Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Satu Kesalahan Dibandingkan Seribu Kebaikan

$
0
0
Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ
Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam[QS. Al-Mukminuun : 102-103].
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ
“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri” [QS. Al-A’raaf : 8-9].
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ * فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ * وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ * فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah [QS. Al-Qaari’ah : 6-9].
Melalui ayat-ayat di atas Allah ta’ala memberikan penjelasan kepada kita bahwa orang-orang yang selamat, bahagia, dan memperoleh keberuntungan adalah orang-orang yang kebaikan mereka melebihi kesalahan mereka.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وقوله: { فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ } أي: من رجحت حسناته على سيئاته ولو بواحدة، قاله ابن عباس.
{ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ } أي: الذين فازوا فنجوا من النار وأدخلوا الجنة.
“Dan firman-Nya : ‘Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan’ (QS. Al-Mukminuun : 102); yaitu : barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya melebihi keburukan-keburukannya meskipun hanya satu. Hal itu dikatakan oleh Ibnu ‘Abbaas. Firman-Nya : ‘maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan’; yaitu : orang-orang yang memperoleh kemenangan sehingga selamat dari neraka dan masuk ke dalam surga” [Tafsiir Ibni Katsiir, 5/496].
Allah tidak mensyaratkan golongan yang mendapatkan keberuntungan harus terbebas dari kekeliruan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Aadam pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/198, At-Tirmidziy no. 2499, Ibnu Maajah no. 4251, dan lain-lain; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Sebaliknya, Allah ta’ala tidak mengatakan bahwa seorang yang celaka tidak mempunyai kebaikan. Akan tetapi orang yang celaka adalah orang yang keburukan dan kesalahan mereka melebihi kebaikan.
Dulu, ketika Haathib bin Abi Baltha’ah kedapatan membocorkan rencana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam menyerang Makkah karena kasih saying dan rasa khawatir atas keselamatan keluarganya di Makkah, para shahabat mencelanya. Bahkan saking geramnya, ‘Umar sampai meminta izin kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya. Namun respon yang diberikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah:
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ "
Sesungguhnya ia (Haathib) adalah orang yang turut serta dalam perang Badr. Tahukah engkau bahwa barangkali Allah telah melihat ahlul-Badr dan berfirman : ‘Berbuatlah sekehendak kalian, karena Aku telah mengampuni kalian[1]” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3007].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkomentar:
وارتكب مثل ذلك الذنب العظيم فأخبر صلى الله عليه و سلم انه شهد بدرا فدل على ان مقتضى عقوبته قائم لكن منع من ترتب اثره عليه ماله من المشهد العظيم فوقعت تلك السقطة العظيمة مغتفرة في جنب ماله من الحسنات
“Dan Haathib sebenarnya telah berbuat dosa besar, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwasannya ia ikut hadir dalam perang Badr. Hal itu menunjukkan bahwa sebab yang menuntut adanya hukumannya sudah ada, akan tetapi pelaksanaannya terhalang oleh adanya amal yang sangat besar berupa keikutsertaannya hadir dalam perang Badr, sehingga kesalahan besarnya diampuni di sisi keberadaan kebaikan-kebaikannya tersebut” [Miftaah Daaris-Sa’aadah, 1/176].
Oleh karena itu, kita mesti memahami hal ini dalam proses interaksi kepada sesama manusia sehingga kita bisa mendudukkan mana orang yang layak diberikan penghormatan dan mana pula orang yang layak untuk dicela dan diberikan peringatan.
Dulu, Ibnu Rajab rahimahullah pernah berkata:
والمنصف من اغتفر قليل خطأ المرء في كثير صوابه
“Orang yang adil adalah orang yang dapat memaafkan sedikit kesalahan orang lain yang memiliki banyak kebenaran” [Al-Qawaa’id, hal. 3].
Terkait dengan hal itu, mari kita simak kisah menarik antara Al-Imaam Ahmad bin Hanbal dan Al-Imaam Al-Humaidiy (guru Al-Bukhaariy) rahimahumullah. Al-Humaidiy berkata:
كَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ قَدْ أَقَامَ عِنْدَنَا بِمَكَّةَ، فَقَالَ لِي ذَاتَ يَوْمٍ، أَوْ ذَاتَ لَيْلَةٍ: هَاهُنَا رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ، لَهُ بَيَانٌ وَمَعْرِفَةٌ، فَقُلْتُ لَهُ: فَمَنْ هُوَ؟ قَالَ: مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ، وَكَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ قَدْ جَالَسَهُ بِالْعِرَاقِ، فَلَمْ يَزَلْ بِي حَتَّى اجْتَرَّنِي إِلَيْهِ. وَدَارَتْ مَسَائِلُ، فَلَمَّا قُمْنَا، قَالَ لِي أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: كَيْفَ رَأَيْتَ؟ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ مَا كَانَ أَخْطَأَ فِيهِ، وَكَانَ ذَلِكَ مِنِّي بِالْقُرَشِيَّةِ يَعْنِي: مِنَ الْحَسَدِ، فَقَالَ لِي أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: فَأَنْتَ لا تَرْضَى أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ يَكُونُ لَهُ هَذِهِ الْمَعْرِفَةُ، وَهَذَا الْبَيَانُ ! ! أَوْ: نَحْوُ هَذَا مِنَ الْقَوْلِ، تَمُرُّ مِائَةُ مَسْأَلَةٍ يُخْطِئُ خَمْسًا أَوْ عَشْرًا، اتْرُكُ مَا أَخْطَأَ، وَخُذْ مَا أَصَابَ
“Dulu Ahmad bin Hanbal pernah tinggal di sisi kami di Makkah. Pada suatau hari atau suatu malam, ia berkata kepadaku : ‘Di sini ada seorang laki-laki keturunan Quraisy yang mempunyai kefasihan retorika dan keluasan ilmu pengetahuan’. Aku berkata kepadanya : ‘Siapakah ia ?’. Ahmad berkata : ‘Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy’. Ahmad bin Hanbal memang biasa bermajelis dengannya di ‘Iraaq. Ia (Ahmad) senantiasa mengajakku untuk bermajelis dengannya (Asy-Syaafi’iy), yang kemudian terjadi diskusi banyak permasalahan. Ketika kami berdiri, Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : ‘Bagaimana pendapatmu (tentangnya) ?’. Maka aku pun mencari-cari kekeliruannya yang ia terjatuh padanya. Hal itu aku lakukan karena rasa hasadku dengan sebab faktor Quraisy-nya. Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : ‘Engkau tidak ridla ada seorang laki-laki yang mempunyai keluasan ilmu dan kefasihan retorika ini ?. – atau ia mengatakan sesuatu yang semisal dengannya - . Engkau melewati seratus permasalahan lalu ia keliru dalam lima atau sepuluh masalah saja. Tinggalkan kekeliruannya, dan ambil apa yang benar darinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim Ar-Raaziy dalam Aadaabusy-Syaafi’iy hal. 43-44 dengan peringkasan. Diriwayatkan juga olehnya dalam Al-Jarh wat-Ta’diil 7/202-203, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 9/96; sanadnya hasan].
Contoh yang baik juga ditunjukkan oleh Adz-Dzahabiy rahimahullah saat memberikan penilaian terhadap beberapa tokoh terkemuka yang terjatuh dalam kekeliruan. Saat menyebutkan biografi Qataadah bin Di’aamah[2], ia berkata:
ولعل الله يعذر أمثاله ممن تلبس ببدعة يريد بها تعظيم الباري وتنزيهه، وبذل وسعه، والله حكم عدل لطيف بعباده، ولا يسأل عما يفعل.
ثم إن الكبير من أئمة العلم إذا كثر صوابه، وعلم تحريه للحق، واتسع علمه، وظهر ذكاؤه، وعرف صلاحه وورعه واتباعه، يغفر له الله، ولا نضلله ونطرحه، وننسى محاسنه نعم ولا نقتدي به في بدعته وخطئه، ونرجو له التوبة من ذلك
“Mungkin Allah memberikan ‘udzur orang semisal dirinya yang mengenakan pakaian bid’ah yang menginginkan dengannya untuk mengagungkan Al-Baariy (Allah) dan menyucikan-Nya, dengan mencurahkan segala kemampuannya (untuk itu). Dan Allah Maha Bijaksana, ‘Adil, dan Lembut terhadap hamba-hamba-Nya, yang tidak akan ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya. Sesungguhnya orang-orang besar dari kalangan ahli ilmu apabila banyak kebenarannya, diketahui kesungguhannya dalam mencari kebenaran, luas ilmunya, nampak kecerdasannya, serta diketahui kebaikan, wara’, dan sikap ittibaa’-nya; maka Allah akan mengampuninya (kesalahannya). Kita tidak boleh menyesatkannya, menggugurkannya, dan melupakan segala kebaikannya. Benar, kita tidak boleh mengikuti kebid’ahan dan kesalahannya, dan kita memohon agar ia bertaubat darinya…” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 5/271].
Begitu pula saat menyebutkan biografi Abu Bakr Muhammad bin ‘Aliy Al-Qaffaal rahimahullah:
قال أبو الحسن الصفار: سمعت أبا سهل الصعلوكي، وسئل عن تفسير أبي بكر القفال، فقال: قدسه من وجه، ودنسه من وجه، أي: دنسه من جهة نصره للاعتزال.
قلت: قد مر موته، والكمال عزيز، وإنما يمدح العالم بكثرة ماله من الفضائل، فلا تدفن المحاسن لورطة، ولعله رجع عنها.
وقد يغفر له باستفراغه الوسع في طلب الحق ولا قوة إلا بالله.
“Abul-Hasan Ash-Shaffaar berkata : Aku mendengar Abu Sahl Ash-Sha’luukiy ditanya tentang tafsir Abu Bakr Al-Qaffaal, lalu ia menjawab : ‘Ia (Abu Bakr Al-Qaffaal) menyucikannya di satu sisi dan mengotorinya di sisi yang lain’. Maksudnya, mengotorinya dari sisi pembelaannya terhadap paham Mu’tazilah.
Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : Sungguh ia telah meninggal, dan satu kesempurnaan merupakan kemuliaan. Seorang ulama hanyalah dipuji karena banyaknya harta berupa keutamaan-keutamaan (yang dimilikinya). Maka, kebaikan-kebaikannya tidaklah ikut dikubur dengan sebab satu keburukan. Barangkali ia telah rujuk dari kesalahannya itu sehingga Allah mengampuninya karena ia mencurahkan segala kemampuannya untuk mencari kebenaran. Tidak ada kekuatan melainkan milik Allah…” [idem, 16/285].
Ibnu Katsiirsaat menyebutkan perihal gurunya, Ibnu Taimiyyah rahimahumallah, berkata:
وبالجملة فقد كان رحمه الله من كبار العلماء وممن يخطئ ويصيب ، ولكن خطأه بالنسبة إلى صوابه كنقطة في بحر لجي ، وخطؤه مغفور له
“Dan secara umum, beliau rahimahullah termasuk diantara ulama besar, dan bisa salah maupun benar. Akan tetapi kesalahannya dibandingkan dengan kebenarannya seperti titik di tengah lautan luas. Dan kesalahannya tersebut diampuni (oleh Allah)” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 14/160].
Sungguh, diantara keajaiban orang-orang yang berperilaku dhalim terhadap sesama dari generasi belakangan adalah hobi mereka yang senang sekali mencari-cari kesalahan orang. Berjam-jam mereka membaca kitab, mendengarkan rekaman, dan membolak-balik halaman website hanya untuk mengumpulkan kesalahan seseorang. Mereka mencela dan membatalkan kebaikan seseorang hanya karena sedikit kesalahan - bahkan diantara kesalahan itu hanyalah sebuah pengambilan pendapat yang dianggap lemah dalam masalah ijtihadiyyah. Muamalah mereka itu mirip dengan Khawaarij dalam masalah iman. Khawaarij menganggap iman itu pejal tak bercabang yang jika hilang satu bagian, maka hilang semuanya. Begitu juga dengan orang-orang yang ghulluw itu. Ketika mereka melihat kekeliruan seseorang dalam satu atau dua hal, maka bara'-lah mereka 100%. Mereka gugurkan semua kebaikan orang itu dan kemudian mengeluarkannya dari lingkup sunnah tanpa melihat jenis, banyak-sedikit, dan besar-kecilnya kesalahan.
Apalagi, banyak diantara orang yang mereka cela itu adalah para ulama. Seperti dikatakan : “Apabila air telah mencapai dua qullah, maka air itu tidak menanggung najis".
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
Jika seorang hakim memutuskan (satu perkara) yang kemudian dia berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala; dan jika dia memutuskan (satu perkara) kemudian dia berijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7352].
Wallaahul-musta'aan.
[abul-jauzaa'– senayan, Jakarta – 10062014 – 15:10].




[1]     Riwayat selengkapnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ مَرَّتَيْنِ، قَالَ: أَخْبَرَنِي حَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا والزُّبَيْرَ والْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ، قَالَ: "انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا ظَعِينَةً وَمَعَهَا كِتَابٌ فَخُذُوهُ مِنْهَا فَانْطَلَقْنَا تَعَادَى بِنَا خَيْلُنَا حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى الرَّوْضَةِ، فَإِذَا نَحْنُ بِالظَّعِينَةِ، فَقُلْنَا: أَخْرِجِي الْكِتَابَ، فَقَالَتْ: مَا مَعِي مِنْ كِتَابٍ، فَقُلْنَا: لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَنُلْقِيَنَّ الثِّيَابَ فَأَخْرَجَتْهُ مِنْ عِقَاصِهَا، فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا فِيهِ مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى أُنَاسٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا حَاطِبُ مَا هَذَا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ بِمَكَّةَ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا، وَلَا ارْتِدَادًا، وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ صَدَقَكُمْ، قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ، قَالَ: إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Diinaar yang aku mendengar darinya dua kali, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Hasan bin Muhammad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin Abi Raafi’, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutusku, Az-Zubair, dan Al-Miqdaad. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berangkatlah kalian hingga mendatangi kebun Khaakh, karena di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Ambillah surat itu darinya”. Maka kami pun pergi dalam keadaan kuda-kuda kami berlari cepat hingga kami tiba di kebun tersebut. Ternyata benar kami dapati seorang wanita sedang dalam perjalanan. Kami berkata : “Keluarkan surat yang engkau bawa”. Wanita itu berkata : “Aku tidak membawa surat apapun”. Kami berkata : “Sungguh, engkau harus mengeluarkan surat itu atau kami buka pakaianmu”. Lalu ia pun mengeluarkan surat itu dari gelungan rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang ternyata berasal dari Haathib bin Abi Balta’ah kepada orang-orang musyrikin penduduk Makkah untuk mengkhabarkan sebagian urusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Haathib, apa maksudnya ini ?”. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, janganlah engkau terburu-buru kepadaku. Sesungguhnya aku adalah seorang anak angkat di tengah suku Quraisy, dan aku bukanlah termasuk dari kalangan mereka. Adapun kaum Muhaajirin yang bersama engkau, mereka mempunyai kerabat di Makkah yang akan melindungi keluarga dan harta mereka. Dikarenakan aku tidak punya hubungan nasab dengan mereka, aku ingin menolong mereka agar mereka pun menjaga kerabatku. Aku melakukan ini bukan karena kekafiran, murtad, ataupun ridlaa dengan kekufuran setelah Islam”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh, dia telah jujur kepada kalian”. ‘Umar berkata : “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku tebas leher orang munafik ini”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya ia (Haathib) adalah orang yang turut serta dalam perang Badr. Tahukah engkau bahwa barangkali Allah telah melihat ahlul-Badr dan berfirman : ‘Berbuatlah sekehendak kalian, karena Aku telah mengampuni kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3007].
Kisah Haathib di atas merupakan sebab turunnya QS. Al-Mumtahanah ayat 1 di atas sebagaimana riwayat berikut :
أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي بَهَمْدَانَ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحُسَيْنِ، ثنا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، ثنا وَرْقَاءُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ إِلَى قَوْلِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ "نَزَلَ فِي مُكَاتَبَةِ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ وَمَنْ مَعَهُ إِلَى كُفَّارِ قُرَيْشٍ يُحَذِّرُونَهُمْ ......... هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Al-Hasan Al-Qaadliy Bahamdaan : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Husain : Telah menceritakan kepada kami Aadam bin Abi Iyaas : Telah menceritakan kepada kami Warqaa’, dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang’.... hingga firman-Nya : ‘Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan’ (QS. Al-Mumtahanah : 1-3), ayat tersebut turun mengenai surat-menyurat Haathib bin Abi Balta’ah dan orang-orang yang bersamanya dengan orang-orang kafir Quraisy untuk memperingatkan mereka (tentang rencana serangan kaum muslimin)....” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 2/485; dan ia berkata : “Ini adalah hadits shahih sesuai dengan persyaratan Syaikhain, namun keduanya tidak meriwayatkannya”. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahdalam Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul, hal. 241].
[2]     Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy, Abul-Khaththaab Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-4, lahir tahun 60 H/61 H, dan wafat tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].

Hukum Membungkukkan Badan

$
0
0
Tanya : Apa hukum membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepada orang lain ? sebagaimana adat yang berlaku di kita atau yang dilakukan di beberapa olah raga. Terima kasih.
Jawab : Para ulama bersepakat tentang keharaman membungkukkan badan dalam rangka pengagungan dan ibadah kepada selain Allah ta’ala. Adapun membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepadanya, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama memakruhkannya. Sebagian lagi ada yang mengharamkannya dan ada juga yang membolehkannya.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
يكره حني الظهر في كل حال لكل أحد لحديث انس السابق
“Dimakruhkan membungkukkan punggung dalam semua keadaan kepada siapapun berdasarkan hadits Anas yang lalu” [Al-Majmuu’, 4/635].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما الإنحناء عند التحية فينهي عنه كما في الترمذي عن النبي صلى الله الله عليه وسلم أنهم سألوه عن الرجل يلقى أخاه ينحنى له قال لا ولأن الركوع والسجود لا يجوز فعله إلا لله عز و جل ....... قد تقدم نهيه عن القيام كما يفعله الأعاجم بعضها لبعض فكيف بالركوع والسجود وكذلك ما هو ركوع ناقص يدخل في النهي عنه
“Adapun membungkukkan ketika memberikan penghormatan, maka itu terlarang berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya mereka (para shahabat) bertanya tentang seseorang yang bertemu dengan saudaranya lalu ia membungkukkan badan kepadanya. Beliau menjawab : ‘Tidak boleh’. Hal itu dikarenakan rukuk dan sujud tidak diboleh dilakukan kecuali terhadap Allah ‘azza wa jalla. …… Telah berlalu larangan berdiri (sebagai penghormatan) sebagaimana yang dilakukan orang-orang ‘Ajam (non Arab) antara satu dengan yanglainnya. Lantas, bagaimana dengan rukuk dan sujud? Begitu juga rukuk yang kurang termasuk dalam larangan ini” [At-Tawassul, hal. 377].
Ulama yang memakruhkan dan mengharamkannya berdalil dengan hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيَنْحَنِي بَعْضُنَا لِبَعْضٍ ؟ قَالَ: "لَا "، قُلْنَا: أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا؟ قَالَ: "لَا وَلَكِنْ تَصَافَحُوا "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Kami pernah bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah sebagian kami boleh membungkukkan badan kepada sebagian yang lain (saat bertemu) ?”. Beliau menjawab : “Tidak”. Kami kembali bertanya : “Apakah sebagian kami boleh berpelukan kepada sebagian yang lain (saat bertemu) ?”. Beliau menjawab : “Tidak, akan tetapi saling berjabat tanganlah kalian” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 3702].
Sayangnya, riwayat ini lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai hujjah.[1]
An-Nafraawiy rahimahullah berkata:
وَأَفْتَى بَعْضُ الْعُلَمَاءِ بِجَوَازِ الِانْحِنَاءِ إذَا لَمْ يَصِلْ إلَى حَدِّ الرُّكُوعِ الشَّرْعِيِّ
“Dan sebagian ulama berfatwa bolehnya membungkukkan badan jika tidak sampai pada batas rukuk syar’iy” [Fawaakihud-Dawaaniy, 8/296. Dinukil juga dalam Haasyiyyah Ash-Shaawiy ‘alaa Asy-Syarh Ash-Shaghiir, 11/279].
As-Safaariniy rahimahullah menukil:
وَقَدَّمَ فِي الْآدَابِ الْكُبْرَى عَنْ أَبِي الْمَعَالِي أَنَّ التَّحِيَّةَ بِانْحِنَاءِ الظَّهْرِ جَائِزٌ
“Dan telah berlalu dalam Al-Aadaabul-Kubraa dari Abul-Ma’aaliy bahwasannya penghormatan dengan membungkukkan punggung diperbolehkan” [Ghidzaaul-Albaab, 1/256].
Dalilnya adalah:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ الصُّوفِيُّ بِبَغْدَادَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نَصْرٍ التَّمَّارُ قَالَ: حَدَّثَنَا عَطَّافُ بْنُ خَالِدٍ الْمَخْزُومِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَزِينٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ، قَالَ: "بَايَعْتُ بِيَدِي هَذِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَاهَا، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ "
Telah menceritakan Ahmad bin Al-Hasan bin ‘Abdil-Jabbaar Ash-Shuufiy di Baghdaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Nashr At-Tammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aththaaf bin Khaalid Al-Makhzuumiy, dari ‘Abdurrahmaan bin Raziin, dari Salamah bin Al-Akwaa’, ia berkata : “Aku berbaiat kepada Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tanganku ini, lalu kami menciumnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal itu” [Diriwayatkan oleh Abu Bakr bin Al-Muqri’ dalam Ar-Rukhshah fii Taqbiilil-Yadd no. 12; hasan].
Sisi pendalilan : Mencium tangan orang lain umumnya dilakukan dengan membungkukkan badan. Sebagian ulama mengatakan mencium tangan adalah sujud ‘kecil-kecilan’. Diantaranya adalah Sulaimaan bin Harb rahimahullah yang berkata:
هِيَ السَّجْدَةُ الصُّغْرَى
“Ia (mencium tangan) adalah sujud kecil-kecilan” [Aadaabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih, 2/248].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
كَانَ يُقَالُ تَقْبِيلُ الْيَدِ إحْدَى السَّجْدَتَيْنِ
“Dulu dikatakan mencium tangan merupakan salah satu (bentuk) dari dua macam sujud” [idem].
Oleh karena itu, membungkukkan badan tidaklah selalu mutlak diharamkan jika tidak disertai pengangungan dan menyerupai rukuk dalam ibadah berdasarkan hadits Salamah bin Al-Akwaa’ di atas.
Yang raajih di antara pendapat-pendapat di atas adalah bahwa (sedikit) membungkukkan badan dalam rangka penghormatan atau saat bertemu/menyapa diperbolehkan jikatidak sampai pada batas rukuk syar’iy.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 15081435/14062014 – 22:35].

Tawassul dengan Orang Shaalih yang Telah Meninggal

$
0
0
Tanya : Bolehkah kita bertawassul di kuburan orang shalih meminta mereka berdoa kepada Allah agar mengabulkan hajat-hajat kita?.
Jawab : Perbuatan itu tidak disyari'atkan dengan sebab:
1.     Orang yang telah meninggal tidak dapat mendengar orang yang masih hidup[1].
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar” [QS. Faathir : 22].
إِنّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَىَ وَلاَ تُسْمِعُ الصّمّ الدّعَآءَ إِذَا وَلّوْاْ مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”[QS. An-Naml : 80].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata:
وظاهر نفي إسماع الموتى العموم، فلا يخص منه إلا ما ورد بدليلكما ثبت في الصحيح أنه صلى الله عليه وسلم خاطب القتلى في قليب بدر........
“Dhahirnya, (ayat tersebut) meniadakan pendengaran dari orang mati secara umum. Maka tidaklah dikhususkan darinya kecuali apa-apa yang datang dari dalil sebagaimana telah tetap dalam Ash-Shahiih (Al-Bukhaariy-Muslim) bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamberkata kepada orang-orang kafir yang terbunuh di sumur-sumur Badr…….” [Fathul-Qadiir, 5/376].
2.     Orang yang telah meninggal telah terputus amalnya.
Berdoa adalah amal shaalih yang mendatangkan pahala bagi pelakunya. Ia hanya dapat dilakukan oleh orang yang masih hidup. Adapun orang yang telah meninggal dunia, maka terputus amalannya dan tidak dapat lagi melakukan amal shaalih yang mendatangkan pahala, berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ، إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah darinya amalannya kecuali tiga hal : shadaqah jariyyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaalih yang mendoakannya[2]” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1631].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
قَالَ الْعُلَمَاء : مَعْنَى الْحَدِيث أَنَّ عَمَل الْمَيِّت يَنْقَطِع بِمَوْتِهِ ، وَيَنْقَطِع تَجَدُّد الْجَوَاب لَهُ ، إِلَّا فِي هَذِهِ الْأَشْيَاء الثَّلَاثَة
“Para ulama berkata : Makna hadits adalah bahwa amalan mayit/orang yang telah meninggal terputus dengan kematiannya, dan terputus pula untuk menjawab seruan yang dikatakan kepadanya, kecuali dalam tiga hal tersebut” [Syarh Shahiih Muslim, 11/85]/
Abuth-Thayyib Al-‘Adhiim Aabaadiy rahimahullah berkata:
( اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَله ) : أَيْ فَائِدَة عَمَله وَتَجْدِيد ثَوَابه
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘terputuslah darinya amalannya’, yaitu :  faedah amalannya dan pembaharuan pahalanya” [‘Aunul-Ma’buud, 6/343 – via Syaamilah].
3.     Menyelisihi amalan salaf.
عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَقَالَ: "اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّنَبِيِّنَا فَاسْقِنَا، قَالَ: فَيُسْقَوْنَ "
Dari Anas : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu apabila terjadi kekeringan, maka ia berdoa melalui perantaraan Al-‘Abbaas bin ‘Abdil-Muthallib agar diturunkan hujan. Ia berkata: Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan (doa) Nabi-Mu, Engkau pun menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan (doa) paman Nabi kami, maka berilah kami hujan”. Lalu turunlah hujan kepada mereka [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1010 & 3710].
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu tidak pergi bertawassul ke kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamuntuk meminta doa beliau, padahal tidak diragukan lagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih utama dibandingkan Al-‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu. Tidak pula ada halangan bagi ‘Umar untuk hadir di kubur Nabi karena sama-sama di kota Madiinah. Namun ternyata ia malah mendatangi Al-‘Abbaas bertawassul melalui perantaraan doanya agar diturunkan hujan.
Ini menunjukkan bertawassul di kubur Nabi dan meminta doa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah disyari’atkan. Seandainya disyari’atkan, tentang ‘Umar – atau para shahabat lain –telah mendahului kita.
Jika demikian, lantas bagaimana halnya dengan orang-orang yang kedudukannya jauh di bawah kedudukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?.
Semoga jawaban ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 16081435/15062014 – 07:24].




[1]     Silakan baca pembahasannya pada artikel berjudul : Orang Mati Tidak Bisa Mendengar.
[2]     Takhrij hadits selengkapnya, silakan baca artikel berjudul : Takhrij Hadits : Apabila Seseorang Meninggal Dunia, Maka Terputuslah Amalannya Kecuali Tiga.....

