaksikan dirinya pernah menuntut ilmu” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 2/28].
???
Mereka yang sering ‘berisik’ itu dipersaksikan oleh siapa ?.

Viewing all 594 articles
Browse latest View live