Quantcast
Channel: Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة
Viewing all 594 articles
Browse latest View live

Fanatik pada Ustadz atau Ulama

$
0
0

Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah pernah ditanya :
ما حكم من أحب عالماً أو داعية، وقال : إني أحبه حبًا كثيرًا، لا أريد أن أسمع أحداً يرد عليه، وأنا آخذ بكلامه حتى وإن كان مخالفاً للدليل، لأن هذا الشيخ أعرف منا بالدليل ؟
“Apa hukum bagi seseorang yang mencintai seorang ulama atau da’i, hingga ia berkata : ‘Sesungguhnya aku sangat mencintainya. Aku tidak ingin seorang pun membantahnya, dan aku mengambil perkataannya meskipun ia menyelisihi dalil, karena syaikh tersebut lebih mengetahui dalil daripada kita’ ?”.
Beliau hafidhahullah menjawab :
هذا تعصب ممقوت مذموم، ولا يجوز.
نحن نحب العلماء –و لله الحمد-، ونحب الدعاة في الله عز وجل، لكن إذا أخطأ واحد منهم في مسألة فنحن نُبَيِّن الحق في هذه المسألة بالدليل، ولا يُنقص ذلك من محبة المردود عليه، ولا من قدره .
يقول الإمام مالك – رحمه الله - : (( ما مِنَّا إلا رادٌ ومردودٌ عليه؛ إلا صاحب هذا القبر )). يعني : رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Sikap ini merupakan kefanatikan (ta’ashub) yang dibenci lagi tercela, tidak diperbolehkan.[1]
Kita mencintai ulama – walillaahil-hamd - , dan mencintai da’i yang menyeru di jalan Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi jika salah seorang di antara mereka terjatuh dalam kesalahan dalam satu permasalahan, maka kita menjelaskan kebenaran dalam permasalahan ini dengan dalil. Hal itu sama sekali tidaklah mengurangi kecintaan kita pada orang yang dibantah, dan tidak pula mengurangi kedudukannya.
Al-Imaam Maalik rahimahullah berkata : “Tidaklah seorang pun dari kita kecuali orang yang membantah atau yang dibantah, kecuali pemilik kubur ini”[2]– yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
نحن إذا رددنا على بعض أهل العلم، وبعض الفضلاء؛ ليس معنى هذا أننا نبغضه أو نتنقصه، وإنما نُبَيِّن الصواب، ولهذا يقول بعض العلماء لما أخطأ بعض زملائه، قال : (( فلان حبيبنا، ولكن الحق أحب إلينا منه )). ، هذا هو الطريق الصحيح .
ولا تفهموا أن الرَّد على بعض العلماء في مسألة أخطأ فيها معناه تَنَقُّص لـه أو بُغض، بل ما زال العلماء يرد بعضهم على بعض، وهم اخوة ومتحابون .
ولا يجوز لنا أن نأخذ كل ما يقوله الشخص أخذاً مسلّماً؛ أصاب أو أخطأ، لأن هذا تعصُّب .
“Apabila kita membantah sebagian ulama dan sebagian fudlalaa’tidaklah bermakna kita membencinya atau merendahkannya. Kita hanyalah menjelaskan kebenaran. Oleh karenanya sebagian ulama berkata ketika sebagian rekannya terjatuh dalam kesalahan : ‘Fulaan adalah orang yang kami cintai, akan tetapi kebenaran lebih kami cintai daripadanya’[3]. Inilah jalan yang benar.
Janganlah kalian memahami bahwa bantahan terhadap sebagian ulama dalam permasalahan yang mereka jatuh dalam kekeliruan bermakna perendahan atau kebencian. Bahkan para ulama senantiasa memberikan bantahan sebagian terhadap sebagian yang lain, dalam keadaan mereka saling bersaudara dan mencintai.
Tidak boleh bagi kita mengambil semua yang diucapkan seseorang secara total, baik benar ataupun salah, karena ini merupakan sikap fanatik (ta’ashub).
الذي يؤخذ قوله كله ولا يترك منه شيئاً هو رسول الله صلى الله عليه وسلم ، لأنه مبلِّغ عن ربه، لا ينطق عن الهوى، أما غيره فهم يخطئون ويصيبون، وإن كانوا من أفضل الناس، هم مجتهدون يخطئون ويصيبون .
ليس أحد معصومًا من الخطأ إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم .
يجب أن نعرف هذا، ولا نتكتّم على الخطأ محاباة لفلان، بل علينا أن نُبَيِّن الخطأ .
يقول النبي صلى الله عليه وسلم  : (( الدين النصيحـة ، قلنا : لمن ؟، قال : لله، ولكتابه، ولرسوله، ولأئمة المسلمين، وعامتهم )).
وبيان الخطأ من النصيحة للجميع، وأما كتمانه فهو مخالف للنصيحة .
“Yang diambil semua perkataannya tanpa ditinggalkan sedikitpun adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau orang yang menyampaikan (risalah) dari Rabbnya, tidak berkata dengan hawa nafsu. Adapun orang selain beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bisa benar dan bisa juga salah, meskipun ia adalah seutama-utama manusia. Mereka (para ulama) adalah para mujtahid yang bisa benar dan bisa salah.
Tidak ada seorang pun yang ma’shum dari kesalahan, kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Wajib bagi kita untuk mengetahui permasalahan ini. Kita tidak membicarakan kesalahan dikarenakan kecintaan terhadap seseorang. Namun wajib bagi kita menjelaskan kesalahan tersebut.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ((“Agama adalah nasihat”. Kami bertanya : “Untuk siapa ?”. Beliau menjawab : “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya”)).[4]
Menjelaskan kesalahan termasuk nasihat bagi semua. Adapun menyembunyikannya, maka itu menyelisihi nasihat tersebut di atas” [selesai perkataan Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan rahimahullah].
[Dinukil dari kitab Al-Ajwibatul-Mufiidah ‘an As-ilatil-Manaahijil-Jadiidah min Ijaabaat Ma’aliy Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan, hal. 163-164, Daarul-Minhaaj, Cet. 3/1424 H, dengan catatan kaki yang diberikan oleh Jamaal bin Furaihaan Al-Haaritsiy - 14041434/24022013].



[1]     Muhammad Shulthaan Al-Khajnadiy penulis kitab ‘Hal Al-Muslim Mulzamun bittibaa’I Madzhab Mu’ayyan minal-Madzaahib Al-Arba’ah ?’ (hal. 58, tahqiiq : Al-Hilaaliy) menukil perkataan ‘Aliy Al-Qaariy Al-Hanafiy :
لا يجب على أحد من هذه الأمة أن يكون حنفياً، أو مالكياً، أو شافعياً، أو حنبلياً، بل يجب على آحاد الناس إذا لم يكن عالمًا أن يسأل واحدًا من أهل الذكر ، والأئمة الأربعة من أهل الذكر؛ ولهذا قيل : (( من تبع عالمًا لقي الله سالمًا )) ، وكل مكلّف مأمور باتباع سيد الأنبياء سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم
“Tidak wajib bagi seorang pun dari umat ini untuk menjadi seorang hanafiy, maalikiy, syaafi’iy, atau hanbaliy. Akan tetapi wajib bagi setiap orang apabila ia bukan seorang yang ‘aalimagar bertanya kepada ahludz-dzikr (ulama). Dan para imam yang empat termasuk ahludz-dzikr. Oleh karena itu dikatakan : ‘Barangsiapa yang mengikuti ulama, maka ia akan bertemu Allah dalam keadaan selamat’. Setiap mukallafdiperintahkan mengikuti sayyidul-anbiyaa’, yaitu sayyidunaaMuhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullahu ta’ala berkata :
أجمع المسلمون على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس
“Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh banginya untuk meninggalkannya karena perkataan seorangpun dari kalangan manusia” [Lihat : I’laamul-Muwaqqi’iinoleh Ibnul-Qayyim, 1/7].
[2]     Lihat takhrij atsar ini dalam kitab Shifatu Shalatin-Nabiy shallallaahu ‘alaihi wa sallam oleh Al-Albaaniy, hal. 26, catatan kaki no. 3, terbitan Al-Maktab Al-Islaamiy, 1403 H. Atsar tersebut dibawakan juga oleh Al-‘Ajluuniy dalam Kasyful-Khafaa’ no. 1961.
[3]     Ini adalah perkataan Syaikhul-Islaam Ibnul-Qayyim terhadap Abu Ismaa’iil Al-Harawiy. Lihat : Madaarijus-Saalikiin, 3/394.
[4]     Diriwayatkan oleh Muslim no. 55.

Teladan dalam Ketawadluan : Al-Albaaniy dan Ibnul-'Utsaimiin rahimahumallaah (Must See !!)

Pesan ‘Aliy bin Abi Thaalib kepada Orang Syi’ah

$
0
0

‘Abdullah bin Al-Mubaarak rahimahullah berkata :
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي صَفْوَانُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَفْوَانَ، أَنَّ رَجُلا، قَالَ يَوْمَ صِفِّينَ: اللَّهُمَّ الْعَنْ أَهْلَ الشَّامِ، فَقَالَ عَلِيٌّ: " لا تَسُبُّوا أَهْلَ الشَّامِ جَمًّا غَفِيرًا، فَإِنَّ فِيهِمْ قَوْمًا كَارِهُونَ لِمَا تَرَوْنَ، وَإِنَّ فِيهِمُ الأَبْدَالُ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Shafwaan bin ‘Abdillah bin Shafwaan : Bahwasannya ada seorang laki-laki berkata pada waktu perang Shiffiin : “Ya Allah, laknatlah orang-orang Syaam !”. ‘Aliy (bin Abi Thaalib) berkata : “Janganlah kalian banyak mencela/mencerca orang-orang Syaam, karena pada mereka terdapat satu kaum yang membenci apa yang kalian lihat (yaitu fitnah peperangan). Dan karena pada mereka terdapat abdaal” [Al-Jihaad no. 192].
Semua perawinya tsiqaat.
Diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammaad dalam Al-Fitan no. 666 dari jalan Ibnul-Mubaarak.
Ibnul-Mubaarak mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdurrazzaaq sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Fadlaail no. 1726, Ibnu Abid-Dun-yaa dalam Al-Auliyaa’ no. 70, Al-Baihaqiy dalam Ad-Dalaail 6/449, dan Al-Jurqaaniy dalam Al-Abaathiil no. 225.
Shafwaan bin ‘Abdillah mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdullah bin Zurair Al-Ghaafiqiy  sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/546 : Telah mengkhabarkan kepadaku Ahmad bin Muhammad bin Salamah Al-‘Anaziy : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi Maryam : Telah memberitakan Naafi’ bin Yaziid : Telah menceritakan kepadaku ‘Ayyaasy bin ‘Abbaas : bahwasannya Al-Haarits bin Yaziid telah menceritakan kepadanya, bahwasannya ia mendengar ‘Abdullah bin ZariirAl-Ghaafiqiy berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berkata : “….(dengan lafadh hadits yang lebih panjang)….”.
Al-Haakim berkata : “Hadits ini sanadnya shahih”.
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 3905 dari jalan Ibnu Lahi’ah dari ‘Ayyaasy bin ‘Abbaas, dari ‘Abdullah bin Zariir – dengan menggugurkan Al-Haarits bin Yaziid. Kekeliruan ini kemungkinan berasal dari Ibnu Lahii’ah, seorang perawi yang kacau hapalannya setelah kitab-kitabnya terbakar.
Dr. Washiyyullah ‘Abbaas hafidhahullah menshahihkan atsar ini dalam takhrij­-nya terhadap kitab Fadlaailush-Shahaabah 2/1145-1146.
Faedah :
Maksud orang-orang Syaam yang dicela saat perang Shiffiin oleh seseorang yang ada di dekat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu tentu saja Mu’aawiyyah dan pasukannya. Lihatlah kebesaran seorang ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu yang mampu (bahkan sangat mampu) bersikap adil dan tak berlebih-lebihan terhadap lawannya. Ia tidak mengkafirkannya dan bahkan melarang orang yang membelanya mengkafirkannya serta mencela/mencacinya.
Sikap ini selaras sikap ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu yang lain sebagaimana tertera dalam riwayat :
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، قَالَ: سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ، فَقَالَ: " قَتْلَانَا وَقَتَلَاهُمْ فِي الْجَنَّةِ، وَيَصِيرُ الْأَمْرُ إِلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayyuub Al-Maushiliy, dari Ja’far bin Burqaan, dari Yaziid bin Al-Asham, ia berkata : ‘Aliy pernah ditanya tentang orang-orang yang terbunuh di perang Shiffiin, maka ia berkata : “Orang yang terbunuh dari kami dan dari mereka ada di surga". Dan perkara tersebut akan ada antara aku dan Mu’aawiyyah [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 15/302; shahih[1]].
Sesuai juga dengan pandangan ‘Ammaar bin Yaaiir, pembela setia ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhumaa :
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ الْحَكَمِ، عَنْ رِيَاحِ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: كُنْتُ إِلَى جَنْبِ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ بِصِفِّينَ، وَرُكْبَتِي تَمَسُّ رُكْبَتَهُ، فَقَالَ رَجُلٌ: كَفَرَ أَهْلُ الشَّامِ، فَقَالَ عَمَّارٌ: " لَا تَقُولُوا ذَلِكَ، نَبِيُّنَا وَنَبِيُّهُمْ وَاحِدٌ، وَقِبْلَتُنَا وَقِبْلَتُهُمْ وَاحِدَةٌ، وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ مَفْتُونُونَ جَارُوا عَنِ الْحَقِّ، فَحَقّ عَلَيْنَا أَنْ نُقَاتِلَهُمْ حَتَّى يَرْجِعُوا إِلَيْهِ "
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, dari Al-Hasan bin Al-Hakam, dari Riyaah bin Al-Haarits, ia berkata : Aku pernah berada di samping ‘Ammaar bin Yaasir waktu perang Shiffiin, dimana lututku bersentuhan dengan lututnya. Lalu ada seseorang yang berkata : “Orang-orang Syaam telah kafir. ‘Ammaar berkata : “Jangan kalian katakan itu. Nabi kita dan nabi mereka satu. Begitu pula kiblat kita dan kiblat mereka satu. Akan tetapi mereka adalah kaum yang terfitnah yang menyimpang dari kebenaran. Dan kebenaran ada pada pihak kita, yang menuntut kita untuk memerangi mereka hingga mereka kembali kepadanya (kebenaran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 15/290 no. 38996].[2]
Pesan ini sudah sepatutnya diamalkan oleh orang-orang Syi’ah. Namun sayang, mereka menjadi kaum yang pertama kali mendurhakai ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, dan justru kitalah yang mengamalkan pesannyatersebut. Atau, kita sekarang sudah menjadi Syi’ah karenanya ? Lebih Syi’ah dibandingkan orang Syi’ah sendiri ?.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 17041434/26022013].

Faedah Lain dari Hadits Larangan Menggambar Makhluk Hidup

$
0
0

Ada beberapa hadits berkaitan dengan larangan menggambar makhluk hidup, yaitu :
عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ أَنَّهُ اشْتَرَى غُلَامًا حَجَّامًا فَقَالَ: " إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْبَغِيِّ، وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ "
Dari Abu Juhaifah : Bahwasannya ia pernah membeli seorang budak tukang bekam, lalu ia berkata : "Sesungguhnya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam melarang hasil penjualan darah, hasil penjualan anjing, dan hasil pelacuran. Beliau juga melaknat pemakan riba dan yang memberi makan riba, orang yang mentato dan yang minta ditato, serta melaknat penggambar" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2086 & 2238 & 5945 & 5962, Abu Daawud no. 3483, dan yang lainnya].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ "
Dan ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya di sisi Allah adalah al-mushawwiruun (para tukang gambar)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5950, Muslim no. 2109, An-Nasaa’iy no. 5364, dan yang lainnya].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرْتُ بِقِرَامٍ لِي عَلَى سَهْوَةٍ لِي فِيهَا تَمَاثِيلُ، فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَتَكَهُ، وَقَالَ: " أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ " قَالَتْ: فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah datang dari safar (bepergian), sedangkan aku telah menutupkan sebuah tirai pada sebuah rak kepunyaanku. Pada tirai itu terdapat gambar-gambar. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau mencabutnya dan bersabda : “Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai (menandingi) ciptaan Allah”. ‘Aaisyah radliyallaahu 'anhaa berkata : “Maka tirai itu kami jadikan sebuah bantal atau dua bantal” [Diriwayatkan oleh 5954, Muslim no. 2107, An-Nasaa’iy no. 5356, dan yang lainnya].
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَال النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ "
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini akan diadzab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka : ‘Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5951 & 7558, Muslim no. 2108, An-Nasaa’iy no. 5361, dan yang lainnya].
عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ، قال: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: إِنِّي رَجُلٌ أُصَوِّرُ هَذِهِ الصُّوَرَ فَأَفْتِنِي فِيهَا؟ فَقَالَ لَهُ: ادْنُ مِنِّي فَدَنَا مِنْهُ، ثُمَّ قَالَ: ادْنُ مِنِّي فَدَنَا حَتَّى وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ، قَالَ: أُنَبِّئُكَ بِمَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ "، وقَالَ: إِنْ كُنْتَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَاصْنَعِ الشَّجَرَ، وَمَا لَا نَفْسَ لَهُ فَأَقَرَّ بِهِ نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ
Dari Sa’iid bin Abil-Hasan, ia berkata : Ada seorang laki-laki yang mendatangi Ibnu ‘Abbaas, lalu berkata : “Sesungguhnya aku adalah seorang laki-laki yang punya pekerjaan menggambar gambar-gambar ini. Berilah aku fatwa”. Ibnu ‘Abbaas berkata kepadanya : “Mendekatlah kemari”. Ia pun mendekat kepadanya, hingga Ibnu ‘Abbaas meletakkan tangannya di atas kepala laki-laki itu. Kemudian Ibnu ‘Abbaas berkata : “Aku akan memberitahukan kepadamu tentang sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Setiap penggambar berada di neraka. Akan diberikan ruh kepada setiap gambar yang ia buat, lalu gambar tadi akan menyiksanya di Jahannam”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Seandainya engkau memang harus menggambar, maka gambarlah pohon dan apa saja yang tidak mempunyai nyawa” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2225 & 5963 & 7042 dan Muslim no. 2110].
عَنْ أَبِي زُرْعَةَ، قال: دَخَلْتُ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي دَارِ مَرْوَانَ، فَرَأَى فِيهَا تَصَاوِيرَ، فَقَالَ: سمعت رسول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ خَلْقًا كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً أَوْ لِيَخْلُقُوا حَبَّةً أَوْ لِيَخْلُقُوا شَعِيرَةً "
Dari Abu Zur’ah, ia berkata : Aku pernah masuk bersama Abu Hurairah di rumah Marwaan, lalu ia (Abu Hurairah) melihat di dalamnya ada beberapa gambar. Abu Hurairah berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang menciptakan seperti ciptaanku ?. Hendaklah ia ciptakan sebutir biji atau hendaklah ia ciptakan sebutir gandum” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5953 & 7559 dan Muslim no. 2111].
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa menggambar makhluk bernyawa (atau membuat patung makhluk bernyawa) termasuk dosa besar. ‘Illat hukum pengharaman ini diantaranya adalah adanya unsur penandingan terhadap ciptaan Allah dan penyamaan perbuatan makhluk dengan perbuatan Al-Khaaliq[1]. Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla berfirman kelak di hari kiamat kepada para penggambar :
أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ "
“Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan”.
Perbuatan menggambar makhluk hidup termasuk dosa besar di antara dosa-dosa besar, akan tetapi pelakunya tidak sampai pada derajat kufur akbar. Tidak ada ulama dulu dan sekarang yang menghukumi kufurnya secara mutlak para penggambar. Kecuali, apabila ia mempunyai niat atau tujuan dengan pembuatan gambarnya itu untuk menyerupakan perbuatan Al-Khaaliq dengan perbuatan dirinya, maka ia kafir dengan tujuan ini[2].
Faedah Lain :
Sebagian orang berpendapat bahwa orang yang membuat undang-undang buatan adalah kufur akbar secara mutlak (tanpa perincian) dengan alasan (‘illat) : orang tersebut telah menyaingi kekhususan Allah, yaitu : tasyrii’. Pembuatan dan/atau penetapan hukum hanyalah hak Allah. Barangsiapa yang mengambil hak ini, maka kafir. Begitu kata mereka.
Dengan memahami kasus hukum tashwiir di atas, maka nampak kesalahan pendapat mereka tersebut. Seandainya orang yang membuat aturan itu kafir dengan alasan menyaingi kekhususan Allah dalam penciptaan/pembuatan produk hukum; maka seharusnyaorang yang menyaingi kekhususan Allah dalam penciptaan makhluk juga dihukumi kafir. Jika orang yang membuat undang-undang dianggap telah menjadikan dirinya sebagai saingan Allah dalam masalah tasyrii’, maka penggambar telah menjadikan dirinya sebagai saingan Allah dalam masalah penciptaan. Sama saja duduk permasalahannya. Kenyataannya, penggambar tidaklah dihukumi kafir berdasarkan ijma’.
Dengan demikian, alasan (‘illat) menyaingi salah satu kekhususan Allah tidak mesti mengkonsekuensikan kufur akbar. Pendek kata, orang yang membuat undang-undang atau peraturan tidak bisa dihukumi kafir akbar tanpa melihat perincian kondisi dari pelakunya.[3]
Yang lebih menguatkan hal itu adalah para ulama sepakat tidak mengkafirkan bughaat, berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” [QS. Al-Hujuraat : 9].
Dalam ayat itu Allah di atas dipakai kata ath-thaaifah, dan salah satu makna ath-thaaifah adalah al-jamaa’atu minan-naas (sekelompok orang).[4]Dan lazimnya kelompok pemberontak (bughat)dipimpin oleh seseorang yang membuat dan menerapkan aturan-aturan/hukum kepada anak buahnya untuk melawan pemerintah yang sah. Hukum ini tentu saja bertentangan dengan hukum Allah. Namun, tidak ada ulama yang mengkafirkan bughat dengan sebab itu sebagaimana disebutkan sebelumnya. Hal yang sama pada kelompok pembegal dan pencuri yang mereka itu tidak dikafirkan para ulama berdasarkan ijma’.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’, banyak mengambil faedah dari buku Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaaholeh Bundar bin Naayif Al-‘Utaibiy, hal. 30-31 – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 17041434/27022013 – 00:56].
Baca juga artikel terkait :
13.   Istihlaal.



[1]     Terdapat dalam sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ
“Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai (menandingi) ciptaan Allah”.
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ خَلْقًا كَخَلْقِي
Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang menciptakan seperti ciptaanku ?.
[2]     Hal ini seperti firman Allah ta’ala :
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
“Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah"[QS. Al-An’aam : 93].
[3]     Para ulama telah menjelaskan hukum kafir dalam permasalahan berhukum selain hukum Allah adalah bagi orang yang mengatakan tidak wajib berhukum dengan hukum Allah, menghalalkannya/membolehkan berhukum selain hukum Allah, menganggap selain hukum Allah afdlal (lebih utama), atau boleh memilih antara hukum Allah atau selain hukum Allah.
[4]     Lisaanul-‘Arab, hal. 2723.