Jarh wa Ta’diil Asy-Syaikh Rabii’ bin Haadiy Al-Madkhaliy hafidhahullah

$
0
0
Asy-Syaikh Muqbil bin Haadiy Al-Wadii’iy rahimahullah pernah ditanya:
 هل توافق الشيخ ربيعا في كتاباته النقدية في الجرح والتعديل وفي المنهج الذي يسير عليه أم تخالفونه؟ وهل تعرفون أن الشيخ ابن باز وابن عثيمين والألباني يوافقونه؟
“Apakah Anda menyepakati Asy-Syaikh Rabii’ dalam tulisan-tulisannya yang berkaitan kritikan seputar al-jarh wat-ta’diil dan manhaj, yang ia jalani, ataukah Anda menyelisihinya ?. Dan apakah Anda mengetahui bahwasannya Asy-Syaikh Ibnu Baaz, Ibnu ‘Utsaimiin, dan Al-Albaaniy sepakat dengannya?”.
Beliau rahimahullah menjawab:
 أهل السنة منبعهم واحد الذي يستقون منه وهو كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وعلى أله وسلم، فعقيدتهم واحدة، واتجاههم واحد، في جميع البلاد الإسلامية، نعم، نحن متفقون على جرح أصحاب البدع والحزبيين، متفقون على هذا، بقي في أناس هم عند شخص من المجروحين وعند آخر ليسوا من المجروحين، هذا حدث على عهد السلف، فرب راو يقول فيه أحمد بن حنبل: ثقة، و يقول فيه يحيى بن معين: كذاب، أو العكس، وهكذا البخاري وأبو زرعة وأبو حاتم.
والمهم لا يقلد بعضهم بعضا، فإذا اختلفنا في توثيق شخص وتجريحه فليس معنى هذا أننا مختلفون في العقيدة، وليس معنى هذا أننا مختلفون في الاتجاه
“Ahlus-Sunnah, sumber yang mereka ambil adalah satu, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam. ‘Aqidah mereka satu dan arah tujuan mereka satu, di semua negeri Islam. Na’am. Kami bersepakat dalam jarh terhadap pelaku kebid’ahan dan hizbiyyiin. Kami bersepakat dalam hal ini. Akan tetapi dalam penghukuman beberapa orang (bisa jadi tidak bersepakat), dimana mereka menurut orang tertentu termasuk kalangan orang-orang yang di-jarh (majruuhiin), sedangkan menurut yang lain bukan termasuk kalangan orang-orang yang di-jarh. Hal ini sudah terjadi di masa salaf. Kadang ada seorang perawi yang dikatakan oleh Ahmad : ‘tsiqah’, namun Yahyaa bin Ma’iin berkata tentangnya : ‘pendusta’. Atau sebaliknya. Begitu juga dengan Al-Bukhaariy, Abu Zur’ah, dan Abu Haatim.
Yang penting adalah sebagian mereka tidak bertaqlid kepada sebagian yang lain. Apabila kami berselisih pendapat dalam tautsiiq dan tajriih individu tertentu, maka itu tidak berarti kami berselisih dalam ‘aqidah dan arah tujuan.
وأما هل الشيخ ابن باز والشيخ الألباني يوافقونه أم يخالفونه؟ فالمسألة أنني ما قرأت كثيرا من كتب الشيخ ربيع هذا أمر، أمر آخر أيضا كما قلنا: إن أهل السنة لا يقلد بعضهم بعضا، ....( ) وعلى كل كلنا نصيب ونخطئ ونجهل ونعلم والله المستعان
“Adapun pertanyaan : apakah Asy-Syaikh Ibnu Baaz dan Asy-Syaikh Al-Albaaniy menyepakatinya (Asy-Syaikh Rabii’), maka dalam permasalahan ini aku belum membaca banyak buku-buku Asy-Syaikh Rabii’. Ini satu perkara. Adapun perkara yang lain sebagaimana yang telah kami katakan : Sesungguhnya Ahlus-Sunnah, sebagian mereka tidak bertaqlid kepada sebagian yang lain……(..). Dan setiap orang diantara kita bisa benar dan bisa juga salah, bisa mengetahui dan bisa juga tidak mengetahui. Wallaahul-musta’aan” [sebagaimana dalam kaset الدرر في أجوبة عبس وشفر].
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata:
Mari kita perhatikan manhaj umum yang dipakai oleh Asy-Syaikh Muqbiil rahimahullah. Beliau rahimahullah tidak mengatakan bahwa beliau harus senantiasa menyepakati al-jarh wat-ta’diil dari Asy-Syaikh Rabii’. Hal itu dikarenakan prinsip Ahlus-Sunnah adalah tidak wajib taqlid kepada individu tertentu. Setiap orang bisa benar, bisa juga keliru. Perkataan yang benar diambil dan yang salah ditinggalkan.
Akan tetapi sebagian pengikut Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullah menjadi ghulluw dalam hal ini. Mereka menjadikan beliau hafidhahullah patokan dan ujian dalam‘manhaj’/al-jarh wat-ta’diil. Menjadikan beliau rujukan utama dengan meninggalkan yang lain. Bahkan ada sebagian murid beliau mencela Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah yang dianggap tidak patut dijadikan rujukan dalam masalah ‘manhaj’ (!). Subhaanallah….
Akan tetapi Alhamdulillah, akhirnya sang murid[1]pun menyadari kesalahannya dan kemudian rujuk. Setidaknya, fenomena ini menggambarkan pada kita adanya kenyataan orang-orang yang ghulluw pada ijtihad Asy-Syaikh Rabii’ Al-Madkhaliy hafidhahullah. Bukan sekedar ilusi dan fitnah semata.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 16081435/15062014 – 11:55].




[1]     Ia memang sangat fanatik dengan Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullah, hingga mengatakan jika ada yang mengkritik beliau (Asy-Syaikh Rabii’), itu artinya memerangi Salafiyyah/Sunnah. Perkataannya dapat didengarkan di sini:

Kehadiran Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Alam Kubur

$
0
0
Ketika manusia telah dikuburkan, disebutkan dalam hadits bahwa ia akan ditanya dengan beberapa hal oleh malaikat yang salah satu pertanyaannya adalah:
مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Apa yang kamu katakan tentang orang ini, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1338 & 1374, dari shahabat Anas radliyallaahu ‘anhu].
Beberapa orang salah paham dengan mengartikan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika itu nampak atau hadir menyertai malaikat Munkar dan Nakir. Hal itu ditunjukkan dengan adanya isim isyarah‘hadza’ (هَذَا) dalam kalimat di atas yang menunjukkan objeknya dekat dan hadir.
Ini keliru, karena tidak mesti isim ‘hadza’ menunjukkan sesuatu yang dekat dan hadir – meskipun kebanyakan menunjukkan makna demikian. Misalnya hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: "لَمَّا بَلَغَ أَبَا ذَرٍّ مَبْعَثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَخِيهِ ارْكَبْ إِلَى هَذَا الْوَادِيفَاعْلَمْ لِي عِلْمَ هَذَا الرَّجُلِالَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ يَأْتِيهِ الْخَبَرُ مِنَ السَّمَاءِ، وَاسْمَعْ مِنْ قَوْلِهِ ثُمَّ ائْتِنِي......
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata: “Ketika sampai berita kepada Abu Dzarr tentang diutusnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata kepada saudaranya : ‘Berangkatlah kamu menuju lembah ini (Makkah), dan kabarkan kepadaku tentang laki-laki yang mengaku sebagai Nabi ini dan mengaku berita dari langit datang kepadanya. Dengarkanlah ucapannya kemudian kembalilah kepadaku…” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3861].
Perkataan ‘hadzal-waadiy’ (lembah ini) dan ‘hadzar-rajul’ (laki-laki ini) tidak menunjukkan bahwa kedua objek tersebut ada di dekat Abu Dzarr dan tampak olehnya.
عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سَلَمَةَ، قَالَ: ...."كُنَّا بِمَاءٍ مَمَرَّ النَّاسِ، وَكَانَ يَمُرُّ بِنَا الرُّكْبَانُ، فَنَسْأَلُهُمْ: مَا لِلنَّاسِ، مَا لِلنَّاسِ، مَا هَذَا الرَّجُلُ؟ فَيَقُولُونَ: يَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَهُ أَوْحَى إِلَيْهِ، أَوْ أَوْحَى اللَّهُ بِكَذَا، فَكُنْتُ أَحْفَظُ ذَلِكَ الْكَلَامَ وَكَأَنَّمَا يُقَرُّ فِي صَدْرِي، وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمُ الْفَتْحَ، فَيَقُولُونَ: اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ، فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ
Dari ‘Amru bin Salamah, ia berkata : “…. Kami pernah berada di sumber air yang dilewati banyak orang. Waktu itu para pengendara dalam perjalanan melewati sumber air kami. Kami bertanya pada mereka : Ada apa dengan orang banyak ? Adaapa dengan orang banyak ? Siapakah laki-laki ini (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) ?. Mereka menjawab : Ia adalah seorang laki-laki yang mengaku diutus sebagai seorang Rasul dan mendapat wahyu begini dan begini. Aku lalu menghafal betul ucapan tersebut sehingga seolah-olah terpatri dalam dadaku.Dan orang-orang Arab menunggu untuk masuk Islam bila terjadi penaklukkan kotaMakkah. Mereka berkata : Tinggalkan saja dia dan kaumnya. Kalau dia berhasil menaklukkan mereka, berarti dia seorang Nabi yang sebenarny….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4302]..
‘Amru bin Salamah menggunakan kalimat ‘hadzar-rajul’ yang dimaksudkan dengannya adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal diketahui bahwa saat ia berbicara, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak berada bersamanya.
Perkataan Heraklius saat menerima rombongan dagang suku Quraisy, kepada Abu Sufyaan:
أَيُّكُمْ أَقْرَبُ نَسَبًا بِهَذَا الرَّجُلِالَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ؟ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ، فَقُلْتُ: أَنَا أَقْرَبُهُمْ نَسَبًا
“Siapakah di antara kalian yang paling dekat nasabnya dengan laki-laki ini yang mengaku sebagai Nabi?".Abu Sufyaan berkata : Aku katakan : "Akulah yang paling dekat nasabnya di antara mereka dengannya….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7].
Heraklius menggunakan kata ‘hadzar-rajul’ untuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang pada waktu itu tidak bersamanya.
Kembali ke bahasan hadits di awal artikel…..
Ada beberapa lafadh lain yang menunjukkan secara jelas bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak nampak bersama malaikat sewaktu terjadinya pertanyaan kubur, diantaranya:
Dari jalan Asmaa’ bintu Abi Bakr radliyallaahu ‘anhumaa disebutkan dengan lafadh:
قَالَ: "فَيَجْلِسُ، فَيَقُولُ لَهُ: مَاذَا تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِيَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ: مَنْ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قَالَ: أَنَا أَشْهَدُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Lalu ia (mayit) pun duduk. Kemudian malaikat berkata kepadanya : ‘Apa yang engkau katakan tentang orang ini, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?’. Ia menjawab : ‘Siapa?’. Malaikat berkata : ‘Muhammad’. Ia berkata : ‘Aku bersaksi bahwasannya ia adalah utusan Allah….” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/352; sanadnya shahih].
Dalam salah satu jalan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu disebutkan dengan lafadh:
فَيُقَالُ لَهُ: مَا تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ الَّذِي كَانَ فِيكُمْ، يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ جَاءَنَا بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا فَصَدَّقْنَا وَاتَّبَعْنَا
Lalu dikatakan kepadanya (mayit) : ‘Apa yang engkau katakan tentang laki-laki ini yang ada di tengah-tengah kalian (semasa di dunia), yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?’. Ia menjawab : ‘Aku bersaksi bahwasannya ia adalah utusan Allah. Datang kepada kami dengan penjelasan-lenjelasan dari sisi Rabb kami, lalu kami membenarkannya dan mengikutinya….” [Diriwayatkan oleh Hanaad dalam Az-Zuhd no. 338; hasan].
Maksudnya, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ada di tengah manusia semasa mereka hidup di dunia.
As-Suyuuthiy rahimahullahberkata:
وَسُئِلَ هَل يكْشف لَهُ حَتَّى يرى النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فَأجَاب أَنه لم يرد حَدِيث وَإِنَّمَا إدعاه بعض من لَا يحْتَج بِهِ بِغَيْر مُسْتَند سوى قَوْله فِي هَذَا الرجل وَلَا حجَّة فِيهِ لِأَن الْإِشَارَة إِلَى الْحَاضِر فِي الذِّهْن
“Dan Ibnu Hajar pernah ditanya : ‘Apakah hal itu disingkap baginya (mayit/orang yang meninggal) hingga ia dapat melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam?’. Ibnu Hajar berkata : ‘Tidak ada hadits (yang mendasarinya). Itu hanyalah dakwaan sebagian orang yang tidak memiliki hujjah yang dapat dijadikan sandaran kecuali perkataannya : ‘hadzar-rajul’ (orang ini). Padahal tidak ada hujjah di dalamnya karena itu merupakan isyarat kepada seseorang yang hadir di dalam pikiran” [Syarhush-Shuduur, hal. 60].
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga artikel pendek ini ada manfaatnya.

Wallaahu a’lam.

Minyak Wangi (Parfum) Wanita

$
0
0
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ، وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ، كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ، لَا يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ، إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ، أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Perumpamaan teman duduk yang shaalih dengan teman duduk yang buruk adalah seperti penjual misk dan tukang pandai besi. Pasti ada sesuatu yang engkau dapatkan dari penjual minyak wangi, apakah engkau membeli minyak misk-nya atau sekedar mendapatkan bau wanginya. Adapun pandai besi, bisa jadi ia membakar badanmu atau pakaianmu; atau minimal engkau mendapatkan bau yang tidak enak darinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2101].
Hadits ini sebenarnya berbicara tentang perumpamaan ‘teman’. Teman yang baik diumpamakan seperti penjual minyak wangi (misk), sedangkan teman yang buruk diumpamakan seperti pandai besi. Melalui hadits ini diketahui bahwa minyak wangi dan bau wangi adalah sesuatu yang baik, dicintai semua orang - baik laki-laki dan wanita - sehingga syari’at menganalogkannya dengan teman yang baik. Beda halnya dengan bau busuk yang tidak akan disukai semua jiwa kecuali lalat dan semisalnya[1].
Minyak wangi adalah sesuatu yang baik, hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kita menolak pemberian minyak wangi dari orang lain melalui sabdanya:
مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ طِيبٌ فَلَا يَرُدَّهُ، فَإِنَّهُ خَفِيفُ الْمَحْمَلِ طَيِّبُ الرَّائِحَةِ
Barangsiapa yang diberikan wewangian, janganlah ia tolak, karena ia ringan untuk dibawa lagi harum baunya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/320, Abu Daawud no. 4172, An-Nasaa’iy no. 5259, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 3/399].
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: "كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِطِيبٍ لَمْ يَرُدَّهُ "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diberikan wewangian, maka beliau tidak pernah menolaknya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 5258, Ahmad 3/118, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 3/399].
Dan bagi wanita...., minyak wangi merupakan perhiasan yang dianjurkan dipakai di hadapan suaminya.
عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي سُفْيَانَ، لَمَّا جَاءَهَا نَعِيُّ أَبِيهَا دَعَتْ بِطِيبٍ، فَمَسَحَتْ ذِرَاعَيْهَا، وَقَالَتْ: مَا لِي بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ، لَوْلَا أَنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا "
Dari Ummu Habiibah bintu Abi Sufyaan : Ketika datang berita kematian ayahnya, ia meminta wangi-wangian. (Setelah didatangkan), ia pun mengusapkannya pada kedua hastanya seraya berkata : “Sebenarnya aku tidak membutuhkan wangi-wangian ini seandainya aku tidak mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung pada seorang mayit lebih dari tiga hari, kecuali pada suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5345].
Maksudnya, Ummu Habiibah sebenarnya masih sedih atas kematian ayahnya, namun syari’at melarangnya untuk berkabung[2]lebih dari tiga hari. Oleh karena itu, pada hari ketiga[3]ia meminta wangi-wangian untuk ia pakai berhias di hadapan suaminya (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam), karena masa berkabung telah habis.
Seorang wanita juga dianjurkan untuk senantiasa wangi dihadapan suaminya, hingga saat haidl selesai ia diperintahkan untuk membersihkan bekas darah dengan kain yang dicampuri minyak wangi sehingga bau tak sedang yang lazim timbul dari wanita yang sedang haidl hilang.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَسْمَاءَ، سَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ؟ فَقَالَ: تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا، فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا، فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا، حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ، ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً، فَتَطَهَّرُ بِهَا، فَقَالَتْ أَسْمَاءُ: وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا ؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، تَطَهَّرِينَ بِهَا، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: كَأَنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ، تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ......
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Asma’ pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi haidl. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Hendaknya engkau mengambil air dan daun bidara. Lalu bersuci (wudlu) dan membaguskannya. Kemudian menyiram air di kepalanya, lalu menggosoknya dengan gosokan yang kuat hingga menyentuh kulit kepalanya. Lalu dia menuangkan air di kepalanya. Kemudian dia ambil kain/kapas yang diberi minyak misk, lalu dia bersuci dengan kapas itu”. Asmaa’ bertanya lagi : “Bagaimana aku bersuci dengan kapas itu ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Subhaanallaah, engkau pakai kapas itu untuk bersuci”. ‘Aaisyah mengatakan - seakan-akan ia tidak mengetahuinya - : “Engkau usap bekas-bekas darahnya (dengan kapas/kain itu)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 245].
Faedah lain dari hadits ‘Aaisyah di atas adalah diperbolehkannya wanita memakai minyak wangi laki-laki, karena misk adalah minyak wangi laki-laki[4]. Misk adalah wewangian yang sangat wangi. Namun demikian, yang paling baik bagi wanita adalah wewangian yang tersembunyi baunya (tidak tajam), dan nampak warnanya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ خَيْرَ طِيبِ الرَّجُلِ مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ، وَخَيْرَ طِيبِ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ
Sesungguhnya sebaik-baik wewangian laki-laki adalah yang nampak baunya dan tersembunyi warnanya. Dan sebaik-baik wewangian wanita adalah yang nampak warnanya dan tersembunyi baunya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/442, At-Tirmidziy no. 2788, Abu Daawud no. 4048, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/112-113].
Wewangian yang biasa dipakai wanita adalah za’faran (saffron)[5].
Seorang wanita boleh memakaikan minyak wangi kepada suaminya.
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: "كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ حَتَّى أَجِدَ وَبِيصَ الطِّيبِ فِي رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ "
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Aku pernah memakaikan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wewangian paling baik beliau dapatkan, hingga aku melihat kilauan wewangian tersebut di kepala dan jenggot beliau” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5923].[6]
Ada beberapa kondisi dimana wanita dilarang mengenakan wewangian secara mutlak, yaitu:
1.     Ihraam.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ؟ فَقَالَ: "لَا يَلْبَسُ الْقَمِيصَ وَلَا الْعِمَامَةَ وَلَا السَّرَاوِيلَ وَلَا الْبُرْنُسَ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ الْوَرْسُ أَوِ الزَّعْفَرَانُ،
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada beliau apa yang apa yang dikenakan oleh orang yang melakukan ihram. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ia tidak boleh memakai qamiish, surba, saraawiil (celana panjang), burnus, serta pakaian yang diolesi minyak wars dan za’faraan…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 134].
2.     Berkabung.
Dalilnya adalah hadits Ummu Habiibah radliyallaahu ‘anhaa di atas, dan hadits:
عَنْأُمّ عَطِيَّةَ، "نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَمَسَّ طِيبًا إِلَّا أَدْنَى طُهْرِهَا إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ وَأَظْفَارٍ ". قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ: الْقُسْطُ وَالْكُسْتُ مِثْلُ الْكَافُورِ وَالْقَافُور
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai wewangian (saat berkabung) kecuali di akhir masa sucinya (dari haidl). Jika ia telah suci,ia boleh memakai qusth (sejenis kayu yang wangi) dan minyak wangi adhfar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5343].
Maksud perkecualiannya ini adalah diberikan keringanan bagi wanita (yang berkabung) memakai wewangian sekedar untuk menghilangkan aroma tak sedap selepas haidl dengan cara mengusap bekas darahnya[7], bukan bermaksud untuk berhias dengan memakai wewangian [Fathul-Baariy, 9/492].
3.     Keluar rumah.
عَنْالْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ "
Dari (Abu Muusaa) Al-Asy’ariy, ia berkata : Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, lalu melewati satu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah pezina” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4173, An-Nasaa’iy no. 5126, dan yang lainnya; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 3/372].
Bahkan, ketika menuju keluar masjid sekalipun:
عَنْزَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَتْ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ، فَلَا تَمَسَّ طِيبًا "
Dari Zainab istri ‘Abdullah, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada kami : “Jika salah satu kalian, para muslimah, mau pergi ke masjid maka janganlah dia memakai wewangian” [Diriwayatkan oleh muslim no. 443].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 23062014 – 22:30].




[1]     Bahkan bau busuk dapat menghalangi seseorang masuk ke dalam masjid dan bercampur dengan manusia karena hal itu akan menyakitinya.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسَاجِدَنَا، حَتَّى يَذْهَبَ رِيحُهَا، يَعْنِي الثُّومَ
Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang memakan sayuran ini, maka janganlah mendekati masjid kami hingga hilang baunya” – yaitu bawang putih [Diriwayatkan oleh Muslim no. 561].
Selanjutnya, silakan dibaca pada artikel : Hukum Makan Bawang Putih, Bawang Merah, atau Bawang Bakung.
[2]     Berkabung pada selain suami adalah diperbolehkan dengan meninggalkan berhias dan memakai wangi-wangian.
[3]     Dalam riwayat lain disebutkan :
لَمَّا جَاءَ نَعْيُ أَبِي سُفْيَانَ مِنْ الشَّأْمِ دَعَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بِصُفْرَةٍ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ، فَمَسَحَتْ عَارِضَيْهَا وَذِرَاعَيْهَا
“Ketika datang kabar kematian Abu Sufyaan dari Syaam, Ummu Habiibah radliyallaahu ‘anhaa meminta shufrah (sejenis wangi-wangian) pada hari ketiga, lalu mengusapkan pada kedua pipinya dan kedua lengannya...” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1280].
[4]     Dan....... misk adalah sebaik-baik wangi-wangian.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَطْيَبُ الطِّيبِ الْمِسْكُ ". قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wangi-wangian yang paling baik adalah misk” [Diriwayatkanm oleh At-Tirmidziy no. 991, dan ia berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”].
Banyak hadits yang mensifati hal-hal yang berkaitan kebaikan, pahala, dan surga dengan misk, misalnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَوَّلُ زُمْرَةٍ تَلِجُ الْجَنَّةَ صُورَتُهُمْ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ لَا يَبْصُقُونَ فِيهَا، وَلَا يَمْتَخِطُونَ وَلَا يَتَغَوَّطُونَ آنِيَتُهُمْ فِيهَا الذَّهَبُ أَمْشَاطُهُمْ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَمَجَامِرُهُمُ الْأَلُوَّةُ وَرَشْحُهُمُ الْمِسْكُ وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ زَوْجَتَانِ يُرَى مُخُّ سُوقِهِمَا مِنْ وَرَاءِ اللَّحْمِ مِنَ الْحُسْنِ، لَا اخْتِلَافَ بَيْنَهُمْ، وَلَا تَبَاغُضَ قُلُوبُهُمْ قَلْبٌ وَاحِدٌ يُسَبِّحُونَ اللَّهَ بُكْرَةً وَعَشِيًّا "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya rombongan pertama yang masuk surga dalam rupa seperti bulan purnama. Tidaklah mereka meludah, beringus, dan buang air besar. dan. Bejana-bejana mereka dari emas, sisir-sisir mereka dari emas dan perak, pembakar gaharu mereka dari kayu india, keringat mereka beraroma misk, dan bagi setiap mereka dua orang istri, yang nampak sum-sum betis mereka di balik daging karena kecantikan. Tidak ada perselisihan di antara mereka, tidak ada permusuhan, hati-hati mereka hati yang satu, mereka bertasbih kepada Allah setiap pagi dan petang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3245].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ...... وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ، أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “……Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau misk di hari kiamat. Dan bagi orang yang berpuasa itu mempunyai dua kegembiraan, yaitu ketika berbuka dan ketika berjumpa dengan Rabbnya, ia gembira dengan puasanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1904 dan Muslim no. 1151; dan ini lafadh Muslim].
[5]     Salah satu dalilnya adalah:
عَنْ أَنَسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَعَلَيْهِ رَدْعُ زَعْفَرَانٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَهْيَمْ "، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً، قَالَ: "مَا أَصْدَقْتَهَا؟ "قَالَ: وَزْنَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ، قَالَ: "أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ "
Dari Anas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf yang padanya terdapat bekas kuning za’faraan. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah itu ?”. Ia menjawab : “Wahai Rasulullah, aku telah menikahi seorang wanita”. Beliau bersabda : “Mahar apa yang engkau berikan ?”. Ia menjawab : “Emas sebesar biji kurma”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Adakanlah walimah meskipun hanya menyelbelih satu ekor kambing” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2109; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud, 1/589].
Bekas za’faraan yang yang ada di tubuh ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf adalah bekas za’faraan yang dipakai istrinya untuk berhias.
[6]     Ibnu Hajar rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits ini:
وقال ابن بطال: يؤخذ منه أن طيب الرجال لا يجعل في الوجه بخلاف طيب النساء، لأنهن يطيبن وجوههن ويتزين بذلك بخلاف الرجال، فإن تطييب الرجل في وجهه لا يشرع لمنعه من التشبه بالنساء
“Ibnu Baththaal berkata : Faedah yang diambil darinya bahwasannya wewangian laki-laki tidak dioleskan pada wajah, berbeda halnya dengan wewangian wanita. Hal itu dikarenakan mereka (wanita) mengenakan wewangian di wajah mereka dan berhias dengannya, berbeda halnya dengan laki-laki. Memakai wewangian di wajahnya bagi laki-laki tidak disyari’atkan karena menyerupai (tasyabbuh) dengan wanita” [Fathul-Baariy, 10/366].
[7]     Sebagaimana hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa yang disebutkan sebelumnya.

Fiqh Syi’ah (7) : Waktu Berbuka Puasa

$
0
0
Ash-Shaadiq berkata:
إذا غابت الشمس فقد حل الافطار ووجبت الصلاة
“Apabila matahari terbenam, sungguh telah halal berbuka puasa dan diwajibkan shalat (Maghrib)” [Wasaailusy-Syii’ah, 6/125].
Dari ‘Amru bin Abi Nashr, ia berkata:
سمعت أبا عبدالله ( عليه السلام ) يقول في المغرب : إذا توارى القرص كان وقت الصلاة ،وأفطر
“Aku mendengar Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) berkata tentang waktu maghrib : ‘Apabila bulatan matahari sudah tidak nampak, maka itulah waktu shalat dan berbuka puasa” [Wasaailusy-Syii’ah, 10/183].
Waktu maghrib ditandai terbenamnya matahari yang kemudian merupakan waktu berbuka puasa.
Dari ‘Abdullah bin Sinaan, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam); ia (‘Abdullah bin Sinaan) berkata : Aku mendengarnya (Abu ‘Abdillah) berkata:
وَقْتُ الْمَغْرِبِ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَغَابَ قُرْصُهَا
“Waktu maghrib adalah bila matahari tenggelam lalu hilang bulatannya” [Al-Kaafiy, 3/280; dikatakan Al-Majlisiy statusnya shahih].
Bahkan dinukil adanya kesepakatan periwayatan dari Ahlul-Bait mengenai hal ini, sebagaimana dikatakan An-Nu’maan Al-Maghribiy – seorang ulama Syi’ah - :
و روينا عن أهل البيت (عليهم السلام) بإجماع فيما رويناه عنهم أن دخول الليل الذي يحل فيه للصائم الفطر هو غياب الشمس في أفق المغرب بلا حائل دونها يسترها من جبل و لا حائط و لا ما أشبه ذلك فإذا غاب القرص في أفق المغرب فقد دخل الليل و حل الفطر
“Dan telah kami riwayatkan dari Ahlul-Bait (‘alaihimi-salaam) berdasarkan kesepakatan (ijmaa’) terhadap apa yang kami riwayatkan dari mereka bahwa masuknya malam yang dihalalkan bagi orang puasa untuk berbuka adalah tenggelamnya matahari di ufuk barat, tanpa ada penghalang baik berupa gunung, tembok, atau yang semisalnya. Jika lingkaran matahari telah hilang di ufuk barat, maka malam telah tiba dan halal untuk berbuka” [Da’aaimul-Islaam, 1/280].
Sebagaimana yang kita saksikan bersama, perbuatan orang-orang Syi’ah menyelisihi riwayat-riwayat di atas.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 24062014 – 02:00].

