Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Syi’ah : Batas Usia Nikah (Jima') Bagi Wanita 9 Tahun

$
0
0
Ada beberapa orang Syi’ah yang – mungkin – kurang pengetahuan dimana mereka mencela Ahlus-Sunnah yang mempunyai riwayat pernikahan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘Aaisyah pada usia 6 tahun dan baru serumah dengannya pada usia 9 tahun[1]. Kata mereka, ini merupakan penghinaan terhadap diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Kita dapat memaklumi, mereka yang mengatakan demikian mungkin sering bolos mengaji. Lebih sering membaca teori orientalis daripada teori kitab sendiri. Adalah menjadi kewajiban bagi yang tahu memberikan pengetahuan pada orang yang tidak tahu, yang dalam hal ini, dan ternyata sangat menyedihkan, adalah mereka.
Baiklah, akan kita ajarkan kepada mereka sedikit riwayat dari kitab Syi’ah yang berbicara tentang permasalahan ini. Barangkali ada manfaatnya.
Al-Kulainiy, tokoh Syi’ah jaman dulu, berkata:
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي نَصْرٍ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي بَصِيرٍ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ لَا يُدْخَلُ بِالْجَارِيَةِ حَتَّى يَأْتِيَ لَهَا تِسْعُ سِنِينَ أَوْ عَشْرُ سِنِينَ
Dari sejumlah shahabat kami, dari Sahl bin Ziyaad, dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr, dari ‘Abdul-Kariim bin ‘Amru, dari Abu Bashiir, dari Abu Ja’far (‘alaihis-salaam), ia berkata: “Tidak boleh seseorang menjimai seorang gadis hingga ia berusia 10 tahun atau 9 tahun”.
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ وَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ حَمَّادٍ عَنِ الْحَلَبِيِّ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قَالَ إِذَا تَزَوَّجَ الرَّجُلُ الْجَارِيَةَ وَ هِيَ صَغِيرَةٌ فَلَا يَدْخُلْ بِهَا حَتَّى يَأْتِيَ لَهَا تِسْعُ سِنِينَ
Dari ‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya. Dan (dari) Muhammad bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad; keduanya dari Ibnu Abi ‘Umair, dari Hammaad, dari Al-Halabiy, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam), ia berkata : “Apabila seorang laki-laki menikahi seorang gadis yang masih kecil, maka jangan menjimainya hingga ia berusia 9 tahun”.
حُمَيْدُ بْنُ زِيَادٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ سَمَاعَةَ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ يَحْيَى عَنْ مُوسَى بْنِ بَكْرٍ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ لَا يُدْخَلْ بِالْجَارِيَةِ حَتَّى يَأْتِيَ لَهَا تِسْعُ سِنِينَ أَوْ عَشْرُ سِنِينَ
Dari Humaid bin Ziyaad, dari Al-Hasan bin Muhammad bin Samaa’ah, dari Shafwaan bin Yahyaa, dari Muusaa bin Bakr, dari Zuraarah, dari Abu Ja’far (‘alaihis-salaam), ia berkata : “Tidak boleh seseorang menjimai seorang gadis hingga ia berusia 9 tahun atau 10 tahun”.
عَنْهُ عَنْ زَكَرِيَّا الْمُؤْمِنِ أَوْ بَيْنَهُ وَ بَيْنَهُ رَجُلٌ وَ لَا أَعْلَمُهُ إِلَّا حَدَّثَنِي عَنْ عَمَّارٍ السِّجِسْتَانِيِّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَقُولُ لِمَوْلًى لَهُ انْطَلِقْ فَقُلْ لِلْقَاضِي قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) حَدُّ الْمَرْأَةِ أَنْ يُدْخَلَ بِهَا عَلَى زَوْجِهَا ابْنَةُ تِسْعِ سِنِينَ
Darinya, dari Zakariyyaa Al-Mu’min – atau diantara mereka seorang laki-laki yang tidak aku ketahui kecuali ia menceritakan kepadaku dari ‘Ammaar As-Sijistaaniy, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) berkata kepada maulanya : “Pergilah dan katakanlah kepada Qaadliy : Telah bersabda Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wa aalihi) : ‘Batas seorang wanita boleh untuk dijimai oleh suaminya adalah ia telah berusia 9 tahun”.
Keempat riwayat ini ada dalam buku hadits Syi’ah yang mu’tabar : Al-Kaafiy, tepatnya jilid 5 halaman 398-399. Versi webnya bisa dibaca di sini.

Al-‘Aamiliy, ulama Syi’ah yang lain, berkata:
وعنه عن محمد بن يحيى ، عن طلحة بن زيد ، عن جعفر ، عن أبيه ، عن علي ( عليهم السلام ) قال : من تزوج بكرا فدخل بها في أقل من تسع سنين فعيبت ضمن
Dan darinya, dari Muhammad bin Yahyaa, dari Thalhah bin Zaid, dari Ja’far, dari ayahnya, dari ‘Aliy (‘alahis-salaam), ia berkata : “Barangsiapa yang menikahi gadis lalu ia menjimainya dalam usia kurang dari 9 tahun, lalu ternyata gadis itu terkena aib (karenanya), maka ia harus bertanggung jawab” [Wasaailusy-Syii’ahno. 25147].
Dan yang lainnya masih banyak.

Riwayat-riwayat di atas justru membenarkan bahwa boleh hukumnya menikahi wanita meski masih kecil, hanya saja ia baru boleh menjimainya ketika berusia (minimal) 9 tahun. Cocok sekali dengan riwayat Ahlus-Sunnah.
Lantas, siapakah yang sedang menghina Nabi di sini ?. Ahlus-Sunnah kah ? atau para imam Syi’ah ?. Atau para ulama Syi’ah itu sedang membuat-buat riwayat palsu dalam kitab mereka meniru riwayat Ahlus-Sunnah ?.
[Abul-Jauzaa’ - perumahan ciomas permai, 26 Jumadats-Tsaaniy 1435/26 April 2014 – 14:40].



[1]     Misalnya riwayat:
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ 
Telah menceritakan kepada kami Mu’allaa bin Asad : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahinya pada usia 6 tahun, dan membina rumah tangga dengannya (serumah) pada usia 9 tahun” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5134].
Silakan baca artikel terkait : Umur Pernikahan ‘Aisyah.


Ta’lil Hadits Tayammum : “Ashabtas-Sunnah”

$
0
0
Al-Imaam Abu Daawud rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الْمَسَيَّبِيُّ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ، عَنْ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ بَكْرِ بْنِ سَوَادَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: "خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا، ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ، وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ: لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq Al-Masayyabiy : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, dari Al-Laits bin Sa’d dari Bakr bin Sawaadah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : “Ada dua orang laki-laki melakukan safar, lalu datanglah waktu shalat sedangkan waktu itu mereka tidak memiliki air (untuk berwudlu). Maka mereka bertayammum dengan debu/tanah yang suci dan menunaikan shalat. Kemudian (setelah selesai shalat), mereka mendapatkan air pada waktu itu. Salah seorang di antara mereka mengulangi shalat dan wudlunya, namun yang lain tidak mengulanginya. Kemudian keduanya mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya menyebutkan kejadian itu kepada beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang tidak mengulangi : “Engkau telah mencocoki sunnah dan shalatmu itu sudah mencukupi”. Dan beliau bersabda kepada orang yang berwudlu dan mengulangi shalatnya : “Bagimu pahala dua kali” [As-Sunan no. 338].
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy no. 433, Ad-Daarimiy no. 771, Ad-Daaraquthniy no. 727, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 2/234-235 no. 1842 & 8/48 no. 7922, Al-Haakim 1/178-179, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/231 (1/353) no. 1094, dan Al-Khathiib dalam Al-Faqiih wal-Mutafaqqih 1/194; semuanya dari jalan ‘Abdullah bin Naafi’.
Dhahir sanad riwayat ini hasan, semua perawinya tsiqaat kecuali ‘Abdullah bin Naafi’, seorang yang shaduuq, hasan haditsnya.
Akan tetapi ia (‘Abdullah bin Naafi’) diselisihi oleh beberapa perawi yang lebih tsiqah darinya yang meriwayatkan dari Al-Laits bin Sa’d secara mursal, yaitu :
a.     ‘Abdullah bin Al-Mubaarak.
Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 434, Ad-Daaraquthniy no. 728.
‘Abdullah bin Al-Mubaarak adalah seorang imam yang tsiqahlagi tsabt.
b.     Yahyaa bin Bukair.
Diriwayatkan oleh Al-Haakim 1/179, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/231 (1/353) no. 1095.
Yahyaa bin Bukair seorang yang tsiqah.
Selain itu, Al-Laits bin Sa’d dalam periwayatan mursal mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdullah bin Lahiiah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 339, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/231 (1/353) no. 1096.
Ibnu Lahii’ah seorang yang shaduuq, hanya saja ia mengalami ikhtilaath setelah kitab-kitabnya terbakar. Namun di sini perawi yang membawakan riwayat Ibnu Lahii’ah adalah ‘Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabiy, yang ia meriwayatkan darinya sebelum ikhtilaath.[1] Oleh karena itu riwayatnya hasan atau bahkan shahih.
Abu Daawud berkata:
وَذِكْرُ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ فِي هَذَا الْحَدِيثِ: لَيْسَ بِمَحْفُوظٍ وَهُوَ مُرْسَلٌ
“Penyebutan Abu Sa’iid Al-Khudriy dalam hadits ini tidak mahfuudh. (Yang benar) ia adalah mursal” [Sunan Abi Daawud no. 338].
Perkataan Abu Daawud ini juga disebutkan Al-Baihaqiy dan ia mengisyaratkan persetujuannya dengan membawakan penyelisihan yang disebutkan di atas [Al-Kubraa, 1/231 (1/353)].
Ath-Thabaraaniy berkata:
لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ اللَّيْثِ مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ إِلا عَبْدُ اللَّهِ
“Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Al-Laits secara bersambung sanadnya kecuali ‘Abdullah (bin Naafi’). Al-Musayyabiy bersendirian dengannya” [Al-Ausath 2/234-235 no. 1842 & 8/48 no. 7922].
Ibnul-Qaththaan dalam Bayaanul-Wahm wal-Iihaam (2/434) membawakan mutaba’ah‘Abdullah bin Naafi’ dalam sanad muttashil  di atas. Ia berkata:
ذكره أبو علي بن السكن، قال : حدثنا أبو بكر بن أحمد الواسطي، قال : حدثنا عباس بن محمد، قال : حدثنا أبو الوليد الطيالسي، فذكره
“Abu ‘Aliy bin Al-Sakan menyebutkannya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ahmad Al-Waasithiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaas bin Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Waliid Ath-Thayaalisiy, lalu ia menyebutkan haditsnya[2]”.
Abu Bakr bin Ahmad Al-Waasithiy, belum ditemukan biografinya atau tautsiq-nya dari para imam. Oleh karenanya, mutaba’ah ini tidak bisa menjadi penguat.
Wahm dalam riwayat muttashil ini berasal dari ‘Abdullah bin Naafi’ [At-Talkhiishul-Habiir, 1/163]. Meski ia seorang yang shaduuq– sebagaimana telah disebutkan di atas – para ulama telah mengkritik sisi hapalannya (terutama periwayatannya selain dari Maalik bin Anas).
Kesimpulan : Riwayat ini lemah karena mursal.
Wallaahu a’lam.
[Abul-Jauzaa’ - perumahan ciomas permai, 28 Jumadats-Tsaaniy 1435/27 April 2014 – 18:50 – banyak mengambil faedah dari buku At-Tibyaan fii Takhriij wa Tabwiib Ahaadiitsi Buluughil-Maraam, 2/327-329].




[2]     Maksudnya, hadits dengan sanad muttashil dari Abul-Waliid Ath-Thayaalisiy dari Al-Laits bin Sa’d.

Khathib Berdoa Mengangkat Tangan di Atas Mimbar pada Hari Jum’at

$
0
0
Tanya : Bolehkah seorang imam (khathib) mengangkat tangannya ketika berdoa di atas mimbar pada waktu berkhuthbah sebelum shalat Jum’at, sebagaimana cara doa secara umum ?. Saya mendengar kelompok Wahabi melarangnya. Terima kasih.
Jawab : Ada beberapa riwayat terkait pertanyaan Anda antara lain:
وحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ، قَالَ: رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ، فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ ".
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Hushain, dari ‘Umaarah bin Ruaibah; ia (Hushain) berkata : ‘Umaarah melihat Bisyr bin Marwaan di atas mimbar seraya mengangkat kedua tangannya (ketika berdoa). Lantas ia berkata : “Semoga Allah memburukkan kedua tangan ini. Sungguh aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menambah sesuatu lebih dari hal seperti ini” - yaitu jari telunjuk yang berdampingan dengan ibu jari [Diriwayatkan oleh Muslim no. 874].
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: "رَفْعُ الْأَيْدِي يَوْمَ الْجُمُعَةِ مُحْدَثٌ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa, dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, ia berkata : “Mengangkat kedua tangan (saat berdoa) pada hari Jum’at adalah muhdats (bid’ah)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/147 (5/147) no. 5534; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا سهل بْنُ يُوسُفَ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ، قَالَ: "أَوَّلُ مَنْ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الْجُمَعِ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْمَرٍ "
Telah menceritakan kepada kami Sahl bin Yuusuf, dari Ibnu ‘Aun, dari Muhammad (bin Siiriin), ia berkata : “Orang yang pertama kami mengangkat kedua tangannya (saat berdoa) pada hari Jum’at adalah ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin Ma’mar” [idem 2/147 (5/147-148) no. 5535; sanadnya shahih].
Dapat kita lihat dari beberapa riwayat di atas bahwa mengangkat tangan ketika berdoa bagi imam di atas mimbar saat berkhuthbah di hari Jum’at adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Barangkali benar bahwa ‘Wahabi’ – seandainya penyebutan ini valid – melarangnya. Namun, sebagaimana yang Anda lihat, kaum salaf lah yang pertama kali melarang dan membenci perbuatan tersebut.
An-Nawawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits ‘Umaarah di atas:
هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لَا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ
“Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa yang sesuai sunnah adalah tidak mengangkat tangan dalam khuthbah (pada hari Jum’at). Itulah pendapat Maalik, shahabat-shahabat kami (ulama Syaafi’iyyah), dan lainnya” [Syarh Shahih Muslim, 6/162].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ويكره للإمام رفع يديه حال الدعاء في الخطبة .......لأن النبي صلى الله عليه و سلم إنما كان يشير بأصبعه إذا دعا وأما في الاستسقاء فرفع يديه لما استشفى على المنبر
“Dan dimakruhkan/dibenci bagi imam mengangkat kedua tangannya ketika berdoa dalam khuthbah,……. karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanyalah megisyaratkan dengan telunjuknya ketika berdoa. Adapun ketika istisqaa’, maka beliau mengangkat kedua tangannya ketika beliau berdoa memohon hujan di atas mimbar” [Al-Fataawaa Al-Kubraa, 5/354].
Wallaahu a’lam.
Semoga jawaban ini ada manfaatnya.

[Abul-Jauzaa’ - perumahan ciomas permai, 28 Jumadats-Tsaaniy 1435/27 April 2014 – 23:10].

Suara Adzan dari Kubur Nabi

$
0
0
Ad-Daarimiy rahimahullah berkata:
أَخْبَرَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، قَالَ: "لَمَّا كَانَ أَيَّامُ الْحَرَّةِ لَمْ يُؤَذَّنْ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا، وَلَمْ يُقَمْ وَلَمْ يَبْرَحْ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ الْمَسْجِدِ، وَكَانَ لَا يَعْرِفُ وَقْتَ الصَّلَاةِ إِلَّا بِهَمْهَمَةٍ يَسْمَعُهَا مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ "، فَذَكَرَ مَعْنَاهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Marwaan bin Muhammad, dari Sa’iid bin ‘Abdil-‘Aziiz, ia berkata : “Ketika terjadi peristiwa Harrah, adzan belum dikumandangkan di masjid nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tiga kali. Sa’iid bin Al-Musayyib masih ada di dalam masjid, dia tidak mengetahui waktu sholat kecuali dari suara berbisik yang ia dengar dari kubur Nabi". Kemudian ia menyebutkan maknanya [As-Sunan no. 93].
Riwayat ini lemah, karena Sa’iid bin ‘Abdil-‘Aziiz[1]tidak menjumpai peristiwa Harrah (63 H), karena ia sendiri baru lahir tahun 83 H/90 H. Tidak pula ia pernah menjumpai Sa’iid bin Al-Musayyib[2]  (wafat tahun 93 H/94 H). Ia orang Syaam, sedangkan Ibnul-Musayyib orang Madiinah.
Walhaasil, riwayat ini lemah karena terputus.
Ada jalan riwayat lain yang bersambung yang menjelaskan jenis suara yang didengar Ibnul-Musayyib:
حَدَّثَنَا محمد بن سليمان لوين، قَالَ: نا عبد الحميد بن سليمان، عن أبي حازم، عن سعيد بن المسيب، قَالَ: لقد رأيتني ليالي الحرة وما في مسجد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أحد غيري، ما يأتي وقت صلاة إلا سمعت الآذان من القبر، ثم أقيم فأصلي، وإن أهل الشام ليدخلون المسجد زمرا، فيقولون: أنظروا إِلَى هذا الشيخ المجنون
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaimaan Luwain, ia berkata : telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Sulaimaan, dari Abu Haazim, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : “Sungguh aku telah melihat diriku pada malam-malam peristiwa Hurrah. Tidak ada seorang pun ada di dalam masjid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku. Tidaklah datang waktu shalat kecuali aku mendengar adzan dari kubur (Nabi). Kemudian aku berdiri dan melakukan shalat. Sesungguhnya orang-orang Syaam masuk ke dalam masjid secara berombingan. Mereka berkata : ‘Lihatlah pada syaikh yang gila ini” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam At-Taariikh no. 2011].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 5/67, Abu Nu’aim dalam Dalaailun-Nubuwwah no. 510, dan Al-Laalikaa’iy dalam Karaamaat Auliyaa’illaah no. 126; semuanya dari jalan ‘Abdul-Hamiid bin Sulaimaan yang selanjutnya seperti riwayat di atas.
Riwayat ini pun lemah karena faktor ‘Abdul-Hamiid bin Sulaimaan, seorang yang dla’iif.[3]
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ - perumahan ciomas permai, 29 Jumadats-Tsaaniy 1435/28 April 2014 – 23:40].




[1]     Sa’iid bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Abi Yahyaa At-Tanuukhiy, Abu Muhammad/Abu ‘Abdil-‘Aziiz Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah lagi imaam, namun mengalami ikhtilaath di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 83 H/90 H, dan wafat tahun 167 H/168 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 383 no. 2371].
[2]     Sa’iid bin Al-Musayyib bin Huzn bin Abi Wahb bin ‘Amru bin ‘Aaidz bin ‘Imraan bin Makhzuum Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang telah disepakati ketsiqahan dan keimamannya. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 93 H/94 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 388 no. 2409].
[3]     ‘Abdul-Hamiid bin Sulaimaan Al-Khuzaa’iy Adl-Dlariir, Abu ‘Umar Al-Madaniy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-8 dan dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 565 no. 3788].

