Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Boikot

$
0
0
Tanya : Apa hukum memboikot produk-produk orang kafir yang melakukan kedhaliman (penindasan) terhadap kaum muslimin, seperti memboikot produk-produk Yahudi dan produk-produk yang dihasilkan oleh produsen yang membela kepentingan Yahudi?.
Jawab : Para ulama telah menjelaskan bahwa asal hukum memboikot produk-produk orang kafir adalah diperbolehkan, dan jika ada maslahat syar’iy dalam pemboikotan tersebut, maka ia dapat dihukumi sunnah atau bahkan wajib.
Dalil-dalil tentang masyru’nya pemboikotan antara lain adalah:
Firman Allah ta’ala:
وَلَمَّا جَهَّزَهُمْ بِجَهَازِهِمْ قَالَ ائْتُونِي بِأَخٍ لَكُمْ مِنْ أَبِيكُمْ أَلا تَرَوْنَ أَنِّي أُوفِي الْكَيْلَ وَأَنَا خَيْرُ الْمُنْزِلِينَ * فَإِنْ لَمْ تَأْتُونِي بِهِ فَلا كَيْلَ لَكُمْ عِنْدِي وَلا تَقْرَبُونِ
Dan tatkala Yusuf menyiapkan untuk mereka bahan makanannya, ia berkata: "Bawalah kepadaku saudaramu yang se ayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan sukatan dan aku adalah sebaik-baik penerima tamu?. Jika kamu tidak membawanya kepadaku, maka kamu tidak akan mendapat sukatan lagi dari padaku dan jangan kamu mendekatiku” [QS. Yuusuf : 59-60].
Sisi pendalilan : Yuusuf ‘alaihis-salaam menjadikan ditahannya makanan kepada saudara-saudaranya sebagai sarana (wasiilah) untuk membawa saudaranya (Bunyamin) kepadanya.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka” [QS. At-Taubah : 73].
Sisi pendalilan : Jalan pemboikotan/pemutusan hubungan perdagangan (jual-beli) merupakan salah satu jalan melawan orang kafir dan munafiq dengan cara memberikan kemudlaratan secara ekonomi, sehingga ia termasuk dalam cabang jihad secara umum.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلا نَصَبٌ وَلا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلا إِلا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih” [QS. At-Taubah : 120].
Sisi pendalilan : pemboikotan perdagangan merupakan salah satu upaya yang menyebabkan bencana, kesulitan, dan kemudlaratan bagi orang kafir.
Dari hadits :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، قَالَ: حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ، يُقَالُ لَهُ: ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ، فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ؟ "فَقَالَ: عِنْدِي خَيْرٌ يَا مُحَمَّدُ، إِنْ تَقْتُلْنِي تَقْتُلْ ذَا دَمٍ، وَإِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْمَالَ، فَسَلْ مِنْهُ مَا شِئْتَ، فَتُرِكَ حَتَّى كَانَ الْغَدُ، ثُمَّ قَالَ لَهُ: "مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ؟ "قَالَ: مَا قُلْتُ لَكَ: إِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ، فَتَرَكَهُ حَتَّى كَانَ بَعْدَ الْغَدِ، فَقَالَ: "مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ؟ "فَقَالَ: عِنْدِي مَا قُلْتُ لَكَ، فَقَالَ: "أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ "، فَانْطَلَقَ إِلَى نَجْلٍ قَرِيبٍ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، يَا مُحَمَّدُ وَاللَّهِ مَا كَانَ عَلَى الْأَرْضِ وَجْهٌ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ وَجْهِكَ، فَقَدْ أَصْبَحَ وَجْهُكَ أَحَبَّ الْوُجُوهِ إِلَيَّ، وَاللَّهِ مَا كَانَ مِنْ دِينٍ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ دِينِكَ، فَأَصْبَحَ دِينُكَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيَّ، وَاللَّهِ مَا كَانَ مِنْ بَلَدٍ أَبْغَضُ إِلَيَّ مِنْ بَلَدِكَ، فَأَصْبَحَ بَلَدُكَ أَحَبَّ الْبِلَادِ إِلَيَّ، وَإِنَّ خَيْلَكَ أَخَذَتْنِي وَأَنَا أُرِيدُ الْعُمْرَةَ، فَمَاذَا تَرَى؟ فَبَشَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَهُ أَنْ يَعْتَمِرَ، فَلَمَّا قَدِمَ مَكَّةَ، قَالَ لَهُ قَائِلٌ: صَبَوْتَ، قَالَ: لَا، وَلَكِنْ أَسْلَمْتُ مَعَ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا وَاللَّهِ لَا يَأْتِيكُمْ مِنْ الْيَمَامَةِ حَبَّةُ حِنْطَةٍ حَتَّى يَأْذَنَ فِيهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Sa’iid bin Abi Sa’iid, bahwasannya ia mendengar Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim pasukan berkuda menuju Najd. Mereka kembali dengan membawa tawanan seseorang dari Bani Haniifah yang bernama Tsumaamah bin Atsaal. Lalu mereka mengikatnya pada salah satu tiang diantara tiang-tiang masjid. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan bersabda kepadanya : “Apa yang engkau miliki wahai Tsumaamah?”. Ia menjawab : “Aku memiliki yang lebih baik wahai Muhammad.  Jika engkau membunuhku maka engkau telah membunuh orang yang memiliki darah. Jika engkau memberi (kebebasan), maka engkau telah memberi pada orang yang tahu berterima kasih. Jika engkau menginginkan harta, maka mintalah apa yang engkau minta”. Lalu ia pun ditinggalkan hingga keesokan harinya. Beliau bersabda : “Apa yang engkau miliki wahai Tsumaamah ?”. Ia menjawab : “Apa yang telah aku katakan kepadamu (sebelumnya). Jika engkau berbuat baik, maka engkau telah berbuat baik pada orang yang tahu berterima kasih”. Maka beliau meninggalkannya hingga keesokan harinya. Beliau kembali bersabda : “Apa yang engkau miliki wahai Tsumaamah ?”. Ia menjawab : “Aku memiliki apa yang telah aku katakan kepadamu sebelumnya”. Beliau bersabda : “Bebaskan Tsumaamah”. Lalu ia pergi ke sebuah batang phon kurma di dekat masjid, dan kemudian mandi. Setelah itu ia masuk masjid dan berkata : “Aku bersaksi tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah. Wahai Muhammad, dulu tidak ada wajah seorang pun di muka bumi ini yang paling aku benci daripada wajahmu. Namun sekarang, wajahmu adalah wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, dulu tidak ada agama yang paling aku benci daripada agamamu. Namun sekarang, agamamu adalah agama yang paling aku cintai. Demi Allah, dulu tidak ada negeri yang paling aku benci daripada negerimu ini. Namun sekarang, negerimu adalah negeri yang paling aku cintai. Dan sesungguhnya pasukanmu telah menangkapku, sedangkan aku hendak melaksanakan ‘umrah. Bagaimana pendapatmu ?”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan kabar gembira dan memerintahkannya untuk melaksanakan ‘umarh. Ketika ia sampai di Makkah, seseorang berkata kepadanya (Tsumaamah) : “Apakah engkau telah murtad ?”. Tsumaamah menjawab : “Tidak, namun aku telah memeluk agama Islam bersama Muhammad Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah, engkau tidak akan mendapatkan gandum dari Yamaamah hingga diizinkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4372].
Sisi pendalilan : Tsumaamah memberikan ultimatum bahwa orang kafir di Makkah tidak akan mendapatkan pasokan gandum dari wilayahnya hingga diizinkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah salah satu bentuk pemboikotan perdagangan yang dilakukan Tsumaamah. Perbuatannya sama sekali tidak diingkari oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat lainnya.
Akad muamalah maaliyyah (yang berkaitan dengan harta) masuk dalam bab sarana (wasilah), bukan tujuan [lihat : Al-Mughniy, 6/7]. Maka, hukum muamalah mengikuti tujuannya. Jika tujuannya adalah untuk jihad di jalan Allah ta’ala memberikan kemudlaratan kepada orang kafir, maka muamalah tersebut disyari’atkan.
Hukum pemboikotan ada beberapa keadaan:
1.     Apabila diperintahkan ulil-amri.
Dalam keadaan ini, wajib hukumnya untuk melakukan pemboikotan berdasarkan firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Dengar dan taatlah, meskipun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak Habsyiy yang kepalanya seperti kismis” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 693 & 696 & 7142, Ibnu Maajah no. 2860, dan yang lainnya, dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu].
Perintah ulil amri didapat melalui pertimbangan adanya kemaslahatan umum dan menolak adanya mafsadat. Dan memang seharusnya begitu,sebagaimana kaedah:
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan imam terhadap rakyat harus dikaitkan pada kemaslahatan”.
2.     Apabila tidak diperintahkan ulil-amri; maka dalam hal ini ada dua keadaan:
a.      Ia yakin atau berprasangka kuat bahwa hasil/keuntungan dari muamalah jual-beli dengan kuffar dipergunakan untuk memerangi kaum muslimin, melakukan kekufuran, atau keharaman lainnya; maka harambermuamalah dengan mereka dan wajib untuk memboikotnya.
Misalnya : Menjual senjata kepada orang kafir harbi, atau menjual semen kepada orang yang menggunakannya untuk membuat berhala. Atau bermuamalah dengan orang yang hasil muamalahnya itu diketahui dipergunakan membeli senjata untuk memerangi kaum muslimin, atau mendirikan kuil dan gereja tempat ibadah orang kafir; maka haram hukumnya bermuamalah dengan mereka sehingga wajib memboikot mereka.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى جَوَاز مُعَامَلَة أَهْل الذِّمَّة وَغَيْرهمْ مِنْ الْكُفَّار إِذَا لَمْ يَتَحَقَّق تحريم ما مَعَهُ ، لَكِنْ لَا يَجُوز لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَبِيع أَهْل الْحَرْب سِلَاحًا وَآلَة حَرْب ، وَلَا مَا يَسْتَعِينُونَ بِهِ فِي إِقَامَة دِينهمْ ، وَلَا بَيْع مُصْحَف ، وَلَا الْعَبْد الْمُسْلِم لِكَافِرٍ مُطْلَقًا . وَاللَّهُ أَعْلَم .
“Kaum muslimin telah bersepakat tentang bolehnya bermuamalah dengan ahludz-dzimmah dan selain mereka dari kalangan orang-orang kafir, selama tidak mengandung keharaman. Akan tetatpi tidak diperbolehkan bagi muslim untuk menjual senjata dan peralatan perang pada orang kafir harbi. Tidak diperbolehkan pula menjual sesuatu yang dapat menolong tegaknya agama mereka, (menjual) mushhaf, dan budak muslim kepada orang kafir secara mutlak, wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 11/40].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang hukum bermuamalah dengan orang Tataar, ia menjawab:
أما معاملة التتار فيجوز فيها ما يجوز فى أمثالهم و يحرم فيها ما يحرم من معاملة أمثالهم فيجوز أن يبتاع الرجل من مواشيهم و خيلهم و نحو ذلك كما يبتاع من مواشي التركمان و الأعراب و الأكراد و خيلهم و يجوز أن يبيعهم من الطعام و الثياب و نحو ذلك ما يبيعه لأمثالهم
 فاما ان باعهم و باع غيرهم ما يعينهم به على المحرمات كالخيل و السلاح لمن يقاتل به قتالا محرما فهذا لا يجوز قال الله تعالى و تعاونوا على البر و التقوى و لا تعاونوا على الاثم و العدوان
“Adapun bermuamalah dengan orang Tataar, diperbolehkan padanya apa saja yang diperbolehkan terhadaporang yang semisal mereka. Begitu juga diharamkan padanya apa saja yang diharamkan dalam perkara muamalah terhadap orang yang semisal mereka. Diperbolehkan bagi seseorang membeli hewan ternak, kuda, dan semacamnya (dari orang Tataar) sebagaimana diperbolehkan membeli hewan ternak dan kuda orang Turkmenistan, A’raab, dan Kurdi. Dan diperbolehkan pula menjual makanan, pakaian, dan yang semacamnya kepada mereka, sebagaimana diperbolehkan menjualnya kepada orang yang semisal mereka.
Adapun ia menjual kepada mereka dan selain mereka sesuatu yang dapat membantu pada hal-hal yang diharamkan, seperti kuda dan senjata pada orang yang melakukan peperangan yang diharamkan, maka tidak diperbolehkan. Allah ta’ala berfirman: ‘Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran’ (QS. Al-Maaidah : 3)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 29/275].
Dasarnya adalah firman Allah ta’ala– sebagaimana telah disebut oleh Ibnu Taimiyyah - :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [QS. Al-Maaidah : 3].
Kewajiban pemboikotan ini dikecualikan untuk barang komoditas yang bersifat dlaruriy atau berkaitan dengan hajat hidup kaum muslimin yang tidak ada penggantinya dimana ia hanya diperoleh denga cara membeli dari orang kafir. Contohnya peralatan kedokteran, peralatan/suku cadang alat tempur/perang, dan yang semisalnya. Ini perlu pertimbangan dari para ulama dan para ahli akan maslahat dan mafsadatnya.
b.      Ia tidak tahu atau tidak yakin atau mempunyai prasangka yang tidak kuat bahwa hasil/keuntungan muamalah tersebut dari muamalah jual-beli dengan kuffar dipergunakan untuk memerangi kaum muslimin, melakukan kekufuran, atau keharaman lainnya; maka muamalah dengan mereka diperbolehkan.
Pembolehan ini merupakan madzhab jumhur ulama meski diketahui bahwa orang kafir memperoleh keuntungan dalam muamalah jual-beli tersebut. Dalilnya adalah:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، قَالَ: تَذَاكَرْنَا عِنْدَ إِبْرَاهِيمَ الرَّهْنَ وَالْقَبِيلَ فِي السَّلَفِ، فَقَالَ إِبْرَاهِيمُ: حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, ia berkata : Kami pernah mengadakan diskusi di sisi Ibraahiim tentang gadai dan pembayaran tunda dalam jual beli. Lalu Ibraahiim berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Aswad, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran tunda, yang beliau menggadaikan baju besinya (untuk itu)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2509].
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ مُشْرِكٌ مُشْعَانٌّ طَوِيلٌ بِغَنَمٍ يَسُوقُهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَيْعًا أَمْ عَطِيَّةً، أَوْ قَالَ أَمْ هِبَةً، قَالَ: لَا، بَلْ بَيْعٌ فَاشْتَرَى مِنْهُ شَاةً "
Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan, dari ayahnya, dari Abu ‘Utsmaan, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian datanglah seorang laki-laki musyrik yang tingginya lebih dari rata sambil menggiring kambingnya. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kambing itu mau dijual atau diberikan ?” – atau beliau bersabda : “atau dihadiahkan ?”. Laki-laki itu menjawab : “Dijual”. Maka beliau pun membeli darinya seekor kambingnya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2216].
Al-Bukhaariy rahimahullah memasukkan hadits di atas (no. 2216) dalam kitab Shahiih-nya pada bab:
باب الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ وَأَهْلِ الْحَرْبِ
Bab : Jual Beli dengan Orang-Orang Musyrik dan Orang Kafir Harbi”.
Ibnu Hibbaan membawakan hadits tersebut (no. 1239), dan kemudian berkata:
فِي هَذَا الْخَبَرِ دَلِيلٌ عَلَى إِبَاحَةِ التِّجَارَةِ إِلَى دُورِ الْحَرْبِ لأَهْلِ الْوَرَعِ
“Dalam khabar/hadits ini terdapat dalil diperbolehkannya aktivitas perdagangan di daarul-harb bagi orang yang wara’” [Shahiih Ibni Hibbaan, 4/44].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
قَوْلُهُ : ( بَابُ الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ وَأَهْلِ الْحَرْبِ )
قَالَ اِبْنُ بَطَّالٍ : مُعَامَلَةُ الْكُفَّارِ جَائِزَةٌ ، إِلَّا بَيْعَ مَا يَسْتَعِينُ بِهِ أَهْلُ الْحَرْبِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ . ...... وَفِيهِ جَوَازُ بَيْعِ الْكَافِرِ وَإِثْبَاتُ مِلْكِهِ عَلَى مَا فِي يَدِهِ
“Perkataannya : (Bab : Jual Beli dengan Orang-Orang musyrik dan Kafir Harbi). Ibnu Baththaal berkata : “Muamalah dengan orang kafir diperbolehkan, kecuali menjual sesuatu yang dapat menolong orang kafir harbi memerangi kaum muslimin. ….. Dan dalam hadits tersebut terdapat faedah diperbolehkannya pembeliaan orang kafir dan penetapan atas kepemilikan barang yang ada di tangannya” [Fathul-Baariy, 4/410].
Namun, jika seseorang yang melakukan pemboikotan dalam keadaan ini memandang bahwa dalam pemboikotannya tersebut terdapat maslahat dalam melemahkan perekonomian orang kafir, maka pemboikotan tersebut dianjurkan. Dalilnya adalah sebagaimana disebutkan di awal artikel.
Atau ia sekedar berniat melakukan pemboikotan untuk turut andil berjihad membela kaum muslimin dengan melemahkan perekonomian orang kafir, pemboikotan itupun dianjurkan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Setiap  perbuatan hanyalah tergantung niatnya.  Dan sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1, Muslim no. 1907, Abu Dawud no. 2201, At-Tirmidzi no. 1647, dan yang lainnya].
Tidak ada larangan apapun bagi kita untuk tidak membeli produk-produk orang kafir dan pro kafir seandainya kita memang mampu untuk tidak membeli dan mendapatkan substitusinya dari produk yang lain. Pemboikotan ini akan berdampak besar jika dilakukan melalui gerakan massal, apalagi diserukan oleh ulil-amri. Seandainya dilakukan oleh individu, meski dampaknya lebih kecil – atau katakanlah sangat kecil – maka ia tetap akan diberi pahala sesuai dengan niatnya, insya Allah.
Apakah pemboikotan ini dipersyaratkan harus ada izin dari imam ?. Yang raajihwallaahu a’lam– tidak dipersyaratkan izin dari imam, karena Tsumaamah ketika memboikot orang kafir Makkah atas inisiatifnya sendiri tanpa ada perintah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya.
Masyru’-nya pemboikotan produk kafir ini telah difatwakan oleh banyak masyayikh Ahlus-Sunnah seperti Asy-Syaikh Ahmad Syaakir, Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Si’diy, Asy-Syaikh Al-Albaaniy, Asy-Syaikh Ibnu Jibriin rahimahumullah, Asy-Syaikh Al-Barraak, Asy-Syaikh Ar-Raaijihiy hafidhahumallah, dan yang lainnya.
Semoga jawaban ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’ – wonogiri – 1 syawwal 1435 H – 2:50]

Bersin

$
0
0
Semua orang normal pasti pernah bersin, namun banyak di antara mereka yang tidak mengetahui sunnah-sunnah yang dilakukan ketika bersin. Berikut akan disebutkan beberapa riwayat yang menyebutkan tuntunan adab tersebut, semoga bermanfaat.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَزِيرٍ الْوَاسِطِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ، عَنْ سُمَيٍّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا عَطَسَ غَطَّى وَجْهَهُ بِيَدِهِ أَوْ بِثَوْبِهِ وَغَضَّ بِهَا صَوْتَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Waziir Al-Waasithiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Muhammad bin ‘Ajlaan, dari Sumaiy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamapabila bersin, beliau menutupi wajahnya dengan tangannya atau dengan pakaiannya, seraya merendahkan suara (bersin)-nya [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2745, dan ia berkata : ‘hadits hasan shahih’].
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ، وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ، فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ، فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ، وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِذَا قَالَ: هَا ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ
Telah menceritakan kepada kami Aadam bin Abi Iyaas : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid Al-Maqburiy, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Oleh karena itu, apabila salah seorang dari kalian bersin lalu ia memuji Allah, maka kewajiban bagi setiap muslim yang mendengarnya untuk bertasymit (mengucapkan yarhamukallaah). Adapun menguap, maka tidaklah ia datang kecuali dari setan. Maka, hendaklah menahannya (menguap) semampunya. Jika ia sampai mengucapkan ‘haaah’, maka setan akan tertawa karenanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6223].
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ، فَإِذَا قَالَ لَهُ: يَرْحَمُكَ اللَّهُ، فَلْيَقُلْ يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Maalik bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Salamah : Telahmengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Diinaar, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan : ‘Alhamdulillah (segala puji hanya untuk Allah)’. Dan saudara atau rekannya (yang mendengar ucapan tersebut) hendaknya mengucapkan kepadanya : ‘yarhamukallaah(semoga Allah memberikan rahmat kepadamu)’. Apabila rekannya tersebut mengucapkan kepadanya ‘yarhamukallah’, hendaknya ia membalas : ‘yahdiikumullahu wa yushlihu baalakum (semoga Allah memberikan hidayah kepa kalian dan memperbaiki keadaan kalian)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6224].
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيل، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ، وَلْيَقُلْ أَخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ: يَرْحَمُكَ اللَّهُ، وَيَقُولُ هُوَ: يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Abi Salamah, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan : ‘Alhamdulillahi ‘alaa kulli haal (segala puji bagi Allah dalam segala kondisi)’. Dan saudara atau rekannya (yang mendengar ucapan tersebut) hendaknya mengucapkan : ‘yarhamukallaah’. Dan hendaknya ia (yang bersin) membalas : ‘yahdiikumullahu wa yushlihu baalakum” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 5033; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud, 3/236].
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا رِفَاعَةُ بْنُ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيُّ، عَنْ عَمِّ أَبِيهِ  مُعَاذِ  بْنِ رِفَاعَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسْتُ، فَقُلْتُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ، فَقَالَ: "مَنِ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ؟ "فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّانِيَةَ: "مَنِ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ؟ "فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّالِثَةَ: "مَنِ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ "فَقَالَ رِفَاعَةُ بْنُ رَافِعٍ ابْنُ عَفْرَاءَ: أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: "كَيْفَ قُلْتَ؟ "قَالَ: قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدِ ابْتَدَرَهَا بِضْعَةٌ وَثَلَاثُونَ مَلَكًا أَيُّهُمْ يَصْعَدُ بِهَا ".
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Rifaa’ah bin Yahyaa bin ‘Abdillah bin Rifaa’ah bin Raafi’ Az-Zuraqiy, dari paman ayahnya, dari ayahnya, ia berkata : Aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku bersin. Aku mengucapkan : ‘Alhamdulillahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi mubaarakan ‘alaihi kamaa yuhibbu Rabbunaa wa yardlaa (segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak, baik, diberkahi di dalamnya serta diberkahi di atasnya, sebagaimana Rabb kami senang dan ridla)’. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau berpaling seraya bersabda :“Siapakahyang berbicara tadi waktu shalat?”.Tidak ada seorang pun yang menjawab, sehingga beliau bertanya untuk kedua kalinya : “Siapakah yang berbicara tadi waktu shalat?”. Tidak ada seorang pun yang menjawab, sehingga beliau bertanya untuk ketiga kalinya :“Siapakah yang berbicara tadi waktu shalat?”.  Maka Rifaa’ah bin Raafi’ bin ‘Afraa’ berkata : “Aku wahai Rasulullah”. Beliau bersabda : “Apa yang engkau ucapkan tadi?”.Aku menjawab: Aku mengucapkan : ‘Alhamdulillahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi mubaarakan ‘alaihi kamaa yuhibbu Rabbunaa wa yardlaa”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ada tiga puluh lebih malaikat saling berebut untuk membawa naik kalimat tersebut” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 404, dan ia berkata : ‘hadits hasan’].
أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَمَّا نَفَخَ فِي آدَمَ، فَبَلَغَ الرُّوحُ رَأْسَهُ عَطَسَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَقَالَ لَهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَرْحَمُكَ اللَّهُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khaalid : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketika Allah meniup ruuh pada diri Aadam, maka sampailah ruh di kepalanya, Aadam pun bersin. Lalu ia mengucapkan : ‘Alhamdulillahi Rabbil-‘aalamiin (segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam)’. Allah tabaaraka wa ta’alaa berfirman kepadanya : ‘Yarhamukallah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 6165; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dalam takhriij Shahiih Ibni Hibbaan 14/37].
حَدَّثَنَا حَامِدُ بْنُ عُمَرَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي جَمْرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ إِذَا شمّت عَافَانَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ النَّارِ، يَرْحَمُكُمُ اللَّهُ "
Telah menceritakan kepada kami Haamid bin ‘Umar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Abu Jamrah, ia berkata : Aku mendengar Ibnu ‘Abbaas mengucapkan tasymiit : ‘’Aafaanallaahu wa iyyaakum minan-naar, yarhamukumullah (semoga Allah menyelamatkan kami dan kalian dari api neraka, dan semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 929; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad hal. 343-344].
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا عَطَسَ، فَقِيلَ لَهُ: يَرْحَمُكَ اللَّهُ، قَالَ: "يَرْحَمُنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ وَيَغْفِرُ لَنَا وَلَكُمْ "
Dari Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar apabila bersin, lalu dikatakan kepadanya : ‘Yarhamukallah’. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Yarhamunallaahu wa iyyaakum wa yaghfiru lanaa wa lakum (semoga Allah memberikan rahmat kepada kami dan kepada kalian, dan semoga Allah memberikan ampunan kepada kami dan kepada kalian)” [Diriwayatkan oleh Maalik no. 1939; dishahihkan oleh Saliim Al-Hilaaliy dalam Takhrij Al-Muwaththa’ 4/443].
أَخْبَرَنَا أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ، أنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْقَطَّانُ، نا أَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ السَّلَمِيُّ، نا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أنا سُفْيَانُ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السَّلَمِيِّ، أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ، كَانَ يَقُولُ: "إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلِ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَلْيَقُلْ مَنْ يَرُدُّ عَلَيْهِ: يَرْحَمُكُمُ اللَّهُ، وَلْيَقُلْ: يَغْفِرُ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ ".هَذَا مَوْقُوفٌ، وَهُوَ الصَّحِيحُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir Al-Faqiih : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Qaththaan : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuusuf As-Sulamiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy : Bahwasannya Ibnu Mas’uud pernah berkata : “Apabila salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan : ‘Alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin’. Dan orang yang menjawabnya hendaklah mengucapkan : ‘Yarhamukumullah(semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian)’. Orang yang bersin tadi hendaknya mengucapkan : ‘Yaghfirullaahu lii wa lakum (semoga Allah memberikan ampunan kepadaku dan kepada kalian)’” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaanno. 9342; dan ia berkata : ‘Riwayat ini mauquuf, dan itulah yang shahih’].
Dalam riwayat Al-Haakim, Ibnu Mas’uud berkata:
إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ، فَلْيَقُلِ: الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلْيُقَلْ لَهُ: يَرْحَمُكُمُ اللَّهُ، فَإِذَا قِيلَ لَهُ: يَرْحَمُكُمُ اللَّهُ، فَلْيَقُلْ: يَغْفِرُ اللَّهُ لَنَا وَلَكُمْ
Apabila salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan : ‘Alhamdulillah. Dan hendaklah dikatakan kepadanya : ‘Yarhamukumullah’. Dan apabila dikatakan kepadanya ‘yarhamukumullah, hendaklah ia mengucapkan : ‘Yaghfirullaahu lanaa wa lakum (semoga Allah memberikan ampunan kepada kami dan kepada kalian)” [Al-Mustadrak, 4/262-263].
حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الأَحْمَرُ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ قَالَ: "كَانَ أَصْحَابُ عَبْدِ اللَّهِ إِذَا عَطَسَ الرَّجُلُ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ، قَالُوا: يَرْحَمُنَا اللَّهُ وَإِيَّاكَ، وَيَقُولُ هُوَ: يَغْفِرُ اللَّهُ لَنَا وَلَكُمْ
Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Adalah shahabat-shahabat ‘Abdullah (bin Mas’uud) apabila ada seseorang bersin mengucapkan ‘alhamdulillah’, mereka mengucapkan : ‘yarhamunallaahu wa iyyaaka’. Dan orang yang bersin itu menjawab : ‘yaghfirullaahu lanaa wa lakum” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 26400; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلَامِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Abi Salamah, dari Al-Auzaa’iy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Syihaab, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Sa’iid bin Al-Musayyib : Bahwasannya Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu pernah berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hak seorang muslim terhadap muslim lainnya ada lima : menjawab salam, menjenguk orang yang sakit, mengikuti jenazah (hingga ke kuburnya), memenuhi undangan, dan mengucapkan tasymiit terhadap orang yang bersin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1240].
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ، عَنْ إِيَاسِ بْنِ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يُشَمَّتُ الْعَاطِسُ ثَلَاثًا فَمَا زَادَ، فَهُوَ مَزْكُومٌ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Ikrimah bin ‘Ammaar, dari Iyaas bin Salamah bin Al-Akwa’, dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Orang bersin dibacakan tasymiit sebanyak tiga kali. Selebih dari itu maka ia sedang kena flu" [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 3714; dishahihkan oleh Basyaar ‘Awwaad Ma’ruuf dalam Takhriij Sunan Ibni Maajah 4/5/285].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ دَيْلَمَ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: "كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ: "يَرْحَمُكُمُ اللَّهُ، فَيَقُولُ: يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Hakiim bin Dailam, dari Abu Burdah, dari Abu Muusaa, ia berkata : “Dulu ada seorang Yahudi bersin di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan mengharapkan agar beliau mengucapkan kepada mereka ‘yarhamukumullah’. Namun beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan : ‘yahdikumullahu wa yushlihu baalakum” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2739, dan ia berkata : ‘hadits hasan shahih’].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلامٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَخْلَدٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ: عَطَسَ ابْنٌ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ إِمَّا أَبُو بَكْرٍ، وَإِمَّا عُمَرُ، فَقَالَ: آبَّ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: "وَمَا آبَّ؟ إِنَّ آبَّ اسْمُ شَيْطَانٍ مِنَ الشَّيَاطِينِ جَعَلَهَا بَيْنَ الْعَطْسَةِ وَالْحَمْدِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salaam, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Makhlad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Juraij : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Abi Najiih, bahwasannya ia mendengar Mujaahid berkata : “Seorang anak dari ‘Abdullah bin ‘Umar – mungkin ia Abu Bakr atau ‘Umar (perawi ragu– Abul-Jauzaa’) - bersin, lalu mengucapkan : ‘aaabba’. Ibnu ‘Umar berkata : “Apa itu Aaabba ?. Sesungguhnya Aabba adalah nama setan di antara setan-setan yang sengaja ditempatkan antara bersin dan ucapan tahmiid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 937; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad, hal. 347].
Sebagian faedah yang dapat diambil:
1.     Sesungguhnya Allah mencintai bersin.
Bersin dapat menyehatkan dan menyegarkan badan karena berkaitan dengan proses imunitas.
2.     Disunnahkan untuk menutup wajah dengan tangan atau kain, serta memelankan suara ketika bersin.
3.     Disunnahkan untuk mengucapkan tahmiid ketika bersin, dan wajib bagi yang mendengarnya untuk bertasymit kepadanya.
4.     Mengucapkan tasymiit merupakan hak yang harus ditunaikan seorang muslim apabila ia mendengar muslim lainnya yang bersin (dan mengucapkan tahmiid). Hukumnya adalah fardlu ‘ain bagi setiap yang mendengarnya. Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
أنه ذهب بعض العلماء إلى أن التشميت فرض كفاية، فإذا كنا جماعة وعطس رجل وقال: الحمد لله؛ فقال أحدنا له: يرحمك الله، كفى، وقال بعض العلماء: بل تشميته فرض عين على كل من سمعه؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((كان حقًا على كل من سمعه أن يقول: يرحمك الله)) وظاهر هذا أنه فرض عين؛ فعلى هذا كل من سمعه يقول له: (يرحمك الله)
“Bahwasannya sebagian ulama berpendapat ucapan tasymiit hukumnya fardlu kifaayah. Apabila kita sekelompok orang dan salah seorang bersin seraya mengucapkan ‘alhamdulillah, dan kemudian salah seorang di antara kita mengucapkan yarhamukallaah, mencukupi. Sebagian ulama lain berpendapat ucapan tasymiit hukumnya fardlu ‘ain bagi setiap orang yang mendengarnya, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘wajib bagi setiap orang yang mendengarnya untuk mengucapkan yarhamukallaah’. Dan yang dhahhir hukum permasalahan ini adalah fardlu ‘ain. Oleh karena itu, setiap orang yang mendengarnya mengucapkan padanya yarhamukallaah” [Syarh Riyaadlish-Shaalihiin, 1/272].
5.     Disunnahkan untuk mengeraskan suara pujian kepada Allah (tahmiid) sekedar untuk terdengar oleh orang-orang yang ada di sekitarnya sehingga mereka dapat mengucapkan tasymit kepadanya. Al-Baghawiy rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah:
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يَرْفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّحْمِيدِ حَتَّى يُسْمِعَ مَنْ عِنْدَه حَتَّى يَسْتَحِقَّ التَّشْمِيتَ
“Dalam hadits tersebut merupakan dalil bahwa orang yang bersin hendaknya mengeraskan suaranya dengan tahmiid hingga terdengar oleh orang yang ada di sisinya hingga ia berhak mendapatkan ucapan tasymiit” [Syarhus-Sunnah, 12/307].
Tetap disunnahkan mengucapkan tahmiid ketika bersin meskipun sedang shalat, namun orang yang mendengarnya dilarang mengucapkan tasymiit jika ia sedang shalat karena dapat membatalkan shalatnya.
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ، أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَتَقَارَبَا فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ، قَالَا: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ، قَالَ: بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ، فَقُلْتُ: يَرْحَمُكَ اللَّهُ، فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ، فَقُلْتُ: وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ، مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ؟ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ، فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي، لَكِنِّي سَكَتُّ، فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي، مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ، وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ، فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي، قَالَ: إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ، لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbaah (حِ), dan Abu Bakr bin Abi Syaibah – dan keduanya berdekatan dalam lafadh haditsnya - , mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hajjaaj Ash-Shawwaaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata : Saat aku shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba ada seseorang bersin. Aku kemudian berkata : ‘Yarhamukallaah’ (semoga Allah merahmatimu). Maka orang-orang saling memandangku. Aku pun berkata : ‘Kenapa kalian memandangku demikian ?’. Mereka menepuk-nepuk paha dan aku lihat mereka mengisyaratkan agar aku diam. Akhirnya aku pun diam. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya, demi ayah dan ibuku sebagai tebusannya, aku belum pernah melihat seorang pendidik yang lebih baik dari beliau sebelumnya. Beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, dan tidak pula mencemoohku. Beliau (hanya) bersabda : ‘Sesungguhnya shalat ini tidak boleh sedikitpun dicampuri dengan pembicaraan manusia. Ia hanyalah berisi tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 537].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث : النَّهْي عَنْ تَشْمِيت الْعَاطِس فِي الصَّلَاة ، وَأَنَّهُ مِنْ كَلَام النَّاس الَّذِي يَحْرُم فِي الصَّلَاة وَتَفْسُد بِهِ إِذَا أَتَى بِهِ عَالِمًا عَامِدًا
“Dalam hadits ini merupakan larangan mengucapkan tasymiit bagi orang yang bersin dalam shalat, karena ia termasuk pembicaraan manusia yang diharamkan diucapkan dalam shalat, dan dapat membatalkan shalat apabila dilakukan dalam keadaan mengetahui dan sengaja”.
وَأَمَّا الْعَاطِس فِي الصَّلَاة فَيُسْتَحَبّ لَهُ أَنْ يَحْمَد اللَّه تَعَالَى سِرًّا ، هَذَا مَذْهَبنَا ، وَبِهِ قَالَ مَالِك وَغَيْره ، وَعَنْ اِبْن عُمَر وَالنَّخَعِيّ وَأَحْمَد - رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ - أَنَّهُ يَجْهَر بِهِ ، وَالْأَوَّل أَظْهَر ؛ لِأَنَّهُ ذِكْر ، وَالسُّنَّة فِي الْأَذْكَار فِي الصَّلَاة الْإِسْرَار إِلَّا مَا اِسْتَثْنَى مِنْ الْقِرَاءَة فِي بَعْضهَا وَنَحْوهَا
“Adapun orang yang bersin dalam shalat, maka disunnahkan baginya untuk menggucapkan tahmiid kepada Allah ta’ala secaa pelan (sirr). Inilah madzhab kami. Dan pendapat itulah yang dipegang oleh Maalik dan yang lainnya. Adapun dari Ibnu ‘Umar, An-Nakha’iy, Ahmad – radliyallaahu ‘anhum– berpendapat untuk mengeraskan tahmiid. Pendapat pertama yang lebih benar, karena ia merupakan dzikir. Dan sunnah dalam dzikir-dzikir dalam shalat adalah diucapkan secara pelan, selain yang dikecualikan dari qira’at (Al-Qur’an) di sebagiannya dan yang semisalnya"[Syarh Shahiih Muslim, 5/21].
Namun yang nampak dalam hadits, bacaan tahmiidtersebut dilakukan secara keras sebagaimana jika dilakukan di luar shalat. Tidaklah Mu’aawiyyah bin Al-Hakam mengucapkan tasymiit kecuali karena ia mendengar tahmiid orang yang bersin tadi, wallaahu a’lam.
6.     Barangsiapa yang tidak mengucapkan tahmiid atau mengucapkan dengan suara pelan sehingga tidak terdengar, maka ia tidak berhak mendapatkan ucapan tasymiit.
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: "عَطَسَ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَمَّتَ أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُشَمِّتِ الْآخَرَ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، شَمَّتَّ هَذَا وَلَمْ تُشَمِّتْنِي، قَالَ: إِنَّ هَذَا حَمِدَ اللَّهَ وَلَمْ تَحْمَدِ اللَّهَ "
Telah menceritakan kepada kami Aadam bin Abi Iyaas : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan At-Taimiy, ia berkata : Aku mendengar Anas radliyallaahu ‘anhu berkata : “Dua orang bersin di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau bertasymit kepada salah seorang dari keduanya, namun tidak bertasymit kepada yang lain. Berkatalah orang yang tidak diucapkan tasymit oleh beliau : "Wahai Rasulullah, engkau bertasymit pada orang ini, namun engkau tidak bertasymit kepadaku". Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang ini mengucapkan tahmid, sedangkan engkau tidak mengucapkan tahmid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6225].
7.     Bacaan tahmiid bagi orang yang bersin antara lain adalah :
a.      Alhamdulillah
b.      Alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin
c.      Alhamdulillahi ‘alaa kulli haal.
d.      Alhamdulillahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi mubaarakan ‘alaihi kamaa yuhibbu Rabbunaa wa yardlaa.
Semua bacaan tahmiid merupakan pilihan yang kesemuanya benar.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
اتفق العلماء على أنه يستحب للعاطس أن يقول عقب عطاسه الحمد لله , ولو قال الحمد لله رب العالمين لكان أحسن ,فلو قال الحمد لله على كل حال كان أفضل
“Para ulama sepakat bahwa disunnahkan bagi orang yang bersin untuk mengucapkan setelah bersinnya : Alhamdulillah. Seandainya ia mengucapkan ‘alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin’, lebih baik. Dan apabila ia mengucapkan ‘alhamdulillahi ‘alaa kulli haal’, maka lebih utama” [Al-Adzkaar, hal. 231].
قَالَ الْقَاضِي : وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي كَيْفِيَّة الْحَمْد وَالرَّدّ ، وَاخْتَلَفَتْ فِيهِ الْآثَار ، فَقِيلَ : يَقُول : الْحَمْد لِلَّهِ . وَقِيلَ : الْحَمْد لِلَّهِ رَبّ الْعَالَمِينَ ، وَقِيلَ : الْحَمْد لِلَّهِ عَلَى كُلّ حَال ، وَقَالَ اِبْن جَرِير : هُوَ مُخَيَّر بَيْن هَذَا كُلّه ، وَهَذَا هُوَ الصَّحِيح وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ مَأْمُور بِالْحَمْدِ لِلَّهِ.
“Al-Qaadliy berkata : Para ulama berselisih pendapat tentang kaifiyyahucapan tahmiid dan menjawabnya. Beberapa riwayat dalam masalah tersebut menyebutkan berbeda-beda. Dikatakan, orang yang bersin mengucapkan : Alhamdulillah. Dikatakan pula : ‘alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin’. Dikatakan pula : ‘alhamdulillahi ‘alaa kulli haal’. Ibnu Jariir berkata : ‘Semua itu merupakan pilihan, dan inilah yang benar. Dan mereka (para ulama) bersepakat bahwa orang yang bersin diperintahkan untuk mengucapkan pujian terhadap Allah” [Syarh Shahiih Muslim, 18/120].
8.     Bacaan tasymiit bagi orang yang mendengar tahmiid dari orang yang bersin antara lain adalah:
a.      Yarhamukallaah.
b.      Yarhamukumullaah.
Inilah yang marfuu’.
Ucapan ‘Yarhamunallaahu wa iyyaaka’ sebagaimana diriwayatkan dari shahabat-shahabat Ibnu Mas’uud, secara makna tidak berbeda, hanya saja doa tersebut ditambahkan permohonan limpahan rahmat kepada diri sendiri. Namun demikian, riwayat marfuu’ dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap lebih diutamakan.
Adapun ucapan tasymiit :
a.      ’Aafaanallaahu wa iyyaakum minan-naar, yarhamukumullah - dari riwayat Ibnu ‘Abbaas;
b.      Yarhamunallaahu wa iyyaakum wa yaghfiru lanaa wa lakum– dari Ibnu ‘Umar
Maka kemungkinan tambahan merupakan ijtihad mereka berdua. Sebagaimana sebelumnya, riwayat marfuu’ lebih didahulukan karena siapapun selain Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada kemungkinan keliru atau tidak mengetahui sebagian ilmu yang diketahui oleh yang lain. Dan khususnya Ibnu ‘Umar, jika tambahan tersebut merupakan kelaziman baginya, maka besar kemungkinan ucapan tersebut berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ia ketahui, karena ia (Ibnu ‘Umar) pernah melarangan tambahan bacaan shalawat ketika bersin.
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا حَضْرَمِيٌّ مَوْلَى آلِ الْجَارُودِ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا، أَنْ نَقُولَ: "الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ "
Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Ar-Rabii’ : Telah menceritakan kepada kami Hadlramiy maulaa Aali Al-Jaaruud, dari Naafi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi(segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammengajari kami. Akan tetapi beliau mengajari kami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2738; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/93-94].
Sebagaimana diketahui, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu adalah salah seorang shahabat yang paling bersemangat dalam meniru Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahkan hingga pada hal-hal yang hanya merupakan kebiasaan beliau saja. Kemungkinan ini sangat kuat.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَأَمَّا لَفْظ ( التَّشْمِيت ) فَقِيلَ : يَقُول : يَرْحَمك اللَّه ، وَقِيلَ ، يَقُول : الْحَمْد لِلَّهِ يَرْحَمك اللَّه ، وَقِيلَ : يَقُول : يَرْحَمنَا اللَّه وَإِيَّاكُمْ .
“Al-Qaadliy berkata : Adapun lafadh tasymiit; dikatakan, ia mengucapkan : ‘yarhamukallah’. Dikatakan pula, ia mengucapkan : ‘alhamdulillah, yarhamukallaah’. Dikatakan pula, ia mengucapkan : ‘yarhamunallaah wa iyyaakum’” [Syarh Shahiih Muslim, 18/120].
Catatan :
Saya belum menemukan riwayat yang menyebutkan pensyari’atan lafadh tasymit : ‘alhamdulillah, yarhamukallaah’.
9.     Balasan ucapan tasymiitadalah : ‘yahdiikumullahu wa yushlihu baalakum’.
Adapun ucapan yang ternukil dari Ibnu Mas’uud dan shababat-shahabatnya :
a.      Yaghfirullaahu lii wa lakum
b.      Yaghfirullaahu lanaa wa lakum
maka kemungkinan:
a.      merupakan ijtihadpribadi Ibnu Mas’uud yang kemudian diikuti oleh murid-muridnya, sehingga riwayat marfu’ tetap lebih diutamakan;
b.      merupakan riwayat marfuu’yang ia ketahui berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena ia (Ibnu Mas’uud) – sebagaimana Ibnu ‘Umar – juga merupakan shahabat yang paling ketat dalam pengamalan sunnah. Ia pernah mengoreksi tambahan huruf alif dan wawu dalam bacaan tasyahud yang dilakukan oleh Al-Aswad dan murid-murid Ibnu Mas’uud yang lain.
وَحَدَّثَنَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: نا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الأَسْوَدِ، قَالَ: كَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ فِي الصَّلاةِ، فَيَأْخُذُ عَلَيْنَا الأَلِفَ وَالْوَاوَ
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari Al-Aswad, ia berkata : “Ibnu Mas’uud mengajari kami tasyahud dalam shalat, dan ia mengambil (tambahan) huruf alif dan wawu dari kami” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Musnad-nya no. 1629; shahih].
Kemungkinan ini sangat kuat.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
قَالَ : وَاخْتَلَفُوا فِي رَدّ الْعَاطِس عَلَى الْمُشَمِّت ، فَقِيلَ : يَقُول : يَهْدِيكُمْ اللَّه وَيُصْلِح بَالكُمْ ، وَقِيلَ : يَقُول : يَغْفِر اللَّه لَنَا وَلَكُمْ ، وَقَالَ مَالِك وَالشَّافِعِيّ : يُخَيَّر بَيْن هَذَيْنِ ، وَهَذَا هُوَ الصَّوَاب ، وَقَدْ صَحَّتْ الْأَحَادِيث بِهِمَا .
“Al-Qaadliy : berkata : Para ulama juga berselesih pendapat dalam jawaban orang yang bersin terhadap orang yang mengucapkan tasymiit. Dikatakan, ia mengucapkan : ‘yahdiikumullahu wa yushlihu baalakum’. Dikatakan pula, ia mengucapkan : ‘yaghfirullaahu lanaa wa lakum’. Maalik dan Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Diberikan kebebasan memilih diantara dua bacaan ini’. Inilah pendapat yang benar. Telah shahih beberapa hadits yang menyebutkan dua bacaan tersebut” [Syarh Shahiih Muslim, 18/120-121].
10.   Orang bersin hanya dibacakan tasymit maksimal tiga kali (yaitu untuk tiga kali bersin). Selebih dari itu, maka tidak lagi menjadi kewajiban untuk mengucapkannya, karena orang yang bersin tersebut menderita flu – atau sebab lainnya.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
إذا تكرر العطاس من الإنسان متتابعاً , فالسنة أن يشمته لكل مرة إلى أن يبلغ ثلاث مرات
“Apabila seseorang bersin berulang kali secara berturutan, maka disunnahkan mengucapkan tasymiit kepadanya untuk setiap kali bersin hingga maksimal tiga kali” [Al-Adzkaar, hal. 233].
11.   Tidak diperbolehkan mengucapkan tasymiit kepada orang kafir yang bersin meskipun ia mengucapkan tahmiid.
12.   Tidak diperbolehkan mendoakan rahmat kepada orang kafir, namun boleh mendoakan agar mereka diberikan hidayah (Islam) dan kebaikan dalam perkara dunia
13.   Dilarang mengucapkan aaabba ketika bersin, karena ia merupakan salah satu nama diantara nama-nama setan. Diriwayat lain, nama Aabba disebutkan dengan sebutan Asyhaab.
حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: عَطَسَ رَجُلٌ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: أَشْهَبُ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: "أَشْهَبُ اسْمُ شَيْطَانٍ، وَضَعَهُ إِبْلِيسُ بَيْنَ الْعَطْسَةِ وَالْحَمْدِ لِيُذْكَرَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid, ia berkata : “Ada seorang laki-laki bersin di sisi Ibnu ‘Umar, lalu laki-laki tersebut berkata : “Asyhab”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Asyhab adalah nama setan yang diletakkanIbliis antara bersin dan ucapan tahmiidagar namanya diingat” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Adabno. 337; shahih].
Wallaahu a’lam.
Semoga artikel ini ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri – 6 Syawal 1435 – 20:20]