Fatwa Al-Faakihaaniy rahimahullah Mengenai Perayaan Maulid Nabi

$
0
0
Al-Faakihaaniy, namanya adalah : ‘Umar bin ‘Aliy bin Saalim bin Shadaqah Al-Lakhmiy Al-Iskandariy – masyhur dengan nama : Taajuddiin Al-Faakihaaniy rahimahullah. Lahir tahun 654 H atau ada yang mengatakan 656 H.
Ibnu Katsiir rahimahullah menyifatinya dengan perkataan : asy-syaikh, ai-imaam, lagi menguasai cabang-cabang ilmu pengetahuan [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 14/168].
Ibnu Farhuun Al-Maalikiy rahimahullah menyifatinya dengan perkataan : “Seorang yang faqih, mempunyai keutamaan, menguasai cabang-cabang ilmu hadits, fiqh, ushuul, bahasa ‘Arab, dan adab [Ad-Diibaaj Al-Madzhab fii Ma’rifati A’yaanil ‘Ulamaa’ Al-Madzhab, 1/108].
Dari sini dapat diketahui bahwa ia seorang ulama besar madzhab Maalikiyyah di jamannya. Ia pernah menjelaskan posisinya terhadap amalan maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang kala itu banyak dilakukan manusia:
أما بعد : فإنه قد تكرر سؤال جماعة من المباركين عن الاجتماع الذي يعمله بعض الناس في شهر ربيع الأول ويسمونه المولد : هل له أصل في الشرع ، أو هو بدعة وحدث في الدين ؟ ؟ وقصدوا الجواب من ذلك مبينا ، والإيضاح عنه معينا ، فقلت وبالله التوفيق : لا أعلم لهذا المولد أصلا في كتاب ولا سنة ، ولا ينقل عمله عن أحد من علماء الأمة الذين هم القدوة في الدين المتمسكون بآثار المتقدمين ، بل هو بدعة أحدثها المبطلون ، وشهوة نفس اعتنى بها الأكالون بدليل أنا إذا أدرنا عليها الأحكام الخمسة : قلنا إما أن يكون واجبا أو مندوبا ، أو مباحا أو مكروها أو محرما ، وليس هو بواجب إجماعا ، ولا مندوبا ، لأن حقيقة المندوب : ما طلبه الشارع من غير ذم على تركه ، وهذا لم يأذن فيه الشارع ، ولا فعله الصحابة ، ولا التابعون ، ولا العلماء المتدينون فيما علمت ، وهذا جوابي عنه بين يدي الله تعالى إن عنه سئلت ولا جائزا أن يكون مباحا ، لأن الابتداع في الدين ليس مباحا بإجماع المسلمين فلم يبق إلا أن يكون مكروها أو محرما
Amma ba’du, sungguh telah berulang kali pertanyaan dilontarkan oleh jama’ah orang-orang yang mendapat keberkahan tentang perkumpulan yang dilakukan sebagian orang di bulan Rabii’ul-Awwal, yang mereka namai dengan Maulud (Nabi) : ‘Apakah ia mempunyai asal/dalil dari syari’at? Ataukah ia merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama ?. Mereka menghendaki jawaban dan penjelasan yang terang tentang perkara tersebut.
Maka aku katakan – wa billaahit-taufiiq - :
Aku tidak mengetahui asal perbuatan maulid dari Al-Kitaab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Perbuatan tersebut juga tidak pernah ternukil dari satupun ulama umat yang menjadi teladan dalam agama dan berpegang pada atsar ulama terdahulu. Bahkan perbuatan itu adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang baathil (kalangan Faathimiyyin – Abul-Jauzaa’), serta syahwat jiwa yang diperhatikan oleh orang-orang yang senang makan. Dalilnya, apabila aku menghendaki hukum-hukum syar’iyyah, maka kami katakan : kemungkinan ia wajib, manduub (sunnah), mubah, makruh, atau haram. Perbuatan (maulid) itu bukan termasuk wajib secara ijmaa’. Bukan pula manduub, karena hakekat manduub adalah sesuatu yang dituntut oleh Syaari’ (Allah) tanpa adanya celaan jika meninggalkannya. Adapun perbuatan ini (yaitu maulid) tidaklah diizinkan oleh Syaari’ (Allah), tidak pernah dilakukan para shahabat, taabi’iin, dan ulama yang dijadikan pegangan dalam agama sepanjang pengetahuanku. Inilah jawabanku di hadapan Allah ta’ala jika nanti aku ditanya tentang permasalahan itu. Tidak boleh menjadikan perkara tersebut sesuatu yang mubah, karena berbuat bid’ah dalam agama bukanlah perkara mubah berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin. Oleh karena itu, tidaklah tersisa kecuali perbuatan itu dihukumi makruh atau haram........” [Al-Maurid fii ‘Amalil-Maulid, hal. 20-22, Maktabah Al-Ma’aarif, Riyaadl, Cet. 1/1407].





Allah Berfirman dengan Suara dan Huruf

$
0
0
Tanya : Jika dikatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, itu saya ketahui dan menyepakatinya. Dalilnya ada. Namun jika dikatakan Allah berfirman dengan suara dan huruf, saya belum tahu dalilnya. Apakah Anda dapat menyebutkannya ?. Terima kasih.
Jawab : Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Untuk menjawab hal tersebut, kami akan mengurutkan jawaban dalam beberapa point, yaitu:
1.     Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Kalaamullah.
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ * نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ * عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ * بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”  [QS. Asy-Syu’araa’ : 192-195].
عَنْجَابِرٍ، قَالَ: "كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُ نَفْسَهُ بِالْمَوْقِفِ، فَقَالَ: أَلَا رَجُلٌ يَحْمِلْنِي إِلَىقَوْمِهِ فَإِنَّ قُرَيْشًا قَدْ مَنَعُونِي أَنْ أُبَلِّغَ كَلَامَ رَبِّي "
Dari Jaabir, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menempatkan diri beliau di Mauqif, lalu bersabda : ‘Adakah seseorang yang dapat membawaku ke kaumnya?, karena kaum Quraisy melarangku menyampaikan firman Rabbku” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4734, At-Tirmidziy no. 2925, Ibnu Maajah no. 201, dan yang lainnya. At-Tirmidziy berkata : “Ini adalah hadits gharib shahih”].
2.     Al-Qur’an yang kita baca dan kita dengar juga merupakan Kalaamullah, bukan makhluk.
Allah ta’ala berfirman :
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْقَوْمٌلا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar ‘kalaamullah’ (firman Allah), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” [QS. At-Taubah : 6].
Kalaamullah dalam ayat di atas maksudnya adalah Al-Qur’an.
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata:
وقد ذكر الشافعي رحمه الله ما دل على أن ما نتلوه في القرآن بألسنتنا ونسمعه بآذاننا ونكتبه في مصاحفنا يسمى كلام الله عز وجل وأن الله عز وجل كلم به عباده بأن أرسل به رسوله صلى الله عليه وسلم
“Dan Asy-Syaafi’iy rahimahullah telah menyebutkan keterangan yang menunjukkannya bahwa apa yang kita baca di dalam Al-Qur’an dengan lisan-lisan kita, kita dengar melalui telinga-telinga kita, dan kita tulis di dalam mushhaf-mushhaf kita; semua itu dinamakan Kalamullah ‘azza wa jalla(bukan makhluk– Abul-Jauzaa’). Dan bahwa Allah ‘azza wa jalla telah berbicara dengannya kepada hamba-hamba-Nya melalui pengutusan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad oleh Al-Baihaqiy, hal. 108].
3.     Kalaamullah (firman Allah) terdiri dari suara dan huruf.
Allah ta’ala berfirman:
فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ مِنْ شَاطِئِ الْوَادِ الأيْمَنِ فِي الْبُقْعَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ أَنْ يَا مُوسَى إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-Qashshsash : 30].
Ayat tersebut menunjukkan Muusaa mendengar (suara) firman Allah ta’ala.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ إِذَا قَضَى الأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ، ضَرَبَتِ الْمَلائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَصَوْتِ السِّلْسِلَةِ عَلَى الصَّفْوَانِ، فذَلِكَ قَوْلُهُ: حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah apabila telah selesai menetapkan satu perintah dari langit, para malaikat memukul-mukulkan sayap mereka merendahkan diri karena patuh terhadap firman-Nya yang seakan-akan seperti suara rantai besi yang ditarik di atas batu. Itulah firman-Nya : {‘Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata : "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" Mereka menjawab: "(Perkataan) yang benar", dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar} (QS. Saba’ : 23)...” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-‘Arsyno. 80; shahih].
Riwayat di atas sebagai dalil bahwa Allah ta’ala berfirman dengan suara yang dapat didengarkan oleh para malaikat-Nya.
Dari ‘Abdullah bin Unais, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda tentang keadaan manusia di hari kiamat:
.....ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قُرْبٍ، أَنَا الْمَلِكُ، أَنَا الدَّيَّانُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ، وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ.....
“…..Kemudian mereka diseru dengan satu suara yang dapat didengar oleh orang yang jauh sebagaimana orang yang dekat mendengarnya : ‘Akulah Raja, Akulah Penguasa. Tidak boleh ada seorang pun dari penduduk neraka masuk ke neraka terlebih dahulu, padahal dia memiliki hak dari penduduk surga, sehingga Aku tegakkan qishaash darinya. Dan tidak boleh ada seorang pun penduduk surga memasuki surga sedangkan bagi penduduk neraka mempunyai hak darinya, sehingga aku tegakkan qishaash padanya….” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/495; dihasankan oleh Al-Arna'uth dkk.].
Al-Bukhaariy rahimahullah mengomentari:
وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَادِي بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ، فَلَيْسَ هَذَا لِغَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ذِكْرُهُ، وَفِي هَذَا دَلِيلٌ أَنَّ صَوْتَ اللَّهِ لا يشبه أَصْوَاتَ الْخَلْقِ، لأَنَّ صَوْتَ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ يُسْمَعُ مِنْ بُعْدٍ كَمَا يُسْمَعُ مِنْ قُرْبِ
“Dan sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menyeru dengan suara yang dapat didengar oleh orang yang jauh sebagaimana orang yang dekat mendengarnya. Hal ini tidak terjadi pada selain Allah ‘azza wa jalla. Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa suara Allah tidak menyerupai suara-suara makhluk, karena suara Allah ‘azza wa jalla dapat didengar oleh orang yang jauh sebagaimana orang yang dekat mendengarnya” [Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, 1/182].
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ، فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ
Bergembiralah (wahai Muhammad) dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu, yang belum pernah diberikan kepada seorang nabipun sebelummu, yaitu surat Al-Faatihah dan akhir dari sura Al-Baqarah. Tidak ada seorangpun yang membacanya, kecuali setiap hurufnyaakan diberikan padanya (cahayanya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 806].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: "تَعَلَّمُوا الْقُرْآَنَ وَاتْلُوهُ تُؤْجَرُوا بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرُ حَسَنَاتٍ، أَمَا إِنِّي لا أَقُولُ: الْم، وَلَكِنْ أَقُولُ أَلِفٌ وَلامٌ وَمِيمٌ "
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : “Pelajarilah Al-Qur’an dan bacalah. Engkau akan diberikan pahala untuk setiap huruf sepuluh kebaikan. Aku tidak berkata : ‘Alif Laam Miim (sepuluh kebaikan)’, akan tetapi aku berkata : ‘Alif, Laam, dan Miim (masing-masing sepuluh kebaikan)” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 3213, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir, 9/139-140, dan yang lainnya; shahih].
أَخْبَرَنَا فِطْرٌ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ مِقْسَمٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: "مَا يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ إِذَا رَجَعَ مِنْ سُوقِهِ، أَوْ مِنْ حَاجَتِهِ إِلَى أَهْلِهِ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ فَيَكُونَ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرُ حَسَنَاتٍ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Fithr, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Apa yang menghalangi salah seorang di antara kalian apabila kembali dari pasar atau (kembali) dari hajatnya menuju keluarganya untuk membaca Al-Qur’an?. (Jika ia melakukannya), maka baginya untuk setiap huruf (yang ia baca) sepuluh kebaikan” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd no. 807; sanadnya hasan].
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ سَعِيدِ ابْنِ جُبَيْرٍ، أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي الْكَعْبَةِ فِي رَكْعَةٍ، وَقَرَأَ فِي الرَّكْعَةِ الأُخْرَى: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ "، وَقَالَ الثَّوْرِيُّ: لا بَأْسَ أَنْ تَقْرَأَهُ فِي لَيْلَةٍ، إِذَا فَهِمْتَ حُرُوفَهُ
Dari Ats-Tsauriy, dari Hammaad, dari Sa’iid bin Jubair : Bahwasannya ia membaca Al-Qur’an di Ka’bah dalam satu raka’at dan membaca ‘Qul huwallaahu ahad’ di raka’at yang lain. Ats-Tsauriy berkata : “Tidak mengapa engkau membacanya di waktu malam apabila engkau memahami huruf-hurufnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5953; sanadnya shahih].
Kalaamdalam tinjauan bahasa ‘Arab, tidaklah terjadi melainkan dengan huruf dan suara.[1]Para ulama telah ijmaa’ dalam hal ini [Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli Zubaid, hal. 81]. Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata :
وقد أجمع أهل العربية أن ما عدا الحروف والأصوات ليس بكلام حقيقة
“Orang-orang ‘Arab telah bersepakat bahwasannya segala sesuatu selain huruf dan suara bukanlah kalaam (perkataan) secara hakekat” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/399].
Semoga dengan ketiga point di atas berikut dalil-dalilnya dapat menjawab pertanyaan antum.
Wallaahu a’lam.[2]
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, 29 Sya’ban 1435 H, 02:20].




[1]     Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
إثبات القول لله عزّ وجل وهذا كثير في القرآن الكريم، وهو دليل على ما ذهب إليه أهل السنة من أن كلام الله يكون بصوت، إذ لا يطلق القول إلا على المسموع.
“(Faedah ketiga) : Penetapan kalaam (perkataan) bagi Allah ‘azza wa jalla, dan hal ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an Al-Kariim. Ia adalah dalil atas pendapat Ahlus-Sunnah yang menyatakan bahwa perkataan Allah (Kalaamullah) adalah dengan suara, karena tidaklah dimutlakkan kalaam (perkataan) kecuali dapat didengarkan” [Syarh Al-Arba’iin An-Nawawiyyah– chm, Free Program from Islamspirit].

Mana yang Lebih Utama : Shalat Tarawih Berjama’ah di Masjid atau di Rumah ?

$
0
0
Para ulama berselisih pendapat dalam dua kelompok besar[1].
Pendapat pertama menyatakan shalat tarawih berjama’ah di masjid lebih utama. Diantara ulama yang memegang pendapat ini adalah jumhur ulama dari kalangan shahabat dan taabi’iin, ulama Hanafiyyah, Ahmad bin Hanbal, Ishaaq bin Rahawaih, Ibnul-Mubaarak, dan jumhur Syaafi’iyyah.
Pendapat kedua menyatakanshalat tarawih secara munfarid di rumah lebih utama. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, ‘Alqamah, Al-Aswad, Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan yang menyepakati mereka.
Berikut beberapa perkataan ulama yang menyebutkan silsilah perbedaan pendapat tersebut.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاق الصَّلَاةَ مَعَ الْإِمَامِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، وَاخْتَارَ الشَّافِعِيُّ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ إِذَا كَانَ قَارِئًا
“Ibnul-Mubaarak, Ahmad, dan Ishaaq memilih shalat bersama imam di bulan Ramadlaan. Adapun Asy-Syaafi’iy memilih agar seseorang shalat sendirian apabila ia seorang qaari’” [Al-Jaami’ Al-Kabiir, 2/160].
Al-Marwaziy rahimahullah berkata:
وَقَالَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ: كَانَ ابْنُ هُرْمُزَ مِنَ الْقُرَّاءِ، يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ بِأَهْلِهِ فِي بَيْتِهِ، وَكَانَ رَبِيعَةُ يَنْصَرِفُ، وَكَانَ الْقَاسِمُ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَسَالِمٌ رَحِمَهُ اللَّهُ يَنْصَرِفَانِ، لا يَقُومَانِ مَعَ النَّاسِ، وَقَدْ رَأَيْتُ يُحْيِيَ بْنَ سَعِيدٍ مَعَ النَّاسِ، وَأَنَا لا أَقُومُ مَعَ النَّاسِ، لا أَشُكُّ أَنَّ قِيَامَ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلَ مِنَ الْقِيَامِ مَعَ النَّاسِ إِذَا قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ، وَمَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا فِي بَيْتِهِ
“Maalik rahimahullah berkata : ‘Ibnu Hurmuz – yang termasuk diantara qurraa’– berpaling (dari jama’ah di masjid), lalu shalat mengimami kelaurganya di rumahnya. Begitu juga dengan Rabii’ah, Al-Qaasim, dan Saalim rahimahumullah juga berpaling tidak shalat bersama orang-orang (di masjid). Aku melihat Yahyaa bin Sa’iid (Al-Anshaariy) shalat bersama orang-orang, namun aku tidak shalat bersama orang-orang. Tidak ragu lagi bahwasannya shalatnya seseorang di rumahnya lebih utama daripada shalat bersama orang-orang apabila ia kuat/mampu untuk melakukannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan shalat (tarawih) kecuali di rumahnya…” [Qiyaamu Ramadlaan, hal. 75 no. 115].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
صَلاةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ . . . وَتَجُوزُ مُنْفَرِدًا وَجَمَاعَةً ، وَأَيُّهُمَا أَفْضَلُ ؟ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ، الصَّحِيحُ بِاتِّفَاقِ الأَصْحَابِ أَنَّ الْجَمَاعَةَ أَفْضَلُ ، الثَّانِي : الانْفِرَادُ أَفْضَلُ ،
قَالَ أَصْحَابُنَا : الْخِلافُ فِيمَنْ يَحْفَظُ الْقُرْآنَ ، وَلا يَخَافُ الْكَسَلَ عَنْهَا لَوْ انْفَرَدَ ، وَلا تَخْتَلُّ الْجَمَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ لِتَخَلُّفِهِ ، فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الأُمُورِ فَالْجَمَاعَةُ أَفْضَلُ بِلا خِلافٍ
“Shalat tarawih hukumnya sunnah[2] berdasarkan kesepakatan ulama…. Dan diperbolehkan melakukannya secara munfarid (sendiri) dan berjama’ah. Mana yang lebih utama?. Dalam masalah tersebut ada dua pendapat yang masyhuur. Yang benar menurut kesepakatan shahabat-shahabat kami bahwasannya berjama’ah lebih utama. Pendapat kedua : munfarid lebih utama.
Shahabat-shahabat kami berkata : Perselisihan pendapat terjadi pada orang yang hapal Al-Qur’an, tidak ada kekhawatiran muncul kemalasan jika melakukannya secara munfarid, dan tidak menghambat jama’ah di masjid akibat ketidakhadirannya (karena ia berposisi sebagai imam - Abul-Jauzaa’). Jika salah satu di antara perkara-perkara tersebut hilang, maka jama’ah lebih utama tanpa adanya perbedaan pendapat”.
قال صاحب الشامل قال أبو العباس وأبو إسحق صلاة التراويح جماعة أفضل من الانفراد لاجماع الصحابة وإجماع أهل الامصار على ذلك
“Penulis kitab Asy-Syaamil berkata : Berkata Abul-‘Abbaas dan Abu Ishaaq : ‘Shalat tarawih berjama’ah lebih utama daripada sendirian (munfarid) berdasarkan ijmaa’ para shahabat dan ijmaa’ para ulama di penjuru negeri atas hal tersebut” [Al-Majmuu’, 4-31-32 – dengan peringkasan].
Catatan : Perkataan ijmaa’ shahabat dan ijmaa’ ulama di atas tidak benar sebagaimana akan dibawakan di bawah.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ، فِعْلُهَا فِي الْجَمَاعَةِ ، قَالَ ، فِي رِوَايَةِ يُوسُفَ بْنِ مُوسَى : الْجَمَاعَةُ فِي التَّرَاوِيحِ أَفْضَلُ ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُقْتَدَى بِهِ ، فَصَلَّاهَا فِي بَيْتِهِ ، خِفْت أَنْ يَقْتَدِيَ النَّاسُ بِهِ .
وَقَدْ جَاءَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { اقْتَدُوا بِالْخُلَفَاءِ } وَقَدْ جَاءَ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي فِي الْجَمَاعَةِ .
وَبِهَذَا قَالَ الْمُزَنِيّ ، وَابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ ، وَجَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ ، قَالَ أَحْمَدُ : كَانَ جَابِرٌ ، وَعَلِيٌّ وَعَبْدُ اللَّهِ يُصَلُّونَهَا فِي جَمَاعَةٍ ......... وَقَالَ مَالِكٌ ، وَالشَّافِعِيُّ : قِيَامُ رَمَضَانَ لِمَنْ قَوِيَ فِي الْبَيْتِ أَحَبُّ إلَيْنَا ؛ لِمَا رَوَى زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ....
وَلَنَا إجْمَاعُ الصَّحَابَةِ عَلَى ذَلِكَ ، وَجَمْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ وَأَهْلَهُ فِي حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ
“Pendapat yang terpilih di sisi Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) adalah melakukannya secara berjama’ah. Dalam riwayat Yuusuf bin Muusaa : ‘Berjama’ah dalam shalat tarawih lebih utama. Dan seandainya ada seorang laki-laki yang dijadikan teladan, lalu ia shalat di rumahnya, dikhawatirkan orang-orang akan mencontohnya.
Telah ada hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Contohlah para khalifah’. Dan telah ada riwayat yang menyebutkan bahwa ‘Umar shalat dalam jama’ah. Pendapat inilah yang dipegang oleh Al-Muzanniy, Ibnu ‘Abdil-Hakam, dan sekelompok shahabat-shahabat Abu Haniifah. Ahmad berkata : ‘Jaabir, ‘Aliy, dan ‘Abdullah shalat tarawih berjama’ah’......
Maalik dan Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Shalat Ramadlaan (tarawih) bagi orang yang kuat mengerjakannya di rumah lebih kami cintai berdasarkan hadits yang diriwayatkan Zaid bin Tsaabit.....’.
Dan (dalil) bagi kami adalah ijmaa’ para shahabat atas hal tersebut (berjama’ah). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pada shahabatnya dan keluarganya sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Dzarr” [Al-Mughniy, 1/833 – dengan peringkasan].
Dalil yang dipakai masing-masing pendapat adalah
1.     Pendapat Pertama.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ، فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَتَحَدَّثُونَ بِذَلِكَ فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ، فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَذْكُرُونَ ذَلِكَ، فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ، عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ رِجَالٌ مِنْهُمْ، يَقُولُونَ: الصَّلَاةَ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ، أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ثُمَّ تَشَهَّدَ، فَقَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا "
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau shalat di masjid.  Lalu shalatlah beberapa orang bersama beliau.  Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya.  Maka berkumpullah kebanyakan dari mereka.  Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di malam kedua, mereka pun shalat bersama beliau.  Di pagi hari berikutnya, orang-orang memperbincangkannya kembali.  Di malam ketiga, jumlah jama’ah yang ada di masjid bertambah banyak.  Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar dan melaksanakan shalatnya.  Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jama’ahnya, dan beliau tidak keluar melaksanakan shalat malam sebagaimana sebelumnya kecuali belaiu hanya melaksanakan shalat shubuh.  Ketika telah selesai melaksanakan shalat Shubuh, beliau menghadap kepada jama’ah kaum muslimin, kemudian membaca syahadat, dan bersabda : “Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 882 dan Muslim no. 761].
Sisi pendalilannya adalah perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berjama’ah di masjid. Adapun setelahnya beliau meninggalkannya karena ada ‘illat kekhawatiran beliau bahwa hal tersebut akan diwajibkan. Setelah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dan syari’at telah mantap, maka hilanglah kekhawatiran sekaligus hilang pula ‘illat-nya.[3]
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: "صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا، فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ، قَالَ: فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ، قَالَ: فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ، قَالَ: قُلْتُ: وَمَا الْفَلَاحُ؟ قَالَ: السُّحُورُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِقِيَّةَ الشَّهْرِ "
Dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhuia berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadlaan. Tidaklah beliau shalat tarawih bersama kami hingga tersisa tujuh hari dari bulan tersebut. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada sepertiga malam (yang pertama). Pada saat malam tersisa enam hari lagi, beliau kembali tidak shalat bersama kami. Ketika malam tersisa limahari lagi, maka beliau shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada waktu tengah malam. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, seandainya kita shalat kembali pada (sisa) malam ini ?”. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk”. Ketika malam tersisa empat hari lagi, beliau tidak shalat bersama kami. Namun ketika malam tinggal tersisa tiga hari, beliau mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya, dan orang-orang yang ada; kemudian shalat bersama kami hingga kami khawatir tertinggal waktu falaah. Aku pernah bertanya : ”Apa makna falaah itu ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Waktu sahur”. Kemudian beliau kembali tidak shalat bersama kami pada sisa malam di bulan Ramadlan tersebut [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1375, At-Tirmidziy no. 806 dan ia berkata : Hasan shahih, An-Nasaa’iyno. 1364 & 1605, Ibnu Maajah no. 1327, dan yang lainnya; shahih].
Sisi pendalilannya adalah sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai...dst.’; yang perkataan ini beliau ucapkan ketika shalat berjama’ah di masjid bersama para shahabat.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: "وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ، لَكَانَ أَمْثَلَ "فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ، فَقَالَ عُمَرُ: "نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ..........
Dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy, bahwasannya ia berkata : Aku pernah keluar bersama ‘Umar bin Al-Khaththaab di bulan Ramadlaan menuju masjid. Ternyata orang-orang shalat terpencar-pencar dalam beberapa kelompok. Ada orang yang shalat sendirian, ada pula orang yang shalat dengan diikuti sekelompok orang. Lalu ‘Umar berkata : “Demi Allah, sesungguhnya aku memandang, seandainya aku kumpulkan mereka di belakang satu imam, niscaya itu lebih utama”. Akhirnya ia pun mengumpulkan mereka di belakang Ubay bin Ka’b. Kemudian aku (‘Abdurrahmaan) keluar bersamanya di malam yang lain dimana orang-orang shalat di belakang satu imam mereka. Lalu ‘Umar berkata : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini….” [Diriwayatkan oleh Maalik 1/476-477 no. 270, Al-Bukhaariy no. 2010, Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’ 1/98-99 no. 302, dan yang lainnya[4]].
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ
Dari As-Saaib bin Yaziid, bahwasannya ia berkata : ‘Umar bin Al-Khaththahab pernah memerintahkan Ubay bin Ka'b dan Tamiim Ad-Daariy mengimami orang-orang (shalat taraawih) dengan sebelas rakaat". As-Saaib berkata : "Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar" [Diriwayatkan oleh Maalik 1/478 no. 271; shahih].
Riwayat ‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy dan As-Saaib bin Yaziid di atas menunjukkan para shahabat di jaman ‘Umar shalat tarawih berjama’ah di masjid di belakang satu imam.
Al-Haakim setelah membawakan riwayat ‘Umar dari jalan An-Nu’maan bin Basyiir berkata:
وَفِيهِ الدَّلِيلُ الْوَاضِحُ أَنَّ: صَلاةَ التَّرَاوِيحِ فِي مَسَاجِدِ الْمُسْلِمِينَ سُنَّةٌ مَسْنُونَةٌ، وَقَدْ كَانَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَحُثُّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى إِقَامَةِ هَذِهِ السُّنَّةِ إِلَى أَنْ أَقَامَهَا
“Dan padanya terdapat dalil yang jelas bahwasannya shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin adalah sunnah yang dianjurkan. Adalah ‘Aliy bin Abi Thaalib menganjurkan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa untuk menegakkan sunnah ini, hingga kemudian ia (‘Umar) pun menegakkannya” [Al-Mustadrak, 1/440].[5]
عَنْ مُحَمَّدٍ أَنَّهُ كَانَ يَخْتَارُ الْقِيَامَ مَعَ النَّاسِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
Dari Muhammad (bin Siiriin), bahwasannya ia memilih shalat bersama orang-orang ketika bulan Ramadlaan [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/397 (5/233) no. 7804; shahih].
2.     Pendapat Kedua.
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: احْتَجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُجَيْرَةً مُخَصَّفَةً أَوْ حَصِيرًا، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيهَا فَتَتَبَّعَ إِلَيْهِ رِجَالٌ وَجَاءُوا يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ، ثُمَّ جَاءُوا لَيْلَةً فَحَضَرُوا وَأَبْطَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُمْ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ، فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ وَحَصَبُوا الْباب فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ مُغْضَبًا، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا زَالَ بِكُمْ صَنِيعُكُمْ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُكْتَبُ عَلَيْكُمْ، فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلَاةِ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ "
Dari Zaid bin Tsaabit radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah membuat ruangan yang dibatasi dengan sehelai kain atau tikar di masjid. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar dan melakukan shalat di dalamnya. Kemudian orang-orang pun datang ikut shalat bersama beliau. Di malam berikutnya mereka datang, namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak kunjung keluar. Sambil mengeraskan suara, mereka melempar pintu beliau dengan kerikil. Tidak lama kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui mereka dalam keadaan marah seraya bersabda: “Masih saja kalian mengerjakannya (shalat sunnah di masjid dengan berjama’ah), hingga aku mengira hal itu akan diwajibkan atas kalian. Hendaklah kalian shalat di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baik shalat bagi laki-laki itu di rumahnya, kecuali shalat wajib” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6113 dan Muslim no. 781].
Sisi pendalilan : Dhahir hadits ini menunjukkan semua shalat sunnah yang paling utama dilakukan di rumah.[6]Perkataan beliau ini diucapkan ketika melihat shalat para shahabat di Masjid Nabi yang pahala shalat di dalamnya seribu kali pahala shalat semisal jika dilakukan di masjid yang lain[7].
Pemahaman ini diikuti oleh sebagian salaf sebagaimana yang tercantum dalam riwayat berikut:
عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: "أَنَّهُ كَانَ لَا يَقُومُ مَعَ النَّاسِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، قَالَ: وَكَانَ سَالِمٌ، وَالْقَاسِمُ لَا يَقُومانِ مَعَ النَّاسِ "
Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : “Bahwasannya ia (Ibnu ‘Umar) tidak shalat bersama orang-orang di bulan Ramadlaan. Naafi’ juga berkata : “Saalim dan Al-Qaasim tidak shalat bersama prang-orang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/396 (5/231-232) no. 7796; shahih].
عَنِ الْأَعْمَشِ، قَالَ: "كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَؤُمُّهُمْ فِي الْمَكْتُوبَةِ، وَلَا يَؤُمُّهُمْ فِي صَلَاةِ رَمَضَانَ "، وَعَلْقَمَةُ وَالْأَسْوَدُ
Dari Al-A’masy, ia berkata : “Ibraahiim (An-Nakha’iy) mengimami mereka dalam shalat wajib, namun tidak mengimami mereka dalam shalat Ramadlaan (tarawih). Begitu juga dengan ‘Alqamah dan Al-Aswad” [idem, 2/396 (5/232) no. 7799; shahih].
Selain itu, dhahir perbuatan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu yang tidak mengumpulkan manusia di masjid di belakang satu imam menunjukkan madzhabnya ada di kelompok pendapat ini, wallaahu a’lam.
Tarjih
Yang kuat – wallaahu a’lam– adalah pendapat jumhur ulama karena sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk”. Perkataan ini beliau ucapkan saat menegakkan shalat tarawih berjama’ah di masjid dengan para shahabat, sehingga menunjukkan keutamaan ini berlaku untuk shalat berjama’ah bersama imam di masjid.
Tentang hadits : ‘sebaik-baik shalat bagi laki-laki itu di rumahnya, kecuali shalat wajib’; maka ini adalah bicara hukum asal shalat sunnah (yang paling utama dikerjakan di rumah). Namun ketika datang teks nash yang memalingkan hukum asal tersebut, maka hukum pun berubah.
Catatan : Jika shalat di masjid malah menyebabkan ketidakkhusyukan karena faktor imam yang tidak fasih (atau sering mengalami lahn) dalambacaannya, berisik, atau terlalu cepat sebagaimana banyak terjadi di masjid-masjid masyarakat selama bulan Ramadlaan, maka melakukannya di rumah lebih afdlal.[8]
Adapun bagi wanita, maka tetap lebih utama shalat tarawih di rumahnya berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ "
Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid, akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/76 no. 5468, Abu Dawud no. 567, Ath-Thabarani 12/328 no. 13255, dan yang lainnya; shahih].
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 1 Ramadlaan 1435 K – 16:15].