Al-Badaa’

$
0
0
Telah berlalu dalam blog ini artikel berjudul Satu Cabang ‘Aqidah Syi’ah tentang Allah ta’ala, yang membahas ‘aqidah badaa’. Yaitu adanya perubahan kebijakan Allah dimana semula Ia menentukan imamah untuk anak laki-laki pertama, namun kemudian Ia ubah setelah adanya kejadian baru dimana calon imam meninggal dunia sebelum ia menjabat. Kejadian baru ini sebelumnya tidak diketahui Allah. Allah baru mengetahui setelah kejadian itu terjadi.
Berikut ada hadits lain yang menjelaskan hal serupa. Ath-Thuusiy – ulama Syi’ah - berkata:
 فقد رواه سعد بن عبد الله الأشعري قال: حدثني أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري قال: كنت عند أبي الحسن عليه السلام وقت وفاة ابنه أبي جعفر - وقد كان أشار إليه ودل عليه - فإني لافكر في نفسي وأقول: هذه قضية أبي إبراهيم وقضية إسماعيل، فأقبل علي أبو الحسن عليه السلام فقال: نعم يا أبا هاشم بدا لله تعالى في أبي جعفر وصير مكانه أبا محمد، كما بدا للهفي إسماعيل بعدما دل عليه أبو عبد الله عليه السلام ونصبه، وهو كما حدثت به نفسك وإن كره المبطلون
“Dan telah diriwayatkan oleh Sa’d bin ‘Abdillah Al-Asy’ariy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Haasyim Daawud bin Al-Qaasim Al-Ja’fariy, ia berkata : “Aku pernah di sisi Abul-Hasan ‘alaihis-salaam waktu wafatnya anaknya, yaitu Abu Ja’far – padahal ia telah berisyarat kepadanya dan menunjuknya (sebagai imam pengganti) - . Maka aku pun berpikir pada diriku sendiri. Aku berkata : ‘Perkara ini serupa dengan perkara Abu Ibraahiim dan perkara Ismaa’iil’. Lalu Abul-Hasan ‘alaihis-salaam mendatangiku dan berkata : “Benar wahai Abu Haasyim. Allah ta’ala memiliki pendapat baru tentang Abu Ja’far dan mengganti kedudukannya dengan Abu Muhammad sebagaimana Allah menetapkan pendapat baru tentang Ismaa’iil dan mengangkat Abu ‘Abdullah ‘alaihis-salaam. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya...” [Al-Ghaibah, hal. 200].
Shahih.
Badaa’ secara bahasa artinya kejelasan sesuatu setelah sebelumnya tersembunyi. Atau makna lain : adanya pendapat baru [Ash-Shihhaah, 6/2278 dan Lisaanul-‘Arab14/66].
Sebagian orang Syi’ah mengidentikkan badaa’ dengan nasakh. Ini keliru. Pertama; orang Syi’ah sendiri membedakan antara keduanya. Kedua; seandainya sama, niscaya pembicaraan badaa’ tidak akan disebutkan secara khusus dalam kitab-kitab induk Syi’ah. Allah ta’ala menggunakan istilah nasakh bagi diri-Nya, namun tidak pernah menggunakan badaa’ untuk diri-Nya. Badaa’ hanya Allah gunakan untuk makhluk-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
مَا نَنْسَخْمِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” [QS. Al-Baqarah : 106].
Ini tentang nasakh.
Adapun badaa’, Allah ta’ala berfirman:
ثُمَّ بَدَالَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا رَأَوُا الآيَاتِ لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّى حِينٍ
Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu” [QS. Yuusuf : 35].
وَبَدَالَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya” [QS. Az-Zumar : 48].
وَبَدَالَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ * وَبَدَالَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya” [Az-Zumar : 47-48].
Mengapa Allah ta’ala tidak menggunakan istilah badaa’ pada diri-Nya ?. Karena badaa mengkonsekuensikan adanya ketidaktahuan (jahl) sebelumnya dan kemudian setelah itu muncul pengetahuan yang baru. Ini mustahil bagi Allah ta’ala.[1]
Kembali ke riwayat di awal artikel. Pantaskah Allah ta’ala mempunyai pendapat baru dengan menetapkan Abu ‘Abdillah sebagai imam setelah kejadian meninggalnya Ismaa’iil?. Maka dari sini, muncullah kelompok Ismaa’iiliyyah yang tetap menganggap Ismaa’iil lah sebagai imam dan tidak menerima klaim sepihak dari kelompok imamiyyah dengan memindahkannya ke Muusaa bin Ja’far. Ismaa’iiliyyah mempercayai bahwa Ismaa’iil bin Ja’far adalah imam yang terakhir. Perpecahan itu tetap eksis sampai sekarang.
Peristiwa pendapat baru Allah ta’ala dalam kasus penetapan Muusaa bin Ja’far tidak bisa disebut sebagai nasakh, karena nasakh itu hanya berkaitan dengan hukum syari’at, sedangkan badaa’ itu – menurut Syi’ah – berlaku pada taqdir.  Jadi, ada hal yang baru yang sebelumnya tidak diketahui yang kemudian membuat Allah menetapkan taqdir baru. Selain itu, redaksi riwayat Ath-Thuusiy di atas menggunakan kata badaa’, bukan nasakh.
Nasakh artinya menghapus, merubah, atau membatalkan dengan menggantinya yang lain. Naskh tidak mengkonsekuensikan adanya ketidaktahuan sebelumnya. Dua kata ini berbeda maknanya dalam bahasa Arab.
Semoga pengetahuan ini ada manfaatnya.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – 01052014 – 22:00].




[1]     Sebagian orang Syi’ah mengatakan bahwa Allah ta’ala menggunakan istilah badaa’ untuk diri-Nya, diantaranya melalui firman Allah ta’ala :
وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ
Dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah” [QS. As-Sajdah : 7].
إِنَّهُ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali (sesudah berbangkit)” [QS. Yuunus : 4].
Sungguh salah alamat mereka jika mereka memahami bahasa ‘Arab, karena ayat di atas berbicara tentang al-bada’ (البَدء), bukan badaa’ (البداء).

Menjamak Shalat Tanpa ‘Udzur

$
0
0
Poros pembahasan dalil dalam artikel ini adalah atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: "صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا سَفَرٍ "، قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ: فَسَأَلْتُ سَعِيدًا: لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، كَمَا سَأَلْتَنِي، فَقَالَ: أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ
Dari Abuz-Zubair, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Dhuhur dan ‘Ashar bukan karena ketakutan maupun safar. Abuz-Zubair berkata : “Lalu aku bertanya kepada Sa’iid : ‘Mengapa beliau melakukannya ?’. Ia (Sa’iid) berkata : ‘Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku, lalu ia menjawab : ‘Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ingin agar tidak menyusahkan seorang pun di kalangan umatnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 705 (50)].
Dalam riwayat lain dibawakan dengan lafadh:
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَرٍ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Dhuhur dan ‘Ashar, serta shalat Maghrib dan ‘Isyaa’ di Madiinah bukan karena ketakutan maupun hujan” [idem no. 705 (54)].
Sebagian ulama mengatakan lafadh ‘(bukan karena) hujan’ merupakan tafarrud dari Habiib bin Abi Tsaabit. Al-Bazzaar rahimahullah berkata:
وَهَذَا الْحَدِيثُ زَادَ فِيهِ حَبِيبٌ: مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلا مَطَرٍ. وَغَيْرُهُ لا يَذْكُرُ الْمَطَرَ
“Hadits ini, ditambahkan padanya oleh Habiib : ‘bukan karena sebab ketakutan maupun hujan’. Selain dirinya tidak menyebutkan ‘hujan’” [Al-Bahruz-Zakhaar11/223].
Pernyataan tafarrud Habiib ini juga dinyatakan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah dalam Fathul-Baariy (4/39).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يَقَعْ مَجْمُوعًا بِالثَّلَاثَةِ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْحَدِيثِ بَلْ الْمَشْهُورُ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ
“Ketahuilah bahwasannya ketiganya (ketakutan, safar, dan hujan) tidak pernah dikumpulkan semuanya dalam kitab-kitab hadits. Namun yang masyhur adalah lafadh : ‘bukan karena ketakutan maupun hujan’” [Tuhfatul-Ahwadziy, 1/215].
Habiib bin Abi Tsaabit adalah seorang tsiqah, namun mudallis.[1]Ia meriwayatkan dari Sa’iid bin Jubair dengan lafadh tersebut secara ‘an’anah. Akan tetapi riwayatnya tersebut dikuatkan oleh Shaalih bin Nabhaan sebagaimana diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq[2]dalam Al-Mushannaf no. 4434.
Hadits ini tidak boleh dipahami dengan membolehkan menjamak shalat tanpa sebab atau ‘udzursyar’iy secara mutlak[3], karena:
1.     Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yangditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].
Menjalankan shalat pada waktunya asal hukumnya adalah wajib, dan suatu kewajiban hanya boleh digugurkan dengan adanya ‘udzur syar’iy. Seandainya diperbolehkan menjamak shalat tanpa adanya ‘udzur syar’iy secara mutlak, niscaya ayat di atas tidak ada faedahnya.
Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan mengerjakan shalat pada waktunya hanya sekedar dihukumi sunnah.
2.     Jika hadits di atas itu dipahami sebagai kebolehan menjamak shalat tanpa ‘udzur secara mutlak dengan sebab agar tidak menyusahkan umat Islam; maka hal tersebut akan mengkonsekuensikan pemahaman bahwa asal mengerjakan shalat pada waktunya menyebabkan kesusahan dan rasa berat.
Ini adalah baathil tanpa keraguan, karena bertentangan dengan kenyataan yang ada pada diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, dan generasi setelah mereka. Riwayat-riwayat yang ada justru menunjukkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat sangat bersemangat menjaga shalat pada waktunya, karena ia adalah salah satu amalan yang paling utama.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُود رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: "سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang amal apakah yang paling dicintai oleh Allah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Shalat pada waktunya”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 527 & 5970 & 7534 dan dalam Al-Adabul-Mufrad hal. 3 no. 1, Muslim no. 85 (139), dan lainnnya].
Bahkan ketika panas menyengat di siang hari, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan menunda pelaksanaannya hingga cuaca agak dingin tanpa keluar dari waktunya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَبْرِدُوا بِالظُّهْرِ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ "
Dari Abu Sa’iid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tundalah pelaksanaan shalat Dhuhur hingga cuaca dingin, karena panas yang sangat terik adalah panas dari neraka Jahannam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 538].
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَأَرَادَ الْمُؤَذِّنُ أَنْ يُؤَذِّنَ لِلظُّهْرِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَبْرِدْ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُؤَذِّنَ، فَقَالَ لَهُ: أَبْرِدْ حَتَّى رَأَيْنَا فَيْءَ التُّلُولِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، فَإِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ
Dari Abu Dzarr Al-Ghifaariy, ia berkata : Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Muadzdzin ketika itu ingin mengumandangkan adzan untuk shalat Dhuhur. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Kemudian muadzdzin ingin mengumandangkannya lagi, beliau pun kembali bersabda : “Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Hingga kami melihat bayangan bukit. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya panas yang amat sangat (di waktu siang) berasal dari uap neraka Jahannam. Apabila siang terasa teramat panas, maka tundalah shalat hingga dingin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 539].
3.     Mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya tanpa ‘udzur adalah dosa lagi tercela.
Allah ta’ala berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” [QS. Al-Maa’uun: 4–5].
Salah satu makna orang yang melalaikan shalatnya adalah suka mengakhirkan shalat hingga hampir habis waktunya (tanpa ‘udzur).
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: ثنا سَكَنُ بْنُ نَافِعٍ الْبَاهِلِيُّ، قَالَ: ثنا شُعْبَةُ، عَنْ خَلَفِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ. أَهِيَ تَرْكُهَا؟ قَالَ: لا، وَلَكِنْ تَأْخِيرُهَا عَنْ وَقْتِهَا
Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sakan bin Naafi’ Al-Baahiliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Khalaf bin Hausyab, dari Thalhah bin Musharrif, dari Mush’ab bin Sa’d, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (Sa’d bin Abi Waqqaash) : “Apa pendapatmu tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya’ (QS. Al-Maa’uun : 5). Apakah maknanya meninggalkannya (shalat) ?”. Sa’d menjawab : “Tidak, akan tetapi maknanya adalah mengakhirkannya dari waktunya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 24/630; shahih].
Jika yang demikian saja sangat dicela dalam Islam, lantas bagaimana halnya dengan orang yang sengaja mengerjakan shalat hingga keluar dari waktunya tanpa ‘udzur ?.
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ وَهُوَ الطَّيَالِسِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ الْمُغِيرَةِ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ أَنْ تُؤَخِّرَ صَلَاةً حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ أُخْرَى "
Telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas Al-‘Anbariy : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud Ath-Thayaalisiy : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Al-Mughiirah, dari Tsaabit, dari ‘Abdullah bin Rabbaah, dari Abu Qataadah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada kelalaian dalam tidur, karena kelalaian itu hanyalah terjadi ketika terjaga, yaitu mengakhirkan shalat hingga masuk waktu berikutnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 441; shahih].
Di sini, mengakhirkan shalat tanpa ‘udzur disebut sebagai satu kelalaian (yang dicela).
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ: "كَيْفَ أَنْتَ، إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا، أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ قَالَ: قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ، فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ "
Dari Abu Dzarr, ia berkata : Telah bersabda kepadaku Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Bagaimana pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka mengakhirkan shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya?”. Abu Dzarr berkata : “Aku berkata : ‘Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?”.Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Lakukanlah shalat tepat pada waktunya,jika kamu mendapati bersama mereka, maka lakukanlah lagi, sebab hal itu dihitung pahala shalat sunnah bagimu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 648].
Jika mengerjakan shalat di luar waktunya diperbolehkan tanpa ‘udzur syar’iy, tentu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengingatkan para penguasa yang jelek pada Abu Dzarr yang suka mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya.
Menjamak shalat tanpa ‘udzur termasuk di antara dosa besar menurut ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu sebagaimana dalam riwayat berikut:
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْعَلَوِيُّ، أنبأ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ الرَّمْجَارِيُّ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرٍ، ثنا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ صُبَيْحٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ هِلالٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ يَعْنِي الْعَدَوِيَّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَى عَامِلٍ لَهُ "ثَلاثٌ مِنَ الْكَبَائِرِ: الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلاتَيْنِ إِلا فِي عُذْرٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَالنَّهْبِيُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Hasan Muhammad bin Al-Husain Al-‘Alawiy : Telah memberitakan ‘Abdullah bin Muhammad bin Al-Hasan Ar-Ramjaariy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Bisyr : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Yahyaa bin Shubaih, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Humaid bin Hilaal, dari Abu Qataadah Al-‘Adawiy : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah menulis surat untuk pegawainya : “Tiga hal termasuk dosa besar : menjamak shalat tanpa ‘udzur, melarikan diri dari medan perang, dan khianat dalam rampasan perang” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 3/169; shahih].
4.     Teks riwayat itu justru menunjukkan pada kita diperbolehkannya menjamak shalat jika ada sesuatu yang menyebabkan kesusahan (seandainya dikerjakan sesuai waktunya) – selain dari faktor ketakutan, safar, dan hujan yang disebutkan dalam atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
Ketakutan, safar, dan hujan merupakan ‘udzur syar’iy yang membolehkan seseorang melakukan jamak. Peniadaan ketiga ‘udzur hal tersebut tidak mengkonsekuensikan peniadaan keberadaan ‘udzur yang lain, seperti sakit, cuaca dingin yang ekstrim, angin kencang (angin ribut), dan yang semisalnya.
Sakit merupakan salah satu ‘udzur syar’iy yang menjadi ‘illat adanya pengguguran sebagian kewajiban dalam syari’at, seperti misal puasa – sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” [QS. Al-Baqarah : 184].
Jika kewajiban puasa di bulan Ramadlan dapat digugurkan karena sakit dengan menggantinya di waktu yang lain, maka begitu juga dengan shalat yang dapat dijamak di luar waktunya.
Begitu juga dengan cuaca dingin yang ekstrim dan angin kencang (angin ribut):
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ، وَرِيحٍ، وَمَطَرٍ، فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ: أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ، أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ، إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ، أَوْ ذَاتِ مَطَرٍ فِي السَّفَرِ، أَنْ يَقُولَ: أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia pernah mengumandangkan adzan pada waktu malam yang dingin, berangin kencang, dan hujan; maka ia mengucapkan di akhir adzannya : ‘alaa sholluu fii rihaalikum, alaa sholluu fir-rihaal (hendaknya kalian shalat di rumah-rumah kalian 2x)’. Kemudian ia melanjutkan : “Apabila malam begitu dingin atau turun hujan ketika safar, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan muadzdzin untuk mengucapkan : ‘alaa shollu fii rihaalikum” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 697 (23)].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَحَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَمَلْنَاهُ عَلَى حَالَةِ الْمَرَضِ ، وَيَجُوزُ أَنْ يَتَنَاوَلَ مَنْ عَلَيْهِ مَشَقَّةٌ ، كَالْمُرْضِعِ ، وَالشَّيْخِ الضَّعِيفِ ، وَأَشْبَاهِهِمَا مِمَّنْ عَلَيْهِ مَشَقَّةٌ فِي تَرْكِ الْجَمْعِ
Dan hadits Ibnu ‘Abbaas kami bawa maknanya pada keadaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit. Dan diperbolehkan pula bagi orang yang mengalami kesulitan seperti wanita yang menyusui, orang tua yang lemah, lainnya yang akan mengalami kesulitan jika ia meninggalkan jamak” [Al-Mughniy, 1/121].
5.     Sebagian ulama ada yang membawa pengertian jamak yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam atsar Ibnu ‘Abbaas di atas adalah jamak shuriy[4].
وحَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنِ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا، وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ، وَالْعَصْرَ، وَالْمَغْرِبَ، وَالْعِشَاءَ "
Dan telah menceritakan kepada kami Abur-Rabii’ Az-Zahraaniy : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari ‘Amru bin Diinaar, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di Madiinah tujuh raka’at[5]dan delapan raka’at[6](sekaligus). Yaitu shalat Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isyaa” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 705 (56].
Kemudian penafsirannya ada pada riwayat berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ أبَا الشَّعْثَاءِ جَابِرًا، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: "صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا وَسَبْعًا جَمِيعًا، قُلْتُ: يَا أَبَا الشَّعْثَاءِ أَظُنُّهُ أَخَّرَ الظُّهْرَ وَعَجَّلَ الْعَصْرَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ، قَالَ: وَأَنَا أَظُنُّهُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, ia berkata : Aku mendengar Abu Sya’tsaa’ Jaabir berkata : Aku mendengar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata : “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam delapan raka’at dengan dijamak dan tujuh raka’at dengan dijamak”. Aku (‘Amru) berkata : “Wahai Abu Sya’tsaa’, aku mengiranya beliau mengakhirkan shalat Dhuhur dan menyegerakan shalat ‘Ashar, serta menyegerakan shalat ‘Isyaa’ dan mengakhirkan shalat Maghrib”. Ia (Abu Sya’tsaa’) berkata : “Dan akupun mengiranya demikian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1174].[7]
Hadits lain:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَارَةُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلَاةً بِغَيْرِ مِيقَاتِهَا إِلَّا صَلَاتَيْنِ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَصَلَّى الْفَجْرَ قَبْلَ مِيقَاتِهَا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyaats : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Umaarah, dari ‘Abdurrahmaan, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Aku tidak pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat di luar waktunya, kecuali dua shalat. Beliau menjamak shalat Maghrib dan shalat ‘Isyaa’, serta beliau pernah shalat Shubuh sebelum waktunya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1682].
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu menafikkan semua bentuk shalat jamak yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kecuali menjamak shalat Maghrib dan shalat ‘Isyaa’ di Muzdalifah.
Maka di sini dapat disimpulkan bahwa jamak tidak boleh dilakukan kecuali jika ada ‘udzur syar’iy.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 12071435/11052014 – 21:05].




[1]     Habiib bin Abi Tsaabit Qais bin Diinaar, Abu Yahyaa Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi jaliil, namun banyak melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 119 [Taqriibut-Tahdziib, hal. 218 no. 1092].
[2]     Riwayatnya adalah:
عَنْ دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ صَالِحٍ مَوْلَى التَّوْأَمَةِ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: "جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ، وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ، وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا مَطَرٍ "، قَالَ: قُلْتُ لابْنِ عَبَّاسٍ: لِمَ تَرَاهُ فَعَلَ ذَلِكَ؟، قَالَ: "أَرَاهُ لِلتَّوْسِعَةِ عَلَى أُمَّتِهِ "
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir dari jalan Daawud bin Qais.
[3]     Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan adanya sebagian ulama yang berpegang pada dhahir hadits :
فَجَوَّزُوا الْجَمْعَ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ مُطْلَقًا لَكِنْ بِشَرْطِ أَنْ لَا يُتَّخَذَ ذَلِكَ عَادَةً ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهِ اِبْنُ سِيرِينَ وَرَبِيعَةُ وَأَشْهَبُ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَالْقَفَّالُ الْكَبِيرُ وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ
“Sebagian ulama membolehkan menjamak shalat pada waktu hadir karena hajat secara mutlak namun dengan syarat tidak menjadikannya kebiasaan. Diantara ulama yang berpendapat dengannya adalah Ibnu Siiriin, Rabii’ah, Asyhab, Ibnul-Mundzir, dan Al-Qaffaal Al-Kabiir. Al-Khaththaabiy menghikayatkannya dari sekelompok ulama dari kalangan ashhaabul-hadiits” [Fathul-Baariy, 2/24].
[4]     Maksudnya, bukan jamak yang sesungguhnya. Yaitu mengakhirkan shalat yang pertama masih di waktunya dan menyegerakan shalat kedua di waktu berikutnya, sehingga seakan-akan kedua shalat itu terkumpul menjadi satu.
[5]     Maksudnya menjamak antara shalat maghrib dan ‘isyaa’ sehingga keduanya berjumlah 7 raka’at.
[6]     Maksudnya menjamak antara shalat dhuhur dan ‘ashar sehingga keduanya berjumlah 8 raka’at.
[7]     Faedah:
An-Nasaa’iy (no. 589) meriwayatkan sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ، قال: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قال: "صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ ثَمَانِيًا جَمِيعًا وَسَبْعًا جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْرَ وَعَجَّلَ الْعَصْرَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ"
Telah mengkhabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Aku pernah shalat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madiinah sebanyak 8 raka’at dengan dijamak dan 7 raka’at dengan dijamak. Beliau mengakhirkan shalat Dhuhur dan menyegerakan shalat ‘Ashar, serta mengakhirkan shalat Maghrin dan menyegerakan shalat ‘Isyaa’”.
Kalimat yang digaris bawah merupakan idraaj perkataan Jaabir bin Zaid Abu Sya’tsaa’, karena dalam riwayat lain diketahui bahwa kalimat tersebut adalah miliknya. Kekeliruan ini berasal dari Qutaibah. Wallaahu a’lam.