Tikus – Hamster – Jerboa (Haram – Haram – Halal)

$
0
0

Allah ta’ala telah menciptakan banyak jenis hewan di dunia, ada di antara yang halal dimana ada pula yang haram dimakan. Dalam perilaku konsumsi, kaum muslimin bukanlah seperti orang Budha yang mengharamkan semua jenis hewan, bukan pula seperti orang Nashrani yang menghalalkan semuanya, mulai semut hingga gajah – asal mereka doyan memakannya. Islam punya aturan yang tak dipunyai oleh agama-agama rekayasa tersebut. Tidaklah Allah menghalalkan sesuatu kecuali ia adalah sesuatu yang baik, dan tidaklah Allah mengharamkan sesuatu kecuali yang buruk. Allah ta’ala berfirman :
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [QS. Al-A’raaf : 157].
Tikus, hamster, dan jerboa adalah tiga jenis hewan yang sekilas mirip, namun mempunyai hukum berbeda tentang kebolehan memakannya. Tikus diharamkan dalam Islam memakannya karena termasuk binatang fasik (fuwaisiqah). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَمِّرُوا الْآنِيَةَ، وَأَجِيفُوا الْأَبْوَابَ، وَأَطْفِئُوا الْمَصَابِيحَ، فَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ رُبَّمَا جَرَّتِ الْفَتِيلَةَ، فَأَحْرَقَتْ أَهْلَ الْبَيْتِ
“Tutuplah bejana-bejana dan pintu-pintu kalian, serta matikanlah lampu-lampu kalian, karena tikus (al-fuwaisiqah) kadangkala akan menarik sumbu lampu sehingga mengakibatkan kebakaran yang menimpa para penghuni rumah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3316 & 6295, Muslim no. 2012, At-Tirmidziy no. 1812, dan yang lainnya].
Tikus boleh dibunuh baik ditanah haram maupun di luar tanah haram, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا
Ada lima jenis binatang fasik yang boleh diboleh dibunuh di luar tanah haram maupun di tanah haram, yaitu : ular, burung gagak, tikus, anjing yang suka menggigit, dan burung elang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1829 & 3314, Muslim no. 1198, At-Tirmidziy no. 837, An-Nasaa’iy no. 2829, dan yang lainnya].
Para ulama telah menjelaskan satu kaedah bahwa binantang yang disyari’atkan untuk membunuhnya haram dimakan. An-Nawawiy rahimahullah berkata :
ما أمر بقتله من الحيوانات فأكله حرام
“Semua hewan yang diperintahkan untuk membunuhnya, haram dimakan” [Al-Majmuu’, 9/22].
Adapun hamster, penulis kitab Al-Mausu’ah Al-‘Arabiyyah Al-‘Aalamiyyah (26/122) disebutkan :
هو من أنواع القوارض الصغيرة القصيرة المكتنزة ذات الفراء ... وغالبية أنواع الهمستر لها ذنب صغير وتجويف فموي يساعدها على تخزين كميات كبيرة من الغذاء ، وهناك حوالي 15 نوعا من الهامستر
“Hamster termasuk hewan pengerat yang kecil, pendek, dan berbulu..... Umumnya, hamster memiliki ekor kecil, memiliki mulut berongga yang digunakan menyimpan sejumlah besar makanan. Terdapat sekitar 15 jenis hamster” [selesai].
Dalam ilmu taksonomi, Hamster masuk dalam kerajaan Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, sub-ordo Myomorpha, super-famili Muroidea, famili Cricetidae, dan sub-famili Crecitinae. Hamster bertemu dengan tikus pada tingkat super-famili (Muroidea). Cukup jauh.
Dari penelaahan gambar dan data yang ada, pengasuh situs islamqa.com[1]mengatakan hamster mirip dengan tikus, sehingga dalam hukum disamakan dengannya (boleh dibunuh dan haram dimakan). Berikut adalah beberapa gambar beberapa jenis hamster :

Gambar 1. Hamster syiria

Gambar 2. Hamster Roborovski

Gambar 3.  Hamster dwarf
Hewan berikutnya adalah jerboa (bahasa Arabnya : al-yarbuu’ atau al-jarbuu’). Banyak orang yang menyebut jerboa sebagai jenis tikus berkaki panjang, namun mempunyai tangan (kaki depan) pendek. Jerboa termasuk hewan pengerat nokturnal yang sekarang langka (masuk dalam The IUCN Red List of Threatened Species), dan tergolong dalam kerajaan Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, Ordo Rodentia, super-famili Dipodoidea, dan famili Dipodidae.
Berbeda dengan dua hewan sebelumnya, jerboa ternyata halal dimakan menurut pendapat beberapa orang dari kalangan salaf.
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ ابْنِ طَاوُسٍ، عَنْ أَبِيهِ، سُئِلَ عَنْ أَكْلِ الْيَرْبُوعِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا "
Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Thaawus, dari ayahnya (Thaawus bin Kaisaan) : Bahwa ia pernah ditanya tentang hukum memakan jerboa, lalu ia tidak mempermasalahkannya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 6891; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا ابْنُ مُبَارَكٍ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " لَا بَأْسَ بِأَكْلِ الْيَرْبُوعِ ".
Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak, dari Ma’mar, dari Hisyaam, dari ayahnya (‘Urwah), ia berkata : “Tidak mengapa memakan jerboa” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 20126; sanadnya shahih].[2]
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الحُبَابٍ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ، عَنْ إبْرَاهِيمَ الصَّائِغِ، عَنْ عَطَاءٍ، أَنَّهُ قَالَ فِي الذِّئْبِ: " لَا يُؤْكَلُ وَالْيَرْبُوعُ يُؤْكَلُ ".
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubaab, dari Daawud bin Abi Furaat, dari Ibraahiim Ash-Shaaigh, dari ‘Athaa’ (bin Abi Rabaah) : Bahwasannya ia pernah berkata tentang serigala : “Tidak boleh dimakan, dan jerboa boleh dimakan” [idemno. 20129; sanadnya hasan].
Berikut adalah beberapa gambar beberapa jenis jerboa :

Gambar 4.  Jerboa Eufrat (Allactaga euphratica)

Gambar 5.  Jerboa telinga panjang/long-eared (Euchoreutes naso)

Gambar 6.  Lesser Egyptian Jerboa (Jaculus jaculus).
Semoga informasi ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 19041434/01032013 – 01:40].



[2]     Dalam riwayat ‘Abdurrazzaaq no. 6889 disebutkan riwayat secara mursal dari ‘Urwah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat perselisihan antara Ibnul-Mubaarak dan  ‘Abdurrazzaaq dalam riwayat yang mereka ambil dari Ma’mar. Ibnu Rajab dalam Syarhul-‘Ilal membawakan perkataan Ahmad dari riwayat Ibraahiim Al-Harbiy, dimana ia (Ahmad) mengatakan :
إذا اختلف معمر في شئ فالقول قول ابن المبارك
“Apabila Ma’mar berselisih dalam sebuah riwayat, perkataan yang dipegang adalah perkataan Ibnul-Mubaarak”.
Jadi yang kuat di sini adalah riwayat Ibnul-Mubaarak sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di atas.
Wallaahu a’lam.

Kelemahan Hadits Nabi Mengaqiqahi Dirinya Setelah Dewasa

$
0
0

Pembahasan ini secara singkat telah dibahas dalam artikel ‘Aqiqah dalam Syari’at Islam (catatan kaki no. 24).  Pada kesempatan ini, akan coba saya ulang dengan lebih menjabarkan jalan periwayatan dan keterangan penyebab kelemahannya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَرَّرٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بُعِثَ بِالنُّبُوَّةِ "
Dari ‘Abdullah bin Muharrar, dari Qataadah, dari Anas, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya setelah diutus sebagai nabi” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7960].
Diriwayatkan juga oleh Ibnul-Madiiniy[1]dalam Al-‘Ilal hal. 53 no. 58, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr[2]13/478-479 no. 7281 dan dalam Kasyful-Astaar[3]2/74 no. 1237, Ibnu ‘Adiy[4]dalam Al-Kaamil 5/214, Ar-Ruuyaaniy[5]dalam Al-Musnad 2/386 no. 1371, Ibnu Hibbaan[6]dalam Al-Majruuhiin 2/23, dan Al-Baihaqiy[7]dalam Al-Kubraa 9/300 (9/505) no. 19273; semuanya dari jalan ‘Abdullah bin Muharrar, dari Qataadah, dari Anas secara marfuu’.
Sanad riwayat ini sangat lemah karena faktor ‘Abdullah bin Al-Muharrar (Al-‘Aamiriy Al-Jazriy Al-Harraaniy), seorang yang matruuk [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3598]. Adapun Qataadah bin Di’aamah adalah seorang yang tsiqah lagi tsabt[Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553].
‘Abdullah bin Muharrar mempunyai mutaba’ah dari :
1.     Ismaa’iil bin Muslim
Sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy (9/595) dari Abusy-Syaikh. Kami belum mendapati sanad dari Abusy-Syaikh untuk diteliti, akan tetapi Ibnu Hajar berkata bahwa ada kemungkinan Ismaa’iil bin Muslim mencuri hadits dari ‘Abdullah bin Al-Muharrar. Apapun itu, jalur sanad Ismaa’iil bin Muslim ini sama sekali tidak bisa menjadi penguat bagi riwayat Ibnu Muharrar.
2.     ‘Abdullah Al-Jurasyiy.
Diriwayatkan oleh Ibnu Syaahiin[8]dalam Al-Khaamis minal-Afraad no. 3 : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim bin Ismaa’iil  Al-Mahaamiliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Ya’quub, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Qataadah Al-Harraaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah Al-Jurasyiy, dari Qataadah, dari Anas secara marfuu’.
Sanad riwayat ini sangat lemah dengan sebab ‘Abdullah bin Waaqid Abu Qataadah Al-Harraaniy, seorang yang matruuk [Taqriibut-Tahdziib, hal. 555 no. 3711].
Qataadah mempunyai mutaba’ah dari Tsumaamah bin ‘Abdillah bin Anas.
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy[9]dalam Musykiilul-Aatsaar 3/78 no. 1053, Ibnu Abid-Dun-yaa[10]dalam Al-‘Iyaal hal. 208 no. 66, Ath-Thabaraaniy[11]dalam Al-Ausath no. 994, dan Adl-Dliyaa’[12]dalam Al-Mukhtarah 5/204-205 no. 1832-1833; dari tiga jalan (Al-Hasan bin ‘Abdillah, ‘Amru bin Naaqid, dan Ahmad Al-Haitsam bin Jamiil), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mutsannaa bin Anas, dari Tsumaamah bin Anas, dari Anas secara marfuu’.
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thahawiy[13]dalam Musykiilul-Aatsaar 3/79 no. 1054 :  Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Nashr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Jamiil, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mutsannaa bin Anas bin Maalik, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki dari keluarga Anas bin Maalik, dari Anas, kemudian ia menyebutkan semisal hadits sebelumnya.
Sanad riwayat ini lemah ‘Abdullah bin Al-Mutsannaa, seorang yang shaduuq, namun banyak salah (shaduuq, katsiirul-ghalath) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3596]. Adanya perbedaan perantara antara ‘Abdullah bin Al-Mutsannaa dengan Anas merupakan qarinah jeleknya hapalan ‘Abdullah bin Al-Mutsannaa.
Ada yang mengatakan bahwa riwayat ‘Abdullah bin Al-Mutsannaa ini hasan karena ia mengambil riwayat dari pamannya (Tsumaamah bin Anas), dan Al-Bukhaariy berhujjah dengan riwayat mereka dalam kitab Shahiih-nya.
Tahsiinini tidaklah benar. Sudah ma’ruuf dalam ilmu mushthalah bahwa Al-Bukhaariy meriwayatkan beberapa hadits dalam kitab Shahiih-nya dari beberapa perawi yang lemah. Beliau rahimahullah mencantumkan hadits beberapa perawi lemah tersebut dalam kitab Shahiih-nya karena ada qarinahbahwa hadits tersebut shahih/hasan. Selain itu, Al-Bukhaariy berhujjah dengan riwayat ‘Abdullah bin Al-Mutsannaa dari Tsumaamah hanya dalam mutaba’ah saja, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar rahimahullah dalam Hadyus-Saariy (1/416). Di kesempatan lain Ibnu Hajar rahimahullah berkata setelah menyebutkan perkataan beberapa ulama kepada ‘Abdullah bin Al-Mutsannaa :
فهذا من الشيوخ الذين إذا انفرد أحدهم بالحديث لم يكن حجة،
“Orang ini termasuk di antara para syaikh yang jika bersendirian dalam periwayatan hadits tidak bisa dipergunakan sebagai hujjah” [Fathul-Baariy, 9/595].
‘Abdullah bin Al-Mutsannaa ini bersendirian dalam periwayatan dari Tsumaamah. Adapun penguat dari jalur Qataadah, maka kualitasnya sangat lemah.
Walhasil, hadits ini dengan keseluruhan jalannya adalah lemah, tidak dapat dipergunakan sebagai hujjah.
Hadits ini telah dilemahkan oleh Al-Baihaqiy, An-Nawawiy, Ibnu Hajar, dan yang lainnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 21041434/03032013 – 00:38].



[1]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبٍ الْمُقَابِرِيُّ، ثَنَا عَلِيُّ بْنُ هَاشِمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَرَّرِ ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا بَعَثَهُ اللَّهُ نَبِيًا
[2]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْجَارُودِيُّ أَبُو الْخَطَّابِ، نَا عَوْفُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرَّارِيُّ، نَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُحَرَّرِ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بُعِثَ نَبِيًّا
وَحَدِيثَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَرَّرٍ لَا نَعْلَمُ رَوَاهُمَا أَحَدٌ عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ غَيْرَهُ، وَهُوَ ضَعِيفُ الْحَدِيثِ جِدًّا، وَإِنَّمَا يُكْتَبُ مِنْ حَدِيثِهِ مَا لَيْسَ عِنْدَ غَيْرِهِ
[3]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْجَارُودِيُّ أَبُو الْخَطَّابِ، ثنا عَوْفُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُرَادِيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُحَرَّرِ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بُعِثَ نَبِيًّا.
قَالَ الْبَزَّارُ: تَفَرَّدَ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُحَرَّرِ، وَهُوَ ضَعِيفٌ جِدًّا، إِنَّمَا يُكْتَبُ عَنْهُ مَا لا [ يُوجَدُ ] عِنْدَ غَيْرِهِ.
[4]     Riwayatnya adalah :
ثنا عُمَرُ بْنُ بَكَّارٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الأَنْمَاطِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ هَاشِمِ بْنِ الْبَرِيدِ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَرَّرٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بَعَثَهُ اللَّهُ نَبِيًّا
ثنا السَّاجِيُّ، ثنا سَهْلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْجَارُودِيُّ، ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ مَرْوَانَ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَرَّرٍ، عَنْ قَتَادَة، عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بَعَثَهُ اللَّهُ نَبِيًّا
[5]     Riwayatnya adalah :
نَا ابْنُ إِسْحَاقَ، نَا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، نَا عَلِيُّ بْنُ هَاشِمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَرَّرٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا بَعَثَهُ اللَّهُ نَبِيًّا
[6]     Riwayatnya adalah :
وَرَوَى عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا بَعَثَهُ اللَّهُ تَعَالَى نَبِيًّا ".
أَخْبَرَنَاهُ يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ الْعَسْقَلانِيُّ، بِتِنِّيسَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَمَّادٍ الظَّهْرَانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ
[7]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ دَاوُدَ الْعَلَوِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ، أنبا حَاجِبُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ سُفْيَانَ الطُّوسِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ حَمَّادٍ الأَبْيُورْدِيُّ، ثنا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أنبا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَرَّرٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، " أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: إِنَّمَا تَرَكُوا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُحَرَّرٍ لِحَالِ هَذَا الْحَدِيثِ، قَالَ الْفَقِيهُ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَقَدْ رُوِيَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ، عَنْ قَتَادَةَ، وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ، عَنْ أَنَسٍ، وَلَيْسَ بِشَيْءٍ
[8]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْمَحَامِلِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ يَعْقُوبَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو قَتَادَةَ الْحَرَّانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ الْجُرَشِيُّ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا أُنْزِلَتِ الْنُبُوَّةُ
. وَهَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ، وَلا أَعْرِفُ لِعَبْدِ اللَّهِ الْجُرَشِيِّ غَيْرَ هَذَا الْحَدِيثِ، عَنْ قَتَادَةَ، وَقَالَ الْقَاسِمُ، عَنِ الْفَضْلِ، قَالَ: قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: هَذَا أَفَادَنَاهُ شُعْبَةُ، عَنْ هَذَا الشَّيْخِ، وَقَالَ: لَيْسَ يَرْوِي هَذَا الْحَدِيثَ أَحَدٌ غَيْرُهُ
[9]     Riwayatnya adalah :
مَا حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَنْصُورٍ الْبَالِسِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ جَمِيلٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى بْنِ أَنَسٍ، عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسٍ " أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ ".
[10]    Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ، حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ جَمِيلٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى بْنِ أَنَسٍ، حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ
قَالَ: وَرُبَّمَا، قَالَ: حَدَّثَنِيهِ رَجُلٌ مِنْ آلِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسٍ
[11]    Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنا أَحْمَدُ، قَالَ: نا الْهَيْثَمُ، قَالَ: نا عَبْدُ اللَّهِ، عَنْ ثُمَامَةَ، عَنْ أَنَسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بُعِثَ نَبِيًّا
[12]    Riwayatnya adalah :
No. 1668 :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ نَصْرٍ، بِأَصْبَهَانَ، أَنَّ الْحَسَنَ بْنَ أَحْمَدَ الْحَدَّادَ أَخْبَرَهُمْ، وَهُوَ حَاضِرٌ، أنبا أَبُو نُعَيْمٍ، أنبا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ الطَّبَرَانِيُّ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ مَسْعُودٍ، هُوَ الْمَقْدِسِيُّ، قثنا الْهَيْثَمُ بْنُ جَمِيلٍ، قثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى، عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا بُعِثَ نَبِيًّا
No. 1669 :
وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْهَيْصَمِ شَذْرَةُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي الْعَلاءِ الْمَدِينِيُّ الْخَيَّاطُ، بِمَدِينَةِ أَصْبَهَانَ، أَنَّ أَبَا الْخَيْرِ مُحَمَّدَ بْنَ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْبَاغْبَانَ أَخْبَرَهُمْ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ، أنبا أَبُو عَمْرٍو عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ مَنْدَهْ، أنبا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ يُوسُفَ بْنِ يُوهْ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ، قثنا أَبُو عَمْرٍو أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ حَكِيمٍ الْمَدِينِيُّ، إِمْلاءً، ثنا أَبُو حَاتِمٍ، هُوَ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الرَّازِيُّ، ثنا عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدٍ النَّاقِدُ، ثنا الْهَيْثَمُ بْنُ جَمِيلٍ، نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى بْنِ أَنَسٍ الأَنْصَارِيُّ، حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ
[13]    Riwayatnya adalah :
وَمَا حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ نَصْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ جَمِيلٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي رَجُلٌ، مِنْ آلِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، ثُمَّ ذَكَرَ مِثْلَهُ.

Termasuk Sunnah adalah Mengetahui Keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar

$
0
0

Al-Aajurriy rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُطَيَّنٌ الْكُوفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُصَرِّفُ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ يَقُولُ: " مَنْ جَهِلَ فَضْلَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَدْ جَهِلَ السُّنَّةَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muthayyin Al-Kuufiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Musharrif bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Bukair, dari Muhammad bin Ishaaq, ia berkata : Aku mendengar Abu Ja’far berkata : “Barangsiapa yang bodoh terhadap keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, sungguh ia telah bodoh terhadap sunnah” [Asy-Syarii’ah 3/417 no. 1863].
Sanad riwayat ini hasan. Berikut keterangan para perawinya :
1.     Ahmad bin Muhammad bin Ziyaad, Abu Sa’iid bin Al-A’raabiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Wafat tahun 340 H [Lisaanul-Miizaan, 1/670-672 no. 857].
2.     Muhammad bin ‘Abdillah bin Sulaimaan Al-Hadlramiy Al-Haafidh, terkenal dengan nama Muthayyin; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun 277 H [Lisaanul-Miizaan, 7/257-259 no. 7021].
3.     Musharrif bin ‘Amru bin As-Sariy bin Musharrif Al-Yaamiy/Al-Ayaamiy Al-Hamdaaniy, Abul-Qaasim/Abu ‘Amru Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 945 no. 6729].
4.     Yuunus bin Bukair bin Waashil Asy-Syaibaaniy, Abu Bakr/Abu Bukair Al-Jammaal Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq.[1] Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 199 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 1098 no. 7957, Tahriirut-Taqriib 4/138-139 no. 7900, dan man Tukullima fiihi wa Huwa Muwatstsaqun au Shaalihul-Hadiits hal. 561-562 no. 392].
5.     Muhammad bin Ishaaq bin Yasaar Al-Madaniy, Abu Bakr/Abu ‘Abdilah Al-Qurasyiy; seorang yang shaduuq, namun sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 150 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 825 no. 5762].
6.     Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy Al-Madaniy, Abu Ja’far Al-Baaqir; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 114 H/115 H/116 H/117 H/118 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1412 no. 6191].
Beliau rahimahullah dianggap orang-orang Syi’ah Raafidlah sebagai salah satu di antara imam-imam mereka.
Musharrif bin ‘Amru mempunyai mutaba’ah dari
1.     ‘Uqbah bin Mukram, sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy[2]dalam Fadlaailush-Shahaabah hal. 59-60 no. 37, Abu Nu’aim[3]dalam Hilyatul-Auliyaa’ 3/185, Al-Ashbahaaniy[4]dalam Al-Hujjaah 2/350, dan Adl-Dliyaa’[5]dalam An-Nahyu no. 18 dengan sanad hasan.
‘Uqbah bin Mukram bin ‘Uqbah bin Mukram Adl-Dlabbiy Al-Hilaaliy, Abu Mukram Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 234 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 685 no. 4686].
2.     ‘Abdurrahmaan bin Shaalih Al-Azdiy, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad[6]dalam Zawaaid Fadlaailish-Shahaabah no. 108. Hanya saja jalan riwayat ini menyebutkan : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Shaalih, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Bukair dan Muhammad bin Ishaaq, dari Abu Ja’far. ‘Abdurrahmaan bin Shaalih telah keliru dalam periwayatan ketika menyebutkan ‘dan Muhammad bin Ishaaq’. Yang benar : ‘dari Muhammad bin Ishaaq’. Sanad riwayat ini hasan.
‘Abdurrahmaan bin Shaalih Al-Azdiy Al-‘Atakiy, Abu Shaalih/Abu Muhammad Al-kuufiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 235 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 582 no. 3923].
Diriwayatkan oleh juga Al-Laalikaa’iy[7]dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 2324 dari jalan ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Khaththaab dari Yuunus bin Bukair, namun tanpa menyebutkan perantara Muhammad bin Ishaaq antara Yuunus bin Bukair dengan Abu Ja’far Muhammad bin ‘Aliy. Yang benar adalah adanya perantara Muhammad bin Ishaaq sebagaimana riwayat sebelumnya. Riwayat sebelumnya memperbaiki sanad riwayat ini.
‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Khaththaab Al-Kuufiy, Abul-Hasan; seorang yang shaduuq.[8]Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 224 H. Dipakai oleh oleh An-Nasaa’iy dalam Khashaaish ‘Aliy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 611 no. 4118].
Walhasil, secara keseluruhan riwayat ini hasan.
Faedah :
1.     Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang mencintai Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Mereka (Ahlul-bait) senantiasa menghormati, mendoakan rahmat dan ampunan kepada Abu Bakr dan ‘Umar. Bahkan, mereka memusuhi dan berlepas diri dari orang-orang yang memusuhi dan berlepas diri dari mereka berdua.[9]
2.     Mengetahui keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar dan sekaligus mencintai mereka berdua merupakan bagian dari sunnah. Jika dimutlakkan kata ‘sunnah’, maka yang dimaksud adalah sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
3.     Syi’ah Raafidlah telah berlepas diri dari agama Ahlul-bait, para shahabat, dan kaum muslimin secara umum dengan caci maki dan pengkafiran mereka terhadap Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
4.     Ahlus-Sunnah adalah syi’ah (pembela) Ahlul-Bait hakiki pada garda terdepan dibandingkan kaum yang mengaku diri Syi’ah (‘Aliy) namun malah mengkhianati agama Ahlul-Bait.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 22041434/03032013 – 23:16].