‘Udzur Kejahilan dan Iqaamatul-Hujjah bagi Pelaku Istihzaa’ dan Syirik Akbar

$
0
0
Fatwa No. 4440
Pertanyaan:
1 - مسألة ( سب الدين ) هل يحكم بكفر فاعله على الفور، وهل يفرق بين الدين كدين، وهل هذا الفرق موجود أصلاً وكون النساء والأطفال يسبون الدين.
2 - مسألة العذر بالجهل في الاستهزاء باللحية أو النقاب أو القميص أو المسلمين ومسألة سب الدين هل فيهما عذر بالجهل أم لا؟
3 - مسألة (العذر بالجهل) في مواضيع عبادة القبور أو عبادة الطاغوت هل يعذر صاحبها بالجهل.
الرجاء إفادتنا بما من الله عليكم من العلم في هذه المسائل وكذا مسألة (محاربة النشاط الديني هل يعذر موظفوها بالجهل أم لا ) ?
4 - مسألة (إقامة الحجة على المسلم الذي يذبح لغير الله أو يدعو غير الله أو يعاون الطاغوت، هل يقوم بها مسلم عادي عنده علم بهذه المسائل، وهل هناك شروط أخرى لإِقامة الحجة؟
“1 - Masalah (mencela agama) apakah pelakunya langsung dihukumi kafir? Apakah dibedakan antara (menghina) agama atau lainnya? Apakah perbedaan ini benar adanya, dan apa hukumnya seorang wanita dan anak-anak mencela agama?.
2 - Masalah menghina jenggot, cadar, jubah, atau menghina kaum Muslimin serta menghina agama, dengan beralasan karena tidak tahu, apakah alasannya diterima atau tidak?
3 - Masalah (alasan karena tidak tahu) dalam hal menyembah kuburan atau thagut, apakah alasannya diterima?
Mohon penjelasan berdasarkan ilmu yang telah Allah karuniakan kepada Anda dalam masalah-masalah tersebut, dan juga masalah melarang kegiatan keagamaan, apakah diterima atau tidak alasan para pegawainya karena ketidaktahuan mereka?)
4 - Masalah iqamatul hujjah (penegakan argumentasi) kepada orang Islam yang menyembelih hewan dan berdoa kepada selain Allah atau membantu thaghut. apakah seorang Muslim biasa yang memiliki pengetahuan tentang masalah ini dapat memberikan argumentasi atau ada syarat lain untuk melakukan hal itu?”
Jawaban:
1 - الدعوة إلى الله بالحكمة والموعظة الحسنة والمجادلة بالتي هي أحسن أمر مطلوب شرعًا، قال الله سبحانه:  ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ.
2 - ينبغي أن يكون الداعي إلى الله عالمًا بما يأمر به وبما ينهى عنه، فقد يكون عنده حرص على الخير ورغبة ومحبة لنفع الناس ولكن يكون عنده جهل فيحرم الحلال ويحلل الحرام ويظن أنه على هدى.
3 - سب الدين والاستهزاء بشيء من القرآن والسنة والاستهزاء بالمتمسك بهما نظرًا لما تمسك به كإعفاء اللحية وتحجب المسلمة؛ هذا كفر إذا صدر من مكلف، وينبغي أن يبين له أن هذا كفر فإن أصر بعد العلم فهو كافر، قال الله تعالى  قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“1 - Berdakwah kepada Allah dengan hikmah (bijak), pelajaran yang baik, dan perdebatan dengan cara yang baik adalah hal yang sangat dianjurkan dalam syari'at Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : ‘Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk’ (QS. An-Nahl : 125).
2 - Orang yang berdakwah kepada Allah hendaknya mengetahui apa yang ia perintah dan yang ia larang, karena terkadang seseorang itu memiliki semangat yang kuat dalam kebaikan dan suka memberi manfaat kepada orang lain, akan tetapi dia tidak memiliki ilmu, sehingga ia mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan sesuatu yang haram, dan ia menyangka bahwa dia berada dalam kebenaran.
3 - Mencela agama, menghina Al-Qur'an dan Sunnah, serta menghina orang yang berpegang teguh dengan keduanya, seperti memanjangkan jenggot, menutup muka bagi seorang muslimah; hal ini termasuk kafir, jika ini dilakukan oleh orang dewasa. Dan hendaklah dijelaskan kepadanya bahwa ini adalah kekufuran. Jika ia tetap melakukannya setelah mengetahui hukumnya, maka ia adalah kafir. Allah Ta'ala berfirman : “Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman” (QS. At-Taubah : 65-66).
4 - عبادة القبور وعبادة الطاغوت شرك بالله فالمكلف الذي يصدر منه ذلك يبين له الحكم فإن قبل وإلاَّ فهو مشرك، إذا مات على شركه فهو مخلد في النار ولا يكون معذورًا بعد بيان الحكم له، وهكذا من يذبح لغير الله.
5 - تغيير المنكر يكون من كل شخص بحسبه؛ ولهذا رتب الرسول صلى الله عليه وسلم تغيير المنكر ثلاث درجات، فقال صلى الله عليه وسلم   من رأى منكم منكرًا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإِيمان  ، فالذين يستطيعون التغيير باليد هم الحكام ونوابهم، والعلماء ينكرون باللسان، ومن دونهم ينكرون بالقلب وقد يتمكن بعضهم من التغيير باللسان، وقد قال الله سبحانه:  لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا  فالعبد لا ينبغي أن يكلف نفسه بما لم يكلفه الله به، ومما ينبغي التنبه له أن من أراد تغيير منكر بأي درجة من الدرجات فلا بد من النظر فيما يترتب على تغيير المنكر من حصول المصالح والمفاسد وما يترتب على تركه من المصالح والمفاسد، فما ترجحت مصلحته في التغيير أو تركه أخذ به وما ترجحت مفسدته في التغيير أو تركه أخذ به، وإذا تعارضت المصالح في التغيير والترك جاز تفويت أدناها لحصول أعلاها، وإذا تعارضت المفاسد في التغيير والترك جاز ارتكاب أخفها؛ ليدفع أشدها وهكذا، وإذا تساوت المصالح والمفاسد فدرء المفاسد مقدم على جلب المصالح.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.
“4 - Menyembah kuburan dan thaghuttermasuk syirik (menyekutukan) Allah, dan jika seorang mukallaf melakukan hal tersebut, maka hendaknya dia diberi penjelasan mengenai hukumnya. Jika tidak menerima penjelasan tersebut, maka dia adalah musyrik. Apabila dia meninggal dalam kemusyrikannya , maka dia kekal di dalam neraka, dan tidak akan diterima alasan apapun darinya setelah dijelaskan kepadanya hukum (yang sebenarnya), begitu juga halnya orang yang menyembelih hewan untuk selain Allah.
5 - Mengubah kemungkaran, setiap orang (memiliki cara yang berbeda) sesuai dengan kemampuannya, karena itulah Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallammembagi secara berurutan cara mengubah kemungkaran menjadi tiga tingkatan. Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : ‘Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya). Jika tidak sanggup, maka hendaknya dengan lisannya. Jika tidak sanggup, maka hendaknya dengan hatinya, dan itu adalah iman yang paling lemah’. Orang-orang yang mampu melakukan perubahan dengan tangan (kekuasaan) adalah para pemimpin dan wakil mereka, para ulama mengingkari kemungkaran dengan lisan, dan orang yang di bawah mereka mengingkarinya dengan hatinya, dan terkadang sebagian mereka mampu mengubahnya dengan lisan. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman : ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya’ (QS. Al-Baqarah : 286).
Seorang hamba itu hendaknya tidak membebani dirinya dengan apa yang tidak dibebankan oleh Allah kepadanya. Seseorang yang ingin mengubah kemungkaran berdasarkan tingkatan-tingkatan yang ada hendaknya memperhatikan akibat yang akan terjadi apabila ia melakukan perubahan atau meninggalkannya, apakah mendatangkan kemaslahatan atau kerusakan. Jika kemaslahatan dalam mengubah atau meninggalkannya lebih dominan maka hendaklah ia lakukan, dan jika kerusakan dalam mengubah atau meninggalkannya yang dominan maka hendaklah ia tinggalkan. Apabila kemaslahatan dalam mengubah atau meninggalkan saling bertentangan maka ia diperbolehkan meninggalkan yang lebih kecil maslahatnya untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar. Apabila kerusakan dalam melakukan perubahan atau meninggalkannya saling bertentangan, maka ia diperbolehkan melakukan yang lebih kecil kerusakannya untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, dan demikian seterusnya. Dan apabila kemaslahatan dan kerusakan yang akan ditimbulkan sama, maka menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil Ketua Komite : Abdurrazzaq `Afifi
Anggota : Abdullah bin Ghadyan

[selesai – terjemahan dikutip sepenuhnya oleh Abul-Jauzaa’ dari website resmi Lembaga Pusat Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia]

Mengulang Shalat Wajib

$
0
0
Tanya : Bolehkah kita mengulang shalat wajibbersama jama’ah di masjid sementara kita telah melaksanakannya shalat tersebut sebelumnya?. Jika boleh, bagaimana halnya dengan hadits : ‘Jangan kalian melakukan shalat yang sama dua kali dalam sehari’ (HR. Abu Daud dan Nasa’i) ?. Terima kasih.
Jawab : Terkait dengan pertanyaan Anda, ada beberapa hadits yang berkaitan, yaitu:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ: كَيْفَ أَنْتَ، إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا، أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ قَالَ: قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ، فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ
Dari Abu Dzarr, ia berkata : Telah bersabda kepadaku Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Bagaimana pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka mengakhirkan shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya?”. Abu Dzarr berkata : “Aku berkata : ‘Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Lakukanlah shalat tepat pada waktunya. Apabila engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah (bersamanya). Sesungguhnya ia dihitung bagimu sebagai shalat naafilah (sunnah)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 648].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَفِيهِ : أَنَّ الْإِمَام إِذَا أَخَّرَهَا عَنْ أَوَّل وَقْتهَا يُسْتَحَبّ لِلْمَأْمُومِ أَنْ يُصَلِّيهَا فِي أَوَّل الْوَقْت مُنْفَرِدًا ، ثُمَّ يُصَلِّيهَا مَعَ الْإِمَام فَيَجْمَع فَضِيلَتَيْ أَوَّل الْوَقْت وَالْجَمَاعَة
“Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa apabila imam mengakhirkan shalat dari awal waktunya, disunnahkan bagi makmum untuk mengerjakan shalat di rumah pada awal waktunya sendirian (munfarid), kemudian setelah itu shalat bersama imam sehingga ia mengumpulkan dua keutamaan, yaitu awal waktu dan jama’ah” [Syarh Shahiih Muslim, 5/148].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قال: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَعَلَّكُمْ سَتُدْرِكُونَ أَقْوَامًا يُصَلُّونَ الصَّلَاةَ لِغَيْرِ وَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتُمُوهُمْ فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَصَلُّوا مَعَهُمْ وَاجْعَلُوهَا سُبْحَةً "
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangkali kalian akan menjumpai beberapa kaum yang melalukan shalat di luar waktunya. Apabila kalian menjumpai mereka, maka shalatlah kalian pada waktunya, lalu shalatlah bersama mereka dan jadikanlah shalat tersebut sunnah” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 779, Ibnu Maajah no. 1255, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy,1/258].
عَنْ مِحْجَنٍ أَنَّهُ كَانَ فِي مَجْلِسٍ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَجَعَ وَمِحْجَنٌ فِي مَجْلِسِهِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّيَ أَلَسْتَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ "قَالَ: بَلَى وَلَكِنِّي كُنْتُ قَدْ صَلَّيْتُ فِي أَهْلِي، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا جِئْتَ فَصَلِّ مَعَ النَّاسِ وَإِنْ كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ "
Dari Mihjan : Bahwasannya ia pernah berada di majelis bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dikumandangkanlah adzan untuk shalat. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk melaksanakan shalat berjama’ah. (Setelah selesai), beliau kembali dan ternyata Mihjan masih duduk di majelisnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apa yang menghalangimu untuk shalat (bersama kami). Bukankah engkau seorang laki-laki muslim ?”. Ia menjawab : “Benar, akan tetapi aku tadi sudah shalat bersama keluargaku”. Rasulullah shallalllaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila engkau datang (ke masjid), shalatlah bersama orang-orang meskipun engkau telah melaksanakan shalat sebelumnya” [Diriwayatkan oleh Maalik 1/524-525 no. 319, An-Nasaa’iy no. 857, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 1/284].
عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَسْوَدِ الْعَامِرِيُّ ، قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّتَهُ، فَصَلَّيْتُ مَعَهُ صَلَاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ، قَالَ: فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ وَانْحَرَفَ، إِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ فِي أُخْرَى الْقَوْمِ لَمْ يُصَلِّيَا مَعَهُ. فَقَالَ: "عَلَيَّ بِهِمَا "فَجِيءَ بِهِمَا تُرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا، فَقَالَ: "مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا ؟ "فَقَالَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا، قَالَ: "فَلَا تَفْعَلَا إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا، ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ "
Dari Yaziid bin Al-Aswad Al-‘Aamiriy, ia berkata : Aku pernah melaksanakan haji bersama Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Lalu aku shalat Shubuh bersama beliau di masjid Al-Khaif. Ketika beliau selesai melaksanakan shalatnya dan berpaling, ternyata ada ada dua orang laki-laki dari kaum lain yang tidak ikut shalat berjama'ah bersama beliau. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Bawalah dua orang itu kepadaku!". Mereka berdua dibawa ke hadapan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedang mereka dalam keadaan gemetaran. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Apa yang menghalangi kalian untuk shalat berjama’ah bersama kami?". Mereka menjawab : “Wahai Rasulullah, kami telah shalat di tempat kami". Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Janganlah kalian lakukan (lagi). Apabila kalian telah melaksanakannya di tempat kalian, lalu kalian datang ke masjid yang di dalamnya sedang melaksanakan shalat berjama'ah, maka shalatlah bersama mereka, karena shalat tersebut bagi kalian adalah naafilah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 575, At-Tirmidziy no. 219, dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : “Hadits hasan shahih”].
Sebagian salaf, ada yang mengecualikan kebolehan mengulang itu untuk shalat Shubuh, ‘Ashar, dan/atau Maghrib[1]. Pendapat ini tidak benar karena bertentangan dengan dhahir hadits-hadits di atas.
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata:
يُعِيدُ الصَّلَوَاتِ كُلَّهَا لأَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَيْنِ اللَّذَيْنِ ذَكَرَهُمَا فِي حَدِيثِ يَزِيدَ بْنِ الأَسْوَدِ أَنْ يُصَلِّيَا جَمَاعَةً، وَإِنْ كَانَا قَدْ صَلَّيَا أَمْرًا عَامًّا لَمْ يَخُصَّ صَلاةً دُونَ صَلاةٍ
“Semua shalat boleh diulang berdasarkan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada dua orang yang beliau sebutkan dalam hadits Yaziid bin Al-Aswad agar mengerjakan shalat berjama’ah meskipun mereka telah shalat, sebagai perintah yang sifatnya umum, tidak dikhususkan satu shalat tanpa yang lainnya…” [Al-Ausath no. 1115].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث أَنَّهُ لَا بَأْس بِإِعَادَةِ الصُّبْح وَالْعَصْر وَالْمَغْرِب كَبَاقِي الصَّلَوَات ؛ لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْلَقَ الْأَمْر بِإِعَادَةِ الصَّلَاة ، وَلَمْ يُفَرِّق بَيْن صَلَاة وَصَلَاة ، وَهَذَا هُوَ الصَّحِيح فِي مَذْهَبنَا .
“Dalam hadits ini (yaitu hadits Abu Dzarr) terdapat faedah bahwa tidak mengapa mengulang shalat Shubuh, ‘Ashar, dan Maghrib seperti shalat-shalat yang lainnya, karena Nabi shallalllaahu ‘alaihi wa sallam memutlakkan perintah untuk mengulang shalat dan beliau tidak membedakan antara satu shalat dan shaat lainnya. Inilah pendapat yang shahih dalam madzhab kami” [Syarh Shahiih Muslim, 5/148].
Inilah pendapat yang dipegang oleh Asy-Syaafi’iy dan Ahmad [Al-Majmuu’ 4/223-224 oleh An-Nawawiy dan Al-Mughniy1/786 oleh Ibnu Qudaamah].
Sebagian salaf, ada yang menganggap shalat kedua berjama’ah bersama imam itulah yang merupakan shalat fardlu[2]. Sebagian yang lain menyerahkannya kepada Allah mana di antara keduanya yang diterima sebagai shalat wajib dan shalat sunnah[3]. Pendapat ini juga lemah karena tekstual hadits Abu Dzarr, Ibnu Mas’uud, dan Yaziid bin Al-Aswad Al-‘Aamiriyradliyallaahu ‘anhum menegaskan shalat yang pertama itulah yang merupakan shalat wajib – sebagaimana ini dipegang oleh jumhur fuqahaa’ : Abu Haniifah, Ahmad, dan salah satu pendapat di antara dua pendapat Asy-Syaafi’iy yang paling jelas.
Adapun hadits :
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ يَعْنِي مَوْلَى مَيْمُونَةَ، قَالَ: أَتَيْتُ ابْنَ عُمَرَ عَلَى الْبَلَاطِ وَهُمْ يُصَلُّونَ، فَقُلْتُ: أَلَا تُصَلِّي مَعَهُمْ؟ قَالَ: قَدْ صَلَّيْتُ، إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا تُصَلُّوا صَلَاةً فِي يَوْمٍ مَرَّتَيْنِ "
Dari Sulaimaan bin Yasaar yaitu Maulaa Maimuunah, ia berkata : Aku pernah mendatangi Ibnu ‘Umar yang sedang duduk di atas ubin, sedangkan orang-orang mengerjakan shalat. Aku bertanya kepadanya : “Tidakkah engkau shalat bersama mereka ?”. Ia berkata : “Aku telah shalat. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : ‘Janganlah kalian shalat dua kali dalam sehari” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 579; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/172].
Sebagian ulama menjelaskan maksudnya adalah tidak boleh mengulangi shalat dengan menjadikannya keduanya tersebut sebagai shalat wajib.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
واتفق أحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه على أن معنى قول رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا تصلوا صلاة في يوم مرتين "، أن ذلك أن يصلي الرجل صلاة مكتوبة عليه، ثم يقوم بعد الفراغ منها، فيعيدها على جهة الفرض أيضا.
“Ahmad bin Hanbal dan Ishaaq bin Rahawaih sepakat tentang makna sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah engkau shalat dua kali dalam sehari’, yaitu : seseorang shalat wajib, kemudian setelah selesai ia berdiri lagi untuk mengulanginya dalam kapasitas shalat wajib juga” [Al-Istidzkaar 2/156 – lihat juga At-Tamhiid 4/247].
Hal yang menguatkannya adalah Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu sendiri membolehkan mengulang shalat sebagaimana tercantum dalam beberapa riwayat.
Kemungkinan makna yang lain adalah bahwa larangan itu berlaku jika seseorang telah melakukan shalat secara berjama’ah, kemudian ia mengulanginya lagi dengan berjama’ah. Makna ini tersirat dari peletakan hadits itu dalam Sunan Abi Daawud di bawah bab :
إذا صلى في جماعة ثم أدرك جماعة، أيعيد؟
“Apabila seseorang shalat berjama’ah, kemudian menjumpai jama’ah, apakah ia boleh mengulangnya?”.
Namun yang kuat adalah apa yang dikatakan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah, karena dalam riwayat lain hadits tersebut dibawakan dengan lafadh:
لا صَلاةَ مَكْتُوبَةً فِي يَوْمٍ مَرَّتَيْنِ
 “Tidak ada shalat wajib dua kali dalam sehari” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/303 (431) no. 3654; sanadnya shahih].
Kesimpulan :
1.     Boleh mengulang shalat wajib bersama jama’ah dengan menjadikan shalat yang kedua tersebut sebagai shalat sunnah.
2.     Larangan shalat yang sama dalam sehari maksudnya adalah larangan mengerjakan shalat wajib dua kali (mengulangnya) dengan meniatkan kedua shalat tersebut sebagai shalat wajib.
Wallaahu a’lam, semoga jawaban di atas beserta tambahannya ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 25112014 – 01:30].




[1]     Diantaranya adalah Ibnu ‘Umar, Abu Muusaa radliyallaahu ‘anhumaa sebagaimana riwayat:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي نَافِعٌ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ: "إِنْ كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ فِي أَهْلِكَ، ثُمَّ أَدْرَكْتَ الصَّلاةَ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ الإِمَامِ، فَصَلِّ مَعَهُ، غَيْرَ صَلاةِ الصُّبْحِ وَصَلاةِ الْمَغْرِبِ، الَّتِي يُقَالُ لَهَا: صَلاةُ الْعِشَاءِ، فَإِنَّهُمَا لا تُصَلِّيَانِ مَرَّتَيْنِ "
Dari Ibnu Juraij, ai berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar berkata : “Apabila engkau telah melakukan shalat di tempat keluargamu, kemudian engkau mendapati shalat di masjid bersama imam, maka shalatlah bersamanya, selain shalat Shubuh dan shalat Maghrib yang disebut : ‘shalat ‘Isyaa’. Karena keduanya tidak boleh dikerjakan dua kali” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 3939; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ: ثنا حَجَّاجٌ قَالَ: ثنا حَمَّادٌ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: "صَلَّيْتُ الْفَجْرَ ثُمَّ أَتَيْتُ أَبَا مُوسَى فَوَجَدْتُهُ يُرِيدُ أَنْ يُصَلِّيَ فَجَلَسْتُ نَاحِيَةً فَلَمَّا قَضَى صَلاتَهُ، قَالَ: مَا لَكَ لَمْ تُصَلِّ؟ قُلْتُ: فَإِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ، قَالَ: فَإِنَّ الصَّلاةَ كُلَّهَا تُعَادُ إِلا الْمَغْرِبَ فَإِنَّهَا وِتْرٌ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami  Hajjaaj, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad, dari Abu ‘Imraan Al-Jauniy, dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Aku melakukan shalat Shubuh, kemudian aku mendatangi Abu Muusaa dan aku dapati ia hendak melaksanakan shalat. Lalu aku pun duduk di satu sisi ruangan. Ketika selesai shalat, ia berkata : “Kenapa engkau tidak shalat ?”. Aku berkata : “Sesungguhnya aku telah shalat”. Ia berkata : “Sesungguhnya semua shalat boleh diulang kecuali shalat Maghrib, karena ia ganjil” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 1114; sanadnya shahih].
Maalik bin Anas rahimahullah berkata:
وَلَا أَرَى بَأْسًا أَنْ يُصَلِّيَ مَعَ الْإِمَامِ مَنْ كَانَ قَدْ صَلَّى فِي بَيْتِهِ إِلَّا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ فَإِنَّهُ إِذَا أَعَادَهَا كَانَتْ شَفْعًا
“Aku berpendapat tidak mengapa shalat bersama imam bagi orang yang telah shalat di rumahnya kecuali shalat Maghrib. Apabila ia mengulanginya, maka akan menjadi genap” [Al-Muwaththa’, 1/528].
[2]     Diantaranya adalah Sa’iid bin Al-Musayyib dan ‘Athaa’ bin Abi Rabbaahrahimahumallah, sebagaimana riwayat:
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا دَاوُدُ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: "صَلَاتُهُ الَّتِي صَلَّى فِي الْجَمَاعَةِ "
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Daawud, dari Ibnul-Musayyib, ia berkata : “Shalatnya (yaitu fardlu) adalah yang ia lakukan berjama’ah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 6708; sanadnya shahih].
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، قال: "إِذَا صَلَّيْتُ الْمَكْتُوبَةَ ثُمَّ أَدْرَكْتُهَا مَعَ النَّاسِ، فَإِنِّي أَجْعَلُ الَّذِي صَلَّيْتُ فِي بَيْتِي نَافِلَةً، وَأَجْعَلُ صَلاتِي مَعَ الإِمَامِ الْمَكْتُوبَةَ "، قُلْتُ: أَفَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّكَ لَمْ تُدْرِكْ إِلا رَكْعَةً وَاحِدَةً؟، قَالَ: "وَكَذَلِكَ أَيْضًا "
Dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, ia berkata : “Apabila aku telah melakukan shalat wajib, kemudian aku mendapati shalat tersebut bersama orang-orang (berjama’ah), maka aku jadikan shalat yang aku kerjakan di rumahku sebagai shalat naafilah (sunnah) dan aku jadikan shalatku bersama imam sebagai shalat wajib”. Aku (Ibnu Juraij) berkata : “Bagaimana pendapatmu apabila engkau tidak mendapatinya (shalat berjama’ah) kecuali hanya satu raka’at saja ?”. Ia berkata : “Begitu juga (aku mengangapnya sebagai shalat wajib)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 3936; sanadnya shahih].
[3]     Diantaranya adalahIbnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, sebagaimana riwayat:
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، فَقَالَ: إِنِّي أُصَلِّي فِي بَيْتِي ثُمَّ أُدْرِكُ الصَّلَاةَ مَعَ الْإِمَامِ أَفَأُصَلِّي مَعَهُ؟ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: نَعَمْ، فَقَالَ الرَّجُلُ: أَيَّتَهُمَا أَجْعَلُ صَلَاتِي؟ فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَرَ: "أَوَ ذَلِكَ إِلَيْكَ، إِنَّمَا ذَلِكَ إِلَى اللَّهِ، يَجْعَلُ أَيَّتَهُمَا شَاءَ "
Dari Naafi’ : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Ia berkata : “Aku sudah shalat di rumahku, kemudian aku mendapati shalat bersama imam. Apakah saya mesti shalat lagi bersama mereka?”. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata kepadanya : “Ya”. Laki-laki itu berkata : “Mana di antara keduanya yang aku jadikan sebagai shalat wajib?”. Ibnu Umar berkata kepadanya : “Apakah itu urusanmu?. Yang demikian itu hanyalah urusan Allah. Dia yang berhak dalam menentukannya” [Diriwayatkan oleh Maalik 1/525-526 no. 320; shahih].

Makna ‘Haddatsanaa, Akhbaranaa, dan Anba-anaa’

$
0
0
Tanya : Apa makna perkataan ‘haddatsanaa,akhbaranaa, dan anba-anaa’ dalam sebuah sanad hadits?
Jawab : Tigakata yang saudara tanyakan termasuk diantara lafadh-lafadh penyampaian riwayat seorang perawi. Jawaban dari pertanyaan Saudara, akan saya ambilkan dari penjelasan Ibnu Naashiruddin rahimahullah dalam kitab ‘Uquudud-Durar fii ‘Uluumil-Atsar hal. 58-59 (Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1426 H) berikut:


“Seorang perawi mempunyai pilihan lafadh dalam menyampaikan riwayat antara sami’tu (aku telah mendengar), haddatsanaa (telah menceritakan kepada kami), akhbaranaa(telah mengkhabarkan kepada kami), dan anba’anaa (telah memberitahukan kepada kami). Namun yang paling tinggi kedudukannya dari ungkapan-ungkapan ini adalah:
(1) sami’tu, kemudian
(2) haddatsanaa dan haddatsanii, kemudian
(3) akhbaranaalafadh-lafadh inilah yang sering digunakan dalam periwayatan - ,
kemudian
(4) nabba-anaa dan anba-anaa– dua lafadh ini jarang digunakan dalam periwayatan - .
Al-Khathiib menyebutkan hal semisal dalam Al-Kifaayah[1].
Ada beberapa ulama yang menyamakan makna beberapa lafadh tersebut, diantaranya Al-Hasan, Az-Zuhriy, Yahyaa Al-Qaththaan, Ibnu ‘Uyainah, Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhaariy, dan yang lainnya[2]. Orang yang pertama kali membedakan lafadh-lafadh tersebut adalah ‘Abdullah bin Wahb di Mesir[3].
Telah diriwayatkan kepada kami[4], bahwasannya Ibnu Wahb pernah berkata: “Riwayat yang aku katakan dengan ‘haddatsanaa’, maka riwayat itu aku dengarkan bersama orang-orang. Riwayat yang aku katakan dengan ‘haddatsanii’, maka riwayat itu aku dengarkan seorang diri. Riwayat yang aku katakan ‘akhbaranaa’, maka itu adalah riwayat yang dibacakan kepada seorang ulama sedangkan aku menyaksikannya. Riwayat yang aku katakan ‘akhbaranii’, maka itu adalah riwayat yang aku bacakan kepada seorang ulama”.
Abu Bakr Al-Khathiib[5] menyebutkan ini adalah anjuran, bukan kewajiban menurut para ulama. Al-Haakim Abu ‘Abdillah[6] menukil dari mayoritas gurunya dan para imam di jamannya semisal dengan istilah Ibnu Wahb, dan kemudian ia menambahkan : “Riwayat yang dibacakan kepada seorang muhaddits, lalu ia memberikan ijazah riwayatnya tersebut langsung dari bibirnya kepadanya (yang membacakan), maka orang yang meriwayatkan (yaitu si pembaca tadi) akan berkata : ‘anba-anii fulaan (telah memberitahukan kepadaku Fulaan). Dan riwayat yang ditulis seorang muhaddits kepadanya dari kotanya tanpa disertai ijazah riwayat dari mulutnya, maka orang yang meriwayatkan akan berkata : ‘kataba ilayya fulaan (Fulaan telah menuliskan riwayat kepadaku)”.
- selesai –
Begitulah penjelasan ringkas dari Ibnu Naashiruddiin, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, 29112014 – 00:20].




[1]     Al-Kifaayah, hal. 412.
[2]     Silakan lihat perincian-perinciannya dalam Al-Kifaayah hal. 424 dan Muqaddimah Ibni Shalah hal. 250.
[3]     Ibnu Shalah rahimahullah menyebutkan dalam Al-Muqaddimah hal. 251 : “Dan telah dikatakan, sesungguhnya orang yang pertama kali melakukan pembedaan dua lafadh ini (yaitu haddatsanaa dan akhbaranaa) adalah Ibnu Wahb di Mesir. Namun ha ini tertolak karena telah diriwayatkan tentang pendapat tersebut dari Ibnu Juraij dan Al-Auzaa’iy sebagaimana yang dihikayatkan oleh Al-Khathiib Abu Bakr. Kemungkinan maksudnya ia adalah orang yang pertama kami melakukan pembedaan itu di negeri Mesir, wallaahu a’lam”.
[4]     Penulis (Ibnu Naashiruddiin) tidak menyebutkan nama orang yang telah menceritakan riwayat kepadanya.
[5]     Al-Kifaayahhal. 425 dan disebutkan pula oleh Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah hal. 255.
[6]     Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits, hal. 323.

Madzhab Kibaar Ulama dalam ‘Udzur Kejahilan pada Permasalahan Kufur dan Syirik

$
0
0
Tulisan ini hanyalah sebagai penguat dari apa yang telah dijelaskan di artikel ‘Udzur Kejahilan dalam Permasalahan ‘Aqidah. Masih ada beberapa oknum yang mengklaim secara dusta bahwa para ulama kibaar ber-ijmaa’ peniadaan ‘udzur tersebut, dan kemudian mencap orang yang menyelisihinya sebagai Murji’ah atau terpengaruh ajaran Murji’ah. Oleh karena itu, berikut akan dibawakan perkataan beberapa ulama yang berkaitan dengan hal tersebut:
1.     Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Waahhaab rahimahullah
Beliau rahimahullah pernah berkata dalam suratnya yang ditujukan kepada Muhammad bin ‘Ied:
وأما ما ذكر الأعداء عني: أني أكفّر بالظن، وبالموالاة، أو أكفّر الجاهل الذي لم تقم عليه الحجة، فهذا بهتان عظيم، يريدون به تنفير الناس عن دين الله ورسوله
“Adapun yang disebutkan para musuh dariku bahwa aku mengkafirkan berdasarkan prasangka dan loyalitas, atau mengkafirkan orang yang jaahil/bodoh yang belum tegak padanya hujjah, maka semua ini adalah kedustaan yang sangat besar. Mereka menginginkan dengannya agar orang-orang lari dari agama Allah dan Rasul-Nya” [Ar-Risaalah Asy-Syakhshiyyah, hal. 25].
Beliau rahimahullah juga berkata:
وكذلك تمويهه على الطغام بأن ابن عبد الوهاب يقول: الذي ما يدخل تحت طاعتي كافر، ونقول: سبحانك هذا بهتان عظيم! بل نشهد الله على ما يعلمه من قلوبنا، بأن من عمل بالتوحيد، وتبرأ من الشرك وأهله، فهو المسلم في أي زمان وأي مكان. وإنما نكفّر مَن أشرك بالله في إلهيته، بعد ما نبين له الحجة على بطلان الشرك.
“Begitu juga distorsi yang mereka lakukan terhadap masyarakat awam bahwasannya Ibnu ‘Abdil-Wahhaab mengatakan : ‘Orang yang tidak berada di bawah ketaatanku, maka kafir’. Subhaanallaah, ini adalah kedustaan yang sangat besar. Akan tetapi kami bersaksi kepada Allah terhadap apa yang Ia ketahui pada perkataan kami bahwasannya siapa saja yang beramal ketauhidan serta berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, maka dia adalah muslim kapapunpun dan dimanapun. Kami hanyalah mengkafirkan orang berbuat syirik kepada Allah dalam ilahiyyah-Nya setelah kami jelaskan padanya hujjah atas batilnya kesyirikan” [idem, hal. 60].
Beliau rahimahullah juga berkata:
ما ذكر لكم عني أني أكفر بالعموم، فهذا من بهتان الأعداء، وكذلك قولهم: إني أقول: من تبع دين الله ورسوله وهو ساكن في بلده أنه ما يكفيه حتى يجيء عندي، فهذا أيضاً من البهتان، إنما المراد اتباع دين الله ورسوله في أي أرض كانت. ولكن نكفر من أقر بدين الله ورسوله ثم عاداه وصد الناس عنه وكذلك من عبد الأوثان بعدما عرف أنه دين المشركين وزينه للناس فهذا الذي أكفره وكل عالم على وجه الأرض يكفر هؤلاء إلا رجلا معاندا أو جاهلا
“Apa yang disebutkan kepadamu dariku bahwasannya aku mengkafirkan dengan keumuman, maka ini kedustaan yang sangat besar yang dilakukan para musuh. Perkataan mereka : Sesungguhnya aku berkata : ‘Barangsiapa yang mengikuti agama Allah dan Rasul-Nya dan ia tinggal di negerinya, maka itu tidak mencukupinya hingga ia mendatangiku’. Ini juga merupakan kedustaan. Yang dimaksudkan dengan mengikuti agama Allah dan Rasul-Nya adalah di bumi manapun ia berada. Akan tetapi kami mengkafirkan orang yang mengikrarkan agama Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia memusuhi-Nya dan mencegah orang-orang darinya. Begitu juga (kami mengkafirkan) orang yang beribadah kepada berhala setelah ia mengetahuibahwa itu termasuk agama orang-orang musyrik dan menghiasinya kepada orang-orang; maka orang inilah yang aku kafirkan. Setiap ulama yang ada di muka bumi mengkafirkan mereka, kecuali orang yang menentang dan bodoh” [Ad-Durarus-Saniyyah, 10/131].
Beliau rahimahullah saat menuliskan surat kepada Asy-Syariif, berkata :
وإذا كنا لا نكفر من عبد الصنم الذي على قبة عبد القادر، والصنم الذي على قبر أحمد البدوي وأمثالهما، لأجل جهلهم وعدم من ينبههم، فكيف نكفر من لم يشرك بالله إذا لم يهاجر إلينا ولم يكفر ويقاتل ؟ سبحانك هذا بهتان عظيم
“Apabila kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah berhala di atas kubah ‘Abdul-Qaadir, dan berhala yang berada di atas kubur Ahmad Al-Badawiy, serta yang semisal mereka berdua – dengan sebab kejahilan mereka dan ketiadaan orang yang memberikan penjelasan kepada mereka; lantas bagaimana kami bisa mengkafirkan orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah jika ia tidak berhijrah kepada kami ?. Maha Suci Engkau (ya Allah), ini adalah kedustaan yang sangat besar...” [Fataawaa wa Masaail, hal. 4].
2.     Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah
Pertanyaan:
إن رأيت أحداً يدعو صاحب القبر ويستغيث به , فهو مصاب بالشرك فهل أدعوه على أنه مسلم , أم أدعوه على أنه مشرك , إذا أردت أن أدعوه إلى الله عز وجل , وأن أبين له ؟
“Apabila aku melihat seseorang yang berdoa kepada penghuni kubur dan beristighatsah kepadanya, maka ia terjatuh pada kesyirikan (akbar). Apakah dalam hal ini aku berdakwah kepadanya (kepada kebenaran) dalam kapasitasnya sebagai seorang yang muslim ataukah seorang musyrik, jika aku ingin berdakwah kepada Allah ‘azza wa jalla dan menjelaskan kepadanya ?”.
Jawab:
ادعه بعبارة أخرى , لا هذه ولا هذه , قل له : يا فلان يا عبدالله عملك هذا الذي فعلته شرك , وليس عبادة. هو عمل المشركين الجاهلين , عمل قريش وأشباه قريش ؛ لأن هنا مانعاً من تكفيره؛ ولأن فيه تنفيره , أول ما تدعوه ؛ ولأن تكفير المعين غير العمل الذي هو شرك , فالعمل شرك , ولا يكون العامل مشركاً , فقد يكون المانع من تكفيره جهله أو عدم بصيرته على حد قول العلماء. وأيضاً في دعوته بالشرك تنفير , فتدعوه باسمه , ثم تبين له أن هذا العمل شرك.
“Serulah ia dengan ungkapan yang lain, tidak ini (Muslim) dan tidak pula itu (musyrik). Katakan kepadanya : ‘Wahai Fulaan, wahai hamba Allah, perbuatanmu ini adalah kesyirikan, bukan ibadah. Itu adalah perbuatan orang-orang musyrik yang bodoh. Perbuatan orang-orang Quraisy dan yang semisal mereka’. Hal itu dikarenakan ada penghalang dari pengkafiran (takfir)terhadapnya, dan pengkafiran tersebut justru akan membuatnya lari (dari dakwah) jika engkau ingin berdakwah kepadanya. Pengkafiran individu (takfir mu’ayyan) adalah permasalahan lain dari perbuatannya yang mengandung kesyirikan. Perbuatannya syirik, akan tetapi tidak mesti pelakunya disebut musyrik. Kadang terdapat penghalang dalam pengkafiran terhadapnya yaitu kejahilan/kebodohannya atau ketiadaan bashiirah-nya terhadap definisi perkataan ulama. Selain itu, menyerunya dengan cap kesyirikan akan membuatnya lari. Maka, serulah ia dengan namanya, kemudian jelaskan kepadanya bahwa perbuatan tersebut adalah kesyirikan”.
Pertanyaan:
ما الراجح في تكفير المعين ؟
“Pendapat mana yang raajih dalam permasalahan pengkafiran individu (takfir mu’ayyan) ?”.
Jawab:
إذا قامت عليه الأدلة والحجة الدالة على كفره , ووضح له السبيل ثم أصر فهو كافر. لكن بعض العلماء يرى أن من وقعت عنده بعض الأشياء الشركية وقد يكون ملبساً عليه وقد يكون جاهلاً , ولا يعرف الحقيقة فلا يكفره ,حتى يبين له ويرشده إلى أن هذا كفر وضلال , وأن هذا عمل المشركين الأولين , وإذا أصر بعد البيان يحكم عليه بكفر معين.
“Apabila tegak padanya dalil-dalil dan hujjah yang menunjukkan kekafirannya, dan dijelaskan kepadanya jalan yang benar, namun kemudian ia tetap melakukannya, maka ia kafir. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa siapa saja yang terjatuh dalam sebagian perkara kesyirikan dan kemudian perkara itu tersamar padanya, atau ia jahil/bodoh (dalam perkara tersebut) dan tidak mengetahui hakekatnya; maka ia tidak dikafirkan hingga dijelaskan dan ditunjukkan kepadanya bahwa perbuatan ini kekufuran lagi kesesatan, serta merupakan perbuatan orang-orang musyrik terdahulu. Apabila ia tetap mengerjakannya setelah adanya penjelasan, maka ia boleh dihukumi kafir secara individu” [Al-Fawaaid Al-‘Ilmiyyah minad-Duruusil-Baaziyyah, 2/273-274, Cet. Ar-Risaalah, tahun 1430 H].
Komentar : Silakan Pembaca lihat dan pahami secara objektif perkataan beliau rahimahullah di atas dimana beliau memberikan ruang adanya ‘udzur dalam masalah kekafiran/kesyirikan. Kejahilan itu dapat menjadi penghalang takfir individu secara langsung. Oleh karena itu, perlu proses iqaamatul-hujjah sehingga ia tahu dan memahami bahwa apa yang dilakukannya tersebut termasuk kesyirikan. Apabila ia membangkang dan terus melakukan kesyirikan setelah penjelasan tersebut, baru kemudian ia dapat dikafirkan secara individu.
Perkataan Ibnu Baaz rahimahullah yang lebih jelas adalah fatwa beliau bersama masyayikh lain yang tergabung dalam Lajnah Daaimah sebagaimana telah dituliskan dalam artikel ‘Udzur Kejahilan dan Iqaamatul-Hujjah Bagi Pelaku Istihzaa’ dan Syirik Akbar.
3.     Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah
Pertanyaan:
ما هو الضابط في العذر بالجهل بالنسبة للتوحيد ، وهل قراءة أو تلاة القرآن تكفي لإزالة ذلك العذر؟
“Apa kaedah ‘udzur terhadap kejahilan yang dinisbatkan kepada tauhid. Apakah pembacaan atau tilawah Al-Qur’an mencukupi untuk menghilangkan ‘udzur tersebut ?”.
Jawab:
أولا: الضابط سواء كان يُحسن قرَاءة القُرآن أولا، ويفهمه ثانيا، أو كان يقرأه ولا يفهمه ، أو لا يُحسنُ لا قراءته ولا فهمه ؛ الضابط في ذلك هو أن يعيش المسلم في جو إسلامي صحيح ، وتكون العقائد منتشرة في ذلك الجو حتى صارت من قسم ما يسميه علماء الأصول بالمعلوم من الدين بالضرورة.
ولعل جميع الحاضرين يذكرون حديث الجارية التي كانت ترعى غنما لرجل في أُحُد وأن الذئب سطى على الغنم يوما فلما بلغه الخبر قال الرجل معتذرا لنفسه عما فعل بقوله وأنا بشر أغضب كما يغضب البشر فصككتها صكا يقول للرسول عليه السلام: وعليّ عتق رقبة فأمره عليه السلام بأن يأتي بها فقال لها: أين الله؟ قالت: في السماء. قال: من أنا؟ قالت: أنت رسول الله. قال: اعتقها فإنها مؤمنة". الشاهد من الحديث أن كون الله عز وجل في السماء هي عقيدة قرآنية منصوص عليها في القرآن في غير ما آية صريحة، وعقيدة سنيّة نبويّة عليها أحاديث كثيرة جدا ، ولكن الآن كثير من المجتمعات الإسلامية لا تعتقد هذه العقيدة ، فالرجل الذي يعيش في هذا الجو يكون معذورا لأن الحجة لم تبلغه بخلاف من كان في مجتمع آخر عقيدة التوحيد فاشية ومنتشرة في ذلك المجتمع الذي أشبه ما يكون بالمجتمع الأول النبوي ، والذي الجارية وهي راعية غنم عرفت هذه العقيدة . هل هي درست القرآن؟ هل هي درست حديث الرسول عليه الصلاة والسلام؟ ذلك ما يُستَبعَد عادةً من راعية غنم ، لكن هي تعيش مع أهل بيت سيّدها وسيّدتها فهي تسمع منهم وتتفقه على أيديهم فتعلم ما لم تكن من قبلُ تعلم.
“Pertama, kaedah sama saja apakah ia dapat membaca Al-Qur’an dengan baik – untuk yang pertama - , dan dapat memahaminya – untuk yang kedua - , atau ia membacanya namun tidak memahaminya, atau ia tidak dapat membaca Al-Qur’an dan tidak pula memahaminya. Kaedah dalam hal tersebut adalah seorang muslim hidup dalam suasana/kehidupan Islam yang benar, dan kemudian ‘aqidah-‘aqidah yang benar tersebar sedemikian rupa hingga menjadi apa yang disebut para ulama ushul sebagai perkara-perkara agama yang jelas (al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah).
Dan barangkali orang-orang yang hadir ingat tentang hadits jaariyyah (budak wanita) yang menggembala kambing untuk seorang laki-laki di bukit Uhud, dan ketika seekor serigala menerkam kambing pada suatu hari. Ketika khabar itu sampai pada si laki-laki pemilik domba, maka ia memberikan udzur kepada dirinya sendiri terhadap apa yang telah ia perbuat (memukul si budak) dengan perkataannya : ‘Aku hanyalah seorang manusia yang dapat marah sebagaimana manusia lain marah, sehingga aku memukulnya’. Lalu ia berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku akan membebaskannya’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk membawa budak wanita tersebut kepada beliau. Beliau berkata kepadanya (si budak) : ‘Dimana Allah ?’. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bersabda : “Siapakah aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Bebaskanlah ia, karena ia seorang mukminah’. Syaahid dari hadits ini adalah bahwa keberadaan Allah ‘azza wa jalla di langit merupakan ‘aqidah qur’aniyyah yang didasarkan pada nash-nash Al-Qur’an lebih dari satu ayat yang jelas, dan merupakan ‘aqidah sunniyyah nabawiyyah yang didasarkan oleh hadits-hadits yang sangat banyak.
Akan tetapi pada hari ini, banyak masyarakat Islam yang tidak memiliki ‘aqidah yang benar ini. Maka, seorang muslim yang hidup pada kondisi ini diberikan ‘udzur, karena hujjah belum sampai kepadanya, dimana hal itu berbeda dengan masyarakat yang lain dimana ‘aqidah tauhid telah tersiar dan tersebar luas dalam masyarakat tersebut[1] yang menyerupai masyarakat yang ada di awal kenabian, hingga budak wanita yang menggembala kambing pun mengetahui ‘aqidah ini. Apakah ia mempelajari Al-Qur’an ?. Apakah ia mempelajari hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?. Hal itu di luar kebiasaan dari penggembala kambing. Namun ia hidup bersama keluarga majikannya serta ia mendengar mereka dan mendapatkan pemahaman dari mereka, sehingga ia mengetahui apa-apa yang tidak ia ketahui sebelumnya.
وإذا ضممنا إلى هذا الحديث وإلى هذا المعنى قول الله تبارك وتعالى{وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا} وفهمنا الآية الكريمة فهما صحيحا وليس فهما جامدا على لفظها دون مرامها ومعناها وأعني بذلك أن الآية لا تعني فقط بقوله تعالى {حتى نبعث رسولا} ، أي أن كل جماعة ، وكل طائفة، و في كل عصر يأتيها رسول، قد يأتيها رسول ، وقد يأتيها دعوة الرسول ، المهم أن الآية ليست تعني فقط شخص الرسول وإنما تعني دعوة الرسول ، ومن الأدلة على ذلك أن الرسول قد يأتي قوما فيكون فيه المجنون وقد يكون فيه المصروع ، وقد يكون فيه غير البالغ ، والأصم ، ووو إلى  آخره. فهؤلاء جاءهم الرسول لكن ما جاءتهم دعوة الرسول ، على العكس من ذلك أمثالنا نحن أتباع محمد عليه السلام ، نحن ما جاءنا محمد مباشرة ، لكن جاءتنا دعوة محمد.
 إذن ، من وصلته دعوة محمد صلى الله عليه وسلم على نقاوتها وعلى حقيقتها فقد بلغته الحجة ولا يعذر بالجهل على ما وضحت آنفا.
من هنا ، أنا قلت أكثر من مرة أن كثيرا من الأوروبيين والأمريكان الذين يبتلون بدعاة منحرفين عن الكتاب والسنة ، ولنضرب على ذلك مثلا بالطائفة القاديانية لأن هؤلاء من الطوائف التي لها نشاط شديد جدا في الدعوة إلى ما يعتقدون من دينهم ولذلك فقد استطاعوا أن يؤثروا في الألوف المؤلفة من الانجليز والألمان والأمريكان ووو إلى آخرة.
“Apabila kita menghimpun hadits ini dengan makna firman Allah ‘tabaraka wa ta’ala : ‘dan Kami tidak akan mengazab hingga Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15), maka kita akan memahami ayat yang mulia ini dengan pemahaman yang benar, bukan pemahaman yang kaku yang didasarkan pada lafadhnya semata tanpa melihat kehendak dan makna yang terkandung di dalamnya. Dan yang aku maksud dengan hal tersebut adalah bahwasannya ayat : ‘hingga Kami mengutus seorang rasul’ tidak hanya berarti Rasul akan diutus ke setiap jama’ah dan setiap kelompok, dan setiap masa akan datang seorang Rasul. Kadang yang datang adalah Rasul, dan kadang yang datang adalah dakwah Rasul.
Yang penting untuk diketahui adalah ayat ini tidaklah hanya bermakna diri Rasul saja, namun juga dakwah Rasul. Dan diantara dalil-dalil yang menunjukkannya adalah kadangkala Rasul datang pada suatu kaum yang padanya ada orang yang gila, kesurupan, belum baligh, tuli, dan yang lainnya. Mereka itu mendatangi Rasul, namun dakwah Rasul tidak datang kepada mereka.
Dan kebalikan dari hal itu adalah seperti kita pengikut mengikuti Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi kita secara langsung, namun dakwah beliau lah yang mendatangi kita.
Jadi, barangsiapa yang sampai kepadanya dakwah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam kemurnian dan hakekatnya, maka sampailah kepadanya hujjah. Tidak ada ‘udzur atas kejahilan berdasarkan apa yang aku jelaskan barusan.
Dari sini, aku telah mengatakan berulang kali bahwa kebanyakan orang-orang Eropa dan Amerika telah duji dengan dakwah orang-orang yang menyimpang dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan kami contohkan akan hal itu adalah kelompok Qadiyaniyyah, karena mereka itu termasuk kelompok yang sangat aktif menyerukan dakwah kepada apa yang mereka yakini dari agama mereka. Oleh karena itu, mereka mampu mempengaruhi ribuan orang di Inggris, Amerika, Jerman, dan yang lainnya.
ترى هنا الشاهد هؤلاء الذين اتبعوا الدعوة القاديانية هل بلتهم حجة الإسلام أم لا ؟ الجواب: لا، بلغتهم دعوة القاديانية وليست حجة الإسلام ، فلله الحجة البالة ، وهي مناط التكليف إيجابا وسلبا.
الضابط إذن هو بلوغ الدعوة الصحيحة إلى الأفراد ، فمن بلغته فقد أقيمت عليه الحجة ، ومن لم، فلا. لكن الذي يضبط الموضوع هو ملاحظة المجتمع الذي يعيش فيه هؤلاء الأفراد ، فإن كان المجتمع مجتمع أهل السنة والجماعة كما كانوا يقولون قديما -ولا نرى استعمال هذه الكلمة حديثا لأنها في عرف المقلدين تعني الأشاعرة والماتريدية- وإنما نعني من بلغتهم الدعوة السلفية وما كان عليه السلف الصالح فهذا قد أقيمت عليه الحجة لكن في اعتقادي أن هؤلاء قلّة في العالم الإسلامي كله ، في اعتقادي أن هذا يكفي جوابا عن سؤالك.
“Engkau dapat lihat, dan disitulah pointnya, mereka yang mengikuti dakwah Qaadiyaniyyah, apakah (dengannya) hujjah Islam telah sampai kepada mereka?. Jawabnya : Belum. Yang sampai kepada mereka adalah dakwah Qaadiyaniyyah, dan itu bukan merupakan hujjah Islam. Dan Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat (QS. Al-An’aam : 149), yaitu manaath at-takliif (penentu dalam pembebanan syari’at) baik positif maupun negatif.
Jadi, yang menjadi kaedah adalah sampainya dakwah yang benar kepada seseorang. Barangsiapa yang telah sampai padanya hal tersebut, maka telah tegak padanya hujjah. Jika belum, maka belum tegak padanya hujjah. Akan tetapi yang menjadi fokus bahasan ini adalah memperhatikan kondisi masyarakat yang menjadi tempat orang-orang tersebut berada. Apabila masyarakatnya adalah masyarakat Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah sebagaimana yang mereka katakan terdahulu – dan kami tidak berpendapat untuk mengamalkan kalimat ini sekarang karena dari kebiasaan para muqallid istilah tersebut merujuk pada Asyaa’irah dan Maaturidiyyah – sedangkan yang kami maksudkan orang yang telah sampai kepada mereka dakwah salafiyyah dan ajaran as-salafush-shaalih; maka ini artinya telah tegak padanya hujjah. Akan tetapi dalam keyakinanku, mereka itu sedikit jumlahnya di semua negara Islam. Dan saya pikir, ini sudah cukup untuk menjawab pertanyaanmu” [Silsilatul-Hudaa wan-Nuur, kaset nomor 861 – dikutip dari buku Mausuu’ah Al-‘Allamah Al-Imaam Al-Mujaddid Al-‘Ashr Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy oleh Dr. Syaadiy bin Muhammad Aalu Nu’maan hal. 735-737, pertanyaan no. 722].[2]