Menshalati Jenazah Orang Kafir

$
0
0
Al-Kulainiy berkata:
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ حَمَّادِ بْنِ عُثْمَانَ عَنِ الْحَلَبِيِّ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ لَمَّا مَاتَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيِّ بْنِ سَلُولٍ حَضَرَ النَّبِيُّ ( صلى الله عليه وآله ) جَنَازَتَهُ فَقَالَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) يَا رَسُولَ اللَّهِ أَ لَمْ يَنْهَكَ اللَّهُ أَنْ تَقُومَ عَلَى قَبْرِهِ فَسَكَتَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَ لَمْ يَنْهَكَ اللَّهُ أَنْ تَقُومَ عَلَى قَبْرِهِ فَقَالَ لَهُ وَيْلَكَ وَ مَا يُدْرِيكَ مَا قُلْتُ إِنِّي قُلْتُ اللَّهُمَّ احْشُ جَوْفَهُ نَاراً وَ امْلَأْ قَبْرَهُ نَاراً وَ أَصْلِهِ نَاراً ......
‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi ‘Umair, dari Hammaad bin ‘Utsmaan, dari Al-Halabiy, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam), ia berkata : “Ketika ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul meninggal, Nabi (shallallaahu ‘alaihi wa aalihi) menghadiri jenazahnya. Lalu ‘Umar berkata kepada Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wa aalihi) : “Wahai Rasulullah, tidakkah Allah telah melarangmu untuk berdiri shalat di atas kuburnya?”. Lalu beliau pun terdiam. Kemudian ‘Umar berkata lagi : “Wahai Rasulullah, tidakkah Allah telah melarangmu untuk berdiri shalat di atas kuburnya?”. Akhirnya beliau menjawabnya : “Celaka engkau!. Tidakkah engkau mengetahui apa yang aku ucapkan ?”. Sesungguhnya aku mengucapkan (dalam shalat) : ‘Ya Allah, penuhilah kerongkongannya dengan api. Penuhilah kuburannya dengan api, dan campakkanlah ia ke dalam api (neraka)….” [Al-Kaafiy, 3/188].
Kata Al-Majlisiy : “Hasan” [Mir’atul-‘Uquul, 14/74].
Riwayat di atas menunjukkan kepada kita beberapa hal sebagai berikut:
1.     ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul meninggal dengan berstatus sebagai munafiq lagi kafir, sehingga didoakan kecelakaan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
2.     ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu tidak berada pada barisan kaum munafikin yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul.
3.     Pandangan ‘Umar tentang larangan menshalatkan orang munafiq (Ibnu Saluul) selaras dengan firman Allah ta’ala:
وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan(jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik[QS. At-Taubah : 84].
4.     Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan jenazah seorang munafik. Dalam shalatnya tersebut, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendoakan kebaikan, namun mendoakan keburukan.
Komentar:
Dalam perspektif Ahlus-Sunnah, tidaklah shalat jenazah dikerjakan kecuali untuk mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seorang muslim yang meninggal dunia. QS. At-Taubah ayat 84 di atas sebagai dalil yang jelas terlarangnya berdiri menshalatkan jenazah seorang munafiq yang meninggal di atas kekafiran. Mafhum mukhalafah-nya, Allah hanya memerintahkan menshalatkan jenazah seorang yang meninggal dalam status muslim.
Namun ternyata, bacaan yang diucapkan beliau secara sirr (pelan)[1]dalam shalat jenazah versi riwayat Al-Kulainiy justru doa-doa kejelekan. Barangkali inilah salah satu sandaran praktek taqiyyah ala Syi’ah dalam berinteraksi dengan Ahlus-Sunnah. Secara dhahir menampakkan ketaatan, namun ternyata batinnya menyimpan cacian dan celaan[2].
Al-Kulainiy meletakkan riwayat tersebut dalam bab : Shalat terhadap (Jenazah) Seorang Naashibiy (baca : Ahlus-Sunnah).
Artinya, kalau nanti ada orang Syi’ah ikut-ikutan berdiri menshalatkan jenazah seorang Ahlus-Sunnah, besar kemungkinan doa yang diucapkannya secara sirr adalah doa-doa kejelekan seperti doa di atas dan juga doa di bawah:
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ حَمَّادٍ عَنِ الْحَلَبِيِّ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِذَا صَلَّيْتَ عَلَى عَدُوِّ اللَّهِ فَقُلِ اللَّهُمَّ إِنَّ فُلَاناً لَا نَعْلَمُ مِنْهُ إِلَّا أَنَّهُ عَدُوٌّ لَكَ وَ لِرَسُولِكَ اللَّهُمَّ فَاحْشُ قَبْرَهُ نَاراً وَ احْشُ جَوْفَهُ نَاراً وَ عَجِّلْ بِهِ إِلَى النَّارِ فَإِنَّهُ كَانَ يَتَوَلَّى أَعْدَاءَكَ وَ يُعَادِي أَوْلِيَاءَكَ وَ يُبْغِضُ أَهْلَ بَيْتِ نَبِيِّكَ اللَّهُمَّ ضَيِّقْ عَلَيْهِ قَبْرَهُ فَإِذَا رُفِعَ فَقُلِ اللَّهُمَّ لَا تَرْفَعْهُ وَ لَا تُزَكِّهِ
‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi ‘Umair, dari Hammaad, dari Al-Halabiy, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam), ia berkata : “Apabila engkau menshalati jenazah seorang musuh Allah, maka ucapkanlah (doa) : ‘Ya Allah, sesungguhnya Fulaan tidaklah kami mengetahui tentangnya kecuali ia adalah musuh-Mu dan musuh Rasul-Mu. Ya Allah, penuhilah kerongkongannya dengan api, segerakanlah ia kepada api neraka, karena ia telah berloyalitas kepada musuh-musuh-Mu, memusuhi wali-wali-Mu, dan membenci Ahli Bait Nabi-Mu. Ya Allah, sempitkanlah kuburnya’. Apabila jenazahnya diangkat, maka ucapkanlah : ‘Ya Allah, janganlah Engkau angkat dia dan janganlah Engkau bersihkan dia” [Al-Kaafiy, 3/189].
Kata Al-Majlisiy, riwayat di atas hasan [Mir’atul-‘Uquul, 14/77].
5.     Boleh hukumnya menshalati orang kafir.
Artinya, ada kemungkinan orang Syi’ah nanti menshalati jenazah orang Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, dan semisalnya.
Wallaahul-musta’aan.
Sebagai intermezzo, berikut adalah video yang konon katanya merupakan ritual shalat jenazah yang dilakukan orang-orang Syi’ah terhadap kawannya yang mati kena tembak. Namun sayangnya sang imam malah ngambek karena dibikin kaget oleh suara letusan senapan yang terdengar dari kejauhan:
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 12071435/11052014 – 23:45].




[1]     Karena ‘Umar tidak mendengarnya dan kemudian bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[2]     Ini adalah sifat nifaq yang disandarkan secara dustakepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Pembelaan Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Raajihiy kepada Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan Al-Barraak hafidhahumallah

$
0
0
Diantara tanda para pendengki dakwah yang gemar mengusahakan perpecahan adalah usaha mereka menjauhkan umat dari para ulama (kibaar). Mereka sangat sibuk mengeluar-masukkan orang-orang dari lingkaran sunnah, karena merasa memiliki otoritas untuk hal tersebut. Kali ini, Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak hafidhahullah, salah seorang ulama senior Saudi ‘Arabia (lahir tahun 1352 H) menjadi mangsa. Ada seorang dari mereka yang masih penuntut ilmu berfatwa agar kaum muslimin menjauhinya dan tidak menghadiri pelajaran-pelajaran yang disampaikan syaikh di majelisnya.
Syaikh, sebagaimana manusia lainnya, memiliki kekeliruan – karena tidak ada satu pun manusia yang luput dari kekeliruan. Akan tetapi kekeliruan beliau tidak lantas dijadikan sarana agar umat menjauhinya. Amal-amal kebaikan beliau untuk umat Islam sangatlah banyak dibanding kekeliruan beliau, dan kita berharap dengannya Allah memaafkan kekeliruan beliau tersebut. Asy-Syaikh Dr. Sa’d Asy-Syatsriy hafidhahullah (eks anggota Haiah Kibaar Ulama Saudi Arabia) mengatakan bahwa beliau merupakan ulama besar Islam dan termasuk dari kalangan orang-orang terpercaya yang dipersaksikan akan keilmuannya [sumber : sini].
Selain Asy-Syaikh Asy-Syatsriy, Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Raajihiy – murid senior Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah – memberikan pembelaan. Silakan simak perkataan beliau yang direkam via telepon pada video berikut:
Terakhir, mari kita renungi sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut:
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
Barakah itu ada pada Akaabir (orang-orang tua/senior) kalian”.[1]
Semoga Allah menjauhkan sifat dengki pada kita semua.




[1]     Silakan baca artikel : Al-Akaabirdan Al-Ashaaghir– Siapakah Mereka?.

Pernikahan Abu Ja'far

$
0
0
Al-Kulainiy – ulama Syi’ah – berkata:
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ ابْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) أَنَّهُ أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَةً فَكَرِهَ ذَلِكَ أَبِي فَمَضَيْتُ فَتَزَوَّجْتُهَا حَتَّى إِذَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ زُرْتُهَا فَنَظَرْتُ فَلَمْ أَرَ مَا يُعْجِبُنِي فَقُمْتُ أَنْصَرِفُ فَبَادَرَتْنِي الْقَيِّمَةُ مَعَهَا إِلَى الْبَابِ لِتُغْلِقَهُ عَلَيَّ فَقُلْتُ لَا تُغْلِقِيهِ لَكِ الَّذِي تُرِيدِينَ فَلَمَّا رَجَعْتُ إِلَى أَبِي أَخْبَرْتُهُ بِالْأَمْرِ كَيْفَ كَانَ فَقَالَ أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ لَهَا عَلَيْكَ إِلَّا نِصْفُ الْمَهْرِ وَ قَالَ إِنَّكَ تَزَوَّجْتَهَا فِي سَاعَةٍ حَارَّةٍ
Muhammad bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad, dari Ibnu Fadldlaal, dari Ibnu Bukair, dari Zuraarah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) : Bahwasannya ia pernah hendak menikahi seorang wanita, namun ayahnya ternyata tidak suka. (Abu Ja’far berkata) : “Lalu aku pun tetap melakukannya dan menikahi wanita tersebut. Setelah itu aku mengunjunginya. Aku pun memandangnya dan ternyata aku tidak melihat sesuatu yang membuatku tertarik kepadanya. Maka aku berdiri untuk beranjak pergi. Namun pembantu wanita itu bergegas mendahuluiku ke pintu dan menutupnya untukku (sehingga aku tidak bisa keluar). Aku berkata (kepada wanita itu) : ‘Janganlah engkau tutup (pintunya). Engkau akan mendapatkan apa yang engkau inginkan’. Ketika aku kembali ke ayahku, aku mengkhabarkan perkara tersebut kepadanya. Ia (ayahku) berkata : ‘Engkau hanya berkewajiban membayar setengah mahar kepadanya’. Ayahku berkata : ‘Sesungguhnya engkau menikahinya pada waktu yang panas (siang/Dhuhur)” [Al-Kaafiy, 5/366].
Al-‘Aamiliy juga menyebutkannya dalam kitab Wasaailusy-Syii’ah, 5/93.
Kata Al-Majlisiy, status riwayat ini muwatstsaq.
Ada beberapa hal yang dapat kita pahami dari riwayat ini:
1.     Ayah Abu Ja’far tidak suka dengan keinginan Abu Ja’far yang hendak menikahi seorang wanita.
Komentar:
Seandainya para imam itu ma’shum[1]– sebagaimana yang diyakini kaum Syi’ah (Raafidlah) - , seharusnya ayah Abu Ja’far tidak perlu merasa tidak suka akan keinginan anaknya, karena perbuatan anaknya itu sudah pasti benar dan sudah pasti diridlai oleh Allah ta’ala. Tapi sayangnya, riwayat di atas tidak mendukung teori ini.
2.     Setelah Abu Ja’far melaksanakan pernikahannya, ternyata Abu Ja’far tidak suka dengan wanita yang dinikahinya itu. Malah setelah melihat fisiknya, ia hendak pergi karena tidak ada sesuatu yang menarik darinya sehingga ia berkeinginan terhadapnya.
Komentar:
Sama seperti sebelumnya. Sikap ini menodai kema’shuman dirinya, karena hal tersebut mengisyaratkan kedhaliman terhadap si wanita. Apakah sebelumnya ia tidak mencari informasi terlebih dahulu untuk melakukan cek-ricek perihal si wanita?. Dapat kita lihat, bahwa si wanita kecewa dengan sikap Abu Ja’far yang hendak meninggalkannya begitu saja setelah ia (Abu Ja’far) tidak melihat hal yang menarik dari dirinya.
Sebagai informasi, Al-Kulainiy meletakkan meletakkan riwayat tersebut dalam bab : Waktu yang Dibenci untuk Melakukan Pernikahan. Begitu juga Al-‘Aamiliy meletakkannya dalam bab : Dibencinya Pernikahan pada Waktu yang Panas dan Peniadaan Keharamannya.
Artinya apa ?. Kedua ulama ini secara tidak langsung menyatakan bahwa Abu Ja’far melakukan perbuatan yang dibenci (makruuh) dalam syari’at, meski tidak diharamkan. Jika ma’shum, seharusnya juga terjaga pada perbuatan yang dibenci oleh syari’at. Bukan begitu?
Namun secara pribadi, saya tidak percaya dengan riwayat di atas. Mungkin untuk kesekian kalinya, orang-orang Syi’ah harus bersepakat dengan saya bahwa riwayat itu tidak benar meski status dinyatakan muwatstsaq oleh Al-Majlisiy.
[abul-jauzaa – perumahan ciomas permai, ciapus, bogor – 14071435/13052014 – 22:55].




[1]     Ma’shum menurut agama Syi’ah menuntut terbebasnya dari segala macam dosa (besar atau kecil), kesalahan, dan bahkan lupa.