[1]     Yahyaa bin Ma’in dalam riwayat Ad-Duuriy berkata : “Tsiqah”. Dalam lain riwayat : “Seorang yang jujur (shaduuq), namun tunduk pada sulthan. Ia juga seorang Murji’ (penganut Murji’ah)”. Abu Zur’ah pernah ditanya tentang hal yang diingkari darinya (Yuunus), lalu ia menjawab : “Adapun dalam hadits, aku tidak mengetahuinya”. Abu Haatim berkata : “Tempat kejujuran”. Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair berkata : “Tsiqah”. ‘Ubaid bin Ya’iisy berkata : “Tsiqah’. Ibnu ‘Ammaar berkata : “Dia sekarang ini seorang yang tsiqah menurut ahli hadits”. Al-Juzjaaniy berkata : “Selayaknya untuk menetapkan dalam perkaranya”. As-Saajiy berkata : “Ibnu Al-Madiiniy tidak meriwayatkan hadits darinya, dan ia di kalangan mereka termasuk ahlush-shidq”. Ibnu Syaahiin berkata : “Tsiqah, namun ia berpemahaman tasyayyu’”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Aku menulis (hadits) darinya”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat.
Abu Dawud berkata : “Ia bukan hujjah di sisiku. Ia telah mengambil perkataan Ibnu Ishaaq, lalu menyambungkannya dengan hadits-hadits”. An-Nasa’iy berkata : “Tidak kuat”. Al-‘Ijilliy berkata : “Dla’iiful-hadiits”. Ibnu Abi Syaibah berkata : “Fiihi layyin”.Adz-Dzahabiy berkata : “Shaduuq”. Di lain tempat ia berkata : “Hasanul-hadiits”. Ibnu Hajar berkata : “Jujur, terkadang salah” [selengkapnya, silakan lihat Tahdziibul-Kamaal 32/493-497, Tahdziibut-Tahdziib11/434-436 no. 844,dan Ma’rifatuts-Tsiqaat lil-‘Ijilliy 2/377].
Melihat beberapa perkataan para imam jarh dan ta’dil di atas, maka perkataan yang benar atas diri Yuunus bin Bukair adalah shaduuq. Sedikit kelemahan padanya tidak menurunkan dari derajat hasan. Mayoritas jarh yang dialamatkan kepadanya yang berkaitan dengan periwayatan adalah  jenis jarh ringan. Jarh dalam bid’ah tasyayyu’ dan irja’ tidak memudlaratkan haditsnya, karena ia seorang yang jujur dan tidak membawakan hadits yang menguatkan bid’ahnya. Wallaahu a’lam.
[2]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ، بِمِصْرَ قَالَ: نَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ شَرِيكٍ، قَالَ: نَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، قَالَ: نَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، قَالَ: " مَنْ لَمْ يَعْرِفْ فَضْلَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَدْ جَهِلَ السُّنَّةَ "
[3]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حُبَيْشٍ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ شَرِيكٍ، حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، قَالَ: " مَنْ لَمْ يَعْرِفْ فَضْلَ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَدْ جَهِلَ السُّنَّةَ "
[4]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو المظفر، حَدَّثَنَا ابن المأمون، حَدَّثَنَا الدارقطني، حَدَّثَنَا علي ابن عبد الله بن الفضل بمصر، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيم بن شريك، حَدَّثَنَا عقبة ابن مكرم، حَدَّثَنَا يونس بن بكير، عن مُحَمَّد بن إسحاق، عن أَبِي جعفر مُحَمَّد ابن عَلَى قَالَ: من لم يعرف فضل أَبِي بكر، وعمر، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فقد جهل السنة.
[5]     Riwayatnya adalah :
وَبِهِ ثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حُبَيْشٍ، ثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ شَرِيكٍ، ثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، ثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ: " مَنْ لَمْ يَعْرِفْ فَضْلَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَدْ جَهِلَ السُّنَّةَ "
[6]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا عبد الله، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ صَالِحٍ، قثنا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ: " مَنْ جَهِلَ فَضْلَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقَدْ جَهِلَ السُّنَّةَ "
[7]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رِزْقِ اللَّهِ، قَالَ: أنا أَحْمَدُ بْنُ عِيسَى، قَالَ: نا أَبُو مُسْلِمٍ، قَالَ: نا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْخَطَّابِ، قَالَ: حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ يَعْنِي مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيِّ بْنِ الْحَسَنِ " مَنْ جَهِلَ فَضْلَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَقَدْ جَهِلَ السُّنَّةَ
[8]     Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tsiqah lagi shaduuq”. An-Nasaa’iy  berkata : “Tsiqah” [selengkapnya lihat : Tahdziibul-Kamaal 18/126-128 no. 3441]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah” [Al-Kaasyif, 1/655 no. 3382].
Kesimpulannya : ia seorang yang tsiqah.

‘Aliy bin Abi Thaalib : ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhumaa Termasuk Orang-Orang yang Dijauhkan dari Neraka

$
0
0
Benarkah ?. Memang benar !. (Orang Syi’ah) tidak percaya ? Ini buktinya :
حَدَّثَنَا شَبَابَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ إيَاسٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا يَخْطُبُ يَقُولُ: "إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ، قَالَ: عُثْمَانُ مِنْهُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Syabaabah, ia berkata : Telah menceritakan kepada Syu’bah, dari Ja’far bin Iyaas, dari Yuusuf bin Maahik, dari Muhammad bin Haathib, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy berkhutbah dan berkata : “(Allah berfirman) : ‘Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka’ (QS. Al-Anbiyaa’ : 101)”. ‘Aliy berkata : “’Utsmaan termasuk di antara mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 32588].
Dari jalan Ibnu Abi Syaibah tersebut, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Aashim[1]dalam As-Sunnah no. 1216. Dhahir sanad riwayat ini shahih dan para perawinya tsiqaat. Berikut keterangan singkat perawinya :
1.     Syabaabah bin Sawwaar Al-Fazaariy, Abu ‘Amru Al-Madaniy; seorang yangtsiqahlagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 204 H/205 H/206 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal.439 no. 2748].
2.     Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy Al-Azdi, Abu Busthaam Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, haafidh, mutqin, dan disebut Ats-Tsauriy sebagai amiirul-mukminiin fil-hadiits. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 160 H di Bashrah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2805].
3.     Ja’far bin Iyaas Abi Wahsyiyyah Al-Yasykuriy, Abu Bisyr Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 125/126 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 198 no. 938].
4.     Yuusuf bin Maahik bin Buhzaad Al-Faarisiy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3 dan wafat tahun 103 H/106 H/110 H/113 H/114 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1095 no. 7935].
5.     Muhammad bin Haathib bin Al-Haarits bin Ma’mar Al-Qurasyiy Al-Jumahiy, Abul-Qaasim/Abu Ibraahiim/Abu Wahb Al-Kuufiy; salah seorang shahabat yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 74 H di Makkah atau di Kuufah. Dipakai oleh At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 835 no. 5837].
6.     ‘Aliy bin Abi Thaalib bin ‘Abdil-Muthallib bin Haasyim Al-Qurasyiy, Abul-Hasan Al-Haasyimiy; salah seorang shahabat besar, amiirul-mukminiin. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 40 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 698 no. 4787].
Syabaabah dalam periwayatan dari Syu’bah diselisihi oleh Ath-Thayaalisiy (diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy[2]dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 989), Muhammad bin Ja’far (diriwayatkan oleh Ath-Thabariy[3]dalam Jaami’ul-Bayaan 18/538), dan Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan (diriwayatkan oleh Ahmad[4]dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 771) dimana mereka menyebutkan syaikh (guru) dari Ja’far Abu Bisyr adalah Yuusuf bin Sa’d (bukan Yuusuf bin Maahik).
Yuusuf bin Sa’d Al-Jumahiy, Abu Ya’quub/Abu Sa’d Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1094 no. 7921].
Dalam riwayat Ath-Thahawiy disebutkan dengan lafadh perkataan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu :
نَزَلَتْ فِي عُثْمَانَ، وَأَصْحَابِهِ، أَوْ قَالَ: عُثْمَانُ مِنْهُمْ
“(Ayat tersebut) turun berkenaan dengan ‘Utsmaan dan shahabat-shahabatnya” – atau ia berkata : “’Utsmaan termasuk di antara mereka”.
Ath-Thayaalisiy[5], Muhammad bin Ja’far (Ghundar)[6], dan Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan[7]adalah tiga orang pembesar ashhaab Syu’bah bin Al-Hajjaaj. Salah satu saja di antara mereka lebih dikedepankan dalam riwayat Syu’bah dibandingkan Syabaabah. Lantas, bagaimana halnya jika ketiganya berkumpul ?. Oleh karena itu, yang mahfuudh adalah riwayat yang menyebutkan Yuusuf bin Sa’d (bukan Yuusuf bin Maahik).
Diriwayatkan juga oleh Al-Baladzuriy[8]dalam Al-Ansaab, 6/111 :  
وَحَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ عَاصِمٍ،عَنْ جَعْفَرَ بْنِ أَبِي وَحْشِيَّةَ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ سَعِيدٍ مَوْلَى حَاطِبٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ، وَكَانَ قَدِمَ الْبَصْرَةَ مَعَ عَلِيٍّ، أَنَّ عَلِيًّا ذَكَرَ عُثْمَانَ، فَقَالَ وَمَعَهُ عُودٌ يَنْكُتُ بِهِ: "إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ " أُولَئِكَ عُثْمَانُ وَأَصْحَابُ عُثْمَانَ
Dan telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Naaqid, dari ‘Amru bin ‘Aashim, dari Ja’far bin Abi Wahsyiyyah, dari Yuusuf bin Sa’iid maulaa Haathib[9], dari Muhammad bin Haathib : Bahwasannya ia pernah tiba di negeri Bashrah bersama ‘Aliy. Ketika itu ‘Aliy menyebutkan tentang ‘Utsmaan, lalu ia berkata – yang ketika itu ia memegang sebilah dahan - : “Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka’ (QS. Al-Anbiyaa’ : 101). Mereka itu adalah ‘Utsmaan dan shahabat-shahabatnya”.
Sanad riwayat ini lemah karena keterputusan antara ‘Amru bin ‘Aashim dan Abu Bisyr. Kemungkinan perantara yang gugur antara keduanya adalah Syu’bah, karena ‘Amru bin ‘Aashim termasuk diantara ashhaab Syu’bah [Ma’rifatu Ashhaabi Syu’bah, hal. 127].
Berikut keterangan para perawi riwayat di atas :
1.     ‘Amru bin Muhammad bin Bukair bin Saabuur An-Naaqid, Abu ‘Utsmaan Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh, namun ragu dalam hadits. Termasuk thabaqah ke-10 dan wafat tahun 232 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal 744 no. 5141].
2.     ‘Amru bin ‘Aashim bin ‘Ubaidillah bin Al-Waazi’ Al-Kilaabiy Al-Qaisiy, Abu ‘Utsmaan Al-Bashriy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-9 dan wafat tahun 213 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziibhal. 738 no. 5090, Tahriirut-Taqriib 3/97 no. 5055, dan Kasyful-Iihaamhal. 499-500 no. 415].
Syu’bah mempunyai mutaba’ah dari Abu ‘Awaanah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 3/159-160 no. 1507 :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي دَاوُدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ حَبِيبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ يَعْنِي الطَّيَالِسِيَّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: قَدِمَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْبَصْرَةَ قَالَ: فَحَدَّثَنِي، قَالَ: شَهِدْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ عَلَى سَرِيرٍ، وَعِنْدَهُ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ، وَزَيْدُ بْنُ صُوحَانَ، وَصَعْصَعَةُ، فَذُكِرَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: وَعَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَنْكُتُ فِي الأَرْضِ بِعُودٍ مَعَهُ، فَقَرَأَ: إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ قَالَ: نَزَلَتْ فِي عُثْمَانَ، فَقُلْتُ لِمُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ: أَرْوِي هَذَا عَنْكَ؟ قَالَ: نَعَمْ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Daawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Habiib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud Ath-Thayaalisiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Abu Bisyr, dari Yuusuf bin Sa’d, ia berkata : Muhammad bin ‘Aliy tiba di negeri Bashrah, lalu ia menceritakan kepadaku, dan berkata : Aku pernah menyaksikan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas dipan, dan di sampingnya ada ‘Ammaar bin Yaasir, Zaid bin Shuuhaan, dan Sha’sha’ah. Lalu disebutkan perihal ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu. Lalu ‘Aliy berkata membaca ayat – ketika itu ia memukulkan sebilah dahan ke tanah – : “Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka’ (QS. Al-Anbiyaa’ : 101)”. Ia lalu berkata : “Ayat tersebut turun berkenaan dengan ‘Utsmaan”. Aku (Yuusuf bin Sa’d) berkata kepada Muhammad : “Bolehkan aku meriwayatkan hal ini darimu ?”. ia menjawab : “Ya, boleh”.
Sanad riwayat ini shahih, semua perawinya tsiqaat :
1.     Abu Bakr bin Abi Daawud adalah : ‘Abdullah bin Sulaimaan bin Al-Asy’ats As-Sijistaaniy, Abu Bakr bin Abi Daawud; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Lahir tahun 230 H dan wafat tahun 316 H [selengkapnya baca : Lisaanul-Miizaan, 4/490-495 no. 4266].
2.     Yuunus bin Habiib bin ‘Abdil-Qaahir bin ‘Abdil-‘Aziiz bin ‘Umar bin Qais, Abu Bisyr Al-Ashbahaaniy; seorang yang tsiqah. Wafat tahun 267 H [Al-Jarh wat-Ta’diil 9/237-238 no. 1000 dan Rijaalul-Haakim hal. 399 no. 1777].
3.     Abu Daawud Ath-Thayaalisiy, lihat catatan kaki no. 5.
4.     Al-Wadldlaah bin ‘Abdillah Al-Yasykuuriy, Abu ‘Awaanah Al-Waasithiy Al-Bazzaaz; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 175/176 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1036 no. 7457].
5.     Abu Bisyr, telah lewat keterangannya.
6.     Yuusuf bin Sa’d, telah lewat keterangannya.
7.     Muhammad bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abul-Qaasim/Abu ‘Abdillah – terkenal dengan nama : Ibnul-Hanafiyyah – Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 73 H/80 H/81 H/82 H/92 H/93 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 880 no. 6197].
Penyebutan Muhammad bin ‘Aliy di sini keliru karena menyelisihi riwayat jama’ah, karena yang benar adalah Muhammad bin Haathib. Lafadh Al-Aajurriy ini mirip dengan lafadh Al-Balaadzuriy.
Diriwayatkan juga Al-Mahaamiliy[10]dalam Al-Amaaliy no. 195 dengan menggugurkan Yuusuf bin Sa’d antara Abu Bisyr dan Muhammad bin Haathib. Semua perawinya tsiqaat.
Diriwayatkan juga oleh Abu Ishaaq[11]dalam Al-Amaaliy no. 110 dengan menyebutkan nama syaikh (guru) dari Abu Bisyr adalah : Yuusuf Al-Makkiy. Yang benar adalah Yuusuf bin Sa’d Al-Jumahiy sebagaimana riwayat jama’ah.
Walhasil, riwayat ini shahih.
Di kesempatan lain, Muhammad bin Haathib juga pernah bertanya kepada ‘Aliy :
سَأَلْتُ عَلِيًّا عَنْ عُثْمَانَ، فَقَالَ: " هُوَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا "، وَلَمْ يَخْتِمِ الآيَةَ
Aku pernah bertanya kepada ‘Aliy tentang ‘Utsmaan, lalu ia menjawab : “Ia termasuk orang-orang yang beriman, lalu bertaqwa, lalu beriman, lalu bertaqwa” – ia tidak menyelesaikan (pembacaan) ayat[12][Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah[13]no. 770; sanadnya shahih].
Perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib tentang diri ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhumaaadalah benar, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
عُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ
’Utsmaan ada di surga” [hadits shahih].
‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu termasuk golongan orang yang pertama kali masuk Islam yang mengorbankan harta dan jiwanya membela Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman tentang mereka :
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100].
Sumpah serapah dan caci maki kebencian orang-orang Syi’ah Raafidlah tentang diri ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu tidaklah berbekas kecuali pada diri mereka sendiri.
Anda, Pembaca, menjadi semakin tahu, siapakah sebenarnya syi’ah (pembela) ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : kita atau mereka ?. Siapakah yang beragama sesuai dengan agama ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : kita atau mereka ?.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 27041434/09032013 – 02:54].



[1]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، حَدَّثَنَا شَبَابَةُ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ إِيَاسٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا يَخْطُبُ، يَقُولُ: " إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ، عُثْمَانُ مِنْهُمْ "
[2]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا بَكَّارُ بْنُ قُتَيْبَةَ، وَيَزِيدُ بْنُ سِنَانٍ، قَالا: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَخْطُبُ، وَتَلا هَذِهِ الآيَةَ: " إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى، قَالَ: نَزَلَتْ فِي عُثْمَانَ، وَأَصْحَابِهِ، أَوْ قَالَ: عُثْمَانُ مِنْهُمْ.
[3]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: ثنا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: ثنا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ سَعْدٍ، وَلَيْسَ بِابْنِ مَاهِكَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا يَخْطُبُ، فَقَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ: "إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ، قَالَ: عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْهُمْ "،
[4]     Riwayatnya adalah :
نَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ شُعْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو بِشْرٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا يَقُولُ: يَعْنِي إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى: مِنْهُمْ عُثْمَانُ
[5]     Sulaimaan bin Daawud bin Al-Jaarud, Abu Daawud Ath-Thayaalisiy Al-Bashriy Al-Haafidh; seorang yang tsiqah lagi haafidh, namun keliru dalam beberapa hadits. Termasuk thabaqah ke-9 dan wafat tahun 204 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 406 no. 2565].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Abu Daawud Ath-Thayaalisiy dan Muhammad bin Ja’far (Ghundar) termasuk orang yang paling tsabt di kalangan ashhaab Syu’bah” [Fathul-Baariy, 2/227].
[6]     Muhammad bin Ja’far Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy – terkenal dengan nama Ghundar; seorang yang tsiqah shahiihul-kitaab, namun padanya ada kelalaian. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 293/294 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 833 no. 5824].
Al-‘Ijliy berkata bahwa ia orang yang paling tsabt dalam hadits Syu’bah [Ma’rifatuts-Tsiqaat, 2/234]. Ibnul-Mubaarak mengatakan jika orang-orang berselisih dalam hadits Syu’bah, maka kitab Ghundar menjadi pemutus di antara mereka [Al-Jarh wat-Ta’diil, 1/271]. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Fallaas [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/274].
[7]     Yahyaa bin Sa’iid bin Farruukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah,mutqin, haafidh, imaam, lagi qudwah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].
Al-Maimuuniy berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Al-Imaam Ahmad) tentang siapakah yang dikedepankan di antara ashhaab Syu’bah ?. Ia menjawab : “Adapaun dalam segi jumlah dan banyaknya, maka Ghundar. Ia (Ghundar) berkata : ‘Aku bershahabat dengan Syu’bah selama 20 tahun’. Akan tetapi Yahyaa bin Sa’iid lebih tsabt (kokoh). Ghundar itu shahiihul-kitaab....” [Al-Ma’rifah wat-Taariikh, 2/202].
[8]     Riwayatnya adalah :
وَحَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ عَاصِمٍ،عَنْ جَعْفَرَ بْنِ أَبِي وَحْشِيَّةَ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ سَعِيدٍ مَوْلَى حَاطِبٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ، وَكَانَ قَدِمَ الْبَصْرَةَ مَعَ عَلِيٍّ، أَنَّ عَلِيًّا ذَكَرَ عُثْمَانَ، فَقَالَ وَمَعَهُ عُودٌ يَنْكُتُ بِهِ: "إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ " أُولَئِكَ عُثْمَانُ وَأَصْحَابُ عُثْمَانَ
[9]     Begitulah yang tertulis dalam naskah kitab. Yang benar : Yuusuf bin Sa’d.
[10]    Riwayatnya adalah :
ثنا أَبُو السَّائِبِ، قَالَ: ثنا ابْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " عُثْمَانُ مِنْهُمْ، مِنَ الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:ف إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَق "
[11]    Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الأَشَجُّ، ثنا ابْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ يُوسُفَ الْمَكِّيِّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، يَقُولُ فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ، قَالَ: " عُثْمَانُ وَأَصْحَابُهُ "
[12]    QS. Al-Maaidah : 93 (selengkapnya) :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shalih karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
[13]    Riwayatnya adalah :
قثنا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، نا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي عَوْنٍ، قَالَ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ حَاطِبٍ، قَالَ: سَأَلْتُ عَلِيًّا عَنْ عُثْمَانَ، فَقَالَ: " هُوَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا "، وَلَمْ يَخْتِمِ الآيَةَ


Menyentuh Kemaluan dan Dubur Binatang

$
0
0
Tanya : Apakah menyentuh kemaluan dan dubur binatang membatalkan wudlu ?.
Jawab : Jumhur ulama berpendapat tidak batalnya wudlu karena menyentuh kemaluan dan dubur binatang[1]. Bahkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan pendapat ini merupakan ijmaa’ulama mutaqaddimiin :
لمس فرج الحيوان غير الإنسان لا ينقض الوضوء حيا ولا ميتا باتفاق الأئمة وذكر بعض المتأخرين من أصحاب الشافعي فيه وجهين . وإنما تنازعوا في مس فرج الإنسان خاصة
“Menyentuh kemaluan binatang selain manusia tidaklah membatalkan wudlu, baik hewan itu masih hidup ataupun telah mati, berdasarkan kesepakatan para ulama. Sebagian ulama muta’akhkhiriin dari kalangan ashhaab Asy-Syaafi’iy menyebutkan ada dua pendapat dalam permasalahan tersebut. Para ulama hanyalah berbeda pendapat dalam permasalahan menyentuh kemaluan manusia secara khusus” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 21/231].
Ada pendapat lain ternukil dari Al-Laits yang mengatakan batalnya wudlu secara mutlak, dan yang diriwayatkan dari ‘Athaa’ bahwa ia membedakan antara hewan yang dagingnya dapat dimakan dan tidak dapat dimakan.[2]
Alasan yang dipakai jumhur adalah : Maksud farji dalam nash[3]yang menegaskan batalnya wudlu bagi orang yang menyentuhnya adalah farji manusia, bukan farji hewan. Jika tidak ada dalil, berlakulah al-baraa-atul-ashliyyah, yaitu tidak batalnya wudlu. Selain itu, ketika syari’at tidak memberikan ketentuan batalnya wudlu seseorang karena menyentuh hewan betina, maka menyentuh farjinya (kemaluan dan dubur) juga tidak membatalkan wudlu.
Alasan yang dipakai ulama yang menyatakan batal adalah kemutlakan lafadh farji yang ada dalam hadits Busrah berikut :
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، قَالَ: تَذَاكَرَ هُوَ وَمَرْوَانُ الْوُضُوءَ مِنْ مَسِّ الْفَرْجِ، فَقَالَ مَرْوَانُ: حَدَّثَتْنِي بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْوُضُوءِ مِنْ مَسِّ الْفَرْجِ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, ia berkata bahwasannya ia pernah berdiskusi dengan Marwaan perihal wudlu dikarenakan menyentuh farji. Marwaan berkata : Telah menceritakan kepadaku Busrah bintu Shafwaan, bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan untuk berwudlu karena menyentuh farji [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 411; shahih].
Sisi pendalilannya : kemutlakan lafadh farji di sini meliputi farji manusia dan hewan.
Adapun alasan pendapat yang ternukil dari ‘Athaa’ adanya pembedaan antara hewan najis yang tidak dapat dimakan dagingnya (menyebabkan batal) dan hewan suci yang dapat dapat dimakan dagingnya (tidak menyebabkan batal), belum diketahui. Manaathul-hukm permasalahan ini bukanlah terletak pada suci atau najisnya hewan.
Yang raajihwallaahu a’lam– adalah pendapat jumhur, karena tidak ada dalil shahih dan shariih (jelas) yang menunjukkan batalnya. Dalil hadits Busrah yang dipakai oleh sebagian ulama, dalam lafadh lain disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan farji tersebut adalah farji manusia.
أَخْبَرَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا مَعْنٌ، أَنْبَأَنَا مَالِكٌ، ح وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ، عَنْ ابْنِ الْقَاسِمِ، قال: أَنْبَأَنَا مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ، يَقُولُ: دَخَلْتُ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ، فَذَكَرْنَا مَا يَكُونُ مِنْهُ الْوُضُوءُ، فَقَالَ مَرْوَانُ: مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ الْوُضُوءُ، فَقَالَ عُرْوَةُ: مَا عَلِمْتُ ذَلِكَ.فَقَالَ مَرْوَانُ: أَخْبَرَتْنِي بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Haaruun bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Ma’n : Telah memberitakan kepada kami Maalik (ح). Dan Al-Haarits secara qiraa’at yang dibacakan kepadanya dan aku mendengarnya, dari Ibnul-Qaasim, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Maali, dari ‘Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm, bahwasannya ia mendengar ‘Urwah bin Az-Zubair berkata : Aku pernah masuk menemui Marwaan bin Al-Hakam, lalu kami membicarakan tentang sesuatu yang mengharuskan wudlu. Marwaan berkata : “(Di antara yang) mengharuskan wudlu adalah karena menyentuh dzakar”. ‘Urwah berkata : “Aku belum mengetahui hal itu”. Laly Marwaan berkata : “Telah mengkhabarkan kepada kami Busrah bintu Shafwaan, bahwasannya ia mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudlu” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 163; shahih].
Jelas di sini yang dimaksudkan dengan farji atau dzakar adalah farji atau dzakar manusia.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 28041434/09032013 – 23:28 – jawaban banyak mengambil faedah dari buku Al-Qadiim wal-Jadiid min Aqwaali Al-Imaam Asy-Syaafi’iy oleh Dr. Muhammad Samii’iy Ar-Rastaaqiy, hal. 209-212].