Simak juga fatwa beliau rahimahullah yang lain berkenaan dengan iqaamatul-hujjah yang masih senada dengan fatwa di atas:
4.     Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaaq Al-‘Afiifiy rahimahullah
Asy-Syaikh pernah ditanya pendapatnya tentang perkataan Ash-Shan’aniy dalam kitabnya Tathhiirul-I’tiqaadtentang quburiyyuun yang meyakini orang yang telah mati yang meminta-minta kepada mereka : ‘mereka kafir asli’, dimana sebagian ulama menyanggahnnya seperti Asy-Syaikh As-Sahsawaaniy penulis kitab Shiyaanatul-Insaan yang mengatakan : ‘mereka orang-orang murtad’. Beliau (Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaaq) rahimahullah menjawab:
هم مرتدون عن الإسلام إذا أقيمت عليهم الحجة، وإلا فهم معذرون بجهلهم كجماعة الأنواط، أما من انتسب إلى الإسلام ثم بدت منه أفعال كفرية وأقيمت عليه الحجة فهو مرتد يقتل بالسيف
“Mereka orang-orang murtad dari Islam apabila telah tegak pada mereka hujjah. Apabila belum tegak hujjah, maka mereka diberikan ‘udzur karena kejahilan mereka sebagaimana jama’ah Anwaath. Adapun orang yang menisbatkan diri pada Islam, kemudian nampak darinya perbuatan-perbuatan kufur dan telah ditegakkan padanya hujjah, maka ia murtad, dihukum bunuh dengan pedang” [Majmuu’ Al-Fataawaa war-Rasaail, 1/172].
5.     Asy-Syaikh Muhammmad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah
Beliau rahimahullah berkata:
لو جحد وجوبها جاهلاً فإنه لا يكفر؛ لأن الجهل عذر بالكتاب، والسنة، وإجماع المسلمين في الجملة؛ أي:ليس في كل الصور.
وذلك لقوله تعالى: {{وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً}} [الإسراء: 15] وقال تعالى: {{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ}} [إبراهيم: 4] ، وقال تعالى: {{إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ} ...} إلى قوله: {{رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ}} [النساء: 163 ـ 165] فدل هذا على أنه لو لم يرسل رسلاً إلى الخلق فلهم حجة على الله؛ لأنهم معذورون، وقال الله تعالى: {{وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلاَّ وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ *}} [القصص] ، وقال الله تعالى عن قريش: {{وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْنَاهُمْ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا لَوْلاَ أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولاً فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَذِلَّ وَنَخْزَى *}} [طه].
وقال النبي صلّى الله عليه وسلّم: «إن الله تجاوز عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه» [(171)]، والنصوص الدالة على أن الجهل عذر كثيرة جداً.
ولكن هل تقبل دعوى الجهل من كل أحد؟
الجواب؛ لا، فإن من عاش بين المسلمين، وجحد الصلاة، أو الزكاة، أو الصوم، أو الحج، وقال: لا أعلم، فلا يقبل قوله؛ لأن هذا معلوم بالضرورة من دين الإسلام؛ إذ يعرفه العالم والعامي، لكن لو كان حديث عهد بالإسلام، أو كان ناشئاً ببادية بعيدة عن القرى والمدن، فيقبل منه دعوى الجهل ولا يكفر، ولكن نعلمه فإذا أصر بعد التَّبيين حكمنا بكفره، وهذه المسألة ـ أعني مسألة العذر بالجهل ـ مسألة عظيمة شائكة، وهي من أعظم المسائل تحقيقاً وتصويراً.
فمن الناس من أطلق وقال: لا يعذر بالجهل في أصول الدين كالتوحيد، فلو وجدنا مسلماً في بعض القرى أو البوادي النائية يعبد قبراً أو ولياً، ويقول: إنه مسلم، وإنه وجد آباءه على هذا ولم يعلم بأنه شرك فلا يعذر.
والصحيح أنه لا يكفر؛ لأن أول شيء جاءت به الرسل هو التوحيد، ومع ذلك قال تعالى: {{وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً}} [الإسراء: 15] فلا بد أن يكون الإنسان ظالماً، وإلا فلا يستحق العذاب.
على أن تقسيم الدين إلى أصول وفروع أنكره شيخ الإسلام، وهذا التقسيم لم يحدث إلا بعد القرون المفضلة في آخر القرن الثالث، وقال شيخ الإسلام: كيف نقول: إن الصلاة من الفروع؟! ـ لأن الذين يقسمون الدين إلى أصول وفروع يجعلون الصلاة من الفروع ـ وهي الركن الثاني من أركان الإسلام، وكذا الزكاة، والصوم، والحج، كيف يقال: إنها من الفروع؟!
ولكن قد لا يعذر الإنسان بالجهل، وذلك إذا كان بإمكانه أن يتعلم ولم يفعل، مع قيام الشبهة عنده، كرجل قيل له: هذا محرم، وكان يعتقد الحل، فسوف تكون عنده شبهة على الأقل، فعندئذٍ يلزمه أن يتعلم ليصل إلى الحكم بيقين.
فهذا ربما لا نعذره بجهله؛ لأنه فرط في التعليم، والتفريط يسقط العذر، لكن من كان جاهلاً، ولم يكن عنده أي شبهة، ويعتقد أن ما هو عليه حق، أو يقول هذا على أنه الحق، فهذا لا شك أنه لا يريد المخالفة ولم يرد المعصية والكفر، فلا يمكن أن نكفره حتى ولو كان جاهلاً بأصل من أصول الدين، فالإيمان بالزكاة وفرضيتها أصل من أصول الدين، ومع ذلك لا يكفر الجاهل.
وبناءً على هذا يتبين حال كثير من المسلمين في بعض الأقطار الإسلامية الذين يستغيثون بالأموات، وهم لا يعلمون أن هذا حرام، بل قد لُبِّس عليهم أن هذا مِمَّا يقرب إلى الله، وأن هذا وليٌّ لله وما أشبه ذلك، وهم معتنقون للإسلام، وغيورون عليه، ويعتقدون أن ما يفعلونه من الإسلام، ولم يأت أحد ينبههم، فهؤلاء معذورون، لا يؤاخذون مؤاخذة المعاند الذي قال له العلماء: هذا شرك، فيقول: هذا ما وجدت عليه آبائي وأجدادي، فإن حكم هذا الأخير حكم من قال الله تعالى فيهم: {{إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ}} [الزخرف: 22] .
“Seandainya ia mengingkari kewajibannya karena jahil, maka tidak dikafirkan karena kejahilan diberikan ruang udzur oleh Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijmaa’ kaum muslimin secara umum; maksudnya : tidak semua bentuk kejahilan diberikan ‘udzur.
Hal itu berdasarkan firman-Nya ta’ala : ‘dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15). ‘Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka’ (QS. Ibraahiim : 4). ‘Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu’ (QS. An-Nisaa’ : 163-165). Ini menunjukkan bahwa seandainya Allah tidak mengutus para Rasul kepada makhluk-Nya, maka mereka mempunyai hujjah terhadap Allah, karena mereka mempunyai ‘udzur. Allah ta’ala berfirman : ‘Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedhaliman’ (QS. Al-Qashshash : 59). Allah ta’ala juga berfirman tentang Quraisy : ‘Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al Qur'an itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?"(QS. Thaha : 134).
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku akan kekeliruan, lupa, dan yang dipaksakan kepadanya’. Nash-nash yang menunjukkan bahwa kejahilan merupakan ‘udzur sangatlah banyak.
Akan tetapi, apakah diterima semua klaim kejahilan dari setiap orang ?.
Jawabnya : Tidak, karena barangsiapa yang hidup di tengah kaum muslimin dan kemudian ia mengingkari kewajiban shalat, zakat, puasa, atau haji; lalu ia mengatakan : ‘Aku tidak tahu’ – maka tidak diterima perkataannya tersebut, karena perkara tersebut termasuk perkara yang telah diketahui secara umum dari agama Islam, yang diketahui baaik orang yang ‘alim ataupun awamnya. Namun apabila ia baru masuk Islam atau hidup di tengah gurun yang jauh dari desa maupun kota, maka diterima klaim ketidaktahuannya dan ia tidak dikafirkan. Akan tetapi  kita memberitahukan kepadanya (perkara tersebut). Apabila ia terus melakukannya setelah adanya penjelasan, maka kita menghukuminya dengan kekufuran. Permasalahan ini, yaitu permasalahan udzur kejahilan, merupakan permasalahan yang sangat besar lagi rumit. Ia merupakan permasalahan yang membutuhkan penelitian dan penggambaran yang jelas.
Diantara manusia ada yang memutlakkan dengan mengatakan : ‘Tidak ada ‘udzur kejahilan dalam perkara ushuluddin seperti tauhid’. (Hal itu seperti) seandainya kita mendapatkan seorang muslim di sebagian desa atau gurun terpencil beribadah kepada kubur atau para wali, dan ia mengatakan bahwa ia seorang muslim dan ia mendapati ayah-ayah mereka melakukannya tanpa mengetahui perbuatan itu termasuk kesyirikan; maka ia tidak diberikan ‘udzur( = kafir).
Yang benar, ia tidak dikafirkan, karena hal pertama yang dibawa para Rasul adalah tauhid, dan bersamaan dengan itu Allah ta’ala berfirman : ‘dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15). Oleh karena itu, seseorang harus menjadi seorang yang dhalim dulu (misalnya : sengaja menolak kebenaran– Abul-Jauzaa’). Jika tidak, maka ia tidak berhak mendapatkan adzab.
Lebih lanjut, pembagian agama menjadi ushul dan furu’ telah dingkari oleh Syaikhul-Islaam. Pembagian ini tidak terjadi melainkan setelah kurun terbaik, yaitu pada akhir abad ketiga. Syaikhul-Islam berkata : ‘Bagaimana bisa kita katakan shalat merupakan furuu’ ?’ – karena orang yang membagi agama menjadi ushul dan furu’, menjadikan shalat termasuk furu’. Padahal shalat merupakan rukun kedua  dari rukun-rukun Islam. Begitu juga dengan zakat, puasa, dan haji. Bagaimana dapat dikatakan ia termasuk furu’ ?’.
Akan tetapi kadang seseorang tidak diberikan ‘udzur kejahilan, apabila ia mampu untuk menuntut ilmu/belajar namun tidak ia lakukan, sehingga ada syubhat bersamanya. Hal itu seperti seseorang yang dikatakan kepadanya : ‘Ini haram’, sementara ia berkeyakinan halal. Maka minimal dalam dirinya terdapat syubhat, sehingga pada saat itu wajib baginya untuk belajar agar mendapatkan keyakinan dalam hukum.
Jadi orang semacam ini terkadang tidak kita beri ‘udzur atas kejahilannya, karena dia meremehkan untuk belajar, sementara sikap meremehkan itu menggugurkan ‘udzur. Tetapi orang yang bodoh sementara pada dirinya tidak terdapat syubhat sedikitpun dan dia meyakini apa yang dia amalkan adalah benar, atau dia melakukan sebuah kesalahan karena meyakininya sebagai kebenaran, maka tidak diragukan lagi bahwa dia ini tidak bermaksud menyelisihi kebenaran dan juga tidak bermaksud untuk berbuat maksiat dan kekafiran, sehingga tidak mungkin untuk kita kafirkan, walaupun dia bodoh terhadap salah satu dari prinsip-prinsip pokok agama. Maka, keimanan terhadap zakat dan kewajibannya termasuk salah satu di antara prinsip-prinsip pokok agama, meskipun demikian, seorang yang jahil terhadapnya tidak dikafirkan (jika keadaannya seperti yang telah disebutkan).
Atas dasar ini, maka jelaslah kondisi kebanyakan kaum muslimin di sebagian negeri Islam yang beristighatsah kepada mayit, mereka tidak mengetahui hal itu diharamkan. Bahkan menjadi samar bagi mereka bahwa perbuatan tersebut termasuk amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, orang yang mati tersebut merupakan wali Allah, dan yang serupa dengan itu. Mereka menetapi agama Islam, mempunyai kecemburuan terhadapnya, dan berkeyakinan apa yang dilakukannya tersebut termasuk bagian syari’at Islam, sementara tidak ada seorang pun yang mengingatkannya; maka mereka itu diberikan ‘udzur. Ia tidak diperlakukan sebagai pembangkang, seorang yang ulama mengatakan kepadanya : ‘Ini syirik’, lalu ia menjawab : ‘Ini lah yang aku dapati dari bapak-bapakku dan nenek moyangku’. Maka hukum bagi orang yang semacam ini adalah hukum orang yang difirmankan Allah ta’ala tentang mereka : ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka’ (QS. Az-Zukhruuf : 22)….” [Asy-Syarhul-Mumtii’, 6/192-194].
Beliau rahimahullah pernah menjelaskan faedah dari Surat Al-An’aam:
الفائدة الثانية : أن هذا الحكم لمن قامت عليه الحجة بمجيء  الحق إليه، وأما من لم يعرف الحق فإنه على قسمين : تارة يدين بدين الحق لكنه لا يعرفه، فيصلي ويزكي ويصوم ويحج لكن يستغيث بالأموات، هذا نقول إننا نحكم بإسلامه إذا لم تقم عليه الحجة.
وتارة يدين بدين الباطل ولا ينتسب لدين الحق : فهو لا يدين بدين الإسلام أصلاً ولم تبلغه الحجة، ولم يدرِ أنه على ضلال، لكنه يدين بدين غير الإسلام فهذا نعامله بأنه كافر، ولهذا لو مات أحد الآن لم تبلغه الدعوة من غير المسلمين فإننا لا نصلي عليه ولا نترحم عليه؛ لأنه يدين بدين غير الإسلام، أما في الآخرة فإ أمره إلى الله - عز وجل - .
ولو كان مسلماً يدين بدين الإسلام ويقول : أشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله ويقيم الصلاة ويؤتي الزكاة لكنه يأتي شركاً أكبر لا يدري أنه شرك أكبر فهذا نُعامله معاملة المسلم، نغسله ونكفنه ونصلي عليه وندفنه معنا ما دام لم تقم عليه الحجة.
“Faedah kedua : Bahwa hukum ini adalah bagi orang yang telah tegak padanya hujjah dengan datangnya kebenaran kepadanya. Adapun bagi orang yang tidak mengetahui kebenaran, maka terbagi menjadi dua orang:
(1)   Ia beragama dengan agama yang benar (Islam), namun ia tidak mengetahui. Ia melakukan shalat, menunaikan zakat, berpuasan, dan berhaji, namun ia beristighatsah kepada orang-orang yang telah mati. Dalam permasalahan ini kami mengatakan bahwa kami menghukumi keislamannya apabila belum tegak padanya hujjah.
(2)   Ia beragama dengan agama yang bathil (non-Islam) dan tidak menisbatkan kepada agama yang benar : (yaitu) ia tidak beragama Islam secara asal, namun belum sampai kepadanya hujjah. Ia tidak mengetahui bahwa ia berada di atas kesesatan, akan tetapi ia beragama dengan agama selain Islam. Maka dalam hal ini kami memperlakukanya sebagai seorang kafir. Oleh karena itu, seandainya ada seorang non-muslim yang meninggal sekarang dimana belum sampai kepadanya dakwah, maka kami tidak menshalatkannya dan tidak bertarahum (mengucapkan doa rahmat) kepadaya, karena ia beragama selain agama Islam. Adapun di akhirat, maka perkaranya diserahkan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Seandainya ada seorang muslim yang beragama Islam dan mengucapkan asyhadu an laa ilaha illallaah wa anna Muhammadan rasuululah (aku bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhamma adalah utusan-Nya), mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, akan tetapi ia berbuat kesyirikan akbar tanpa mengetahui perbuatan tersebut termasuk syirik akbar, maka dalam hal ini kami memperlakukannya sebagai seorang muslim. (Jika ia meninggal), kami memandikannya, mengkafaninya, menshalatkannya, dan menguburkannya di pekuburan kami (kaum muslimin) selama belum tegak padanya hujjah” [Tafsiir Al-Qur’aan Al-Kariim Surah Al-An’aam, hal. 39, Daar Ibnil-Jauziiy, Cet. Tahun. 1433].
Pertanyaan:
إمرأة كانت تعيش في بعض بلاد أفريقيا، توفيت هذه المرأة وكانت تطوف حول القبور وتذبح لها وليس هناك من علماء التوحيد من يبين لها وقد كانت تجهل هذا الأمر، هل تكون معذورة؟ وهل يجوز لأولادها ومن أراد الدعاء لها أن يدعو لها؟
“Seorang wanita yang hidup di sebagian negeri Afrika. Wanita ini meninggal, namun dulunya ia pernah thawaf di sekeliling kubur dan menyembelih sembelihan untuknya sedangkan di sana tidak ada ulama tauhid yang menjelaskan padanya. Wanita tersebut jahil tentang perkara ini. Apakah ia diberikan ‘udzur ? Apakah anak-anaknya dan orang yang yang ingin mendoakannya diperbolehkan mendoakannya ?”.
Jawab:
لكنها تدين بالإسلام، هي تدين بالإسلام؛ لكنها تفعل الشرك لا تدري ولم ينبها أحد عليه، وليس عندها من ينبهها؛ فهذه مسلمة، تعتبر مسلمة يصلى عليها، وتدفن مع المسلمين، ويدعوا لها أولادها؛ لأنها جاهلة لم تنبه على هذا ولم تعلم بهذا وليس عندها علماء ينبهونها وهي تدين بالإسلام؛ فهي جاهلة وقد قال الله تبارك وتعالى:{وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً}
“Akan tetapi wanita itu beragama Islam, namun melakukan kesyirikan tanpa ia ketahui dan tidak ada seorang pun yang memberitahukan kepadanya (tentang kesyirikan yang ia lakukan). Tidak ada orang di sisinya yang memberitahukan kepadanya. Maka wanita ini adalah muslimah. Ia dihukumi muslimah, yang dishalati dan dikuburkan bersama kaum muslimin. Anak-anaknya boleh mendoakannya, karena ia seorang yang jaahil, tidak ada orang yang mengingatkannya tentang (kesyirikan) perbuatan tersebut, dan ia tidak mengetahui hukum perbuatan tersebut. Tidak ada pula ulama di sisinya yang mengingatkannya, sedangkan ia beragama Islam, namun ia jahil. Allah tabaraka wa ta’ala telah berfirman : ‘dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15)” [Fataawaa Al-Haram Al-Madaniy, no. 65, side B, menit 15].
Komentar : Adakah perkataan beliau rahimahullah perlu dita’wil ? (tentu tidak, karena sudah sangat jelas).
6.     Asy-Syaikh Muqbil bin Hadiy Al-Wadii’iy rahimahullah
Beliau rahimahullah pernah berkata:
قد اختلف أهل السنة أنفسهم في هذه القضية في شأن العذر بالجهل في التوحيد، والذي يظهر أنه يعذر بالجهل لقوله عز وجل: ((وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً)) ( (الإسراء:15)، ولقول الله عزوجل حاكيًا عن الحواريين حيث قالوا:((هَلْ يَسْتَطِيْعُ رَبُّك أَنْ ينزل عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَـاء)) (المائدة:112)، فَمَـا قَال لهم عيسى: إِنَّكُمْ قَدْ كَفَرْتُمْ!، ولكن قال:((اتَّقُوا الله إِنْ كُنْتُم مُؤْمِنِيْن)) (المائدة:112).
وَكَقَوْلِه تَعَالـى في شأن أصحاب موسى: ((اجْعَل لَنَا إِلَـهًا كَمَـا لَـهُم آلهة قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَـجْهَلُوْنَ )) (الأعراف:138).
وفي الصَّحِيْحِ- وهو مَرْوِي من حديث جـمـاعة من الصحابة-(( أَنَّ رَجُلًا قال لِبَنِيْهِ: أَيّ أَب كُنْتُ لَكُمْ؟ قالوا: نِعْم الأب، قال: فإذا مِتّ فاحرقوني ثم ذروني فوالله لئن قدر الله عليَّ ليعذبني عذابا لا يعذبه أَحَدًا مِنَ العَالَـمِيْن، فَلَمَّـا فَعَلوا ما أوصاهم به، ثم أَمَرَ الله البحر أن يجمع ما فيه، والبر أن يجمع ما فيه، وأحياه الله فقال له: ما حَـمَلَكَ على ما صَنَعْتَ؟ قال: مَـخَافَتُكَ يَا رب، قال فَإِنِّـي قَدْ غَفَرْتُ لَك))، وهذا رجل يَشُكُّ في قُدْرَةِ الله، كَمَـا أَنَّ الحواريين شَكُّوا في قدرة الله. فهذه الأدلة تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يُعْذَرُ بالجهل.......
“Ahlus-Sunnah telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini yaitu ‘udzur kejahilan dalam masalah tauhid. Dan pendapat yang nampak kuat bagiku diberikannya ‘udzur kejahilan berdasarkan firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Dan Kami tidak akan mengazab hingga Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15). Dan juga berdasarkan firman Allah ‘azza wa jallah yang menceritakan tentang Hawariyyun, yaitu saat mereka berkata : ‘Apakah Rabbmu mampu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?’ (QS. Al-Maaidah : 112). ‘Iisaa tidak mengatakan kepada mereka (karena keraguan mereka akan kekuasaan Allah ta’ala– Abul-Jauzaa’) : ‘Sesungguhnya engkau telah kafir’, akan tetapi ia berkata : ‘Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman’ (QS. Al-Maaidah : 112).
Dan juga seperti firman-Nya ta’ala tentang keadaan shahabat-shahabat Muusaa : ‘buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)’ (QS. Al-A’raaf : 138).
Dan hadits dalam Ash-Shahiih yang diriwayatkan dari sekelompok shahabat : ‘Ada seorang laki-laki berkata kepada anak-anaknya : ‘Bapak seperti apakah aku bagi kalian ?’. Mereka berkata : ‘Sebaik-baik bapak’. Ia berkata : ‘Apabila aku mati, maka bakarlah jasadku, kemudian taburkanlah abu jasadku itu. Demi Allah, seandainya Allah mampu mengembalikan jasadku, niscaya Ia akan mengadzabku dengan adzab yang Ia belum pernah mengadzab seorang pun selain diriku. Ketika mereka melaksanakan apa yang diwasiatkannya kepada mereka, kemudian Allah memerintahkan lautan dan daratan untuk mengumpulkan serpihan jasadnya, dan kemudian Allah menghidupkannya, Ia berfirman kepadanya : ‘Apa yang menyebabkanmu melakukan hal itu ?’. Laki-laki itu menjawab : ‘Karena rasa takutku pada-Mua wahai Rabb’. Allah berfirman : ‘Sesungguhnya aku telah mengampunimu’.
Orang ini ragu akan kekuasaan Allah sebagaimana hawariyyuun ragu akan kekuasaan Allah. Dalil-dalil ini menunjukkan adanya pemberian ‘udzur terhadap kejahilan….” [Ghaaratul-Asyrithah, 2/447-448].
تكفير المعين  إذا حصلت منه ردة أو استحل ما حرم الله بدون تأويل، وهو عالم بذلك فيكفر، أما أن يكون متأولًا أو يكون جاهلًا أو يرى أنه لا يستطيع أن يعيش في المجتمع وهذا خطأ لا نوافقه على هذا، فإذا كان يستحل شيئًا محرماً وهو ليس بجاهل ولا متأول فهذا يعتبر كافرًا، أما إذا كان جاهلًا أو متأولًا أو مكرهًا فلا بد من عذره إذا كان جاهلًا، وإذا كان مكرهًا كذلك ولا يحكم عليه، والله المستعان
“Pengkafiran individu (mu’ayyan) apabila didapatkan padanya kemurtadan atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah tanpa ta’wil, sedangkan ia mengetahui tentang hal tersebut; maka ia dikafirkan. Adapun jika ia seorang yang melakukan ta’wil atau jahil atau memandang ia tidak dapat hidup di tengah masyarakat, maka ini keliru, kami tidak menyepakatinya. Apabila ia menghalalkan yang diharamkan dalam keadaan ia bukan seorang yang jaahil dan bukan pula orang yang menta’wil, maka ia kafir. Namun apabila ia orang yang jahil atau orang yang melakukan ta’wil atau orang yang terpaksa, maka sudah seharusnya ia diberikan ‘udzur apabila ia jahil. Begitu juga jika ia terpaksa, maka ia tidak dihukumi dengan kekafiran. Wallaahul-musta’aan” [idem, 2/447].
7.     Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah
Beliau hafidhahullah pernah berkomentar tentang diri Sayyid Quthb rahimahullah:
ومع الأسف يقولون عنهم الدعاة أيضاً، وهو موجود في تفسير سيد قطب في "ظلال القرآن"، يقول هذا القول: إن الإسلام لا يقر الرق، وإنما أبقاه خوفاً من صولة الناس واستنكار الناس لأنهم ألفوا الرق، فهو أبقاه من باب المجاملة يعني كأن الله يجامل الناس، وأشار إلى رفعه بالتدريج حتى ينتهي. هذا كلام باطل وإلحاد - والعياذ بالله - هذا إلحاد واتهام للإسلام.
ولولا العذر بالجهل،[ لأن ] هؤلاء نعذرهم بالجهل لا نقول إنهم كفارٌ ؛ لأنهم جهال أو مقلدون نقلوا هذا القول من غير تفكير فنعذرهم بالجهل، وإلا الكلام هذا خطير لو قاله إنسان متعمد ارتد عن دين الإسلام، ولكن نقول هؤلاء جهال لأنهم مجرد أدباء أو كتاب ما تعلموا، ووجدوا هذه المقالة ففرحوا بها يردون بها على الكفار بزعمهم.
لأن الكفار يقولون: إن الإسلام يُمَلِّكَ الناس، وأنه يسترق الناس، وأنه وأنه، فأرادوا أن يردوا عليهم بالجهل، والجاهل إذا رد على العدو [ فإنه ] يزيد العدو شراً، ويزيد العدو تمسكا بباطله. الرد يكون بالعلم ما يكون بالعاطفة، أو يكون بالجهل، [ بل ] يكون الرد بالعلم والبرهان، وإلا فالواجب أن الإنسان يسكت ولا يتكلم في أمور خطيرة وهو لا يعرفها.
فهذا الكلام باطل ومن قاله متعمدا فإنه يكفر، أما من قاله جاهلاً أو مقلداً فهذا يعذر بالجهل، والجهل آفةٌ قاتلة - والعياذ بالله -....
“Sayangnya lagi, hal ini juga diucapkan orang para du’at dan hal ini ada di dalam tafsir Sayyid Quthb yang berjudul Fii Dhilaalil-Qur’an. Ia berkata tentang hal ini : ‘Sesungguhnya Islam tidak menetapkan adanya perbudakan dan sesungguhnya Islam menetapkan hal ini hanya karena takut akan serangan dan pengingkaran manusia dikarenakan manusia (dulu) telah terbiasa dengan perbudakan. Islam menetapkannya sebagai bentuk mujamalah (bersikap baik) yaitu seakan-akan Alloh bersikap baik terhadap manusia, kemudian ia mengisyaratkan atas diangkatnya (hukum perbudakan) secara bertahap hingga akhirnya berhenti’. Ucapan ini adalah ucapan yang batil dan ilhad(menyimpang) – wal’iyadzubillah -. Ini adalah ilhad dan tuduhan terhadap Islam.
Seandainya tidak diberi ‘udzur atas kejahilannya (maka mereka telah kafir), hanya saja mereka semua ini kita beri ‘udzur atas kejahilannya oleh karena itu kami tidak mengatakan mereka ini kafir, dikarenakan mereka jahil atau hanya bertaklid dengan menukil pendapat ini tanpa memikirkannya dan kami memberi mereka ‘udzur (atas hal ini). Apabila tidak, ucapan yang bahaya ini jika diucapan oleh seseorang secara sengaja maka ia telah murtad keluar dari Islam. Tapi kami berpendapat mereka ini jahil, karena mereka hanyalah sekedar seorang sastrawan atau penulis yang tidak mengetahui, lalu mereka mendapatkan ucapan ini dan mereka bergembira dengannya dan mereka membantah kaum kafir dengan ucapan ini.
Oleh sebab orang kafir mengatakan : ‘Sesungguhnya agama Islam itu memperbolehkan manusia dijadikan sebagai hak milik (properti), Islam mencuri (hak) manusia, Islam begini dan begini’. Lantas mereka (para pemikir dan penulis ini) ingin membantah orang kafir tadi dengan kebodohan. Dan orang jahil itu, apabila membantah seorang musuh, maka ia menyebabkan musuh itu malah bertambah menjadi buruk dan semakin berpegang dengan kebatilannya. Membantah itu haruslah dengan ilmu, tidak dengan luapan perasaan (emosi) atau dengan kejahilan, namun haruslah dengan ilmu dan burhan (argumentasi yang terang). Apabila tidak, maka wajib bagi seseorang untuk diam dan tidak berbicara di dalam perkara yang riskan sedangkan ia tidak mengetahui (ilmu)-nya.
Ucapan ini adalah ucapan batil dan barangsiapa mengucapakannya dengan sengaja maka ia kafir. Adapun orang yang mengatakannya karena kejahilannya atau taqlid, maka ia diberi ‘udzur atas kejahilannya dan kejahilan itu adalah penyakit yang membinasakan – wal’iyadzubillah -……” [Kaset rekaman tertanggal 4-8-1416 H, kemudian dikoreksi sendiri oleh beliau].
Pertanyaan:
أحسن الله إليكم صاحب الفضيلة : من كَفَّرَ الصحابة هل هو كافر؟
Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan ya syaikh. Apakah orang yang mengkafirkan shahabat itu kafir?”.
Jawab:
من كَفَّرَ الصحابة عن علم، وهو يعرف أن الله جل وعلا عدلهم وزكاهم، والرسول حكم بإيمانهم، يعرف كل هذا ويكفر الصحابة فهو كافر. أما إن كان مقلدا سمع من يقول بهذا وقلده فهذا ضلال
“Barangsiapa yang mengkafirkan shahabat dari ilmu, sedangkan ia mengetahui bahwa Allah jalla wa ‘alaa telah menetapkan keadilan bagi mereka dan memuji mereka, serta Rasul telah menetapkan keimanan mereka. Ia dalam keadaan mengetahui semuanya ini dan kemudian mengkafirkan shahabat, maka ia kafir. Namun apabila ia seorang muqallidyang mendengar orang mengatakan perkataan tersebut dan kemudian ia bertaqlid kepadanya, maka ia sesat” [Ta’liiq Al-Mukhtashaar ‘alal-Qashiidah An-Nuuniyyah, 3/1333].
Pertanyaa:
“Orang yang melakukan kesyirikan, seperti berdoa kepada selain Allah misalnya, untuk memberikan kesembuhan terhadap penyakit; apakah kita mengatakan : ‘Ia musyrik’, ataukah kita mengatakan ; ‘Perbuatannya syirik’ – dalam keadaan kita mengetahui ia mengucapkan Laa ilaha illallaah, mengerjakan puasa dan berhaji ?”.
Jawab:
“Apabila ia tidak memiliki ‘udzur dalam perbuatan syiriknya, maka ia seorang musyrik. Namun apabila ia jahil/bodoh, seorang muqallid, atau ia mempunyai ta’wiil yang ia anggap benar, maka perlu dijelaskan kepadanya. Apabila ia menolaknya, maka penghukuman kesyirikan ada padanya karena kejahilannya telah hilang” [Sumber audio : http://www.manhaj.com/manhaj/assets/audio/fawzan-excuse-ignorance.mp3].
Komentar : Perkataan di atas sangat jelas bahwa beliau hafidhahullah membedakan antara orang yang tidak punya ‘udzur(yang ia dapat langsung dikafirkan) dan orang yang mempunyai ‘udzur.
Yang lebih jelas lagi, mari kita simak tanya jawab terkait kekufuran Raafidlah:
Pertanyaan:
أحسن الله إليكم صاحب الفضيلة : هل الرافضة الذين يعيشون بين أهل السنة، كفار بأعيانهم أو يعذرون بالجهل، وهل يكفر أعيانهم أم لا، أرجو التوضيح؟
“Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan ya syaikh. Apakah Raafidlah yang hidup di tengah-tengah Ahlus-Sunnah kafir untuk indivu-invidu mereka ataukah diberikan ‘udzur dengan kejahilan mereka. Dan apakah individu-individu mereka dikafirkan ataukah tidak ?. Saya mengharapkan penjelasan dari Anda.
Jawab:
من اعتنق هذا المذهب وأصر عليه حكم عليه حكم أهله، أما من كان جاهلاً ولم يعرف حقيقة مذهبمهم، فهذا يبين له الحق فإن قبل، فالحمد لله، وإن أصر حكم عليه بحكم أهل هذا المذهب
“Barangsiapa yang memeluk madzhab ini dan terus menetapinya, maka ia dihukumi dengan hukum pemeluknya (yaitu kafir). Adapun orang yang jahil dan tidak mengetahui hakekat madzhab mereka, maka perlu dijelaskan kebenaran kepadanya. Apabila ia menerima, maka Alhamdulillah. Namun jika ia terus menetapinya, maka ia dihukumu dengan hukum yang berlaku pada pemeluk madzhab ini” [Ta’liiq Al-Mukhtashaar ‘alal-Qashiidah An-Nuuniyyah, 3/1329-1330].
Pertanyaan:
هل الرافضة كفار، وهل يُفرق بين علمائهم وعامتهم في ذلك؟
“Apakah Raafidlah kafir ? Dan apakah dibedakan antara ulama mereka dan orang awam mereka dalam masalah itu ?”.
Jawab:
القاعدة أن كلَّ من دعا غير الله أو ذبح لغير الله أو عمل أي عبادة لغير الله فإنه كافر سواء كان من الرافضة و غيرهم ، من الرافضة و غيرهم . مَن عَبَدَ غير الله بأي نوع من أنواع العبادة فإنه كافر و كذلك من زعم أنّ أحدًا يجب إتباعه من غير الرسول صلى الله عليه وسلم فإنه كافر من الرافضة و من غيرهم. الرافضة يرون أنّ لأئمتهم منزلة أعلى مرتبة من الرسل و أن أئمتهم لا يخطئون و أنهم معصومون ، معصومون لا يخطئون ، و أن لهم الحق في أن يحللوا ما أرادوا و يحرموا ما أرادوا، أليس هذا أعظم الكفر و العياذ بالله. هذا عندهم في كتبهم ما هو بخفي، وعندهم أمور كثيرة غير ذلك
“Kaedahnya bahwa seorang orang yang berdoa kepada selain Allah atau menyembelih untuk selain Allah, atau beribadah kepada selain Allah, maka kafir. Sama saja apakah ia berasal dari Raafidlah atau selain mereka. Barangsiapa yang beribadah kepada selain Allah dengan salah satu jenis dari jenis-jenis peribadahan, maka ia kafir. Begitu juga yang orang yang menyangka bahwa seseorang wajib mengikuti orang selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ia kafir, baik dari kalangan Raafidlah atau selain mereka. Orang Raafidlah berpendapat bahwa imam-imam mereka mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Rasul, dan bahwasannya imam-imam mereka tidak pernah melakukan kekeliruan dan ma’shuum. Mereka ma’shuum, tidak pernah berbuat kekeliruan. (Mereka juga berpendapat) imam-imam mereka mempunyai hak dalam menghalalkan dan mengharamkan apa yang dikehendakinya. Bukankah ini merupakan kekufuran yang paling besar ?. Wal-‘yaadzubillah. Hal ini ada dalam kitab-kitab mereka tanpa tersembunyi. Dan mereka mempunyai banyak perkara lain selain itu”.
Pertanyaan:
وهل يُفَرَّق بين علمائهم وعامتهم في ذلك؟
“Dan apakah dibedakan antara ulama mereka dengan orang awam mereka dalam masalah itu ?”.
Jawab:
علماؤهم أشد، لأنهم يعرفون أن هذا باطل وأخذوه، لا شك في كفرهم، أما عوامهم فإذا أقيمت عليهم الحجة و أصروا يكفرون، أما ما لم تقم عليهم الحجة فهؤلاء أهل ضلال و لا يكفرون
“Ulama mereka lebih parah lagi (dalam kekafirannya), karena mereka mengetahui bahwa ini adalah kebathilan dan mengambilnya. Tidak ada keraguan dalam kekafiran mereka. Adapun orang awam mereka, apabila tegak padanya hujjah dan mereka terus melakukan (kekufuran tersebut), maka dikafirkan. Namun apabila belum tegak padanya hujjah, maka mereka itu orang yang sesat, namun tidak dikafirkan” [At-Ta’liiq Al-Mukhtashar ‘alal-Qaashidah An-Nuuniyyah– audionya dapat didengarkan di http://www.alfawzan.af.org.sa/node/5118, dan transkripnya ada di http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=145409].
Selain itu, perhatikan satu lembar buku Manhajul-Anbiyaa; fid-Da’wah ilallaah karya Asy-Syaikh Rabii’ yang diberikan ta’liiq oleh Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahumallah berikut:

Asy-Syaikh Rabii’ berkata (yang ada dalam kotak hitam):
“Kaum muslimin di negeri ini (yaitu India- Abul-Jauzaa’) termasuk sedikit dan merupakan orang yang paling jauh dari pemahaman Islam dan tauhid....................... Dan kaum muslimin beri’tikaf di sekelilingnya (kuburan) untuk mencapai kekhusyukan, ketundukan, dan pengagungan sebagai keyakinan mereka terhadap para wali tersebut bahwa mereka mengetahui hal-hal ghaib dan berubah bentuk”.
Kemudian Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah(yang ada dalam kotak merah) memberikan catatan kaki (komentar):
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan tersebut, tidak dimutlakkan padanya bahwasannya ia seorang muslim, kecuali jika ia melakukannya karena kejahilan dan belum tegak padanya hujjah” [selesai].
Komentar : Pemahaman yang langsung terambil dari perkataan Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah tersebut adalah bahwa seorang muslim yang melakukan perbuatan kekufuran/kesyirikan tersebut karena kebodohan dan belum tegak padanya hujjah, maka (masih) berstatus sebagai muslim, tidak dikafirkan.
8.     Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad hafidhahullah
Beliau hafidhahullah mempunyai perkataan yang sangat berfaedah dalam menjelaskan rincian masalah ini. Berikut saya kutipkan satu bagian ringkas dari perkataan beliau yang panjang yang menukil salah satu pendapat yang beredar di kalangan ulama Ahlus-Sunnah:
من صرف شيئاً من أنواع العبادة لغير الله، فهو مشرك كافر، وهذا الحكم إنما هو على الإطلاق وعلى من بلغته الحجة، وأما الشخص المعين فإذا حصل منه صرف شيء من أنواع العبادة لغير الله، كدعاء الأموات والاستغاثة بهم، وهو جاهل فإنه يتوقّف في تكفيره حتى يُبَيَّن له وتقام عليه الحجّة،
“Barangsiapa yang memalingkan sesuatu dari jenis-jenis peribadahan kepada selain Allah, maka ia musyrik lagi kafir. Hukum ini berlaku dalam kemutlakannya, dan bagi orang yang telah sampai kepadanya hujjah. Adapun untuk individu tertentu, apabila ada padanya pemalingan sesuatu dari jenis-jenis peribadahan kepada selain Allah seperti berdoa kepada orang yang mati dan ber-istighatsah kepada mereka, sedangkan ia dalam keadaan jaahil/bodoh, maka perlu menahan diri dalam pengkafiran terhadapnya hingga dijelaskan kepadanya dan tegak padanya hujjah……” [Syarh Syuruuthish-Shalaah, hal. 70-80].
9.     Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jaabiriy hafidhahullah
Silakan simak video rekaman suara beliau berikut:
Komentar : Perincian beliau hafidhahullah sangat bagus.
Perkataan para ulama di atas sangatlah jelas dalam memberikan ‘udzur kejahilan dalam masalah kekufuran dan kesyirikan. Masih banyak perkataan ulama lain yang semisal. Tidak perlu ditakwil macam-macam yang justru merusak isi perkataan. Meniadakan secara mutlak ‘udzur ini adalah kekeliruan. Apalagi sampai latah mengecap irjaa’. Ini namanya tidak memahami esensi ‘aqidah Murji’ah dalam masalah iman dan kufur.
Sebagaimana telah disebutkan dalam artikel sebelumnya, ‘udzur ini tidak berlaku mutlak. Sangat tergantung pada keadaan objek pelaku kekufuran/kesyirikan. Tentu akan berbeda penghukuman antara orang yang melakukan kesyirikan di Haramain – negeri yang dipenuhi ilmu dan ulama - dengan di Indonesia secara umum – negeri yang kental dengan bid’ah, kesyirikan, dan khurafat - . Masih ada perincian lain sebagaimana dijelaskan para ulama.[3]
Jika mereka mengatakan orang yang berpegang dengan pendapat menetapkan ‘udzur terhadap kejahilan bertentangan fatwa kibaar ulama, maka saya persilakan dengan senang hati bagi mereka untuk memberikan penjelasan apa yang dikatakan para ulama di atas.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 30112014 – 01:50].




[1]     Misalnya di negeri Haramain (Makkah dan Madiinah).
[3]     Diantaranya penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul hafidhahullah : http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=139866. Dan yang lainnya.

Memakai Nama Malaikat

$
0
0
Tanya : Apa hukum menamakan bayi dengan salah satu di antara nama-nama Malaikat (misalnya Jibriil/Gabriel atau Miikaaiil/Michael) ?
Jawab : Sebagian ulama ada yang melarang menamakan bayi dengan nama malaikat. Al-Baghawiy rahimahullah berkata:
ويكره التسمي بأسماء الملائكة مثل جبريل وميكائيل، لأن عُمَر بْن الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قد كره ذَلِكَ، ولم يأتنا عَن أحد مِن الصحابة ولا التابعين أَنَّهُ سمى ولدا لَهُ باسم أحد منهم، هذا قول حميد بْن زنجويه
“Dan dibenci pemberian nama dengan nama-nama malaikat seperti misal Jibriil dan Miikaaiil, karena ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu membencinya. Tidak ada keterangan yang sampai pada kami bahwa salah satu shahaba dan taabii’in ada yang memberikan nama anak mereka dengan nama malaikat. Ini adalah pendapat Humaid bin Zanjuwaih” [Syarhus-Sunnah, 12/336].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
ومنها كأسماء الملائكة كجبرائيل وميكائيل وإسرافيل فإنه يكره تسمية الآدميين بها قال أشهب سئل مالك عن التسمي بجبريل فكره ذلك ولم يعجبه
“Diantara nama yang terlarang antara lain nama para malaikat seperti Jibriil, Mikaaiil, dan Israafiil. Sesungguhnya dibenci memberikan nama anak-anak Adak dengan nama malaikat. Asyhab berkata : Maalik pernah ditanya tentang penamaan (seseorang) dengan Jibriil, lalu ia membencinya dan tidak kagum terhadapnya” [Tuhfatul-Mauduud, hal. 83].
Ada sebuah hadits yang berisi larangan memakai nama malaikat:
إِنَّ خَيْرَ أَسْمَائِكُمُ الْحَارِثُ، وَهَمَّامٌ، وَنِعْمَ الاسْمُ عَبْدُ اللَّهِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَسَمُّوا بِأَسْمَاءِ الأَنْبِيَاءِ، وَلا تُسَمُّوا بِأَسْمَاءِ الْمَلائِكَةِ....
Sesungguhnya sebaik-baik nama kalian adalah Al-Haarits dan Hammaam. Dan sebagus-bagus nama adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahmaan. Namailah kalian dengan nama-nama Nabi, akan tetapi jangan kalian menamai dengan nama-nama malaikat…. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir5/35, Syu’abul-Iimaan no. 8268, dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 27/242; Al-Bukhaariy berkata : “Fii isnaadihi nadhar (dalam sanadnya perlu diteliti)”].
Sanadnya sangat lemah karena:
1.     Mursal, karena ‘Abdullah bin Jarraad tidak pernah bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
2.     Abu Qataadah Asy-Syaamiy; Ibnu Ma’iin berkata tentangnya : “Tidak ada apa-apanya. Dulu aku menulis riwayat darinya, lalu aku meninggalkannya” [Miizaanul-‘I’tidaal, 4/564 no. 10568].
عَنْ خَالِد، سَمِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَجُلا يَقُولُ: يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ، فَقَالَ: "اللَّهُمَّ غُفْرًا، أَمَا رَضِيتُمْ أَنْ تَسَمَّوْا بِأَسْمَاءِ الأَنْبِيَاءِ، حَتَّى تَسَمَّوْا بِأَسْمَاءِ الْمَلائِكَةِ؟ فَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَلِكَ، فَالْحَقُّ مَا قَالَ، وَالْبَاطِلُ مَا خَالَفَهُ
Dari Khaalid : ‘Umar bin Al-Khaththaab pernah mendengar seorang laki-laki berkata : “Wahai Dzulqarnain!”. ‘Umar berkata : “Ya Allah, ampunilah kami. Tidakkah kalian ridla memakai nama para nabi hingga kalian memakai nama para malaikat ?. Seandainya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, maka kebenaran adalah apa yang beliau katakan dan kebathilan adalah apa yang menyelisihinya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 18/104-105].
Sanadnya sangat lemah karena:
1.     Ibnu Humaid (guru Ath-Thabariy), seorang yang matruuk[lihat selengkapnya : Tahdziibul-Kamaal 25/97-108 no. 5167 dan Tahdziibut-Tahdziib9/127-131 no. 181].
2.     Terdapat keterputusan (inqithaa’) antara Khaalid bin Ma’daan dengan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
Ulama lain membolehkannya.
عَنْ مَعْمَر قَالَ: قُلْتُ لِحَمَّادِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ: كَيْفَ تَقُولُ فِي رَجُلٍ يُسَمَّى بِجِبْرِيلَ، وَمِيكَائِيلَ ؟ فَقَالَ: لا بَأْسَ بِهِ
Dari Ma’mar, ia berkata : Aku bertanya kepada Hammaad bin Abi Sulaimaan : “Bagaimana pendapatmu tentang laki-laki yang bernama Jibriil dan Miikaaiil ?”. Ia menjawab : “Tidak mengapa” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 11/40-41 no. 19850; sanadnya shahih].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
مذهبنا ومذهب الجمهور جواز التسمية باسماء الانبياء والملائكة صلوات الله وسلامه عليهم أجمعين ولم ينقل فيه خلاف الا عن عمر بن الخطاب رضى الله عنه أنه نهى عن التسمية بأسماء الانبياء وعن الحرد بن مسكن انه كره التسمية باسماء الملائكة وعن مالك كراهة التسمية بجبريل وياسين
“Madzhab kami dan madzhab jumhur ulama membolehkan penamaan (seseorang) dengan nama-nama nabi dan malaikat shalawaatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim ajma’iin. Tidak ternukil dalam permasalahan tersebut adanya perbedaan pendapat, kecuali dari (1) ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu yang melarang penamaan dengan nama-nama nabi; (2) dari Al-Hard bin Miskiin yang melarang penamaan dengan nama-nama malaikat; dan (3) dari Maalik yang memakruhkan penamaan Jibriil dan Yaasiin” [Al-Majmuu’, 8/436].
A-Bahuutiy rahimahullahberkata:
( وَلَا يُكْرَهُ ) أَنْ يُسَمَّى ( بِجِبْرِيلَ ) وَنَحْوِهِ مِنْ أَسْمَاءِ الْمَلَائِكَةِ
“Dan tidak dimakruhkan menamakan anak dengan Jibriil dan yang semisalnya dari nama-nama malaikat” [Kasysyaaful-Qinaa’, 7/462].
Yang raajihdalam hal ini adalah madzhab jumhur ulama yang membolehkannya, karena tidak ada dalil shahih yang melarangnya. Namun demikian, Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah tetap memberikan peringatan:
أما تسمية النساء بأسماء الملائكة ، فظاهر الحرمة ، لأن فيها مضاهاة للمشركين في جعلهم للملائكة بنات الله ، تعالى الله عن قولهم
“Adapun penamaaan wanita dengan nama-nama malaikat, maka dhahirnya hukumnya haram, karena padanya terdapat persamaan dengan (kelakuan) orang-orang musyrik yang menjadikan para malaikat sebagai anak perempuan Allah. Maha Tinggi Allah dari perkataan (rendah) mereka” [Tasmiyyatul-Mauluud, hal. 37].
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلائِكَةَ تَسْمِيَةَ الأنْثَى * وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” [QS. An-Najm : 27-28].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 04122014 – 00:40].