[1]     Sebenarnya masih ada pendapat lain selain yang disebutkan di artikel ini. Misalnya Al-Laits bin Sa’d yang mengatakan: “Seandainya semua orang mengerjakan shalat tarawih di bulan Ramadlaan sendirian atau bersama keluarganya di rumah-rumah mereka hingga semuanya meninggalkan masjid, hendaknya sebagian orang keluar mengerjakan shalat tarawih di masjid, karena shalat tarawih di bulan Ramadlaan (di majsid) termasuk perkara yang tidak boleh ditinggalkan manusia. Hal tersebut termasuk yang dianjurkan/diperintahkan ‘Umar bagi kaum muslimin, dan ia mengumpulkan mereka dalam pelaksanaan shalat tersebut. Namun jika jama’ah telah ditegakkan di masjid, maka tidak mengapa jika seseorang shalat sendirian atau mengimami keluarganya di rumahnya” [Al-Istidzkaar, 2/70].
[2]     Dalilnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ، فَيَقُولُ: "مَنْ قَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا، وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallammemberikan motivasi untuk mengerjakan (shalat pada malam) Ramadlaan dengan tidak mewajibkannya. Beliau bersabda : "Barangsiapa yang mengerjakan shalat pada bulan Ramadlaan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 759].
[3]     Dalam kaedah ushul disebutkan bahwa : “Apabila hukum adala karena mempunyai satu ‘illat nash syar’iy, maka hukum tersebut terangkat apabila hilang ‘illat-nya”.
[5]     Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah juga menyebutkan pendapat ‘Umar dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa ini dalam Al-Istidzkaar (2/70).
[6]     Kongruen dengan hadits lain yang menyebutkan perintah agar kita menghidupkan rumah-rumah kita dengan ibadah.
عَن ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا "
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai tempat untuk shalat, dan jangan menjadikannya sebagai kuburan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 432 & 1187].
[7]     Dalilnya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ "
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Shalat di masjidku ini lebih utama seribu kali dibandingkan shalat di masjid lainnya, kecuali Al-masjidil-Haraam” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1395, An-Nasaa’iy no. 2897, Ibnu Maajah no. 1405, dan yang lainnya].
[8]     Ternukil pendapat dari Al-Hasan Al-Bashriy bahwasannya tempat manapun lebih dapat mendatangkan kekhusyukan dan kelembutan hati, maka itu lebih utama

Muntah Ketika Puasa

$
0
0
Abu Daawud rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang muntah dengan tidak sengaja dalam keadaan berpuasa, maka tidak ada qadla’ baginya; dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka ia harus mengqadla (puasanya)” [As-Sunan no. 2380].
Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy no. 720, Ibnu Maajah no. 1676, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/317 no. 3117, Ad-Daarimiy no. 1770, Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 1/91, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Musnad Ahmad 2/498, Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa (Ghautsul-Makduud)2/35-36 no. 385, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/97 no. 3410 dan dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1680, Ibnu Khuzaimah no. 1960, Ad-Daaraquthniy no. 2273-2274, Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits 1/276-277, Ath-Thuusiy dalam Al-Mukhtashar no. 660, Ibnu Hibbaan 8/284-285 no. 3518, Al-Haakim 1/426-427, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/219 (371) no. 8027, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 1755, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa4/302-303; semuanya dari jalan ‘Iisaa bin Yuunus, dari Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah secara marfuu’.
‘Iisaa bin Yuunus dalam periwayatan dari Hisyaam mempunyai mutaba’ah dari Hafsh bin Ghiyaats sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1676, Ibnu Khuzaimah no. 1961, dan Al-Baihaqiy 4/219 (371) no. 8028.
Ibnu Siirin mempunyai mutaba’ah dari Abu Sa’iid Al-Maqburiy sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 6604 dan Ad-Daaraquthniy no. 2275-2276, namun sanadnya sangat lemah karena ‘Abdullah bin Sa’iid bin Abi Sa’iid, seorang yang matruuk[Taqriibut-Tahdziib, hal. 511 no. 3376].
Para ulama berbeda pendapat tentang hadits ini. Ada yang menguatkan dengan menshahihkannya, ada pula yang melemahkannya dengan men-ta’lil-nya.
Diantara ulama yang menguatkannyaadalah Ad-Daaraquthniyrahimahullah, yang berkata : Para perawinya semuanya tsiqaat” [As-Sunan, 3/154].Begitu juga Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibbaan, dan Al-Haakim menshahihkan dalam kitabnya. Abu Daawud menyebutkan dalam kitab Sunan-nya tanpa mengomentarinya. Dishahihkan pula oleh An-Nawawiy, Ibnu Taimiyyah, Adz-Dzahabiy, dan yang lainnya.
Adapun para ulama yang melemahkannya, berkisar pada penta’lilan:
1.     Tafarrud ‘Iisaa bin Yuunus.[1]
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ، لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ هِشَامٍ، عَنْ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عِيسَى بْنِ يُونُسَ
“Hadits hasan ghariib. Kami tidak mengetahuinya dari hadits Hisyaam, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; kecuali dari hadits ‘Iisaa bin Yuunus” [Al-Jaami’ At-Tirmidziy, 2/90-91].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وَعِيسَى ثِقَةٌ فَاضِلٌ، إِلا أَنَّهُ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيثِ قَدْ وَهِمَ فِيهِ، وَأَنْكَرُوهُ عَلَيْهِ. وَقَدْ زَعَمَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُ قَدْ رَوَاهُ حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانٍ بِإِسْنَادِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“’Iisaa seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan, namun menurut ahli hadits ia mengalami wahm padanya sehingga mereka mengingkarinya. Sebagian mereka mengira hadits tersebut juga telah diriwayatkan oleh Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin Hassaan dengan sanadnya, wallaahu a’lam” [Al-Istidzkaar, no. 14462].
Sebagaimana telah dituliskan dalam takhrij di atas, ‘Iisaa bin Yuunus mempunyai mutaba’ah dari Hafsh bin Ghiyaats dari jalan ‘Aliy bin Al-Hasan bin Sulaimaan Abu Sya’tsaa’ (tsiqah) dan Yahyaa bin Sulaimaan Al-Ju’fiy (shaduuq).
Akan tetapi, sanad riwayat mutaba’ah ini mudltharib karena Abu Ma’mar Ismaa’iill bin Ibraahiim (tsiqah lagi ma’muun) meriwayatkan dari Ghiyaats dari ‘Abdullah bin Sa’iid, dari kakeknya, dari Abu Hurairah secara marfuu’sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa[2](no. 6604). Sanadnya sangat lemah karena ‘Abdullah bin Sa’iid bin Abi Sa’iid, seorang yang matruuk.
2.     Wahm Hisyaam bin Hassaan.
‘Iisaa bin Yuunus berkata :
زَعَمَ أَهْلُ الْبَصْرَةِ أَنَّ هِشَامًا أَوْهَمَ فِيهِ، فَمَوْضِعُ الْخِلَافِ هَهُنَا
“Penduduk Bashrah mengira bahwa Hisyaam mengalami wahm dalam hadits tersebut. Di sinilah letak perbedaan pendapat tersebut” [Sunan Ad-Daarimiy, hal. 1079 di bawah hadits no. 1770].
Al-Bukhaariy rahimahullahberkata:
لَا أُرَاهُ مَحْفُوظًا
“Aku berpendapat ia tidak mahfuudh” [Al-Jaami’ Al-Kabiir lit-Tirmidziy, 2/91].
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
سَأَلْتُ مُحَمَّدًا عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ فَلَمْ يَعْرِفْهُ إِلا مِنْ حَدِيثِ عِيسَى بْنِ يُونُسَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَقَالَ: مَا أَرَاهُ مَحْفُوظًا.
“Aku pernah bertanya kepada Muhammad (bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy) tentang hadits ini, namun ia tidak mengetahuinya kecuali dari hadits ‘Iisaa bin Yuunus, dari Hisyaam, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah. Lantas ia berkata : ‘Aku berpendapat ia tidak mahfuudh’” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, no. 198].
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata:
وَبَعْضُ الْحُفَّاظِ لا يَرَاهُ مَحْفُوظًا، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، يَقُولُ: لَيْسَ مِنْ ذَا شَيْءٌ
“Sebagian huffaadh tidak memandangnya mahfuudh” [As-Sunan Al-Kubraa 4/219 (371)].
Ketidak-mahfudh-an riwayat Hisyaam, karena ia mengalami wahm dalam membawakan matan riwayat yang ia bawakan sebagaimana dikatakan Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Abu Daawud rahimahullah berkata:
سَمِعْتُ أَحْمَدَ، سُئِلَ مَا أَصَحُّ مَا فِيهِ، يَعْنِي: فِي "مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيءُ وَهُوَ صَائِمٌ ".قَالَ نَافِعٌ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ.قُلْتُ لَهُ: حَدِيثُ هِشَامٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: لَيْسَ مِنْ هَذَا شَيْءٌ، إِنَّمَا هُوَ حَدِيثُ: "مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا، يَعْنِي: وَهُوَ صَائِمٌ، فَاللَّهُ أَطْعَمَهُ وَسَقَاهُ "
“Aku mendengar Ahmad ditanya : “Riwayat apa yang paling shahih dalam hal : ‘barangsiapa yang muntah dalam keadaan berpuasa’; ia menjawab : ‘Naafi’, dari Ibnu ‘Umar’. Aku berkata kepadanya : ‘Hadits Hisyaam, dari Muhammad, dari Abu Hurairah ?’. Ia menjawab : ‘Ini tidak ada apa-apanya’[3]. Ia sebenarnya hanyalah hadits : ‘barangsiapa yang makan karena lupa dalam keadaan berpuasa, maka Allah telah memberi makan dan minum kepadanya” [Masaailu Abi Daawud, hal. 387 no. 1864].
Hadits yang dimaksudkan Al-Imaam Ahmad rahimahullah tersebut adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang makan dalam keadaan lupa padahal ia sedang berpuasa, hendaklah ia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberinya makan dan minum”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6669 dan dalam Al-Kabiir 1/91, Abu Daawud no. 2398, At-Tirmidziy 2/92 no. 721-722, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/356-357 no. 3262, Ahmad 2/395 & 2/493 & 2/514, Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 117, Abu Ya’laa no. 6038 & 6058, Ibnu Hibbaan 8/288-289 no. 3522, Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj no. 2835-2836, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/229 (386-387) no. 8072-8073; dari beberapa jalan (‘Auf bin Abi Jamiilah, Ayyuub, Habiib bin Asy-Syahiid, dan Qataadah), semuanya dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Di sini, Hisyaam menyelisihi empat orang perawi yang dua di antaranya – yaitu Ayyuub dan ‘Auf - lebih kuat periwayatannya dalam hadits Ibnu Siiriin dibanding dirinya.
Ibnul-Madiiniy rahimahullah berkata:
لَيْسَ أَحَدٌ أَثْبَتَ فِي ابْنِ سِيرِينَ مِنْ أَيُّوبَ، وَابْنِ عَوْنٍ.
“Tidak ada seorang pun yang lebih tsabt periwayatannya dalam hadits Ibnu Siiriin daripada Ayyuub dan Ibnu ‘Aun” [Al-‘Ilal, 2/132].
Al-Burdaijiy rahimahullah berkata:
أحاديث هشام عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أكثرها صحاح ، غير أن هشام ابن حسان دون أيوب ويونس وابن عون وسلمة بن علقمة وعوف عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة فيها صحاح وفيها منكرة ومعلولة
“Hadits-hadits Hisyaam dari Ibnu Siiriin dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam kebanyakannya shahih. Namun demikian, Hisyaam bin Hassaan kedudukannya di bawah Ayyuub, Yuunus, Ibnu ‘Aun, Salamah bin ‘Alqamah, dan ‘Auf dalam periwayatan dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah. Padanya ada riwayat yang shahih, ada pula yang munkar dan ma’luul” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy li-Ibni Rajab, 2/688].
Al-Marwaziy rahimahullah berkata:
سألت أبا عبد الله عن هشام بن حسان فقال: "أيوب وابن عون أحب إلي وحسن أمر هشام
“Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang Hisyaam bin Hassaan, lalu ia berkata : ‘Ayyuub dan Ibnu ‘Aun lebih aku sukai. Dan telah baik perkara Hisyaam…” [idem, 2/688-689].
Ad-Daaraquthniy rahimahullah berkata:
 أثبت أصحاب ابن سيرين أيوب وابن عون وسلمة بن علقمة ويونس بن عبيد
Ashhaab Ibnu Siiriin yang paling tsabt adalah Ayyuub, Ibnu ‘Aun, Salamah bin ‘Alqamah, dan Yuunus bin ‘Ubaid” [idem, 2/689].
Di sini dapat diketahui bahwa Hisyaam memang mengalami wahm sehingga hadits yang ia bawakan tidak mahfuudh.
3.     Bertentangan dengan pendapat Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu yang notabene merupakan shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
ولم يصح وانما يروى هذا عن عبد الله بن سعيد عن ابيه عن أبى هريرة رفعه وخالفه يحيى بن صالح قال ثنا معاوية قال ثنا يحيى عن عمر بن حكم بن ثوبان سمع ابا هريرة قال إذا قاء احدكم فلا يفطر فانما يخرج ولا يولج
“Tidak shahih. Hadits itu hanyalah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Sa’iid, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfuu’. Hadits itu diselisihi oleh hadits yang bawakan oleh Yahyaa bin Shaalih, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mu’aawiyyah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari ‘Umar bin Hakam bin Tsaubaan, ia mendengar Abu Hurairah berkata : “Apabila salah seorang di antara kalian muntah, janganlah ia berbuka (membatalkannya – Abul-Jauzaa’), karena ia hanyalah sesuatu yang keluar bukan yang masuk”[At-Taariikh Al-Kabiir, 1/91-92].
Melihat tiga alasan pen-ta’lil-an para ulama di atas, maka pendapat yang melemahkan hadits tersebut lebih kuat.
Kesimpulannya : Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu di atas tidak shahih.
Ada hadits lain.
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ، عَنْ يَحْيَى، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو الْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ يَعِيشَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ هِشَامٍ، أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ، حَدَّثَنِي مَعْدَانُ بْنُ طَلْحَةَ، أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ. حدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ، فَلَقِيتُ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ، فَقُلْتُ: إِنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ. حدَّثَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ. قَالَ: صَدَقَ، وَأَنَا صَبَبْتُ لَهُ وَضُوءَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar ‘Abdullah bin ‘Amru : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Yahyaa : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru Al-Auzaa’iy, dari Ya’iisy bin Al-Waliid bin Hisyaam, bahwasannya ayahnya telah menceritakannya : Telah menceritakan kepadaku Ma’daan bin Thalhah, bahwasannya Abud-Dardaa’ pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah lalu berbuka. Lalu aku (Ma’daan) bertemu dengan Tsauban maulaa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di masjid Damaskus. Aku berkata : “Sesungguhnya Abud-Dardaa’ telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam muntah kemudian beliau berbuka”. Tsaubaan berkata : “Ia benar, dan aku yang menuangkan air wudlu untuk beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2381].
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 5/195 & 5/277 & 6/443, At-Tirmidziy no. 87, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 3107, Ad-Daarimiy no. 1769, Ibnu Abi Syaibah 2/39 (6/183-184) no. 9292, Ibnu Khuzaimah no. 1956, Ibnu Hibbaan no. 1097, dan Al-Haakim 1/426 ; semuanya dari jalan Yahyaa bin Abi Katsiir yang selanjutnya seperti riwayat di atas.
Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/64.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي مَرْزُوقٍ، عَنْ حَنَشٍ، عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَدَعَا بِشَرَابٍ، فَقَالَ لَهُ بَعْضُ أَصْحَابِهِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَمْ تُصْبِحْ صَائِمًا، قَالَ: "بَلَى، وَلَكِنْ قِئْتُ "
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ishaaq, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari Yaziid bin Abi Habiib, dari Abu Marzuuq, dari Hanasy, dari Fadlaalah bin ‘Ubaid : Bahwasannya pada suatu pagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa, lalu beliau meminta air minum. Sebagian shahabat beliau berkata : “Wahai Rasulullah, bukankah pagi ini engkau berpuasa ?”. Beliau menjawab : “Benar, akan tetapi tadi aku telah muntah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/19].
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 6/18 & 6/21 & 6/22, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/96-97 no. 3406-3409, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/220 (372) no. 8032; semuanya dari Yaziid bin Abi Habiib yang selanjutnya seperti riwayat di atas.
Shahih.
Hadits di atas juga tidak dipahami bahwa muntah menyebabkan batalnya puasa. Apalagi dijadikan dalil muntah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah disengaja, sehingga beliau berbuka. Mustahil beliau melakukannya hanya sekedar menyengaja membatalkan puasa, karena membatalkan puasa tanpa ‘udzur adalah berdosa.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلانِ، فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ، فَأَتَيَا بِي جَبَلا وَعْرًا، فَقَالا لِي: اصْعَدْ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ، فَإِذَا أَنَا بِصَوْتٍ شَدِيدٍ، فَقُلْتُ: مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ؟ قَالَ: هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ، ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٍ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلاءِ؟ فَقِيلَ: هَؤُلاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
Dari Abu Umamah Al-Bahili radliyallaahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Ketika tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal seraya berkata : “Naiklah”. Hingga sampailah aku di puncak gunung. Tiba-tiba aku mendengar suara yang keras sekali. Maka aku tanyakan : ”Suara apakah itu?”. Salah satu dari mereka menjawab : ”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka”. Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan ternyata aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalir darah. Kemudian aku bertanya : ”Siapakah mereka itu?”. Maka dikatakan : ”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (dengan sengaja) sebelum tiba waktunya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraano. 3274, Ibnu Hibbaan no. 7491, Ibnu Khuzaimah no. 1986, dan lain-lain. Lihat Ta’liqatul-Hisaan ‘alaa Shahih Ibni Hibban 10/456 no. 7448].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka karena badan beliau lemah untuk meneruskan puasa setelah muntah.
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
وَلَيْسَ فِي هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ، دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْقَيْءَ كَانَ مُفْطِرًا لَهُ، إِنَّمَا فِيهِ أَنَّهُ قَاءَ فَأَفْطَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
“Dua hadits ini (yaitu hadits Fadlaalah) bukanlah sebagai dalil yang menunjukkan muntah menyebabkan beliau berbuka puasa (batal). Kandungan hadits tersebut hanya menunjukkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam muntah, lalu beliau berbuka setelah itu” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 2/97].
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، وَثَوْبَانَ، وَفَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "قَاءَ فَأَفْطَرَ "وَإِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ صَائِمًا مُتَطَوِّعًا، فَقَاءَ فَضَعُفَ فَأَفْطَرَ، لِذَلِكَ هَكَذَا رُوِيَ فِي بَعْضِ الْحَدِيثِ مُفَسَّرًا، وَالْعَمَلُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَّ الصَّائِمَ إِذَا ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَإِذَا اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ "وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاق
“Dan telah diriwayatkan dari Abud-Dardaa’, Tsaubaan, dan Fadlaalah bin ‘Ubaid bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah lalu berbuka. Makna hadits tersebut hanyalah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah puasa sunnah, lalu muntah sehingga beliau merasa lemahyang menyebabkan beliau berbuka karenanya. Begitulah yang diriwayatkan dari sebagian hadits beserta tafsirnya. Para ulama mengamalkan hadits Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Bahwasannya jika orang yang berpuasa tidak sengaja muntah, maka tidak ada qadlaa’ baginya. Namun apabila ia sengaja muntah, hendaknya ia mengqadlanya’. Pendapat inilah yang dipegang oleh Sufyaan Ats-Tsauriy, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan Ishaaq” [Al-Jaami’ Al-Kabiir, 2/92].
Dalam permasalahan ini, para ulama berbeda tentang masalah muntah sebagai faktor pembatal puasa.
1.     Jumhur ulama berpendapat dengan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu di awal artikel bahwa muntah yang disengaja dapat membatalkan puasa, sedangkan jika tidak sengaja maka tidak batal puasa. Bahkan sebagian ulama menukil adanya ijmaa’.
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata:
وأجمعوا على أنه لا شيء على الصائم إذا ذرعه القيء، وانفرد الحسن البصري، فقال: عليه، ووافق في أُخرى.
“Para ulama bersepakat bahwa tidak ada keraguan bagi orang yang berpuasa apabila ia muntah tanpa sengaja, maka tidak ada kewajiban (qadlaa’) apapun baginya. Al-Hasan Al-Bashriy menyendiri dalam hal ini dimana ia berkata : ‘Wajib baginya qadlaa’’. Dan ia menyepakatinya dalam lain riwayat” [Al-Ijmaa’hal. 59 no. 149].
Riwayat lain dari Al-Hasan yang akan dibawakan di bawah.
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata:
لا أعلم خلافا بين أهل العلم في أن من ذرعه القيء فإنه لا قضاء عليه ولا في أن من استقاء عامدا أن عليه القضاء ولكن اختلفوا في الكفارة
“Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa siapa saja yang muntah tanpa sengaja, maka tidak ada qadlaa’ baginya; dan bagi orang yang muntah dengan sengaja, maka wajib baginya untuk mengqadlaa’. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam kaffarah” [Ma’aalimus-Sunan, 2/539 – dicetak bersama Sunan Abi Daawud].
Klaim ijmaa’ ini tidak benar.
Berikut beberapa riwayat madzhab para ulama mutaqaddimiin yang memegang pendapat ini:
أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: "مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتِقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ ".
Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik bin Anas, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka tidak ada (kewajiban) qadlaa' baginya. Namun barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka wajib baginya qadlaa'" [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm, 2/111; shahih].
حَدَّثَنَا أَزْهَرُ السَّمَّانُ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنِ الْحَسَنِ، وَابْنِ سِيرِينَ، قَالَا: "إذَا ذَرَعَ الصَّائِمَ الْقَيْءُ لَمْ يُفْطِرْ، وَإِذَا تَقَيَّأَ أَفْطَرَ "
Telah menceritakan kepada kami Az-har As-Sammaan, dari Ibnu ‘Aun, dari Al-Hasan dan Ibnu Siiriin, mereka berdua berkata : “Apabila orang yang berpuasa muntah tanpa sengaja, ia tidak perlu berbuka (batal). Namun apabila muntah dengan sengaja, maka batal telah berbuka (batal)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/38 (6/181) no. 9281; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مُغِيرَةَ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، قَالَ: "إذَا ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ وَإِنْ تَهَوَّعَ فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ "
Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Mughiirah, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Apabila seseorang muntah tanpa sengaja, maka ia tidak perlu mengulangnya (mengqadlanya). Namun apabila muntah dengan sengaja, maka ia wajib mengulangnya” [idem, (6/181-182) no. 9282; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُطَرِّفٍ، عَنْ عَامِرٍ، قَالَ: "إذَا تَقَيَّأَ مُتَعَمِّدًا فَهُوَ أَفْطَرَ "
Telah menceritakan kepada kami Asbaath bin Muhammad, dari Mutharrif, dari ‘Aamir, ia berkata : “Apabila seseorang muntah dengan sengaja, maka ia telah berbuka (batal)” [idem, 2/39 (6/182) no. 9286; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، قَالَ: "إذَا تَقَيَّأَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَإِنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah, ia berkata : “Apabila seorang muntah dalam keadaan berpuasa, maka wajib baginya qadlaa’. Namun apabila ia tidak sengaja muntah, tidak wajib baginya qadlaa’” [idem, 2/39 (6/182) no. 9288; sanadnya shahih].
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ اسْتَقَاءَ إِنْسَانٌ نَاسِيًا أَوْ جَاهِلا؟ قَالَ: لا يُبْدِلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ، وَيُتِمُّهُ "، قَالَ: وَقَالَ عَطَاءٌ: "إِنِ اسْتَقَاءَ إِنْسَانٌ عَامِدًا فِي رَمَضَانَ فَقَدْ أَفْطَرَ، وَإِنْ سَهَا فَلَمْ يُفْطِرْ "،
قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: وَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ : Ada seseorang yang muntah karena lupa atau tidak tahu. Ia (‘Athaa’) berkata : “Ia tidak perlu mengganti puasanya hari itu, dan hendaknya ia menyempurnakannya”. ‘Athaa’ melanjutkan: “Apabila seseorang muntah dengan sengaja di bulan Ramadlaan, sungguh puasanya telah batal. Namun apabila ia lupa, maka tidak batal”.
Ibnu Juraij berkata : “’Amru bin Diinaar mengatakan hal yang semisal itu” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7547; shahih].
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، وَعَنْ حَفْصٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالا: مَنِ اسْتَقَاءَ فَقَدْ أَفْطَرَ، وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ فَلَمْ يُفْطِرْ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy; dan dari Hafsh, dari Al-Hasan; mereka berdua berkata : “Barangsiapa yang muntah dengah sengaja, sungguh ia telah berbuka (batal puasanya), wajib baginya qadlaa’. Dan barangsiapa yang muntah tanpa disengaja, maka tidak batal puasanya” [idem, no. 7550; shahih].
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ ابْنِ طَاوُسٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: إِنْ قِئْتَ أَوِ اسْتَقَأْتَ سَهْوًا لَمْ تُفْطِرْ "
Dari Ma’mar, daru Ibnu Thaawuus, dari ayahnya (Thaawuus bin Kaisaan), ia berkata : “Apabila seseorang muntah tanpa sengaja atau muntah dengan sengaja karena lupa, maka tidak batal puasanya” [idem, no. 7552; shahih].
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي، وَغَيْرُهُ قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، أنبأ الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، أنبأ الشَّافِعِيُّ، قال: "وَمَنْ تَقَيَّأَ وَهُوَ صَائِمٌ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Al-Hasan Al-Qaadliy dan yang lainnya, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah memberitakan Ar-Rabii’ bin Sulaimaan : Telah memberitakan Asy-Syaafi’iy, ia berkata : “Barangsiapa muntah dengan sengaja dalam keadaan berpuasa, wajib baginya qadlaa’. Dan barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka tidak ada kewajiban qadlaa’ baginya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 4/219 (370) no. 8025; shahih].
Abu Daawud rahimahullah berkata:
سَمِعْتُ أَحْمَدَ، سُئِلَ عَمَّنْ قَاءَ فِي رَمَضَانَ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ مُتَعَمِّدًا قَضَى، وَإِنْ ذَرَعَهُ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ ".
“Aku mendengar Ahmad ditanya tentang orang yang muntah di bulan Ramadlaan. Ia menjawab : ‘Apabila ia sengaja muntah, ia wajib mengqadlanya. Namun apabila tidak sengaja, maka tidak ada qadla’ baginya” [Masaailu Abi Daawud, hal. 130 no. 623].
2.     Sebagian ulama berpendapat muntah tidak membatalkan puasa secara mutlak.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَقَدْ رَوَى يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ: أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ لا يَرَى الْقَيْءَ يُفْطِرُ الصَّائِمَ
“Dan telah diriwayatkan oleh Yahyaa bin Abi Katsiir, dari ‘Umar bin Al-Hakam, bahwasannya Abu Hurairah tidak berpendapat muntah membatalkan puasa seseorang” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, no. 198].
 وَقَالَ لِي يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ: حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ ثَوْبَانَ، سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: "إِذَا قَاءَ فَلَا يُفْطِرُ إِنَّمَا يُخْرِجُ وَلَا يُولِجُ
Dan telah berkata kepadaku Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Mu’aawiyyah bin Sallaam : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari ‘Umar bin Al-Hakam bin Tsaubaan, ia mendengar Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : ‘Apabila seseorang muntah, janganlah ia berbuka. Karena yang menyebabkan berbuka (batal puasanya) hanyalah sesuatu yang dimasukkan, bukan yang dikeluarkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya setelah hadits 1937].
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، ثنا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: "الإِفْطَارُ مِمَّا دَخَلَ وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ، وَالْوُضُوءُ مِمَّا خَرَجَ، وَلَيْسَ مِمَّا دَخَلَ "
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Teklah menceritakan kepada kami Yaziid bin Zurai’, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia berkata : “Berbuka itu karena sesuatu yang masuk, bukan karena sesuatu yang keluar. Adapun wudlu itu (batal) karena sesuatu yang keluar, bukan karena sesuatu yang masuk” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mudzir dalam Al-Ausath 1/185 no. 81; sanadnya lemah karena keterputusan antara Yaziid dengan ‘Ikrimah. Akan tetapi ia mempunyai penguat dari jalan yang lain sehingga derajatnya hasan lighairihi, wallaahu a’lam].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدَةَ، عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنِ الرَّجُلِ يَسْبِقُهُ الْقَيْءُ وَهُوَ صَائِمٌ أَيَقْضِي ذَلِكَ الْيَوْمَ، قَالَ: لَا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaidah[4], dari Ya’quub bin Qais[5], ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Sa’iid bin Jubair tentang seorang laki-laki yang mengalami muntah dalam keadaan berpuasa. Apakah ia mesti menqadla (puasa) hari itu?. Ia menjawab : “Tidak” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/39 (6/182) no. 9285; shahih].
Pendapat inilah yang nampak dipegang Al-Bukhaariy. Khususnya saat ia menta’lil hadits marfuu’Abu Hurairah dan kemudian membawakan riwayat mauquuf darinya.
Tarjih
Yang raajih wallaahu a’lam– adalah pendapat yang menyatakan muntah tidak membatalkan puasa secara mutlak, karena ketiadaan dalil shahih dan sharih yang menjadi dasar.
Semoga artikel ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 6 Ramadlaan 1435 H].