[1]     Al-Kaafiy fil-Fiqhil-Maalikiy(1/149), Adz-Dzakhiirah (1/235), Raudlatuth-Thaalibiin (1/75), Hilyatul-‘Ulamaa’(1/152), Al-Mughniy wasy-Syarhul-Kabiir (1/175), Syarhul-‘Umdah (1/312), dan Al-Muhallaa (1/239).
[2]     Al-Mughniy wasy-Syarhul-Kabiir (1/175), Al-Bayaan (1/189-190), dan Al-Haawiy Al-Kabiir (1/198).
[3]     Dari Busrah bintu Shafwaan radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Barangsiapa yang menyentuh dzakarnya, janganlah ia shalat hingga berwudlu terlebih dahulu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 82, Abu Daawud no. 181, Ibnu Maajah no. 479, dan yang lainnya; shahih].
Dari Ummu Habiibah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang menyentuh farjinya, hendaklah ia berwudlu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 481, Abu Ya’laa no. 7144, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/130; shahih].

Ahlul-Bait Mengucapkan Shalawat kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu

$
0
0

Benarkah ?. Benar. Orang Syi’ah tidak percaya ?. Berikut buktinya :
Riwayat Maushul
أَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْعَتِيقِيُّ، نَا عَلِيُّ بْنُ عُمَرَ الْحَافِظُ، نَا أَبُو حَامِدٍ مُحَمَّدُ بْنُ هَارُونَ الْحَضْرَمِيُّ، نَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ، نَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ لِعُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، وَهُوَ مُسَجًّى: " صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ وَدَعَا لَهُ "، وَقَالَ: مَا أَجِدُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا، قَالَ سُفْيَانُ: قِيلَ لِجَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ: أَلَيْسَ قِيلَ لا يُصَلَّى عَلَى أَحَدٍ إِلا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: هَكَذَا سَمِعْتُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad Al-‘Qatiiqiy[1]: Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Umar Al-Haafidh[2]: Telah menceritakan kepada kami Abu Haamid Muhammad bin Haaruun Al-Hadlramiy[3]: Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim Ad-Dauraqiy[4]: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah[5], dari Ja’far bin Muhammad[6], dari ayahnya[7], dari Jaabir bin ‘Abdillah[8], ia berkata : Telah berkata ‘Aliy kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab yang ketika itu ia telah diselimuti karena wafat : “Semoga Allah melimpahkan shalawat kepadamu” – dan ia juga mendoakan kebaikan kepadanya. ‘Aliy berkata : “Tidak ada seorang manusia pun yang aku temui dan lebih aku cintaiuntuk bertemu Allah dengan lembaran catatannya dibandingkan orang ini”. Sufyaan berkata : Dikatakan kepada Ja’far bin Muhammad : “Bukankah telah dikatakan bahwa tidak boleh mengucapkan shalawat kepada seorang pun kecuali kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia (Ja’far) berkata : “Begitulah yang aku dengar (riwayat tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Al-Jaami’ li-Akhlaaqir-Raawiyno. 2/144-145 no. 1349].
Sanadriwayatinishahih.
Ya’quub mempunyai mutaba’aat dari :
1.     Al-Fasawiy[9]sebagaimana dalam Al-Ma’rifah[10]2/745.
2.     Al-Humaidiy[11]; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-‘Uqailiy[12]dalam Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir 2/555 dan Ibnu ‘Asaakir[13]dalam Taariikh Dimasyq 44/452-453.
3.     Ahmad bin Mu’aawiyyah[14]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Syabbah[15]dalam Taariikh Madiinah 3/154.
4.     ‘Abdullah bin Wahb[16]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Syabbah[17]dalam Taariikh Madiinah 3/157.
5.     ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan[18]; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haakim[19]dalam Al-Mustadrak 3/93.
6.     Sebagian shahabat Ibnu Sa’d; sebagaimana diriwayatkan pleh Ibnu Sa’d[20]dalam Ath-Thabaqaat 3/198, dan darinya Ibnu ‘Asaakir[21]dalam Taariikh Dimasyq 44/452-453.
Dalam lafadh Al-‘Uqailiy dan Ibnu ‘Asaakir terdapat tambahan cerita :
قَالَ سُفْيَانُ: فَقَالَ سَدِيرٌ الصَّيْرَفِيُّ وَكَانَ مَعَنَا: لِمَ فَوَاللَّهِ لِمَا فِي صَحِيفَتِهِ، يَعْنِي: جَعْفَرًا، خَيْرًا مِمَّا فِي صَحِيفَتِهِ، يَعْنِي عُمَرَ؟ قَالَ سُفْيَانُ: فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْفَعَ يَدِي فَأَضْرِبَ أَنْفَهُ، فَقَالَ لِي الْحَسَنُ بْنُ عُمَارَةَ: دَعْهُ فَإِنَّ هَذَا ضَالٌّ
Telah berkata Sufyaan : Sadiir Ash-Shairafiy berkata yang waktu itu ia bersama kami : “Mengapa, demi Allah, mengapa yang tertulis dalam lembaran catatannya (Ja’far) lebih baik daripada yang tertulis dalam lembaran catatannya (‘Umar) ?”. Sufyaan berkata : “Maka aku mengangkat tanganku ingin memukul hidungnya”. Al-Hasan bin ‘Umaarah berkata kepadaku : “Biarkan dia, karena orang ini sesat”.
Sadiir adalah seorang yang punya madzhab jelek, ghulluw dalam bid’ah Raafidlah [Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir, 2/554].
Dalam riwayat Al-Fasawiy, ia menyebut Bisyr Ash-Shairafiy sebagai pengganti Sadiir Ash-Shairafiy. Namun yang benar adalah Sadiir Ash-Shairafiy.
Diriwayatkan juga secara maushul oleh Ibnu Sa’d[22]dalam Ath-Thabaqaat 3/198 dan darinya Ibnu ‘Asaakir[23]dalam Taariikh Dimasyq 44/452; dari jalan Sufyaan, namun ucapan ‘Aliy kepada ‘Umar sebagaimana dijelaskan oleh perawi :
فَقَالَ لَهُ كَلامًا حَسَنًا
“Lalu ia (‘Aliy) berkata kepadanya sebuah perkataan yang baik”.
Sanadnya shahih.
Perkataan tersebut menggantikan shalawat yang diucapkan ‘Aliy kepada ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Hal itu tidaklah mengapa, karena riwayat yang menyebutkan shalawat sebagai penafsir dari ‘perkataan yang baik’ dalam riwayat ini.
Diriwayatkan juga secara maushul (bersambung) oleh Al-Balaadzuriy[24]dalam Al-Ansaab 10/443 (dari ‘Amru bin Muhammad[25]dan Ishaaq Al-Farwiy[26]), Ibnu Abid-Dun-yaa[27]dalam Al-Mutamminiin no. 85 (dari Mahdiy bin Hafsh[28]), dan Abu Nu’aim[29]dalam Fadlaailil-Khulafaair-Raasyidiin no. 207 (dari Yahyaa bin Ar-Rabii’[30]); semuanya dari jalan Sufyaan, namun tanpa menyebutkan lafadh pengucapan shalawat.
Dalam sanad Abu Nu’aim disebutkan bahwa riwayat tersebut diceritakan pada saat Ibnu ‘Uyainah, Ja’far bin Muhammad, dan Sadiir berada dalam satu majelis.
Ziyaadah lafadh shalawat dalam jalur riwayat maushul Ibnu ‘Uyainah adalah diterima karena ia merupakan ziyaadah dari para perawi tsiqaat dari kalangan ashhaab Ibnu ‘Uyainah.
Sufyaan bin ‘Uyainah mempunyai mutaba’ah dari Al-Haarits bin ‘Imraan sebagaimana diriwayatkan oleh Abul-Fadhl Az-Zuhriy[31]dalam hadiits-nya no. 293 dan Ibnu ‘Asaakir[32]dalam Taariikh Dimasyq 44/453. Akan tetapi riwayat ini sangat lemah dikarenakan Al-Haarits, seorang yang matruuk.[33]
Riwayat Mursal
قَالَ: أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ اللَّيْثِيُّ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ،أَنَّ عَلِيًّا لَمَّا غُسِّلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَكُفِّنَ وَحُمِلَ عَلَى سَرِيرِهِ وَقَفَ عَلَيْهِ عَلِيٌّ فَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ: " وَاللَّهِ مَا عَلَى الأَرْضِ رَجُلٌ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى بِالثَّوْبِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Anas bin ‘Iyaadl Al-Laitsiy[34], dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya : Bahwasannya ‘Aliy ketika ‘Umar bin Al-Khaththaab dimandikan, dikafani, dan dibawa ke atas tempat tidurnya, ia (‘Aliy) berdiri di dekatnya dan memujinya. Ia (‘Aliy) berkata : “Demi Allah, tidak ada seorang laki-laki pun di muka bumi yang lebih aku senangi untuk bertemu Allah dengan lembar catatannya daripada orang yang diselimuti dengan kain ini”[Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaatul-Kubraa, 3/198].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Asaakir[35]dalam Taariikh Dimasyq 44/453 dari jalan Anas bin ‘Iyaadl, selanjutnya seperti riwayat di atas.
Anas bin ‘Iyaadl mempunyai mutaba’aat dari :
1.     Fudlail bin Marzuuq[36]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d[37]dalam Ath-Thabaqaat 3/198, Al-Balaadzuriy[38]dalam Al-Ansaab 10/444.
2.     Sulaimaan bin Bilaal[39]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d[40]dalam Ath-Thabaqaat 3/199, ‘Abdullah bin Ahmad[41]dalam Zawaaid Fadlaailish-Shahaabah no. 652.
3.     Wuhaib bin Khaalid[42]; sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad[43]dalam Zawaaid Fadlaailish-Shahaabah no. 345.
4.     Haatim bin Ismaa’iil[44]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah[45]no. 32554,
5.     Yahyaa bin Sa’iid[46]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir[47]dalam Taariikh Dimasyq 44/453.
Ad-Daaruquthniy rahimahullah pernah ditanya perihal riwayat di atas, lalu ia menjawab :
هُوَ حَدِيثٌ يَرْوِيهِ جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، وَاخْتُلِفَ عَنْهُ، فَرَوَاهُ ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرٍ، وَخَالَفَهُ أَصْحَابُ جَعْفَرٍ، فَرَوَوْهُ عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ مُرْسَلًا، وَأَغْرَبَ ابْنُ عُيَيْنَةَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ فِي إِسْنَادِهِ وَمَتْنِهِ، فَأَمَّا فِي إِسْنَادِهِ، فَإِنَّهُ وَصَلَهُ عَنْ جَابِرٍ، عَنْ عَلِيٍّ، وَأَمَّا فِي مَتْنِهِ، فَإِنَّهُ قَالَ: " إِنَّ عَلِيًّا دَخَلَ عَلَى عُمَرَ وَهُوَ مُسَجًّى، فَقَالَ: صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ، قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ، فَقُلْتُ لِجَعْفَرٍ: أَلَيْسَ يُقَالُ: لَا يُصَلَّى إِلَّا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ "، فَقَالَ: هَكَذَا سَمِعْنَا أَوْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ، وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ جَعْفَرٌ تَرَكَ هَذِهِ الْكَلِمَةَ لَمَّا عَارَضَهُ سُفْيَانُ بِمَا عَارَضَهُ بِهِ، فَإِنَّ سَمَاعَ ابْنِ عُيَيْنَةَ مِنْ جَعْفَرٍ قَدِيمٌ، وَقِيلَ: عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عِمْرَانَ الْجَعْفَرِيِّ، عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ، وَلَا يَصِحُّ عَنِ الْحَارِثِ، وَالْمَحْفُوظُ الْمُرْسَلُ، فَإِنْ كَانَ ابْنُ عُيَيْنَةَ حَفِظَهُ مُتَّصِلًا، فَلَعَلَّ جَعْفَرًا وَصَلَهُ مَرَّةً، وَاللَّهُ أَعْلَمُ،
“Ia adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya. Terdapat perselisihan periwayatan darinya. Ibnu ‘Uyainah meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir. Ashhaab Ja’far telah menyelisihinya dimana mereka meriwayatkan dari Ja’far, dari ayahnya secara mursal. Ibnu ‘Uyainah telah menyendiri dalam sanad dan matan hadits ini. Dalam hal sanad, maka ia telah menyambungkannya dari Jaabir, dari ‘Aliy. Adapun dari sisi matan, maka ia berkata : “Sesungguhnya ‘Aliy pernah masuk menemui ‘Umar yang telah wafat diselimuti. Ia berkata : ‘Semoga Allah melimpahkan shalawat kepadamu”. Ibnu ‘Uyainah berkata : Aku berkata kepada Ja’far : “Bukankah telah dikatakan bahwa tidak boleh mengucapkan shalawat kecuali pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia (Ja’far) berkata : “Begitulah yang kami dengar” – atau – “Begitulah yang ada dalam hadits”. Seakan-akan Ja’far meninggalkan kalimat ketika Sufyaan membantahnya dengan perkataan yang ia bantah dengannya. Dan sesungguhnya penyimakan Ibnu ‘Uyainah dari Ja’far adalah qadiim. Dan dikatakan : Dari Al-Haarits bin ‘Imraan Al-Ja’fariy, dari Ja’far, dari ayahnya – namun itu tidak shahih dari Al-Haarits. Yang mahfuudh adalah mursal. Dan seandainya Ibnu ‘Uyainah menghapal sanad riwayat tersebut muttashil (bersambung), maka kemungkinan Ja’far memang pernah menyambungkannya. Wallaahu a’lam” [Al-‘Ilal, 3/89 no. 297].
Dengan melihat riwayat-riwayat di atas dan juga penjelasan Ad-Daaruquthniy rahimahullah, didapatkan satu pemahaman, yaitu :
1.     Penyimakan riwayat Ibnu ‘Uyainah dari Ja’far bin Muhammad adalah qadiim, yaitu terjadi di awal waktu, mendahului ashhaab Ja’far bin Muhammad yang lainnya.
2.     Penyimakan riwayat Ibnu ‘Uyainah dari Ja’far bin Muhammad terjadi pada waktu dan tempat tertentu yang tidak dihadiri mayoritas ashhaab Ja’far.
3.     Ja’far bin Muhammad memang benar-benar pernah meriwayatkan ucapan shalawat ‘Aliy; kepada Ibnu ‘Uyainah. Hal itu ditunjukkan adanya dialog antara dirinya dengan Ibnu ‘Uyainah perihal ucapan shalawat tersebut.
4.     Ibnu ‘Uyainah benar-benar menghapal riwayat, karena ia menceritakan peristiwa yang ia alami bersama Ja’far. Yang semacam ini menunjukkan qarinah atas kedlabithannya terhadap riwayat yang ia bawakan.
5.     Lafadh shalawat yang dibawakan Ibnu ‘Uyainah adalah shahih dan merupakan bagian ziyaadatuts-tsiqah yang diterima.
6.     Sebagaimana dikatakan Ad-Daaruquthniy, kemungkinan setelah dialognya dengan Ibnu ‘Uyainah, Ja’far meninggalkan lafadh tersebut sehingga para perawi yang meriwayatkan darinya (setelah itu) tidak menyebutkan lafadh shalawat.
7.     Riwayat maushul adalah shahih, dan itu memperbaiki riwayat mursal. Qarinah-nya adalah:
a.      Eksistensi lafadh shalawat adalah shahih dan pernah diucapkan oleh Ja’far bin Muhammad sebagaimana disinggung sebelumnya. Tambahan lafadh shalawat hanya ada pada riwayat maushul. Jika tambahan lafadh ini shahih, maka tambahan perawi (Jaabir) dalam riwayat maushul ini pun shahih.
b.      Jaabir bin ‘Abdillah adalah salah satu syaikh dari Abu Ja’far Al-Baaqir yang masyhuur.
c.      Ad-Daaruquthniy telah menegaskan adanya kemungkinan ini.
Seandainya lafadh shalawat ini dianggap tidak mahfudh, maka kekeliruan ini bukan terletak pada Ibnu ‘Uyainah. Hal tersebutjelas terlihat pada perbincangan Ibnu ‘Uyainah dengan Ja’far bin Muhammad, bahwa Ja’far hanya menyampaikan apa yang ia dengar.
[Apakah orang Syi’ah hendak menyalahkan Ja’far bin Muhammad atau ayahnya ?].
Pujian ‘Aliy bin Abi Thaalib kepada ‘Umar ketika ia meninggal diriwayatkan dalam beberapa jalan , yang jika dikumpulkan, maka kualitasnya shahih. Ini telah diakui sendiri oleh Abu Ja’far Al-Baaqir sebagaimana riwayat :
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَيْمَنَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٍ، أَنَّ عَلِيًّا دَخَلَ عَلَى عُمَرَ وَقَدْ مَاتَ وَسُجِّيَ بِثَوْبٍ، فَقَالَ: " يَرْحَمُكَ اللَّهُ، فَوَاللَّهِ مَا كَانَ فِي الأَرْضِ رَجُلٌ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ مِنْ صَحِيفَتِكَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-Waahid bin Aiman, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ja’far : Bahwasannya ‘Aliy pernah masuk menemui ‘Umar yang ketika itu telah meninggal diselimuti dengan kain. Ia berkata : “Semoga Allah merahmatimu. Demi Allah, tidak ada seorang laki-laki pun di muka bumi yang lebih aku cintai untuk bertemu Allah dengan lembar catatan (amal)-nya dibandingkan lembaran catatan (amal)-mu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d 3/199; shahih hingga Abu Ja'far].
Pertanyaan kita kepada orang Syi’ah sangatlah sederhana : Jika ‘Umar bin Al-Khaththab itu kafir dan musuh Ahlul-Bait, logiskah ‘Aliy bin Abi Thaalib bershalawat serta mendoakan rahmat dan kebaikan pada ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa ?.
Jika ‘Aliy bersedih dan merasa kehilangan atas meninggalnya ‘Umar, mengapa kalian – wahai orang-orang Syi’ah – malah bergembira ria merayakan kematiannya dan menganggap pembunuhnya sebagai pahlawan ?.
Siapakah yang kalian tiru ?. ‘Aliy bin Abi Thaalib dan keturunannya yang shalih ataukah ‘Abdullah bin Saba’ ?.
Atau, alasan kebencian kalian adalah karena penaklukan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu atas negeri Persia Majusi seperti yang dikatakan ulama Syi’ah ini ? :
Wallaahul-musta’aan.
Semoga tulisan singkat ini ada gunanya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 07051434/19032013 – 00:28].