Tawassul Orang Yahudi kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam

$
0
0
Al-Haakim rahimahullah berkata:
أَخْبَرَنِي الشَّيْخُ أَبُو بَكْرٍ بْنُ إِسْحَاقُ، أَنْبَأَ مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ، ثنا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى، ثنا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: "كَانَتْ يَهُودُ خَيْبَرَ تُقَاتِلُ غَطَفَانَ، فَكُلَّمَا الْتَقَوْا هُزِمَتْ يَهُودُ خَيْبَرَ فَعَاذَتِ الْيَهُودُ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِي وَعَدْتَنَا أَنْ تُخْرِجَهُ لَنَا فِي آخِرِ الزَّمَانِ، إِلا نَصَرْتَنَا عَلَيْهِمْ، قَالَ: فَكَانُوا إِذَا الْتَقَوْا دَعَوْا بِهَذَا الدُّعَاءِ، فَهَزَمُوا غَطَفَانَ، فَلَمَّا بُعِثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَفَرُوا بِهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ بِكَ يَا مُحَمَّدُ عَلَى الْكَافِرِينَ
Telah mengkhabarkan kepadaku Asy-Syaikh Abu Bakr bin Ishaaq : Telah memberitahukan Muhammad bin Ayyuub : Telah menceritakan kepada kami Yuusuf bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Haaruun bin ‘Antarah, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Yahudi Khaibar berperang dengan Kabilah Ghathafaan. Setiap bertemu dalam peperangan, orang Yahudi Khaibar selalu lari dan meminta perlindungan dengan berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu dengan haq (kedudukan) Muhammad, seorang Nabi yang ummi, yang Engkau janjikan kepada kami untuk diutus di akhir zaman, agar Engkau menolong kami”. Maka setiap berperang, Yahudi Khaibar selalu berdoa dengan doa ini sehingga berhasil memukul mundur pasukan Ghathafaan. Dan ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam diutus, mereka kufur terhadapnya. Kemudian Allah menurunkan ayat : ‘padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan – melalui perantaraan dirimu, wahai Muhammad - atas orang-orang kafir(QS. Al-Baqarah : 89)” [Al-Mustadrak, 2/263].
Diriwayatkan juga oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no 667 dan Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 2/76; semuanya dari jalan Yuusuf bin Muusaa.
Hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian suku ‘Aswaja’ untuk melegalkan tawassul dengan haq/kedudukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sayangnya, hadits ini palsu(maudluu’), karena:
1.     ‘Abdul-Malik bin Haaruun bin ‘Antarah, seorang pendusta. Berikut perincian perkataan para ulama tentangnya:
Ad-Daaraquthniy berkata : “Dla’iif”. Di lain tempat ia berkata : “Matruuk, sering berdusta”.
Ahmad bin Hanbal berkata : “Dla’iiful-hadiits”. Yahyaa bin Ma’iin : “Kadzdzaab”. Abu Haatim : “Matruuk, dzaahibul-hadiits”. Ibnu Hibbaan : “Ia memalsukan hadits”. As-Sa’diy : “Dajjaal, pendusta”. Shaalih bin Muhammad berkata : “Keumuman haditsnya dusta”.
Al-Haakim berkata : “Dzaahibul-hadiits jiddan”. Dalam kitab Al-Madkhal, ia (Al-Haakim) berkata : “Ia meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits palsu”. Abu Nu’aim berkata : “Ia meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits munkar”.
[Selengkapnya lihat : Mausuu’ah Aqwaal Ad-Daaraquthniy hal. 426 no. 2242, Mausuu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad fii Rijaail-Hadiits wa ‘Ilalih 2/391 no. 1643, dan Lisaanul-Miizaan5/276-278 no. 4933].
2.     Bertentangan dengan riwayat lain yang menjelaskan ayat tersebut turun berkenaan dengan Yahudi Madiinah.
قال ابن إسحاق وحدثني عاصم بن عمر بن قتادة عن رجال من قومه قالوا: إن مما دعانا إلى الإسلام مع رحمة الله تعالى وهداه لنا لما كنا نسمع من رجال يهود، وكنا أهل شرك أصحاب أوثان، وكانوا أهل كتاب عندهم علم ليس لنا، وكانت لا تزال بيننا وبينهم شرور فإذا نلنا منهم بعض ما يكرهون قالوا إنه قد تقارب زمان نبي يبعث الآن نقتلكم معه قتل عاد وإرم فكنا كثيرا ما نسمع ذلك منهم فلما بعث الله رسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم أجبناه حين دعانا إلى الله تعالى وعرفنا ما كانوا يتوعدوننا به فبادرناهم إليه فآمنا به وكفروا به ففينا وفيهم نزل الآيات من البقرة {وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ}
Telah berkata Ibnu Ishaaq : Dan telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin ‘Umar bin Qataadah, dari laki-laki dari kaumnya (dalam riwayat lain : ‘orang-orang tua dari kaum kami’ ), mereka berkata : “Sesungguhnya di antara sebab yang menyeru kami memeluk agama Islam di samping rahmat Allah ta’ala dan petunjuk-Nya kepada kami, adalah ketika kami mendengar orang-orang Yahudi yang waktu itu kami masih pelaku kesyirikan dan penyembah berhala sedangkan Ahlul-Kitab mempunyai ilmu yang tidak kami punyai. Kami senantiasa terlibat permusuhan dengan mereka. Apabila kami dapati dari mereka sesuatu yang mereka benci, mereka berkata : “Sesungguhnya telah dekat waktu kedatangan seorang Nabi yang akan diutus sekarang. Kami akan membunuh kalian bersamanya seperti dibunuhnya kaum ‘Aad dan Iram”. Kami sering mendengar hal itu dari mereka. Namun ketika Allah mengutus Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam, kami menjawab seruannya ketika ia mengajak kami menyembah Allah ta’ala dan kami mengetahui apa yang mereka (Yahudi) dulu ancamkan kepada kami dengannya. Kami pun mendahului mereka kepadanya (Nabi) dan beriman kepadanya, sedangkan mereka (Yahudi) malah mengkufurinya. Maka pada kami dan mereka turunlah ayat dari surat Al-Baqarah : ‘Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu’ (QS. Al-Baqarah : 89)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyaam 1/213 dan Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 2/75].
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menghasankannya[1] dalam Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul hal. 19-20.
‘Aashim bin ‘Umar bin Qataadah adalah orang Madiinah, dan syaikh yang ia sebut pun orang Madiinah. Oleh karena itu, setting peristiwa yang ia ceritakan adalah di Madiinah bersama Yahudi Madiinah.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
أن قوله تعالى وكانوا من قبل يستفتحون على الذين كفروا إنما نزلت بإتفاق أهل التفسير والسير فى اليهود المجاورين للمدينة أولا كبنى قينقاع وقريظة والنضير
“Bahwasanya firman-Nya : ‘padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir’ (QS. Al-Baqarah : 89); menurut para ahli tafsir dan pakar sirahhanyalah turun pada orang Yahudi yang hidup di Madiinah seperti Bani Qainuqaa’, Quraidhah, dan An-Nadliir…” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 1/299].
Wallaahu a’lam.
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 05122014 – 00:43].




[1]     Sungguh aneh bin ajaib, ketika ada orang yang menukil penghasanan Asy-Syaikh Muqbil ini untuk mengelabuhi orang agar berhujjah dengan riwayat Al-Haakim tersebut di atas:

Padahal, setting latar kedua riwayat tersebut berbeda. Yang satu bercerita tentang Yahudi Khaibar, yang lain bercerita tentang Yahudi Madiinah. Selain itu – dan ini yang pokok - , riwayat Ibnu Ishaaq yang dihasankan Asy-Syaikh Muqbil tidak menyebutkan doa orang Yahudi : ‘Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu dengan haq (kedudukan) Muhammad…….’. Padahal, ini yang mau mereka pakai sebagai dalil. Allaahul-musta’aan.

Ibnu Taimiyyah dan ‘Udzur Kejahilan

$
0
0
Ini adalah tambahan dari beberapa rangkaian tulisan yang telah ada di Blog ini. Ibnu Taimiyyah rahimahullah – sebagaimana para pendahulunya dari kalangan ulama – tetap memberikan ruang adanya ‘udzur kejahilanbagi pelaku kekufuran dan kesyirikan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Berikut (sebagian) rangkaian perkataan beliau rahimahullah dalam permasalahan ini yang akan diurutkan sebagai berikut:
1.     Seorang yang telah diketahui keislamannya secara pasti, tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali dengan sesuatu yang pasti juga.
Beliau rahimahullah berkata:
وليس لأحد ان يكفر أحدا من المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan[1]. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/466].
2.     Membedakan antara takfir secara mutlak dan takfir secara mu’ayyan.
Beliau rahimahullah berkata:
والتحقيق فى هذا أن القول قد يكون كفرا كمقالات الجهمية الذين قالوا إن الله لا يتكلم ولا يرى فى الآخرة ولكن قد يخفى على بعض الناس أنه كفر فيطلق القول بتكفير القائل كما قال السلف من قال القرآن مخلوق فهو كافر ومن قال ان الله لا يرى فى الآخرة فهو كافر ولا يكفر الشخص المعين حتى تقوم عليه الحجة
“Dan yang tepat /benar dalam masalah ini, bahwa kadangkala suatu perkataan merupakan kekufuran, sebagaimana halnya dengan perkataan-perkataan orang-orang Jahmiyyah yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah tidak berbicara, dan tidak bisa dilihat kelak diakhirat’. Akan tetapi kadangkala hal itu tersembunyi/samar  bagi sebagian orang bahwasannya hal itu termasuk kekufuran, sehingga dimutlakkan ucapan pengkafiran kepada orang yang mengucapkannya. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh salaf : ‘Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang mengatakan Allah tidak dapat dilihat diakhirat, maka ia kafir’. Dan tidaklah dikafirkan orang tertentu, sampai tegak padanya hujjah[idem,7/619].
ان التكفير له شروط وموانع قد تنتفي في حق المعين وان تكفير المطلق لا يستلزم تكفير المعين إلا إذا وجدت الشروط وانتفت الموانع يبين هذا أن الإمام أحمد وعامة الأئمة الذين اطلقوا هذه العمومات لم يكفروا اكثر من تكلم بهذا الكلام بعينه
 فإن الإمام أحمد مثلا قد باشر الجهمية الذين دعوه إلى خلق القرآن ونفى الصفات وامتحنوه وسائر علماء وقته وفتنوا المؤمنين والمؤمنات الذين لم يوافقوهم على التجهم بالضرب والحبس والقتل والعزل عن الولايات وقطع الأرزاق ورد الشهادة وترك تخليصهم من أيدي العدو بحيث كان كثير من أولى الأمر إذ ذاك من الجهمية من الولاة والقضاة وغيرهم يكفرون كل من لم يكن جهميا موافقا لهم على نفي الصفات مثل القول بخلق القرآن ويحكمون فيه بحكمهم في الكافر .......
ثم إن الإمام أحمد دعا للخليفة وغيره ممن ضربه وحبسه واستغفر لهم وحللهم مما فعلوه به من الظلم والدعاء إلى القول الذي هو كفر ولو كانوا مرتدين عن الاسلام لم يجز الاستغفار لهم فإن الاستغفار للكفار لا يجوز بالكتاب والسنة والاجماع وهذه الاقوال والأعمال منه ومن غيره من الأئمة صريحة في أنهم لم يكفروا المعينين من الجهمية الذين كانوا يقولون القرآن مخلوق وان الله لا يرى في الآخرة وقد نقل عن أحمد ما يدل على أنه كفر به قوما معينين فأما أن يذكر عنه في المسألة روايتان ففيه نظر أو يحمل الأمر على التفصيل فيقال من كفر بعينه فلقيام الدليل على أنه وجدت فيه شروط التكفير وانتفت موانعه ومن لم يكفره بعينه فلنتفاء ذلك في حقه هذا مع اطلاق قوله بالتكفير على سبيل العموم
 والدليل على هذا الأصل الكتاب والسنة والاجماع والاعتبار
“Sesungguhnya takfir mempunyai syarat-syarat dan penghalang-penghalang yang kadang tidak terpenuhi secara mu’ayyan (individu). Dan bahwasannya takfir mutlak tidak selalu mengkonsekuensikan takfir mu’ayyan, kecuali jika dipenuhinya syarat-syarat dan hilangnya penghalang-penghalang. Hal ini dijelaskan bahwa Al-Imaam Ahmad dan kebanyakan para imam yang memutlakkan keumuman-keumuman ini, tidaklah mengkafirkan mayoritas orang yang mengatakan perkataan (kufur) ini secara individu.
Dan sesungguhnya Al-Imaam Ahmad – misalnya – langsung mendebat kaum Jahmiyyah yang mengajaknya pada pemahaman Khalqul-Qur’an, menafikkan sifat-sifat Allah, mengujinya dan seluruh ulama di masanya, menghukum orang-orang mukmin baik laki-laki maupun wanita yang tidak sepakat dengan pemahaman Jahmiyyah dengan pukulan, dimasukkan ke dalam penjara, dibunuh,  pengasingan, memutuskan sumber-sumber rezeki, menolak persaksian mereka, dan membiarkan disandera musuh karena kebanyakan penguasa, hakim, dan yang lainnya menganut paham Jahmiyyah yang mengkafirkan orang yang tidak menganut paham Jahmiyyah. Mereka mengajak untuk menafikkan sifat-sifat Allah untuk menafikkan sifat-sifat Allah seperti perkataan Khalqul-Qur’an ( = Al-Qur’an adalah makhluk– Abul-Jauzaa’) dan menghukuminya sebagaimana mereka penghukuman mereka terhadap orang kafir……………
Kemudian Al-Imaam Ahmad mendoakan khaliifah dan yang lainnya yang telah memukulnya dan memasukkannya ke dalam penjara; serta memintakan ampun mereka, memaafkan mereka atas kedhaliman yang telah mereka lakukan dan seruan mereka terhadap perkataan kufur. Seandainya mereka termasuk orang-orang murtad, niscaya tidak diperbolehkan untuk memintakan ampun mereka karena permintaan ampunan untuk orang kafir tidak diperbolehkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’. Perkataan dan perbuatan Al-Imaam Ahmad ini dan juga selain dirinya dari kalangan para imam sangat jelas menunjukkan bahwa mereka tidak mengkafirkan secara mu’ayyan orang-orang berpamahaman Jahmiyyah yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk dan Allah tidak dilihat di akhirat. Telah ternukil dari Ahmad sesuatu yang menunjukkan bahwa beliau pernah mengkafirkan satu kaum secara mu’ayyan. Maka, boleh jadi dalam masalah tersebut ada dua riwayat dari beliau, sehingga perlu diteliti atau diberikan perincian, yaitu : (1) Dikatakan : Barangsiapa yang beliau kafirkan secara mu’ayyan, maka tidak tegak dalil yang menunjukkan telah terpenuhinya syarat-syarat takfir dan hilangnya penghalang-penghalangnya; (2) adapun orang yang tidak beliau kafirkan secara mu’ayyan karena hal-hal tersebut belum terpenuhi, yang disertai ucapan pengkafiran beliau secara mutlak menurut keumumannya” [idem, 12/487-488].
والأصل الثاني ان التكفير العام كالوعيد العام يجب القول باطلاقه وعمومه
 واما الحكم على المعين بأنه كافر أو مشهود له بالنار فهذا يقف على الدليل المعين فإن الحكم يقف على ثبوت شروطه وانتفاء موانعه
“Dan pokok yang kedua : Sesungguhnya takfir secara umum adalah seperti ancaman secara umum, wajib untuk mengatakannya dengan kemutlakan dan keumumannya.
Adapun hukum terhadap individu bahwasannya ia kafir atau memastikannya masuk neraka, maka hal ini tegak berdasarkan dalil mu’ayyan, karena hukum (takfir mu’ayyan) tegak berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat dan hilangnya penghalang-penghalangnya” [idem, 12/498].
3.     Takfir mu’ayyan dilakukan setelah tegak padanya hujjah, terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran, dan hilang penghalang-penghalangnya.
Perkataan pada butir 1 dan 2 di atas sebenarnya mencukupi, namun dapat ditambahkan perkataan beliau rahimahullah yang semisal:
فإن نصوص الوعيد التى فى الكتاب والسنة ونصوص الأئمة بالتكفير والتفسيق ونحو ذلك لا يستلزم ثبوت موجبها فى حق المعين الا اذا وجدت الشروط وانتفت الموانع
“Sesungguhnya nash-nash ancaman yang terdapat dalam Al-Kitaab dan As-Sunnah, serta nash-nash para imam tentang pengkafiran, pemfasikan, dan yang lainnya, tidak melazimkan konsekuensinya pada individu tertentu kecuali setelah terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya” [idem, 10/372].
وإذا عرف هذا فتكفير المعين من هؤلاء الجهال وأمثالهم بحيث يحكم عليه بأنه من الكفار لا يجوز الاقدام عليه الا بعد ان تقوم على أحده الحجة الرسالية التي يتبين بها أنهم مخالفون للرسل وان كانت هذه المقالة لا ريب انها كفر
“Apabila telah diketahui hal ini, maka pengkafiran secara mu’ayyan terhadap orang-orang bodoh tersebut dan yang semisal dengan mereka - dengan penghukuman bahwa mereka itu kafir - tidak diperbolehkan kecuali setelah tegak padanya hujjahrisaaliyyah yang menjelaskan bahwa mereka menyelisihi Rasul; meskipun perkataan tersebut tidak diragukan lagi kekufurannya” [idem, 12/500].
فهذه المقالات هي كفر لكن ثبوت التكفير في حق الشخص المعين موقوف على قيام الحجة التي يكفر تاركها وإن أطلق القول بتكفير من يقول ذلك فهو مثل إطلاق القول بنصوص الوعيد مع أن ثبوت حكم الوعيد في حق الشخص المعين موقوف على ثبوت شروطه وانتفاء موانعه ولهذا أطلق الأئمة القول بالتكفير مع أنهم لم يحكموا في عين كل قائل بحكم الكفار
“Perkataan-perkataan ini adalah kufur, akan tetapi penetapan kekafiran pada orang tertentu tergantung pada tegaknya hujjah yang mengkafirkan orang yang meninggalkannya. Seandainya perkataan pengkafiran itu dimutlakkan terhadap orang yang mengatakannya, maka hal itu seperti pemutlakkan perkataan melalui nash-nash ancaman. Sementara penetapan hukum ancaman terhadap individu tertentu tergantung pada terpenuhinya syarat-syaratnya dan hilangnya penghalang-penghalangnya. Oleh karena itu, para imam memutlakkan perkataan pengkafiran tanpa menghukumi setiap individu yang mengatakkannya sebagai orang kafir” [Bughyatul-Murtaad fir-Radd ‘alal-Mutafalsifah wal-Qaraamithah wal-Baathiniyyah, hal. 353-354].
4.     Tidak ada perbedaan dalam masalah pengkafiran antara masalah ushul dan masalah furu’, i’tiqad/keyakinan dan fatwa.
Beliau rahimahullah berkata:
أن المتأول الذي قصده متابعة الرسول لا يكفر بل ولا يفسق إذا اجتهد فأخطأ وهذا مشهور عند الناس في المسائل العملية وأما مسائل العقائد فكثير من الناس كفر المخطئين فيها وهذا القول لا يعرف عن أحد من الصحابة والتابعين لهم بإحسان ولا عن أحد من أئمة المسلمين وإنما هو في الأصل من أقوال أهل البدع الذين يبتدعون بدعة ويكفرون من خالفهم كالخوارج والمعتزلة والجهمية ووقع ذلك في كثير من أتباع الأئمة كبعض أصحاب مالك والشافعي وأحمد وغيرهم وقد يسلكون في التكفير ذلك فمنهم من يكفر أهل البدع مطلقا ثم يجعل كل من خرج عما هو عليه من أهل البدع وهذا بعينه قول الخوارج والمعتزلة الجهمية وهذا القول أيضا يوجد في طائفة من أصحاب الأئمة الأربعة وليس هو قول الأئمة الأربعة ولا غيرهم وليس فيهم من كفر كل مبتدع بل المنقولات الصريحة عنهم تناقض ذلك ولكن قد ينقل عن أحدهم أنه كفر من قال بعض الأقوال ويكون مقصوده أن هذا القول كفر ليحذر ولا يلزم إذا كان القول كفرا أن يكفر كل من قاله مع الجهل والتأويل فإن ثبوت الكفر في حق الشخص المعين كثبوت الوعيد في الآخرة في حقه وذلك له شروط وموانع
“Sesungguhnya orang yang men-ta’wil yang niatnya mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah kafir dan bahkan tidaklah fasiq apabila dia berijtihad dan kemudian salah. Dan inilah yang masyhur di kalangan ulama dalam masalah amal. Adapun dalam masalah ‘aqaaid(keyakinan), kebanyakan manusia mengkafirkan orang yang salah di dalamnya. Perkataan seperti ini tidak pernah diketahui dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan tabi’in, serta tidak pula dari kalangan imam kaum muslimin. Padahal, perkataan itu berasal dari ahli bid’ah yang mengada-adakan hal yang baru dalam agama.  Mereka mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka seperti kaum Khawarij, Mu’tazillah, dan Jahmiyyah. Dan telah terjatuh pula kebanyakan dari pengikut para imam (dalam kesalahan yang sama) seperti sebagian pengikut Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan yang lainnya. Mereka mengikuti para ahli bid’ah tersebut dalam hal takfir, dimana sebagian diantara mereka mengkafirkan ahlul-bida’ secara mutlak yang kemudian mereka menjadikan setiap orang yang tergabung dengan ahlul-bida’ (sebagai kafir). Ini sebenarnya adalah (asal dari) perkataan Khawaarij, Mu’tazillah, dan Jahmiyyah (yang mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka). Dan ini pulalah yang kemudian ditemukan dari sebagian perkataan pengikut imam empat. Padahal ini bukanlah merupakan perkataan imam empat atau imam-imam yang lain. Tidaklah seorang pun dari mereka yang mengkafirkan setiap mubtadi’. Bahkan nukilan-nukilan yang sharih dari mereka bertolak belakang dengan hal itu. Akan tetapi, kadang-kadang dinukil dari salah seorang di antara mereka  bahwa ia mengkafirkan orang yang mengatakan sebagian perkataan (kufur). Padahal, maksudnya adalah perkataan tersebut adalah perkataan kufur dan harus dijauhi. Tidaklah setiap perkataan kufur itu mengharuskan untuk mengkafirkan setiap orang yang mengucapkannya jika ucapan tersebut diucapkan karena kejahilan/kebodohan atau penakwilan. Sebab, menetapkan kekafiran pada individu tertentu seperti menetapkan baginya ancaman di akhirat. Dan hal ini memiliki syarat-syarat dan penghalang-penghalang" [Minhajus-Sunnah, 5/239-240].
5.     Memberikan ‘udzur pada satu jaman dan tempat yang telah didominasi oleh kebodohan dan sedikitnya ilmu lebih utama dan lebih ditekankan dibandingkan memberikan ‘udzur di jaman dan tempat dimana banyak ulama dan ilmu sudah menyebar.
Beliau rahimahullah berkata:
وكثير من الناس قد ينشأ في الأمكنة والأزمنة الذي يندرس فيها كثير من علوم النبوات، حتى لا يبقى من يبلغ ما بعث الله به رسوله من الكتاب والحكمة، فلا يعلم كثيرًا مما يبعث الله به رسوله ولا يكون هناك من يبلغه ذلك، ومثل هذا لا يكفر، ولهذا اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان، وكان حديث العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول،
“Banyak diantaramanusia yang hidup di tempat dan jaman yang telah banyak terhapusnya ilmu-ilmu kenabian, hingga tidak tersisa lagi orang yang menyampaikan apa-apa yang oleh karenanya Allah mengutus Rasul-Nya berupa Al-Qur’an dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sehingga banyak yang tidak mengetahui apa-apa yang menyebabkan Allah mengutus Rasul-Nya (berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada yang menyampaikan hal tersebut. Hal yang seperti ini tidak menjadikan dia kafir. Oleh karena itu para imam telah sepakat bahwa barangsiapa yang hidup di tempat terpencil yang jauh dari ahli ilmu dan iman, atau dia baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari hukum-hukum yang telah jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia mengetahui (dan memahami) apa-apa yang dibawa oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].
Point ini lebih akan lebih jelas dengan pernyataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah di bawah.
6.     Kejahilan merupakan salah satu ‘udzur dalam pengkafiran, dan orang yang jahil tidak langsung dikafirkan kecuali setelah tegak padanya hujjah– meskipun perbuatannya termasuk katagori syirik.
Beliau rahimahullah berkata:
فإن تكفير الشخص المعين و جواز قتله موقوف على أن تبلغه الحجة النبوية التي يكفر من خالفها و إلا فليس كل من جهل شيئا من الدين يكفر
“Sesungguhnya pengkafiran terhadap individu secara mu’ayyan dan pembolehan hukum bunuh terhadapnya, tergantung pada sampainya hujjah nubuwwah yang mengkonsekuensikan hukum kekafiran terhadap orang yang menyelisihinya (nash tersebut). Jika tidak, maka tidak setiap orang yang jahil terhadap sesuatu dari agama mesti dikafirkan” [Ar-Radd ‘alal-Bakriy, 2/492].
لكن مِن الناس مَن يكون جاهِلاً ببعض هذه الأحكام جهلاً يُعْذَر به، فلا يُحْكَم بكُفْر أحدٍ، حتى تقومَ عليه الحجة مِن جهة بلاغ الرِّسالة
“Akan tetapi ada di antara manusia yang jaahil(tidak mengetahui) terhadap sebagian hukum-hukum ini dimana kejahilannya ini diberikan ‘udzur. Maka tidak boleh seseorang dihukumi kafir hingga tegak padanya hujjah dari sisi sampainya risaalah kepadanya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/406].
وهكذا الأقوال التي يكفر قائلها قد يكون الرجل لم تبلغه النصوص الموجبة لمعرفة الحق، وقد تكون عنـده ولم تثبت عنده،أو لم يتمكن من فهمها،وقد يكون قد عرضت له شبهات يعذره الله بها، فمن كان من المؤمنين مجتهداً في طلب الحق وأخطأ، فإن الله يغفر له خطأه ـ كائنا ما كان ـ سواء كان في المسائل النظرية، أو العملية‏.‏ هذا الذي عليه أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، وجماهير أئمة الإسلام
“Dan begitu juga dengan beberapa perkataan yang dapat mengkafirkan pelaku/pengucapnya. Kadang-kadang seseorang belum sampai padanya nash-nash yang mengantarkannya mengetahui kebenaran. Kadang pula nash-nash itu telah sampai padanya, akan tetapi ia menganggapnya tidak shahih atau ia tidak memahaminya. Kadang pula ia tertimpa suatu syubhat yang Allah memberikan ‘udzurdengannya. Maka, siapa saja dari kalangan orang-orang mukmin yang berusaha untuk mengetahui kebenaran lalu keliru, Allah akan mengampuni kekeliruannya tersebut, apapun bentuknya. Sama saja, apakah ia dalam permasalahan nadhariyyah(teoritis/’aqidah) atau amaliyyah. Inilah yang berlaku di kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan jumhur para imam kaum muslimin” [idem, 23/346].
كل من عبد عبادة نهي عنها ولم يعلم بالنهي - لكن هي من جنس المأمور به - مثل من صلى في أوقات النهي وبلغه الأمر العام بالصلاة ولم يبلغه النهي ...... فإنها إذا دخلت في عموم استحباب الصلاة ولم يبلغه ما يوجب النهي أثيب على ذلك ....... بخلاف ما لم يشرع جنسه مثل الشرك فإن هذا لا ثواب فيه وإن كان الله لا يعاقب صاحبه إلا بعد بلوغ الرسالة كما قال تعالى‏:‏ ‏{‏وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً‏}‏ ‏[‏الإسراء‏:‏ 15‏]‏ لكنه وإن كان لا يعذب فإن هذا لا يثاب بل هذا كما قال تعالى‏:‏ ‏{‏وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا‏}‏ ‏[‏الفرقان‏:‏ 23‏]‏‏
“Setiap orang yang beribadah dengan peribadahan yang dilarang (oleh syari’at), namun ia tidak mengetahui keberadaan larangan tersebut – akan tetapi ibadah tersebut termasuk jenis yang diperintahkan – , seperti orang yang shalat di waktu-waktu yang terlarang dimana telah sampai padanya perintah umum untuk melaksanakan shalat, namun tidak sampai padanya larangan (untuk shalat di waktu-waktu tersebut) ...... Maka jika ia masuk dalam keumuman dalil perintah shalat, namun belum sampai padanya larangannya, orang tersebut tetap diberikan pahala.... Berbeda halnya dengan ibadah yang tidak disyari’atkan menurut jenisnya, seperti perbuatan syirik. Perbuatan ini tidak diberikan pahala (jika orang tersebut melakukannya dengan ketidaktahuannya). Sesungguhnya Allah tidaklah menghukum orang tersebut kecuali setelah sampainya risaalah, sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala : ‘Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul’ (QS. Al-Israa’ ; 15). Akan tetapi – meskipun ia tidak diadzab karenannya – ia tidak diberikan pahala dengannya. Bahkan perbuatannya ini sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan’ (QS. Al-Furqaan : 23)...” [idem, 20/31-33].
مثل من يعتقد أن شيخه يرزقه، أو ينصره أو يهديه، أو يغيثه، أو يعينه، أو كان يعبد شيخه أو يدعوه ويسجد له، أو كان يفضله على النبي صلى الله عليه وسلم تفضيلا مطلقا، أو مقيدا في شيء من الفضل الذي يقرب إلى اللّه تعالى، أو كان يرى أنه هو أو شيخه مستغن عن متابعة الرسول صلى الله عليه وسلم، فكل هؤلاء كفار إن أظهروا ذلك، ومنافقون إن لم يظهروه‏.‏
وهؤلاء الأجناس، وإن كانوا قد كثروا في هذا الزمان، فلقلة دعاة العلم والإيمان، وفتور آثار الرسالة في أكثر البلدان، وأكثر هؤلاء ليس عندهم من آثار الرسالة وميراث النبوة ما يعرفون به الهدى، وكثير منهم لم يبلغهم ذلك‏.‏ وفي أوقات الفترات، وأمكنة الفترات‏:‏ يثاب الرجل على ما معه من الإيمان القليل، ويغفر اللّه فيه لمن لم تقم الحجة عليه ما لا يغفر به لمن قامت الحجة عليه، كما في الحديث المعروف‏:‏ ‏(‏ يأتي على الناس زمان لا يعرفون فيه صلاة، ولا صيامًا، ولا حجًا، ولا عمرة، إلا الشيخ الكبير، والعجوز الكبيرة‏.‏ ويقولون‏:‏ أدركنا آباءنا وهم يقولون‏:‏ لا إله إلا الله فقيل لحذيفة بن اليمان‏:‏ ما تغني عنهم لا إله إلا اللّه‏؟‏ فقال‏:‏ تنجيهم من النار‏)‏ ‏.‏
وأصل ذلك‏:‏ أن المقالة التي هي كفر بالكتاب والسنة والإجماع يقال هي كفر قولا يطلق، كما دل على ذلك الدلائل الشرعية؛ فإن ‏[‏الإيمان‏]‏ من الأحكام المتلقاة عن اللّه ورسوله، ليس ذلك مما يحكم فيه الناس بظنونهم وأهوائهم‏.‏ ولا يجب أن يحكم في كل شخص قال ذلك بأنه كافر حتى يثبت في حقه شروط التكفير، وتنتفى موانعه،
“Semisal orang yang berkeyakinan syaikhnya yang memberikan rizki kepadanya, menolongnya, memberikan hidayah kepadanya, membantunya atau menolongnya; atau orang yang menyembah kepada syaikhnya, berdoa kepadanya, atau sujud kepadanya; atau orang yang lebih mengutamakannya daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamsecara mutlak atau muqayyad (terbatas) pada suatu keutamaan yang dapat mendekatkan kepada Allah ta’ala; atau orang yang berpandangan bahwa ia atau syaikhnya adalah orang yang tidak lagi dibebani kewajiban untuk mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka mereka semua adalah kafirjika menampakkannya, dan munafik jika tidak menampakkannya.
Semua jenis orang tersebut ada banyak di jaman ini, yang disebabkan oleh sedikitnya pendakwah yang menyerukan ilmu dan keimanan dan kelemahan ilmu agama/risaalah di kebanyakan negeri. Dan kebanyakan diantara mereka tidak mempunyai ilmu agama/risalah dan warisan kenabian sehingga dapat mengetahui petunjuk. Dan bahkan banyak di antara mereka yang tidak sampai (kepada mereka) ilmu agama/risalah dimaksud. Pada waktu dan tempat fatrah (kekosongan penyampaian risalah), seseorang diberikan pahala atas sedikitnya iman yang ia miliki. Dan Allah mengampuni orang yang belum tegak padanya hujjah, sebagaimana Ia tidak mengampuni orang yang telah tegak padanya hujjah. Terdapat dalam hadits yang ma’ruuf: ‘Akan tiba satu jaman yang tidak diketahui padanya shalat, puasa, haji, dan ‘umar, kecuali ada seorang laki-laki tua dan wanita lemah yang mengatakan : ‘Kami dapati ayah-ayah kami mengatakan : ‘Laa ilaha illallaah’. Dikatakan kepada Hudzaifah  bin Al-Yamaan : ‘Apakah kalimat Laa ilaha illallaah mencukupi bagi mereka ?’. Ia menjawab : ‘Kalimat itu dapat menyelamatkan mereka dari neraka’.
Pokok pembicaraan hal itu adalah : Bahwasannya perkataan yang mengkonsekuensikan kekufuran berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; maka dikatakan bahwa perkataan itu kufur secara mutlak, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iyyah. Sesungguhnya iman merupakan hukum-hukum yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bukan berdasarkan hukum yang berasal dari prasangka dan hawa nafsu manusia. Tidaklah mengkonsekuensikan kekafiran bagi setiap orang yang mengatakan perkataan kekafiran, hingga terpenuhi baginya syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya faktor penghalangnya” [idem, 35/164-165].
والمرتد من أشرك بالله تعالى أو كان مبغضا للرسول صلى الله عليه و سلم ولما جاء به أو ترك إنكار منكر بقلبه أو توهم أن أحدا من الصحابة أو التابعين أو تابعيهم قاتل مع الكفار أو جاز ذلك أو أنكر مجمعا عليه إجماعا قطعيا أو جعل بينه وبين الله وسائط يتوكل عليهم ويدعوهم ويسألهم ومن شك في صفة من صفات الله تعالى ومثله لا يجهلها فمرتد وإن كان مثله يجهلها فليس بمرتد ولهذا لم يكفر النبي صلى الله عليه و سلم الرجل الشاك في قدرة الله وإعادته
“Orang murtad adalah orang yang berbuat syirik kepada Allah atau membenci Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan risalah yang beliau bawa; meninggalkan pengingkaran kemunkaran dengan hatinya; menyangka salah seorang shahabat, taabi’iin, atau taabi’ut-taabi’iin berperang bersama orang-orang kafir atau membolehkannya; mengingkari sesuatu yang telah menjadi ijmaa’ secara pasti (qath’iy); atau menjadikan sesuatu antara dirinya dengan Allah sebagai perantara yang ia bertawakal, berdoa, dan meminta kepadanya. Dan barangsiapa yang ragu terhadap satu sifat di antara sifat-sifat Allah ta’ala,dan yang semisalnya tanpa adanya kejahilan, maka ia murtad. Namun apabila keadaannya adalah yang semisal dengan adanya kejahilan, maka tidak murtad. Oleh karena itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkafirkan laki-laki yang ragu akan kekuasaan Allah dan dalam kemampuan-Nya untuk mengembalikannya….” [Al-Fataawaa Al-Kubraa, 5/535].
فإنا بعد معرفة ما جاء به الرسول نعلم بالضرورة انه لم يشرع لأمته أن تدعو أحدا من الأموات لا الأنبياء ولا الصالحين ولا غيرهم لا بلفظ الاستغاثة ولا يغيرها ولا بلفظ الاستعاذة ولا يغيرها كما أنه لم يشرع لأمته السجود لميت ولا لغير ميت ونحو ذلك بل نعلم أنه نهى عن كل هذه الأمور وأن ذلك من الشرك الذي حرمه الله تعالى ورسوله لكن لغلبة الجهل وقلة العلم بآثار الرسالة في كثير من المتأخرين لم يكن تكفيرهم بذلك حتى يتبين لهم ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم مما يخالفه
“Maka setelah kita mengetahui risalah yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kita mengetahui dengan pasti bahwa tidaklah disyari’atkan bagi umatnya untuk berdoa kepada orang mati, baik para Nabi, orang shaalih, dan yang lainnya; tidak dengan lafadh istighatsah, isti’adzah, atau yang lainnya. Sebagaimana juga tidak disyari’atkan bagi umatnya untuk sujud kepada mayit atau selain mayit, dan yang lainnya. Bahkan kita mengetahui beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang semua perkara itu, karena termasuk kesyirikan yang diharamkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Akan tetapi karena meratanya kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar-atsar risalah pada kebanyakan orang-orang yang hidup di masa belakangan (muta’akhkhiriin), maka kita tidak langsung mengkafirkan mereka karena perkara tersebut, hingga jelas bagi mereka syari’at yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perbuatan mereka tersebut” [Ar-Radd 'alal-Bakriy, 2/731].
Catatan :
a.     Perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah : [نعلم بالضرورة] ‘kita mengetahui secara pasti’, maksudnya hal itu termasuk al-ma’luum mind-diin nidl-dlaruurah. Di sini, Ibnu Taimiyyah rahimahullah tetap memberikan ruang ‘udzur kejahilan karena tersebarnya  kebodohan dan sedikit ilmu dalam perkara tersebut, sehingga hal-hal yang telah jelas diketahui dengan pasti oleh sebagian orang di tempat dan waktu tertentu, ternyata tidak diketahui oleh sebagian yang lain di tempat dan waktu yang lain pula. Oleh karena itu, al-ma’luum mind-diin nidl-dlaruurah merupakan perkara yang nisbi.[2]
b.     Pembaca yang mulia,..... Anda dapat baca dan renungi fenomena kesyirikan di jaman Ibnu Taimiyyah rahimahullah karena tersebarnya  kebodohan dan sedikit ilmu. Beliau rahimahullah tetap tidak tergesa-gesa mengkafirkan mereka secara mu’ayyan.Apakah di jaman kita - secara umum – atau di Indonesia – secara khusus - keadaannya jauh lebih baik dari keadaan di jaman beliau rahimahullah ?].
Ada perkataan beliau yang lain yang lebih jelas. Setelah menjelaskan perbuatan kesyirikan dan bid’ah yang dilakukan orang-orang di kuburan, beliau rahimahullah berkata:
وهذا الشرك إذا قامت على الإنسان الحجة فيه ولم ينته وجب قتله كقتل أمثاله من المشركين ولم يدفن في مقابر المسلمين ولم يصلَّ عليه وأما إذا كان جاهلا لم يبلغه العلم ولم يعرف حقيقة الشرك الذي قاتل عليه النبي صلى الله عليه وسلم المشركين فإنه لا يحكم بكفره ولا سيما وقد كثر هذا الشرك في المنتسبين إلى الإسلام ومن اعتقد مثل هذا قربة وطاعة فإنه ضال باتفاق المسلمين وهو بعد قيام الحجة كافر
“Ini adalah kesyirikan. Apabila telah tegak hujjah pada seseorang padanya namun ia tidak berhenti (dari perbuatan syirik tersebut), maka wajib untuk membunuhnya seperti pembunuhan terhadap orang yang semisal dengannya dari kalangan orang-orang musyrik. Ia tidak dikuburkan di kuburan kaum muslimin dan tidak pula dishalati. Namun apabila ia seorang yang jaahilyang belum sampai kepadanya ilmu yang membuatnya mengetahui hakekat kesyirikan yang membuat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerangi orang-orang musyrik, maka ia tidak dihukumi kafir. Khususnya, banyak kesyirikan ini dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam. Barangsiapa yang berkeyakinan seperti ini dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah dan taat kepada-Nya, maka ia sesat berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Setelah adanya penegakan hujjah, maka ia dikafirkan” [Jaami’ Al-Masaail, 3/151].
Apa yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah di atas adalah yang kami yakini dalam permasalahan ini, meskipun banyak orang yang tidak suka, dan meskipun banyak orang mengecap kami Murji’ah – karena sedikitnya penelaahan mereka, semoga Allah ta’ala memaafkan mereka.
Permasalahan ‘udzur bil-jahlini merupakan permasalahan khilafiyyah di antara ulama Ahlus-Sunnah. Bahkan apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah di atas merupakan madzhab ulama kibaar Ahlus-Sunnah. Semoga Allah ta’ala merahmati mereka semua.
Walaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ - perumahan ciomas permai– 06122014 – 16:50].




[1]     Perkataan beliau serupa dengan perkataan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahumallah:
أن كلَّ مَن ثبت له عقدُ الإسلام في وقتٍ بإجماعٍ من المسلمين ، ثم أذنبَ ذنباً أو تأوَّل تأويلاً ، فاختلفوا بعدُ في خروجه من الإسلام ؛ لم يكُن لاختِلافهم بعد إجماعهم معنىً يوجبُ حُجَّةً ، ولا يخرجُ من الإسلام المتفقِ عليه إلا باتفاقٍ آخر ، أو سنةٍ ثابتةٍ لا مُعارِضَ لها
“Siapa saja dari kalangan muslimin yang telah tetap keislamannya dalam satu waktu berdasarkan ijma’/kesepakatan, kemudian ia berbuat satu dosa atau menta’wilkan satu ta’wil (yang diharamkan), lalu orang-orang berselisih tentang murtad tidaknya orang itu (akibat perbuatan dosa yang ia lakukan); maka perselisihan mereka setelah kesepakatannya itu tidak ada artinya sebagai hujjah (akan kekafirannya). Tidaklah seseorang dikeluarkan dari wilayah Islam yang keislamannya itu telah disepakati, kecuali dengan kesepakatan yang lain, atau sunnah yang shahih yang bertentangan baginya” [At-Tamhiid, 16/315].
[2]     Sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Umar Bazmuul hafidhahullahdi : http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=139866.
Begitu juga dengan perkara jelas dan samar/tersembunyi, sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah:
لأن الخفاء والظهور أمر نسبي ، قد يكون ظاهراً عندي ما هو خفيٌ عليك ، وظاهرٌ عندك ما هو خفيٌّ عليَّ
“....Hal itu dikarenakan jelas atau samarnya satu perkara merupakan sesuatu yang nisbi. Kadang ada sesuatu yang jelas menurutku, namun samar bagimu. Begitu juga sebaliknya, jelas bagimu, namun samar bagiku...” [Pertemuan Terbuka, kaset no. 48, side B - http://islamqa.info/ar/111362].

Adz-Dzahabiy dan ‘Udzur Kejahilan

$
0
0
Adz-Dzahabiy rahimahullahpernah berkata tentang kondisi orang-orang yang terjatuh dalam dosa-dosa besar:
اعلم أن كثيرا من الكبائر بل عامتها إلا الأقل يجهل خلقٌ كثير من الأمة تحريمه ، وما بلغه الزّجر فيه و لا الوعيد ، فهذا الضَّرب فيهم تفصيل:
فينبغي للعالم أن لا يستعجل على الجاهل بل يرفق به ، ويعلّمه مما علّمه الله ، ولاسيما إذا كان قريب عهد بجاهلية ، قد نشأ في بلاد الكفر البعيدة ، وأُسر وجُلب إلى أرض الإسلام ، وهو تُركي أو كرجي مشرك لا يعرف النطق بالعربي ، فاشتراه أميرٌ تركي لا علم عنده ولا فهم ، فبالجهد إن تلفّظ بالشّهادتين ، فإن فهم بالعربي حتى يفقه معنى الشهادتين بعد أيام وليال فبها ونعمت ، ثم قد يصلي وقد لا يصلي ، وقد يُلقَّن الفاتحة مع الطول إن كان أستاذه فيه دينٌ ما ، فإن كان أستاذه نسخة منه فمن أين لهذا المسكين أن يعرف شرائع الإسلام والكبائر واجتنابها ، والواجبات وإتيانها؟ فإن عُرِّف هذا موبقات الكبائر وحُذِّر منها ، وأركان الفرائض واعتقدها ، فهو سعيد ، وذلك نادرٌ ، فينبغي للعبد أن يحمد الله تعالى على العافية.
 فإن قيل: هو فرّط لكونه ما سأل عمّا يجب عليه.
 قيل : هذا ما دار في رأسه ، ولا استشعر أن السؤال من يُعلِّمه يجب عليه ، {ومَن لم يجعلِ اللهُ له نورا فما له من نورٍ}(النور: الآية40) ، فلا يأثم أحدٌ إلا بعد العلم ، وبعد قيام الحجة عليه ، والله لطيف بعباده ، رؤوف بهم قال الله تعالى : { وما كُنَّا مُعذِّبين حتى نبعثَ رسولا}(الإسراء: الآية15).
وقد كان سادةُ الصّحابة بالحبشة وينزل الواجب والتحريم على النبي صلى الله عليه وسلم فلا يبلغهم تحريمُه إلاّ بعد أشهر ، فهم في تلك الأشهر معذورون بالجهل حتى يبلغهم النص ، فكذا يعذر بالجهل كلُّ من لم يعلم حتى يسمع النص ، والله تعالى أعلم.
“Dan ketahuilah banyak diantara dosa-dosa besar, bahkan mayoritasnya kecuali sedikit diantaranya, tidak diketahui keharamannya oleh banyak orang dari umat ini dan tidak sampai larangan dan ancaman itu kepada mereka. Pada orang seperti ini terdapat perincian (dalam hukum dan vonisnya). Sudah seharusnya seorang ‘alim tidak terburu-buru (memvonis) kepada seorang yang jahil, akan tetapi hendaknya ia bersikap lemah-lembut kepadanya dan mengajarkan apa yang Allah ajarkan kepada dirinya. Khususnya, apabila orang tersebut baru keluar dari masa Jahiliyyah, dimana sebelumnya ia hidup di negeri kufur yang jauh lalu tertawan dan dibawa ke negeri Islam, dan ia adalah orang Turki atau orang Kurji yang musyrik yang tidak tahu bahasa ‘Arab, lalu ia dibeli oleh seorang amir Turki yang tidak mempunyai ilmu dan pemahaman. Maka dengan usaha keras, seandainya orang tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat, sedangkan ia sendiri memahami bahasa ‘Arab sehingga ia dapat memahamkannya dua kalimat syahadat setelah beberapa hari atau beberapa malam; maka itu bagus. Kemudian, mungkin ia shalat dan mungkin pula ia tidak shalat. Kadang ia diajarkan Al-Faatihah dalam waktu yang panjang, padahal orang yang mengajarkannya tidak memiliki pemahaman agama yang memadai. Seandainya ustadznya itu satu cetakan dengan dirinya (yaitu : sama-sama bodoh), lantas dari mana orang miskin ini mengetahui syari’at-syari’at Islam, dosa-dosa besar sehingga ia menjauhinya, dan kewajiban-kewajiban sehingga ia melakukannya ?. Seandainya ia diberitahukan dosa-dosa besar yang membinasakan ini dan diberikan peringatan terhadapnya, lalu diajarkan kepadanya berbagai kewajiban-kewajiban dan kemudian ia meyakininya; maka ia adalah orang yang berbahagia. Akan tetapi itu sangatlah jarang. Maka, seorang hamba sudah seharusnya memuji Allah ta’ala atas anugerah ‘afiyah (kepada dirinya).
Apabila dikatakan : ‘Orang tersebut lalai karena tidak bertanya tentang apa yang diwajibkan kepadanya’.
Dikatakan : Inilah yang ada di dalam pikirannya, dan ia tidak merasa bahwa bertanya kepada orang yang dapat mengajarkannya diwajibkan kepadanya. ‘(Dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun’ (QS. An-Nuur : 40). Seseorang tidaklah berdosa kecuali setelah ia mengetahui dan setelah tegak padanya hujjah. Dan Allah Maha Lembut dan Maha Penyayang atas hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman : ‘dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15).
Dulu beberapa pembesar shahabat yang berada di negeri Habasyah dimana pada waktu bersamaan turun kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka tidaklah sampai kepada mereka pengharaman-pengharaman tersebut kecuali setelah lewat beberapa bulan. Maka, mereka diberikan ‘udzur dalam bulan-bulan tersebut atau ketidaktahuan mereka hingga sampai kepada mereka nash. Begitu pula setiap orang yang tidak mengetahui diberikan ‘udzur kejahilan hingga ia mendengar nash (dan memahaminya), wallaahu a’lam.
[Al-Kabaair, hal. 19-20, tahqiq : ‘Abdurrazzaaq Mahdiy; Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. Thn. 1425 H].

[Abul-Jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 09122014 – 22:20].