Hukuman Pelaku Homoseksual

$
0
0
Akhir-akhir ini sering kita dengar dan baca berita di berbagai media tentang kejahatan homoseksual. Ada yang dilakukan dengan paksaan dan ancaman, ada pula yang dilakukan suka sama suka. Bahkan beberapa negara kafir sudah melegalkan pernikahan sesama jenis.[1]Sungguh memprihatinkan. Penyakit disorientasi seksual buatan kaum Luuth ini terwarisi umat manusia hingga sekarang.
Allah ta’ala berfirman:
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ * وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas” [QS. Asy-Syu’araa’ ; 165-166].
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ * أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ
Dan (ingatlah) ketika Luuth berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu". Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” [QS. Al-Ankabuut : 28-29].
حَدَّثَنَا الْمُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل ابْنُ عُلَيَّةَ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ: إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ، قَالَ: "مَا نَزَا ذَكَرٌ عَلَى ذَكَرٍ حَتَّى كَانَ قَوْمُ لُوطٍ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Mu’allaa bin Asad : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ulayyah : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Najiih, dari ‘Amru bin Diinaar tentang firman Allah ta’ala : ‘Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu’ (QS. Al-Ankabuut : 28), ia berkata : “Tidak ada seorang laki-laki yang berhubungan badan dengan laki-laki lain hingga kaum Luuth melakukannya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1120; shahih].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وقال الوليد بن عبد الملك الخليفة الأموي، باني جامع دمشق: لولا أن الله، عز وجل، قص علينا خبر لوط، ما ظننت أن ذكرًا يعلو ذكرًا.
“Al-Waliid bin Malik, seorang khalifah Dinasti Umawiyyah yang membangun masjid Damaskus berkata : ‘Seandainya Allah ‘azza wa jalla tidak mengisahkan kepada kita khabar Luuth, aku tidak pernah membayangkan ada laki-laki yang mendatangi laki-laki” [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/445].
Ya, sebagai orang normal, kita tidak bisa membayangkan bagaimana kejahatan itu terjadi. Akan tetapi setan memang punya banyak muslihat untuk menyesatkan manusia dari fithrah dan jalan yang lurus.
Para ulama telah sepakat bahwa kejahatan homoseksual termasuk dosa besar yang diharamkan sangat keras oleh Islam. Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
قد نص الله علينا قصة قوم لوط في غير ما موضع من كتابه العزيز، وأنه أهلكهم بفعلهم الخبيث وأجمع المسلمون من أهل الملل أن التلوط من الكبائر
“Sungguh Allah telah mengisahkan kepada kita kisah kaum Luuth di beberapa tempat dalam Kitab-Nya, dan bahwasannya Dia telah membinasakan mereka karena perbuatan keji mereka itu. Kaum muslimin dari semua aliran telah sepakat bahwa perbuatan kaum Luuth (homoseksual) tersebut termasuk di antara dosa-dosa besar” [Al-Kabaair, hal. 52].
Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku homoseksual, sebagaimana dikatakan At-Tirmidziy rahimahullah:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي حَدِّ اللُّوطِيِّ، فَرَأَى بَعْضُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِ الرَّجْمَ أَحْصَنَ أَوْ لَمْ يُحْصِنْ، وَهَذَا قَوْلُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاق، وقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ فُقَهَاءِ التَّابِعِينَ مِنْهُمْ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ، وَعَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ، وَغَيْرُهُمْ قَالُوا: حَدُّ اللُّوطِيِّ حَدُّ الزَّانِي، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَأَهْلِ الْكُوفَةِ
“Para ulama berbeda pendapat dalam had pelaku homoseks. Sebagian mereka berpendapat untuk dirajam, baik yang pernah menikah maupun yang belum pernah menikah. Inilah pendapat Maalik, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan Ishaaq. Sebagian ulama dari kalangan fuqahaa’ taabi’iin seperti Al-Hasan Al-Bashriy, Ibraahiim An-Nakha’iy, ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, dan yang lainnya berpendapat : Hadd pelaku homoseks adalah hadd pelaku zina. Inilah pendapat Ats-Tsauriy dan penduduk Kuufah” [Jaami’ At-Tirmidziy 3/125].
Al-Baghawiy rahimahullah menambahkan bahwa Abu Haniifah berpendapat hukumannya adalah ta’zir, bukan hadd[Syarhus-Sunnah, 10/310].
Berikut dibawakan beberapa riwayat yang beredar di kalangan salaf dalam hal ini:
a.     Dihukumbunuh seperti hukuman pelaku zina, yaitu dirajam jika pelaku pernah menikah atau dicambuk 100 kali jika belum pernah menikah.
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، فِي الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، قَالَ: يُرْجَمُ إِنْ كَانَ مُحْصَنًا وَيُجْلَدُ، وَيُنْفَى إِنْ كَانَ بِكْرًا "، وَقَالَهُ ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ
Dari Ibnu Juraij tentang orang yang melakukan perbuatan kaum Luuth, ia berkata : “Dirajam jika ia pernah menikah serta dicambuk dan diasingkan jika ia belum menikah”.
Dikatakan juga oleh Ibnu ‘Uyainah, dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 7/363 no. 13484; shahih].
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: "يُرْجَمُ إِنْ كَانَ مُحْصَنًا، وَيُجْلَدُ إِنْ كَانَ بِكْرًا، وَيُغَلَّظُ عَلَيْهِ فِي الْحَبْسِ وَالنَّفْيِ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, ia berkata : “(Pelaku homoseks) dirajam jika ia pernah menikah, serta dicambuk jika ia belum menikah dan ditambahi hukuman untuk dijebloskan ke penjara dan diasingkan” [idem, no. 13485; shahih].
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: "فِي الرَّجُلِ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ حَدُّ الزِّنَا، إِنْ كَانَ مُحْصَنًا رُجِمَ، وَإِلا جُلِدَ "
Dari Ats-Tsauriy, dari Hammaad, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Tentang laki-laki yang melakukan perbuatan kaum Luuth, diberikan hadd zina. Jika pernah menikah, dirajam; dan jika belum pernah menikah dicambuk” [idem, no. 13487; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ فِي الرَّجُلِ يَأْتِي الرَّجُلَ، قَالَ: سُنَّتُهُ سُنَّةُ الْمَرْأَةِ "
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’ (bin Abi Rabbaah) tentang seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki lain, ia berkata : “Sunnah yang berlaku baginya adalah sunnah yang berlaku pada wanita (yaitu : hadd zina)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 9/530 (14/421) no. 28928; shahih].
حَدَّثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، وَعَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، قَالَا: "اللُّوطِيُّ بِمَنْزِلَةِ الزَّانِي "
Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Sa’iid, dari Qataadah, dari Al-Hasan (Al-Bashriy); dan dari Abu Ma’syar dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), keduanya (Al-Hasan dan Ibraahiim) berkata : “Pelaku homoseks kedudukannya seperti pelaku zina” [idem, no. 28932; shahih].
b.     Dihukum bunuh dengan dirajam secara mutlak, tidak membedakan antara yang pernah menikah atau belum pernah menikah.
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ، سَمِعَ مُجَاهِدًا، وَابْنَ جُبَيْرٍ، يُحَدِّثَانِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ فِي الْبِكْرِ يُوجَدُ عَلَى اللُّوطِيَّةِ، قَالَ: يُرْجَمُ "
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim, ia mendengar Mujaahid dan Ibnu Jubair menceritakan dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata tentang jejaka yang didapati melakukan perbuatan kaum Luuth, ia berkata : “Dirajam” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq, 7/363-364 no. 13488; sanadnya hasan].
Catatan : Semua perawinya tsiqaat kecuali Ibnu Khutsaim, seorang yang diperselisihkan. Sebagian ulama menerima riwayatkan, sebagian lain meletakkannya karena faktor hapalannya. Asy-Syaikh Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/73.
أَخْبَرَنَا أَبُو سَهْلِ بْنُ زِيَادٍ الْقَطَّانُ، ثنا إِدْرِيسُ بْنُ عَبْدِ الْكَرِيمِ، ثنا مُحْرِزُ بْنُ عَوْنٍ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: "عَلَى اللُّوطِيِّ الرَّجْمُ، أُحْصِنَ أَوْ لَمْ يُحْصَنْ، سُنَّةٌ مَاضِيَةٌ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sahl bin Ziyaad Al-Qaththaan : Telah menceritakan kepada kami Idriis bin ‘Abdil-Kariim : Telah menceritakan kepada kami Muhriz bin ‘Aun : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari Shaalih bin Kaisaan, dari Az-Zuhriy, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : “Terhadap pelaku homoseks dijatuhi hukuman rajam, baik yang pernah menikah maupun yang belum pernah menikah. Itulah sunnah yang berlaku” [Diriwayatkan oleh Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliyno. 240; sanadnya shahih].
قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ بِلالٍ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ، وَرَبِيعَةَ، يَقُولُ: "إِنَّ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَعَلَيْهِ الرَّجْمُ، أُحْصِنُ، أَوْ لَمْ يُحْصِنْ ".
“Telah berkata Sulaimaan bin Bilaal : Aku mendengar Yahyaa bin Sa’iid (Al-Amshaariy) dan Rabii’ah (bin Abi ‘Abdirrahmaan At-Taimiy)berkata : “Sesungguhnya siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luuth, baginya hukuman rajam baik yang telah menikah ataupun belum menikah” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 4/350; shahih].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
وَبِهَذَا نَأْخُذُ يرْجُمُ اللُّوطِيَّ مُحْصَنًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مُحْصَنٍ
“Kami memegang pendapat ini, yaitu pelaku homoseks dirajam baik yang pernah menikah maupun yang belum pernah menikah” [Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar lil-Baihaqiy6/349; sanadnya shahih – dari Abu Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas : Telah mengkhabarkan kepada kami Ar-Rabii’, ia berkata : telah berkata Asy-Syaafi’iy : …..(al-atsar)…..].
حدثنا أبو محمد عبد الله بن العباس الطيالسي، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ الْكَوْسَجُ، قَالَ: قُلْتُ لأَحْمَدَ يَعْنِيَ ابْنَ حَنْبَلٍ: "اللُّوطِيُّ أُحْصِنَ أَوْ لَمْ يُحْصَنْ؟، قَالَ: يُرْجَمُ أُحْصِنَ أَوْ لَمْ يُحْصَنْ "، قَالَ إِسْحَاقُ يَعْنِي ابْنَ رَاهَوَيْهِ كَمَا قَالَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Al-‘Abbaas Ath-Thayaalisiy : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Manshuur Al-Kausaj, ia berkata : Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal : “Apa hukuman pelaku homoseks yang pernah menikah atau yang belum pernah menikah ?”. Ia menjawab : “Dirajam baik yang pernah menikah atau yang belum pernah menikah”. Ishaaq bin Rahawaih berkata sebagaimana yang dikatakan Ahmad [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Dzammul-Liwaath no. 51; shahih].
Al-Baajiy rahimahullah menukil:
قَالَ مَالِكٌ وَلَمْ نَزَلْ نَسْمَعُ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُمَا يُرْجَمَانِ أَحْصَنَا أَوْ لَمْ يُحْصِنَا
“Maalik berkata : Kami senantiasa mendengar dari kalangan ulama bahwa kedua pelaku homoseks dirajam, baik yang pernah menikah maupun yang belum pernah menikah” [Al-Muntaqaa’4/150].
c.      Dihukum bunuh dengan dilemparkan dari tempat/bangunan yang tertinggi.
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ مَعِينٍ، يَقُولُ: ثنا غَسَّانُ بْنُ مُضَرَ، ثنا سَعِيدُ بْنُ يَزِيدَ، قَالَ: قَالَ أَبُو نَضْرَةَ: سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ: "مَا حَدُّ اللُّوطِيِّ؟ قَالَ: يُنْظَرُ أَعْلَى بِنَاءٍ فِي الْقَرْيَةِ فَيُرْمَى بِهِ مُنَكَّسًا، ثُمَّ يُتْبَعُ الْحِجَارَةَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Muhammad, ia berkata : Aku mendengar Yahyaa bin Ma’iin berkata : Telah menceritakan kepada kami Ghassaan bin Mudlar : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Yaziid, ia berkata : Telah berkata Abu Nadlrah : Ibnu ‘Abbaas pernah ditanya : “Apa hadd pelaku homoseks (liwaath) ?”. Ia berkata : Dinaikkan ke bangunan paling tinggi di satu kampung/daerah, lalu dilemparkan dengan posisi terbalik (kepala di bawah kaki di atas). Setelah itu (jika belum mati), dilempar dengan batu (dirajam)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/232 (404) no. 17024; sanadnya shahih].
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah 9/529 (14/420) no. 28925 dari jalan Ghassaan bin Mudlar.
Catatan : Riwayat Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa ini lebih kuat daripada riwayat sebelumnya.
d.     Dihukum dengan ta’zir, bukan had.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، وَعَنْ سُفْيَانَ، عَنِ الشَّيْبَانِيِّ، عَنِ الْحَكَمِ فِي اللُّوطِيِّ: "يُضْرَبُ دُونَ الْحَدِّ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Manshuur, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy); dan dari Sufyaan, dari Asy-Syaibaaniy, dari Al-Hakam (bin ‘Utbah Al-Kindiy) tentang pelaku homoseks : “Dipukul yang bukan termasuk hukuman hadd"[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 28813; shahih].
Riwayat Ibraahiim di sini menyelisihi riwayat sebelumnya yang menyatakan hukuman pelaku homoseks adalah seperti hukuman bagi pezina. Kemungkinan memang ada dua pendapat yang ternukil darinya, namun saya belum mengetahui pendapat mana yang paling akhir darinya.
Ada beberapa riwayat dari kalangan shahabat seperti Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, dan Ibnuz-Zubair radliyallaahu ‘anhum dalam bahasan ini, namun kualitasnya lemah, wallaahu a’lam.
Adapun riwayat marfuu’ dari Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam yang menjelaskan tentang hukuman homoseks/liwaath, juga lemah.[2]
Tarjih
Yang raajih dalam hal ini – wallaahu a’lam - adalah pendapat kedua (b) dengan alasan:
a.     Allah ta’alatelah menyebutkan perilaku kaum Luuth dengan al-faahisyah, yaitu dengan alif lam ma’rifah. Artinya, perbuatan homoseks itu adalah diantara perbuatan penyimpangan yang paling keji diantara perbuatan-perbuatan keji yang ada.
b.     Qiyas antara homoseks dengan zina adalah qiyas terhadap sesuatu yang berbeda, karena homoseks lebih keji dibandingkan zina.
c.      Allah ta’ala mengadzab kaum Luuth dengan menimpakan batu kepada mereka dari langit, sebagaimana firman-Nya:
فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ * فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ * إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ
Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit.Maka Kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda[QS. Al-Hijr : 73-75].
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ * مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ
Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luuht itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang dhalim” [QS. Huud : 82-83].
d.     Para shahabat telah berijmaa’ akan dibunuhnya pelaku homoseks secara mutlak, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
وفى السنن عن النبى من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به ولهذا اتفق الصحابة على قتلهما جميعا لكن تنوعوا فى صفة القتل
“Dan dalam hadits-hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (dinyatakan) : ‘Barangsiapa yang engkau dapati melakukan perbuatan kaum Luuth, bunuhlah pelakunya dan orang yang dijadikan objeknya’. Oleh karena itu, para shahabat bersepakat untuk membunuh kedua-duanya, akan tetapi mereka berbeda-beda dalam sifat (cara) pembunuhannya” [Majmuu’ Fataawaa, 11/543].
Kesepakatan ini juga dinukil oleh Ibnu Qudaamah dalam Al-Mughniy (10/160-162) dan Ibnul-Qayyim dalam Al-Jawaabul-Kaafiy (hal. 240).
Kesepakatan ini membatalkan pendapat pertama – sehingga pengqiyasan terhadap zina termasuk qiyas rusak (faasid) - , dan juga pendapat keempat.
Pelaku homoseks memang pantas mendapatkan hukuman itu, apalagi mereka yang terang-terangan dan mengkampanyekannya. Mereka adalah kaum paling hina yang binatang ternak pun enggan meniru perbuatan mereka.
Wallaahul-musta’aan.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ - perumahan ciomas permai, ciapus, bogor – 16071435/16052014 – 01:40].




[1]     Yaitu : Belanda, Belgia, Spanyol, Kanada, Afrika Selatan, Norwegia, Swedia, Portugal, Islandia, Argentina, Denmark, Uruguai, Selandia Baru, dan Perancis [sumber : http://www.bbc.com/news/world-21321731].
[2]     Ada dua hadits pokok dalam bahasan ini, yaitu hadits Ibnu ‘Abbaas dan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhumaa.
Hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
Diriwayatkan dari beberapa jalan dari‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbaas:
a.      ‘Amru bin Abi ‘Amru.
Diriwayatkan oleh Ahmad 1/300, Abu Daawud no. 4462, At-Tirmidziy no. 1456, Ibnu Maajah no. 2561, Abu Ya’laa no. 2463, Ibnul-Jaaruud 3/120-121 no. 820, dan Al-Baihaqiy 8/231-232 (403) no. 17019; semuanya dari jalan ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad Ad-Daraawardiy dan Sulaimaan bin Bilaal, keduanyadari jalan ‘Amru bin Abi ‘Amru, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’ dengan lafadh:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ، وَالْمَفْعُولَ بِهِ "
Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luuth, maka bunuhlah keduanya (pelakunya dan juga orang yang dijadikan objek oleh pelakunya)”.
Diriwayatkan juga oleh ‘Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab 1/448 no. 573 dan Al-Haakim 4/351 dari jalan ‘Abdullah bin Ja’far, dari ‘Amru bin Abi ‘Amru, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’ dengan lafadh:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ، وَمَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَأْتِي بَهِيمَةً، فَاقْتُلُوهُ وَاقْتُلُوا الْبَهِيمَةَ مَعَهُ
Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luuth, maka bunuhlah keduanya (pelakunya dan juga orang yang dijadikan objek oleh pelakunya). Barangsiapa yang kalian dapati mendatangi binatang, maka bunuhlah ia dan bunuhlah pula binatang yang bersamanya”.
Diriwayatkan juga oleh Ibnul-A’raabiy dalam Mu’jam-nya no. 41 dari jalan Muhammad bin Ja’far, dari ‘Amru bin Abi ‘Amru, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’; dengan lafadh:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَاقْتُلُوهُ، وَاقْتُلُوا الْمَفْعُولَ بِهِ، وَمَنْ وَجَدْتُمُوهُ أَتَى بَهِيمَةً، فَاقْتُلُوهُ، وَاقْتُلُوا الْبَهِيمَةَ مَعَهُ
Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luuth, maka bunuhlah keduanya (pelakunya dan juga orang yang dijadikan objek oleh pelakunya). Dan barangsiapa yang kalian dapati mendatangi binatang, maka bunuhlah ia dan binatang yang bersamanya”.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 1/217 & 1/309 & 1/317, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 7297, ‘Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab 1/457 no. 587, Abu Ya’laa no. 2539, Al-Aajurriy dalam Dzammul-Liwaath no. 14-15 Ibnu Hibbaan no. 4417, Al-Haakim 4/352, Al-Baihaqiy 8/231 (402-403) no. 17017; dari beberapa jalan (Muhammad bin Ishaaq, Zuhair bin Mu’aawiyyah, ‘Abdurrahmaan bin Abi Zinaad, ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad, dan Sulaimaan bin Bilaal), semuanya dari jalan ‘Amru bin Abi ‘Amru, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’ dengan lafadh pelaknatan:
مَلْعُونٌ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ، مَلْعُونٌ مَنْ سَبَّ أُمَّهُ، مَلْعُونٌ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ، مَلْعُونٌ مَنْ غَيَّرَ تُخُومَ الأَرْضِ، مَلْعُونٌ مَنْ كَمَهَ أَعْمَى عَنْ طَرِيقٍ، مَلْعُونٌ مَنْ وَقَعَ عَلَى بَهِيمَةٍ، مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ بِعَمَلِ قَوْمِ لُوطٍ
Terlaknat orang yang memaki ayahnya. Terlaknat orang yang memaki ibunya. Terlaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Terlaknat orang yang mengubah tanda batas tanah. Terlaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan. Terlaknat orang yang menyetubuhi binatang. Terlaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luuth”.
Sanadnya lemah karena faktor ‘Amru bin Abi ‘Amru . Ia seorang yang shaduuq hasanul-hadiits, hanya saja haditsnya dari ‘Ikrimah mendapat kritikan para ulama [Tahriirut-Taqriib, 3/102-103 no. 5083].
Al-Bukhaariy berkata: “’Amru bin Abi ‘Amru seorang yang shaduuq, akan tetapi ia meriwayatkan dari ‘Ikrimah hadits-hadits munkar. Ia tidak menyebutkan dari hal tersebut bahwasannya ia pernah mendengar dari ‘Ikrimah” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, hal. 236].
Ahmad berkata : “Semua haditsnya dari ‘Ikrimah adalah mudltharib” – akan tetapi ia menisbatkan idlthiraab tersebut pada ‘Ikrimah, bukan pada ‘Amru” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/798].
b.      Daawud bin Al-Hushain.
Diriwayatkan oleh Ahmad 1/300, ‘Abdurrazzaaq no. 13492, dan Al-Baihaqiy 8/232 (404) no. 17022 dan dari dua jalan (Ibraahiim bin Muhammad bin Abi Yahyaa dan Ibnu Abi Habiibah), dari Daawud bin Hushain, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’dengan lafadh:
اقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ، فِي عَمَلِ قَوْمِ لُوطٍ، وَالْبَهِيمَةَ وَالْوَاقِعَ عَلَى الْبَهِيمَةِ، وَمَنْ وَقَعَ عَلَى ذَاتِ مَحْرَمٍ، فَاقْتُلُوهُ "
Bunuhlah keduanya (pelakunya dan juga orang yang dijadikan objek oleh pelakunya) yang melakukan perbuatan kaum Luuth, serta orang yang menyetubuhi binatang dan binatangnya. Barangsiapa yang menyetubuhi mahramnya, bunuhlah ia” [lafadh milik Ahmad].
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy 8/232 (403) no. 17021 dari jalan Ishaaq bin Muhammad Al-Farwiy, dari dari Ibnu Abi Habiibah, dari Daawud bin Hushain, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’ dengan lafadh:
مَنْ وَقَعَ عَلَى الرَّجُلِ فَاقْتُلُوهُ، يَعْنِي قَوْمَ لُوطٍ
Barangsiapa yang menyetubuhi laki-laki, maka bunuhlah ia– yaitu melakukan perbuatan kaum Luuth”.
Sanadnya sangat lemah karena faktor:
b.1.     Ibnu Abi Habiibah, seorang yang lemah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 104 no. 147].
b.2.     Daawud bin Hushain. ‘Aliy bin Al-Madiiniy dan Abu Daawud mengatakan bahwa riwayatnya dari ‘Ikrimah adalah munkar.
c.      ‘Abbaad bin Manshuur.
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 8/232 (403) no. 17020 dari jalan ‘Abdullah bin Bakr As-Sahmiy dari ‘Abbaad bin Manshuur, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’ dengan lafadh:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، وَفِي الَّذِي يُؤْتَى فِي نَفْسِهِ، وَفِي الَّذِي يَقَعُ عَلَى ذَاتِ مَحْرَمٍ، وَفِي الَّذِي يَأْتِي الْبَهِيمَةَ، قَالَ: يُقْتَلُ "
Dari Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang melakukan perbuatan kaum Luuth dan orang yang didatangi (objek pelaku homoseksual), orang yang menyetubuhi mahramnya, serta orang yang mendatangi binatang, beliau bersabda : “Dibunuh”.
Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’no. 4495 dari jalan Abu Bakr bin Khalaad, dari Al-Haarits bin Abi Usaamah, dari ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’, dari ‘Abbaad bin Manshuur, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’; dengan lafadh:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَأْتِي الْبَهِيمَةَ: "اقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ "
Dari Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang mendatangi binatang : “Bunuhlah orang yang melakukan dan binatang yang dijadikan objeknya”.
Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Dzammul-Hawaa no. 583 dari dua jalan (‘Iisaa bin Syu’aib dan ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’), keduanya dari ‘Abbaad bin Manshuur, dari dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’; dengan lafadh:
اقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
Bunuhlah orang yang melakukan dan orang yang didatangi (objek pelaku homoseks)”.
‘Ikrimah dalam sanad ini digugurkan. Namun demikian dapat dipastikan bahwa perantara ‘Abbaad bin Manshuur dengan Ibnu ‘Abbaas adalah ‘Ikrimah.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 1/300 dari jalan ‘Abdul-Wahhaab, dari ‘Abbaad bin Manshuur, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas secara mauquuf dengan lafadh:
أَنَّهُ قَالَ فِي الَّذِي يَأْتِي الْبَهِيمَةَ: اقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Bahwasannya ia (Ibnu ‘Abbaas) berkata tentang orang yang mendatangi binatang : ‘Bunuhlah keduanya (pelakunya dan juga binatangnya)”.
Sanadnyasangat lemah, karena ‘Abbaad bin Manshuur seorang yang shaduuq, namun sering melakukan tadlis dan berubah hapalannya di akhir usianya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 482 no. 3159]. Di sini ia meriwayatkan dengan ‘an’anah.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Sesungguhnya hadits-hadits ‘Abbaad bin Manshuur dari ‘Ikrimah, hanyalah ia dengar melalui perantaraan Ibraahiim bin Abi Yahyaa, dari Daawud, dari ‘Ikrimah. Ia melakukan tadlis dengan menggugurkan dua orang” [At-Talkhiishul-Habiir, 4/55].
Ibraahiim bin Abi Yahyaa seorang yang matruuk [Taqriibut-Tahdziib, hal. 115 no. 243]. Adapun Daawud bin Al-Hushain, seorang yang tsiqah, kecuali riwayatnya dari ‘Ikrimah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 305 no. 1789].
d.      Ibnu Juraij.
Diriwayatkan oleh Al-Kharaithiy dalam Masaawiul-Akhlaaq no. 436 & 568 dari jalan ‘Aliy bin Daawud Al-Qanthariy, dari ‘Abdullah bin Shaalih, dari Yahyaa bin Ayyuub, dari Ibnu Juraij, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’ dengan lafadh:
اقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ، وَالَّذِي يَأْتِي الْبَهِيمَةَ، وَالَّذِي يَأْتِي كُلَّ ذَاتِ مَحْرَمٍ
Bunuhlah orang yang melakukan dan orang yang didatangi (objek pelaku homoseks), orang yang mendatangi binatang, serta orang yang mendatangi mahramnya”.
Sanadnya lemah karena keterputusan antara Ibnu Juraij dengan ‘Ikrimah.
Hadits Ibnu ‘Abbaas yang menjelaskan tentang hukuman pelaku homoseks lemah.
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
Diriwayatkan dari dua jalan:
a.      Dari Suhail bin Abi Shaalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’.
Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2562, Abu Ya’laa no. 6687, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 3833, Al-Aajurriy dalam Dzammul-Liwaath no. 28 & 31, Al-Kharaaithiy dalam Masaawiul-Akhlaaq no. 434, Al-Haakim 4/351, dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 48/461; dari beberapa jalan (‘Aashim bin ‘Umar, ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dan Al-Qaasim bin ‘Abdillah), semuanya dari Suhail bin Abi Shaalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’ dengan lafadh:
الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَارْجُمُوا الأَعْلَى وَالأَسْفَلَ، ارْجُمُوهُمَا جَمِيعًا
Orang yang melakukan perbuatan kaum Luuth, rajamlah orang yang berada di atas dan yang di bawah. Rajamlah keduanya bersama-sama [lafadh milik Abu Ya’laa].
Sanadnya lemah atau sangat lemah karena faktor:
a.1.     Suhail bin Abi Shaalih, seorang yang shaduuq, namun berubah hapalannya di akhir usianya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 421 no. 2690].
a.2.     ‘Aashim bin ‘Umar, seorang yang lemah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 472-473 no. 3085]. Bahkan Al-Bukhaariy berkata : “Munkarul-hadiits”. An-Nasaa’iy berkata : “Matruukul-hadiits”. Ibnu Hibbaan : “Munkarul-hadiits jiddan”. Ibnul-Jaaruud : “Haditsnya bukan hujjah” [Tahdziibut-Tahdziib, 5/52].
a.3.     ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdillah bin ‘Umar, seorang yang matruuk [Taqriibut-Tahdziib, hal. 586 no. 3947].
a.4.     Al-Qaasim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, seorang yang matruuk– Ahmad menuduhnya berdusta [Taqriibut-Tahdziib, hal. 792 no. 5503].
b.      Dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 8497, Al-Kharaaithiy dalam Masaawiul-Akhlaaq no. 432, dan Al-Haakim 4/352, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 5089; dari dua jalan (Haaruun bin Haaruun At-Taimiy dan Muharrar bin Haaruun At-Taimiy), keduanya dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’ dengan lafadh pelaknatan.
Sanadnya lemah karena faktor:
b.1.     Haaruun bin Haaruun At-Taimiy, seorang yang lemah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1016 no. 7296].
b.2.     Muharrar bin Haaruun At-Taimiy, seorang yang matruuk [Taqriibut-Tahdziib, hal. 923no. 6541].
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu yang menjelaskan tentang hukuman pelaku homoseks sangat lemah.
Hadits Ibnu ‘Abbaas dan hadits Abu Hurairah tidak bisa saling menguatkan sehingga tetap dalam kelemahannya.