[1]      Ahmad bin Muhammad bin Ahmad; seorang yang tsiqah. Lahirtahun 367 H danwafattahun 441 H [SiyaruA’laamin-Nubalaa’, 17/602-603 no. 403].
[2]      ‘Aliy bin ‘Umar bin Ahmad bin Mahdiy bin Mas’uud bin An-Nu’maan bin Diinaar bin ‘Abdillah, Abul-Hasan Al-Baghdaadiy Al-Muqri’ Ad-Daaruquthniy; seorang imam yang tsiqah, mutqin, lagi haafidh. Lahir tahun 306 H dan wafat tahun 385 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/449-461 no. 332].
[3]      Muhammad bin Haaruun bin ‘Abdillah bin Humaid Al-Hadlramiy, Abu Haamid; seorang yang tsiqah. Wafat tahun 321 H [SiyaruA’laamin-Nubalaa’ 15/25 no. 12 danRijaal Al-Haakimhal. 304 no. 1560].
[4]      Ya’quub bin Ibraahiim bin Katsiir bin Zaid bin Aflah Al-‘Abdiy Al-Qaisiy, Abu Yuusuf Ad-Dauraqiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 166 H, dan wafat tahun 252 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1087 no. 7866].
[5]      Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-Kuufiy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 107 H, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].
[6]      Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah; seorang yang shaduuq, faqiih, lagi imam. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 200 no. 958].
[7]      Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy Al-Madaniy, Abu Ja’far Al-Baaqir; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 114 H/115 H/116 H/117 H/118 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6191].
[8]      Jaabir bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Haraam Al-Anshaariy Al-Khazrajiy As-Sulamiy, Abu ‘Abdillah/Abu ‘Abdirrahmaan/Abu Muhammad Al-Madaniy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Dipakaioleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, danIbnuMaajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 192 no. 879].
[9]      Ya’quub bin Sufyaan bin Jawaan Al-Faarisiy, Abu Yuusuf bin Abi Mu’aawiyyah Al-Fasawiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 277 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1088 no. 7871].
[10]     Riwayatnya adalah :
وَقَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: دَخَلَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، عَلَى عُمَرَ وَهُوَ مُسَجًّى، فَقَالَ: " صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَمَا مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِمَا فِي صَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى عَلَيْهِ "
قَالَ سُفْيَانُ: فَقَالَ بِشْرُ بْنُ الصَّيْرَفِيِّ، وَكَانَ مَعَنَا، لِمَ فَوَاللَّهِ لَمَا فِي صَحِيفَتِهِ، يَعْنِي جَعْفَرًا، أَكْبَرُ مِمَّا فِي صَحِيفَتِهِ، يَعْنِي عُمَرَ، قَالَ: سُفْيَانُ: فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْفَعَ يَدِي فَأَضْرِبَ أَنْفَهُ، فَقَالَ لِيَ الْحَسَنُ بْنُ عِمَارَةَ: لَا أَعْرِفُ أَنَّ هَذَا ضَالٌّ.
[11]     ‘Abdullah bin Az-Zubair bin ‘Iisaa bin ‘Ubaidillah bin Usaamah bin ‘Abdillah bin Humaid bin Zuhair Al-Qurasyiy Al-Asadiy Al-Humaidiy Al-Makkiy, Abu Bakr; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 219 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah dalam At-Tafsiir [Taqriibut-Tahdziib, hal. 506 no. 3340].
[12]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: " دَخَلَ عَلِيٌّ عَلَى عُمَرَ وَقَدْ سُجِّيَ بِثَوْبٍ، فَقَالَ: صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ وَدَعَا لَهُ، فَمَا مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى ". قَالَ الْحُمَيْدِيُّ: قَالَ سُفْيَانُ: فَسَمِعْتُ سُدَيْرًا الصَّيْرَفِيَّ، وَكَانَ مَعَنَا يَقُولُ: فَوَاللَّهِ لَمَا فِي صَحِيفَتِهِ خَيْرٌ مِمَّا فِي صَحِيفَتِهِ، قَالَ سُفْيَانُ: يَعْنِي جَعْفَرًا، فَرَفَعْتُ يَدِي أُرِيدُ أَنْ أَضْرِبَ بِهَا وَجْهَهُ، أَوْ قَالَ: فَمَهْ، قَالَ: فَأَمْسَكَنِي الْحَسَنُ بْنُ عُمَارَةَ، وَقَالَ: دَعْهُ فَإِنَّهُ ضَالّ
[13]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ السَّمَرْقَنْدِيِّ، أنا أَبُو بَكْرِ بْنُ الطَّبَرِيِّ، أنا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ الْفَضْلِ، أنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، نا يَعْقُوبُ، نا أَبُو بَكْرٍ الْحُمَيْدِيُّ، نا سُفْيَانُ،نا جَعْفَرٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قال: دَخَلَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَى عُمَرَ وَهُوَ مُسَجًّى، فَقَالَ: " صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ، مَا مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِمَا فِي صَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى عَلَيْهِ "، قَالَ سُفْيَانُ: فَقَالَ سَدِيرٌ الصَّيْرَفِيُّ وَكَانَ مَعَنَا: لِمَ فَوَاللَّهِ لِمَا فِي صَحِيفَتِهِ، يَعْنِي: جَعْفَرًا، خَيْرًا مِمَّا فِي صَحِيفَتِهِ، يَعْنِي عُمَرَ؟ قَالَ سُفْيَانُ: فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْفَعَ يَدِي فَأَضْرِبَ أَنْفَهُ، فَقَالَ لِي الْحَسَنُ بْنُ عُمَارَةَ: دَعْهُ فَإِنَّ هَذَا ضَالٌّ.
[14]     Ahmad bin Mu’aawiyyah bin Bakr bin Mu’aawiyyah, Abu Bakr Al-Baahiliy Al-Bashriy; para ulama berbeda pendapat tentangnya. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia meriwayatkan hadits-hadits bathil, dan pernah mencuri hadits”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-Khathiib berkata : “Tidak mengapa dengannya” [Taariikh Baghdaad 6/380 no. 2878 dan Lisaanul-Miizaan 1/676 no. 865].
[15]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُعَاوِيَةَ، قال: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ،عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رَأَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ مُسَجًّى، فَقَالَ: " صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ، مَا مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِمَا فِي صَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا "، فَقَالَ لَهُ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا. .. فَقَالَ: لا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ إِلا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَكَتَ
[16]     ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 125 H, dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 556 no. 3718].
[17]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عُثْمَانَ، قال: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، قال: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا " أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَلَّى عَلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ عَلَى سَرِيرِهِ، وَقَالَ فِيمَا دَعَا لَهُ: صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ"
[18]     ‘Abdullah bin ‘Umar bin Muhammad bin Abaan bin Shaalih bin ‘Umair Al-Qurasyiy Al-Umawiy Al-Ju’fiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, padanya ada paham tasyayyu’. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 239 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 529 no. 3517].
[19]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْمُزَنِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ، ثنا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ عَلِيًّا دَخَلَ عَلَى عُمَرَ وَهُوَ مُسَجًّى، فَقَالَ: " صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ"، ثُمَّ قَالَ: " مَا مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِمَا فِي صَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى ".
قَالَ الْحَاكِمُ: أَخْبَارُ الشُّورَى مَا يَصِحُّ مِنْهَا مَخْرَجُهُ بَعْدَ وَفَاةِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَوْصُولَةٌ بِأَخْبَارِ سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ
[20]     Riwayat adalah :
قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا بَعْضُ أَصْحَابِنَا، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ،أَنَّهُ سَمِعَ مِنْهُ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، وَلَمْ يَشُكُّ، قَالَ: وَقَالَ: لَمَّا انْتَهَى إِلَيْهِ عَلِيٌّ، قَالَ لَهُ: " صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ، مَا أَحَدٌ أَلْقَى اللَّهُ بِصَحِيفَتِهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى بَيْنَكُمْ "
[21]     Riwayatnya adalah :
قَالَ: ونا ابْنُ سَعْدٍ، نا بَعْضُ أَصْحَابِنَا، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ مِنْهُ هَذَا الْحَدِيثَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، وَلَمْ يَشُكَّ، قَالَ: وَقَالَ لَمَّا انْتَهَى إِلَيْهِ عَلِيٌّ: قَالَ لَهُ: " صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ، مَا أَحَدٌ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى بَيْنَكُمْ ".
[22]     Riwayatnyaadalah :
قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ،قَالَ: سَمِعْتُ جَعْفَرَ بْنَ مُحَمَّدٍ، يُخْبِرُ عَنْ أَبِيهِ، لَعَلَّهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ عَلِيًّا دَخَلَ عَلَى عُمَرَ وَهُوَ مُسَجًّى فَقَالَ لَهُ كَلامًا حَسَنًا، ثُمَّ قَالَ: " مَا عَلَى الأَرْضِ أَحَدٌ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى بَيْنَكُمْ "
[23]     Riwayatnyaadalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ الْفَرَضِيُّ، أنا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ الْجَوْهَرِيِّ، أنا أَبُو عُمَرَ، أنا أَبُو الْحَسَنِ، أنا الْحُسَيْنُ بْنُ الْفَهْمِ، نا مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ، نا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، قال: سَمِعْتُ جَعْفَرَ بْنَ مُحَمَّدٍ يُخْبِرُ عَنْ أَبِيهِ ـ لَعَلَّهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ـ عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ عَلِيًّا دَخَلَ عَلَى عُمَرَ وَهُوَ مُسَجًّى، فَقَالَ لَهُ كَلامًا حَسَنًا،ثُمَّ قَالَ: " مَا عَلَى الأَرْضِ أَحَدٌ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى بَيْنَكُمْ "،
[24]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ الْفَرَوِيُّ أَبُو مُوسَى، وَعَمْرُو بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالا: ثنا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرٍ: " أَنَّ عَلِيًّا دَخَلَ عَلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا وَهُوَ مُسَجًّى، فَقَالَ " مَا عَلَى الأَرْضِ أَحَدٌ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى بَيْنَكُمْ "
[25]     ‘Amru bin Muhammad bin Bukair bin Saabuur An-Naaqid, Abu ‘Utsmaan Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh, namun ragu dalam hadits. Termasuk thabaqah ke-10 dan wafat tahun 232 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal 744 no. 5141].
[26]     Ishaaq bin Muhammad bin Ismaa’iil bin ‘Abdillah bin Abi Farwah Al-Farwiy Al-Qurasyiy, Abu Ya’quub Al-Madaniy Al-Umawiy; seorang yang lemah karena jelek hapalannya setelah mengalami kebutaan. Termasuk thabaqah ke-10 dan wafat tahun 226 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 131 no. 385, Tahriirut-Taqriib 1/122 no. 381, dan Al-Kaasyif 1/238 no. 319].
[27]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ حَفْصٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: دَخَلَ عَلِيٌّ، عَلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَهُوَ مُسَجًّى بِثَوْبٍ، فَقَالَ " مَا أُحِبُّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَةِ أَحَدٍ، إِلا بِصَحِيفَةِ هَذَا الْمُسَجَّى "
[28]     Mahdiy bin Hafsh Al-Baghdaadiy, Abu Ahmad; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10 dan wafat tahun 223 H. Dipakai oleh Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib hal. 976 no. 6978, Tahriirut-Taqriib3/424 no. 6929, dan Al-Kaasyif 2/299 no. 5664].
[29]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ مِنْ أَصْلِهِ، ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أُسَيْدٍ، ثَنَا يَحْيَى بْنُ الرَّبِيعِ، ثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا مَعَ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، وَسُدَيْرٌ مَعَنَا جَالِسٌ لَمْ يَجْمَعْنِي وَسُدَيْرٌ قَبْلَهُ مَجْلِسٌ قَطُّ، فَقَالَ جَعْفَرٌ، أَخْبَرَنِي أَبِي، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عَلِيًّا، قَالَ لِعُمَرَ وَهُوَ مُسَجًّى: " مَا مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِمِثْلِ صَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى. فَقَالَ سُدَيْرٌ: صَحِيفَتُهُ خَيْرٌ مِنْ صَحِيفَتِهِ
[30]     Belum diketemukan biografinya.
[31]     Riwayatnya adalah :
نا أَحْمَدُ، قَالَ: نا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: نا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عِمْرَانَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: لَمَّا مَاتَ عُمَرُ، وَقَفَ عَلَيْهِ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: " صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ يَا عُمَرُ، فَمَا أَجِدُ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ أَحَبَّ إِلَيَّ أَلْقَى اللَّهَ بِمِثْلِ صَحِيفَتِهِ مِنْكَ "
[32]    Riwayatnya adalah :
أخبرنا أبو غالب بن البنا أنا أبو محمد الجوهري أنا عبيدالله بن عبد الرحمن الزهري نا أحمد بن عبد الله بن سابور نا محمد بن يحيى بن ضريس نا محمد بن جعفر عن الحارث بن عمرانعن جعفر بن محمد عن أبيه عن جابر قال لما مات عمر وقف عليه علي فقال صلى الله عليك يا عمرفما أحد من هذه الأمة أحب إلي أن ألقى الله بمثل صحيفته
[33]     Al-Haarits bin ‘Imraan Al-Ja’fariy Al-Madaniy; seorang yang lemah, dituduh Ibnu Hibbaan telah memalsukan hadits. Termasuk thabaqah ke-9. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 212 no. 1047].
[34]     Anas bin ‘Iyaadl bin Dlamrah Al-Laitsiy, Abu Dlamrah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqahke-8, lahir tahun 104 H, dan wafat tahun 200 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 154 no. 569].
[35]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ السَّمَرْقَنْدِيِّ، وَأَبُو الْفَتْحِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ الْبَيْضَاوِيِّ، قال: أنا أَبُو مُحَمَّدٍ الصَّرِيفِينِيُّ، أنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عَلِيِّ بْنِ خَلَفِ بْنِ زُنْبُورٍ الْوَرَّاقُ، أنا أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ الأَشْعَثِ، نا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ، نا أَنَسٌ، وَهُوَ ابْنُ عِيَاضٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عَلِيًّا لَمَّا غَسَّلَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، وَجُعِلَ عَلَى سَرِيرِهِ وَكُفِّنَ، وَقَفَ عَلَيْهِ، قال: وَأَثْنَى عَلَيْهِ، قَالَ: " وَاللَّهِ مَا عَلَى الأَرْضِ رَجُلٌ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى بِالثَّوْبِ ".
[36]     Fudlail bin Marzuuq Al-Aghar/Ar-Raqqaasyiy/Ar-Ruaasiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 160 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u Raf’il-Yadain, Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 786 no. 5472 dan Tahriirut-Taqriib 3/163-164 no. 5437].
[37]     Riwayatnya adalah :
قَالَ: أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: نَظَرَ عَلِيٌّ إِلَى عُمَرَ وَهُوَ مُسَجًّى، فَقَالَ: " مَا أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِمِثْلِ صَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى "،
قَالَ: أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ بْنُ يُوسُفَ الأَزْرَقُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو بِشْرٍ وَرْقَاءُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ عَلِيٍّ مِثْلَهُ
[Ath-Thabaqaatul-Kubraa li-Ibni Sa’d, 3/198].
[38]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنِي وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ الطَّحَّانُ، قَالا: ثنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أنبأ فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: نَظَرَ عَلِيٌّ إِلَى عُمَرَ وَهُوَ مُسَجًّى، فَقَالَ: " مَا أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِمِثْلِ صَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى "
[39]     Sulaimaan bin Bilaal Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu Muhammad/Abu Ayyuub Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-8 dan wafat tahun 177 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 405 no. 2554].
[40]     Riwayatnya adalah :
قَالَ: أَخْبَرَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ، قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلالٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: لَمَّا غُسِّلَ عُمَرُ وَكُفِّنَ وَحُمِلَ عَلَى سَرِيرِهِ وَقَفَ عَلَيْهِ عَلِيٌّ، فَقَالَ: " وَاللَّهِ مَا عَلَى الأَرْضِ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى بِالثَّوْبِ "
[41]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ الْحُبَابِ الْبَصْرِيُّ، قثنا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلالٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ يَعْنِي الصَّادِقَ، عَنْ أَبِيهِ،قَالَ: َمَّا غُسِّلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَكُفِّنَ وَحُمِلَ عَلَى سَرِيرِهِ، وَقَفَ عَلَيْهِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، فَقَالَ: " وَاللَّهِ مَا عَلَى الأَرْضِ رَجُلٌ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى "
[42]     Wuhaib bin Khaalid bin ‘Ajlaan Al-Baahiliy, Abu Bakr Al-Bashriy; tsiqah lagi tsabat, namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya.  Termasuk thabaqah ke-7 dan wafat tahun 165 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah  [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1045 no. 7537].
[43]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ، قثنا وُهَيْبُ بْنُ خَالِدٍ، قثنا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ لَمَّا أُصِيبَ أَرْسَلَ إِلَى الْمُهَاجِرِينَ، فَقَالَ: عَنْ مَلإٍ مِنْكُمْ كَانَ هَذَا؟ فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: إِنِّي وَاللَّهِ لَوَدِدْتُ أَنَّ اللَّهَ نَقَصَ مِنْ آجَالِنَا فِي أَجَلِكَ، ثُمَّ أَتَى سَرِيرَهُ وَقَدْ سُجِّيَ عَلَيْهِ بِثَوْبٍ، فَقَالَ: " مَا مِنْ أَحَدٍ الْيَوْمَ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِمَا فِي صَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى عَلَيْهِ "
[44]     Haatim bin Ismaa’iil Al-Madaniy, Abu Ismaa’iil Al-Haaritsiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 186 H/187 H di Madinah. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 207 no. 1002, Al-Kaasyif 1/300 no. 832, Tahriirut-Taqriib 1/229 no. 994].
[45]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ،قَالَ: جَاءَ عَلِيٌّ إلَى عُمَرَ وَهُوَ مُسَجًّى، فَقَالَ: " مَا عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ أَحَدٌ أَحَبُّ إلَيَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِصَحِيفَتِهِ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى "
[46]     Yahyaa bin Sa’iid bin Farruukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah,mutqin, haafidh, imaam, lagi qudwah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].
[47]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْفَضْلِ، أنا أَبُو مَنْصُورِ بْنُ شُكْرَوَيْهِ، أنا أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ، أنا أَبُو بَكْرٍ الشَّافِعِيُّ، أنا مُعَاذُ بْنُ الْمُثَنَّى، نا مُسَدَّدٌ، نا يَحْيَى، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، قَالَ: تَاللَّهِ، لَحَدَّثَنِي أَبِي،أَنَّ عَلِيًّا دَخَلَ عَلَى عُمَرَ وَهُوَ مُسَجًّى بِثَوْبِهِ فَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَقَالَ: " مَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ أَلْقَى اللَّهَ بِمَا فِي صَحِيفَتِهِ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنَ الْمُسَجَّى بِثَوْبِهِ "، قَالَ يَحْيَى: ثُمَّ ذَكَرَ جَعْفَرٌ أَبَا بَكْرٍ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَقَالَ: وَلَدني مَرَّتَيْنِ.

Makan Bekicot

$
0
0

Tanya : Apa hukum makan bekicot ?
Jawab : Bekicot bahasa Arabnya adalah halzuun barriy (keong darat). Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkannya, sedangkan jumhur ulama melarangnya. Pokok permasalahannya dalam hal ini adalah hukum memakan hewan yang tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti : ular, cacing, kalajengking, semut, lebah, kecoak, kutu, dan seluruh jenis hasyaraat (hewan-hewan tanah) [dan mereka mengecualikan beberapa hewan yang disebutkan dalil tentang kehalalannya, seperti misal : belalang].
Apakah ashl juz’iy jenis makanan ini haram – dimana ia adalah ashl yang keluar dari ashl kulliy diperbolehkannya semua jenis makanan dan daging – karena ia termasuk jenis makanan yang buruk, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya seperti belalang. Hal ini didasarkan oleh firman Allah ta’ala :
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [QS. Al-A’raaf : 157].
Ataukah, ashl juz’iy jenis makanan ini tidaklah keluar dari ashl kulliy-nya, yaitu boleh kecuali ada dalil yang melarangnya berdasarkan firman Allah ta’ala:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” [QS. Al-Baqarah : 29].
وَمَا لَكُمْ أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [QS. Al-An’aam : 119].
?
Ulama yang membolehkannya makan bekicot beralasan tidak ada dalil shahih dan sharih yang menyatakan keharamannya, sehingga ia kembali pada hukum asal kebolehannya. Maalik bin Anas rahimahullah menyerupakannya dengan belalang.[1]
Yang raajihwallaahu a’lam– bekicot hukumnya haram (dimakan) dengan alasan:
1.     Bekicot termasuk jenis hewan yang tidak mempunyai darah mengalir sehingga tidak dapat disembelih. Allah ta’ala berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya” [QS. Al-Maaidah : 3].
Hewan yang tidak dapat disembelih, tidak dapat tidak, ketika memakannya pasti dalam keadaan mati (bangkai). Allah ta’ala berfirman :
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah” [QS. Al-An’aam : 153].
Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
وَلَا يَحِلُّ أَكْلُ الْحَلَزُونِ الْبَرِّيِّ، وَلَا شَيْءٍ مِنَ الْحَشَرَاتِ كُلِّهَا ....... لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ. وَقَوْلِهِ تَعَالَى: إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ. وَقَدْ صَحَّ الْبُرْهَانُ عَلَى أَنَّ الذَّكَاةَ فِي الْمَقْدُورِ عَلَيْهِ لَا تَكُونُ إِلَّا فِي الْحَلْقِ أَوِ الصَّدْرِ، فَمَا لَمْ يُقْدَرْ فِيهِ عَلَى ذَكَاةٍ فَلَا سَبِيلَ إِلَى أَكْلِهِ: فَهُوَ حَرَامٌ.
“Tidak dihalalkan makan keong darat (bekicot) dan semua jenis hasyaraat…….berdasarkan firman Allah ta’ala : ‘Diharamkan bagimu (memakan) bangkai’ (QS. Al-Maaidah : 3) dan firman-Nya ta’ala : ‘kecuali yang sempat kamu menyembelihnya’ (QS. Al-Maaidah : 3). Dan telah shahih dalam nash bahwa penyembelihan itu dilakukan pada tempat yang telah ditentukan, yaitu pada tenggorokan atau dada. Dan sesuatu yang tidak sanggup untuk disembelih, maka tidak boleh dimakan. Haram hukumnya” [Al-Muhallaa, 6/76-77].
Dan syari’at telah mengecualikan belalang tentang kehalalannya dari hewan yang tidak dapat disembelih ini, sehingga dapat dimakan meskipun dalam keadaan telah mati (bangkai). Dari‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata :
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ: الْجَرَادُ، وَالْحِيتَانِ، وَالْكَبِدُ، وَالطِّحَالُ 
“Telah dilhalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah, yaitu : belalang dan ikan, serta hati dan limpa” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Ash-Shughraa 4/55 no. 3894-3895 dan dalam Al-Kubraa 1/254].[2]
Oleh karena itu, bekicot masuk dalam keumuman keharaman bangkai. Dengan demikian, mengqiyaskan bekicot dengan belalang – sebagaimana madzhab Al-Imaam Maalik rahimahullah - adalah tidak tepat, karena itu termasuk qiyas terhadap sesuatu yang menyelisihi qiyas. Belalang adalah binatang yang dikecualikan dari keumuman bangkai berdasarkan nash, sedangkan bekicot termasuk dari keumuman tersebut. Lantas, bagaimana hal itu bias diqiyaskan ?.
2.     Berkaitan dengan nomor 1, bekicot kedudukannya sama dengan jenis-jenis serangga[3] dan termasuk hasyaraat yang tidak punya nilai jual menurut syari’at. Sedangkan syarat komoditi yang dapat diperjualbelikan adalah halal dan bermanfaat. Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
وأما بقية الحيوانات التي لا تؤكل فما لا نفع فيه كالحشرات ونحوه لا يجوز بيعه وما يذكر من نفع في بعضها فهو قليل فلا يكون مبيحا للبيع كما لم يبح النبي صلى الله عليه وسلم بيع الميتة لما ذكر له ما فيها من الانتفاع
“Dan adapun binatang-binatang lain yang tidak boleh dimakan dan tidak ada manfaatnya seperti hasyaraat dan yang sejenisnya, tidak boleh diperjual-belikan. Dan yang disebutkan dalam sebagian jenisnya, maka kegunaan itu kecil sehingga tidak menjadi boleh untuk diperjual-belikan, sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memperbolehkan penjualan bangkai hanya karena disebutkan adanya manfaat padanya” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 879 – tahqiiq : Al-Fahl].
3.     Terdapat ijmaa’ haramnya hewan yang buruk, ular, dan kalajengking sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
أكلُ الخبائثِ، وأكلُ الحيَّاتِ والعقاربِ حرامٌ بإجماعِ المسلمينَ
“Memakan sesuatu yang buruk (khabaaits), ular, dan kalajengking adalah haram menurut ijma’ kalum muslimin” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/609].
Sebelumnya, Ibnu Hubairah rahimahullah berkata :
اتفقوا على أن حشرات الأرض محرمة
“Para ulama bersepakat bahwa hewan hasyaraat tanah diharamkan” [Ar-Raudlul-Murbii’, 7/424].
Ular dan kalajengking termasuk jenis hasyaraat, sama seperti bekicot. Hasyaraatdiharamkan kecuali yang disebutkan dalil akan kehalalannya.
4.     Bekicot termasuk jenis makanan yang buruk.
Wallaahu a’lam.
Semoga jawaban ringkas ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa- - perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 12051434/23032013 – 20:25].