[1]     ‘Iisaa dalam periwayatan dari Hisyaam diselisihi oleh banyak perawi yang membawakan dengan matan yang berbeda.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya no. 1933 dan dalam Al-Kabiir 1/91, Muslim no. 1155, Abu Daawud no. 2398, Ad-Daarimiy no. 1767, Ahmad 2/425 & 2/491 & 2/513, Abu Ya’laa no. 6058, Ibnu Khuzaimah no. 1989, Ibnu Hibbaan no. 3520 & 3522, Abu ‘Awaanah no. 2835 & 2836, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj no. 2620, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/229 (386) no. 8071, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1754, Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 4/356, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/179-180; dari banyak jalan [Yaziid bin Zurai’, Ibnu ‘Ulayyah, Hammaad bin Salamah, Jariir bin ‘Abdil-Hamiid, Yaziid bin Haaruun, Muhammad bin Ja’far (Ghundar), Rauh bin ‘Ubaadah, ‘Abdul-A’laa bin ‘Abdil-A’laa, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, dan ‘Abdullah bin Bakr As-Sahmiy] semuanya dari Hisyaam bin Hassaan, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah ia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberinya makan dan minum”.
Bahkan ‘Iisaa bin Yuunus dalam An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/357 no. 3263 dan Ibnu Hibbaan (no. 3519) meriwayatkan dari jalan dari Hisyaam dengan matan seperti yang dibawakan jama’ah di atas.
Sanadnya shahih.
‘Illat riwayat ini akan ditegaskan dalam pembahasan setelahnya (point 2).
[2]     Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ، فَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ "
[3]     Al-Khaththaabiy rahimahullah saat mengomentari perkataan Ahmad : ‘Ini tidak ada apa-apanya’, ia berkata:
يريد أن الحديث غير محفوظ
“Yang ia kehendaki bahwa hadits tersebut tidak mahfuudh” [Ma’aalimus-Sunan, 2/539 – dicetak bersama Sunan Abi Daawud].
[4]     Begitulah yang tertulis dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah. Yang benar adalah : Muhammad bin Abi ‘Ubaidah, guru dari Ibnu Abi Syaibah.
Nama lengkapnya adalah : Muhammad bin Abi ‘Ubaidah ‘Abdil-Malik bin Ma’n bin ‘Abdirrahmaan nom ‘Abdillah bin Mas’uud Al-Mas’uudiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10 dan wafat tahun 205 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 876 no. 6165].
[5]     Ya’quub bin Qais Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Ahmad berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [Al-Jarh wat-Ta’diil 9/213 no. 890 dan Ats-Tsiqaat 7/643].

Menjual Makanan kepada Orang Kafir di Siang Hari Bulan Ramadlaan

$
0
0
Tanya : Bolehkah menjual makanan kepada orang kafir di siang hari pada bulan Ramadlaan untuk dimakan pada saat itu (seperti warung makan, restoran, dan semisalnya) ?.
Jawab :Tidak diperbolehkan menjual makanan di siang hari bulan Ramadlaan, kecuali bagi mereka yang mempunyai ‘udzur syar’iy seperti orang sakit, musafir, wanita haidl dan nifas, orang-orang yang lanjut usia). Menurut pendapat yang paling shahih di kalangan ulama, tidak ada bedanya antara orang muslim dan orang kafir karena mereka (orang kafir) juga termasuk objek yang dikenai kewajiban-kewajiban syari’at. Diantara dalilnya firman Allah ta’ala:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” [QS. Al-Bayyinah : 5].
Ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir dari ahli-kitab dan musyrikiin. (Melalui ayat ini), mereka diperintahkan Allah ta’ala untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sehingga secara umum mereka termasuk orang yang diwajibkan mentaati cabang-cabang syari’at.
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ * إِلا أَصْحَابَ الْيَمِينِ * فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ * عَنِ الْمُجْرِمِينَ * مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ * قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ * وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ * وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ * وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ * حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka tanya-menanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa : ‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’. Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan hingga datang kepada kami kematian" [QS. Al-Mudatstsir : 38-47].
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir diadzab (diantaranya) karena dosa mereka meninggalkan shalat dan tidak memberikan makan orang miskin. Sebagaimana ayat sebelumnya, ayat ini menunjukkan orang kafir termasuk objek yang diwajibkan mentaati cabang-cabang syari’at Islam [lihat : Fathul-Qadiir, 7/358].
Allah ta’ala berfirman:
وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ * الَّذِينَ لا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ
Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat” [QS. Al-Fushshilat : 6-7].
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata:
وَهَذَا عَلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ فِي الْكُفَّارِ أَنَّهُمْ مُخَاطَبُونَ بِالشَّرَائِعِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ لأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ * الَّذِينَ لا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ ، فَتَوَعَّدَهُمْ عَلَى مَنْعِ الزَّكَاةِ وَأَخْبَرَ عَنِ الْمُجْرِمِينَ أَنَّهُمْ يُقَالُ لَهُمْ: مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ { 42 } قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ { 43 } وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ { 44 } وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ { 45 } وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ { 46 } حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ { 47 }، فَبَانَ بِهَذَا أَنَّ الْمُشْرِكِينَ مُخَاطَبُونَ بِالإِيمَانِ بِالْبَعْثِ، وَبِإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
“Dan ini adalah bagi pendapat orang yang mengatakan tentang orang-orang kafir bahwa mereka merupakan objek yang diwajibkan menjalankan syari’at-syari’at (Allah). Ini adalah pendapat yang benar,karena Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat’ (QS. Al-Fushshilat : 6-7). Maka Allah mengancam mereka karena menahan zakat. Dan Allah pun mengkhabarkan tentang orang-orang yang berdosa, bahwasannya dikatakan kepada mereka : ‘: ‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’. Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan hingga datang kepada kami kematian(QS. Al-Mudatstsir : 42-47). Dan jelaslah dengan ayat ini bahwa orang-orang musyrik adalah orang-orang yang diperintahkan untuk beriman pada hari kebangkitan, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat” [Syu’abul-Iimaan, 1/439].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
ثُمَّ اِعْلَمْ أَنَّ الْمُخْتَار أَنَّ الْكُفَّار مُخَاطَبُونَ بِفُرُوعِ الشَّرِيعَة الْمَأْمُور بِهِ وَالْمَنْهِيّ عَنْهُ ، هَذَا قَوْل الْمُحَقِّقِينَ وَالْأَكْثَرِينَ
“Kemudian ketahuilah, pendapat yang terpilih bahwa orang-orang kafir adalah objek yang diwajibkan menjalankan cabang-cabang syari’at yang diperintahkan dan yang dilarang. Inilah pendapat para muhaqqiqdan kebanyakan ulama” [Syarh Shahiih Muslim, 1/198].
Al-‘Iraaqiy rahimahullah berkata:
وَالْمَذْهَبُ الصَّحِيحُ الَّذِي عَلَيْهِ الْمُحَقِّقُونَ، وَالأَكْثَرُونَ: أَنَّ الْكُفَّارَ مُخَاطَبُونَ بِفُرُوعِ الشَّرِيعَةِ فَيَحْرُم عَلَيْهِمُ الْحَرِيرُ كَمَا يَحْرُمُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ
“Dan madzhab yang benar yang dipegang oleh para muhaqqiq dan kebanyakan ulama : orang-orang kafir termasuk objek yang diwajibkan menjalankan cabang-cabang syari’at, sehingga diharamkan bagi mereka kain sutera sebagaimana diharamkan bagi kaum muslimin” [Tharhut-Tatsriib, 3/864].
Puasa termasuk cabang-cabang syari’at Islam.
Kewajiban puasa bagi orang kafir ini setelah penetapan syarat keimanan, dan keimanan itu wajib bagi mereka.[1]
Maka, menjual makanan di warung dan restoran bagi orang kafir di siang hari bulan Ramadlaan termasuk tolong-menolong dalam dosa. Allah ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” [QS. Al-Maaidah : 2].
Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Masyhuur Hasan Salmaan hafidhahullah berikut:
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 09072014 – 22:55].




[1]     Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” [QS. Al-Baqarah : 183].

Dzikir Setelah Shalat Witir

$
0
0
Dari Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu:
أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِثَلَاثِ رَكَعَاتٍ، كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَفِي الثَّانِيَةِ بِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَفِي الثَّالِثَةِ بِ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ، فَإِذَا فَرَغَ قَالَ عِنْدَ فَرَاغِهِ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يُطِيلُ فِي آخِرِهِنَّ "
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat witir tiga raka’at. Pada raka’at pertama beliau membaca ‘sabbihisma Rabbikal-A’laa(QS. Al-A’laa), pada raka’at kedua beliau membaca ‘qul yaa ayyuhal-kaafiruun’ (QS. Al-Kaafiruun), dan pada raka’at ketiga beliau membaca ‘qul huwallaahu ahad’ (QS. Al-Ikhlaash). Beliau melakukan qunut sebelum rukuk. Apabila beliau telah selesai (dari shalatnya) membaca : subhaanal-malikil-qudduus (Maha Suci Allah Dzat Yang Merajai lagi Suci dari Kekurangan) sebanyak tiga kali dan memanjangkan di bagian akhirnya.
Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy[1]no. 1699 & 1701 & 1729, Abu Daawud[2]no. 1430, Ahmad[3]dalam Musnad-nya 5/123 (35/80) no. 21142-21143, Ibnu Abi Syaibah[4]dalam Al-Mushannaf 2/300 (4/514-515) no. 6960 & 10/387 (15/342) no. 30331, Al-Marwaziy[5]dalam Shalaatul-Witr no. 159 & 387, Ath-Thayaalisiy[6]dalam Musnad-nya no. 548, Ibnul-Jaaruud[7]dalam Al-Muntaqaa (Ghautsul-Makduud) 1/238 no. 271, Ath-Thahawiy[8]dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 11/368 no. 4501 & 11/371 no. 4503, Ath-Thabaraaniy[9]dalam Al-Ausath 8/108 no. 8115, Asy-Syaasyiy[10]dalam Musnad-nya 3/324-327 no. 1432-1435, Ad-Daaraquthniy[11]no. 1659 & 1660, Ibnus-Sunniy[12]dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 706, Ibnu Hibbaan[13]dalam Shahiih-nya6/202-203 no. 2450, Ath-Thuusiy[14]dalam Al-Mukhtashar no. 439, Al-Baihaqiy[15]dalam Al-Kubraa 3/39-40 (57) no. 4861-4862 & 3/40-41 (58) no. 4864 & 3/41 (60) no. 4869, dan Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy[16]dalam Al-Mukhtarah no. 1220; dari beberapa jalan, semuanya dari jalan Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abzaa, dari ayahnya, dari Ubay bin Ka’bsecara marfuu’.
Sanad riwayat ini shahih. Berikut keterangan para perawinya:
1.     Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abzaa Al-Khuzaa’iy Al-Kuufiy (سعيد بن عبد الرحمن بن أبزى الخزاعي مولاهم الكوفي); seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 382 no. 2359].
2.     ‘Abdurrahmaan bin Abzaa Al-Khuzaa’iy (عبد الرحمن بن أبزى الخزاعي); salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 569 no. 3818].
3.     Ubay bin Ka’b bin Qais bin ‘Ubaid bin Zaid bin Mu’aawiyyah bin ‘Amru bin Maalik Al-Anshaariy Al-Khazrajiy, Abul-Mundzir/Abu Thufail Al-Madaniy (أبي بن كعب بن قيس بن عبيد بن زيد بن معاوية بن عمرو بن مالك الأنصاري الخزرجي ، أبو المنذر و يقال أبو الطفيل المدني); salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 19 H/32 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 120 no. 285].
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy[17]no. 1732 & 1733 & 1734 & 1736 & 1740 & 1750 & 1751 & 1752 & 1753, ‘Abdurrazzaaq[18]dalam Al-Mushannaf 3/33 no. 4696-4697, Ahmad[19]dalam Musnad-nya 3/406-407, Ibnu Abi Syaibah[20]dalam Al-Mushannaf 2/298 (4/509-510) no. 6943-6944, Al-Marwaziy[21]dalam Shalaatul-Witr no. 387, Ath-Thayaalisiy[22]no. 548, Ibnu Ja’d[23]no. 487, ‘Abd bin Humaid[24]dalam Al-Muntakhab 1/258 no. 312, Ath-Thahawiy[25]dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/292 no. 1735-17336, Al-Haakim[26]dalam Al-Mustadrak 1/273, Al-Baihaqiy[27]dalam Al-Kubraa 3/41 (60) no. 4869, , Al-Baghawiy[28]dalam Syarhus-Sunnah no. 972, dan Ibnu Mandah[29]dalam At-Tauhiid no. 196; dari beberapa jalan, semuanya dari jalan Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abzaa, dari ayahnya (‘Abdurrahmaan bin Al-Abzaa)secara marfuu’ (tanpa menyebutkan Ubay bin Ka’b).
Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abzaa mempunyai mutaba’ah dari Zuraarah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad[30]dalam Musnad-nya 3/406 (24/75) no. 15357 dan An-Nasaa’iy[31]no. 1741.
Zuraarah bin Aufaa Al-‘Aamiriy Al-Harasyiy, Abu Haajib Al-Bashriy Al-Qaadliy (زرارة بن أوفى العامري الحرشي ، أبو حاجب البصري القاضي); seorang yang tsiqah lagi‘aabid. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 93 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 336 no. 2020].
Hisyaam dalam riwayat dari Qataadah mengirsalkannya dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan Al-Abzaa sebagaimana diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy[32]no. 1755. Tidak diragukan lagi bahwa perantara antara Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘Abdurrahmaan bin Abzaa.
Di sebagian riwayat disebutkan dengan lafadh:
فَلَمَّا انْصَرَفَ عَنْ صَلاتِهِ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ مَرَّتَيْنِ، يَرْفَعُ صَوْتَهُ وَيَجْهَرُ بِالثَّالِثَةِ
“...Ketika selesai dari shalatnya, beliau membaca : Subhaanal-malikil-qudduus’ sebanyak dua kali, dan kemudian mengangkat dan mengeraskan suaranya untuk bacaan yang ketiga”.
Maknanya sama.
Ada perbedaan shahabat yang membawakan hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat di atas, antara Ubaiy bin Ka’b dan ‘Abdurrahmaan bin Abzaa. Al-Haakim rahimahullah berkomentar:
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبْزَى مِمَّنْ صَحَّ عِنْدَنَا أَنَّهُ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا أَنَّ أَكْثَرَ رِوَايَتِهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَالصَّحَابَةِ
“’Abdurrahmaan bin Abzaa termasuk orang yang benar menurut kami bahwa ia pernah bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Namun kebanyakan riwayatnya berasal dari Ubay bin Ka’b dan para shahabat lainnya (dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam)” [Al-Mustadrak, 1/273].
Oleh karena itu, kemungkinan yang kuat dalam riwayat ini ‘Abdurrahmaan meriwayatkan hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melalui perantaraan Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhumaa.
Atau,kemungkinan ia memang meriwayatkan melalui Ubay bin Ka’b, lalu di lain waktu ia mengambil langsung hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.Wallaahu a’lam.
Walhasil, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi keshahihan hadits.
Catatan : Dalam riwayat Ath-Thabaraaniy[33]dalam Al-Ausath 8/108 no. 8115, Ad-Daaraqutniy[34]no. 1660, dan Al-Baihaqiy[35]dalam Al-Kubraa 3/40 (57) no. 4862 disebutkan dengan lafadh :
وَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلَكُ الْقُدُّوسُ ثَلاثَ مَرَّاتٍ، وَمَدَّ بِالأَخِيرَةِ صَوْتَهُ، وَيَقُولُ: رَبُّ الْمَلائِكَةِ وَالرُّوحِ
“Dan apabila beliau telah mengucapkan salam, beliau membaca : ‘subhaanal-malikil-qudduus’ sebanyak tiga kali, danmemanjangkan suaranya di bagian akhirnya dengan bacaan : Rabbul-malaaikati war-ruuh (Rabb para malaikat dan ruh)”.
Poros sanad riwayat ini ada pada ‘Iisaa bin Yuunus. Lafadh ini ma’luullagi tidak shahih karena:
1.     Dalam riwayat Ath-Thabaraaniy ia meriwayatkan Muusa bun Haaruun : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami  Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abzaa, dari ayahnya, dari Ubay bin Ka’b, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Marwaziy dalam Shalaatul-Witr no. 159 dengan sanad dari Ishaaq bin Ibraahim (dan selanjutnya seperti sanad Ath-Thabaraaniy), namun tanpa tambahan lafadh tersebut.
Adapun dalam riwayat Ad-Daaraquthniy dan Al-Baihaqiy ia meriwayatkan dari Fithr (bin Khaliifah), dari Zubaid, Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abzaa. Fithr telah menyelisihi beberapa orang perawi yang jauh lebih tsiqah darinya (diantaranya : Ats-Tsauriy, Jariir bin Haazim, Mis’ar, dan Syu’bah), yang meriwayatkan dari Zubaid tanpa tambahan.
Fithr bin Khaliifah Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy, Abu Bakr Al-Kuufiy Al-Hanaath (فطر بن خليفة القرشي المخزومي ، أبو بكر الكوفي الحناط); seorang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 156 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 787 no. 5476 dan Tahriirut-Taqriib 3/164 no. 5441].
Para perawi yang lebih tsiqah yang menyelisihinya dalam periwayatan tersebut adalah Sufyaan Ats-Tsauriy (tsiqah,haafidh,faqiih,‘aabid,imam,lagihujjah), Mis’ar bin Kidaam (tsiqah lagi mutqin),Syu’bah (tsiqah, haafidh, mutqin, amiirul-mukminiin fil-hadiits), dan Jariir bin Haazim (tsiqah).
Begitu juga jalur periwayatan lain selain Zubaid yang tidak menambahkan lafadh tersebut.
2.     Lafadh tersebut bertentangan dengan lafadh jama’ah yang menyatakan bahwa yang dikeraskan dan dipanjangkan adalah bacaan dzikir : subhaanal-malikil-qudduus, bukan rabbul-malaaikati war-ruuh.
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 13072014 – 07:00].