Al-Ma’luum minad-Diin bidl-Dlaruurah

$
0
0
Al-‘Ilmu Adl-Dlaruuriy didefinisikan sebagai ilmu yang didapatkan tanpa membutuhkan penelitian dan istidlaal, yang dipelajari oleh masyarakat umum, dan sudah dipastikan kebenarannya (aksiomatik)[1]. Dapat juga berarti : sesuatu yang didapatkan tanpa memikirkan dan penelitian terhadap dalil[2].
Berdasarkan definisi ini, maka al-‘ilmu adl-dlaruuriy merupakan lawan kata dari al-‘ilmu al-muktasab atau al-iktisaabiy, yaitu ilmu yang dihasilkan melalui usaha. Ilmu tersebut (al-‘ilmu al-muktasab) diperoleh melalui sebab-sebabnya dengan melakukan pilihan, seperti mengerahkan akal dan penelitian terhadap latar belakang istidlaal.[3] 
Dimutlakkan atas hal ini al-‘ilmu al-iktisaabiy (ilmu yang diperoleh dengan usaha) sebagai al-‘ilmu an-nadhariy.
Berdasarkan atas definisi al-‘ilmu adl-dlaruuriy tersebut, maka yang dimaksudkan dengan al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah (perkara agama yang telah diketahui secara umum) adalah permasalahan-permasalahan syari’at yang ilmunya diketahui oleh segenap orang secara merata, baik orang yang ‘aalim maupun orang awamnya. Inilah yang dimaksudkan secara mutlak. Perkara tersebut adalah sesuatu yang dinamakan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah sebagai pengetahuan umum yang tidak ada kelonggaran bagi seorang pun untuk tidak mengetahuinya[4].
Al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah mencakup semua hukum-hukum syari’at yang diketahui dan tersebar di negeri-negeri Islam, seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji; keharaman zina, membunuh, minum khamr, dan mencuri[5].
Kaedah penentuan dari al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah adalah nampak secara jelas dan tersebar luas[6]. Adapun permasalahan yang samar/tersembunyi, kadang itu tidak diketahui oleh semua orang, sehingga tidak menjadi pengetahuan yang umum.
Namun di sini perlu diperhatikan dalam pendefinisian al-‘ilmu adl-dlaruriy dengan al-‘ilmu an-nadhariy, karena tidak diragukan lagi bahwa manusia berbeda-beda dalam hal kemampuan, wawasan, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pemutlakkan perkataan bahwa suatu pengetahuan tertentu telah diketahui oleh semua orang; tidak terlalu tepat. Khususnya, berdasarkan perkataan ini ditetapkan hukum-hukum yang tsaabit dan mutlak, yaitu peniadaan ‘udzur kejahilan terhadap perkara yang masuk dalam al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah secara mutlak tanpa perincian keadaan orang yang jaahil tersebut dari sisi kemampuannya serta tempat dan jaman dimana ia hidup. Atau dari sisi masalah-masalah yang kadang telah diketahui secara umum bagi sebagian orang, namun tidak bagi sebagian lainnya.
Termasuk ulama yang menjelaskan bahwa al-‘ilmu adl-dlaruriy atau al-‘ilmu an-nadhariy merupakan permasalahan nisbi (relatif) adalah Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullahsaat beliau membantah ahlul-manthiq dalam pokok pemikiran dan peristilahan-peristilahan mereka. Beliau rahimahullah berkata:
كون العلم بديهيا او نظريا هو من الامور النسبية الاضافية مثل كون القضية يقينية او ظنية إذ قد يتيقن زيد ما يظنه عمرو وقد يبده زيدا من المعاني ما لا يعرفه عمرو إلا بالنظر وقد يكون حسيا لزيد من العلوم ما هو خبرى عند عمرو.
وإن كان كثير من الناس يحسب ان كون العلم المعين ضروريا او كسبيا او بديهيا أو نظريا هو من الامور اللازمة له بحيث يشترك في ذلك جميع الناس وهذا غلط عظيم وهو مخالف للواقع فان من رأى الامور الموجودة في مكانه وزمانه كانت عنده من الحسيات المشاهدات وهي عند من علمها بالتواتر من المتواترات وقد يكون بعض الناس إنما علمها بخبر ظنى فتكون عنده من باب الظنيات.
“Suatu ilmu dikatakan telah menjadi pengetahuan umum (badiihiy)atau pengetahuan yang membutuhkan penelitian (nadhariy) termasuk perkara yang relatif, seperti masalah keyakinan ataupun dugaan. Hal itu dikarenakan kadang Zaid meyakini sesuatu yang diragukan oleh ‘Amru; dan kadang Zaid mengetahui secara pasti makna-makna, dimana ‘Amru tidak mengetahuinya kecuali melalui penelitian/penelaahan. Kadang suatu pengetahuan merupakan sesuatu yang bersifat hissiy bagi Zaid, namun menjadi pengetahuan yang bersifat khabariy bagi ‘Amru.
Dan seandainya banyak manusia menganggap satu ilmu tertentu merupakan perkara yang umum atau harus diupayakan, sudah pasti diketahui atau mesti dilakukan penelitian terlebih dahulu, adalah perkara yang lazim baginya dari sisi adanya keterlibatan seluruh orang dalam hal tersebut; maka ini kekeliruan yang sangat besar dan bertentangan dengan realitas. Hal itu dikarenakan barangsiapa yang melihat perkara-perkara ada di tempatnya dan di jamannya, maka perkara tersebut baginya merupakan perkara hissiyyah (inderawi) yang ia saksikan. Bagi orang yang mengetahuinya secara berturut-turut, maka perkara tersebut baginya merupakan perkara mutawaatir. Dan kadang bagi sebagian orang, perkara tersebut hanyalah diketahui secara dhanniy (dugaan), sehingga baginya perkara tersebut merupakan perkara dhanniyaat”.[7]
[selesai – Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, hal. 26-28; Daarul-Wathan, Cet. 1/1417 – Abul-Jauzaa’, perumahan ciomas permai, 11122014, 00:50].




[1]     At-Ta’riifaatul-Fiqhiyyah, yang tercantum dalam kitab Qawaaidul-Fiqh, oleh Muhammad ‘Amiim Al-Ihsaan, hal. 358. Lihat juga : Mu’jamu Lughatil-Fuqahaa’ oleh Qal’ajiy dan Qiinabiy, hal. 284.
[2]     Al-Kuliyyaat, hal 576.
[3]     Kasysyaafu Ishthilaahaat Al-Funuun oleh At-Tahaanawiy, 2/882.
[4]     Lihat : Ar-Risaalah, hal. 357.
[5]     Lihat : Ar-Risaalaholeh Al-Imaam Asy-Syaafi’iy hal. 357-359, Raf’ul-Haraj fisy-Syarii’atil-Islaamiyyah oleh Asy-Syaikh Dr. Shaalih bin Humaid hal. 230.
[6]     Lihat : Jaami’ul-‘Uluum wal-Hikam oleh Al-Haafidh Ibnu Rajab, hal. 67.
[7]     Ar-Radd ‘alal-Manthiqiyyiin, hal. 13-14.
Saya (Abul-Jauzaa’) tambahkan:
Diantara hal yang menguatkan apa yang dikemukakan oleh Syaikhul-Islam rahimahullah tersebut adalah hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ وَعْلَةَ السَّبَإِىِّ - مِنْ أَهْلِ مِصْرَ - أَنَّهُ سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ عَمَّا يُعْصَرُ مِنَ الْعِنَبِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّ رَجُلاً أَهْدَى لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَاوِيَةَ خَمْرٍ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هَلْ عَلِمْتَ أَنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَهَا ». قَالَ لاَ. فَسَارَّ إِنْسَانًا. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « بِمَ سَارَرْتَهُ ». فَقَالَ أَمَرْتُهُ بِبَيْعِهَا. فَقَالَ « إِنَّ الَّذِى حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا ». قَالَ فَفَتَحَ الْمَزَادَةَ حَتَّى ذَهَبَ مَا فِيهَا
Dari ‘Abdurrahmaan bin Wa’lah As-Sabaiy – ia termasuk penduduk Mesir - , bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Abbaas tentang perasan anggur. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata : “Sesungguhnya seseorang pernah menghadiahkan satu wadah berisi khamr. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya : ‘Apakah engkau tahu bahwa Allah telah mengharamkannya?’. Laki-laki itu berkata : ‘Tidak’. Kemudian ia berbisik kepada seseorang. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Apa yang engkau bisikkan?’. Ia berkata : ‘Aku menyuruhnya untuk menjual khamr itu’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya (Allah) Yang mengharamkan meminumnya telah mengharamkan untuk menjualnya’. Maka orang itu kemudian membuka penutup wadah khamr lalu menumpahkannya [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1579].
Faedah:
a.      Hadits di atas menunjukkan perkara keharaman khamr sudah tersebar di kalangan kaum muslimin, sehingga Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam merasa heran ketika ada orang yang menghadiahi khamr kepada beliau karena ketidaktahuannya.
b.      Hadits ini menunjukkan bahwa ada beberapa perkara yang diketahui secara jelas oleh sebagian orang, namun tidak bagi yang lain.
c.      Perkara yang jelas (dhaahir) dan tersembunyi (khafiy) merupakan perkara yang nisbi.

Syarat Pemahaman dalam Iqaamatul-Hujjah

$
0
0
Bahasan ini adalah salah satu bahasan yang sangat urgent dan esensial dalam memahami rangkaian bahasan ‘udzur kejahilan. Secara umum, pendapat pertama, mengatakan bahwa pemahaman terhadap hujjah merupakan syarat dalam iqaamatul-hujjah (penegakan hujjah). Konsekuensinya mereka mentoleransi ‘udzur kejahilan bagi orang yang sampai kepadanya hujjah namun tidak/belum memahaminya. Ini adalah pendapat yang dipegang jumhur ulama. Pendapat kedua menyatakan pemahaman terhadap hujjah bukan menjadi syarat dalam iqaamatul-hujjah, karena hujjah berupa Al-Qur’an telah sampai kepada mereka. Ini adalah pendapat sebagian muta’akhkhiriin dan kemudian dinisbatkan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah (meski penisbatan ini perlu diteliti kembali).
Pendapat yang benar, pemahaman terhadap hujjah merupakan syarat dalam iqaamatul-hujjah. Dalilnya adalah sebagai berikut:
1.     Firman Allah ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka” [QS. Muhammad : 25].
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Allah ta’ala melalui ayat di atas mencela orang-orang yang berpaling dari kebenaran setelah adanya kejelasan bagi mereka tentang kebenaran tersebut.
2.     Firman Allah ta’ala:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah” [QS. At-Taubah : 6].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
{ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ } أي: [القرآن] تقرؤه عليه وتذكر له شيئًا من [أمر] الدين تقيم عليه به حجة الله
“Firman Allah : ‘supaya ia sempat mendengar firman Allah’ , yaitu Al-Qur’an, yang engkau bacakan kepadanya dan engkau sebutkan kepadanya tentang perkara agama sehingga engkau dapat menegakkan hujjah Allah kepadanya” [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/113].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan ayat tersebut:
قد علم أن المراد أنه يسمعه سمعا يتمكن معه من فهم معناه إذ المقصود لا يقوم بمجرد سمع لفظ لا يتمكن معه من فهم المعنى فلو كان غير عربي وجب أن يترجم له ما يقوم به عليه الحجة
“Dan telah diketahui bahwa yang dimaksudkan adalah ia mendengarkan Al-Qur’an dengan pendengaran yang mampu ia pahami maknanya, karena hal itu tidak terwujud hanya sekedar mendengarkan lafadh yang tidak mampu ia pahami maknanya. Seandainya ia bukan orang Arab, maka wajib untuk diterjemahkan baginya apa yang dapat ditegakkan kepadanya hujjah” [Al-Jawaabush-Shahiih, hal. 221].
3.     Firman Allah ta’ala:
وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ * فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kami lah yang melakukannya” [QS. Al-Anbiyaa’ : 78-79].
Firman Allah ta’ala : ‘maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)’ menunjukkan pemahaman merupakan karunia dari Allah ta’ala. Allah ta’ala memberikan ‘udzur kepada Daawud karena ketidakpahamannya, padahal ia adalah seorang Nabi yang dipuji karena keilmuan dan hikmah yang dimilikinya. Oleh karena itu, orang yang kapasitasnya lebih rendah daripada Daawud lebih layak untuk dimaafkan, karena ketidakpahamannya terhadap dalil.
Pengetahuan dan pemahaman terhadap dalil mutlak diperlukan untuk mengantarkan kepada kebenaran sesuai yang dimaksudkan dalilitu sendiri.
4.     Firman Allah ta’ala:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” [QS. Al-Baqarah : 286].
Allah tidak membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya. Dalam ayat tersebut, Allah ta’ala menceritakan doa hamba-Nya agar tidak dihukum ketika ia lupa atau tersalah, dan kemudian Allah pun mengabulkannya[1]. Oleh karena itu, melalui ayat ini Allah ta’ala memberikan ‘udzur karena ketidakmampuan memahami dalil sehingga mereka keliru dalam meninggalkan kewajiban atau mengerjakan larangan.
Ath-Thabariy rahimahullah berkata:
ومعناه: قولوا:"ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا"شيئا فرضت علينا عمله فلم نعمله،"أو أخطأنا"في فعل شيء نهيتنا عن فعله ففعلناه، على غير قصد منا إلى معصيتك، ولكن على جهالة منا به وخطأ،
“Maknanya, katakanlah : ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa’, yaitu : lupa tentang sesuatu yang Engkau wajibkan kepada kami untuk melakukannya, namun kami tidak melakukannya. Firman Allah ta’ala : ‘atau kami tersalah’; yaitu dalam melakukan sesuatu yang Engkau larang kepada kami untuk melakukannya, namun kami melakukannya tanpa maksud kami untuk bermaksiat kepada-Mu, akan tetapi karena ketidaktahuan dan kekeliruan kami terhadapnya” [Jaami’ul-Bayaan, 6/132].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
ثم قال تعالى مرشدًا عباده إلى سؤاله، وقد تكفل لهم بالإجابة، كما أرشدهم وعلمهم أن يقولوا: { رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ [نَسِينَا] } أي: إن تركنا فرضًا على جهة النسيان، أو فعلنا حرامًا كذلك، { أَوْ أَخْطَأْنَا } أي: الصوابَ في العمل، جهلا منا بوجهه الشرعي
“Kemudian Allah memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, bagaimana cara memohon kepada-Nya dan Dia menjamin akan mengabulkannya, sebagaimana Allah memberi petunjuk kepada mereka dan mengajarkan kepada mereka untuk berdoa : ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa’ (QS. Al-Baqarah : 286); yaitu : apabila kami meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman karena lupa. Firman Allah ta’ala : ‘atau kami tersalah’ ; yaitu : keliru dari hal yang dibenarkan dalam beramal karena tidak mengetahui pengamalannya secara syar’iy” [Tafsiir Ibni Katsiir, 1/737].
Ketidakpahaman seseorang jika itu bukan bersumber pada ketidakpedulian dirinya, termasuk sesuatu di luar kemampuannya.
5.     Hadits:
عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ سَرِيعٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أَرْبَعَةٌ يَحْتَجُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَصَمُّ، وَرَجُلٌ أَحْمَقُ، وَرَجُلٌ هَرِمٌ، وَرَجُلٌ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَأَمَّا الأَصَمُّ فَيَقُولُ: رَبِّ لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَلَمْ أَسْمَعْ شَيْئًا، وَأَمَّا الأَحْمَقُ، فَيَقُولُ: رَبِّ لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَالصِّبْيَانُ يَحْذِفُونِي بِالْبَعْرِ، وَأَمَّا الْهَرِمُ، فَيَقُولُ: رَبِّ لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَمَا أَعْقِلُ، وَأَمَّا الَّذِي مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَيَقُولُ: رَبِّ مَا أَتَانِي لَكَ رَسُولٌ، فَيَأْخُذُ مَوَاثِيقَهُمْ لَيُطِيعَنَّهُ، فَيُرْسِلُ إِلَيْهِمْ رَسُولا أَنِ ادْخُلُوا النَّارَ، قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ دَخَلُوهَا كَانَتْ عَلَيْهِمْ بَرْدًا وَسَلامًا
Dari Al-Aswad bin Sarii’, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda : “Ada empat orang yang akan berhujjah (beralasan) kelak di hari kiamat : (1) orang tuli, (2) orang idiot, (3) orang pikun, dan (4) orang yang mati dalam masa fatrah. Orang yang tuli akan berkata : ‘Wahai Rabbku, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak mendengarnya sama sekali’. Orang yang idiot akan berkata : ‘Wahai Rabbku, sungguh Islam telah datang, namun anak-anak melempariku dengan kotoran hewan’. Orang yang pikun akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak dapat memahaminya’. Adapun orang yang mati dalam masa fatrah akan berkata : ‘Wahai Rabb, tidak ada satu pun utusan-Mu yang datang kepadaku’. Maka diambillah perjanjian mereka untuk mentaati-Nya. Diutuslah kepada mereka seorang Rasul yang memerintahkan mereka agar masuk ke dalam api/neraka”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Seandainya mereka masuk ke dalamnya, niscaya mereka akan merasakan dingin dan selamat” [Diriwayatkan oleh Ishaaq bin Rahawaih dalam Al-Musnad no. 41; shahih].
Allah ta’ala memberi ‘udzur karena faktor tidak sampainya dalil (orang yang tuli serta orang yang hidup dan mati di masa fatrah) dan tidak memahami dalil (orang idiot dan pikun). Oleh karena itu, sampainya dalil dan pemahaman terhadap dalil merupakan syarat ditegakkannya hujjah sehingga seorang hamba tidak lagi dapat beralasan di hadapan Allah ta’ala.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
أن قيام الحجة يختلف باختلاف الأزمنة والأمكنة والأشخاص فقد تقوم حجة الله على الكفار فى زمان دون زمان وفى بقعة وناحية دون أُخرى كما أنها تقوم على شخص دون آخر، إما لعدم عقله وتمييزه كالصغير والمجنون وإما لعدم فهمه كالذى لا يفهم الخطاب ولم يحضر ترجمان يترجم له. فهذا بمنزلة الأصم الذى لا يسمع شيئاً ولا يتمكن من الفهم، وهو أحد الأربعة الذين يدلون على الله بالحجة يوم القيامة كما تقدم فى حديث الأسود وأبى هريرة وغيرهما
“Bahwasannya penegakan hujjah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan waktu/jaman, tempat, dan orangnya. Hujjah Allah tegak kepada orang-orang kafir di satu waktu/jaman, namun tidak di waktu/jaman yang lain; tegak pada satu tempat, namun tidak di tempat yang lain. Demikian juga, hujjah Allah tegak pada orang tertentu, namun tidak bagi orang yang lain. Boleh jadi itu disebabkan karena ketiadaan akalnya dan belum mencapai usia tamyiizseperti anak kecil dan orang gila, atau boleh jadi karena ketiadaan pemahamannya seperti orang yang tidak memahami khithaab (nash) dan tidak adanya penerjemah yang menerjemahkan dalil kepadanya (bagi orang ‘Ajam). Ini seperti kedudukan orang tuli yang tidak dapat mendengar sesuatu dan tidak mampu memahami. Dan ia merupakan salah seorang dari empat orang yang mengajukan hujjah kepada Allah pada hari kiamat sebagaimana telah berlalu penyebutannya dalam hadits Al-Aswad, Abu Hurairah, dan yang lainnya” [Thariiqul-Hijratain, hal. 414].
Ketidakpahaman yang ditunjukkan pada hadits di atas adalah ketidakpahaman sama sekali terhadap maksud dalil.
6.     Hadits:
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْف حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِق، قَالَ لَهُ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَجْعَلُ تَحْتَ وِسَادَتِي عِقَالَيْنِ: عِقَالًا أَبْيَضَ وَعِقَالًا أَسْوَدَ، أَعْرِفُ اللَّيْلَ مِنَ النَّهَارِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ وِسَادَتَكَ لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ، وَبَيَاضُ النَّهَارِ
Dari ‘Adiy bin Haatim radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Ketika turun ayat ‘hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar(QS. Al-Baqarah : 187); ‘Adiy berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah meletakkan di bawah bantalku dua helai tali : tali putih dan tali hitam, agar aku mengetahui malam telah berganti siang”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya bantalmu itu sangat lebar. Yang dimaksud dengan (benang) hitam adalah malam, sedangkan (benang) putih adalah siang” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1090].
‘Adiy bin Haatim diberikan ‘udzur atas ketidakpahamannya, karena ia memahami sesuatu yang tidak dimaksudkan oleh dalil.
7.     Perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu:
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ، أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang mereka ketahui/pahami. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 127].
8.     Perkataan ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu:
مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا، لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ، إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً
“Tidaklah engkau menyampaikan sebuah hadits kepada suatu kaum yang belum sampai akal mereka (untuk memahaminya) kecuali akan menjadi suatu fitnah bagi sebagian mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahiih-nya no. 5].
Pemahaman terhadap dalil merupakan sesuatu yang telah disepakati ulama dalam penegakan hujjah, karena ia merupakan salah satu persyaratan taklif (pembebanan syari’at) sebagaimana dikatakan Ibnu Lahaam rahimahullah:
شروط التكليف : العقل وفهم الخطاب
“Persyaratan takliifadalah berakal dan memahami maksud dalil” [Al-Qawaaid wal-Fawaaid Al-Ushuuliyyah, hal. 33].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فمن استقرأ ما جاء به الكتاب والسنة تبين له أن التكليف مشروط بالقدرة على العلم والعمل فمن كان عاجزا عن أحدهما سقط عنه ما يعجزه ولا يكلف الله نفسا إلا وسعها
“Barangsiapa yang melakukan penelitian terhadap nash-nash yang terdapat dalam Al-Kitaab dan As-Sunnah akan jelas baginya bahwa takliif (pembebanan syari’at) dipersyaratkan dengan adanya kemampuan ilmu dan amal. Barangsiapa yang lemah/tidak mampu terhadap salah satu di antara keduanya, maka gugur darinya apa yang tidak disanggupinya itu. Dan ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya’ (QS. Al-Baqarah : 286)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 21/634].
Ilmu di sini adalah pemahaman.
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Bulaihid rahimahullah[2]berkata saat membantah pendapat yang mengatakan hujjah tegak dengan sampainya Al-Qur’an meskipun orang yang menerima tidak memahaminya:
هذا لا يُعقل ولا يتفق مع قوله تعالى وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى [النساء : ١١٥] الذي بنى عليه المحققون قولهم (إن فهم الدعوة بدليلها شرط لقيام الحجة)
“Ini tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan firman Allah ta’ala : ‘Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin’ (QS. An-Nisaa’ : 115), yang menjadi dasar perkataan para muhaqqiq : ‘pemahaman terhadap dakwah dengan dalilnya merupakan syarat penegakan hujjah” [Majmuu’atur-Rasaail An-Najdiyyah, 5/638].
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amiin Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata:
أما اشتراط العقل في التكليف فلا خلاف فيه بين العلماء إذ لا معنى لتكليف من لا يفهم الخطاب
“Adapun persyaratan akal dalam takliif, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal tersebut, karena takliif tidak ada maknanya bagi orang yang tidak memahami khithaab” [Mudzakkirah Ushuulil-Fiqh, hal. 30].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
والقول الوسط هو أن نقول: من لم تبلغه فهو معذور، ومن بلغته ولم يفهمها فهو معذور؛ لأن عدم الفهم كعدم العلم، لو أتى إليك إنسان أعجمي وقام يتكلم بأعجميته في شيء، هل تدري ما يقول؟ لا تدري ما يقول، هذا معذور، فالفهم شرط، يعني مجرد البلاغ لا يكفي، وأما قوله تعالى: {{لأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ}} [الأنعام: 19] ، فهل المعنى ومن وصل إليه وإن لم يفهمه، أو من بلغه فأدركه؟ الثاني هو المراد
“Pendapat pertengahan adalah bahwa kita katakan : barangsiapa yang tidak sampai kepadanya hujjah, maka ia diberikan ‘udzur. Barangsiapa yang sampai kepadanya hujjah namun ia tidak dapat memahaminya, maka ia pun diberikan ‘udzur, karena ketiadaan pemahaman seperti ketiadaan ilmu. Seandainya datang kepadamu orang ‘Ajam (non ‘Arab) lalu ia berbicara dengan bahasa ‘Ajam tentang sesuatu, apakah engkau mengetahui apa yang ia katakan ?. Engkau tidak mengetahui apa yang ia katakan. Yang seperti ini diberikan ‘udzur. Maka pemahaman merupakan syarat, yaitu hanya sekedar sampainya hujjah, tidak mencukupi. Adapun firman Allah ta’ala : ‘Supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur'an (kepadanya)’ (QS. Al-An’aam : 19); apakah maknanya adalah barangsiapa sampai kepadanya meskipun ia tidak memahami, ataukah barangsiapa yang sampai kepadanya lalu ia memahaminya ?. Yang kedualah yang dimaksudkan” [Tafsiir Surat Al-Maaidah].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وهكذا الأقوال التى يكفر قائلها قد يكون الرجل لم تبلغه النصوص الموجبة لمعرفة الحق وقد تكون عنده ولم تثبت عنده أو لم يتمكن من فهمها وقد يكون قد عرضت له شبهات يعذره الله بها
“Dan begitulah pendapat-pendapat yang mengkafirkan pelakunya. Kadang seseorang tidak sampai kepadanya nash-nash yang dapat mengantarkannya mengetahui kebenaran, atau nash-nash itu tidak shahih di sisinya, atau nash-nash itu tidak dapat ia pahami, atau kadang dihadapkan kepadanya beberapa syubhat yang Allah memaafkannya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 23/346].
Kemudian, ada beberapa dalil yang dikatakan sebagian orang yang menunjukkan tidak adanya persyaratan pemahaman dalam iqaamatul-hujjah, diantaranya:
1.     Firman Allah ta’ala:
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا
Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” [QS. Al-Furqaan : 44].
Ayat ini menunjukkan orang-orang kafir tidak memahami dalil yang sampai kepada mereka, akan hujjah tetap tegak atas mereka sehingga mereka diadzab.
Khusus untuk ayat ini, orang yang berpegang pendapat ini membawakan teks Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah sebagai berikut:
ما ذكرتموه من قول الشيخ: كل من جحد كذا وكذا، وأنكم شاكون في هؤلاء الطواغيت وأتباعهم، هل قامت عليهم الحجة أم لا؟ فهذا من العجب العجاب. كيف تشكون في هذا وقد وضحته لكم مرارًا؟ فإن الذي لم تقم عليه الحجة هو الذي حديث عهد بالإسلام، والذي نشأ ببادية، أو يكون ذلك في مسألة خفية، مثل الصرف والعطف، فلا يكفر حتى يعرّف. وأما أصول الدين التي أوضحها الله  في كتابه، فإن حجة الله هي القرآن؛ فمن بلغه فقد بلغته الحجة.
ولكن أصل الإشكال: أنكم لم تفرقوا بين قيام الحجة وفهم الحجة؛ فإن أكثر الكفار والمنافقين لم يفهموا حجة الله، مع قيامها عليهم، كما قال تعالى:{ أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلاً} .وقيام الحجة وبلوغها نوع، وفهمهم إياها نوع آخر، وكفرهم ببلوغها إياهم وإن لم يفهموها
“Apa yang kalian sebutkan tentang perkataan syaikh (yaitu : Ibnu Taimiyyah) : ‘setiap orang yang mengingkari ini dan itu, dan telah tegak padanya hujjah’, sehingga kalian ragau-ragu tentang para thaaghuut dan para pengikutnya, apakah telah tegak hujjah pada mereka ?. Ini satu hal yang sangat mengherankan. Bagaimana kalian dapat ragu-ragu dalam hal ini, padahal aku telah menjelaskan kepada kalian berulang-ulang ?!. Sesungguhnya orang yang belum tegak padanya hujjah adalah orang yang baru masuk Islam, orang yang hidup di daerah pedalaman, orang yang belum memahami perkara yang samar seperti sharf dan ‘athf; maka mereka tidak dikafirkan hingga mereka mengetahuinya. Adapun ushuuluddiindan hukum-hukumnya yang telah dijelaskan Allah dalam kitab-Nya, maka hujjah Allah adalah Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah sampai kepadanya Al-Qur’an, maka artinya telah sampai hujjah kepadanya.
Akan tetapi pokok permasalahannya adalah bahwa kalian tidak membedakan antara tegaknya hujjah (qiyaamul-hujjah)dan pemahaman hujjah (fahmul-hujjah). Sesungguhnya kebanyakan orang-orang kafir dan orang-orang munafik tidak memahami hujjah Allah, sedangkan hujjah itu sendiri dianggap telah tegak terhadap mereka; sebagaimana firman Allah ta’ala: ‘Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)’ (QS. Al-Furqaan : 44). Tegak dan sampainya hujjah itu satu hal, dan pemahaman hujjah itu hal yang lain. Kekafiran mereka itu dengan sampainya hujjah kepada mereka, meskipun mereka tidak memahaminya” [Fataawaa wa Rasaail, hal. 12-13].
2.     Firman Allah ta’ala:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لا يُؤْمِنُوا بِهَا حَتَّى إِذَا جَاءُوكَ يُجَادِلُونَكَ يَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلا أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ
Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan) mu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya. Dan jika pun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: "Al Qur'an ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu" [QS. Al-An’aam : 25].
Sisi pendalilannya sama dengan nomor 1.
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Buthain rahimahullah berkata:
فمن بلغته رسالة محمد صلى الله عليه وسلم وبلغه القرآن فقد قامت عليه الحجة فلا يعذر بعدم الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر، فلا عذر له بعد ذلك بالجهل، وقد أخبر الله سبحانه بجهل كثير من الكفار مع تصريحه بكفرهم ووصف النصارى بالجهل،مع أنه لا يشك مسلم في كفرهم، ونقطع أن أكثر اليهود والنصارى اليوم جهال مقلدون، ونعتقد كفرهم وكفر من شك في كفرهم..............
ولا عذر لمن كان حاله هكذا بكونه لم يفهم حجج الله وبيناته لأنه لا عذر له بعد بلوغها له وإن لم يفهمها، وقد أخبر الله عن الكفار إنهم لم يفهموا فقال: (وجعلنا على قلوبهم أكنة أن يفقهوه وفي آذانهم وقرا)، وقال: (انهم اتخذوا الشياطين أولياء من دون الله ويحسبون أنهم مهتدون).
فبين سبحانه أنهم لم يفقهوا، فلم يعذرهم لكونهم لم يفهموا،.......
“Barangsiapa yang telah sampai kepadanya risalah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallamdan sampai pula kepadanya Al-Qur’an, sungguh telah tegak hujjah kepadanya. Tidak ada ‘udzur atas ketiadaan iman terhadap Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir. Dan tidak ada ‘udzur kebodohan/ketidaktahuan baginya setelah itu. Allah subhaanahu wa ta’ala telah mengkhabarkan kejahilan kebanyakan orang-orang kafir bersamaan dengan penetapan akan kekafiran mereka. Allah pun menyifati orang Nashara dengan kebodohan, bersamaan dengan tidak adanya keraguan bagi seorang muslim akan kekafiran mereka. Dan kita menyatakan dengan pasti bahwa kebanyakan orang-orang Yahudi dan Nashara dewasa ini merupakan orang-orang bodoh lagi suka bertaqlid, dan kita berkeyakinan akan kekufuran mereka dan mengkafirkan siapa saja yang tidak mengkafirkan mereka……..
Dan tidak ada ‘udzur bagi orang yang berada dalam keraguan dan ketidakpahaman mereka terhadap hujjah-hujjah Allah dan penjelasannya, karena tidak diberikan ‘udzur padanya setelah sampainya hujjah meskipun ia tidak memahaminya. Allah ta’ala telah mengkhabarkan tentang orang kafir bahwasannya mereka tidak memahami, dengan firman-Nya : ‘Dan Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya’ (QS. Al-An’aam : 25). Allah juga berfirman : ‘Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk’ (QS. Al-A’raaf : 30).
Maka Allah subhaanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa mereka tidak memahami, namun mereka tidak diberikan ‘udzur atas ketidakpahaman mereka tersebut…..” [Hukmut-Takfiir Al-Mu’ayyan].
Jawaban atas dalil nomor 1 dan 2 (dan ayat lain yang semisal) adalah:
a.      Dua ayat di atas – dan juga ayat-ayat lain yang semisal – tidak menunjukkan orang kafir kehilangan alat-alat pemahaman mereka, yaitu pendengaran dan akal sehingga mereka tidak memahami hujjah dan khithaab. Yang dinafikkan Allah ta’ala hanyalah pendengaran dan akal yang bermanfaat – meski Allah ta’ala menciptakan pendengaran dan akal bagi mereka – yang tidak mereka pergunakan untuk menerima petunjuk/kebenaran.
Asy-Syaukaaniy rahimahullah ketika menjelaskan QS. Al-Furqaan ayat 44 berkata:
فقال : { إِنْ هُمْ إِلاَّ كالأنعام } أي : ما هم في الانتفاع بما يسمعونه إلاّ كالبهائم التي هي مسلوبة الفهم والعقل فلا تطمع فيهم ، فإن فائدة السمع والعقل مفقودة ، وإن كانوا يسمعون ما يقال لهم ويعقلون ما يتلى عليهم ، ولكنهم لما لم ينتفعوا بذلك كانوا كالفاقد له
“Lalu Allah berfiman : ‘Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak’, yaitu mereka tidak memanfaatkan apa yang mereka dengar seperti binatang ternak yang tidak memiliki pemahaman dan akal, sehingga engkau jangan terlalu berharap pada mereka. Hal itu dikarenakan faedah pendengaran dan akal mereka hilang, mesipun mereka mendengar apa yang dikatakan kepada mereka dan memahami apa yang dibacakan kepada mereka. Akan tetapi ketika mereka tidak memanfaatkannya, maka mereka seperti orang yang kehilangan pendengaran dan akal” [Fathul-Qaadir, 4/78].
Penjelasan Asy-Syaukaaniy di atas kongruen dengan perkataan Ath-Thabariy rahimahumallah saat menjelaskan QS. Al-A’raaf[3] ayat : 179:
وأما قوله:(لهم قلوبٌ لا يفقهون بها)، فإن معناه: لهؤلاء الذين ذرأهم الله لجهنم من خلقه قلوب لا يتفكرون بها في آيات الله، ولا يتدبرون بها أدلته على وحدانيته، ولا يعتبرون بها حُجَجه لرسله، فيعلموا توحيد ربِّهم، ويعرفوا حقيقة نبوّة أنبيائهم. فوصفهم ربُّنا جل ثناؤه بأنهم: "لا يفقهون بها"، لإعراضهم عن الحق وتركهم تدبُّر صحة [نبوّة] الرسل، وبُطُول الكفر. وكذلك قوله:(ولهم أعين لا يبصرون بها)، معناه: ولهم أعين لا ينظرون بها إلى آيات الله وأدلته، فيتأملوها ويتفكروا فيها، فيعلموا بها صحة ما تدعوهم إليه رسلهم، وفسادِ ما هم عليه مقيمون، من الشرك بالله، وتكذيب رسله; فوصفهم الله بتركهم إعمالها في الحقّ، بأنهم لا يبصرون بها.
وكذلك قوله:(ولهم آذان لا يسمعون بها)، آيات كتاب الله، فيعتبروها ويتفكروا فيها، ولكنهم يعرضون عنها، ويقولون:( لا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ )
“Adapun firman-Nya : ‘mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)’; maknanya adalah mereka yang telah Allah jadikan penghuni Jahannam mempunyai hati yang tidak digunakan untuk memikirkan ayat-ayat Allah, tidak mentadaburi dalil-dalil yang menunjukkan ke-Esa-an-Nya, dan tidak mengambil pelajaran dengannya dari hujjah-hujjah Rasul sehingga mereka mengetahui tauhid Rabb mereka dan mengetahui hakekat kenabian nabi-nabi mereka. Maka Rabb kita ‘azza wa jalla mensifati mereka dengan : ‘tidak dipergunakan hatinyauntuk memahami (ayat-ayat Allah)’, dikarenakan berpalingnya mereka dari kebenaran dan meninggalkan mentadaburi kebenaran kenabian para Rasul., serta karena lamanya mereka berada dalam kekafiran. Begitu juga dengan firman-Nya ‘dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihatnya’, yaitu : mereka mempunyai mata yang tidak dipergunakan untuk melihat ayat-ayat Allah dan dalil-dalil-Nya, sehingga mereka dapat merenungkan dan memikirkannya (ayat-ayat Allah dan dalil-dalil-Nya), mengetahui kebenaran dakwah para Rasul kepada mereka, rusaknya perbuatan mereka berupa kesyirikan kepada Allah dan pendustaan terhadap rasul-rasul-Nya. Maka Allah mensifati mereka tidak dapat melihat, karena mereka tidak mempergunakan mata mereka untuk melihat kebenaran.
Begitu juga dengan firman-Nya : ‘dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar’, yaitu : mendengar ayat-ayat Kitabullah, sehingga mereka dapat mengambil pelajaran darinya dan memikirkannya. Akan tetapi mereka berpaling darinya dan berkata : ‘Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)’ (QS. Fushshilat : 26)” [Jaami’ul-Bayaan, 13/278-279].
Intinya, ayat-ayat di atas justru menunjukkan bahwa orang-orang kafir mendengar dan memahami apa yang mereka dengar dari dalil yang sampai kepada mereka, namun mereka malah berpaling sehingga Allah sifati mereka sebagai orang yang tuli, bisu, dan buta seperti binatang ternak yang tidak mempunyai pemahaman.
وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لأسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ
Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jika Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu)” [QS. Al-Anfaal : 23].
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لا يَسْمَعُ إِلا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَعْقِلُونَ
Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” [QS. Al-Baqarah : 171].
Akhirnya, ketika mereka berpaling dan enggan menerima kebenaran yang datang kepada mereka, maka Allah menghukum mereka karena kekafirannya dengan mengunci hati mereka sehingga mereka tidak lagi mengerti.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
اخبر سبحانه ان كفرهم بالحق بعد ان علموه كان سببا لطبع الله على قلوبهم بل طبع الله عليها بكفرهم.....
انهم لما ردوا الحق ورغبوا عنه عوقبوا بالطبع والرين وسلب العقل والفهم كما قال تعالى عن المنافقين ذلك بانهم آمنوا ثم كفروا فطبع على قلوبهم فهم لا يفقهون
“Allah subhaanahu wa ta’ala telah mengkhabarkan bahwa kekufuran mereka terhadap kebenaran setelah mereka mengetahuinya (= memahaminya) merupakan sebab Allah mengunci hati-hati mereka. Allah ta’ala berfirman : ‘Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya’ (QS. An-Nisaa’ : 155)…….
Sesungguhnya mereka ketika menolak kebenaran dan berpaling darinya, mereka dihukum dengan dikuncinya hati mereka, serta dicabutnya akal dan pemahaman mereka sebagaimana firman Allah ta’alatentang orang-orang munafik : ‘Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti’ (QS. Al-Munaafiquun : 3)” [Miftah Daaris-Sa’aadah, 1/99, 101].
b.      Pemahaman yang dinafikkan atas mereka (orang-orang kafir) dalam ayat di atas bukan pemahaman terhadap khithaab, karena Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka. Salah satu buktinya adalah saat mereka diajak untuk mengatakan Laa ilaha illallaah, mereka berkata:
أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” [QS. Fushsilat : 3].
Ini menunjukkan mereka paham terhadap khithaabnash dan konsekuensi hukum yang dituntut dari nash.
Jika demikian, pemahaman apa yang dinafikkan ?
Jawabannya, pemahaman yang dinafikkan dalam nash-nash tersebut adalah pemahaman fiqh yang berpengaruh pada tingkah laku dan melahirkan ketaatan dan ketundukan.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
Barangsiapa yang dikehendaki Allah memperoleh kebaikan, maka Ia akan memahamkan agama kepadanya” [Muttafaqun ‘alaihi].
Ibnul-Qayyim rahimahullah mengomentari hadits di atas dengan perkataannya:
وهذا يدل على أن من لم يفقهه في دينه لم يرد به خيرا كما أن من أراد به خير افقهه في دينه ومن فقهه في دينه فقد أراد به خيرا إذا أريد بالفقه العلم المستلزم للعمل وأما أن أريد به مجرد العلم فلا يدل على أن من فقه في الدين فقد أريد به خيرا فإن الفقه حينئذ يكون شرطا لإرادة الخير وعلى الأول يكون موجبا والله اعلم
“Hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak dipahamkan dalam agama, maka ia bukan termasuk orang yang Allah kehendaki kebaikan, sebagaimana orang yang dikehendaki Allah memperoleh kebaikan, maka Ia akan memberikan pemahaman kepada agamanya. Dan barangsiapa yang diberikan pemahaman dalam agamanya, maka Allah menghendaki kebaikan kepadanya. Hal ini jika yang dimaksudkan dengan pemahaman (fiqh) adalah ilmu yang mengkonsekuensikan kepada amal. Adapun jika yang dikehendaki hanyalah sekedar ilmu semata, maka tidak menunjukkan bahwa orang yang diberikan pemahaman dalam agama, maka Allah menghendaki kebaikan kepadanya. Sesungguhnya pemahaman (fiqh) menjadi syarat dicapainya kebaikan, yang menunjukkan bahwa pemahaman terhadap agama merupakan faktor yang mengharuskan tercapainya kebaikan. Wallaahu a’lam” [Miftah Daaris-Sa’aadah, 1/60].
وفي الترمذي وغيره عنه صلى الله عليه و سلم خصلتان لا يجتمعان في منافق حسن سمت وفقه في الدين فجعل الفقه في الدين منافيا للنفاق بل لم يكن السلف يطلقون اسم الفقه الا على العلم الذي يصحبه العمل
“Dalam Sunan At-Tirmidziy dan yang lainnya, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : ‘Ada dua sifat yang tidak bertemu dalam diri seorang munafik, yaitu baiknya akhlaq/perilaku dan pemahaman dalam agama’[4]. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan pemahaman agama sebagai peniadaan kemunafikan.Bahkan salaf tidak memutlakkan kata fiqh kecuali atas ilmu yang diiringi dengan amal” [idem, 1/89].
Pemahaman fiqh inilah yang dinafikkan dari orang-orang kafir, karena mereka tidak mau tunduk dan beramal dengan apa yang telah ia ketahui.
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullahberkata:
فإذا كان المعين يكفر إذا قامت عليه الحجة، فمن المعلوم أن قيامها ليس معناه أن يفهم كلام الله ورسوله مثل فهم أبي بكر رضي الله عنه، بل إذا بلغه كلام الله ورسوله، وخلا من شيء يعذر به، فهو كافر، كما كان الكفار كلهم تقوم عليهم الحجة بالقرآن مع قول الله:{ وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ }
“Apabila seorang individu tertentu dikafirkan ketika hujjah telah ditegakkan kepadanya, maka sebagaimana telah diketahui dalam penegakan hujjah tersebut tidaklah bermakna bahwa firman Allah dan sabda Rasul-Nya mesti dipahami sebagaimana pemahaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu. Bahkan apabila telah sampai kepadanya firman Allah dan sabda Rasul-Nya, sedangkan ia tidak mempunyai alasan apapun untuk meninggalkannya, maka ia kafir. Hal itu sebagaimana hujjah telah ditegakkan kepada semua orang dengan Al-Qur’an melalui firman Allah : ‘Dan Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya (fiqh)” [Ar-Rasaail Asy-Syakhshiyyah, hal. 220].
Perkataan ini sekaligus sebagai penjelas makna perkataan beliau sebelumnya. Pemahaman yang dinafikkan adalah pemahaman yang mendalam/detail atau pemahaman yang menyampaikannya kepada taufiq dan petunjuk sebagaimana misal ia memiliki pemahaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu [Manhaj Al-Imaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab fii Mas-alatit-Takfiir, hal. 69].
Ini diperjelas lagi oleh penjelasan murid beliau, Asy-Syaikh Hamd bin Mu’ammar rahimahullah:
وليس المراد بقيام الحجة أن يفهمها الإنسان فهما جليا كما يفهمها من هداه الله ووفقه وانقياد لأمره
“Yang dimaksudkan dengan ditegakkannya hujjah bukanlah seseorang mesti memahaminya dengan pemahaman yang jelas sebagaimana yang dipahami orang yang diberikan petunjuk dan taufik oleh Allah, serta tunduk/patuh melaksanakan perintah-Nya” [An-Nubdzatusy-Syarii’ah, hal. 116].
Begitu juga dengan penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahmaan Aalusy-Syaikh rahimahullah:
ولا يشترط في قيام الحجة أن يفهم عن الله ورسوله ما يفهمه أهل الإيمان والقبول والانقياد لما جاء به الرسول
“Dan tidak dipersyaratkan dalam penegakan hujjah agar seseorang memahami dari (firman) Allah dan (sabda) Rasul-Nya seperti yang dipahami oleh orang-orang beriman, yang menerima dan tunduk (melaksanakan) apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Minhaajut-Ta’siis, hal. 252].
Dari sini jelaslah kekeliruan sebagian orang muta’akhkhiriin yang memahami bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah menafikkan pemahaman secara mutlak dalam proses iqaamatul-hujjah, wallaahul-musta’aan.
3.     Firman Allah ta’ala:
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
Dan Al-Qur'an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur'an (kepadanya)"[QS. Al-An’aam : 19].
Allah ta’ala menggantungkan perintah dengan sampainya hujjah, bukan dengan pemahaman.
Jawaban:
Telah disampaikan penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah tentang maksud ayat, yaitu sampai dengan disertai pemahaman (yang benar).
Ibnu Baththaal rahimahullah menjelaskanayat tersebut dengan perkataannya:
والإنذار إنما يكون بما يفهمونه من لسانهم، فيقرأ أهل كل لغة بلسانهم؛ حتى يقع لهم الإنذار به، وإذا فسر لهم بلسانهم فقد بلغهم
“Peringatan hanyalah terwujud dengan apa yang dipahamioleh lisan-lisan mereka, sehingga semua orang yang mempunyai bahasa berbeda-beda membacakannya kepada mereka dengan lisan-lisan mereka hingga peringatan itu terwujud pada mereka dengannya. Dan apabila  telah dijelaskan kepada mereka dengan lisan-lisan mereka, sungguh peringatan itu telah sampai kepada mereka” [Syarh Ibnu Baththaal, 20/219].
Sangat tidak masuk akal hujjah dikatakan tegak hanya sekedar sampai tanpa ada pemahaman terhadap makna dan konsekuensi hukum yang dituntut darinya.
Perlu juga diperhatikan bahwa sampainya Al-Qur’an dan As-Sunnah (= dakwah Islam) kepada seseorang dan kemudian dengannnya dikatakan hujjahtelah tegak, maka itu harus benar-benar sesuai dengan yang diturunkan Allah ta’alakepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Atau dengan kata lain, harus sesuai dengan pemahaman salaf, bukan dengan pemahaman yang menyimpang.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Dzat, yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini, Yahudi atau Nasrani, yang mendengar tentang diriku lantas mati dalam keadaan tidak beriman dengan risalah yang aku bawa, kecuali pasti ia termasuk penduduk neraka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 153].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menjelaskan:
(mulai menit : 06.04)
“…….Jadi, barangsiapa yang sampai kepadanya dakwah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallamdalam kemurnian dan hakekatnya, maka sampailah kepadanya hujjah. Tidak ada ‘udzur atas kejahilan berdasarkan apa yang aku jelaskan barusan.
Dari sini, aku telah mengatakan berulang kali bahwa kebanyakan orang-orang Eropa dan Amerika telah duji dengan dakwah orang-orang yang menyimpang dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan kami contohkan akan hal itu adalah kelompok Qadiyaniyyah, karena mereka itu termasuk kelompok yang sangat aktif menyerukan dakwah kepada apa yang mereka yakini dari agama mereka. Oleh karena itu, mereka mampu mempengaruhi ribuan orang di Inggris, Amerika, Jerman, dan yang lainnya.
Engkau dapat lihat, dan disitulah pointnya, mereka yang mengikuti dakwah Qaadiyaniyyah, apakah (dengannya) hujjah Islam telah sampai kepada mereka?. Jawabnya : Belum. Yang sampai kepada mereka adalah dakwah Qaadiyaniyyah, dan itu bukan merupakan hujjah Islam. Dan Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat (QS. Al-An’aam : 149), yaitu manaath at-takliif (penentu dalam pembebanan syari’at) baik positif maupun negatif.
Jadi, yang menjadi kaedah adalah sampainya dakwah yang benar kepada seseorang. Barangsiapa yang telah sampai padanya hal tersebut, maka telah tegak padanya hujjah. Jika belum, maka belum tegak padanya hujjah……” [selesai].
Perkataan semisal dari Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullahdinukil juga oleh Asy-Syaikh Shaalih Aalusy-Syaikh dalam kaset Syarh Masaailil-Jaahiliyyah.
Jika demikian, perkataan sebagian orang bahwa hujjah telah tegak dengan diturunkannya Al-Qur’an sehingga tidak perlu lagi iqaamatul-hujjah secara khusus dalam pengkafiran individu (takfir mu’ayyan), maka ini tidak valid. Diturunkannya Al-Qur’an merupakan bentuk penegakan hujjah secara umum. Betapa banyak kaum muslimin di berbagai negeri yang diliputi kebodohan (karena sedikitnya ilmu dan ulama yang mendakwahkan Islam yang benar) yang tidak dapat membaca Al-Qur’an ? Betapa banyak diantara yang dapat membaca Al-Qur’an tersebut, orang yang tidak paham artinya ? Betapa banyak di antara yang dapat membaca Al-Qur’an dan paham artinya, orang yang tidak paham kandungan hukum yang ada padanya (baik perintah maupun larangan) ?. Ini adalah fakta di lapangan.[5]
Maka point yang dapat diringkas dari artikel ini bahwa syarat iqaamatul-hujjah dalam pengkafiran individu (takfir mu’ayyan)yaitu adanya pemahaman terhadap nash/dalil dari individu tersebut, baik maknanya maupun hukum yang terkandung di dalamnya secara benar sesuai dengan yang diturunkan Allah ta’ala kepada Rasul-Nya (baca : pemahaman salaf). Pemahaman yang dituntut di sini bukan pemahaman yang mendalam/detail atau pemahaman yang menyampaikannya kepada taufiq dan petunjuk sebagaimana misal ia memiliki pemahaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
Bahan bacaan :
1.     Miftaah Daaris-Sa’aadah oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah.
2.     Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu (tesis) oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, isyraaf : Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak[6]hafidhahumallah.
3.     Manhaj Al-Imaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab fi Mas-alatit-Takfiir (tesis) oleh Ahmad bin Jazaa’ Ar-Radliimaan, pembimbing : Asy-Syaikh Naashir bin ‘Abdil-Kariim Al-‘Aql[7], pembahas : Asy-Syaikh Shaalih Al-‘Abuud[8]dan Asy-Syaikh ‘Aliy Ad-Dakhiil[9]hafidhahumullah.
4.     At-Takfiir wa Dlawaabithuhu oleh Asy-Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy[10]hafidhahullah.
5.     Dan yang lainnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 16122014 – 03:35].