[1]     Dalam kitab Al-Mudawwanah 1/542 disebutkan :
سئل مالك عن شيء يكون في المغرب يقال له الحلزون يكون في الصحارى يتعلق بالشجر أيؤكل ؟ قال : أراه مثل الجراد ، ما أخذ منه حيّاً فسلق أو شوي : فلا أرى بأكله بأساً , وما وجد منه ميتاً : فلا يؤكل
Maalik pernah ditanya tentang hewan yang ada di negeri Maroko yang disebut halzuun(siput) yang hidup di padang pasir, menempel di pepohonan. Bolehkah ia dimakan ?. Maalik berkata : ‘Aku berpendapat ia seperti belalang. Jika ia diambil dalam keadaan hidup, lalu direbus atau dipanggang, maka aku berpendapat tidak mengapa memakannya. Apabila didapati dalam keadaan mati, maka tidak boleh dimakan” [selesai].
[2]     Silakan baca pembahasan haditsnya dalam artikel berjudul : Hadits Dihalalkannya Dua Macam Bangkai dan Dua Macam Darah.
[3]     Ingat, serangga termasuk jenis hewan yang tidak mempunyai darah mengalir seperti bekicot.

Pasal Santet

$
0
0

Tanya : Saat ini santer dibahas tentang pasal santet dalam RUU KUHP. Pertanyaan mendasarnya, apakah santet itu ada dalam perspektif Islam ?. Kalau memang tidak ada, membahasnya seperti membahas pepesan kosong. Terima kasih.
Jawab : Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak ada yang menyebut istilah ‘santet’. Yang ada adalah istilah ‘sihir’, dan santet itu merupakan bagian dari sihir. Banyak nash yang menyebutkannya, diantaranya :
Allah ta’ala berfirman :
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 102].
قَالَ مُوسَى أَتَقُولُونَ لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَكُمْ أَسِحْرٌ هَذَا وَلا يُفْلِحُ السَّاحِرُونَ
“Musa berkata: "Apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran waktu ia datang kepadamu, sihirkah ini?" padahal ahli-ahli sihir itu tidaklah mendapat kemenangan" [QS. Yuunus : 77].
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ * مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ * وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ * وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ * وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki” [QS. Al-Falaq : 1-5].
Begitu juga beberapa riwayat shahih dalam As-Sunnah :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قالت: سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهُودِيٌّ مِنْ يَهُودِ بَنِي زُرَيْقٍ يُقَالُ لَهُ لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ، قَالَتْ: حَتَّى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَمَا يَفْعَلُهُ، حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ أَوْ ذَاتَ لَيْلَةٍ دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ دَعَا ثُمَّ دَعَا، ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ: " أَشَعَرْتِ أَنَّ اللَّهَ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ؟ "، جَاءَنِي رَجُلَانِ، فَقَعَدَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِي وَالْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيَّ، فَقَالَ: الَّذِي عِنْدَ رَأْسِي لِلَّذِي عِنْدَ رِجْلَيَّ أَوِ الَّذِي عِنْدَ رِجْلَيَّ لِلَّذِي عِنْدَ رَأْسِي مَا وَجَعُ الرَّجُلِ، قَالَ: مَطْبُوبٌ، قَالَ: مَنْ طَبَّهُ؟، قَالَ: لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ، قَالَ: فِي أَيِّ شَيْءٍ؟، قَالَ: فِي مُشْطٍ وَمُشَاطَةٍ، قَالَ: وَجُفِّ طَلْعَةِ ذَكَرٍ، قَالَ: فَأَيْنَ هُوَ؟، قَالَ: فِي بِئْرِ ذِي أَرْوَانَ، قَالَتْ: فَأَتَاهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُنَاسٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ: " وَاللَّهِ لَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ، وَلَكَأَنَّ نَخْلَهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ "، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا أَحْرَقْتَهُ؟، قَالَ: " لَا، أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِي اللَّهُ، وَكَرِهْتُ أَنْ أُثِيرَ عَلَى النَّاسِ شَرًّا، فَأَمَرْتُ بِهَا فَدُفِنَتْ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dari Hisyaam, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleg seorang laki-laki Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Labiid bin Al-A’sham. (Dalam sihir tersebut), Terbayangkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukan sesuatu, padahal tidak melakukannya. Hingga pada suatu hari atau suatu malam, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdoa, lalu berdoa, doa, dan berdoa; dan kemudian bersabda : “Wahai ‘Aaisyah, apakah engkau mengetahui bahwa Allah telah memberi fatwa atas apa yang aku minta fatwa kepada-Nya ?. Telah datang kepadaku dua orang laki-laki, lalu salah satu di antara keduanya duduk di dekat kepalaku dan yang lain di dekat kedua kakiku. Laki-laki yang di dekat kepalaku berkata kepada laki-laki yang ada di dekat dua kakiku – atau laki-laki yang di dekat kedua kakiku berkata kepada laki-laki yang ada di kepalaku - : ‘Sakit apa laki-laki ini ?’. Temannya menjawab : ‘Disihir’. Laki-laki itu bertanya : ‘Siapa yang telah menyihirnya ?’. Temannya menjawab : ‘Labiib bin Al-A’sham’. Laki-laki itu berkata : ‘Pada apa ia berada ?’. Temannya menjawab : ‘Pada sisir, rambut, dan serbuk sari kurma jantan’. Laki-laki itu bertanya : ‘Dimanakah ia berada ?’. Temannya menjawab : ‘Di sumur Dzu-Arwaan”. ‘Aaisyah berkata : “Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammendatangi sumur itu bersama para shahabatnya. Kemudian beliau datang dan berkata : ‘Wahai ‘Aaisyah, demi Allah, seakan-akan airnya seperti celupan daun hinaa, dan kepala kurmanya seperti kepala syaithaan’. Aku (‘Aaisyah) berkata : ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau membakarnya ?’. Beliau menjawab : ‘Tidak. Adapun aku, sungguh Allah telah menyembuhkanku, dan aku tidak suka menimpakan kejelekan pada manusia. Lalu aku perintahkan untuk menguburnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2189].
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الأَيْلِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي الْغَيْثِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ "، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: " الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ "
Telah menceritakan kepadaku Haaruun bin Sa’iid Al-Ailiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Sulaimaan bin Bilaal, dari Tsaur bin Zaid, dari Abul-Ghaits, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan”. Dikatakan : “Wahai Rasulullah, apakah itu ?”. Beliau menjawab : “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari peperangan, dan menuduh wanita mukminah baik-baik lagi suci telah berbuat zina” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 89].
Dalil-dalil di atas secara tegas menunjukkan eksistensi sihir secara jelas. Ada secara hakekat, bukan sekedar lafadh. Seandainya sihir tidak ada, tentu membicarakannya sebuah kesia-siaan, atau ‘pepesan kosong’ – meminjam istilah Anda. Oleh karenanya, para shahabat radliyallaahu ‘anhum pun banyak membicarakannya, dan bahkan menfatwakan hukum bunuh kepada para penyihir.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، سَمِعَ بَجَالَةَ، يُحَدِّثُ عَمْرَو بْنَ أَوْسٍ، وَأَبَا الشَّعْثَاءِ، قَالَ: كُنْتُ كَاتِبًا لِجَزْءِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَمِّ الأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ إِذْ جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِسَنَةٍ اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَ كُلِّ ذِي مَحْرَمٍ مِنْ الْمَجُوسِ وَانْهَوْهُمْ عَنِ الزَّمْزَمَةِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru bin Diinaar, bahwa ia mendengar Bajaalah menceritakan hadits kepada ‘Amru bin Aus dan Abusy-Sya’tsaa’, ia (Bajaalah) berkata : Aku dulu pernah menjadi sekretaris Jaz’ bin Mu’aawiyyah, paman dari Al-Ahnaf bin Qais. Lalu tiba-tiba datang kepada kami surat ‘Umar (bin Al-Khaththaab) setahun sebelum kematiannya yang isinya berbunyi : “Bunuhlah semua tukang sihir, pisahkanlah setiap orang yang mempunyai ikatan pernikahan dengan orang Majusi, dan laranglah mereka dari zamza’ah (suara bisik-bisik yang tidak terdengar jelas maknanya).......” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3043; sanadnya shahih].
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata :
أَنَّ السِّحْرَ ثَابِتٌ، وَحَقِيقَتُهُ مَوْجُودَةٌ، اتَّفَقَ أَكْثَرُ الأُمَمِ مِنَ الْعَرَبِ، وَالْفُرْسِ، وَالْهِنْدِ، وَبَعْضِ الرُّومِ عَلَى إِثْبَاتِهِ، وَهَؤُلاءِ أَفْضَلُ سُكَّانِ أَهْلِ الأَرْضِ، وَأَكْثَرُهُمْ عِلْمًا وَحِكْمَةً، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ، وَأَمَرَ بِالاسْتِعَاذَةِ مِنْهُ، فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ، وَوَرَدَ فِي ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَارٌ لا يُنْكِرُهَا إِلا منْ أَنْكَرَ الْعِيَانَ وَالضَّرُورَةَ، وَفَرَّعَ الْفُقَهَاءُ فِيمَا يَلْزَمِ السَّاحِرِ مِنَ الْعُقُوبَةِ، وَمَا لا أَصْلَ لَهُ لا يَبْلُغُ هَذَا الْمَبْلَغُ فِي الشُّهْرَةِ وَالاسْتِفَاضَةِ، فَنَفْيُ السِّحْرِ جَهْلٌ، وَالرَّدُّ عَلَى منْ نَفَاهُ لَغْوٌ وَفَضْلٌ.
“Bahwasannya sihir itu tsaabit, hakekatnya benar-benar ada. Kebanyakan umat dari bangsa ‘Arab, Persia, India, dan sebagian bangsa Romawi telah bersepakat dalam penetapannya. Mereka semua itu adalah penduduk bumi yang utama, dan paing banyak mempunyai ilmu dan hikmah. Allah ta’ala telah berfirman : ‘Mereka mengajarkan sihir kepada manusia’ (QS. Al-Baqarah : 102), dan memerintahkan untuk meminta perlindungan darinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul’(QS. Al-Falaq : 4). Dan telah datang riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu (sihir) dimana tidak ada yang mengingkarinya, kecuali orang yang mengingkari sesuatu yang jelas dan aksiomatik. Para fuqahaa’ telah menyebutkan beberapa bentuk hukuman yang mesti dijatuhkan kepada tukang sihir. Sesuatu yang tidak ada asalnya biasanya tidak dapat terkenal dan tersebar luas (dalam pembicaraannya). Sehingga menafikkan keberadaan sihir adalah kebodohan, dan membantah orang yang menafikkannya adalah kesia-siaan belaka” [Syarhus-Sunnah, 12/187-188].
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Khaththaabiy rahimahullah, mengingkari sihir adalah kebodohan, karena realita di sekitar kita membuktikannya. Contoh yang paling mudah adalah beragam peristiwa yang direkam berbagai media bahwa beberapa orang menderita sakit karena jarum, paku, dan benda-benda lain mendekam di tubuhnya :
Mungkin saja di tempat Anda ada kejadian yang sama.
Singkatnya, sihir atau santet ini memang ada. Bagi yang mengingkari eksistensi sihir dengan alasan tidak rasional, sangat dipersilakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena sihir di atas dengan alasan ‘serasional’ mungkin menurut kadar ilmunya!.
Dikarenakan sihir atau santet merupakan kejahatan, maka perlu aturan untuk mencegah praktek-praktek seperti ini berkembang di masyarakat. Minimal, ada aturan untuk melarang praktek sihir dan pengiklanannya kepada masyarakat[1].
Semoga Allah ta’ala memberikan petunjuk bagi para pimpinan kita untuk menetapi kebenaran.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 18051434/29032013 – 21:01 – baca juga artikel : Sihir].



[1]   Baik dalam praktek ramal-meramal, sulap, debus, ilmu kebal, pellet, susuk, santet, tenung, dan yang semisalnya dari cabang-cabang ilmu sihir.

Ibnu Taimiyyah vs Orang Kesurupan

$
0
0

Ada kisah menarik yang diceritakan oleh Ibnul-Qayyim tentang gurunya, Ibnu Taimiyyah rahimahumallah. Yaitu, kisah terapi Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap orang yang kesurupan jin. Berikut kisahnya (Ibnul-Qayyim rahimahullahberkata) :
وشاهدتُ شيخنَا يُرسِلُ إلى المصروع مَن يخاطبُ الروحَ التى فيه، ويقول: قال لكِ الشيخُ: اخرُجى، فإنَّ هذا لا يَحِلُّ لكِ، فيُفِيقُ المصروعُ، وربما خاطبها بنفسه، وربما كانت الروحُ مارِدةً فيُخرجُها بالضرب، فيُفيق المصروعُ ولا يُحِس بألم، وقد شاهدنا نحن وغيرُنا منه ذلك مراراً.
وكان كثيراً ما يَقرأ فى أُذن المصروع: {أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ }[المؤمنون : 115].
وحدَّثنى أنه قرأها مرة فى أُذن المصروع، فقالت الروح: نعمْ، ومد بها صوته. قال: فأخذتُ له عصا، وضربتُه بها فى عروق عنقه حتى كَلَّتْ يدَاىَ من الضرب، ولم يَشُكَّ الحاضرون أنه يموتُ لذلك الضرب. ففى أثناء الضرب قالت: أَنا أُحِبُّه، فقلتُ لها: هو لا يحبك. قالتْ: أنَا أُريد أنْ أحُجَّ به. فقلتُ لها: هو لا يُرِيدُ أَنْ يَحُجَّ مَعَكِ، فقالتْ: أنا أدَعُه كَرامةً لكَ، قال: قلتُ: لا ولكنْ طاعةً للهِ ولرسولِه، قالتْ: فأنا أخرُجُ منه، قال: فقَعَد المصروعُ يَلتفتُ يميناً وشمالاً، وقال: ما جاء بى إلى حضرة الشيخ ؟ قالوا له: وهذا الضربُ كُلُّه ؟ فقال: وعلى أى شىء يَضرِبُنى الشيخ ولم أُذْنِبْ، ولم يَشعُرْ بأنه وقع به الضربُ ألبتة.
Dan aku pernah menyaksikan syaikh kami (yaitu Ibnu Taimiyyah) mengutus seseorang kepada orang yang kesurupan untuk berbicara kepada ruuh (jin) yang merasuki badannya. Orang itu berkata : “Syaikh berkata kepadamu : ‘Keluarlah, karena perbuatan ini tidak halal bagimu’. Llau orang yang kesurupan itu pun tersadar. Dan kadangkala, beliau (Syaikhul-Islaam rahimahullah) berbicara sendiri (kepada jin), dan kadangkala ruh (jin) enggan sehingga perlu dipukul untuk mengeluarkannya. Orang yang kesurupan tadi lalu tersadar, namun ia tidak merasakan sama sekali (pukulan yang diterimanya). Kami dan orang-orang selain kami telah menyaksikan dari beliau tentang peristiwa tersebut beberapa kali.
Dan yang sering beliau baca di telinga orang yang sedang kesurupan adalah firman Allah ta’ala : ‘Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?’ (QS. Al-Mukminuun : 115).
Dan beliau pernah menceritakan kepadaku bahwasannya satu ketika beliau membacakannya di telinga orang yang kesurupan, lalu ruh (jin) yang merasuk dalam tubuhnya berkata : ‘Ya’. Dan ia (jin) memanjangkan suaranya. Syaikhul-Islam berkata : “Lalu aku ambil tongkat dan aku pukulkan di tengkuknya hingga tanganku lelah memukulnya. Orang-orang yang hadir memastikan bahwa orang tersebut meninggal akibat pukulan yang diterimanya. Dan di tengah-tengah pukulan, jin (perempuan) berkata : ‘Aku mencintainya’. Lalu aku (Syaikhul-Islam) katakan kepadanya : ‘Ia tidak mencintaimu’. Jin berkata : ‘Aku ingin pergi haji bersamanya’. Aku katakan kepadanya : ‘Ia tidak ingin pergi haji bersamamu’. Jin berkata : ‘Aku meninggalkannya karena menghormatimu’. Aku berkata : ‘Tidak, akan tetapi (engkau pergi karena) ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya’. Jin berkata : ‘Aku keluar darinya”. Beliau (Syaikhul-Islaam) berkata : “Lalu orang yang kesurupan itu duduk dengan menengok kanan dan kirinya. Ia berkata : ‘Apa yang menyebabkan aku hadir di hadapan syaikh ?’. Orang-orang yang hadir berkata kepadanya : ‘Bagaimana dengan semua pukulan yang menimpamu ?’. Orang itu berkata : ‘Atas dasar apa syaikh memukulku, padahal aku tidak melakukan satu dosa/kesalahan pun’. Ia tidak merasakan sedikitpun pukulan yang tadi menimpanya” [Zaadul-Ma’aad, 4/60].
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 18051434/29032013 – 23:36].

Riwayat Musalsal yang Indah tentang Usia

$
0
0

Ibnu Basykawaal (w. 578 H) saat menyebutkan biografi ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin ‘Iisaa bin ‘Abdirrahmaan, Abu Zaid – terkenal dengan nama Ibnul-Hasysyaa’ – (w. 473 H), membawakan satu riwayat musalsal[1] sebagai berikut :
وقرأت بخط أبي الحسن بن الإلبيري المقرئ قال: سألت القاضي أبا زيد عن سنه؟ فقال لا أعرفك بسني، لأني سألت أبا عبد الله محمد بن منصور التستري عن سنه فقال ليس من المروة أن أخبرك بسني، فإني سألت شيخي عبد الله بن عبد الوهاب الأصبهاني عن سنه فقال ليس من المروة أن أخبرك بسني، فإني سألت شيخي أحمد بن إبراهيم بن الصحاب عن سنه.فقال ليس من المروة أن أخبرك بسني، فإني سألت المزني عن سنه فقال ليس من المروة أن أخبرك بسني، فإني سألت الشافعي عن سنه.فقال ليس من المروة أن أخبرك بسني، فإني سألت مالك بن أنس عن سنه.فقال لي ليس من المروة أن أخبرك بسني. إذا أخبر الرجل عن سنه، إن كان كبيرا استهرم، وإن كان صغيرا استحقر
"Aku pernah membaca tulisan Abul-Hasan bin Al-Ilbiiriy Al-Muqri', ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Qaadliy Abu Zaid tentang usianya, lalu ia berkata : Aku tidak akan memberitahumu tentang usiaku, karena aku pernah bertanya kepada Abu 'Abdillah Muhammad bin Manshuur At-Tusturiy tentang usianya, lalu ia berkata : Bukan termasuk muru'ah aku memberitahumu tentang usiaku, karena aku pernah bertanya kepada guruku 'Abdullah bin 'Abdil-Wahhaab Al-Ashbahaaniy tentang usianya, lalu ia berkata : Bukan termasuk muru'ahaku memberitahumu tentang usiaku, karena aku pernah bertanya kepada guruku Ahmad bin Ibraahiim Ash-Shahhaab tentang usianya, lalu ia berkata : Bukan termasuk muru'ah aku memberitahumu tentang usiaku, karena aku pernah bertanya kepada Al-Muzaniy tentang usianya, lalu ia berkata : Bukan termasuk muru'ahaku memberitahumu tentang usiaku, karena aku pernah bertanya kepada Asy-Syaafi'iy tentang usianya, lalu ia berkata : Bukan termasuk muru'ahaku memberitahumu tentang usiaku, karena aku pernah bertanya kepada Maalik bin Anas tentang usianya, lalu ia berkata kepadaku : Bukan termasuk muru'ah aku memberitahumu tentang usiaku. Jika seseorang memberitahukan tentang usianya, maka jika usianya telah tua (bisa jadi) akan dilecehkan. Namun jika usianya masih muda (bisa jadi) akan diremehkan" [Ash-Shilah, hal. 503-504, no. 734, tahqiiq : Ibraahiim Al-Abyaariy].
Ada riwayat musalsal lain yang senada :
حَدَّثَنَا أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ الطُّوسِيِّ، وَسَأَلْتُهُ عَنْ سِنِّهِ؟ فَقَالَ لِي: أَقْبِلْ عَلَى شَأْنِكَ، قَالَ: حَدَّثَنَا تَاجُ الإِسْلامِ، وَسَأَلْتُهُ عَنْ سِنِّهِ؟ قَالَ لِي: أَقْبِلْ عَلَى شَأْنِكَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الطُّرَيْثِيثِيُّ، وَسَأَلْتُهُ عَنْ سِنِّهِ؟ فَقَالَ لِي: أَقْبِلْ عَلَى شَأْنِكَ، قثنا الْقَاضِي هَنَّادُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَسَأَلْتُهُ عَنْ سِنِّهِ؟ فَقَالَ لِي: أَقْبِلْ عَلَى شَأْنِكَ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا الْفَضْلِ مُحَمَّدَ بْنَ أَحْمَدَ الْجَارُودِيَّ عَنْ سِنِّهِ؟ فَقَالَ لِي: أَقْبِلْ عَلَى شَأْنِكَ، فَإِنِّي سَأَلْتُ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ بْنَ عَدِيِّ بْنِ زَحْرٍ الْمِنْقَرِيَّ الْبَصْرِيَّ عَنْ سِنِّهِ، فَقَالَ لِي: أَقْبِلْ عَلَى شَأْنِكَ، فَإِنِّي سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الرِّيَاسِيَّ عَنْ سِنِّهِ؟ فَقَالَ لِي: أَقْبِلْ عَلَى شَأْنِكَ، فَإِنِّي سَأَلْتُ أَبَا إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِيَّ عَنْ سِنِّهِ؟ فَقَالَ لِي: أَقْبِلْ عَلَى شَأْنِكَ، فَإِنِّي سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنْ سِنِّهِ؟ فَقَالَ لِي: أَقْبِلْ عَلَى شَأْنِكَ، فَإِّنِي سَأَلْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ عَنْ سِنِّهِ؟ فَقَالَ لِي: أَقْبِلْ عَلَى شَأْنِكَ، ثُمَّ قَالَ: لَيْسَ مِنَ الْمُرُوءَةِ أَنْ يُخْبِرَ الرَّجُلُ بِسِنِّهِ
Telah menceritakan kepada kami Abul-Qaasim bin Ath-Thuusiy, dan aku bertanya kepadanya tentang usianya, lalu ia berkata kepadaku : "Pikirkanlah urusanmu sendiri", lalu ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Taajul-Islaam dan aku bertanya kepadanya tentang usianya, lalu ia berkata kepadaku : "Pikirkanlah urusanmu sendiri", lalu ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ath-Thuraitsiitsiy, dan aku bertanya kepadanya tentang usianya, lalu ia berkata kepadaku : "Pikirkanlah urusanmu sendiri", lalu ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaadliy Hannaad bin Ibraahiim rahimahullahdan aku bertanya kepadanya tentang usianya, lalu ia berkata kepadaku : "Pikirkanlah urusanmu sendiri", lalu ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abul-Fadhl Muhammad bin Ahmad Al-Jaaruudiy tentang usianya, lalu ia berkata : Pikirkanlah urusanmu sendiri, karena aku pernah bertanya kepada Abu Bakr Muhammad bin 'Adiy bin Zahr Al-Minqariy Al-Mishriy tentang usianya, lalu ia berkata kepadaku : Pikirkanlah urusanmu sendiri, karena aku pernah bertanya kepada Abu Ayyuub Ar-Riyaasiy tentang usianya, lalu ia berkata kepadaku : Pikirkanlah urusanmu sendiri, karena aku pernah bertanya kepada Abu Ismaa'iil At-Tirmidziy tentang usianya, lalu ia berkata kepadaku : Pikirkanlah urusanmu sendiri, karena aku pernah kepada Asy-Syaafi'iy tentang usianya, lalu ia berkata kepadaku : Pikirkanlah urusanmu sendiri, karena aku pernah kepada Maalik bin Anas tentang usianya, lalu ia berkata kepadaku : "Pikirkanlah urusanmu sendiri". Kemudian ia berkata : "Bukan termasuk muru'ah seseorang memberitahukan tentang usianya" [Ahaadiitsun Musalsalaatoleh Ath-Thuraitsitsiy no. 5].
Diriwayatkan juga oleh Ibnul-Jauziy[2]dalam Al-Muntadham no. 123 dari jalan Al-Qaadliy Hannaad bin Ibraahiim An-Nasafiy.
Tapi jangan dipahami bahwa jika ada orang yang bertanya tentang usia kita lalu kita bungkam selamanya. Jawaban di atas hanya diberikan pada orang yang kita merasa khawatir akan dilecehkan atau diremehkan jika kita memberitahukan usia kita sebenarnya, atau beberapa alasan lain yang dapat diterima. Riwayat yang banyak ternukil dari salaf adalah mereka memberitahukan usia mereka ketika ditanya oleh orang yang dipercaya. Misalnya :
قَالَ: وَسَمِعْتُ أَبَا مُسْهِرٍ، يَسْأَلُ يَحْيَى بْنَ مُعِينٍ فِي سَنَةِ أَرْبَعَ عَشْرَةَ وَمِائَتَيْنِ عَنْ سِنِّهِ، فَقَالَ: أَنَا ابْنُ سِتٍّ وَخَمْسِينَ سَنَةً، فَسَمِعْتُ أَبَا مُسْهِرٍ، قَالَ لَهُ: فَمَنْ أَسَنُّ: أَنْتَ، أَوْ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ؟ قَالَ: أَنَا"
Abu Zur'ah berkata : Aku mendengar Abu Mus-hir bertanya kepada Yahyaa bin Ma'iin tentang usianya pada tahun 214 H, lalu ia menjawab : "Aku berusia 56 tahun". Dan aku mendengar Abu Mus-hir berkata kepadanya : "Siapakah yang lebih tua, engkau ataukah Ahmad bin hanbal ?". Ibnu Ma'iin menjawab : "Aku lebih tua" [Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam At-Taariikh no. 557; shahih].
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ الْفَضْلِ الْقَطَّانُ بِبَغْدَادَ، أنا أَبُو عَمْرٍو عُثْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ السَّمَّاكِ، ثنا أَبُو قِلابَةَ، حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ سَنَةَ سِتَّ عَشْرَةَ وَمِائَتَيْنِ، وَقُلْتُ لَهُ: كَمْ سِنُّكَ يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ؟ قَالَ: أَرْبَعٌ وَخَمْسُونَ أَوْ خَمْسٌ وَخَمْسُونَ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Hasan Muhammad bin Al-Husain bin Muhammad bin Al-Fadhl Al-Qaththaan di Baghdaad : Telah memberitakan kepada kami Abu ‘Amru ‘Utsmaan bin Ahmad bin As-Sammaak : Telah menceritakan kepada kami Abu Qilaabah : Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Hanbal pada tahun 216 H. Aku (Abu Qilaabah) berkata kepadanya : “Berapakah usiamu wahai Abu ‘Abdillah ?”. Ia menjawab : “Limapuluh empat (54) atau limapuluh lima (55) tahun” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 1/253; shahih].
Semoga bermanfaat.
[Abul-Jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 21051434/02042013 – 16:49].