[1]     Riwayatnya adalah:
No. 1699:
أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ، قال: حَدَّثَنَا مَخْلَدُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِثَلَاثِ رَكَعَاتٍ، كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَفِي الثَّانِيَةِ بِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَفِي الثَّالِثَةِ بِ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ، فَإِذَا فَرَغَ قَالَ عِنْدَ فَرَاغِهِ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثَ مَرَّاتٍ يُطِيلُ فِي آخِرِهِنَّ "
No. 1701:
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ مُوسَى، قال: أَنْبَأَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ خَالِدٍ، قال: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَزْرَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَفِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَفِي الثَّالِثَةِ بِ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَلَا يُسَلِّمُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ، وَيَقُولُ: يَعْنِي بَعْدَ التَّسْلِيمِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثًا "
No. 1729:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ إِشْكَابَ النَّسَائِيُّ، قال: أَنْبَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدَةَ، قال: حَدَّثَنَا أَبِي، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ طَلْحَةَ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قال: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثَ مَرَّاتٍ "
[2]     Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدَةَ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ طَلْحَةَ الْأَيَامِيِّ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ فِي الْوِتْرِ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"
[3]     Riwayatnya adalah:
5/123 (35/80) no. 21142:
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ، حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدَةَ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ طَلْحَةَ الإِيَامِيِّ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوَتْرِ ب سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ"
5/123 (35/80) no. 21143:
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ الْبَزَّازُ، حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ الضَّرِيرُ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ
[4]     Riwayatnya adalah:
2/300 (4/514-515) no. 6960 & 10/387 (15/342) no. 30330:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ طَلْحَةَ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ: أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقُولُ فِي آخِرِ صَلَاتِهِ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثًا "
[5]     Riwayatnya adalah:
No. 159:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَفَى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بِ: قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَفِي الثَّالِثَةِ بِ: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ". وَفِي رِوَايَةٍ: ب: "قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَ آمَنَ الرَّسُولُ ". وَفِي رِوَايَةٍ: "وَيَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ". ثَلاثَ مَرَّاتٍ. وَفِي أُخْرَى: "فَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ". ثَلاثًا وَيَمُدُّ فِي الثَّالِثَةِ. وَفِي لَفْظٍ: "وَيَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ "
No. 387:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ، ثنا سُفْيَانُ، عَنْ زُبَيْدٍ الْيَامِيِّ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِي آخِرِ صَلاتِهِ فِي الْوِتْرِ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، ثَلاثًا، يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ ". وَفِي رِوَايَةٍ: كَانَ يَقُولُ فِي آخِرِ وِتْرِهِ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلاثَ مِرَارٍ، يَمُدُّ بِالثَّالِثَةِ صَوْتَهُ حَتَّى يَنْقَطِعَ نَفَسُهُ. وَفِي رِوَايَةٍ: فَإِذَا سَلَّمَ وَفَرَغَ، قَالَ: فَذَكَرَهُ، إِلا أَنَّهُ قَالَ: وَطَوَّلَ الثَّالِثَةَ. وَفِي أُخْرَى: كَانَ إِذَا سَلَّمَ مِنَ الْوِتْرِ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"يُطَوِّلُهَا ثَلاثَ مِرَارٍ
[6]     Riwayatnya adalah:
رَوَاهُ الأَعْمَشُ، عَنْ طَلْحَةَ، وَزُبَيْدٍ، عَنْ ذَرٍّ، عَنِ ابْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
[7]     Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ أَبُو شَيْبَةَ، قَالَ: ثَنَا ابْنُ أَبِي عُبَيْدَةَ، قَالَ: ثَنَا أَبِي، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ طَلْحَةَ الْيَامِيِّ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلاثَ مَرَّاتٍ
[8]     Riwayatnya adalah:
11/368 no. 4501:
كَمَا قَدْ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ الْبُخَارِيُّ الأَحْوَلُ وَغَيْرُهُ، قَالُوا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الْحَنْظَلِيُّ الرَّازِيُّ أَبُو حَاتِمٍ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِثَلاثَ رَكَعَاتٍ لا يُسَلِّمُ فِيهِنَّ حَتَّى يَنْصَرِفَ، أَوَّلُ رَكْعَةٍ بِـ: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَالثَّانِيَةُ بِـ: قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَالثَّالِثَةُ بِـ: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَأَنَّهُ قَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ مِنْ صَلاتِهِ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، مَرَّتَيْنِ يَرْفَعُ صَوْتَهُ، وَيَجْهَرُ بِالثَّالِثَةِ "
11/371 no. 4503:
فَوَجَدْنَا عَلِيَّ بْنَ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ الرَّازِيَّ، قَدْ حَدَّثَنَا قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الْحَرَّانِيُّ الأَصَمُّ، وَإِسْحَاقُ بْنُ زُرَيْقٍ بِرَأْسِ الْعَيْنِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَخْلَدُ بْنُ يَزِيدَ الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنْ زُبَيْدٍ الْيَامِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِثَلاثِ رَكَعَاتٍ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَفِي الثَّالِثَةِ بِـ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ، فَإِذَا سَلَّمَ وَفَرَغَ، قَالَ عِنْدَ فَرَاغِهِ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلاثَ مَرَّاتٍ، يُطِيلُ فِي آخِرِهِنَّ
[9]     Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، نا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، نا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلَكُ الْقُدُّوسُثَلاثَ مَرَّاتٍ، وَمَدَّ بِالأَخِيرَةِ صَوْتَهُ، وَيَقُولُ: رَبُّ الْمَلائِكَةِ وَالرُّوحِ
لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ قَتَادَةَ، إلا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عُرْوَةَ، تَفَرَّدَ بِهِ: عِيسَى بْنُ يُونُسَ
[10]    Riwayatnya adalah:
No. 1432:
حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ الرَّازِيُّ، نا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، نا أَبِي، عَنْ مِسْعَرٍ، حَدَّثَنِي زُبَيْدُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ: أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ  كَانَ يُوتِرُ بِثَلاثِ رَكَعَاتٍ لا يُسَلِّمُ فِيهِنَّ حَتَّى يَنْصَرِفَ، أَوَّلُ رَكْعَةٍ بِ: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَالثَّانِيَةُ بِ: قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَالثَّالِثَةُ: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَأَنَّهُ قَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ عَنْ صَلاتِهِ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِمَرَّتَيْنِ، يَرْفَعُ صَوْتَهُ وَيَجْهَرُ بِالثَّالِثَةِ "
No. 1433:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زُهَيْرِ بْنِ حَرْبٍ، نا مُحَمَّدُ بْنُ بُكَيْرٍ الْحَضْرَمِيُّ، نا الدَّشْتَكِيُّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الرَّازِيُّ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ طَلْحَةَ، وَزُبَيْدِ، عَنْ ذَرٍّ، عَنِ ابْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، "كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ "، فَذَكَرَ الْحَدِيثَ
No. 1434:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعِيدٍ الأَصْبَهَانِيُّ،
No. 1435:
وَحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعِيدٍ يَعْنِي ابْنَ الأَصْبَهَانِيِّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدَةَ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ طَلْحَةَ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْ صَلاتِهِ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلاثَ مَرَّاتٍ "
[11]    Riwayatnya adalah:
No. 1659:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ الأَشْعَثِ، ثنا الْمُسَيَّبُ بْنُ وَاضِحٍ، ثنا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: رُبَّمَا قَالَ الْمُسَيَّبُ، عَنْ عَزْرَةَ، وَرُبَّمَا لَمْ يَقُلْ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِثَلاثِ رَكَعَاتٍ، يَقْرَأُ فِيهَا بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَكَانَ يَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"، مَرَّتَيْنِ يُسِرُّهُمَا وَالثَّالِثَةَ يَجْهَرُ بِهَا، وَيَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ
No. 1660:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ الأَشْعَثِ، ثنا عَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ، ثنا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ فِطْرٍ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِثَلاثٍ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ، وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، ثَلاثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ، فِي الأَخِيرَةِ يَقُولُ: رَبِّ الْمَلائِكَةِ وَالرُّوحِ "
[12]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، ثنا يَحْيَى بْنُ مُوسَى الْبَلْخِيُّ، ثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ خَالِدٍ، ثنا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، رَضِيَ اللَّـهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِـ: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَفِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بِـ: قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَفِي الثَّالِثَةِ بِـ: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَلا يُسَلِّمُ إِلا فِي آخِرِهِنَّ، يَقُولُ بَعْدَ التَّسْلِيمِ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلاثًا
[13]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو يَعْلَى، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: "كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِ: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلاثَ مَرَّاتٍ
[14]    Riwayatnya adalah:
نا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ الْجُرْجَانِيُّ، قَالَ: نا مَخْلَدُ بْنُ يَزِيدَ، قَالَ: نا سُفْيَانُ، عَنْ زُبَيْدٍ الإِيَامِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ: "أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِثَلاثِ رَكَعَاتٍ، يَقْرَأُ فِي الأُولَى بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَفِي الثَّالِثَةِ بِـ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ، فَإِذَا فَرَغَ وَسَلَّمَ قَالَ عِنْدَ فَرَاغِهِ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلاثَ مَرَّاتٍ يُطَوِّلُ فِي آخِرِهِنَّ.
هَذَا حَدِيثٌ "حَسَنٌ غَرِيبٌ ".
[15]    Riwayatnya adalah:
3/39 (57) no. 4861:
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ الْحَارِثِ الْفَقِيهُ، أنبأ عَلِيُّ بْنُ عُمَرَ الْحَافِظُ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ الأَشْعَثِ، ثنا الْمُسَيَّبُ بْنُ وَاضِحٍ، ثنا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ سُلَيْمَانَ: رُبَّمَا قَالَ الْمُسَيَّبُ، عَنْ عَزْرَةَ، وَرُبَّمَا لَمْ يَقُلْ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبِيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِثَلاثٍ يَقْرَأُ فِيهَا بِـف سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَىق، وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَكَانَ يَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"مَرَّتَيْنِ يُسِرُّ بِهِمَا، وَالثَّالِثَةُ يَجْهَرُ بِهَا، وَيَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ "
3/40 (57) no. 4862:
وَأَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، أنبأ عَلِيُّ بْنُ عُمَرَ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ الأَشْعَثِ، ثنا عَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ، ثنا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ فِطْرٍ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبِيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِثَلاثٍ: بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ فَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلاثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ فِي الآخِرَةِ يَقُولُ: "رَبِّ الْمَلائِكَةِ وَالرُّوحِ"
3/40-41 (58) no. 4864:
أَخْبَرَنَا بِحَدِيثِ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ الإِسْفَرَايِينِيُّ بْنُ السَّقَّا بِنَيْسَابُورَ، أنبأ أَبُو سَهْلِ بْنُ زِيَادَةَ الْقَطَّانُ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يُونُسَ، ثنا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، ثنا أَبِي، عَنْ مِسْعَرٍ، حَدَّثَنِي زُبَيْدٌ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبِيِّ بْنِ كَعْبٍأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِثَلاثِ رَكَعَاتٍ لا يُسَلِّمُ فِيهِنَّ حَتَّى يَنْصَرِفَ، الأُولَى بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَالثَّانِيَةِ بِـ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَالثَّالِثَةِ بِـ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"مَرَّتَيْنِ، وَرَفَعَ صَوْتَهُ فِي الثَّالِثَةِ "
3/41 (60) no. 4869:
وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ، أنبأ أَبُو بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ، ثنا أَبُو دَاوُدَ، أنبأ عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدَةَ، ثنا أَبِي، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ طَلْحَةَ الأَيَامِيِّ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبِيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَإِذَا سَلَّمَ فِي الْوِتْرِ قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"
[16]    Riwayatnya adalah:
No. 1220:
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ الْحَرْبِيُّ، بِهَا، أَنَّ هِبَةَ اللَّهِ أَخْبَرَهُمْ، أنا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، أنا أَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ، نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، نا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدَةَ، نا أَبِي، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ طَلْحَةَ الْيَامِيِّ، عَنْ ذَرٍّ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ "ثَلاثَ مَرَّاتٍ
No. 1221:
وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْفَتْحِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ أَبِي الْفَتْحِ الْحُرْفِيُّ، فِي كِتَابِهِ مِنْ أَصْبَهَانَ، أَنَّ أَبَا مُحَمَّدٍ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ حُمَيْدِ بْنِ الْحَسَنِ الدُّونِيَّ أَخْبَرَهُمْ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ، أنا أَبُو نَصْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ الْكَسَّارِ الدِّينَوَرِيُّ، أنا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ السُّنِّيِّ، نا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَحْمَدُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ عَلِيٍّ النَّسَائِيُّ، نا عَلِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ، نا مَخْلَدُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِثَلاثِ رَكَعَاتٍ، كَانَ يَقْرَأُ فِي الأُولَى: بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ بِ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَفِي الثَّالِثَةِ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ، فَإِذَا فَرَغَ، قَالَ عِنْدَ فَرَاغِهِ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلاثَ مَرَّاتٍ، يُطِيلُ فِي آخِرِهِنَّ.
كَذَا أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ. وَأَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ: أَنَّ النَّبِيَّ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَلَّمَ فِي الْوِتْرِ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ "، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي عُبَيْدَةَ
[17]    Riwayatnya adalah:
No. 1732:
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ يَزِيدَ، قال: حَدَّثَنَا بَهْزُ بْنُ أَسَدٍ، قال: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سَلَمَةَ، وَزُبَيْدٍ، عَنْ ذَرٍّ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثًا وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ
No. 1733:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، قال: حَدَّثَنَا خَالِدٌ، قال: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قال: أَخْبَرَنِي سَلَمَةُ، وَزُبَيْدٌ، عَنْ ذَرٍّ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، ثُمَّ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، وَيَرْفَعُ بِسُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ "،
رَوَاهُ مَنْصُورٌ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ وَلَمْ يَذْكُرْ ذَرًّا
No. 1734:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ، عَنْ جَرِيرٍ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَكَانَ إِذَا سَلَّمَ وَفَرَغَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثًا طَوَّلَ فِي الثَّالِثَةِ "،
وَرَوَاهُ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ زُبَيْدٍ وَلَمْ يَذْكُرْ ذَرًّا
No. 1736:
أَخْبَرَنَا عِمْرَانُ بْنُ مُوسَى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنِ ابْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثَ مَرَّاتٍ "
No. 1740:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عَزْرَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَإِذَا فَرَغَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثًا "
No. 1750:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا قَاسِمٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقُولُ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثَ مَرَّاتٍ "يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ
No. 1751:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَعَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقُولُ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثَ مَرَّاتٍ "يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ،
خَالَفَهُمَا أَبُو نُعَيْمٍ فَرَوَاهُ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدٍ
No. 1752:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي نُعَيْمٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى و قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثًا "يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ،
قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ: أَبُو نُعَيْمٍ أَثْبَتُ عِنْدَنَا مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدٍ وَمِنْ قَاسِمِ بْنِ يَزِيدَ، وَأَثْبَتُ أَصْحَابِ سُفْيَانَ عِنْدَنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ، ثُمَّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، ثُمَّ وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ، ثُمَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، ثُمَّ أَبُو نُعَيْمٍ، ثُمَّ الْأَسْوَدُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ، وَرَوَاهُ جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ، عَنْ زُبَيْدٍ، فَقَالَ: يَمُدُّ صَوْتَهُ فِي الثَّالِثَةِ وَيَرْفَعُ
No. 1753:
أَخْبَرَنَا حَرَمِيُّ بْنُ يُونُسَ بْنِ مُحَمَّدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ زُبَيْدًا يُحَدِّثُ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى و قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثَ مَرَّاتٍ "يَمُدُّ صَوْتَهُ فِي الثَّالِثَةِ ثُمَّ يَرْفَعُ "
No. 1754:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَزْرَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى و قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَإِذَا فَرَغَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"
[18]    Riwayatnya adalah:
No. 4696:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ زُبَيْدٍ الْيَامِيِّ، عَنْ ذَرِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُرْهِبِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ مِنَ الْوِتْرِ، قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، ثَلاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ يَرْفَعُ صَوْتَهُ فِي الثَّالِثَةِ ".
No. 4697:
عَنْ عَمْرِو بْنِ ذَرٍّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
[19]    Riwayatnya adalah:
3/406 (24/72) no. 15354:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، وَزُبَيْدٍ الْإِيَامِيِّ، عَنْ ذَرٍّ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"، وَرَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ
3/406 (24/74) no. 15355:
حَدَّثَنَا بَهْزٌ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، أَخْبَرَنَا قَتَادَةُ، عَنْ عَزْرَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَكَانَ إِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"يُطَوِّلُهَا ثَلَاثًا
3/406 (24/75) no. 15357:
حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَزْرَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ هَذَا
أَخْبَرَنِي زُبَيْدٌ، وَسَلَمَةُ بْنُ كُهَيْلٍ، سَمِعَا ذَرًّا يُحَدِّثُ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ هَذَا
3/406 (24/76) no. 15358:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ زُبَيْدٌ، وَسَلَمَةُ: أخبراني أنهما سمعا ذرا، عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ: "يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَكَانَ إِذَا سَلَّمَ، قال: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ "ثَلَاثًا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالْآخِرَةِ
3/406 (24/76) no. 15359:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَزْرَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقُولُ إِذَا سَلَّمَ قال: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ "ثَلَاثَ مِرَارٍ
3/406-407 (24/78) no. 15361:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ ذَرِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُرْهِبِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ مِنَ الْوِتْرِ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ يَرْفَعُ صَوْتَهُ فِي الثَّالِثَةِ
3/407 (24/78-79) no. 15362:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ ذَرٍّ الْهَمْدَانِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى الْخُزَاعِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقُولُ إِذَا جَلَسَ فِي آخِرِ صَلَاتِهِ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلَاثًا يَمُدُّ بِالْآخِرَةِ صَوْتَهُ
[20]    Riwayatnya adalah:
No. 6943:
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ: "أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي وَتْرِهِ بِ: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُثَلَاثَ مَرَّاتٍ
No. 6944 & no. 30330:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ: "أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِ: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقُولُ فِي آخِرِ صَلَاتِهِ إِذَا جَلَسَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، ثَلَاثًا يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ فِي الْآخِرَةِ "
[21]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ، ثنا سُفْيَانُ، عَنْ زُبَيْدٍ الْيَامِيِّ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِي آخِرِ صَلاتِهِ فِي الْوِتْرِ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، ثَلاثًا، يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ ". وَفِي رِوَايَةٍ: كَانَ يَقُولُ فِي آخِرِ وِتْرِهِ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلاثَ مِرَارٍ، يَمُدُّ بِالثَّالِثَةِ صَوْتَهُ حَتَّى يَنْقَطِعَ نَفَسُهُ. وَفِي رِوَايَةٍ: فَإِذَا سَلَّمَ وَفَرَغَ، قَالَ: فَذَكَرَهُ، إِلا أَنَّهُ قَالَ: وَطَوَّلَ الثَّالِثَةَ. وَفِي أُخْرَى: كَانَ إِذَا سَلَّمَ مِنَ الْوِتْرِ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"يُطَوِّلُهَا ثَلاثَ مِرَارٍ
[22]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، وَزُبَيْدٍ الْإيامِيِّ، عَنْ ذَرٍّ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"، ثَلاثَ مَرَّاتٍ، يَرْفَعُ بِالثَّالِثِ صَوْتَهُ.
[23]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا عَلِيٌّ، أنا شُعْبَةُ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، وَزُبَيْدٍ، سَمِعَا ذَرًّا يُحَدِّثُ، عَنِ ابْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ "يُوتِرُ بِـ: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَإِذَا سَلَّمَ يَقُولُ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ فِي الثَّالِثَةِ "
[24]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ الْعَبْدِيُّ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَزْرَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"
[25]    Riwayatnya adalah:
No. 1735:
مَا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْمُطَرِّفُ بْنُ أَبِي الْوَزِيرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ: "أَنَّهُ صَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوِتْرَ فَقَرَأَ فِي الأُولَى ب سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَفِي الثَّانِيَةِ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَفِي الثَّالِثَةِ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَلَمَّا فَرَغَ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلاثًا، يَمُدُّ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ "
No. 1736:
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ نَصْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ زُبَيْدٍ، فَذَكَرَ مِثْلَهُ بِإِسْنَادِهِ. حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي دَاوُدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ، عَنْ زُبَيْدٍ، فَذَكَرَ مِثْلَهُ بِإِسْنَادِهِ غَيْرَ أَنَّهُ، قَالَ: وَفِي الثَّانِيَةِ قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا يَعْنِي قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَفِي الثَّالِثَةِ: اللَّهُ الْوَاحِدُ الصَّمَدُ
[26]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي بِهَمْدَانَ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحُسَيْنِ، ثنا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، ثنا شُعْبَةُ، وَأَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ بَالَوَيْهِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ غَالِبٍ، ثنا عَفَّانُ، وَأَبُو عُمَرَ، وَمُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَعَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، قَالُوا: ثنا شُعْبَةُ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، وَزُبَيْدٍ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلاثًا يَرْفَعُ صَوْتَهُ،
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبْزَى مِمَّنْ صَحَّ عِنْدَنَا أَنَّهُ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا أَنَّ أَكْثَرَ رِوَايَتِهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَالصَّحَابَةِ، وَهَذَا الإِسْنَادُ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
[27]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ فُورَكٍ، أنبأ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، أنبأ يُونُسُ بْنُ حَبِيبٍ، أنبأ أَبُو دَاوُدَ، ثنا شُعْبَةُ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، وَزُبَيْدٍ، عَنْ ذَرٍّ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، "أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، و قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلاثَ مَرَّاتٍ، يَرْفَعُ بِالثَّالِثَةِ صَوْتَهُ "
[28]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَحْمَدَ الْمَلِيحِيُّ، أنا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي شُرَيْحٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْبَغَوِيُّ، نا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، أنا شُعْبَةُ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، وَزُبَيْدٍ سَمِعَا ذَرًّا، يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَإِذَا سَلَّمَ، يَقُولُ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ فِي الثَّالِثَةِ
[29]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ بْنِ حَبِيبٍ، قَالَ: حَدَّثَنا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْمَيْمُونِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ. ح وَأَخْبَرَنَا عَبْدُوسُ بْنُ الْحُسَيْنِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ الرَّازِيُّ، حَدَّثَنَا آدَمُ، قَالَا: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ مِنَ الْوِتْرِ قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
[30]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، أَخْبَرَنَا قَتَادَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ زُرَارَةَيُحَدِّثُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتَر بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، فَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"، يَقُولُهَا ثَلَاثًا
[31]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ زُرَارَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَإِذَا فَرَغَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِثَلَاثًا "وَيَمُدُّ فِي الثَّالِثَةِ "
[32]    Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي عَامِرٍ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَزْرَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ
[33]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، نا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، نا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "يُوتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلَكُ الْقُدُّوسُثَلاثَ مَرَّاتٍ، وَمَدَّ بِالأَخِيرَةِ صَوْتَهُ، وَيَقُولُ: رَبُّ الْمَلائِكَةِ وَالرُّوحِ
لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ قَتَادَةَ، إلا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عُرْوَةَ، تَفَرَّدَ بِهِ: عِيسَى بْنُ يُونُسَ
[34]    Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ الأَشْعَثِ، ثنا عَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ، ثنا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ فِطْرٍ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِثَلاثٍ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ، وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، ثَلاثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ، فِي الأَخِيرَةِ يَقُولُ: رَبِّ الْمَلائِكَةِ وَالرُّوحِ "
[35]    Riwayatnya adalah:
وَأَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، أنبأ عَلِيُّ بْنُ عُمَرَ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ الأَشْعَثِ، ثنا عَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ، ثنا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ فِطْرٍ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُبِيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِثَلاثٍ: بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَ قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ فَإِذَا سَلَّمَ، قَالَ: "سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ"ثَلاثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ فِي الآخِرَةِ يَقُولُ: "رَبِّ الْمَلائِكَةِ وَالرُّوحِ"

Saktah

$
0
0
Menurut bahasa, saktah adalah al-man’u (الْمَنْعُ), yang artinya menahan. Sementara menurut istilah saktah ialah:
قَطْعُ الْكَلِمَةِ مِنْ غَيْرِ تَنَفُّسٍ بِنِيَّةِ الْقِرَاءَةِ
“Menahan (suara pada) suatu kalimat tanpa bernapas, dengan niat melanjutkan kembali bacaan”.[1]
Dalam rumusan lain, saktah dapat pula dinyatakan sebagai:
وَقْفَةٌ لَطِيْفَةٌ بِقَدْرِ حَرْكَتَيْنِ بِلَا تَنَفُّسٍ
“Berhenti sejenak, kira-kira dua harakat, tanpa bernapas.[2] 
Jika dua definisi di atas kita sarikan, setidaknya ada empat poin penting yang dapat kita petik perihal saktah, yaitu:
a.     berhenti atau diam sejenak seraya menahan suara,
b.     lamanya kira-kira dua harakat,
c.      dilakukan tanpa bernapas,
d.     diniatkan untuk melanjutkan kembali bacaan.
Di dalam Al-Qur’an, saktah hanya terdapat pada empat tempat[3], yaitu : surah Al-Kahfi ayat 1, Yaasiin ayat 52, Al-Qiyaamah ayat 27, dan Al-Muthaffifiin ayat 14. Berikut uraiannya:
1.     Surah Al-Kahfi ayat 1, pada lafadh:
......يَجۡعَل لَّهُۥ عِوَجٗاسكتةقَيِّمٗا لِّيُنذِرَ .......
Dibaca :
…..yaj’al lahuu ‘iwajaa (diam sejenak) qayyimal li yundzira…..
Cara membacanya dengan menghilangkan tanwindiganti dengan fat-hah pada lafadh ‘iwajaa sehingga menjadi madd ‘iwadl yang dibaca panjang dua harakat. Setelah diam sejenak kira-kira dua harakat, baru dilanjutkan dengan lafadh selanjutnya : qayyimal li yundzira……
Faedah saktah pada ayat ini ialah untuk menjelaskan atau memisahkan dua lafadh agar tidak disangka satu lafadh. Dengan kata lain, lafadh ‘qayyimaa’ tidak bersambung dengan lafadhsebelumnya : ‘iwajaa. Lafadh‘iwajaanashab-nya menjadi maf’ul bagi yaj’al, sedangkan qayyimaanashab-nya menjadi haal(keterangan) bagi al-kitaab. Jika dua lafadh tersebut dibaca bersambung, maka qayyima menjadi sifat bagi ‘iwajaa. Padahal, keduanya memiliki makna yang saling bertolak belakang. ‘Iwajaa artinya kebengkokan; qayyimaa artinya lurus.
2.     Surah Yaasiin ayat 52, pada lafadh:
......مَنۢ بَعَثَنَا مِن مَّرۡقَدِنَا سكتةهَٰذَا مَا ........
Dibaca:
…..mam ba’atsanaa mim marqadinaa(diam sejenak) haadzaa maa…..
Cara membacanya ialah dengan membaca panjang dua harakat ujung lafadh marqadinaa karena menjadi madd ashli. Setelah diam sejenak kira-kira dua harakat tanpa bernapas, baru dilanjutkan dengan lafadh selanjutnya : haadzaa maa…..
Faedah saktah pada lafadh ini ialah untuk memisahkan perkataan orang kafir dengan perkataan orang mukmin. Perkataan orang kafir selesai pada kalimat ‘mim marqadinaa’. Sedangkan kalimat sesudahnya ‘haadzaa maa wa’adar-rahmaanu’ merupakan perkataan orang mukmin. Apabila dua kalimat tersebut disatukan, maka kesalahan bukan saja terjadi dari segi kalimat, tetapi juga dari segi makna. Maknanya menjadi bertentangan, karena maa pada lafadh haadzaa maa wa’adar rahmaanu akan menjadi maa naafi’, yang berarti Allah tidak menjanjikan hal-hal seperti telah disebutkan sebelumnya.
3.     Surah Al-Qiyaamah ayat 27:
 وَقِيلَ مَنۡ سكتةرَاقٖ
Dibaca:
Wa qiila man(diam sejenak) raaq.
Cara membacanya ialah dengan idh-har pada lafadh man. Jadi, tidak menjadi idgham bi laa ghunnah karena bertemunya nuun bersukun dengan huruf raa’.
Faedah saktah pada lafadh ini adalah untuk menunjukkan bahwa kalimat sesudah dan sebelum saktah bukanlah satu kalimat, tetapi dua kalimat. Bila dua kalimat itu dibaca washal/bersambung (tidak saktah), maka akan terjadi idgham bi laa ghunnah yang membuat kita sulit membedakan bahwa lafadh tersebut terdiri dari dua lafadh.
4.     Surah Al-Muthaffifiin ayat 14, pada lafadh:
 كَلَّا بَلۡ سكتةرَانَ ........
Dibaca :
Kallaa bal(diam sejenak) raana …….
Cara membacanya ialah dengan idh-har pada lafadh bal. Jadi, tidak menjadi idgham mutaqaaribain karena bertemunya lam bersukun dengan huruf raa’.
Faedah saktah pada lafadh ini adalah untuk menunjukkan bahwa kalimat sesudah dan sebelum saktah bukanlah satu kalimat, tetapi dua kalimat. Bila dua kalimat itu dibaca washal/bersambung (tidak saktah), maka akan terjadi idgham mutaqaaribain shaghiir, yang membuat kita sulit membedakan bahwa lafadh tersebut terdiri dari dua lafadh.