Gelar Khalifah Tidak Dipakai Setelah Wafatnya Abu Bakr?

$
0
0
Tanya : Beredar fatwa yang menyebutkan bahwa gelar khalifah tidak lagi digunakan setelah Abu Bakr wafat, dan gelar yang ada kemudian adalah Amiirul-Mukminiin ?. Benarkah demikian ?
Jawab : Hal itu tidak benar, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ، وَالسَّمْعِ، وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Orang yang hidup di antara kalian (sepeninggalku nanti) akan menjumpai banyak perselisihan. Waspadailah hal-hal yang baru, karena semua itu adalah kesesatan. Barangsiapa yang menjumpainya, maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaa’ Ar-Raasyidiin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2676, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”[1]].
Kata khulafaa’ adalah bentuk plural dari khaliifah. Dalam hadits tersebut Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebut para pengganti beliau sebagai al-khulafaa’ur-raasyiduun, dan telah ma’ruf bahwa maksudnya adalah Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum.
Begitu juga dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ، وَمَنْ أَطَاعَ الْخَلِيفَةَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى الْخَلِيفَةَ فَقَدْ عَصَانِي
Barangsiapa yang mentaatiku, sungguh ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang mendurhakaiku, sungguh ia telahmendurhakai Allah. Barangsiapa yang mentaati khaliifah, sungguh ia telah mentaatiku. Dan barangsiapa yang mendurhakai khaliifah, sungguh ia telah mendurhakaiku” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhrajno. 7094; sanadnya shahih].
Dalam Shahiihain, kata khaliifah disebutkan dengan kata amiir. Artinya, amir atau khaliifah ini dua-duanya bisa dipakai untuk menyebut pemimpin sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Para shahabat dan orang-orang setelahnya pun menyebut para pemimpin pengganti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sebutan khaliifah.
Diantaranya perkataan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu:
إِنِّي لَا أَعْلَمُ أَحَدًا أَحَقَّ بِهَذَا الْأَمْرِ مِنْ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ الَّذِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَنْهُمْ رَاضٍ، فَمَنِ اسْتَخْلَفُوا بَعْدِي فَهُوَ الْخَلِيفَةُ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا، فَسَمَّى عُثْمَانَ، وَعَلِيًّا، وَطَلْحَةَ، وَالزُّبَيْرَ، وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ، وَسَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ
“Sesungguhnya aku tidak mengetahui seseorang yang lebih berhak pada perkara ini daripada mereka, yaitu orang-orang yang ketika beliau meninggal maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meridhai mereka. Barangsiapa yang menggantikan aku setelahku, dialah khalifah. Dengar dan taatilah ia” Lalu ia (‘Umar) menyebut nama 'Utsmaan, 'Aliy, Thalhah, Az-Zubair, 'Abdurrahmaan bin ‘Auf, dan Sa’d bin Abi Waqqaash [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1392].
Juga beberapa riwayat dari salaf diantaranya:
حَدَّثَنَا أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ، ثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ مُوسَى الضَّرَّابُ، ثَنَا عَقِيلُ بْنُ يَحْيَى، ثَنَا أَبُو دَاوُدَ، ثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ حَارِثَةَ بْنَ مُضَرِّبٍ، يَقُولُ: "حَجَجْتُ فِي خِلافَةِ عُمَرَ، فَلَمْ يَشُكَّ النَّاسُ أَنَّ الْخَلِيفَةَ بَعْدَ عُمَرَ، عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا "
Telah menceritakan kepada kami ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahmaan bin Al-Hasan bin Muusaa Adl-Dlarraab : Telah menceritakan kepada kami 'Aqiil bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud : Telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Ishaaq, ia berkata : Aku mendengar Haarits bin Mudlarrib berkata : "Aku pernah menunaikan haji di masa kekhilafahan 'Umar. Orang-orang tidak ragu bahwa khaliifah setelah 'Umar adalah 'Utsmaan radliyallaahu 'anhumaa" [Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Fadlaailu Khulafaair-Raasyidiin no. 216; shahih].
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَحْبُوبٌ يَعْنِي ابْنَ مُوسَى، قَالَ: أَنْبَأَنَا أَبُو إِسْحَاق هُوَ الْفَزَارِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ الْحَسَنَ بْنَ مُحَمَّدٍ، عَنْ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ.......... وَقَالَ قَائِلٌ: سَهْمُ ذِي الْقُرْبَى لِقَرَابَةِ الْخَلِيفَةِ، فَاجْتَمَعَ رَأْيُهُمْ عَلَى أَنْ جَعَلُوا هَذَيْنِ السَّهْمَيْنِ فِي الْخَيْلِ، وَالْعُدَّةِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَكَانَا فِي ذَلِكَ خِلَافَةَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Amru bin Yahyaa bin Al-Haarits, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mahbuub bin Muusaa, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Abu Ishaaq Al-Fazaariy, dari Sufyaan, dari Qais bin Muslim, ia berkata : Aku bertanya kepada Al-Hasan bin Muhammad tentang firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah’ (QS. Al-Anfaal : 41), ia berkata : “………..Seseorang berkata : saham/bagian kaum kerabat adalah untuk kerabat khalifah, kemudian pendapat mereka bersepakat untuk menjadikan dua saham ini untuk kuda dan perlengkapan perang di jalan Alloh. Kedua hal itu terjadi pada masa Abu Bakr dan Umar” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 4098; sanadnya shahih hingga Al-Hasan bin Muhammad, dan ia merupakan anak Muhammad bin Al-Hanafiyyah].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ - perumahan ciomas permai, ciapus, bogor – 18071435/18052014 – 01:00].

Hukum Makan Bawang Putih, Bawang Merah, atau Bawang Bakung

$
0
0
Pertanyaan: “Apa hukumnya makan bawang putih, bawang merah, atau bawang bakung ?. Apakah ia makruh atau haram karena menimbulkan bau tak sedap ?”.
Jawab : Para ulama menjelaskan bahwa makan bawang putih, bawang merah, atau bawang bakung diperbolehkan. Para ulama sepakat tentangnya. Ia hanya dimakruhkan dikarenakanfaktor baunya yang tidak enak sehingga dapat mengganggu manusia. Bukan pada dzatnya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى زَرَّاعَةِ بَصَلٍ، هُوَ وَأَصْحَابُهُ، فَنَزَلَ نَاسٌ مِنْهُمْ، فَأَكَلُوا مِنْهُ وَلَمْ يَأْكُلْ آخَرُونَ، فَرُحْنَا إِلَيْهِ، فَدَعَا الَّذِينَ لَمْ يَأْكُلُوا الْبَصَلَ، وَأَخَّرَ الآخَرِينَ، حَتَّى ذَهَبَ رِيحُهَا "
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat pernah melewati petani bawang merah. Lalu sebagian orang dari mereka turun memakan sebagian darinya, namun sekelompok yang lain tidak memakannya. Lalu kami pergi kepada beliau. Maka beliau memanggil orang yang tidak memakannya, dan mengakhirkan yang lainnya (yang memakannya) hingga hilang baunya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 566].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسَاجِدَنَا، حَتَّى يَذْهَبَ رِيحُهَا، يَعْنِي الثُّومَ "
Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasnanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang memakan sayuran ini, maka janganlah mendekati masjid kami hingga hilang baunya” – yaitu bawang putih [Diriwayatkan oleh Muslim no. 561].
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ أَكَلَ مِنْهُ، وَبَعَثَ بِفَضْلِهِ إِلَيَّ وَإِنَّهُ بَعَثَ إِلَيَّ يَوْمًا بِفَضْلَةٍ لَمْ يَأْكُلْ مِنْهَا، لِأَنَّ فِيهَا ثُومًا فَسَأَلْتُهُ أَحَرَامٌ هُوَ ؟، قَالَ: "لَا وَلَكِنِّي أَكْرَهُهُ مِنْ أَجْلِ رِيحِهِ "، قَالَ: فَإِنِّي أَكْرَهُ مَا كَرِهْتَ
Dari Abu Ayyuub Al-Anshaariy, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila diberikan makanan, beliau makan, dan memberikan selebihnya sisanya. Suatu hari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan makanan kepadaku tanpa beliau makan karena padanya terdapat bawang putih. Lalu aku bertanya kepada beliau : “Apakah ia diharamkan ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Tidak, akan tetapi aku membencinya dikarenakan faktor baunya”. Ia (Abu Ayyuub) berkata : “Sesungguhnya aku membenci apa yang engkau benci” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2053].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
قَوْله فِي الثُّوم : ( فَسَأَلْته أَحَرَام هُوَ ؟ قَالَ : لَا وَلَكِنِّي أَكْرَههُ مِنْ أَجْل رِيحه )
هَذَا تَصْرِيح بِإِبَاحَةِ الثُّوم ، وَهُوَ مُجْمَع عَلَيْهِ ، لَكِنْ يُكْرَه لِمَنْ أَرَادَ حُضُور الْمَسْجِد ، أَوْ حُضُور جَمْع فِي غَيْر الْمَسْجِد ، أَوْ مُخَاطَبَة الْكِبَار ، وَيَلْحَق بِالثُّومِ كُلّ مَا لَهُ رَائِحَة كَرِيهَة
“Perkataannya tentang bawang putih : “Lalu aku bertanya kepada beliau : ‘Apakah ia diharamkan ?’. Beliau menjawab : ‘Tidak, akan tetapi aku membencinya dikarenakan faktor baunya” ; maka ini merupakan penjelasan tentang bolehnya (memakan) bawang putih. Hal tersebut telah disepakati. Akan tetapi dibenci bagi orang yang hendak hadir di masjid, atau hadir di perkumpulan di tempat selain masjid, atau pembicaraan dengan orang-orang tua. Dan disertakan dengan bawang putih ini semua makanan yang mempunyai bau busuk” [Syarh Shahiih Muslim, 7/118].
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: "نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْبَصَلِ، وَالْكُرَّاثِ، فَغَلَبَتْنَا الْحَاجَةُ فَأَكَلْنَا مِنْهَا، فَقَالَ: مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الإِنْسُ "
Dari Jaabir, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan bawang merah dan bawang bakung. Lalu ada satu keperluan yang menyebabkan kami memakannya. Beliau bersabda : “Barangsiapa yang memakan tanaman yang busuk baunya ini, maka janganlah mendekati masjid kami. Karena malaikat rahmat merasa terganggu sebagaimana manusia merasa terganggu (oleh bau busuknya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 563].
Ibnu Qudaamah rahimahullahberkata:
وَيُكْرَهُ أَكْلُ الْبَصَلِ ، وَالثُّومِ وَالْكُرَّاثِ ، وَالْفُجْلِ ، وَكُلِّ ذِي رَائِحَةٍ كَرِيهَةٍ ، مِنْ أَجْلِ رَائِحَتِهِ ، سَوَاءٌ أَرَادَ دُخُولَ الْمَسْجِدِ أَوْ لَمْ يُرِدْ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ { : إنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ النَّاسُ } رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ
“Dan dimakruhkan memakan bawang putih, bawang bakung, lobak, dan semua hal yang mempunyai bau busuk, dengan sebab baunya tersebut. Sama saja apakah ia hendak masuk ke masjid atau tidak, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya malaikat rahmat merasa terganggu sebagaimana manusia merasa terganggu (oleh bau busuknya)'. Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah” [Al-Mughniy, 11/88].
Akan tetapi jika baunya sudah hilang – dengan dimasak atau yang lainnya - , maka tidak mengapa memakannya, karena ‘illat kemakruhannya telah hilang.
عَنْ مَعْدَانَ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، خَطَبَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَذَكَرَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَكَرَ أَبَا بَكْرٍ، قَالَ: ........ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ، لَا أَرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا، الْبَصَلَ، وَالثُّومَ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنَ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ، أَمَرَ بِهِ، فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ، فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا
Dari Ma’daan bin Abi Thalhah : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab pernah berkhuthbah pada hari Jum’at. Lalu ia menyebutkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan menyebutkan pula Abu Bakr. Ia berkata : “……Kemudian sesungguhnya kalian, wahai sekalian manusia, memakan dua jenis tanaman yang aku tidak memandangnya kecuali ia merupakan jenis tanaman yang buruk, yaitu : bawang merah dan bawang putih. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila mendapati baunya pada diri seorang laki-laki di masjid, maka beliau memerintahkan orang tersebut dikeluarkan ke Baqii’. Barangsiapa yang ingin memakannya, hendaklalah baunya dihilangkan dengan memasaknya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 567].
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ إِلَيْهِ بِطَعَامٍ مِنْ خَضِرَةٍ فِيهِ بَصَلٌ أَوْ كُرَّاثٌ، فَلَمْ يَرَ فِيهِ أَثَرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْكُلَ؟ "، فَقَالَ: لَمْ أَرَ أَثَرَكَ فِيهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَسْتَحِي مِنْ مَلائِكَةِ اللَّهِ، وَلَيْسَ بِمُحَرَّمٍ "
Dari Abu Ayyuub Al-Anshaariy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa slalam pernah mengiriminya makanan dari sayuran yang di dalamnya terdapat bawang merah atau bawang bakung, namun ia tidak melihat bekas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (memakannya), sehingga ia enggan untuk memakannya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apa yang menghalangimu untuk memakannya ?”. Ia menjawab : “Aku tidak melihat bekasmu padanya wahai Rasulullah”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku malu kepada malaikat, namun makanan itu tidak haram” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 3/85-86 no. 1670, Ibnu Hibbaan 5/445-446 no. 2092, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 4/157 no. 3996; shahih].
Hadits Abu Ayyuub ini merupakan lafadh lain dari hadits Abu Ayyuub yang telah dibawakan di atas. Ibnu Hibbaan memasukkan hadits di atas dalam bab orang yang makan bawang yang telah dimasak diperbolehkan mendatangi jama’ah (karena telah hilang baunya) [Shahiih Ibni Hibbaan, 5/445]. Ibnu Khuzaimah menjelaskan bahwa hadits Abu Ayyuub ini merupakan pengkhususan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan memakan bawang putih, bawang merang, dan bawang bakung yang telah dimasak [Shahiih Ibni Khuzaimah, 3/85].
Jika seseorang memakan bawang merah, bawang putih, atau bawang bakung dan kemudian setelahnya ia dapat menghilangkan bau mulutnya dengan cara menggosok gigi atau berkumur-kumur dengan mouthwash, maka ini juga tidak mengapa.
Wallaahu a’lam.
Semoga uraian ini dapat menjawab pertanyaan.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 21071435/20052014 – 23:50].

Apakah Seorang Muslim Wajib Taat kepada Penguasa yang Berkuasa di Daerah Lain ?