[1]     Sebagaimana hadits:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتُرِيدُونَ أَنْ تَقُولُوا كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ: سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا، بَلْ قُولُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، قَالُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا اقْتَرَأَهَا الْقَوْمُ ذَلَّتْ بِهَا أَلْسِنَتُهُمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي إِثْرِهَا آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ، نَسَخَهَا اللَّهُ تَعَالَى، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ "لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا، قَالَ: نَعَمْ،
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah kalian ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) : ‘Kami mendengar dan kami mendurhakainya?’. Tetapi ucapkan : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Mereka berkata : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Ketika kaum tersebut membacanya, maka lisan-lisan mereka tunduk dengannya, lalu Allah menurunkan sesudahnya: 'Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’ (QS. Al-Baqarah : 285). Ketika mereka melakukan hal tersebut, maka Allah menghapusnya, lalu menurunkan: 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (QS. Al-Baqarah : 286)’. Allah menjawab: Ya…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 125].
[2]     Beliau adalah ‘Abdullah bin Sulaimaan bin Su’uud bin Muhammad yang terkenal dengan Ibnu Bulaihid. Termasuk kibaar ulama negeri Najd yang mempunyai pengetahuan luas dalam masalah-masalah syar’iyyah. Beliau wafat tahun 1359 H di Thaaif [lihat : ‘Ulamaa Najd oleh ‘Abdullah Al-Bassaam, 3/542].
[3]     Yaitu firman Allah ta’ala:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”[QS. Al-A’raaf : 179].
[4]     Lihat : Silsilah Ash-Shahiihah, 1/561-564 no. 278.
[5]     Banyak masyarakat kita yang tidak memahami makna kalimat tauhid : Laa ilaha illallaah. Mereka banyak menghapal artinya : ‘Tidak ada tuhan selain Allah’. Padahal pengartian ini tidaklah benar sesuai makna yang dituntut darinya, yaitu : laa ma’buuda bi-haqq illallaah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah). Mereka juga tidak paham apa konsekuensi dari kalimat ini. Ini disebabkan karena kebodohan mereka dan keberadaan para da’i dan ulama suu’. Akibatnya, banyak di antara kaum muslimin yang terperosok kepada amalan yang merusak ketauhidan mereka tanpa mereka sadari.
Silakan baca fenomena masyarakat di jaman Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam artikel : Ibnu Taimiyyah dan ‘Udzur Kejahilan.
[6]     Beliau adalah salah seorang ulama senior di Saudi ‘Arabia. Keterangan singkat tentang beliau dapat di baca di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=130559.
[7]     Beliau adalah guru besar ilmu ‘aqiidah Univ. Muhammad bin Su’uud, Saudi ‘Arabia. Keterangan singkat tentang beliau dapat di baca di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=108150.
[8]     Beliau adalah rektor Univ. Islam Madiinah. Keterangan singkat tentang beliau dapat di baca di http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=19015.
[9]     Beliau adalah guru besar ilmu ‘aqidah Univ. Muhammad bin Su’uud.
[10]    Beliau adalah guru besar ilmu ‘aqidah Univ. Islam Madiinah. Keterangan singkat tentang beliau dapat di baca di http://majles.alukah.net/t18542/

Membedakan Muslim dan Kafir (Asli) dalam Pemberian ‘Udzur

$
0
0
Ini merupakan salah satu prinsip penting yang mesti diketahui dalam pemberian ‘udzur terhadap kesalahan. Penyamaan antara muslim dan kafir merupakan satu bentuk kedhaliman sehingga seorang muslim dapat dihukumi dengan sesuatu yang sebenarnya hanya layak dikenakan kepada orang kafir.
Dalil yang menunjukkan adanya tuntutan pembedaan antara muslim dengan kafir adalah firman Allah ta’ala:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” [QS. Al-Qalam : 35].
Dhahir ayat menunjukkan peniadaan kesamaan antara muslim dengan kafir.
Ibnu Hazm rahimahullah mengomentari:
فَوَجَبَ يَقِينًا أَنَّ الْمُسْلِمَ لَيْسَ كَالْكَافِرِ فِي شَيْءٍ أَصْلا، وَلا يُسَاوِيهِ فِي شَيْءٍ، 
“Wajib berkeyakinan bahwa muslim tidak seperti kafir dalam segala hal, tidak boleh menyamakannya.…..” [Al-Muhallaa, 10/227].
Seorang muslim yang melakukan kemaksiatan tetap lebih baik daripada orang kafir dengan kekufurannya. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ما تركه المسلم من واجب، أو فعله من محرم بتأويل اجتهاد أو تقليد، واضح عندي، وحاله فيه أحسن من حال الكافر المتأول
“Apapun kewajiban yang ditinggalkan seorang muslim atau keharaman yang dilakukannya karena ta’wil, ijtihaad, atau taqliid adalah jelas di sisiku. Namun demikian, keadaannya tetap lebih baik daripada keadaan orang kafir yang melakukan ta’wil” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 22/14].
Selain itu, seorang muslim asalnya tidak boleh dihubungkan dengan orang kafir. Para ulama menjelaskan bahwa diantara kebodohan dan kedhaliman kelompok Khawaarij adalah menjadikan ayat-ayat yang turun untuk orang kafir/musyrik diterapkan kepada orang Islam (untuk mengkafirkan mereka). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Bukhaariy rahimahullah dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ، وَقَالَ إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Adalah Ibnu ‘Umar memandang mereka (Khawaarij) sebagai makhluk Allah yang paling jelek. Ia berkata : ‘Sesungguhnya mereka menggunakan ayat-ayat yang turun kepada orang kafir lalu menerapkannya kepada orang-orang mukmin” [Shahiih Al-Bukhaariy, 4/280].
Oleh karena itu, (minimal) ada tiga perkara yang menunjukkan ketidakbolehan menghubungkan orang muslim dengan orang kafir tersebut, yaitu:
1.     Terdapat larangan mengkafirkan orang muslim. Pengkafiran itu akan kembali kepada orang yang mengatakannya jika objek yang dikafirkan tidak seperti yang dikatakannya (kafir).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya : ‘Wahai kafir !’, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya. Seandainya saudaranya itu seperti yang dikatakannya, (maka kekafiran itu ada padanya), namun jika tidak demikian, maka perkataan itu kembali pada pengucapnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 60].
Sebaliknya, wajib mengkafirkan orang kafir. Orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka kafir hukumnya.
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الأرْضِ جَمِيعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?" Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [QS. Al-Maaidah : 117].
2.     Seorang muslim yang mempunyai ‘udzur akan dimaafkan/diampuni, sebagaimana hadits:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتُرِيدُونَ أَنْ تَقُولُوا كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ: سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا، بَلْ قُولُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، قَالُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا اقْتَرَأَهَا الْقَوْمُ ذَلَّتْ بِهَا أَلْسِنَتُهُمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي إِثْرِهَا آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ، نَسَخَهَا اللَّهُ تَعَالَى، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ "لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا، قَالَ: نَعَمْ،
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah kalian ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) : ‘Kami mendengar dan kami mendurhakainya?’. Tetapi ucapkan : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Mereka berkata : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Ketika kaum tersebut membacanya, maka lisan-lisan mereka tunduk dengannya, lalu Allah menurunkan sesudahnya: 'Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’ (QS. Al-Baqarah : 285). Ketika mereka melakukan hal tersebut, maka Allah menghapusnya, lalu menurunkan: 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (QS. Al-Baqarah : 286)’. Allah menjawab: Ya…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 125].
Adapun orang kafir yang mempunyai ‘udzur akan diuji pada hari kiamat sebagaimana shahih dalam hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamtentang ahlul-fatrah:
أَرْبَعَةٌ يَحْتَجُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَصَمُّ، وَرَجُلٌ أَحْمَقُ، وَرَجُلٌ هَرِمٌ، وَرَجُلٌ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَأَمَّا الأَصَمُّ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ، وَمَا أَسْمَعُ شَيْئًا، وَأَمَّا الأَحْمَقُ، فَيَقُولُ: رَبِّ، قَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَالصِّبْيَانُ يَحْذِفُونَنِي بِالْبَعَرِ، وَأَمَّا الْهَرِمُ، فَيَقُولُ: رَبِّ، لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَمَا أَعْقِلُ، وَأَمَّا الَّذِي مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَيَقُولُ: رَبِّ، مَا أَتَانِي لَكَ رَسُولٌ، فَيَأْخُذُ مَوَاثِيقَهُمْ لَيُطِيعُنَّهُ، فَيُرْسِلُ إِلَيْهِمْ رَسُولا أَنِ ادْخُلُوا النَّارَ، قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ دَخَلُوهَا كَانَتْ عَلَيْهِمْ بَرْدًا وَسَلامًا
Ada empat orang yang akan berhujjah (beralasan) kelak di hari kiamat : (1) orang tuli, (2) orang idiot, (3) orang pikun, dan (4) orang yang mati dalam masa fatrah. Orang yang tuli akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak mendengarnya sama sekali'. Orang yang idiot akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun anak-anak melempariku dengan kotoran hewan'. Orang yang pikun akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak dapat memahaminya'. Adapun orang yang mati dalam masa fatrah akan berkata : ‘Wahai Rabb, tidak ada satu pun utusan-Mu yang datang kepadaku’. Maka diambillah perjanjian mereka untuk mentaati-Nya. Diutuslah kepada mereka seorang Rasul yang memerintahkan mereka agar masuk ke dalam api/neraka”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Seandainya mereka masuk ke dalamnya, niscaya mereka akan merasakan dingin dan selamat” [Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya (4/24), Ibnu Hibbaan dalam Shahih-nya (16/356 no. 7357), Al-Bazzaar sebagaimana dalam Kasyful-Astaar (3/33 no. 2174), Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (1/287 no. 841), dan yang lainnya; shahih].
3.     Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dakam banyak hadits sering memberi ‘udzur kepada kaum muslimin (para shahabat) jika mereka jatuh dalam kekeliruan, seperti misal kasus Haathib bin Abi Balta’ah radliyallaahu ‘anhu. Ketika ia tertangkap karena membocorkan penyerbuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ke Makkah, ia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ بِمَكَّةَ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا، وَلَا ارْتِدَادًا، وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ صَدَقَكُمْ، قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ، قَالَ: إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“Wahai Rasulullah, janganlah engkau terburu-buru kepadaku. Sesungguhnya aku adalah seorang anak angkat di tengah suku Quraisy, dan aku bukanlah termasuk dari kalangan mereka. Adapun kaum Muhaajirin yang bersama engkau, mereka mempunyai kerabat di Makkah yang akan melindungi keluarga dan harta mereka. Dikarenakan aku tidak punya hubungan nasab dengan mereka, aku ingin menolong mereka agar mereka pun menjaga kerabatku. Aku melakukan ini bukan karena kekafiran, murtad, ataupun ridlaa dengan kekufuran setelah Islam”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Sungguh, dia telah jujur kepada kalian”. ‘Umar berkata : “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku tebas leher orang munafik ini”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya ia (Haathib) adalah orang yang turut serta dalam perang Badr. Tahukah engkau bahwa barangkali Allah telah melihat ahlul-Badr dan berfirman : ‘Berbuatlah sekehendak kalian, karena Aku telah mengampuni kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3007].
Padahal, perbuatan yang dilakukan Haathib radliyallaahu ‘anhu termasuk klasifikasi dosa besar.
Sebaliknya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak pernah memberikan ‘udzur kepada orang Yahudi dan Nashrani atas kekeliruan/pelanggaran yang mereka lakukan.
Ibnu Hazm rahimahullah pernah berkata:
وأما من كان من غير أهل الإسلام من نصراني أو يهودي أو مجوسي، أو سائر الملل، أو الباطنية القائلين بإلهية إنسان من الناس، أو نبوة أحد من الناس، بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فلا يعذرون بتأويل أصلا، بل هم كفار مشركون على كل حال
“Adapun orang non-Islaam dari kalangan Nasharani, Yahudi, Majusi, atau seluruh paham agama (selain Islam), atau kalangan baathiniyyah yang mengklaim sifat ketuhanan pada diri seseorang atau yang mengklaim kenabian pada diri seseorang sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka tidak diberikan ‘udzur dengan sebab ta’wiil secara asal. Bahkan mereka itu kafir lagi musyrik dalam segala keadaannya” [Ad-Durrah, hal. 441].
Wallaahu a’lam.
Semoga yang singkat ini ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 17122014 – 01:15].

Beberapa Kondisi Ditetapkannya ‘Udzur Kejahilan

$
0
0
Para ulama telah menetapkan beberapa kondisi diberikannya ‘udzur bagi seseorang karena kejahilannya. Diantara kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Baru Masuk Islam.
Orang yang baru masuk Islam umumnya tidak mengetahui mayoritas hukum-hukum Islam. Oleh karena itu, apabila ia meninggalkan perintah atau meninggalkan larangan dalam agama, diberikan ‘udzur hingga jelas baginya hukum yang terkait dengan perintah atau larangan tersebut dan ia belajar tentang syari’at Islam yang baru dipeluknya.
Dalilnya adalah hadits:
عن أبي واقد الليثي : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما خرج إلى خيبر مر بشجرة للمشركين يقال لها ذات أنواط يعلقون عليها أسلحتهم فقالوا يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط كما لهم ذات أنواط فقال النبي صلى الله عليه وسلم سبحان الله هذا كما قال قوم موسى أجعل لنا إلها كما لهم آلهة والذي نفسي بيده لتركبن سنة من كان قبلكم
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan Al-Makhzuumiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari Sinaan bin Abi Sinaan, dari Abu Waaqid Al-Laitsiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamketika keluar menuju Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik yang bernama Dzaatu Anwaath yang digantungkan padanya pedang-pedang mereka. Mereka (para shahabat) berkata : “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Subhaanallaah (Maha Suci Allah), ini adalah seperti perkataan kaum Musa : ‘Buatkanlah untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan’. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian benar-benar mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian” [Sunan At-Tirmidziy no. 2180. At-Tirmidziy berkata : “Hasan shahih”].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thayaalisiy no. 1443, ‘Abdurrazzaaq no. 20763, Al-Humaidiy no. 871, Ibnu Abi Syaibah 15/101, Ahmad 5/218, Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 4/no. 2338, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 76, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 11185, Abu Ya’laa no. 1441, Ibnu Jariir dalam Tafsir-nya 9/45, Ibnu Hibbaan no. 6702, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 3290-3294.
Dalam riwayat Ahmad, disebutkan lafadh permintaan shahabat:
يَا نَبِيَّ اللَّهِ، اجْعَلْ لَنَا هَذِهِ ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لِلْكُفَّارِ ذَاتُ أَنْوَاطٍ، وَكَانَ الْكُفَّارُ يَنُوطُونَ بِسِلَاحِهِمْ بِسِدْرَةٍ، وَيَعْكُفُونَ حَوْلَهَا
Wahai Nabi Allah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana orang kafir mempunyai Dzaatu Anwaath. Orang-orang kafir menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut seraya beri’tikaf di sekelilingnya”.
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
ليس ما طلبوه من الشرك الأصغر، ولو كان منه، لما جعله النبي صلى الله عليه وسلم نظير قول بني إسرائيل {اجْعَل لَنَا إِلَهاًَ} وأقسم على ذلك، بل هو من الشرك الأكبر، كما أن لا طلبه بنو إسرائيل من الأكبر، وإنما لم يكفروا بطلبهم؛ لأنهم حدثاء عهد الإسلام
“Apa yang mereka (para shahabat) minta itu bukanlah syirik ashghar - meskipun hal itu termasuk bagian darinya – karena ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammenyamakannya dengan perkataan Bani Israaiil ‘buatkanlah kami tuhan-tuhan’, dan beliau bersumpah mengenai hal itu. Bahkan, perbuatan mereka itu termasuk syirik akbar– sebagaimana permintaan Bani Israaiil juga termasuk syirik akbar. Hanya saja mereka (para shahabat) tidak dikafirkan dengan permintaannya karena mereka termasuk orang-orang yang baru saja masuk Islam” [Fathul-Majiid, hal. 146].
Beberapa faedah tentang hadits ini, silakan baca artikel : Faedah Hadits Abu Waaqid Al-Laitsiy tentang Dzaatu Anwaath.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي كُفْرِ مَنْ تَرَكَهَا جَاحِدًا لِوُجُوبِهَا ، إذَا كَانَ مِمَّنْ لَا يَجْهَلُ مِثْلُهُ ذَلِكَ ، فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَعْرِفُ الْوُجُوبَ ، كَحَدِيثِ الْإِسْلَامِ ، وَالنَّاشِئِ بِغَيْرِ دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ بَادِيَةٍ بَعِيدَةٍ عَنْ الْأَمْصَارِ وَأَهْلِ الْعِلْمِ ، لَمْ يُحْكَمْ بِكُفْرِهِ ، وَعُرِّفَ ذَلِكَ ، وَتُثْبَتُ لَهُ أَدِلَّةُ وُجُوبِهَا ، فَإِنْ جَحَدَهَا بَعْدَ ذَلِكَ كَفَرَ
“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya apabila orang tersebut bukan termasuk orang yang jaahil akan perkara itu. Namun apabila ia termasuk orang yang tidak mengetahui kewajibannya seperti orang yang baru masuk Islam, orang yang hidup bukan di negeri Islam, atau hidup di tempat yang terpencil atau jauh dari ulama, maka tidak dihukumi kafir. Perlu diberitahukan kepadanya perkara tersebut dan disebutkan dalil-dalil akan kewajibannya kepadanya. Apabila ia mengingkarinya setelah itu, kafir” [Al-Mughniy, 10/82].
2.     Hidup di daerah terpencil/jauh yang tidak tersebar padanya ilmu (syari’at) dan sebab-sebab untuk memperolehnya.
Kejahilan dalam kondisi ini adalah sesuatu yang sulit dihindari sehingga di sinilah munculnya pentingnya dakwah Islam dan mengajari orang-orang untuk mempelajari agama mereka.
Dalilnya adalah hadits:
عَنْ عَائِشَةَ "أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا جَهْمِ بْنَ حُذَيْفَةَ مُصَدِّقًا، فَلَاجَّهُ رَجُلٌ فِي صَدَقَتِهِ فَضَرَبَهُ أَبُو جَهْمٍ فَشَجَّهُ، فَأَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: الْقَوَدَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَكُمْ كَذَا وَكَذَا، فَلَمْ يَرْضَوْا، فَقَالَ: لَكُمْ كَذَا وَكَذَا، فَلَمْ يَرْضَوْا، فَقَالَ: لَكُمْ كَذَا وَكَذَا، فَرَضُوا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي خَاطِبٌ الْعَشِيَّةَ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ، فَقَالُوا: نَعَمْ، فَخَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ هَؤُلَاءِ اللَّيْثِيِّينَ أَتَوْنِي يُرِيدُونَ الْقَوَدَ، فَعَرَضْتُ عَلَيْهِمْ كَذَا وَكَذَا فَرَضُوا، أَرَضِيتُمْ؟ قَالُوا: لَا، فَهَمَّ الْمُهَاجِرُونَ بِهِمْ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكُفُّوا عَنْهُمْ فَكَفُّوا، ثُمَّ دَعَاهُمْ فَزَادَهُمْ، فَقَالَ: أَرَضِيتُمْ، فَقَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: إِنِّي خَاطِبٌ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ، قَالُوا: نَعَمْ، فَخَطَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَرَضِيتُمْ، قَالُوا: نَعَمْ "
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah sebagai petugas pemungut/pengumpul zakat. Lalu ada seorang laki-laki yang memprotesnya terkait dengan zakat yang diambilnya. Abu Jahm pun memukulnya hingga kepalanya terluka. Kemudian orang-orang dari kaum laki-laki itu mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (karenanya). Mereka berkata : “Kami menginginkan qishaash wahai Rasulullah”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bagi kalian demikian dan demikian”. Namun mereka tidak meridlainya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Bagi kalian demikian dan demikian”. Lalu mereka pun meridlainya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku akan berkhuthbah sore ini kepada orang-orang untuk mengkhabarkan kepada mereka tentang keridlaan kalian”. Mereka berkata : “Baik”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhuthbah dan bersabda : “Sesungguhnya mereka, orang-orang Bani Laits mendatangiku menginginkan adanya qishash. Lalu aku tawarkan kepada mereka demikian dan demikian, dan mereka pun ridla. Apakah kalian (yaitu : orang-orang Bani Laits) ridla ?”.Mereka menjawab : “Tidak”. (Mendengar itu), orang-orang Muhajirin berniat menghajar mereka, namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk menahan diri. Mereka (kaum Muhaajirin) pun menahan diri. Lalu beliau memanggil mereka (Bani Laits) dan kemudian beliau menambahkan tebusannya, lalu bersabda : “Apakah kalian ridla ?”. Mereka menjawab : “Ya”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku akan berkhuthbah kepada orang-orang untuk mengkhabarkan kepada mereka tentang keridlaan kalian”. Mereka berkata : “Ya”. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhuthbah dan bersabda : “Apakah kalian ridla ?”. Mereka menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4534, An-Nasaa’iy no. 4778, Ibnu Maajah no. 2638, dan yang lainya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud, 3/98-99].
Ibnu Hazm rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits tersebut:
في هذا الخبر عذر الجاهل، وأنه لا يخرج من الإسلام بما لو فعله العالم الذي قامت عليه الحجة لكان كافراً؛ لأن هؤلاء الليثيين كذبوا النبي صلى اله عليه وسلم، وتكذيبه كفر مجرّد بلا خلاف، لكنهم بجهلهم وأعرابيتهم عذروا بالجهالة، فلم يكفروا
“Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang ‘udzur bagi orang yang jaahil, dan bahwasannya ia tidak keluar dari Islam dengan sesuatu yang jika hal itu dilakukan oleh seorang ‘aalim yang telah ditegakkan padanya hujjah niscaya akan menjadi kafir. Hal itu dikarenakan orang-orang Bani Laits telah mendustakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal mendustakan beliau itu adalah kekufuran tanpa ada perselisihan. Akan tetapi mereka, dikarenakan kejahilan mereka dan juga mereka termasuk orang-orang Arab pedalaman, diberikan ‘udzur karena faktor kejahilan, sehingga tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa, 10/410-411].
Orang-orang Bani Laits adalah orang-orang yang tinggal di pedalaman.
3.     Hidup di negeri/tempat yang didominasi oleh kebodohan, jauh dari ilmu dan ulama.
Kondisi ini juga menyebabkan kejahilan menjadi suatu hal yang susah untuk dihindari. Sungguh menjadi hal yang sangat menyedihkan, hal ini banyak terjadi di beberapa negeri Islam yang ditinggali kaum muslimin dewasa ini. Bahkan, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah bercerita tentang kondisi di jamannya sebagai berikut:
مثل من يعتقد أن شيخه يرزقه، أو ينصره أو يهديه، أو يغيثه، أو يعينه، أو كان يعبد شيخه أو يدعوه ويسجد له، أو كان يفضله على النبي صلى الله عليه وسلم تفضيلا مطلقا، أو مقيدا في شيء من الفضل الذي يقرب إلى اللّه تعالى، أو كان يرى أنه هو أو شيخه مستغن عن متابعة الرسول صلى الله عليه وسلم، فكل هؤلاء كفار إن أظهروا ذلك، ومنافقون إن لم يظهروه‏.‏
وهؤلاء الأجناس، وإن كانوا قد كثروا في هذا الزمان، فلقلة دعاة العلم والإيمان، وفتور آثار الرسالة في أكثر البلدان، وأكثر هؤلاء ليس عندهم من آثار الرسالة وميراث النبوة ما يعرفون به الهدى، وكثير منهم لم يبلغهم ذلك‏.‏ وفي أوقات الفترات، وأمكنة الفترات‏:‏ يثاب الرجل على ما معه من الإيمان القليل، ويغفر اللّه فيه لمن لم تقم الحجة عليه ما لا يغفر به لمن قامت الحجة عليه، كما في الحديث المعروف‏:‏ ‏(‏ يأتي على الناس زمان لا يعرفون فيه صلاة، ولا صيامًا، ولا حجًا، ولا عمرة، إلا الشيخ الكبير، والعجوز الكبيرة‏.‏ ويقولون‏:‏ أدركنا آباءنا وهم يقولون‏:‏ لا إله إلا الله فقيل لحذيفة بن اليمان‏:‏ ما تغني عنهم لا إله إلا اللّه‏؟‏ فقال‏:‏ تنجيهم من النار‏)‏ ‏.‏
وأصل ذلك‏:‏ أن المقالة التي هي كفر بالكتاب والسنة والإجماع يقال هي كفر قولا يطلق، كما دل على ذلك الدلائل الشرعية؛ فإن ‏[‏الإيمان‏]‏ من الأحكام المتلقاة عن اللّه ورسوله، ليس ذلك مما يحكم فيه الناس بظنونهم وأهوائهم‏.‏ ولا يجب أن يحكم في كل شخص قال ذلك بأنه كافر حتى يثبت في حقه شروط التكفير، وتنتفى موانعه
“Semisal orang yang berkeyakinan syaikhnya yang memberikan rizki kepadanya, menolongnya, memberikan hidayah kepadanya, membantunya atau menolongnya; atau orang yang menyembah kepada syaikhnya, berdoa kepadanya, atau sujud kepadanya; atau orang yang lebih mengutamakannya daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamsecara mutlak atau muqayyad (terbatas) pada suatu keutamaan yang dapat mendekatkan kepada Allah ta’ala; atau orang yang berpandangan bahwa ia atau syaikhnya adalah orang yang tidak lagi dibebani kewajiban untuk mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka mereka semua adalah kafirjika menampakkannya, dan munafik jika tidak menampakkannya.
Semua jenis orang tersebut ada banyak di jaman ini, yang disebabkan oleh sedikitnya pendakwah yang menyerukan ilmu dan keimanan dan kelemahan ilmu agama/risaalah di kebanyakan negeri. Dan kebanyakan diantara mereka tidak mempunyai ilmu agama/risalah dan warisan kenabian sehingga dapat mengetahui petunjuk. Dan bahkan banyak di antara mereka yang tidak sampai (kepada mereka) ilmu agama/risalah dimaksud. Pada waktu dan tempat fatrah (kekosongan penyampaian risalah), seseorang diberikan pahala atas sedikitnya iman yang ia miliki. Dan Allah mengampuni orang yang belum tegak padanya hujjah, sebagaimana Ia tidak mengampuni orang yang telah tegak padanya hujjah. Terdapat dalam hadits yang ma’ruuf: ‘Akan tiba satu jaman yang tidak diketahui padanya shalat, puasa, haji, dan ‘umar, kecuali ada seorang laki-laki tua dan wanita lemah yang mengatakan : ‘Kami dapati ayah-ayah kami mengatakan : ‘Laa ilaha illallaah’. Dikatakan kepada Hudzaifah  bin Al-Yamaan : ‘Apakah kalimat Laa ilaha illallaah mencukupi bagi mereka ?’. Ia menjawab : ‘Kalimat itu dapat menyelamatkan mereka dari neraka’.[1]
Pokok pembicaraan hal itu adalah : Bahwasannya perkataan yang mengkonsekuensikan kekufuran berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; maka dikatakan bahwa perkataan itu kufur secara mutlak, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iyyah. Sesungguhnya iman merupakan hukum-hukum yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bukan berdasarkan hukum yang berasal dari prasangka dan hawa nafsu manusia. Tidaklah mengkonsekuensikan kekafiran bagi setiap orang yang mengatakan perkataan kekafiran, hingga terpenuhi baginya syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya faktor penghalangnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/164-165].
Itulah kondisi masyarakat di jaman beliau rahimahullah hidup. Jaman dimana murid-murid beliau juga hidup, seperti Ibnu Katsiir, Adz-Dzahabiy, Al-Mizziy, dan yang lainnya rahimahumullah.
Beliau rahimahullah juga berkata:
فإن من جحد شيئًا من الشرائع الظاهرة، وكان حديث العهد بالإسلام، أو ناشئًا ببلد جهل، لا يكفر حتى تبلغه الحجة النبوية‏
“Dan barangsiapa yang mengingkari sesuatu dari syari’at-syari’at yang dhaahir sedangkan ia baru saja masuk Islam atau hidup di negeri kebodohan, maka ia tidak dikafirkan hingga sampai kepadanya hujjah nabawiyyah” [idem, 6/61].
فإنا بعد معرفة ما جاء به الرسول نعلم بالضرورة انه لم يشرع لأمته أن تدعو أحدا من الأموات لا الأنبياء ولا الصالحين ولا غيرهم لا بلفظ الاستغاثة ولا يغيرها ولا بلفظ الاستعاذة ولا يغيرها كما أنه لم يشرع لأمته السجود لميت ولا لغير ميت ونحو ذلك بل نعلم أنه نهى عن كل هذه الأمور وأن ذلك من الشرك الذي حرمه الله تعالى ورسوله لكن لغلبة الجهل وقلة العلم بآثار الرسالة في كثير من المتأخرين لم يكن تكفيرهم بذلك حتى يتبين لهم ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم مما يخالفه
“Maka setelah kita mengetahui risalah yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kita mengetahui dengan pasti bahwa tidaklah disyari’atkan bagi umatnya untuk berdoa kepada orang mati, baik para Nabi, orang shaalih, dan yang lainnya; tidak dengan lafadh istighatsah, isti’adzah, atau yang lainnya. Sebagaimana juga tidak disyari’atkan bagi umatnya untuk sujud kepada mayit atau selain mayit, dan yang lainnya. Bahkan kita mengetahui beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang semua perkara itu, karena termasuk kesyirikan yang diharamkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Akan tetapi karena meratanya kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar-atsarrisalah pada kebanyakan orang-orang yang hidup di masa belakangan (muta’akhkhiriin), maka kita tidak langsung mengkafirkan mereka karena perkara tersebut, hingga jelas bagi mereka syari’at yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perbuatan mereka tersebut” [Ar-Radd 'alal-Bakriy, 2/731].
4.     Hidup di Daarul-Harb (negeri kafir yang punya hak untuk diperangi) dengan alasan-alasan yang diterima oleh syari’at.
Seorang muslim yang hidup di Daarul-Harb diberikan ‘udzur dalam kejahilannya dalam masalah agama dimana ia tidak mengetahui kewajiban dan larangan yang berlaku padanya. Hal itu dikarenakan hukum-hukum syari’at tidak tersebar di wilayah tersebut, dan untuk mengetahui hukum-hukum Islam dalam kondisi tersebut menjadi sesuatu yang sulit. Dalam kitab Ghamzu ‘Uyuunil-Bashaair (3/300) disebutkan:
الجهل في دار الحرب من مسلم لم يهاجر، أي الجهل بالشرائع من مسلم أسلم فىيها. وأنه يكون عذراً حتى لو مكث فيها ولم يعلم أن عليه الصلاة والزكاة وغيرهما ولم يؤدهما، لا يلزم عليه قضاؤهما..... لخفاء الدليل في حقّه وهو الخطاب؛ لعدم بلوغه حقيقة بالسماع وتقديراً بالشهرة، فيصير جهله عذراً، بخلاف الذمّي إذا أسلم في دار الإسلام؛ لشيوع الأحكام والتمكّن من السؤال
“Kejahilan seorang muslim di Daarul-Harb yang tidak berhijrah - yaitu kejahilan seorang muslim yang masuk Islam di negeri tersebut terhadap hukum-hukum syari’at - , maka kejahilannya itu diberikan ‘udzur hingga seandainya ia tinggal padanya dalam keadaan tidak mengetahui adanya kewajiban shalat, zakat, dan yang lainnya, dan ia tidak menunaikannya. Tidak wajib baginya untuk mengqadla’-nya….. Hal itu dikarenakan tersembunyinya dalil yang memerintahkannya, yaitu khithaab; karena ketiadaan orang yang menyampaikannya dan dalil yang telah tersiar.  Maka, kejahilannya itu menjadi ‘udzur. Berbeda halnya dengan kafir dzimmiy apabila ia masuk Islam di negeri Islam, (maka tidak ada ‘udzur baginya) karena telah tersebarnya hukum-hukum Islam dan sangat mungkin baginya untuk bertanya (pada orang yang ilmu)” [selesai].
5.     Hidup di negeri/tempat yang banyak tersebar bid’ah yang menyebabkannya tidak mampu untuk mengetahui agama yang shahih sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Orang tersebut tidak mendapatkan ulama selain ulama yang berbuat bid’ah dan penyimpangan yang ia tidak mengetahui agama kecuali dari mereka itu. Dalam kondisi ini, orang tersebut seperti muqallid yang memiliki sedikit ilmu dan orang awam yang buta huruf. Para ulama menyamakan jenis orang yang jahil ini dengan ahlul-fatrah, karena ketiadaan penyampaian dakwah yang benar dan pengetahuan agama yanghakiki kepada mereka [Haqiiqatul-Bid’ah wa Ahkaamuhaa oleh Sa’iid bin Naashir Al-Ghaamidiy, 2/231].
6.     Kejahilan yang menjadi ‘udzur bagi orang awam pada hukum-hukum tertentu yang hanya diketahui oleh ulama.
Al-Qaadliy Husain rahimahullah dari kalangan Syaafi’iiyah membenarkan bahwa setiap masalah yang detail lagi samar/tersembunyi untuk diketahui dapat menjadi ‘udzur bagi orang awam [Raf’ul-Haraj fisy-Syarii’atil-Islaamiyyah oleh Shaalih bin Humaid, hal. 237. Lihat pula Al-Asybah wan-Nadhaair oleh As-Suyuuthiy, hal. 210].
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
ما ينوب العباد من فروع الفرائض وما يخص به من الأحكام وغيرها مما ليس فيه نص كتاب، ولا في أكثره نص سنة. وإن كانت في شيء منه سنة، فإنما هي من أخبار الخاصة لا أخبار العامة، وما كان منه يحتمل التأويل ويستدرك قياساً، هذه درجة من العلم ليس تبلغها العامة
“Hamba-hamba Allah tidak diperintahkan melaksanakan cabang-cabang kewajiban, hukum-hukum syari’at yang bersifat khusus, dan perkara lainnya yang tidak terdapat nashnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apabila terdapat suatu sunnah dalam perkara-perkara tersebut, maka hal itu termasuk khabar khusus, bukan khabar umum. Begitu juga masalah-masalah yang memerlukan penta’wilan dan diketahui melalui qiyas, maka ini merupakan derajat ilmu yang tidak diketahui oleh orang awam” [Ar-Risaalah, hal. 359-360].
Perkara-perkara yang samar/tersembunyi (khafiy), bukan dhaahir, yang tidak diketahui kecuali melalui jalan yang khusus dari kalangan ulama, maka orang yang mengingkarinya dari kalangan awam tidak dikafirkan, akan tetapi apabila yang mengingkarinya dari kalangan khusus (ulama), dapat dikafirkan [Al-‘Awaashim minal-Qawaashim oleh Ibnul-Waziir, 4/174].
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya sebagai pemahaman dasar dalam memahami ‘udzur kejahilan.
Wallahu a’lam.
Bahan bacaan:
1.     Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu (tesis) oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy.
2.     Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah wa Dlwaabithut-Takfiir ‘indas-Salaf oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy.
[abul-jauzaa’ – senayan, Jakarta – 19122014].




[1]     Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4049; dishahihkan Dr. Basysyaar ‘Awwaad Ma’ruuf dalam tahqiiq dan takhriij-nya terhadap Sunan Ibni Maajah 5/510-511.
Perhatikan pendalilan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan hadits Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu tentang kondisi di akhir jaman. Ini sekaligus ‘mengajari’ sebagian orang yang beku dalam beristinbath yang menyatakan dalil tersebut khusus berlaku di akhir jaman dan tidak cocok diterapkan untuk kondisi sekarang. Itulah bedanya Syaikhul-Islaam rahimahullah dengan mereka. Yang dijadikan ibrah adalah keadaan sedikitnya ilmu dan ulama sehingga kebodohan merajalela. 

Salah Satu Kekeliruan Logika Pendalilan Peniadaan ‘Udzur Kejahilan

$
0
0
Sebagian mereka yang berpendapat tidak adanya ‘udzur kejahilan dalam masalah syirik akbar mengatakan bahwa : ‘seorang yang berzina dinamakan az-zaaniy (الزَّانِي) atau pelaku zina meskipun ia jahil, sehingga seorang yang melakukan kesyirikan pun dinamakan musyrik (الْمُشْرِكُ) meskipun ia jahil. Hukum dunia yang berlaku pada mereka (musyrik) adalah kafir.
Logika pendalilan mereka ini sangat tidak berterima dan dapat dijawab dari beberapa sisi:
a.     Mereka keliru saat mencampuradukkan penyebutan isim faa’il dengan penghukuman terhadapnya. Orang yang melakukan zina – baik ia mengetahui ataupun jahil – dinamakan az-zaaniy, ini benar. Ia hanya dihukumi faasiqapabila melakukannya dalam keadaan mengetahui. Jika ia melakukannya dalam keadaan tidak mengetahui (jaahil), tidak dinamakan faasiq.
Orang yang memalingkan peribadahan kepada selain Allah seperti menyembelih, bernadzar, atau berdoa kepada selain Allah, maka isim faa’il untuknya adalah sama seperti isim faa’il untuk pelaku zina, yaitu : adz-dzaabihu li-ghirillah (pelaku penyembelihan kepada selain Allah), an-naadziru li-ghirillah (pelaku nadzar kepada selain Allah), dan ad-daa’iy li-ghairillah (pelaku doa kepada selain Allah). Adapun penghukuman terhadapnya sebagai musyrik, maka sama seperti ketika kita mengatakan hal itu pada pelaku zina.
Oleh karenanya, ketika kita mengatakan orang yang melakukan zina itu sebagai az-zaaniy, penghukuman kepadanya sebagai faasiq tergantung pada ada tidaknya penghalang dalam pem-fasiq-annya (mawaani’ut-tafsiiq).[1]
Begitu pula orang yang menyembelih, bernadzar, atau berdoa kepada selain Allah; penghukuman kepada sebagai musyrik tergantung pada ada tidaknya penghalang kekafirannya, dan diantaranya adalah kejahilan.
b.     Jika mereka memutlakkan individu orang yang melakukan perbuatan syirik (akbar) sebagai musyrik, kenapa mereka tidak menamakan individu orang yang melakukan syirik ashsghar[2]sebagai musyrik ?. Padahal, alasannya sama.
c.      Jika mereka menamakan pelaku kesyirikan sebagai musyrik meskipun ia jahil, kenapa mereka tidak menamakan hal serupa pada pelaku kesyirikan karena keterpaksaan ?. Allah ta’ala berfirman:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar” [QS. An-Nahl : 106].
Jika mereka mengatakan orang tersebut tidak dinamakan musyrik karena ia melakukannya dengan alasan terpaksa/dipaksa, maka secara tidak langsung mereka mengakui bahwa sekedar perbuatan syirik saja tidak lantas menyebabkan penghukuman (atau yang mereka sebut dengan ‘penamaan’ ) musyrik. Dan itulah alasan yang kita gunakan dalam masalah kejahilan.
d.     Konsekuensi dari cara pendalilan mereka dalam bab ini, kita mesti menyebut semua individu pelaku perbuatan kufur sebagai kafir. Ini jelas merupakan kekeliruan, sedangkan mereka pun mengetahuinya (akan kekeliruan tersebut).
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فإن التكفير المطلق مثل الوعيد المطلق لا يستلزم تكفير الشخص المعين حتى تقوم عليه الحجة التي تكفر تاركها
“Sesungguhnya pengkafiran yang bersifat mutlak (at-takfiirul-muthlaq) seperti halnya ancaman yang bersifat mutlak (al-wa’iid al-muthlaq) yang tidak mengkonsekuensikan pengkafiran terhadap individunya, kecuali jika telah ditegakkan padanya hujjah, dimana ia dikafirkan jika meninggalkannya” [Al-Istiqaamah, hal. 164].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata:
ومسألة تكفير المعين مسألة معروف إذا قال قالا يكون القول به كفراً، فيقال : من قال بهذا القول فهو كافر، ولكن الشخص المعين إذا قال ذلك، لا يحكم بكفره حتى تقوم عليه الحجة التي يكفر تاركها
“Masalah pengkafiran individu (takfir mu’ayyan) adalah masalah yang ma’ruf. Apabila ada seseorang mengucapkan perkataan kufur, maka dikatakan : ‘Barangsiapa yang mengucapkan perkataan tersebut, maka ia kafir’. Akan tetapi individu yang mengucapkannya tidak langsung dihukumi kafir, hingga tegak padanya hujjah, dimana ia dikafirkan jika meninggalkannya” [Ad-Durarus-Saniyyah, 7/244].
Anyway, alasan ‘aqliyyah mereka ini sebenarnya lemah dan kontradiktif.
Semoga tulisan singkat ini ada manfaatnya.....
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, 20122014 – 12:34].




[1]     Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فإن نصوص الوعيد التى فى الكتاب والسنة ونصوص الأئمة بالتكفير والتفسيق ونحو ذلك لا يستلزم ثبوت موجبها فى حق المعين الا اذا وجدت الشروط وانتفت الموانع لا فرق فى ذلك بين الاصول والفروع
“Sesungguhnya nash-nash ancaman yang terdapat dalam Al-Kitaab dan As-Sunnah dan juga perkataan para imam tentang takfir, tafsiiq, dan yang semisalnya; maka itu tidaklah mengkonsekuensikan jatuhnya vonis hukum tersebut terhadap individu tertentu, kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya. Tidak ada bedanya dalam permasalahan tersebut antara ushuul dan furuu’” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 10/372].
Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
وبهذا يعلم أن المقالة أو الفعلة قد تكون كفراً أو فسقاً ولا يلزم من ذلك أن يكون القائم بها كافراً أو فاسقاً، إما لانتفاء شرط التكفير أو التفسيق، أووجود مانع شرعي يمنع منه
“Dari sini dapat diketahui bahwa perkataan atau perbuatan kadang termasuk katagori kekufuran atau kefasiqan. Tidaklah mengkonsekuensikan dari hal tersebut orang yang melakukannya kafir ataupun fasiq yang mungkin karena tidak terpenuhinya syarat-syarat takfir atau tafsiiq, ataupun terdapat penghalang syar’iy yang mencegah jatuhnya vonis tersebut” [Al-Qawaaidul-Mustlaa, hal. 92].
[2]     Misalnya riyaa’ sebagaimana hadits:
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ: "اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا، فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً "
Dari Mahmuud bin Labiid : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Sesungguhnya suatu hal yang paling aku takutkan pada kalian adalah syirik ashghar (syirik kecil)”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Apakah syirik ashghar itu, wahai Rasulullah ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Riyaa’. Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat ketika Ia memberikan balasan kepada manusia atas amal-amal yang mereka lakukan : ‘Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian berbuat riyaa’ kepada mereka di dunia. Lihatlah, apakah kalian mendapatkan balasan di sisi mereka ?” [lihat : Silsilah Ash-Shahiihah, 2/634-635 no. 951].

Kekeliruan Pendalilan Peniadaan ‘Udzur Kejahilan : Ayat Miitsaaq

$
0
0
Yang dimaksud dengan ayat miitsaaq tersebut adalah firman Allah ta’ala:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ * أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ * وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?". Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran)” [QS. Al-A’raaf : 172-174].
Sisi pendalilan : Hujjah dianggap telah ditegakkan atas mereka dengan adanya miitsaq (perjanjian) yang pertama, karena mereka telah menyaksikan ketauhidan atas diri mereka sehingga hilang ‘udzurkejahilan [lihat : Al-Jawaabul-Mufiid fii Hukmi Jaahilit-Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdil-Hamiid, hal. 17-dst.].
Kita katakan:
Pendalilan dengan ayat miitsaaq tersebut sangat lemah dari banyak sisi:
a.     Pendalilan dengan menggunakan ayat tersebut[1]kontradiktif dengan banyak ayat yang menunjukkan Allah mengutus Rasul yang membawa Al-Qur’an (dan As-Sunnah) agar menjadi hujjah bagi manusia, diantaranya firman Allah ta’ala:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Israa’ : 15].
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul” [QS. An-Nisaa’ : 165].
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا بَلَى وَلَكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ الْعَذَابِ عَلَى الْكَافِرِينَ
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka menjawab: "Benar (telah datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir” [QS. Az-Zumar : 71].
Seandainya miitsaaq yang pertama tersebut mencukupi, tentu tidak ada faedahnya Allah ta’ala mengutus Rasul untuk memberikan peringatan dan khabar gembira kepada manusia.
b.     Pendalilan dengan menggunakan ayat tersebut kontradiktif dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Dzat, yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini, Yahudi atau Nashrani, yang mendengar tentang diriku lantas mati dalam keadaan tidak beriman dengan risalah yang aku bawa, kecuali pasti ia termasuk penduduk neraka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 153].
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan dakwah beliau menjadi hujjah bagi manusia yang mendengarnya. Barangsiapa yang mati dalam keadaan beriman, masuk ke dalam surga; dan barangsiapa mati dalam keadaan yang tidak beriman, masuk ke dalam neraka. Adapun orang yang mati dalam keadaan tidak sampai padaya dakwah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, akan diuji sebagaimana hadits di bawah.
c.      Pendalilan dengan menggunakan ayat tersebut kontradiktif dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
أَرْبَعَةٌ يَحْتَجُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَصَمُّ، وَرَجُلٌ أَحْمَقُ، وَرَجُلٌ هَرِمٌ، وَرَجُلٌ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَأَمَّا الأَصَمُّ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ، وَمَا أَسْمَعُ شَيْئًا، وَأَمَّا الأَحْمَقُ، فَيَقُولُ: رَبِّ، قَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَالصِّبْيَانُ يَحْذِفُونَنِي بِالْبَعَرِ، وَأَمَّا الْهَرِمُ، فَيَقُولُ: رَبِّ، لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَمَا أَعْقِلُ، وَأَمَّا الَّذِي مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَيَقُولُ: رَبِّ، مَا أَتَانِي لَكَ رَسُولٌ، فَيَأْخُذُ مَوَاثِيقَهُمْ لَيُطِيعُنَّهُ، فَيُرْسِلُ إِلَيْهِمْ رَسُولا أَنِ ادْخُلُوا النَّارَ، قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ دَخَلُوهَا كَانَتْ عَلَيْهِمْ بَرْدًا وَسَلامًا
Ada empat orang yang akan berhujjah (beralasan) kelak di hari kiamat : (1) orang tuli, (2) orang idiot, (3) orang pikun, dan (4) orang yang mati dalam masa fatrah. Orang yang tuli akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak mendengarnya sama sekali'. Orang yang idiot akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun anak-anak melempariku dengan kotoran hewan'. Orang yang pikun akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak dapat memahaminya'. Adapun orang yang mati dalam masa fatrah akan berkata : ‘Wahai Rabb, tidak ada satu pun utusan-Mu yang datang kepadaku’. Maka diambillah perjanjian mereka untuk mentaati-Nya. Diutuslah kepada mereka seorang Rasul yang memerintahkan mereka agar masuk ke dalam api/neraka”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Seandainya mereka masuk ke dalamnya, niscaya mereka akan merasakan dingin dan selamat” [Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya (4/24), Ibnu Hibbaan dalam Shahih-nya (16/356 no. 7357), Al-Bazzaar sebagaimana dalam Kasyful-Astaar (3/33 no. 2174), Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir(1/287 no. 841), dan yang lainnya; shahih].
Hadits di atas menunjukkan bahwa keempat jenis orang di atas yang tidak sampai/tidak mengetahui (= jahil) akan dakwah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama sekali, akan diuji di kelak di hari kiamat.
Seandainya miitsaaqpertama cukup menjadi hujjah, tentu tidak ada faedahnya ujian yang akan diberikan kepada keempat golongan tersebut kelak di hari kiamat, karena mereka dianggap tidak punya ‘udzur dan langsung masuk ke dalam neraka.
d.     Pendalilan dengan menggunakan ayat tersebut kontradiktif dengan ijmaa’ yang menyatakan bahwa orang yang baru masuk Islam atau orang yang tinggal di daerah terpencil yang jauh dari ilmu dan ulama diberikan ‘udzurjika mereka meninggalkan atau mengingkari hukum-hukum dhahir lagi mutawatir (al-ahkaam adh-dhaahirah al-mutawaatirah).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
لهذا اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان، وكان حديث العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول
“Oleh karena itu para imam telah sepakat bahwa barangsiapa yang hidup di tempat terpencil yang jauh dari ahli ilmu dan iman, atau dia baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari hukum-hukum yang telah jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia mengetahui (dan memahami) apa-apa yang dibawa oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].
e.     Bagaimana bisa mereka mengatakan kejahilan terangkat (hilang) dengan adanya miitsaaq pertama jika mereka sendiri dan manusia lainnya dilahirkan dalam keadaan jahil ?.
Allah ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” [QS. An-Nahl : 78].
Tidaklah mungkin kita memahami apa yang diperitahkan dan apa yang dilarang syari'at kecuali dengan mendapatkan ilmu/informasi setelahnya yang kemudian hal itu menjadi hujjah atas diri kita.
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata:
ومعنى (قالوا بلى) أي إن ذلك واجب عليهم.
فلما اعترف الخلق لله سبحانه بأنه الرب ثم ذهلوا عنه ذكرهم بأنبيائه وختم الذكر بأفضل أصفيائه لتقوم حجته عليهم فقال له: "فذكر إنما أنت مذكر. لست عليهم بمصيطر ".
“Dan makna firman Allah ta’ala : ‘Mereka mengatakan : ‘Betul (Engkau Tuhan kami)’; yaitu : sesungguhnya hal itu wajib atas diri mereka. Ketika makhluk mengakui bahwasannya Allah adalah Rabb mereka, lalu mereka melupakannya sehingga Allah mengingatkan mereka dengan diutusnya para Nabi-Nya dan menutupnya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan hujjah kepada mereka. Allah ta’ala berfirman kepadanya : ‘Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka’ (QS. Al-Ghaasyiyyah : 21-22)” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 7/317].
Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan ayat miitsaaq tersebut dengan perkataannya:
الخامس أنه سبحانه أخبر أن حكمة هذا الإشهاد إقامة الحجة عليهم لئلا يقولوا يوم القيامة إنا كنا عن هذا غافلين والحجة إنما قامت عليهم بالرسل والفطرة التي فطروا عليها كما قال تعالى رسلا مبشرين ومنذرين لئلا يكون للناس على الله حجة بعد الرسل
...............
الثامن قوله تعالى أفتهلكنا بما فعل المبطلون أي لو عذبهم بجحودهم وشركهم لقالوا ذلك وهو سبحانه إنما يهلكهم لمخالفة رسله وتكذيبهم فلو أهلكهم بتقليد آبائهم في شركهم من غير إقامة الحجة عليهم بالرسل لأهلكهم بما فعل المبطلون أو أهلكهم مع غفلتهم عن معرفة بطلان ما كانوا عليه وقد أخبر سبحانه أنه لم يكن ليهلك القرى بظلم وأهلها غافلون وإنما يهلكهم بعد الأعذار والإنذار
“Kelima, bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala telah mengkhabarkan hikmah adanya persaksian ini adalah sebagai penegakan hujjah terhadap mereka agar mereka tidak mengatakan pada hari kiamat : ‘Sesungguhnya kami lalau dalam perkara ini’. Dan hujjah hanyalah tegak atas mereka dengan (diutusnya) para Rasul dan fitrah yang mereka diciptakan atas, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul” (QS. An-Nisaa’ : 165).
……….
Kedelapan, firman-Nya ta’ala : ‘Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’ (QS. Al-A’raaf : 173).; yaitu : Seandainya Allah mengadzab mereka karena keingkaran dan kesyirikan mereka, niscaya mereka akan mengatakan hal tersebut. Dan Allah subhaanahu wa ta’ala hanyalah membinasakan mereka karena penyelisihan dan pendustaan mereka terhadap Rasul-Nya. Seandainya Allah ta’ala membinasakan mereka karena ketaqlidan mereka terhadap nenek-moyang mereka dalam perbuatan syirik yang mereka lakukan tanpa adanya iqaamatul-hujjah dengan diutusnya para Rasul, niscaya Allah akan membinasakan mereka dengan perbuatan yang dilakukan orang-orang yang sesat dahulu, atau membinasakan mereka dengan sebab kelalaian mereka untuk mengetahui kebatilan perbuatan syirik mereka. Namun Allah subhaanahu wa ta’ala mengkhabarkan bahwa Ia tidak akan membinasakan suatu negeri dan penduduknya yang lalai secara dhalim. Allah hanya akan membinasakan mereka setelah memberikan ‘udzurdan peringatan[2]” [Ar-Ruuh, hal. 167-168].
Kesimpulannya : Ayat miitsaaq tidak valid dijadikan hujjah dalam peniadaan ‘udzur kejahilan. Miitsaaq bukanlah hujjah tersendiri, namun ia menjadi hujjah dengan diutusnya para Nabi dan Rasul.
Wallaahu a’lam.
Bahan bacaan :
1.     Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu (tesis) oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy; Daarul-Wathan, Cet. 1/1417.
2.     Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah wa Dlawaabithut-Takfiir ‘indas-Salaf oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy; Daarul-Muslim, Cet. 2/1422.
3.     Al-Ilmaam bi-Syarh Nawaaqidlil-Islaam oleh Dr. ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Rays; Daar Al-Imaam Maalik, Cet. 1/1427.
4.     Isykaaliyyah Al-I’dzaar bil-Jahl fil-Bahts Al-‘Aqdiy oleh Sulthaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Umairiy; Namaa For Research and Studies Center, Cet. 1/2012 M.
5.     dan lainnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 21122014 – 01:30].