[1]     Riwayat musalsal adalah riwayat yang perawi dalam sanadnya yang secara berturut-turut ikut serta pada sifat atau keadaannya [At-Tadzkirah fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Ibnul-Mulaqqin, hal. 19, tahqiq : ‘Aliy Al-Halabiy].
[2]     Riwayatnya adalah :
وكنا نسأله عن مولده فقال: أقبلوا على شأنكم، فأني سألت القاضي أبا المظفر هناد بن إبراهيم النسفي عن سنه فقال: أقبل على شأنك، فأني سألت أبا الفضل محمد بن أحمد الجارودي عن سنه فقال لي: أقبل على شأنك، فأني سألت أبا بكر محمد بن علي بن زحر المنقري عن سنه فقال: أقبل على شأنك، فاني سألت أبا أيوب الهاشمي عن سنه فقال لي: أقبل على شأنك، فإني سألت أبا إِسْمَاعِيل الترمذي عن سنه فقال لي: أقبل على شأنك، فإني سألت البويطي عن سنه فقال لي: أقبل على شأنك، فإني سألت الشافعي عن سنه فقال لي: أقبل على شأنك، فإني سألت مالك بن أنس عن سنه فقال لي: أقبل على شأنك ثم قال لي ليس من المروءة أن يخبر الرجل عن سنه قال لنا شيخنا محمد بن عبد الباقي: ووجدت في طريق آخر قيل له قال لأنه إن كان صغيرا استحقروه، وإن كان كبيرا استهرموه

Disunnahkan Berpakaian dengan Pakaian Penduduk Negerinya

$
0
0

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ
“Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4029, Ibnu Maajah no. 3606-3607, dan yang lainnya; shahih].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر
“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111 – via Syamilah].
Beberapa ulama menjelaskan bahwa diantara syuhrah yang dilarang dalam hadits adalah menyelisihi pakaian penduduk negerinya tanpa ‘udzur.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: " أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrah dengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata :
فالذى ينبغى للرجل أن يتزى فى كل زمان بزى أهله ما لم يكن إثمًا لأن مخالفة الناس فى زيهم ضرب من الشهرة
“Yang seharusnya dilakukan seseorang adalah ia berpakaian disetiap masa dengan pakaian orang-orang yang hidup di masa tersebut sepanjang tidak terkandung dosa, karena penyelisihan terhadap pakaian yang dipakai oleh orang banyak termasuk syuhrah” [Syarh Shahih Al-Bukhaariy, 17/144– via Syamilah].
Al-Mardawiy rahimahullah berkata :
يكره لبس ما فيه شهرة, أَو خلاف زي بلده من الناس, على الصحيح من المذهب
“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].
As-Safaariiniy rahimahullah berkata :
ونص الإمام أحمد رضي الله عنه على أنه لا يحرم ثوب الشهرة ، فإنه رأى رجلا لابسا بردا مخططا بياضا وسوادا ، فقال : ضع هذا ، والبس لباس أهل بلدك ، وقال : ليس هو بحرام ، ولو كنت بمكة ، أو المدينة لم أعب عليك . قال الناظم رحمه الله : لأنه لباسهم هناك
“Dan Al-Imaam Ahmad radliyallaahu ‘anhu bahwa beliau tidak mengharamkan pakaian syuhrah.[1]Beliau pernah melihat seorang laki-laki yang memakai kain dengan motif garis-garis putih dan hitam, lalu berkata : “Lepaskanlah kain ini dan pakaialah pakaian penduduk negerimu”. Beliau kembali berkata : “Memakainya tidaklah haram. Seandainya engkau berada di Makkah atau di Madiinah, maka tidak mengapa engkau memakainya”. An-Naadhim (Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdil-Qawiy Al-Mardawiy Al-Hanbaliy) rahimahullah berkata : “Karena ia merupakan pakaian mereka di sana” [Ghidzaaul-Albaab, 2/126].
أنه يكره له لبس غير زي بلده بلا عذر كما هو منصوص الإمام 
“Dibenci baginya memakai pakaian yang bukan model pakaian (penduduk) negerinya tanpa ‘udzur, sebagaimana dikatakan oleh Al-Imaam (Ahmad)” [idem, 2/182].
Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة
“Bahwasannya mencocoki kebiasaan yang tidak mengandung keharaman merupakan sunnah, karena penyelisihan terhadap kebiasaan menjadikannya syuhrah. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang pakaian syuhrah” [Asy-Syarhul-Mumti’, 6/67 – via Syamilah].
Satu hal penting yang perlu digarisbawahi dalam hal berpakaian dengan pakaian yang lazim dipakai oleh penduduk negeri adalah tidak mengandung keharaman.[2]
Berkenaan dengan penjelasan para ulama di atas, maka nampaklah kekeliruan sebagian saudara kita yang melarang dan membenci berpakaian yang lazim dipakai oleh penduduk negeri kita, baik dalam shalat ataupun di luar shalat. Kesesuaian pakaian dengan pakaian penduduk Saudi[3]atau Pakistan[4]dipandang sebagai bentuk kesesuaian terhadap Islam dan/atau manhaj salaf. Bahkan yang dianjurkan adalah berpakaian dengan pakaian penduduk negeri kita, seperti misal : kemeja, batik, sarung, songkok, celana panjang, kaos, dan yang lainnya sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur syari’at. Jika memang mengandung keharaman, maka kita dapat memodifikasinya agar sesuai dengan syari’at. Misalnya : celana/pantalon kita buat lebih longgar dan kita potong di atas mata kaki, motif batik kita pilih yang soft dan tidak bergambar makhluk hidup, kaos kita pilih yang longgar dan lebih tebal, dan yang lainnya.[5]
Berikut ada penjelasan menarik dari Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri hafidhahullahterkait tema[6] :
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 22051434/02042013 – 20:34].
Silakan baca artikel terkait : Siapa Bilang Peci Hitam Dilarang ? dan Seragam Salafiy.



[1]     Pembahasan hukum pakaian syuhrahperlu pembahasan tersendiri, karena sebagian ulama berpendapat haram sesuai dhahir hadits yang dibawakan di awal artikel.
[2]     Seperti misal : menampakkan aurat, tipis/transparan, isbaal, bergambar makhluk hidup, dan yang lainnya.
[3]     Seperti model berikut :

[4]     Seperti model berikut :

[5]     Pun seandainya rekan-rekan ingin tetap mengenakan pakaian gamis model Saudi atau Pakistan, sangat dipersilakan jika memang di tempat antum pakaian tersebut tidak dianggap asing. Hanya saja menjadi aneh ketika ada sebagian rekan yang terlalu ofensif dalam mengkritik orang yang tidak berpakaian seperti dirinya dan mencapnya sebagai kelompok Sururiy yang ‘terlalu ingin’ dakwahnya diterima masyarakat.
[6]     Sayangnya, penjelasan beliau yang begitu jelas ini pun mesti disalahpahami sebagian orang yang salah paham, baik dengan sengaja ataupun tidak disengaja. Mereka katakan bahwa beliau telah mencela sebagian ikhwan yang memakai gamis panjang dan mengatakan telah tasyabbuh dengan Amitab Bachan, selebriti Hindustan. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Coba perhatikan baik-baik, dengar pelan-pelan, dan kalau perlu diulang 10 kali ulangan.
وكم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم
“Betapa banyak orang yang mencela perkataan yang benar
dan sebabnya adalah pemahaman yang salah/buruk”.

Berdusta Atas Nama As-Syaikh Al-Ghudayaan ?

$
0
0

Tanya : Terkait tulisan Anda di artikel Surat Singkat – Undocumented yang ditujukan kepada admin tukpencarialhaq, ada pernyataan Anda yang mengatakan  Asy-Syaikh Al-Ghudayaan rahimahullah  menjarh Asy-Syaikh Rabii’ berkaitan isu irjaa’. Pernyataan Anda telah dijawab oleh yang bersangkutan dan Anda dikatakan telah berdusta atas nama Asy-Syaikh Al-Ghudayaan. Bagaimana tanggapan Anda ?.
Jawab : Memang benar saya telah menuliskan hal itu dengan menukil dari forum alathary.[1]Perkataan Asy-Syaikh Al-Ghudayaan rahimahullah tersebut berkaitan dengan sebuah artikel yang ditulis oleh Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullah yang menjelaskan tentang iman adalah ashl (pokok) dan amal adalah far’ (cabang).[2]Pertanyaan yang diajukan kepada Asy-Syaikh Al-Ghudayaan rahimahullah terkait perkataan-perkataan Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullah bukan hanya sekali atau dua kali, namun beberapa kali. Diantaranya, yang masih terkait isu yang sama (irjaa’) adalah :
السائل : يا شيخ هناك مقال أريد منك التعليق عليه هل هو صحيح أم خطأ. المقال في الإنترنيت يقول صاحب هذا المقالكثير من العلماء يقول الإيمان أصل والعمل كمال( العمل فرع)؟
الشيخ: هذا ليس بصحيح.
السائل: هل هو من عقيدة أهل السنة والجماعة ؟
الشيخ : لآ , هذا من عقيدة المرجئة.
السائل: بارك الله فيك ياشيخ.
الشيخ: حياك الله مع السلامة.
السائل :السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
الشيخ: وعليكم السلا.
Penanya :“Ya syaikh, terdapat satu perkataan yang saya ingin komentar Anda terhadapnya, benar ataukah salah. Perkataan tersebut terdapat di internet. Pemilik perkataan ini berkata : ‘banyak ulama yang mengatakan mengatakan bahwa iman adalah pokok sedangkan amal adalah penyempurna (amal adalah cabang)”.
Asy-Syaikh Al-Ghudayaan : “Perkataan ini tidak benar”.
Penanya : “Apakah hal tersebut termasuk ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah ?”.
Asy-Syaikh Al-Ghudayaan : “Tidak, ini termasuk ‘aqidah Murji’ah”.
Penanya : Baarakallaahu fiik ya syaikh”.
Asy-Syaikh Al-Ghudayaan : Hayaakallaah, ma’as-salaamah”.
Penanya : Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”.
Asy-Syaikh Al-Ghudayaan : Wa’alaikumus-salaam”.
[Rekaman suara dapat diunduh di sini].[3]
Di kesempatan lain, Asy-Syaikh Al-Ghudayaan pernah ditanya :
هناك قول لأحد الدكاترة من عندكم من مكة يدعى ربيع المدخلي يقول: أن كلمة جنس العمل محدثة، ولا أصل لها في القرآن، وفي السنة، ولم يدخلها السلف في تعريف الإيمان، أحدثها التكفيريون والقطبيون، فما صحة هذا؟
“Terdapat satu perkataan dari salah seorang doktor di sisi Anda yang tinggal di Makkah yang bernama Rabii’ Al-Madkhaliy. Ia berkata bahwasannya kalimat jinsul-‘amal adalah muhdats (bid’ah), tidak ada asalnya dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan tidak pula dimasukkan salaf dalam ta’rif iman. Kalimat tersebut diada-adakan oleh kalangan takfiriyyuun dan quthbiyyuun. Benarkan perkataan ini ?”.
Beliau hafidhahullahmenjawab :
هذا ليس بصحيح، هذا الكلام ليس بصحيح؛ لأن هذا مذهب المرجئة
“Ini tidak benar. Perkataan ini tidak benar, karena ini adalah madzhab Murji’ah”.
[Sumber : Intishaar fii Fataawaa Al-‘Ulamaa’ Al-Kibaar, dikumpulkan oleh Abu Mu’aadz As-Salafiy, hal. 103].[4]
Terlepas yang tersebut di atas, perlu saya tegaskan di sini bahwa apa yang dikatakan Asy-Syaikh Rabii’ adalah benar. Beliau hafidhahullah telah menjelaskan dengan gamblang tentang perkataan beberapa ulama Ahlus-Sunnah mengatakan bahwa amal (jawaarih)adalah cabang (iman) dan penyempurna (iman) dalam makalah beliau yang berjudul : Hal Yajuuz an-Yurmaa bil-Irjaa’ Man Yaquulu : Innal-Iimaan Ashlun wal-‘Amala Kamaalun (Far’un)”. Beliau hafidhahullah tetap mengatakan amal masuk dalam cakupan iman, iman dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Ketidaksetujuan Asy-Syaikh Al-Ghudayaan rahimahullahtidak dapat menghapuskan fakta yang dinukilkan oleh Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullah.
Begitu pula tentang istilah jinsul-‘amal. Istilah ini tidak ternukil dari salaf dan baru muncul di era belakangan.[5] Bahkan Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah mengatakan penyebutan istilah itu tidak ada faedahnya.[6]
Asy-Syaikh Al-Ghudayaan rahimahullahadalah seorang ulama yang berijtihad, dan seorang ulama tetap diberikan pahala atas ijtihadnya meskipun keliru.
Kembali ke masalah yang ditanyakan…..
Jadi, apakah jarh[7]dari Asy-Syaikh Al-Ghudayaan kepada Asy-Syaikh Rabii’ dikatakan dusta ?. Atau, apakah pengingkaran Asy-Syaikh Al-Ghudayaan terhadap perkataan Asy-Syaikh Rabii’ manipulatif belaka ?
Kalau mereka membawakan bukti bahwa Asy-Syaikh Al-Ghudayaan mengingkari telah membantah Asy-Syaikh Rabii’ dalam permasalahan irjaa’, maka sebenarnya saya telah mendahului membawakan perkataan Asy-Syaikh Al-Ghudayaan di Blog ini.[8] Saya hingga kini masih yakin bahwa mereka semua adalah ulama bersaudara, yang menjawab sesuai dengan pertanyaan yang disampaikan.
Kalau kita perhatikan baik-baik beberapa isu terkait Asy-Syaikh Rabii’ dalam masalah irjaa’, maka kita dapatkan apa yang beliau hafidhahullah jelaskan hampir bisa dikatakan samadengan yang dijelaskan Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy. Begitu pula terkait beberapa fatwa yang dihubungkan dengan Asy-Syaikh Al-Ghudayaan rahimahullah.
Tapi mengapa pengunyah bangkai tersebut hanya mengambil fatwa Asy-Syaikh Al-Ghudayaan terhadap Asy-Syaikh ‘Aliy dalam masalah irjaa’, namun menutup mata beberapa perkataan Asy-Syaikh Al-Ghudayaan terkait Asy-Syaikh Rabii’ dalam isu yang sama ?. Bagaimana pendapat pengunyah bangkai tersebut terhadap pernyataan Asy-Syaikh Al-Ghudayaan yang dibawakan di atas ?. Apakah pengunyah bangkai itu tidak membaca penjelasan Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin, Asy-Syaikh ‘Ubaid, atau Asy-Syaikh Husain Aalusy-Syaikh jika itu dikaitkan dengan fatwa Lajnah terhadap dua buku Asy-Syaikh ‘Aliy[9] ?. Barangkali pengunyah bangkai itu tidak paham pokok permasalahan yang dibicarakan. Asal ada tahdzir, diambil tanpa ada analisis isi. Barangkali pengunyah bangkai itu hanya ikut-ikutan. Barangkali, benar apa yang saya katakan sebelumnya bahwa pengunyah bangkai itu : “membawakannya karena semangat sektarian”. Ending bagi orang yang cerdas : Tulisannya tak ada mutunya.
Jadi, tinggalkanlah situs murahanitu, tak banyak manfaat diperoleh selain asupan gizi buruk yang membahayakan hati orang yang membacanya.
Itu saja sedikit jawaban saya, semoga memberi kejelasan.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, 23051434/04042013 – 02:55].



[2]     Diantaranya artikel beliau hafidhahullah di : http://www.rabee.net/show_des.aspx?pid=3&id=200.
[3]     Suara dalam rekaman ini agak pelan, sehingga volumenya perlu ditinggikan.
[4]     Silakan dengar rekaman rekaman suaranya di bawah dengan transkrip yang sedikit berbeda :
[5]     Beberapa fudlalaa’ menggunakan istilah jinsul-‘amal– yang dengan perkataan mereka ini, para pendengki menghantam beberapa ulama Ahlus-Sunnah yang berbeda ijtihad (yang mengingkari penggunaan istilah ini) dengan fudlalaa’ tersebut dengan sebutan Murji’ah.
[6]     Al-As-ilah Al-Qathariyyah, kaset 1, side A – lihat : http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=90050.
[7]     Kalaupun mau dianggap jarh - sebagaimana yang sering mereka maui dari kata ini dalam konteks pertanyaan dan jawaban yang diajukan kepada seorang ulama.

Memakai Sandal di Masjid

$
0
0

Tanya : Dalam beberapa hadits saya baca disunnahkannya memakai sandal ketika shalat berjama’ah di masjid. Apakah sunnah ini masih relevan diterapkan di jaman sekarang mengingat banyak masjid berlantai ubin dan karpet ?
Jawab : Benar apa yang Anda katakan, bahwa termasuk sunnah memakai sandal ketika shalat[1], baik sendiri maupun berjama’ah, di rumah maupun di masjid.
عَنْ أَبِي مَسْلَمَةَ سَعِيدُ بْنُ يَزِيدَ الْأَزْدِيُّ، قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي نَعْلَيْهِ ؟ قَالَ: نَعَمْ "
Dari Abu Maslamah Sa’iid bin Yaziid Al-Azdiy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Anas bin Maalik : “Apakah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamshalat dengan memakai kedua sandalnya ?”. Ia menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 386 & 5850, Muslim no. 555, dan yang lainnya].
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ، قَالَ: مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ؟ قَالُوا: رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السلام أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا، أَوْ قَالَ: أَذًى، وَقَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ، فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا "
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi waasallam shalat bersama para shahabatnya, tiba tiba beliau melepaskan kedua sandalnya lalu meletakkan keduanya di sebelah kiri beliau. Saat para shahabat melihat apa yang beliau lakukan tersebut, mereka pun ikut pula melepas sandal-sandal mereka. Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah selesai shalat, beliau bersabda : "Apa gerangan yang membuat kalian melepas sandal-sandal kalian?". Mereka menjawab: “Kami melihat engkau melepas sandal, sehingga kami pun melepaskan sandal-sandal kami”. Lalu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Jibriil 'alaihis-salaam mendatangiku dan mengkhabarkan kepadaku bahwa di kedua sandalku terdapat kotoran". Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan : “Apabila salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, hendaklah ia perhatikan. Apabila ia di kedua sandalnya najis atau kotoran, hendaklah ia bersihkan dan kemudian shalat dengan memakai kedua sandalnya tersebut” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 650, Ad-Daarimiy no. 1378, Ahmad no. 10769 & 11467, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud, 1/192].
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصَلُّوا فِي نِعَالِكُمْ، فَإِنَّهُمْ لا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلا فِي خِفَافِهِمْ "
Dari Syaddaad bin Aus radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Selisihilah orang-orang Yahudi dan shalatlah dengan sandal-sandal kalian, karena mereka tidak mau shalat dengan sandal-sandal mereka dan sepatu-sepatu mereka[2]” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 652, Ibnu Hibbaan no. 2186, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 3480, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiihul-Jaami’hal. 707 no. 3790].
Sunnah memakai sandal/sepatu ketika shalat ini senantiasa relevan di setiap masa yang diikat dengan dua keadaan :
1.     Kedua sandal bebas dari najis/kotoran berdasarkan hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu di atas.
2.     Tidak mengotori lantai atau karpet masjid dengan debu, basah, sampah, dan sejenisnya meski bukan termasuk najis - jika lantai masjid terbuat dari ubin atau sejenisnya dan/atau dihampari karpet. Yang demikian ini dilarang karena akan menimbulkan keresahan, kebencian, dan kerusakan yang meluas.
Ibnu ‘Abiidiin rahimahullah berkata :
لكن إذا خشي تلويث فرش المسجد بها ينبغي عدمه وإن كانت طاهرة . وأما المسجد النبوي فقد كان مفروشا بالحصى في زمنه صلى الله عليه وسلم بخلافه في زماننا ، ولعل ذلك محمل ما في عمدة المفتي من أن دخول المسجد متنعلا من سوء الأدب
“Akan tetapi apabila dikhawatirkan dengan (memakai) kedua sandal akan mencemari/mengotori lantai masjid, hendaknya perbuatan itu mesti ditiadakan meskipun suci. Adapun masjid Nabawiy (dulu) dihampari kerikil di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berbeda keadaannya di jaman kita[3]. Dan kemungkinan hal itu menjadi dasar dalam kitab ‘Umdatul-Muftiy adanya penjelasan bahwa masuk masjid dengan memakai sandal termasuk buruknya adab (seseorang)” [Haasyiyyah Ibni ‘Aabidiin, 2/429].
Ibnu Baaz rahimahullah setelah menjelaskan disunnahkannya shalat memakai sandal berkata :
وإذا كان المسجد مفروشا فإن الأولى خلعها ؛ حذراً من توسيخ الفرش ، وتنفير المسلمين من السجود عليها 
“Dan apabila masjid lantainya terbuat dari ubin, maka lebih baik untuk melepaskannya agar tidak mengotori lantai dan membuat kaum muslimin enggan sujud di atasnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, ].
Oleh karena itu, jika Anda ingin mengamalkan sunnah ini, Anda dapat mengamalkannya di rumah Anda atau di tempat-tempat lain yang tidak terdapat aturan publik untuk melepas alas kaki.
Wallaahu a’lam.
Semoga jawaban ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, 24051434/05042013 – 00:14 – jawaban banyak mengambil faedah dari buku At-Tasyabbuh Al-Manhiy ‘anhu fil-Fiqhil-Islaamiy oleh Jamiil bin Habiib Al-Luwaihiq, hal. 266-269].