$
0
0
Pertanyaan : “Apakah seorang muslim mempunyai kewajiban taat kepada penguasa di daerah lain sehingga hukum-hukum kewajiban mendengar dan taat mengikat keduanya ?. Dan bolehkah kita mengkritik dan mencela penguasa lain daerah/negara secara terang-terangan ?”.
Jawab : Nash-nash yang berkaitan dengan mendengar dan taat hanyalah berlaku antara seorang muslim kepada pemimpin/imam/waliyul-amri yang menguasai negara tempat ia berada. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Dari ‘Abdullah (bin ‘Umar) radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai dan yang ia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat (pada perintah maksiat tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7144].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata:
وأما بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد أطرافه فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان وف يالقطر الآخر أو الأقطار كذلك ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر وأقطاره التي رجعت إلى ولايته فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره ونواهيه وكذلك صاحب القطر الآخر فإذا قام من ينازعه في القطر الذي قد ثبتت فيه ولايته وبايعه أهله كان الحكم فيه أن يقتل إذا لم يتب ولا تجب على أهل القطر الآخر طاعته ولا الدخول تحت ولايته لتباعد الأقطار
“Adapun setelah tersebarnya Islam dan luasnya dunia Islam serta tempat-tempat saling berjauhan; maka telah dimaklumi bahwa setiap daerah/negara membutuhkan seorang imam atau sulthan dan mereka (penduduknya) tidak perlu melaksanakan perintah dan larangan (peraturan-peraturan) yang berlaku di daerah/negara lain. Maka berbilangnya imam dan penguasa (yang berlainan daerah kekuasaannya) adalah tidak apa-apa. Setelah dibaiatnya seorang imam, maka wajib bagi setiap orang yang berada di bawah daerah kekuasaannya untuk mentaatinya, yaitu dengan melaksanakan perintah dan larangan-larangannya. Seperti itu pula negara-negara yang lainnya. Apabila ada orang yang menentang/menyelisihi (imam/sulthan) di dalam suatu negara yang kekuasaan telah dipegangnya dan penduduk telah membaiatnya, maka hukuman bagi orang tersebut adalah dibunuh bila tidak mau bertaubat. Akan tetapi tidak wajib bagi penduduk negara lainnya untuk mentaatinya dan masuk di bawah kekuasannya; karena saling berjauhan kekuasannya” [As-Sailul-Jaraar, 4/512].
Secara akal, tidak mungkin ketaatan akan diberikan kepada banyak penguasa yang mempunyai kebijakan yang berlainan.
عَن ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً "
Dari Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang membenci sesuatu dari amir (pemimpin)-nya (yang sah), hendaknya ia bersabar. Karena barangsiapa yang keluar ketaatan dari sulthan meskipun hanya sejengkal, kemudian mati, maka matinya itu seperti mati dalam keadaan jahiliyyah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7053 dan Muslim no. 1849].
Dlamir ‘hu’ pada kata ‘amirnya (amiirihi)’ kembali pada pemimpin negara tempat ia tinggal.
Bahkan salaf dulu juga membedakan ketaatan di antara gubernur-gubernur yang mempunyai wilayah berlainan meskipun masih di bawah satu negara.
Al-Bukhaariy rahimahullah menyebutkan riwayat dari 'Aun As-Sahmiy :
أتيت أَبَا أمامة، فَقَالَ: لا تسبوا الحجاج فإنه عليك أمير وَلَيْسَ عَلِيّ بأمير
Aku pernah mendatangi Abu Umaamah, lalu ia berkata : "Janganlah engkau mencela Al-Hajjaaj, karena ia adalah pemimpinmu - namun ia bukan pemimpinku" [At-Taariikh Al-Kabiir, 7/18 no. 83].
Diriwayatkan pula dari jalan yang lain oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 12/161-162.
Disebutkan juga oleh Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/387. Disebutkan dengan sanad bersambung
Perkataan Abu Umaamah bahwa Al-Hajjaaj bukan pemimpinnya, karena ia (Abu Umaamah) penduduk Syaam, sedangkan Al-Hajjaaj penguasa di 'Iraaq – yang dua wilayah itu masih dalam kekuasaan pemerintahan Bani Umayyah.
Atau jika kita qiyaskan dalam ranah kontemporer, gubernur/bupati yang berkuasa di suatu propinsi/kabupaten bukanlah pemimpin yang wajib ditaati perintah dan larangannya bagi penduduk yang ada di propinsi/kabupaten lain. Aturan yang wajib ditaati oleh seseorang adalah aturan yang eksis di tempat ia tinggal.
Kemudian,…. harus dibedakan antara mencela dan mengkritik. Mencela itu asalnya dilarang, apakah yang dicela itu pemimpin atau bukan pemimpin (rakyat).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سِباب الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Mencela/mencaci seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6044 dan Muslim no. 64].
Adapun kritikan, hakekatnya ia adalah nasihat. Kritikansecara terang-terangan, kebolehannya kembali kepada maslahat dan mafsadat – sebagaimana kaedah yang berlaku umum. Jika dipandang kritik secara terang-terangan itu mempunyai maslahat, hendaklah ia lakukan. Jika tidak, maka kebalikannya.
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6018].
Tentang pengkhususan nasihat secara sembunyi-sembunyi sebagaimana tertera dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan. Akan tetapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima, memang itulah yang diharapkan; namun jika tidak, maka orang tersebut telah melaksakan kewajibannya
itu berlaku pada penguasa di negeri tempat seseorang tinggal, bukan penguasa lain negeri - karena konteks hadits itu seperti hadits-hadits lainnya, yaitu diperuntukkan dalam muamalah seorang muslim kepada penguasa negerinya.
Wallaahu a’lam.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 25052014 – 17:50].

Menghadiri Shalat Jum'at (Hanya) untuk Mengawasi Khathib yang Bicara

$
0
0
Hanya karena berebut kekuasaan, tindakan abnormal pun dilakukan. Perintahkan shalat Jum'at untuk mengawasi khathib yang bicara. 


Ta’lil Lafadh dalam Hadits Jilatan Anjing

$
0
0
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ، فَلْيُرِقْهُ، ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
Apabila seekor anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian, hendaklah ia buang terlebih dahulu, kemudian ia cuci sebanyak tujuh kali”.
Dalam lafadh lain disebutkan dengan : ‘falyuhriqhu’ (فَلْيُهْرِقْهُ).
Diriwayatkan oleh Muslim no. 279 (89), An-Nasaa’iy no. 66 & 335, Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj 1/176-177 no. 538, Ibnu Khuzaimah 1/51 no. 98, Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa (Al-Ghautsul-Makduud) 1/57 no. 51, Al-Muzanniy dalam Az-Ziyaadah no. 12, Ad-Daaraquthniy no. 182,Ibnu Hibbaan no. 1296, Al-Baihaqiy dalam Ash-Shughraa1/238-240 no. 177-178 & Al-Kubraa 1/18 (21) no. 60 & 1/239 (365) no. 1140 & 1/256 (388) no. 1209, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/334 no. 643, Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 1/121, dan Ibnul-Jauziy dalam At-Tahqiiq no. 55; semuanya dari jalan ‘Aliy bin Mus-hir[1]: Telah mengkhabarkan kepada kami Al-A’masy[2], dari Abu Raziin[3]dan Abu Shaalih[4], dari Abu Hurairah : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “......(al-hadits).....”.
‘Aliy bin Mus-hir diselisihi oleh:
a.     Ismaa’iil bin Zakariyyaa[5]; sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim no. 279 (89), Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/334 no. 643
b.     Abu Mu’aawiyyah[6]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 2/253-254 (12/415) no. 7447 & 2/424 (15/290-291) no. 9483, Ibnu Maajah no. 363, Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 1/284 no. 257, Ibnu Abi Syaibah 1/173 (2/228-229) no. 1839, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 18/266
c.      Syu’bah bin Al-Hajjaaj[7]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad Ahmad 2/480 (16/164) no. 10221, Ath-Thayaalisiy no. 2539, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/21 no. 63, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 18/267.
d.     ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad[8], sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy no. 181
e.     Jariir bin ‘Abdil-Hamiid[9]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 1/283 no. 256
f.      Abu Usaamah[10]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah & 14/204 (20/124) no. 37396
g.     Hafsh bin Ghiyaats[11]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/21 no. 64,
h.     ‘Abdurrahmaan bin Humaid Ar-Ruaasiy[12]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir (Ar-Raudlud-Daaniy) 1/164 no. 256
i.       Abaan bin Taghlib[13]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir (Ar-Raudlud-Daaniy)2/149 no. 942 dan dalam Al-Ausath 7/331 no. 7644
yang semuanya meriwayatkan dari Al-A’masy, dari Abu Raziin dan Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpatambahan ‘falyuriqhu’ atau ‘falyuhriqhu’.
Begitu juga dengan Suhail bin Abi Shaalih[14]yang meriwayatkan dari ayahnya (Abu Shaalih), dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamtanpa tambahan lafadh; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj 1/178 no. 546 dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 18/263.
Diselisihi juga oleh ash-haab Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu lain yang tidak meriwayatkan dengan tambahan lafadh, yaitu:
a.     Al-A’raj (‘Abdurrahmaan bin Hurmuz)[15].
Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 1/270-271 no. 69, Ahmad 2/245 (12/300-301) no. 7346-7347, Al-Bukhaariy no. 172, Muslim no. 279 (90), An-Nasaa’iy no. 63, Ibnu Maajah no. 364, Al-Humaidiy dalam Musnad-nya 2/195 no. 997, Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/17, Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj 1/176 no. 536-537, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 8/523, Ibnu Khuzaimah 1/51 no. 96, Ad-Daaraquthniy no. 193-195, Ibnu Hibbaan no. 1294, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/240 (365) no. 1141, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/334 no. 644
b.     Muhammad bin Siiriin[16].
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/265 (13/45) no. 7604 & 2/427 (15/314) no. 9511 & 2/508 (16/350) no. 10595, Muslim no. 279 (91), Abu Daawud no. 71 & 73, At-Tirmidziy 1/134 no. 91, An-Nasaa’iy no. 339, ‘Abdurrazzaaq 1/96 no. 330-331, Al-Humaidiy dalam Musnad-nya 2/195 no. 998, Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/17, Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj 1/177 no. 539-542, Ibnu Abi Syaibah 1/173 (2/229) no. 1840 & 14/203-204 (20/124) no. 37395, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/21 no. 65-67, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 3/293 & 4/377 & 8/175-176, Ath-Thuusiy dalam Al-Mukhtashar no. 72,Ibnu Khuzaimah 1/50-51 no. 95 & 97, Ad-Daaraquthniy no. 185-189, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 1/290 no. 946 & 2/84 no. 1326, Ibnu Hibbaan no. 1297, Al-Haakim 1/160-161, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/240-241 (366-367) no. 1143-1147 & 1/247 (374) no. 1168-1169 & 1/248 (375) no. 1172, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 2/73-74 no. 289, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/334 no. 645, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 1/121& 1/126.
c.      Hammaam bin Munabbih[17].
Diriwayatkan oleh Muslim no. 279 (92), Ahmad 2/314 (13/491) no. 8148, ‘Abdurrazzaaq 1/96 no. 329, Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj 1/177 no. 543, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 229, Ibnu Hibbaan no. 1295, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/240 (365-366) no. 1142, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/335 no. 646
d.     Tsaabit bin ‘Iyaadl Al-Ahnaf[18].
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/271 (13/104) no. 7672, An-Nasaa’iy no. 64,‘Abdurrazzaaq 1/97 no. 335
e.     Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan[19].
Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 65, ‘Abdurrazzaaq 1/97 no. 335
f.      Abu Raafi’[20].
Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 338, Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 1/121 no. 39, Ad-Daaraquthniy no. 190,Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/241 (367) no. 1148,
g.     ‘Abdurrahmaan bin Abi ‘Amrah[21].
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/360 (14/340) no. 8725 & 2/482 (16/177-178) no. 10252,
h.     ‘Ubaid bin Hunain[22].
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/398 (15/89) no. 9169,
i.       Al-Hasan Al-Bashriy[23].
Diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy no. 184
j.      ‘Abdurrahmaan bin Abi Kariimah As-Suddiy[24].
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 8/356
k.     ‘Iyaadl bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Dzubaab (paman Al-Haarits bin ‘Abdirrahmaan).
Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 6678.
An-Nasaa’iy berkata :
لَا أَعْلَمُ أَحَدًا تَابَعَ عَلِيَّ بْنَ مُسْهِرٍ عَلَى قَوْلِهِ فَلْيُرِقْهُ
“Aku tidak mengetahui seorang pun yang mengikuti ‘Aliy bin Mus-hir dalam perkataannya : ‘falyuriqhu” [Sunan An-Nasaa’iy hal. 18].
Abu Bakr An-Naisaabuuriy berkata:
لَمْ يَذْكُرْ فِي هَذَا الْحَدِيثِ "فَلْيُهْرِقْهُ "غَيْرُ عَلِيِّ بْنِ مُسْهِرٍ
“Tidak ada yang menyebutkan dalam hadits ini lafadh ‘falyuhriqhu’ selain ‘Aliy bin Mus-hir” [Az-Ziyaadaat ‘alaa Kitaab Al-Muzanniy no. 12].
Al-‘Iraaqiy menukil perkataan beberapa huffaadhyang menta’lil tambahan lafadh ini:
وَكَذَا قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ بْنُ مَنْدَهْ: أَنَّ عَلِيَّ بْنَ مُسْهِرٍ عليه تَفَرَّدَ بِالأَمْرِ بِالإِرَاقَةِ فِيهِ، وَقَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: لَمْ يَذْكُرْهُ أَصْحَابُ الأَعْمَشِ الثِّقَاتُ الْحُفَّاظُ مِثْلُ: شُعْبَةَ، وَغَيْرِهِم.وَكَذَا قَالَ حَمْزَةُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْكِنَانِيُّ: لَمْ يَرْوِهَا غَيْرُ عَلِيِّ بْنِ مُسْهِرٍ.قَالَ: وَهَذِهِ الزِّيَادَةُ فِي قَوْلِهِ: فَلْيَرْقِهِ غَيْرُ مَحْفُوظَةٍ.
“Begitu pula Abu ‘Abdillah bin Mandah berkata : ‘Bahwasannya ‘Aliy bin Mus-hir padanya mempunyai tafarruddalam lafadh penumpahan air pada hadits tersebut’. Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : ‘Tidak ada yang menyebutkan (tambahan lafadh tersebut) dari kalangan ashhaab Al-A’masy yang tsiqah lagi haafidh seperti Syu’bah dan yang lainnya’. Begitu pula Hamzah bin Muhammad Al-Kinaaniy berkata : ‘Tidak ada yang meriwayatkannya selain ‘Aliy bin Mus-hir. Tambahan lafadh ‘falyuriqhu’ tidak mahfuudh’ [Tharhut-Tatsrib, 1/294].
Ibnu Rajab menyebutkan beberapa perawi yang riwayatnya bermasalah di akhir usianya:
ومنهم: علي بن مسهر،أحد الثقات المشهورين.
 قال أحمد في رواية الأثرم: "كان ذهب بصره فكان يحدثهم من حفظه ..........
ومنها في حديث: "إذا شرب الكلب في إناء أحدكم فليرقه "وقد خرجه مسلم.
وذكر الأثرم أيضا عن أحمد أنه أنكر حديثاً فقيل له: رواه علي بن مسهر، فقال: "إن علي بن مسهر كانت كتبه قد ذهبت، فكتب بعد، فإن كان روى هذا غيره وإلا فليس بشيء يعتمد.
“Diantaranya adalah ‘Aliy bin Mus-hir, salah seorang diantara perawi tsiqaat lagi mayshur. Ahmad berkata dalam riwayat Al-Atsram : ‘Penglihatannya hilang sehingga ia meriwayatkan hadits kepada mereka dari hapalannya’……. Dan di antaranya dalam hadits : ‘Apabila seekor anjing minum dalam bejana, hendaklah ia buang airnya’. Diriwayatkan oleh Muslim.
Al-Atsram menyebutkan juga dari Ahmad bahwa ia mengingkari hadits tersebut. Dikatakan kepadanya : ‘Diriwayatkan oleh ‘Aliy bin Mus-hir’. Maka ia berkata : ‘Sesungguhnya ‘Aliy bin Mus-hir, kitab-kitabnya hilang, lalu ia menuliskannya lagi setelah itu. Jika hadits ini diriwayatkan juga selain dirinya, maka  diterima. Jika tidak, maka tidak boleh bersandar padanya sama sekali’” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/755].
‘Aliy bin Mus-hir telah menyelisihi Abu Mu’aawiyyah yang notabene salah satu perawi yang paling menguasai riwayat Al-A’masy[25]. Lantas, bagaimana halnya jika penyelisihannya tersebut masih ditambah perawi-perawi lain seperti Syu’bah, Abu Usaamah, Jariir bin ‘Abdil-Hamiid, dan lainnya?.
Selain itu, penyelisihan ‘Aliy bin Mus’hir ini ada di setiap tingkatan periwayatan. Oleh karenanya, tambahan lafadh falyuriqhu’ atau ‘falyuhriqhu yang dibawakan ‘Aliy bin Mus-hir bukan termasuk jenis ziyaadatuts-tsiqah yang diterima.
Kesimpulan :Tambahan lafadh ‘falyuriqhu’ atau ‘falyuhriqhu’ adalah lemah lagi syaadz, wallaahu a’lam.[26]
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 31052014 – 22.00].




[1]     ‘Aliy bin Mus-hir Al-Qurasyiy, Abul-Hasan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, dan ia mempunyai riwayat-riwayat ghariib setelah mengalami kebutaan. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 189 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 705 no. 4834].
[2]     Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy – terkenal dengan nama Al-A’masy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aalim terhadap qira’aat, wara’, akan tetapi sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 147/148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630].
[3]     Mas’uud bin Maalik Abu Raziin Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-2 dan wafat tahun 85 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 936 no. 6656].
[4]     Dzakwaan, Abu Shaalih As-Sammaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqahke-3, dan wafat tahun 101 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 313 no. 1850].
[5]     Ismaa’iil bin Zakariyyaa bin Murrah Al-Khulqaaniy, Abi Ziyaad Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, sedikit mengalami kekeliruan. Termasuk thabaqah ke-8 dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 139 no. 449].
[6]     Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, dan orang yang paling hapal hadits Al-A’masy, namun sering mengalami keraguan dalam hadits selainnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 113 H, dan wafat tahun 194/195 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 840 no. 5878].
[7]     Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy Al-Azdi, Abu Busthaam Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, haafidh, mutqin, dan disebut Ats-Tsauriy sebagai amiirul-mukminiin fil-hadiits. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 160 H di Bashrah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2805].
[8]     ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad Al-‘Abdiy, Abu Bisyr/’Ubaidah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, dan hanya haditsnya yang berasal dari Al-A’masy saja ada pembicaraan. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 176 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 630 no. 4268].
[9]     Jariir bin ‘Abdil-Hamiid bin Qurth Adl-Dlabbiy; seorang yang tsiqah shahiihul-kitaab (107/110-188 H). Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 188 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 196 no. 924].
[10]    Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy Abu Usaamah Al-Kuufiy; seorang yangtsiqahlagitsabat, kadang melakukan tadlis. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 201H dalam usia 80 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 267 no. 1495].
[11]    Hafsh bin Ghiyaats bin Thalq bin Mu’aawiyyah bin Maalik An-Nakha’iy, Abu ‘Umar Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi faqiih, namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 194/195 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib , hal. 260 no. 1439].
[12]    ‘Abdurrahmaan bin Humaid bin ‘Abdirrahmaan Ar-Ruaasiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 576 no. 3872].
[13]    Abaan bin Taghlib Ar-Rib’iy, Abu Sa’d Al-Kuufiy Al-Qaariy; seorang yang tsiqah, dan diperbincangkan karena faktor tasyayyu’-nya. Termasuk thabaqah ke-7 dan wafat tahun 140 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Al-Kaasyif 1/205 no. 104 dan Taqriibut-Tahdziib hal. 103 no. 137].
[14]    Suhail bin Abi Shaalih Dzakwaan bin As-Sammaan, Abu Yaziid Al-Madaniy, maulaa Juwairiyyah bintu Ahmas; seorang yang shaduuq, namun hapalannya berubah di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat pada masa kekhilafahan Al-Manshuur. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 421 no. 2690].
[15]    ‘Abdurrahmaan bin Hurmuz Al-A’raj, Abu Daawud Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 117 H di Iskandariyyah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 603 no. 4060].
[16]    Muhammad bin Siiriin Al-Anshaariy, Abu Bakr bin Abi ‘Amrah Al-Bashriy; seorang tabi’iy masyhur, tsiqah, lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 110 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 853 no. 5985].
[17]    Hammaam bin Munabbih bin Kaamil bin Siij Al-Yamaaniy, Abu ‘Uqbah Ash-Shan’aaniy Al-Abnaawiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4 dan wafat tahun 132 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1024 no. 7361].
[18]    Tsaabit bin ‘Iyaadl Al-Ahnaf Al-A’raj Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, maulaa ‘Abdirrahmaan bin Zaid bin Al-Khaththaab; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 186 no. 832].
[19]    Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqah lagi banyak haditsnya. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 94 H dalam usia 72 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1155 no. 8203].
[20]    Nufai’, Abu Raafi’ Ash-Shaaigh Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-2. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1008 no. 7231].
[21]    ‘Abdurrahmaan bin Abi ‘Amrah Al-Anshaariy An-Najaariy Al-Madaniy Al-Qaash; seorang yang diperselisihkan status kebersahabatannya, tsiqah. Termasuk thabaqah ke-1. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 593 no. 3994].
[22]    ‘Ubaid bin Hunain Al-Madaniy, Abu ‘Abdillah maulaa Zaid bin Al-Khaththaab; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, lahir tahun 70 H, dan wafat tahun 105 H di Madiinah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 649 no. 4399].
[23]    Al-Hasan bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy Al-Anshaariy, Abu Sa’iid atau lebih dikenal dengan nama Al-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, faqiih, faadlil, lagi masyhuur. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 110 H dalam usia 88/89 tahun. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 236 no. 1237].
[24]    ‘Abdurrahmaan bin Abi Kariimah As-Suddiy; seorang yang majhuul. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Abu Daawud dan At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 596 no. 4016].
[25]    Ya’quub bin Syaibah berkata:
سفيان الثوري وأبو معاوية مقدمان في الأعمش على جميع من روى عن الأعمش
“Sufyaan Ats-Tsauriy dan Abu Mu’aawiyyah adalah dua orang yang dikedepankan dalam riwayat Al-A’masy di atas semua orang yang meriwayatkan dari Al-A’masy” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/716].
[26]    Sebenarnya ada jalan lain yang menyebutkan tambahan lafadh tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 3/242, dan darinya Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal hal. 332-333 no. 544, dan Al-Jurqaaniy dalam Al-Abaathil 1/546 no. 354 : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Al-Husain Al-Karkhiy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin ‘Aliy Al-Karaabisiy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq Al-Azraq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik, dari ‘Athaa’, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُهْرِقْهُ وَلْيَغْسِلْهُ ثَلاثٍ مَرَّاتٍ
Apabila seekor anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian, hendaklah ia tumpahkan terlebih dahulu, dan kemudian ia cuci sebanyak tiga kali”.
Akan tetapi hadits ini munkar sebagaimana dikatakan oleh Al-Jurqaaniy:
هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ، لَمْ يَرْفَعْهُ عَنْ إِسْحَاقَ الْأَزْرَقِ غَيْرُ الْكَرَابِيسِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ، وَهُوَ ضَعِيفُ الْحَدِيثِ، لَا يُحْتَجُّ بِحَدِيثِهِ. وَالْأَصْلُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ مَوْقُوفٌ رَوَاهُ عُمَرُ بْنُ شَيْبَةَ، عَنْ إِسْحَاقَ الْأَزْرَقِ بِإِسْنَادِهِ مَوْقُوفًا، وَلَمْ يَذْكُرْ عَنْهُ فَلْيُرِقْهُ، وَلَا ذَكَرَ فَلْيَغْسِلْهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Ini adalah hadits munkar. Tidak ada yang memarfu’kannya dari Ishaaq Al-Azraq selain Al-Karaabisiy dengan sanad ini. Ia seorang dla’iiful-hadiits, haditsnya tidak dijadikan hujjah. Asal hadits ini adalah mauquuf. Diriwayatkan oleh ‘Umar bin Syabbah, dari Ishaaq Al-Azraq dengan sanadnya secara mauquuf, tanpa menyebutkan darinya lafadh ‘falyuriqhu’ dan tidak pula menyebutkan lafadh : ‘hendaknya ia cuci sebanyak tiga kali” [Al-Abaathil, 1/546-547].
Ibnul-Jauziy berkata:
هَذَا حَدِيثٌ لا يَصِحُّ لَمْ يَرْفَعْهُ عَنْ إِسْحَاقَ غَيْرُ الْكَرَابِيسِيِّ، وَهُوَ مِمَّنْ لا يُحْتَجُّ بِحَدِيثِهِ، وَأَصْلُ هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ
“Hadits ini tidak shahih. Tidak ada yang memarfu’-kannya dari Ishaaq selain Al-Karaabisiy, dan ia termasuk orang yang haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah. Asal hadits ini adalah mauquuf” [Al-‘Ilal, hal. 333].
Riwayat mauquuf dimaksud adalah:
حدثنا أبو بكر النيسابوري، حدثنا سعدان بن نصر، حدثنا إسحاق الأزرق
(ح) وحدثنا أبو بكر، قال : حدثنا علي بن حرب، حدثنا أسباط بن محمد، قالا : حدثنا عبد الملك، عن عطاء عن أبو هريرة قال : إذا ولغ الكلب في الإناء فأهرقه، ثم اغسله ثلاث مرات
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr An-Naisaabuuriy : Telah menceritakan kepada kami Sa’daan bin Nashr : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq Al-Azraq (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Asbaath bin Muhammad; mereka berdua (Ishaaq Al-Azraq dan Asbaath bin Muhammad) berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik, dari ‘Athaa’, dari Abu Hurairah, ia berkata : “Apabila seekor anjing menjilat bejana, maka tumpahkanlah ia, kemudian cucilah sebanyak tiga kali” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy no. 196].
Ishaaq Al-Azraq dan Asbaath bin Muhammad mempunyai mutaba’ah dari Muhammad bin Fudlail bin Ghazwaan sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy no. 197.