[selesai – diambil dari buku Pedoman Ilmu Tajwid Lengkap karangan Ust. Acep Iim Abdurohim, hal. 193-195, CV. Penerbit Diponegoro, Cet. 10, Tahun 2003 M].




[1]     Nihaahatul-Qaulil-Mufiid, hal. 153.
[2]     Al-Qaulus-Sadiid, hal. 42 dengan sedikit perubahan redaksi.
[3]     Hihaayatul-Qaulil-Mufiid, hal. 179.

Mengqadla Shalat Witir

$
0
0
Pada asalnya, shalat witir hanyalah dikerjakan pada malam hari, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلَاةً وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ
Sesungguhnya Allah telah menambahkan bagi kalian shalat, yaitu shalat witir. Kerjakanlah shalat tersebut pada waktu antara shalat ‘Isyaa’ hingga shalat Shubuh” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/7 (39/271) no. 23851 & 6/397 (45/204-205) no. 27229, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 11/354-355 no. 4492, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 2/279 no. 2167; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk.].
بَادِرُوا الصُّبْحَ بِالْوِتْرِ
Segera lakukanlah shalat witir sebelum Shubuh” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 750, Abu Daawud no. 1436, dan At-Tirmidziy no. 467].
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
Jadikanlah akhir shalat malam kalian dengan shalat witir” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 472 & 998 dan Muslim no. 751].
Seandainya seseorang pada malam hari tidak melakukan shalat witir tanpa ‘udzur, atau ia memang tidak terbiasa melakukannya, maka tidak boleh dikerjakan pada pagi atau siang harinya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَهُ الصُّبْحُ وَلَمْ يُوتِرْ، فَلا وِتْرَ لَهُ
Barangsiapa yang menjumpai waktu Shubuh sementara ia belum melakukan witir, maka tidak ada witir baginya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy no. 2306, Ibnu Khuzaimah 2/148 no. 1092, Ibnu Hibbaan 6/168-169 no. 2408, Al-Haakim 1/301-302, dan Al-Baihaqiy 2/478 (672) no. 4514; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dalam takhriij-nya terhadap Shahiih Ibni Hibbaan].
Adapun sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَامَ عَنْ وِتْرِهِ أَوْ نَسِيَهُ فَلْيُصَلِّهِ إِذَا ذَكَرَهُ
Barangsiapa yang tertidur dari shalat witirnya atau lupa mengerjakannya, hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia mengingatnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1431, At-Tirmidziy no. 465, Ahmad 3/31 & 44, dan Abu Ya’laa no. 1114; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/394].
Maka, Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah menjelaskan:
وَإِنَّمَا يُوتِرُ بَعْدَ الْفَجْرِ مَنْ نَامَ عَنِ الْوِتْرِ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يَتَعَمَّدَ ذَلِكَ حَتَّى يَضَعَ وِتْرَهُ بَعْدَ الْفَجْرِ
“Dan shalat witir setelah Shubuh hanyalah bagi orang yang tertidur dari shalat witir. Dan tidak boleh bagi seorang pun menyengaja mengerjakan shalat witirnya setelah Shubuh” [Al-Muwaththa’1/510].
Keberadaan ‘udzur ini juga dijelaskan hadits lain yang diriwayatkan oleh ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:
إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ، صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً
Apabila beliau dikuasai oleh tidur atau sakit terhadap (pelaksanaan) shalat malam, maka beliau shalat di waktu siangnya sebanyak dua belas rakaat[Diriwayatkan oleh Muslim no. 746].
Dan itu sesuai dengan keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاةٍ فَلْيُصَلِّ إِذَا اسْتَيْقَظَ، وَمَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَ
Barangsiapa yang tertidur dari shalat, hendaklah ia shalat ketika ia bangun. Dan barangsiapa yang lupa shalat, hendaklah ia shalat ketika ia ingat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 597, Muslim no. 684, Abu Daawud no. 442, At-Tirmidziy no. 178, An-Nasaa’iy no. 613-614, Ibnu Maajah no. 695-696, dan Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj no. 1144 – dan ini adalah lafadh Abu ‘Awaanah].
Oleh karena itu, perbuatan sebagian salaf yang melakukan witir setelah waktu Shubuh dipahami karena ‘udzur, bukan karena sengaja dan membiasakannya.[1]
Seandainya pun seseorang yang terluput dari shalat sunnah yang biasa ia lakukan karena ‘udzurdan kemudian ia tidak sempat mengqadlanya, ia tetap mendapatkan pahala yang semisal berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ حَتَّى أَصْبَحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ "
Barangsiapa yang naik ke atas ranjangnya sedang ia telah berniat untuk bangun melakukan shalat di malam hari, namun ia tertidur hingga waktu Shubuh, maka ditulis baginya pahala apa yang ia niatkan dan tidurnya itu adalah sedekah dari Rabb-nya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1787, Ibnu Maajah no. 1344, dan Ibnu Khuzaimah no. 1172; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 1/567].
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
Barangsiapa yang jatuh sakit atau melakukan perjalanan jauh, maka dicatatkan pahala baginya pahala seperti yang biasa ia dilakukannya ketika bermukim atau sehat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2996].
Jika dapat menqadlanya, maka itu lebih baik.
Tentang waktu pelaksanaan qadlaa’, maka bisa dilakukan pada waktu kapan pun sesuai dengan dhahir hadits : ‘hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia mengingatnya’.
Adapun kaifiyyat-nya, maka ada dua, yaitu:
1.     Ia shalat witir sebagaimana sifat shalat witir yang ia kerjakan di waktu malam, berdasarkan dhahir hadits : ‘Barangsiapa yang tertidur dari shalat witirnya atau lupa mengerjakannya, hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia mengingatnya’.
2.     Ia shalat di waktu siang sebanyak 12 raka’at, berdasarkan hadits : ‘Apabila beliau dikuasai oleh tidur atau sakit terhadap (pelaksanaan) shalat malam, maka beliau shalat di waktu siangnya sebanyak dua belas rakaat’.
[lihat : Bughyatul-Mutathawwi’ oleh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul, hal. 74].
Itu saja secara ringkas yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 14072014 – 01:00].
Artikel suplemen :




[1]     Diantara riwayat dari kalangan salaf yang dapat dibawakan dalam hal ini diantaranya:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ الْجَزَرِيِّ، عَنْ عَطَاءٍ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَوْتَرَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq, dari ‘Abdurrazzaaq, dari Ma’mar, dari ‘Abdul-Kariim Al-Jazriy, dari ‘Athaa’ : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas melakukan shalat witir setelah terbitnya fajar [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausathno. 2677; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ، قَالَ: "قُلْتُ لَهُ: الرَّجُلُ يَنَامُ، فَيُصْبِحُ، فَيُوتِرُ بَعْدَمَا يُصْبِحُ بِرَكْعَةٍ، قَالَ: لَا أَعْلَمُ بِهِ بَأْسًا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi ‘Adiy, dari Ibnu ‘Aun, dari Muhammad (bin Siiriin); Ibnu ‘Aun berkata : Aku berkata kepadanya (Ibnu Siiriin) : “Seseorang yang tidur hingga datang waktu Shubuh. Lalu ia shalat witir satu raka’at setelah Shubuh”. Ia menjawab : “Tidak mengapa dengannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/290 (4/484) no. 6864; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ حَمَّادًا عَنْ رَجُلٍ لَمْ يُوتِرْ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَقَالَ: "أَحَبُّ إِلَيّ أَنْ يُوتِرَ "
Telah menceritakan Ghundar, dari Syu’bah, ia berkata : Aku bertanya kepada Hammaad tentang seseorang yang belum melakukan shalat witir hingga terbit matahari. Ia berkata : “Aku suka jika ia melakukan shalat witir” [idem, 2/291 (4/484) no. 6865; sanadnya shahih].
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ يَقُولُ: "إِنِّي لَأُوتِرُ وَأَنَا أَسْمَعُ الْإِقَامَةَ أَوْ بَعْدَ الْفَجْرِ "يَشُكُّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَيَّ ذَلِكَ قَالَ
Dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Aamir bin Rabii’ah berkata : “Sesungguhnya aku melakukan shalat witir sedangkan aku mendengar iqamat - atau setelah waktu Shubuh - ”. ‘Abdurrahmaan mengalami keraguan tentang mana yang dikatakan oleh ‘Abdullah. [Diriwayatkan oleh Maalik 1/509 no. 304; dishahihkan oleh Saliim Al-Hilaaliy dalam takhrij-nya atas Al-Muwaththa’].
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، يَقُولُ: "إِنِّي لَأُوتِرُ بَعْدَ الْفَجْرِ "
Dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, bahwasannya ia mendengar ayahnya, Al-Qaasim bin Muhammad, berkata : “Sesungguhnya aku tetap melakukan shalat witir (meski) setelah waktu Shubuh” [idem 1/509-510 no. 305; shahih].
Dan yang lainnya.

Makan Dulu atau Shalat Dulu ?

$
0
0
Tanya : Ketika saya baru mulai makan, terdengar adzan. Manakah yang harus saya dahulukan, makan atau bergegas menuju masjid untuk shalat?.
Jawab : Jika Anda merasa lapar dan keinginan untuk makan, maka Anda dahulukan untuk makan daripada shalat. Dalilnya antara lain adalah:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ، وَلَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
Dari Anas bin Maalik, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila makan malam telah tersedia, dahulukan makan malam sebelum engkau melaksanakan shalat Maghrib. Dan jangan engkau tergesa-gesa dari makan malam kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 672 & 5463, Muslim no. 557, At-Tirmidziy no. 353, An-Nasaa’iy no. 853, dan Ibnu Maajah no. 933].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak sempurna shalat seseorang apabila makanan telah dihidangkan atau menahan buang air besar atau kecil” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 560 dan Abu Daawud no. 89].
عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ "قَالَ: وَتَعَشَّى ابْنُ عُمَرَ وَهُوَ يَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Apabila makan malam telah dihidangkan sedangkan shalat sudah ditegakkan (iqamat), maka dahulukan makan malam”. Naafi’ berkata : “Ibnu ‘Umar pernah makan malam sedangkan ia mendengar bacaan imam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 354; shahih].
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ إِذَا وُضِعَ عَشَاؤُهُ أَوْ حَضَرَ عَشَاؤُهُ لَمْ يَقُمْ حَتَّى يَفْرُغَ، وَإِنْ سَمِعَ الْإِقَامَةَ، وَإِنْ سَمِعَ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
“Apabila makan malam telah dihidangkan, maka ‘Abdullah (bin ‘Umar) tidak berdiri shalat hingga ia menyelesaikan makannya, meskipun ia mendengar iqamah dan bacaan imam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3757; shahih].
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَعَلَيْهِ الْعَمَلُ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَابْنُ عُمَرَ، وَبِهِ يَقُولُ أَحْمَدُ، وَإِسْحَاق يَقُولَانِ: يَبْدَأُ بِالْعَشَاءِ وَإِنْ فَاتَتْهُ الصَّلَاةُ فِي الْجَمَاعَةِ.قَالَ أَبُو عِيسَى: سَمِعْت الْجَارُودَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ وَكِيعًا يَقُولُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ: يَبْدَأُ بِالْعَشَاءِ إِذَا كَانَ طَعَامًا يَخَافُ فَسَادَهُ وَالَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ أَشْبَهُ بِالِاتِّبَاعِ، وَإِنَّمَا أَرَادُوا أَنْ لَا يَقُومَ الرَّجُلُ إِلَى الصَّلَاةِ وَقَلْبُهُ مَشْغُولٌ بِسَبَبِ شَيْءٍ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: لَا نَقُومُ إِلَى الصَّلَاةِ وَفِي أَنْفُسِنَا شَيْءٌ
“Hadits ini[1]diamalkan oleh sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya : Abu Bakr, ‘Umar, dan Ibnu ‘Umar. Ahmad dan Ishaaq berpendapat dengannya, dimana mereka berdua berkata : ‘Hendaklah ia mulai dengan makan malam meskipun akan ketinggalan shalat berjama’ah’. Abu ‘Iisaa (At-Tirmidziy) berkata : Aku mendengar Al-Jaarud berkata : Aku mendengar Wakii’ berkata tentang hadits ini : ‘Hendaknya ia mulai dengan makan malam apabila makanan dikhawatirkan menjadi rusak’. Pendapat yang dipegang oleh sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya lebih tepat untuk diikuti. Yang mereka maksudkan hanyalah seseorang tidak berdiri shalat sedangkan hatinya tersibukkan oleh sesuatu (selain shalat). Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas bahwasannya ia berkata : ‘Kami tidak berdiri shalat sedangkan pada diri kami terdapat sesuatu” [A-Jaami’ At-Kabiir, 1/381].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، ....... ، وَهَذِهِ الْكَرَاهَة عِنْد جُمْهُور أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ إِذَا صَلَّى كَذَلِكَ وَفِي الْوَقْت سَعَة ، فَإِذَا ضَاقَ بِحَيْثُ لَوْ أَكَلَ أَوْ تَطَهَّرَ خَرَجَ وَقْت الصَّلَاة صَلَّى عَلَى حَاله مُحَافَظَة عَلَى حُرْمَة الْوَقْت ، وَلَا يَجُوز تَأْخِيرهَا
“Dalam hadits-hadits ini terdapat petunjuk tentang dimakruhkannya shalat ketika makanan telah dihidangkan bagi orang yang hendak memakannya, karena akan menyebabkan kesibukan hati terhadapnya dan hilangnya kesempurnaan kekhusyukan…. Kemakruhan ini menurut jumhur shahabat kami dan yang lainnya, apabila waktu shalat masih luas. Namun apabila waktu shalat sempit sekiranya jika ia makan lalu bersuci (wudlu) menyebabkan waktu shalat habis, maka ia harus shalat pada waktu tersebut untuk menjaga kehormatan waktu  shalat, dan tidak diperbolehkan untuk mengakhirkannya” [Syarh Shahiih Muslim, 5/46].
Al-Manawiy rahimahullah ketika mengomentari hadits ‘Aaisyah, berkata:
وفيه تقديم فضيلة حضور القلب على فضيلة أول الوقت
“Dalam hadits tersebut terdapat faedah mendahulukan keutamaan hadirnya hati daripada keutamaan awal waktu” [Faidlul-Qadiir, 6/557 no. 9896].
Maksud mendahulukan makan di sini bukan untuk makan sampai kenyang, akan tetapi sekedar menghilangkan rasa laparnya. An-Nawawiy rahimahullah berkata:
أن يكون به جوع، أو عطش شديد، وحضر الطعام والشراب، وتاقت نفسه إليه، فيبدأ بالاكل والشرب. قال الاصحاب: وليس المراد أن يستوفي الشبع، بل يأكل لقما يكسر حدة جوعه
“Apabila ia merasa sangat lapar atau haus, sedangkan makanan dan minuman telah tersedia dan dirinya sangat menginginkannya; hendaklah ia dahulukan untuk makan dan minum (daripada shalat). Shahabat-shahabat kami berkata : Maksudnya di sini bukanlah untuk makan sampai kenyang, akan tetapi makan sekedar untuk menghilangkan rasa laparnya” [Raudlatuth-Thaalibiin, 1/451].
‘Illat mendahulukan makan daripada shalat di sini adalah untuk menghilangkan kesibukan hati (dari sesuatu selain shalat) dan ketidakkhusyukan. Jika seseorang tidak terlalu berkeinginan untuk makan sehingga ia dapat menghadirkan hati dan kekhusyukan selama shalat, maka didahulukan shalat.
Sebagaimana dikatakan An-Nawawiy rahimahullah di atas, ketentuan untuk mendahulukan makan atau minum daripada shalat ini berlaku jika waktu shalat masih longgar. Namun jika waktu shalat hampir habis, tetap wajib untuk mendahulukan shalat; karena shalat di luar waktunya adalah haram, sedangkan shalat dengan menahan rasa lapar dan haus hanyalah makruh saja (tidak sampai haram). Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yangditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].
Wallaahu a’lam.
Semoga jawaban ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 18 Ramadlaan 1435].





[1]     Maksudnya, hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.

Ucapan Terima Kasih yang Dilarang

$
0
0
Pernah ditanyakan kepada Asy-Syaikh Shaalih Aalusy-Syaikh hafidhahullah :
“Apa pendapat Anda dengan ucapan seseorang kepada yang lainnya : ‘(Saya sampaikan) terima kasihku yang murni kepadamu’ ?”.
Beliau hafidhahullah menjawab :
“Kami telah mengingatkan berkali-kali bahwasannya syukur adalah ibadah. Syukur adalah ibadah yang ditujukan kepada Allah ‘azza wa jalla. Allah telah memerintahkan untuk bersyukur sebagaimana firman-Nya :
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu’ [QS. Luqmaan : 14]
وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُون
‘Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku’ [QS. Al-Baqarah : 152].
Dan ketika Allah ‘azza wa jalla memerintahkannya, maka hal itu merupakan satu ibadah yang agung dari macam-macam ibadah yang akan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengannya. Ibadah-ibadah termasuk bagian dari agama. Dan agama yang murni (ad-diinul-khaalish) diperuntukkan bagi Allah ‘azza wa jalla semata, sebagaimana firman-Nya :
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)’ [QS. Az-Zumar : 3].
Maka, tidak diperbolehkan untuk diucapkan kepada orang lain : ‘(Saya sampaikan) terima kasihku yang murni kepadamu’, karena kemurnian syukur itu hanyalah untuk Allah ‘azza wa jalla. Atau ucapan : ‘(saya sampaikan) penghomatanku yang murni bagimu’, ‘bersamaan dengan murninyapenghormatanku’, atau murninya pemuliaanku (kepadamu). Semua perkataan ini hanyalah diperuntukkan bagi Allah ‘azza wa jalla. Kemurnian penghormatan, pemuliaan, pengagungan, pengharapan – dan seperti yang dikatakan : ‘murninya pengharapanku padamu’ - dan yang semisalnya, maka ini semua termasuk ibadah, dan kemurniaannya hanyalah diperuntukkan bagi Allah ‘azza wa jalla.
Tidak boleh seseorang mengatakan seperti yang tersebar di banyak tulisan dan surat : ‘terimalah kemurnian terima kasihku dan pemuliaanku (kepadamu)’….. karena ini hanyalah diperuntukkan bagi Allah ‘azza wa jalla semata.
Syukur yang murni hanyalah bagi Allah ‘azza wa jalla. Dan yang diucapkan kepada manusia (yang diperbolehkan) adalah : ‘(saya sampaikan) terima kasihku yang besar kepadamu’. Atau : ‘dengan besarnya terima kasihku kepadamu’, ‘dengan banyaknya terima kasihku kepadamu’, dan yang semisalnya. Benar, manusia itu diucapkan terima kasih atas segala kebaikan yang ia lakukan. Hal itu dikarenakan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا يشكر الله من لا يشكر الناس
Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia’.
Maka, orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia, maka ia tidak dianggap bersyukur kepada Allah” [selesai].

Kesesatan Yahudi

$
0
0
Beberapa penyimpangan dan kesesatan Yahudi yang Allah ta’ala cela dalam Al-Qur'an :
1.     Kesombongan mereka terhadap ahli ilmu dan sikap mereka yang ekstrem yang membunuh para Nabi.
قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلا إِنَّا هَا هُنَا قَاعِدُونَ
Mereka berkata: ‘Wahai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya (menaklukkan Palestina), selagi mereka (orang-orang yang gagah perkasa itu) ada di dalamnya. Maka dari itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja[QS. Al-Maaidah : 24].
وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَقَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ وَآتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ
Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa. Dan telah Kami susulkan (berturut-turut) sesudah itu rasul-rasul. Dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada ‘Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus (Malaikat Jibril). Apakah setiap kali datang kepada kalian seorang Rasul membawa sesuatu (ajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu kalian bersikap angkuh? Maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh?! [QS. Al-baqarah :87].
قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَاءَ اللَّهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Katakanlah: ‘Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika kalian benar-benar orang yang beriman?’[QS. Al-Baqarah: 91].
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
Lalu ditimpakanlah kepada mereka (orang-orang Yahudi) nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas[QS. Al-Baqarah: 61].
وَقَالُوا قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلا مَا يُؤْمِنُونَ
“Dan mereka berkata: ‘Hati kami tertutup.’ Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka. Maka sedikit sekali dari mereka yang beriman[QS. Al-Baqarah: 88].
2.     Yahudi yang gemar mengubah-ubah ayat Allahta’ala.
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا
"Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa`ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis"[QS. An-Nisaa' : 46].
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merobah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah dirobah-robah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah" Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar"[QS. Al-Maidah : 41].
3.     Yahudi gemar melecehkan orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ * وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلا بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ قَالُوا أَتُحَدِّثُونَهُمْ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ لِيُحَاجُّوكُمْ بِهِ عِنْدَ رَبِّكُمْ أَفَلا تَعْقِلُونَ
"Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: "Kami pun telah beriman," tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, lalu mereka berkata: "Apakah kamu menceritakan kepada mereka (orang-orang mukmin) apa yang telah diterangkan Allah kepadamu, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujahmu di hadapan Tuhanmu; tidakkah kamu mengerti?"[QS. Al-Baqarah : 75-76].
4.     Kesesatan Yahudi dalam ke-Esaan Allah ta'ala.
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
"Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?"[QS At-Taubah : 30].
[repro dari tulisan tahun 2006].

Masuk Surga Karena Amal (atau Rahmat Allah) ?