[1]     Kita tidak mengatakan ayat tersebut kontradiktif, tapi cara pendalilannya yang kontradiktif.
[2]     Sekedar pemberitahuan:
Penukilan perkataan Ibnul-Qayyim ini dalam buku Al-Jawaabul-Mufiid fii Hukmi Jaahilit-Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdil-Hamiid terpotong sehingga tidak disertakan. Tentu saja, ini menghilangkan sama sekali inti penjelasan yang ingin disampaikan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah.
Penulis kitab ini melakukan beberapa pemotongan-pemotongan nukilan perkataan ulama [lihat : Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah wa Dlawaabith At-Takfiir ‘indas-Salaf oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy, hal. 256-258 – kitab ini direkomendasikan untuk dibaca dalam bahasan ‘udzur kejahilan oleh Asy-Syaikh Sa’iid bin ‘Aliy bin Wahf Al-Qahthaaniy, penulis kitab Hisnul-Muslim, dalam kitabnya Qadliyyatut-Takfiir Baina Ahlis-Sunnah wa Firaqidl-Dlalaal fii Dlauil-Kitaab was-Sunnah].

Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab dan ‘Udzur Kejahilan

$
0
0
Sebelumnya perlu ditegaskan di sini agar tidak terjadi gagal fokus seperti yang sudah-sudah, bahwa yang akan menjadi bahasan adalah apakah beliau memberikan ‘udzur kejahilan dalam perkara kufur akbar dan syirik akbar ataukah tidak. Artinya, jika beliau memberikan ‘udzur kejahilah dalam permasalahan ini, maka beliau tidak langsung mengkafirkan sebelum iqaamatul-hujjah memberikan penjelasan batilnya kesyirikan. Oleh karenannya, fokus bukan pada pertanyaan ‘Benarkah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab Tidak Mengkafirkan Penyembah Kubur ?’. Jika ini yang muncul, maka ini salah satu contoh produk gagal paham dan juga fallacy. Seandainya kita mengakui syaikh memberikan udzur kejahilan pada permasalahan kufur akbar dan syirik akbar, ini bukan berarti syaikh tidak mengkafirkan penyembah kubur. Syaikh tetap mengkafirkan pelaku kesyirikan, hanya saja di situ ada space penegakan hujjah (iqaamatul-hujjah) sebelum pengkafiran. Maka, ujungnya sama. Dan juga jangan berasumsi secara salah jika syaikh dianggap memberikan ruang udzur kejahilan, artinya beliau memberlakukannya secara mutlak, bagi setiap orang yang mengaku jahil dan di setiap keadaan. Tidak begitu, dan dalam penerapan dan pemahamannnya, kita pun juga tidak seperti itu.
Berikut teks-teks perkataan dari Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah yang sangat jelas memberikan ruang udzur kejahilan dalam masalah kufur akbar dan syirik akbar.
1.     Beliau rahimahullahpernah berkata dalam suratnya yang ditujukan kepada Muhammad bin ‘Ied:
تكفير من بان له أن التوحيد هو دين الله ورسوله، ثم أبغضه ونفّر الناس عنه، وجاهد من صدق الرسول فيه، ومن عرف الشرك وأن رسول الله  صلى الله عليه وسلم بُعث بإنكاره، وأقر بذلك ليلاً ونهاراً، ثم مدحه وحسّنه للناس، وزعم أن أهله لا يخطئون لأنهم السواد الأعظم.
وأما ما ذكر الأعداء عني: أني أكفّر بالظن، وبالموالاة، أو أكفّر الجاهل الذي لم تقم عليه الحجة، فهذا بهتان عظيم، يريدون به تنفير الناس عن دين الله ورسوله
“Pengkafiran orang yang telah jelas baginya bahwasannya tauhid adalah agama Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia membencinya dan memalingkan manusia darinya, memerangi orang yang membenarkan Rasulullah, memerangi orang yang menjelaskan kesyirikan dan menjelaskan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mengingkari kesyirikan. Ia terus melakukannya siang-malam, bahkan ia memujinya dan menghiasinya di hadapan manusia, dan menganggap pelakunya tidak bersalah, karena mereka adalah as-sawadul-a’dham (kelompok mayoritas).
Adapun yang disebutkan para musuh dariku bahwa aku mengkafirkan berdasarkan prasangka dan loyalitas, atau mengkafirkan orang yang jahil/bodoh yang belum tegak padanya hujjah, maka semua ini adalah kedustaan yang sangat besar. Mereka menginginkan dengannya agar orang-orang lari dari agama Allah dan Rasul-Nya” [Ar-Risaalah Asy-Syakhshiyyah, hal. 25].
Perkataan beliau rahimahullah di atas menunjukkan:
a.    Orang yang telah jelas (berdasarkan ilmu) akan ketauhidan dan memerangi orang yang mendakwahkannya, maka dikafirkan.
b.    Orang yang jahil tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkannya hujjah.
2.     Beliau rahimahullah berkata saat menjelaskan kaedah pengkafiran:
وأما التكفير، فأنا أكفّر من عرف دين الرسول، ثم بعد ما عرفه سبه ونهى الناس عنه، وعادى مَن فعله؛ فهذا هو الذي أكفّره، وأكثر الأمة ولله الحمد ليسوا كذلك
أما التكفير فأنا أكفر من عرف الرسول، ثم بعدما عرفه سبه ونهى الناس عنه وعادى من فعله، فهذا هو الذي أكفره، وأكثر الأمة ولله الحمد ليسوا كذلك
Tentang pengkafiran, maka aku mengkafirkan orang yang mengetahui agama Rasul, kemudian setelah mengetahuinyaia mencelanya dan memusuhi orang yang menjalankannya. Orang inilah yang aku kafirkan, dan kebanyakan umat – segala puji bagi Allah – tidaklah seperti itu” [Ar-Rasaail Asy-Syakhsiyyah, hal. 38].
Perkataan beliau rahimahullah di atas mempunyai mafhum bahwa orang yang belum mengetahui hakekat agama Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak (langsung) dikafirkan.
3.     Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah menukil:
وقال شيخنا شيخ الإسلام محمد بن عبد الوهاب: سألني الشريف عما نقاتل عليه وما نكفر به؟ فقال في الجواب: إنا لا نقاتل إلا على ما أجمع عليه العلماء كلهم، وهو الشهادتان بعد التعريف إذا عرف ثم أنكر
“Telah berkata syaikh kami, Syaikhul-Islaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab : ‘Asy-Syariif pernah bertanya kepadaku tentang dasar yang kami berperang di atasnya dan apa yang kami kafirkan dengannya’. Maka beliau memberikan jawaban : ‘Sesungguhnya kami tidaklah berperang kecuali di atas sesuatu yang telah disepakati seluruh ulama, yaitu dua kalimat syahadat setelah diketahui. Apabila ia telah mengetahui dan kemudian ia ingkari, (maka kafir)” [Al-Hidaayatus-Sanniyyah, hal. 34].
Perkataan beliau rahimahullah di atas mempunyai mafhum bahwa orang yang belum mengetahui (paham) dua kalimat syahadat tidak dikafirkan. Tentu saja yang dimaksud beliau bukan sekedar mengetahui ‘arti’ (translation) dua kalimat syahadat tersebut, namun makna, kandungan, dan hal yang dituntut dari kalimat tersebut.
4.     Beliau rahimahullah berkata saat mengomentari hadits Dzaatu Anwaath:
ولكن هذه القصة تفيد أن المسلم بل العالم قد يقع في أنواع من الشرك لا يدري عنها، فتفيد التعلم والتحرز، ومعرفة أن قول الجاهل (التوحيد فهمناه) أن هذا من أكبر الجهل ومكائد الشيطان.
وتفيد أيضا أن المسلم المجتهد إذا تكلم بكلام كفر وهو لا يدري. فنبه على ذلك فتاب من ساعته، أنه لا يكفر كما فعل بنو إسرائيل والذين سألوا النبي صلى الله عليه وسلم.
وتفيد أيضا أنه لو لم يكفر فإنه يغلظ عليه الكلام تغليظا شديدا، كما فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Akan tetapi kisah ini juga menunjukkan bahwa seorang muslim, bahkan seorang yang ‘aalim, kadang-kadang terjatuh dalam perbuatan syiriktanpa disadarinya. Jadi kisah ini memberikan pelajaran dan sikap waspada, juga memberikan pengertian, bahwasannya perkataan orang yang jaahil : ‘Kami telah memahami tauhid’ – merupakan kejahilan yang besar dan tipuan dari setan. Kisah ini juga memberikan faedah bahwasannya seorang muslim mujtahid apabila mengucapkan perkataan kufur tanda disadarinya, lalu ia diperingatkan dan kemudian ia bertaubat darinya pada waktu itu, tidak dikafirkan sebagaimana yang dilakukan Bani Israaiil dan sebagian shahabat yang meminta Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Faedah lain, meskipun tidak dikafirkan, ia mestu diperingatkan dengan perkataan yang keras sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Kasyfusy-Syubuhaat, hal. 175].
Perkataan beliau rahimahullah di atas memberikan faedah bahwa orang yang terjatuh dalam kesyirikan tanpa diketahuinya (karena jahil) tidak langsung dikafirkan tanpa adanya peringatan dan penjelasan.
5.     Beliau rahimahullahberkata:
وكذلك تمويهه على الطغام بأن ابن عبد الوهاب يقول: الذي ما يدخل تحت طاعتي كافر، ونقول: سبحانك هذا بهتان عظيم! بل نشهد الله على ما يعلمه من قلوبنا، بأن من عمل بالتوحيد، وتبرأ من الشرك وأهله، فهو المسلم في أي زمان وأي مكان. وإنما نكفّر مَن أشرك بالله في إلهيته، بعد ما نبين له الحجة على بطلان الشرك.
“Begitu juga distorsi yang mereka lakukan terhadap masyarakat awam bahwasannya Ibnu ‘Abdil-Wahhaab mengatakan : ‘Orang yang tidak berada di bawah ketaatanku, maka kafir’. Subhaanallaah, ini adalah kedustaan yang sangat besar. Akan tetapi kami bersaksi kepada Allah terhadap apa yang Ia ketahui pada perkataan kami bahwasannya siapa saja yang beramal ketauhidan serta berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, maka dia adalah muslim kapapunpun dan dimanapun. Kami hanyalah mengkafirkan orang berbuat syirik kepada Allah dalam ilahiyyah-Nya setelahkami jelaskan padanya hujjah atas batilnya kesyirikan” [Ar-Risaalah Asy-Syakhshiyyah, hal. 60].
Perkataan beliau rahimahullah di atas memberikan faedah bahwa orang yang jatuh dalam kesyirikan (karena kejahilannya) tidak langsung dikafirkan tanpa proses iqaamatul-hujjah berupa penjelasan akan batilnya kesyirikan.
6.     Beliau rahimahullah berkata:
ما ذكر لكم عني: أني أكفّر بالعموم، فهذا من بهتان الأعداء. وكذلك قولهم: إني أقول: من تبع دين الله ورسوله وهو ساكن في بلده، أنه ما يكفيه حتى يجيء عندي، فهذا أيضاً من البهتان. إنما المراد: اتباع دين الله ورسوله في أي أرض كانت. ولكن نكفر من أقر بدين الله ورسوله ثم عاداه وصد الناس عنه، وكذلك من عبد الأوثان بعد ما عرف أنها دين للمشركين وزينة للناس; فهذا الذي أكفّره. وكل عالم على وجه الأرض يكفّر هؤلاء، إلا رجلاً معانداً أو جاهلاً؛ والله أعلم
“Apa yang disebutkan kepadamu dariku bahwasannya aku mengkafirkan masyarakat umum, maka ini kedustaan yang sangat besar yang dilakukan para musuh. Begitu juga perkataan mereka : Sesungguhnya aku berkata : ‘Barangsiapa yang mengikuti agama Allah dan Rasul-Nya dan ia tinggal di negerinya, maka itu tidak mencukupinya hingga ia mendatangiku’. Ini juga merupakan kedustaan. Yang dimaksudkan dengan mengikuti agama Allah dan Rasul-Nya adalah di bumi manapun ia berada. Akan tetapi kami mengkafirkan orang yang mengikrarkan agama Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia memusuhi-Nya dan mencegah orang-orang darinya. Begitu juga (kami mengkafirkan) orang yang beribadah kepada berhala setelah ia mengetahui bahwa itu termasuk agama orang-orang musyrikdan menghiasinya kepada orang-orang; maka orang inilah yang aku kafirkan. Setiap ulama yang ada di muka bumi mengkafirkan mereka, kecuali orang yang menentang dan bodoh, wallaahu a’lam” [Ar-Risaalah Asy-Syakhshiyyah, hal. 58].
Perkataan beliau rahimahullah di atas mempunyai mafhum bahwa seorang muslim yang terjatuh dalam kesyirikan berupa peribadahan terhadap berhala tanpa ia ketahui (karena kejahilannya) tidak langsung beliau kafirkan.
7.     Beliau rahimahullah berkata:
الوجه الثاني: أن معصية الرسول صلى الله عليه وسلم في الشرك وعبادة الأوثان بعد بلوغ العلم كفر صريح بالفطر والعقول والعلوم الضرورية، فلا يتصور أنك تقول لرجل ولو من أجهل الناس وأبلدهم: ما تقول فيمن عصى الرسول صلى الله عليه وسلم ولم ينقد له في ترك عبادة الأوثان والشرك مع أنه يدعي أنه مسلم متبع؟ إلا ويبادر بالفطرة الضرورية إلى القول بأن هذا كافر من غير نظر في الأدلة أو سؤال أحد من العلماء، ولكن لغلبة الجهل وغربة العلم وكثرة من يتكلم بهذه المسألة من الملحدين، اشتبه الأمر فيها على بعض العوام من المسلمين الذين يحبون الحق،
“Sisi kedua: Bahwa kemaksiatan terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam kesyirikan dan peribadahan terhadap berhala-berhala setelah sampainya ilmu adalah kekufuran yang jelas berdasarkan fihtrah, akal dan ilmu yang pasti. Maka tidak dapat dibayangkan seandainya engkau bertanya kepada seseorang – meskipun ia termasuk orang yang paling bodoh dan paling pandir - : ‘Apa pendapatmu tentang orang yang mendurhakai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak tunduk kepadanya untuk meninggalkan peribadahan kepada berhala-berhala dan kesyirikan, padahal ia mengaku muslim yang mengikuti beliau ?’ ; maka ia akan langsung mengatakan berdasarkan fitrahnya yang pasti bahwasannya orang tersebut kafir tanpa meneliti dalil-dalil ataupun bertanya kepada ulama. Akan tetapi karena dominannya kejahilan, keterasingan ilmu, dan banyaknya orang mulhid yang berbicara dalam permasalahan ini, menjadi samarlah perkara tersebut bagi sebagian orang awam dari kalangan muslimin yang mencintai kebenaran…” [Mufiidul-Mustafiid, hal. 307-308].
Perkataan beliau rahimahullah di atas mempunyai mafhum bahwa orang yang terjatuh dalam kesyirikan karena kejahilannya (tidak sampai ilmu kepadanya), tidak (langsung) dikafirkan.
8.     Asy-Syaikh Sulaimaan bin Sahmaan rahimahumullahmenukil:
الشيخ محمد بن عبد الوهاب - رحمه الله - من أعظم الناس توقفاً وإحجاماً عن إطلاق الكفر حتى أنه لم يجزم بتكفير الجاهل الذي يدعو غير الله من أهل القبور أو غيرهم إذا لم يتيسر له من ينصحه ويبلغه الحجة التي يكفر تاركها، قال في بعض رسائله وإن كنا لا نكفر من عبد قبة الكواز لجهلهم وعدم من ينبههم ، فكيف من لم يهاجر إلينا، وقال وقد سئل عن مثل هؤلاء الجهال فقرر أن من قامت عليه الحجة وتأهل لمعرفتها يكفر بعبادة القبور، وأما من أخلد إلى الأرض واتبع هواه فلا أدري ما حاله
“Dan Asy-Syaikh Muhammad (bin ‘Abdil-Wahhaab) rahimahullah termasuk orang yang sangat menahan dan menjauhkan diri dari pemutlakan kekufuran, hingga beliau tidak menetapkan pengkafiran terhadap orang yang jahil yang berdoa kepada selain Allah, yaitu kepada ahli kubur atau selainnya; apabila tidak ada orang yang menasihatinya dan menyampaikan hujjah yang mengkafirkan orang yang meninggalkannya. Beliau berkata di sebagian risalahnya : ‘Dan seandainya kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah kuburan karena kejahilan mereka dan ketiadaan orang yang memperingatkan mereka, lantas bagaimana kami mengkafirkan orang yang tidak berhijrah kepada kami ?’.  Beliau juga pernah ditanya tentang orang yang semisal dengan orang jahil tersebut, maka beliau menyatakan bahwa : ‘Barangsiapa yang telah tegak padanya hujjah namun ia enggan untuk mengetahuinya, maka ia dikafirkan karena penyembahannya kepada kubur tersebut. Adapun orang yang mencium bumi dan mengikuti hawa nafsunya, aku tidak mengetahui bagaimana hukum apa yang berlaku padanya” [Dyiyaausy-Syaariq, hal. 372].
Perkataan beliau rahimahullah di atas memberikan faedah bahwa orang muslim yang jatuh dalam perbuatan kesyirikan karena kejahilannya tidak langsung dikafirkan jika tidak ada orang yang memberikan penjelasan kepadanya dan menyampaikan hujjah. Ia dikafirkan jika telah tegak padanya hujjah namun ia enggan untuk mengetahuinya (masa bodoh).
9.     Beliau rahimahullah berkata:
فجنس هؤلاء المشركين وأمثالهم ممن يعبد الأولياء والصالحين نحكم بأنهم مشركون ونرى كفرهم إذا قامت عليهم الحجة الرسالية
“Jenis orang-orang musyrik dan yang semisal mereka dari kalangan orang yang menyembah para wali dan orang-orang shaalih, kami hukumi sebagai orang musyrikdan kami pandang sebagai orang kafir apabila telah tegak hujjah risaaliyyah pada mereka” [Al-Hidaayatus-Suniyyah, risalah ke-4, hal. 103].
Perkataan beliau rahimahullah di atas mempunyai mafhum bahwa orang muslim yang jatuh dalam kesyirikan namun belum ditegakkan hujjah risaliyyah kepadanya, tidak dikafirkan.
10.   Beliau rahimahullahsaat menuliskan surat kepada Asy-Syariif, berkata :
وإذا كنا لا نكفر من عبد الصنم الذي على قبة عبد القادر، والصنم الذي على قبر أحمد البدوي وأمثالهما، لأجل جهلهم وعدم من ينبههم، فكيف نكفر من لم يشرك بالله إذا لم يهاجر إلينا ولم يكفر ويقاتل ؟ سبحانك هذا بهتان عظيم
“Apabila kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah berhala di atas kubah ‘Abdul-Qaadir, dan berhala yang berada di atas kubur Ahmad Al-Badawiy, serta yang semisal mereka berdua – dengan sebab kejahilan mereka dan ketiadaanorang yang memberikan penjelasan kepada mereka; lantas bagaimana kami bisa mengkafirkan orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah jika ia tidak berhijrah kepada kami ?. Maha Suci Engkau (ya Allah), ini adalah kedustaan yang sangat besar...” [Fataawaa wa Masaail, hal. 4].
Perkataan beliau rahimahullah di atas memberikan faedah bahwa orang muslim yang jatuh dalam perbuatan kesyirikan karena kejahilannya tidak langsung dikafirkan jika tidak ada orang yang memberikan penjelasan kepadanya dan menyampaikan hujjah.
Mari kita baca statement syaikh di atas dengan pikiran jernih tanpa rasa fanatik, taqlid buta, dan sikap menyalahkan sebelum meneliti,…. Apakah di antara Pembaca – yang saya yakin banyak yang punya kemampuan content analysis bagus – dapat menyimpulkan bahwa syaikh menafikkan ‘udzur kejahilan bagi pelaku kesyirikan ?.
Apakah jika kita mengatakan berdasarkan statement di atas bahwa syaikh memberikan ruang udzur kejahilan dalam perkara kufur akbar dan syirik akbar merupakan kedustaan terhadap syaikh ?.
قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati” [QS. Aali ‘Imraan : 119].
Apakah kita mengarang-ngarang penyimpulan manhaj Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab dalam masalah ‘udzur kejahilan ini ?. Tidak. Pembaca dapat lihat bagaimana pandangan Asy-Syaikh Sulaimaan bin Sahmaan rahimahullah tentang Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah di atas.
Begitu juga inilah penyimpulan yang didapatkan Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah[1] dan Asy-Syaikh Al-Muhaddits ‘Abdul-Kariim Al-Khudlair hafidhahullah (anggota kibaar ulama Saudi Arabia)[2]. Begitu juga dengan hasil penelitian Ahmad bin Jazaa’ Ar-Radlaimaan yang berjudul Manhaj Al-Imaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab fii Mas-alatit-Takfiir(tesis Univ. Muhammad bin Su’uud) di bawah bimbingan Asy-Syaikh Naashir Al-‘Aql[3]. Begitu juga penelitian ‘Abdurrazzaaq Ma’aasy yang berjudul Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu(tesis) di bawah bimbingan Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak hafidhahullah. Juga Asy-Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy hafidhahullah dalam bukunya At-Takfiir wa Dlawaabithuhu. Dan masih banyak lagi.
Dan ini juga madzhab Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimanumullah. Beliau berkata saat mengomentari perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahumallah terkait dengan sebagian amal perbuatan kesyirikan:
وتأمل – أيضاً – قوله الشيخ رحمه الله تعالى في آخر الكلام، ولا ريب أن أصل قول هؤلاء هو الشرك الأكبر والكفر الذي لا يغفره الله إلا بالتوبة، و أن ذلك يستلزم الردة عن الدين، والكفر برب العالمين، كيف صرح بكفر من فعل هذا أو ردته عن الدين إذا قامت عليه الحجة من الكتاب والسنة، ثم أصر على فعل ذلك، وهذا لا ينازع فيه من عرف دين الإسلام الذي بعث الله به رسوله محمداً -صلى الله عليه وسلم-، والله أعلم
“Dan merenungkan perkataan syaikh rahimahullahu ta’ala dalam akhir perkataannya, tidak diragukan lagi bahwa pokok perkataan mereka adalah syirik akbar dan kufur yang tidak akan diampuni Allah kecuali dengan taubat, mengkonsekuensikan murtad dari agama, serta kekafiran terhadap Rabbul-‘Aalamiin. Lantas, bagaimana halnya dengan orang yang jelas melakukan kekufuran tersebut atau murtad dari agama apabila telah tegak padanya hujjah dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kemudian ia terus melakukannya; maka tidak ada perselisihan padanya bagi orang yang mengetahui agama Islam yang Allah mengutus Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam (tentang kekafirannya)” [Al-Kalimaatun-Naafi’ah fil-Mukaffiraatil-Waaqi’ah, hal. 441].
إذا فعل الإنسان الذي يؤمن بالله ورسوله ما يكون فعله كفراً، أو قوله كفراً، أو اعتقاده كفراً جهلاً منه بما بعث الله به رسوله ـ صلّى الله عليه وسلّم ـ، فهذا لا يكون عندنا كافراً، ولا نحكم عليه بالكفر حتى تقوم الحجة الرّسالية التي يكفر من خالفها. فإذا قامت عليه الحجّة، وبيّن له ما جاء به الرّسول ـ صلّى الله عليه وسلّم ـ، وأصرّ على فعل ذلك بعد قيام الحجّة، فهذا هو الذي يكفر...
“Apabila seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya melakukan perbuatan kufur, mengucapkan perkataan kufur, atau berkeyakinan keyakinan kufur karena jahil terhadap syari’at yang Allah utus Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengannya; maka menurut kami ia bukanlah orang kafir, dan kami tidak menghukuminya dengan kekafiran hingga tegak hujjah risaliyyah yang memgkafirkan orang yang menyelisihinya. Apabila telah tegak padanya hujjah dan jelas baginya syari’at yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia terus melakukan perbuatan syirik tersebut setelah tegaknya hujjah, maka orang inilah yang dikafirkan….” [Ad-Durarus-Saniyyah, 10/239].
Kita dapat berhusnudhdhan bahwa madzhab Asy-Syaikh ‘Abdullah sesuai dengan madzhab ayahnya (Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab) dalam pengkafiran.
Adapun beberapa nukilan dari Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah yang terlihat kontradiktif, dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut:
1.     Beliau rahimahullah berkata:
فإنك إذا عرفت أن الإنسان يكفر بكلمة يخرجها من لسانه، وقد يقولها وهو جاهل فلا يعذر بالجهل
“Sesungguhnya jika engkau mengetahui seseorang dikafirkan karena kalimat yang diucapkan oleh lisannya, dan kadang-kadang ia mengucapkannya sedangkan ia tidak mengetahuinya, maka kejahilannya tersebut tidak diberikan ‘udzur” [Kasyfusy-Syubuhaat, hal. 158-159].
Jawab :
Perkataan ini tidak menafikkan adanya udzur kejahilan dari syaikh, karena ‘udzur kejahilan sendiri tidak berlaku mutlak. Beliau rahimahullahmenyatakan:
الانسان لا يعذر بالجهل في كثير من الأمور
“Manusia tidaklah diberikan ‘udzur kejahilan dalam banyak perkara” [Tafsiir Aayaat minal-Qur’aanil-Kariim, hal. 350].
Barangsiapa yang memungkinkan bagi dirinya untuk mendapatkan ilmu dan bertanya, namun tidak ia lakukan dan ia malah berpaling darinya, maka yang seperti ini tidak diberikan ‘udzur. Hal yang menguatkan maksud ini – wallaahu a’lam– perkataan beliau yang lain:
تنبيه الجاهل أنه لا يعذر لأنه يمكن السؤال
“Peringatan bagi orang yang jahil bahwasannya ia tidak diberikan udzur karena ia memungkinkan untuk bertanya” [idem, hal. 212].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah menjelaskan hal yang semisal, bahwa orang tersebut adalah orang jahil yang tafriith (meremehkan) belajar. Abul-Jauzaa’ berkata : Maksudnya – wallaahu a’lam- orang tersebut tahu ada seseorang/sumber yang dapat ia pelajari/tanya, namun malah mengabaikannya [baca: http://islamqa.info/ar/111362].
Sebagai suplemen untuk menyempurnakan gambaran sebaliknya, silakan baca artikel : Beberapa Kondisi Ditetapkannya ‘Udzur Kejahilan.
2.     Beliau rahimahullah berkata saat menyebutkan faedah hadits ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu:
أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى رجلا في يده حلقة من صفر فقال: ما هذه؟ قال من الواهنة. فقال: انزعها، فإنها لا تزيدك إلا وهنا؛ فإنك لو مت وهي عليك ما أفلحت أبدا
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah melihat seorang laki-laki terdapat di tangannya gelang kuningan. Maka beliau bertanya : “Apakah ini ?”. Orang itu menjawab : “Penangkal sakit”. Nabi pun bersabda : “Lepaskan itu, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu. Sebab jika kamu mati sedangkan gelang itu masih ada di tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya”.[4]
Syaikh setelah itu berkata:
الثالثة: أنه لم يعذر بالجهالة
“Faedah ketiga : Syirik tidak diberikan udzur dengan sebab kejahilan”.
Jawab:
a.      Perbuatan dalam hadits di atas termasuk syirik ashghar, bukan syirik akbar sebagaimana yang difokuskan; dan syirik ashghar pada asalnya tidak menyebabkan kekafiran dan dihukumi musyrik keluar dari daerah Islam (murtad), meski termasuk dosa besar. Oleh karena itu, menggunakan perkataan beliau di atas tidak valid dalam mahallun-nizaa’ permasalahan ini.
b.      Dhahir hadits di atas justru menjadi dalil adanya udzur kejahilan karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkafirkannya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengatakan ‘sebab jika kamu mati sedangkan gelang itu masih ada di tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya’ ; kecuali setelah memberikan pemahaman dan penjelasan kepada ‘Imraan dengan perkataannya : ‘Lepaskan itu, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu’.
c.      Kemungkinan makna tidak diberikan udzur tersebut adalah karena adanya peremehan, wallaahu a’lam.
Tentang ta’wil sebagian orang bahwa udzur kejahilan yang diberikan syaikh di atas mempunyai beberapa kemungkinan makna, maka jawabannya:
1.     Ta’wil Pertama : ‘tidak terang-terangan mengkafirkan’.
Jawaban :
Ini adalah ta’wil yang terlalu memaksakan diri. Jika memang maknanya adalah tidak terang-terangan mengkafirkannya, kami persilakan para Pembaca semua menjadi saksi dalam penerapan perkataan syaikh berikut:
Apabila kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah berhala di atas kubah ‘Abdul-Qaadir, dan berhala yang berada di atas kubur Ahmad Al-Badawiy, serta yang semisal mereka berdua – dengan sebab kejahilan mereka dan ketiadaan orang yang memberikan penjelasan kepada mereka; lantas bagaimana kami bisa mengkafirkan orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah jika ia tidak berhijrah kepada kami ?. Maha Suci Engkau (ya Allah), ini adalah kedustaan yang sangat besar’.
Konsekuensinya,…. Jika syaikh tidak terang-terangan mengkafirkan pelaku kesyirikan yang jahil tersebut, maka syaikh pun juga sedang tidak terang-terangan mengkafirkan orang yang tidak berbuat syirik di jalan Allah – karena kalimat syaikh di atas menggunakan qiyas aulawi.
2.     Ta’wil Kedua : ‘tidak mengkafirkan mereka dalam rangka mudaarah (mengalah dalam urusan dunia) demi maslahat dakwah’.
Jawab:
Ta’wil ini juga tidak kalah aneh dengan yang pertama. Ini merupakan kedustaan sekaligus penghinaan terhadap syaikh. Ini bukan mudaarah, tapi justru sifat nifaq dan sifat tidak tegas terhadap kebenaran; sedangkan syaikh sangat jauh dari sifat itu – dan Allah Maha Tahu apa yang ada pada diri beliau rahimahullah.
Syaikh justru mendustakan orang-orang yang menuduhnya mengkafirkan orang awam dan jahil secara serampangan tanpa adanya penjelasan dan penegakan hujjah.
3.     Ta’wil Ketiga : ‘diucapkan di awal dakwah karena dakwah yang masih lemah, atau karena perkara ini belum begitu jelas, atau ketika itu ia menyangka bahwa dalam perkara ini ada khilaf’.
Jawab:
Ta’wil ini sangat lemah. Pertama, kontradiktif dengan pernyataan bahwa syirik merupakan perkara yang jelas dan. Kedua, lemahnya dakwah bukan menjadi faktor untuk mengatakan seorang yang kafir lantas dikatakan tidak kafir. Hubungan kausalitasnya tidak nyambung.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
NB : Perkara udzur kejahilan adalah perkara yang diperselisihkan ulama. Masalah timbul ketika ada orang yang mengklaim ijma’, menuduh orang membela orang musyrik, dan mulai membawa pelabelan irjaa’ tanpa melihat realitas khilaf nyata yang ada di kalangan ulama.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 22122014 – 01:28].




[1]     Silakan baca : http://islamqa.info/ar/111362
[3]     Lihat khususnya halaman : 101 – 111 dan 199 – 201.
Khusus untuk buku ini, ada yang hal yang lucu, karena ada orang yang masih saja menuduh nukilan statement penyimpulan ini dusta. Mungkin karena ia tidak dapat membaca kitab, atau terburu-buru membacanya, atau tidak paham isinya, atau memang tidak mau memahami isinya.
Sangat jelas dalam buku (tesis) tersebut setelah Penulis menurunkan teks-teks Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah yang ‘terlihat’ paradox, ia kemudian mengatakan : ‘Melalui penelitian terhadap teks-teks yang ternukil dari Al-Imaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab nampak sangat jelas bahwasannya beliau tidak mengkafirkan seseorang kecuali setelah iqaamatul-hujjah, dan bahwasannya beliau berpendapat adanya udzur kejahilan…..” [hal. 108].
Penulis melakukan pendiskusian dan jawaban terhadap beberapa teks yang nampak meniadakan udzur kejahilan [hal. 108 – 110]. Setelah itu Penulis mencoba menyimpulkan bahwa syaikh berpendapat memberikan udzur kejahilan bagi orang yang belum tegak hujjah padanya seperti orang yang baru masuk Islam, orang yang hidup di daerah terpencil jauh dari ilmu, atau pada masalah-masalah khafiyyah. Beliau tidak memberikan udzur pada orang yang telah tegak padanya hujjah lalu meninggalkan belajar agama, atau orang yang mengaku jahil pada pokok-pokok agama (ushuuluddin) yang telah dijelaskan Allah dalam Kitab-Nya dimana ia termasuk al-ma’luumaat bidl-dlaruurah(perkara agama yang telah diketahui secara umum dan pasti) [hal. 110]. 
Penulis di halaman lain kembali menegaskan bahwa syaikh memberikan ‘udzur pada sebagian orang yang jahil pada perkara al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah karena faktor baru masuk Islam hidup atau di daerah yang jauh dari ilmu dan ulama, hingga hujjah ditegakkan pada mereka [hal. 201]. 'Udzur kejahilan dimaksud adalah dalam perkara-perkara syirik yang telah disebutkan di dalam nukilan tesis (dan juga disebutkan dalam artikel di atas).
Ini berkesesuaian dengan madzhab para ulama Ahlus-Sunnah lain seperti Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahulah.
Silakan baca :

Kekeliruan Pendalilan Peniadaan ‘Udzur Kejahilan : Memutlakkan Perkara Al-Ma’luum minad-Diin bidl-Dlaruurah