Wahabi Mengubah Teks Shahiih Al-Bukhaariy

$
0
0
Apa yang diubah?. Dikatakan, teks riwayat yang diubah adalah ini:
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ، قَالَ: حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي مُزَرِّدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتِ الرَّحِمُ، فَأَخَذَتْ بِحَقْوِ الرَّحْمَنِ، فَقَالَ لَهُ: مَهْ، قَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيعَةِ، قَالَ: أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلَى يَا رَبِّ، قَالَ: فَذَاكِ "، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ: فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ.
Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Makhlad : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mu’aawiyyah bin Abi Muzarrid, dari Sa’iid bin Yasaar, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Allah menciptakan makhluk, ketika Allah telah merampungkannya, maka berdirilah rahim lalu ia berpegang kepada pinggang Ar-Rahmaan. Allah berfirman kepadanya : ‘Diamlah’. Ia menjawab : ‘Ini adalah kesempatan berlindung kepada-Mu dari pemutusan’. Allah berfirman : ‘Apakah engkau tidak rela Aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?’. Ia menjawab : ‘Ya, wahai Rabbku’. Allah berfirman : ‘Itu untukmu’”. Abu Hurairah berkata : “Bacalah jika engkau mau : ‘Maka apakah jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?’ (QS. Muhammad : 22)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4830].
Riwayat dengan matan tersebut ada dalam versi cetak kitab Shahiih Al-Bukhaariy terbitan:
1.     Terbitan Doktor Musthofa Dib Al-Bigha
2.     Terbitan Dar Thauqun Najah
3.     Terbitan Al-Mathba’atus salafiyyah
4.     Terbitan Dar Ibn Katsir.
Namun dalam cetakan Wahabi terbitan Daar As-Salaam (Riyadl), teks hadits 'diubah' menjadi:
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ، قَالَ: حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي مُزَرِّدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتِ الرَّحِمُ، فَأَخَذَتْ [.....]، فَقَالَ لَهُ: مَهْ، قَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيعَةِ، قَالَ: أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلَى يَا رَبِّ، قَالَ: فَذَاكِ "، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ: فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ
Yaitu, kata bihaqwir-rahmaan dalam cetakan tersebut tidak ada.Kesimpulan instannya : Wahabi telah menggunting riwayat dalam Shahiih Al-Bukhaariy.
Saya katakan : Metode pembandingan versi cetak untuk mengetahui keotentikan matan suatu kitab adalah sangat lemah, karena ia tidak membandingkan sumber asli manuskripnya. Telah jamak diketahui bahwa versi cetak suatu kitab disusun berdasarkan manuskrip-manuskrip kitab yang ada, dan jamak pula diketahui bahwa manuskrip-manuskrip tersebut terdapat beberapa variasi dan perbedaannya karena adanya perbedaan perawinya.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah ketika menyebutkan hadits di atas telah menjelaskan duduk perkaranya:
قَوْله : ( فَأَخَذَتْ )
كَذَا لِلْأَكْثَرِ بِحَذْفِ مَفْعُول أَخَذَتْ ، وَفِي رِوَايَة اِبْن السَّكَن "فَأَخَذَتْ بِحَقْوِ الرَّحْمَن "وَفِي رِوَايَة الطَّبَرِيِّ "بِحَقْوَيْ الرَّحْمَن "بِالتَّثْنِيَةِ
“Dan perkataannya : ‘fa-akhadzat’; maka begitulah kebanyakan riwayat dengan membuang maf’uul (objek) akhadzat. Dan dalam riwayat Ibnu Sakan disebutkan ; ‘fa-akhadzat bi-haqwir-rahmaan’. Adapun dalam riwayat Ath-Thabariy disebutkan ‘bi-haqwayir-rahmaan’ dengan bentuk tatsniyyah” [Fathul-Baariy, 8/580].
Begitu pula Al-‘Ainiy rahimahullahyang menjelaskan hal senada:
قوله فأخذت في رواية الأكثرين بلا ذكره مفعوله وفي رواية ابن السكن فأخذت بحقو الرحمن وفي رواية الطبري بحقوي الرحمن بالتثنية
“Perkataannya ‘fa-akhadzat’; maka dalam riwayat kebanyakan perawi tanpa penyebutan maf’uul-nya (yaitu haqwur-rahmaan– Abul-Jauzaa’). Dan dalam riwayat Ibnus-Sakan disebutkan ‘fa-akhadzat bi-haqwir-rahmaan’. Dan dalam riwayat Ath-Thabariy disebutkan ‘bi-haqwayir-rahmaan’ dengan bentuk tatsniyyah” [‘Umdatul-Qaariy, 19/172].
Bahkan sebelumnya, Al-Qaadliy ‘Iyaadl berkata:
وفي تفسير وتقطعوا أرحامكم قامت الرحم فأخذت
فقال مه كذا للقابسي والنسفي وأبي ذر وغيرهم وعند الأصيلي وابن السكن فأخذت بحقوي الرحمان
“Dan dalam tafsir ‘dan memutuskan hubungan kekeluargaan’ (QS. Muhammad : 22); ‘maka berdirilah rahim lalu ia berpegangan. Allah berfirman kepadanya : ‘Diamlah’. Begitulah riwayat milik Al-Qaabisiy, An-Nasafiy, Abu Dzarr dan yang lainnya. Adapun di sisi Ibnu Sakan dan Al-Ushailiy disebutkan ‘fa-akhadzat bi-haqwayir-rahmaan” [Masyaariqul-Anwaar2/795 – via Syaamilah].
Dalam cetakan Daar Thauqin-Najaah (hal. 134) pun telah disebutkan isyaratnya:

Perhatikan kalimat yang ditandai dengan kotak biru. Artinya, para periwayat kitab Shahiih Al-Bukhaariy tidak sepakat dengan pencantuman kata bihaqwir-rahmaan.
Intinya, tidak ada masalah dengan cetakan Daar As-Salaam (Riyadh) yang tidak menyebutkan kata ‘bihaqwir-rahmaan’, karena sebagian periwayat Shahiih Al-Bukhaariy memang tidak menyebutkannya.
Selain itu, kenapa ya yang disalahkan mesti Wahabi ?. Pentahqiq kitab Shahiih Al-Bukhaariy cetakan Daar Thauqin-Najaah yang bernama Dr. Muhammad Zuhair bin Naashir An-Naashir adalah seorang Wahabi. Percetakan Daar Ibni Katsiir dan Al-Mathba’atus-Salafiyyahadalah percetakan Wahabi. Begitu juga pentahqiq Shahiih Al-Bukhaariy cetakan Al-Mathba’atus-Salafiyyahyang bernama Muhibbuddin Al-Khathiib, seorang Wahabi[1].
Lantas, apa alasan menyalahkan Wahabi ?. Entahlah.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 01062014 – 01:55].




[1]     Asy-Syaikh Muhibbuddiin Al-Khathiibterkenal dalam pembelaannya terhadap dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallah.

Sekilas tentang Perawi Utama Syi’ah : Jaabir Al-Ju’fiy, Zuraarah, dan Muhammad bin Muslim

$
0
0
Bagi yang belum mengetahui, maka artikel ini akan sedikit menginformasikan tentang ketiga perawi utama Syi’ah dalam kitab-kitab hadits mereka.
1.     Jaabir Al-Ju’fiy
Orang ini adalah diantara orang yang ajaib dalam deretan para perawi Syi’ah.
Jaabir Al-Ju’fiy berkata:
حدثني أبو جعفر عليه السلام بسبعين ألف حديث لم أحدثها أحدا قط ، ولا أحدث بها أحدا أبدا
Telah menceritakan kepadaku Abu Ja’far ‘alaihis-salaam 70.000 (tujuhpuluh ribu) hadits yang belum aku pernah ceritakan kepada seorangpun, dan akupun tidak akan menceritakan hadits itu kepada seorang pun selamanya” [sumber : http://www.mezan.net/mawsouat/baker/jofi.html].
Al-Hurr Al-‘Aamiliy berkata:
 وروي أنه روى سبعين ألف حديث عن الباقر عليه السلام، وروى مائة وأربعين ألف حديث، والظاهر أنه ما روى أحد بطريق المشافهة عن الأئمة عليهم السلام أكثر مما روى جابر
“Dan diriwayatkan bahwasannya ia telah meriwayatkan 70.000 hadits dari Al-Baaqir ‘alaihis-salaam, dan ia meriwayatkan total sebanyak 140.000 hadits. Yang nampak, tidak ada seorang pun yang meriwayatkan dengan jalan musyaafahah (tatap muka) dari para imam ‘alaihis-salaam lebih banyak daripada riwayat Jaabir” [Wasaailusy-Syii’ah, 20/151].
Akan tetapi:
حدثني حمدويه و إبراهيم ابنا نصير، قالا حدثنا محمد بن عيسى، عن علي بن الحكم، عن ابن بكير، عن زرارة، قال : سألت أبا عبد الله (عليه السلام) عن أحاديث جابر فقال ما رأيته عند أبي قط إلا مرة واحدة و ما دخل علي قط
Telah menceritakan kepadaku Hamduwaih dan Ibraahiim yang keduanya anak dari Nashiir, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa, dari ‘Aliy bin Al-Hakam, dari Ibnu Bukair, dari Zuraarah, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah tentang hadits-hadits Jaabir. Ia berkata : “Aku tidak pernah melihatnya di sisi ayahku (yaitu Abu Ja’far) sedikitpun kecuali hanya satu kali saja. Ia tidak pernah masuk menemuiku sedikitpun” [Rijaalul-Kasysyiy, 3/191].
Jaabir mengaku banyak meriwayatkan hadits dari Al-Baaqir (Abu Ja’far) dan yang lainnya, namun Ja’far Ash-Shaadiq (Abu ‘Abdillah) mengingkarinya.[1]Ia tidak mengakui keberadaan hadits-hadits Jaabir dari ayahnya, karena ia sangat jarang melihatnya bersama ayahnya.
Siapa yang akan dibenarkan ?. Imam ma’shum atau statement Jaabir ?.
Tentang jumlah riwayat Jaabir, bandingkan dengan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu yang meriwayatkan hadits tidak lebih dari 2000 buah menurut penelitian muhaqqiqiin.[2]Orang Syi’ah banyak melihat keanehan pada diri Abu Hurairah yang meriwayatkan lebih banyak hadits dibandingkan shahabat lain, tapi lupa ada yang jauh lebih aneh darinya, yaitu Jaabir Al-Ju’fiy.
2.     Zuraarah bin A’yan.
Nama Zuraarah banyak disebutkan dalam kitab Al-Kaafiy dan yang lainnya. Ia salah seorang perawi utama kaum Syi’ah yang menyampaikan khabar-khabar imam kepada mereka.
Siapakah Zuraarah ?. Menurut informasi, ia berasal dari keturunan budak Romawi.
زرارة بن أعين واسمه عبد ربه، يكنّى أبا الحسن وزرارة لقبله، وكان أعين بن سنسن عبداً رومياً لرجل من بني شيبان تعلّم القرآن ثم أعتقه
“Zuraarah bin A’yan. Nama aslinya adalah ‘Abdu Rabbih, berkunyah Abul-Hasan, sedangkan Zuraarah adalah julukannya. A’yan bin Sinsin (ayah Zuraarah) seorang budak Romawi milik seorang laki-laki dari Bani Syaibaan. Kemudian ia mempelajari Al-Qur’an, lalu tuannya membebaskannya” [Mu’jamu Rijaalil-Hadiits oleh Al-Khuu’iy, juz 8 no. 4671].
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Jaabir Al-Ju’fiy sebelumnya, ia (Zuraarah) hidup dan dekat dengan Ja’far Ash-Shaadiq Abu ‘Abdillah. Apa komentar Abu ‘Abdillah tentangnya ?
وبهذا الاسناد : عن يونس، عن خطاب بن مسلمة، عن ليث المرادي، قال : سمعت أبا عبد الله (ع) يقول : لا يموت زرارة إلا تائهاً
Dengan sanad ini, dari Yuunus, dari Khaththaab bin Maslamah, dari Laits Al-Muraadiy, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) berkata : “Zuraarah tidak mati kecuali sebagai orang yang tersesat” [Ikhtiyaar Ma’rifatir-Rijaal oleh Ath-Thuusiy, hal. 170].
Barangkali celaan para imam itu timbul karena tabiat Zuraarah yang suka merendahkan para imam Syi’ah sendiri. Contohnya: Ketika Zuraarah terlibat perdebatan dengan Abu Ja’far, ia menggerutu dalam hati mencela imamnya, Zuraarah berkata:
قُلْتُ فِي نَفْسِي شَيْخٌلَا عِلْمَ لَهُ بِالْخُصُومَةِ
Aku berkata dalam hati : “Orang tua (syaikh) yang tidak tahu tentang perbantahan/perdebatan....” [Al-Kaafiy, 2/386; kata Al-Majlisiy : hasan seperti shahih].
Maksud ‘syaikh’ di atas adalah sang imam yang ia bantah.
Mungkin pula karena Zuraarah berani berdusta atas nama imamnya, sehingga Al-Baaqir Abu ‘Abdillah mendoakan laknat Allah kepadanya:
 ليس هكذا سألني ولا هكذا قلت، كذب علي واللّه كذب عليّ واللّه، لعناللّه زرارة، لعن اللّه زرارة، لعن اللّه زرارة
“Bukan begitu ia (Zuraarah) bertanya kepadaku, dan bukan begitu pulajawabanku. Ia telah berdusta atas namaku. Demi Allah, ia telah berdusta atas namaku. Demi Allah, semoga Allah melaknat Zuraarah, semoga Allah melaknat Zuraarah. Semoga Allah melaknat Zuraarah.....” [Ikhtiyaar Ma’rifatir-Rijaal, hal. 168].
Disebutkan juga dalam Bihaarul-Anwaar, 5/45-46.
حدثني حمدوية قال؛ حدثني محمد بن عيسى عن يونس عن مسمع كرد بن ابي سيار قال سمعت ابا عبد الله (ع) يقول: لعن الله بريداً، لعن الله زرارة
Telah menceritakan kepadaku Hamduwaih, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Iisaa, dari Yuunus, dari Ma’ma’ Kurd bin Abi Sayaar, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) berkata: “Semoga Allah melaknat Buraid, semoga Allah melaknat Zuraarah” [Ikhtiyaar Ma’rifatir-Rijaal oleh Ath-Thuusiy, hal. 170].
Bagaimana bisa keadaan perawi semacam ini dijadikan sandaran utama riwayat dalam agama ?.
3.     Muhammad bin Muslim.
Muhammad bin Muslim termasuk diantara perawi yang paling populer dalam kitab-kitab hadits Syi’ah. Mirip dengan Jaabir Al-Ju’fiy, ia juga meriwayatkan ribuan hadits dari para imam. Jumlah hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhutidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya.
Tapi naas, perawi ini pun kena laknat imam.
حدثني محمد بن مسعود، قال حدثني جبريل بن أحمد، عن محمد بن عيسى، عن يونس، عن عيسى بن سليمان وعدة، عن مفضل بن عمر، قال: سمعت ابا عبدالله عليه السلام يقول: لعن الله محمد بن مسلم كان يقول ان الله لايعلم الشئ حتى يكون
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Mas’uud, ia berkata : telah menceritakan kepadaku Jibriil bin Ahmad, dari Muhammad bin ‘Iisaa, dari Yuunus, dari ‘Iisaa bin Sulaimaan dan beberapa orang lainnya, dari Mufadldlal bin ‘Umar, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam berkata : “Semoga Allah melaknat Muhammad bin Muslim ! Ia telah berkata sesungguhnya Allah tidak mengetahui sesuatupun hingga ia terjadi” [Ikhtiyaar Ma’rifatir-Rijaal, hal. 394].
Jika telah kena laknat, apakah riwayatnya dapat diterima ?. Apalagi laknat ini dilatarbelakangi karena perkataan bathil Muhammad bin Muslim. Dan ingat,..... imam ma’shum tidak mungkin salah.
Semoga informasi ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 04081435/02062014 – 23:40].