[1]     Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memakai sandal/sepatu ketika shalat :
a.      Sunnah, ini merupakan pendapat Hanaabilah [Al-Furuu’ oleh Ibnu Muflih, 1/267; Kasysyaaful-Qinaa’oleh Al-Bahuutiy, 1/285]. Disebutkan pula bahwa ini merupakan pendapat sekelompok shahabat dan taabi’iin seperti ‘Umar bin Al-Khaththaab, ‘Utsmaan bin ‘Affaan, Anas bin Maalik, dan yang lainnya.
b.      Lebih baik dan lebih utama (afdlal), ini merupakan pendapat Hanafiyyah [Haasyiyyah Ibni ‘Aabidiin, 2/429].
c.      Boleh (mubah), ini merupakan pendapat Ibnu Daqiiqil-‘Ied [Al-Ihkaam, 2/96].
d.      Dibenci (makruuh), ini merupakan pendapat yang dinisbatkan kepada sebagian shahabat seperti Ibnu ‘Umar dan Abu Muusaa Al-Asy’ariy [Nailul-Authaaroleh Asy-Syaukaaniy, 2/131].
Yang raajihwallaahu a’lam– adalah pendapat yang menyatakan sunnah.
Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
وقد اختلف العلماء رحمهم الله تعالى سلفاً وخلفاً هل الصلاة فيهما من باب المشروعات فيكون مستحباً، أو من باب الرخص فيكون مباحاً، والظاهر أن ذلك من باب المشروعات فيكون مستحباً، ودليل ذلك من الأثر والنظر: أما الأثر: فقوله صلى الله عليه وسلم: "خالفوا اليهود فإنهم لا يصلون في نعالهم ولا خفافهم" ، قال الشوكاني في شرح المنتقي: ولا مطعن في إسناده، ومخالفة اليهود أمر مطلوب شرعاً........ ولكن الصلاة بالنعلين غير واجبة، لحديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال: "رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يصلي حافياً ومنتعلاً". ولحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "إذا صلى أحدكم فخلع نعليه فلا يؤذ بهما أحداً، ليجعلهما بين رجليه، أو ليصل فيهما"......
“Para ulama salaf dan khalaf rahimahumullah telah berselisih pendapat (tentang hukum shalat dengan memakai sandal), apakah shalat dengan memakai keduanya masuk dalam bab masyruu’iyyaat sehingga dihukumi mustahab (sunnah), atau masuk dalam bab rukhshahsehingga dihukumi boleh (mubah). Yang nampak, hal tersebut termasuk bab masyruu’iyyaat sehingga dihukumi mustahab. Dalil yang melandasinya diambil dari nash dan akal. Adapun dalil nash adalah sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Selisihilah orang-orang Yahudi, karena mereka tidak shalat dengan memakai sandal-sandal mereka dan sepatu-sepatu mereka’. Asy-Syaukaaniy berkata dalam Syarh Al-Muntaqaa : ‘Tidak ada yang dicela dalam sanadnya’. Penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi merupakan perkara yang dituntut secara syar’iy…… Akan tetapi shalat dengan memakai kedua sandal tidaklah wajib berdasarkan hadits ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : ‘Aku pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan bertelanjang kaki maupun memakai sandal’. Dan juga berdasarkan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Apabila salah seorang di antara kalian shalat, lalu ia melepaskan kedua sandalnya, maka janganlah mengganggu seorang pun dengan keduanya. Hendaklah ia meletakkan kedua sandalnya itu di antara dua kakinya atau ia memakai keduanya….” [Majmuu’ Al-Fataawaa war-Rasaail, juz 12, bab : Ijtinaab Al-Najaasah– lihat : http://ar.islamway.net/fatwa/16487].
[2]     Hal itu disebabkan karena mereka meniru Muusaa saat Allah ta’ala berfirman kepadanya :
إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
“Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu)” [QS. Thaha : 12].
Lihat : Faidlul-Qadiir 4/201 – melalui At-Tasyabbuh Al-Manhiy ‘anhu fil-Fiqhil-Islaamiy hal. 267.
[3]     Lantai masjid di jaman sekarang pada umumnya terbuat dari ubin, keramik, dan semisalnya, serta dihampari karpet.

Mempercepat Jalan Ketika Mengusung Jenazah

$
0
0

Salah satu sunnah yang banyak ditinggalkan kaum muslimin hari ini adalah sunnah mempercepat jalan ketika mengusung jenazah menuju liang kubur. Hal ini bertentangan dengan apa yang telah tetrap dalam nash. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا إِلَيْهِ، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Percepatlah kalian dalam mengusung jenazah. Apabila jenazah itu orang shaalih, maka kalian telah mendekatkannya kepada kebaikan. Dan apabila jenazah itu bukan orang shaalih, maka kejelekan segera kalian letakkan dari pundak-pundak kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1315, Muslim no. 944, Abu Daawud no. 1318, At-Tirmidziy no. 1015, dan yang lainnya].
عَنْ عبد الرحمن بن جوشن أَنَّهُ كَانَ فِي جَنَازَةِ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ، وَكُنَّا نَمْشِي مَشْيًا خَفِيفًا، فَلَحِقَنَا أَبُو بَكْرَةَ، فَرَفَعَ سَوْطَهُ، فَقَالَ: " لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَرْمُلُ رَمَلًا "
Dari ‘Abdurrahmaan bin Jausyan, bahwasannya ia pernah mengantarkan jenazah ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash, dan kami berjalan dengan lambat. Lalu kami berjumpa dengan Abu Bakrah, kemudian ia mengangkat cambuknya dan berkata : “Sungguh aku telah menyaksikan kami (para shahabat) bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (mengantarkan jenazah) berjalan dengan cepat” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3182. Al-Albaaniy berkata dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/294 : “Shahih, akan tetapi perkataan perawi : ‘’Utsmaan bin Abil-‘Aash’ adalah syaadz, dan yang mahfuudh adalah ‘Abdurrahmaan bin Samurah sebagaimana disebutkan dalam hadits setelahnya (yaitu no. 3183)].
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مِهْرَانَ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ حِينَ حَضَرَهُ الْمَوْتُ: لَا تَضْرِبُوا عَلَيَّ فُسْطَاطًا، وَلَا تَتْبَعُونِي بِمِجْمَرٍ، وَأَسْرِعُوا بِي، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا وُضِعَ الرَّجُلُ الصَّالِحُ عَلَى سَرِيرِهِ قَالَ: قَدِّمُونِي قَدِّمُونِي، وَإِذَا وُضِعَ الرَّجُلُ السُّوءُ عَلَى سَرِيرِهِ قَالَ: يَا وَيْلَهُ ! أَيْنَ تَذْهَبُونَ بِي؟ "
Dari ‘Abdurrahmaan bin Mihraan : Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata ketika menjelang kematiannya : “Jangan kalian buatkan untukku tenda, jangan kalian ikuti aku dengan dupa, dan percepatlah dalam membawa jenazahku, karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila seorang laki-laki shaalih diletakkan di keranda mayatnya, ia berkata : ‘Segerakanlah aku, segerakanlah aku. Dan apabila seorang laki-laki yang buruk diletakkan dalam keranda mayat, ia berkata : ‘Sungguh celaka, kemanakah kalian akan membawaku ?” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/292 (13/293) no. 7914 & 2/474 (16/128) no. 10137 & 2/500 (16/295-296) no. 10493, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam tahqiiq dan takhrij terhadap Musnad Al-Imaam Ahmad].
عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: كَانَ يُقَالُ انْبَسِطُوا بِالْجَنَائِزِ، وَلا تَدُبُّوا دَبِيبَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى
Dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Dulu dikatakan : ‘Bersegeralah dalam mengusung jenazah, dan janganlah kalian berjalan lambat seperti lambatnya langkah orang Yahudi dan Nashara” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/441 no. 6249 dan Ibnu Abi Syaibah 3/282 (7/222) no. 11388; sanadnya shahih].
عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: أَوْصَى عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ، قَالَ: " إذَا أَنَا مِتُّ، فَأَسْرِعُوا، وَلَا تُهَوِّدُوا كَمَا هَوَّدَ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى "
Dari Al-Hasan (Al-Bashriy), ia berkata : “’Imraan bin Hushain pernah berwasiat, seraya berkata : ‘Apabila aku meninggal, cepatkanlah. Janganlah kalian berjalan lambat, sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nashara berjalan lambat (dalam membawa jenazah)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/281 (7/221) no. 11380; sanadnya shahih[1]].
عَنْ عَلْقَمَةَ، قَالَ: " إذَا أَنَا مِتّ فَأَسْرِعُوا بِي الْمَشْيَ "
Dari ‘Alqamah, ia berkata : “Apabila aku meninggal, maka percepatlah dalam membawaku ketika berjalan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/282 (7/221) no. 11384; sanadnya shahih[2]].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
لَا خِلَافَ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ ، رَحِمَهُمُ اللَّهُ ، فِي اسْتِحْبَابِ الْإِسْرَاعِ بِالْجِنَازَةِ ، وَبِهِ وَرَدَ النَّصُّ ، وَهُوَ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ ، فَإِنْ تَكُنْ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا إلَيْهِ ، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ } .
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Tidak ada perbedaan pendapat di antara para imam[3]rahimahumullah tentang disukainya mempercepat membawa jenazah, yang didasarkan oleh nash, yaitu sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Percepatlah kalian dalam mengusung jenazah. Apabila jenazah itu orang shaalih, maka kalian telah mendekatkannya kepada kebaikan. Dan apabila jenazah itu bukan orang shaalih, maka kejelekan segera kalian letakkan dari pundak-pundak kalian’ – muttafaq ‘alaih” [Al-Mughniy, 4/401 – via Syaamilah].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
واتفق العلماء على استحباب الاسراع بالجنازة إلا أن يخاف من الاسراع انفجار الميت أو تغيره ونحوه
“Para ulama bersepakat disukainya mempercepat membawa jenazah, kecuali jika dikhawatirkan ketika mempercepat mayit menjadi pecah/rusak (karena bergoyang) atau berubah, atau yang semisalnya” [Al-Majmuu’, 5/271 – via Syaamilah].
Perkecualian yang dikatakan An-Nawawiy rahimahullah di atas didasarkan oleh riwayat :
عَنْ عَطَاء، قَالَ: حَضَرْنَا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ جِنَازَةَ مَيْمُونَةَ بِسَرِفَ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: هَذِهِ زَوْجَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا رَفَعْتُمْ نَعْشَهَا فَلَا تُزَعْزِعُوهَا وَلَا تُزَلْزِلُوهَا.....
Dari ‘Athaa’, ia berkata : Kami pernah menghadiri jenazah Maimuunah di Sarif bersama Ibnu ‘Abbaas. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Ini adalah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apabila kalian mengangkat kerandanya, maka jangan menggoyang-goyangkannya dan jangan pula menggoncang-goncangkannya......” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5067, Muslim no. 1465, An-Nasaa’iy no. 3196, dan yang lainnya].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وهذه محمول على خوف مفسدة من الإسراع
“Ini dibawa pada pengertian adanya kekhawatiran rusaknya jenazah karena mempercepat jalan” [Al-Majmuu’, 5/271].
Adapun ukuran jalan cepat dalam membawa jenazah, Ahmad bin Ghaniim Al-Maalikiy rahimahullahberkata :
وَنَدْبُ الْإِسْرَاعِ لَا يُنَافِي مَا رُوِيَ عَنْهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ : { عَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ عَلَيْكُمْ بِالْقَصْدِ فِي الْمَشْيِ بِجَنَائِزِكُمْ } ؛ لِأَنَّ الْمُرَادَ بِالْإِسْرَاعِ مَا فَوْقَ الْمَشْيِ الْمُعْتَادِ دُونَ الْخَبَبِ وَهَذَا هُوَ الْمُرَادُ بِالْقَصْدِ
“Dan anjuran mempercepat tidaklah menafikkan apa yang diriwayatkan dari Nabi ‘alaihish-shalaatu was-salaam, bahwasannya beliau pernah bersabda : ‘Hendaklah kalian tenang, dan hendaklah sederhana ketika berjalan membawa jenazah-jenazah kalian’. Hal itu dikarenakan yang dimaksudkan dengan mempercepat adalah di atas berjalan biasa dan di bawah khabab[4]” [Fawaakihud-Dawaaniy, 3/319 – via Syaamilah].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قال الشافعي والاصحاب المراد بالاسراع فوق المشى المعتاد ودون الخبب
“Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya berkata  : yang dimaksudkan dengan mempercepat adalah di atas berjalan biasa dan di bawah khabab” [Al-Majmuu’, 5/271].
Yang jelas, cepatnya berjalan membawa jenazah ini tidak boleh berlebihan dan masih termasuk katagori berjalan, sehingga tidak memudlaratkan jenazah yang dibawa.
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga informasi singkat ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 26051434/07042013 – 00:17].



[1]     Para ulama berbeda pendapat tentang penyimakan hadits Al-Hasan dari ‘Imraan bin Hushain. Yang raajih wallaahu a’lam– penyimakan Al-Hasan dari ‘Imraan adalah shahih [lihat : At-Taabi’uun Ats-Tsiqaat oleh Dr. Mubaarak Al-Haajuriy, 1/315-327].
[2]     Riwayat ini dibawakan melalui jalan sanad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari Hushain, dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah, ia berkata : “....(al-atsar)...”.
Hushain bin ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy adalah seorang tsiqah, namun berubah hapalannya di akhir usianya. Ibnu Shalaah mengatakan bahwa haditsnya yang dibawakan oleh Al-Bukhaariy diambil sebelum berubah hapalannya. Riwayat Muhammad bin Fudlail dari Hushain merupakan riwayat yang dijadikan hujjah Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahiih-nya. Wallaahu a’lam.
[3]     Kecuali madzhab Dhaahiriyyah yang berpendapat wajib [Al-Muhallaa, 3/381].
[4]     Khabab adalah semacam lari (kecil) namun tanpa disertai langkah lebar.

Dua Imam Syi’ah Beda Pendapat : Mana yang Benar ?

$
0
0

Yaitu, beda pendapat tentang hukum mandi Jum’at, sunnah ataukah wajib. Dalam kitab Al-Istibshaar tulisan Abu Ja’far Ath-Thuusiy – seorang ulama kenamaan Raafidlah – menyebutkan riwayat sebagai berikut :
1333 أخبرني الشيخ رحمه الله عن أحمد بن محمد عن أبيه عن سعد بن عبدالله عن أحمد بن محمد بن عيسى عن الحسن بن علي بن يقطين عن أخيه الحسين عن علي بن يقطين قال: سألت أبا الحسن عليه السلام عن الغسل في الجمعة والاضحى والفطر قال: سنة ليس بفريضة.
2334 وبهذا الاسناد عن سعد بن عبدالله عن يعقوب بن يزيد عن محمد بن أبي عمير عن عمر بن أذينة عن زرارة عن أبي عبدالله عليه السلام قال: سألته عن غسل الجمعة قال: سنة في السفر والحضر إلا أن يخاف المسافر على نفسه القر(1).
335 - 3 - وبهذا الاسناد عن سعد بن عبدالله عن أحمد بن محمد عن القاسم عن علي قال: سألت أبا عبدالله عليه السلام عن غسل العيدين أواجب هو؟ قال: هو سنة قلت: فالجمعة فقال: هو سنة.
1333. Telah mengkhabarkan kepadaku Asy-Syaikh rahimahullah, dari Ahmad bin Muhammad, dari ayahnya, dari Sa’d bin ‘Abdillah, dari Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisaa, dari Al-Hasan bin ‘Aliy bin Yaqthiin, dari saudaranya (yaitu) Al-Husain, dari ‘Aliy bin Yaqthiin, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abul-Hasan[1]‘alaihis-salaam tentang (hukum) mandi pada hari Jum’at, ‘Iedul-Adlhaa, dan ‘Iedul-Fithri. Ia menjawab : “Sunnah, tidak wajib”.
2334. Dan dengan sanad ini, dari Sa’d bin ‘Abdillah, dari Ya’quub bin Yaziid, dari Muhammad bin Abi ‘Umair, dari ‘Umar bin Adziinah, dari Zuraarah, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam. Ia (Zuraarah) berkata : Aku pernah bertanya kepadanya (Abu ‘Abdillah) tentang (hukum) mandi Jum’at. Ia menjawab : “Sunnah ketika safar dan hadir, kecuali musafir mengkhawatirkan dirinya karena hawa dingin.
335 – 3 – Dan dengan sanad ini, dari Sa’d bin ‘Abdillah, dari Ahmad bin Muhammad, dari Al-Qaasim, dari ‘Aliy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam tentang (hukum) mandi ‘Iedain, apakah diwajibkan ?, lalu ia menjawab : “Hukumnya sunnah”. Aku berkata : “Adapun mandi Jum’at ?”. Ia menjawab : “Hukumnya sunnah (juga)” [selesai].
Dua imam Syi’ah di atas (yaitu Muusaa Al-Kadhiim dan Abu ‘Abdillah) mengatakan hukum mandi Jum’at dan ‘Iedain adalah sunnah, bukan wajib. Clear ?. Lalu Ath-Thuusiy membawakan riwayat lain setelahnya :
4336 ما رواه محمد بن يعقوب عن علي بن ابراهيم عن أبيه عن عبدالله بن المغيرة عن أبي الحسن الرضا عليه السلام قال: سألته عن الغسل يوم الجمعة فقال: واجب على كل ذكر وانثى من عبد وحر.
5337 وبهذا الاسناد عن محمد بن يعقوب عن علي بن محمد عن سهل بن زياد عن أحمد بن محمد بن أبي نصر عن محمد بن عبدالله قال: سألت الرضا عليه السلام عن غسل يوم الجمعة فقال: واجب على كل ذكر وانثى من حر وعبد.
4336. Apa yang diriwayatkan Muhammad bin Ya’quub, dari ‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari ‘Abdullah bin Al-Mughiirah, dari Abul-Hasan Ar-Ridlaa ‘alaihis-salaam, ia berkata : Aku pernah bertanya kepadanya tentang mandi pada hari Jum’at, lalu ia menjawab : “Wajib bagi setiap laki-laki dan wanita, hamba dan orang merdeka”.
5337. Dan dengan sanad ini dari Muhammad bin Ya’quub, dari ‘Aliy bin Muhammad, dari Sahl bin Ziyaad, dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr, dari Muhammad bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku pernah bertany akepada Ar-Ridlaa ‘alaihis-salaamtentang mandi pada hari Jum’at, lalu ia menjawab : “Wajibbagi setiap laki-laki dan wanita, orang merdeka dan hamba” [selesai].
Dua riwayat di atas menyebutkan ‘Aliy Ridlaa berpendapat wajib.
Jika para imam Syi’ah semuanya ma’shum, perkataan siapakah yang dipegang dalam hal ini ?. Tidak mungkin akan dikatakan dua versi yang bertolak belakang ini dibenarkan semua, boleh dikatakan wajib, boleh dikatakan tidak wajib. Atau mungkin benar yang dikatakan oleh Ahlus-Sunnah bahwa mereka (para imam) tidak ma’shum.
Jika orang Syi’ah bingung, apalagi saya. Anda ?.[2]
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, cipaus, ciomas, bogor - 27051434/07042013 – 23:38].
Silakan diunduh kitab Al-Istibshaar versi word di siniatau untuk melihat yang versi online di sini.



[1]     Abul-Hasan di sini adalah Abul-Hasan Al-Awwal, yaitu Muusaa bin Ja’far Al-Kadhim rahimahullah.Adapun Abul-Hasan Ats-Tsaaniy adalah ‘Aliy bin Muusa atau yang dikenal dengan ‘Aliy Ar-Ridlaa rahimahullah.
[2]     Ath-Thuusiy mencoba mencari penyelesaian bahwa yang dimaksud dengan kata ‘wajib’ dalam riwayat di bagian kedua adalah penekanan akan pelaksanaannya saja, sehingga tetap hukumnya sunnah saja (tidak wajib). Tentu saja tidak bisa diterima begitu saja, karena jelas beda antara jawaban imam Syi’ah sunnah/tidak wajib dengan wajib. Selain itu, para ulama Syi’ah yang lain tetap berpegangan pada dhahir riwayat bagian kedua yang menyatakan mandi Jum’at adalah wajib.

Polisi Tidak Berhak Menilang karena Telat Bayar Pajak Kendaraan

$
0
0

Sebagai pengendara kendaraan bermotor, berjumpa dengan Polisi adalah sesuatu yang lumrah. Ketika ada razia lalu lintas, kita pun distop serta diperiksa kondisi kendaraan dan kelengkapan surat-suratnya. Tapi tidak jarang terdengar complaindari pengendara akibat ulah beberapa oknum Polisi yang melakukan tilang dengan alasan yang dianggap mengada-ada (dibuat-buat). Salah satu contoh adalah melakukan tilang dengan alasan pajak kendaraan telat bayar.
Pajak kendaraan adalah kewenangan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), bukan Polisi. Jika masa berlaku STNK yang habis, baru Polisi berhak untuk menilang kita. Berikut pertanyaan yang pernah diajukan kepada Ditlantas Polda Metro Jaya :
Selamat sore,.. saya Riyan di Yogyakarta, kemarin saya kena tilang 40 ribu di Magelang karena STNK saya telat bayar pajak tahunan. STNK saya berlaku masih 5 tahunan, tapi pajak tahunan terlambat 2 bulan. untuk SIM dan lain-lain dalam perlengkapan kendaraan saya lengkap. Dari forum-forum internet polisi tidak berhak menilang jika pengendara yang telat membayar STNK tahunan, apakah dalam undung-undang seperti itu benar? atau memang harus ditilang, mohon bimbingannya dengan mengirimkan balasan di email saya, email pribadi saya riyanku_1988@yahoo.com Terima kasih, Salam, Riyan
Jawaban :
Menanggapi permasalahan tersebut kami atas institusi sebelumnya mohon maaf, keterlambatan membayar pajak tahunan petugas/Polisi tidak berhak melakukan penindakan/menilang sebab untuk keterlambatan pajak yang berwenang adalah Dispenda bukan Polisi. Dengan peristiwa ini kami akan laporkan ke pimpinan agar selalu selalu mengingatkan kepada petugas dilapang. Terima kasih.
Insya Allah, jawaban ini valid dan dapat dijadikan referensi rekan-rekan saat berkendara di jalan.

Kertas/surat yang berwarna coklat adalah bukti pembayaran pajak kendaraan, dan yang berwarna putih adalah Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Anda telat membayar pajak melewati tanggal yang tertera dalam kertas/surat yang berwarna coklat di atas.
Semoga informasi ini berguna.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 28051434/07042013 – 22:05].
Viewing all 594 articles
Browse latest View live