$
0
0
Sebelumnya, telah lewat bahasan ringkas tentang al-ma’luum mind-diin bidl-dlaruurahdi Blog ini.Al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah adalah perkara agama yang jelas lagi mutawatir, diketahui oleh semuaorang, dan disepakati para ulama secara pasti seperti rukun Islam yang lima, pengharaman perkara-perkara yang keharamannya jelas lagi mutawatirseperti zina, riba, dan yang lainnya [Manhaj Al-Imaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab, hal. 199].
Kejahilan dalam perkara ini tidak dapat ditoleransi (diberikan ‘udzur) berdasarkan ijmaa’.
Ibnul-Waziir rahimahullah berkata:
لا خلاف في كفر من جحد ذلك المعلوم بالضرورة للجميع، وتستر باسم التأويل فيما لا يمكن تأويله، كالملاحدة في تأويل جميع الأسماء الحسنى، بل جميع القرآن والشرائع والمعاد الأخروي من البعث والقيامة والجنة والنار
“Tidak ada perbedaan pendapat atas kekufuran orang yang mengingkari perkara-perkara yang telah diketahui secara pasti oleh semua orang, dan menutupinya dengan nama ta’wil pada hal yang tidak diperbolehkan untuk dita’wilkan, seperti orang-orang mulhid yang mena’wilkan seluruh al-asmaa’ul-husnaa. Bahkan mena’wilkan seluruh Al-Qur’an, syari’at Islam, dan sesuatu yang berhubungan dengan akhirat seperti kebangkitan, kiamat, surga, dan neraka” [Iitsaarul-Haqq ‘alal-Khalq, 2/268].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
العلم عِلْمان:
(1) علمُ عامَّةٍ، لا يَسَعُ بالِغاً غيرَ مغلوب على عقْلِه جَهْلُهُ...... مثلُ الصَّلَوَاتِ الخمس، وأن لله على الناس صومَ شهْر رمضانَ، وحجَّ البيت إذا استطاعوه، وزكاةً في أموالهم، وأنه حرَّمَ عليهم الزِّنا والقتْل والسَّرِقة والخمْر، وما كان في معنى هذا، مِمَّا كُلِّفَ العِبادُ أنْ يَعْقِلوه ويعْملوه ويُعْطُوه مِن أنفسهم وأموالهم، وأن يَكُفُّوا عنه ما حرَّمَ عليهم منه.
وهذا الصِّنْف كلُّه مِن العلم موجود نَصًّا في كتاب الله، وموْجوداً عامًّا عنْد أهلِ الإسلام، ينقله عَوَامُّهم عن مَن مضى من عوامِّهم، يَحْكونه عن رسول الله، ولا يتنازعون في حكايته ولا وجوبه عليهم.
وهذا العلم العام الذي لا يمكن فيه الغلط مِن الخبر، ولا التأويلُ، ولا يجوز فيه التنازعُ.
“Ilmu ada dua:
Pertama, ilmu umum, yaitu ilmu pasti yang tidak ada kelonggaran bagi orang baaligh yang tidak kehilangan akalnya untuk tidak mengetahuinya (jahil)….. Seperti kewajiban shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadlaan, haji ke Baitullah apabila mereka mampu, menunaikan zakat harta mereka, serta haramnya zina, pembunuhan, mencuri, minum khamr, dan perkara lainnya yang termasuk dalam makna ini yang telah dibebankan kepada hamba-hamba-Nya agar mereka mengetahuinya, mengamalkannya, mentaatinya dengan jiwa dan harta mereka, serta mencegah hal-hal yang telah diharamkan kepada mereka.
Semua jenis pengetahuan ini termasuk pengetahuan yang terdapat dalam Kitabullah, diketahui secara umum di kalangan kaum muslimin, orang-orang awam sekarang mengetahuinya dari orang-orang awam terdahulu, mereka menceritakannya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka tidak berselisih dalam cerita mereka tersebut dan tidak pula dalam hal kewajiban yang dituntut kepada mereka untuk mematuhinya.
Ilmu umum ini tidak mungkin keliru dalam pengkhabarannya dan pena’wilannya, serta tidak boleh ada perselisihan di dalamnya….” [Ar-Risaalah, hal. 357-359].
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
وفي الجملة فما ترك الله ورسوله حلالا إلا مبيناً، ولا حراماً إلا مبيّناً، لكن بعضه كان أظهر بياناً من بعض، فما ظهر بيانه واشتهر وعلم من الدين بالضرورة من ذلك، لم يبق فيه شكّ، ولا يعذر أحد يجهله في بلد يظهر فيه الإسلام
“Dan secara umum, tidaklah Allah dan Rasul-Nya meninggalkan sesuatu yang halal kecuali menjelaskannya, dan tidak pula meninggalkan sesuatu yang haram kecuali menjelaskannya pula. Akan tetapi sebagiannya lebih jelas dibandingkan sebagian yang lain. Maka apa saja yang penjelasannya jelas, tersebar, diketahui termasuk bagian dari perkara agama yang pasti dan tidak ada keraguan padanya; maka tidak ada ‘udzur  kejahilan bagi seorang pun yang tinggal di negeri Islam” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 67].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَأَمَّا إذَا كَانَ الْجَاحِدُ لَهَا نَاشِئًا فِي الْأَمْصَارِ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ ، فَإِنَّهُ يُكَفَّرُ بِمُجَرَّدِ جَحْدِهَا ، وَكَذَلِكَ الْحُكْمُ فِي مَبَانِي الْإِسْلَامِ كُلِّهَا ، وَهِيَ الزَّكَاةُ وَالصِّيَامُ وَالْحَجُّ ؛ لِأَنَّهَا مَبَانِي الْإِسْلَامِ ، وَأَدِلَّةُ وُجُوبِهَا لَا تَكَادُ تَخْفَى ، إذْ كَانَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ مَشْحُونَيْنِ بِأَدِلَّتِهَا ، وَالْإِجْمَاعُ مُنْعَقِدٌ عَلَيْهَا ، فَلَا يَجْحَدُهَا إلَّا مُعَانِدٌ لِلْإِسْلَامِ ، يَمْتَنِعُ مِنْ الْتِزَامِ الْأَحْكَامِ ، غَيْرُ قَابِلٍ لِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا سُنَّةِ رَسُولِهِ وَلَا إجْمَاعِ أُمَّتِهِ
“Adapun orang yang mengingkarinya jika ia tinggal di negeri yang berada di antara para ulama, maka ia dikafirkan dengan sebab pengingkarannya tersebut. Begitu juga hukum terkait rukun-rukun Islam yaitu zakat, puasa, dan haji; karena ia termasuk pondasi dasar yang menopang tegaknya Islam dan dalil-dalil kewajibannya bukanlah sesuatu yang samar, sebab Al-Qur’an dan As-Sunnah banyak memuat dalil-dalilnya. Begitu juga dengan ijmaa’ yang memperkuatnya. Maka, tidak ada orang yang mengingkarinya kecuali orang yang menentang Islam, mencegah penerapan hukum-hukumnya tanpa secara langsung melakukan penentangan terhadap Kitabullah ta’ala, sunnah, dan ijmaa’ umat” [Al-Mughniy, 10/82].
Masih banyak perkataan semisal dari ulama.
Orang yang tidak memberikan ‘udzur kejahilan dalam perkara ‘aqidah dan syirik akbar mengambil perkataan di atas dan kemudian mereka terapkan secara mutlak. Dikarenakan kesyirikan dengan semua cabang dan tingkatannya mereka anggap sebagai al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah secara mutlak, maka ‘tidak ada ampun lagi’ bagi para pelakunya selain dihukumi musyrik lagi kafir.
Cara pendalilan seperti ini sangat inkonstitusional, karena perkara al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah itu merupakan perkara yang relatif (nisbi) tergantung pada jaman dan tempat. Mungkin satu perkara termasuk al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah di suatu tempat, namun tidak di tempat yang lain; atau masuk di suatu jaman tertentu, namun tidak di jaman yang lain. Contoh:
Hingga era taabi’iin, pengetahuan Al-Qur’an adalah Kalaamullah, bukan makhluk merupakan perkara dhaahir (jelas) yang diketahui oleh semua orang.
أبو عبد الله الحافظ قال : سمعتُ أبا زكريا يحيى بن محمد العنبري يقول : سمعت عمران بن موسى الجرجاني بنيسابور يقول : سمعت سويد بن سعيد يقول : سمعت مالك بن أنس وحماد بن زيد وسفيان بن عيينة والفضل بن عياض وشريك بن عبد الله ويحيى بن سليم ومسلم بن خالد وهشام بن سليمان المخزومي وجرير بن عبد الله الحميد وعلي بن مسهر وعبدة وعبد الله بن إدريس وحفص بن غياث ووكيع ومحمد بن فضيل وعبد الرحيم بن سليمان وعبد العزيز بن أبي حازم والدراوردي وإسماعيل بن جعفر وحاتم بن إسماعيل وعبد الله بن يزيد المقري وجميع من حملت عنهم العلم يقولون : الإيمان قول وعمل، ويزيد وينقص، والقرآن كلام الله تعالى، وصفة ذاته غير مخلوق، من قال : إنه مخلوق، فهو كافر بالله العظيم، وأفضل أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر وعمر وعثمان وعلي رضي الله عنهم. قال عمران : وبذلك أقول وبه أدين الله عز وجل، وما رأيت محمديا قط إلا وهو يقوله
Telah mengkhabarkan Abu ’Abdillah Al-Haafidh, ia berkata : Aku mendengar Abu Zakariyyaa Yahyaa bin Muhammad Al-’Anbariy berkata : Aku mendengar ’Imraan bin Muusaa Al-Jurjaaniy di Naisaabuur, ia berkata : Aku mendengar Suwaid bin Sa’iid berkata : Aku mendengar Maalik bin Anas, Hammaad bin Zaid, Sufyaan bin ’Uyainah, Al-Fadhl bin ’Iyaadl, Syariik bin ’Abdillah, Yahyaa bin Sulaim, Muslim bin Khaalid, Hisyaam bin Sulaimaan Al-Makhzumiy, Jariir bin ’Abdillah Al-Humaid, ’Aliy bin Mus-hir, ’Abdah, ’Abdullah bin Idriis, Hafsh bin Ghiyaats, Wakii’, Muhammad bin Fudlail, ’Abdurrahiim bin Sulaimaan, ’Abdul-’Aziiz bin Abi Haazim, Ad-Daraawardiy, Ismaa’iil bin Ja’far, Haatim bin Ismaa’iil, ’Abdullah bin Yaziid Al-Muqriy, dan seluruh ulama yang dikaruniai ilmu, mereka berkata : ”Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang. Al-Qur’an adalah Kalaamullah ta’ala, dan sifat Dzaat-Nya itu bukan termasuk makhluk. Barangsiapa yang mengatakan makhluk, maka ia kafir terhadap Allah Yang Maha Agung. Seutama-utama shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam adalah Abu Bakr, ’Umar, ’Utsmaan, dan ’Aliy radliyallaahu ’anhum”. ’Imraan berkata : ”Dan dengan hal itu aku berkata dan aku beragama dengan agama Allah ’azza wa jalla. Dan tidaklah aku melihat satupun kaum muslimin yang mengikuti ajaran Muhammad kecuali ia juga mengatakannya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat, 1/605-606 no. 542; shahih].
Namun setelah fitnah Mu’tazillah dan Jahmiyyah muncul dan membesar, perkara ini kemudian menjadi samar bagi banyak orang sehingga para ulama memberi ‘udzur bagi orang-orang jahil yang jatuh dalam kekeliruan ini.  Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah saat ditimpa mihnah (ujian/cobaan) dari para Khaliffah ‘Abbaasiyyah yang mendakwahkan ‘aqidah kufur Khalqul-Qur’aan, beliau berkata :
كل من ذكرني ففي حل إلا مبتدعا، وقد جعلت أبا إسحاق - يعني: المعتصم - في حل، ورأيت الله يقول: (وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ) (النور: 22) وأمر النبي، صلى الله عليه وسلم، أبا بكر بالعفو في قصة مسطح.
قال أبو عبد الله: وما ينفعك أن يعذب الله أخاك المسلم في سببك ؟
“Setiap orang yang menyebut (kejelekan) tentang diriku, maka telah aku halalkan (maafkan) kecuali mubtadi’. Dan aku telah memafkan pula Abu Ishaaq – yaitu Al-Mu’tashim. Aku membaca firman Allah (dalam Al-Qur’an) : ‘dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?’ (QS. An-Nuur : 22). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr telah memerintahkan untuk memafkan dalam kisah misthah. Apa manfaatnya bagimu ketika Allah menyiksa saudaramu yang muslim dengan sebab dirimu ?” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/261].
Di sini, Al-Imaam Ahmad tidak mengkafirkan Al-Mu’tashim rahimahumallah yang terpengaruh ‘aqiidah Khalqul-Qur’aandengan sebab kebodohannya dan pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Al-Khaththaabiy rahimahullah menceritakan fenomena sebaliknya:
وَهَلْ إِذَا أَنْكَرَت طَائِفَة مِنْ الْمُسْلِمِينَ فِي زَمَاننَا فَرْض الزَّكَاة وَامْتَنَعُوا مِنْ أَدَائِهَا يَكُون حُكْمهمْ حُكْم أَهْل الْبَغْي ؟ قُلْنَا : لَا فَإِنَّ مَنْ أَنْكَرَ فَرْضَ الزَّكَاة فِي هَذِهِ الْأَزْمَان كَانَ كَافِرًا بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ . وَالْفَرْق بَيْن هَؤُلَاءِ وَأُولَئِكَ أَنَّهُمْ إِنَّمَا عُذِرُوا لِأَسْبَابٍ وَأُمُور لَا يَحْدُث مِثْلهَا فِي هَذَا الزَّمَان ، مِنْهَا قُرْبُ الْعَهْد بِزَمَانِ الشَّرِيعَة الَّذِي كَانَ يَقَع فِيهِ تَبْدِيل الْأَحْكَام بِالنَّسْخِ ، وَمِنْهَا أَنَّ الْقَوْم كَانُوا جُهَّالًا بِأُمُورِ الدِّين وَكَانَ عَهْدهمْ بِالْإِسْلَامِ قَرِيبًا فَدَخَلَتْهُمْ الشُّبْهَة فَعُذِرُوا . فَأَمَّا الْيَوْم وَقَدْ شَاعَ دِينُ الْإِسْلَام وَاسْتَفَاضَ فِي الْمُسْلِمِينَ عِلْمُ وُجُوب الزَّكَاة حَتَّى عَرَفَهَا الْخَاصّ وَالْعَامّ ، وَاشْتَرَكَ فِيهِ الْعَالِم وَالْجَاهِل ، فَلَا يُعْذَر أَحَد بِتَأْوِيلِ يَتَأَوَّلهُ فِي إِنْكَارهَا . وَكَذَلِكَ الْأَمْر فِي كُلّ مَنْ أَنْكَرَ شَيْئًا مِمَّا أَجْمَعَتْ الْأُمَّة عَلَيْهِ مِنْ أُمُور الدِّين إِذَا كَانَ عِلْمه مُنْتَشِرًا كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْس وَصَوْم شَهْر رَمَضَان وَالِاغْتِسَال مِنْ الْجَنَابَة وَتَحْرِيم الزِّنَا وَالْخَمْر وَنِكَاح ذَوَات الْمَحَارِم وَنَحْوهَا مِنْ الْأَحْكَام إِلَّا أَنْ يَكُون رَجُلًا حَدِيث عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ وَلَا يَعْرِف حُدُوده فَإِنَّهُ إِذَا أَنْكَرَ شَيْئًا مِنْهَا جَهْلًا بِهِ لَمْ يَكْفُر ، وَكَانَ سَبِيله سَبِيل أُولَئِكَ الْقَوْم فِي بَقَاء اِسْم الدِّين عَلَيْهِ .
“Dan apakah jika ada sekelompok orang dari kaum muslimin di jaman kita kewajiban zakat dan enggan untuk menunaikannya dihukumi dengan hukum orang yang membangkang (ahlul-baghiy) ?. Kami berkata : Tidak, karena orang yang mengingkari kewajiban zakat di jaman sekarang adalah kafir berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin. Perbedaan antara orang-orang dahulu dan orang-orang di jaman sekarang, karena mereka (orang-orang terdahulu) diberikan ‘udzur karena beberapa sebab, dan perkara tersebut tidak lagi terjadi di jaman sekarang. Di antara perkara yang menyebabkan diberikannya ‘udzur karena masa itu adalah masa awal diberlakukannya syari’at dimana terkadang terjadi perubahan hukum dengan adanya penghapusan. Diantara juga adalah mereka masih jahil tentang perkara-perkara agama karena mereka baru masuk Islam sehingga mereka dihinggapi syubhat dan diberikan ‘udzur.
Adapun di jaman sekarang, agama Islam telah tersebar dan ilmu tentang wajibnya zakat telah tersiar secara luas pada kaum muslimin hingga diketahui oleh baik orang umum maupun orang khusus, atau ulama  maupun orang awamnya yang jahil. Tidak diberikan ‘udzur kepada seorang pun karena alasan ta’wil dalam pengingkarannya. Begitu juga semua orang yang mengingkari perkara yang telah disepakati oleh umat yang ia termasuk diantara perkara-perkara agama yang ilmunya telah tersebar (di kalangan kaum muslimin secara luas) seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlaan, mandi dari janabah, serta haramnya zina, khamr, menikahi mahram dan yang lainnya; tidak diberikan ‘udzur, kecuali bagi orang yang baru masuk Islam yang tidak mengetahui ketentuan-ketentuannya, apabila ia mengingkari hal-hal tersebut karena jahil maka tidak dikafirkan. Ia masih dianggap sebagai orang Islam seperti orang-orang Islam lainnya” [Syarh Shahiih Muslim lin-Nawawiy, 1/205].
Meskipun sebelumnya disebutkan perkataan Ibnu Qudaamah tentang pengkafiran orang yang mengingkari perkara-perkara yang dhaahir, namun ia memberikan penjelasan:
وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي كُفْرِ مَنْ تَرَكَهَا جَاحِدًا لِوُجُوبِهَا ، إذَا كَانَ مِمَّنْ لَا يَجْهَلُ مِثْلُهُ ذَلِكَ ، فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَعْرِفُ الْوُجُوبَ ، كَحَدِيثِ الْإِسْلَامِ ، وَالنَّاشِئِ بِغَيْرِ دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ بَادِيَةٍ بَعِيدَةٍ عَنْ الْأَمْصَارِ وَأَهْلِ الْعِلْمِ ، لَمْ يُحْكَمْ بِكُفْرِهِ ، وَعُرِّفَ ذَلِكَ ، وَتُثْبَتُ لَهُ أَدِلَّةُ وُجُوبِهَا ، فَإِنْ جَحَدَهَا بَعْدَ ذَلِكَ كَفَرَ .
“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kekufuran orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, apabila ia bukan termasuk orang yang jahil tentang kewajibannya. Namun apabila ia termasuk orang yang tidak mengetahui kewajibannya seperti orang yang baru masuk Islam dan tidak hidup di negeri Islam (Daarul-Islaam), atau hidup di daerah terpencil dan jauh dari ulama, maka ia tidak dikafirkan. Ia wajib diberi tahu dan dijelaskan dalil-dalil kewaibannya. Apabila ia mengingkarinya setelah itu, maka ia kafir” [Al-Mughniy, 10/82].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
فمن كان من المسلمين يعيش في جو إسلامي علمي مصفى، وجهل من الأحكام ما كان منها معلوماً من الدين بالضرورة- كما يقول الفقهاء- فهذا لا يكون معذوراً؛ لأنه بلغته الدعوة وأقيمت الحجة. وأما من كان في مجتمع كافر لم تبلغه الدعوة، أو بلغته وأسلم؛ ولكن خفي عليه بعض تلك الأحكام لحداثة عهده بالإسلام، أو لعدم وجود من يبلغه ذلك من أهل العلم بالكتاب والسنة؛ فمثل هذا يكون معذوراً. ومثله- عندي- أولئك الذين يعيشون في بعض البلاد الإسلامية التي انتشر فيها الشرك والبدعة والخرافة، وغلب عليها الجهل، ولم يوجد فيهم عالم يبين لهم ما هم فيه من الضلال، أو وجد ولكن بعضهم لم يسمع بدعوته وإنذاره؛ فهؤلاء أيضاً معذورون بجامع اشتراكهم مع الأولين في عدم بلوغ دعوة الحق إليهم؛ لقوله تعالى: (لأنذركم به ومن بلغ) وقوله: (وما كنا معذبين حتى نبعث رسولاً) ، ونحو ذلك من الأدلة ......
“Maka barangsiapa dari kalangan kaum muslimin yang hidup di lingkungan Islami yang diliputi oleh ilmu yang bersih (dari syirik dan bid’ah), lalu ia jahil terhadap hukum-hukum yang termasuk ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah– sebagaimana dikatakan para fuqahaa’ - , maka tidak diberikan ‘udzur. Hal itu dikarenakan telah sampai kepadanya dakwah dan tegak padanya hujjah. Adapun orang yang tinggal di masyarakat kafir yang tidak sampai dakwah kepadanya, atau telah sampai kepadanya lalu ia masuk Islam namun tersembunyi baginya sebagian hukum-hukum tersebut dikarenakan baru masuk Islam, atau karena ketiadaan orang yang menyampaikannya dari kalangan ‘aalim terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah; maka orang seperti ini diberikan ‘udzur. Dan orang yang semisalnya – menurutku – adalah mereka yang hidup di negeri Islam yang tersebar padanya kesyirikan, bid’ah, dan khurafaat, serta dominannya kejahilan; tidak ada pada mereka seorang ulama yang menjelaskan kesesatan yang ada pada mereka, atau ada ulama namun sebagian mereka tidak mendengar dakwah dan peringatannya; maka mereka semua juga diberikan ‘udzur seperti golongan orang-orang sebelumnya dalam hal ketiadaan penyampaian dakwah yang hak kepada mereka. Dasarnya adalah firman Allah ta’ala : ‘supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya)’ (QS. Al-An’aam : 19). ‘dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15) ……” [Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, 7/113].
Apa yang dijelaskan Asy-Syaikh Al-Albaaniy sama seperti yang dijelaskan oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah:
وكثير من الناس قد ينشأ في الأمكنة والأزمنة الذي يندرس فيها كثير من علوم النبوات، حتى لا يبقى من يبلغ ما بعث الله به رسوله من الكتاب والحكمة، فلا يعلم كثيرًا مما يبعث الله به رسوله ولا يكون هناك من يبلغه ذلك، ومثل هذا لا يكفر، ولهذا اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان، وكان حديث العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول،
“Banyak diantara manusia yang hidup di tempat dan jaman yang telah banyak terhapusnya ilmu-ilmu kenabian, hingga tidak tersisa lagi orang yang menyampaikan apa-apa yang oleh karenanya Allah mengutus Rasul-Nya berupa Al-Qur’an dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sehingga banyak yang tidak mengetahui apa-apa yang menyebabkan Allah mengutus Rasul-Nya (berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada yang menyampaikan hal tersebut. Hal yang seperti ini tidak menjadikan dia kafir. Oleh karena itu para imam telah sepakat bahwa barangsiapa yang hidup di tempat terpencil yang jauh dari ulama dan iman, atau dia baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari hukum-hukum yang telah jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia mengetahui (dan memahami) apa-apa yang dibawa oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].
مثل من يعتقد أن شيخه يرزقه، أو ينصره أو يهديه، أو يغيثه، أو يعينه، أو كان يعبد شيخه أو يدعوه ويسجد له، أو كان يفضله على النبي صلى الله عليه وسلم تفضيلا مطلقا، أو مقيدا في شيء من الفضل الذي يقرب إلى اللّه تعالى، أو كان يرى أنه هو أو شيخه مستغن عن متابعة الرسول صلى الله عليه وسلم، فكل هؤلاء كفار إن أظهروا ذلك، ومنافقون إن لم يظهروه‏.‏
وهؤلاء الأجناس، وإن كانوا قد كثروا في هذا الزمان، فلقلة دعاة العلم والإيمان، وفتور آثار الرسالة في أكثر البلدان، وأكثر هؤلاء ليس عندهم من آثار الرسالة وميراث النبوة ما يعرفون به الهدى، وكثير منهم لم يبلغهم ذلك‏.‏ وفي أوقات الفترات، وأمكنة الفترات‏:‏ يثاب الرجل على ما معه من الإيمان القليل، ويغفر اللّه فيه لمن لم تقم الحجة عليه ما لا يغفر به لمن قامت الحجة عليه، كما في الحديث المعروف‏:‏ ‏(‏ يأتي على الناس زمان لا يعرفون فيه صلاة، ولا صيامًا، ولا حجًا، ولا عمرة، إلا الشيخ الكبير، والعجوز الكبيرة‏.‏ ويقولون‏:‏ أدركنا آباءنا وهم يقولون‏:‏ لا إله إلا الله فقيل لحذيفة بن اليمان‏:‏ ما تغني عنهم لا إله إلا اللّه‏؟‏ فقال‏:‏ تنجيهم من النار‏)‏ ‏.‏
وأصل ذلك‏:‏ أن المقالة التي هي كفر بالكتاب والسنة والإجماع يقال هي كفر قولا يطلق، كما دل على ذلك الدلائل الشرعية؛ فإن ‏[‏الإيمان‏]‏ من الأحكام المتلقاة عن اللّه ورسوله، ليس ذلك مما يحكم فيه الناس بظنونهم وأهوائهم‏.‏ ولا يجب أن يحكم في كل شخص قال ذلك بأنه كافر حتى يثبت في حقه شروط التكفير، وتنتفى موانعه،
“Semisal orang yang berkeyakinan syaikhnya yang memberikan rizki kepadanya, menolongnya, memberikan hidayah kepadanya, membantunya atau menolongnya; atau orang yang menyembah kepada syaikhnya, berdoa kepadanya, atau sujud kepadanya; atau orang yang lebih mengutamakannya daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamsecara mutlak atau muqayyad (terbatas) pada suatu keutamaan yang dapat mendekatkan kepada Allah ta’ala; atau orang yang berpandangan bahwa ia atau syaikhnya adalah orang yang tidak lagi dibebani kewajiban untuk mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka mereka semua adalah kafir jika menampakkannya, dan munafik jika tidak menampakkannya.
Semua jenis orang tersebut ada banyak di jaman ini, yang disebabkan oleh sedikitnya pendakwah yang menyerukan ilmu dan keimanan dan kelemahan ilmu agama/risaalah di kebanyakan negeri. Dan kebanyakan diantara mereka tidak mempunyai ilmu agama/risalah dan warisan kenabian sehingga dapat mengetahui petunjuk. Dan bahkan banyak di antara mereka yang tidak sampai (kepada mereka) ilmu agama/risalah dimaksud. Pada waktu dan tempat fatrah (kekosongan penyampaian risalah), seseorang diberikan pahala atas sedikitnya iman yang ia miliki. Dan Allah mengampuni orang yang belum tegak padanya hujjah, sebagaimana Ia tidak mengampuni orang yang telah tegak padanya hujjah. Terdapat dalam hadits yang ma’ruuf : ‘Akan tiba satu jaman yang tidak diketahui padanya shalat, puasa, haji, dan ‘umar, kecuali ada seorang laki-laki tua dan wanita lemah yang mengatakan : ‘Kami dapati ayah-ayah kami mengatakan : ‘Laa ilaha illallaah’. Dikatakan kepada Hudzaifah  bin Al-Yamaan : ‘Apakah kalimat Laa ilaha illallaah mencukupi bagi mereka ?’. Ia menjawab : ‘Kalimat itu dapat menyelamatkan mereka dari neraka’.
Pokok pembicaraan hal itu adalah : Bahwasannya perkataan yang mengkonsekuensikan kekufuran berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; maka dikatakan bahwa perkataan itu kufur secara mutlak, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iyyah. Sesungguhnya iman merupakan hukum-hukum yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bukan berdasarkan hukum yang berasal dari prasangka dan hawa nafsu manusia. Tidaklah mengkonsekuensikan kekafiran bagi setiap orang yang mengatakan perkataan kekafiran, hingga terpenuhi baginya syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya faktor penghalangnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/164-165].
فإنا بعد معرفة ما جاء به الرسول نعلم بالضرورة انه لم يشرع لأمته أن تدعو أحدا من الأموات لا الأنبياء ولا الصالحين ولا غيرهم لا بلفظ الاستغاثة ولا يغيرها ولا بلفظ الاستعاذة ولا يغيرها كما أنه لم يشرع لأمته السجود لميت ولا لغير ميت ونحو ذلك بل نعلم أنه نهى عن كل هذه الأمور وأن ذلك من الشرك الذي حرمه الله تعالى ورسوله لكن لغلبة الجهل وقلة العلم بآثار الرسالة في كثير من المتأخرين لم يكن تكفيرهم بذلك حتى يتبين لهم ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم مما يخالفه
“Maka setelah kita mengetahui risalah yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kita mengetahui dengan pasti ( = ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah)bahwa tidaklah disyari’atkan bagi umatnya untuk berdoa kepada orang mati, baik para Nabi, orang shaalih, dan yang lainnya; tidak dengan lafadh istighatsah, isti’adzah, atau yang lainnya. Sebagaimana juga tidak disyari’atkan bagi umatnya untuk sujud kepada mayit atau selain mayit, dan yang lainnya. Bahkan kita mengetahui beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang semua perkara itu, karena termasuk kesyirikan yang diharamkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Akan tetapi karena meratanya kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar-atsar risalah pada kebanyakan orang-orang yang hidup di masa belakangan (muta’akhkhiriin), maka kita tidak langsung mengkafirkan mereka karena perkara tersebut, hingga jelas bagi mereka syari’at yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perbuatan mereka tersebut” [Ar-Radd 'alal-Bakriy, 2/731].
Ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah yang berlaku di satu tempat dan jaman yang tidak diberikan ruang udzur bagi orang yang jahil terhadapnya, ternyata menjadi perkara yang samar (khafiy) di tempat dan jaman berbeda saat kesyirikan, bid’ah, dan kebodohan mendominasi.
Maka, nampaklah kekeliruan fundamental ‘mereka’ dalam menerapkan pengkafiran orang yang jahil dalam al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah tanpa memberikan perinciannya. 
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 25122014 – 02:40].

Kekeliruan Analisa Peniadaan ‘Udzur Kejahilan : Sangkaan Mereka bahwa ‘Udzur Diberikan Secara Mutlak untuk Semua Kasus Kesyirikan

$
0
0
Ini adalah konsekuensi logis bagi kebanyakan mereka yang meniadakan ‘udzur kejahilan secara mutlak dalam perkara syirik akbar. Cara berpikir mudah, karena mereka meniadakan secara mutlak, maka lawannya pun dianggap mewujudkannya secara mutlak, semua perkara/kasus dan semua kondisi. Padahal tidak seperti itu.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya[1], beberapa kondisi diberikannya ‘udzur kejahilan adalah:
1.     Baru Masuk Islam.
2.     Hidup di daerah terpencil/jauh yang tidak tersebar padanya ilmu (syari’at) dan sebab-sebab untuk memperolehnya.
3.     Hidup di negeri/tempat yang didominasi oleh kebodohan, jauh dari ilmu dan ulama.
4.     Hidup di Daarul-Harb (negeri kafir yang punya hak untuk diperangi) dengan alasan-alasan yang diterima oleh syari’at.
5.     Hidup di negeri/tempat yang banyak tersebar bid’ah yang menyebabkannya tidak mampu untuk mengetahui agama yang shahih sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
6.     Kejahilan yang menjadi ‘udzur bagi orang awam pada hukum-hukum tertentu yang hanya diketahui oleh ulama.
Oleh karena itu, kebalikannya, kondisi tidak diterimanya ‘udzur kejahilan adalah jika orang tersebut tinggal di Daarul-Islaam yang menerapkan hukum-hukum Islam. Maka, jika seorang baligh yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin di Daarul-Islaam tersebut mengaku jahil terhadap permasalahan agama yang masuk al-maa’luum minad-diin bidl-dlaruurah[2]di situ, tidak diberikan ‘udzur. Atau ia hidup di lingkungan ilmu dan ulama.
Dalilnya adalah kisah Qudaamah bin Madh’uun radliyallaahu ‘anhu. Setelah ada kesaksian valid bahwa Qudaamah bin Madh’uun minum khamr:
فَقَالَ عُمَرُ لِقُدَامَةَ: "إِنِّي حَادُّكَ "، فَقَالَ: لَوْ شَرِبْتَ كَمَا يَقُولُونَ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تَجْلُدُونِي، فَقَالَ عُمَرُ: "لِمَ؟ "، قَالَ قُدَامَةُ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا الآيَةُ، فَقَالَ عُمَرُ: "أَخْطَأْتَ التَّأْوِيلَ، إِنَّكَ إِذَا اتَّقَيْتَ اجْتَنَبْتَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْكَ "، ...... فَأَمَرَ بِقُدَامَةَ فَجُلِدَ، ......
 ‘Umar berkata kepada Qudaamah : “Sesungguhnya aku akan menjatuhkan hukuman haddkepadamu”. Qudaamah berkata : “Seandainya aku minum sebagaimana yang mereka katakan, engkau tidak berhal mencambukku”. ‘Umar berkata : “Kenapa ?”. Qudaamah berkata : “Allah ta’ala telah berfirman : ‘Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman’ (QS. Al-Maaidah : 93). ‘Umar berkata : “Engkau keliru dalam menakwilkan ayat tersebut. Seandainya engkau bertaqwa, niscaya engkau jauhi apa yang diharamkan Allah terhadapmu”…… Kemudian ia memerintahkan Qudamah untuk dicambuk…. [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 17076; shahih].
‘Umar tidak mentoleransi ketidaktahuan Qudaamah yang kemudian menta’wilkan ayat. Hal itu dikarenakan ia hidup di tengah-tengah masyarakat yang diberlakukan hukum pengharaman khamr. Selain itu, ia juga pernah menjabat Gubernur Bahrain[3] yang tentunya sangat dimungkinkan baginya untuk mengetahui hukum haramnya khamr.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
فمن كان من المسلمين يعيش في جو إسلامي علمي مصفى، وجهل من الأحكام ما كان منها معلوماً من الدين بالضرورة- كما يقول الفقهاء- فهذا لا يكون معذوراً؛ لأنه بلغته الدعوة وأقيمت الحجة.......
“Maka barangsiapa dari kalangan kaum muslimin yang hidup di lingkungan Islami yang diliputi oleh ilmu yang bersih (dari syirik dan bid’ah), lalu ia jahil terhadap hukum-hukum yang termasuk ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah– sebagaimana dikatakan para fuqahaa’ - , maka tidak diberikan ‘udzur. Hal itu dikarenakan telah sampai kepadanya dakwah dan tegak padanya hujjah.……” [Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, 7/113].
Adapun mengenai ‘udzur kejahilan dalam masalah syirik terkait jenis kasusnya, gambarannya adalah:
“seorang muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat, mengakui Allah adalah ilahnya dan Muhammad adalah Nabinya, ia beriman dan mengakui ketidakbolehan berbuat syirik dan memalingkan peribadahan/penyembahan kepada selain Allah, mengakui bahwa menyembah selain Allah termasuk syirik akbar yang dapat mengeluarkan dari Islam, namun kemudian ia tidak mengetahui bahwa istighatsah kepada selain Allah yang ia lakukan termasuk kesyirikan, begitu juga dengan permohonan doa/syafa’at, tabarruk, dan yang lainnya”.[4]
Orang tersebut tidak mengetahui perincian sesuatu yang diwajibkan Allah tentang syarat keikhlasan dalam peribadahan kepada Allah ta’ala. Inilah yang menjadi objek diberikannya ‘udzur kejahilan dalam masalah perincian masalah tauhid dan syirik.
Tentu hal ini berbedadengan orang yang tidak mau mengikrarkan wajibnya mentauhidkan Allah dalam ibadah, atau tidak mengetahui kewajiban mentauhidkan Allah dalam ibadah, atau tidak mengetahui bahwa berbuat syirik itu termasuk kekafiran yang dapat mengeluarkan dari Islam.
Oleh karena itu jika kita tanyakan kepada sebagian kaum muslimin yang beristighatsah di kuburan, bertawassul, bertabarruk, dan meminta syafa’at di sana (sebagaimana banyak dilakukan oleh orang-orang Nahdliyyiin di tanah air) : “Kenapa kalian berbuat syirik kepada Allah ?”. Maka mereka pun menjawab : “Kami berlindung kepada Allah dari perbuatan syirik”. Mereka marah dengan ucapan[5] kita, karena mereka menganggap apa yang mereka lakukan merupakan bagian dari syari’at Islam yang diperbolehkan dan diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya.
Bandingkan dengan perkataan orang-orang musyrik saat mereka diajak mentauhidkan Allah ta’ala :
أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” [QS. Shaad : 5].
Orang-orang musyrik (kafir asli) yang banyak disebukan dalam Al-Qur’an adalah orang-orang yang memang tidak mau mentauhidkan Allah, bahkan mengingkarinya, dan dengan sadar menetapkan penyembahan terhadap berhala/objek selain Allah.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ * إِذْ قَالَ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ * قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ
Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah?". Mereka menjawab: "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya" [QS. Asy-Syu’araa : 69-71].
وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr" [QS. Nuuh : 23].
Orang-orang musyrik itu meyakini bahwa Allah bukanlah tuhan Yang Esa sebagaimana firman-Nya:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلا تَقُولُوا ثَلاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلا
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara” [QS. An-Nisaa’ : 171].
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah." Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
Mereka (kaum musyrikin) pun ‘ngeyel’ bahwa tidak mengapa mensekutukan Allah ta’ala sebagaimana tergambar dalam talbiyyah mereka waktu haji:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ الْمُشْرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَيْلَكُمْ قَدْ قَدْ "، فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ، يَقُولُونَ: هَذَا وَهُمْ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Dulu orang-orang musyrik mengatakan : ‘LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA (Aku memenuhi panggilan-Mu wahai Dzat yang tiada sekutu bagi-Mu). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan”. Tapi mereka meneruskan ucapan mereka : ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA TAMLIKUHU WAMAA MALAKA (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai)”. Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1185].
Sekali lagi pertanyaannya :
“Adakah keadaan kaum musyrikin tersebut sama dengan kaum muslimin yang terjatuh dalam sebagian perkara kesyirikan tanpa mereka sadari dan tanpa mereka memaksudkannya ?”.
Kesalahan (al-khaththa’) dan kejahilan (jahl) adalah sama maknanya ditinjau dari segi keyakinan yang berbeda dengan kenyataan yang seharusnya, atau melakukan perbuatan yang tidak semestinya dilakukan tanpa bermaksud untuk menyelisihi [Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu, hal. 326]. Sementara itu Allah ta’ala berfirman tentang doa orang mukmin yang melakukan kesalahan:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” [QS. Al-Baqarah : 286].
Dalam Shahiih Muslim, doa tersebut telah Allah kabulkan:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتُرِيدُونَ أَنْ تَقُولُوا كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ: سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا، بَلْ قُولُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، قَالُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا اقْتَرَأَهَا الْقَوْمُ ذَلَّتْ بِهَا أَلْسِنَتُهُمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي إِثْرِهَا آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ، نَسَخَهَا اللَّهُ تَعَالَى، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ "لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا، قَالَ: نَعَمْ،
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah kalian ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) : ‘Kami mendengar dan kami mendurhakainya?’. Tetapi ucapkan : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Mereka berkata : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Ketika kaum tersebut membacanya, maka lisan-lisan mereka tunduk dengannya, lalu Allah menurunkan sesudahnya: 'Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’ (QS. Al-Baqarah : 285). Ketika mereka melakukan hal tersebut, maka Allah menghapusnya, lalu menurunkan: 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (QS. Al-Baqarah : 286)’. Allah menjawab : ‘Ya’…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 125].
Menyamakan antara orang-orang musyrik dari kalangan kafir asli dengan kaum muslimin yang terjatuh dalam kekeliruan karena kejahilan mereka merupakan kedhaliman[6].
Oleh karena itu, para ulama memberikan ‘udzur kejahilan dan ta’wil kepada Taqiyyuddin As-Subkiy, As-Suyuuthiy, Al-Haitsamiy, dan yang lainnya yang terjatuh dalam perkara tawassul kepada para wali, beristighatsah dengan mereka, dan yang lainnya [Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah, 1/292]. Tidak ada ulama yang mengkafirkannya dan menghukumi mereka sebagai musyrik – meski ketergelinciran mereka adalah dalam masalah syirik - , kecuali ada yang akan memulainya di masa sekarang.
Kekeliruan mereka (para ulama tersebut dan pengikutnya yang taqlid kepada mereka) adalah diantaranya karena adanya syubhat dalam memahami ayat:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” [QS. An-Nisaa’ : 64].
Mereka menyangka dengan ayat ini merupakan dalil diperbolehkannya memohon ampun dengan perantaraan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena meyakininya beliau masih hidup di dalam kuburnya[7] dan dapat mendengarkan[8] doa orang yang masih hidup. Ditambah beberapa syubhat beberapa riwayat lemah semisal kisah ‘Utbiy[9] dan Al-Imaam Maalik bin Anas yang berdoa menghadap kubur Nabi seraya menganjurkan memohon syafa’at kepada beliau[10][lihat selengkapnya : Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, hal. 429-437].
Semua syubhat ini tidak benar dan telah dijawab oleh para ulama kita, walhamdulillah.
Jika yang semisal As-Subkiy, Al-Hatsamiy, dan As-Suyuthiy diberikan ‘udzur oleh para ulama[11] atas kesalahan ijtihad mereka, lantas bagaimana dengan orang-orang yang kedudukannya lebih rendah daripada mereka yang tidak mempunyai kapasitas intelektual dan penelaahan seperti mereka ?[12]. Orang-orang ini menyangka telah melaksanakan firman Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43].
Yaitu bertanya kepada kiyai, ulama, dan merujuk pada referensi yang ada – meski ternyata mereka salah. Kembali ke pokok permasalahan dalam judul, pemberian ‘udzur kejahilan ini tidak mutlak. Tidak akan mungkin diberikan udzur kejahilan pada orang yang tidak mengetahui eksistensi Allah[13]. Tidak pula akan diberikan ‘udzur kejahilan pada orang yang sujud kepada matahari, bulan, dan patung/berhala karena perbuatan ini tidak mengandung pengertian lain selain beribadah kepadanya[14], dan ini kekafiran berdasarkan ijmaa’ [lihat : Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad, hal. 439]. Tidak pula akan diberikan ‘udzur kejahilan pada orang yang mengakui, mengikrarkan, dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi yang wajib diikuti. Hal ini dikarenakan kejahilan tersebut mencabut pokok syahadat beserta akar-akarnya.
Maka, keliru orang yang menganggap jika kita memberikan ‘udzur kejahilan dalam masalah kufur akbar dan syirik akbar, ini berlaku secara mutlak, asal ada yang mengaku tidak tahu, maka diterima.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga dapat menjadi gambaran.
Wallaahu a’lam.
Tulisan ini banyak mengambil faedah dari:
1.     Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu (tesis) oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy; Daarul-Wathan, Cet. 1/1417.
2.     Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah wa Dlawaabithut-Takfiir ‘indas-Salaf oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy; Daarul-Muslim, Cet. 2/1422.
3.     Isykaaliyyah Al-I’dzaar bil-Jahl fil-Bahts Al-‘Aqdiy oleh Sulthaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Umairiy; Namaa For Research and Studies Center, Cet. 1/2012 M.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 26122014 – 01:48].




[3]       Riwayatnya :
أَنَّ عُمَرَ اسْتَعْمَلَ قُدَامَةَ بْنَ مَظْعُونٍ عَلَى الْبَحْرَيْنِ وَكَانَ شَهِدَ بَدْرًا وَهُوَ خَالُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، وَحَفْصَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Bahwasannya ‘Umar memperkerjakan Qudaamah bin Madh’uun sebagai Gubernur di Bahrain. Ia (Qudaamah) turut serta dalam perang Badr, dan merupakan paman dari ‘Abdullah bin ‘Umar dan Hafshah radliyallaahu ‘anhum” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4012].
[4]       Lihat : Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, hal. 422 dan Isykaaliyyah Al-I’dzaar bil-Jahl fil-Bahts Al-‘Aqdiy oleh Sulthaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Umairiy, hal. 28.
[5]       Mereka menganggapnya : ‘tuduhan’.
[6]       Silakan baca penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah di : http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=146056.
[7]       Berdasarkan hadits:
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ يُصَلُّونَ
Para Nabi hidup di kubur-kubur mereka melaksanakan shalat” [Shahiihul-Jaami’ no. 2790].
[8]       Ini merupakan cabang permasalahan apakah mayit dapat mendengar. Silakan baca bahasan : Orang Mati Tidak Bisa Mendengar.
[9]       Silakan baca pembahasannya dalam artikel : Kelemahan Kisah Al-‘Utbiy tentang Tawassul.
[11]      Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
المؤمن بالله ورسوله باطنا وظاهرا الذي قصد اتباع الحق وما جاء به الرسول إذا أخطأ ولم يعرف الحق كان أولى أن يعذره الله في الآخرة من المتعمد العالم بالذنب فإن هذا عاص مستحق للعذاب بلا ريب وأما ذلك فليس متعمدا للذنب بل هو مخطىء والله قد تجاوز لهذه الأمة عن الخطأ والنسيان
"Seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya secara dhahir dan batin serta berniat untuk mengikuti kebenaran dan apa-apa yang diturunkan kepada Rasul; maka apabila ia bersalah dan belum mengerti kebenaran, maka dia lebih utama untuk Allah berikan ‘udzur di akhirat daripada orang yang telah mengetahui (kebenaran) namun sengaja melakukan dosa. Orang kedua ini adalah orang yang telah bermaksiat yang berhak diadzab tanpa ada keraguan. Adapun orang pertama, maka ia bukan orang yang sengaja melakukan dosa, namun ia hanyalah seorang yang tersalah. Dan Allah telah memaafkan umat ini dari kesalahan dan lupa yang mereka lakukan” [Minhajus-Sunnah, 5/250].
وقد اتفق أهل السنة والجماعة على أن علماء المسلمين لا يجوز تكفيرهم بمجرد الخطأ المحض، بل كل أحد يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم، وليس كل من يترك بعض كلامه لخطأ أخطأه يكفر ولا يفسق، بل ولا يأثم، فإن الله تعالي قال في دعاء المؤمنين ‏رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا وفي الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم‏:‏‏(‏أن الله تعالي قال‏:‏ قد فعلت‏)‏‏.
“Dan Ahlus-Sunnah telah bersepakat bahwa ulama kaum muslimin tidak boleh dikafirkan atas sebab kesalahan murni. Bahkan setiap orang boleh diambil ataupun ditinggalkan perkataannya kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah setiap orang yang ditinggalkan sebagian perkataannya karena kesalahannya dapat dikafirkan atau difasiqkan. Bahkan, (mungkin saja) ia tidak berdosa; karena Allah ta’ala telah berfirman tentang doanya orang mukminin : “Wahai Tuhanku, janganlah Engkau siksa kami jika kami lupa atau salah” (QS. Al-Baqarah : 286). Dan dari kitab Ash-Shahiih, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Bahwasannya Allah ta’ala telah berfirman (tentang doa tersebut) : Telah Aku lakukan (yaitu mengampunimu)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/100].
إن استفرغ وسعه في طلب الحق فإن الله يغفر له خطأه وإن حصل منه نوع تقصير فهو ذنب لا يجب ان يبلغ الكفر وإن كان يطلق القول بأن هذا الكلام كفر كما أطلق السلف الكفر على من قال ببعض مقالات الجهمية مثل القول بخلق القرآن أو إنكار الرؤية أو نحو ذلك مما هو دون إنكار علو الله على الخلق وأنه فوق العرش فإن تكفير صاحب هذه المقالة كان عندهم من أظهر الأمور فإن التكفير المطلق مثل الوعيد المطلق لا يستلزم تكفير الشخص المعين حتى تقوم عليه الحجة التي تكفر تاركها
“Apabila ia telah mengerahkan segala daya upayanya dalam mencari kebenaran, niscaya Allah akan mengampuni kesalahannya. Dan jika terdapat kekurangan (dalam hal kesungguhannya), maka ini merupakan suatu dosa yang tidak mengharuskan sampai pada tingkat kekafiran, meskipun perkataan tersebut secara mutlak adalah perkataan kufur. Sebagaimana kaum salaf memutlakkan kekafiran kepada siapa saja yang berkata dengan sebagian perkataan Jahmiyyah; seperti perkataan Khalqul-Qur’aan (Al-Qur’an adalah makhluk), atau mengingkari ru’yah (melihat kepada Allah kelak di akhirat), atau yang lainnya selain dari pengingkaran terhadap ketinggian Allah di atas para makhluk-Nya, dan bahwasannya Ia di atas ‘Arsy - karena sesungguhnya pengkafiran terhadap orang yang mengatakan perkataan-perkataan ini menurut mereka (salaf) termasuk dari hal-hal yang paling jelas. Dan sesungguhnya pengkafiran secara muthlak seperti halnya ancaman secara mutlak yang tidak melazimkan pengkafiran secara mu’ayyan (individu), hingga tegak padanya hujjah yang mana bisa mengkafirkan orang yang meninggalkannya” [Al-Istiqaamah, 1/164]
[12]      Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وإذا تبين هذا، فمن ترك بعض الإيمان الواجب لعجزه عنه، إما لعدم تمكنه من العلم، مثل ألا تبلغه الرسالة، أو لعدم تمكنه من العمل ـ لم يكن مأمورًا بما يعجز عنه، ولم يكن ذلك من الإيمان والدين الواجب في حقه، وإن كان من الدين والإيمان الواجب في الأصل، بمنزلة صلاة المريض، والخائف، والمستحاضة، وسائر أهل الأعذار، الذين يعجزون عن إتمام الصلاة، فإن صلاتهم صحيحة بحسب ما قدروا عليه، وبه أمروا إذ ذاك، وإن كانت صلاة القادر على الإتمام أكمل وأفضل
"Apabila hal ini telah jelas, maka barangsiapa yang meninggalkan sebagian keimanan yang wajib karena ketidakmampuannya, apakah karena tidak mampu untuk mendapatkan pengetahuan seperti tidak sampainya risalah kenabian, atau tidak mampu untuk mengamalkannya ; maka ia tidak diperintahkan dengan apa-apa yang dia tidak mampu. Dan hal ini tidak termasuk keimanan dan dien yang wajib pada dirinya, walaupun pada asalnya hal itu termasuk dien dan keimanan yang wajib seperti shalatnya orang yang sakit, shalatnya orang yang takut, shalatnya mustahadlah (wanita yang terus menerus mengeluarkan darah selain hari-hari haidlnya – akibat penyakit/sakit), dan selain mereka dari orang-orang yang mendapatkan ‘udzur yang tidak mampu untuk menyempurnakan shalat. Shalatnya tetap sah sesuai dengan kemampuannya. Dan dengan itulah mereka diperintahkan pada waktu itu, walaupun shalatnya orang yang mampu untuk menyempurnakan lebih sempurna dan afdlal"[Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/478-479].
[13]      Abu Haniifah rahimahullah berkata: “Tidak ada ‘udzur bagi seorang pun atas kejahilannya tentang Penciptanya (Allah), karena kewajiban seluruh makhluk adalah mengenal Rabb subhaanahu wa ta’ala dan mengesakan-Nya, berdasar apa yang ia lihat berupa penciptaan langit dan bumi, penciptaan dirinya, dan penciptaan seluruh makhluk Allah yang lain. Adapun perintah-perintah agama, maka barangsiapa belum mengetahuinya dan ilmunya belum sampai kepada dirinya, maka hujah secara hukum belum tegak atas dirinya” [Badaai’ush-Shanaa’i’, 9/521].
[14]      Sebagai suplemen, silakan baca juga artikel : Sujud kepada Manusia dalam Rangka Penghormatan.

Kekeliruan dalam Penafikan ‘Udzur Kejahilan : ‘Jika Kami Tidak Mengkafirkannya, Bukan Berarti Kami Menghukuminya Muslim’

$
0
0
Sebagian ulama Najd dan yang mengikuti mereka ketika menghukumi sebagian kaum muslimin yang melakukan tindakan kekafiran namun belum sampai kepadanya hujjah mengatakan : ‘Seandainya kami tidak mengkafirkannya karena belum sampainya hujjah kepadanya, bukan berarti kami menghukuminya sebagai muslim, dan ia terhitung seperti ahlul-fatrah’.
Perkataan ini keliru karena bertentangan dengan kaedah-kaedah yang ada. Bagaimana seorang muslim menjadi tidak berstatus karena amalan yang ia lakukan dan kemudian dimasukkan dalam golongan ahlul-fatrah ?.
Dua hal yang mesti dipahami dalam perkara ini adalah:
1.     Seorang muslim tetap dalam keislamannya selama tidak ada hal-hal yang membatalkan keislamannya.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وليس لأحد ان يكفر أحدا من المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/466].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahumallahberkata:
أن كلَّ مَن ثبت له عقدُ الإسلام في وقتٍ بإجماعٍ من المسلمين ، ثم أذنبَ ذنباً أو تأوَّل تأويلاً ، فاختلفوا بعدُ في خروجه من الإسلام ؛ لم يكُن لاختِلافهم بعد إجماعهم معنىً يوجبُ حُجَّةً ، ولا يخرجُ من الإسلام المتفقِ عليه إلا باتفاقٍ آخر ، أو سنةٍ ثابتةٍ لا مُعارِضَ لها
“Siapa saja dari kalangan muslimin yang telah tetap keislamannya dalam satu waktu berdasarkan ijma’/kesepakatan, kemudian ia berbuat satu dosa atau menta’wilkan satu ta’wil (yang diharamkan), lalu orang-orang berselisih tentang murtad tidaknya orang itu (akibat perbuatan dosa yang ia lakukan); maka perselisihan mereka setelah kesepakatannya itu tidak ada artinya sebagai hujjah (akan kekafirannya). Tidaklah seseorang dikeluarkan dari wilayah Islam yang keislamannya itu telah disepakati, kecuali dengan kesepakatan yang lain, atau sunnah yang shahih yang bertentangan baginya” [At-Tamhiid, 16/315].
Ibnu ‘Aabidiin rahimahullah menukil:
وَفِي الْفَتَاوَى الصُّغْرَى : الْكُفْرُ شَيْءٌ عَظِيمٌ فَلَا أَجْعَلُ الْمُؤْمِنَ كَافِرًا مَتَى وَجَدْت رِوَايَةً أَنَّهُ لَا يَكْفُرُ ا هـ وَفِي الْخُلَاصَةِ وَغَيْرِهَا : إذَا كَانَ فِي الْمَسْأَلَةِ وُجُوهٌ تُوجِبُ التَّكْفِيرَ وَوَجْهٌ وَاحِدٌ يَمْنَعُهُ فَعَلَى الْمُفْتِي أَنْ يَمِيلَ إلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَمْنَعُ التَّكْفِيرَ تَحْسِينًا لِلظَّنِّ بِالْمُسْلِمِ
“Dalam Al-Fataawaa Ash-Shughraa disebutkan : ‘Kekufuran merupakan suatu perkara yang sangatbesar. Maka aku tidak akan menjadikan seorang mukmin berstatus kafir ketika aku dapatkan satu riwayat bahwasannya ia tidak kafir’. Dalam kitab Al-Khulaashah dan yang lainnya disebutkan : ‘Apabila dalam satu permasalahan terdapat beberapa sisi yang mengkonsekuensikan pengkafiran, namun ada satu sisi yang mencegah adanya pengkafiran tersebut, maka wajib bagi seorang mufti untuk membawanya pada sisi yang mencegah pengkafirkan sebagai bentuk persangkaan baik kepada seorang muslim” [Raddul-Mukhtaar, 16/256].
Keislaman seseorang diketahui melalui pengucapan dua kalimat syahadat atau dilahirkan dari orang tua muslim. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nashrani, atau Majusi” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1385].
Oleh karena itu, tidak ada status ‘abstain’ bagi seorang yang sudah tetap keislamannya. Jika seorang muslim tidak melakukan kekafiran atau melakukan kekafiran namun tidak terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan ada faktor penghalangnya; maka statusnya tetap muslim. Namun jika sebaliknya, statusnya berubah dari muslim menjadi kafir. So, simple…..
Tidak ada status manzilah baina manzilatain dalam perkara ini sebagaimana diikrarkan kalangan Mu’tazillah; tidak beriman, tidak pula kafir.
2.     Era ahlul-fatrahberakhir dengan diutusnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ada beberapa definisi secara istilah yang dikemukakan para ulama, akan tetapi kesemuanya mengkerucut pada orang-orang yang hidup pada masa kevakuman risalah kenabian[1]. Setelah diutusnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka putuslah era fatrah, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya. Tidaklah ada seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi maupun Nashrani, kemudian ia meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali ia termasuk penduduk neraka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 153].
Lantas, bagaimana bisa dikatakan seorang muslim tiba-tiba berstatus hukum menjadi ahlul-fatrah hanya karena tidak mengetahui sebagian perkara ushuuluddiin sehingga ia melakukan beberapa perkara kekufuran dan kesyirikan tanpa ia sadari ?. Ini jelas keluar dari definisi yang disepakati oleh ulama.
Jika mereka mengatakan tidak mengkafirkan muslim yang melakukan sebagian perkara kekufuran atau kesyirikan karena belum sampai padanya hujjah, namun kemudian menyamakannya dengan ahlul-fatrah; itu sama saja menghukumi  kekafirannya. Hal ini dikarenakan hukum dunia bagi ahlul-fatrah adalah kafir berdasarkan ijmaa’.
Asy-Syaikh Ishaaq bin ‘Abdirrahmaan bin Hasan rahimahumullah berkata:
بل أهل الفترة الذين لم تبلغهم الرسالة والقرآن وماتوا على الجاهلية لا يسمون مسلمين بالإجماع ولا يستغفر لهم وإنما اختلف أهل العلم في تعذيبهم
“Bahkan ahlul-fatrah yang belum sampai kepada mereka risalah dan Al-Qur’an, yang meninggal di atas kejahiliyyahan, tidak dinamakan sebagai orang-orang muslim berdasarkan ijmaa’. Mereka tidak boleh dimintakan ampunan.Para ulama hanya berbeda pendapat tentang adzab mereka kelak di akhirat” [‘Aqiidatul-Muwahhidiin, hal. 151].
Orang yang tidak boleh dimintakan ampun adalah orang yang di dunia dihukumi kafir, berdasarkan firman Allah ta’ala:
مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Sababun-Nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah berkaitan dengan permohonan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam kepada Allah ta’ala untuk memintakan ampun ibunya (namun kemudian Allah tidak mengijinkannya).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : ”Sesungguhnya aku telah memohon ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku, dan Ia tidak mengijinkanku. Namun Ia mengijinkan aku untuk menziarahi kuburnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 976, Abu Dawud no. 3234, An-Nasa’i dalam Ash-Shughraa no. 2034, Ibnu Majah no. 1572, dan yang lainnya].
Dengan demikian, Anda dapat melihat adanya paradoks yang nyata.[2]
Status tidak kafir namun tidak muslim ini memang membingungkan. Bahkan, Asy-Syaikh Shaalih Aalusy-Syaikh hafidhahullah mengkritik pendapat ini dengan argumentasi yang senada dengan di atas[3]. Meskipun kita mencintai dan menghormati para ulama kita, namun kebenaran lebih kita cintai daripada mereka.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – wonogiri – 28122014 – 22:00].




[1]     Pembahasan beberapa istilah ini dapat dibaca dalam buku Al-Aaayaat wal-Ahaadiits wal-Aatsaar Al-Waaridah fii Ahlil-Fatrah (tesis Univ. Ummul-Quraa) oleh Marwaan Al-Hamdaan hal. 5-7.
[2]     Paradoksnya lagi, sebagian ‘mereka’ membawa teks-teks para ulama yang menegaskan tidak mengkafirkan seseorang hingga tegak padanya hujjah, kepada ijtihad sebagian ulama Najd ini. Sehingga, ketika Ibnu Taimiyyah rahimahullah – misalnya – mengatakan tidak mengkafirkan sebagian kaum muslimin yang jatuh dalam perkara syirik akbar peribadahan kepada orang-orang yang telah meninggalkan dari kalangan Nabi dan orang-orang shaalih; juga dianggap tidak mengatakannya sebagai muslim. Pendapat beliau rahimahullah ini dipaksa agar sesuai dengan pendapat sebagian ulama Najd rahimahumullah. Ini adalah kekeliruan yang nyata lagi tidak mengindahkan koridor-koridor ilmiah.
Viewing all 594 articles
Browse latest View live