$
0
0
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَعِيمٍ * فَاكِهِينَ بِمَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ وَوَقَاهُمْ رَبُّهُمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ * كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga dan kenikmatan, mereka bersuka ria dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka; dan Tuhan mereka memelihara mereka dari azab neraka. (Dikatakan kepada mereka): "Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan” [QS. Ath-Thuur : 17-19].
وَحُورٌ عِينٌ * كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ * جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan” [QS. Al-Waaqi’ah : 24].
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan"[QS. An-Nahl : 32].
أَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ جَنَّاتُ الْمَأْوَى نُزُلا بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka bagi mereka surga-surga tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang telah mereka kerjakan” [QS. As-Sajdah : 19].
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan” [QS. Az-Zukhruf : 72].
Baa’ dalam kalimat ‘bimaa kuntum ta’maluun/bimaa kaanuu ya’maluun’ adalah baa’ sababiyyah, yang menunjukkan bahwa amal-amal shaalih menjadi sebab pelakunya masuk ke dalam surga.Orang-orang yang Allah matikan mereka dalam keadaan merugi, berharap diberi kesempatan hidup kembali untuk beramal kebaaikan yang dengannya ia dapat masuk ke dalam surga.
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ * لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shaleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan” [QS. Al-Mukminuun : 99-100].
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ
Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal shalih, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin"[QS. As-Sajdah : 12].
Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangatlah banyak. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat sering bersabda tentang amal-amal shalih yang dapat menyebabkan pelakunya masuk ke dalam surga. Diantaranya:
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، "أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ، قَالَ: مَا لَهُ، مَا لَهُ، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَبٌ مَا لَهُ تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ "
Dari Abu Ayyuub radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Beritahukanlah kepadaku satu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga”. Seseorang berkata : “Apa yang ia miliki, apa yang ia miliki ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Agaknya yang ia tanyakan penting baginya. Amal yang dapat memasukkanmu ke dalam surga adalah engkau beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1396 & 5982 & 5983 dan Muslim no. 13].
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَأَصْبَحْتُ يَوْمًا قَرِيبًا مِنْهُ وَنَحْنُ نَسِيرُ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ، وَيُبَاعِدُنِي عَنِ النَّارِ، قَالَ: "لَقَدْ سَأَلْتَنِي عَنْ عَظِيمٍ وَإِنَّهُ لَيَسِيرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُومُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ الْبَيْتَ
Dari Mu’aadz bin Jabal, ia berkata : “Aku pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Lalu suatu ketika aku berada di dekat beliau dalam keadaan kami sedang dalam perjalanan. Aku bertanya : "Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku satu amalan yang memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sungguh engkau bertanya tentang sesuatu yang besar. Padahal, ia sebenarnya mudah (dilakukan) bagi siapa saja yang dimudahkan oleh Allah. Yaitu, engkau beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadlaan, dan menunaikan ibadah haji” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/231, At-Tirmidziy no. 2616, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 11394, dan Ibnu Maajah no. 3973; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/42-43].
عَنْ أَبِي مُوسَى أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ "
Dari Abu Muusaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang shalat pada dua waktu dingin (Shubuh dan ‘Ashar), niscaya masuk surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 574 dan Muslim no. 635].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah mempunyai 99 (sembilan puluh sembilan) nama, seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghitungnya[1], niscaya ia masuk surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6410 dan Muslim no. 2677].
Kemudian, timbul kemusykilan dengan adanya beberapa hadits yang menyatakan amalan tidak menyebabkan seseorang masuk ke dalam surga, diantaranya:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ "
Dari Jaabir, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada seorang pun di antara kalian yang amalannya memasukkannya ke dalam surga dan melindunginya dari neraka. Tidak juga aku, kecuali dengan rahmat dari Allah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2817].
عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "سَدِّدُوا، وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ "، قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: "وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ "
Dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Beramallah sesuai sunnah (istiqamah) dan berlaku imbanglah, dan berilah kabar gembira, sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga karena amalannya”.Para shahabat berkata : “Begitu juga dengan engkau wahai Rasulullah?”. Beliau bersabda : “Begitu juga denganku, namun Allah melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepadaku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6464 & 6467 dan Muslim no. 2818].
Untuk menjawabnya, prinsip yang harus dipegang dalam hal ini adalah tidak ada dan tidak akan pernah ada pertentangan antara ayat Al-Qur’an dan hadits shahih. Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
ولا تكون سنة أبدا تخالف القرآن
“As-Sunnah tidak mungkin menyelisihi Al-Qur’an selamanya” [Jimaa’ul-‘Ilmno. 530].
Beberapa ulama mencoba menjelaskan pemahaman dengan penjamakan antara nash-nash tersebut.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَفِي ظَاهِر هَذِهِ الْأَحَادِيث : دَلَالَة لِأَهْلِ الْحَقّ أَنَّهُ لَا يَسْتَحِقّ أَحَد الثَّوَاب وَالْجَنَّة بِطَاعَتِهِ ، وَأَمَّا قَوْله تَعَالَى : {اُدْخُلُوا الْجَنَّة بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} { وَتِلْك الْجَنَّة الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ } وَنَحْوهمَا مِنْ الْآيَات الدَّالَّة عَلَى أَنَّ الْأَعْمَال يُدْخَل بِهَا الْجَنَّة ، فَلَا يُعَارِض هَذِهِ الْأَحَادِيث ، بَلْ مَعْنَى الْآيَات : أَنَّ دُخُول الْجَنَّة بِسَبَبِ الْأَعْمَال ، ثُمَّ التَّوْفِيق لِلْأَعْمَالِ وَالْهِدَايَة لِلْإِخْلَاصِ فِيهَا ، وَقَبُولهَا بِرَحْمَةِ اللَّه تَعَالَى وَفَضْله ، فَيَصِحّ أَنَّهُ لَمْ يَدْخُل بِمُجَرَّدِ الْعَمَل . وَهُوَ مُرَاد الْأَحَادِيث ، وَيَصِحّ أَنَّهُ دَخَلَ بِالْأَعْمَالِ أَيْ بِسَبَبِهَا ، وَهِيَ مِنْ الرَّحْمَة . وَاَللَّه أَعْلَم
“Dan (makna) dalam dhahir hadits-hadits ini merupakan petunjuk bagi ahlul-haq bahwa seseorang tidak berhak mendapatkan pahala dan surga karena ketaatannya. Adapun firman Allah ta’ala : ‘Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan(QS. An-Nahl : 32), ‘Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan(QS. Az-Zukhruf : 72) dan ayat-ayat yang lain menunjukkan bahwa amal-amal dapat memasukkannya ke dalam surga. Tidak ada pertentangan dalam hadits-hadits tersebut. Namun makna ayat-ayat ini adalah bahwa masuknya (seseorang) ke dalam surga dengan sebab amal-amal (shalih), kemudian Allah memberikan taufiq untuk beramal dan hidayah untuk ikhlash dalam amalan tersebut. Diterimanya amalan-amal itu dengan rahmat Allah ta’ala dan karunia-Nya. Maka benar, bahwasannya seseorang tidak masuk surga dengan sekedar amalan semata. Itulah yang dimaksud dalam hadits-hadits. Dan benar pula bahwasannya seseorang masuk surga dengan sebab amal-amal, dan itu termasuk rahmat, wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 17-160-161].
Ibnu Katsiir rahimahullah saat mengomentari QS. Az-Zukhruuf ayat 72 berkata :
أي : أعمالكم الصالحة كانت سببا لشمول رحمة الله إياكم، فإنه لا يدخل أحدًا عمله الجنة، ولكن بفضل من الله ورحمته. وإنما الدرجات تفاوتها بحسب عمل الصالحات.
“Yaitu : amal-amal shaalih kalian yang menjadi sebabkalian diliputi rahmat. Karena, tidak ada seorang pun yang masuk surga karena amalnya semata, akan tetapi (ia masuk surga) karena rahmat dan karunia Allah. Hanya saja perbedaan derajat dapat diperoleh berdasarkan amal-amal shaalihnya” [Tafsir Ibni Katsiir, 7/239-240].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَيَظْهَر لِي فِي الْجَمْع بَيْن الْآيَة وَالْحَدِيث جَوَاب آخَر وَهُوَ أَنْ يُحْمَل الْحَدِيث عَلَى أَنَّ الْعَمَل مِنْ حَيْثُ هُوَ عَمَل لَا يَسْتَفِيد بِهِ الْعَامِل دُخُول الْجَنَّة مَا لَمْ يَكُنْ مَقْبُولًا . وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَأَمْر الْقَبُول إِلَى اللَّه تَعَالَى ، وَإِنَّمَا يَحْصُل بِرَحْمَةِ اللَّه لِمَنْ يَقْبَل مِنْهُ ، وَعَلَى هَذَا فَمَعْنَى قَوْله ( اُدْخُلُوا الْجَنَّة بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ ) أَيْ تَعْمَلُونَهُ مِنْ الْعَمَل الْمَقْبُول
“Dan yang nampak bagiku dalam penjamakan anatara ayat-ayat dan hadits adalah jawaban yang lain, yaitu membawa makna hadits bahwa amal itu sendiri tidak memberikan manfaat bagi pelakunya untuk masuk ke dalam surga selama tidak diterima (oleh Allah). Jika demikian, maka perkara diterimanya amalan oleh Allah ta’ala hanya dicapai dengan rahmat Allah bagi orang yang amalnya diterima. Oleh karena itu, makna firman Allah : ‘Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan’ (QS. An-Nahl : 32), yaitu : yang engkau lakukan dari amal-amal yang diterima (oleh Allah)” [Fathul-Baariy, 11/296].
Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari hadits di atas:
وهذا يدلُّ على شدَّةِ اهتمامِ معاذٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُبالأعمال الصَّالحة ، وفيه دليلٌ على أنَّ الأعمالَ سببٌ لدخول الجنَّة ، كما قال تعالى : وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ .
وأما قولُه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( لَنْ يدخُلَ أحدٌ منكُمُ الجنَّة بِعمَلِه )) فالمراد - والله أعلم - أنَّ العملَ بنفسه لا يستحقُّ به أحدٌ الجنَّة لولا أنَّ الله جعله - بفضله ورحمته - سبباً لذلك ، والعملُ نفسُه من رحمة الله وفضله على عبده ، فالجنَّةُ وأسبابُها كلٌّ من فضل الله ورحمته .
“Ini menunjukkan kuatnya perhatian Mu’aadz radliyallaahu ‘anhu terhadap amal-amal shalih. Dan dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa amal-amal (shalih) merupakan sebab masuknya seseorang ke dalam surga, sebagaimana difirmankan Allah ta’ala : ‘Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan’ (QS. Az-Zukhruf : 72).
Adapun sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Salah seorang di antara kalian tidak akan masuk surga dengan sebab amalnya’, maka dimaksudnya adalah – wallaahu a’lam – bahwa amal itu sendiri tidak membuat seseorang berhak mendapatkan surga seandainya Allah – dengan karunia dan rahmat-Nya – tidak menjadikannya (amal) sebab untuk itu. Dan amal itu sendiri termasuk rahmat Allah dan karunia-Nya terhadap hamba-Nya. Maka, surga dan sebab-sebabnya, semuanya termasuk karunia Allah dan rahmat-Nya” [Jaami’ul-‘Ulul wal-Hikam, hal. 604-605].
Penjelasan para ulama di atas saling menguatkan dan melengkapi. Surga bukanlah pengganti dari amal, karena ia tidak setara. Dzat amal ketaatan tidak menyebabkan pelakunya masuk surga, tanpa rahmat dan karunia-Nya. Namun seseorang yang melakukan amal ketaatan, maka ia akan diliputi oleh rahmat Allah, sebagaimana firman-Nya:
وَلا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” [QS. Al-A’raaf : 56].
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami” [QS. Al-A’raaf : 156].
Kemudian, dengan rahmat Allah juga, dilipatgandakan pahala amal shalih – meski sedikit – dan menjadikannya sebab pelakunya ke dalam surga. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” [QS. An-Nisaa’ : 40].
Bahkan hanya dengan rahmat dan karunia Allah lah, orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun - selain amal ketauhidan - dimasukkan ke dalam surga setelah hangus terbakar di dalam neraka[2]. Allah lipatgandakan amalan ketauhidan tersebut sehingga menyelamatkannya dari kekekalan neraka.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa – perumahan ciomas permai – 20072014 – 07:30].




[1]     Tentang makna hadits ini, silakan baca artikel : Apa Makna “Menghitung Asmaaul-Husnaa” Sebagaimana Dimaksud dalam Hadits ?.
[2]     Yaitu hadits :
حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ مرفوعا : .........حَتَّى إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهَرُ الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَلَا تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ إِلَى الشَّجَرِ مَا يَكُونُ إِلَى الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ ثُمَّ يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ لَكُمْ فَيَقُولُونَ رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
Telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'iid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Hafsh bin Maisarah, dari Zaid bin Aslam, dari 'Athaa' bin Yasaar, dari Abu Sa'iid Al-Khudriy secara marfu’ : “…… Sehingga ketika orang-orang mukmin terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah di dalam menuntut al-haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka : “Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dzarrah, keluarkanlah’. Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali”. Abu Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan kalian baca ayat :‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS. An-Nisaa’ : 40). Allah lalu berfirman : ‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafa’at. Sekarang yang belum memberikan syafa’at adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan. Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan berwarna putih". Para sahabat kemudian bertanya : "Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah orang-orang badui ?”. Beliau melanjutkan :"Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang pernah mereka amalkan dan kebaikan yang mereka lakukan. Allah kemudian berfirman : ‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu akan kalian miliki’. Mereka pun menjawab : ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari penduduk bumi’. Allah kemudian berfirman : ‘(Bahkan) apa yang telah Kami siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali berkata : ‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua!’. Allah menjawab : "Ridla-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 302].
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " .......فَيَقُولُ: اذْهَبُوا أَوْ انْطَلِقُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلَةٍ مِنْ إِيمَانٍ فَأَخْرِجُوهُ، ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا الْآنَ أُخْرِجُ بِعِلْمِي وَرَحْمَتِي، قَالَ: فَيُخْرِجُ أَضْعَافَ مَا أَخْرَجُوا وَأَضْعَافَهُ، فَيُكْتَبُ فِي رِقَابِهِمْ عُتَقَاءُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، فَيُسَمَّوْنَ فِيهَا الْجَهَنَّمِيِّينَ "
Telah menceritakan kepada kami Abun-Nadlr : Telah menceritakan kepada kami Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zubair, dari Jaabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “……..Allah berfirman : ‘Pergilah (ke neraka). Barangsiapa yang engkau dapati dalam hatinya iman seberat biji sawi, keluarkanlah’. Kemudian Allah berfirman : ‘Dan Aku sekarang akan mengeluarkan (orang-orang beriman yang masih ada di dalam neraka) dengan ilmu-Ku dan rahmat-Ku. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Lalu Allah mengeluarkan dalam jumlah berlipat dari yang telah dikeluarkan, dan melipatkannya lagi jumlahnya. Lalu ditulis di leher orang-orang tersebut : ‘orang-orang yang dibebaskan oleh Allah ‘azza wa jalla (dari neraka)’. Kemudian mereka masuk ke dalam surga, yang mereka itu dinamai : Al-Jahannamiyyiin” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/325; sanadnya shahih].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
أن الاستثناء عائد على العصاة من أهل التوحيد ممن يخرجهم الله من النار بشفاعة الشافعين من الملائكة والنبيين والمؤمنين حتى يشفعون في أصحاب الكبائر ثم تأتي رحمة أرحم الراحمين فتخرج من النار من لم يعمل خيرا قط وقال يوما من الدهر لا إله إلا الله كما وردت بذلك الأخبار الصحيحة المستفيضة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بمضمون ذلك من حديث أنس وجابر وأبي سعيد وأبي هريرة وغيرهم من الصحابة ولا يبقى بعد ذلك في النار إلا من وجب عليه الخلود فيها 
“Bahwasannya pengecualian itu kembali pada orang yang bermaksiat dari orang-orang yang mentauhidkan Allah, yaitu dari kalangan orang-orang yang dikeluarkan Allah ta’ala dari neraka dengan syafa’at orang-orang yang dapat memberikan syafa’at dari kalangan malaikat, nabi, dan orang-orang mukmin, hingga mereka memberi syafa’at kepada para pelaku dosa besar. Lalu datanglah rahmat dari Allah Yang Maha Penyayang, hingga dikeluarkanlah dari neraka orang-orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikit pun, dimana mereka pernah mengucapkan pada satu waktu (dalam kehidupannya) : Laa ilaha illallaah (Tidak ada tuhan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah), sebagaimana hal tersebut terdapat dalam hadits-hadits shahih yang berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Anas, Jaabir, Abu Sa’iid, Abu Hurairah, dan yang lainnya dari kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum. Tidaklah tersisa setelah itu di neraka kecuali orang yang telah ditetapkan bagi mereka untuk kekal di dalamnya…..” [Tafsiir Ibni Katsiir, 7/473].

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam Telah Dijamin Surga

$
0
0
Sedang hangat dalam dua pekan ini perihal statement kakek[1]Quraish Shihab tentang tidak dijaminnya surga bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam[2]. Ini menambah daftar statement bermasalah Quraish Shihab dalam masalah agama yang menyebar ke tengah umat[3].
Quraish Shihab menyatakan ketiadaan jaminan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammasuk surga berdalil dengan hadits bahwa tidak ada seorang pun yang masuk surga dengan amalnya. Perkataan ini mengandung dua kekeliruan pokok, yaitu:
1.     Pernyataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak dijamin masuk surga.
Perkataan ini tidak pernah dikatakan ulama Islam manapun yang diakui kaum muslimin – kecuali Quraish Shihab sendiri barangkali. Perkataan ini sangat munkaryang dapat menyebabkan pengucapnya keluar (murtad) dari Islam. Banyak nash, baik yang penunjukkannya langsung ataupun tidak langsung, menyatakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah Allah ta’ala jamin masuk ke dalam surga. Diantaranya:
Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].
Sisi pendalilan : Jika individu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah ditetapkan sebagai teladan bagi umatnya yang mengharapkan pahala dan rahmat Allah di akhirat[4](surga), tentu konsekuensinya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah individu yang telah dijamin surga.[5]
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
Sesungguhnya Kami telah memberikanmu Al-Kautsar” [QS. Al-Kautsar].
Sisi pendalilan : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah dijanjikan Allah ta’alamendapatkan Al-Kautsar, dan Al-Kautsar adalah sungai di dalam surga[6]. Jika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dijanjikan mendapatkan sesuatu di dalam surga, pasti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan memasukinya.
Dalil dari hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
وحَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ، وزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "آتِي بَابَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَأَسْتَفْتِحُ، فَيَقُولُ الْخَازِنُ: مَنْ أَنْتَ؟ فَأَقُولُ: مُحَمَّدٌ، فَيَقُولُ: بِكَ أُمِرْتُ، لَا أَفْتَحُ لِأَحَدٍ قَبْلَكَ "
Dan telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin An-Naaqid dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Al-Mughiirah, dari Tsaabit, dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku mendatangi pintu surga pada hari kiamat. Lalu aku minta dibukakan. Penjaga pintu surga berkata : ‘Siapakah engkau?’.  Lalu aku menjawab : ‘Muhammad’. Lantas ia berkata : ‘Aku diperintahkan dengan sebabmu, aku tidak membukanya untuk seorangpun sebelummu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 197].
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وإِسْحَاق بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْمُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَا أَوَّلُ النَّاسِ يَشْفَعُ فِي الْجَنَّةِ، وَأَنَا أَكْثَرُ الأَنْبِيَاءِ تَبَعًا "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid dan Ishaaq bin Ibraahiim; Qutaibah berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Mukhtaar bin Fulful, dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku adalah orang yang pertama kalimemberi syafa'at di surga, dan aku adalah nabi yang paling banyak pengikutnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 196].
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ زُرَارَةَ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَهْلٍ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا "
Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Ruzaiq : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Haazim, dari ayahnya, dari Sahl, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku dan orang yang menanggung anak yatim berada di surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, dan sedikit merenggangkan antara kedunya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5304].
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ الْمَكِّيِّ عَنْ ابْنِ أَبِي حُسَيْنٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ جِبْرِيلَ جَاءَ بِصُورَتِهَا فِي خِرْقَةِ حَرِيرٍ خَضْرَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ زَوْجَتُكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaq, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Alqamah Al-Makkiy, dari Ibnu Abi Husain, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari ‘Aaisyah : “Bahwasannya Jibriil datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersama gambar Aisyah dalam secarik kain sutera hijau, lalu berkata : ‘Sesungguhnya ini adalah isterimu di dunia dan akhirat’” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3880; shahih].
Istri di akhirat maksudnya di surga.
Masih banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan hal serupa yang menjelaskan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kelak masuk surga. Ini satu kepastian (jaminan).
2.     Berdalil dengan hadits yang menyatakan amal bukan sebab masuk surga untuk menyatakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak dijamin surga.
Hadits yang dimaksud (diantaranya) adalah:
عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَدِّدُوا، وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ، قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ
Dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Beramallah sesuai sunnah (istiqamah) dan berlaku imbanglah, dan berilah kabar gembira, sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga karena amalannya”. Para shahabat berkata : “Begitu juga dengan engkau wahai Rasulullah?”. Beliau bersabda : “Begitu juga denganku, namun Allah melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepadaku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6464 & 6467 dan Muslim no. 2818].
Ini pendalilan yang tidak nyambung[7]. Dalam konteks apapun, hadits ini tidak bisa diambil kesimpulan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendapat jaminan surga dari Allah ta’ala. Hadits ini hanyalah memberikan penjelasan bahwa amal shalih semata tanpa disertai rahmat Allah ta’ala tidak menyebabkan pelakunya masuk ke dalam surga.[8]Tidak ada seorang ulama pun – sependek pengetahuan saya – yang mengatakan dengan dasar hadits ini Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak dijamin dengan surga.
Bahkan hadits di atas membantah Quraish Shihab sendiri, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan Allah ta’ala melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepadanya. Secara tidak langsung, ini merupakan jaminan dari Allah ta’alaakan kepastian diterimanya amal shalih Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamdan memasukkannya ke dalam surga.
Sudah keliru dan tidak nyambung, Quraish Shihab pun melempar pembelaan bahwa statemennya telah dipelintir, dikutip sepotong dan di luar konteksnya oleh orang yang mengkritiknya.
Di bagian akhir ceramah, Quraish Shihab memang menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan diberikan sesuatu yang menjadikan beliau merasa puas dengan anugerah Tuhan, yang itu dipahami dengan surga. Memang paradoks. Dari sisi manapun, tidak boleh untuk dikatakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendapat jaminan surga dari Allah ta’ala. Sudah begitu, tidak benar pula cara pendalilannya.
Sebagai tambahan : Ada yang perlu dirinci dari pembahasan ini. Selain Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, memang tidak boleh memastikan seseorang dari kalangan umatnya yang masuk surga atau neraka kecuali ada dalil yang menunjukkannya. Diantara orang yang dipastikan masuk surga berdasarkan dalil adalah Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Thalhah, Az-Zubair, Sa’d bin Waqqaash, ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, dan Sa’iid bin Zaid radliyallaahu ‘anhum.[9]Juga ‘Aaisyah, Sa’d bin Mu’aadz[10], dan yang lainnya yang terdapat dalam nash-nash. Adapun orang-orang yang dipastikan masuk neraka antara lain adalah : Abu Lahab, Abu Jahl, ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul, dan yang lainnya yang terdapat dalam nash-nash.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 20072014 – 17:50].




[1]     Beliau lahir di Rappang, tanggal 16 Februari 1944.
[2]     Berikut transkripnya:
Host:“Nabi Muhammad kan istilahnya sudah dijamin sebagai manusia yang paling mulia yang masuk surga gitu. Nah, untuk kita-kita manusia-manusia yang hidup di masa sekarang atau masa depan e masa yang akan datang gitu... apakah ada kemungkinan untuk bisa mengejar status seperti itu pak Quraish. Paling tidak ya.... hampir seper-berapanya lah gitu agar kita merasa yakin......”
Quraish Shihab :“Ya....ya....ya... Satu hal dulu....tidak benar, saya ulangi, tidak benar bahwa Nabi Muhammad sudah dapat jaminan surga....ehhh.. Surga itu hak prerogatif Allah.... Ya to. Memang kita yakin bahwa beliau... (kurang jelas). Kenapa saya katakan begitu, pernah ada seorang shahabat Nabi kenal orang baik. Terus teman-temannya di sekitarnya berkata : "Bahagialah engkau akan mendapat surga”. Nabi dengar : “Siapa yang bilang begitu tadi ?”. Nabi berkata : “Tidak seorang pun yang masuk surga karena amalnya. Kamu berkata dia baik amalnya jadi dijamin masuk surga”. Surga hak prerogatif Tuhan. Terus ditanya : “Kamu pun tidak wahi Nabi Muhammad ?”. (Beliau menjawab) : “Saya pun tidak, kecuali kalau Allah menganugerahkan rahmat kepada saya”.
Jadi kita berkata dalam konteks surga dan neraka tidak ada yang dijamin Tuhan kecuali kita katakan bahwa Tuhan menulis di dalam kitab suci-Nya bahwa yang taat itu akan mendapat surga.
Host : “Hmmm.... ada ayatnya ya”.
Quraish Shihab : “Ada ayatnya..... Bahwa Nabi Muhammad akan diberikan sesuatu yang menjadikan beliau itu merasa puas dengan anugerah Tuhan. Kita pahami itu, surga dan apapun yang beliau kehendaki. Tapi buat kita, kita, kiyai sebesar apapun, setaat apapun jangan pastikan bahwa dia masuk surga. Sebaliknya, manusia sedurhaka apapun jangan pastikan bahwa dia pasti masuk neraka”.
[selesai kutipan transkrip].
Berikut cuplikan videonya:
Video yang lebih lengkapnya (agar tidak disangka ‘memotong’ perkataan Quraish Shihab) dapat Anda simak berikut (sesi cuplikan video sebelumnya mulai di menit 19:15) :
[3]     Sebelumnya, Quraish Shihab juga pernah berpetuah ngawur tentang jilbab sebagaimana cuplikan video berikut:
Perlu ruang khusus untuk mengomentari perkataan ngawur beliau ini.
[4]     Jaami’ul-Bayaan, 20/235.
[5]     Ini seperti analog dalam kehidupan sehari-hari. Seorang bapak berpesan kepada anaknya : “Contohlah di Budi jika kamu ingin pintar”. Jika Budi bukan orang yang pintar, maka anjuran bapak tadi sia-sia dan tak bermakna.
[6]     Berdasarkan riwayat:
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ يَزِيدَ الْكَاهِلِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَ: "سَأَلْتُهَا عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ، قَالَتْ: "نَهَرٌ أُعْطِيَهُ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاطِئَاهُ عَلَيْهِ دُرٌّ مُجَوَّفٌ آنِيَتُهُ كَعَدَدِ النُّجُومِ "
Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Yaziid Al-Kaahiliy : Telah menceritakan kepada kami Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari Abu ‘Ubaidah, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa; ‘Ubaidah berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Aaisyah tentang firman Allah ta’ala : ‘innaa a’thainaakal-kautsar’ (QS. Al-Kautsar : 1). Ia (‘Aaisyah) menjawab : “Sungai yang diberikan kepada Nabi kalian shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kedua tepinya terdapat mutiara yang berlubang. Bejana-bejananya sejumlah bintang di langit” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4965].
[7]     Sebagaimana hal itu diulang Quraish Shihab dalam klarifikasinya atas statementnya di atas berikut:
Tentang Tayangan Tafsir al-Mishbah 12 Juli 2014
Kepada yang meminta klarifikasi langsung, berikut jawaban saya:
Uraian tersebut dalam konteks penjelasan bahwa amal bukanlah sebab masuk surga, walau saya sampaikan juga bahwa kita yakin bahwa Rasulullah akan begini (masuk surga). Penjelasan saya berdasar hadist a.l.:
لا يدخل احدكم الجنة بعمله قيل حتى انت يا رسول الله قال حتى
انا الا ان يتغمدني الله برحمنه
Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya. Sahabat bertanya “Engkau pun tidak?”, beliau menjawab “Saya pun tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku.”
Ini karena amal baik bukan sebab masuk surga tapi itu hak prerogatif Allah.
Uraian di atas bukan berarti tidak ada jaminan dari Allah bahwa Rasul tidak masuk surga, saya jelaskan juga di episode yang sama bahwa Allah menjamin dengan sumpah-Nya bahwa Rasulullah SAW akan diberikan anugerah-Nya sampa beliau puas, yang kita pahami sebagai Surga dan apapun yang beliau kehendaki. Wa la sawfa yu’thika rabbuka fa tharda. Itu yang saya jelaskan tapi sebagian dipelintir, dikutip sepotong dan di luar konteksnya. Silakan menyimak ulang penjelasan saya di episode tersebut. Mudah-mudahan yg menyebarkan hanya karena tidak mengerti dan bukan bermaksud memfitnah. [M. Quraish Shihab].
[8]     Silakan baca penjelasan hadits ini pada artikel : Masuk Surga karena Amal (atau Rahmat Allah) ?.
[9]     Dalilnya adalah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ عَنْ ابْنِ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا حُصَيْنٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ يَسَافٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ ظَالِمٍ وَسُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ يَسَافٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ ظَالِمٍ الْمَازِنِيِّ ذَكَرَ سُفْيَانُ رَجُلًا فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ ظَالِمٍ الْمَازِنِيِّ قَالَ سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ قَالَ لَمَّا قَدِمَ فُلَانٌ إِلَى الْكُوفَةِ أَقَامَ فُلَانٌ خَطِيبًا فَأَخَذَ بِيَدِي سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ فَقَالَ أَلَا تَرَى إِلَى هَذَا الظَّالِمِ فَأَشْهَدُ عَلَى التِّسْعَةِ إِنَّهُمْ فِي الْجَنَّةِ وَلَوْ شَهِدْتُ عَلَى الْعَاشِرِ لَمْ إِيثَمْ قَالَ ابْنُ إِدْرِيسَ وَالْعَرَبُ تَقُولُ آثَمُ قُلْتُ وَمَنْ التِّسْعَةُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى حِرَاءٍ اثْبُتْ حِرَاءُ إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكَ إِلَّا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدٌ قُلْتُ وَمَنْ التِّسْعَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ قُلْتُ وَمَنْ الْعَاشِرُ فَتَلَكَّأَ هُنَيَّةً ثُمَّ قَالَ أَنَا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-‘Alaa’, dari Ibnu Idriis : Telah menceritakan kepada kami Hushain, dari Hilaal bin Yasaaf, dari ‘Abdullah bin Dhaalim - dan Sufyaan, dari Manshuur, dari Hilaal bin Yisaaf, dari ‘Abdullah bin Dhaalim Al-Maaziniy. Sufyan menyebutkan seorang laki-laki yang berada antara dirinya dengan Abdullah bin Dhaalim Al-Maaziniy - ia berkata : Aku mendengar Sa'iid bin Zaid bin ‘Amru bin Nufail, ia berkata : Ketika si Fulan tiba di Kuufah, ia lalu berkhutbah. Maka Sa'id bin Zaid meraih tanganku dan berkata : "Tidakkah kamu lihat orang dhalim ini ? Aku bersaksi bahwa kesembilan orang itu adalah ahli surga, dan jika aku bersaksi untuk orang yang kesepuluh, maka aku tidak akan berdosa". - Ibnu Idriis (perawi) berkata : "Orang-orang Arab mengatakan : aatsam” - Aku (‘Abdullah bin Dhaalim) bertanya : "Lantas siapa kesembilan orang itu ?". Ia menjawab : "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda saat berada di Hiraa’ : ‘Diamlah wahai Hiraa’ ! Tidaklah ada di atasmu kecuali nabi, shiddiiq, dan syahiid". Aku lalu bertanya lagi : "Siapa kesembilan orang itu?". Ia menjawab : "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Thalhah, Az-Zubair, Sa'd bin Abi Waqqaash, dan 'Abdurrahman bin ‘Auf". Aku bertanya lagi : "Siapa yang kesepuluh ?". Lalu ia merasa ragu-ragu, namun akhirnya ia berkata : "Itu adalah aku" [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4648].
[10]    Dalilnya adalah:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا فَضْلُ بْنُ مُسَاوِرٍ خَتَنُ أَبِي عَوَانَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "اهْتَزَّ الْعَرْشُ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsanna : Telah menceritakan kepada kami Fadhl bin Musaawir menantu Abu ‘Awaanah : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyaan, dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu: Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “’Arasy terguncang karena kematian Sa’d bin Mu’aadz” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3803].
Viewing all 594 articles
Browse latest View live