[1]     Uslub perkataan Al-Baaqir (Abu ‘Abdillah) adalah uslub pengingkaran.
[2]     Dr. Dliyaaurrahmaan Al-A’dhamiy telah melakukan penelitian ulang terhadap musnad Abu Hurairah yang diambil dari Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan ditambah dengan riwayat dalam al-kutubus-sittah, dengan menyatakan bahwa jumlah hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berjumlah 1336 buah. Kemudian ia berkata : “Benar bahwa ada sejumlah riwayat lain (yang diriwayatkan Abu Hurairah) di dalam kitab Al-Mustadrak milik Al-Haakim, Sunan Al-Baihaqiy, Sunan Ad-Daaruquthniy, Mushannaf ‘Abdirrazzaq, dan kitab-kitab hadits yang lain. Namun saya berani memastikan bahwa riwayat-riwayat tersebut tidak mencapai jumlah yang disebutkan oleh para ulama. Bahkan menurut dugaan kuat, tidak mencapai 2000 hadits” [Abu Hurairah fii Dlau’i Marwiyyatihi oleh Dr. Dliyaaurrahmaan Al-A’dhamiy, hal. 76].
Berbeda halnya dengan beberapa pernyataan ulama mutaqaddimiin – misalnya Ibnu Hazm – yang menyatakan jumlah hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu sebanyak 5374 buah. Wallaahu a’lam.

Metamorfosis

$
0
0
Saya mendapatkan hak pilih saya semenjak era reformasi digulirkan. Hanya sekali saya gunakan saat heboh Mega-Bintang di Solo dan sekitarnya yang diprakarsai pak Mudrick Sangidoe. Setelah itu vakum dengan melewatkan moment Pemilu tanpa peduli. Saat itu saya sangat memegang erat fatwa ulama yang melarang andil dalam Pemilu.
Di tengah masa itu, kebetulan saya menyaksikan jam-jam pemilihan presiden via televise di era Pemilu tahun 1999. Kandidat presidennya adalah Gus Dur, Megawati, dan Yusril. Sambil menyaksikan, dalam hati saya khawatir Megawati - yang didukung nasionalis, sekuler, Kristen, dan anti Islam - akan naik tahta presiden yang kebijakannya mengangkangi kepala saya. Secara syar'i pun saya tahu, haram hukumnya kepala negara dipegang oleh wanita. Suara Islam pecah menjadi dua, sementara kubu merah dalam satu bungkusan.
Sambil menikmati pesimitas saya, saya berharap ada 'sesuatu' yang berubah. Dan benar..... di detik-detik terakhir, Yusril yang lebih saya harapkan naik, mundur setelah ada kompromi. Suara nasionalis Islam jadi satu di bawah Gus Dur. Tinggal pilihan antara Gus Dur dan Megawati.
Ya....... saya tahu Gus Dur dan rekam jejaknya saat itu. Tapi pilihan lain adalah Megawati. Saya masih bisa husnudhdhan dengan Gus Dur waktu itu karena di belakangnya adalah gabungan partai Islam (melalui gerbong Poros Tengah). Tapi saya sangat susah berhusnudhdhan dengan Megawati dengan dasar kapasitas dirinya dan pihak-pihak yang membonceng di belakangnya. Berharap-harap cemas saat menyaksikan berjalannya voting anggota dewan. Dan.... akhirnya Gus Dur menang dengan selisih suara yang tak terlalu banyak dibandingkan Megawati. Wallahi, saya begitu senang melihatnya. Bukan senang dengan Gus Dur dan paham pluralitas yang dibawanya, tapi senang karena presiden saya bukan wanita. Senang karena terhindar mendapatkan pilihan paling jelek dari dua pilihan yang ada. Senang karena partai yang condong ke Islam 'menang' terhadap partai nasionalis sekuler, Kristen, dan anti Islam.
Tapi kesenangan saya sebatas senang saja dalam hati, karena saya abstain alias golput.
Seiring waktu, saya menjadi berpikir ulang secara bertahap. Sungguh aneh sikap saya.... senang, tapi golput. Gak suka Megawati jadi presiden, tapi golput. Senang jika keputusan mereka sesuai dengan yang saya harapkan, dan susah jika sebaliknya. Sepertinya saya hidup di suatu planet dan menyaksikan peristiwa di planet lain yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan saya. 
Kemudian...... setelah saya lebih sering bergaul dengan internet, saya pun lebih mendapat informasi yang lebih luas. Membaca beberapa literatur berbahasa Arab dan Inggris. Dengannya, saya mendapatkan informasi antimainstream dari para ulama kibar di luar negeri dengan segala analisanya yang membolehkan Pemilu dan bahkan andil di parlemen, yang itu semua jarang dipopulerkan para ustadz dalam negeri. Memang, pendapat ini sangat sangat tidak populer di tanah air waktu itu, dan saya menyikapi informasi tersebut sebatas untuk pengetahuan pribadi saja. Saya jadi memahami istidlal dan istinbathpara ulama yang saya anggap masih antimainstream di sini.....
Ya.... memilih pemimpin adalah satu keniscayaan. Kita bersikap atau abstain, tetap saja sistem berjalan dan menghasilkan produk pimpinan dari sistem yang tidak kita sukai tersebut. Suka atau tidak suka, yang terpilih akan memimpin kita dan kita akan letakkan loyalitas kepadanya.
Kok saya nggakpercaya ya kalau ada orang mengatakan mau terpilih siapa saja presidennya, baginya sama saja. Tetap istiqamah, tawakal kepada Allah. Tidak masuk logika rasanya. Apalagi ditinjau dari sisi maqaashidusy-syari'ah, maslahat dan mafsadat. Apa iya, ketika kita dikasih pilihan hukuman yang tak bisa kita tolak antara digebuk satpam 5 kali sehari dengan 10 kali sehari kita katakan sama saja. Toh sama-sama hukuman..... Kalau saya, meski sama-sama menyakitkan, saya memilih hukuman gebuk 5 kali sehari saja.
Taruhlah sekarang kita diberikan hukuman diberikan calon pemimpin yang satu maling saja dan yang lain maling plus tukang sodomi. Masak kita akan bilang sama saja, terserah teman teman milih apa, saya golput, ngikut saja. Siapapun yang terpilih saya akan mematuhinya…......(?). Kalau saya, ya kalau memang pilihannya cuma dua tanpa ada ketiganya, saya akan pilih pemimpin yang maling saja. Logika saya, kalau cuma maling, paling banter harta saya yang hilang. Tapi kalau maling plus tukang sodomi, bisa jadi penderitaan saya bertambah. Anak saya berpotensi diserang secara seksual oleh orang-orang yang genetika psikisnya sama dengan Emon Sukabumi. Dapat herpes pula...... Saya punya pilihan untuk mencegah kemungkinan paling buruk menimpa diri saya.
Saya rasa, itu bukan sesuatu yang tak masuk akal ya.....
Rekan, ..... pilihan itu ada di depan kita sekarang. Mereka bukan maling, bukan pula teman si Emon tukang sodomi. Tapi mereka orang-orang yang punya kelebihan dan kekurangan. Mungkin pilihan yang ada saat ini laiknya pilihan barang kualitas kaki lima. Semua di bawah rata-rata, tak ada yang ideal, minus semua. Tapi saya yakin rekan..... bahwa diantara pilihan barang kualitas kaki lima itu, ada yang lebih mending dibannding yang lain. Yang lebih memberikan maslahat dan lebih sedikit mafsadatnya kepada Islam, kaum muslimin, dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Dan saya saat ini lebih milih Prabowo-Hatta.
#myselfdeclare
#bukan_pro_demokrasi
#bukan_jurkam_partai

Fiqh Petani : Aku Telah Menumbuhkannya

$
0
0
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ: زَرَعْتُ، وَلَكِنْ لِيَقُلْ: حَرَثْتُ "، قَالَ مُحَمَّدٌ: قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: أَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ { 63 } أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ { 64 }
Janganlah salah seorang di antara kalian berkata : ‘Aku telah menumbuhkannya’. Akan tetapi hendaknya ia berkata : ‘Aku telah menanamnya”. Abu Hurairah berkata : “Tidakkah kalian mendengar firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam?. Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?’ (QS. Al-Waaqi’ah : 63-64)”.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 23/139, Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 2/96 no. 1289, Abu Ya’laa dalam Mu’jam-nya 1/238-239 no. 292, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 8/80 no. 8024 dan Majma’ul-Bahrain 4/25-26 no. 2037, Ibnu Hibbaan 13/30 no. 5723, As-Sahmiy dalam Taariikh Jurjaan hal. 410, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 6/138 (228) no. 11752 dan dalam Syu’abul-Iimaan no. 4851-4852, serta Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 8/267; semuanya dari jalan Muslim bin Abi Muslim Al-Jarmiy : Telah menceritakan kepada kami Makhlad bin Al-Husain[1], dari Hisyaam (bin Hassaan)[2], dari Muhammad (bin Siiriin)[3], dari Abu Hurairah[4], dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sanadnya hasan, semua perawinya tsiqaat kecuali Muslim bin Abi Muslim Al-Jarmiy, seorang yang shaduuq, hasan haditsnya. Al-Khathiib berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Kadang keliru”. Al-Azdiy berkata : “Ia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak ada mutaba’ah-nya. Ia seorang imam di negeri Thursuus”. Al-Baihaqiy berkata : “Ia tidak kuat” [selengkapnya baca : Lisaanul-Miizaan, 8/56 no. 7719].
Kandungan Fiqh Hadits:
1.     Celaan terhadap perkataan seseorang : ‘Aku telah menumbuhkan’, akan tetapi yang benar ia hendaknya mengatakan : ‘Aku telah menanam’. Hal itu disebabkan seseorang hanyalah menanam, yaitu dengan menggali tanah, membajaknya, dan menabur benihnya. Ia tidak kuasa sama sekali untuk menumbuhkannya, karena yang menumbuhkan hanyalah Allah ta’ala.
2.     Allah subhaanahu wa ta’ala adalah Dzat yang menumbuhkan tanaman. Oleh karena itu, sebagian salaf apabila membaca ayat :
أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ
“Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?” (QS. Al-Waaqi’ah)
mereka berkata : “Bahkan Engkaulah (yang menumbuhkannya) wahai Rabb”.
[abul-jauzaa’ – mengambil faedah dari buku Mausuu’ah Al-Manahiyyisy-Syar’iyyah fii Shahiihis-Sunnah An-Nabawiyyah oleh Saliim bin ‘Ied Al-Hilaaliy, 3/310-311; Daar Ibni ‘Affaan – ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 05081435/03062014 – 22:45].




[1]     Makhlad bin Al-Husain Al-Azdiy Al-Muhallabiy, Abu Muhammad Al-Bashriy Al-Mashiishiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9 dan wafat tahun 191 H. Dipakai oleh Muslim dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 927 no. 6574].
[2]     Hisyaam bin Hassaan Al-Azdiy Al-Qurduusiy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, dan paling tsabt riwayatnya dari Muhammad bin Siiriin. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 146 H/147 H/148 H Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1020-1021 no. 7339].
[3]     Muhammad bin Siiriin Al-Anshaariy, Abu Bakr bin Abi ‘Amrah Al-Bashriy; seorang tabi’iy masyhur, tsiqah, lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 110 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 853 no. 5985].
[4]     Abu Hurairah Ad-Dausiy Al-Yamaniy; salah seorang shahabat yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 57 H/58 H/59 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1218 no. 8493].

Solusi Ketika Melihat Wanita Cantik (Tanpa Sengaja)

$
0
0
Al-Imaam Muslim bin Al-Hajjaaj rahimahullah berkata:
حدثنا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حدثنا عَبْدُ الْأَعْلَى، حدثنا هِشَامُ بْنُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ: أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً، فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ، وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا، فَقَضَى حَاجَتَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ، فقَالَ: "إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Abi ‘Abdillah, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang wanita. Kemudian beliau masuk kepada isterinya, Zainab, yang waktu itu sedang menyamak kulit miliknya. Maka beliau memenuhi hajatnya (menjimainya). Setelah itu beliau keluar kepada para sahabat dan bersabda : “Sesungguhnya wanita itu datang dalam rupa setan dan pergi dalam rupa setan. Karena itu jika seseorang dari kalian melihat wanita (tanpa sengaja, kemudian syahwatnya berkobar) hendaklah ia mendatangi isterinya (menyetubuhinya). Karena hal itu bisa menghilangkan (syahwat menggelora) yang ada dalam dirinya” [Shahiih Muslim no. 1403].
Dalam riwayat At-Tirmidziy disebutkan dengan lafadh:
....... فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ، فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا
“........Jika seseorang dari kalian melihat wanita (tanpa sengaja) lalu membuatnya terkagum, hendaklah ia mendatangi isterinya (menyetubuhinya), karena yang ada pada diri istrinya seperti yang ada pada wanita tersebut” [Sunan At-Tirmidziy no. 1158].
An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:
قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ الْمَرْأَة تُقْبِل فِي صُورَة شَيْطَان وَتُدْبِر فِي صُورَة شَيْطَان فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدكُمْ اِمْرَأَة فَلْيَأْتِ أَهْله فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدّ مَا فِي نَفْسه )
وَفِي الرِّوَايَة الْأُخْرَى : ( إِذَا أَحَدكُمْ أَعْجَبَتْهُ الْمَرْأَة فَوَقَعَتْ فِي قَلْبه فَلْيَعْمِدْ إِلَى اِمْرَأَته فَلْيُوَاقِعهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدّ مَا فِي نَفْسه ) . هَذِهِ الرِّوَايَة الثَّانِيَة مُبَيِّنَة لِلْأُولَى .
وَمَعْنَى الْحَدِيث : أَنَّهُ يُسْتَحَبّ لِمَنْ رَأَى اِمْرَأَة فَتَحَرَّكَتْ شَهْوَته أَنْ يَأْتِي اِمْرَأَته أَوْ جَارِيَته إِنْ كَانَتْ لَهُ ، فَلْيُوَاقِعهَا لِيَدْفَع شَهْوَته ، وَتَسْكُن نَفْسه ، وَيَجْمَع قَلْبه عَلَى مَا هُوَ بِصَدَدِهِ .
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya wanita itu datang dalam rupa setan dan pergi dalam rupa setan. Karena itu jika seseorang dari kalian melihat wanita (tanpa sengaja, kemudian syahwatnya berkobar) hendaklah ia mendatangi isterinya (menyetubuhinya). Karena hal itu bisa menghilangkan (syahwat menggelora) yang ada dalam dirinya’ – dalam riwayat lain : ‘Jika salah seorang diantara kalian terkagum pada seorang wanita sehingga dalam hatinya timbul sesuatu (syahwat), hendaklah dia segera mendatangi istrinya dan menjimainya. Dengan ini akan menghilangkan perasaan cinta dalam hatinya. Karena hal itu bisa menghilangkan (syahwat menggelora) yang ada dalam dirinya’. Riwayat kedua ini merupakan penjelas riwayat pertama.
Makna hadits adalah bahwasannya disukai bagi orang yang melihat seorang wanita (tanpa sengaja) lalu syahwatnya bergejolak karenanya, agar mendatangi istrinya atau budak wanita yang dimilikinya, lalu menjimainya untuk menolak/menghilangkan syahwat sehingga jiwanya tenang dan hatinya dapat konsentrasi dengan aktivitasnya.
قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ الْمَرْأَة تُقْبِل فِي صُورَة شَيْطَان وَتُدْبِر فِي صُورَة شَيْطَان ) قَالَ الْعُلَمَاء : مَعْنَاهُ : الْإِشَارَة إِلَى الْهَوَى وَالدُّعَاء إِلَى الْفِتْنَة بِهَا لِمَا جَعَلَهُ اللَّه تَعَالَى فِي نُفُوس الرِّجَال مِنْ الْمَيْل إِلَى النِّسَاء ، وَالِالْتِذَاذ بِنَظَرِهِنَّ ، وَمَا يَتَعَلَّق بِهِنَّ ، فَهِيَ شَبِيهَة بِالشَّيْطَانِ فِي دُعَائِهِ إِلَى الشَّرّ بِوَسْوَسَتِهِ وَتَزْيِينه لَهُ . وَيُسْتَنْبَط مِنْ هَذَا أَنَّهُ يَنْبَغِي لَهَا أَلَّا تَخْرُج بَيْن الرِّجَال إِلَّا لِضَرُورَةٍ ، وَأَنَّهُ يَنْبَغِي لِلرَّجُلِ الْغَضّ عَنْ ثِيَابهَا ، وَالْإِعْرَاض عَنْهَا مُطْلَقًا .
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya wanita itu datang dalam rupa setan dan pergi dalam rupa setan’. Para ulama berkata : Maknanya adalah hal itu merupakan isyarat kepada hawa nafsu dan ajakan kepada fitnah dengannya. Allah ta’ala telah membuat dalam jiwa laki-laki adanya kecondongan terhadap para wanita, senang melihat mereka dan apa-apa yang terkait dengan mereka. Hal tersebut menyerupai setan dari sisi ajakannya kepada kejelekan, was-was, dan menghiasi kejelekan itu kepada laki-laki. Dapat diambil pula kesimpulan hukum dari hadits ini, hendaknya wanita tidak keluar (rumah) di lingkungan laki-laki kecuali karena darurat. Dan hendaknya bagi laki-laki untuk menundukkan pandangan dari pakaiannya (wanita) dan berpaling darinya secara mutlak.
قَوْله : ( أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى اِمْرَأَة فَأَتَى اِمْرَأَته زَيْنَب ، وَهِيَ تَمْعَس مَنِيئَة لَهَا ، فَقَضَى حَاجَته ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابه فَقَالَ : إِنَّ الْمَرْأَة تُقْبِل فِي صُورَة شَيْطَان . . . ) إِلَى آخِره . قَالَ الْعُلَمَاء : إِنَّمَا فَعَلَ هَذَا بَيَانًا لَهُمْ ، وَإِرْشَادًا لِمَا يَنْبَغِي لَهُمْ أَنْ يَفْعَلُوهُ ، فَعَلَّمَهُمْ بِفِعْلِهِ وَقَوْله . وَفِيهِ أَنَّهُ لَا بَأْس بِطَلَبِ الرَّجُل اِمْرَأَته إِلَى الْوِقَاع فِي النَّهَار وَغَيْره ، وَإِنْ كَانَتْ مُشْتَغِلَة بِمَا يُمْكِن تَرْكه ، لِأَنَّهُ رُبَّمَا غَلَبَتْ عَلَى الرَّجُل شَهْوَة يَتَضَرَّر بِالتَّأْخِيرِ فِي بَدَنه أَوْ فِي قَلْبه وَبَصَره . وَاَللَّه أَعْلَم .
Perkataan Ibnu ‘Abbaas : ‘Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang wanita. Kemudian beliau masuk kepada isterinya, Zainab, yang waktu itu sedang menyamak kulit miliknya. Maka beliau memenuhi hajatnya (menjimainya). Setelah itu beliau keluar kepada para sahabat dan bersabda : “Sesungguhnya wanita itu datang dalam rupa setan......dst’. Para ulama berkata : Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan tersebut hanyalah sebagai penjelasan kepada mereka, serta bimbingan terhadap hal yang seharusnya mereka lakukan (jika menemui keadaan seperti itu). Kemudian beliau mengajarkan kepada mereka melalui perbuatan dan sabdanya. Dalam hadits tersebut juga terdapat petunjuk bolehnya seorang laki-laki meminta istrinya untuk berjima’ di waktu siang atau di waktu lainnya, meskipun si istri sedang sibuk dengan sesuatu yang masih mungkin untuk ia tinggalkan. Karena boleh jadi ketika seorang laki sedang dikuasai oleh syahwat akan menyebabkan mudlarat pada badannya, hatinya, atau penglihatannya apabila ditunda penunaiannya. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 9/178-179].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ، وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ ؟، قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ، فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Sesungguhnya setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmiid adalah shadaqah, setiap tahliil adalah shadaqah, memerintahkan yang ma’ruf adalah shadaqah, melarang kemunkaran adalah shadaqah, dan setiap persetubuhan kalian adalah shadaqah”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah seandainya kami menyalurkan syahwatnya (kepada istrinya) akan mendapatkan pahala?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidakkah kalian mengetahui jika seseorang menyalurkan syahwatnya di jalan yang haram, ia akan mendapatkan dosa ?. Demikian juga halnya jika ia menyalurkannya di jalan yang halal, maka ia akan mendapatkan pahala” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1006].

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 07062014 – 00:00].
Viewing all 594 articles
Browse latest View live